Anda di halaman 1dari 3

TINJAUAN PUSTAKA

Diagnosis dan Tata Laksana Ensefalitis


Herpes Simpleks
Imanuel Taba Parinding
Dokter Umum RSUD Kota Bekasi

PENDAHULUAN
Beberapa jenis virus yang dapat menginfeksi
susunan saraf pusat (SSP) manusia, di antaranya HIV ( HIV-1 dan HIV-2), Herpes Simplex Virus
(HSV-1 dan HSV-2), Cytomegalovirus (CMV),
Varicella Zoster Virus (VZV), dan Dengue Virus.1,2
Makalah ini membahas ensefalitis herpes
simpleks yang masih merupakan salah satu
penyebab utama infeksi viral SSP di dunia.1,3,4
HSV cenderung menempati bagian medial lobus temporal, merusak neuron, sel glia, mielin,
dan pembuluh darah, dapat menimbulkan
gejala dan gambaran EEG khas; penyakit ini
cukup responsif terhadap pengobatan apabila diagnosis telah ditegakkan. Pada beberapa
kasus HIV yang akhirnya menjadi AIDS, dapat
menyebabkan nekrosis fokal di seluruh bagian
permukaan serebrum.1-4

lempeng kribriformis dan sinapsis dengan


bulbus olfaktorius. Jalur potensial lain yaitu
melalui nervus trigeminalis dan ganglion
Gasseri. Penyebaran hematogen juga dapat
terjadi, virus melewati sawar darah otak dan
plexus choroideus, bersamaan dengan migrasi limfosit menuju daerah glial dan vaskular, yang harusnya steril. Dalam mekanisme
infeksi virus secara selular, terdapat nekrosis
substansia alba dan grisea, khususnya di inferomedial dari lobus temporal.1-4 Di tingkat jaringan, terjadi kongesti meningeal dan infiltrasi mononuklear, nekrosis perivaskular dengan
kerusakan mielin dan gangguan transmisi sel
neuron. Beberapa literatur juga mengatakan
dapat terjadi kerusakan ganglia basalis, talamus, dan nukleus subtalamus, menyebabkan
gangguan gerak permanen.5-7

ETIOLOGI
Disebabkan oleh HSV-1 yang merupakan penyebab umum infeksi herpes pada mukosa
oral, serta HSV-2 yang ditularkan melalui sekret
vagina yang bermanifestasi pada neonatus.1-4

MANIFESTASI KLINIS
Gejala berlangsung akut selama beberapa
hari. Dua keadaan klinis ensefalitis HSV yaitu
1) Sindrom meningitis aseptik; disebut aseptik karena hasil kultur negatif, sebagian besar
disebabkan virus, Sindrom ini menandakan
keterlibatan meninges pada ensefalitis HSV,
umumnya disebut meningoensefalitis; dan 2)
Sindrom Ensefalitis Akut yang umum terlihat
pada ensefalitis HSV.1,3,4

EPIDEMIOLOGI
Herpes Simplex Virus merupakan penyebab
tersering ensefalitis akut. Sekitar 2.000 kasus
terjadi di Amerika Serikat, dan merupakan
10% dari seluruh kasus ensefalitis di negara
tersebut. Sekitar 30 sampai 70 persen berakhir
fatal, dan tidak sedikit yang berakhir dengan
kecacatan neurologis. Insidensi tertinggi terjadi pada usia neonatus, 5-30 tahun, dan di atas
50 tahun, dengan masa inkubasi 4-6 hari.1,2,4
PATOGENESIS
Terdapat dua jalur utama (port dentree) untuk
memasuki pejamu (host), yaitu dari mukosa
oral dan mukosa vagina. Setelah memasuki
tubuh pejamu, virus bermultiplikasi secara
lokal dan di tempat sekunder lainnya, menyebabkan viremia. Secara eksperimen telah
dibuktikan bahwa penyebaran HSV ke susunan saraf pusat (SSP) melibatkan neuron olfaktorius di mukosa nasal, dan proses sentral
sel-sel neuron tersebut akibat celah pada

