Ilmu Penyakit Dalam PDF
Ilmu Penyakit Dalam PDF
ILMU PENYAKIT
DALAM
Sebuah Catatan Dokter Muda
yang
menyebabkan
kelenjar
hipofisa
mengeluarkan
thyroid-stimulating
hormone(TSH). Sesuai dengan namanya, TSH ini merangsang kelenjar tiroid untuk
menghasilkan hormon tiroid.
Jika jumlah hormon tiroid dalam darah mencapai kadar tertentu, maka kelenjar hipofisa
menghasilkan TSH dalam jumlah yang lebih sedikit; jika kadar hormon tiroid dalam darah
berkurang, maka kelenjar hipofisa mengeluarkan lebih banyak TSH. Hal ini disebut mekanisme
umpan balik.
Hormon tiroid terdapat dalam 2 bentuk:
1. Tiroksin (T4), merupakan bentuk yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid, hanya memiliki
tironin (T3).
2
Perubahan ini menghasilkan sekitar 80% bentuk hormon aktif, sedangkan 20% sisanya
dihasilkan oleh kelenjar tiroid sendiri.Perubahan dari T4 menjadi T3 di dalam hati dan organ
lainnya, dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya kebutuhan tubuh dari waktu ke waktu.
Sebagian besar T4 dan T3 terikat erat pada protein tertentu di dalam darah dan hanya aktif jika
tidak terikat pada protein ini. Dengan cara ini, tubuh mempertahankan jumlah hormon tiroid
yang sesuai dengan kebutuhan agar kecepatan metabolisme tetap stabil.
Agar kelenjar tiroid berfungsi secara normal, maka berbagai faktor harus bekerjasama
secara benar:
hipotalamus
kelenjar hipofisa
hormon tiroid (ikatannya dengan protein dalam darah dan perubahan T4 menjadi T3 di
Hipotiroidisme
Suara serak
Gemetaran
Gelisah
Sulit tidur
Sembelit
Lemah
kering,
bersisik,
tebal,
kasar
Kebingungan
Depresi
Kebingungan
Demensia
DIAGNOSIS
Untuk mengetahui fungsi kelenjar tiroid, bisa dilakukan beberapa pemeriksaan
laboratorium. Salah satu pemeriksaan yang paling sering dilakukan adalah pengukuran kadar
TSH di dalam darah. Hormon ini merangsang kelenjar tiroid, karena itu jika kelenjar tiroid
kurang aktif maka kadar hormon ini tinggi; sedangkan jika kelenjar tiroid terlalu aktif , maka
kadar hormon ini rendah.
Biasanya pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah pengukuran kadar TSH dan kadar T4
yang bebas dalam darah. Tetapi bisa juga dilakukan pengukuran kadar protein globulin pengikat
tiroksin, karena kadar protein yang abnormal bisa menimbulkan kesalahpahaman dalam menilai
kadar hormon tiroid total.
Penderita penyakit ginjal, beberapa penyakit keturunan atau pemakaian steroid
anabolikmemiliki kadar globulin pengikat tiroksin yang rendah. Sebaliknya, wanita hamil,
pemakai pil KB atau estrogen lainnya, penderita hepatitis stadium awal dan beberapa penyakit
lainnya, memiliki kadar globulin pengikat tiroksin yang tinggi.
Beberapa pemeriksaan bisa dilakukan pada kelenjar tiroid. Jika diduga terdapat
pertumbuhan di dalam kelenjar tiroid, dilakukan pemeriksaan USG, untuk menentukan apakah
pertumbuhan ini berupa cairan atau padat. Skening kelenjar tiroid dengan yodium radioaktif atau
teknetium, bisa menunjukkan kelainan fisik pada kelenjar tiroid. Skening tiroid juga bisa
membantu menentukan apakah fungsi dari suatu daerah tiroid bersifat normal, terlalu aktif atau
kurang aktif.
PNEUMONIA
DEFINISI
Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan oleh
mikroorganisme
(bakteri,
virus,
jamur,
parasit).
Pneumonia
yang
disebabkan
oleh
Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan peradangan paru yang disebabkan oleh
nonmikroorganism (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain)
disebut pneumoniti.
ETIOLOGI
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu bakteri, virus,
jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia komuniti yang diderita oleh masyarakat luar
negeri banyak disebabkan bakteri Gram positif, sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak
disebabkan bakteri Gram negative sedangkan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh
bakteri anaerob. Akhir akhir ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa
bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri
Gram negatif.
Pneumonia komuniti adalah pneumonia yang didapat di masyarakat. Pneumonia komuniti
ini merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan angka kematian tinggi di dunia.
Etiologi pneumonia komuniti:
Staphylococcus aureus 9%
Enterobacter 5,26%
Koma,
cedera
Faktor Risiko
kepala,
influenza,
Ps. Aeruginosa
Anaerob
Acinobachter spp.
fibrotic, malnutrisi)
Aspirasi, selesai operasi abdomen
Antibiotik sebelum onset pneumonia dan
ventilasi mekanik
EPIDEMIOLOGI
Penyakit saluran nafas menjadi penyebab angka kematian dan kecacatan yang tinggi di
seluruh dunia. Pneumonia semakin sering dijumpai pada orang lanjut usia (lansia) dan sering
terjadi pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Juga dapat terjadi pada pasien dengan
penyakit lain seperti: diabetes mellitus (DM), payah jantung, penyakit arteri koroner, keganasan,
insufisiensi renal, panyakit syaraf kronik, dan penyakit hati kronik. Faktor predisposisi lain
antara lain berupa kebiasaan merokok, pasca infeksi virus, Diabetes Melitus, keadaan
imunodefisiensi, kelainan dan kelemahan struktur organ dada dan penurunan kesadaran.
Pneumonia diharapkan akan sembuh setelah terapi 2-3 minggu. Bila lebih lama perlu dicurigai
adanya infeksi kronik oleh bekteri anaerob atau non bakteri seperti oleh jamur, mikrobakterium,
atau parasit.
PATOGENESIS
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru. Keadaan ini
disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya
tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi
di paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak
permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan :
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara Kolonisasi. Secara inhalasi
terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan
bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol dan
selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung,
orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi
mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi
dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50 %) juga pada
keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse).
Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml, sehingga
aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri yang
tinggi dan terjadi pneumonia. Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi
atau aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas sama dengan
di saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak di temukan jenis
mikroorganisme yang sama.
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang
berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit
sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN mendesak
bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis
sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian dimakan. Pada waktu terjadi peperangan
antara host dan bakteri maka akan tampak 4 zona pada daerah parasitik terset yaitu :
1. Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema.
2. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah merah.
3. Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan jumlah
PMN yang banyak.
4. Zona resolesi E : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati, leukosit
dan alveolar makrofag.
Red hepatization ialah daerah perifer yang terdapat edema dan perdarahan 'Gray
hepatization' ialah konsolodasi yang luas.
KLASIFIKASI
Klasifikasi pneumonia yang lazim dipakai adalah:
7
tua
Didahului perawatan di RS
Terjadi berulang kali, berdasarkan penyakit
Pneumonia aspirasi
Pneumonia pada gangguan imun
paru kronik
Alkoholik, usia tua
Pada pasien tranplantasi, onkologi, AIDS
DIAGNOSIS
Gambaran klinis
a. Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat
melebihi 400C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah, sesak
napas dan nyeri dada.
b. Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi dapat terlihat
bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi fremitus dapat mengeras, pada
perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang
mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium
resolusi.
Pemeriksaan penunjang
a. Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan
diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan "air
broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja
tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke
arah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh
Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral
atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan
konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus.
b. Pemeriksaan laboratorium
8
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih dari
10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi
diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 2025% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan
hiperkarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.
Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala klinis pemeriksaan fisis,
foto toraks dan labolatorium. Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan jika pada foto
toraks trdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di
bawah ini :
Batuk-batuk bertambah
Pemeriksaan fisis: ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan ronki
Menurut ATS kriteria pneumonia berat bila dijumpai 'salah satu atau lebih' dari:
Kriteria mayor:
Kreatinin serum > 2 mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dI, pada penderita riwayat
penyakit ginjal atau
Kriteria minor:
PENATALAKSANAAN
Antibiotik Empirik
Pasien pada awalnya diberikan terapi empirik yang ditujukan pada patogen yang paling mungkin
menjadi penyebab. Bila telah ada hasil kultur dilakukan penyesuaian obat. Faktor faktor yang
dipertimbangkan pada pemilihan antibiotik:
Faktor pasien
Urgensi/ cara pemberian obat berdasarkan tingkat berat sakit dan keadan umum/ kesadaran
pasien, mekanisme imunologis, umur, defisiensi genetik/organ, kehamilan, alergi.
Faktor antibiotik
Secara praktis dipilih antibiotik yang ampuh dan secara empirik telah terbukti merupakan
obat pilihanutama dalam mengatasi kuman penyebab yang paling mungkin.
Faktor Farmakologi
penelitian tentang efektivitinya. Pemberian vaksin tersebut diutamakan untuk golongan risiko
tinggi misalnya usia lanjut, penyakit kronik , diabetes, penyakit jantung koroner, PPOK,
HIV, dll. Vaksinasi ulang direkomendasikan setelah > 2 tahun. Efek samping vaksinasi yang
terjadi antara lain reaksi lokal dan reaksi yang jarang terjadi yaitu hipersensitiviti tipe 3.
