Anda di halaman 1dari 6

Nama : Petrus M. Op.

sunggu
Tugas : meringkas buku
Mata kuliah : pembinaan warga gereja
Dosen pengampu : Dr. Pulman marbun

KEPEMIMPINAN GEREJA
MASA MENDATANG

Pada BAB ini kita akan melihat dengan lebih rinci betapa luas dan radikalnya
perubahan global pada abad ke-21. Gereja harus menolak setiap godaan
yang mendorongnya untuk kembali ke dalam kepompong budayanya dalam
keyakinan yang keliru bahwa ia dapat melarikan diri dari dampak transformasi
ini. Gaya kepemimpinan harus turut berubah sesuai dengan berbagai tantang-
an baru yang dihadapi gereja. Hal ini juga berlaku bagi para pemimpin yang
berasal dari gereja yang mapan sebagaimana bagi para pemimpin gereja-ge-
reja yang baru. Kita tidak membutuhkan para pemimpin baru, tetapi jenis
pemimpin yang bertrda. Implikasinya tidak hanya bagi generasi pemimpin
yang akan datang,tetapi juga pemimpin pada saat ini, yang perlu memperoleh
wawasan dan kemampuan baru untuk memimpin gereja secara lebih efektif
ke dalam konteks pelayanan yang semakin kompleks.
Gereja tidak lagi menjadi salah satu institusi pusat yang membentuk nilai-
nilai dan memenuhi kebutuhan sosial,emosi,dan rohani di dunia Barat.Gereja
juga tidak lagi menyediakan pokok referensi identitas utama bagi umat. Pada
era pasca-Konstantin ini,peran gereja telah menjadi lebih sederhana dan kecil,
paling tidak itulah yang dirasakan oleh sebagian besar masyarakat.Bahkan
anggota jemaat gereja itu sendiri turut merasakan hal tersebut.
Sembari memperkirakan posisinya pada saat ini dan melihat ke masa de-
pan,gereja juga harus bertanya pada dirinya apakah derajatnya akan turun
sampai akhirnya ketinggalan zaman,atau mengalami perubahan pembaharu-
pembaharuan radikal.
Para misionaris menggambarkan perbedaan yang penting antara konteks-
tualisasi yang naif dan kontekstualisasi yang eritis. Pada awalnya,kekristenan
dianggap sebagai bagian budaya yang lebih luas yang diperbincangkan,yang
menjadi tidak lebih daripada suatu peradaban yang meninggalkan isu-isu yang
tidak menantang dan tidak berubah. Meskipun demikian,belakangan gereja
menyadari kompleksitas hubungan antara Injil dan budaya. Para pemimpin
membutuhkan kepekaan rohani untuk membedakan antara (1) elemen-ele-
men budaya yang memperkuat Injil, (2) aspirasi-aspirasi di mana hanya Injil
yang dapat memenuhinya dan (3) elemen-elemen yang mewakili si jahat,
yang harus dihadapi. Kebanyakan pemimpin muda dalam gerakan gereja ba-
ru mudah diserang oleh kontekstualisasi yang naif karena kurang pelatihan
lintas budaya. Sebagai contoh,sejumlah pemimpin dari gereja-gereja baru te-
lah mendapat kesan sangat dalam oleh kelembutan dan kesederhanaan para
pengikut agama-agama Timur yang saleh.Namun,mereka cenderung melihat
agama-agama tersebut dalam bentuk romantika,daripada dalam bentuk yang
menurut mereka lebih populer dan radikal. Tentu saja hal yang sama dapat saja
dikatakan mengenai kekristenan. Kita harus bersiap-siap untuk berhadapan
dengan episode-episode gelap, menyesali berbagai perilaku yang telah lampau
dan meninggalkan perilaku sekarang yang bertentangan dengan Injil yang kita
nyatakan.
Para pemimpin gereja saat ini harus dilatih untuk dapat mengamati dan
menafsirkan perubahan budaya yang terjadi di seluruh masyarakat.Kombinasi
dampak dari perubahan-perubahan ini begitu kuat sehingga Andrew Grove,
mantan CEO dari Perusahaan Intel,telah menggambarkannya sebagai se-
buah "pokok perubahan yang strategis”' Inilah titik pergerakan kurva ke
arah lain yang disebabkan oleh pergeseran keseimbangan kekuatan.

