Si Bencana Alam Di Wilayah Pesisir Dan Pulau Kecil 2 PDF
Si Bencana Alam Di Wilayah Pesisir Dan Pulau Kecil 2 PDF
PEDOMAN
MITIGASI BENCANA ALAM
DI WILAYAH PESISIR DAN
PULAU-PULAU KECIL
CETAKAN KEDUA
EDISI REVISI
2005
KATA PENGANTAR
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki ribuan pulaupulau kecil dan pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada.
Karena kondisi geografis dan geologisnya, wilayah pesisir dan pulaupulau kecil di Indonesia berpotensi besar mengalami bencana alam yang
merupakan salah satu atau kombinasi bencana alam dari gempa bumi
tektonik, tsunami, angin topan/badai, banjir, gunung berapi dan tanah
longsor. Hampir seluruh kota-kota besar di Indonesia merupakan kota
pantai dengan jumlah penduduk yang besar dan kegiatan perekonomian
yang pesat. Berbagai aktivitas manusia dalam bentuk pembangunan
sektoral dan regional yang dilakukan oleh pemerintah maupun kalangan
swasta berlangsung dengan intensif dikawasan pesisir, seperti perikanan
budidaya, pelabuhan/perhubungan, pertanian, perkebunan, pemukiman,
pariwisata maupun industri. Disisi lain ekosistem pesisir sangat rentan
terhadap kerusakan dan perusakan baik secara alami oleh alam maupun
oleh aktifitas manusia. Bila pengelolaan dan pemanfaatan kawasan
tersebut tidak dilakukan dengan bijaksana, maka akan terjadi kerusakan
dan bencana alam yang sangat besar konsekuensinya. Kerusakan pesisir
baik oleh kegiatan manusia (antrophogenic), maupun peristiwa alam
(tropoghenic) dapat menimbulkan kerusakan ekosistem secara fatal.
Mencermati besarnya dampak akibat bencana di wilayah pesisir, maka
diperlukan serangkaian upaya penanggulangan dan pencegahan bencana
secara terpadu.
Widi A. Pratikto
Dalam beberapa kasus bencana alam yang terjadi seperti banjir dan
erosi, terjadi berbagai benturan kepentingan, antara upaya pelestarian
sumberdaya alam (konservasi hutan, lahan atas / upland), dengan
pertumbuhan perekonomian masyarakat (pembukaan lahan pertanian,
budidaya perikanan). Hal ini menyebabkan kompleksitas dalam
penanggulangan bencana di wilayah pesisir menjadi semakin
meningkat. Munculnya berbagai benturan kepentingan tersebut menjadi
semakin nyata dengan belum adanya kesepahaman tentang definisi
i
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR GAMBAR
vii
viii
DAFTAR ISI
BAB I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan dan Sasaran
1.3 Ruang Lingkup
1.4 Peristilahan
1
1
2
3
3
BAB II.
BAB III.
iii
8
9
10
11
15
17
17
17
18
18
iv
19
19
20
21
24
24
26
27
27
27
29
34
35
35
36
37
38
38
40
42
43
43
44
44
45
45
46
48
48
48
48
49
50
50
60
60
60
61
61
62
50
BAB IV.
63
BAB V
PENUTUP
64
51
53
53
53
54
54
54
55
56
56
56
57
57
58
58
58
59
60
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1.
Gambar 3.1.
32
Gambar 3.2.
33
vii
KEPUTUSAN
3.
1997
tentang
4.
Undang-undang Nomor
Pemerintahan Daerah;
1999
tentang
5.
6.
7.
8.
9.
Mengingat
2.
viii
22
Tahun
ix
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PESISIR DAN
PULAU-PULAU
KECIL
TENTANG
PEDOMAN
MITIGASI BENCANA ALAM DI WILAYAH PESISIR
DAN PULAU-PULAU KECIL
PERTAMA
KEDUA
KETIGA
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 21 September 2004
Direktur Jenderal Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil,
Widi A. Pratikto
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki ribuan pulaupulau kecil dan pantai terpanjang di dunia. Karena kondisi geografis
dan geologisnya, pesisir pantai dan pulau-pulau kecil di Indonesia
berpotensi mengalami bencana alam yang merupakan salah satu atau
kombinasi dari gempa bumi tektonik, tsunami, angin topan/badai,
banjir, gunung berapi dan tanah longsor, maupun oleh faktor non
alam seperti berbagai akibat kegagalan teknologi dan ulah manusia.
