Anda di halaman 1dari 43

EKO-GEOWISATA DI INDONESIA

1.

Keragaman Geologi Indonesia

Indonesia dengan letak geografisnya yang sangat unik, yaitu antara dua lautan
dan dua benua merupakan negara kepulauan dengan jumlah 13,466 pulau bernama
(UN Economic and Social Council, 2012) yang tersebar di sepanjang garis ekuator dan
dipengaruhi oleh kondisi iklim yang spesifik. Secara umum dikenal dua musim yaitu
musim kemarau antara bulan Mei hingga September, dan musim penghujan antara
Oktober hingga April. Meskipun demikian, beberapa wilayah seperti Kepulauan
Maluku, memiliki kondisi iklim yang justru berkebalikan dengan kondisi iklim yang
umum dijumpai di Indonesia.
Dalam konteks wisata berbasis geologi (geowisata), pengaruh iklim
berhubungan erat dengan aktivitas geowisata. Beberapa aktivitas geowisata bahkan
sangat tergantung kepada cuaca, misalnya penyusuran sungai bawah tanah di wilayah
karst, pendakian ke puncak-puncak gunung di atas ketinggian 2.000 m, penelusuran
sungai, atau memanjat tebing. Kombinasi antara batuan, kelerengan, kondisi morfologi
serta cuaca yang mempengaruhi proses eksogen dan aktivitas lainnya, akan
membentuk kawasan-kawasan dengan keragaman geologi yang tinggi.
Secara geologi dan tektonik, Kepulauan Indonesia terjepit di antara tiga lempeng
Bumi raksasa. Dari arah selatan, Lempeng Samudera India-Australia bergerak ke arah
utara mendesak Lempeng Eurasia dan tersubduksi di bawahnya. Dari sisi timur,
Lempeng Pasifik mendorong ke arah barat dan berinteraksi dengan Lempeng Eurasia.
Sebagian besar Lempeng Pasifik menunjam di sisi timur Lempeng Eurasia, sebagian
lagi bertabrakan dengan Lempeng India-Australia di Papua.
Kondisi tektonik itu menyebabkan dua hal yang sangat luar biasa terhadap
Kepulauan Indonesia. Di satu sisi memberikan berkah dengan pembentukan mineralmineral logam melalui penerobosan magma dan terbentuknya cekungan-cekungan
sedimen yang membawa cebakan-cebakan minyak-gas bumi dan batubara, di sisi lain
membawa bencana dengan gempa-gempa dahsyat yang merusak, tsunami yang
menghantam pantai-pantai, letusan-letusan gunung api yang menghancurkan wilayah
di sekeliling tubuhnya, longsoran-longsoran yang intensif dan berulang-ulang, atau
banjir bandang yang meluas.
Kondisi geologi dan tektonik yang unik ini juga menghasilkan keragaman
geologi yang sangat kaya bagi Indonesia. Mulai dari dataran aluvial dengan sungai
meander yang berliku-liku di pantai timur Sumatra, pantai utara Jawa, pantai selatan
Kalimantan, atau pantai selatan Papua, hingga pegunungan yang menjulang tinggi
mengikuti jalur Bukit Barisan, Jawa, Nusa Tenggara, Pegunungan Tengah Kalimantan,
Sulawesi, atau puncak-puncak Jayawijaya dengan salju tropisnya. Umur batuannya
tersebar sejak Zaman Prakambrium di Papua dan Sumatra, Zaman Paleozoikum dan
Mesozoikum di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua, serta endapanendapan Zaman Kuarter yang tersebar luas di seluruh Kepulauan (Gambar 1).
Page | 1

GEOLOGI REGIONAL INDONESIA

Legenda
Kuarter
Formasi volkano terbaru
Formasi Cenozoikum
Formasi Mesozoikum
Formasi Paleozoikum
Batuan Plutonik
Batuan Metamorf
Volkano aktif

Sumber: diadopsi dari Darman (2000) dalam common.wikimedia.org

Gambar 1. Peta Geologi Regional Indonesia


Jenis batuannya umunya terdiri dari batuan metamorf yang ditemukan di
hampir seluruh kepulauan dengan beberapa di antaranya berada pada lingkungan
melange sisa palung penunjaman lempeng, batuan-batuan beku dari granit di
Indonesia bagian barat hingga ultra basa di bagian timur, batuan sedimen yang
membentuk pegunungan lipatan yang luas di seluruh kepulauan, dengan
pembentukan wilayah karst yang luas, atau endapan-endapan hasil letusan gunung api
yang dominan terutama di Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara, Maluku dan Sulawesi.
Dalam skala kecil, variasi batuan, morfologi, proses dan struktur geologi
berkelindan dengan pengaruh iklim dan cuaca, memberikan bentukan bentang alam
dan riwayat kebumiannya yang mempesona. Siapa yang tidak terpana dengan
kemegahan Danau Toba, Danau Kaldera Maninjau, Batur, Bromo, atau Rinjani? Siapa
yang tidak terpesona dengan riwayat letusan Tambora 1815, Krakatau 1883, Merapi
2010 atau gunung-gunung api lainnya? Siapa yang mampu berbicara saat memandang
teluk dan pantai Bunaken, Wakatobi, Rajaampat dan lainnya? Atau siapa tidak kagum
saat melihat bagaimana aktivitas sungai bawah tanah terjadi di banyak wilayah Karst
Maros, Sangkulirang, Gunungsewu atau Lengguru yang mengukir batuan jauh hingga
ke bawah tanah yang dalam? Keragaman geologi Indonesia mungkin yang terkaya di
Bumi ini. Pertemuan lempeng-lempeng, lautan-lautan, arus-arus laut, angin dan hujan,
telah mengukir Kepulauan Indonesia menjadi sebuah kepulauan yang di setiap
tempatnya memiliki keunikan masing-masing.
Page | 2

2.
2.1.

Geowisata
Konsep, Karakteristik, Sumberdaya dan Prinsip

Unit waktu dalam perspektif manusia terdiri dari detik, menit, jam, hari, tahun
tetapi dari perspektif sejarah geologi, satuan waktunya adalah jutaan, ratusan juta,
bahkan miliaran tahun. Jika memungkinkan untuk melakukan perjalanan kembali ke
jutaan tahun yang lalu, apa yang akan kita saksikan? Meskipun para ilmuwan jelas
menyatakan bahwa kita tidak dapat melakukan perjalanan kembali dalam waktu,
sejarah Bumi terdokumentasi dalam catatan geologi, suatu satuan waktu geologi di
mana sistem batuan terbentuk.
Geowisata adalah kosakata yang relatif baru dalam kepariwisataan Indonesia.
Istilah Geowisata muncul sekitar pertengahan 1990-an, diperkenalkan oleh seorang ahli
geologi dari Universitas Buckinghamshire Chilterns di Inggris bernama Tom Hose,
melalui makalah berjudul Geotourism, atau Can Tourists Become Casual Rock Hounds:
Geology on Your Doorstep di acara pertemuan Komunitas Geologi pada tahun 1996.
Sebagai perbandingan, makalah oleh Jane James pada tahun 1993 yang berjudul
Promoting Earth Science di Southampton, Inggris, masih menggunakan istilah wisata
geologi dan bukan geowisata (Brahmantyo, 2006).
Berdasarkan hasil penelitiannya di beberapa dataran rendah Inggris, Hose (1995)
secara jelas mendasarkan geowisata sebagai wisata berbasis geologi. Newsome (2005)
dari Australia dalam bukunya Geotourism, menegaskan bahwa dua komponen geologi
yaitu bentuk dan proses merupakan komponen utama dalam geowisata (Gambar 2)
dan bahwa wisata memanfaatkan seluruh aspek dua sisi geologi ini.

Sumber: Newsome (2005)

Gambar 2: Sifat dan Lingkup Geowisata


Page | 3

Definisi Hose diikuti oleh para ahli geologi di Eropa dan sebagian besar dunia
(Tabel 1), sedangkan definisi yang menekankan pada karakter geografis secara umum
(National Geographic Society, 2005) digunakan di Amerika Serikat. Namun demikian,
berbagai definisi geowisata menunjukkan bahwa definisi Newsome dan Dowling (2010)
yang menekankan pada geologi dan bentang alam merupakan acuan utama bagi
pengembangan konsep geowisata.
Tabel 1. Perkembangan Definisi Geowisata sejak Tahun 2000
Pariwisata yang mendukung, atau bahkan meningkatkan karakter geografis suatu tempat, seperti
budaya, lingkungan, warisan, dan kesejahteraan warganya (Tourtellot, 2000)1
Sebuah segmen pasar baru yang muncul dalam pariwisata berkelanjutan yang penekanannya adalah
pada mempertahankan dan meningkatkan karakter geografis suatu tempat (Stokes et al., 2003)1
Mungkin merupakan segmen ekowisata, yaitu "suatu bentuk pariwisata yang berkelanjutan berbasis
sumberdaya alam yang penekannya adalah pada pengalaman dn pembelajaran dari alam, yang dalam
pemahamannya merupakan kegiatan yang berdampak rendah, non-konsumtif, dan berorientasi lokal
(kendali, manfaat dan tingkat). Umumnya terdapat di kawasan-kawasan alami, dan harus memberikan
kontribusi untuk konservasi atau pelestarian kawasan tersebut (Fennell, 2002) 1
Suatu cara untuk menggabungkan berbagai konsep keberlanjutan dengan berbagai konsep dalam
segmentasi pasar pariwisata (Buckley, 2003) 1
Penyediaan fasilitas dan layanan interpretasi untuk mempromosikan nilai dan manfaat sosial dari situs
geologi dan geomorfologi dan hal-hal lain yang terkait dengannya, dan untuk menjamin konservasinya
untuk kepentingan mahasiswa, wisatawan dan pengunjung lainnya yang lebih kasual (Hose, 2000)2
Sebuah cabang geologi, penting bagi pengembangan ekonomi nasional (Hose, 2000; Somka, dan
Kiciska-widerska, 2004) 1
Suatu bentuk wisata dengan beragam kepentingan yang menguak nilai kebumian suatu situs dan
bentang alam yang menarik, dengan cara yang menyenangkan (Pralong, 2006) 1
Ekowisata atau wisata yang berhubungan dengan situs dan fitur geologi, termasuk situs geomorfologi
dan bentang alam (Joyce 2006)3
Pariwisata berkelanjutan dengan fokus utama pada pengalaman terhadap fitur-fitur geologi bumi
melalui cara-cara yang dapat mendorong pemahaman terhadap lingkungan dan budaya, apresiasi dan
konservasi, dan secara lokal menguntungkan (Dowling and Newsome, 2006) 1
Orang berkunjung ke suatu tempat untuk melihat dan belajar tentang satu atau lebih aspek geologi dan
geomorfologi (Joyce, 2006)4
Unsur-unsur geologi dari komponen wisata yaitu bentuk dan proses, seperti atraksi, akomodasi, wisata,
kegiatan, interpretasi dan perencanaan dan manajemen (James and Hose, 2008) 1
Pada tahun 2008, Asosiasi Industri Travel menyatakan bahwa geowisata menggambarkan suasana suatu
tempat dengan tetap mendukung prinsip-prinsip konservasi yang berkaitan dengan sumberdaya,
budaya, warisan, dan tradisi di tempat tersebut. Mencakup juga sektor perjalanan seperti penginapan,
belanja, hiburan, makan, dan tur yang mempromosikan pengalaman sesuai karakter lokal, dan dilakukan
dengan cara yang menguntungkan masyarakat setempat (Miller and Washington, 2009) 1.
Wisata berbasis pengetahuan, suatu integrasi interdisiplin dari industri pariwisata dengan konservasi
dan interpretasi atribut abiotik, selain mempertimbangkan isu-isu budaya yang terkait, dalam situs
geologi yang ditujukan untuk masyarakat umum (Sandry, 2009)5
Bentuk pariwisata alam yang fokus pada geologi dan bentang alam. Geowisata mempromosikan wisata
ke situs geologi dan konservasi keragaman geologi serta pemahaman ilmu kebumian melalui apresiasi
dan pembelajaran melalui kunjungan independen, penggunaan geotrail dan viewpoints, tur terpandu,
aktivitas geologi dan mendukung pusat pengunjung (Newsome and Dowling, 2010) 6
Sumber: 1Farsani et al., (2012); 2Hose (2011); 3 Joyce (2006); 4 Joyce (2006); 5Sandry (2009)

Page | 4

Beberapa penulis berpendapat bahwa geowisata serupa dengan ekowisata


(Joyce, 2006) dengan tema tambahan geologi bahkan lebih 'ecofriendly' daripada
ekowisata (Robinson dan Roots, 2008). Sumberdaya wisata keduanya membentuk
atraksi utama pariwisata, yaitu abiotik, biotik dan budaya. Keanekaragaman hayati dan
budaya secara statistik terbukti merupakan dua kekuatan terbesar ekowisata di
Indonesia saat ini (Sunkar et al., 2013), sedangkan faktor abiotik seperti pemandangan
alam, bentuk lahan, jenis batuan, Kristal, dan lain-lain, merupakan sumberdaya
geowisata yang sering ditemukan sebagai bagian atau bahkan atraksi utama kegiatan
ekowisata. Gray (2004) menunjukkan adanya peningkatan pasar geowisata, "baik secara
terpisah atau terkait dengan ekowisata" (hal. 83). Geowisata dan ekowisata menghadirkan
peluang penting dan ramah lingkungan dalam pengembangan pariwisata.
Jelas bahwa geowisata dapat berbagi dengan modalitas pariwisata berbasis alam
lainnya seperti ekowisata, wisata petualangan dan wisata perdesaan, namun tetap
berbeda dalam tujuan dan dapat menambah dimensi baru untuk produk wisata yang
ditawarkan. Melalui interpretasi lingkungan yang penekanannya pada aspek-aspek
geologi, kepuasan pengunjung akan meningkat dan dapat memberikan kontribusi
untuk tujuan konservasi dari produk/situs geologi tersebut. Oleh karena itu, geowisata
telah berkembang sebagai suatu niche produk wisata dan market baru yang potensial
dengan 'nilai tambah yang tinggi' (Robinson dan Roots, 2008) yang mampu
meningkatkan kesadaran dan apresiasi pengunjung terhadap sumberdaya alam serta
melestarikannya melalui beragam aktivitas outdoor dan rekreasi (Ali-Knight, 2011;
Farsani et al., 2012).
Banyak pengetahuan tentang kebumian (geologi) yang berasal dari studi tentang
mineral, batuan dan fosil. Karena membutuhkan proses geologi yang sangat panjang
untuk pembentukannya dan penjelasan secara ilmiah, geologi sering ditafsirkan
dengan menggunakan media seperti simbol, gambar gerak, televisi pendidikan,
pameran (museum), dll. Media-media tersebut menurut Kerucut Pengalaman Edgar
Dale (Dale, 1969) memberikan konsep yang lebih abstrak dibandingkan dengan konsep
yang lebih konkret melalui pengalaman langsung. Belajar harus dimulai dengan hal-hal
yang konkrit dan bergerak ke abstrak, karena dibutuhkan fondasi yang kuat dari
pengalaman langsung untuk memaknai suatu abstraksi. Hooper-Greenhill (1994)
dengan tegas menyatakan "Untuk mempelajari sesuatu yang baru, diperlukan pengalaman
dan tindakan" (hal. 10) dan bahwa "Pengalaman nyata yang ditawarkan melalui benda,
bangunan, situs dan manusia, sangat penting untuk suatu pembelajaran" (hal. 11). Terkait
situs geologi atau aktivits geowisata secara keseluruhan, interaksi langsung dengan
objek merupakan kekuatan besar karena memberikan peluang untuk belajar secara
langsung dari objek asli, sebagaimana dinyatakan dalam definisi interpretasi oleh
Tilden (1977), "Suatu kegiatan pendidikan yang bertujuan untuk mengungkapkan makna dan
hubungan melalui penggunaan benda asli, berdasarkan pengalaman langsung, dan media
ilustratif, bukan hanya untuk menyampaikan informasi faktual" (hal. 11).
Pengalaman menunjukkan bahwa banyak pengunjung di situs-situs geologi
yang pada awalnya tidak tertarik pada ilmu kebumian. Namun, ketika dihadapkan
langsung dengan sumberdaya geologi, rasa ingin tahu tentang sejarah bumi muncul
Page | 5

dalam pikiran mereka sehingga tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang sejarah
Bumi. Sehingga, arahan geowisata adalah pada bentuk wisata pendidikan melalui
kegiatan interpretasi lingkungan melalui interaksi langsung dengan situs/obyek.
Mengingat sifat non-terbarukan sumberdaya geologi, sangat jelas bahwa
geowisata harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan.
Berikut adalah lima prinsip utama geowisata (diadopsi dari Dowling, 2011), tiga
karakteristik pertama dipandang perlu bagi suatu produk geowisata sementara dua
karakteristik terakhir dibutuhkan untuk semua bentuk wisata.
a. Berbasis Geologi
Geowisata berlandaskan nilai-nilai kebumian yang fokus pada bentuk-bentuk
dan/atau proses geologi.
b. Berkelanjutan
Geowisata mendorong perekonomian, meningkatkan kualitas hidup, dan
mendukung konservasi. Tantangan geowisata di setiap daerah adalah
pengembangan kemampuan pariwisata dan kualitas produk daerah tanpa
merugikan kondisi lingkungan geologinya. Termasuk didalamnya memastikan
bahwa jenis, lokasi dan tingkat kegiatan geowisata tidak menyebabkan
kerusakan pada fitur geologi atau daerah sekitarnya, terutama di kawasan alami.
c. Memberikan Informasi Geologi
Pendidikan kebumian dan interpretasi geologi adalah alat-alat penting dalam
menciptakan pengalaman geowisata yang menyenangkan dan bermakna.
Geowisata menarik orang-orang yang ingin berinteraksi dengan lingkungan
bumi untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran dan apresiasi. Geowisata
idealnya harus mengarah pada peningkatan kesadaran konservasi.
d. Secara Lokal Bermanfaat
Masyarakat di suatu daerah akan mengalami dampak pembangunan, baik
terkait pariwisata maupun tidak, dan baik sebagai peserta aktif dalam
pembangunan maupun tidak (ADB, 2005). Sama halnya dengan pemahaman
bahwa kerjasama dengan masyarakat setempat merupakan kunci dalam
konservasi keanekaragaman hayati (Sunkar et al, 2013), begitu juga untuk
konservasi keragaman geologi. Keterlibatan masyarakat lokal tidak hanya
menguntungkan masyarakat dan lingkungan tetapi juga meningkatkan kualitas
pengalaman pengunjung. Selain manfaat sosial dan budaya, secara ekonomi,
geowisata berkontribusi terhadap konservasi sumberdaya. Horn dan Simmons
(2002) mencatat bahwa peningkatan manfaat ekonomi dari pariwisata
meningkatkan dukungan masyarakat.
e. Kepuasan Pengunjung
Kepuasan pengunjung sangat penting untuk keberlanjutan industri geowisata,
sehingga pengalaman yang akan didapatkan harus sesuai atau melebihi harapan
dari pengunjung. Termasuk pentingnya keamanan pengunjung terkait dengan
bahaya-bahaya geologi (geo-hazard) di lokasi yang dikunjungi.
Page | 6

2.2.

