Anda di halaman 1dari 14

KEPEMIMPINAN DI ERA GLOBALISASI DAN APLIKASINYA

DALAM KONTEKS GEREJA

Oleh: Pdt. Dr. Sentot Sadono


PENDAHULUAN
.
Sesuai dengan maksud acara ini, tema makalah yang saya sampaikan adalah:
Kepemimpinan di Era Globalisasi dan Aplikasinya dalam Konteks Gereja. Sesuai
dengan tema di atas, dalam makalah ini akan disajikan uraian teoritis dan aplikatif
Kepemimpinan Kristen: (1) Spiritualitas dan Profesionalitas sebagai syarat bagi
Kepemimpinan di Era Globalisasi; (2) Aplikasi Kepemimpinan dalam Konteks Gereja:
Kepemimpinan bergaya Situasional.
Diharapkan agar melalui makalah singkat ini, kita akan memiliki pemahaman
tentang bagaimana peranan dan tanggung-jawab praksis para Pemimpin Kristen di era
Globalisasi ini, khususnya dalam konteks Gereja, tanpa harus berkompromi dengan
mengabaikkan kompetensi spiritualitasnya.
I. PENGERTIAN KEPEMIMPINAN KRISTEN
Istilah Kepemimpinan seringkali dirumuskan secara berbeda-beda. Ada kalanya
orang mengartikannya sebagai kelompok orang. Misalnya saja ketika orang berkata:
Masyarakat sedang mencari Kepemimpinan Nasional yang reformis. Hal ini dapat
diartikan bahwa masyarakat ingin mencari sekelompok personalia pemimpin negara yang
memiliki sifat reformis.
Kepemimpinan juga seringkali diartikan sebagai seluruh usaha atau kegiatan
memimpin. Bila dikatakan, Kepemimpinan orang tersebut berhasil, maka artinya
adalah keseluruhan usaha atau kegiatan memimpin orang tersebut telah mencapai
sasarannya. Dalam hal ini kepemimpinan dianggap sebagai proses.
Kadang-kadang, kepemimpinan juga dipandang sebagai kemampuan atau
ketrampilan seseorang untuk memimpin. Pemimpin semacam ini telah memperlihatkan
bahwa ia memiliki kemampuan memimpin bawahannya untuk secara bersama-sama
mengerahkan keseluruhan sumber yang dimiliki untukmencapai tujuan tertentu.
Dari ketiga pengertian kepemimpinan yang telah diuraikan di atas dapat
disimpulkan bahwa apapun pengertian yang diberikan, yang pasti seorang pemimpin baik
formal maupun informal selalu menjalankan kepemimpinan dalam kadar yang berbeda,
baik derajat, bobot, daerah jangkau atau sasarannya. Dengan kata lain, demikian mnurut
Agus F. Tangyong, dkk., dapat disimpulkan bahwa pengertian kepemimpinan selalu
mengandung tiga determinan berikut ini: (1) Adanya seorang pemimpin yang memiliki
wibawa, posisi, kemampuan dan legitimasi; (2) Adanya bawahan atau pengikut yang
memiliki derajat yang berbeda atas kemampuan, motivasi, harapan dan kebutuhan; dan
(3) Adanya situasi dan kondisi yang berbeda dari setiap tugas.1 Kepemimpinan yang
berhasil adalah kepemimpinan yang memiliki kemampuan untuk memadukan ketiga
determinan tersebut secara tepat.
Bagaimana dengan pengertian kepemimpinan menurut persepktif Kristen? Alkitab
memperlihatkan bahwa ada tiga macam tipe kepemimpinan di dunia ini. Pertama, mereka
yang mengambil keuntungan dari jabatannya. Pemimpin semacam ini mempergunakan
orang lain untuk kepentingannya sendiri (Yeh 34:1-10). Kedua, mereka yang ingin
mencapai tujuan organisasi yang ditetapkan bersama dengan dan melalui orang lain (Luk
9:1-6; 10:1-20). Ketiga, mereka yang selalu ingin bekerja untuk orang lain (paternalistik).
Menurut Agus F. Tangyong, dkk, kepemimpinan Kristiani adalah gabungan dari bentuk
kedua yang ingin mencapai tujuan organisasi dengan dan melalui orang lain, dan bentuk
ketiga, yaitu yang ingin bekerja untuk orang lain atau melayani orang lain.2
1
Agus F. Tangyong, Theresia K. Brahim dan Tilly J. Sumampouw, Kepemimpinan Kristiani
(Jakarta: MPPK, 1999), hal.1, 2.
2
Ibid. hal. 3. Tangyong dkk. Selanjutnya menyebut tiga Definisi Kerja Kepemimpinan Kristiani:
(1) Mencapai tujuan organisasi dengan dan melalui orang lain; (2) Kepemimpinan Kristiani adalah