Kesemuanya tidak dapat diprediksi sebelumnya secara tepat kapan
terjadi di suatu wilayah tertentu. Umumnya bencana yang terjadi
tersebut menyebabkan penderitaan bagi masyarakat, baik berupa
korban jiwa manusia, kerugian harta benda, maupun kerusakan
lingkungan serta musnahnya hasil-hasil pembangunan yang telah
dicapai. Disisi lain, karena berbagai potensi yang dikandung,
wilayah pesisir pantai cenderung terus berkembang dengan populasi
yang juga terus meningkat.
RUANG LINGKUP
KESIAPSIAGAAN
MITIGASI
PEMULIHAN
PENCEGAHAN
PEMBANGUNAN
BAB II
KEBIJAKAN, STRATEGI DAN LANDASAN OPERASIONAL
MITIGASI BENCANA DI WILAYAH PESISIR
2.1
KEBIJAKAN MITIGASI
WILAYAH PESISIR
BENCANA
ALAM
DI
STRATEGI
MITIGASI
WILAYAH PESISIR
BENCANA
ALAM
DI
2.3
LANDASAN OPERASIONAL
10
2.4
11
12
2. Tujuan kedua
Mencegah kelebihan material-material yang sifatnya merusak
dan mencegah hilangnya sumberdaya akibat bencana seperti
pasang yang ekstrim, ombak besar, badai, banjir, gempa bumi,
tsunami, dan abrasi pantai.
3. Tujuan ketiga
Mengurangi dampak negatif pembangunan prasarana fisik di
daerah pesisir yang dapat merusak/mengganggu keseimbangan
ekosistem pesisir.
4. Tujuan keempat
Membantu dalam menentukan kelayakan kegiatan pembangunan
dan pemanfaatan wilayah dan sumberdaya pesisir dan laut bagi
kepentingan manusia seperti perikanan, budidaya, pelabuhan,
industri, perumahan, dan kawasan rekreasi.
Dari keempat tujuan tersebut dapat disimpulkan tujuan akhir dari
pelaksanaan pengelolaan pesisir terpadu adalah untuk memadukan
aktivitas-aktivitas pembangunan dan upaya pengelolaan yang
berbeda oleh pihak-pihak yang berbeda (masyarakat, pemerintah,
dunia usaha, dan lain-lain) dalam rangka mencapai ketiga tujuan di
atas (ekologi, pencegahan bencana, dan pemanfaatan).
Untuk mencapai tujuan tersebut maka
keterpaduan yang mencakup aspek-aspek :
diperlukan
adanya
13
14
BAB III
MITIGASI BENCANA ALAM
KAWASAN PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
15
ditinjau
dari
segi
analisis
dampak
16
3.1
17
18
19
20
BENCANA TSUNAMI
Tsunami berasal dari bahasa Jepang yaitu tsu = pelabuhan dan nami
= gelombang. Jadi tsunami berarti pasang laut besar di pelabuhan.
Dalam ilmu kebumian terminologi ini dikenal dan baku secara
umum. Secara singkat tsunami dapat dideskripsikan sebagai
gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh suatu
gangguan impulsif yang terjadi pada medium laut, seperti gempa
bumi, erupsi vulkanik atau longsoran (land-slide).
Gangguan impulsif pembangkit tsunami biasanya berasal dari tiga
sumber utama, yaitu :
21
22
m = 2,61 M - 18,44
Suatu gempa yang terjadi di dasar laut dengan magnitude M = 9,0,
akan menghasilkan magnitude tsunami m = 5,0 dengan tinggi
gelombang tsunami pantai sebesar > 32 meter dengan energi
gelombang sebesar 25,6 x 10 23 erg.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh gelombang tsunami amat beragam
dan dapat dikelompokan menjadi beberapa tipe sebagai berikut :
a.
b.
c.
Energi Tsunami
(erg)
X 10 23 erg
25,6
12,8
6,4
3,2
1,6
0,8
0,4
0,2
0,1
0,05
0,025
0,0125
0,006
0,003
0,0015
Run-up (meter)
> 32
24 32
16 24
12 16
8 12
68
46
34
23
1,5 2
1 1,5
0,75 1
0,50 0,075
0,30 0,50
< 0,30
3.2.1
23
24
tinggi
gelombang
tsunami
tersebut
kemudian
disimulasikan/dioverlay lebih lanjut dengan kondisi tata
guna, topografi, morfologi dasar laut serta bentuk dan
struktur geologi lahan pesisir.