Potensi Pasar Geowisata Indonesia

Geowisata dengan cepat diakui sebagai suatu arahan baru dalam pariwisata
terkait atraksi geologi dan geomorfologi serta destinasi geologi (Dowling, 2011;
Akbulut, 2009; Dowling, 2008; Turner, 2006). Pada saat yang sama, komponen
pariwisata dalam geowisata mencakup kunjungan ke situs-situs geologi untuk tujuan
rekreasi pasif, meningkatkan apresiasi dan pembelajaran (Newsome & Dowling, 2006).
Sehingga geowisata dipandang sebagai segmen pasar baru yang berkembang dengan
masa depan yang baik, terutama dalam merespon peningkatan jumlah wisatawan
minat khusus (Ali-Knight, 2011; Pforr & Megerl, 2006). Geowisata dapat dikatakan
sebagai suatu cara agar suatu wilayah destinasi memiliki identitas sendiri dan branding
untuk produk wisata yang berbeda dan bersaing dalam lingkungan pariwisata yang
semakin kompetitif (Sharpley and Telfer, 2002).
Indonesia merupakan surga geologi, dengan kekayaan keragaman geologi dan
bentang alam geomorfologi yang merupakan sumber ilmu pengetahuan mengenai
sejarah Bumi dan proses geologi yang penting untuk mendidik masyarakat umum
mengenai lingkungan geologi. Keragaman geologi dan bentang alam geomorfologi
juga dapat berfungsi sebagai alat dalam pembangunan berkelanjutan dan untuk
menggambarkan metode konservasi dengan menekankan bahwa batuan, mineral, fosil,
tanah, bentuk lahan dan bentang alam merupakan produk dan catatan dari evolusi
Bumi dan dengan demikian, merupakan bagian integral dari alam.
Indonesia telah menjadi tujuan wisata populer karena kekayaan budaya dan
lingkungan alamnya yang luar biasa. Sebagai hasil dari dinamika bumi, busur geologi
Indonesia telah memberikannya keindahan dan keragaman bentang alam, termasuk
berbagai jenis bentang alam (gunung, danau), batuan yang langka, unik dan khas, fosil
dan bentang alam karst dengan jaringan gua-guanya. Dengan demikian, atraksi
arkeologi, budaya dan alam memberikan dasar bagi pengembangan geowisata. Dalam
hal ini, Indonesia berpotensi besar untuk mengembangkan geowisata. Selain
sumberdaya geologi dan geomorfologi yang berlimpah, Indonesia masih baru dalam
pengembangan geowisata dan masih berusaha untuk menemukan cara terbaik dalam
pengembangan sumberdaya geowisatanya. Rachmawati dan Sunkar (2013) dalam
penelitiannya mengenai pengunjung gua di Jawa Barat Indonesia, menyimpulkan
bahwa orang mengunjungi gua bukan untuk melihat dan belajar melainkan untuk
berrekreasi, mengganti suasana dan bersosialisasi.
Pengembangan geowisata di Indonesia telah memasuki era baru dengan adanya
berbagai kebijakan pemerintah yang mendukung. Diberlakukannya UU No. 26/2007
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang menyatakan bahwa keragaman
geologi harus dipertimbangkan di dalam Perencanaan pembangunan Nasional, serta
Perda No. 26/2008 yang menekankan pentingnya pemberian status perlindungan pada
kawasan lindung nasional dimana formasi geologi merupakan salah satu elemennya.
Rencana Strategis 2012-2014 Direktorat Pengembangan Destinasi Pariwisata
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif juga telah menyatakan bahwa geowisata
akan menjadi salah satu tujuan utama destinasi Indonesia.
Page | 7

3.
3.1.

Tipe dan Sumberdaya Geowisata di Indonesia


Ring of Fire Wisata Gunung Api
Indonesia yang berada pada lingkungan tektonik penunjaman kerak samudra di
bawah kerak benua, umumnya menghasilkan jajaran gunung api yang bersifat strato,
atau gunung api dengan produk endapannya yang berlapis-lapis. Umumnya adalah
lapisan endapan piroklastik, yaitu produk letusan berbagai ukuran fragmen (dari abu
halus hingga bongkah-bongkah besar) dan lava, yaitu aliran magma yang meleleh
keluar dari kepundan. Tipe gunung api strato umumnya memberikan bentuk kerucut.
Di jajaran gunung api dunia, Indonesia berada pada apa yang disebut sebagai the Ring
of Fire yang mengelilingi Samudera Pasific (Gambar 3).

Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_volcanoes_in_Indonesia

Gambar 3. Penyebaran Gunung Api in Indonesia


Secara umum, gunung api (volcano) didefinisikan sebagai tempat keluarnya dan
adanya aktivitas magma. Dengan demikian, terminologi gunung api sebenarnya tidak
terbatas pada pemahaman umum bahwa gunung api harus selalu berbentuk kerucut.
Dengan pengertian ini, segala bentuk morfologi tempat magma keluar disebut sebagai
gunung api, seperti misalnya satu celah di suatu dataran atau bahkan di dasar laut.
Dengan cara terbentuknya yang sangat luar biasa karena melibatkan gaya-gaya
dari bawah permukaan bumi dan mengeluarkan cairan batuan pijar magma yang
mengalir sebagai lava, aktivitas semburan gas atau uap air, serta aktivitas volkanisme
lainnya, kawasan gunung api menjadi daya tarik yang luar biasa. Aktivitas gunung
api, termasuk sejarah letusan dan korban-korban akibat bencananya justru menambah
kaya informasi geowisata gunung api. Geowisata gunung api terkenal seperti letusan
G. Vesuvius pada 76 M yang mengubur kota Pompei dan Herculanum di Italia,
dengan situs arkeologis berupa cetakan-cetakan berbentuk manusia (korban letusan),
merupakan contoh yang menarik (Lkken & Smelror, 2007).
Page | 8

Ditinjau dari sisi wisatawan sebagai subjek, geowisata gunung api, dapat
dibedakan atas dua kegiatan, yaitu yang bersifat pasif dan aktif. Kegiatan geowisata
gunung api pasif adalah wisata yang sebenarnya telah dikategorikan sebagai wisata
alam biasa. Pada kategori ini, wisatawan hanya menyaksikan panorama, bentang alam
atau sekedar mengamati aktivitas volkanisme. Wisatawan jenis ini biasanya wisatawan
umum yang datang ke suatu kawah gunung api kemudian melihat pemandangan dan
berfoto-foto. Kegiatan seperti ini bahkan bisa berjalan tanpa ada faktor pendukung
lainnya, seperti ketersediaan pemandu. Pada tahap yang paling minimal, dengan
pamflet pun wisata pasif ini dapat berjalan dengan sendirinya. Untuk jenis ini,
aksesibilitas, prasarana dan sarana penunjang merupakan kebutuhan yang umumnya
merupakan kewajiban dari pengelola wisata gunung api. Misalnya pembuatan jalan ke
kawah dengan moda transportasinya, tempat parkir yang tidak jauh dari kawah, serta
sarana penunjang pariwisata pada umumnya.
Berbeda dengan geowisata gunung api pasif, geowisata gunung api aktif
memerlukan berbagai program yang terrencana dengan baik, karena dalam kategori
ini, wisatawan bersifat aktif menjelajah dan berusaha untuk sebanyak mungkin
mendapatkan informasi tentang objek gunung api yang dikunjunginya. Dengan
demikian, jenis wisata gunung api aktif tidak hanya memerlukan sekedar pamflet,
tetapi juga buku panduan yang menjelaskan selain objek yang akan dilihat, juga
pengetahuan geologi dan vulkanologi dari objek tersebut, termasuk misalnya jenisjenis batuan, jenis-jenis aktivitas kawah, sejarah letusan, dan lain sebagainya.
Wisatawan ingin menjelajahi sudut-sudut dan seluk-beluk gunung api yang
mereka kunjungi. Untuk alasan itu, maka penting bagi mereka untuk dipandu oleh
pemandu bersertifikat atau interpreter yang memiliki pengetahuan tentang medan dan
jalur, dengan latar belakang pengetahuan geologi umum dan vulkanologi, serta
peristiwa alam. Wisatawan geologi aktif pada umumnya berusaha untuk menjajaki
semua kemungkinan tempat-tempat menarik di sekitar gunung api, bahkan jika
diperlukan, mereka harus dekat dengan kawah aktif. Terbukti, ada risiko yang perlu
dipertimbangkan. Oleh karena itu, prinsip keamanan harus menjadi prinsip penting
dalam kegiatan geowisata gunung api.
Budi Brahmantyo dan T. Bakhtiar (2009) dalam buku mereka berjudul Wisata
Bumi Cekungan Bandung mengenalkan istilah geotrek, yaitu trekking jalur-jalur
geowisata tertentu dengan interpretasi geologi. Geotrek dalam buku ini, digunakan
untuk menjelaskan aktivitas geowisata gunung api yang dikembangkan di Cekungan
bandung. Di antara kegiatan geotrek, salah satunya adalah volcanotrekking yaitu
geotrek menyusuri jejak-jejak geologis di gunung api.
Volcanotrekking pada gunungapi aktif sebenarnya penuh resiko. Pertama,
kawah-kawah gunung api umumnya berada pada ketinggian di atas 1000 m. Bagi
mereka yang mempunyai fisik yang peka terhadap ketinggian, ber-volcanotrekking
akan terasa cepat melelahkan. Kedua, medan gunung api umumnya berlereng terjal.
Beberapa bagian biasanya mempunyai permukaan yang ditutupi oleh pasir atau
kerikil lepas. Kemungkinan terpeleset adalah hal yang perlu diantisipasi pengelola.
Ketiga, berkaitan dengan lapangan yang dipenuhi kawah. Kawah gunung api
Page | 9

umumnya solfatara yaitu kawah yang menghembuskan gas-gas belerang. Keempat,


perilaku gunung berapi kadang-kadang tidak dapat diprediksi meskipun gejala
umumnya dipantau oleh pengamat gunung api. Peristiwa tak terduga bisa sewaktuwaktu terjadi. Peristiwa eksplosi gas CO di Sinila, Dieng, Jawa Tengah tahun 1970-an
yang menewaskan belasan petani kentang adalah contohnya, atau tewasnya beberapa
peneliti gunung api, satu di antaranya dari USGS (United States Geological Survey) di
Gunung Semeru beberapa tahun lalu, yang terkena semburan kerikil-kerikil sangat
panas akibat letusan yang tiba-tiba dari satu lubang kawah. Contoh korban lain adalah
para pelajar Belanda di Tangkubanparahu pada tahun 1930-an yang terpapar gas
berracun. Merupakan keniscayaan, jika bergeotrek di kawasan gunung api harus
selalu mengutamakan keselamatan. Jika perlu, jalur yang dianggap akan berbahaya,
dibatalkan untuk dijejaki.
Beberapa contoh trekking gunung api di Indonesia dapat ditemukan di Gunung
api Batur di Bali, berperahu ke kaldera Krakatau di Selat Sunda, mendaki ke kawah
Papandayan atau Tangkubanparahu di Jawa Barat, Merapi di Yogyakata, Kawah
Tengger di Jawa Timur, Rinjani di Lombok, Tambora di Sumbawa, tiga 'kawah
berwarna di Flores dan Banda Neira di Maluku. Kawah Gunung Patuha di selatan
Bandung, Kawah Putih, dengan kabutnya yang kerap kali menutupi pemandangan,
justru menjadi daya tarik yang luar biasa, selain warna air kawahnya yang hijau toska.
Situ Lembang, danau buatan yang membendung aliran Ci Mahi di sisa Kaldera Sunda
di utara Bandung, beserta hutan hujan tropisnya, dan terutama sejarah letusannya
yang juga berkaitan dengan Legenda Sangkuriang, menjadi daya tarik yang tidak ada
habisnya. Gunung Papandayan, di selatan Garut, yang meletus terakhir November
2002 yang menghasilkan bukaan bentang alam kawah yang luas, menjadi wahana
geotrek yang menantang dari bentang alam yang lain daripada yang biasa kita lihat
sehari-hari. Di samping itu, suara gemuruh dari Kawah Baru, mengundang
ketertarikan dan kengerian sekaligus.
Dengan jumlah gunung api sebanyak 127 gunung dengan 79 di antaranya
tergolong Tipe A (Aktif), wisata minat khusus ini dapat dikembangkan hampir di
seluruh Indonesia. Selain itu, beberapa letusannya tercatat dalam sejarah dunia.
Letusan Krakatau 27 Agustus 1883 dikenang dunia sebagai letusan dahsyat yang tidak
terlupakan. Banyak buku, film atau lukisan seniman-seniman ternama yang
terinspirasi oleh letusan Krakatau. Begitu pula letusan Tambora 15 April 1815 tercatat
sebagai letusan paling dahsyat dalam sejarah letusan gunung api karena
memuntahkan material sebanyak lebih dari 100 km kubik, sepuluh kali lipat letusan
tipe plinian Krakatau 1883.
Menariknya, gunung berapi di Indonesia sering dikaitkan dengan warisan
sosial-budaya yang berhubungan dengan sejarah letusan baik sebagai fakta atau fiksi.
Beberapa fakta termasuk tsunami dihasilkan dari letusan Krakatau 1883 itu mampu
melemparkan perahu kapal Berouw lebih dari 1 km ke pedalaman di Telukbetung
Lampung, serta kisah compang-camping kapal dagang Loudon yang mendarat di
Batavia karena hujan abu vulkanik dan bom dari Krakatau. Temuan Fakta lain adalah
tentang terkuburnya peradaban lama di lereng Gunung Tambora yang tergali pada
Page | 10