Tidak ada terminologi khusus tentang profesi di dalam Alkitab. Namun terdapat
banyaktuntutan profesionalitas yang secara tegas diabsahkan kebutuhan praksisnya.
Terdapat banyak kesaksian di dalam Alkitab tentang profesionalitas manusia yang
berhubungan erat dengan aspek-aspek sosio-ekonomis dan religiusnya. Pasal-pasal Kitab
dalam Alkitab secara spesifik selalu menunjuk pada profesionalitas ketika ingin
menerangkan identitas pribadi seseorang. Dalam banyak kasus, Alkitab tidak selalu
menyediakan informasi yang jelas tentang biografi banyak dari para tokoh Alkitab,
kecuali keterangan tentang profesi dan profesionalitas mereka. Secara khusus, profesi
profesi itu dihubungkan dengan sumber daya rohani yang mereka miliki dan bagaimana
Allah memakainya dalam praksis pelayanan dan pengabdian di tengah-tengah
masyarakat.
II. SPIRITUALITAS DAN PROFESIONALITAS SEBAGAI SYARAT BAGI
KEPEMIMPINAN DI ERA GLOBALISASI
1. Tinjauan Teologis Profesionalitas Berbasis Spiritualitas
Di bagian mana dari Alkitab kita mendapatkan prosedur profesionalitas berbasis
spiritualitas? Ada orang yang berpendapat bahwa prosedur apapun harus ditemukan di
dalam Alkitab, dan hanya itu yang harus diikuti secara tepat. Memang, Alkitab juga
mengandung prosedur-prosedur, tetapi Alkitab bukanlah sebuah ensiklopedia prosedur.
Bila ada prosedur, seringkali prosedur (aturan) itu bersifat kontekstual-historis sehingga
tidak dapat dipakai begitu saja. Yang penting adalah bahwa Alkitab mengandung
perspektif makna dan nilai-nilai (prinsip-prinsip) sebagai dasar bagi prosedur (aturan).
Aturan, walaupun jelas, seringkali bersifat relative dan kontekstual. Sebaliknya, prinsip,
sekalipun samar-samar sehingga memerlukan penggalian untuk menangkapnya, ia
bersifat mutlak dan universal.3
Sesuai dengan teologi di atas, prosedur Kristen untuk profesionalitas harus
didahuluai dengantakut akan Tuhan (Ams 1:7a;), suatu kehidupan spiritual yang tidak
sekedar seremonial, magis, apalagi memanipulasi Allah. Juga, Percayalah kepada
Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri
(Ams 3:5), suatu bentuk profesionalisme yang tidak mendewakan akal budi, melainkan
mengabdikan akal budi.
Dalam Luk 14:28-30, Yesus berkata, Sebab siapakah di antara kamu yang kalau
mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalaukalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Supaya jikalau ia sudah
meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya, jangan-jangan semua orang
yang melihatnya, mengejek dia, sambil berkata: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia
tidak anggup menyelesaikannya. Apakah dalam hal ini Yesus bermaksud bahwa
manusia yang professional harus logic? Jika ya, bukankah ini bertentangan dengan ajaran
Alkitab tentang iman? Bukankah pekerjaan Tuhan adalah sesuatu yang berada di luar
logic manusia dan bahwa sesuatu yang logic itu bukan pekerjaan Tuhan lagi?
Menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, beberapa hal perlu dicatat: Pertama,
ayat-ayat dalam konteks perikop di atas lebih bermaksud untuk menjelaskan pentingnya
memulai dan mengakhiri sesuatu dengan baik. Bukti ketidak-profesionalan seseorang
dapat dilihat dari kesanggupannya untuk memulai sesuatu, tetapi tidak dapat
mengakhirinya dengan baik. Yesus, misalnya, menghendaki setiap orang Kristen
melaksanakan kemuridannya (Yun: matetes) di hadapan-Nya hingga akhir, seperti kata
Rasul Paulus, dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari
kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam
Kristus Yesus (Flp 3:13, 14). Kesadaran seorang Profesional Kristen tentang maksud
kepemimpinan yang bersifat melayani (servant-leaders); (3) Kepemimpinan Kristiani adalah jenis
kepemimpinan yang menganut pengertian bahwa seorang pemimpin adalah juga seorang pengikut/murid
yang setia dari Tuhan (lihat hal. 5, 5 dari buku yang sama).
3
Trull dan Carter (1993, 38) mengemukakan standar Alkitabiah bagi profesionalitas:
(1) Pendidikan (2 Tim 2:15); (2) Kompetent (Ef 4:11-12; 1 Kor 12:7f); (3) Otonomi (Yoh 13:1-16);
(4) Pelayanan (1 Kor 13); (5) Dedikasi (Rm 1:11-17); (6) Etika (1 Tim 3:1-7).

