Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tubo-ovarian abscess atau disebut juga dengan abses tuba ovarium (TOA)
adalah akumulasi suatu keadaan penyakit inflamasi akut pelvis di mana kondisi
tersebut dikarakteristikan dengan adanya massa pada dinding pelvis yang mengalami
inflamasi.2,15,22,29 Sepertiga sampai setengah pasien dengan ATO mempunyai riwayat
penyakit pelvic inflammatory disease (PID). Abses tubo ovarium merupakan salah
satu komplikasi akut dari PID (Pelvic inflammatory disease). Abses ini pada
umumnya terjadi pada wanita usia produktif dan biasanya merupakan kelanjutan dari
infeksi saluran genital bagian bawah. Abses tubo ovarium berhubungan erat dengan
PID (Pelvic inflammatory disease). PID disebabkan oleh mikroorganisme yang
menghuni endoserviks kemudian naik ke endometrium dan tuba fallopi. Abses tubo
ovarium merupakan end-stage process dari PID akut. Abses tubo ovarium terjadi
sekitar 18-34% pada pasien dengan PID dan 22% dengan salpingitis.9
Abses tubo ovarium umumnya disebabkan oleh mikroorganisme umum yang
menjadi penyebab STD (sexually transmitted diseases), berhubungan seks dengan
partner yang memiliki agen infeksius ini merupakan faktor risiko yang sangat penting
dalam terjadinya Abses tubo ovarium. 3 Selain itu, operasi ginekologi, kanker organ
genital (genital malignancy), IVF treatment, dan apendisitis yang mengalami
perforasi juga diketahui menjadi penyebab abses tubo ovarium. PID dan ATO
merupakan infeksi dari polymicrobial bakteri aerobic dan anaerobic. Di mana
Neissheria gonorrhoeeae dan klamidia trakomatis merupakan bakteri yang berperan
dalam hal ini menginfeksi abses. Namun lebih banyak bakteri yang berperan adalah
Escherisia koli dan spesies dari Batroides.4,10,18

