KEPEMIMPINAN Situasional
KEPEMIMPINAN Situasional
Tidak ada terminologi khusus tentang profesi di dalam Alkitab. Namun terdapat
banyaktuntutan profesionalitas yang secara tegas diabsahkan kebutuhan praksisnya.
Terdapat banyak kesaksian di dalam Alkitab tentang profesionalitas manusia yang
berhubungan erat dengan aspek-aspek sosio-ekonomis dan religiusnya. Pasal-pasal Kitab
dalam Alkitab secara spesifik selalu menunjuk pada profesionalitas ketika ingin
menerangkan identitas pribadi seseorang. Dalam banyak kasus, Alkitab tidak selalu
menyediakan informasi yang jelas tentang biografi banyak dari para tokoh Alkitab,
kecuali keterangan tentang profesi dan profesionalitas mereka. Secara khusus, profesi
profesi itu dihubungkan dengan sumber daya rohani yang mereka miliki dan bagaimana
Allah memakainya dalam praksis pelayanan dan pengabdian di tengah-tengah
masyarakat.
II. SPIRITUALITAS DAN PROFESIONALITAS SEBAGAI SYARAT BAGI
KEPEMIMPINAN DI ERA GLOBALISASI
1. Tinjauan Teologis Profesionalitas Berbasis Spiritualitas
Di bagian mana dari Alkitab kita mendapatkan prosedur profesionalitas berbasis
spiritualitas? Ada orang yang berpendapat bahwa prosedur apapun harus ditemukan di
dalam Alkitab, dan hanya itu yang harus diikuti secara tepat. Memang, Alkitab juga
mengandung prosedur-prosedur, tetapi Alkitab bukanlah sebuah ensiklopedia prosedur.
Bila ada prosedur, seringkali prosedur (aturan) itu bersifat kontekstual-historis sehingga
tidak dapat dipakai begitu saja. Yang penting adalah bahwa Alkitab mengandung
perspektif makna dan nilai-nilai (prinsip-prinsip) sebagai dasar bagi prosedur (aturan).
Aturan, walaupun jelas, seringkali bersifat relative dan kontekstual. Sebaliknya, prinsip,
sekalipun samar-samar sehingga memerlukan penggalian untuk menangkapnya, ia
bersifat mutlak dan universal.3
Sesuai dengan teologi di atas, prosedur Kristen untuk profesionalitas harus
didahuluai dengantakut akan Tuhan (Ams 1:7a;), suatu kehidupan spiritual yang tidak
sekedar seremonial, magis, apalagi memanipulasi Allah. Juga, Percayalah kepada
Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri
(Ams 3:5), suatu bentuk profesionalisme yang tidak mendewakan akal budi, melainkan
mengabdikan akal budi.
Dalam Luk 14:28-30, Yesus berkata, Sebab siapakah di antara kamu yang kalau
mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalaukalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Supaya jikalau ia sudah
meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya, jangan-jangan semua orang
yang melihatnya, mengejek dia, sambil berkata: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia
tidak anggup menyelesaikannya. Apakah dalam hal ini Yesus bermaksud bahwa
manusia yang professional harus logic? Jika ya, bukankah ini bertentangan dengan ajaran
Alkitab tentang iman? Bukankah pekerjaan Tuhan adalah sesuatu yang berada di luar
logic manusia dan bahwa sesuatu yang logic itu bukan pekerjaan Tuhan lagi?
Menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, beberapa hal perlu dicatat: Pertama,
ayat-ayat dalam konteks perikop di atas lebih bermaksud untuk menjelaskan pentingnya
memulai dan mengakhiri sesuatu dengan baik. Bukti ketidak-profesionalan seseorang
dapat dilihat dari kesanggupannya untuk memulai sesuatu, tetapi tidak dapat
mengakhirinya dengan baik. Yesus, misalnya, menghendaki setiap orang Kristen
melaksanakan kemuridannya (Yun: matetes) di hadapan-Nya hingga akhir, seperti kata
Rasul Paulus, dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari
kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam
Kristus Yesus (Flp 3:13, 14). Kesadaran seorang Profesional Kristen tentang maksud
kepemimpinan yang bersifat melayani (servant-leaders); (3) Kepemimpinan Kristiani adalah jenis
kepemimpinan yang menganut pengertian bahwa seorang pemimpin adalah juga seorang pengikut/murid
yang setia dari Tuhan (lihat hal. 5, 5 dari buku yang sama).
3
Trull dan Carter (1993, 38) mengemukakan standar Alkitabiah bagi profesionalitas:
(1) Pendidikan (2 Tim 2:15); (2) Kompetent (Ef 4:11-12; 1 Kor 12:7f); (3) Otonomi (Yoh 13:1-16);
(4) Pelayanan (1 Kor 13); (5) Dedikasi (Rm 1:11-17); (6) Etika (1 Tim 3:1-7).
Allah bagi keberadaannya di dunia ini tercermin dalam bentuk praksis: Dan segala
sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu
dalam nama Tuhan Yesus (Kol 3:17; band. lakukanlah semuanya itu untuk
kemuliaan Allah1 Kor 10:31). Sumber dan implementasi praksis dari seorang
Professional Kristen adalah sebuah ibadah yang tulus, murni dan total terhadap Yesus
Kristus, sehingga tidak akan mempermalukan Allah sekaligus tidak akan mengecewakan
masyarakat sesamanya. Sebaliknya, akan memuliakan Allah dan memenuhi kebutuhan
masyarakat. Profesionalitas Kristen adalah adalah profesionalitas yang berbasis
spiritualitas.
Kedua, baik ayat-ayat di atas maupun ayat-ayat lain di dalam Alkitab tidak pernah
mengajarkan bahwa sesuatu yang logis dan rasional bertentangan dengan ajaran tentang
iman yang supra rasional. Allah adalah Allah yang rasional, plus supra-rasional. Ada
perbedaan antara irasional (di bawah rasio) dan supra rasional (di atas rasio). Allah
tidak menghendaki manusia untuk menjadi makhluk-makhluk yang irasional (di bawah
rasio), tetapi juga menghendaki agar manusia menyadari fakta dan hakekat yang lebih
tinggi dan mulia dari rasio kemanusiaannya, yaitu Allah yang supra-rasional. Di dalam
Profesionalitas Kristen, manusia di ajar untuk menjadi makhluk yang rasional, artinya
mau menggunakan akalnya secara maksimal, seperti kata Yesus, menghitung anggaran
biaya (Luk 14:28). Tetapi di dalam Profesionalitas Kristen itu, manusia juga diajar
untuk tidak menjadi rasionalis, artinya mendewakan dan memuja akal serta
menjadikannya sebagai di atas segala-galanya. Dalam PL, ketika mendata produk-produk
profesionalitas Kepemimpinan Uzia, misalnya, Alkitab tidak lalai menggaris-bawahi,
, karena ia (Uzia) ditolong dengan ajaib (oleh Tuhan-nya) sehingga menjadi kuat (2
Raj 26:15b).
2. Pokok-pokok Penting Spiritualitas
Berbicara tentang spiritualitas dalam hubungannya dengan profesionalitas
kepemimpinan Kristen, ada empat hal yang perlu diperhatikan oleh seorang Pemimpin
Kristen: Pertama, sumber spiritualitas. Sumber daya spiritual orang Kristen adalah Yesus
Kristus, yang dimungkinkan melalui kehadiran dan karya Roh Kudus. Menurut Lovelace
(1979; hal. 20), spiritualitas bukanlah suatu bentuk keagamaan manusia super (a super
human religiosity), melainkan kemanusiaan sejati yang dibebaskan dari ikatan dosa oleh
pembaharuan Roh Kudus yang memungkinkan ia beriman kepada Kristus dan karya
penebusan-Nya di atas salib. Tentang hal ini, Francis A. Schaeffer (True Spirituality;
1971; Hal. 17). juga menyebutkan, Tepat sekali menyatakan bahwa spiritualitas sejati
dimulai dari kelahiran kembali oleh kehadiran dan pekerjaan Roh Allah. Roh itu
selanjutnya memberikan sikap positif, orientasi baru terhadap realitas hidup pada masa
kini dan terutama memungkinkan dua relasi penting: relasi yang akrab dengan Allah dan
relasi yang bermakna dengan sesama manusia.