TUBERKULOSIS PARU
DEFINISI
Tuberculosis merupakan penyakit infeksi bakteri menahun yang disebabkan oleh
Mycobakterium tuberculosis yang ditandai dengan pembentukan granuloma pada jaringan yang
terinfeksi. Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman aerob yangdapat hidup terutama di
paru / berbagai organ tubuh lainnya yang bertekanan parsial tinggi. Penyakit tuberculosis ini
biasanya menyerang paru tetapi dapat menyebar kehampir seluruh bagian tubuh termasuk
meninges, ginjal, tulang, nodus limfe. Infeksi awal biasanya terjadi 2-10 minggu setelah
12
pemajanan. Individu kemudian dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau
ketidakefektifan respon imun.
ETIOLOGI
TB paru disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis yang merupakan batang aerob tahan
asam yang tumbuh lambat dan sensitif terhadap panas dan sinar UV.Bakteri yang jarang sebagai
penyebab, tetapi pernah terjadi adalah M. Bovis dan M.Avium.
MANIFESTASI KLINIS
Tanda :
a. Penurunan berat badan
b. Anoreksia.
c. Dispneu.
d. Sputum purulen/hijau, mukoid/kuning.
Gejala:
a. Demam.
Biasanya menyerupai demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan
tubuh penderita dengan berat-ringannya infeksi kuman TBC yang masuk.
b. Batuk
Terjadi karena adanya infeksi pada bronkus. Sifat batuk dimulai dari batuk
keringkemudian setelah timbul peradangan menjadi batuk produktif (menghasilkan
sputum). Pada keadaan lanjut berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang
pecah. Kebanyakan batuk darah pada ulkus dinding bronkus.
c. Sesak nafas
Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut dimana infiltrasinya sudah
setengah bagian paru.
13
d. Nyeri dada
Timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura (menimbulkan pleuritis)
e. Malaise
Dapat berupa anoreksia, tidak ada nafsu makan, berat badan turun, sakit kepala,meriang,
nyeri otot, keringat malam
PATOFISIOLOGI
a. Tuberkulosis primer
Pada patogenesis Tuberkulosis primer, kuman Tuberkulosis akan masuk melalui
saluran napas dan akan bersarang di jaringan paru. Kemudian, akan terbentuk suatu sarang
pneumonik yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini bisa timbul di
bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer, akan
kelihatan peradangan saluran getah bening yang menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan
tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Efek
primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenali sebagai kompleks primer.
Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sama ada sembuh dengan tidak
meninggalkan cacat sama sekali ataupun sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara
lain sarang Ghon, garis fibrotic dan sarang perkapuran di hilus).
Ia juga bisa menyebar dengan cara perkontinuitatum yaitu menyebar ke sekitarnya.
Salah satu contohnya adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus,
biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan
obstruksi pada saluran napas yang bersangkutan dengan akibat atelektasis. Kuman
tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis
dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai
epituberkulosis. Selain itu, kuman ini bisa menyebar melalui penyebaran secara bronkogen,
baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan. Ada juga yang menyebar
secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah
dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetetapi
bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup
14
Diagnosis TB paru
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi -
sewaktu (SPS).
(BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis
merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan
dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering
terjadi overdiagnosis.
Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis
TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada
limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lainlainnya.
Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan
16
Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan
foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif. (lihat bagan
alur)
Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negative dan tidak ada perbaikan setelah pemberian
antibiotika non OAT. (lihat bagan alur)
17
Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan
penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau efusi
pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis
atau aspergiloma).
KLASIFIKASI PENYAKIT DAN TIPE PASIEN
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberculosis memerlukan suatu definisi
kasus yang meliputi empat hal , yaitu:
1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;
2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau BTA
negatif;
3. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat.
4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati
Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah :
1. Menentukan paduan pengobatan yang sesuai
2. Registrasi kasus secara benar
3. Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif
4. Analisis kohort hasil pengobatan
a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
1). Tuberkulosis paru.
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak
termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2) Tuberkulosis ekstra paru.
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak,
selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal,
saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB Paru:
1) Tuberkulosis paru BTA positif.
18
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis.
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negative dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.
2) Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB
paru BTA negatif harus meliputi:
19
Prinsip pengobatan
20
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup
dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal
(monoterapi).
Pemakaian
OAT-Kombinasi
Dosis
Tetap
(OAT-KDT)
lebih
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT
= Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
-
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu
yang lebih lama
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan
Indonesia:
a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
b. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan Kategori Anak: 2HRZ/4HR
2. Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam
bentuk OAT kombipak.
a. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet.
Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu
21
paket untuk satu pasien. dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan
menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai.
Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan KDT mempunyai
beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas
Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
22
23
ASMA
DEFINISI
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan
elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batukbatuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan
napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
EPIDEMIOLOGI
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu
tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi di
Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) 1986 menunjukkan asma menduduki urutan
ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan
24
emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian
(mortaliti) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh
Indonesia sebesar 13/ 1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/ 1000 dan obstruksi paru 2/ 1000.
ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO
25
PATOGENESIS
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan
terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan
dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada
penderita asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten
maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma
alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin.
a. Inflamasi Akut
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen, virus,
iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma tipe cepat
dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe lambat.
Reaksi Asma Tipe Cepat
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel mast
tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator seperti histamin, protease
dan newly generated mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan
kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.
Reaksi Fase Lambat
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan pengerahan serta
aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.
b. Inflamasi Kronik
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut ialah limfosit T,
eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos bronkus.
Airway Remodelling
Proses inflamasi kronik pada asma akan meimbulkan kerusakan jaringan yang secara
fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang menghasilkan
perbaikan (repair) dan pergantian selsel mati/rusak dengan sel-sel yang baru. Proses
penyembuhan tersebut melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan yang rusak/injuri dengan
jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak/injuri dengan jaringan
26
peyambung yang menghasilkan jaringan skar. Pada asma, kedua proses tersebut
berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan
perubahan struktur yang mempunyai mekanisme sangat kompleks dan banyak belum
diketahui dikenal dengan airway remodeling. Mekanisme tersebut sangat heterogen dengan
proses yang sangat dinamis dari diferensiasi, migrasi, maturasi, dediferensiasi sel
sebagaimana deposit jaringan penyambung dengan diikuti oleh restitusi/pergantian atau
perubahan struktur dan fungsi yang dipahami sebagai fibrosis dan peningkatan otot polos dan
kelenjar mukus.
Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling. Infiltrasi
sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya seperti matriks
ekstraselular, membran retikular basal, matriks interstisial, fibrogenic growth factor, protease
dan inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus.
Perubahan struktur yang terjadi :
Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda asma seperti
hipereaktiviti jalan napas, masalah distensibiliti/regangan jalan napas dan obstruksi jalan
napas. Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam manajemen asma
terutama pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut.
DIAGNOSIS
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak
napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang
baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan
pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai
diagnostik.
27
Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
Pemeriksaan Fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat normal.
Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah mengi pada auskultasi. Pada
sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran objektif (faal
paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos
saluran napas, edema dan hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka sebagai
kompensasi penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya
saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa
sesak napas, mengi dan hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu
ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan
yang sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara,
takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas.
Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai:
variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif jalan napas
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah diterima secara luas
(standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan arus puncak ekspirasi
28
(APE). Pemeriksaan lain untuk diagnosis adalah Uji Provokasi Bronkus dan Pengukuran Status
Alergi.
DIAGNOSIS BANDING
Dewasa
Bronkitis kronik
Disfungsi larings
Emboli Paru
Anak
Laringotrakeomalasia
Tumor
Stenosis trakea
Bronkiolitis
KLASIFIKASI
Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis (sebelum pengobatan)
29
30
31
PENATALAKSANAAN
32
Rencana pengobatan serangan asma berdasarkan berat serangan dan tempat pengobatan
33
34
atau tanpa kerusakan ginjaproses patofisiologi dengan etiologi beragam yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal.
Uremia
: sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ akibat penurunan
fungsi ginjal.
Gagal ginjal : keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel
pada suatu derajat yang memerlukan terapi penggantian ginjal yang tetap, berupa
dialisis atau transplantasi ginjal.
EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat;
1995-1999 : diperkirakan 100 / juta penduduk / tahun dan meningkat 8% / tahun
CDC
Malaysia
Negara berkembang lainnya : 40-60 kasus per juta penduduk per tahun.
Faktor yang mempengaruhi antara lain peningkatan insidens penyakit diabetes mellitus,
hipertensi, obesitas dan usia lanjut.