25
26
27
kawasan
pantai
dan
2. Buatan,
a) pembangunan
breakwater,
seawall,
pemecah
gelombang sejajar pantai untuk menahan tsunami,
b) memperkuat desain bangunan serta infrastruktur
lainnya dengan kaidah teknik bangunan tahan bencana
tsunami dan tata ruang akrab bencana, dengan
mengembangkan beberapa insentif, antara lain:
Retrofitting: agar kondisi bangunan permukiman
memenuhi kaidah teknik bangunan tahan tsunami,
Relokasi: salah satu aspek yang menyebabkan
daerah rentan bencana adalah kepadatan
permukiman yang cukup tinggi sehingga tidak ada
ruang publik yang dapat dipergunakan untuk
evakuasi serta terbatasnya mobilitas masyarakat.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah
memindahkan sebagian pemukiman ke lokasi lain,
dan menata kembali pemukiman yang ada yang
mengacu kepada konsep kawasan pemukiman
yang akrab bencana.
28
29
30
Gambar 3.1. Gempa yang menimbulkan tsunami di Indonesia dari tahun 400 - 2004
31
32
3.3
BENCANA BANJIR
33
Fault
Trench
Pesisir rawan tsunami
34
3.3.1
genangan
serta
kecepatan
35
36
37
juga
ikut
38
6. pembangunan pintu-pintu air pengendali banjir di ruasruas sungai sehingga debit sungai akan sesuai dengan
kapasitas sungai.
Pemilihan jenis konstruksi dan prasarana pengendali
banjir khususnya untuk mitigasi bencana struktural
tersebut
dilakukan
melalui
tahapan
pengenalan/pengecekan
kondisi
lapangan
(reconnaissance),
penyusunan
masterplan,
studi
kelayakan rancang bangun dengan pertimbangan ekologis
dan teknis secara terpadu.
7. penghijauan (reboisasi) daerah-daerah yang rawan banjir.
8. desain komplek permukiman yang akrab bencana,
dengan memperhatikan beberapa aspek:
a) bangunan permukiman yang sesuai di daerah dataran
banjir,
b) mobilitas dan akses masyarakat pada saat terjadi
bencana,
c) ruang fasilitas umum untuk keperluan evakuasi,
d) aspek sosial ekonomi masyarakat, dan
e) pembangunan permukiman kembali yang sesuai
dengan kaidah teknik bangunan tahan bencana banjir
dan tata ruang akrab bencana dengan beberapa insentif
yang perlu dikembangkan antara lain :
Retrofitting: agar kondisi bangunan permukiman
memenuhi kaidah teknik bangunan sesuai di dataran
banjir
Relokasi: salah satu aspek yang menyebabkan
daerah
rentan
bencana
adalah
kepadatan
permukiman yang cukup tinggi sehingga tidak ada
ruang publik yang dapat dipergunakan untuk
evakuasi serta terbatasnya mobilitas masyarakat.
39
40
3.4
Pada saat terjadi gempa bumi, tanah dibawah fondasi bangunan akan
bergetar hebat secara random dalam arah 3 dimensi selama 0,5 s/d
1,5 menit dan getaran tersebut menjalar ke bangunan dia atasnya
sambil mengalami amplifikasi. Komponen percepatan getaran arah
vertikal lazimnya relatif lebih kecil dibanding komponen
horizontalnya. Akibatnya elemen-elemen pembentuk struktur
bangunan apabila tidak disambung dengan baik, cenderung akan
saling terpisahkan. Tipikal kerusakan non-engineered buildings
akibat gempa, yang menjadi pemicu keruntuhan dan lazimnya
mengakibatkan korban jiwa karena tertimpa reruntuhan bangunan,
umumnya dapat dikategorikan menjadi sebagai berikut :
a. atap cenderung
terpental,
tercabut/terlepas
dari
perletakannya
dan
41
42
j.
43
44
45
46
3.5
3.5.2
47
Kerentanan
terhadap
Angin
48
3.5.2
Ketahanan
terhadap
Angin
49
cara-cara
50
3.6
51
52
53
54
3.7
BENCANA KEKERINGAN
3.7.1
55
56
3.7.2
juga
ikut
57
2. Mengefisienkan
penggunaan air,
dan
melakukan
penghematan
58
6. Pengembangan
Kekeringan
Sistem
Peringatan
Dini
Bencana
3.8.2
BENCANA LONGSOR
Hujan
Lereng Terjal
Tanah tebal dan lembek serta batuan kurang kuat
Lahan basah
Getaran
Susut muka air danau atau bendungan
Adanya beban tambahan seperti beban bangunan
Pengikisan/erosi
Adanya material timbunan pada tebing
Bekas longsoran lama
59
60
3.8.2
61
62
BAB IV
KOORDINASI ANTAR INSTANSI
63
BAB V
PENUTUP
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 21 September 2004
WIDI A. PRATIKTO
64
15.