Kedua, landasan spiritualitas. Alkitab mengajarkan bahwa kekuatan spiritualitas
seorang Kristen akan berkembang dalam kehidupannya, apabila ia terus berakar dalam
Firman Allah (lih. Mzm 119; 2 Tim 3:16, 17; Yoh 8:31, 32; 15:7). Firman Allah memberi
kemerdekaan dari dosa, kebebasan dari kebodohan/kepicikan iman, menuntun kepada
kebenaran yang sejati berkaitan dengan asal, tujuan dan panggilan manusia hidup di
dunia ini (Yoh 17:17), memberikan prinsip, nilai dan tatanan yang memungkinkan
manusia bijak.4
Ketiga, bentuk/jenis spiritualitas. Daya spiritualitas Kristen adalah spiritualitas
yang mampu menghadapi realitas hidup. Dunia yang penuh dengan dosa ini adalah dunia
yang nyata, bukan ilusi, sehingga tidak perlu dihindari. Yesus memanggil orang-orang
4
Perlu dipahami bahwa meskipun Alkitab tidak berisi istilah spiritualitas, namun ia berbicara
tentang cakupan-cakupan spiritualitas, demikian menurut Lawrence O Richards (Practical Theology of
Spirituality, 1987). Spiritualitas Kristen di dalam Alkitab digambarkan sebagai hidup yang berbuah (Yoh
15; Gal 5); bertumbuh (2 Kor 10:15; Kol 1:10); dewasa rohani (1 Kor 2:6; Flp 3:15); hidup dalam
kekududusan/kesucian (Ibr 10:29; Yoh 17:17, 19; 1 Pet 1:16; 2:11) dan kasih (Ul 6:5; Mat 22:37-39). Ada
peranan Ilahi dan manusia dalam peningkatan spiritualityas kita, yang dimungkinkan oleh kehadiran dan
karya Roh Kudus.
percaya dari dunia, dan diutus untuk kembali ke dalam dunia yang penuh tantangan itu
(Yoh 17:15, 18) untuk mendemonstrasikan spiritualitas yang kreatif (creative spirituality)
(2 Kor 5:17). Yesus, sumber benih kreatifitas pernah menghadapi tantangan dunia ini, dan
Ia menang. Kemenangan Yesus inilah yang kemudian ditransfer oleh Roh Kudus ke
dalam diri orang-orang percaya, melalui pengurapan dan iluminasi (1 Yoh 2:20, 27; 3:24).
Spiritualitas Kristen adalah spiritualitas yang bertumbuh, spirituality for combat
(spiritualitas siap tempur).
Keempat, sifat spiritualitas. Spiritualitas Kristen bersifat dinamis, berkembang
sesuai dengan hakekat Kekristenannya sendiri. Pertumbuhannya merupakan hasil
hubungan kita sendiri dengan Dia, dalam wadah komunitas dan persekutuan dengan
sesama orang percaya. Pertumbuhan ini juga dimungkinkan bukan dalam suasana keterisolasian, bebas dari kemelut hidup, tetapi justru ketika menghadapi berbagai krisis
psikologis dan sosiologis di tengah-tengah masyarakat.