Abses Tuba Ovarium yang merupakan komplikasi dari PID terjadi pada sekitar
15% kasus dan 33% kasus PID yang akhirnya menjadi ATO. Kematian akibat ATO
sangat menurun dengan dratis selama 50 tahun ini. Namun, angka kesakitan
(morbidity) yang berhubungan dengan ATO meningkat secara signifikan dengan
komplilasi termasuk infertilitas, kehamilan ektopik, chronic pelvic pain, pelvic
thrombophlebitis dan ovarian vein thrombosis.11,19
Diagnosis abses tubo ovarium sering sulit ditegakkan dan sulit dibedakan
dengan peradangan pelvis oleh sebab-sebab yang lain, sehingga dibutuhkan
anamnesa, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang yang tepat untuk dapat
menegakkan diagnosis pasti dan memberikan terapi yang tepat pula. Dan bila tidak
ditangani dengan baik, komplikasinya dapat menyebabkan kematian, kemandulan dan
kehamilan ektopik yang merupakan masalah medik, sosial dan ekonomi.11,19
Keterkaitan antara penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) dan
ATO telah menjadi masalah yang besar bagi klinisi reproduksi. Abses yang meliputi
ovarium dan tuba fallopi memang sering muncul sebagai akibat dari PID. Akan tetapi
ATO dapat juga akibat operasi pelvis atau sebagai komplikasi proses intraabdominal
seperti apendisitis atau diverkulitis. Oleh karena tingginya insiden PID dan beratnya
sekuele yang terjadi, jika penggunaan IUD meningkatkan risiko PID, maka akibat
yang ditimbulkannya di masyarakat tentu sangat besar.11,19
Kebanyakan ATO berespon terhadap terapi antibiotika, diindikasikan sekitar
25% kasus pembedahan atau drainase. Terdapat beberapa bukti bahwa ukuran dari
ATO berhubungan dengan kebutuhan akan antibiotika sebagai intervensi. Reed dkk
1991, mengatakan bahwa 35% abses dengan ukuran 7-9cm memerlukan tindakan
pembedahan dan hampir 60% abses dengan ukuran >10cm dilakukan tindakan
pembedahan.10,11,19
Penanganan standar kasus ATO pada awal abad ke-20 adalah dengan
perawatan konservatif. Akan tetapi dengan angka mortalitas yang mencapai 90%
maka tindakan pembedahan yaitu dengan laparotomi emergensi untuk drainase dan
reseksi abses dan jaringan sekitar yang terinfeksi dapat menurunkan mortalitas hingga
sekitar 10%.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tubo-ovarian abscess atau disebut juga dengan abses tuba ovarium (ATO)
adalah akumulasi suatu keadaan penyakit inflamasi akut pelvis di mana kondisi
tersebut dikarakteristikan dengan adanya massa pada dinding pelvis yang mengalami
inflamasi. Sepertiga sampai setengah pasien dengan ATO mempunyai riwayat Pelvic
inflamasi disease (PID). 2,15,18,22
Abses tuboovarium (pelvis) terbentuk bila tuba yang terinfeksi melekat dengan
ovarium sehingga muncul proses peradangan tuba dan ovarium. Abses tubo ovarium
dapat terjadi sebagai akibat dari infeksi pelvis puerperalis atau sebagai suatu
komplikasi dari pembedahan pelvis, maupun dari penyebaran ke ovarium organismeorganisme piogenik. Akumulasi pus yang banyak menimbulkan pembentukan massa
yang sangat nyeri, tidak dapat digerakkan, batas tidak jelas di dalam regio adneksa
atau di dalam kavum douglasi.
2.2 Etiologi
Terdapat sejumlah organisme penyebab yang dapat menyebabkan infeksi pada
ovarium dan tuba fallopi. Organisme yang ditemukan pada ATO juga ditemukan pada
PID, yaitu infeksi campuran polimikrobal dengan prevalensi tinggi mikroba anaerob.
Spesies streprokokus, escherecia coli dan organisme enterik gram negatif lain juga
sering ditemukan. Kuman anaerob yang sering ditemukan adalah bakterioides dan
prevotela, prophyromonas serta peptostreptokokus. Gonokokus jarang ditemukan
pada ATO walaupun sering dijumpai pada PID.4,10,11,17
Sejumlah organisme lain ditemukan dalam laporan kasus ATO di beberapa
studi, seperti Pseudomonas aeruginosa dan aktinomises. Organisme yang jarang
seperti Pasteurella multocida, salmonella enteritidis, candida spp serta kriptokokus
neoforman juga ditemukan sebagai penyebab ATO pada beberapa kasus. 4,10,11,17

2.3 Epidemiologi
Abses tuba ovarium (ATO) yang merupakan komplikasi dari PID terjadi pada
sekitar 15% kasus dan 33% kasus PID yang akhirnya menjadi ATO. Kematian
akibat ATO sangat menurun dengan dratis selama 50 tahun ini. Namun, angka
kesakitan (morbidity) yang berhubungan dengan ATO meningkat secara signifikan
dengan komplilasi termasuk infertilitas, kehamilan ektopik, chronic pelvic pain,
pelvic thrombophlebitis dan ovarian vein thrombosis.1,4,15,18
Perkiraan insiden tahunan abses pelvis oleh karena berbagai penyebab di
Amerika Serikat mencapai sekitar 100.000 kasus pertahun. ATO umumnya terjadi
pada wanita umur 20 hingga 40 tahun. Lebih tua dari pada puncak prevalensi pelvic
inflamasi disease (PID). Alat kontrasepsi IUD dilaporkan berhubungan dengan
peningkatan risiko ATO. 1,4,15,18
2.4 Anatomi dan Fisiologi Uterus
Uterus atau rahim berfungsi sebagai tempat implantasi ovum yang
terfertilisasi dan sebagai tempat perkembangan janin selama kehamilan sampai
dilahirkan. Uterus terletak anterior terhadap rectum dan posterior terhadap urinary
bladder. Berbentuk seperti pear terbalik. Bentuk dan ukuran uterus sangat berbedabeda tergantung usia dan pernah melahirkan atau belum. Ukuran uterus pada wanita
yang belum pernah hamil (nullipara) adalah panjang 7,5 cm, lebar 5 cm dan tebal 2,5
cm. Pada wanita yang sudah pernah hamil, ukuran uterus lebih besar, sedangkan pada
wanita yang sudah menopause, ukuran uterus lebih kecil karena pengaruh hormon
seks yang menurun.
Uterus terbagi dalam 2 bagian besar, yaitu :
a.