tahun 2005 yang lalu (Sutawijaya, 2005). Temuan ini dapat disamakan dengan
terkuburnya kota Pompei dan Herculanum akibat letusan Gunung Vesuvius 76 M di
Italia. Munculnya desa pengungsi di sekitar Danau Batur pada tahun 1926 dan 1963
juga karena banjir lahar dari letusan gunung berapi. Sedangkan beberapa cerita mistis
yang berhubungan dengan gunung berapi meliputi legenda Gunung
Tangkubanparahu di Bandung, yang bercerita tentang seorang pria bernama
Sangkuriang yang ingin menikahi ibunya sendiri. Di Jawa Timur, cerita terkait gunung
berapi sering dikaitkan dengan sejarah legendaris raja-raja Majapahit, sedangkan di
Flores, legenda dikaitkan dengan munculnya tiga danau kawah yang berbeda warna
di Gunung Kelimutu.
Gunung api Indonesia sangat terkenal di dunia, sebagaimana dikisahkan olek
kunjungan 17 siswa internasional dalam sebuah program pertukaran pelajar pada
tahun 2007 ke Kawah Putih, Patuha. Walaupun udara cukup dingin dan berkabut,
namun para siswa takjub dengan pemandangan yang dilihatnya. Elis Allas dari
Estonia yang negaranya tidak mempunyai gunung api berkomentar bahwa ia merasa
ada di dunia lain yang sangat berbeda. Bahkan peserta asal Jepang pun, yang di
negaranya banyak gunung api seperti Indonesia, justru baru pertama kali
mengunjungi kawah gunung api. Gunung api yang tidak dimiliki oleh negara-negara
Eropa, Amerika Utara, Timur Tengah, atau Cina, seharusnya gencar dipromosikan
sebagai destinasi wisata utama Indonesia.
Krakatau and Tambora
Alam seharusnya terkembang menjadi guru. Banyak bencana alam dahsyat
lainnya telah tercatat sebagai bagian dari sejarah kita dan dikenang umat manusia.
Suatu kegiatan geowisata akan menjadi sangat atraktif dan penuh pengalaman jika
dapat menelusuri peristiwa-peristiwa alam yang dahsyat itu. Hal itu juga untuk
menjadi pengingat bahwa peristiwa-peristiwa alam pasti akan berulang. Geowisata ke
Gunung Krakatau akan memberikan pengalaman tentang nilai sebuah sejarah bumi
yang terkenal ke seantero dunia.
Banyak pembelajaran dari alam yang kita dapatkan dari letusan Krakatau 1883.
Geowisata ke gugusan pulau-pulau di kawasan Gunung Krakatau tentu harus
menggunakan perahu. Perahu dapat disewa baik dari Carita, Banten, maupun dari
Lampung. Dalam kondisi cuaca yang baik, biasanya bukan pada saat gelombang besar
yang biasanya dimulai pada bulan Oktober hingga Maret, kunjungan-kunjungan
geowisata akan melihat atraksi paling spektakuler ketika Gunung Anak Krakatau
erupsi dengan letusan-letusan yang memuncratkan lava merah pijar. Cipratan lava
yang tampak seperti kembang api dalam jarak tertentu dari pulau Anak Krakatau
masih cukup aman. Pengalaman tersebut akan memberikan nuansa wisata dengan
nilai tambah yang tinggi.
Gunung Krakatau, setelah letusan dahsyatnya pada Senin, 27 Agustus 1883 itu,
memunculkan gunung api baru, yaitu Anak Krakatau. Dimulai dari eksplosi gas pada
tahun 1927 dan semakin meninggi sejak Januari 1930. Saat ini Anak Krakatau telah
mencapai ketinggian sekitar 400 m dari muka laut. Pulau-pulau yang mengelilinginya
Page | 11

merupakan sisa-sisa Krakatau 1883 membentuk kaldera tenggelam di Selat Sunda,


yaitu P. Rakata (813 m), P. Sertung (182 m), dan P. Panjang (132 m). Dalam kondisi
aman dari erupsi, perahu dapat mendarat di pantai Cagar Alam Anak Krakatau. Saat
telapak kaki menginjak tanah berpasir Krakatau, gejolak rasa akan membawa kita
pada sejarahnya yang luar biasa. Menapaki produk-produk letusan berupa pasir, batu
apung, atau lava yang membeku merupakan pengalaman yang luar biasa bagaimana
induk gunung api ini pada Agustus 1883 telah menewaskan hampir 36.000 nyawa di
pesisir Lampung dan Banten dengan tsunami yang ditimbulkannya.
Di Indonesia, tidak hanya letusan dasyat Krakatau 1883 yang terkenal ke seluruh
dunia, tetapi juga letusan Gunung Tambora di Pulau Sumbawa pada tahun 1815 yang
justru berkali-kali lebih dahsyat dari letusan Krakatau 1883. Hasil letusannya sejauh
175 kilometer kubik, kira-kira sepuluh kali lipat daripada hasil letusan Krakatau 1883.
Saat letusan terjadi, perhatian dunia internasional sangatlah kurang karena
terbatasnya komunikasi. Aapalgi ketika itu Eropa sedang dilanda Perang Napoleon.
Namun demikian, letusan Tambora 1815 korbannya jauh lebih fatal daripada letusan
Krakatau 1883. Jika dihitung pula efek sampingnya berupa kekeringan dan kelaparan
bertahun-tahun berikutnya, korban yang direnggut langsung mencapai lebih kurang
90.000 jiwa. Bahkan efeknya mempengaruhi seluruh dunia. Di Eropa dan belahan
bumi utara, tahun 1815 dan 1816 dikenal sebagai "tahun tanpa musim panas," dan
kegagalan panen serta wabah penyakit menghantam Eropa.
Menyusuri jalur-jalur geotrek di Semenanjung Pekat di Pulau Sumbawa pada
lereng-lereng Tambora yang gersang, seolah-olah kita bisa menghayati bagaimana abu
letusannya pada 1815 itu beberapa bulan kemudian menyublim di atas Belgia dan
jatuh sebagai hujan lebat di medan perang Waterloo. Pasukan Napoleon yang siap
menghajar tentara Inggris terhambat karena medan becek tidak mungkin dilalui
meriam-meriam pasukan Perancis. Pasukan Inggris pun berkonsolidasi dan bantuan
yang datang dari Prusia kemudian menyebabkan tentara Napoleon akhirnya takluk di
Waterloo.
3.2.

Permata Bawah Tanah Wisata Gua


Istilah karst pertama kali diserap ke dalam bahasa Jerman dari bahasa Slavia krs
yang diberikan kepada suatu daerah dengan topografi khas di suatu wilayah di
Yugoslavia (sekarang Serbia-Bosnia-Herzegovina-Slovenia-Albania) sebagai akibat
proses pelarutan pada batuannya. Di banyak negara istilahnya telah berubah seperti
misalnya karst (Jerman dan Inggris), carso (Italia), kras (negara-negara Balkan), karusuto
(Jepang), atau kars (Malaysia). Di dalam bahasa Indonesia pernah diperkenalkan istilah
kras atau curing (pada Kamus Kebumian Purbo-Hadiwidjojo, 1994), atau kars. Namun
demikian, istilah karst ternyata masih lebih banyak digunakan dan merupakan istilah
resmi di dalam bahasa Indonesia dalam bidang ilmu kebumian saat ini.
Kawasan karst tidak hanya mengandung aspek batuan (geologi) dan bentang
alam (geomorfologi), tetapi juga meliputi aspek hidrologi-hidrogeologi serta
keseluruhan aspek lingkungannya. Dalam definisi yang dikembangkan oleh para ahli
karst-speleologi yang merujuk kepada Badan Konservasi Dunia IUCN: "Petunjuk
Page | 12

Perlindungan Gua dan Karst", karst dalam makna sempit adalah setiap kawasan yang
terbentuk oleh proses pelarutan, dan dalam makna luas berarti suatu kesatuan dinamis
dari sistem bentuk muka bumi, kehidupan, energi, air, gas, tanah, dan batuan dasar.
Bentang alam karst dengan berbagai kandungannya tersebar luas di Indonesia
(Gambar 4), dan mempunyai ciri-ciri bentuk muka bumi yang khas. Di Pulau Jawa,
kawasan ini tersebar baik di Jawa Barat, Tengah maupun Timur. Kondisi kawasan karst
di Pulau Jawa menunjukkan lingkungannya yang sangat rawan terhadap kegiatan di
sekitarnya, terutama oleh incaran para pengusaha untuk menggali dan menambang
batu gampingnya. Industri penggalian di kawasan karst cenderung berkembang tidak
terkendali, baik untuk kapur tohor, batu alam, batu lantai dan dinding, maupun untuk
berbagai keperluan industri lainnya, khususnya industri semen yang dipastikan
berbahan baku utama batu gamping.

Sumber: Surono et al. (dalam Samodra, 2001)

Gambar 4. Distribusi Kawasan Karst di Indonesia


Karangbolong Mountains, South Gombong
Salah satu pengembangan kawasan karst yang menjadi alternatif untuk
mendapatkan penghasilan secara ekonomi tanpa merusaknya (menggali atau
menambang) adalah melalui geowisata. Sekalipun usaha ini masih merupakan janjijanji dengan pendapatan ekonomi dalam jangka panjang, namun memberikan harapan
bagi kesejahteraan penduduk, daripada sekadar menjadi buruh gali atau pengusaha
batu kapur yang pada kenyataannya juga kurang membawa peningkatan
kesejahteraan.
Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono pada Senin, 6
Desember 2004 di Wonosari, ibu kota Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta, telah
mencanangkan suatu kawasan geologis berbatugamping di Yogyakarta, Jawa Tengah
dan Jawa Timur sebagai kawasan ekokarst. Satu kawasan terdapat di Gombong Selatan
pada Pegunungan Karangbolong, Kabupaten Kebumen. Lainnya di kawasan yang
sangat luas dikenal sebagai karst Gunung Sewu yang berada di Kabupaten Gunung
Kidul DI Yogyakarta, Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah, dan Kabupaten
Pacitan Jawa Timur (Brahmantyo, 2005).
Page | 13

Aktivitas geowisata karst dengan gua-guanya yang menarik berada pada


kawasan karst di Gombong Selatan, Kabupaten Kebumen. Sebaran batugamping yang
membentuk bukit-bukit kerucut yang khas dengan lembah-lembahnya yang jika dilihat
dari udara seperti sarang ayam (sehingga kemudian dinamakan cockpit) seluas kira-kira
70 km persegi, memberikan fenomena alam yang langka. Fenomena bentang alam yang
luar biasa ini akan semakin luar biasa jika kita mendekati dan menjelajahinya. Pada
kawasan yang relatif sempit tersebut, kita akan mendapati sekitar 125 buah gua besar kecil. Beberapa gua mempunyai lorong yang panjang dan berliku-liku, bertingkattingkat, bahkan sebuah gua yang dinamakan Gua Macan mempunyai sebuah ruang
jauh di bawah tanah yang seukuran lapangan sepak bola!
Gua-gua ini sebagian merupakan jalan air bawah tanah. Maka tidak heran,
keberadaan gua-gua yang berair ini menjadi sangat penting bagi penyediaan air bersih
bagi masyarakat di sekitar pegunungan Karst Gombong Selatan ini. Sangatlah wajar
jika terjadi penolakan yang sengit akan rencana pembuatan pabrik semen di daerah
Banyumudal yang justru kawasan eksploitasinya merupakan daerah tangkapan air dan
sumber air utama.
Beberapa gua telah dikembangkan menjadi atraksi geowisata. Atraksi gua yang
paling terkenal adalah Gua Jatijajar. Dengan hanya membayar karcis yang sangat
terjangkau, kita dapat menjelajah liku-liku lorong gua dalam penerangan yang cukup
baik. Kita dapat mengamati proses-proses mengalirnya air di dalam gua. Stalaktit yang
merupakan tonjolan-tonjolan batu yang menggantung di atap gua, atau stalagmit yang
menonjol dari lantai gua, dapat dinikmati dalam bentuk-bentuknya yang menawan.
Selain itu, beberapa kolam-kolam gua (dikenal sebagai sendang oleh masyarakat Jawa)
yang terus-menerus dialiri air jernih yang keluar dari celah-celah batu, memberikan
kesan mistis. Apalagi sendang-sendang tersebut kemudian dihiasi oleh patung-patung.
Lain dengan Gua Jatijajar yang mendapatkan sentuhan pengelolaan yang terlalu
turistik, di kawasan wisata eko-karst Gombong Selatan ini terdapat gua yang
dinamakan Gua Petruk yang dapat ditelusuri sejauh 300 meter dalam kondisi masih
alamiah dan tidak banyak perubahan campur tangan pengelola. Tidak ada lampu di
dalamnya, sehingga pengunjung harus didampingi pemandu yang menjelaskan
dengan lancar semua hal mengenai Gua Petruk sambil membawa lampu petromaks.
Jika kita menelusuri Gua Petruk, kita seakan-akan masuk ke dalam perut bumi
yang gelap, tetapi menyimpan hiasan-hiasan batu yang luar biasa aneh dan indahnya.
Sepatu dan celana yang menjadi basah dan kotor akan terobati oleh fenomena gua yang
tidak akan kita temui di dunia luar. Saking anehnya bentuk-bentuk stalaktit dan
stalagmitnya, nama-namanya pun terdengar aneh, serem, atau lucu, misalnya: batu
layon (mirip mayat), bajul putih (mirip buaya), atau batu helikopter, dan lain-lain.
Bahkan stalaktit yang menggantung di lantai gua yang rendah yang bulat-bulat,
dinamai - maaf - batu payudara. Di situ ada plang bertulisan: dilarang memegang!
Gua Pawon
Gua Pawon, 25 km dari Kota Bandung ke arah barat mulai menjadi perhatian
setelah ditemukannya kerangka manusia prasejarah di dalamnya setelah sebuah
Page | 14

ekskavasi arkeologi pada tahun 2003. Gua yang tadinya tidak terlalu menarik untuk
dikunjungi karena terletak pada kawasan galian batu kapur mulai menjadi atraksi
geowisata setelah diberi interpretasi tentang lingkungan prasejarah di sekitarnya.
Intepretasi bahkan dapat jauh ke masa purba hingga 30 juta tahun yang lalu saat
wilayah itu masih berupa laut dangkal yang ditumbuhi taman-taman terumbu karang.
Dalam pengembangan Gua Pawon sebagai kawasan lindung geologis yang
kemudian berpotensi sebagai daerah tujuan geowisata, maka perlu dirancang suatu
jalur wisata yang terancang dengan baik. Karena geowisata merupakan wisata minat
khusus bagian dari ekowisata dan wisata berkelanjutan, maka perlu diberlakukan
kriteria-kriteria khusus, yaitu:
1. Pengembangan jalur-jalur dan lokasi wisata di sekitar Gua Pawon tidak boleh
banyak mengubah keaslian alam. Pengembangan jalur-jalur wisata dengan cara
penyemenan, pembuatan pagar besi, penunjuk arah, dsb. harus dilakukan
seminimal mungkin sehingga tidak mengganggu keaslian alamiah lokasi yang
dikunjungai.
2. Memperhatikan daya dukung lokasi wisata (misalnya di Taman Batu di Puncak
Pawon dan di dalam Gua Pawon), jumlah sekali kunjungan harus dibatasi. Dari
beberapa pengalaman kunjungan ke Pawon, sekali kunjungan yang paling baik
adalah maksimal antara 20 - 25 orang saja!
3. Perlu diperkenalkan kepada calon wisatawan akan keterbatasan-keterbatasan
alam yang akan tetap dipertahankan: di Puncak Pawon akan terasa terik di
tengah hari, atau jalan setapak becek berlumpur di musim hujan. Ketika
menuruni lereng Bukit Pawon ke arah Gua Pawon, jalan akan licin, berbatu dan
berbahaya, sekali pun dibantu tali. Di dalam gua akan tercium bau menyengat
kotoran kelelawar, jalan yang licin dan kotor berlumpur, harus memanjat
dinding-dinding batu, dsb.
4. Perlu ketegasan pengelola agar kawasan wisata tidak berkembang menjadi
kawasan yang tidak terkendali: tempat parkir dan warung-warung makanan
dan suvenir harus didisain dan ditentukan tempatnya, harus disediakan toilet
yang bersih dan berair, tempat beribadaha (musholla).
5. Keberadaan kampung bukan menjadi halangan tetapi dapat ditingkatkan
potensinya menjadi kampung wisata, dengan menyediakan makanan yang
bersih, tempat menginap yang sederhana tetapi bersih, dsb.
6. Dalam jangka panjang, perlu pelatihan kepada masyarakat setempat untuk
terlibat langsung dalam pengelolaan wisata yang berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan,misalnya menjadi pengelola fasilitas-fasilitas pariwisata, atau
menjadi pemandu wisata (geowisata, ekowisata, agrowisata, wisata budaya,
dsb.)
3.3.

Air Kristal Wisata Danau


Danau-danau menyimpan riwayat geologinya tersendiri. Beberapa danau
merupakan sisa-sisa gunung api berupa kawah atau kaldera yang pernah meletus
dahsyat. Di antara kelompok ini adalah Toba di Sumatera Utara, Maninjau di Sumatera
Page | 15

Barat, Dano di Banten, tiga danau Bedugul dan Batur di Bali, Segara Anakan di Rinjani,
Lombok, atau Tondano di Sulawesi Utara. Banyak danau terbentuk akibat proses
tektonik. Contohnya adalah Singkarak di Sumatera Barat, Lindu dan Poso di Sulawesi
Tengah, atau Matano di Sulawesi Selatan, ternasuk juga Toba yang terbentuk akibat
kombinasi dengan letusan dahsyat gunung api purba. Selain itu banyak danau akibat
kontrol geomorfologi karst seperti Paniai dan Waghete di Papua, atau danau-danau di
Lengguru, Papua Barat. Danau prioritas nasional di Indonesia ditunjukkan pada
Gambar 5 di bawah ini.

