1.
Indonesia dengan letak geografisnya yang sangat unik, yaitu antara dua lautan
dan dua benua merupakan negara kepulauan dengan jumlah 13,466 pulau bernama
(UN Economic and Social Council, 2012) yang tersebar di sepanjang garis ekuator dan
dipengaruhi oleh kondisi iklim yang spesifik. Secara umum dikenal dua musim yaitu
musim kemarau antara bulan Mei hingga September, dan musim penghujan antara
Oktober hingga April. Meskipun demikian, beberapa wilayah seperti Kepulauan
Maluku, memiliki kondisi iklim yang justru berkebalikan dengan kondisi iklim yang
umum dijumpai di Indonesia.
Dalam konteks wisata berbasis geologi (geowisata), pengaruh iklim
berhubungan erat dengan aktivitas geowisata. Beberapa aktivitas geowisata bahkan
sangat tergantung kepada cuaca, misalnya penyusuran sungai bawah tanah di wilayah
karst, pendakian ke puncak-puncak gunung di atas ketinggian 2.000 m, penelusuran
sungai, atau memanjat tebing. Kombinasi antara batuan, kelerengan, kondisi morfologi
serta cuaca yang mempengaruhi proses eksogen dan aktivitas lainnya, akan
membentuk kawasan-kawasan dengan keragaman geologi yang tinggi.
Secara geologi dan tektonik, Kepulauan Indonesia terjepit di antara tiga lempeng
Bumi raksasa. Dari arah selatan, Lempeng Samudera India-Australia bergerak ke arah
utara mendesak Lempeng Eurasia dan tersubduksi di bawahnya. Dari sisi timur,
Lempeng Pasifik mendorong ke arah barat dan berinteraksi dengan Lempeng Eurasia.
Sebagian besar Lempeng Pasifik menunjam di sisi timur Lempeng Eurasia, sebagian
lagi bertabrakan dengan Lempeng India-Australia di Papua.
Kondisi tektonik itu menyebabkan dua hal yang sangat luar biasa terhadap
Kepulauan Indonesia. Di satu sisi memberikan berkah dengan pembentukan mineralmineral logam melalui penerobosan magma dan terbentuknya cekungan-cekungan
sedimen yang membawa cebakan-cebakan minyak-gas bumi dan batubara, di sisi lain
membawa bencana dengan gempa-gempa dahsyat yang merusak, tsunami yang
menghantam pantai-pantai, letusan-letusan gunung api yang menghancurkan wilayah
di sekeliling tubuhnya, longsoran-longsoran yang intensif dan berulang-ulang, atau
banjir bandang yang meluas.
Kondisi geologi dan tektonik yang unik ini juga menghasilkan keragaman
geologi yang sangat kaya bagi Indonesia. Mulai dari dataran aluvial dengan sungai
meander yang berliku-liku di pantai timur Sumatra, pantai utara Jawa, pantai selatan
Kalimantan, atau pantai selatan Papua, hingga pegunungan yang menjulang tinggi
mengikuti jalur Bukit Barisan, Jawa, Nusa Tenggara, Pegunungan Tengah Kalimantan,
Sulawesi, atau puncak-puncak Jayawijaya dengan salju tropisnya. Umur batuannya
tersebar sejak Zaman Prakambrium di Papua dan Sumatra, Zaman Paleozoikum dan
Mesozoikum di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua, serta endapanendapan Zaman Kuarter yang tersebar luas di seluruh Kepulauan (Gambar 1).
Page | 1
Legenda
Kuarter
Formasi volkano terbaru
Formasi Cenozoikum
Formasi Mesozoikum
Formasi Paleozoikum
Batuan Plutonik
Batuan Metamorf
Volkano aktif
2.
2.1.
Geowisata
Konsep, Karakteristik, Sumberdaya dan Prinsip
Unit waktu dalam perspektif manusia terdiri dari detik, menit, jam, hari, tahun
tetapi dari perspektif sejarah geologi, satuan waktunya adalah jutaan, ratusan juta,
bahkan miliaran tahun. Jika memungkinkan untuk melakukan perjalanan kembali ke
jutaan tahun yang lalu, apa yang akan kita saksikan? Meskipun para ilmuwan jelas
menyatakan bahwa kita tidak dapat melakukan perjalanan kembali dalam waktu,
sejarah Bumi terdokumentasi dalam catatan geologi, suatu satuan waktu geologi di
mana sistem batuan terbentuk.
Geowisata adalah kosakata yang relatif baru dalam kepariwisataan Indonesia.
Istilah Geowisata muncul sekitar pertengahan 1990-an, diperkenalkan oleh seorang ahli
geologi dari Universitas Buckinghamshire Chilterns di Inggris bernama Tom Hose,
melalui makalah berjudul Geotourism, atau Can Tourists Become Casual Rock Hounds:
Geology on Your Doorstep di acara pertemuan Komunitas Geologi pada tahun 1996.
Sebagai perbandingan, makalah oleh Jane James pada tahun 1993 yang berjudul
Promoting Earth Science di Southampton, Inggris, masih menggunakan istilah wisata
geologi dan bukan geowisata (Brahmantyo, 2006).
Berdasarkan hasil penelitiannya di beberapa dataran rendah Inggris, Hose (1995)
secara jelas mendasarkan geowisata sebagai wisata berbasis geologi. Newsome (2005)
dari Australia dalam bukunya Geotourism, menegaskan bahwa dua komponen geologi
yaitu bentuk dan proses merupakan komponen utama dalam geowisata (Gambar 2)
dan bahwa wisata memanfaatkan seluruh aspek dua sisi geologi ini.
Definisi Hose diikuti oleh para ahli geologi di Eropa dan sebagian besar dunia
(Tabel 1), sedangkan definisi yang menekankan pada karakter geografis secara umum
(National Geographic Society, 2005) digunakan di Amerika Serikat. Namun demikian,
berbagai definisi geowisata menunjukkan bahwa definisi Newsome dan Dowling (2010)
yang menekankan pada geologi dan bentang alam merupakan acuan utama bagi
pengembangan konsep geowisata.
Tabel 1. Perkembangan Definisi Geowisata sejak Tahun 2000
Pariwisata yang mendukung, atau bahkan meningkatkan karakter geografis suatu tempat, seperti
budaya, lingkungan, warisan, dan kesejahteraan warganya (Tourtellot, 2000)1
Sebuah segmen pasar baru yang muncul dalam pariwisata berkelanjutan yang penekanannya adalah
pada mempertahankan dan meningkatkan karakter geografis suatu tempat (Stokes et al., 2003)1
Mungkin merupakan segmen ekowisata, yaitu "suatu bentuk pariwisata yang berkelanjutan berbasis
sumberdaya alam yang penekannya adalah pada pengalaman dn pembelajaran dari alam, yang dalam
pemahamannya merupakan kegiatan yang berdampak rendah, non-konsumtif, dan berorientasi lokal
(kendali, manfaat dan tingkat). Umumnya terdapat di kawasan-kawasan alami, dan harus memberikan
kontribusi untuk konservasi atau pelestarian kawasan tersebut (Fennell, 2002) 1
Suatu cara untuk menggabungkan berbagai konsep keberlanjutan dengan berbagai konsep dalam
segmentasi pasar pariwisata (Buckley, 2003) 1
Penyediaan fasilitas dan layanan interpretasi untuk mempromosikan nilai dan manfaat sosial dari situs
geologi dan geomorfologi dan hal-hal lain yang terkait dengannya, dan untuk menjamin konservasinya
untuk kepentingan mahasiswa, wisatawan dan pengunjung lainnya yang lebih kasual (Hose, 2000)2
Sebuah cabang geologi, penting bagi pengembangan ekonomi nasional (Hose, 2000; Somka, dan
Kiciska-widerska, 2004) 1
Suatu bentuk wisata dengan beragam kepentingan yang menguak nilai kebumian suatu situs dan
bentang alam yang menarik, dengan cara yang menyenangkan (Pralong, 2006) 1
Ekowisata atau wisata yang berhubungan dengan situs dan fitur geologi, termasuk situs geomorfologi
dan bentang alam (Joyce 2006)3
Pariwisata berkelanjutan dengan fokus utama pada pengalaman terhadap fitur-fitur geologi bumi
melalui cara-cara yang dapat mendorong pemahaman terhadap lingkungan dan budaya, apresiasi dan
konservasi, dan secara lokal menguntungkan (Dowling and Newsome, 2006) 1
Orang berkunjung ke suatu tempat untuk melihat dan belajar tentang satu atau lebih aspek geologi dan
geomorfologi (Joyce, 2006)4
Unsur-unsur geologi dari komponen wisata yaitu bentuk dan proses, seperti atraksi, akomodasi, wisata,
kegiatan, interpretasi dan perencanaan dan manajemen (James and Hose, 2008) 1
Pada tahun 2008, Asosiasi Industri Travel menyatakan bahwa geowisata menggambarkan suasana suatu
tempat dengan tetap mendukung prinsip-prinsip konservasi yang berkaitan dengan sumberdaya,
budaya, warisan, dan tradisi di tempat tersebut. Mencakup juga sektor perjalanan seperti penginapan,
belanja, hiburan, makan, dan tur yang mempromosikan pengalaman sesuai karakter lokal, dan dilakukan
dengan cara yang menguntungkan masyarakat setempat (Miller and Washington, 2009) 1.