35
KLASIFIKASI
1. Berdasarkan derajat penyakit, dihitung menggunakan rumus Kockcroft-Gault:
Derajat
(Stage)
1
2
3
4
5
Kriteria
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau
Kerusakan ginjal dengan LFG ringan
Kerusakan ginjal dengan LFG sedang
Kerusakan ginjal dengan LFG berat
Gagal ginjal
LFG
(ml/menit/1,73 m2)
90
60-89
30-59
15-29
<15 atau dialisis
2. Berdasarkan etiologi
Penyakit
Penyakit ginjal diabetes
Tipe Mayor
Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit glomerular (penyakit
autoimun,
ETIOLOGI
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara dengan negara lain. Penyebab
utama penyakit ginjal kronik di Amerika Serikat antara lain:
Penyebab
Insiden
36
Diabetes mellitus
44%
- Tipe I (7%)
- Tipe II (47%)
Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar
Glomerulonefritis
Nefritis intersisialis
Kista dan penyakit bawaan lain
Penyakit sistemik (lupus, vaskulitis)
Neoplasma
Idiopatik
Penyebab lain
27%
10%
4%
3%
2%
2%
4%
4%
Menurut Perhimpunan Nefrologi Indonesia tahun 2000, penyebab gagal ginjal pada pasien yang
menjalani hemodialisis di Indonesia antara lain:
Penyebab
Glomerulonefritis
Diabetes mellitus
Obstruksi dan infeksi
Hipertensi
Sebab lain (nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat,
Insiden
46,39%
18,65%
12,85%
8,46%
13,65%
PATOFISIOLOGI
Pada awalnya tergantung penyakit yang mendasarinya, namun dalam perkembangan selanjutnya
proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal kompensasi yang
diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors hipertrofi struktural dan
fungsional nefron yang masih tersisa hiperfiltrasi peningkatan tekanan kapiler dan aliran
darah glomerulus maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa penurunan fungsi
nefron yang progresif, walaupun penyakitnya sudah tidak aktif lagi. Progresivitas ini dipengaruhi
oleh peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, growth factor seperti
transforming growth factor (TGF-), albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dan dislipidemia.
37
Stadium paling dini, terjadi kehilangan daya cadang ginjal pada keadaan LFG basal masih
normal atau meningkat secara perlahan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif
ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum
belum merasakan keluhan LFG 30%, mulai terjadi keluhan seperti nokturia, badan lemah,
mual, nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan LFG <30%,muncul gejala dan tanda
uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan
kalsium, pruritus, mual, dan muntah rentan terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih,
infeksi saluran nafas, dan infeksi saluran cerna serta terjadi gangguan keseimbangan elektrolit
seperti natrium dan kalium LFG <15% terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius
sehingga pasien memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis atau transplantasi ginjal
(stadium gagal ginjal).
38
DIAGNOSIS
1. Manifestasi klinis
a. Sesuai dengan penyakit yang yang mendasari, seperti diabetes mellitus, infeksi
traktus urinarius, batu urinarius, batu traktus, hipertensi, hiperurikemia, lupus
eritematosis sistemik, dan lain sebagainya.
b. Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia,
3. Pemeriksaan radiologis
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radioopak.
b. Ultrasonografi ginjal memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang
menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi.
4. Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal
Biopsi ginjal dan pemeriksaan ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih
mendekati normal, di mana diagnosis secara noninvasive tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan
histopatologi bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan
mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Kontraindikasi biopsi ginjal pada keadaan
contracted kidney, ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik,
gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.
PENATALAKSANAAN
Derajat LFG (ml/menit/1,73 m2)
Rencana Penatalaksanaan
1
90
Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,
evaluasi
2
3
4
60-89
30-59
15-29
perburukan,
fungsi
ginjal,
<15
Kompensasi hiperfiltrasi
dan hipertrofi
Berkurangnya
jumlah nefron
Hipertensi
sistemik
Glomerulosklerosis
Angiotensin II
Kebocoran
protein plasma
lewat glomerulus
ekspresi growth
mediators inflamasi /
fibrosis
Protein
Fosfat
(ml/menit/1,73 mm2)
(g/kgBB/hari)
(g/kgBB/hari)
41
>60
25-60
Tidak dianjurkan
Tidak dibatasi
0,6-0,8 g/kgBB/hari, termasuk 0,35 10 g/kgBB/hari
g/kgBB/hari nilai biologi tinggi
5-25
10 g/kgBB/hari
1 g
9 g/kgBB/hari
b. Terapi farmakologis
Antihipertensi ditujukan untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi
glomerulus serta berperan sebagai antiproteinuria. Antihipertensi yang terutama
digunakan yaitu golongan ACE inhibitor.
4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular.
Dilakukan dengan pengendalian terhadap diabetes, hipertensi, dislipidemia, anemia,
hiperfosfatemia, dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
5. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi.
Derajat
LFG
Komplikasi
(ml/menit/1,73 m2)
Kerusakan ginjal dengan
90
60-89
Tekanan
LFG ringan
Kerusakan ginjal dengan
30-59
meningkat
Hiperfosfatemia
LFG sedang
darah
mulai
Hipokalsemia
Anemia
Hiperparatiroid
42
Hipertensi
4
15-29
LFG berat
Hiperhomosisteinemia
Malnutrisi
Asidosis metabolik
Cenderung hiperkalemia
Gagal ginjal
<15
Dislipidemia
Gagal jantung
Uremia
b. Osteodistrofi renal
Penurunan fungsi ginjal
Hiperkalemi
a
1,25(OH)2D3
Intoksikasi Al3+
Akumulasi 2mikroglobulin
Ca2+ terionisasi
PTH
Hiperplasia kelenjar
paratiroid
Osteitis fibrosa cystic (high
turnover bone disease)
A dynamic
bone disease
Dyalisisrelated
amyloidosi43
s
Osteomalasi
a
Asidosis metabolik
yang dibarengi dengan diet tinggi kalori, rendah protein, dan rendah garam,
pemberian garam pengikat fosfat (CaCO3, Al(OH)3, Mg(OH)2, Ca asetat), serta
pemberian agen kalsium mimetic.
2) Pemberian kasitrol (1,25(OH)2D3)
SINDROMA NEFROTIK
DEFINISI
Sindrom nefrotik merupakan penyakit dengan gejala proteinuria,hipoproteinemia, edema,
dan hiperlipidemia.
ETIOLOGI
Etiologi sindrom nefrotik pada anak-anak sebagian besar (90%) merupakanidiopatik.
Sisanya (10%) disebabkan glomerulonefritis tipe membarnous danmembranoproliferatif. Tingkat
penyakit teridir dari penyakit perubahan minimal(85%), proliferasi mesangial (5%), dan sklerosis
fokal (10%).
PATOFISIOLOGI
45
Perubahan patologis yang mendasari pada sindrom nefrotik adalah proteinuria, yang
disebabkan oleh peningkatan permeabilitas dinding kapilerglomerolus. Penyebab peningkatan
permeabilitas ini tidak diketahui tetapidihubungkan dengan hilangnya glikoprotein bermuatan
negatif pada dinding kapiler.
Mekanisme timbulnya edema pada sindrom nefrotik disebabkan olehhipoalbumin akibat
proteinuria. Hipoalbumin menyebabkan penurunan tekananonkotik plasma sehingga terjadi
transudasi cairan dari kompartemen intravaskulerke ruangan interstitial. Penurunan volum
intravaskuler menyebabkan penurunanperfusi renal sehingga mengaktivasi sistem reninangiotensin-aldosteron yangselanjutnya menyebabkan reabsorpsi natrium di tubulus distal ginjal.
Penurunanvolum intravaskuler juga menstimulasi pelepasan hormon antidiuretik (ADH)
yangakan meningkatkan reabsorpsi air di tubulus kolektivus.
Mekanisme terjadinya peningkatan kolesterol dan trigliserida akibat 2faktor. Pertama,
hipoproteinemia menstimulasi sintesis protein di hati termasuk lipoprotein. Kedua, katabolisme
lemak terganggu sebagai akibat penurunan kadarlipoprotein lipase plasma (enzim utama yang
memecah lemak di plasma darah.
46
Keluhan utama berupa bengkak yang tampak di sekitar mata danekstremitas bawah
dengan jenis pitting edema. Seiring berjalannyawaktu edema menjadi umum dan
terjadi peningkatan berat badan
b. Pemeriksaan fisis
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan darah
Pemeriksaan urin
DIAGNOSIS BANDING
1. Sembab non renal: gagal jantung kongestif, gangguan nutrisi (kwasiorkor), edema
Untuk mengatasi penyulit, pada stadium oedem, ada hipertensi, ada bahayatrombosis,
apabila relaps.
3. Diuretik Diberikan furosemid 1-2 mg/kgBB/dosis 2-4 kali sehari
4. Prednison
48
Induksi: 2 mg/kgBB/24 jam dibagi 3 dosis selama 4 minggu (maksimal 80 mg/24 jam). Bila
terjadi remisi : 2 mg/kgBB/24 jam dosis tunggal tiap pagi, tiap 48 jamsekali selama 4
minggu. Tapering off dosis dikurangi 0,5 mg/kgBB setiap 2minggu, selama 2-4 bulan.
5. Sitostatika Bila resisten terhadap prednison atau ada efek samping obat.
a. Alkylating agent: siklofosfamid 2 mg/kgBB/24 jam dibagi 3 dosis selama 6-8
minggu
b. Antimetabolit: azotriopin 2 mg/kgBB/24 jam dibagi 3 dosis selama 6-8 minggu
PROGNOSIS
Sebagian besar sindrom nefrotik yang berespon terhadap steroid akan sembuh. Sangat penting
untuk mendeteksi adanya disfungsi renal baik yang bersifat herediter maupun didapat. Adanya
disfungsi renal menyebabkan prognosis menjadi lebih jelek dibanding tanpa disfungsi renal.\
Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan:
1. Menderita untuk pertama kalinya pada umur dibawah 2 tahun atau diatas 6 tahun
2. Disertai hipertensi
3. Disertai hematuria
4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder
5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal
49
LEUKIMIA
DEFINISI
Leukemia adalah sekumpulan penyakit yang ditandai oleh adanya akumulasi leukosit
abnormal dalam sumsum tulang dan darah.Sel-sel abnormal ini menyebabkan timbulnya gejala
karena kegagalan sumsum tulang (yaitu anemia, neutropenia, trombositopenia) dan infiltrasi
organ (misalnya hati,limpa, kelenjar getah bening, meningens, otak, kulit, atau testis).
