Anda di halaman 1dari 47

BAB III

PRINSIP-PRINSIP MEKANIKA GELOMBANG


RANGKUMAN
Dalam bab ini dikemukakan prinsip2 utama dari Mekanika Gelombang. Kita telaah
makna dari yang kita namakan keadaan suatu sistem, cara bagaimana kita
mempresentasikan keadaan itu, dan bagaimana menarik informasi2 dari representasi tadi. Kita
pelajari juga perihal berubahnya keadaan dengan waktu, dan masalah2 lain yang berkaitan.
Kesemuanya ini kita rangkumkan dalam bentuk postulat2, yang menjadi landasan bagi
mekanika gelombang tersebut. Sebagai model yang ditinjau kita hampir selalu memilih yang
paling sederhana, yakni partikel yang bergerak dalam garis lurus di bawah pengarauh gaya
konservatif.
Dengan berakhirnya bab II kita sampai pada tahap seperti pada saat menjelang
lahirnya Mekanikan Kuantum terdahulu. Maka, kini kita akan mulai merumuskan pada
mekanika Kuantum itu sendiri. Teori baru ini kita perlukan, mengingat mekanika Klasik
dalam banyak hal terbukti tidak lagi memadai, sebagaimana telah kita lihat dalam bab
lalu. Namun ada baiknya jika kita lebih dulu mengingat kembali saat kita mempelajari
mekanika relativistik dalam perkuliahan Fisika Modern. Mekanika relativistik merupakan
perbaikan terhadap mekanika klasik, dan sebab itu lebih benar dari mekanika klasik.
Namun, dalam kecepatan2 rendah mekanika relativistik tak perlu kita terapkan, karena untuk
hal itu mekanika klasik (yang lebih sederhana) sudah memadai. Begitu pula halnya Mekanika
Kuantum yang kita hadapi sekarang.
Pertanyaan yang pertama-tama harus dikemukakan ialah: kapan kita perlu
menerapkan mekanika kuantum? Secara konseptual, teori baru ini mestilah lebih benar dari
yang digantikannya, tapi lagi, mekanika kuantum hanya perlu diterapkan dalam kawasan
dimana Mekanika Klasik tidak lagi mampu menjelaskan fakta2 yang dijumpai. Kalau bagi
teori relativitas daerah yang non-klasik itu umumnya dikaitkan dengan kecepatan, yakni
pada kecepatan2 dalam orde cahaya. Gejala2 kuantum itu muncul jika sistem tersebut
misalnya elektron, seperti telah kita lihat di bab I dan II. Sebab itu, secara umum dapatlah kita
ambil sebagai pedoman: kita baru memerlukan mekanika kuantum kalau sistem yang kita
hadapi itu ukuran besarnya dalam orde atomik, atau lebih kecil lagi (subatomik). Maka
sifat2 atom kita kenal, banyak yang hanya dapat diterangkan dengan mekanika kuantum. Dan
sudah barang tentu demikianlah pula fisika dari inti2, karena ukurannya memang jauh lebih
kecil lagi. Untuk sistem yang sehari-hari kita hadapi, sifat2 kuantum itu bukan tidak ada,
tapi tak teramati, sehubungan dengan ketelitian2 pengukuran yang kita punyai (dan kita
butuhkan). Kalau sistem atomik dan subatomik demikian secara singkat kita nyatakan
sebagai sistem mikro, untuk membedakannya dari sistem2 makro yang tak memerlukan
mekanika kuantum, maka dapatlah kita tuliskan sebagai rangkuman, berikut ini: Dalam
kuliah ini kita akan membatasi diri pada mekanika kuantum yang non-relativistik. Sebab
itu, mekanika dari foton2, karena kecepatan foton yang = c, berada di luar jangkauan kuliah
ini. Sistem utama yang kita hadapi adalah partikel2 yang bermassa. Sedangkan kalau kita
selanjutnya berbicara tentang foton, itu hanyalah dalam rangka analogi, atau perbandingan,
ataupun untuk melengkapi subjek pokok kita saja.

O K
ecepatan Kecepatan rendah
S
istem
O

Makroskopik
Mikroskopik

Mekanika klasik
Mekanika Kuantum
(non relativistik)

Kecepatan tinggi
Mekanika relativistik
Mekanika kuantum
relativistik

Kiranya berguna untuk mampu memeriksa secara agak lebih kuantitatif apakah
suatu sisitem adalah suatu sistem kuantum atau bukan. Prinsip ketidakpastian
Heisenberg sering dapat membantu kita dalam hal ini. Suatu ciri penanganan secara klasik
adalah dimana kita memaparkan posisi dan momentum secara bersamaan. Ini diperbolehkan,
sekiranya terpaut pengertian, bahwa ketidaktelitian eksperimental x dan px yang terdapat
disana memenuhi x px ? h.
Soal: dalam melukiskan gerakan suatu kelerang (massa 20 g) misalkan ketaktelitian
posisi x (untuk titik beratnya) adalah 1 mm. sedangkan ketaktelitian kecepatan vx adalah
1 cms-1, dalam orde kecepatan 10 ms-1. Apakah disini kita perlukan mekanika kuantum?
Jawab: Disini x Px = x m v x = (10-3) (20x10-3)(10-2)
= 2 x 10-7 ? h = 6,6x10-34Js.
Maka jelas untuk sistem ini kita tak memerlukan mekanika kuantum.Suatu sistem tentunya
harus kita perlakukan sebagai sistem kuantum kalau ( px)min nya, yaitu px yang memenuhi
hubungan Px x ; h, adalah lebih besar atau dalam area px menurut perhitungan klasiknya.
Suatu ciri dari mekanika kuantum adalah adanya besaran2 dengan nilai2 yang
diskrit, misalnya energi. Tapi kalau ketidaktelitian pengukuran2 energi sistem itu jauh
melampaui selang energi sistem itu, maka sifat kuantum sistem ini tentu saja tak dapat
diamati. Dengan kata lain, energi tersebut tampak kontinu, dan sistem berlaku sebagai sistem
klasik saja.
3.1 Gerak dan Fungsi Gelombang
Dalam upaya perumusan gelombang ada tonggak2 yang menuntun kita, misalnya
apapun bentuk perumusan itu, mestilah ia:
a. ada sangkut pautnya dengan gelombang2 de Broglie (memenuhi
kaitan de Broglie)
b. mencakup keberlakuan prinsip ketidakpastian Heisenberg
c. menghasilkan adanya besaran dengan harga2 yang diskrit
d. memenuhi prinsip korespondensi.
Yang pertama-tama harus kita tangani adalah bagaimana caranya melaporkan
keadaan dinamis suatu sistem. Ambil sistem itu sistem sederhana, misalnya satu partikel,
elektron misalnya. Dalam teori klasik, melaporkan keadaan
gerak sistem itu setiap saat cukup
ur
r
dengan memberikan kedudukan r dan momentum p nya pada saat itu. Hal itu karena
r ur
spesifikasi ( r , p ) itu sekaligus telah menentukan nilai dari setiap besaran dinamis A sistem,
r
karena menurut klasik semua besaran dinamis itu kompatibel, dan nilainya ditentukan oleh r
ur
r ur
dan p itu, yakni A = A ( r , p ). Hal demikian tentulah tidak mungkin lagi dalam mekanika
kuantum, karena kedudukan dan momentum, menurut
Heisenberg, bukanlah merupakan
r
besaran2 kompatibel. Kalau kedudukannya pasti, di r misalnya, momentumnya sama sekali
tidak pasti, hingga sesungguhnya tak dapat menyatakan apa2 mengenainya. Perihal yang
paling umum tentunya adalah dimana posisi kita ketahui dalam batas2 suatu ketidakpastian
2

x tertentu, begitu pula momentumnya dalam p x , dan antara x dan p x itu selalu dipenuhi
x px > h. Perbedaan pandangan itu dijelaskan dengan diagram 2seperti berikut ini.

(a). Gambar klasik

(b) gambar kuantum


Gambar 3.1

Dalam pandangan klasik kita dapat berbicara, misalnya, tentang kedudukan yang tertentu bagi
suatu partikel pada suatu saat. Dalam fisika kuantum sebaliknya kita berbicara mengenai
berapa besarnya kebolehjadian partikel itu berada dalam suatu selang tertentu pada saat itu,
ataupun lebih umum, bagaimana bentuk fungsi distribusinya untuk posisi: P(x).
Pertanyaannya kemudian: bagaimana caranya kita melukiskan, atau melaporkan,
keadaan sistem pada suatu saat? Dengan jalan melukiskan fungsi distribusi dari semua
besaran sistem tentulah tidak praktis. Kalau bisa, lebih baik dengan pertolongan suatu fungsi
saja, dari mana kemudian fungsi2 distribusi tadi dapat kita peroleh melalui suatu prosedur
tertentu. Dan untunglah fungsi seperti ini ternyata memang ada, ia disebut fungsi gelombang
dari sistem itu. Dengan demikian:
Keadaan suatu sistem pada suatu saat dilukiskan oleh fungsi gelombangnya, yakni
, pada saat itu. Fungsi gelombang ini mengandung informasi maksimum mengenai
sistem tadi pada saat itu.
Tentulah pernyataan seperti ini mengundang pertanyaan lebih lanjut, misalnya;
bagaimana caranya menarik informasi mengenai distribusi2 kebolehjadian dari fungsi
gelombang itu? Pertanyaan2 ini harus, dan memang akan, dijawab dalam perumusan
mekanika gelombang yang akan kita pelajari ini. Namun kita akan bekerja secara bertahap,
dan saat ini kita akan memusatkan diri dulu pada gejala adanya fungsi gelombang itu, dan
bgaimana kaitannya dengan distribusi kebolehjadian bagi posisi.
3.2 Distribusi Kebolehjadian Posisi
Mari kita tinjau kembali percobaan difraksi Young memakai dua celah. Berkas cahaya
monokromatis dengan panjang gelombang yang dijatuhkan pada dua celah sempit sejajar
akan membentuk suatu pola difraksi pada suatu layar yang dipasang di balik celah itu. Pola
difraksi yang berbentuk pola terang gelap silih berganti itu dinyatakan dengan grafik
intensitas I (x) pada gambar di bawah, dengan puncak2 menunjukkan yang paling terang, dan
lembah menunjukkan tempat2 yang paling gelap.