Wisata berbasis pengetahuan, suatu integrasi interdisiplin dari industri pariwisata dengan konservasi
dan interpretasi atribut abiotik, selain mempertimbangkan isu-isu budaya yang terkait, dalam situs
geologi yang ditujukan untuk masyarakat umum (Sandry, 2009)5
Bentuk pariwisata alam yang fokus pada geologi dan bentang alam. Geowisata mempromosikan wisata
ke situs geologi dan konservasi keragaman geologi serta pemahaman ilmu kebumian melalui apresiasi
dan pembelajaran melalui kunjungan independen, penggunaan geotrail dan viewpoints, tur terpandu,
aktivitas geologi dan mendukung pusat pengunjung (Newsome and Dowling, 2010) 6
Sumber: 1Farsani et al., (2012); 2Hose (2011); 3 Joyce (2006); 4 Joyce (2006); 5Sandry (2009)
Page | 4
dalam pikiran mereka sehingga tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang sejarah
Bumi. Sehingga, arahan geowisata adalah pada bentuk wisata pendidikan melalui
kegiatan interpretasi lingkungan melalui interaksi langsung dengan situs/obyek.
Mengingat sifat non-terbarukan sumberdaya geologi, sangat jelas bahwa
geowisata harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan.
Berikut adalah lima prinsip utama geowisata (diadopsi dari Dowling, 2011), tiga
karakteristik pertama dipandang perlu bagi suatu produk geowisata sementara dua
karakteristik terakhir dibutuhkan untuk semua bentuk wisata.
a. Berbasis Geologi
Geowisata berlandaskan nilai-nilai kebumian yang fokus pada bentuk-bentuk
dan/atau proses geologi.
b. Berkelanjutan
Geowisata mendorong perekonomian, meningkatkan kualitas hidup, dan
mendukung konservasi. Tantangan geowisata di setiap daerah adalah
pengembangan kemampuan pariwisata dan kualitas produk daerah tanpa
merugikan kondisi lingkungan geologinya. Termasuk didalamnya memastikan
bahwa jenis, lokasi dan tingkat kegiatan geowisata tidak menyebabkan
kerusakan pada fitur geologi atau daerah sekitarnya, terutama di kawasan alami.
c. Memberikan Informasi Geologi
Pendidikan kebumian dan interpretasi geologi adalah alat-alat penting dalam
menciptakan pengalaman geowisata yang menyenangkan dan bermakna.
Geowisata menarik orang-orang yang ingin berinteraksi dengan lingkungan
bumi untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran dan apresiasi. Geowisata
idealnya harus mengarah pada peningkatan kesadaran konservasi.
d. Secara Lokal Bermanfaat
Masyarakat di suatu daerah akan mengalami dampak pembangunan, baik
terkait pariwisata maupun tidak, dan baik sebagai peserta aktif dalam
pembangunan maupun tidak (ADB, 2005). Sama halnya dengan pemahaman
bahwa kerjasama dengan masyarakat setempat merupakan kunci dalam
konservasi keanekaragaman hayati (Sunkar et al, 2013), begitu juga untuk
konservasi keragaman geologi. Keterlibatan masyarakat lokal tidak hanya
menguntungkan masyarakat dan lingkungan tetapi juga meningkatkan kualitas
pengalaman pengunjung. Selain manfaat sosial dan budaya, secara ekonomi,
geowisata berkontribusi terhadap konservasi sumberdaya. Horn dan Simmons
(2002) mencatat bahwa peningkatan manfaat ekonomi dari pariwisata
meningkatkan dukungan masyarakat.
e. Kepuasan Pengunjung
Kepuasan pengunjung sangat penting untuk keberlanjutan industri geowisata,
sehingga pengalaman yang akan didapatkan harus sesuai atau melebihi harapan
dari pengunjung. Termasuk pentingnya keamanan pengunjung terkait dengan
bahaya-bahaya geologi (geo-hazard) di lokasi yang dikunjungi.
Page | 6
2.2.
Geowisata dengan cepat diakui sebagai suatu arahan baru dalam pariwisata
terkait atraksi geologi dan geomorfologi serta destinasi geologi (Dowling, 2011;
Akbulut, 2009; Dowling, 2008; Turner, 2006). Pada saat yang sama, komponen
pariwisata dalam geowisata mencakup kunjungan ke situs-situs geologi untuk tujuan
rekreasi pasif, meningkatkan apresiasi dan pembelajaran (Newsome & Dowling, 2006).
Sehingga geowisata dipandang sebagai segmen pasar baru yang berkembang dengan
masa depan yang baik, terutama dalam merespon peningkatan jumlah wisatawan
minat khusus (Ali-Knight, 2011; Pforr & Megerl, 2006). Geowisata dapat dikatakan
sebagai suatu cara agar suatu wilayah destinasi memiliki identitas sendiri dan branding
untuk produk wisata yang berbeda dan bersaing dalam lingkungan pariwisata yang
semakin kompetitif (Sharpley and Telfer, 2002).
Indonesia merupakan surga geologi, dengan kekayaan keragaman geologi dan
bentang alam geomorfologi yang merupakan sumber ilmu pengetahuan mengenai
sejarah Bumi dan proses geologi yang penting untuk mendidik masyarakat umum
mengenai lingkungan geologi. Keragaman geologi dan bentang alam geomorfologi
juga dapat berfungsi sebagai alat dalam pembangunan berkelanjutan dan untuk
menggambarkan metode konservasi dengan menekankan bahwa batuan, mineral, fosil,
tanah, bentuk lahan dan bentang alam merupakan produk dan catatan dari evolusi
Bumi dan dengan demikian, merupakan bagian integral dari alam.
Indonesia telah menjadi tujuan wisata populer karena kekayaan budaya dan
lingkungan alamnya yang luar biasa. Sebagai hasil dari dinamika bumi, busur geologi
Indonesia telah memberikannya keindahan dan keragaman bentang alam, termasuk
berbagai jenis bentang alam (gunung, danau), batuan yang langka, unik dan khas, fosil
dan bentang alam karst dengan jaringan gua-guanya. Dengan demikian, atraksi
arkeologi, budaya dan alam memberikan dasar bagi pengembangan geowisata. Dalam
hal ini, Indonesia berpotensi besar untuk mengembangkan geowisata. Selain
sumberdaya geologi dan geomorfologi yang berlimpah, Indonesia masih baru dalam
pengembangan geowisata dan masih berusaha untuk menemukan cara terbaik dalam
pengembangan sumberdaya geowisatanya. Rachmawati dan Sunkar (2013) dalam
penelitiannya mengenai pengunjung gua di Jawa Barat Indonesia, menyimpulkan
bahwa orang mengunjungi gua bukan untuk melihat dan belajar melainkan untuk
berrekreasi, mengganti suasana dan bersosialisasi.
Pengembangan geowisata di Indonesia telah memasuki era baru dengan adanya
berbagai kebijakan pemerintah yang mendukung. Diberlakukannya UU No. 26/2007
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang menyatakan bahwa keragaman
geologi harus dipertimbangkan di dalam Perencanaan pembangunan Nasional, serta
Perda No. 26/2008 yang menekankan pentingnya pemberian status perlindungan pada
kawasan lindung nasional dimana formasi geologi merupakan salah satu elemennya.
Rencana Strategis 2012-2014 Direktorat Pengembangan Destinasi Pariwisata
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif juga telah menyatakan bahwa geowisata
akan menjadi salah satu tujuan utama destinasi Indonesia.