Leukemia merupakan suatu penyakit yang dikenal dengan adanya proliferasi neoplastik
dari sel-sel organ hemopoetik, yang terjadi sebagai akibat mutasi somatik sel bakal (stem cell)
yang akan membentuk suatu klon sel leukemia.
EPIDEMIOLOGI
Leukemia menurut usia didapatkan data yaitu, Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)
terbanyak pada anak-anak dan dewasa, Leukemia Granulositik Kronik (LGK) pada semua usia,
lebih sering pada orang dewasa, Leukemia Granulositik Kronik pada semua usia tersering usia
40-60 tahun, Leukemia Limfositik Kronik (LLK) terbanyak pada orang tua. Leukemia
Mieoloblastik Akut lebih sering ditemukan pada usia dewasa (85%) daripada anak-anak (15%).
Walaupun leukemia menyerang kedua jenis kelamin, tetapi pria terserang sedikit lebih banyak
dibandingkan wanita dengan perbandingan 2 : 1.
ETIOLOGI
50
Penyebab leukemia belum diketahui secara pasti. Diperkirakan leukemi tidak disebabkan oleh
penyebab tunggal, tetapi gabungan dari faktor resiko antara lain:
Terinfeksi virus.
Faktor Genetik.
Kelainan Herediter.
Faktor lingkungan.
-
Kontak dengan radiasi ionisasi disertai manifestasi leukemia yang timbul bertahun-
tahun kemudian. Orang yang terekspos radiasi yang sangat tinggi lebih memiliki
kecenderungan untuk mengidap leukemia mieloblastik akut, leukemia mielositik
kronik,atau leukemia limfoblastik akut, seperti: ledakan bom, radioterapi, dll.
-
agen
Merokok
Kemoterapi
Pasien kanker yang diterapi dengan beberapa tipe obat pelawan kanker kadang akan
mengidap leukemia mieloblastik akut atau leukemia limfoblastik akut. Contohnya, diterapi
dengan obat bernama alkylating agen atau topoisomerase inhibitor dapat dihubungkan
dengan kemungkinan kecil berkembangnya leukemia akut.
PATOFISIOLOGI
51
Leukemia terjadi jika proses pematangan dari stem sel menjadi sel darah putih mengalami
gangguan dan menghasilkan perubahan ke arah keganasan. Perubahan tersebut seringkali
melibatkan penyusunan kembali bagian dari kromosom (bahan genetik sel yang kompleks).
Penyusunan kembali kromosom (translokasi kromosom) mengganggu pengendalian normal dari
pembelahan sel, sehingga sel membelah tak terkendali dan menjadi ganas. Pada akhirnya sel-sel
ini menguasai sumsum tulang dan menggantikan tempat dari sel-sel yang menghasilkan sel-sel
darah yang normal. Kanker ini juga bisa menyusup ke dalam organ lainnya, termasuk hati, limpa,
kelenjar getah bening, ginjal dan otak.
Leukemia merupakan proliferasi dari sel pembuat darah yang bersifat sistemik dan biasanya
berakhir fatal. Leukemia dikatakan penyakit darah yang disebabkan karena terjadinya kerusakan
pada pabrik pembuat sel darah yaitu sumsum tulang. Penyakit ini sering disebut kanker darah.
Keadaan yang sebenarnya sumsum tulang bekerja aktif membuat sel-sel darah tetapi yang
dihasilkan adalah sel darah yang tidak normal dan sel ini mendesak pertumbuhan sel darah
normal.
Proses patofisiologi leukemia dimulai dari transformasi ganas sel induk hematologis dan
turunannya. Proliferasi ganas sel induk ini menghasilkan sel leukemia dan mengakibatkan
penekanan hematopoesis normal, sehingga terjadi bone marrow hipoaktivasi, infiltrasi sel
leukemia ke dalam organ, sehingga menimbulkan organomegali, katabolisme sel meningkat,
sehingga terjadi keadaan hiperkatabolisme.
KLASIFIKASI
Leukemia dapat diklafikasikan ke dalam :
1. Maturitas sel :
Leukemia Akut
Leukemia akut biasanya merupakan penyakit yang bersifat agresif, dengan transformasi
ganas yang menyebabkan terjadinya akumulasi progenitor sumsum tulang dini, disebut sel
blast. Gambaran klinis dominan penyakit-penyakit ini biasanya adalah kegagalan sumsum
tulang yang disebabkan
Apabila tidak diobati, penyakit ini biasanya cepat bersifat fatal, tetapi, secara paradoks,
lebih mudah diobati dibandingkan leukemia kronik.
Leukemia Kronik
52
Leukemia
M-4: Leukemia mielomonoblastik akut: kedua garis sel granulosit dan monosit.
Adanya kromosom Philadelphia pada sel sel darah. Ini adalah kromosom abnormal
yang ditemukan pada sel sel sumsum tulang.
Krisis Blast. Fase yang dikarakteristik oleh proliferasi tiba-tiba dari jumlah besar
mieloblast. Temuan ini menandakan pengubahan LMK menjadi LMA. Kematian sering
terjadi dalam beberapa bulan saat sel sel leukemia menjadi resisten terhadap kemoterapi
selama krisis blast.
54
Manifestasi klinis :
Penurunan trombosit
Adanya anemia
MANIFESTASI KLINIS
Gejala leukemia yang ditimbulkan umumnya berbeda diantara penderita, namun demikian
secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Anemia.
Penderita akan menampakkan cepat lelah, pucat dan bernafas cepat (sel darah merah dibawah
normal menyebabkan oxygen dalam tubuh kurang, akibatnya penderita bernafas cepat
sebagai kompensasi pemenuhan kekurangan oxygen dalam tubuh).
2. Perdarahan.
Ketika Platelet (sel pembeku darah) tidak terproduksi dengan wajar karena didominasi oleh
sel darah putih, maka penderita akan mengalami perdarahan salah satunya di jaringan kulit
(banyaknya bintik merah lebar/kecil dijaringan kulit).
3. Terserang Infeksi.
Sel darah putih berperan sebagai pelindung daya tahan tubuh, terutama melawan penyakit
infeksi. Pada Penderita Leukemia, sel darah putih yang dibentuk tidak normal (abnormal)
sehingga tidak berfungsi semestinya. Akibatnya tubuh si penderita rentan terkena infeksi
virus/bakteri, bahkan dengan sendirinya akan menampakkan keluhan adanya demam, keluar
cairan putih dari hidung (meler) dan batuk.
4. Nyeri Tulang dan Persendian.
Hal ini disebabkan sebagai akibat dari sumsum tulang (bone marrow) didesak padat oleh sel
darah putih.
5. Nyeri Perut.
Nyeri perut juga merupakan salah satu indikasi gejala leukemia, dimana sel leukemia dapat
terkumpul pada organ ginjal, hati dan empedu yang menyebabkan pembesaran pada organorgan tubuh ini dan timbulah nyeri. Nyeri perut ini dapat berdampak hilangnya nafsu makan
penderita leukemia.
6. Pembengkakan Kelenjar Limfe.
56
Penderita kemungkinan besar mengalami pembengkakan pada kelenjar limfe, baik itu yang
dibawah lengan, leher, dada dan lainnya. Kelenjar limfe bertugas menyaring darah, sel
leukemia dapat terkumpul disini dan menyebabkan pembengkakan.
7. Kesulitan Bernafas (Dyspnea).
Penderita mungkin menampakkan gejala kesulitan bernafas dan nyeri dada, apabila terjadi
hal ini maka harus segera mendapatkan pertolongan medis.
DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis leukemia dilakukan secara terperinci melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang sehingga dapat diperoleh data-data yang maksimal untuk
mendukung diagnosis. Terkadang diagnosis leukemia ditemukan secara tidak sengaja saat pasien
menjalani pemeriksaan kesehatan rutin.Pemeriksaan riwayat penyakit yang lebih teliti dilakukan
dan pasien dapat melaporkan riwayat leukemia atau gejala dan faktor resiko yang ada.
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan gumpalan, atau abnormalitas lain dan gejala dari
leukemia. Pada pemeriksaan fisik biasanya akan diperiksa ada tidaknya pembengkakan pada
kelenjar getah bening, limfe, dan hati.
Pemeriksaan Penunjang
Akut
Jumlah Leukosit
Rendah,normal,atau tinggi
Differential Leukosit
Jika tinggi, maka sel blas
akan
predominan,
Jika
Tinggi
57
tergantung
kepada
respon
yang
ditunjukkan
oleh
sumsum
tulang.
58
Leukemia limfositik kronik berkembang dengan lambat, sehingga banyak penderita yang
tidak memerlukan pengobatan selama bertahun-tahun sampai jumlah limfosit sangat banyak,
kelenjar getah bening membesar atau terjadi penurunan jumlah eritrosit atau trombosit.
Anemia diatasi dengan transfusi darah dan suntikan eritropoietin (obat yang merangsang
pembentukan sel-sel darah merah). Jika jumlah trombosit sangat menurun, diberikan
transfusi trombosit. Infeksi diatasi dengan antibiotik. Terapi penyinaran digunakan untuk
memperkecil ukuran kelenjar getah bening, hati atau limpa.