16.
17.
18.
Nama
Jabatan/Instansi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
65
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
66
HE, APU
40. Dr. Ir. Untung Budi S., MSc
41.
42.
43.
44.
59.
60.
61.
62.
Ir. M. Sidharta
Dra. Meinarwati, APT, M.Kes
Dr. Ir. Otto Ongkosongo, APU
Dr. Ir. Harkunti P Rahayu
67
63.
64.
65.
66.
67.
68.
68
Ucapan terima kasih dan penghargaan ini juga saya sampaikan kepada berbagai
pihak yang karena keterbatasan kami tidak dapat disebut satu per satu
sebagaimana di atas.
Tersusunnya Pedoman ini tidak lepas dari partisipasi aktif berupa kritik maupun
saran-saran yang sangat bermanfaat dalam penyempurnaan materi yang telah
diberikan oleh saudara-saudara sekalian. Semoga usaha dan kerja keras Saudara
dapat bermanfaat bagi terlaksananya program pengembangan pesisir dan pantai
di Indonesia dan membantu dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat
pesisir.
DIREKTUR JENDERAL
PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
KEPUTUSAN
DIREKTUR JENDERAL PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
NOMOR : SK 25A /P3K/V/2003
TENTANG
PEMBENTUKAN TIM
PENYUSUN PEDOMAN UMUM
MITIGASI BENCANA DI WILAYAH PESISIR
DIREKTUR JENDERAL PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL,
Menimbang
WIDI A. PRATIKTO
Mengingat
1.
2.
3.
69
70
Menetapkan
PERTAMA
KEDUA
b. Melakukan
evaluasi
terhadap
pelaksanaan tugas tim pelaksana.
4.
KETIGA
KEEMPAT
KELIMA
2. Tim Pelaksana :
a. Menyusun sistem monitoring dan evaluasi
kegiatan-kegiatan yang bersifat teknis.
b. Melaksanakan pengumpulan data dan informasi
yang berkaitan dengan Mitigasi Bencana Alam di
Wilayah Pesisir.
c. Mempersiapkan rancangan Prosedut Tetap
Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir.
d. Melakukan koordinasi dengan instansi terkait
e. Menyusun guidelines dan arahan dalam
pelaksanaan kegiatan yang membutuhkan
tinjauan secara teknis;
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada
diktum KEDUA, Tim Teknis bertanggung jawab kepada
Dirjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Tim Pelaksana
Bertanggung Jawab kepada Direktur Bina Pesisir.
Masa kerja Tim Teknis dan Tim Pelaksana sebagaimana
dimaksud pada diktum PERTAMA adalah 6 (enam) bulan
sejak ditetapkan Keputusan ini.
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di
Pada tanggal
: Jakarta
: 19 Mei 2003
Widi A. Pratikto
1. Tim Teknis :
a. Memberikan dukungan, masukan dan bimbingan
teknis bagi semua instansi terkait dalam
pelaksanaan kegiatan;
71
laporan
72
12.
Anggota
13.
Drs. Sunaryo
Direktur BMG
Anggota
Anggota
14.
TIM PELAKSANA
PENGARAH
Direktur Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
No.
NAMA
JABATAN/INSTANSI
2.
Anggota
3.
Anggota
Sekretaris
4.
Anggota
5.
Anggota
6.
Anggota
7.
Anggota
8.
Anggota
9.
Anggota
10.
KEDUDUKAN
2.
4.
Angota
5.
Angota
6.
Anggota
Anggota
8.
9.
10.
11.
Narmoko Prasmadji, SH
Ketua
Wakil Ketua
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
73
Ketua
7.
KEDUDUKAN
1.
3.
JABATAN/INSTANSI
1.
TIM TEKNIS
No.
NAMA
74
Anggota
11.
Anggota
12.
Anggota
13.
Kepala Laboratorium
Manajemen dan Rekayasa
Konst. FT ITB
Anggota
14.
Anggota
15.
Dr. Fauzi
Anggota
16.
Anggota
17.
Anggota
18.
Anggota
19.
Anggota
20.
Anggota
21.
Dr. Ir.I.Handoko
Biotrop
Anggota
22.
Bakosurtanal
Anggota
Ditetapkan di
Pada tanggal
: Jakarta
: 19 Mei 2003
Widi A. Pratikto
75