Allah bagi keberadaannya di dunia ini tercermin dalam bentuk praksis: Dan segala
sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu
dalam nama Tuhan Yesus (Kol 3:17; band. lakukanlah semuanya itu untuk
kemuliaan Allah1 Kor 10:31). Sumber dan implementasi praksis dari seorang
Professional Kristen adalah sebuah ibadah yang tulus, murni dan total terhadap Yesus
Kristus, sehingga tidak akan mempermalukan Allah sekaligus tidak akan mengecewakan
masyarakat sesamanya. Sebaliknya, akan memuliakan Allah dan memenuhi kebutuhan
masyarakat. Profesionalitas Kristen adalah adalah profesionalitas yang berbasis
spiritualitas.
Kedua, baik ayat-ayat di atas maupun ayat-ayat lain di dalam Alkitab tidak pernah
mengajarkan bahwa sesuatu yang logis dan rasional bertentangan dengan ajaran tentang
iman yang supra rasional. Allah adalah Allah yang rasional, plus supra-rasional. Ada
perbedaan antara irasional (di bawah rasio) dan supra rasional (di atas rasio). Allah
tidak menghendaki manusia untuk menjadi makhluk-makhluk yang irasional (di bawah
rasio), tetapi juga menghendaki agar manusia menyadari fakta dan hakekat yang lebih
tinggi dan mulia dari rasio kemanusiaannya, yaitu Allah yang supra-rasional. Di dalam
Profesionalitas Kristen, manusia di ajar untuk menjadi makhluk yang rasional, artinya
mau menggunakan akalnya secara maksimal, seperti kata Yesus, menghitung anggaran
biaya (Luk 14:28). Tetapi di dalam Profesionalitas Kristen itu, manusia juga diajar
untuk tidak menjadi rasionalis, artinya mendewakan dan memuja akal serta
menjadikannya sebagai di atas segala-galanya. Dalam PL, ketika mendata produk-produk
profesionalitas Kepemimpinan Uzia, misalnya, Alkitab tidak lalai menggaris-bawahi,
, karena ia (Uzia) ditolong dengan ajaib (oleh Tuhan-nya) sehingga menjadi kuat (2
Raj 26:15b).
2. Pokok-pokok Penting Spiritualitas
Berbicara tentang spiritualitas dalam hubungannya dengan profesionalitas
kepemimpinan Kristen, ada empat hal yang perlu diperhatikan oleh seorang Pemimpin
Kristen: Pertama, sumber spiritualitas. Sumber daya spiritual orang Kristen adalah Yesus
Kristus, yang dimungkinkan melalui kehadiran dan karya Roh Kudus. Menurut Lovelace
(1979; hal. 20), spiritualitas bukanlah suatu bentuk keagamaan manusia super (a super
human religiosity), melainkan kemanusiaan sejati yang dibebaskan dari ikatan dosa oleh
pembaharuan Roh Kudus yang memungkinkan ia beriman kepada Kristus dan karya
penebusan-Nya di atas salib. Tentang hal ini, Francis A. Schaeffer (True Spirituality;
1971; Hal. 17). juga menyebutkan, Tepat sekali menyatakan bahwa spiritualitas sejati
dimulai dari kelahiran kembali oleh kehadiran dan pekerjaan Roh Allah. Roh itu
selanjutnya memberikan sikap positif, orientasi baru terhadap realitas hidup pada masa
kini dan terutama memungkinkan dua relasi penting: relasi yang akrab dengan Allah dan
relasi yang bermakna dengan sesama manusia.
Kedua, landasan spiritualitas. Alkitab mengajarkan bahwa kekuatan spiritualitas
seorang Kristen akan berkembang dalam kehidupannya, apabila ia terus berakar dalam
Firman Allah (lih. Mzm 119; 2 Tim 3:16, 17; Yoh 8:31, 32; 15:7). Firman Allah memberi
kemerdekaan dari dosa, kebebasan dari kebodohan/kepicikan iman, menuntun kepada
kebenaran yang sejati berkaitan dengan asal, tujuan dan panggilan manusia hidup di
dunia ini (Yoh 17:17), memberikan prinsip, nilai dan tatanan yang memungkinkan
manusia bijak.4
Ketiga, bentuk/jenis spiritualitas. Daya spiritualitas Kristen adalah spiritualitas
yang mampu menghadapi realitas hidup. Dunia yang penuh dengan dosa ini adalah dunia
yang nyata, bukan ilusi, sehingga tidak perlu dihindari. Yesus memanggil orang-orang
4

Perlu dipahami bahwa meskipun Alkitab tidak berisi istilah spiritualitas, namun ia berbicara
tentang cakupan-cakupan spiritualitas, demikian menurut Lawrence O Richards (Practical Theology of
Spirituality, 1987). Spiritualitas Kristen di dalam Alkitab digambarkan sebagai hidup yang berbuah (Yoh
15; Gal 5); bertumbuh (2 Kor 10:15; Kol 1:10); dewasa rohani (1 Kor 2:6; Flp 3:15); hidup dalam
kekududusan/kesucian (Ibr 10:29; Yoh 17:17, 19; 1 Pet 1:16; 2:11) dan kasih (Ul 6:5; Mat 22:37-39). Ada
peranan Ilahi dan manusia dalam peningkatan spiritualityas kita, yang dimungkinkan oleh kehadiran dan
karya Roh Kudus.