Obat antikanker saja atau ditambah kortikosteroid diberikan jika jumlah limfositnya
sangat banyak. Prednison dan kortikosteroid lainnya bisa menyebabkan perbaikan pada
penderita leukemia yang sudah menyebar. Tetapi respon ini biasanya berlangsung singkat
dan setelah pemakaian jangka panjang, kortikosteroid menyebabkan beberapa efek samping.
Leukemia sel B diobati dengan alkylating agent, yang membunuh sel kanker dengan
mempengaruhi DNAnya. Leukemia sel berambut diobati dengan interferon alfa dan
pentostatin.
Prinsip pengobatan leukemia:
a.
Kemoterapi
b.
Terapi Biologi
c.Terapi Radiasi
d.
59
60
dengan limfoma Burkitt, sebuah penyakit yang biasa ditemukan di Afrika. Infeksi HTLV-1
(Human T Lymphoytopic Virus type 1).
GAMBARAN KLINIS
Gejala pada sebagian besar pasien asimtomatik sebanyak 2% pasien dapat mengalami demam,
keringat malam dan penurunan berat badan. Pada pasien dengan limfoma indolen dapat terjadi
adenopati selama beberapa bulan sebelum terdiagnosis, meskipun biasanya terdapat pembesaran
persisten dari nodul kelenjar bening. Untuk ekstranodalnya, penyakit ini paling sering terjadi
pada lambung, paru-paru dan tulang, yang mengakibatkan karakter gejala pada penyakit yang
biasa menyerang organ-organ tersebut.
DIAGNOSIS
Anamnesis
Umum:
Keluahan anemia
Khusus
Kelainan darah
Pemeriksaan fisik
Pembesaran KGB
Pemeriksaan Diagnostik
a. Laboratorium
b. Biposi
c. Aspirasi sumsum tulang
d. Radiologi
e. Konsultasi THT
f. Cairasn tubuh lain
g. Immunophennotyping
Stadium Penyakit tingkat keterlibatan ditentukan sesuai dengan klasifikasi Ann Arbor
a. Stadium I:
Keterlibatan satu daerah kelenjar getah bening (I) atau keterlibatan satu organ atau satu
tempat ekstralimfatik(IIE)
b. Stadium II:
Keterlibatan 2 daerah kelenjar getah bening atau lebih pada sisi diafragma yang sama (II)
atau keterlibatan lokal pada organ atau tempat ekstralimfatik dan satu atau lebih daerah
kelenjar getah bening pada sisi diafragma yang sama (IIE). Rekomendasi lain: jumlah daerah
nodus yang terlibat ditunjukkan dengan tulisan di bawah garis (subscript) (misalnya II3)
c. Stadium III:
Keterlibatan daerah kelenjar getah bening pada kedua did diafragma (III), yang jug dapat
disertai dengan keterlibatan lokal pada organ atau tempat ekstralimfatik (IIIE) atau keduanya
(IIIE+S)
d. Stadium IV:
Keterlibatan yang difus atau tanpa disertai pembesaran kelenjar getah bening. Alasan untuk
menggolongkan pasien ke dalam stadium IV harus dijelaskan lebih lanjut dengan
menunjukkan tempat itu dengan simbol.
PENATALAKSANAAN
62
Terapi yang dilakukan biasanya melalui pendekatan multidisiplin. Terapi yang dapat dilakukan:
1. Derajat Keganasan Rendah (DKR)/indolen:
Pada prinsipnya simtomatik
63
ARTRITIS REUMATOID
DEFINISI
Artritis Reumatoid (AR) salah satu dari beberapa penyakit rematik adalah suatu penyakit
otoimun sistemik yang menyebabkan peradangan pada sendi. Penyakit ini ditandai oleh
peradangan sinovium yang menetap, suatu sinovitis proliferatifa kronik non spesifik. Dengan
berjalannya waktu, dapat terjadi erosi tulang, destruksi (kehancuran) rawan sendi dan kerusakan
total sendi. Akhirnya, kondisi ini dapat pula mengenai berbagai organ tubuh.
ETIOPATOFISIOLOGI DAN DIAGNOSIS
Penyakit ini timbul akibat dari banyak faktor mulai dari genetik (keturunan) sampai pada
gaya hidup kita (merokok). Salah satu teori nya adalah akibat dari sel darah putih yang berpindah
dari aliran darah ke membran yang berada disekitar sendi.
Gejala dan tanda dari AR dapat dilihat sebagai berikut;
64
Nyeri sendi
Pembengkakan sendi
Tangan kemerahan
Lemas
Demam
sama. Pada tahap awal biasanya mengenai sendi-sendi kecil seperti, pergelangan tangan, tangan,
pergelangan kaki, dan kaki. Dalam perjalanan penyakitnya, selanjutnya akan mengenai sendi
bahu, siku, lutut, panggul, rahang dan leher.
Faktor Risiko
Jenis Kelamin.
Umur.
Artritis reumatoid biasanya timbul antara umur 40 sampai 60 tahun. Namun penyakit ini juga
dapat terjadi pada dewasa tua dan anak-anak (artritis reumatoid juvenil)
Riwayat Keluarga.
Apabila anggota keluarga anda ada yang menderita penyakit artritis rematoid maka anda
kemungkinan besar akan terkena juga.
Merokok.
Pemeriksaan Tambahan
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaaan darah rutin. Orang
dengan RA pemeriksaan rasio sedimen eritrosit (ESR) cenderung meningkat, pemeriksaan ini
dapat memperlihatkan adanya proses peradangan dalam tubuh. Pemeriksaan darah lain yang
biasa nya dilakukan adalah pemeriksaan antibodi seperti faktor rheumatoid dan anti-CCP.
Selain itu juga dapat dilakukan analisa cairan sendi. Dokter anda akan mengambil cairan
sendi dengan menggunakan jarum steril, lalu cairan sendi akan dianalisa apakah terdapat
65
peningkatan kadar leukosit atau tidak dan juga dapat menyingkirkan kemungkinan penyakit
rematik lainnya.
Pemeriksaan foto rontgen dilakukan untuk melihat progesifitas penyakit RA. Dari hasil
foto dapat dilihat adanya kerusakan jaringan lunak maupun tulang. Pemeriksaaan ini dapat
memonitor progresifitas dan kerusakan sendi jangka panjang.
PENATALAKSANAAN
Penyakit rheumatoid arthritis tidak dapat disembuhkan. Tujuan dari pengobatan adalah
mengurangi peradangan sendi untuk mengurangi nyeri dan mencegah atau memperlambat
kerusakan sendi. Secara umum pengobatan yang dapat dilakukan adalah pemberian obat-obatan
dan operasi.
Dibawah ini adalah contoh-contoh obat yang dapat diberikan;
NSAIDs. Obat anti-infalamasi nonsteroid (NSAID) dapat mengurangi gejala nyeri dan
mengurangi proses peradangan. Yang termasuk dalam golongan ini adalah ibuprofen dan
natrium naproxen. Golongan ini mempunyai risiko efek samping yang tinggi bila di
konsumsi dalam jangka waktu yang lama.
mengurangi peradangan, nyeri dan memperlambat kerusakan sendi. Dalam jangka pendek
kortikosteroid memberikan hasil yang sangat baik, namun bila di konsumsi dalam jangka
panjang efektifitasnya berkurang dan memberikan efek samping yang serius.
Obat remitif (DMARD). Obat ini diberikan untuk pengobatan jangka panjang. Oleh
karena itu diberikan pada stadium awal untuk memperlambat perjalanan penyakit dan
melindungi sendi dan jaringan lunak disekitarnya dari kerusakan. Yang termasuk dalam
golongan ini adalah klorokuin, metotreksat salazopirin, dan garam emas.
Pembedahan menjadi pilihan apabila pemberian obat-obatan tidak berhasil mencegah dan
memperlambat kerusakan sendi. Pembedahan dapat mengembalikan fungsi dari sendi anda yang
telah rusak. Prosedur yang dapat dilakukan adalah artroplasti, perbaikan tendon, sinovektomi.
66
OSTEOARTRITIS
DEFINISI
Osteoartritis adalah suatu penyakit sendi menahun yang ditandai oleh adanya kelainan
pada tulang rawan (kartilago) sendi dan tulang di dekatnya. Tulang rawan (kartilago) adalah
bagian dari sendi yang melapisi ujung dari tulang, yang memudahkan pergerakan dari sendi.
Kelainan pada kartilago dapat menyebabkan tulang bergesekan satu sama lain, yang menyebakan
kekakuan, nyeri dan pembatasan gerakan pada sendi.
Osteoartritis biasanya terjadi pada orang yang berusia di atas 45 tahun. Laki-laki di
bawah umur 55 tahun lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan dengan wanita pada
umur yang sama. Setelah umur 55 tahun biasanya wanita lebih sering menderita osteoartritis
dibandingkan dengan wanita. Secara keseluruhan, wanita lebih sering menderita osteoartritis bila
dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini diduga karena bentuk pinggul wanita yang lebar dapat
menyebabkan tekanan yang menahun pada sendi lutut. Osteoartritis juga sering ditemukan pada
orang yang kelebihan berat badan dan mereka yang pekerjaanya mengakibatkan tekanan yang
berlebihan pada sendi-sendi tubuh.
67
ETIOLOGI
Osteoartitis biasanya bermula dari kelainan pada sel-sel yang membentuk komponen
tulang rawan, seperti kolagen (serabut protein yang kuat pada jaringan ikat), dan proteoglikan
(bahan yang membentuk daya lenting pada tulang rawan). Akibat dari kelainan pada sel-sel
tersebut, tulang rawan akhirnya menipis dan membentuk retakan-retakan pada permukaan sendi.