Gambar 3.3
I (x) ini misalnya kita dapatkan sebagai derajat penghitaman pada suatu pelat film yang
diekspos pada kedudukan layar tersebut. Kita ingat, dari optika fisis kita secara teoritis dapat
pula memperoleh I (x) tersebut, melalui anggapan2 seperti berikut ini.
Pertama, pada layar tersebut jatuh gelombang2 elektromagnetik yang merupakan
superposisi dari gelombang2 yang datang dari masing2 celah itu, yakni: = 1 + 2 (ini tak
lain adalah prinsip Huygens yang terkenal). Gelombang2 1 dan 2 ini mempunyai panjang
gelombang yang sama, yakni tadi, dan bertolak dari celah dengan fase dan amplitudo yang
sama pula. Pada suatu kedudukan x terbentuk fungsi gelombang yang berubah harmonis
dengan waktu dan yang amplitudonya dipengaruhi oleh perbedaan fase dari 1 dan 2 yang
sampai di titik itu. Kita ingat superposisi itu bersifat saling menguatkan jadi menghasilkan
intesitas maksimum- pada arah sudut dimana n sin = n , dan bersifat saling meniadakan
dengan akibat I(x) minimum pada sudut2 arah dimana dipenuhi a sin = ( n + 12 ) .
Jika kedudukan maksimum dan minimum itu sudah dapat diperoleh dari anggapan di atas,
tidak demikian halnya dengan fungsi I(x) sendiri. Untuk itu kita memerlukan anggapan
2
tambahan, yakni bahwa: I ( x ) (x) .
Hubungan ini kita kenal datang dari teori EM, yang menyatakan bahwa intensitas
sesaat pada suatu titik adalah sebanding dengan kuadrat dari besarnya gelombang EM pada
tempat itu. Untuk itu umumnya diambilkan vektor E nya dari gelombang EM tersebut. I(x)
yang kita tinjau tentulah berupa rata2 terhadap waktu dari intensitas sesaat, untuk mana (x)
pada ruas kanan hubungan di atas hendaknya dibaca sebagai amplitudo dari gelombang pada
tempat yang bersangkutan.
Kemudian, tak ada yang berubah pada pola difraksi yang terjadi, dan sebab itu juga
penjelasan teoretisnya seperti di atas, jikalau kemudian berkas cahaya itu kita gantikan dengan
berkas elektron dengan panjang gelombang yang sama. Ini sesuai dengan prinsip de
Broglie, prinsip mana kebenarannya tak kita ragukan lagi. Maka hasil difraksi yang serupa
dengan difraksi cahaya ini, jadi merupakan suatu bukti bahwa terkait dengan elektron2 itu ada
suatu fungsi gelombang . Gelombang ini yang sering disebut sebagai gelombang materi,
dapatlah kita bayangkan dengan suatu cara memandu elektron2 itu sehingga jatuh pada layar
dalam suatu distribusi kerapatan yang diberikan oleh I(x).
Suatu hal kiranya memerlukan penekanan, yakni fungsi distribusi I(x) untuk elektron2
tadi berlaku dalam hal intesitas elektron datang itu cukup tinggi. Kita tidak akan mendapatkan
distribusi seperti itu lagi (juga dalam pengertian relatif) kalau elektron yang ditembakkan itu,
4

katakanlah 10, atau 20, atau 100 biji saja. Khususnya bagi satu elektron saja yang
ditembakkan, kita sungguh2 tidak bisa menyatakan terlebih dahulu dimana dia akan jatuh
pada layar tersebut. Namun lagi, sekiranya percobaan dengan menggunakan elektron satu
demi satu itu kita ulang2 banyak kali, katakanlah berjuta kali, dengan setiap kali kita catat
dimana elektron itu mencapai layar, maka distribusi sampainya semua elektron itu pada layar
akan kembali menjadi sama seperti pada percobaan semula yang memakai arus elektron
dengan intensitas tinggi. Hasil ini adalah penting sekali. Sebab ia menunjukkan bahwa,
walaupun pada setiap percobaan tadi elektron yang ditembakkan itu dapat terdifraksi
kemana saja, namun pola I (x) itu tetap saja ada kaitannya dengan masing2 percobaan itu.
Situasinya adalah serupa dengan perihal melempar dadu. Jika kita melempar banyak sekali
dadu sekaligus (sesudah dikocok rata) maka kita akan memperoleh hasil: setiap mata dadu
keluar dalam jumlah yang kira2 sama banyak (yakni 100/6 %). Hasil yang rata begini tak
akan tampak kalau kita melempar 5 atau 10 dadu, jangankan pula kalau 1 dadu saja. Namun
kalau kita ulangi melempar dadu tunggal itu berkali-kali dalam jumlah yang sangat banyak,
maka untuk keseluruhan kita akan kembali memperoleh distribusi yang merata seperti
semula.
Kita tidak bisa menyatakan hasil merata dalam lemparan sekaligus yang mula2 itu
adalah akibat berinteraksinya dadu2 itu waktu dilempar, sebab hasil yang sama kita peroleh
juga dalam lemparan satu-satu. Jadi pula, pola merata itu mesti juga ada dalam peristiwa
lemparan yang satu demi satu. Khusus untuk hal ini kiranya sudah jelas, yang rata-rata itu
adalah besarnya peluang, atau probabilitas, bagi setiap mata dadu itu. Yakni, dalam setiap
lemparan, peluang untuk keluarnya setiap mata dadu adalah sama besar, tapi mata dadu mana
yang sebenarnya akan keluar tidak dapat kita tentukan terlebih dulu. Namun, dalam lemparan
banyak, baik sekaligus maupun satu persatu, distribusi yang sebenarnya keluar akan
mendekati pola distribusi peluang tersebut.
Analogi dengan melempar dadu ini dengan jelas membawa kita pada kesimpulan
untuk peristiwa difraksi elektron tadi, seperti berikut: Bahkan dalam peristiwa dengan
elektron tunggal distribusi I(x) itu tetap ada, tapi ia harus kita interprestasikan sebagai
ukuran rapat kebolehjadian elektron itu untuk mencapai layar pada kedudukan x. Lebih
jauh lagi, karena P(x) itu terkait dengan suatu fungsi gelombang (x), maka fungsi
gelombang yang sama mestilah juga ada tidak hanya dalam hal arus banyak elektron tapi
juga bahkan untuk hal elektron tunggal, dan pula, bahwa fungsi gelombang itu
menentukan rapat kebolehjadian P(x) ini sama seperti gelombang EM menentukan intesitas
cahaya, atau Fungsi gelombang mengandung informasi distribusi kebolehjadian posisi P(x)
r 2
r
melalui kaitan P( r ) ( r ) . Kaitan ini disebut interpretasi Born, mengikuti nama orang
yang pertama kali mengemukakannya.
r
Makna fisik yang penting adalah besarnya probabilitas P( r ) itu secara relatif pada tempat2
u
r
ur 2
u
r
ur
yang berbeda. Jadi misalnya, bahwa P( r1 )/P( r2 ) = ( r1 )/ ( r2 ) . Dan karena sifat informasi
ini tidak berubah kalau fungsi gelombang itu kita kalikan dengan suatu konstanta, maka kita
perolehlah pula bahwa
Fungsi gelombang dan ( = konstanta) menyatakan
keadaan yang identik.
Sekarang baik kita lihat bagaimana bentuk ungkapan fungsi gelombang bagi keadaan
yang paling sederhana, yakni perihal suatu partikel yang sedang bergerak sepanjang sumbu x
dengan momentum yang pasti sebesar p. Gelombang untuk hal ini mestilah harmonis, dengan
5

panjang gelombang sebesar = h/p. Jadi ia haruslah berupa kombinasi linear dari cos dan sin
2
px
dari
x, atau dari
.
h

Pertanyaan seterusnya: apakah fungsi gelombang ini real, atau kompleks?


Misalkan ia real, jadi
(x) = A cos ( px ) dengan A, real. Dengan demikian, P (x) A2 cos 2 ( px
h
h
), yang grafiknya menunjukkan struktur puncak lembah seperti di bawah ini.