percaya dari dunia, dan diutus untuk kembali ke dalam dunia yang penuh tantangan itu
(Yoh 17:15, 18) untuk mendemonstrasikan spiritualitas yang kreatif (creative spirituality)
(2 Kor 5:17). Yesus, sumber benih kreatifitas pernah menghadapi tantangan dunia ini, dan
Ia menang. Kemenangan Yesus inilah yang kemudian ditransfer oleh Roh Kudus ke
dalam diri orang-orang percaya, melalui pengurapan dan iluminasi (1 Yoh 2:20, 27; 3:24).
Spiritualitas Kristen adalah spiritualitas yang bertumbuh, spirituality for combat
(spiritualitas siap tempur).
Keempat, sifat spiritualitas. Spiritualitas Kristen bersifat dinamis, berkembang
sesuai dengan hakekat Kekristenannya sendiri. Pertumbuhannya merupakan hasil
hubungan kita sendiri dengan Dia, dalam wadah komunitas dan persekutuan dengan
sesama orang percaya. Pertumbuhan ini juga dimungkinkan bukan dalam suasana keterisolasian, bebas dari kemelut hidup, tetapi justru ketika menghadapi berbagai krisis
psikologis dan sosiologis di tengah-tengah masyarakat.
Kelima, hasil Spiritualitas. Spiritualitas menghasilkan profesionalitas. Takut
akan Tuhan adalah permulaan hikmat dan pengetahuan (Ams 1:7a). Ini adalah prinsip
teologis yang juga tercermin dari ajaran Alkitab yang secara khusus ditujukan kepada
orang-orang yang mengaku sudah menerima anugerah: Sebab seperti tubuh tanpa roh
adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan adalah mati (Yak 2:26). Artinya
sebuah perbuatan bukan memiliki nilai dan manfaat karena arti dari pebuatan itu sendiri,
tetapi sebuah perbuatan memiliki nilai dan manfaat karena perbuatan itu dihasilkan oleh
suatu kehidupan spiritual yang benar, yaitu hidup yang telah dilahirkan kembali oleh Roh
Kudus dan beriman kepada Kristus.
Berdasarkan kelima hal di atas, nyata bahwa spiritualisme seorang Pemimpin
Kristen adalah spiritualitas yang membangkitkan profesionalisme. Spiritualitas seorang
Pemimpin Kristen adalah spiritualitas yang aktif, nyata dan kerja. Seorang Pemimpin
Kristen yang professional memiliki sesuatu yang diakuinya (dare to profess something)
dihadapan public tanpa harus malu dan ragu. Yang diakuinya itu tidak lain adalah
identitas dan panggilannya sendiri sebagai utusan dan duta Kristus. Spiritualitas seorang
duta Kristus adalah yang sedemikian rupa mendorongnya untuk tampil lebih berani
mendemonstrasikan gaya hidup dan gaya kerja yang khas dan unik (lifeway and liwork
spirituality) lewat profesinya.5
3. Profesionalitas Kepemimpinan Kristen dan Tantangan Globalisasi
Pada zaman ini, tidak ada seorang-pun yang dapat menolak globalisasi.
Kenyataan globalisasi mau tidak mau harus dihadapi. Karena itu kompetensi dan
profesionalitas para Pemimpin Kristen pun harus terus-menerus diperbaharui, seiring
dengan dinamika globalisasi agar tidak kehilangan peran di masyarakat dan agar peran itu
membawa hasil yang diharapkan. Apa saja yang perlu diperhatikan oleh para Pemimpin
Kristen untuk mengembaharui dan mengembangkan kompetensi-kompetensinya?
Pertama, seseorang bisa menjalani pekerjaannya, termasuk pekerjaan memimpin
karena memiliki kompetensi-kompetensi tertentu yang diperlukan untuk profesi tersebut.
Kompetensi ini disebut kompetensi professional, yang menurut Willis dan Dubin (1990;
hal. 3) mencakup kemampuan/kecakapan untuk berfungsi secara efektif dalam tugastugas yang dianggap pokok dalam profesi tertentu. Ada dua kawasan luas yang tercakup
di dalamnya: (1) Keahlian-keahlian (proficiencies) yang khusus bagi profesi atau bidang
ilmu; (2) Ciri-ciri umum yang memudahkan orang itu mengembangkan dan
mempertahankan kompetensi professional.6
5

Setidak-tidaknya ada lima paradigma yang dikategorikan oleh para praktisi teologi, sehubungan
dengan kedudukan pelayanan rohani dan pekerjaan sekuler satu terhadap yang lain, dikaitkan dengan
profesionalitas seorang Kristen: (1) Sekularisme (hidup adalah melulu kerja demi kebutuhan hidup sendiri);
(2) Dualisme (dunia pelayanan rohani terpisah sama sekali dari dunia pekerjaan; seseorang harus memilih
hanya salah satu); (3) Strataisme (hidup yang benar adalah bagi Allah, maka pelayanan rohani lebih tinggi
tingkatannya dari pada pekerjaan); (4) Populerisme (Segala sesuatu dalam hidup dikendalikan oleh
pelayanan rohani/penginjilan. Pekerjaan sekuler/profesi sebagai strategi PI); (5) Totalisme (hidup untuk
melakukan sasaran Allah yang lebih luas yang telah Ia tetapkan bagi saya untuk dikerjakan secara holistic).
6
Ciri-ciri itu antara lain: Kemampuan intelektual, kepribadiam, motivasi, sikap-sikap dan nilainilai. Seorang Profesional tidak dipanggil hanya untuk berbuat tetapi untuk menjadi.