Rongga kecil akan terbentuk di dalam sumsum dari tulang di bawah tulang rawan tersebut,
sehingga tulang yang bersangkutan menjadi rapuh. Tubuh kita akan berusaha untuk memperbaiki
kerusakan tersebut. Tetapi perbaikan yang dilakukan oleh tubuh mungkin tidak memadai,
mengakibatkan timbulnya benjolan pada pinggiran sendi (osteofit) yang terasa nyeri.
Pada akhirnya permukaan tulang rawan akan berubah menjadi kasar dan berlubanglubang sehingga sendi tidak lagi bisa bergerak secara halus. Semua komponen yang ada pada
sendi (tulang, kapsul sendi, jaringan sinovial, tendon, dan tulang rawan) mengalami kegagalan
dan terjadi kekakuan sendi.
Penyebab pasti dari terjadinya semua kelainan ini sampai saat ini masih belum diketahui
secara pasti. Tetapi ada beberapa faktor risiko yang memungkinkan seseorang untuk menderita
osteoartritis, yaitu:
Umur
Kemungkinan seseorang mengidap osteoartritis makin bertambah seiring dengan
bertambahnya usia seseorang.
Berat badan
Makin tinggi berat badan seseorang, makin besar kemungkinan seseorang untuk
menderita osteoartritis. Hal ini disebabkan karena seiring dengan bertambahnya berat
badan seseorang, beban yang diterima oleh sendi pada tubuh makin besar.
68
Penyakit lain yang dapat mengganggu fungsi dan struktur normal pada tulang rawan
seperti rematoid artritis, hemokromatosis, gout, akromegali, dan sebagainya
MANIFESTASI KLINIS
Gejala pada osteoarthritis timbul secara bertahap. Awalnya kelainan berupa nyeri dan
kekakuan pada sendi. Sendi-sendi jari tangan, pangkal ibu jari, leher, punggung sebelah bawah,
jari kaki yang besar, panggul dan lutut adalah bagian yang paling sering terkena osteoartritis.
Nyeri dapat bersifat ringan, sedang, atau berat hingga dapat mengganggu aktivitas sehari-hari.
Bila penyakit berlanjut maka makin lama sendi akan makin sulit untuk digerakkan dan pada
akhirnya akan terhenti pada posisi tertekuk.
Pertumbuhan baru dari tulang rawan dan jaringan lainya dapat menyebabkan
membesarnya sendi, dan tulang rawan yang permukaanya kasar akan menyebabkan timbulnya
suara gemeretak pada saat sendi digerakkan. Pada beberapa sendi, ligamen (yang mengelilingi
dan menyokong sendi) dapat teregang sehingga sendi menjadi tidak stabil. Menyentuh atau
menggerakkan sendi ini bisa menyebabkan nyeri yang hebat.
Osteoartritis yang terjadi pada sendi-sendi di leher atau punggung dapat menimbulkan
gejala mati rasa, kesemutan, nyeri dan kelemahan pada lengan atau tungkai, jika pertumbuhan
tulang berlebihan menekan persarafan yang ada di sekitarnya. Kadang dapat terjadi penekanan
pada pembuluh darah yang menuju ke otak bagian belakang, sehingga dapat timbul gangguan
pengelihatan, vertigo, mual dan muntah. Pertumbuhan tulang yang terjadi di sekitar leher juga
dapat menyebakan gangguan pada proses menelan.
DIAGNOSIS
Diagnosis dari osteoartritis dapat ditegakan berdasarkan gejala penyakit dan dengan
melakukan pemeriksaan tambahan. Pemeriksaan tambahan yang dimaksud dapat berupa :
Rontgen tulang
Dengan pemeriksaan ini dapat diketahui kerusakan atau perubahan-perubahan yang
terjadi pada tulang rawan atau tulang yang mengindikasikan adanya osteoartritis.
PENATALAKSANAAN
Sampai saat ini masih belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan osteoartritis
hingga tuntas. Pengobatan yang ada hingga saat ini hanya berfungsi untuk mengurangi nyeri dan
mempertahankan fungsi dari sendi yang terkena. Ada tiga tujuan utama yang ingin dicapai dalam
proses terapi osteoartritis, yaitu untuk mengontrol nyeri dan gejala lainya, untuk mengatasi
gangguan pada aktivitas sehari-hari, dan untuk menghambat proses penyakit.
Pilihan pengobatan dapat olahraga, kontrol berat badan, perlindungan sendi, terapi fisik,
dan obat-obatan. Bila semua pilihan terapi tersebut tidak memberikan hasil, dapat
dipertimbangkan untuk dilakukan tindakan operasi pada sendi yang terkena.
70
GOUT
DEFINISI
Gout adalah bentuk artritis yang timbul seketika, episode nyeri berlebih, kelembutan,
kemerahan, hangat dan bengkak sendi. Itu merupakan tipe inflamasi arthritis paling umum pada
pria usia diatas 40. Wanita biasanya diproteksi dari gout hingga sesudah menopause.
ETIOLOGI
Gout adalah hasil kumpulan jarum asam urat seperti kristal pada ruang sendi. Asam
urat, substansi yang merupakan hasil dari kerusakan purin dalam tubuh, biasanya terurai dalam
darah dan dikeluarkan melalui ginjal ke dalam air seni. Pada seseorang dengan gout, kadar asam
urat dalam darah menjadi naik. Ini disebut hiperurisemia dan dapat disebabkan karena
peningkatan produksi asam urat contohnya karena konsumsi makanan kaya purin atau penurunan
ekskresi asam urat dari ginjal contohnya ketidakmampuan ginjal.
MANIFESTASI KLINIS
Serangan sering terjadi sangat mendadak dengan intensitas nyeri maksimum tercapai
dalam beberapa jam. Sendi terlibat menjadi sangat nyeri dan seringkali bengkak, hangat dan
71
merah. Perkembangan pesat nyeri sendi ini adalah bentuk yang membedakannya dari sebagian
besar bentuk artritis lainnya.
Sendi paling umum yang terkena adalah sendi pertama dari jempol kaki. Sendi lainnya
yang mungkin terkena adalah lutut, tumit, tangan, pergelangan tangan dan sikut. Bahu, sendi
pinggul dan tulang belakang sangat jarang terkena.
FAKTOR RISIKO
Kelebihan berat badan Asupan makanan berlebih meningkatkan produksi asam urat
dalam tubuh
Kelebihan penggunaan alkohol Alkohol mengganggu ekskresi asam urat dari tubuh
Trauma sendi
Gen
DIAGNOSIS
Disamping evaluasi gejala, melakukan pemeriksaan klinis dan mengukur kadar asam urat, tes
paling konklusif adalah aspirasi sendi. Ini adalah prosedur sederhana dimana jarum digunakan
untuk mangambil contoh cairan dari sendi yang terkena. Adanya kristal asam urat ( kristal
monosodium urate) mengkonfirmasikan diagnosis gout. Namun, tidak adanya kristal tersebut
tidak mengesampingkan gout. Sebagin besar orang dengan gout mengalami hiperurisemia tetapi
hiperurisemia mungkin tidak terdapat semasa serangan akut. Hiperurisemia sendiri tidak berarti
bahwa orang tersebut mengalami gout.
PENATALAKSANAAN
Pengobatan gout tergantung pada tahap penyakit. Untuk serangan akut, langkah penting adalah
untuk menyediakan penawar sakit dan memperpendek jarak inflamasi. Tujuan pengelolaan gout
adalah untuk mencegah terulang kembali atau serangan gout di kemudian hari dengan tujuan
utama mencegah kerusakan sendi.
72
73
Obat urikosurik seperti probenecid menurunkan kadar asam urat dalam darah dengan
meningkatkan ekskresinya dalam air seni. Mereka tidak seefektif alopurinol dan tidak bekerja
baik pada orang dengan kerusakan ginjal. Pasien harus minum banyak air karena ekskresi asam
urat dalam air seni mungkin menyebabkan pembentukan batu dalam ginjal. Akhirnya, dokter
akan menyarankan Anda mengenai tipe obat-obatan yang Anda butuhkan dan memantau efek
sampingnya.
74
dan hal lain yang mungkin terjadi seperti pembesaran kelenjar getah bening, pembesaran hati
(hepatomegali) dan pembesaran limpa.
Peningkatan permeabilitas dinding kapiler mengakibatkan berkurangnya volume plasma,
terjadinya hipotensi, homokonsentrasi dan hipoproteinemia serta efusi dan renjatan (syok).
Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit lebih dari 20%) menggambarkan adanya
kebocoran (perembesan) plasma sehingga nilai hematokrit menjadi penting untuk patokan
pemberian cairan intravena. Oleh karena itu, pada penderita DHF sangat dianjurkan untuk
memantau hetokrit darah berkala untuk mengetahui berapa persen hemokonsentrasi terjadi.
75
76
ETIOLOGI
Penyakit Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam group
arboviruses (virus yang ditularkan melalui gigitan nyamuk asthropod). Penyakit demam berdarah
dengue ditularkan oleh nyamik Aedes Aegypti yang banyak ditemukan dan hampir selalu
menggigit di dalam rumah pada waktu siang hari (Sumarmo, 1998).
TANDA DAN GEJALA
Demam
Demam akut dengan gejala yang tidak spesifik, anoreksi, lemah, nyeri punggung, nyeri
tulang sendi dan kepala. Biasanya berlangsung 2-7 hari.