Gambar 3.4
Distribusi peluang seperti ini tidak bertentangan dengan syarat Heisenberg x =
( sebab p = 0). Namun kita toh merasa bahwa seharusnya ketidaktahuan kita tentang posisi
dalam hal ini adalah total. Dengan kata lain, mestinya ruangan bersifat homogen terhadap
kemungkinan menemukan partikel di dalamnya, hal mana tidaklah diberikan oleh P(x) yang
berbentuk gelombang itu. Lain halnya kalau fungsi gelombang itu kompleks, misalnya
(x) = C hi px
e
2
2
Disini P(x) = (x) = C , yang memberikan grafik yang rata terhadap x, sebagaimana
dikehendaki. Sebab itu pada fungsi yang kompleks inilah pilihan kita jatuh untuk
mempresentasikan perihal adanya momentum yang pasti sebesar p tersebut. (dengan mana,
fungsi gelombang untuk momentum sebesar p tapi dalam arah kebalikannya dinyatakan
i

dengan C e h px ). Melihat contoh ini dapatlah kita simpulkan bahwa pada umumnya fungsi2
gelombang adalah fungsi2 kompleks. Tentu saja kita menghadapi kesukaran kalau kita ingin
menggambarkan grafik fungsi gelombang yang kompleks tersebut, sebab hanya fungsi2 real
yang dapat dilukiskan. Namun, dalam banyak hal kita toh akan menggambarkannya juga,
dengan pengertian bahwa gambar yang dibuat itu secara figuratif saja mewakilkan
kompleks, maka Ce

i
px
h

misalnya, akan kita gambarkan sebagai fungsi harmonis seperti pada

gambar (a). Gambar (b) adalah gambar grafis dari apa yang kita sebut sebagai paket
gelombang, yakni fungsi2 dengan sifat o.

(a) gel harmonis (x) = C e h px (b) paket gelombang


i

Gambar 3.5
3.3 Distribusi Kebolehjadian Momentum
Dalam bagian sebelumnya diperlihatkan bagaimana kaitan de Broglie telah membantu
kita merumuskan fungsi gelombang untuk keadaan partikel dengan momentum pasti sebesar
i
p, yaitu p (x) = C e h px (dimana C = konstanta). Keadaan ini disebut sebagai suatu
keadaan eigen bagi besaran momentum. Maksudnya, dalam keadaan ini besaran momentum
mempunyai nilai yang pasti, sebesar p tadi, yang bearti, apabila dilakukan pengukuran
momentum pada sistem dalam keadaan ini, kita akan memperoleh nilai p itu. Tentu saja
terdapat banyak keadaan eigen bagi momentum, untuk harga2 yang berbeda dari momentum
tersebut.
Fungsi gelombang dari suatu keadaan eigen disebut fungsi eigen dari besaran yang
bersangkutan. Nilai besaran tadi dalam keadaan eigen itu disebut nilai eigen besaran itu dalam
keadaan tadi (istilah2 ini, sebenarnya berkaitan dengan permasalahan nilai eigen besaran
yang bersangkutan., yang baru kelak kita bicarakan). Jadi misalnya, untuk gerak partikel
i
dalam satu dimensi, p (x) = C e h px adalah fungsi eigen dari momentum yang berkaitan
dengan nilai eigen sebesar p . Suatu keadaan eigen momentum mempunyai p = 0 (karena
harganya yang pasti tersebut) dan = (karena distribusi kebolehjadian posisinya yang
uniform itu). Nilai2 p dan x begini, setidaknya, tidak menyalahi prinsip ketakpastian
Heisenberg.
Keadaan eigen momentum tersebut bukanlah merupakan contoh keadaan gerak partikel yang
bisa kita jumpai. Kalau kita berbicara tentang suatu partikel, umumnya kita mempunyai taraf
pengetahuan tertentu walaupun mungkin kasar saja tentang dimana partikel itu sedang
berada. Ini berarti, dengan keadaan tersebut terkait suatu ketidakpastian yang berhingga
besarnya. Kita sebenarnya belum menentukan secara pasti definisi dari , kecuali bahwa
itu adalah selang dalam mana partikel itu mempunyai kemungkinan besar untuk
ditemukan. Tapi ini sudah cukup menunjukkan bahwa fungsi gelombang dalam keadaan itu
mestilah = 0, atau 0, ditempat2 jauh.

Gambar 3.6
Kemudian bahwa partikel itu ada (disekitar itu) menunjukkan kerapatan kebolehjadian
posisi P (x) mempunyai sifat

P( x)dx 1

karena P(x) ( x ) , syarat di atas mensyaratkan pula bahwa

( x)

dx = berhingga (atau = < ).

Fungsi2 gelombang yang mempunyai sifat ini, yakni bahwa x 0 dan

dx <

, kita namakan paket gelombang. Fungsi gelombang dari keadaan yang fisikal selalu
berupa paket gelombang.
Kita ulangi : (x) dan (x), = konstanta, merepresentasikan keadaan yang sama. Maka
tak ada salahnya jika kita memilih, untuk suatu keadaan tertentu, fungsi gelombangnya yang
memenuhi sifat :

( x)

dx = 1

Fungsi gelombang yang memenuhi

( x)

dx 1 ini disebut ternomalisasi. Sifat ini

selanjutnya selalu kita anggap berlaku bagi keadaan2 yang fisikal, kecuali bila dinyatakan
2
lain. Dalam hal ini maka interprestasi Born menjadi P (x) = ( x ) .
Suatu paket gelombang karena bukan fungsi harmonis, jelas tidak mewakilkan suatu
keadaan eigen momentum. Namun kita harapkan ia sudah mengandung informasi yang pasti
mengenai distribusi kebolehjadian bagi besaran momentum itu. (Fungsi eigen p (x)
sebenarnya juga mengandung informasi distribusi itu, tapi dimana distribusi kebolehjadian itu
berupa kepastian suatu harga, yakni = p).
Haruslah kita ingat bagaimana memproleh fungsi distribusi kebolehjadian momentum

(
x) itu kalaupun itu mungkin masih harus kita tetapkan, lebih tegas lagi: kita
dari
postulatkan! Namun, akan segera pula terlihat bagaimana hubungan de Broglie dan sifat2
matematis tertentu dari paket2 gelombang menghadapkan kita hanya pada satu macam pilihan
postulat saja. Sifat matematis yang dimaksud adalah yang menyatakan bahwa fungsi2
dalam bentuk paket gelombang selalu dapat dituliskan dalam bentuk integral, yakni
integral Fourier:
1
(x) =
( k )eikx dk..(*)

dimana (k), yakni transformasi Fourier dari (x) itu adalah


1
(x) =
( x ')e ikx 'dx ' ..(**)

2
Kita tidak akan membuktikan dalil Fourier tersebut. Sebaliknya ia akan kita jadikan
titik tolak (karena ia mudah diingat) untuk memperoleh berbagai sifat2 lainnya.
Pertama, dengan mensubstitusi (k) dari (**) ke dalam (*), dengan lebih dulu mengganti
variabel integrasi dalam (**) menjadi x, sebagai berikut:

(x) = 1 ikx 1 ( x ')e ikx 'dx ' dk


2 k
2 x '

dan menukar urutan integrasinya, menghasilkan


1

'
( x ) ( x ')
eik ( x x )dk dx

x'
2 k

Selanjutnya mengingat pula bahwa

( x ) ( x ' ) ( x x ' ) dx
x'

maka kita peroleh suatu ungkapan bagi fungsi (x x ), yakni

1
eik ( x x ') dk ( x x ') .(***)

2
Dalam integral2 di atas,

dan

x'

menyatakan integrasi terhadap k dan x dari ke .

Kedua, integral Fourier itu dapat dikemukakan dalam versi yang sedikit berbeda,
yakni bahwa (x), ditulis dalam bentuk :

( x ) ( )ei x d

dimana , dan adalah konstanta positif yang bebas kita pilih. Konskuensinya adalah ( )
kemudian mengambil bentuk

( ) ( x )e i x dx

dimana , dan terkait dalam suatu hubungan tertentu. Untuk menetapkan bentuk
hubungan itu, lagi subtitusikan persamaan terakhir ke dalam yang terdahulu, menghasilkan;

'
( x ) ei x ( x ')e i x dx ' d

x'

'
i ( x x ' )
d dx ' dx1
= ( x ) e

x'

Ini menunjukkan bahwa ungkapan dalam { } di atas adalah (x x1 ). Tapi ungkapan tersebut
dapat dituliskan dalam bentuk
i ( )( x x' )

e
d ( )
2 ( x x ' )

sehingga kita peroleh hubungan:

2
Seringkali kita menghendaki bentuk koefisien yang simetris, yakni , dalam
mana kemudian kita peroleh:


2
yang akan banyak kita pergunakan sehubungan dengan interpretasi yang akan kita berikan,
1
1
adalah dimana = p, dan . Ini membawa kita pada
. Dengan perkataan
2 h
h
lain: Setiap (x) tersebut dapat ditulis sebagai:

i
px
1
h
( x)

(
p
)
e
dp .(i)

2 h
yang dalam hal ini,
9

px
1
h

(
x
)
e
dx ...(ii)

2 h
Ungkapan fungsi (x x) bagi pemakaian bentuk ini kemudian adalah:
i
p ( x x )
1
h
dp = (x x)
e

2 h
Tentu saja berlaku pula
i
( p p ') x
1
h
e
dx = (p p).(iii)

2 h
Jika kita perhatikan (i), maka integral Fourier versi ini tak lain adalah ekspansi dari
fungsi gelombang (x) kepada himpunan fungsi-fungsi eigen momentum, yang dalam hal ini
i
px
1
1
h

e
dengan koefisien C =
, yakni: p (x) =
. Ekspansi tersebut berbentuk
2 h
2 h
integral, sehubungan dengan p yang berubah kontinu. Transformasi Fouriernya (p)
kemudian dibaca sebagai koefisien dari ekspansi itu.
1
Pilihan C =
itu membuat himpunan memenuhi ortonormalisasi Dirac,
2 h
yakni:
i
( p p ') x
1
*
h

(
x
)

(
x
)
dx

e
dx ( p p ')
p' p

2 h

(p) =

seperti dikemukakan persamaan (iii).