CDK-193/ vol. 39 no. 5, th. 2012

CDK-193_vol39_no5_th2012 ok.indd 355

Sindrom Aseptic Meningitis


Demam 38-40 C, biasanya akut.
Nyeri kepala - biasanya lebih berat dibandingkan nyeri kepala saat demam sebelumnya.
Fotofobia dan nyeri pada gerakan bola
mata.
Kaku kuduk sebagai pertanda rangsang
meningeal, biasanya tidak terdeteksi
pada fase awal.
Pemeriksaan Kernig dan Brudzinski sering negatif pada meningitis viral.
Gejala sistemik infeksi virus, seperti radang tenggorokan, mual dan muntah,
kelemahan tubuh, rasa pegal punggung
dan pinggang, konjungtivitis, batuk, diare, bercak kemerahan (eksantema).
Jika disertai penurunan kesadaran serta
perubahan kualitas kesadaran, mungkin
ke arah diagnosis ensefalitis.
Pemeriksaan LCS (Liquor Cerebrospinalis): nilai glukosa normal, dan pleositosis
limfositik.
Sindrom Ensefalitis Akut
Demam mendadak dengan atau tanpa
gejala meningitis aseptik; jika disertai
gejala meningitis aseptik, disebut meningoensefalitis.

Gambar 1 Periodic lateralizing epileptiform discharge


(Diiunduh dari: http://jnnp.bmj.com/content/76/suppl_2/ii8.full)

355
6/5/2012 11:02:11 AM

TINJAUAN PUSTAKA

Defisit neurologis seperti konvulsi, delirium,


stupor atau koma, afasia; hemiparesis dengan refleks Babinski asimetris, gerak involunter, ataksia dan kejang mioklonik, nistagmus, lumpuh otot okular, kelemahan otot
wajah. Pada pemeriksaan dapat ditemukan
halusinasi pengecapan dan penciuman,
anosmia, kejang lobus temporalis, perubahan kepribadian, perilaku psikotik, delirium,
afasia serta hemiparesis.4-8
Kejang : sebagian besar kejang fokal.
Pencitraan memperlihatkan gambaran
edema atau kerusakan di bagian inferomedial temporal dan frontal.

Gambar 2 A : CT aksial hari ke 10 memperlihatkan lesi berdensitas rendah di temporal kanan dan lobus frontobasalis, B : CT
dengan kontras memperlihatkan penyangatan di fisurra Sylvii dan regio insula (lebih besar di bagian kanan)
(Dikutip dari: Rowland LP. Merrits Neurology. 11th ed. Lippincott William & Wilkins. 2005. Ch. 24 (E-book))

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pungsi lumbal
Konsensus AAP (American Academy of Pediatrics) sangat menganjurkan pungsi lumbal
pada bayi usia 6-12 bulan dengan kejang
demam sederhana pertama, dan dipertimbangkan pada anak usia 12-18 bulan dengan
kejang demam sederhana pertama.3-5,9
LCS umumnya meningkat tekanannya (dihubungkan dengan peningkatan tekanan
intrakranial) dan memperlihatkan gambaran
pleositosis (10 sampai 200 sel per mm3, jarang di
atas 500), didominasi limfosit; terdapat peningkatan sel neutrofil pada fase awal penyakit. Pada
beberapa kasus, komposisi LCS normal di awal
penyakit, namun akan abnormal pada pemeriksaan ulang. Tidak jarang terdapat peningkatan
protein (50-2000 mg/dL) dan dalam persentase
kecil, penurunan glukosa hingga 40 mg/dL, hal
ini terkadang membuat rancu antara diagnosis
infeksi HSV, TBC, atau jamur.1,2 Pungsi lumbal serial disarankan oleh CASG (Collaborative Antiviral
Study Group), bertujuan untuk melihat efektivitas pencegahan replikasi virus, dilakukan hingga
dosis terapi lengkap asiklovir; pemeriksaan LCS
pada minggu ke 1,2 dan 4,6 setelah terapi asiklovir intravena selesai untuk melihat kemungkinan kekambuhan subklinis.3,5
Polymerase Chain Reaction
Akhir-akhir ini berkembang pemeriksaan
PCR (Polymerase Chain Reaction) LCS untuk
mendeteksi antigen HSV; dalam hari-hari
perawatan awal, antigen dibiarkan bereplikasi
untuk mengkonfirmasi keberadaan HSV. Hasil
negatif palsu tes PCR HSV pada awal penyakit
dapat disebabkan oleh sedikitnya pelepasan
asam nukleat HSV dari otak ke LCS atau keterbatasan alat. Beberapa narasumber menyarankan pemeriksaan PCR berkala, teru-