Perdarahan
Manifestasi perdarahan pada umumnya muncul pada hari ke 2-3 demam. Bentuk perdarahan
dapat berupa : uji torniquet positif. Ptekiae, purpura, ekimosis, epitaksis dan perdarahan gusi,
hematemesis melena. Uji torniquet positif bila terdapat lebih dari 20 ptekiae dalam diameter
2,8 cm.
Hepatomegali
Ditemukan pada permulaan demam, sifatnya nyeri tekan dan tanpa disertai ikterus.
Renjatan ( Syok )
Syok biasanya terjadi pada saat demam mulai menurun pada hari ke-3 dan ke-7 sakit. Syok
yang terjadi lebih awal atau pada periode demam biasanya mempunyai prognosa buruk.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Darah :
LPB positif.
rejatan.
77
b. Urine :
Kadar albumin urine positif (albuminuria)
2. Foto thorax
Bisa ditemukan pleural effusion.
KLASIFIKASI
DHF diklasifikasikan berdasarkan derajat beratnya penyakit, secara klinis dibagi menjadi
4 derajat (Menurut WHO, 1986) :
1. Derajat I
Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan, trombositopenia dan
hemokonsentrasi.uji tourniquet
2. Derajat II
Derajat I dan disertai pula perdarahan spontan pada kulit atau tempat lain.
3. Derajat III
Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan darah rendah (hipotensi),
gelisah, cyanosis sekitar mulut, hidung dan jari (tanda-tanda dini renjatan).
4. Derajat IV
Renjatan berat (DSS) dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur
KOMPLIKASI
Perdarahan luas
Syok (rejatan)
Pleural Effusion
Penurunan kesadaran
78
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penderita dengan DHF adalah sebagai berikut :
1. Tirah baring atau istirahat baring.
2. Diet makan lunak.
3. Minum banyak (2 2,5 liter/24 jam) dapat berupa : susu, teh manis, sirup dan beri
penderita sedikit oralit, pemberian cairan merupakan hal yang paling penting bagi penderita
DHF.
4. Pemberian cairan intravena (biasanya ringer laktat, NaCl Faali) merupakan cairan yang
paling sering digunakan.
5. Monitor tanda-tanda vital tiap 3 jam (suhu, nadi, tensi, pernafasan) jika kondisi pasien
memburuk, observasi ketat tiap jam.
6. Periksa Hb, Ht dan trombosit setiap hari.
7. Pemberian obat antipiretik sebaiknya dari golongan asetaminopen.
8. Monitor tanda-tanda perdarahan lebih lanjut.
9. Pemberian antibiotik bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder.
10. Monitor tanda-tanda dan renjatan meliputi keadaan umum, perubahan tanda-tanda vital,
hasil pemeriksaan laboratorium yang memburuk.
11. Bila timbul kejang dapat diberikan Diazepam.
Pada kasus dengan renjatan pasien dirawat di perawatan intensif dan segera dipasang infus
sebagai pengganti cairan yang hilang dan bila tidak tampak perbaikan diberikan plasma atau
plasma ekspander atau dekstran sebanyak 20 30 ml/kg BB. Pemberian cairan intravena baik
plasma maupun elektrolit dipertahankan 12 48 jam setelah renjatan teratasi. Apabila
renjatan telah teratasi nadi sudah teraba jelas, amplitudo nadi cukup besar, tekanan sistolik 20
mmHg, kecepatan plasma biasanya dikurangi menjadi 10 ml/kg BB/jam.
Transfusi darah diberikan pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal yang hebat.
Indikasi pemberian transfusi pada penderita DHF yaitu jika ada perdarahan yang jelas secara
klinis dan abdomen yang makin tegang dengan penurunan Hb yang mencolok.
Pada pasien renjatan :
o Antibiotika
79
o Kortikosteroid
o Antikoagulasi
antigenic, adanya antigen terhadap sel B dari sel B lainnya atau dari antigen pesaing cells
(APCs), perubahan sel Th1 menjadi sel Th2 yang kemudian memicu produksi antibody sel B,
dan supresi sel B yang tidak sempurna.
Autoantibodi yang terbentuk umumnya menyerang bagian-bagian penyusun nucleus
dalam sel yang sering disebut antinuclear antibody (ANA). Pada pasien SLE dapat ditemukan
lebih dari satu macam ANA, yang dapat menyerang berbagai system organ. Antibody yang
terbentuk juga dapat menyerang bagian fosfolipid dari activator kompleks protrombin
(antikoagulan lupus) dan kardiolipin (antikardiolipin). Antikoagulan lupus dan antikardiolipin
merupakan dua antibody yang termasuk kedalam golongan antibody antifosfolipid. Beberapa
antibody tersebut dapat muncul bertahun-tahun sebelum diagnosis dapat ditegakkan, namun ada
juga beberapa antibody yang muncul dalam hitungan bulan sebelumnya.
Serangkaian reaksi akibat kerusakan regulasi system imun yang kemudian memacu sel B
untuk memproduksi autoantibodi, pembentukan kompleks imun yang diikuti oleh aktivasi
komplemen, akan menyebabkan inflamasi dan kerusakan pada berbagai jaringan serta organ.
MANIFESTASI KLINIS
SLE adalah salah satu kelompok penyakit jaringan ikat difus yang etiologinya tidak
diketahui. Kelompok ini meliputi SLE, skleroderma, polimiositis, arthritis, rheumatoid, dan
sindron Sjogren. Gangguan-gangguan ini seringkali tumpang tindih satu dengan yang lainnya
dan dapat tampil sedara bersamaan sehingga diagnosis menjadi semakin sulit untuk ditegakkan.
SLE dapat bervariasi dari suatu gangguan yang bersifat ringan sampai suatu gangguan yang
bersifat fulminan dan mematikan.
Gambaran klinis SLE sering membingungkan terutama pada awalnya. Gejala yang paling
sering muncul adalah arthritit simetris atau atralgia, yang muncul pada 90% dari waktu
perjalanan penyakit, seringkali sebagai manifestasi awal. Sendi-sendi yang paling sring terserang
adalah sendi proksimal tangan, pergelangan tangan, siku, bahu, lutut, dan pergelangan kaki.
Poliarthritis SLE berbeda dengan arthritis rheumatoid karena jarang bersifat erosive atau
menimbulkan deformitas. Nodul sub kutan juga jarang ditemukan pada penyakit SLE.
Gejala-gejala konstitusional adalah demam, rasa lelah, lemah, dan berkurangnya berat
badan yang biasanya timbul pada awal penyakit dan dapat berulang dalam perjalanan penyakit
81
ini. Keletihan dan rasa lemah dapat timbul sebagai gejala sekunder dari anemia ringan yang
ditimbulkan oleh SLE.
Manifestasi kulit mencakup ruam eritematosa yangdapat timbul pada wajah, leher,
ekstrimitas, atau pada tubuh. 40% dari pasien SLE memiliki ruam khas berbentuk kupu-kupu.
Sinar matahari dapat memperburuk ruam kulit ini. Dapat timbul rambut rontok yang kadangkadang menjadi berat. Juga dapat terjadi ulserasi pada mukosa mulut dan nasofaring. Pleuritis
(nyeri dada) dapat timbul akibat proses peradangan kronik dari SLE. SLE juga dapat
menyebabkan karditis yang menyerang miokardium, endokardium, atau pericardium.
Kurang lebih 65% dari pasien SLE akan mengalami gangguan pada ginjalnya, 25%
menjadi gangguan ginjal yang berat. SLE juga dapat menyerang SSP maupun perifer. Gejalagejala yang ditimbulkan meliputi perubahan tingkah laku, kejang, gangguan saraf otak, dan
neuropati perifer.
DIAGNOSIS
Adanya empat atau lebih dari 11 kriteria baik secara serial maupun simultan cukup untuk
menegakkan diagnosis. Kriteria diagnosis untuk SLE diantaranya adalah :
1. ruam di daerah malar
2. ruam discoid
3. fotosensitivitas
4. ulkus pada mulut
5. arthritis : tidak erosive, pada dua atau lebih sendi-sendi perifer
6. serositis : pleuritis atau perikarditis
7. gangguan pada ginjal ; proteinuria persisten yang lebih dari 0,5 g/hari
8. gangguan neurulogik : kejang atau psikosis
9. gangguan hematologik : anemia hemolitik, leukopenia, limfopenia, atau trombositopenia
10. gangguan imunologik : sel-sel lupus eritematosus (LE) positif, anti DNA
11. antibody antinuclear (ANA)
Uji laboratorium
1. ANA positif pada lebih dari 95% pasien lupus. Pemeriksaan ini dilakukan untuk
mengetahui adanya antibody yang mampu menghancurkan inti dari sel-sel tubuh sendiri.
Selain mendeteksi adanya ANA, juga berguna untuk mengevaluasi pola dari ANA dan
82
antibody spesifik. Pola ANA diketahui dari pemeriksaan preparat dibawah sinar UV.
Pemeriksaan ini berguna untuk membedakan SLE dari tipe-tipe gangguan lainnya.
2. antibody terhadap dsDNA merupakan uji spesifik untuk SLE. Gangguan reumatologik
lain dapat menyebabkan ANA positif, tetapi antibody anti DNA jarang ditemukan kecuali
pada SLE.
3. laju enap darah pada pasien SLE biasanya meningkat. Ini adalah uji nonspesifik untuk
mengukur peradangan dan tidak berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit.