Koefisien ekspansi itu sendiri, yakni ( p ) , dapat kita peroleh dari suatu integral
menyangkut p(x) dan (x), yakni
(p) = *p (x) (x) dx
=

1
1

(2 h) 2

i
px
h

(x) dx,

yang tak lain adalah persamaan (ii).


Ada suatu dalil penting yang mengatakan, apabila fungsi-fungsi gelombang 1 (x) dan
2 (x) mempunyai sebagai transformasi2 Fouriernya 1 (p) dan 2 (p), maka berlaku:

1 *( x) 2 ( x )dx

*( p ) 2 ( p )dp

Buktinya mudah saja, sebagai berikut:


i
( p ' p) x
1
h

*(
x
)

(
x
)
dx

*(
p
)

(
p
)
e
dx dp ' dp

1
2
1
2

p
'

2 h x

Tapi ungkapan dalam { } = (p p), sehingga integral itu


'
'
'
= 1 * (p) 2 ( p ) ( p p )dp dp 1 * ( p ) 2 ( p )dp. (Terbukti).

10

Khususnya, kalau 1 (x) dan 2 (x) adalah ortogonal, yakni: 1 ( x) 2 ( x) dx = 0,

maka demikian pula transformasi Fouriernya: ( x ) 2 ( x )dx 0 . Satu lagi yang sangat
*
1

berguna adalah jika kita ambil 1 2 ( x ) , maka teorema itu mengatakan bahwa:

dx dp
*

atau

dx dp (Hubungan ini dikenal sebagai hubungan Parceval)

Sekarang kita berpaling kepada tugas utama kita dalam fasal ini, yaitu menetapkan
distribusi kebolehjadian momentum bagi suatu keadaan yang fungsi gelombangnya berupa
paket gelombang. Seperti telah dijanjikan kita pilih ( x) yang ternormalisasi, yaitu:
i
px
2
2
h
(x)= 1

(
p
)
e
dp , dimana ( p ) dp 1 .

dx

1
,
maka

2 h
i

Karena (konst) e h px berkaitan dengan suatu momentum sebesar p, maka bahwa ( x) =


superposisi dari gelombang2 harmonis dengan p yang berbeda-beda itu mestilah dikaitkan
dengan interpretasi bahwa keadaan sistem itu adalah berupa campuran dari keadaan2 dengan
momentum yang berbeda-beda. ( p ) yang berupa koefisien penguraian itu -lebih tegas lagi:
( p )dp adalah amplitudo penguraian terhadap gelombang dengan momentum antara p
1
i
px
p+dp (yang di sini diwakilkan oleh
h ) mestilah ada kaitannya dengan kerapatan
e
2 k
kebolehjadian momentum P(p). Kemudian bahwa

( p)

dp = 1 kiranya tidak mungkin


2

menyebabkan kita mengambil interpretasi yang lain daripada bahwa P(p) = ( p ) .


Selanjutnya kita periksa konsistensi interpretasi ini terhadap prinsip Heisenberg.
Karena kita belum ingin mendefinisikan x dan p, pemeriksaan kita berikut ini adalah
secara kualitatif saja. Pertama-tama kita tinjau fungsi gelombang dengan momentum pasti p,
1
i
p' x
misalnya, maka bentuk standarnya adalah p' =
. Transformasi Fouriernya adalah
h
e
2 h
(p-p), sebab
i
px
1
i
1
h
p' x

(
p

p
')
e
dp
=
h
2 h e
2 h
Grafik fungsi gelombang (x) dan (p)nya adalah sebagai berikut:

11

Gambar 3.7
Gambar2 di atas, dan yang selanjutnya, adalah secara figuratif saja, karena sesungguhnya
fungsi2 dan itu umumnya adalah fungsi kompleks.
Kemudian misalkan kita tinjau bentuk paket gelombang, yang berupa superposisi dari
momentum2 dalam selang p yang kecil sekitar p, nya kemudian akan berubah sedikit
saja dari yang di atas, kecuali bahwa sekarang x 0 . Ini membuat suatu x yang
berhingga, tapi tentu saja yang besar nilainya.

Gambar 3.8
Seterusnya, sekiranya spektrum p dalam itu menjadi lebih lebar, kita harapkan
kecendrungan tadi diteruskan. Dan memang demikian pulalah sebenarnya, hingga kita peroleh
gambar2 dan nya sebagai berikut;

Gambar 3.9
Peranan dan yang simetris itu akhirnya membawa kita pada terkaan bahwa dalam
x =0 yakni dalam hal keadaannya = keadaan eigen dari posisi, katakanlah pada kedudukan
x, mestilah fungsi gelombangnya itu ( x ) ( x x ') . Dalam hal ini ( p ) nya adalah
i
1
1
i
p ( x x ')
h
e h px ' mengingat (x x) =
dp. Jadi grafiknya adalah sebagai berikut:
e
2 h
2 h

Gambar 3.10
Kesemua grafik itu menunjukkan bahwa dengan interpretasi distribusi
kebolehjadian momentum seperti tadi terkait x dan p dengan sifat: jika yang satu besar,
12

maka yang lainnya kecil, dan sebaliknya. Tapi sifat seperti itu sesungguhnya merupakan
intisari dari prinsip Heisenberg. Berarti, perumusan kita memang memenuhi prinsip
Heisenberg, walaupun baru dapat ditunjukkan secara kualitatif.
3.4 Konsep Nilai Harap dan Operator-operator Besaran Dinamik
Kita ulangi hasil uraian pada bagian sebelumnya, yakni bahwa fungsi gelombang
2
(x) tidak hanya mengandung informasi distribusi kebolehjadian posisi: P(x) = ( x ) , tapi
2
juga mengandung informasi distribusi kebolehjadian momentum: P(p) = ( p ) , dimana

(p) adalah transformasi Fourier dari (x), yakni: (p) = (2 h)

( x )e

i px
h

dx.

Perluasan hal di atas kepada, misalnya, gerakan dalam ruang, sifatnya langsung saja,
r
r
r
r 2
r 2
yakni P ( r ) = ( r ) , P ( p ) = ( p ) , dimana ( p ) adalah transformasi Fourier dimensi 3
r
dari ( r ) .
Mengingat dalam fisika klasik nilai posisi dan momentum telah menentukan nilai
setiap besaran lainnya, maka kini tentulah kita pun mengharapkan bahwa fungsi gelombang
keadaan sistem juga mengandung informasi tentang setiap besaran lain dari sistem tersebut.
Namun, harapan ini barulah akan memperoleh landasan apabila ternyata kita memang mampu
merumuskan cara menarik informasi itu, disini tentu dalam bentuk distribusi kebolehjadian,
yang konsisten dengan maknanya sebagai suatu distribusi peluang. Langkah ke arah itu kita
mulai dengan membahas suatu pengertian yang perlu, yakni nilai harap dari suatu besaran.
Kita definisikan nilai harap suatu besaran dalam suatu keadaan sebagai rata-rata
dari nilai-nilai besaran itu dengan bobot peluangnya. Misalnya, bagi besaran posisi, dalam
keadaan dengan kerapatan peluangnya P(x), nilai harap itu adalah:
< x> = xP( x) dx
sedangkan untuk momentum
<p> = pP ( p )dp

Secara eksperimental nilai harap adalah sama dengan harga rata-rata hasil banyak
sekali pengukuran besaran bersangkutan, dengan setiap kalinya sistem berada dalam
keadaan yang sama. Atau, ia sama pula dengan nilai rata-rata hasil pengukuran terhadap
banyak sistem identik, semuanya dalam keadaan yang sama. Sebagai contoh, dalam
percobaan difraksi berkas elektron dengan celah ganda, nilai harap kordinat vertikal bagi
elektron pada kedudukan layar adalah pada tengah-tengah difraksi (yang simetris) itu.
Kita mulai dengan yang mudah dulu, yakni besaran-besaran yang merupakan fungsi
dari besaran posisi x, atau dari besaran momentum p. Definisi besaran-besaran ini adalah
sama seperti dalam pengertian klasik, yaitu nilainya bergantung pada nilai pengukuran posisi,
atau momentum, itu.umpama saja besaran x 2 , ini adalah besaran yang nilainya otomatis
25 cm 2 apabila pengukuran posisi menghasilkan 5 cm. Tentulah pula kebolehjadian
mengikuti kebolehjadian x; apabila untuk x = 3 cm terdapat kebolehjadian sebesar 10%
misalnya, maka kebolehjadian untuk nilai 9 cm 2 bagi x 2 mestilah 10% juga. Lebih tepat lagi,
untuk suatu besaran f(x) besarnya peluang menemukannya antara f dan f +df tentulah sama
dengan besarnya peluang menemukan x antara x dan x+dx tentulah sama dengan besarnya
peluang menemukan x antara x dan x+dx, sekiranya selang df itu bertautan dengan selang dx.
Ini berarti besaran f(x) itu berlaku
P (f) df = P (x) dx
13

dengan konsekuensi, bagi nilai kiranya harapnya berlaku <f> = fp( f )df f ( x ) P( x) dx .
Misalnya bagi x 2 : < x 2 > =

x 2 P (x) dx.

dan sebagainya. Begitu pula tentu, untuk besaran F(p) berlaku F F ( p ) P ( p )dp .

