Anda di halaman 1dari 13

TRANSFORMING DISCIPLESHIP

Stevina Marlinawati
Jakarta

Greg Ogden menyimpulkan kondisi pemuridan saat ini dengan kata “kedangkalan”. Ia
melihat hal ini karena mereka yang mengakui Yesus sebagai juruselamat tidak memahami
konsekuensinya. Kedangkalan ini mengejutkan ketika mengamati keganjilan antara jumlah
orang yang mengakui imannya kepada Kristus dan kurangnya dampak moral serta rohani di
zaman ini. Hal ini dilihatnya dari beberapa penelitian yang dilakukan oleh George Brana dan
George Gallup.

Call Thomas, menyimpulkan bahwa permasalahan terletak pada umat Tuhan yang
tidak disiplin, tidak dimuridkan, tidak taat, dan yang mengabaikan Firman Tuhan. Sehingga
kita pun perlu untuk mengenali tanda-tanda kedangkalan yang kita temukan dalam
gereja/persekutuan kita. Apa saja celah yang kita temukan antara standar Alkitab dan relaitas
dalam komunitas Kristen kita?

Ada beberapa standar Alkitab dan realitas saat ini yang dapat menolong kita. Yang
pertama ialah terkait para pelayan yang proaktif. Perjanjian Baru mengambarkan gereja
sebagai tempat pelayanan bagi setiap anggota jemaatnya. Paulus secara jelas memberikan
gambaran bahwa setiap anggota percaya diberi karunia oleh Roh Kudus untuk melayani
melalui penjelasan kesatuan tubuh Kristus. Perjanjian Baru memberikan gambaran yang
menghargai dan menilai setiap orang percaya berdasarkan kontribusi karunia mereka dalam
membangun dan memperluas gereja.

Akan tetapi, jika kita melihat realitas saat ini maka kita akan melihat kecilnya
presentase orang yang melayani melampaui sekedar ibadah Minggu atau yang menjadikan
pelayanan sebagai gaya hidupnya. Barna menyebutkan bahwa 85% orang telah mendengar
mengenai karunia-karunia rohani namun sebagian mengabaikannya atau menganggap Allah
tidak memberikannya kepada mereka.

Bagian kedua adalah mengenai sebuah cara yang disiplin.Kitab Suci


memnggambarkan pengikut Yesus sebagai mereka yang terlibat dalam cara hidup yang
disiplin; relatisnya adalah sangat kecil presentase dari orang percaya yang menginvestasikan
hidupnya dalam praktik-praktik pertumbuhan rohani. Dalam Perjanjian Baru, Paulus
menggambarkan kehidupan Kristen seperti disiplin seorang atlet dalam sebuah perlombaan (1
Kor 9:25). Paulus telah menetapkan satndar yang tinggi yaitu jika para atlet menempatkan
diri mereka pada sejumlah aturan hidup yang keras untuk “mahkota yang fana”, maka betapa
lebih kerasnya kita harus mendisiplinkan diri karena tujuan kita adalah “suatu mahkota yang
abadi!”

Namun berdasarkan realita dari penelitian,Barna menuturkan bahwa kurang dari 1


dari total 5 orang percaya dewasa yang memiliki tujuan yang terstruktur dan spesifik tentang
pertumbuhan rohani mereka. Ia menyimpulkan dari ratusan orang yang disurvei “Tidak ada
seorang dewasapun yang berkata bahwa tujuan hidup mereka ialah emnjadi pengikut Kristus
yang berkomitmen atau untuk memuridkan seluruh dunia-atau bahkan hanya seluruh blok
tempat tinggal mereka.”

Bagian ketiga adalah pemuridan yang memengaruhi seluruh bagian hidup. Alkitab
menggambarkan pemuridans ebagai sesuatu yang berdampak dalam seluruh aspek hidup kita.
Realitasnya dalah banyak orang percaya telah mengecilkan iman sebatas sesutau yang
sifatnya pribadi. Terjadi keputusan hubungan pada banyak orang Kristen ketika melihat diri
mereka sebagai wakil kerajaan Allah dengan kegiatan yang paling banyak menghabiskan
waktu-yaitu pekerjaannya. Tanpa sadar, banyak orang Kristen meletakkan topi kekristenan
dan mengenakan topi sekuler ketika memasuki tenpat kerjanya.