Kedua, bagaimanapun juga cara orang mengkonseptualisasikan globalisasi, selalu


konsep itu memberikan saran-saran bagi pengembangan dan pembaharuan kompetensi
professional, termasuk bagi para Pemimpin Kristen. Konsep Niklas Luhmann, yang
kemudian di kembangkan implikasinya oleh Beyer (1994; Hal. 33-42), misalnya, melihat
globalisasi sebagai masalah diferensiasi, bukan masalah integrasi.7 Menurut Luhmann,
ada perubahan dari dominasi diferensiasi menurut strata ke dominasi diferensiasi
menurut fungsi. Pembentukkan sub system beralih dari strata ke fungsi. Seiring dengan
perubahan ini para Pemimpin Kristen perlu menyesuaikan diri agar tidak kehilangan
fungsinya di masyarakat. Para Pemimpin Kristen harus meninggalkan peran marginal dan
privatnya dan menuju pada peranan public; mulai dari kepentingan kehidupan keluarga,
gereja, masyarakat umum, hingga menerobos ke sistem-sistem yang lebih luas.
Kepemimpinan Kristen juga harus dikembangkan dan diperbaharui kompetensinya agar
memiliki dan melibatkan orang lain untuk berperan baik dalam sub-sub system maupun
dalam system umum yang lebih luas. Tentang hal ini, Norman Pittenger, dalam bukunya
Teologi Kaum Awam mengutip kata-kata Louis Evely yang menekankan perlunya
keterlibatan kaum awam sebagai lo laos tou Theou (umat Allah) dalam pelayanan. Secara
tegas ia menekankan perlunya menghilangkan semua pemisahan antara klerus dan nonklerus.8
Selanjutnya, Luhmann menyebut peran dalam lingkungan sendiri sebagai fungsi,
dan peran umum sebagai kinerja (Beyer, 1994: hal. 80). Selain dalam hubungannya
dengan fungsi, kompetensi Kepemimpinan Kristen berkenaan dengan kinerja juga harus
diperbaharui. Hal ini terutama dapat dilakukan melalui mendapatkan penerapanpenerapan keagamaan di tengah-tengah masyarakat.
Ketiga, para Pemimpin Kristen harus dapat mempertahankan nilai-nilai spiritualkeagamaan di dalam dirinya, dan berusaha agar hal tersebut tetap berpengaruh terhadap
apa dan siapa yang dipimpinnya. Para pemimpin Kristen bukan saja harus mampu
menterjemahkan visi ke dalam misi. Ia juga harus dapat menjelmakan dan
mentrasformasikan iman ke dalam aksi/perbuatan. Oleh karena perbuatan adalah sebuah
bentuk ibadah yang sejati (Kol 3:17; Rm 12:1; Yak 1:27), maka seorang Pemimpin
Kristen harus menjadikan hubungan vertikalnya dengan Allah sebagai basis dan sumber
bagi implementasi-praksis kepemimpinannya. Oleh karena perbuatan adalah satusatunya bukti yang hidup dari iman (Yak 2:20, 22), maka seorang Pemimpin Kristen juga
harus mampu memobilisasi gereja untuk melakukan kegiatan-kegiatan bagi kepentingan
umum, tentunya dengan semangat dan inten keagamaan. Pittenger menegaskan: Gereja
bukan saja mempunayi misi; dia sendiri adalah misi di dalam dunia ini.9
III. APLIKASI KEPEMIMPINAN DALAM KONTEKS GEREJA:
KEPEMIMPINAN BERGAYA SITUASIONAL
Dalam proses berinteraksi dengan para pengikutnya, Kepemimpinan Kristen pada
umumnya berhubungan erat dengan tiga hal yaitu: pertama, kualitas kepemimpinan,
pengetahuan dan keterampilan pimpinan dan kebutuhan si pemimpin. Kedua, kebutuhan
dan harapan dari pengikut. Ketiga, tuntutan dari situasi dan kondisi yang ada. Adanya
ketiga hal tersebut di muka menyiratkan bahwa tidak ada satupun gaya kepemimpinan
yang dapat dipergunakan untuk memecahkan keseluruhan permasalahan tersebut. Gaya
kepemimpinan selalu berubah pada setiap situasi dan kondisi dan pada setiap kelompok.
Oleh karena itu, dilema selalu muncul. Pertanyaan tentang apakah saya cukup
demokratis mengatasi suatu permasalahan ataukah saya terlalu bersifat otoritas seringkali
muncul ke permukaan. Berikut ini adalah Kontinuum Perilaku Kepemimpinan yang
biasa dilakukan oleh seorang pemimpin.
7

Masalah diferensiasi: Bagaimana bagian-bagian, yaitu sub-sub system berubah sehingga secara
keseluruhan menjadi global. Masalah integrasi: Bagaimana bagian-bagian yang berbeda, yaitu masyarakatmasyarakat mungkin dapat menjadi satu membentuk sebuah keseluruhan.
8
Norman Pittenger, Teologi Kaum Awam (Malang: Yayasan Penerbit Gandum Mas, 1996), hal.
10.
9
Norman Pittenger, hal. 34.

1. Kontinuum perilaku Kepemimpinan


Pemimpin

Bawahan

Penggunaan kekuasaan

Pemberian kebebasan
Arahkan
1

Bujuk
2

Nasihati
3

Partisipasi
4

Delegasi
5

Gambar di atas memperlihatkan bahwa cara pemimpin mempergunakan


kekuasaannya mempengaruhi produktivitas kerja dan kebebasan kelompok dalam
pengambilan keputusan sendiri. Jika pemimpin mempergunakan sedikit kekuasaan,
kelompok memperoleh kebebasan besar untuk mengambil keputusan sendiri. Bila
pemimpin mempergunakan kekuasaan yang lebih besar, kebebasan kelompok menjadi
berkurang dalam pengambilan keputusan sendiri.
Area 1: Memperhatikan bahwa bila pemimpin mempergunakan kekuasaannya secara
besar maka dia hanya mengarahkan bawahannya saja. Dia memikirkan sendiri semua
masalah dan mengambil keputusan sendiri.
Area 2: Pada area ini, pemimpin tetap memikirkan segala sesuatu dan mengambil
keputusan sendiri, namun dia menjual pemikiran dan keputusannya tersebut kepada
para staf sambil menjelaskan dan meyakinkan tentang untung ruginya,
konsekuensinya agar keputusannya dapat diterima.
Area 3: Pada area ini, pemimpin menyampaikan masalah kepada para staf, menerima
usul-usul pemecahan; namun tetap mengambil keputusan sendiri.
Area 4: Pada area ini, pemimpin secara bersama memikirkan masalah dan cara
pemecahannya dengan para staf, dan secara bersama pula berupaya mencari
pemecahannya.
Area 5: Pada area ini, pemimpin menyerahkan kepada para stafnya cara pemecahan
yang akan diambil, pemimpin hanya mengesahkan.
2. Macam-macam Gaya Kepemimpinan

Positif

a.