4. uji factor LE. Sel LE dibentuk dengan merusak beberapa leukosit pasien sehingga sel-sel
tersebut mengeluarkan nukleoproteinnya. Protein ini bereaksi dengan IgG, dan kompleks
ini difagositosis oleh leukosit normal yang masih ada.
5. urin diperiksa untuk mengetahui adanya protein, laukosit, dan eritrosit. Uji ini dilakukan
untuk mengetahui adanya komplikasi ginjal dan untuk memantau perkembangan
penyakit.
PENATALAKSANAAN
Meski masih belum dapat disembuhkan, odapus (orang dengan penyakit lupus) tetap bisa
mendapatkan pengobatan agar dapat hidup lebih lama seperti orang yang sehat. Pengibatan
ditujukan untuk menghilangkan gejala lupus yang ada. Pengobatan juga perlu didukung
perubahan pola hidup, pengendalian emosi, pemakaian obat secara tepat, dan pengaturan gizi
seimbang. Manifestasi yang terjadi dapat bervariasi untuk tiap pasien sehingga terapi SLE
dilakukan secara individual. Nutrisi, cairan, dan elektrolit yang adekuat merupakan pengobatan
suportif 7yang sangat dibutuhkan. Berikut Algoritme terapi SLE.
Terapi Non Farmakologis :
1. pengaturan istirahat dan olah raga ringan yang teratur da seombang. Hal ini dalakukan
untuk mengatasi fatigue yang umumnya dialami oleh pasien SLE.
2. hindari merokok, terkait dengan kandngan hydrazine yang terkadung dalam rokok dan
dapat menjadi factor pencetus SLE serta menambah resiko terjadinya CAD
3. pemberian asupan minyak ikan, untuk menghindari terjadinya keguguran pada wanita
hamil dengan antifosfolipid antibody.
4. menghindari paparan sinar matahari langsung. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan
menggunakan paying, topi, hingga memakai sunscreen maupun sunblok
83
5. menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan stress karena dapat memicu terjadinya
SLE.
Terapi Farmakologi
Strategi terapi SLE adalah dengan menekan system imun dan dapat menghilangkan
inflamasi. Terapi dengan obat bagi pasien meliputi pemberian OAINS, kortikosteroid,
antimalaria, dan agen penekan imun. Pemilihan obat bergantung pada organ-organ yang terkena
oleh penyakit ini.
1. OAINS
Dipakai untuk mengatasi arthritis dan artralgia. Penggunaan OAINS pada pasien dengan
gejala yang masih awal merupakan pilihan yang logis. Aspirin jarang digunakan karena memiliki
insidensi hepatotoksik tertinggi, dan sebagian pasien SLE juga mengalami gangguan pada hepar.
Pasien SLE juga memiliki resiko tinggi terhadap efek samping OAINS pada kulit, hepar, dan
ginjal, sehingga penggunaannya perlu dimonitoring.
2. Obat Antimalaria
Terapi antimalaria kadang-kadang dapat efektif
mengendalikan gejala-gejala SLE. Biasanya anti malaria mula-mula diberikan dosis tinggi untuk
memperoleh keadaan remisi. Antimalaria dapat mengatasi beberapa manifestasi klinis, seperti
arthalgia, pleuritis, inflamasi pericardial, fatigu, dan leukopenia. Hidroksikloroquin diketahui
lebih aman dibandingkan dengan cloroquine dan merupakan pilihan pertama dalam terapi SLE.
Mekanisme antimalaria belum jelas, namun telah diketahui bahwa obat antimalaria
menggangu aktivitas limfosit T. dosis dan durasi penggunaan tergantung dari respon pasien,
toleransi terhadap efek samping, dan potensi terjadinya toksisitas renal yang dapat terjadi pada
penggunaan cloroquin jangka panjang. Dosis yang direkomendasikan adalah 200-400 mg/hari
untuk hidroksikloroquin dan 250-500 mg/hari untuk cloroquin.
Efek samping pada system CNS diantaranya adalah sakit kepala, insomnia, kegugupan,
dll. Selain itu rash, dermatitis, perubahan pigmen rambut dan kulit, mutah, dan toksisitas ocular
reversible. Karena kemungkinan adanya retinophati, evaluasi ophtalmologik harus dilakukan
diawal terapi, minimal 3 bulan untuk penggunaan cloroquin, dan setiap 6-12 bulan untuk
penggunaan hydroxicloroquin. Jika diketahui terjadi abnormalitas retina maka terapi antimalaria
harus dihentikan atau dikurangi dosisnya.
3. Kortikosteroid
84
Merupakan obat yang paling sering digunakan dalam terapi SLE. Beberapa pertimbangan
yang matang harus dilakukan sebelum memutuskan menggunakannya terkait dengan resiko yang
ditimbulkan, seperti kemungkinan terjadinya infeksi, hipertensi, diabetes, obesitas, osteoporosis,
dan beberapa penyakit psikiatris.
Prednison dosis rendah (10-20 mg/hari) digunakan untuk mengatasi gejala ringan SLE
tetapi apabila gejala yang terjadi termasuk gejala yang berat maka penggunaan dosis yang lebih
tinggi (10-20 mg/kg/hari) dapat diberikan. Ketika gejala telah teratasi maka dosis harus
ditapering dan dipertahankan pada dosis terendah yang dapat memberikan efek.
Terapi steroid jangka pendek dengan dosis tinggi dapat diberikan bagi pasien dengan
gejala nefritis parah, gejala pada system CNS, dan manifestasi hemolitik. Dosis yang digunakan
biasanya adalah 500-1000 mg metilprednisolon i.v berurutan selama 3-6 hari, dan diikuti dengan
1-1,5 mg/kg/hari prednison, yang kemudian ditapering sampai dosis terendah yang masih dapat
memberikan efek.
Penyapihan
Bila keadaan klinis baik dan gambaran laboratorium dalam batas normal maka mulai
dilakukan penyapihan bertahap. Pemeriksaan konversi negatif sel LE dan titer ANA dapat
dipakai sebagai pegangan untuk memulai penyapihan kortikosteroid. Setiap dosis inisial harus
diberikan dalam dosis terbagi 3-4 kali sehari, setelah itu dapat dipertimbangkan pemberian dosis
tunggal pada pagi hari. Bila terdapat stress (infeksi, trauma, luka, kelelahan, tekanan kejiwaan)
pengobatan diberikan dalam dosis terbagi. Bila pada saat penyapihan gejala kambuh kembali,
dosis dinaikkan dengan 25-50% terapi saat itu dalam dosis terbagi yang dipertahankan dalam
beberapa lama sebelum diputuskan untuk meneruskan penyapihan, atau menaikan dosis kembali.
Patokan penyapihan : 10 mg/hari : turunkan 0,5-1,0 mg setiap 2-4 minggu, 10-20 mg/hari :
turunkan 1,0-2,5 mg setiap minggu, 20-60 mg/hari : turunkan 2,5-5,0 mg setiap minggu
4. Obat Sitotoksik
Terapi penekan imun (siklofosfamid, azatioprin) dapat dilakukan untuk menekan aktivitas
autoimun SLE. Obat-obatan ini biasanya dipakai ketika :
1. diagnosis pasti sudah ditegakkan
2. adanya gejala-gejala berat yang dapat mengancam jiwa gangguan neurologik SSP,
anemia hemolitik akut.
85
Dosis siklofosfamid yang digunakan untuk terapi kombinasi adalah 1-3 mg/kg BB per oral
dan 0,5-1,0 g/m BSA secara intra vena. Efek samping yang ditimbulkan adalah infeksi
oportunistik, komplikasi kandung kemih, kemandulan, dan efek teratogenesis. Azatioprin dapat
jugs digunakan sebagai kombinasi dengan kortikosteroid, namum belum ada bukti yang
memastikan bahwa penggunaan azatioprin lebih baik dibanding siklofosfamid. Agen sitotoksik
baru yang mulai banyak digunakan saat ini adalah mycofenolat mofenil. Pada beberapa studi
secara random menunjukkan mycofenolat mofenil memberikan efek yang lebih baik dibanding
azatioprin dan siklofosfamid.
Penanganan SLE Pada Kehamilan
SLE memperburuk kehamilan , keadaan postpartum, aborsi, dan preekalampsia. Pada
pasien hamil, SLE berkembang terutama trimester ketiga kehamilan, sehingga penanganannya
berbeda pada orang normal. Kortikosteroid adalah drug of choice, walaupun menembus plasenta
kortikosteroid dimetabolisme oleh plasenta hidroksigenase sebelum mencapai fetus. NSAID dan
aspirin aman pada trimester pertama dan kedua. Dosis rendah aspirin (81mg/hari) dengan atau
tanpa heparin dapat digunakan pada kehamilan dengan lupus yang terkomplikasi antiphospolipid
antibodi (lupus antikoagulan, antikardiolipin antibodi) mengurangi komplikasi fetal. Penggunaan
NSAID dan aspirin harus dibatasi pada trimester pertama.
PROGNOSIS
Pada penyakit yang parah, resiko yang terbesar adalah iatrogenik obat, dimana akan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Survival pasien SLE adalah sekitar 7 % dalam 10
tahun. Survival paling rendah terjadi pada pasien bukan kulit putih, pada kelompok dengan
tingkat sosio-ekonomi rendah dan pada pasien dengan keterlibatan ginjal, otak, paru atau jantung
yang parah. CAD, gagal ginjal dan infeksi adalah penyebab utama kematian pada pasien SLE.
86