Body (corpus), adalah bagian uterus (2/3 superior uterus) yang melebar, terletak
di antara kedua lembar ligmentum latum, tidak dapat digerakkan, terdiri atas:
o Fundus, adalah bagian uterus yang berbentuk seperti kubah berada di
bagian superior dan tempat dimana terletaknya superior uterine tube
o

orifice.
uterine cavity

o
b.

Isthmus, adalah bagian yang agak mengkerut/mengecil, letaknya sedikit

agak di cervik
Cervik adalah bagian uterus (1/3 inferioruterus) yang lebih sempit berbentuk
seperti tabung yang dekat dengan vagina yang berisi cervical canal, cervical
canal yang menghadap ke luar disebut internal os (pars supravaginalis cervicis),
sedangkan cervical canal yang menghadap ke luar disebut dengan external os
(portio vaginalis cervicis).

Gambar 2.1 Anatomi Uterus


Struktur penyokong uterus terdiri atas:
a. M. levator ani dan urogenital diaphragm
b. Ovariant Ligament (lig. Ovarii proprium): menghubungkan ujung proksimal
c.

ovarium pada sudut lateral uterus, tepat di bawah tuba uterine.


Broad Ligament (lig. Latum uteri) : terisi oleh jaringan ikat longgar
(parametrium) tempat berjalannya arteri dan vena uteri, pembuluh lymph, ureter.
Fungsinya untuk menetapkan kedudukan uterus. Terletak disebelah lateral uterus
kanan kiri kemudian meluas dan melebar sampai mencapai dinding lateral pelvis
dan dasar pelvis seolah-olah menggantung pada tuba. Broad ligament terdiri dari
mesometrium (bagian utama yang melekat pada uterus), mesosalpinx (terletak
5

antara ovarium, ovarian ligament dan tuba uterine), dan mesovarium (tempat
d.

ovarium melekat).
Suspensory Ligament (lig. Infundibulo pelvicum) : terletak disebelah lateral
broad ligament, mengikat ovarium dan infundibulum ke bagian lateral pelvic

e.

cavity sehingga menggantungkan uterus pada dinding pelvis.


Round Ligament (lig. Teres uteri / lig. Retundum) : melekat pada bagian bawah
depan dari tempat masuknya tuba uterine ke dalam uterus dan akan berjalan ke
lateral depan. Fungsinya untuk mempertahankan uterus dalam posisi anteversio
dan antefleksio (normal) serta pada saat kehamilan akan menahan uterus pada

f.

posisi tegak.
Cardinal Ligament (lig. Transversum cervicis / lig. Cervical lateral) : melekat
pada cervik dan vagina atas (lateral part dari fornix vagina) kemudian menuju ke

g.

dinding lateral pelvis.


Uterosacral Ligament (lig. Sacrouterinum / lig. Recto uterinum) : melekat pada

h.

os. Sacrum dan pada peralihan corpus menuju cervix.


Pubocervical ligaments

2.4.1 Topografi Uterus


Letak uterus secara anatomis berbatasan dengan organ-organ lain, pada bagian
superior uterus berbatasan dengan colon, sigmoid, ileum. Inferior berbatasan dengan
vesica urinary, vagina. Posterior berbatasan dengan

rectum. Lateral berbatasan

dengan ureter, tuba uterine, ovarium, dan dextra uterus berbatasan dengan ceacum,
appendix.