356
CDK-193_vol39_no5_th2012 ok.indd 356

Gambar 3 Kiri : Potongan koronal MRI T2 weight pada stadium akut. Terdapat penyangatan di daerah inferior dan bagian
dalam lobus temporal, Kanan : Potongan MRI T1 weight setelah pemberian gadolinium memperlihatkan penyangatan
bagian insula kiri dan korteks temporal dan keterlibatan awal lobus
(Dikutip dari: Ropper AH, Brown RH. Adams and Victors Principles of Neurology. 8th edition.
McGraw-Hill; 2005. p. 631-40)

Gambar 4 Inklusi eosinofilik intranuklear di neuron dan sel glia


(Diunduh dari: http://jnnp.bmj.com/content/78/1/85.abstract)

tama dalam minggu pertama. Pemeriksaan


PCR pada LCS ini sensitivitasnya 95% pada 3
minggu pertama perjalanan penyakit, serta
98% pada pemeriksaan PCR biopsi otak. Disarankan memulai terapi antiviral berdasarkan
gejala klinis, radiologis, dan temuan LCS, sambil menunggu hasil pemeriksaan PCR.1-4,9

EEG (Elektroensefalografi)
Perubahan EEG berupa periodic lateralizing
epileptiform discharge atau perlambatan kompleks regular pada interval dua sampai tiga
per detik di daerah temporal atau frontotemporal (Gambar 2), merupakan suatu temuan
bermakna, meskipun tidak spesifik.1-4

CDK-193/ vol. 39 no. 5, th. 2012

6/5/2012 11:02:12 AM

TINJAUAN PUSTAKA
Pencitraan
CT Scan memperlihatkan area hipodensitas
(biasanya temporal atau frontotemporal) pada
50%-60% kasus; MRI (Magnetic Resonance
Imaging) memperlihatkan perubahan sinyal
pencitraan T2. T1 memperlihatkan area dengan intensitas sinyal rendah dikelilingi edema,
terkadang terdapat gambaran perdarahan di
area lobus frontal dan temporal. Dengan kontras Gadolinium dapat dilihat kelainan korteks
dan pial, yang terakhir ini cukup sering terjadi
pada semua infeksi SSP virus.1-4,10
Pemeriksaan Patologi
Pada pemeriksaan biopsi otak serta postmortem, ditemukan lesi nekrosis hemoragik di lobus temporal inferior dan medial; dapat meluas
sampai ke girus cinguli dan terkadang sampai
ke insula atau bagian lateral lobus temporalis,
atau secara kaudal ke otak tengah. Lesi area ini
biasanya bitemporal, tetapi tidak simetris. Pada
fase akut ensefalitis dan nekrosis hemoragik,
ditemukan inklusi eosinofilik intranuklear di
neuron dan sel glia (Gambar 5).1,2
DIAGNOSIS BANDING
Herpes simpleks harus dibedakan dari beberapa penyakit yang mirip manifestasi klinisnya
1,2,4
:
Varicella Zoster Virus
Epstein Barr Virus
Cytomegalovirus
HIV dan AIDS (Meningococcus dan Cryptococcus)
Acute leukoencephalitis Weston Hurst
Empiema subdural
Abses serebral
Trombosis vena serebral
Emboli septik
Stroke non-hemoragik
TATA LAKSANA 1-4
Diagnosis melalui anamnesis dan pemerik-

saan neurologis yang baik, serta pungsi lumbal (jika tidak ada kontraindikasi). Terapi diusahakan langsung dimulai tanpa menunggu
konfirmasi pemeriksaan lain untuk menurunkan morbiditas serta mortalitas.
Asiklovir intravena diberikan dengan dosis 10
mg/kg per dosis (setiap 8 jam) dilanjutkan sampai 10 hingga 14 hari (dapat hingga 21 hari)
untuk mencegah relaps; dapat dihentikan bila
pemeriksaan mengarah ke diagnosis lain. Asiklovir memiliki risiko efek samping rendah; yang
harus diperhatikan adalah peningkatan enzim
hepar dan penurunan fungsi ginjal.
Kasus alergi atau resisten asiklovir dapat diberi
vidarabin 15 mg/kg per hari selama 14 hari. Pengendalian edema serebri dengan deksametason IV 0,15 mg/kg/dosis, tiap 6 jam selama 2
hari, serta mengurangi asupan cairan menjadi
2/3 kebutuhan 24 jam, dapat mengurangi kemungkinan peningkatan tekanan intrakranial.
Pra Rumah Sakit