TOLERANSI ATAU KETIDAKPEDULIAN


Di dunia Barat, monoteistik, iman yang berdasarkan pada wahyu, telah diten-
tang atas nama toleransi. Secara luas telah diketahui bahwa eksklusivisme
agama harus ditolak, entah diekspresikan dalam tradisi kekristenan (Katolik,
Ortodoks atau Protestan) atau di antara agama-agama lainnya (Islam, Hindu,
atau Sikh).

MENGKOMUNIKASIKAN GAGASAN KESELURUHAN


Dalam iklim kecurigaan ini, penganut pascamodern sangat ingin untuk meng-
alami autentisitas atau kebenaran. Mereka tidak terlalu tertarik akan kebenaran
yang kita klaim, seperti sejauh mana hidup kita sesuai dengan kebenaran yang
kita nyatakan.Penganut pascamodern tetap memiliki rasa lapar yang besar ter-
hadap metanaratif yang dapat menyediakan sebuah pengertian, tujuan, dan
kebebasan yang berarti kepada mereka, namun mereka sangat sensitif terha-
dap ketidakkonsistenan (mereka memberinya label munafik). Oleh karena itu,
komunikasi yang kredibel mensyaratkan kejujuran, kerendahan hati, penghar-
gaan yang dalam terhadap individu sebagai seorang pribadi yang memiliki nilai
hakiki, serta asumsi bahwa Tuhan turut bekerja dalam hidup orang tersebut.
Pada saat yang sama, orang-orang yang membagikan kabar baik tentang Yesus
Kristus juga membutuhkan wawasan dalam menangani medan pertempuran
rohani yang menyeluruh, membedakan realitas penipuan dan dominasi rohani
yang jahat.
Dalam iklim budaya akhir-akhir ini, komunikasi Injil yang kredibel tidak-
lah menentukan sebuah kemutlakan, tetapi mengusulkan sebuah alternatif. Tiap
usaha yang bertujuan untuk membagikan kabar baik yang memberikan ke-
san bahwa para saksi telah mengemas pesan tersebut dan telah menyiapkan
respons terhadap semua pertanyaan yang tadinya tidak dapat dijawab, akan di-
curigai dan ditertawakan. Para saksi sejati tidak memilki ”cerita yang lengkap",
namun mengemban kesaksian pada apa yang telah mereka pegang dan taati
dalam hidup mereka. Inilah alasan mengapa kesaksian individual dibatasi dan
kesaksian yang berhubungan dengan lembaga gereja perlu disisipkan.Kesak-
sian tersebut harus terus-menerus diperkaya,diperkenalkan,dilakukan lagi,dan
dikoreksi dari Cerita Besar.