Gambar 2.2 Topografi Uterus


2.4.2 Vaskularisasi dan Venous Drainage
Uterus di perdarahi oleh arteri Uterina yang merupakan cabang dari internal
iliac artery, kemudian arteri uteri bercabang menjadi arcuate artery Radial artery
Straight arterioles (supply stratum basalis) dan Spiral arteriola (supply stratum
functionalis) uterine veins internal iliac veins.
Innervasi pada uterus terutama diinnervasi oleh sympathetic nerve dan
splanchic nerve, visceral afferent nerve dari uterus dan ovarium bersama simpatik
fiber ke T12, L1 dan L2. Innervasi Parasimpatik pada S2, S3, S4 pelvic splanchnic
nerve uterus dan vagina, Afferent (rasa sakit dari vagina dan uterus) pudendal
nerve. Lymphatic drainage lymph dari cervix nodus hypogastricus Lymph dri
corpus uterus menuju nodus iliaca internal dan nodus limfticus peraorta
Sedangkan tuba uterina divaskularisasi oleh tubal branches yang merupakan
cabang dari ovarian arteri dan uterine artery. Pada vagina divaskularisasi oleh vaginal
arteri yang merupakan cabang dari uterine artery selain itu juga vagina
7

divaskularisasi oleh internal pudendal arteri. Untuk uterus sendiri divaskularisasi oleh
uterine artery. Uterine artery sendiri berasal dari internal iliac artery yang
merupakan percabangan dari common iliac artery. Common iliac artery sendiri
adalah percabangan langsung dari abdominal aorta. Pada uterus, uterine artery
bercabang menjadi dua, yaitu arcuate artery yang memvaskularisasi otot polos
sirkular miometrium dan radial artery yang memvaskularisasi bagian miometrium
yang lebih dalam. Sebelum masuk ke endometrium, radial artery bercabang menjadi
dua, yaitu straight arteriols yang memvaskularisasi ke bagian stratum basalis dan
spiral arteriols yang memvaskularisasi ke bagian stratum fungsionalis.
Sebagai drainasenya terdapat plexus vagina dari vagina, pampiniform plexus dari
ovarium dan plexus uterine dari uterus. Yang nantinya akan menyatu menjadi vagina
vein, pampiniform vein dan bersatu menjadi uterine vein.

Gambar 2.3 Vaskularisasi Uterus


Anatomi Dan Fisiologi Tuba Ovarium
Tuba fallopii adalah saluran ovum yang memiliki panjang bervariasi
antara 8 hingga 14 cm dan ditutup oleh peritonium serta lumennya dilapisi
8

oleh membran mukosa. Tuba terbagi menjadi 4 bagian, yakni pars interstitial,
ismus, ampula, dan infundibulum. Tuba berfungsi untuk menyalurkan ovum
dari ovarium menuju uterus.
Ovarium merupakan bagian dari organ reproduksi wanita bagian
dalam. Ovarium berjumlah dua buah dan terletak di kiri dan kanan. Ovarium
ke arah uterus bergantung pada ligamentum infundibulo pelvikum dan
melekat pada ligamentum latum melalui mesovarium.
2.5 Patogenesis
Abses tuba ovarium (ATO) primer umumnya sebagai komplikasi PID, selain
karena operasi pelvis. Infeksi pelvis bukan merupakan komplikasi umum akibat
pengobatan hormonal untuk infertilitas (0,4% dari 1500 kasus pengambilan oosit
transvaginal pada sebuah studi, tetapi ATO dapat ditemukan pada beberapa pasien
dengan hiperstimulasi ovarium). ATO sekunder berasal dari perforasi usus
(apendisitis, diverkulitis) dengan penyebaran infeksi intraperitonial, atau akibat
keganasan pelvis. Penggolongan klinis antara ATO primer dan sekunder kadang
sangat sulit. ATO primer merupakan diagnosis umum pada wanita premenopausal,
akan tetapi pada wanita pasca menopause, adanya keganasan ginekologi atau patologi
pelvis lain penyebab ATO sekunder tidaklah umum dan harus segera disingkirkan.1
Pelvic inflamasi disease (PID) berasal dari penyebaran patogen melalui lumen
organ reproduksi dan kedalam kavum peritonial pelvis melalui ostium tuba. Jika
mikroorganisme tidak dapat diatasi oleh imunitas tubuh atau pengobatan medis maka
akan merusak jaringan tubuh. Infeksi permukaan, aglutinasi,dan abses terbentuk saat
bakteri, leukosit dan cairan terakumulasi pada suatu ruangan tertutup. Perfusi abses
ke dinding dalam sangat berbahaya, menimbulkan lingkungan anaerobik sehingga
kuman anaerobik asli ataupun fakultatif dapat berkembang biak.1
Ovarium dapat melekat dengan fimbrie dari tuba yang terinfeksi (pyosalphing)
dan menjadi dinding abses, atau infeksi ovarium primer, yang dapat berlanjut menjadi
abses. Usus, peritonium parientale, uterus dan omentum biasanya menjadi melekat.