Negatif
KATALISATOR

KOMANDAN

Aktif
Positif

Aktif
Negatif

PENDORONG

PERTAPA

Pasif
Positif

Pasif
Negatif

Gaya Katalisator (bersifat persaudaraan/fraternal)


Kepemimpinan bergaya katalisator yang bersifat aktif positif biasanya
mampu menciptakan cara dan proses yang mempertinggi hasil akhir. Pemimpin
katalisator berkomitmen untuk menolong anggotanya bertumbuh menjadi
pemimpin. Karena itu ia memperlengkapi mereka untuk bertumbuh dan
memimpin (Efesus 4:11-13).
Gaya Katalisator efektif karena:
Ia aktif, katalisator mengambil inisiatif, ia mendekati orang.
Ia positif, katalisator menjaga kekuatan kelompok terpusat
kepada misi dasar dari organisasi.
Ia seimbang, katalisator memadukan kebutuhan organisasi dan
misi fundamental dari organisasi.
Ia lentur/fleksibel, gaya katalisator bertaut secara baik dengan
kebanyakan kepribadian para pengikut dan dengan banyak keadaan yang
berlainan.
Ia berjangka panjang, dengan sabar katalisator membangun untuk
hasil jangka panjang. Hari ini adalah gelanggang pekerjaannya, tetapi
keabadian adalah cakrawala padangnya.

b.

Gaya Komandan (bersifat kebapaan/paternal)


Pemimpin yang bergaya komandan adalah yang bersifat aktif negatif karena
memaksa kehendak pada bawahannya/anggotanya. Dan para komandan lebih
menekankan tujuan-tujuan daripada hubungan-hubungan, namun gaya komandan
ini disebut efesien karena:
Ia mempunyai batasan yang jelas.
Setiap orang tahu apa yang diharapkan. Pilihan mereka hanya
taat kepada komandan atau keluar.
Ia memiliki agenda yang positif. Tujuan koman adalah yang
paling penting.
Ia kaku dalam arti, para pengikut selalu tahu apa tugas mereka
dan kepada siapa ia bertanggungjawab.
Ia berjangka pendek.
Bila gaya komandan digunakan dalam jangka panjang,
ditakutkan orang tidak terlatih untuk melayani dengan keyakinan diri di
kemudian hari.

c.

Gaya Pendorong (bersifat keibuan/maternal)


Gaya pendorong adalah gaya kepemimpinan yang mengutamakan
penggembalaan. Gaya ini menekankan pada perasaan dan persekutuan. Gaya
pendorong adalah gaya bersifat empati, karena:
Ia berpusat pada orang dan tidak menekankan hasil.
Ia sangat bermanfaat pada orang-orang yang mengalami
pertentangan dan orang-orang yang tertekan perasaannya.

d.

Gaya Pertapa adalah gaya erosi


Gaya pertapa sifatnya pasif negatif, jarang sekali melakukan pekerjaan
pada hari ini apa yang dapat digunda hingga besok. Pada puncaknya kepasifan
sang pertapa menciptakan kekosongan kepemimpinan. Organisasi bisa mandeg
bila pimpinan yang lain tidak mengambil inisiatif.

Perilaku Terhadap Tugas dan Perilaku Terhadap Hubungan


Perilaku Terhaap Tugas:
Atasan menggunakan komunikasi satu arah dengan cara menerangkan apa
yang harus dilakukan bawahan, kapan, di mana dan bagaimana tugas tersebut harus
diselesaikan.
Perilaku Terhadap Hubungan:
Atasan menggunakan komunikasi dua arah dengan memberikan dukungan
sosio emosional.