KEGAGALAN PEMURIDAN
Dalam kekristenan Barat kontemporer, pemahaman kita tentang konsep pe-
muridan sangatlah sedikit.Mereka yang"diinjili" diarahkan pada pengambilan
keputusan, mengikuti prosedur keanggotaan, dan kemudian menjadi bagian
dari jemaat yang beribadah, akan tetapi mayoritas tetap berperan pasif. Hanya
10-30% dari jemaat tetap yang rutin terlibat dalam kelas-kelas pembinaan
Kristen,kelompok kecil,atau tim pelayanan.Sementara itu,perubahan hidup
sangat jarang terjadi di antara mereka yang merasa nyaman hanya dengan
mengikuti ibadah.Mereka yang "diperkenalkan" ke dalam gereja melalui ke-
terlibatan keluarga atau komunitasnya tampaknya mempunyai ikatan relasi
yang jauh lebih kuat. Akan tetapi, keadaan ini tidak selalu diterjemahkan se-
bagai perkembangan iman.Gereja-gereja Barat menghadapi masalah kronis
akibat anggota jemaatnya yang tidak dimuridkan. Kondisi tersebut merupakan
lingkungan yang sempurna bagi "kekristenan nominal"(kekristenan yang pa-
sif).14
Banyak pemimpin muda yang benar-benar menyadari kegagalan gereja
untuk memuridkan anggota-anggota jemaatnya dan telah melihat dampak se-
rius kegagalan tersebut.Mereka menentang tindakan-tindakan seperti privati-
sasi iman,tindakan yang berfokus mengejar keuntungan materi,penukaran
isi alkitabiah dengan psikologi populer dalam khotbah dan pengajaran, dan
tidak adanya perubahan hidup yang signifikan. Mereka menyadari bahwa pe-
mahaman kita tentang gereja harus lebih radikal dan dinamis. Dalam tiga abad
pertama, penekanan gereja bukan pada pergi ke gereja, melainkan menjadi
gereja. Gereja bukanlah sebuah gedung atau sebuah institusi,melainkan satu
tubuh yang dimiliki bersama. Dari titik awal kemunculan gerakannya,gereja
tidak dapat dikurangi menjadi perkumpulan 60 hingga 90 menit setiap ming-
gu.Sebaliknya,gereja adalah identitas selama tujuh hari dalam seminggu.
Sebagaimana arti ekklesia, 'orang-orang yang dipanggil keluar', kita diangkat
menjadi umat Allah ketika kita berpisah satu dengan yang lain, sama seperti
saat kita berkumpul.
Bagi kebanyakan orang Kristen pada masa kini, demi kenyamanan, kata
disiplin terlalu dekat dengan istilah pemuridan (disapleship).Disiplin memer-
lukan pengaturan prioritas dan pembuatan komitmen.Untuk disiplin, dibu-
tuhkan kewaspadaan dan konsistensi. Namun,jangan sampai disiplin menjadi
legalistik,penghakiman,dan ketentuan yang suram.Berbeda dengan legalisme
yang memberatkan dan tuntutan yang tidak masuk akal dari kaum Farisi,
Yesus mengundang orang yang letih untuk memikul kuk yang Ia pasang,dan
berkata bahwa beban-Nya ringan (Mat. 11:29-30). Sejauh kita berserah pada
kuk Kristus,kita akan menemukan kebebasan yang menggembirakan. Inilah
paradoks pemuridan.
Para pemimpin muda berupaya mengatasi minimnya upaya pemuridan
sebagai bagian dari gerakan munculnya gereja-gereja baru. Banyak di antara
mereka ditentukan untuk memastikan bahwa panggilan utama mereka ada-
lah"memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pem-
bangunan tubuh Kristus” (Ef. 4:12). Mereka tahu bahwa tujuan tersebut tidak
dapat dicapai hanya melalui program-program berbasis pengetahuan. Dalam
situasi ruang kelas dengan tipe seperti itu, tanggung jawab pribadi tidaklah
banyak, malah tidak sama sekali. Sebagaimana rasa frustrasi yang dialami
Greg Ogden dalam awal upaya pemuridannya,"Kecuali para murid menerima
perhatian pribadi sehingga pertumbuhan khusus mereka terpenuhi dengan
menuntut mereka untuk mati bagi dirinya dan hidup bagi Kristus,seorang
murid tidak akan dihasilkan."

MENGAMBIL KEPUTUSAN DI BAWAH TEKANAN WAKTU


Gereja bukanlah satu-satunya entitas yang berjuang dengan tabiat kepemim-
pinan yang sulit dan penuh risiko. Dalam tahun-tahun belakangan ini kursus-
kursus pelatihan kepemimpinan telah berkembang dan menjadi bisnis berni-
lai jutaan dolar. Jean Lipman-Blumen,profesor pada Drucker School of
Management yang bergengsi di Claremont,California,menggarisbawahi tan-
tangan-tantangan yang meresap dalam kepemimpinan. Ia menulis,"Seperti
embun pada waktu fajar, tuntutan perubahan kepada para pemimpin meresap
melalui setiap celah masyarakat: keluarga,sekolah,gereja,gerakan-gerakan po-
litik fundamental,perusahan-perusahaan,dan pemerintahan."2
Dalam dunia bisnis yang bergerak cepat,Lipman-Blumen menjelaskan,
para pemimpin harus bekerja dalam kerangka waktu yang lebih singkat.Per-
gerakan yang cepat ini mengurangi waktu yang dibutuhkan para pemimpin un-
tuk mengambil keputusan. Namun, tekanan untuk membuat keputusan yang
cepat,beberapa di antaranya mungkin memiliki konsekuensi yang jauh lebih
luas,sering kali berarti berkurangnya kesempatan kedua. Jika para pemimpin
mengeluarkan keputusan,sering kali keputusan itu dihasilkan secara tergesa-
gesa daripada dipikirkan dengan lebih matang, Oleh karena itu,para pemimpin
hidup dengan dilema karena memiliki pikiran untuk jangka panjang meskipun
sedang berada di bawah tekanan keras untuk berhasil dalam jangka pendek.

Anda mungkin juga menyukai