Abses dapat membesar dan mengisi kavum douglas, atau bocor dan menimbulkan
abses metastasis.1
Jika pertahanan tubuh mampu mengatasi, maka infeksi kemudian menjadi
steril. Proses ini mencakup drainase spontan ke dalam celah viskus. Akan tetapi, jika
terjadi ruptur intraperitonial, infeksi dapat menyebar cepat dan timbul bakteremia.
Pembentukan abses merupakan keadaan terakhir pertahanan tubuh dan infeksi yang
mencapai keadaan ini sangat berat dan berbahaya. ATO merupakan bentuk
komplikasi paling berbahaya dari PID.1
2.6 Manifestasi Klinis
Nyeri abdomen merupakan gejala yang paling khas, cenderung memberat,
konstan dan difus disekitar abdomen bagian bawah. Karena peritonitis meluas, area
rasa nyeri menjadi lebih luas, nyeri maksimum cenderung terlokalisir pada tempat
abses. Perdarahan per vaginam, spotting dan secret merupakan gejala variable yang
dapat

menunjukan

adanya

disfungsi

ovarium,

endometritis

penyerta

atau

servisitis.1,5,10,20
Gejala-gejala penyerta meliputi demam, menggigil, anoreksia, nausea dan
vomitus. Nyeri sewaktu defekasi atau diare memberikan kesan keterlibatan rectum.
Disuria sering kencing piuria atau hematuria memberi kesan keterlibatan vesika
urinaria. 1,5,10,20
Pada pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri pelvis, nyeri lepas dan defance
muscular merupakan penemuan yang khas untuk peradangan peritoneum. Bising usus
sering hipoaktif atau tidak ada, distensi disebabkan oleh ileus paralitik. Abses pelvis
yang besar dapat terpalpasi pada abdomen. 1,5,10,20

Sistem Skoring pada Abses Tubo-Ovarian17


Tanda
Suhu Tubuh
Denyut/menit

(0-10)
<37
<90

(11-20)
37-37,5
90-100

(21-30)
>37,6
>100

10

Bising Usus
Nyeri

Normal
(+)

Minimal
(++)

Tidak ada
(+++)

(++)
(++)
4-6 cm
10.000-20.000
20-30
15-20

(+++)
(+++)
6-10 cm atau lebih
>20.000
>30
>20

Pergerakan
Serviks
Nyeri Uterus
(+)
Nyeri Adneksa
(+)
Ukuran Adneksa
<4 cm
Leukosit/mm3
<10.000
ESR (mm/h)
<20
CRP(mg/dl)
<15
Setiap parameter dinilai terpisah.
0-10 = 1 poin
11-20 = 2 poin
21-30 = 3 poin
Bila total skoring > 30 poin = ofloksasin (400 mg/12 jam) ditambah metronidazole
(500 mg/8 jam) IV.
Bila total skoring < 30 poin = ampisilin (1 gr/6 jam), klindamisin (900 mg/8 jam) dan
gentamisin (1,5 mg/kg/8 jam diikuti loading dose hingga 2 mg/kg) dikombinasi IV.
2.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang utama atau gold standard

yang dapat digunakan

untuk membantu menegakkan diagnosis Abses tuba ovarium (ATO) adalah


ultrasonografi (USG). Pada beberapa literatur mengatakan bahwa sensitifitas dan
spesifisitas USG dalam menegakkan diagnosis ATO adalah 82% dan 91%.1,4,10
USG memiliki kelebihan yaitu ketersediaan, kemudahan dan cepat digunakan,
serta lebih aman bagi pasien karena tidak menghasilkan radioaktif dan lebih murah
dibandingkan dengan pemeriksaan pencitraan lainnya seperti, CT-Scan maupun MRI.
1,4,10