Danau Toba

Danau Sentarum

Danau Tempe

Danau Tondano

Dana uLimboto

Danau Sentani

Danau Maninjau

Danau Singkarak

Danau Matano

Danau Kerinci

Danau Poso

Danau Rawa Danau

Danau Rawapening

Danau Batur

DanauSemayang, Melintang, Jempang

Sumber: Fajarsetiawan (2012)

Gambar 5. Penyebaran Danau Prioritas Nasional di Indonesia


Danau Toba
Geowisata Danau Toba akan mengajak kita kembali ke jaman prasejarah, 74.000
tahun yang lalu, ketika suatu rangkaian letusan gunung api yang dahsyat telah terjadi
di sepanjang retakan pada batas-batas timur laut dan barat daya Danau Toba. R.W. van
Bemmelen, seorang ahli geologi Belanda yang bukunya The Geology of Indonesia,
1949 selalu menjadi rujukan geologi Indonesia pada 1929 dan 1939 mengemukakan
hipotesis terbentuknya Danau Toba. Menurutnya, suatu pembumbungan bagian tengah
Sumatera Utara yang dikenal sebagai tumor Batak menjadi cikal bakal terbentuknya
Danau Toba. Tumor itu meletus luar biasa dahsyat, gabungan antara proses-proses
volkanik dan tektonik, menyebabkan amblesnya bagian tengah tumor tersebut
membentuk cekungan memanjang barat laut tenggara, serarah memanjang Pulau
Page | 16

Sumatera, dan juga searah dengan Sesar Besar Sumatera dan Pegunungan Bukit
Barisan. Proses itu juga menyebabkan terungkitnya sebagian dari amblesan,
terangkat naik dengan posisi miring ke arah barat daya, membentuk Pulau Samosir.
Letusan-letusan besar paroksismal menyemburkan abu-abunya hingga ke
lapisan-lapisan stratosfer dan disebarkan ke seluruh permukaan Bumi. Endapan tebal
tentu saja jatuh di sekitar pusat letusan di sekitar Danau Toba, menghasilkan tuf Toba,
batuan berwarna putih dengan butiran-butiran gelas volkanik, fragmen kuarsa, dan
matriks gelas berukuran lempung. Kejadian itu tidak berlangsung dalam satu kali saja.
Hasil penelitian stratigrafi lapisan tuf Toba dan pengukuran umur absolutnya,
menunjukkan adanya lapisan-lapisan tuf hasil letusan sekitar 74.000, 450.000, 840.000,
dan 1,2 juta tahun yang lalu, menghasilkan perulangan 375.000 tahun dengan deviasi
standar 15.000 tahun (Chesner et al. 1991 dan Dehn et al. 1991, dalam Rampino & Self,
1993).
Rampino dan Self (1993) menduga bahwa letusan supervolcano Toba telah
menghasilkan letusan abu gunung api sebesar 2.800 km3 setinggi 40 km ke angkasa
yang kemudian dapat menyebabkan pendinginan permukaan Bumi secara tiba-tiba.
Rampino dan peneliti lainnya menyebut gejala pendinginan global itu sebagai volcanic
winter. Suhu Bumi rata-rata turun 3 5oC. Besar kemungkinan letusan 74.000 tahun
yang lalu mempengaruhi penghuni Bumi dan manusia saat itu. Secara global diketahui
adanya gejala populasi bottle neck berkaitan dengan menurunnya populasi manusia
secara drastisnya bertepatan dengan waktu 74.000 tahun yang lalu. Di Nusantara,
dengan bukti-bukti fosil yang ditemukan di Pulau Jawa, Homo erectus, dan jenis
manusia yang lebih modern seperti Manusia Wajak, besar kemungkinan merasakan
pengaruh besar letusan dahsyat Toba. Memang, belum ada bukti kuat fenomena Toba
menyebabkan kepunahan spesies manusia, tetapi pengaruh perubahan iklim dipastikan
mengubah pola kehidupan mereka.
Geowisata Toba selain menikmati keindahan alam danau yang memang luar
biasa, juga akan merunut sebaran tuf Toba (Brahmantyo, 2009). Tuf teramati dengan
baik misalnya ketika kita memasuki suatu kawasan eksklusif di tepi Danau Toba di
Merek yang bernama Taman Simalem Resort. Tempat tersebut berdisain mewah dan
apik, dengan suatu plaza persis menghadap ke arah indahnya Danau Toba bagian barat
laut. Tempat yang tadinya berstatus hutan lindung itu telah disulap menjadi kawasan
wisata mahal, termasuk pembangunan sebuah vihara besar, dan diapit oleh lereng
curam yang mendominasi tufa Toba. Sifatnya longgar dan berpasir, sehingga rentan
terhadap erosi dan longsor. Gejala erosi dan longsoran telah muncul. Beberapa batu
dinding penahan dan gabion telah dibangun untuk menahan lereng agar stabil.
Lain lagi singkapan tuf Toba pada jalan ke arah Sidikalang, melalui Sumbul.
Sumbul terletak persis pada garis morfologi memanjang barat laut tenggara sebagai
ekspresi Sesar Besar Sumatera. Garis ini ditempati oleh aliran Lau Renun yang menoreh
tajam lembah sungainya. Di lereng Lau Renun yang terjal, tuf Toba yang keras digali
sebagai batu bahan fondasi. Sementara itu pada arah yang jauh berseberangan di
Doloksanggul Onanganjang, sebagian besar batuan tuf telah mengalami alterasi.

Page | 17

Tanah berwarna kuning, jingga, dan merah menghiasi pinggir-pinggir jalan akibat
pengaruh larutan sisa magma pada proses lanjut.
Di Pulau Samosir, tuf Toba yang keras menjadi artefak-artefak peninggalan
kerajaan-kerajaan kuno Batak berupa kursi-kursi dan meja altar tempat penyiksaan
musuh yang tertawan. Batu-batu kursi tersebut sangat terkenal sebagai objek wisata di
Siallagan, Kecamatan Simanindo. Batu tuf keras juga menjadi sarkofagus, tempat
menyimpan mayat raja-raja Sidabutar di Tomok, atau patung-patung berhala. Tuf Toba
yang saat diletuskan menghancurkan ekosistem sekitarnya, jauh setelah itu ternyata
ikut berperan di dalam perkembangan kebudayaan kerajaan-kerajaan Batak tua di
sekitar Danau Toba dan Samosir.
Tingkat kekerasan tinggi batuan tuf Toba tidak hanya dijumpai di lereng Lau
Renun, Sidikalang, Kabupaten Dairi, atau di Pulau Samosir, tetapi juga tercermin dari
air terjun sangat tinggi dan vertikal yaitu air terjun Sipisopiso di Merek. Apalagi di
sepanjang lereng-lereng sangat terjal di ngarai Sei Asahan di Siguragura. Aliran Sei
Asahan mengarah ke timur laut untuk kemudian berubah menjadi sungai besar di
Perhitian, Halado, setelah seluruh airnya keluar dari terowongan PLTA Tangga.
Akhirnya sungai ini mengalir bermeander di dataran pantai timur Sumatera Utara,
untuk kemudian bermuara sebagai sungai distributary yang berliku-liku pada
lingkungan delta di Teluk Nibung, Tanjungbalai.
Danau Poso
Danau Poso di Sulawesi Tengah sebenarnya tidak terlalu menarik dari sisi wisata
alam biasa. Namun dari sisi geowisata, danau ini merupakan salah satu danau yang
dikendalikan oleh akibat sistem sesar Palu-Koro yang membelah Sulawesi Tengah
hingga ke selatan di utara Teluk Bone. Selain itu, tidak jauh dari Poso terdapat lembah
Bada yang diduga adalah sisa-sisa danau purba yang meninggalkan artefak patungpatung megalitik berciri Polinesia.
Jika kita ke Poso, dari Poso pasti kita akan melalui pertigaan Tentena. Tentena,
kota yang berada di tepi Danau Poso, adalah kota kecamatan di Kabupaten Poso yang
selama masa konflik SARA pada pertengahan 1990-an hingga awal 2000-an terimbas
juga sekalipun tidak segawat Poso kota. Di pertigaan itu terdapat tugu dengan prasasti
marmer dan dalam bahasa Belanda terukir demikian:
Herrinnering aan
Reinder Fennema
hoofdingenieur by het mynwezen
verdronken in het posso Meer
27 November 1897.
Kalimat itu dapat diartikan: peringatan kepada Reinder Fennema insinyur kepala
untuk pertambangan, tenggelam di Danau Poso 27 November 1897. Tidak ada satupun
warga yang mengetahui maksud dibangunnya tugu peringatan itu. Jangankan dalam
Bahasa Belanda, sekalipun ditulis dengan Bahasa Indonesia, mungkin sekali mereka

Page | 18

pun tidak tahu satu peristiwa bersejarah di dekat kediamannya. Bagi mereka, Fennema
mungkin hanyalah seorang Belanda biasa.
Padahal di balik itu terdapat kisah yang luar biasa dan mengenaskan yang
seharusnya menjadi sejarah bagi warga Tentena dan Indonesia umumnya. Fennema
bersama J.F. de Corte dan empat orang pembantu dari Minahasa pada sore 27
November 1897 bertolak dengan perahu dari pantai barat untuk menuju Peura di
pantai timur. Cuaca yang tadinya tenang tiba-tiba berubah. Angin kencang bertiup dan
gelombang besar datang menggulingkan perahu. Semua selamat dengan berpegangan
pada badan perahu yang terbalik. Pada sekitar pukul 8 malam, di antara cuaca yang
hitam pekat dan angin menderu-deru, de Corte mendengar teriakan lemah dari arah
Fennema. Namun sebelum semua sempat menyadari, mereka telah mendapati
Fennema hilang tidak berpegangan lagi pada perahu. Mereka hanya pasrah, mengingat
tenaga mereka yang sama-sama lemah yang hanya sanggup untuk berpegangan di
badan perahu selama lebih dari lima jam dalam suhu air yang sangat dingin.
Dua jam kemudian, cuaca membaik. Susah payah mereka membalikkan
perahunya. Dengan sisa-sia tenaga, satu per satu naik ke perahu. Saat matahari subuh
menyingsing, barulah mereka tahu bahwa pantai barat ternyata tidak begitu jauh.
Masyarakat segera menolong dan kembali mencoba mencari Fennema. Namun sia-sia.
Tubuh Fennema hilang ditelan kedalaman Danau Poso, bersama segala peralatan
eksplorasi geologi dan contoh-contoh batuan yang dikumpulkannya. Sampai kini
mayatnya tidak pernah ditemukan. Sungguh tragis. Tetapi di balik peristiwa
mengenaskan itu, penjelajahan eksplorasi geologi memang selalu menantang. Medanmedan yang berat dan jauh justru menantang untuk dijelajahi.
Zaman sekarang kesadaran akan keselamatan sudah cukup tinggi. Prosedur
keselamatan dan asesoris pendukungnya disiapkan. Tentu saja pada beberapa kasus,
sekalipun antisipasi terhadap kecelakan sudah maksimal, kadang-kadang peristiwa
alam yang berubah tidak terduga, bisa membawa kecelakaan fatal. Apalagi kalau kita
sembrono dan tanpa persiapan. Sebagai catatan, dalam geowisata, peristiwa yang
berlatar belakang geologi seperti itu adalah satu daya tarik yang luar biasa.
3.4.

Batu Permata: Wisata Batuan & Mineral di Karangsambung


Karangsambung telah dikenal sebagai wahana pembelajaran geologi sejak tahun
1854. Letaknya sekitar 20 km dari Kota Kebumen, di mana ditemukan sebuah
kompleks besar batuan ophiolitic, yang dikenal sebagai 'Kompleks Melange' (Hamilton,
1979 dalam Smyth et al., 2003).
Karangsambung menyimpan pelbagai monumen
geologi yang sangat unik. Hal ini dikarenakan sekitar 120 juta tahun lalu, kawasan ini
merupakan dasar laut dan menjadi pertemuan lempeng benua dan samudra.
Terhimpunnya berbagai macam batuan di Karangsambung ini merupakan bukti hasil
pertemuan Lempeng Indo-Australia dengan Lempeng benua Asia yang merupakan
suatu fenomena yang sangat langka.
Cagar Alam Geologi Karangsambung memiliki beberapa situs yang sangat
penting untuk mempelajari sejarah bumi, khususnya mengenai proses evolusi lempeng
Asia Timur Selatan. Salah satu kekayaan utama cagar alam geologi ini adalah batuan
Page | 19

metamorf sekis mika di tepi Kali Brengkok. Di sini, wisatawan dapat bersentuhan
langsung dengan batu seismika yang berkilau keperakan saat terkena sinar matahari
yang merupakan singkapan batuan tertua dan merupakan batuan dasar pembentuk
Pulau Jawa. Pengukuran dengan radioaktif menunjukkan batuan ini berumur 121 juta
tahun, dari zaman kapur (Finesso, 2012).
Karangsambung memiliki tiga jenis batuan dasar, yaitu batuan beku, sedimen
dan metamorf. Batuan dasar Pulau Jawa ini memiliki nilai ilmiah tinggi karena
membuktikan proses evolusi lempeng dan kerak bumi telah ada di daerah
Karangsambung. Proses subduksi selama ratusan juta tahun menyebabkan batubatuan purba itu tersingkap ke permukaan dan merupakan rekaman peristiwa
pembentukan muka Bumi. Di sini tersingkap aneka batuan dari berbagai umur dan
proses kejadiannya.
Fenomena geologi lain yang tersingkap di kawasan yang secara geografis
membentang di Kebumen, Banjarnegara, dan Wonosobo adalah situs batu rijang dan
lava basal berbentuk bantal di Kali Muncar. Batuan sedimen dibentuk di dasar laut
purba sekitar 80 juta tahun yang lalu yang membuktikan bahwa dulunya
Karangsambung merupakan dasar laut yang terangkat oleh proses geologi (Finesso,
2012).
Jalur geologi Karangsambung dapat digunakan untuk mempelajari
pengetahuan-pengetahuan darasar tentang proses bumi dan fenomena kejadian alam di
obyek geowisata lainnya di Kebumen. Banyak federasi profesional geologi, pelajar dan
mahasiswa baik nasional dan internasional yang memanfaatkan Karangsambung
sebagai arena bermain mereka. Berbagai peneliti bahkan mengatakan bahwa
Karangsambung merupakan "kotak hitamnya Pulau Jawa". Ada juga yang mengatakan
sebagai " Taman Nasional Yellowstone-nya Indonesia", serta merupakan "Buku Teks
Geologi". Karangsambung memang sangat penting untuk pengembangan geowisata
khususnya di Kebumen, karena semua obyek wisata di kabupaten ini bergantung pada
alam sebagai daya tarik utamanya. Kekayaan geologi yang dimilikinya tidak dapat
ditemukan di tempat lain di Indonesia.
Pembentukan berbagai macam mineral di alam akan menghasilkan berbagai
jenis batuan tertentu. Terletak di 'Ring of Fire', pulau-pulau Indonesia merupakan
sumber berbagai mineral berharga dan mineral berharga (Gambar 6). Wisatawan ke
Karangsambung dapat menikmati batu permata dan batu berburu, pengolahan batu
permata dan suiseki. Suiseki kecil untuk batu berukuran sedang yang alami cuaca
dalam estetika bentuk. Batu-batu ini adalah obyek keindahan besar. Peta pada Gambar
5 menunjukkan bahwa jenis batu permata tertentu hanya dapat ditemukan di lokasi
tertentu, yang menegaskan bahwa Indonesia sangat kaya akan keragaman batu
mulianya.

Page | 20

Sumber: http://asagemstone.blogspot.com/2012/09/peta-batu-mulia-di-indonesia.html

Gambar 6. Penyebaran Batu Mulia di Indonesia


Page | 21

4.