Page | 7
3.
3.1.
Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_volcanoes_in_Indonesia
Ditinjau dari sisi wisatawan sebagai subjek, geowisata gunung api, dapat
dibedakan atas dua kegiatan, yaitu yang bersifat pasif dan aktif. Kegiatan geowisata
gunung api pasif adalah wisata yang sebenarnya telah dikategorikan sebagai wisata
alam biasa. Pada kategori ini, wisatawan hanya menyaksikan panorama, bentang alam
atau sekedar mengamati aktivitas volkanisme. Wisatawan jenis ini biasanya wisatawan
umum yang datang ke suatu kawah gunung api kemudian melihat pemandangan dan
berfoto-foto. Kegiatan seperti ini bahkan bisa berjalan tanpa ada faktor pendukung
lainnya, seperti ketersediaan pemandu. Pada tahap yang paling minimal, dengan
pamflet pun wisata pasif ini dapat berjalan dengan sendirinya. Untuk jenis ini,
aksesibilitas, prasarana dan sarana penunjang merupakan kebutuhan yang umumnya
merupakan kewajiban dari pengelola wisata gunung api. Misalnya pembuatan jalan ke
kawah dengan moda transportasinya, tempat parkir yang tidak jauh dari kawah, serta
sarana penunjang pariwisata pada umumnya.
Berbeda dengan geowisata gunung api pasif, geowisata gunung api aktif
memerlukan berbagai program yang terrencana dengan baik, karena dalam kategori
ini, wisatawan bersifat aktif menjelajah dan berusaha untuk sebanyak mungkin
mendapatkan informasi tentang objek gunung api yang dikunjunginya. Dengan
demikian, jenis wisata gunung api aktif tidak hanya memerlukan sekedar pamflet,
tetapi juga buku panduan yang menjelaskan selain objek yang akan dilihat, juga
pengetahuan geologi dan vulkanologi dari objek tersebut, termasuk misalnya jenisjenis batuan, jenis-jenis aktivitas kawah, sejarah letusan, dan lain sebagainya.
Wisatawan ingin menjelajahi sudut-sudut dan seluk-beluk gunung api yang
mereka kunjungi. Untuk alasan itu, maka penting bagi mereka untuk dipandu oleh
pemandu bersertifikat atau interpreter yang memiliki pengetahuan tentang medan dan
jalur, dengan latar belakang pengetahuan geologi umum dan vulkanologi, serta
peristiwa alam. Wisatawan geologi aktif pada umumnya berusaha untuk menjajaki
semua kemungkinan tempat-tempat menarik di sekitar gunung api, bahkan jika
diperlukan, mereka harus dekat dengan kawah aktif. Terbukti, ada risiko yang perlu
dipertimbangkan. Oleh karena itu, prinsip keamanan harus menjadi prinsip penting
dalam kegiatan geowisata gunung api.
Budi Brahmantyo dan T. Bakhtiar (2009) dalam buku mereka berjudul Wisata
Bumi Cekungan Bandung mengenalkan istilah geotrek, yaitu trekking jalur-jalur
geowisata tertentu dengan interpretasi geologi. Geotrek dalam buku ini, digunakan
untuk menjelaskan aktivitas geowisata gunung api yang dikembangkan di Cekungan
bandung. Di antara kegiatan geotrek, salah satunya adalah volcanotrekking yaitu
geotrek menyusuri jejak-jejak geologis di gunung api.
Volcanotrekking pada gunungapi aktif sebenarnya penuh resiko. Pertama,
kawah-kawah gunung api umumnya berada pada ketinggian di atas 1000 m. Bagi
mereka yang mempunyai fisik yang peka terhadap ketinggian, ber-volcanotrekking
akan terasa cepat melelahkan. Kedua, medan gunung api umumnya berlereng terjal.
Beberapa bagian biasanya mempunyai permukaan yang ditutupi oleh pasir atau
kerikil lepas. Kemungkinan terpeleset adalah hal yang perlu diantisipasi pengelola.
Ketiga, berkaitan dengan lapangan yang dipenuhi kawah. Kawah gunung api
Page | 9
tahun 2005 yang lalu (Sutawijaya, 2005). Temuan ini dapat disamakan dengan
terkuburnya kota Pompei dan Herculanum akibat letusan Gunung Vesuvius 76 M di
Italia. Munculnya desa pengungsi di sekitar Danau Batur pada tahun 1926 dan 1963
juga karena banjir lahar dari letusan gunung berapi. Sedangkan beberapa cerita mistis
yang berhubungan dengan gunung berapi meliputi legenda Gunung
Tangkubanparahu di Bandung, yang bercerita tentang seorang pria bernama
Sangkuriang yang ingin menikahi ibunya sendiri. Di Jawa Timur, cerita terkait gunung
berapi sering dikaitkan dengan sejarah legendaris raja-raja Majapahit, sedangkan di
Flores, legenda dikaitkan dengan munculnya tiga danau kawah yang berbeda warna
di Gunung Kelimutu.
Gunung api Indonesia sangat terkenal di dunia, sebagaimana dikisahkan olek
kunjungan 17 siswa internasional dalam sebuah program pertukaran pelajar pada
tahun 2007 ke Kawah Putih, Patuha. Walaupun udara cukup dingin dan berkabut,
namun para siswa takjub dengan pemandangan yang dilihatnya. Elis Allas dari
Estonia yang negaranya tidak mempunyai gunung api berkomentar bahwa ia merasa
ada di dunia lain yang sangat berbeda. Bahkan peserta asal Jepang pun, yang di
negaranya banyak gunung api seperti Indonesia, justru baru pertama kali
mengunjungi kawah gunung api. Gunung api yang tidak dimiliki oleh negara-negara
Eropa, Amerika Utara, Timur Tengah, atau Cina, seharusnya gencar dipromosikan
sebagai destinasi wisata utama Indonesia.
Krakatau and Tambora
Alam seharusnya terkembang menjadi guru. Banyak bencana alam dahsyat
lainnya telah tercatat sebagai bagian dari sejarah kita dan dikenang umat manusia.
Suatu kegiatan geowisata akan menjadi sangat atraktif dan penuh pengalaman jika
dapat menelusuri peristiwa-peristiwa alam yang dahsyat itu. Hal itu juga untuk
menjadi pengingat bahwa peristiwa-peristiwa alam pasti akan berulang. Geowisata ke
Gunung Krakatau akan memberikan pengalaman tentang nilai sebuah sejarah bumi
yang terkenal ke seantero dunia.
Banyak pembelajaran dari alam yang kita dapatkan dari letusan Krakatau 1883.
Geowisata ke gugusan pulau-pulau di kawasan Gunung Krakatau tentu harus
menggunakan perahu. Perahu dapat disewa baik dari Carita, Banten, maupun dari
Lampung. Dalam kondisi cuaca yang baik, biasanya bukan pada saat gelombang besar
yang biasanya dimulai pada bulan Oktober hingga Maret, kunjungan-kunjungan
geowisata akan melihat atraksi paling spektakuler ketika Gunung Anak Krakatau
erupsi dengan letusan-letusan yang memuncratkan lava merah pijar. Cipratan lava
yang tampak seperti kembang api dalam jarak tertentu dari pulau Anak Krakatau
masih cukup aman. Pengalaman tersebut akan memberikan nuansa wisata dengan
nilai tambah yang tinggi.
Gunung Krakatau, setelah letusan dahsyatnya pada Senin, 27 Agustus 1883 itu,
memunculkan gunung api baru, yaitu Anak Krakatau. Dimulai dari eksplosi gas pada
tahun 1927 dan semakin meninggi sejak Januari 1930. Saat ini Anak Krakatau telah
mencapai ketinggian sekitar 400 m dari muka laut. Pulau-pulau yang mengelilinginya
Page | 11
Perlindungan Gua dan Karst", karst dalam makna sempit adalah setiap kawasan yang
terbentuk oleh proses pelarutan, dan dalam makna luas berarti suatu kesatuan dinamis
dari sistem bentuk muka bumi, kehidupan, energi, air, gas, tanah, dan batuan dasar.