Gambar Empat Gaya Perilaku Dasar Pemimpin


Tinggi

Hubungan Tinggi

Hubungan Tinggi

Tugas Rendah

Tugas Tinggi

Perilaku
terhadap
hubungan

Rendah

Hubungan Rendah

Hubungan Renah

Tugas Rendah

Tugas Tinggi

perilaku terhadap tugas

Penjelasan Gambar

Tinggi

1. Perilaku atasan dalam mengerahkan kegiatan bawahan menekankan pada


kegiatan-kegiatan yang harus diselesaikan.
2. Perilaku atasan dipengaruhi baik oleh perilaku terhadap tugas maupun perilaku
terhadap hubungan.
3. Perilaku atasan yang terkonsentrasi pada usaha memberi dukungan emosional
dalam hubungan antar atasan dan bawahan.
4. Perilaku atasan yang cenderung memberikan pengarahan dan dukungan pada
bawahan.
Dari penelitian tentang proses kepemimpinan diketahui bahwa tidak ada gaya
kepemimpinan yang terbaik. Keempat gaya dasar yang terlihat dalam gambar
dapat efektif atau tidak efektif tergantung pada situasi yang dihadapi.
3. Teori Kepemimpinan Situasional
Gaya Kepemimpinan Situasional
Teori kepemimpinan situasional bermanfaat bagi pemimpin dalam
mendiagnosis situasi yang mereka hadapi. Teori ini didasari pada intensitas perilaku
terhadap tugas (task behavior) dan perilaku.
Derajat Kematangan
Kematangan dalam teori kepemimpinan berdasarkan sasaran ini adalah
kemampuan dan kemauan dalam melaksanakan tanggungjawabnya.
Variabel kematangan ini harus dikaitkan dengan tugas-tugas tertentu yang harus
dilaksanakan. Sehingga dapat dikatakan tidak ada orang atau kelompok yang matang
atau tidak matang secara keseluruhan. Orang akan mempunyai derajat kematangan
yang berbeda tergantung pada tugas, tanggung jawab atau sasaran yang ditugaskan
atasan.
Konsep Dasar
Kematangan bawahan akan berkembang terus selama ia melaksanakan tugastugas tertentu dan sehubungan dengan ini pemimpin harus memulai mengurangi
perilaku terhadap tugas dan meningkatkan perilaku terhadap hubungan. Usaha ini
berlangsung terus sampai bawahan/kelompok mencapai derajat kematangan rata-rata.
Bila bawahan mulai meningkat derajat kematangannya di atas rata-rata maka
pemimpin harus mengurangi baik perilaku terhadap tugas maupun perilaku terhadap
hubungan. Dalam fase ini bawahan tidak hanya matang dalam melaksanakan tugas
tetapi juga matang secara mental. Teori kepemimpinan situasional ini memusatkan
pada kecocokan atau keefektifan gaya kepemimpinan dengan kematangan bawahan.
Siklus ini dapat digambarkan seperti kurva berbentuk bel seperti terlihat dalam
gambar berikut:

Gambar Pemimpin dan Kematangan Bawahan


Tinggi
HR
TR

Perilaku terhadap
hubungan

HT
TT

S3

S2

S4

S1

HT
TR
Rendah

GAYA
KEPEMP.

TT
HR

Perilaku terhadap tugas

Tinggi

Sedang

Tinggi

Rendah

Matang

Tidak
matang
M4

M3

M2

M1

KEMATANGAN BAWAHAN

Gambar di atas memperlihatkan hubungan antara kematangan dan gaya


kepemimpinan yang cocok untuk digunakan bila bawahan bekembang dari tidak
matang menjadi matang. Dalam gambar terlihat ada 2 hal yang diperlihatkan yaitu
gaya kepemimpinan untuk setiap derajat kematangan bawahan yang digambarkan
seperti kurva melalui keempat kuadran kepemimpinan.
Hal lain adalah derajat kematangan individu atau kelompok yang disupervisi di
bawah model kepemimpinan sebagai suatu garis yang berkesinambungan dari tidak
matang ke matang.
Gaya kepemimpinan dalam model tersebut ditulis dengan:
S 1 = gaya perilaku pemimpin yang tugas tinggi hubungan tinggi
(TT HT).
S 2 = gaya perilaku pemimpin yang tugas tinggi hubungan rendah
(TT HR).
S 3 = gaya perilaku pemimpin yang tugas rendah hubungan tinggi
(TR HT).
S 4 = gaya perilaku pemimpin yang tugas rendah hubungan rendah
(TR HR).
Kematangan bawahan digambarkan dengan derajat kematangan yang ditulis dengan:
M 1 = kematangan rendah.

10

M 2 = kematangan rendah ke sedang.


M 3 = kematangan sedang ke tinggi.
M 4 = kematangan tinggi.
Penerapan Konsep
Kurva berbentuk bel pada model gaya kepemimpinan situasional menunjukkan
bahwa sesuai dengan derajat kematangan bawahan yang berkembang dari tidak
matang ke matang maka gaya kepemimpinan yang cocok bergerak sesuai dengan
kurva tersebut.
Untuk menentukan gaya kepemimpinan yang cocok untuk situasi tertentu maka
harus ditentukan lebih dulu derajat kematangan bawahan dalam tugas tertentu. Bila
derajat kematangan telah diketahui maka gaya kepemimpinan yang cocok dapat
ditentukan dengan menarik garis tegak lurus melalui titik kematangan bawahan
tersebut sampai bertemu dengan kurva gaya kepemimpinan.
Kuadran dimana terjadi pertemuan garis tersebut menunjukkan gaya
kepemimpinan yang cocok yang disarankan untuk digunakan oleh pemimpin tersebut
pada bawahan yang mempunyai derajat kematangan tertentu.
Menentukan gaya Kepemimpinan yang Cocok
Tinggi
HT
TR

Perilaku terhadap
hubungan

HT
TT

S3

S2

S4

S1

HR
TR
Rendah

GAYA
KEPEMP.

TT
HR

Perilaku terhadap tugas

Tinggi

Sedang

Tinggi

Rendah

Matang

Tidak
matang
M4

M3

M2

M1

KEMATANGAN BAWAHAN

Dari contoh dalam gambar di atas terlihat bahwa pada bawahan yang
mempunyai derajat kematangan M 1 maka atasan harus memakai gaya S 1. Dan
selanjutnya kematangan M 2 membutuhkan gaya S 2 dan seterusnya.

11

Dalam contoh di atas terlihat atasan dengan perilaku terhadap hubungan


rendah. Ini bukan berarti atasan tersebut tidak ramah pada bawahan. Dengan gaya
ini atasan akan menggunakan waktu cukup banyak untuk mengarahkan, menerangkan
apa yang harus dilakukan, bagaimana, kapan dan di mana bawahan harus melakukan
tugasnya.
Perilaku terhadap hubungan akan ditingkatkan bila bawahan mulai
memperlihatkan kemampuan untuk menangani tugas yagn diberikan.
Dalam gambar 4 terlihat bahwa keempat gaya kepemimpinan diberi nama
sebagai berikut:

Telling
Perilaku tinggi hubungan rendah (S 1). Gaya ini
Dicirikan dengan komunikasi satu arah dari pemimpin
dalam menjelaskan peran bawahan, apa, bagaimana, kapan
dan di mana melakukan tugas tersebut.