Gambaran ATO yang tampak pada USG berupa gambaran homogen, kadang
simetris, kistik, dinding tipis, berbatas tegas. Kadang gambaran udara mungkin
terlihat bersepta terutama pada ATO multilokasi. Pemeriksaan USG ini sendiri
diindikasikan pada pasien curiga PID, pasien dengan massa yang dapat teraba di

11

daerah adneksa, serta adanya nyeri tekan atau faktor lain yang menghalangi
pemeriksaan rektovaginal dilakukan untuk menyingkirkan adanya ATO. 1,4,10
2.7 Diagnosis Banding4
Diagnosis banding pada pasien yang dicurigai ATO meliputi tumor adneksa,
appendisitis, kehamilan ektopik, endometriosis, sistitis interstitial, kista ovarium,
torsio ovarium. Semua diagnosis banding di atas memiliki gejala yang mirip dengan
ATO, meskipun PID dapat terjadi pada pasien dengan massa adneksa yang tidak
berhubungan dengan infeksi, seperti dermoid yang dapat mempengaruhi diagnosis.
2.8 Penatalaksanaan6,10,11,15
Curiga ATO utuh tanpa gejala :

Antibotika dengan masih dipertimbangkan pemakaian golongan :


doksiklin 2x / 100 mg /hari selama 1 minggu atau ampisilin 4 x 500

mg / hari, selama 1 minggu.


Pengawasan lanjut, bila massa tak mengecil dalam 14 hari atau
mungkin membesar adalahindikasi untuk penanganan lebih lanjut
dengan kemungkinan untuk laparatomi.

b. ATO utuh dengan gejala :

Masuk rumah sakit, tirah baring posisi semi fowler, observasi ketat
tanda vital danproduksi urine, periksa lingkar abdomen, jika perlu

pasang infuse P2
Antibiotika massif (bila mungkin gol beta lactar) minimal 48-72
jamGol ampisilin 4 x 1-2 gram IV 5-7 hari dan gentamisin 5 mg / kg
BB / hari,IV/im terbagi dalam 2x1 hari selama 5-7 hari dan metronida
xole 1 gr reksup 2x / hari atau kloramfenikol 50 mg / kb BB / hari, IV
selama 5 hari metronidzal atau sefaloosporingenerasi III 2-

3x/1gr/sehari dan metronidazol 2 x1 gr selama 5-7 hari


Pengawasan ketat mengenai keberhasilan terapi
Jika perlu dilanjutkan laparatomi, SO unilateral, atau pengangkatan
seluruh organ genetaliainterna.

12

c. ATO yang pecah, merupakan kasus darurat :

Dilakukan laporatomi pasang drain kultur nanah


Setelah dilakukan laparatomi, diberikan sefalosporin generasi III dan
metronidazol 2 x 1 gr selama 7 hari (1 minggu)

Pemberian antibiotika yang poten, penegakkan diagnosis dan penanganan


medis sedini mungkin, memberikan outcome yang baik pada pasien. Umumnya para
klinisi merekomendasikan sekurang-kurangnya waktu 24 jam observasi bagi pasien
dengan abses tuboovarial. 6,10,11,15
Hingga saat ini sebenarnya belum ada standar terapi untuk ATO. Akan tetapi
beberapa ahli merekomendasikan terapi medikamentosa yang meliputi antimikroba
untuk bakteri anaerob. Angka keberhasilan terapi dengan pemberian 2 janis antibiotik
yang dikombinasi mencapai sekitar 90%. Rekomendasi terbaik adalah dengan
pemberian ceftriakson dan doksisiklin atau gentamisin dan klindamisin dimana
kombinasi keduanya memiliki efektivitas hingga 91% sedangkan kombinasi
gentamisin dan metronidazole memiliki efektivitas yang sedikit lebih rendah
dibandingkan dengan dua kombinasi diatas yaitu 89%.6,10,11,15
Pada pasien yang menunjukkan hasil yang baik terhadap protokol
medikamentosa ini, maka antibiotika ini harus dilanjutkan selama 10-14 hari.
Evaluasi harus terus dilakukan setiap minggu selama 3-4 minggu berikutnya. 6,10,11,15
Jika terapi medikamentosa gagal atau ditemukan abses besar, maka prosedur
drainase perlu dilakukan meskipun tatalaksana pembedahan masih menjadi
kontroversi hingga saat ini. Beberapa teknik drainase yang dapat dilakukan antara
lain: 6,10,11,15
a.