Bentang alam karst dengan berbagai kandungannya tersebar luas di Indonesia
(Gambar 4), dan mempunyai ciri-ciri bentuk muka bumi yang khas. Di Pulau Jawa,
kawasan ini tersebar baik di Jawa Barat, Tengah maupun Timur. Kondisi kawasan karst
di Pulau Jawa menunjukkan lingkungannya yang sangat rawan terhadap kegiatan di
sekitarnya, terutama oleh incaran para pengusaha untuk menggali dan menambang
batu gampingnya. Industri penggalian di kawasan karst cenderung berkembang tidak
terkendali, baik untuk kapur tohor, batu alam, batu lantai dan dinding, maupun untuk
berbagai keperluan industri lainnya, khususnya industri semen yang dipastikan
berbahan baku utama batu gamping.
ekskavasi arkeologi pada tahun 2003. Gua yang tadinya tidak terlalu menarik untuk
dikunjungi karena terletak pada kawasan galian batu kapur mulai menjadi atraksi
geowisata setelah diberi interpretasi tentang lingkungan prasejarah di sekitarnya.
Intepretasi bahkan dapat jauh ke masa purba hingga 30 juta tahun yang lalu saat
wilayah itu masih berupa laut dangkal yang ditumbuhi taman-taman terumbu karang.
Dalam pengembangan Gua Pawon sebagai kawasan lindung geologis yang
kemudian berpotensi sebagai daerah tujuan geowisata, maka perlu dirancang suatu
jalur wisata yang terancang dengan baik. Karena geowisata merupakan wisata minat
khusus bagian dari ekowisata dan wisata berkelanjutan, maka perlu diberlakukan
kriteria-kriteria khusus, yaitu:
1. Pengembangan jalur-jalur dan lokasi wisata di sekitar Gua Pawon tidak boleh
banyak mengubah keaslian alam. Pengembangan jalur-jalur wisata dengan cara
penyemenan, pembuatan pagar besi, penunjuk arah, dsb. harus dilakukan
seminimal mungkin sehingga tidak mengganggu keaslian alamiah lokasi yang
dikunjungai.
2. Memperhatikan daya dukung lokasi wisata (misalnya di Taman Batu di Puncak
Pawon dan di dalam Gua Pawon), jumlah sekali kunjungan harus dibatasi. Dari
beberapa pengalaman kunjungan ke Pawon, sekali kunjungan yang paling baik
adalah maksimal antara 20 - 25 orang saja!
3. Perlu diperkenalkan kepada calon wisatawan akan keterbatasan-keterbatasan
alam yang akan tetap dipertahankan: di Puncak Pawon akan terasa terik di
tengah hari, atau jalan setapak becek berlumpur di musim hujan. Ketika
menuruni lereng Bukit Pawon ke arah Gua Pawon, jalan akan licin, berbatu dan
berbahaya, sekali pun dibantu tali. Di dalam gua akan tercium bau menyengat
kotoran kelelawar, jalan yang licin dan kotor berlumpur, harus memanjat
dinding-dinding batu, dsb.
4. Perlu ketegasan pengelola agar kawasan wisata tidak berkembang menjadi
kawasan yang tidak terkendali: tempat parkir dan warung-warung makanan
dan suvenir harus didisain dan ditentukan tempatnya, harus disediakan toilet
yang bersih dan berair, tempat beribadaha (musholla).
5. Keberadaan kampung bukan menjadi halangan tetapi dapat ditingkatkan
potensinya menjadi kampung wisata, dengan menyediakan makanan yang
bersih, tempat menginap yang sederhana tetapi bersih, dsb.
6. Dalam jangka panjang, perlu pelatihan kepada masyarakat setempat untuk
terlibat langsung dalam pengelolaan wisata yang berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan,misalnya menjadi pengelola fasilitas-fasilitas pariwisata, atau
menjadi pemandu wisata (geowisata, ekowisata, agrowisata, wisata budaya,
dsb.)
3.3.
Barat, Dano di Banten, tiga danau Bedugul dan Batur di Bali, Segara Anakan di Rinjani,
Lombok, atau Tondano di Sulawesi Utara. Banyak danau terbentuk akibat proses
tektonik. Contohnya adalah Singkarak di Sumatera Barat, Lindu dan Poso di Sulawesi
Tengah, atau Matano di Sulawesi Selatan, ternasuk juga Toba yang terbentuk akibat
kombinasi dengan letusan dahsyat gunung api purba. Selain itu banyak danau akibat
kontrol geomorfologi karst seperti Paniai dan Waghete di Papua, atau danau-danau di
Lengguru, Papua Barat. Danau prioritas nasional di Indonesia ditunjukkan pada
Gambar 5 di bawah ini.
Danau Toba
Danau Sentarum
Danau Tempe
Danau Tondano
Dana uLimboto
Danau Sentani
Danau Maninjau
Danau Singkarak
Danau Matano
Danau Kerinci
Danau Poso
Danau Rawapening
Danau Batur
Sumatera, dan juga searah dengan Sesar Besar Sumatera dan Pegunungan Bukit
Barisan. Proses itu juga menyebabkan terungkitnya sebagian dari amblesan,
terangkat naik dengan posisi miring ke arah barat daya, membentuk Pulau Samosir.
Letusan-letusan besar paroksismal menyemburkan abu-abunya hingga ke
lapisan-lapisan stratosfer dan disebarkan ke seluruh permukaan Bumi. Endapan tebal
tentu saja jatuh di sekitar pusat letusan di sekitar Danau Toba, menghasilkan tuf Toba,
batuan berwarna putih dengan butiran-butiran gelas volkanik, fragmen kuarsa, dan
matriks gelas berukuran lempung. Kejadian itu tidak berlangsung dalam satu kali saja.
Hasil penelitian stratigrafi lapisan tuf Toba dan pengukuran umur absolutnya,
menunjukkan adanya lapisan-lapisan tuf hasil letusan sekitar 74.000, 450.000, 840.000,
dan 1,2 juta tahun yang lalu, menghasilkan perulangan 375.000 tahun dengan deviasi
standar 15.000 tahun (Chesner et al. 1991 dan Dehn et al. 1991, dalam Rampino & Self,
1993).
Rampino dan Self (1993) menduga bahwa letusan supervolcano Toba telah
menghasilkan letusan abu gunung api sebesar 2.800 km3 setinggi 40 km ke angkasa
yang kemudian dapat menyebabkan pendinginan permukaan Bumi secara tiba-tiba.
Rampino dan peneliti lainnya menyebut gejala pendinginan global itu sebagai volcanic
winter. Suhu Bumi rata-rata turun 3 5oC. Besar kemungkinan letusan 74.000 tahun
yang lalu mempengaruhi penghuni Bumi dan manusia saat itu. Secara global diketahui
adanya gejala populasi bottle neck berkaitan dengan menurunnya populasi manusia
secara drastisnya bertepatan dengan waktu 74.000 tahun yang lalu. Di Nusantara,
dengan bukti-bukti fosil yang ditemukan di Pulau Jawa, Homo erectus, dan jenis
manusia yang lebih modern seperti Manusia Wajak, besar kemungkinan merasakan
pengaruh besar letusan dahsyat Toba. Memang, belum ada bukti kuat fenomena Toba
menyebabkan kepunahan spesies manusia, tetapi pengaruh perubahan iklim dipastikan
mengubah pola kehidupan mereka.
Geowisata Toba selain menikmati keindahan alam danau yang memang luar
biasa, juga akan merunut sebaran tuf Toba (Brahmantyo, 2009). Tuf teramati dengan
baik misalnya ketika kita memasuki suatu kawasan eksklusif di tepi Danau Toba di
Merek yang bernama Taman Simalem Resort. Tempat tersebut berdisain mewah dan
apik, dengan suatu plaza persis menghadap ke arah indahnya Danau Toba bagian barat
laut. Tempat yang tadinya berstatus hutan lindung itu telah disulap menjadi kawasan
wisata mahal, termasuk pembangunan sebuah vihara besar, dan diapit oleh lereng
curam yang mendominasi tufa Toba. Sifatnya longgar dan berpasir, sehingga rentan
terhadap erosi dan longsor. Gejala erosi dan longsoran telah muncul. Beberapa batu
dinding penahan dan gabion telah dibangun untuk menahan lereng agar stabil.
Lain lagi singkapan tuf Toba pada jalan ke arah Sidikalang, melalui Sumbul.
Sumbul terletak persis pada garis morfologi memanjang barat laut tenggara sebagai
ekspresi Sesar Besar Sumatera. Garis ini ditempati oleh aliran Lau Renun yang menoreh
tajam lembah sungainya. Di lereng Lau Renun yang terjal, tuf Toba yang keras digali
sebagai batu bahan fondasi. Sementara itu pada arah yang jauh berseberangan di
Doloksanggul Onanganjang, sebagian besar batuan tuf telah mengalami alterasi.