Perkembangan Eko-Geowisata di Taman Bumi (Geopark) Indonesia


Wisatawan cenderung dipengaruhi oleh persepsi mereka dalam memilih suatu
destinasi. Pandangan dan sikap terhadap suatu destinasi sangat penting karena
dimensi tersebut akan membentuk keluar motivasi masyarakat untuk mengunjungi
tempat tertentu. Tanpa motivasi maka tidak akan ada permintaan dalam wisata
(Sharpley, 2006). Meskipun sudah banyak pustaka mengenai motivasi wisatawan
(Singh, 2008), namun studi-studi terdahulu belum banyak memberikan perhatian
terhadap alasan mengapa seseorang melakukan perjalanan ke situs geologi tertentu.
Pandangan terhadap suatu destinasi merupakan sebuah konsep multidimensi
yang dibentuk oleh penilaian kognitif dan afektif dari tempat tersebut (Martin & del
Bosque, 2008) yang didapatkan melalui pengalaman langsung di alam. Sebagaimana
ditunjukkan oleh hasil-hasil berbagai penelitian pendidikan lingkungan, berinteraksi
langsung dengan alam memiliki efek yang kuat terhadap pembentukan sikap dan
perilaku wisatawan terhadap tempat tersebut. Dengan meningkatnya tren pariwisata
saat ini dari konsep pariwisata massal menjadi pariwisata yang berkualitas, keragaman
geologi menawarkan potensi besar untuk kegiatan rekreasi serta wisata minat khusus.
Salah satu tujuan geowisata adalah untuk mendidik wisatawan tentang sejarah
Bumi, geologi secara umum dan tindakan yang diperlukan dalam melindungi
lingkungan serta memelihara keragaman geologi. Belajar harus menyenangkan, tidak
bersifat memaksa, karena itu kunnungan ke suatu situs geologi bisa berubah menjadi
kegiatan yang edukatif. Secara psikologis, bersentuhan dengan alam akan
mempengaruhi respon reflektif seseorang melalui kesan sensorik dan emosional yang
akan menentukan perilaku. Keragaman geologi jelas bukan hanya sekedar memiliki
nilai ilmiah dan estetika seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7. Sebagaimana
dinyatakan oleh Tourtellot (2002: 2 dalam Farsani et al, 2012), geowisata adalah
"kunjungan ke situs geologi untuk tujuan rekreasi dan melibatkan rasa wonderland
belajar". Berdasarkan pemikiran ini, konservasi situs geologi harus diarahkan pada
konservasi warisan geologi, pengetahuan geologi dan geowisata, yang merupakan tiga
tujuan suatu Taman Bumi (Geopark). Konservasi bertujuan melestarikan fitur-fitur
geologi yang signifikan, pendidikan mengkomunikasikan pengetahuan ilmiah dan
konsep lingkungan kepada masyarakat dan geowisata merangsang aktivitas ekonomi
dan pembangunan berkelanjutan (UNESCO, 2006).

Gambar 7. Nilai-nilai keragaman geologi

Sumber: diadopsi dari Gray (2004) oleh Gatuszka dan Migaszewski (2009)
Page | 22

Menurut UNESCO (2006), Geopark adalah wilayah dengan batas-batas yang


terdefinisi dengan baik yang terdiri dari area yang cukup luas yang memungkinkan
terjadinya pembangunan di bidang sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan lokal yang
berkelanjutan. Wilayah ini harus mencakup situs-situs geologi dengan nilai ilmiah,
pendidikan dan estetika yang relevan, berasal dari kejadian langka, serta terkait dengan
nilai-nilai ekologis, arkeologi, sejarah dan budaya (Zouros, 2004; 2006; Eder & Patzak,
2004). Geopark harus memiliki peran aktif dalam pembangunan ekonomi wilayah
melalui peningkatan citra public terkait warisan geologi dan geowisata. Hal tersebut
harus memiliki dampak langsung pada wilayah dengan mempengaruhi kondisi
kehidupan masyarakat dan lingkungannya. Agar warisan geologi dapat dilestarikan,
public harus mengetahuinya, membekali mereka dengan pengalaman yang berkualitas
dan kepuasan yang pada akhirnya akan menciptakan kesadaran dan penghargaan
terhadap alam secara holistik. Geologi perlu menjadibagian dari kehidupan masyarakat
yang tinggal di dalam Geopark. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas,
maka seluruh konsep pengembangan pariwisata di Geopark dapat disebut sebagai
EKO-GEOWISATA.
Dalam mempromosikan Eko-geowisata yang berkelanjutan, Indonesia telah
mengusulkan enam dari 33 kawasan Geopark-nya (Oktariyadi, 2012 - Gambar 8) untuk
mendapatkan pengakuan dunia sebagai Geopark Dunia. Inisiatif ini telah membawa
Geopark Batur sebagai Geopark Dunia pertama di Indonesia pada tahun 2012 dan
secara resmi menjadikan Indonesia sebagai anggota ke-90 (dari 94 saat ini) dari
UNESCO Global Geopark Network (GGN) sementara lima lainnya disebut sebegai
Aspiring Geopark (geopark yang diusulkan sebagai Geopark Dunia).

Gambar 8. Penyebaran Geopark dan Calon Geopark Dunia di Indonesia

Source: Oktariyadi (2012)

Page | 23

4.1.

Eco-Geowisata in Kaldera Batur, Geopark Dunia Pertama di Indonesia

Sumber: www.indonesia.travel

Geopark Batur berpusat pada sebuah gunung api aktif yang terletak di bagian
timur laut dari Provinsi Bali, khususnya di Kabupaten Bangli dan Kecamatan
Kintamani. Geopark ini terletak di antara dua kaldera bulat, yaitu kawah vulkanik
besar yang terbentuk sekitar 22.000 tahun yang lalu. Gunung Batur merupakan bagian
dari rangkaian Ring of Fire Pasifik dan merupakan bagian dari rantai panjang gunung
api aktif serupa di Indonesia. Daerah ini kaya akan unsur makro dan mikro vulkanik
yang dihasilkan selama ribuan tahun. Gunung Batur termasuk tipe gunung api strato
yang terbetuk dari campuran lapisan piroklastik dan aliran lava. Dua letusan dahsyat
dalam sejarah geologi telah menghasilkan dinding kaldera yang menakjubkan, di
bagian dalamnya saat ini diisi oleh sebuah danau vulkanik yaitu Danau Batur. Gunung
api Batur telah meletus sedikitnya 22 kali sejak 1800. Pulau Bali adalah pulau dengan
banyak tempat wisata alam dan budaya, namun Gunung Batur terkenal karena
keunikan geologi dan pemandangannya. Menurut van Bemmelen (1949), Kaldera Batur
merupakan salah satu pemandangan terindah di dunia. Dari sisi budaya, Geopark
Batur menampilkan adat istiadat setempat yang sangat spesifik yang berhubungan
dengan agama Hindu Bali (Ministry of Culture and Tourism, 2011a).
4.4.1. Signifikansi nilai geologi kawasan
Batur adalah gunung api dengan kaldera berganda, atau kaldera dalam kaldera
yang dipengaruhi oleh dinamika magma. Bagian luar kaldera (Kaldera-I) berbentuk
elips dengan dimensi 13,8x10 km sedangkan kaldera dalam (Kaldera-II) melingkar
dengan diameter 7,5 km (Sutawidjaja, 2012). Dibandingkan dengan sistem kaldera
gunung api lainnya di Indonesia yang dipengaruhi oleh reruntuhan kaldera atau
kombinasi dari sistem tektonik dan reruntuhan kaldera, Kaldera Batur adalah murni
hasil penghancuran letusan gunung api purba yang menghasilkan endapan Ignimbrit
dalam volume yang sangat besar.
Menurut Sutawidjaja (2012), geologi Kaldera Batur tidak dapat dipisahkan dari
sejarah geologi Pulau Bali. Sebagian dari Bali ditutupi oleh endapan Ignimbrit yang
berasal dari erupsi 29.300 dan 20.150 tahun yang lalu, yang memberikan kekayaan dan
keragaman warisan geologi. Batuan tertua yang ditemukan di Pulau Bali berumur
20.000.000-60.000.000 tahun yang lalu (Miosen). Berbagai proses geologi selanjutnya
menghasilkan berbagai jenis batuan di laut, dan kemudian terangkat ke daratan.
Geopark Batur menyajikan berbagai fenomena alam yang luar biasa, seperti Caldera-I
Page | 24

dan II-, Gunung Batur, produk letusan gunung api, danau, serta tempat untuk
menonton erupsi stromboli yang menarik. Letusan Stromboli memuntahkan material
pijar setinggi 200-400 m dan dalam radius lebih dari 500 m, menyajikan objek wisata
"kembang api" yang menawan dan langka di malam hari.
Geopark ini memiliki satu kawasan lindung yaitu Taman Wisata Alam
Penelokan. Selain itu, kaldera dan daerah sekitarnya kini ditetapkan sebagai area
Cadangan Geologi melalui Keputusan Kepala Badan Geologi, Kementerian Energi dan
Sumberdaya Mineral, No 37.K/73/NGL/2012.
4.4.1. Kearifan lokal dan sistem kehidupan
Pandangan dan filsafat hidup masyarakat Bali (Tri Hita Karana) secara harfiah
diterjemahkan sebagai Tiga Prinsip Kesejahteraan, yang menyatukan spirit, manusia
dan alam. Kaldera Batur diyakini masyarakat memiliki empat komponen utama bumi:
bumi, air, api, dan udara. Alam memberikan berkah tetapi bisa juga berubah menjadi
bencana. Terdapat 27 candi di sekitar kaldera. Pura yang dibangun di lereng gunung
digunakan sebagai tempat persembahan kepada para dewa. Bahan bangunan Pura
terbuat dari lava andesit basaltik yang dihasilkan dari letusan Gunung Batur
(Sutawidjaja, 2012). Masyarakat memanfaatkan tanah vulkanik yang subur untuk
ditanami anggrek dan tanaman hortikultura seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, kentang,
kacang tanah, cabe, tomat dan kacang kedelai. Upaya ini mendukung pengadaan
produksi pangan secara subsisten dan produksi untuk dijual.
Danau Batur memiliki peran penting dalam kehidupan perdesaan di kaldera.
Masyarakat mengambil air dari danau, atau menggunakan danau untuk hampir semua
kegiatan yang memerlukan air. Ikan dari danau merupakan sumber utama protein.
Danau Batur adalah sumber air irigasi untuk ribuan hektar sawah di Bali yang dikelola
menggunakan sistem Subak, yaitu sistem irigasi komunal yang telah berkembang
selama berabad-abad dan unik bagi budaya dan agama di Bali. Subak telah ada sejak
2012 dan telah diakui sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO.
Terletak di tengah-tengah Danau Batur, adalah desa kuno Trunyan, di mana
penduduk desa menempatkan jasad orang yang meninggal langsung di bawah pohon
Taru Menyan, semacam pohon benzoat, yang memancarkan aroma yang kuat, dan
endemik di desa ini, yang tentunya menambah nilai eko-geowisata Geopark Batur.
4.4.1. Pendidikan geologi
Wisatawan yang berkunjung ke Geopark Batur tidak hanya menikmati
pemandangan nan indah tapi bisa belajar banyak hal yang berhubungan dengan
geologi secara umum termasuk pembentukan gunung api, jenis letusan, bentuk gunung
api, berbagai gunung berapi di Indonesia, dan khususnya sejarah geologi dan
pembentukan Gunung Batur dan Danau Batur. Museum Gunung Batur yang terletak di
Penelokan, Kintamani adalah salah satu media interpretasi dan merupakan salah satu
atraksi utama. Wisatawan dengan mudah memahami informasi yang sampaikan
melalui interaksi langsung dengan kawasan. Selanjutnya, geopark ini memberikan
pembelajaran mengenai hubungan harmonis antara manusia dan lingkungannya.
Page | 25

4.2. Eko-geowisata di Geopark Pacitan

Sumber: Ministry of Culture and Tourism (2011)

Kawasan karst adalah salah satu pemandangan alam yang luar biasa di Bumi ini
dan merupakan aspek penting dari keanekaragaman hayati dan keragaman geologi
Bumi. Gua, yang merupakan fitur penting dari bentang alam karst adalah laboratorium
alam yang digunakan oleh para ilmuwan untuk mempelajari peristiwa geologi masa
lalu termasuk iklim masa lalu, penyebaran fauna bahkan permukiman manusia purba
karena kemampuan speleothemnya (gua ornamen) dalam merekam peristiwa geologis.
Pulau Jawa memiliki sejarah panjang kependudukan sejak awal Pleistosen (Tu, 2012).
Karst Pacitan menjadi bagian integral dari sistem Karst Gunung Sewu yang
terkenal dan telah diakui sebagai salah satu tipe karst yang spesifik di dunia untuk
karst tropika (Uhlig, 1980) membuatnya menjadi prototipe morfologi setengah-kubah
(atau sinoid) karst di Asia Tenggara (Lehmann, 1981). Fenomena geologi dan bentukan
karstnya mengungkapkan sejarah dan perkembangan cekungan sedimentasi karbonat,
setidaknya sejak awal Neogen atau 23 juta tahun yang lalu. Sementara itu, fenomena
ekso-dan endokarst mengawetkan proses karstifikasi yang dimulai pada awal periode
Kuarter, atau 1,8 juta tahun yang lalu (Ministry of Tourism and Culture, 2011b).
Kompleks batuan kapurnya terdiri dari ribuan bukit semi-bulat (Gunung Sewu),
diperkirakan oleh Kusumayudha (2000) mengandung sekitar 45,000-50,000 bukit dalam
area seluas 1300 km2. Bukit-bukitnya cukup konsisten dalam ukuran, dengan nilai
tengah diameter 200 m dan tinggi 50 m (Lehmann, 1981; MacDonald & Partners, 1984).
4.2.1. Signifikansi nilai geologi kawasan
Dikenal sebagai kota 1001 gua, Pacitan memiliki ruang gua horizontal terpanjang
di Jawa yaitu Luweng Jaran, dan gua tunggal vertikal terdalam (shaft) di Jawa, Luweng
Ombo. Sistem perguaan baik horizontal dan vertical menyebar merata di daerah ini.
Penghitungan awal terhadap umur speleotem di wilayah ini memberi
kemungkinan bahwa Pacitan merupakan pemukiman gua tertua di Asia Tenggara (Tu,
2012). Temuan batu artefak berumur Paleolitik sampai Neolitik di Gua Terus
mencirikan budaya Pacitan. Penggalian yang lebih intensif menghasilkan temuan
budaya dari zaman Pleistosen Tengah ke Holosen (Tu, 2012). Ditemukannya stalagmit
berbentuk jamur di lantai gua (Fauzi, 2008; Semah et al 2004;. Ansyori, 2010 dalam Tu,
2012) mencerminkan kondisi yang selalu basah. Analisis paleontologi dari binatang
yang ditemukan dalam lapisan ini mengungkapkan kemiripan yang dekat dengan
fauna Punung (Ansyori, 2010 di Tu, 2012) yang merupakan asosiasi fauna penting
dalam memahami distribusi dan evolusi mamalia (Storm & de Vos, 2006).
Page | 26

4.2.2. Kearifan lokal dan sistem kehidupan


Masyarakat di Geopark Pacitan tersebar di wilayah perdesaan. Penyebaran
pemukiman cenderung dipengaruhi oleh sumberdaya yang terbatas untuk produksi
pertanian termasuk tanah produktif dan air yang relatif jarang dijumpai di lingkungan
karst. Interaksi dinamis antara manusia dan alam di Karst Gunung Sewu yang
terbentuk selama ratusan tahun telah menghasilkan strategi atau sistem pertanian lokal
yang spesifik baik secara budaya, fisik dan sosial dari untuk meningkatkan hasil dari
sumberdaya pertanian dan meningkatkan ketahanan pangan dan pendapatan (Sunkar,
2008). Pola beradaptasi dengan lingkungan ini telah membuat masyarakat Pacitan
mampu bertahan hidup dalam kondisi alam lingkungan yang keras.
4.2.3. Pendidikan geologi
Geowisata di Geopark Pacitan dapat dikaitkan dengan keberadaan situs-situs
arkeologi, biologi, sejarah dan budaya yang terdapat di daerah tersebut. Dengan
demikian, wisatawan dapat mendapatkan pengetahuan yang mengintegrasikan sejarah
alam dengan keragaman geologi, keanekaragaman hayati dan budaya.
Semua bukti yang mendukung pengangkatan aktif pantai selatan selama waktu
Kuarter hingga sekarang dapat ditemukan di geopark ini. Studi morfogenesis karst
dapat dilakukan hampir di semua tempat di wilayah geopark. Jejak kebudayaan
prasejarah dapat dipelajari melalui suksesi stratigrafi dari sedimen gua. Bekas lubang
ekskavasi dalam gua-gua masih dipelihara rapi, dan semua berada di bawah
kewenangan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Song Terus dan Gunung Dawung
adalah dua situs kunci untuk memahamin pemukiman manusia di Asia Tenggara
selama tahap inter-glasial terakhir (Tu, 2012). Stalagmit berlimpah di dalam Song Terus
adalah fondasi yang berharga untuk menghasilkan informasi kronologis dan iklim
bumi masa lalu dengan resolusi yang lebih tinggi untuk pendudukan manusia dan
rekonstruksi paleoklimat (Tu, 2012). Replika manusia prasejarah dari Song Terus
disimpan di laboratorium arkeologi dan di museum mini dalam gua tersebut.
Pemahaman tentang sejarah pembentukan Bumi, bentang alam terutama karst,
diberikan melalui pembangunan beberapa jalur geologi yang mencerminkan hubungan
waktu dan ruang di setiap situs geologi (Ministry of Culture and Tourism, 2011b):
1. Teluk Pacitan mengeksplorasi pengangkatan aktif di wilayah pantai selatan.
2. Sungai Baksoka mengajak wisatawan untuk mengamati dua fenomena sekaligus,
stratifigrafi dari endapan Kuarter yang mendasari satuan batugamping dan situs
paleolitic terkenal yang dikenal sebagai Budaya Pacitan.
3. Arkeologi - mengeksplorasi kehidupan masa lalu dan budaya kuno dalam beberapa
gua arkeologi di selatan Punung.
4. Gua menghubungkan tiga gua wisata (Gong, Kalak, dan Luweng Ombo) dengan
bentuk, tipe, ukuran, speleogenesis dan fungsi yang berbeda.
5. Pesisir menghubungkan tiga pantai eksotis, i.e Klayar, Srau, dan Buyutan. Di
Klayar, wisatawan akan takjub dengan semburan seperti geyser oleh penduduk
setempat disebut sebagai seruling laut; Srau dan Buyutan memberikan informasi
mengenai pembentukan dan keunikan bentang alam pesisir karst.
Page | 27

4.3.