Bagian keempat antara standar Alkitab dengan realitas saat ini ialah kekuatan budaya
tandingan. Kita melihat banyak orang Kristen yang gaya dan nilai hidupnya tidak jauh
berbeda dengan orang-orang yang tidak mengenal Tuhan. John Stott menggambarkan gereja
Tuhan sebagai komunitas “yang radikal tanpa kompromi”. Gereja dalam gambaran Alkitab
merupakan sebuah tubuh yang cara hidup komunitasnya membentuk sebuah tubuh yang cara
hidup komunitasnya membentuk alternative budaya tandingan bai nilai dalam masyarakat
dominan.

Faktanya, apa yang dilihat orang dari gereja saat ini? Setelah meneliti sejumlah gaya
dan nilai hidup, Barna menyimpulkan. “faktanya, jumlah orang Kristen yang mengakui nilai-
nilai ini hampir sama dengan jumlah orang bukan Kristen yang memegang pandangan yang
sama. Hal ini menunjukkan bahwa betapa tak berartinya kekristenan dalam diri jutaan orang
yang mengaku sebagai orang percaya.” Akhirnya, bagaimana mungkin kita dapat
membangun komunitas budaya tandingan dari komunitas yang begitu keropos?
Kondisi ke lima terkait organisme utama yang terpilih. Alkitab menggambarkan
gereja sebagai sebuah organisme utama yang dipilih Allah sebagai tempat tinggal-Nya.
Realitasnya, kita memandang gereja hanya sebagai seuah lembaga opsional yang tidak terlalu
dibutuhkan untuk pemuridan. Paulus tidak mengatakan gereja seperti tubuh Kritsus, namun
secara literal mengatakan gereja adalah tubuh Kristus, tenpat di mana Kristus berdiam.
Implikasinya, gereja bukanlah sutau pemikiran opsional bagi mereka yang mengakui Yesus
sebagai Tuhan. Pemikiran opsional ini mucul salah satunya dalam bentuk ekspresi seseorang
yang menganggap bukanlah suatu kebutuhan untuk terlibat dalam gereja. Jika demikian,
bagaimana mereka bisa dibentuk menjadi murid yang serupa Kristus?

Keenam ialah pribadi yang memahami Firman Tuhan. Alkitab menggambarkan orang
percaya sebagai orang yang memahami Firman Tuhan; relatisnya kebanyakan orang percaya
ialah pribadi yang mengabaikan Firman Tuhan, yang hidupnya penuh kompromi.

Ketujuh adalah orang-orang yang membagikan iman mereka. Alkitab


menggambarkan semua orang percaya sebagai orang yang membagikan kisah imannya akan
Kristus dengan orang lain.Namun realitanya, banyak orang merasa terintimidasi sehingga
segan mengabarkan Injil secara pibadi. Padahal, kita adalah pencerita. Allah telah melukiskan
kisah yang ebgitu indah dimulai dari penciptaan dunia ini hingga penciptaan dan penebusan
manusia.Paulus menuliskan bahwa hak istimewa yang kita beroleh tak lain ialah kekuatan
Allah yang menyelamatkan (Rm 1:16).Apakah kita sungguh percaya bahwa kita memiliki
sesuatu yang sangat penting dan dapat memberi kita hidup sehingga kita perlu
membagikannya?

Gambaran pemuridan saat ini setidaknya tertuang dalam ketujuh hal tersebut. Maka
pertanyaan yang perlu kita ajukan adalah; bagaimana menumbuhkan pengikut Kristus yang
berinisiatif, berbuah, dan berkomitmen penuh? Hal ini memberikan gambaran bahwa ada
kondisi yang tidak sehat dalam pemuridan kita.

Penyebab pertamanya ialah ara pendeta telah beralih dari panggilan utama mereka
yaitu untuk “memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi
pembangunan tubuh Kristus.” Apa yang paling mungkin dilakukan setan untuk menghalangi
pertumbuhan para murid menuju kedewasaan? Mengalihkan fokus pemimpin adalah hal
pertama yang dapat dilakukan dengan mengalihkan pandangan mereka kepada berbagai
aktivitas seperti pengembang program, pengurus administrasi, pemerhati, yang sama sekali
tak berkaitan untuk membangun jemaat serta melibatkan mereka dalam pelayanan.
Hal yang baik merupakan musush dari yang terbaik. Para rasul pernah mengalami ini
di awal kehidupan gereja ketika dihadapkan pada hal-hal yang tidak menjadi bagian mereka.
Maka mereka menolak untuk melakukan itu lagi bukan karena tidak pantas, namun bukan
tugas tersebut yang menjadi panggilan mereka. Pada bagian ini, akhirnya tugas tersebut
memberi kesempatan bagi yang lain untuk turut melayani pada bagian yang bukan menjadi
panggilan para rasul. Realitanya saat ini, kita memiliki gereja yang tidak memuridkan karena
pemimpinnya tidak membuat pemuridan menjadi fokus utama mereka.