Page | 17
Tanah berwarna kuning, jingga, dan merah menghiasi pinggir-pinggir jalan akibat
pengaruh larutan sisa magma pada proses lanjut.
Di Pulau Samosir, tuf Toba yang keras menjadi artefak-artefak peninggalan
kerajaan-kerajaan kuno Batak berupa kursi-kursi dan meja altar tempat penyiksaan
musuh yang tertawan. Batu-batu kursi tersebut sangat terkenal sebagai objek wisata di
Siallagan, Kecamatan Simanindo. Batu tuf keras juga menjadi sarkofagus, tempat
menyimpan mayat raja-raja Sidabutar di Tomok, atau patung-patung berhala. Tuf Toba
yang saat diletuskan menghancurkan ekosistem sekitarnya, jauh setelah itu ternyata
ikut berperan di dalam perkembangan kebudayaan kerajaan-kerajaan Batak tua di
sekitar Danau Toba dan Samosir.
Tingkat kekerasan tinggi batuan tuf Toba tidak hanya dijumpai di lereng Lau
Renun, Sidikalang, Kabupaten Dairi, atau di Pulau Samosir, tetapi juga tercermin dari
air terjun sangat tinggi dan vertikal yaitu air terjun Sipisopiso di Merek. Apalagi di
sepanjang lereng-lereng sangat terjal di ngarai Sei Asahan di Siguragura. Aliran Sei
Asahan mengarah ke timur laut untuk kemudian berubah menjadi sungai besar di
Perhitian, Halado, setelah seluruh airnya keluar dari terowongan PLTA Tangga.
Akhirnya sungai ini mengalir bermeander di dataran pantai timur Sumatera Utara,
untuk kemudian bermuara sebagai sungai distributary yang berliku-liku pada
lingkungan delta di Teluk Nibung, Tanjungbalai.
Danau Poso
Danau Poso di Sulawesi Tengah sebenarnya tidak terlalu menarik dari sisi wisata
alam biasa. Namun dari sisi geowisata, danau ini merupakan salah satu danau yang
dikendalikan oleh akibat sistem sesar Palu-Koro yang membelah Sulawesi Tengah
hingga ke selatan di utara Teluk Bone. Selain itu, tidak jauh dari Poso terdapat lembah
Bada yang diduga adalah sisa-sisa danau purba yang meninggalkan artefak patungpatung megalitik berciri Polinesia.
Jika kita ke Poso, dari Poso pasti kita akan melalui pertigaan Tentena. Tentena,
kota yang berada di tepi Danau Poso, adalah kota kecamatan di Kabupaten Poso yang
selama masa konflik SARA pada pertengahan 1990-an hingga awal 2000-an terimbas
juga sekalipun tidak segawat Poso kota. Di pertigaan itu terdapat tugu dengan prasasti
marmer dan dalam bahasa Belanda terukir demikian:
Herrinnering aan
Reinder Fennema
hoofdingenieur by het mynwezen
verdronken in het posso Meer
27 November 1897.
Kalimat itu dapat diartikan: peringatan kepada Reinder Fennema insinyur kepala
untuk pertambangan, tenggelam di Danau Poso 27 November 1897. Tidak ada satupun
warga yang mengetahui maksud dibangunnya tugu peringatan itu. Jangankan dalam
Bahasa Belanda, sekalipun ditulis dengan Bahasa Indonesia, mungkin sekali mereka
Page | 18
pun tidak tahu satu peristiwa bersejarah di dekat kediamannya. Bagi mereka, Fennema
mungkin hanyalah seorang Belanda biasa.
Padahal di balik itu terdapat kisah yang luar biasa dan mengenaskan yang
seharusnya menjadi sejarah bagi warga Tentena dan Indonesia umumnya. Fennema
bersama J.F. de Corte dan empat orang pembantu dari Minahasa pada sore 27
November 1897 bertolak dengan perahu dari pantai barat untuk menuju Peura di
pantai timur. Cuaca yang tadinya tenang tiba-tiba berubah. Angin kencang bertiup dan
gelombang besar datang menggulingkan perahu. Semua selamat dengan berpegangan
pada badan perahu yang terbalik. Pada sekitar pukul 8 malam, di antara cuaca yang
hitam pekat dan angin menderu-deru, de Corte mendengar teriakan lemah dari arah
Fennema. Namun sebelum semua sempat menyadari, mereka telah mendapati
Fennema hilang tidak berpegangan lagi pada perahu. Mereka hanya pasrah, mengingat
tenaga mereka yang sama-sama lemah yang hanya sanggup untuk berpegangan di
badan perahu selama lebih dari lima jam dalam suhu air yang sangat dingin.
Dua jam kemudian, cuaca membaik. Susah payah mereka membalikkan
perahunya. Dengan sisa-sia tenaga, satu per satu naik ke perahu. Saat matahari subuh
menyingsing, barulah mereka tahu bahwa pantai barat ternyata tidak begitu jauh.
Masyarakat segera menolong dan kembali mencoba mencari Fennema. Namun sia-sia.
Tubuh Fennema hilang ditelan kedalaman Danau Poso, bersama segala peralatan
eksplorasi geologi dan contoh-contoh batuan yang dikumpulkannya. Sampai kini
mayatnya tidak pernah ditemukan. Sungguh tragis. Tetapi di balik peristiwa
mengenaskan itu, penjelajahan eksplorasi geologi memang selalu menantang. Medanmedan yang berat dan jauh justru menantang untuk dijelajahi.
Zaman sekarang kesadaran akan keselamatan sudah cukup tinggi. Prosedur
keselamatan dan asesoris pendukungnya disiapkan. Tentu saja pada beberapa kasus,
sekalipun antisipasi terhadap kecelakan sudah maksimal, kadang-kadang peristiwa
alam yang berubah tidak terduga, bisa membawa kecelakaan fatal. Apalagi kalau kita
sembrono dan tanpa persiapan. Sebagai catatan, dalam geowisata, peristiwa yang
berlatar belakang geologi seperti itu adalah satu daya tarik yang luar biasa.
3.4.
metamorf sekis mika di tepi Kali Brengkok. Di sini, wisatawan dapat bersentuhan
langsung dengan batu seismika yang berkilau keperakan saat terkena sinar matahari
yang merupakan singkapan batuan tertua dan merupakan batuan dasar pembentuk
Pulau Jawa. Pengukuran dengan radioaktif menunjukkan batuan ini berumur 121 juta
tahun, dari zaman kapur (Finesso, 2012).
Karangsambung memiliki tiga jenis batuan dasar, yaitu batuan beku, sedimen
dan metamorf. Batuan dasar Pulau Jawa ini memiliki nilai ilmiah tinggi karena
membuktikan proses evolusi lempeng dan kerak bumi telah ada di daerah
Karangsambung. Proses subduksi selama ratusan juta tahun menyebabkan batubatuan purba itu tersingkap ke permukaan dan merupakan rekaman peristiwa
pembentukan muka Bumi. Di sini tersingkap aneka batuan dari berbagai umur dan
proses kejadiannya.
Fenomena geologi lain yang tersingkap di kawasan yang secara geografis
membentang di Kebumen, Banjarnegara, dan Wonosobo adalah situs batu rijang dan
lava basal berbentuk bantal di Kali Muncar. Batuan sedimen dibentuk di dasar laut
purba sekitar 80 juta tahun yang lalu yang membuktikan bahwa dulunya
Karangsambung merupakan dasar laut yang terangkat oleh proses geologi (Finesso,
2012).
Jalur geologi Karangsambung dapat digunakan untuk mempelajari
pengetahuan-pengetahuan darasar tentang proses bumi dan fenomena kejadian alam di
obyek geowisata lainnya di Kebumen. Banyak federasi profesional geologi, pelajar dan
mahasiswa baik nasional dan internasional yang memanfaatkan Karangsambung
sebagai arena bermain mereka. Berbagai peneliti bahkan mengatakan bahwa
Karangsambung merupakan "kotak hitamnya Pulau Jawa". Ada juga yang mengatakan
sebagai " Taman Nasional Yellowstone-nya Indonesia", serta merupakan "Buku Teks
Geologi". Karangsambung memang sangat penting untuk pengembangan geowisata
khususnya di Kebumen, karena semua obyek wisata di kabupaten ini bergantung pada
alam sebagai daya tarik utamanya. Kekayaan geologi yang dimilikinya tidak dapat
ditemukan di tempat lain di Indonesia.