Eko-geowisata di Geopark Kaldera Toba

Sumber: www.savethetao.org

Toba juga merupakan kaldera terbesar di dunia (Yokohama & Hehanusa 1981)
yang dihasilkan dari salah satu letusan gunung api terbesar di dunia, meletus sekitar
74.000 tahun yang lalu. Kaldera berdinding curam ini merupakan lokasi Danau Toba,
danau vulkanik terbesar di Planet Bumi. Dilihat dari luar angkasa, kaldera ini adalah
salah satu kawah gunung berapi yang paling mencolok di Bumi, berukuran 100x30 km.
Menyemburkan magma sejauh 2.800 km3 sekitar 74.000 tahun yang lalu, letusannya
merupakan yang terbesar pada periode geologi Kuarter dengan magnituda letusan 8,8.
Sebagian besar wilayah Sumatera Utara tenggelam dalam Ignimbrit yang memanjang
dari pantai ke pantai, deposit abu yang cukup luas menyelimuti sebagian besar wilayah
Asia Tenggara termasuk seluruh sub-benua India, dan awan aerosol dan awan debu
mungkin menyelimuti Bumi juga pada saat itu. Efek dari letusan dahsyat termasuk
musnahnya flora dan fauna di Sumatera Utara, dan mungkin penyebab perubahan
suhu regional dan global dan dampak lingkungan lain yang terkait (Chesner, 2011).
Danau Toba dengan panjang 87 km dari barat daya ke tenggara dan lebar 27 km,
terletak di ketinggian 904 meter di atas permukaan laut dan kedalaman maksimum 505
meter, telah menjadi salah satu aset wisata penting bagi Indonesia. Keindahan alam
Danau Toba telah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Airnya yang biru, penduduknya
ramah dan budaya Batak yang sangat menawan, menarik wisatawan dari seluruh
dunia dengan tujuan menikmati pemandangan danau. Di tengah danau terdapat
sebuah pulau indah yang dikenal sebagai Pulau Samosir.
4.3.1 Signifikansi nilai geologi kawasan
Gunung Toba telah meletus tiga kali. Letusan pertama diperkirakan sekitar 800
ribu tahun yang lalu, kedua 500 ribu tahun yang lalu dan yang ketiga sekitar 74.000
tahun yang lalu. Posisi geografis Gunung Toba berada pada titik pertemuan antara tiga
lempeng tektonik, Eurasia, Indo-Australia dan Lempeng Pasifik. Setiap tahun,
lempeng-lempeng ini bergeser atau menghancurkan lempeng lain pada jarak tertentu.
Dari pergeseran itu, terbentuk pegunungan termasuk Gunung api Toba. Jika terjadi
tumbukan, lempeng samudra yang mengandung lapisan sedimen menyusup di bawah
lempeng benua. Proses ini disebut sebagai subduksi. Dengan posisi seperti itu, Danau
Toba merupakan salah satu pusat studi geologi dunia. Hutan hujan tropisnya
merupakan rumah berbagai flora fauna langka seperti Edelweis (Anaphalis javanica),
kantong semar (Nephenthes spp.) dan harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae).
Page | 28

4.3.2 Kearifan lokal dan sistem kehidupan


Etnis masyarakat Toba adalah Batak, istilah kolektif yang digunakan untuk
mengidentifikasi sejumlah kelompok etnis di Sumatera Utara. Danau Toba adalah
tanah air asli dari orang Batak. Dalam kepercayaan Batak, air adalah awal dari sebuah
kehidupan fisik. Oleh karena itu, Danau Toba memiliki arti khusus dalam hati
masyarakat Toba. Cekungan Danau Toba memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap pembangunan ekonomi lokal, regional dan nasional. Di Danau Toba, terdapat
14 jenis ikan air tawar dengan satu spesies endemik, yang Neolissochillus thienemanni.
Ikan ini merupakan salah satu unsur utama dalam prosesi adat budaya Batak Toba.
Keanekaragaman hayati, suhu dingin dan lingkungan yang menyegarkan, udara
bersih, tanah yang subur menjadikan tempat ini sebagai tempat yang ideal untuk
tempat tinggal manusia. Posisi geografis yang unik juga terlihat dari karakter sumber
penghidupan ekonomi masyarakat yang sebagian besar berasal dari perairan bersih,
sumberdaya yang melimpah dan hutan hujan tropis yang lebat. Masyarakat umumnya
bekerja sebagai nelayan, petani dan pedagang. Unsur alami seperti kulit bambu, kayu
dan hewan, digunakan untuk memproduksi alat musik lokal yang unik. Hubungan
manusia dengan alam dikodifikasikan dalam berbagai ekspresi baik sebagai sistem
sosial, budaya, seni dan spiritual. Arsitektur rumah memanfaatkan unsur-unsur alam
seperti kayu, batu dan serat. Sawah biasanya ditemukan di bagian selatan danau,
karena bagian ini relatif datar dan terbuka, sementara sawah kering dapat ditemukan di
bagian utara danau ditandai dengan hutan lebat yang terletak di sebuah dataran tinggi.
Daerah ini dikenal dengan sayuran dan buah-buahannya yang sesuai dengan bentuk
bentang alamnya.
4.3.3 Pendidikan geologi
Sejarah geologi Kaldera Toba banyak menarik perhatian berbagai peneliti selama
lebih dari satu abad. Dalam geologi, dua penjelasan utama sejarah geologi Danau Toba
digambarkan sebagai: (a) produk dari big bang, atau (b) produk gabungan beberapa
peristiwa letusan gunung api. Dalam studinya tentang Kompleks Kaldera Toba,
Chesner (2011) melaporkan bahwa sejarah penelitian di Kaldera Toba selama lebih dari
satu abad telah menghasilkan informasi penting tentang pembentukan fisik kaldera
yang kaya silikat dan hasil letusan dasyat, evolusi geokimia magma yang kaya silikat,
dan pencitraan geofisik sistem sub-gunung api aktif. Penelitian di Toba juga
mempelajari pengaruh perubahan iklim dari letusan gunung api terbesar tersebut.
Studi terbaru adalah mengenai tomografi seismik dari dapur magma Toba, vulkanisme
sejak letusan terakhir pembentuk kaldera, dan pemetaan batimetri dari lantai kaldera.
Sejarah geologi Toba tentunya tidak hanya menjadi perhatian ilmuwan tetapi
pada kenyataannya harus digunakan untuk mendidik masyarakat sekitar akan
pentingnya daerah mereka serta publik pada umumnya. Wisatawan yang mengunjungi
Toba tidak hanya membawa kenangan berpetualang tetapi juga pengetahuan mengenai
peran Toba dalam sejarah Bumi, Danau Toba dengan masyarakatnya dan Pulau
Samosir, proses dan formasi batu kapur, gunung api, sungai dan danau dengan
memanfaatkan beragam atraksi geologi yang dapat dijumpai.
Page | 29

4.4.

Eko-geowisata di Geopark Merangin Jambi

Sumber: http://www.scribd.com/doc/97386651/Buku-Saku-Edisi-2

Fosil adalah sisa-sisa geologi atau jejak organisme yang pernah hidup, baik
tanaman ataupun hewan. Fosil menunjukkan bahwa Planet Bumi memiliki sejarah
kehidupan. Fosil tumbuhan Comiates sp menyebar di berbagai tempat di sekitar Sungai
Merangin dan Sungai Mengkarang (http://www.scribd.com/doc/97386651/BukuSaku-Edisi-2). Dikenal sebagai Flora Jambi, fosil ini adalah sejenis pandan purba yang
tumbuh pada periode 290-299 juta tahun yang lalu (Zaman Perem Awal). Flora Jambi
diidentifikasi sebagai flora fosil tertua dari Asia Tenggara dan merupakan fauna
penghubung antara provinsi flora Cathaysian dan Euramerican, yang merupakan inti
titik penyebaran flora (botanical nucleus) ke berbagai arah. Keragaman geologi ini
merupakan warisan geologi dunia yang tak ternilai harganya.
4.4.1. Signifikansi nilai geologi kawasan
Kekayaan Geopark Merangin Jambi berada di peringkat yang lebih tinggi dari
geopark fosil lainnya di dunia, seperti di Cina dan Amerika Serikat. Keragaman geologi
di Sungai Merangin dan Mengkarang menunjukkan bahwa Pulau Sumatera terbetuk
sekitar 250-290 juta tahun yang lalu. Berdasarkan rekonstruksi lempeng tektonik,
Sumatera terpecah dalam tabrakan antara benua Eurasia dan India, sehingga terseret
dan pindah dari Cathaysia melalui celah-celah besar di sistem Asia Tenggara dan Asia
Timur. Lempeng tersebut kemudian mengunci Pulau Sumatera dan menghasilkan
keragaman geologi dengan nilai warisan geologi yang tinggi.
Geopark Merangin Jambi terutama terpusat pada Formasi Mengkarang. Formasi
ini tersingkap sepanjang Sungai Mengkarang, Merangin, sebagian Sungai Mesumai dan
Sungai Tabir yang terletak sekitar 20 km sebelah barat dari Kota Bangko. Formasi
Mengkarang adalah satuan batuan pembawa fosil flora dan fauna Jambi (Molusca;
seperti siput dan kerang). Situs ini merupakan situs geologi yang mengandung fosil
tumbuhan
tertua
di
Indonesia,
bahkan
di
Asia
Tenggara
(http://www.scribd.com/doc/97386651/Buku-Saku-Edisi-2).
Untungnya, situs ini terletak di dalam kawasan konservasi Taman Nasional
Kerinci Seblat, sehingga setidaknya beberapa bentuk perlindungan sudah ada. Upaya
konservasi lainnya meliputi perencanaan tata ruang kawasan yang sudah disepakati
oleh seluruh pemangku kepentingan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9
dibawah:
Page | 30

Gambar 9. Sketch of the Agreed Proposed geopark Zoning


Source: http://www.scribd.com/doc/97386651/Buku-Saku-Edisi-2

4.4.2. Kearifan lokal dan sistem kehidupan


Sungai Merangin memiliki hubungan yang erat dan interaksi dengan
masyarakat setempat. Hal ini tercermin dalam karakteristik masyarakatnya yang sangat
bergantung pada Sungai Merangin, baik untuk memenuhi kebutuhan harian, hidup
dan mencari nafkah. Demikian pula, budaya yang diciptakan antar generasi melalui
mitos atau cerita rakyat tidak terlepas dari keberadaan Merangin dengan semua
komponennya. Aliran Sungai Merangin juga merupakan batas alami yang memisahkan
bagian selatan desa dengan perkebunan karet masyarakat. Keduanya dihubungkan
oleh sebuah jembatan gantung yang menjadi akses penting bagi warga Desa Air Batu.
4.4.3. Pendidikan geologi
Paleontologi merupakan kata yang masih asing walaupun artinya adalah studi
tentang fosil. Di sisi lain, hampir semua orang sangat akrab dengan kata dinosaurus
atau film Jurassic Park. Popularitas dinosaurus dan Jurassic Park menunjukkan bahwa
jika mungkin kembali mundur dalam waktu, akan memberikan petualangan
menyenangkan. Pemahaman mengenai paleontologi dan penghargaan terhadap fosil,
merupakan fenomena global yang saat ini sedang ditingkatkan kekuatannya (Scott
2005; Sharma 2002 dalam Clark, 2008). Tantangannya adalah untuk melibatkan dan
mendidik masyarakat sehingga mereka dapat memiliki pemahaman yang lebih besar
mengenai pengaruh proses-proses geologi terhadap sumberdaya biotik di masa lalu.
Mendidik wisatawan adalah salah satu tujuan utama keberadaan Geopark
Merangin yang dilakukan dengan membangun jalur di sepanjang situs geologi yang
menarik. Jalur di dalam wilayah zona inti dan zona penerima telah dirumuskan sebagai
daya tarik utama dari situs ini. Jalur dibagi menjadi dua, yaitu lintasan basah dan
kering. Pembagian tersebut didasarkan pada karakteristik wisatawan potensial di mana
beberapa akan menikmati wisata air, sementara yang lain mungkin tidak akan terlalu
tertarik masuk ke sungai, dan mereka akan lebih memilih lintasan kering. Dengan cara
ini, semua wisatawan dapat memiliki kesempatan untuk meningkatkan pengetahuan
mengenai geologi wilayah dan membayangkan evolusi kehidupan yang pernah terjadi
melalui pemahaman paleontologi dan pengalaman berada di kawasan hutan fosil.
Page | 31

4.5.

Eko-Geowisata di Geopark Rinjani

Sumber: www.rinjaninationalpark.com; Schellhorn (2007)

Gunung Rinjani terletak di utara Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat.


Keindahannya telah menarik banyak wisatawan dan pendaki nasional dan
internasional untuk menginjakkan kaki mereka di Puncak Rinjani. Gunung Rinjani
memiliki ketinggian 3.762 m dpl, sehingga merupakan gunung api tertinggi kedua di
Indonesia. Gunung api aktif dengan tutupan hutan lebat di daerah sekitarnya ini
merupakan bagian integral dari Taman Nasional Gunung Rinjani. Selain itu, Rinjani
terletak di garis zona transisi Wallacea. Di sini, flora dan fauna tropis Asia Tenggara
bertemu flora dan fauna Australia, sehingga ditemukan banyak spesies endemik.
Keputusan Menteri yang dikeluarkan pada tahun 1990 memberikan dasar
hukum bagi pembentukan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR). Saat ini, Gunung
Rinjani telah memperoleh tiga penghargaan internasional yakni World Legacy Award
untuk kategori Destination Stewardship dari Conservation International dan National
Geographic Traveller pada tahun 2004, dan finalis untuk Tourism for Tomorrow Awards,
pada tahun 2005 dan 2008 dari World Travel Tourism Council (WTTC).
4.5.1 Signifikansi nilai geologi kawasan
Terlepas dari keragaman batuan, letusan dasyat Rinjani menghasilkan kaldera
gunung api spektakuler dengan kawah Danau Segara Anak yang telah lama
merupakan pemandangan ikon dari Lombok. Sejarah letusan Gunung Rinjani dimulai
sekitar 1 juta tahun yang lalu, di mana gunung api besar (Rinjani Tua) tumbuh sekitar
5.000 m di utara Pulau Lombok. Letusan yang tiba-tiba kembali terjadi sekitar 14.000
tahun yang lalu. Besarnya letusan menghasilkan kaldera atau kawah yang disebut
Segara Anak. Tingkat berikutnya adalah pembentukan kerucut Rinjani yang
menempati sisi timur kaldera, diperkirakan terjadi sekitar 11.000 tahun yang lalu.
Segara Anak kemudian terisi dengan air, membentuk danau. Pada saat yang sama,
pertumbuhan baru, yaitu Gunung Barujari, Gunung Rombongan, dan Gunung Anak
Barujari terbentuk di dalam kaldera. Kaldera Segara Anak berukuran 3.500x4.800 m
berbentuk oval ke arah timur-barat. Topografi yang berasal dari letusan terletak pada
ketinggian 2.008 m dpl. Dasar kaldera terisi dengan air hujan, membentuk sebuah
danau berbentuk bulan sabit seluas 11.000.000 m2. Kedalaman danau telah mencapai
160 m-230 m. Sedimentasi terjadi pada tahun 1951 dan menghasilkan kedalaman sekitar
200 m. Luas danau juga menyusut menjadi 11.000 hektar (Rakhmat, 2012). Kondisi
tersebut disebabkan oleh erosi di bagian atas dan masuknya bahan letusan tahun 1944.
Air danau keluar menuju pantai utara di timur laut di mana ditemukan air panas.
Page | 32