Kelima, hasil Spiritualitas. Spiritualitas menghasilkan profesionalitas. Takut
akan Tuhan adalah permulaan hikmat dan pengetahuan (Ams 1:7a). Ini adalah prinsip
teologis yang juga tercermin dari ajaran Alkitab yang secara khusus ditujukan kepada
orang-orang yang mengaku sudah menerima anugerah: Sebab seperti tubuh tanpa roh
adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan adalah mati (Yak 2:26). Artinya
sebuah perbuatan bukan memiliki nilai dan manfaat karena arti dari pebuatan itu sendiri,
tetapi sebuah perbuatan memiliki nilai dan manfaat karena perbuatan itu dihasilkan oleh
suatu kehidupan spiritual yang benar, yaitu hidup yang telah dilahirkan kembali oleh Roh
Kudus dan beriman kepada Kristus.
Berdasarkan kelima hal di atas, nyata bahwa spiritualisme seorang Pemimpin
Kristen adalah spiritualitas yang membangkitkan profesionalisme. Spiritualitas seorang
Pemimpin Kristen adalah spiritualitas yang aktif, nyata dan kerja. Seorang Pemimpin
Kristen yang professional memiliki sesuatu yang diakuinya (dare to profess something)
dihadapan public tanpa harus malu dan ragu. Yang diakuinya itu tidak lain adalah
identitas dan panggilannya sendiri sebagai utusan dan duta Kristus. Spiritualitas seorang
duta Kristus adalah yang sedemikian rupa mendorongnya untuk tampil lebih berani
mendemonstrasikan gaya hidup dan gaya kerja yang khas dan unik (lifeway and liwork
spirituality) lewat profesinya.5
3. Profesionalitas Kepemimpinan Kristen dan Tantangan Globalisasi
Pada zaman ini, tidak ada seorang-pun yang dapat menolak globalisasi.
Kenyataan globalisasi mau tidak mau harus dihadapi. Karena itu kompetensi dan
profesionalitas para Pemimpin Kristen pun harus terus-menerus diperbaharui, seiring
dengan dinamika globalisasi agar tidak kehilangan peran di masyarakat dan agar peran itu
membawa hasil yang diharapkan. Apa saja yang perlu diperhatikan oleh para Pemimpin
Kristen untuk mengembaharui dan mengembangkan kompetensi-kompetensinya?
Pertama, seseorang bisa menjalani pekerjaannya, termasuk pekerjaan memimpin
karena memiliki kompetensi-kompetensi tertentu yang diperlukan untuk profesi tersebut.
Kompetensi ini disebut kompetensi professional, yang menurut Willis dan Dubin (1990;
hal. 3) mencakup kemampuan/kecakapan untuk berfungsi secara efektif dalam tugastugas yang dianggap pokok dalam profesi tertentu. Ada dua kawasan luas yang tercakup
di dalamnya: (1) Keahlian-keahlian (proficiencies) yang khusus bagi profesi atau bidang
ilmu; (2) Ciri-ciri umum yang memudahkan orang itu mengembangkan dan
mempertahankan kompetensi professional.6
5
Setidak-tidaknya ada lima paradigma yang dikategorikan oleh para praktisi teologi, sehubungan
dengan kedudukan pelayanan rohani dan pekerjaan sekuler satu terhadap yang lain, dikaitkan dengan
profesionalitas seorang Kristen: (1) Sekularisme (hidup adalah melulu kerja demi kebutuhan hidup sendiri);
(2) Dualisme (dunia pelayanan rohani terpisah sama sekali dari dunia pekerjaan; seseorang harus memilih
hanya salah satu); (3) Strataisme (hidup yang benar adalah bagi Allah, maka pelayanan rohani lebih tinggi
tingkatannya dari pada pekerjaan); (4) Populerisme (Segala sesuatu dalam hidup dikendalikan oleh
pelayanan rohani/penginjilan. Pekerjaan sekuler/profesi sebagai strategi PI); (5) Totalisme (hidup untuk
melakukan sasaran Allah yang lebih luas yang telah Ia tetapkan bagi saya untuk dikerjakan secara holistic).