Pembentukan berbagai macam mineral di alam akan menghasilkan berbagai
jenis batuan tertentu. Terletak di 'Ring of Fire', pulau-pulau Indonesia merupakan
sumber berbagai mineral berharga dan mineral berharga (Gambar 6). Wisatawan ke
Karangsambung dapat menikmati batu permata dan batu berburu, pengolahan batu
permata dan suiseki. Suiseki kecil untuk batu berukuran sedang yang alami cuaca
dalam estetika bentuk. Batu-batu ini adalah obyek keindahan besar. Peta pada Gambar
5 menunjukkan bahwa jenis batu permata tertentu hanya dapat ditemukan di lokasi
tertentu, yang menegaskan bahwa Indonesia sangat kaya akan keragaman batu
mulianya.
Page | 20
Sumber: http://asagemstone.blogspot.com/2012/09/peta-batu-mulia-di-indonesia.html
4.
Sumber: diadopsi dari Gray (2004) oleh Gatuszka dan Migaszewski (2009)
Page | 22
Page | 23
4.1.
Sumber: www.indonesia.travel
Geopark Batur berpusat pada sebuah gunung api aktif yang terletak di bagian
timur laut dari Provinsi Bali, khususnya di Kabupaten Bangli dan Kecamatan
Kintamani. Geopark ini terletak di antara dua kaldera bulat, yaitu kawah vulkanik
besar yang terbentuk sekitar 22.000 tahun yang lalu. Gunung Batur merupakan bagian
dari rangkaian Ring of Fire Pasifik dan merupakan bagian dari rantai panjang gunung
api aktif serupa di Indonesia. Daerah ini kaya akan unsur makro dan mikro vulkanik
yang dihasilkan selama ribuan tahun. Gunung Batur termasuk tipe gunung api strato
yang terbetuk dari campuran lapisan piroklastik dan aliran lava. Dua letusan dahsyat
dalam sejarah geologi telah menghasilkan dinding kaldera yang menakjubkan, di
bagian dalamnya saat ini diisi oleh sebuah danau vulkanik yaitu Danau Batur. Gunung
api Batur telah meletus sedikitnya 22 kali sejak 1800. Pulau Bali adalah pulau dengan
banyak tempat wisata alam dan budaya, namun Gunung Batur terkenal karena
keunikan geologi dan pemandangannya. Menurut van Bemmelen (1949), Kaldera Batur
merupakan salah satu pemandangan terindah di dunia. Dari sisi budaya, Geopark
Batur menampilkan adat istiadat setempat yang sangat spesifik yang berhubungan
dengan agama Hindu Bali (Ministry of Culture and Tourism, 2011a).
4.4.1. Signifikansi nilai geologi kawasan
Batur adalah gunung api dengan kaldera berganda, atau kaldera dalam kaldera
yang dipengaruhi oleh dinamika magma. Bagian luar kaldera (Kaldera-I) berbentuk
elips dengan dimensi 13,8x10 km sedangkan kaldera dalam (Kaldera-II) melingkar
dengan diameter 7,5 km (Sutawidjaja, 2012). Dibandingkan dengan sistem kaldera
gunung api lainnya di Indonesia yang dipengaruhi oleh reruntuhan kaldera atau
kombinasi dari sistem tektonik dan reruntuhan kaldera, Kaldera Batur adalah murni
hasil penghancuran letusan gunung api purba yang menghasilkan endapan Ignimbrit
dalam volume yang sangat besar.
Menurut Sutawidjaja (2012), geologi Kaldera Batur tidak dapat dipisahkan dari
sejarah geologi Pulau Bali. Sebagian dari Bali ditutupi oleh endapan Ignimbrit yang
berasal dari erupsi 29.300 dan 20.150 tahun yang lalu, yang memberikan kekayaan dan
keragaman warisan geologi. Batuan tertua yang ditemukan di Pulau Bali berumur
20.000.000-60.000.000 tahun yang lalu (Miosen). Berbagai proses geologi selanjutnya
menghasilkan berbagai jenis batuan di laut, dan kemudian terangkat ke daratan.
Geopark Batur menyajikan berbagai fenomena alam yang luar biasa, seperti Caldera-I
Page | 24
dan II-, Gunung Batur, produk letusan gunung api, danau, serta tempat untuk
menonton erupsi stromboli yang menarik. Letusan Stromboli memuntahkan material
pijar setinggi 200-400 m dan dalam radius lebih dari 500 m, menyajikan objek wisata
"kembang api" yang menawan dan langka di malam hari.
Geopark ini memiliki satu kawasan lindung yaitu Taman Wisata Alam
Penelokan. Selain itu, kaldera dan daerah sekitarnya kini ditetapkan sebagai area
Cadangan Geologi melalui Keputusan Kepala Badan Geologi, Kementerian Energi dan
Sumberdaya Mineral, No 37.K/73/NGL/2012.
4.4.1. Kearifan lokal dan sistem kehidupan
Pandangan dan filsafat hidup masyarakat Bali (Tri Hita Karana) secara harfiah
diterjemahkan sebagai Tiga Prinsip Kesejahteraan, yang menyatukan spirit, manusia
dan alam. Kaldera Batur diyakini masyarakat memiliki empat komponen utama bumi:
bumi, air, api, dan udara. Alam memberikan berkah tetapi bisa juga berubah menjadi
bencana. Terdapat 27 candi di sekitar kaldera. Pura yang dibangun di lereng gunung
digunakan sebagai tempat persembahan kepada para dewa. Bahan bangunan Pura
terbuat dari lava andesit basaltik yang dihasilkan dari letusan Gunung Batur
(Sutawidjaja, 2012). Masyarakat memanfaatkan tanah vulkanik yang subur untuk
ditanami anggrek dan tanaman hortikultura seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, kentang,
kacang tanah, cabe, tomat dan kacang kedelai. Upaya ini mendukung pengadaan
produksi pangan secara subsisten dan produksi untuk dijual.
Danau Batur memiliki peran penting dalam kehidupan perdesaan di kaldera.
Masyarakat mengambil air dari danau, atau menggunakan danau untuk hampir semua
kegiatan yang memerlukan air. Ikan dari danau merupakan sumber utama protein.
Danau Batur adalah sumber air irigasi untuk ribuan hektar sawah di Bali yang dikelola
menggunakan sistem Subak, yaitu sistem irigasi komunal yang telah berkembang
selama berabad-abad dan unik bagi budaya dan agama di Bali. Subak telah ada sejak
2012 dan telah diakui sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO.
Terletak di tengah-tengah Danau Batur, adalah desa kuno Trunyan, di mana
penduduk desa menempatkan jasad orang yang meninggal langsung di bawah pohon
Taru Menyan, semacam pohon benzoat, yang memancarkan aroma yang kuat, dan
endemik di desa ini, yang tentunya menambah nilai eko-geowisata Geopark Batur.
4.4.1. Pendidikan geologi
Wisatawan yang berkunjung ke Geopark Batur tidak hanya menikmati
pemandangan nan indah tapi bisa belajar banyak hal yang berhubungan dengan
geologi secara umum termasuk pembentukan gunung api, jenis letusan, bentuk gunung
api, berbagai gunung berapi di Indonesia, dan khususnya sejarah geologi dan
pembentukan Gunung Batur dan Danau Batur. Museum Gunung Batur yang terletak di
Penelokan, Kintamani adalah salah satu media interpretasi dan merupakan salah satu
atraksi utama. Wisatawan dengan mudah memahami informasi yang sampaikan
melalui interaksi langsung dengan kawasan. Selanjutnya, geopark ini memberikan
pembelajaran mengenai hubungan harmonis antara manusia dan lingkungannya.
Page | 25
Kawasan karst adalah salah satu pemandangan alam yang luar biasa di Bumi ini
dan merupakan aspek penting dari keanekaragaman hayati dan keragaman geologi
Bumi. Gua, yang merupakan fitur penting dari bentang alam karst adalah laboratorium
alam yang digunakan oleh para ilmuwan untuk mempelajari peristiwa geologi masa
lalu termasuk iklim masa lalu, penyebaran fauna bahkan permukiman manusia purba
karena kemampuan speleothemnya (gua ornamen) dalam merekam peristiwa geologis.
Pulau Jawa memiliki sejarah panjang kependudukan sejak awal Pleistosen (Tu, 2012).