Contoh dari besaran-besaran begini adalah energi potensial V(x) dan energi kinetik
1
p 2 P(p)dp. Faktor
K=p 2 2m . Dengan demikian, berlaku <V> = v( x)dx dan <K> =
2m
1
2m pada intergral terakhir, karena berupa konstanta, telah kita keluarkan dari bawah tanda
integrasi.
Selanjutnya kita perkenalkan suatu cara tertentu untuk menulis nilai-nilai harap, yang
2
akan sangat berguna nantinya. Karena P(x) = ( x ) = * (x) (x) maka kita dapat
menuliskan ungkapan nilai harap x, yang dari setiap fungsinya, dalam bentuk
2
*
<x> = (x) x (x) dx,
<f (x)> = ( x ) f ( x ) ( x )dx
yaitu dimana x, atau f(x), kita selipkan diantara * (x) dan ( x) . Alasan penulisan demikian
adalah sebagai berikut. Apabila kita perhatikan <p>, cara evaluasinya tentulah; hitung dulu
( p ) dari (x), dari sana P(p), baru <p>. Ini merupakan prosedur yang panjang, di samping
kesukaran yang umumnya kita alami dalam usaha mengevaluasi transformasi Fourier dari
suatu fungsi yang diberikan. Pertanyaannya kemudian adakah suatu cara memperoleh <p> itu
yang langsung dari ( x ) , tanpa perlu melalui (p) lebih dulu? Jawabnya: ada yaitu <p>=
h d
*
( x) i dx dx . Dituliskan dengan cara sedikit lain menjadi:
h d
*
( x)dx
<p> = ( x)
i dx
*
<p>= ( x ) p ( x )dx

hd
i dx
Menangguhkan dulu pembuktiannya, dari bentuk di atas kita lihat bahwa nilai
harap dari momentum juga dapat dievaluasi langsung memakai fungsi gelombang ,
sekarang dengan jalan menyelipkan operator p diantara * dan dalam integral tersebut.
Operator p ini disebut sebagai operator momentum, Hal ini menjadi lebih bermakna, karena
dengan p sebagai notasi singkatan dari operator

selanjutnya ternyata pula bagi nilai harap dari p 2 berlaku pula <p2> =

( x ) p 2 ( x )dx ,

h d h d
d2
=
, ini selanjutnya membawa
h
i dx i dx
dx 2
konsekuensi pula, misalnya bagi nilai harap energi kinetik <K> = < p 2 /2m> berlaku <K> =
p 2
h2 d 2
*
2
*

(
p
/
2
m
)

dx

dx

,
dimana
=
, adalah yang dinamai operator

2m
2m dx 2
energi kinetik dari sistem itu. Memperluas halnya kepada besaran x atau fungsi-fungsinya,
dapatlah
kita
simpulkan
bahwa,
dalam
hal
inipun
berlaku
<x>
=
*
*
x dx, f ( x ) f dx , sebelah menggambarkan situasi yang dimaksud, untuk

2
apabila kita interpretasikan p p p

14

besaran posisi x. Kedudukan yang dilaporkan, yakni x kl mempunyai ketaktelitian x cukup


besar, hingga apabila mau lebih teliti kedudukan itu dapat mengambil nilai berapa saja dalam
selang x itu. Grafik P(x) menggambarkan distribusi peluang untuk posisi, yang karena
kondisi klasik tadi, nilainya cukup berarti hanyalah dalam selang x itu. Ini berarti,
kedudukan yang terkait dengan x , sehingga dapat saja kita tuliskan xkl <x>. Situasi
seperti ini tentu juga berlaku bagi energi kinetik, energi potensial, maupun energi total:
K kl <K>, Vkl <V>, E kl <E> . Selanjutnya karena Ekl K kl + Vkl , maka dalam
kondisi klasik mestilah dipenuhi E <K> + <V> . Langkah penentunya kemudian adalah
pada pengambilan anggapan, bahwa sesungguhnya antara ketiga nilai harap itu berlaku
hubungan seperti hubungan ketiga besaran bersangkutan dalam fisika klasik, yakni
<E> = <K> + <V>
Hubungan ini dianggap selalu berlaku juga dimana kondisi klasik tidak dipenuhi.
Konsekkuensinya kemudian adalah seperti berikut:
*
dx *V dx
<E> =
*
= ( K V ) dx'

atau

*
<E> = H dx

h2 d 2

dimana
2 V ( x)
H = K+ V = 2m dx
Kita lihat, juga bagi penghitungan nilai harap energi <E> berlaku aturan
menyelipkan suatu operator disini operator H di antara * dan , sama seperti untuk
besaran-besaran yang dibahas terdahulu. Operator H ini disebut sebagai operator Hamilton
sistem, yang tak lain adalah operator dari besaran energi total E sistem.
Melihat hasil-hasil di atas dapatlah kita simpulkan berlakunya suatu aturan,
setidak-tidaknya bagi penghitungan nilai harapdari besaran-besaran sistem:
Pada setiap besaran sistem terkait suatu operator tertentu, bagi posisi operator itu adalah x
hd
= x bagi momentum p =
, dan bagi setiap besaran A lainnya yang dalam fisika klasik
i dx
ungkapannya terhadap x dan p adalah A = A (x,p), maka A A( x , p ) artinya kaitan antara
operator-operator tersebut sama dengan kaitan antara besaran-besarannya dalam fisika
klasik
Setidaknya dalam makna bahwa
Besarnya nilai harap <A> dalam suatu keadaan yang dilukiskan
Oleh fungsi gelombang , dapat dihitung dengan
*
<A> = A dx

Aturan ini, atas alasan yang sebentar lagi menjadi jelas, dinamai postulat kuantisasi.
Akan kita lihat dalam pembahasan selanjutnya, makna dari operator-operator itu tidak hanya
terbatas sampai penghitungan nilai-nilai harap saja. Sesungguhnyalah keterkaitan setiap
besaran dengan suatu operator, sebagaimana setiap keadaan dengan suatu fungsi gelombang,
adalah sangat sentral dalam mekanika kuantum. Sehingga, setelah menjadi kelaziman untuk
pada akhirnya memikirkan keadaan-keadaan dalam fungsi-fungsi gelombang, sedangkan
besaran-besaran dalam bentuk operator-operatornya.
15

Kembali pada pertanyaan utama; bagaimana caranya, jika memang ada, menarik
informasi distribusi kebolehjadian bagi setiap besaran sistem pada suatu keadaan yang
diberikan? Jika jawabnya dirasa trivial untuk besaran posisi dan fungsinya (seperti energi
potensial) ataupun momentumdan fungsinya (seperti halnya energi kinetik) halnya belumlah
jelas untuk besaran-besaran yang merupakan fungs dari posisi dan momentum, dimana energi
total adalah suatu contoh. Berbicara mengenai besaran ini, kita juga diingatkan pada fakta
eksperimental; adanya nilai-nilainya yang diskrit dalam kondisi kondisi tertentu, fakta mana
hendaknya juga muncul dari perumusan kita. Misalkan saja kita tahu lebih dulu energi dari
sistem yang sedang kita tinjau seluruhnya diskrit. Contoh dari kasus ini adalah misalnya
osilator harmonis (sebagaimana juga halnya bagi semua sistem terikat). Apabila penelahaan
lebih jauh pada ungkapan nilai harap energi sistem itu, untuk setiap keadaan nya selalu
menghasilkan benturan

H dx P , dimana kumpulan nilai-nilai { } hanya


{}

bergantung dari bentuk operator H -dengan kata lain hanya bergantung pada sistem dan
interaksinya, sedangkan kumpulan bilangan-bilangan {P} bergantung pada keadaan nya,
di samping bahwa

{}

P =1,maka bolehlah kita simpulkan bahwa; ( ) adalah kumpulan

nilai-nilai (diskrit) energi sistem; (E), sedangkan (P) adalah distribusi kebolehjadian energi
sistem (PE) (artinya , PE adalah kebolehjadian menemukan energi sistem sebesar E). Dan,
memang demikian pulalah halnya yang kita temukan . Dengan mana, dapatlah kemudian kita
katakan, kita telah memperoleh suatu rumusan mekanika kuatum setidaknya sejauh
menyangkut menarik informasi fisik dari keadaan sistem memenuhi prinsip
korespondensi; Tinggalah lagi kemudian, membandingkannya dengan hasil-hasil eksperimen;
misalnya apakah memang (E) dari perhitungan itu sesuai dengan yang didapat dari
eksperimen . Mengenai yang terakhir ini dapatlah disebut secara umum, hasil pembandingan
itu telah memberikan kepercayaan, setidak-tidaknya struktur dasar dari perumusan mekanika
itu benar adanya.
3.5 Aljabar Operator dan Masalah Nilai Eigen
Berdasarkan pada pembahasan sebelumnya, permasalahan spektrum besaran dinamis
kita sadari betapa pentingnya operator dari besaran-besaran sistem. Jika dugaan ini benar,
berati bentuk operator itu telah mengandung informasi, minimal informasi tentang nilai-nilai
(atau spektrum) besaran bersangkutan. Dengan demikian, masalah tentang bagaimana
memperoleh spektrum suatu besaran dari bentuk operatornya tentulah merupakan salah
satu masalah utama dalam mekanika kuantum. Masalah begini tidak kita jumpai dalam
mekanika klasik, karena dalam mekanika klasik suatu besaran dapat mengambil nilai berapa
saja dalam suatu selang yang umumnya mudah pula dilihat. Energi kinetik misalnya, dapat
mengambil nilai berapa saja yang tak negatif. Sedangkan energi total, nilainya boleh berapa
saja di atas harga minimum energi potensial!
Untuk model sistem yang (hampir selalu) kita ambil, yaitu partikel yang bergerak
sepanjang garis lurus di bawah pengaruh gaya konservatif, sebenarnya tinggal energi total
yang spektrumnya masih harus ditetapkan. Ini karena, secara diam-diam kita sudah
menganggap bahwa spektrum posisi, juga spektrum momentum, adalah kontinu dari
sampai + . Pada gilirannya, ini berakibat pula pada kontinunya spektrum setiap besaran
lain yang merupakan fungsi dari salah satu dari kedua besaran itu. Walaupun spektrum posisi
maupun momentum tidak merupakan masalah lagi, kita toh mengharap agar segala
16