Penyebab kedua kondisi pemuridan tidak sehat ini ialah karena kita berusaha
memuridkan melalui berbagai program. Konteks Firman Tuhan untuk menumbuhkan murid
ialah melalui relasi. Yesus memanggil kedua belas murid untuk hidup bersama-Nya karena
melalui kedekatan pribadi dengan-Nya hidup mereka dapat diubahkan. Kedekatan
menghasilkan murid. Seperti halnya Paulus dan Timotius.

Kondisinya ialah pertumbuhan yang berpusat pada individu diganti dengan berbagai
program sebagai sarana membuat murid. Semua program ini daoat membantu perkembangan
peuridan, namun mereka kehiangan bahan utamanya. Setiap murid merupakan individu yang
unik, yang bertumbuh pada tingkatan yang berbeda. Seorang murid tidak pernah akan
terbentuk, kecuali jika mereka diperhatikan secara pribadi sehingga kebutuhan mereka untuk
bertumbuh dipenuhi dan mereka dipangil untuk mati bagi diri sendiri dan hidup sepenuhnya
bagi Kristus. Investasi pribadi yang membutuhkan waktu dan merupakan hal mahal seringkali
digantikan oleh berbagai program.

Padahal, program memiliki empat ciri yang sama pada umumnya. Pertama, program
cenderung hanya memberi informasi atau pengetahuan. Asumsinya ialah jika seseorang
memiliki informasi, maka informasi ini akan mengarahkan pada transformasi. Padahal,
informasi yang membanjiri apakah benar dapat membuat seseorang menjadi serupa Kristus?

Ciri kedua ialah program menjadi sesuatu yang dirancang untuk banyak orang.
Hasilnya, sejumlah besar informasi belum terproses seperti contohnya adalah berkotbah.
Karena itu, dibutuhkan kata-kata kotbah yang perlu disesuaikan dengan konteks komunitas.

Yang ketiga ialah program ditandai dengan keteraturan atau keselarasan. Dampaknya
ialah kebanyakan program tidak peduli dengan tingkat pertumbuhan pribadi masing-masing
individu, yang merupakan poin penting untuk menumbuhkan murid. Sementara ciri keempat
adalah program pada umumnya memiliki rasa tanggung jawab pribadi yang sangat rendah.
Program membuat seseorang fokus untuk menyelesaikan kurikulum yang telah dibuat dan
bukannya berkomitmen pada perubahan hidup. Sekalipun semua pendekatan untuk
menghasilkan murid akan memiliki unsur-unsur sebuah program, seperti misalnya struktur
dan kurikulum, proses pertumbuhan selalu menonjolkan konteks relasi.

Kondisi pemuridan ketiga yang tidak sehat ini ialah karena standar kehidupan Kristen
telah menurun . Dallas Willard menyebutkkan bahwa kita berfokus pada keuntungan yang
kita dapatkan melalui iman kita pada Yesus dan bukannya menjadi serupa dengan kehidupan
Yesus. menginginkan kelimpahan tanpa ketaatan.Mengangap kekristenan hanya menerima
karunia pengampunan telah membuat kehidupan kepada Yesus dalam keseharian menjadi
tidak relevan.

Sementara kondisi yang keempat ialah karena pemuridan dibuat untuk berlaku hanya
bagi orang Kristen super dan bukan orang percaya pada umunya. Pemuridan yang alkitabiah
tidak menyetujui adanya dua jenis pengikut Yesus: orang-orang biasa dan luar biasa. Ada
orang-orang yang tidak memenuhi standar sebagai murid namun tetap disebut Kristen serta
tidak melepaskan merekad ari kesulitan. Yesus mengatakan bahwa setiap orang yang mau
megiktu Aku akan menjadi murid-nya.

Penyebab kelima adalah para pemimpin tidak memanggil orang-orang bergabung


dalam proses pemuridan. Mereka khawatir jika terlalu banyak meminta termasuk dalam hal
proses pemuridan, mereka akan berpindah gereja. Lebih dalam lagi, diri mereka sendiri yang
dikahwatirkan. Penyebab keenam adalah kita memiliki pemahaman yang tidak utuh tentang
gereja sebagai komunitas pemuridan.