4.5.2 Kearifan lokal dan sistem kehidupan


Atraksi di TNGR meliputi fitur alam dari ekosistem serta seni budaya
tradisional. Taman nasional ini merupakan Situs Keramat Alami bagi suku Sasak dan
Bali, dimana ribuan peziarah dating setiap tahunnya untuk memberikan persembahan
kepada Danau Rinjani. Untuk membantu konservasi dan memastikan bahwa
masyarakat di daerah penyangga menerima manfaat dari pendapatan pariwisata,
kegiatan ekowisata berbasis masyarakat telah dikembangkan dengan tujuan untuk
mengembangkan kemitraan antara otorita taman nasional, industri pariwisata dan
masyarakat lokal. Hal ini menyebabkan pembentukan Badan Pengelola Rinjani, terdiri
dari wakil-wakil dari LSM, pemerintah, tur operator dan masyarakat lokal. Dewan
berfungsi sebagai forum koordinasi pengelolaan pariwisata TNGR.
Kunci atraksi di sini adalah Trek Rinjani, rute trekking beberapa hari antara Desa
Senaru ke tepi kawah (Plawangan) dan turun ke kawah danau yang menakjubkan
kemudian ke Sembalun Lawang di Lombok Timur, yang dianggap sebagai salah satu
trek terbaik di Asia Tenggara (Rakhmat, 2012). Sebagai atraksi ekowisata paling
populer di Lombok, popularitas Trek Rinjani memberikan dasar bagi pengembangan
industri pariwisata skala kecil di Desa Senaru (Schellhorn, 2007) sebagai pintu gerbang
utama. Selama wisatawan tinggal di desa, mereka dapat mengunjungi berbagai obyek
wisata alam dan budaya dari daerah sekitarnya, seperti air terjun dan desa tradisional
Sasak Wetu Telu, penduduk asli Senaru. Desa ini memiliki arsitektur tradisional yang
dibangun berdasarkan kalender "atas - bawah", di mana di bagian atas adalah rumah
adat yang disebut melokaq (Mangku).
Kemitraan ini melibatkan penduduk setempat melalui konsultasi publik,
pemetaan sumberdaya, kesadaran lingkungan, pemandu, perempuan penenun,
pemandu wanita, seni pertunjukan, makanan ringan dan T-Shirts. Masyarakat yang
dikelola koperasi memiliki sistem daftar untuk pemandu dan porter, kegiatan wisata
desa dan penjualan kerajinan. Pendapatan dari kegiatan pariwisata dan biaya masuk
digunakan untuk konservasi, pelatihan dan manajemen dan membantu TNGR dengan
pemeliharaan Trek Rinjani, sehingga memastikan keberlanjutan kegiatan ini (Zeppel,
2006). Model kelembagaan ini adalah unik di Indonesia dan dianggap sebagai contoh
bagi implementasi praktis dari "ekowisata".
4.5.3 Pendidikan geologi
Taman Nasional Gunung Rinjani memiliki situs vulkanik dengan nilai-nilai
warisan geologi penting untuk pengembangan ilmu kebumian dan memfasilitasi
pendidikan melalui geowisata berbasis pengetahuan. Aspek yang dapat dipelajari dari
TNGR meliputi gunung api, kaldera, kerucut gunung api muda, lapangan solfatara,
mata air panas, bentang alam dengan nilai estetika tinggi, seperti air terjun, dan lainlain. Trek Rinjani menyediakan akses ke kaldera dan puncak Gunung Rinjani di mana
yang melintasi lereng Gunung api Rinjani. Trek ini mengarah ke tepi kawah dengan
pemandangan kawah yang spektakuler diisi oleh Danau Segara Anak. Wisatawan juga
akan memiliki pemahaman tentang bagaimana budaya lokal mempersepsikan
lingkungan geologinya dan bentuk praktek lokal bagi keberlanjutan lingkungan hidup.
Page | 33

4.6 Eko-geowisata di Geopark Raja Ampat

Source: www. Indonesia.travel

Kepulauan Raja Ampat terletak di jantung Segitiga Karang Dunia dan


merupakan rumah bagi keanekaragaman hayati laut tropis terkaya di dunia dengan 574
spesies dan individu karang yang mendukung sampai 280 spesies/ha (Veron et al.,
2009). Geopark ini terletak di bagian timur Indonesia, yang merupakan gugusan pulau
di Kepala Burung Papua. Setidaknya terdapat 1.500 pulau kecil di sekitar empat pulau
utama yaitu Misool, Salawati, Batanta dan Waigeo dan pulau kecil Kofiau. Tidak hanya
keindahan geologi yang dimiliki oleh Raja Ampat, tetapi keanekaragaman hayati juga
berlimpah dan menawan. Selain itu, fenomena alam yang unik yang hanya terjadi pada
setiap akhir tahun dapat dijumpai disini yaitu cahaya yang datang dari laut sekitar
permukaan yang berlangsung sekitar 10-18 menit. Penduduk setempat menyebutnya
sebagai "hantu laut". Salah satu alasan kekayaannya adalah kondisi geologi.
4.6.1. Signifikansi nilai geologi kawasan
Secara geologi, Kepulauan Raja Ampat tidak terlepas dari sejarah pembentukan
Pulau Papua yang terletak di tepi Lempeng India-Australia. Papua berkembang sebagai
hasil dari pertemuan lempeng India-Australia yang bergerak ke utara dengan Lempeng
Pasifik yang bergerak ke arah barat. Berdasarkan Peta Geologi Lembar Waigeo,
komposisi batuan Pulau Waigeo dan sekitarnya terdiri dari alluvium, konglomerat dari
berbagai bahan, terumbu kapur, batu kapur Formasi Puri dan Waigeo Formasi, arkosa
batupasir Formasi Yeben, batulanau Formasi Rumai dan Formasi Tanjung Bomas,
batuan vulkanik, dan batu ultramaphic (Andiani & Lastiadi, 2013). Keragaman geologi
di kepulauan ini umumnya dikaitkan dengan formasi kapur Waigeo yang mengalami
penghapusan dari dasar laut dan kemudian mengalami proses karstifikasi. Uplift dari
batugamping telah menghasilkan karakteristik dari berbagai karakteristik batimetri
dari dasar laut. Pada batimetri kurang dari 55 m, batugamping memiliki fungsi
kelestarian lingkungan untuk daerah ini. Faktor lingkungan tersebut terkait dengan
pengakuan wilayah ini sebagai memiliki keanekaragaman hayati berkelas dunia.
Bukit-bukit dengan tiang atau menara berbentuk seperti dengan ketinggian
bervariasi antara 20-40 m membuat Raja Ampat tempat yang sangat unik dan eksotis
yang terdiri dari ekosistem pesisir terumbu karang, padang lamun, dan biota lainnya.
Andiani dan Lastiadi (2013) menyimpulkan bahwa keanekaragaman geologi tersebut
adalah karena proses pembentukan yang panjang geologi diwakili oleh berbagai
bentuk batuan, mineral, fosil, air, struktur Geologica, bentang alam dan proses.
Page | 34

4.6.2. Kearifan lokal dan sistem kehidupan


Secara keseluruhan Raja Ampat telah menunjukkan perkembangan positif dalam
membangun kapasitasnya dengan melibatkan stakeholder lokal termasuk pemerintah
daerah, kepala desa, tetua adat, nelayan transmigrasi, perusahaan swasta, perguruan
tinggi negeri, lembaga penelitian dan LSM internasional (Bailey, 2007 dan Wicaksono,
2010). Sebagai hasil dari komitmen yang tinggi untuk melindungi keanekaragaman
hayati laut Raja Ampat, sebuah keputusan Bupati Raja Ampat No. 66/2007 tentang
Kawasan Konservasi Laut Raja Ampat dikeluarkan dan dideklarasikan. Pada tingkat
lokal/kabupaten, kebijakan pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Raja Ampat
diperkuat dengan Peraturan Kabupaten Ampat Raja 27/2008 tentang Kawasan
Konservasi Laut Raja Ampat.
Tidak hanya penting untuk perlindungan keanekaragaman hayati, air laut yang
jernih dan bersih di Raja Ampat juga memasok sumberdaya perikanan ke penduduk
setempat di mana ia berfungsi sebagai area pemijahan ikan lemma atau makarel. Pada
waktu-waktu tertentu dalam setahun, penduduk setempat menangkap ikan
menggunakan peralatan tradisional. Selama beberapa generasi, penduduk setempat
secara tradisional melakukan konservasi melalui penerapan Sasi, budaya yang
mencerminkan kearifan lokal masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya kelautan.
Sasi, dalam bahasa lokal, berarti saksi, suatu cara untuk mendukung
pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya alam. Dalam tradisi adat Sasi, ada aturan adat
yang melarang menangkap dan memancing sumberdaya laut selama setahun.
Masyarakat kemudian diizinkan untuk menangkap sumberdaya laut secara komunal
setelah larangan berakhir. Hal ini mengindikasikan bahwa ada semacam komitmen
bersama untuk tidak menangkap spesies laut tertentu dan memberi mereka ruang dan
waktu untuk bereproduksi. Para pemimpin adat, memiliki hak untuk menutup wilayah
laut tertentu untuk spesies tertentu dalam jangka waktu tertentu. Acara ini merupakan
kegiatan konservasi yang telah dilaksanakan sejak puluhan ribu tahun yang lalu oleh
sub-suku Kawe di salah satu Kepulauan Raja Ampat.
Bentang alamnya yang merupakan hasil dari proses karstifikasi, selain
memberikan panorama yang indah bagi wisatawan, juga memiliki fungsi sosial dan
budaya bagi masyarakat sekitar. Bahkan nenek moyang masyarakat setempat percaya
bahwa beberapa formasi endokars adalah tempat terakhir yang dianggap suci bagi
almarhum (Andiani & Lastiadi, 2013). Mirip dengan Kepulauan Wayag, Selpele yang
terletak di bagian barat Pulau Waigeo juga memiliki bentang alam karst yang
menakjubkan. Lukisan tangan yang ditemukan di dalam gua menambah potensi
geopark ini karena merupakan warisan budaya nenek moyang orang Papua.
4.6.3. Pendidikan geologi
Raja Ampat adalah tempat bermain alami yang edukatif bagi mereka yang ingin
memiliki pemahaman mendalam tentang bagaimana geologi bumi mempengaruhi
keanekaragaman karang. Raja Ampat menyediakan laboratorium alam untuk
penelitian dan pemahaman tentang hubungan antara geologi, keanekaragaman hayati
laut dan mata pencaharian lokal dan keterkaitan di antaranya.
Page | 35

5.

Peluang dan Tantangan dalam Pengembangan Eko-geowisata di Indonesia


Keenam kawasan Geopark di Indonesia memiliki signifikansi kelas dunia dan
sebagian besar sudah memiliki status perlindungan nasional. Hal tersebut tentunya
memberika peluang dan tantangan tersendiri bagi Kementerian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif berkaitan dengan pengembangan eko-geowisata di Indonesia. Ekogeowisata harus digunakan sebagai bentuk pendekatan dalam manajemen
perlindungan warisan geologi nasional yang didasarkan pada kepentingan ilmiah,
ekologi dan nilai bentang alam yang tinggi. Eko-geowisata harus mampu
meningkatkan citra lingkungan situs geologi, meningkatkan kesadaran masyarakat
tentang berbagai isu geologi dan lingkungan dan memberikan kontribusi positif bagi
situsgeologi dan perekonomian negara.
Berdasarkan praktek-praktek terbaik eko-geowisata di Indonesia, dapat
dikatakan bahwa peluang dan tantangan pengembangannya mencakup: (1) pemasaran
label geowisata, (2) pengenalan karakteristik wisatawan ke situs-situs geologi; (3)
pendidikan umum mengenai geologi, (4) pembangunan berkelanjutan dari situs ekogeowisata melalui perencanaan yang matang, pemberdayaan masyarakat lokal dan
kebijakan konservasi.
Pengarusutamaan Geowisata
Eko-geowisata adalah lahirnya suatu bentuk pariwisata yang berkelanjutan yang
terpusat pada keragaman geologi. Oleh karena itu, penting bahwa keragaman geologi
memiliki tempat tersendiri sebagai sumber utama aktivitas wisata. Geowisata berbeda
dengan jenis wisata alam lainnya, sehingga perlu memiliki label tersendiri dalam niche
pasar wisata alam. Gambaran geologi yang berkualitas yang diharapkan didapat dari
kegiatan geowisata tidak hanya harus dipertahankan tetapi juga harus ditingkatkan.
Geowisata harus diarusutamakan ke dalam manajemen destinasi pariwisata.
Wisatawan Geologi
Geowisata adalah disiplin baru dalam pariwisata Indonesia dan belum banyak
ditulis mengenai sisi penawaran atau permintaannya. Wisatawan perlus diberikan
informasi tentang geologi dari bentang alam yang mereka kunjungi, bagaimana dan
kapan terbentuk. Hal-hal penting terkait situs perlu dikomunikasikan secara
komprehensif kepada calon wisatawan sebelum kunjungan mereka melalui situs
jejaring, brosur atau informasi di pusat pengunjung. Sepanjang kunjungan mereka,
wisatawan akan mencari informasi yang berkualitas dan akurat yang ada pada papanpapan petunjuk, papan-papan informasi, peta dan informasi dari pemandu wisata.
Sehingga wisatawan dapat memiliki pemahaman geologi secara langsung dari
pengalamannya berinteraksi dengan situs geologi yang dikunjunginya.
Mengantarkan Geologi kepada Publik
Sejarah atau informasi apapun mengenai suatu situs geologi tidak akan
bermakna jika wisatawan tidak bisa mengasosiasikan dirinya dengan situs tersebut.
Oleh karena itu geowisata terkait erat dengan pendidikan. Media interpretasi harus
Page | 36

mampu meningkatkan relasi antara situs dan pengalaman wisatawan melalui


peningkatan keingintahuan mereka mengenai situs geologi yang dikunjunginya.
Keberhasilan interpretasi akan sangat bergantung pada informasi ilmiah yang akurat
dan pengetahuan interpreter yang dapat menceritakan kisah di balik proses geologi
dalam pembentukan situs.
Saat ini, geowisata seperti wisata gunung api dan gua masih kurang berkembang
dan lebih banyak dilakukan berbasis sumberdaya saja, bukan berbasis pengetahuan.
Geowisata berbasis pengetahuan diperlukan untuk perlu didukung dengan hasil
penelitian ilmiah untuk memberikan pengetahuan yang lebih akurat. Geologi adalah
ilmu dan geowisata tidak dapat dipromosikan jika tidak ada pengetahuan yang
mendalam tentang geologi daerah yang sedang dipromosikan. Pusat Interpretasi
Geologi harus dibangun di setiap Geopark yang menyajikan gambaran dan informasi
mengenai situs-situs geologi yang menarik, proses pembentukannya, untuk
memastikan bahwa setiap wisatawan akan mendapatkan informasi yang lebih baik dan
membekali mereka dengan pengalaman yang memiliki nilai tambah yang tinggi
melalui kegiatan eko-geowisata. Ilmu pengetahuan sangat penting untuk mendapatkan
semua informasi yang diperlukan dalam mengelola suatu situs, memahami proses
geologi dan dampaknya, serta meningkatkan pemahaman geologi dan ekologi.
Pendidikan geologi harus menjadi bagian dari pendidikan konservasi alam dan
pada akhirnya untuk pembangunan berkelanjutan. Strategi pendidikan membutuhkan
kolaborasi dengan sekolah-sekolah, universitas, dan organisasi lokal, dalam rangka
pengembangan pelatihan eko-geowisata dan kursus untuk tenaga pengajar lokal dan
siswa dan untuk mengadakan acara-acara yang bertujuan meningkatkan kesadaran
masyarakat terhadap warisan alam dan budaya yang terkait dengan geologi.
Keberlanjutan
Meskipun memiliki fitur dan obyek geologi yang luar biasa kaya, Indonesia
menghadapi ancaman berkaitan dengan keberlanjutan keragaman geologi-nya.
Pembangunan di masa lalu telah mengakibatkan degradasi keragaman geologi karena
kurangnya informasi, kurangnya tindakan konservasi, termasuk kurangnya integrasi ke
dalam perencanaan tata ruang baik ke dalam undang-undang, kebijakan dan praktek.
Mengingat bahwa keragaman geologi bersifat non terbarukan dan membutuhkan
jutaan bahkan milyaran tahun dalam pembentukannya, pemeliharaan dan perhatian
harus diberikan oleh semua level pemerintahan terutama terkait tata ruang daerah.
Salah satu jenis penggunaan lahan yang mengancam keberadaan formasi geologi
pertambangan. Pertambangan batugamping, batu-batuan dan pasir, tidak dapat
diabaikan karena memiliki nilai ekonomi tinggi. Berbagai tumpang tindih penggunaan
lahan telah terjadi di Indonesia, seperti tumpang tindih bentang alam karst dengan
industri semen besar. Karst memiliki nilai-nilai ekologis, namun juga sangat ekonomis.
Dalam eksploitasi untuk semen, bentang alam karst harus dihancurkan. Sudah lebih
dari dua dekade, sejak isu pembangunan dan konservasi di kawasan karst mendapat
perhatian. Bahkan sampai saat ini, pemerintah Indonesia masih menggodok kebijakan
yang sesuai untuk pemanfaatan bentang alam karst.
Page | 37