sesuatunya lengkap dan taat azas sifat spektrum yang kontinu tadi juga dapat kita turunkan
dari ungkapan operator masing-masingnya! Jadi singkatnya:
Spektrum suatu besaran sudah ditentukan oleh operator besaran itu.
Dalam uraian yang akan datang kita akan pelajari bagaimana memperoleh spektrum
dari bentuk operatur besarannya. Perangkat matematika yang diperlukan untuk itu kita
perkenalkan terlebih dulu dalam bagian ini.
Operator bekerja pada fungsi gelombang
Operator yang kita maksudkan di sini adalah misalnya operator A yang bekerja pada
fungsi gelombang yang dituliskan langsung di belakangnya, menghasilkan suatu fungsi
lainnya, yakni: A = . Fungsi-fungsi gelombang itu sendiri bergantung pada sistemnya.
Bagi partikel yang bergerak sepanjang garis lurus , ( x ) , bagi yang bergerak dalam
ruang, = (r ), yang selanjutnya masih dapat dituliskan dalam koordinat kartesian, bola,
atau lainnya. Yang kita tinjau sekarang adalah keadaan sistem pada suatu saat tertentu, sebab
itu pergantungannya terhadap t kita abaikan dulu. Lagi pula, pada umumnya fungsi ini
berbentuk paket gelombang, yakni dimana

dx

Operator Linier
Contoh-contoh dari operasi operator linier tersebut, misalnya, perkalian dengan suatu
d
konstanta: C , perkalian dengan suatu fungsi: V(x) , diferensiasi:
. Ketiganya adalah
dx
contoh dari operasi yang linear, yaitu yang memenuhi

A (
1 1 2 2 ) 1 A 1 2 A 2
Contoh yang tak linear, misalnya; penjumlahan dengan suatu fungsi tertentu. Namun
selanjutnya kita hanya membahas operator yang linier saja. Dua operator disebut sama: A B
, jika hasil operasinya terhadap fungsi yang mana saja adalah identik.
Penjumlahan dan perkalian operator
Antara dua operator dapat kita lakukan penjumlahan, dan perkalian. Jumlah dari dua
B . Definisi ini mengakibatkan, misalnya
operator, yakni ( A B ) = A
A B C A ( B C ) ( A B ) C begitu pula A B B A . Yang terakhir menunjukkan
bahwa operator-operator berkomutasi, singkatnya komut pada operasi penjumlahan.
) AB
A ( B ) . Perhatikan definisi
Perkalian dua operator didefinisikan melalui ( AB
urutannya: B dulu bekerja pada , baru kemudian pada fungsi hasilnya dioperasikan
A 2 , AAA
A 3 , dan sebagainya.
A . AA
Pada perkalian juga berlaku
A ( BC
)C , sehingga AAA
) ( AB
A 2 A AA
2 dan sebagainya.
ABC
Sifat tak komutatif perkalian operator
Walaupun pada perkalian dua operator ada yang berkomutasi - A dengan A n
BA
.
misalnya-, tapi umumnya perkalian operator tak komutatif sifatnya, yakni: AB
x (d / dx ) , sedangkan BA
= (d/dx) x
Misalnya, jika A x dan B = d/dx, maka AB
17

. Dalam hal ini dapat dituliskan


, yang tidak sama dengan AB
d
d
x ( x 1)
dx
dx
Karena berlaku untuk setiap, dapatlah kita tuliskan sebagai kesamaan operator:
d
d
x x 1
dx
dx
d
x 1) , atau
(perhatikan bahwa operator
dx
d
d
x x 1
dx dx
h
h d
p , maka kita
Apabila persamaan ini kita kalikan dengan , dan mengingat bahwa
i
i dx
peroleh kesamaan operator
px
ih
xp
yang memperlihatkan bahwa operator-operator x dan p tidak komut.
Komutator dari dua operator; sifat-sifatnya
Berkaitan dengan sifat-sifatnya terhadap komutasi, dapat didefinisikan komutator dari
dua operator A dan B sebagai operator
BA

A , B AB

Oleh karena itu, untuk A dan B yang berkomutasi, [ A , B ] 0 . Contoh-contohnya adalah:


A , =0 ( konstanta). A , f ( A ) =0, sehingga [x , V(x)] =0 p , K =0.

Contoh paling utama dari operator yang tak komut adalah x , p =ih. Beberapa sifat terpenting
dari komutator adalah
[ A , B ] [ B , A ]
[ A , B C ] [ A , B ] [ A , C ]
] B [ A , C ] [ A , B ]C
[ A , BC
Produk skalar dua fungsi gelombang
Kita definisikan produk skalar dan fungsi gelombang ( x ) dan ( x ) sebagai

( , ) * ( x ) ( x )dx

Integral seperti ini, karena seringnya muncul dalam mekanika kuantum, diberi notasi
singkatan khusus seperti di atas. Notasi yang sama juga kita pakai untuk fungsi-fungsi
gelombang yang lebih umum. Jadi misalnya, untuk fungsi-fungsi gelombang dari partikel
r 3
* r
yang bergerak dalam ruang: ( , ) ( r ) ( r ) d r untuk seluruh ruang.

Nama produk skalar sengaja dipilih untuk mengingatkan orang kepada konsep
rr
produk skalar dua vektor biasa, yakni a.b a x bx a y by a z bz , sehubungan dengan banyaknya
sifat yang sama dalam kedua hal, seperti akan berulangkali kita lihat nanti. Namun ada juga
18

rr rr
perbedaanya, misalnya jika a.b = b .a , tidak demikian halnya dengan ( , ) . Di bawah ini
adalah beberapa sifat terpenting dari produk skalar:
( , )* ( , )
2

( , ) ( x ) dx disebut norm dari , nilainya 0;


nilainya = 0 hanya jika 0.
( , 1 2 ) ( ,1 ) ( , 2 )
( 1 2 , ) ( 1 , ) ( 2 , )
( , ) ( , ) untuk konstanta
( , ) * ( , )
Kombinasi dari sifat-sifat di atas mengakibatkan, misalnya:
*
( i
i i , j j j ) i j i j ( i j )
Ortogonal, ternormalisasi, ortonormal
Jika ( , ) = 0, kedua fungsi dan itu disebut ortogonal sesamanya. Tentu saja
2

dalam hal ini juga ( , ) 0 . Suatu fungsi dengan norm = 1, jadi ( , ) = dx 1 , disebut
ternormalisasi. Fungsi-fungsi gelombang yang memiliki keadaan yang nyata umumnya kita
ambil dari tipe ini, walaupun hal itu bukan keharusan. Jadi misalnya, nilai harap dari besaran
A, dalam keadaan , adalah
A ( , A ) jika ternormalisasi, dan
= ( , A ) /( , ) jika tak ternormalisasi

Suatu himpunan fungsi gelombang [ i ] yang ortogonal sesamanya, masing-masing


ternormalisasi disebut set fungsi gelombang yang ortonormal. Baginya berlaku hubungan
( i , j ) ij
Simbol Kronecker di sana membuat hal ini dinamai ortonormalisasi Kronecker. Ini untuk
membedakannya terhadap ortonormalisasi Dirac, di mana yang muncul adalah fungsi
Dirac. Contoh yang terakhir ini adalah misalnya
i px
1
h
( p ), dengan p ( x )
1 e
2
(2 h)
i
1
e h( p p ') x dx ( p p ')
karena ( p , p ' )

2 h
Setangkup hermit; operator hermit
Terkait dengan suatu operator A adalah suatu operator yang kita namakan setangkup
hermitnya, dengan notasi A dan definisi:
( , A ) ( A , )untuk setiap dan
Dituliskan dalam bentuk integral, ini adalah
*
*
A dx ( A ) dx
Mudah pula menunjukkan, bahwa juga
( A , ) ( , A ) .