Karst Pacitan menjadi bagian integral dari sistem Karst Gunung Sewu yang
terkenal dan telah diakui sebagai salah satu tipe karst yang spesifik di dunia untuk
karst tropika (Uhlig, 1980) membuatnya menjadi prototipe morfologi setengah-kubah
(atau sinoid) karst di Asia Tenggara (Lehmann, 1981). Fenomena geologi dan bentukan
karstnya mengungkapkan sejarah dan perkembangan cekungan sedimentasi karbonat,
setidaknya sejak awal Neogen atau 23 juta tahun yang lalu. Sementara itu, fenomena
ekso-dan endokarst mengawetkan proses karstifikasi yang dimulai pada awal periode
Kuarter, atau 1,8 juta tahun yang lalu (Ministry of Tourism and Culture, 2011b).
Kompleks batuan kapurnya terdiri dari ribuan bukit semi-bulat (Gunung Sewu),
diperkirakan oleh Kusumayudha (2000) mengandung sekitar 45,000-50,000 bukit dalam
area seluas 1300 km2. Bukit-bukitnya cukup konsisten dalam ukuran, dengan nilai
tengah diameter 200 m dan tinggi 50 m (Lehmann, 1981; MacDonald & Partners, 1984).
4.2.1. Signifikansi nilai geologi kawasan
Dikenal sebagai kota 1001 gua, Pacitan memiliki ruang gua horizontal terpanjang
di Jawa yaitu Luweng Jaran, dan gua tunggal vertikal terdalam (shaft) di Jawa, Luweng
Ombo. Sistem perguaan baik horizontal dan vertical menyebar merata di daerah ini.
Penghitungan awal terhadap umur speleotem di wilayah ini memberi
kemungkinan bahwa Pacitan merupakan pemukiman gua tertua di Asia Tenggara (Tu,
2012). Temuan batu artefak berumur Paleolitik sampai Neolitik di Gua Terus
mencirikan budaya Pacitan. Penggalian yang lebih intensif menghasilkan temuan
budaya dari zaman Pleistosen Tengah ke Holosen (Tu, 2012). Ditemukannya stalagmit
berbentuk jamur di lantai gua (Fauzi, 2008; Semah et al 2004;. Ansyori, 2010 dalam Tu,
2012) mencerminkan kondisi yang selalu basah. Analisis paleontologi dari binatang
yang ditemukan dalam lapisan ini mengungkapkan kemiripan yang dekat dengan
fauna Punung (Ansyori, 2010 di Tu, 2012) yang merupakan asosiasi fauna penting
dalam memahami distribusi dan evolusi mamalia (Storm & de Vos, 2006).
Page | 26
4.3.
Sumber: www.savethetao.org
Toba juga merupakan kaldera terbesar di dunia (Yokohama & Hehanusa 1981)
yang dihasilkan dari salah satu letusan gunung api terbesar di dunia, meletus sekitar
74.000 tahun yang lalu. Kaldera berdinding curam ini merupakan lokasi Danau Toba,
danau vulkanik terbesar di Planet Bumi. Dilihat dari luar angkasa, kaldera ini adalah
salah satu kawah gunung berapi yang paling mencolok di Bumi, berukuran 100x30 km.
Menyemburkan magma sejauh 2.800 km3 sekitar 74.000 tahun yang lalu, letusannya
merupakan yang terbesar pada periode geologi Kuarter dengan magnituda letusan 8,8.
Sebagian besar wilayah Sumatera Utara tenggelam dalam Ignimbrit yang memanjang
dari pantai ke pantai, deposit abu yang cukup luas menyelimuti sebagian besar wilayah
Asia Tenggara termasuk seluruh sub-benua India, dan awan aerosol dan awan debu
mungkin menyelimuti Bumi juga pada saat itu. Efek dari letusan dahsyat termasuk
musnahnya flora dan fauna di Sumatera Utara, dan mungkin penyebab perubahan
suhu regional dan global dan dampak lingkungan lain yang terkait (Chesner, 2011).
Danau Toba dengan panjang 87 km dari barat daya ke tenggara dan lebar 27 km,
terletak di ketinggian 904 meter di atas permukaan laut dan kedalaman maksimum 505
meter, telah menjadi salah satu aset wisata penting bagi Indonesia. Keindahan alam
Danau Toba telah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Airnya yang biru, penduduknya
ramah dan budaya Batak yang sangat menawan, menarik wisatawan dari seluruh
dunia dengan tujuan menikmati pemandangan danau. Di tengah danau terdapat
sebuah pulau indah yang dikenal sebagai Pulau Samosir.
4.3.1 Signifikansi nilai geologi kawasan
Gunung Toba telah meletus tiga kali. Letusan pertama diperkirakan sekitar 800
ribu tahun yang lalu, kedua 500 ribu tahun yang lalu dan yang ketiga sekitar 74.000
tahun yang lalu. Posisi geografis Gunung Toba berada pada titik pertemuan antara tiga
lempeng tektonik, Eurasia, Indo-Australia dan Lempeng Pasifik. Setiap tahun,
lempeng-lempeng ini bergeser atau menghancurkan lempeng lain pada jarak tertentu.
Dari pergeseran itu, terbentuk pegunungan termasuk Gunung api Toba. Jika terjadi
tumbukan, lempeng samudra yang mengandung lapisan sedimen menyusup di bawah
lempeng benua. Proses ini disebut sebagai subduksi. Dengan posisi seperti itu, Danau
Toba merupakan salah satu pusat studi geologi dunia. Hutan hujan tropisnya
merupakan rumah berbagai flora fauna langka seperti Edelweis (Anaphalis javanica),
kantong semar (Nephenthes spp.) dan harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae).
Page | 28
4.4.
Sumber: http://www.scribd.com/doc/97386651/Buku-Saku-Edisi-2
Fosil adalah sisa-sisa geologi atau jejak organisme yang pernah hidup, baik
tanaman ataupun hewan. Fosil menunjukkan bahwa Planet Bumi memiliki sejarah
kehidupan. Fosil tumbuhan Comiates sp menyebar di berbagai tempat di sekitar Sungai
Merangin dan Sungai Mengkarang (http://www.scribd.com/doc/97386651/BukuSaku-Edisi-2). Dikenal sebagai Flora Jambi, fosil ini adalah sejenis pandan purba yang
tumbuh pada periode 290-299 juta tahun yang lalu (Zaman Perem Awal). Flora Jambi
diidentifikasi sebagai flora fosil tertua dari Asia Tenggara dan merupakan fauna
penghubung antara provinsi flora Cathaysian dan Euramerican, yang merupakan inti
titik penyebaran flora (botanical nucleus) ke berbagai arah. Keragaman geologi ini
merupakan warisan geologi dunia yang tak ternilai harganya.
4.4.1. Signifikansi nilai geologi kawasan
Kekayaan Geopark Merangin Jambi berada di peringkat yang lebih tinggi dari
geopark fosil lainnya di dunia, seperti di Cina dan Amerika Serikat. Keragaman geologi
di Sungai Merangin dan Mengkarang menunjukkan bahwa Pulau Sumatera terbetuk
sekitar 250-290 juta tahun yang lalu. Berdasarkan rekonstruksi lempeng tektonik,
Sumatera terpecah dalam tabrakan antara benua Eurasia dan India, sehingga terseret
dan pindah dari Cathaysia melalui celah-celah besar di sistem Asia Tenggara dan Asia
Timur. Lempeng tersebut kemudian mengunci Pulau Sumatera dan menghasilkan
keragaman geologi dengan nilai warisan geologi yang tinggi.
Geopark Merangin Jambi terutama terpusat pada Formasi Mengkarang. Formasi
ini tersingkap sepanjang Sungai Mengkarang, Merangin, sebagian Sungai Mesumai dan
Sungai Tabir yang terletak sekitar 20 km sebelah barat dari Kota Bangko. Formasi
Mengkarang adalah satuan batuan pembawa fosil flora dan fauna Jambi (Molusca;
seperti siput dan kerang). Situs ini merupakan situs geologi yang mengandung fosil
tumbuhan
tertua
di
Indonesia,
bahkan
di
Asia
Tenggara
(http://www.scribd.com/doc/97386651/Buku-Saku-Edisi-2).
Untungnya, situs ini terletak di dalam kawasan konservasi Taman Nasional
Kerinci Seblat, sehingga setidaknya beberapa bentuk perlindungan sudah ada. Upaya
konservasi lainnya meliputi perencanaan tata ruang kawasan yang sudah disepakati
oleh seluruh pemangku kepentingan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9
dibawah:
Page | 30
4.5.