Aktivitas lain yang dapat mengancam keberadaan lingkungan dan obyek suatu
situs geologi adalah rekreasi dan pariwisata. Di sisi lain, pariwisata seharusnya dapat
membawa publik untuk bias melakukan kontak langsung dengan alam dengan
harapan publik akan lebih menghargai, mendukung, mengurangi ancaman dan
melestarikan sumberdaya. Pengambilan spesimen geologi di daerah kaya fosil dan batu
permata oleh kolektor dan bahkan wisatawan merupakan isu lain untuk keberlanjutan
keragaman geologi di Indonesia. Pengembalian mineral atau fosil yang berlebihan akan
menghancurkan keberadaan sustu situs geologi. Kontrol yang ketat oleh manajer dan
pemerintah daerah serta nasional diperlukan.
Penambangan pasir, yang sampai tingkat tertentu diperlukan untuk mengurangi
sedimentasi, juga merupakan ancaman terhadap keberadaan situs yang kaya dengan
batu mulia. Penggunaan alat penghisap pasir, pada saat yang bersamaan bisa menyedot
batu permata juga. Ancaman penggunaan lahan lainnya yang berkaitan dengan koleksi
batu permata adalah bahwa batu permata mungkin terdapat menyebar di lahan pribadi
bukan hanya di kawasan yang dilindungi atau milik pemerintah saja. Tingginya
permintaan dan harga batu permata meningkatkan intensitas koleksi batu-batu mulia.
Manusia sering dilupakan sebagai bagian dari ekosistem. Konsep Eko-geowisata
menunjukkan bahwa manusia tak dapat disangkal sebagai bagian penting dari
lingkungan geologi dan merupakan kekuatan besar dalam pencapaian pengelolaan
pariwisata berkelanjutan. Oleh karena itu, bukan hanya tanggung jawab masyarakat
setempat untuk melindungi lingkungan mereka yang menakjubkan, karena keragaman
geologi adalah warisan geologi nasional kita. Semua komponen masyarakat diperlukan
dalam perlindungan situs geologi, terutama karena sumberdaya geologi adalah
sumberdaya tak terbarukan yang membutuhkan konservasi tingkat tinggi.
Eko-geowisata harus mampu memberikan kontribusi untuk pembangunan
berkelanjutan dari lokasi tempat situs geologi berada. Dalam hal ini, perencanaan dan
pengembangan pariwisata tentu harus mengintegrasikan berbagai tingkat kepentingan
yaitu warga setempat atau populasi penerima manfaat, wisatawan, tur operator dan
lingkungan alam. Merupakan suatu tantangan untuk meningkatkan peran dan
mengkoordinasikan berbagai pihak. Peningkatan mata pencaharian masyarakat lokal
juga harus dilakukan melalui keterlibatan masyarakat lokal dalam memproduksi
produk-produk kreatif lokal dan layanan yang terkait dengan geowisata.
Geowisata berlandasan unsure-unsur alam, sehingga lingkungan alam penting
untuk dilindungi dan dilestarikan. Kegiatan geowisata yang merusak lingkungan dan
secara negative mempengaruhi masyarakat lokal atau gagal mengembalikan manfaat
ekonomi secara layak, tidak akan berkelanjutan dalam jangka panjang. Dengan
demikian, penting bahwa operator geowisata menerapkan metode praktek terbaik
untuk meminimalkan dampak lingkungan yang merugikan yang disebabkan oleh
kegiatan wisatawan, transportasi dan pemanfaatan fasilitas dan menempatkan
keselamatan wisatawan sebagai prioritas utama terutama dalam kegiatan geowisata
aktif. Selain itu, kebutuhan untuk melindungi lingkungan dapat memberikan argumen
dan justifikasi bagi pemerintah untuk mengalokasikan lebih banyak anggaran dan
sumberdaya ke praktek-praktek konservasi dan perlindungan geologi.
Page | 38

REFERENCES
Akbulut, G. 2009. The Main Geowisata Resources of Turkey. Celebrating
Geographical Diversity: a HERODOT Conference, 28-31 May 2009, Ayvalik.
Ali-Knight, J.M. 2011. The Role of Niche Tourism Products in Destination
Development. PhD Thesis.Zahed University, Dubai.
Andiani and lastiadi, H.A. 2013. Rajaampat: Empat Raja dengan Kekayaan Geologi
yang Berlimpah. GEOMAGZ, Maret 2013: pp 19-27.
Asia Development Bank (ADB). 2005. Technical Assistance Consultants Report:
Greater Mekong Subregion: Tourism Sector Strategy (Financed by the Technical
Assistance Special Fund).
Bemmelen, R.W. van. 1949. The Geology of Indonesia, Vol. IA, Martinus Nijhoff,
The Hague, The Netherlands.
Brahmantyo, B. 2005, Wisata Alternatif di Kawasan Ekokarst, Pikiran Rakyat 30
April 2005
Brahmantyo, B. 2006. Geopark atau Taman Bumi Jawa Barat, Kompas (Jabar), 29
November 2006.
Brahmantyo, B. 2006. Gua Pawon Sebagai Situs Geo-arkeologi Penting untuk
Studi Cekungan Bandung, ARENA Jurnal Lintas Budaya dan Pembangunan Berkelanjutan:
Geowisata untuk Kemanusiaan dan Pembangunan Berkelanjutan, Vol. 1 No. 2/2006, Pusat
Kajian Lintas Budaya dan Pembangunan Berkelanjutan, Bandung, hal 42 57.
Brahmantyo, B. 2010. Dreaming the 1st Geopark in Indonesia, Buletin Berita IAGI,
Special Edition 50 Years IAGI 2010, Ikatan Ahli Geologi Indonesia.
Brahmantyo, B. 2011. Geowisata, Gugah Kecintaan Pada Bumi, Sudut Pandang,
National Geographic Traveler, Vol 3 No 1 Januari 2011. Jakarta, h. 22 23.
Brahmantyo, B. 2006. Tafakur dari Letusan Gunung Krakatau, Pikiran Rakyat, 26
Agustus 2006.
Brahmantyo, B. 2008. Menggali Akar Geowisata, Pikiran Rakyat, 7 Januari 2008.
Brahmantyo, B. 2009. Ketika Bumi Berkisah Si Tao Toba dan Si Bukit Barisan, dalam
Majalah Ekspedisi Geografi Indonesia Sumatera Utara 2009, Pusat Survei Sumberdaya
Alam Darat, Bakosurtanal, hal. 73 77.
Brahmantyo, B., and Bachtiar, T. 2009. Wisata Bumi Cekungan Bandung. TrueDee,
Bandung.
Chesner, C.A. 2011. The Toba Caldera Complex, Quaternary International
doi:10.1016/j.quaint.2011.09.025
Clark, N.D.L.
The Public Perception of Palaeontology in Scotland:
"Archaeologists Dig Dinosaurs". In Trythall, J. (ed.) Sea to Sand: Proceedings of the 2007
Moray Society Conference. Moray Society, Elgin Museum, Moray, UK: pp. 38-48.
Dale, E. 1969. Audio-Visual Methods in Teaching, 3rd ed., Holt, Rinehart &
Winston, New York, 1969, p. 108.
Dowling, R. K. 2011. Geowisatas Global Growth. Geoheritage Journal., Vol
3(1): 1-13.

Page | 39

Dowling, R. K. and Newsome, D. (eds). 2010. Global Geowisata Perspectives.


Oxford: Goodfellow Publisher Limited: pp 137-152.
Eder, W. and Patzak, M. 2004. Geoparks geological attractions: A tool for public
education, recreation and sustainable economic development. Episodes. 2 (3), 162-164.
Fajarsetiawan.
2012.
15
Danau
Prioritas
di
Indonesia.
http://fajarsan.wordpress.com/author/fajarsetiawan/
Farsani, N.T., Coelho, C.O.A., da Costa, C.M.M and de Carvalho, C.N. 2012.
Geoparks and Geowisata: New Approaches to Sustainability for the 21st Century.
Florida: Brown Walker Press.
Finesso,
G.M.
2012.
Memahami
Semesta
di
Karangsambung.
http://travel.kompas.com/read/2012/11/12/10230463/Memahami.Semesta.di.Karang
sambung
Gatuszka, A. and Migaszewski, Z.M. 2009. Valuing Geodiversity and Its
Importance for Abiotic Nature Conservation in The Holy Cross Mountains, Poland.
http://www.ujk.edu.pl/ichem/z_och_sr/presentation/22.%20Valuing%20geodiversit
y%20and%20its%20importance%20for%20abiotic%20nature%20conservation%20in%20t
he%20Holy%20Cross%20Mt.pdf. Downloaded on May 13th, 2013.
Gray, M. 2004. Geodiversity, valuing and conserving abiotic nature. J. Wiley &
Sons, Chichester.
Hooper-Greenhill, E. 1994. Museum Communication: An Introductory Essay.
In Hooper-Greenhill, E. (ed). The Educational Role of the Museum. London; Routledge.
Horn, C. and Simmons, D. 2002. Community Adaptation to Tourism:
Comparisons between Rotorua and Kaikoura, New Zealand. Tourism Management 23:
133143.
Hose, T. A.
1995. Selling the story of Britain's stone. Environmental
Interpretation 10(2): 16-17.
Hose, T. A. 2011. The English Orogins of geowisata (As A Vehicle for
geoconservation) and Their Relevance to Current Studies. Acta geographica Sloevenica,
51-2: 343-360.
Hose, T. A. 2012. 3Gs for Modern Geowisata. Geoheritage Journal, 4: 7-24
http://www.scribd.com/doc/97386651/Buku-Saku-Edisi-2. Downloaded on
April 21st 2013.
Joyce E. B. 2006. Geomorphological Sites and the New Geowisata in Australia.
http://web.earthsci.unimelb.edu.au/Joyce/heritage/GeowisataReviewebj.htm.
Accessed on 15th May 2013).
Karoma. 1951
Kusumayudha, S. B. (2000). Kuantifikasi Sistem Hidrogeologi dan Potensi Airtanah
Daerah Gunung Sewu, Pegunungan Selatan, DIY (Didekati dengan Analisis Geometri Fraktal).
Unpublished PhD Thesis, Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Lehmann, H. 1981. Morphological Studies in Java. In M. M. Sweeting (Ed.), Karst
Geomorphology (pp. 320-328). Pennsylvania: Hutcinson Ross Publishing Company.

Page | 40

Lkken, B. and Smelror, M. 2007. Geowisata: Vesuvius and Pompeii an


Unbeatable dramatic Combination of Geology and History. GEO ExPro March 2007, pp
62-66.
MacDonald, M., and Partners. 1984. Greater Yogyakarta Groundwater Resources
Study: Groundwater. Yogyakarta: Ministry of Public Works, Directorate General of Water
Resources Development.
Martin, H. S. and del Bosque, I.A.R. 2008. Exploring the Cognitive-affective
nature of Destination Image and the Role of Psychological Factors in Its Formation.
Tourism Manageent 29: pp 263-277.
Ministry of Culture and Tourism. 2011a. Batur Caldera Aspiring Geopark
(Indonesia): An Application Dossier for Membership to UNESCO Global Network of
National Geoparks.
Ministry of Culture and Tourism. 2011b. Pacitan Aspiring Geopark (Indonesia):
An Application Dossier for Membership to UNESCO Global Network of National
Geoparks.
Moreira, J. C. dan Bigarella, J. J. 2012. Geowisata and Geoparks in Brazil. In
National Geographic Society. 2005. The geowisata approached. Available at
http://www.innovasjonnorge.no/Reiseliv_fs/PDF/Foredrag%20Tourtellot-2.pdf
(accessed on 10 May 2013).
Newsome, D. and Dowling, R.K. 2010. Geowisata: The Tourism of Geology and
Landscape, Oxford: Goodfellow Publishers.
Oktariyadi, O. 2012. Aspiring Geopark Indonesia manifest Celebrating Earths
Heritage and Sustaining Local Communities. http://www.geoparkthailand.com/kleradmin/uploads/download/15_5918.pdf. Downloaded May 7th, 2013.
Rachmat, H. 2012. Volcano Tourism of Mt. Rinjani in West Nusa Tenggara
Province, Indonesia: a Volcanological and Ecotourism Perspective.
Berita
Sedimentologi No. 25 (11): pp 47-58.
Rampino, M.R., dan S. Self (1993), Climate-Volcanism Feedback and the Toba
Eruption of ~ 74,000 Years Ago, Quaternary Research, Vol. 40, pp. 269-280.
Robinson, A.M. and Roots, D. 2008. Marketing Tourism Sustainably. Inaugral
Global Geowisata Conference, Fremantle, WA, August 2008, p.p. 303-317
Sadry, B.N. 2009. Fundamentals of Geowisata: with a special emphasis on Iran.
Samt Organization publishers, Tehran. 220p. (English Summary available Online
at: http://physio-geo.revues.org/3159?file=1
Samodra, H. 2001. Nilai Strategis Kawasan Kars di Indonesia, Pengelolaan dan
Perlindungannya. Publikasi Khusus Nomor 25, Juni 2001. Bandung: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi.
Schellhorn, M. 2007. Rural Tourism in the Third World: The Dialectic of
Development. The Case of Desa Senaru at Gunung Rinjani National Park in Lombok
Island. Doctoral Thesis, Lincoln University, New Zealand.
Sharpley, R. 2006. Travel and Tourism. London: Sage.
Sharpley, R. and Telfer,D (Eds). 2002. Tourism & Development Concepts and
Issues. Cahnnel View Publications.
Page | 41

Singh, T. 2008. Fundamental of Tourism and Travel. Delhi: Gyan Publishing


House.
Smyth, H., Hall, R., Hamilton, J. and Kinny, P. 2003. Volcanic Origin of QuartzRich
Sediments
in
East
Java.
Available
online
at
http://searg.rhul.ac.uk/pubs/smyth_etal_2003.pdf
Storm, P. and de Vos, J. 2006. Rediscovery of the Late Pleistocene Punung
Hominin Sites and the Discovery of a New Site Gunung Dawung in East Java.
Palaeobiodiversity and Palaeoenvironments, Vol 86(2): 271-281.
Sunkar, A. 2008. Sustainability in Karst resources Management: The Case of The
Gunung Sewu in Java. Doctoral Thesis. School of Geography, Geology and
Environmental Science, The University of Auckland, New Zealand. Unpublished.
Sunkar, A., Rachmawati, E. and Cereno, R. 2013. Ecotourism Development in
Brunei Darussalam, Indonesia, Lao PDR, Myanmar, Singapore and Philippines. In Kim,
S, Kang, M and Sukmajaya, D. (Eds). Opportunities and Challenges of Ecotourism in
ASEAN Countries. Pp 54-89.
Sutawidjaja, I.S., Abdurahman, O., Bachtiar, T. And Kurnia, A. 2012. Kaldera
Batur: Taman Bumi Pertama dari Indonesia. GEOMAGZ Decembre 2012: pp. 18-46
Tilden, F. 1977. Interpreting Our Heritage, 3 rd Edition. Chapel Hill: The
University of North Carolina.
Tu, H. 2012. Contextualizing faunal dispersals and early cave hominid bearing
occupations in SE Asia during MIS5: chronologic and palaeoclimatic approaches on
speleothems and fossil tooth. Musum National dHistoire Naturelle.
Turner, S. 2006. Promoting UNESCO Global Geoparks for sustainable
development in the Australian-Pacific region. Alcheringa: An Australasian Journal of
Palaeontology, 30 (2), pp: 351-365.
Uhlig, H. 1980. Man and Tropical Karst in Southeast Asia: Geo-Ecological
Differentiation, Land Use and Rural Development Potentials in Indonesia and Other
Regions. GeoJournal, 4(1): pp31-44.
UNESCO (2006) Global Geoparks Network. Geoparks Secretariat, Global Earth
Observations Section, Division of Ecological and Earth Sciences, UNESCO, Paris.
United Nation (UN) Economic and Social Council. 2012. The Naming
Procedures of Indonesias Islands.
Tenth United Nations Conference on the
Standardization of Geographical Names. New York, 31 July 9 August 2012.
Van Bemmelen, R.W. 1949. The Geology of Indonesia Vol. IA, General Geology,
Martinus Nyhoff Hague.
Veron, J.E.N., DeVantier, L., Turak, E., Green, A.L., Kininmonth, S., StaffordSmith, M. and Peterson, N. 2009. Delineating the Coral Triangle. Galaxea, Journal of
Coral Reef Studies 11: pp 91-100.
Wicaksono, A. 2010. Ecosystem Services and Risk Analysis on MPA of Raja
Ampat, Papua, Indonesia. Master Thesis. Ecology centre, Christian Albrecht
University, Kiel Germany.

Page | 42

Yokoyama, T. and Hehanussa, P.E. 1981. The Age of Old Toba Tuffs and Some
Problems on the Geohistory of Lake Toba, Sumatera, Indonesia, in Paleolimnology of
Lake Biwa, Japan Pleitocene, Vol.9: pp. 177-186.
Zeppel, H. 2006. Ecotourism Series No. 3 - Indigenous Ecotourism: Sustainable
Development and Management. CABI.
Zouros N. 2004. The European Geoparks Network, Geological heritage
protection and local development. Episodes, 2 (3), 165-71.
Zouros N. 2006. The European Geoparks Network: Geological Heritage
protection and local development A tool for geowisata development in Europe. In: C.
Fassoulas, Z. Skoula & D. Pattakos (Eds), 4th European Geoparks Meeting Proceedings
volume. European Geoparks Network Psiloritis Natural Park, Anogia, Crete, Greece.
October 2003, 15-24.

Page | 43

Anda mungkin juga menyukai