Sementara yang ketujuh adalah banyak gereja yang tidak memiliki arah yang jelas
menuju kedewasaan. Lalu yang terakhir ialah kebanyakan orang Kristen tidak pernah
dimuridkan secara pribadi sehingga sulit untuk meneruskannya kembali.

Jika program akhirnya tidak dapat menolong sebuah proses pemuridan, maka kita
perlu untuk melihat bagaimana Yesus juga Paulus meneruskan iman dari generasi ke generasi
berikutnya. Mereka mempeertaruhkan keberhasilan mereka dalam investasi hubungan yang
intensional dalam diri beberapa orang. Inilah cara untuk meneruskan hubungan pemuridan
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Untuk menjadi bagian dari lingkaran terdalam
Yesus, ada proses yang harus dilewati. A.B Bruce dalam The Traininf of The Twelve
membagi menjadi 3 tahapan proses seseorang merespons panggilan Yesus.
Tahapan pertama diindikasikan bahwa pertemuan awal diindikasikan dengan suatu
waktu pengamatan. Mereka tidak disuruh : Ikutlah Aku, melainkan “Datang dan Lihatlah.”
Pada tahap kedua, Yesus menunjukkan sifat alami sebuah hubungan melalui panggilan yang
membutuhkan keputusan: Ikutlah Aku. Yesus membentuk pengaruh diri-Nya dalam murid-
muridNya. Pada tahap ini, kedua belas murid adalah bagian dari sekelompok orang yang
merespons panggilan yang spesifik namun bersama untuk menjadi satu dari murid Yesus.
Sekelompok orang ini sama dengan 70 murid yang diutus pergi berdua-dua (Luk 10:1-2)

Tahapan ketiga ialah peranan yang hanya tersedia bagi beberapa orang saja yaitu
kedua belas murid yang disebut rasul. Bagian ini mengatakan “marilah bersama-sama dengan
Aku.” Pemilihan kedua belas rasul menjadi penting ketika Lukas menggaris bawahi
pemilihan ini didahului oleh waktu pribadi yang intens dan panjang dengan Bapa-Nya.

Bukan hanya doa semalam suntuk yang menunjukkan pentingnya strategi dalam
memilih kedua belas rasul, namun juga sikap-Nya ketika memilih mereka. Luk 6:13
menggambarkan bahwa dari kelompok murid yang lebih besar, Ia memilih mereka yang akan
masuk dalam lingkaran terdalam-Nya. Apa pentingya memiliki beberapa orang saja dalam
lingkaran terdalam kita, sehingga Yesus berani mengambil resiko terjadinya kecemburuan
sosial? Apa alasan strategis di balik pemilihan kedua belas rasul ini? Dari beberapa alasan,
dua di antaranya sangat mengarah kepada tujuan Yesus untuk membentuk murid yang
berinisiatif, berbuah, dan berkomitmen penuh serta bermutiplikasi.

Melalui “kedekatan penuh arti” hidup dan pelayanan-Nya dijiwai dalam hidup para
murid sehingga orang-orang inti ini memahami kepribadian dan misi-Nya. Mengapa Ia tidak
menggunakan popularitasnya demi mempertahurahkan masa depan pelayanan-nya? Yesus
tahu bahwa orang-orang ini tidak tetap pendiriannya dan setelah tuntutan pemuridan
digemakan, jumlah pengikutya semakin mengecl. Seseorang tak akan pernah menjadi bagian
pemuridan sampai ia keluar dari kumpulan orang banyak untuk mengenali Yesus. Prasyarat
membayar harga dan berkomitmen demi mengikut Yesus tidak kita temukan dalam
kerumuman orang tak beridentias tersebut. Hal ini begitu Nampak ketika di hari raya Pondok
Daun mereka mengelukan Yesus namun 5 hari kemudian keluar teriakan “salibkan Dia.”

Alih-alih menggunakan strategi Yesus yang dengan jelas memanggil murid dari
kumpulan orang banyak dan berfokus hanya pada beberapa orang, kita bertahan dengan
emtode pengajaran dan program-program untuk membuat murid. Pemuridan pada dasarnya
merupakan proses relasional. Berkotbah bisa menjadi suatu kesendirian. Kita juga terlalu
bergantung kepada program sehingga mengajak jemaat mengikuti berbagai program yang
dengan bdohnya kita harapkan dapat membuat murid dalam jumlah lebih banyak.