Drainase transvaginal
Tindakan drainase ini dilakukan dengan menggunakan arahan USG atau
laparoskopi. Tindakan ini dilakukan dengan memberikan jalur langsung dari
vagina ke dalam kavum douglas atau regio adneksa dimana abses biasanya
terlokalisasi. Ukuran abses atau adanya multilokaritas tidak mempengaruhi angka
kesuksesan dari drainase transvagina. Aspirasi dengan arahan USG memiliki

13

efektifitas tinggi, terlebih jika dilakukan segera setelah diagnosis ditegakkan saat
cairan abses sedikit kental.

Gambat 2.4 Teknik Drainase Transvaginal


b.

Drainase laparoskopi
Penggunaan laparoskopi sebelum pemasangan drainase merupakan pendekatan
alternatif. Beberapa studi menjelaskan bahwa drainase laparoskopi dengan
pemberian antibiotika sebagai terapi awal mampu menyembuhkan 95% pasien

c.

ATO.
Drainase pembedahan
Tindakan drainase cavum douglas dengan insisi kolpotomi telah digunakan
selama beberapa tahun sebelumnya. Akan tetapi prosedur ini tidak boleh
dikerjakan kecuali abses teraba pada linea mediana, melekat pada dinding
vagina, dan mengisi sepertiga atas septum rektovaginal. Namun tindakan
drainase ini kurang disukai karena beberapa laporan berhubungan dengan
tingginya komplikasi kematian, dan angka reoperasi untuk infeksi lanjutan.

2.9 Komplikasi
Komplikasi

potensial

harus

diantisipasi

sebelum

operasi,

mencakup

pembentukan kembali abses, perforasi usus, endokarditis dan lainnya. Laparotomi


dengan insisi vertikal harus segera dikerjaan untuk mengambil semua jaringan yang

14

terinfeksi pada pelvis. Jika infeksi pelvis tidak dapat diatasi dengan cara ini atau jika
terdapat bukti adanya sepsis (hipotensi dan disfungsi dua atau lebih sistem organ),
yang dapat terjadi kapanpun selama terapi dengan atau tanpa ruptur abses
intraperitonial. Jika diperlukan pemeriksaan terhadap penyebaran abses harus
dilakukan meliputi saluran cerna dan spatium subprenik dan subhepatik.

2.10 Prognosis
a. ATO yang utuh
Pada

umumnya

prognosa

baik,

apabila

dengan

pengobatan

medidinaslis tidak adaperbaikan keluhan dan gejalanya maupun pengecilan


tumornya lebih baik dikerjakanlaparatomi jangan ditunggu abses menjadi
pecah yang mungkin perlu tindakan lebih luas. Kemampuan fertilitas jelas
menurun

kemungkinan

reinfeksi

harus

diperhitungan

apabilaterapi

pembedahan tak dikerjakan.


b. ATO yang pecah
Kemungkinan septisemia besar oleh karenanya perlu penanganan dini dan
tindakan pembedahan untuk menurunkan angka mortalitasnya.

BAB III
KESIMPULAN
Tubo-ovarian abscess atau disebut juga dengan abses tuba ovarium (ATO)
adalah akumulasi suatu keadaan penyakit inflamasi akut pelvis di mana kondisi
tersebut dikarakteristikan dengan adanya massa pada dinding pelvis yang mengalami
inflamasi. Penatalaksanaan dilakukan dengan pemberian antibiotika dan tindakan
drainase jika diperlukan.