6
Ciri-ciri itu antara lain: Kemampuan intelektual, kepribadiam, motivasi, sikap-sikap dan nilainilai. Seorang Profesional tidak dipanggil hanya untuk berbuat tetapi untuk menjadi.
Masalah diferensiasi: Bagaimana bagian-bagian, yaitu sub-sub system berubah sehingga secara
keseluruhan menjadi global. Masalah integrasi: Bagaimana bagian-bagian yang berbeda, yaitu masyarakatmasyarakat mungkin dapat menjadi satu membentuk sebuah keseluruhan.
8
Norman Pittenger, Teologi Kaum Awam (Malang: Yayasan Penerbit Gandum Mas, 1996), hal.
10.
9
Norman Pittenger, hal. 34.
Bawahan
Penggunaan kekuasaan
Pemberian kebebasan
Arahkan
1
Bujuk
2
Nasihati
3
Partisipasi
4
Delegasi
5
Positif
a.
Negatif
KATALISATOR
KOMANDAN
Aktif
Positif
Aktif
Negatif
PENDORONG
PERTAPA
Pasif
Positif
Pasif
Negatif
b.
c.
d.
Hubungan Tinggi
Hubungan Tinggi
Tugas Rendah
Tugas Tinggi
Perilaku
terhadap
hubungan
Rendah
Hubungan Rendah
Hubungan Renah
Tugas Rendah
Tugas Tinggi
Penjelasan Gambar
Tinggi
Perilaku terhadap
hubungan
HT
TT
S3
S2
S4
S1
HT
TR
Rendah
GAYA
KEPEMP.
TT
HR
Tinggi
Sedang
Tinggi
Rendah
Matang
Tidak
matang
M4
M3
M2
M1
KEMATANGAN BAWAHAN
10
Perilaku terhadap
hubungan
HT
TT
S3
S2
S4
S1
HR
TR
Rendah
GAYA
KEPEMP.
TT
HR
Tinggi
Sedang
Tinggi
Rendah
Matang
Tidak
matang
M4
M3
M2
M1
KEMATANGAN BAWAHAN
Dari contoh dalam gambar di atas terlihat bahwa pada bawahan yang
mempunyai derajat kematangan M 1 maka atasan harus memakai gaya S 1. Dan
selanjutnya kematangan M 2 membutuhkan gaya S 2 dan seterusnya.
11
Telling
Perilaku tinggi hubungan rendah (S 1). Gaya ini
Dicirikan dengan komunikasi satu arah dari pemimpin
dalam menjelaskan peran bawahan, apa, bagaimana, kapan
dan di mana melakukan tugas tersebut.
Selling
Perilaku tugas tinggi hubungan tinggi (S 2).
Dengan
gaya ini atasan tetap memberi pengarahan tetapi ia
menggunakan komunikasi dua arah dan memberikan
dukungan sosioemosional untuk mendapatkan dukungan
mental dari bawahan akan keputusan yang harus
dilaksanakan.
Participating
Perilaku tugas rendah hubungan tinggi (S 3).
Gaya
ini pemimpin dan bawahan bersama-sama dalam
mengambil keputusan melalui komunikasi dua arah dan
atasan lebih bersikap sebagai fasilitator.
Delegating
Perilaku tugas rendah hubungan rendah (S 4). Gaya
ini memberikan kebebasan pada bawahan untuk bertindak
sekehendaknya.
Tinggi
HT
TR
Perilaku terhadap
hubungan
Participating
S3
Selling
S2
S4
GAYA
KEPEMP.