Yesus tahu Ia harus memprioritaskan beberapa orang agar murid-muridNya


mengenal-Nya dengan baik sehingga lewat kejujuran dan keterbukaan, Ia dapat mengubah
hidup mereka. Yesus tidak menulis apapun, namun untuk melanjutkan misi-Nya ia
bergantung kepada Roh Kudus dan dua belas murid. Hidup-Nya ditransfer kepada kedua
belas murid melalui Roh Kudus dan investasi-Nya dalam diri mereka. Hal ini menjamin
mereka yang akan menjadi dasar kegerakan-Nya untuk menjiwai hidup dan pelayanan.

Yesus melipatgandakan diri-Nya dalam kedua belas rasul sehingga ada makin banyak
diri-Nya yang melayani. Karya penebusan-nya diteruskan bagi banyak orang melalui orang-
orang yang telah menangkap misi-Nya. Dari catatan Markus tentang pemilihan kedua belas
rasul, terlihat jelas bahwa Yesus memang bermaksud untuk menjadikan pelayanan ini milik
mereka (Mrk 3: 13-15).

Strategi Yesus menggambarkan sebuah prinsip yang sering disaksikan para pemimpin
dengan rutin: Jangkauan pelayanan kita berbanding lurus dengan keluasan basis
kepemimpinan kita. Hanya sejauh kita telah bertumbuh menjadi pengikut Kristus yang
berinisiatif, berbuah, dan berkomitmen, pelayanan kita dapat menyentuh hidup manusia yang
telah rusak. Dengan berfokus pada beberapa orang, Ia tahu cara memenangkan massa, bukan
dengan cara mengumpulkan mereka seperti yang kita lakukan.

Kita dapat mengatasi celah dalam pemuridan jika dapat melakukan pendekatan yang
Yesus buat untuk membentuk murid yang berinisiatif, berbuah , dan berkomitmen penuh.
Setelah mengetahui alasan Yesus berinvestadi dalam diri beberapa orang murid, kini proses
berikutnya adalah proses pertumbuhan dengan tujuan meneruskan pekerjaan Tuhan. Mereka
bergerak dari tanpa memiliki apapun sampai menjadi lengkap. Bagaimana Yesus
melakukannya?

Sepenting pengajaran-Nya, pribadi Yesuslah yang menjadi sarana untuk mentransfer


hidup-nya bagi murid-muridNya. Para murda yang dipanggil ini bukan hanya tidak memiliki
bawaan keistimewaan sejak lahir, tetapi juga tanpa posisi kekuasaan dalam lembaga
keagamaan atau pendidikan yang memungkinkan mereka menjadi pelajar. Mereka memiliki
semua kelemahan di masa itu. Murid-murid adalah prosuk dair zaman mereka dengan segala
keterbatasannya,sama seperti pada zaman lainnya.
Namun hubungan mereka dengan Yesus selama tiga tahun telah mengubah
sekelompok rakyat jelata ini menjadi penakluk dunia. Setelah turunnya Roh Kudus seperti
yang dijanjikan, sekelompok murid yang ketakutan ini ini diubah menjadi megafon
kebangkitan Kristus yang tak kenal rasa takut.Kis 4:13 mengemaskan bahwa hubungan
mereka dengan Yesus menjadi dasar untuk pembentukan karakter dan penanaman misi Yesus
dalam diri mereka. Proses seperti apa yang mereka lalui?

Proses persiapan para murid menggambarkan Yesus berperan sebagai pelatih ahli.
Pada tahap satu di awal pelayanan-nya, Yesus menunjukkan teladan hidup-Nya. Para murid
mengawasi-Nya dengan seksama dan karena itu mulai mneyerap pesan dan pelayanan-Nya.
Pada tahap kedua, Yesus berperan sebagai pendidik yang provokatif. Maksud Yesus bukan
hanya mengajarkan murid-murid akan pandagan kerajaan-nya, tetapi juga untuk
menghilangkan gagasan atau pemahaman yang salah yang didaptkan dari dunia rohani dan
sekuler dalam pemberontakannya melawan Allah. Pada tahap ketiga, Yesus merupakan
seorang pelatih yang penuh dukungan. Pada tahap keempat, Yesus berperan sebagai delegator
utama.

Yesus menggunakan model pemberdayaan kpemimpinan dan pelatihan para pelayan.


Ketika para pelayan cenderung puas memiliki mjemaat yang ebrgantung pada pengajaran dan
perhatian mereka, Yesus menginginkan pengikut yang berinisiatif, berbuah, da berkomitmen.
Yesus berpikir bahwa pelipatgandaan pelayanan dengan memilih beberapa orang merupakan
ukuran keberhasilan-Nya.