15

DAFTAR PUSTAKA
1. Agrawal A. 2015. Pelvic Inflammatory Disease and Tubo-Ovarian Abscess.
www.emedscape.emedicine.com updated February 27th 2015.
2. Silva F., Silva J., Rocha I., Brito T., Paredes E., Ramalho G., et all. (2015).
Surgical approach of tubo-ovarian abscesses from theory to our minimally
invasive practice. Gynecology and Minimally Invasive Therapy.(4):72-75.
3. Sexually
Transmitted
Diseases
Treatment
Guidelines.
2010.
www.cdc.gov/std/treatment Accessed on August 24th 2016
4. Sheperd SM. Pelvic Inflammatory Disease. www.emedscape.emedicine.com
updated September 28th 2015.
5. Velcani A., Conklin P., Specht N. (2010). Sonographic features of tuboovarian abscess mimicking an endometrioma and review of cystic adnexal
masses. Journal of Radiology Case Report. 4 (2): 9-17.
6. Sheperd SM. Pelvic Inflammatory Disease Treatment and Management.
www.emedscape.emedicine.com updated September 28th 2015
7. Sheperd
SM.
Pelvic
Inflammatory
Disease
www.emedscape.emedicine.com updated September 28th 2015
8. Kumar
R.
Pelvic
Inflammatory
Disease
Empiric

Medication.
Therapy.

www.emedscape.emedicine.com updated June 1st 2016

16

9. Chandra S. Obstetrician Gynecologist and Laparoscopic Surgeon Pluit


Hospital Jakarta Indonesia.
10. Wasco EC., Lieberman G., Tubo Ovarian Abscess. (2003).
11. Cengiz H., Dadeviren H., Ekin M., Kaya C., Yldz S., Yaar L. (2012).
Surgical management of tuboovarian abscess: Results of retrospective case
series. Journal of Clinical and Experimental Investigations. 3 (4) : 463-466
12. Buchweitz O., Malik E., Kressin P., Meyhoefer-Malik A., Diedrich K. (2000).
Laparoscopic management of tubo-ovarian abscess. Surgical Endoscopy
Ultrasound and Interventional Techniques. 14:948-950.
13. Nehzat C, Siegler A, Nehzat F, Nehzat G, Seidman D, Luciano A. 2000.
Operative Gynecologic Laparoscopy Principles and Techniques. Operation on
the Fallopian Tube. Second Edition. McGraw Hill: United States.
14. Goh WC., Beh ST., Chern B., Yap LK. (2002). A Three Year Review on
Surgical Treatment of Tubo Ovarian Abscess. Med J Malaysia. 57 (3): 292297.
15. Shah RC., Shah JM., Mehta MN. (2013). Laparoscopic management of an
endometrioma complicated by an ovarian abscess. International Journal of
Reproduction, Contraception, Obstetrics an Gynecology. 2(3): 473-474.
16. Doganay M., Iskender C., Kilic S., Karalalcin R., Moralioglu O., Kaymak O.,
et all. (2011). Treatment approaches in tubo-ovarian abscess according to
scoring system. 112 (4): 200-203.
17. Senayli A., Demir R., Bostanci SA., Agirbas G., Ozorun C., Senel E. (2015).
Satisfying Result of Laparoscopy for Pelvic Infllamatory Disease in an
Adolescent Girl. Pediatric Practice and Research. 5(1):5-7
18. Silva F., Castro J., Gdinho C., Goncalves J., Ramalho G., Valznite F. (2015).
Minimally Invasive Approach of tubo-ovarian abscesses. Rev Bras Ginecol
Obstet. 37(3):115-118.
19. Ngu SF., Cheung VYT. (2011). An Update on the Management of Acute
Pelvic Inflammatory Disease. The Hongkong Medical Diary. 16 (10): 9-11.
20. Ana IP. (2015). The Most Important Emergency Laparoscopy in Gynecology;
A Systematic Literature Review.
21. Pines, G., Klein Y., Arie AB., Machlenkin S., Kashtan H. (2005). Small Bowel
Obstruction due to Tubo-Ovarian Abscess. 10:481-482.

17

22. Lee SW., Rhim CC., Kim JH., Lee SJ., Yoo SY., Kim SY., et all. (2015).
Predictive Markers of Tubo-Ovarian Abscess in Pelvic Inflammatory Disease.
Gynecology and Obstetric Investigation Original Article. 1-8.
23. Cheong LHA., Emil S. Non-sexually transmitted tubo-ovarian abscess in an
adolescent. J Ped Surg Case Reports. 378-380.

18

Anda mungkin juga menyukai