Rumah Sakit/IGD

Airway
Breathing
Circulation

Tata laksana kejang sesuai dengan algoritma


kejang akut dan status konvulsif (Gambar 6)
dengan tujuan utama11 :
Mempertahankan fungsi kehidupan
(A,B,C).
Identifikasi dan terapi faktor penyebab
dan faktor predisposisi.
Menghentikan aktivitas kejang.
PROGNOSIS
Mortalitas dan morbiditas sangat tergantung
pada umur, derajat kesadaran pasien serta
saat pemberian asiklovir.1,2 Bila pasien tidak
sadar (kecuali setelah kejang), biasanya prognosisnya buruk. Bila pengobatan dimulai pada
hari sakit ke-4 pada pasien sadar, keberhasilan
pengobatan di atas 90%. Sekuele neurologis
biasanya serius, termasuk amnesia Korsakoff,
demensia global, kejang dan afasia. Tanpa
pengobatan, penyakit ini mematikan pada
sekitar 70 sampai 80 %; pasien yang dapat
melewati fase akut, sering cacat menetap.2

Diazepam 5 mg rektal
(max 2x dengan jarak 5 menit)

0-10 Menit

Diazepam 0,25-0,5 mg/kg/iv


(rate 2 mg/menit, max dose 10 mg)

10-20 Menit

Atau
Midazolam 0,2 mg/kg/IM

ICU/IGD

Fenitoin (20 mg/kg/iv)

20-30 Menit

Fenobarbital
(20 mg/kg/iv) rate >10 menit

ICU

Refracter Status Epilepticus


(Midazolam 0,2 mg/kg/iv
dilanjutkan 0,02-0,4 mg/kg/
jam) - dukungan ventilator

60-90 Menit

Gambar 5 Algoritma kejang akut dan status konvulsif

(Dikutip dari: Pelatihan UKK Neurologi IDAI, KONIKA Manado)

DAFTAR PUSTAKA
1.

Ropper AH, Brown RH. Adams and Victors Principles of Neurology. 8th ed. McGraw-Hill; 2005. pp. 631-40.

2.

Rowland LP. Merrits Neurology. 11th ed. Lippincott William & Wilkins. 2005. Ch. 24 (E-book).

3.

Frenkel LM. Challenges in diagnosis and management of neonatal herpes simplex virus encephalitis. Pediatrics 2005;115; 795-7.

4.

Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Staton BF. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. Saunders 2007. pp. 2521-2.

5.

Kullnat MW, Morse RP. Choreathetosis after herpes simplex encephalitis with basal ganglia involvement on MRI. Pediatrics 2008;121; e1003-7.

6.

Pelligra G, Lynch N, Miller SP, Sargent MA, Osiovich H. Brainstem Involvement in neonatal herpes simplex virus type 2 encephalitis. Pediatrics 2007;120; e442-6.

7.

Fonseca-Aten M, Messina AF, Jafri HS, Sanchez PJ. Brainstem Involvement in neonatal herpes simplex virus type 2 encephalitis in premature infant. Pediatrics 2005;115;804-9.

8.

Kropp RY, Wong T, Cormier L, et al. Neonatal herpes simplex virus infections in Canada: Results of a 3-year national prospective study. Pediatrics 2006;117:195562.

9.

Kimia AA, Capraro AJ, Hummel D, Johnston P, Harper MB. Utility of lumbar puncture for first simple febrile seizure among children 6 to 18 months of age. Pediatrics 2009;123;6-12.

10. Barkovich AJ. Infections of the nervous system. In: Barkovich AJ, ed. Pediatric Neuroimaging. 4th ed. Lippincott Williams & Wilkins; 2005:807-9.
11. Pudjiadi AH, Hegar. B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED. Pedoman pelayanan medis. Edisi 1. Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010. pp. 310-3.

CDK-193/ vol. 39 no. 5, th. 2012

CDK-193_vol39_no5_th2012 ok.indd 357

357
6/5/2012 11:02:13 AM

Anda mungkin juga menyukai