Paulus memiliki model pemberdayaan yang mirip Yesus, meskipun ia menggunakan


gambar yang berbeda untuk menyampaikan kenyataan yang sama. Paulus tidak pernah
berbicara mengenai memiliki murid seperti Yesus yang selalu berbicara mengenai “membuat
murid” dan “menajdi murid.” Usahanya diarahkan untuk membantu gereja memahami apa
arti seorang Kristen “berada dalam Kristus” atau “Kristus di dalam kamu”. Namun bukan
berarti pemuridan tidak ada dalam pikiran Paulus.Menjadi pengikut Kristus yang berinisiatif,
berbuah, dan berkomitmen juga hadir di dalam pikiran Paulus dengan istilah yang berbeda.
Pauls menggaunakan istilah pengasuhan rohani untuk tujuan dan proses pemuridannya.

Paulus menggambarkan proses pengasuhan dan perkembangan sama halnya dengan


proses kedewasaan. Sehingga pemuridan yang utama adalah keluarga Kristen dan
pembimbing utama adalah orangtua. Bagi Paulus, tujuan utama kehidupan Kristen adalah
untuk mencapai kedewasaan di dalam Kristus. Satu tujuan ini menuntut segala udaha dan
kekuatan Paulus adar semua orang dibawa kepada kedewasaan dalam Kristus. Ia mengindari
Bahasa hierarkis dalam hubungan melayani bersamanya dalam pelayanan Injil. Hubungan
dalam misi itu bersifat rekan sejawat.

Model pemuridan orang tua yang digunakan Paulus selalu bertujuan untuk mendorong
orang lain menjadi sepert yang Yesus telah rancangkan. Dia tak memandang dirinya sebagai
seorang bijak yang tampil di atas panggung, tetapi sebagi seorag pembimbing yang berdiri di
sebelah muridnya. Model pemurdannya ialah mengungkapkan bahwa kita sebagai mitra yang
bekerja sama untuk membawa Injil kepada mereka yang butuh mendengar kasih Allah.

Dari model pemuridan Yesus dan Paulus, prinsip-prinsip apa yang dpat kita ambil
sebagai penghubung bagi strategi pemuridan saat ini? Setidaknya ada 3 prinsip dasar yang
digunakan untuk membangun proses multiplikasi pemuridan. Prinsip pertama ialah tentang
investasi hidup untuk membentuk murid.Seringkali program pada akhirnya hanya direspons
oleh orang yang telah berulang kali berkomitmen. Pendekatan melalui program seringkali
menghilangkan pentingnya relasi. Sebab pada akhirnya, semua kurikulum, lengkap dengan
pemgetahuan yang bertahap, berbagai cara beroleh keterampilan, sejumlah doktrin, semuanya
ini harus diproses dalam sebuah hubungan yang penuh komitmen. Yang kurang diharagai
seringkali adalah kekuatan dalam mengajak orang lain untuk berelasi dengan mendalam dari
waktu ke waktu.

Yesus mulai memanggil murid-muridNya untuk diriNya setelah berdoa semalaman.


Hubungan pemuridan pun harus dibangun di atas dasar ajakan penuh doa pribadi yang ingin
memuridkan. Alih-alih mengajak orang mengiktui sebuah program atau kelas di mana
mereka harus mendaftar, hadir, dan menyelesaikan tugas-tugasnya, mereka diajak masuk
dalam sebuah relasi yang saling mengasihi satu sama lain, saling terbuka, dan saling percaya.
hubungan memuridkan juga merupakan tanggung jawab penuh setiap anggota, sedangkan
pada program, hanya satu atau beberapa orang yang bekerja untuk kepentingan orang banyak.
Hubungan pemuridan juga dirancang untuk proses pertumbuhan setiap individu yang unik,
sedangkan program menekankan pada keselarasan dan keteraturan. Berikutnya, hubungan
pemuridan berfokus pada tanggung jawab pada perubahan hidup yang terjadi, sedangkan
program hanya berfokus pada tanggung jawab penyampaian isi program saja.

Mementingkan program dapat membaut seseorang menganggap bahwa membuat


murid dapat dilakukan dengan cepat, sementara memprioritaskan hubungan dapat merubah
pendekatan jalur pintas yang biasa kita gunakan untuk memuridkan. Biasanya, ukuran yang
kita kenakan pada proses pemuridan adalah mengenai pujian maupun pengakuan dari orang
lain tentang berapa banyak jemaat yang datang kepada kita. Sementara Yesus menunjukkan
proses untuk membangun dengan pelan dan kuat.