5.
Aktivitas lain yang dapat mengancam keberadaan lingkungan dan obyek suatu
situs geologi adalah rekreasi dan pariwisata. Di sisi lain, pariwisata seharusnya dapat
membawa publik untuk bias melakukan kontak langsung dengan alam dengan
harapan publik akan lebih menghargai, mendukung, mengurangi ancaman dan
melestarikan sumberdaya. Pengambilan spesimen geologi di daerah kaya fosil dan batu
permata oleh kolektor dan bahkan wisatawan merupakan isu lain untuk keberlanjutan
keragaman geologi di Indonesia. Pengembalian mineral atau fosil yang berlebihan akan
menghancurkan keberadaan sustu situs geologi. Kontrol yang ketat oleh manajer dan
pemerintah daerah serta nasional diperlukan.
Penambangan pasir, yang sampai tingkat tertentu diperlukan untuk mengurangi
sedimentasi, juga merupakan ancaman terhadap keberadaan situs yang kaya dengan
batu mulia. Penggunaan alat penghisap pasir, pada saat yang bersamaan bisa menyedot
batu permata juga. Ancaman penggunaan lahan lainnya yang berkaitan dengan koleksi
batu permata adalah bahwa batu permata mungkin terdapat menyebar di lahan pribadi
bukan hanya di kawasan yang dilindungi atau milik pemerintah saja. Tingginya
permintaan dan harga batu permata meningkatkan intensitas koleksi batu-batu mulia.
Manusia sering dilupakan sebagai bagian dari ekosistem. Konsep Eko-geowisata
menunjukkan bahwa manusia tak dapat disangkal sebagai bagian penting dari
lingkungan geologi dan merupakan kekuatan besar dalam pencapaian pengelolaan
pariwisata berkelanjutan. Oleh karena itu, bukan hanya tanggung jawab masyarakat
setempat untuk melindungi lingkungan mereka yang menakjubkan, karena keragaman
geologi adalah warisan geologi nasional kita. Semua komponen masyarakat diperlukan
dalam perlindungan situs geologi, terutama karena sumberdaya geologi adalah
sumberdaya tak terbarukan yang membutuhkan konservasi tingkat tinggi.
Eko-geowisata harus mampu memberikan kontribusi untuk pembangunan
berkelanjutan dari lokasi tempat situs geologi berada. Dalam hal ini, perencanaan dan
pengembangan pariwisata tentu harus mengintegrasikan berbagai tingkat kepentingan
yaitu warga setempat atau populasi penerima manfaat, wisatawan, tur operator dan
lingkungan alam. Merupakan suatu tantangan untuk meningkatkan peran dan
mengkoordinasikan berbagai pihak. Peningkatan mata pencaharian masyarakat lokal
juga harus dilakukan melalui keterlibatan masyarakat lokal dalam memproduksi
produk-produk kreatif lokal dan layanan yang terkait dengan geowisata.
Geowisata berlandasan unsure-unsur alam, sehingga lingkungan alam penting
untuk dilindungi dan dilestarikan. Kegiatan geowisata yang merusak lingkungan dan
secara negative mempengaruhi masyarakat lokal atau gagal mengembalikan manfaat
ekonomi secara layak, tidak akan berkelanjutan dalam jangka panjang. Dengan
demikian, penting bahwa operator geowisata menerapkan metode praktek terbaik
untuk meminimalkan dampak lingkungan yang merugikan yang disebabkan oleh
kegiatan wisatawan, transportasi dan pemanfaatan fasilitas dan menempatkan
keselamatan wisatawan sebagai prioritas utama terutama dalam kegiatan geowisata
aktif. Selain itu, kebutuhan untuk melindungi lingkungan dapat memberikan argumen
dan justifikasi bagi pemerintah untuk mengalokasikan lebih banyak anggaran dan
sumberdaya ke praktek-praktek konservasi dan perlindungan geologi.
Page | 38
REFERENCES
Akbulut, G. 2009. The Main Geowisata Resources of Turkey. Celebrating
Geographical Diversity: a HERODOT Conference, 28-31 May 2009, Ayvalik.
Ali-Knight, J.M. 2011. The Role of Niche Tourism Products in Destination
Development. PhD Thesis.Zahed University, Dubai.
Andiani and lastiadi, H.A. 2013. Rajaampat: Empat Raja dengan Kekayaan Geologi
yang Berlimpah. GEOMAGZ, Maret 2013: pp 19-27.
Asia Development Bank (ADB). 2005. Technical Assistance Consultants Report:
Greater Mekong Subregion: Tourism Sector Strategy (Financed by the Technical
Assistance Special Fund).
Bemmelen, R.W. van. 1949. The Geology of Indonesia, Vol. IA, Martinus Nijhoff,
The Hague, The Netherlands.
Brahmantyo, B. 2005, Wisata Alternatif di Kawasan Ekokarst, Pikiran Rakyat 30
April 2005
Brahmantyo, B. 2006. Geopark atau Taman Bumi Jawa Barat, Kompas (Jabar), 29
November 2006.
Brahmantyo, B. 2006. Gua Pawon Sebagai Situs Geo-arkeologi Penting untuk
Studi Cekungan Bandung, ARENA Jurnal Lintas Budaya dan Pembangunan Berkelanjutan:
Geowisata untuk Kemanusiaan dan Pembangunan Berkelanjutan, Vol. 1 No. 2/2006, Pusat
Kajian Lintas Budaya dan Pembangunan Berkelanjutan, Bandung, hal 42 57.
Brahmantyo, B. 2010. Dreaming the 1st Geopark in Indonesia, Buletin Berita IAGI,
Special Edition 50 Years IAGI 2010, Ikatan Ahli Geologi Indonesia.
Brahmantyo, B. 2011. Geowisata, Gugah Kecintaan Pada Bumi, Sudut Pandang,
National Geographic Traveler, Vol 3 No 1 Januari 2011. Jakarta, h. 22 23.
Brahmantyo, B. 2006. Tafakur dari Letusan Gunung Krakatau, Pikiran Rakyat, 26
Agustus 2006.
Brahmantyo, B. 2008. Menggali Akar Geowisata, Pikiran Rakyat, 7 Januari 2008.
Brahmantyo, B. 2009. Ketika Bumi Berkisah Si Tao Toba dan Si Bukit Barisan, dalam
Majalah Ekspedisi Geografi Indonesia Sumatera Utara 2009, Pusat Survei Sumberdaya
Alam Darat, Bakosurtanal, hal. 73 77.
Brahmantyo, B., and Bachtiar, T. 2009. Wisata Bumi Cekungan Bandung. TrueDee,
Bandung.
Chesner, C.A. 2011. The Toba Caldera Complex, Quaternary International
doi:10.1016/j.quaint.2011.09.025
Clark, N.D.L.
The Public Perception of Palaeontology in Scotland:
"Archaeologists Dig Dinosaurs". In Trythall, J. (ed.) Sea to Sand: Proceedings of the 2007
Moray Society Conference. Moray Society, Elgin Museum, Moray, UK: pp. 38-48.
Dale, E. 1969. Audio-Visual Methods in Teaching, 3rd ed., Holt, Rinehart &
Winston, New York, 1969, p. 108.
Dowling, R. K. 2011. Geowisatas Global Growth. Geoheritage Journal., Vol
3(1): 1-13.
Page | 39
Page | 40
Page | 42
Yokoyama, T. and Hehanussa, P.E. 1981. The Age of Old Toba Tuffs and Some
Problems on the Geohistory of Lake Toba, Sumatera, Indonesia, in Paleolimnology of
Lake Biwa, Japan Pleitocene, Vol.9: pp. 177-186.
Zeppel, H. 2006. Ecotourism Series No. 3 - Indigenous Ecotourism: Sustainable
Development and Management. CABI.
Zouros N. 2004. The European Geoparks Network, Geological heritage
protection and local development. Episodes, 2 (3), 165-71.
Zouros N. 2006. The European Geoparks Network: Geological Heritage
protection and local development A tool for geowisata development in Europe. In: C.
Fassoulas, Z. Skoula & D. Pattakos (Eds), 4th European Geoparks Meeting Proceedings
volume. European Geoparks Network Psiloritis Natural Park, Anogia, Crete, Greece.
October 2003, 15-24.
Page | 43