Selling
Perilaku tugas tinggi hubungan tinggi (S 2).
Dengan
gaya ini atasan tetap memberi pengarahan tetapi ia
menggunakan komunikasi dua arah dan memberikan
dukungan sosioemosional untuk mendapatkan dukungan
mental dari bawahan akan keputusan yang harus
dilaksanakan.

Participating
Perilaku tugas rendah hubungan tinggi (S 3).
Gaya
ini pemimpin dan bawahan bersama-sama dalam
mengambil keputusan melalui komunikasi dua arah dan
atasan lebih bersikap sebagai fasilitator.

Delegating
Perilaku tugas rendah hubungan rendah (S 4). Gaya
ini memberikan kebebasan pada bawahan untuk bertindak
sekehendaknya.

Tinggi
HT
TR

Perilaku terhadap
hubungan

Participating

S3

Selling

S2

S4

GAYA
KEPEMP.
S1

Delegating

Telling

HR
TR
Rendah

HT
TT

TT
HR

Perilaku terhadap tugas

12

Tinggi

Tinggi

Sedang

Rendah

Matang

Tidak
matang
M4

M3

M2

M1

KEMATANGAN BAWAHAN

PENUTUP
Mengacu kepada tema Kepemimpinan di Era Globalisasi dan Aplikasinya dalam
Konteks Gereja keberhasilan seorang Pemimpinan Kristen bukan semata-mata karena
profesionalitasnya, tetapi pertama-tama dan yang terutama adalah karena spiritualitasnya.
Setiap Pemimpin Kristen, ketika terjun dalam masyarakat, mau tidak mau harus berfokus
pada profesi. Tetapi dalam menghadapi tantangan zaman, yaitu ketika diutus seperti
domba ke tengah-tengah serigala (Mat 10:16; Luk 10:3), seorang Pemimpin Kristen
harus cerdik dan tulus (mat 10:16b) serta memiliki gaya situasional. Disatu sisi ia
ditantang untuk mau mengakui Ke-tuhanan dan Ke-otoritasan Yesus atas hidupnya di
hadapan manusia (Mat 10:16). Dengan kata lain ia harus memiliki profesionalitas
berbasis spiritualitas. Di sisi lain ia dituntut untuk peka, responsif dan fleksibel dalam
mensikapi situasi dan dinamika gereja dan masyarakat.
Kepemimpinan sebagai sebuah profesi bisa usang ditelan oleh zaman. Oleh
karena itu seorang Pemimpin Kristen yang profesional harus terus-menerus
memperbaharui kompetensinya dan situasional dalam gayanya dengan berlandaskan
semangat spiritualitas.

13

KEPUSTAKAAN
Beyer, Peter, Religion and Globalization. Thousand Oaks: Sage Publications, 1994
Carrol, Jackson W., The Professional Model of Ministry: Is It Woth Saving? dalam
Theological Education, Spring, 1985, 7 48.
Cervero, Ronald M., Effective Continuing Education for Professionals. San Francisco:
Jossey-Bass Publishers, 1988.
___________, Spiritual Leadership A Biblical Model. http://www.allaboutgod.com.,
2002-2005.
Meyers, Eleanor Scott. A Sociology of Ministerial Preparation. dalam Wind, James P. et.
Al., Ed., Clergy Ethics in a Changing Society: Maping the Terrain. Louisville:
Westminster/John Knox Press, 1991
Pobee, John S., Theology in the Context of Globalization. dalam Ministerial Formation
WCC, October 1997, 18-26.
Pranarka, A. M. W. Globalisasi, Pemberdayaan dan Demokratisasi. Dalam Piyono,
Onny S. dan A. M. W. Pranarka, Peny. Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan dan
Implementasi. Jakarta: CSIS, 1996
Russle, Anthony, The Clerical Profession. London: SPCK Holy Trinity Church, 1984.
Res, Erik, Seven Principles of Transformational Leadership Creating A Synergy of
Synergy. http://www.pastors.com/articles.
Sijabat, Samual B. Strategi Pendidikan Kristen. Yogyakarta: Yayasan Andi 1994.
Subagyo, Andreas Bambang, Pembaruan Kompetensi Profesional. Semarang: Sekolah
Tinggi Theologia Baptis Indonesia.
Pittenger, Norman, Teologi Kaum Awam. Malang: Yayasan Penerbit Gandum Mas, 1996.
Thomas, Linda E., Christian Ministry in The Third Millenium. dalam Ministerial
Formation WCC, July 1997, 13 24.
Tangyong, Agus F., dkk. Kepemimpinan Kristiani. Jakarta: Majelis Pusat Pendidikan
Kristen Indonesia, 1999.
Willis, Sherry L. dan Samual S. Dubin, Maintaining Professional Competence:
Approaches to Career Enhancemnet, Vitality, and Success Throughout a Work
Life. San Francisco: Jossey-Bass Publishers, 1990.
Wind, James P., dkk. Clergy, Ethics an a Changing Society; Maping the Terrain.
Chicago: The Park Ridge Center fo The Study of Health, Faith and Ethics, 1991

14

Anda mungkin juga menyukai