Bill Hull mendefinisikan pemuridan sebagai “pelatihan yang dilakukan dengan


sengaja bagi para murid, dengan penuh tanggung jawab atas dasar kasih. Sementara Greg
Ogden sebagai penulis mendefinisikan pemuridan adalah sebuah relasi dengan tujuan di
mana kita berjalan bersama murid-murid lainnya untuk saling mendorong, melengkapi, dan
menantang satu sama lain dalam kasih untuk bertumbuh dewasa dalam Kristus. Hal ini
termasuk juga melengkapi para murid untuk mengajar orang lain juga.

Pemuridan membutuhkan relasi yang intensional, berjalan bersama para murid


lainnya dengan saling menguatkan-memerlengkapi-menantang, dalam kasih, bertumbuh
menuju kedewasaan di dalam Kristus, dan diperlengkapi untuk mengajar orang lain. Apapun
definisi yang bisa diandalkan tentang memuridkan di dalamnya harus berisi konsep
multiplikasi.

Multiplikasi ini dijelaskan oleh Gary kuhne sebagai sebuah fase pemuridan di mana
seorang yang melakukan multiplikasi adalah seorang murid yang sedang melatih anak-anak
rohaninya untuk mereproduksi diri mereka sendiri. Contoh yang seringkali dilihat dalam hal
ini adalah Paulus kepada Timotius. Namun pada pelaksanaannya, model hubugan dua orang
secara langsung ini membangun suatu hierarki yang cenderung menghasilkan
kebergantungan. Posisi Paulus dan Timotius jug berbeda jauh dari segi usia, pengalaman,
serta pertumbuhan iman. Dampak dari model hubungan antar dua orang ini juga dapat
membatasi tukar pikiran atau dialog, menciptakan pendekatan satu orang saja, dan yang
paling penting adalah model hubungan satu orang demgan satu orang umumnya tidak
menghasilkan suatu multiplikasi. Jika terjadi, itu adalah sesuatu yang sangat jarang.

Oleh karena itu, model pemuridan perlu menjadi sebuah proses mutual dari
pembimbingan pribadi dua orang yang sederajat. Model Paulus dan Timotius bisa menjadi
dasar bagi pedekatan hubungan berdampingan dalam usaha membuat murid. Oleh karena itu,
menematkan orang yang memuridkan pada posisi berotoritas di atas sang murid bukanlah
sesuatu yang harus ada agar keteladanan bisa terjadi. Seseorang yang sedang memimpin
pemuridan dengan model triad (bertiga) tidak perlu menempatkan diri pada posisi berotoritas,
tetapi sebagai penjaga perjanjian yang harus disetujui oleh setiap anggota kelompok. Ada 3
jenis hubungan yang bisa menjadi kotneks yang tepat bagi model satu orang dengan satu
orang: pembimbing rohani, pelatih, dan sponsor.

Hubungan dalam pemuridan dimulai oleh orang yang memuridkan. Hubungan dalam
pemibimbingan rohani dimulai oleh orang yang membutuhkan bimbingan. Dalam
pembimbingan rohani, orang yang membutuhkan bimbingan yang mencari pelatih yang tepat,
namun hubungan dalam pemuridan terjadi karena ada undangan dari seseorang yang ingin
memuridkan. Sumber-sumber seseorang juga perlu dipikirkan dan pembibing rohani juga
turut menyediakan kesempatak bagi mereka terus bertumbuh. Pemuridan adalah meletakkan
fondasi. Alasan utama kita tidak menghasilkan pengikut Kristus yang berkomitmen penuh
adalah karena orang-orang belum secara sengaja dimuridkan dalam cara yang
memungkinkannya untuk bermutiplikasi.

Kelompok pemuridan yang dapat bermutiplikasi ini berada dalam suatu kelompok
berjulah tiga orang atau jumlahnya lebih namun tetap dalam sebuah kelompok yang
jumlahnya kecil.Kondisi-kondisi pertumbuhan dalam pemuridan ini dapat disebabkan oleh 3
unsur yang membentuknya.Yang pertama adalah kepercayaan yang transaparan dengan
adanya peneguhan melalui saling menguatkan, lalu serta berjalan bersama di masa-masa sulit,
menjadi pendengar yang reflektif, dan mengakusi dosa serta kecanduan hati. Jika semua hal
ini dapat dinikmati selama proses pemuridan dalam kelompok tersebut maka mereka berada
di dalam proses bertransformasi menjadi serupa seperti Yesus

Unsur kedua adalah kebenaran Firman Tuhan.Paulus memberi tahu kita bahwa
Firman Allah ebrguna untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan, dan
mendidik orang dalam kebenaran. Sehingga, jika ingin ada murid yang bertumbuh, maka itu
semua tidak dapat dilepaskan dari Firman Tuhan. Sementara unsur ketiga adalah pertanggung
jawaban bersama. Pertanggungjawaban ini akan membawa kita kembali kepada inti dari arti
menjadi murid Yesus.