19

Melihat kedua hubungan di atas, dapatlah kita simpulkan bahwa, suatu operator dalam
produk skalar boleh kita pindah dari suatu ruang ke ruang lainnya, namun dalam pemindahan
itu ia harus kita gantikan dengan setangkup hermitnya.
Berikut adalah beberapa contoh operator dengan setangkup hermitnya:
( ) * ( = konstanta)
x x

d
d
dx dx
Dari keseluruhan, hanya yang terakhir yang tidak trivial. Sebab itu ia kita buktikan
berikut ini.

d
d *
d *
d
d
( ,( d / dx ) (
, )
dx
dx
dx * *

dx
dx
dx
dx
dx

d
d
d
0 ) =

dx
dx
dx
*

di mana telah kita pergunakan sifat, karena merupakan paket gelombang, dan menjadi
hilang di tempat jauh. Mudah pula menunjukkan kebenaran sifat-sifat berikut ini:
( A ) A
( A B ) A B
) B A (Perhatikan urutannya yang dibalik!)
( AB
Operator-operator yang sama dengan setangkup-hermitnya disebut operator hermit.
Contoh-contohnya: yang real, x, energi potensial V(x), p juga hermit, sebab

h d
d h
h hd

i
i dx
i dx
dx i
dx
Untuk semua operator hermit berlaku
( , A ) ( A , )
yang berarti operator hermit itu bisa segera kita pindahkan ke ruang lainnya, tanpa mengalami
perubahan apapun.
Hermitnya operator besaran-besaran dinamis
Di atas telah kita lihat bahwa operator besaranbesaran dinamis posisi dan momentum
bersifat hermit. Demikian pula ternyata halnya dengan operator dari energi potensial (karena
merupakan fungsi real dari x) dan energi kinetik (karena berupa (1/2m) p 2 , sedangkan p
sendiri hermit). Seterusnya operator Hamiltonian sistem juga hermit, karena merupakan
jumlah dua operator hermit). Dengan demikian:
Operator dari setiap besaran dinamis bersifat hermit
Ini dapat ditunjukkan seperti berikut:
Nilai harap <A>= ( , A ) karena selalu real (ia merupakan perataan dari banyak bilangan
nyata, yakni hasil-hasil pengukuran), adalah sama dengan ( A , ) ( , A ) untuk semua

. Dengan demikian, A A
20

Operator invers
untuk setiap yang diberikan. Tetapi kebalikannya
Perlu difahami uniknya
belum pasti, yakni jika diberikan suatu fungsi dan ditanyakan: adakah suatu unik
, dapat saja terjadi jawabnya tidak, karena mungkin ada lebih dari satu
dimana

, dan sebagainya. Namun,
yang memenuhi hubungan itu, misalnya jika
1
2
apabila jawab pertanyaan tadi adalah ya ini berarti adanya korespondensi satu-satu antara
disebut bersifat biasa maka dapat dianggap sebagai hasil
dan , dalam hal mana
operasi suatu operator B terhadap ; yakni B . . Dengan demikian, operator B itu
1; yakni
1 . Perlu diingat

, dan dinotasikan dengan
disebut sebagai invers dari
tidak setiap A adalah biasa, sebab itu pula: tak semua operator punya invers. Contoh trivial
( 0) , maka
1 1/ . Beberapa sifat utama
yang punya invers, misalnya jika
operator invers, misalnya:
1

1 1

1 ) 1

(
) 1 1
1
(

Operator uniter
Suatu operator U yang biasa disebut uniter jika setangkup hermitnya identik dengan
inversnya, atau : U U 1 . Dengan demikian, bagi operator uniter berlaku
1
U U UU
Suatu sifat penting operator uniter adalah, ia tak mengubah nilai produk-produk skalar.
Masalah nilai eigen; fungsi-fungsi eigen
, merupakan fungsi yang bebas
terhadap , yakni
Biasanya hasil operasi
adalah sebanding dengan .
linear terhadap . Namun bagi fungsi-fungsi tertentu,
Jadi, bagi fungsi khusus ini berlaku
a (a= konstanta)

Kalau ini berlaku, disebut suatu fungsi eigen dari A dan a itu disebut nilai
eigennya, yang berkaitan dengan fungsi eigen tadi. Guna menegaskan kaitan fungsi eigen
dengan nilai eigennya, seringkali fungsi eigen itu dibubuhi tanda nilai eigennya: a , sehingga
hubungan tadi menjadi
a

a
a
Dalam hal A adalah operator besaran dinamis, indeks nilai eigen pada fungsi eigen
itu dikenal juga sebagai bilangan kuantum.
- dalam hal mana semua fungsi adalah
Kecuali dalam hal-hal tertentu, misalnya jika
fungsi eigennya dengan nilai eigen tunggal bilangan itu tadi sering nilai-nilai eigen itu
tersebut pada harga-harga tertentu saja. Maka masalah menetapkan kumpulan nilai eigen dari
suatu operator, bersama dengan fungsi-fungsi eigennya yang berkaitan, dinamai permasalahan
nilai eigen dari operator bersangkutan.

21

Tak uniknya fungsi eigen; perihal berdegenerasi


Fungsi eigen dari suatu operator linear tidak unik; segera terlihat, c a juga merupakan
fungsi eigen dengan nilai eigen a yang sama. Sebab
c c
ca ac

a
a
a
a
Memakai bahasa matematika ini diungkapkan sebagai
Setiap fungsi yang bergantung linear terhadap suatu fungsi eigen adalah juga eigen
dengan nilai eigen yang sama.
Dapat pula terjadi, dua fungsi yang bebas linear merupakan fungsi-fungsi eigen dari
operator A dengan nilai eigen yang sama. Jika demikian nilai eigen a itu disebut
berdegenerasi. Degenerasi ini disebut lipat n, jika ada n (maksimum) fungsi eigen bebas
tadi, jelas
linear sesamanya dengan nilai eigen a yang sama itu. Untuk contoh
adalah nilai eigen berdegenerasi lipat . Untuk nilai eigen yang berdegenerasi, perluasan dari
teorema di atas adalah:
Setiap fungsi yang bergantung linear terhadap fungsi-fungsi eigen dengan nilai
eigen yang sama adalah juga fungsi eigen dengan nilai eigen itu lagi.

Teorema ini jadi menyatakan, apabila a1 dan a 2 adalah fungsi-fungsi eigen


dengan nilai eigen a, maka c1 a1 c2 a 2 adalah lagi fungsi eigen dengan nilai eigen yang
sama. Buktinya, yang sangat mudah, dikemukakan sebagai soal saja.
Masalah nilai eigen operator hermit
Khusus bagi operator hermit berlaku teorema penting berikut ini:
a.Nilai eigennya semua real
b.Fungsi-fungsi eigennya, dari nilai eigen yang berbeda, ortogonal sesamanya.
Buktinya sebagai berikut:
kita peroleh ( ,
) a( , ) . Dengan
yang hermit, telah kita
Dari
a
a
a
a
a
a
tunjukkan bahwa ruas kirinya real. Maka nilai eigen a di ruas kanan juga real, mengingat
faktornya, berupa norm dari a , selalu real. Selanjutnya, jika a juga nilai eigen,
) a ( , ) . Tapi ruas kiri adalah sama dengan (
, ) yang memberikan
( ,
a'

a'

a'

(a ' a ' , a ) a '( a ' , a ) . Sehingga kita peroleh: a ( a ' , a ) a '( a ' , a ) .
hubungan terakhir hanya dipenuhi oleh ( a ' , a ) 0 .

Jika

a a'

Ortonormalisasi dan kelengkapan fungsi-fungsi eigen operator besaran dinamis


seluruhnya diskrit dan tak ada
Misalkan set nilai eigen (a) dari operator hermit
yang berdegenerasi. Jika kemudian kita pilih, bagi setiap nilai eigen itu, satu fungsi yang
tersebut yang
ternormalisasi, kita akan memperoleh suatu set fungsi eigen ( a ) dari
ortonormal. Yakni, yang memenuhi ( a , a ' ) aa ' .
Apabila A yang hermit itu adalah operator dari suatu besaran dinamis, kita selalu pula
akan menambahkan anggapan bahwa set itu lengkap. Dalam arti kata, setiap fungsi
gelombang ( x) sistem dapat kita ekspansikan terhadap set tersebut;
( x ) a a
(a )

22

Perihal adanya set fungsi eigen yang ortonormal dan lengkap dari operator besaran
dinamis merupakan salah satu landasan utama mekanika kuantum. Sifat tersebut yang telah
kita kemukakan untuk perihal nilai eigen yang seluruhnya diskrit dan tak berdegenerasi,
masih tetap berlaku apabila ada nilai eigennya yang kontinu, juga apabila ada degenerasi.
Misalkan dulu suatu nilai eigennya berdegenerasi lipat n. Maka ternyata selalu mungkin untuk
memilih di antara fungsi-fungsi eigen dari nilai eigen itu n buah yang ortonormal. Maka
keseluruhan fungsi-fungsi eigen yang dipilih seperti itu akan membentuk set ortonormal yang
lengkap. Ortogonalitas tadi berlaku otomatis untuk fungsi-fungsi eigen dari nilai eigen yang
berbeda, dan memang kita pilih bagi fungsi-fungsi eigen dari nilai eigen yang sama.
Kemudian pula, untuk nilai-nilai eigen kontinu ortonormalitas itu masih bisa tetap bertahan,
namun sekarang dalam bentuk ortonormalitas Dirac, menggantikan ortonormalitas Kronecker
bagi nilai-nilai eigen diskrit. Sebagai contoh kita tinjau integral Fourier dari suatu fungsi
gelombang ( x) :
i
1
( x)
( p )e h px dp
1
(2 h) 2
i
1
e h px .
1
Ini tak lain adalah ekspansi dari ( x) terhadap set ( p ( x) di mana p ( x )
(2 h) 2
hd
adalah fungsi eigen dari operator momentum p
. Bahwa ia memang fungsi eigen
i dx
dengan mudah kita lihat dari berlakunya p p ( x ) p p ( x ) yang sekaligus menunjukkan nilai
eigennya= p. Bahwa set itu ortonormal, kita lihat dari
i
1
( p , p ' ) p * ( x ) p ,( x )dx
e h( p ' p ) x dx ( p p ')

2 h
Ortonormalisasi di sini adalah tipe Dirac, sesuai dengan set nilai eigen (p) yang kontinu.
Bahwa set fungsi eigen itu lengkap kita lihat dari teorema integral Fourier, yang menyatakan
bahwa untuk setiap fungsi yang bersifat paket gelombang, berlaku integral Fourier, yang tak
lain adalah ekspansi ( x) terhadap ( p ( x )), yaitu ( x ) ( p ) p ( x )dp
Masalah nilai eigen operator uniter
Untuk melengkapi, mengenai permasalahan nilaieigen bagi bagi operator uniter, dapat
kita kemukakan;
a.Semua nilai eigennya bermodulus 1
b.Fungsi-fungsi eigennya dari nilai eigen yang berbeda ortogonal sesamanya.
Sifat terakhir menunjukkan, sama seperti pada operator hermit, selalu ada set fungsi
eigen dari suatu operator uniter yang ortonormal. Perbedaannya hanyalah terletak pada nilainilai eigennya, yang sekarang dapat kompleks, tapi selalu berharga mutlak 1.
SOAL-SOAL DAN SOLUSINYA
SOAL-SOAL:
Soal 3.1.
Buktikan x (t) = cos wt berosilasi dengan frekuensi
23

2 . Buktikan pula x (t) = A cos t + B sin t berosilasi dengan frekuensi yang sama.