S1
Delegating
Telling
HR
TR
Rendah
HT
TT
TT
HR
12
Tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Matang
Tidak
matang
M4
M3
M2
M1
KEMATANGAN BAWAHAN
PENUTUP
Mengacu kepada tema Kepemimpinan di Era Globalisasi dan Aplikasinya dalam
Konteks Gereja keberhasilan seorang Pemimpinan Kristen bukan semata-mata karena
profesionalitasnya, tetapi pertama-tama dan yang terutama adalah karena spiritualitasnya.
Setiap Pemimpin Kristen, ketika terjun dalam masyarakat, mau tidak mau harus berfokus
pada profesi. Tetapi dalam menghadapi tantangan zaman, yaitu ketika diutus seperti
domba ke tengah-tengah serigala (Mat 10:16; Luk 10:3), seorang Pemimpin Kristen
harus cerdik dan tulus (mat 10:16b) serta memiliki gaya situasional. Disatu sisi ia
ditantang untuk mau mengakui Ke-tuhanan dan Ke-otoritasan Yesus atas hidupnya di
hadapan manusia (Mat 10:16). Dengan kata lain ia harus memiliki profesionalitas
berbasis spiritualitas. Di sisi lain ia dituntut untuk peka, responsif dan fleksibel dalam
mensikapi situasi dan dinamika gereja dan masyarakat.
Kepemimpinan sebagai sebuah profesi bisa usang ditelan oleh zaman. Oleh
karena itu seorang Pemimpin Kristen yang profesional harus terus-menerus
memperbaharui kompetensinya dan situasional dalam gayanya dengan berlandaskan
semangat spiritualitas.
13
KEPUSTAKAAN
Beyer, Peter, Religion and Globalization. Thousand Oaks: Sage Publications, 1994
Carrol, Jackson W., The Professional Model of Ministry: Is It Woth Saving? dalam
Theological Education, Spring, 1985, 7 48.
Cervero, Ronald M., Effective Continuing Education for Professionals. San Francisco:
Jossey-Bass Publishers, 1988.
___________, Spiritual Leadership A Biblical Model. http://www.allaboutgod.com.,
2002-2005.
Meyers, Eleanor Scott. A Sociology of Ministerial Preparation. dalam Wind, James P. et.
Al., Ed., Clergy Ethics in a Changing Society: Maping the Terrain. Louisville:
Westminster/John Knox Press, 1991
Pobee, John S., Theology in the Context of Globalization. dalam Ministerial Formation
WCC, October 1997, 18-26.
Pranarka, A. M. W. Globalisasi, Pemberdayaan dan Demokratisasi. Dalam Piyono,
Onny S. dan A. M. W. Pranarka, Peny. Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan dan
Implementasi. Jakarta: CSIS, 1996
Russle, Anthony, The Clerical Profession. London: SPCK Holy Trinity Church, 1984.
Res, Erik, Seven Principles of Transformational Leadership Creating A Synergy of
Synergy. http://www.pastors.com/articles.
Sijabat, Samual B. Strategi Pendidikan Kristen. Yogyakarta: Yayasan Andi 1994.
Subagyo, Andreas Bambang, Pembaruan Kompetensi Profesional. Semarang: Sekolah
Tinggi Theologia Baptis Indonesia.
Pittenger, Norman, Teologi Kaum Awam. Malang: Yayasan Penerbit Gandum Mas, 1996.
Thomas, Linda E., Christian Ministry in The Third Millenium. dalam Ministerial
Formation WCC, July 1997, 13 24.
Tangyong, Agus F., dkk. Kepemimpinan Kristiani. Jakarta: Majelis Pusat Pendidikan
Kristen Indonesia, 1999.
Willis, Sherry L. dan Samual S. Dubin, Maintaining Professional Competence:
Approaches to Career Enhancemnet, Vitality, and Success Throughout a Work
Life. San Francisco: Jossey-Bass Publishers, 1990.
Wind, James P., dkk. Clergy, Ethics an a Changing Society; Maping the Terrain.
Chicago: The Park Ridge Center fo The Study of Health, Faith and Ethics, 1991
14