Menjalani ini semua dalam ketaatan mengikut Yesus serta teladan-Nya sangat penting
agar kitalah yang mengundang orang lain masuk ke dalam perjalanan pemuridan ini. Oleh
sebab itu, model pemuridan yang diusulkan oleh penulis adalah satu orang mengundang dua
orang lain ke dalam hubungan seperjanjian yang dibangun di seputar kurikulum yang
didasarkan pada Alkitab. Selama kira-kira setahun mereka bertemu setipa minggu, yang
setelah itu memutlipikasi hal yang sama pada generasi berikutnya. Multiplikasi menghasilkan
multiplikasi.
Namun, bagaimana menentukan siapa yang diundang? Mengikut teladan Yesus,
sangat penting agar kitalah yang mengundang orang lain masuk ke dalam perjalanan
pemuridan ini. Oleh karena itu pemuridan harus didahului oleh suatu periode perenungan
yang peka dalam doa. Sangat penting untuk memiliki keyakinan yang kuat bahwa Tuhan
sedang menarik kita kepada orang-orang ynag sedang kita undang.

Yesus tidak terburu-buru dalam memilih. Setelah berjalannya waktu, ada dua kualitas
utama sebagai penentu untuk menjadi murid-Nya: yaitu setia dan mau diajar. Yesus memilih
para murid dengan melihat mereka bisa menjadi seperti apa nantinya, bukan seperti apa
mereka pada waktu dipanggil. Sehingga, menemukan orang-orang yang tepat ialah langkah
signifikan dalam menciptakan kelompok pemuridan yang bermutiplikasi.

Untuk memulainya, ada beberapa langkah yang bisa ditiru, antara lain; membuat
undangan, meninjau kurikulum pemuridan, meninjau perjanjian dengan seksama, minta calon
anggota tersebut dalam seminggu ke depan untuk mendoakan hubungan yang akan
dimasukinya ini, memberitahu calon murid bahwa orang ketiga akan bergabung bersama
dalam kelompok pemuridan tersebut, menentukan waktu pertemuan pertama,membimbing
para peserta di sepanjang pertemuan, setiap calon penandatangan perjanjian dalam kelompok
pemuridan harus mengikuti setiap pertemuan, dan orang yang memuridkan harus
meneladankan keterbukaan.

Untuk menumbuhkannya, maka ada beberapa hal yang perlu dimiliki yaitu;
mengawali satu kelompok dengan pemuridan triad (hanya bertiga namun mengikuti teladan
Yesus), memiliki visi jangka panjang, memilih orang-orang yang akan dibentuk secara
seksama dan bijak sesuai model pemuridan dan konteks pelayanan.

Untuk menjaga semangat bermutiplikasi ini, maka ada beberapa cara percobaan untuk
memasukkan energy ke dalam usaha ini; secara teratur kumpulkan bersama jaringan
pemuridan ini untuk saling berbagi, memotivasi, dan mengarahkan. Selain itu, undang
pembicara tamu yang berkomitmen pada pemuridan dan tentu dapat membagikan semangat
itu. Bertemu dengan para pemimpin kelompok dalam 3 atau 4 kelmpok sehingga dapat saling
berbagi pengalaman, ide, bahkan perasaan yang dapat kembali menantang para pemimpin.
Selain itu, dapat juga bertemu dengan anggota-anggota kelompok yang sudah menyelesaikan
tiga per empat kurikulum pemuridan, dan menerbitkan semacam laporan berkala pemuridan.
Pada akhirnya, ketika kita sudah tiba di penghujung hidup kita dan tahu ada perahu
yang menunggu membawa kita ke seberang bersama Yesus, satu-satunya yang berarti adalah
para pengikut Yesus yang berinisiatif, berkomitmen, dan berkomitmen sepenuhnya karena
kita menjadikan itu sebagai prioritas hidup kita, dengan berjalan bersama menuju kedewasaan
dalam Kristus. Tidak ada investasi kekal atau warisan yang lebih baik untuk diberikan selain
ini.

Anda mungkin juga menyukai