Soal 3.2
Cari Solusi persamaan differensial berikut :
d 2x
(a) 2 2 x(t ) 0
x (0) = 0,
x (0) = V0
dt
d 2x
(b) 2 2 x(t ) 0
x (0) = A,
X (0) =V0
dt

Buktikan bahwa dalam kedua kasus ini x(t) berosilasi dengan frekuensi 2
Soal 3.3
Solusi umum pada persamaan differensial
d2x
2 x(t ) 0 adalah x (t) = e1 cos t + e2 sin t
2
dt
Sering Solusi ini ditulis dalam bentuk ekuivalen seperti berikut:
x(t ) sin(t ) atau
x(t ) cos(t )
Tunjukkan ketiga ekspressi tersebut untuk x(t) adalah ekuivalen. Turunkan persamaanpersamaan untuk A dan dalam suku-suku C1 dan C2. Tunjukan pula bahwa ketiga bentuk
untuk x (t) tersebut berosilasi dengan frekuensi 2
Soal 3.4
Buktikan
2

y ( x, t ) sin
( x vt )

adalah gelombang dengan panjang gelombang dan frekuensi y v menjalar ke kanan


dengan kecepatan v.
Soal 3.5
Pakai identitas trigonometri
Sin sin 1 2 cos( x ) 1 2 cos( ) untuk menunjukkan bahwa fungsi
gelombang partikel dalam kotak memenuhi hubungan
a

( x) m ( x)dx 0

mn
Catatan: Jika himpunan fungsi memenuhi kondisi integral di atas, kita katakan himpunan (set)
tersebut orthogonal dan dalam hal khusus m ( x) adalah orthogonal terhadap n ( x) . Jika
sebagai tambahan fungsi ternormalisasi, kita katakan himpunan tersebut orthonormal.
Soal 3.6
Buktikan himpunan fungsi
x
1
n ( x) a 2 ei 2 na a
n 0, 1, 2,...
24

adalah orthonormal terhadap interval (0,a). Suatu cara yang kompak untuk mengekpresikan
orthonormal dalam n ( x) adalah menuliskannya sebagai sebagai :
q

k
m

( x) n ( x)dx mn

Simbol mn disebut delta Kronecker yang didefinisikan sebagai


mn 1 jika m = n
=0 jika m n
Soal 3.7
Dalam Soal-Soal yang berhubungan dengan partikel dalam kotak kita sering memerlukan
Solusi integral dengan tipe
a
a
n x
m x
nax
max
0 sin a sin a dx dan 0 cos a cos a dy
Integral-integral seperti ini mudah dihitung jika kita konversi fungsi trigonometri ke
eksponensial kompleks dengancara memakai identitas;
ei eiE
ei e i
cos
dan sin
2
2i
dan kemudian realisasi yang menunjukkan himpunan fungsi
x
1
h (k ) a 2 eina a
n=0, 1, 2,...
yang orthonormal dalam interval (0,a). Tunjukan
a
a
nax
max
nax
ma x
a
0 sin a sin a dx 0 cos a cos a dx z nm
yang dalam hal ini nm adalah delta Kroenecker.
Soal 3.8
Tunjukkan bahwa himpunan fungsi
1
n ( ) (2 ) 2 ein 0 2
2

adalah orthonormal: yakni

d 1 m=n
*
m n

= 0 m n

Soal 3.9
Hitunglah E2 2 2 untuk partikel dalam
Kotak dalam keadaan yang dijelaskan oleh
1
2
630
( x ) 9 x 2 ( a x) 2 0 x a
a
Soal 3.10
Perhatikan sebuah partikel bebas yang terkendala bergerak hanya pada daerah empat persegi
panjang
0 x a, 0 y b (lihat gambar)

25

y
b

Kita sebut sistem seperti ini sebagai sebuah partikel dalam kotak dua dimensi. Fungsi eigen
sistim ini adalah:
ny
4
n x
nx ;n y ( x, y ) ( )1/ 2 sin x sin y
nx =1, 2, 3,
ab
a
b
ny = 1, 2, 3,
Operator Hamilton untuk sistem ini adalah
h2 2
2
H
( 2 2)
2m x
y
Tunjukkan bahwa jika sistem berada dalam satu keadaan eigen, maka
E2 E 2 E 2 0
Soal 3.11
Operator momentum dalam dua dimensi adalah

p ih(i j )
x
y
Pakai fungsi gelombang dalam soal 2,1,2, untuk untuk menghitug <p> dan kemudian tentukan
2p p 2 p 2 . Bandingkan hasil yang diperoleh terhadap 2p dalam kasus satu
dimensi.
Soal 3.12
Misalkan sebuah partikel dalam kotak dua dimensi berada dalam keadaan
30
( x , y ) 5 5 1 2 x ( a x ) y (b y )
(a b )
Tunjukan bahwa ( x, y ) ternormalisasi, dan kemudian hitung <E> yang berhubungan dengan
keadaan yang dijelaskan oleh ( x, y ) .
Soal 3.13
Manakah
diantara
operator-operator
berikut
yang
Hermitian:
2
2
d ;i d ; d
;i d
;xd
dx
dx
dx dan x?. Anggap bahwa fungsi-fungsi terhadap mana
dx 2
dx 2
operator ini bekerja merupakan fungsi yang berkarakter baik tak terhingga.
Soal 3.14
Hermitian, maka
-<a> adalah Hermitian. Tunjukkan juga bahwa
Tunjukan bahwa jika
jumlah dua operator Hermitian juga operator Hermitian.
26

Soal 3.15
Hermitian, maka
Tunjukkan bahwa jika
dx
dx
Soal 3.16

1
Tunjukkan bahwa himpunan fungsi ( 2 a ) 2 cos( n x a ) ,n=0,1,2, adalah ortonormal pada
interval 0 x a.

Soal 3.17
Diketahui tiga polinominal

f 0 ( x) a0 , f1 ( x) a1 b1 xdan

f 2 ( x) a2 b2 x c2 x 2
Tentukan konstanta-konstanta sedemikian sehingga bentuk fungsi (f) merupakan suatu
himpunan ortogonal pada interval 0 x 1 .
Soal 3.18
Pakai keortogonalan himpunan

sin(n x a)

pada interval 0 x a , untuk menunjukkan

bahwa jika
nax
maka
a
a
n x
2
bn
f ( x) sin
dx
a
a
0
n = 1,2,
Pakai ini untuk menunjukkan
2a (1) n 1
n x
x
sin

n 1 n
a
f ( x ) n 1 bn sin

bahwa

ekspressi

Fourier

f ( x ) x, 0 x a, adalah

Soal 3.19
,
, dimana
dan
dinyatakan sebagai berikut;
Evaluasi komutator

x
2
d
(a) 2
dy
d
x
dx
(b ) d x
dx
x

(c ) dx

dx

(d )

d
x
dx 2

dx

x2

Soal 3.20
27

Kita dapat mendefinisikan fungsi operator melalui deret Taylor. Sebagai contoh, kita
definisikan exp ( s) sebagai

( s) n
e s
n 0 n !
Memakai aturan tersebut, kondisi apakah yang perlu untuk kesamaan berikut


e ? e e
Soal 3.21
komut dengan suatu Hamiltonian
dan
, maka
bersama-sama
Jika suatu operator
akan merupakan himpunan yang saling merupakan fungsi eigen. Jelaskan implikasi


, 0 pada pengukuran A.
Soal 3.22
x
Mulai dengan x ( x, t ) x ( x, t )dx
Diketahui bahwa

2
2
h d U( x)

2m dx 2

2
2
, x
x x
2 h d h i x ih x

2m dx mh
m
Akhirnya subtitusi hasil ini ke persamaan d <x>/dt untuk menunjukkan bahwa
d x x

Interpretasikan hasil ini.


dt
m

Tunjukkan bahwa

Soal 3.23
Generalisasi hasil Soal 2.1.14 dan tunjukkan bawa jika F adalah suatu besaran dinamis, maka
dF
FH
) dx . Pakai persamaan tersebut untuk menunjukkan bahwa
k i ( HF
h
dt
d Px
dU

. Interpretasikan hasil ini. Persamaan terakhir disebut teorema Ehrenfest.
dt
dx
Soal 3.24
f dimana
dan f diberikan berikut ini
Evaluasi g

(a)
Akar kuadrat
(b)
d3
x3
dx 3
1
(c)
dx

x
e x

(d)

x3y2z4

f
4

x3 2x + 3

2
2
2

x 2 y 2 z 2

28

Soal 3.25
Tentukan apakah operator-operator berikut linear dan non-linear
f ( x) kuadrat f (x)={f(x)}1/2
(a)
f ( x) f x ( x) [bentuk konjugat kompleks f(x)]
(b)
f (x) = 0 [kalikan f(x) dengan nol ]

f ( x) [ f ( x )]1 [ambil kebalikan (resiprok) f (x) ]

f ( x) f (0) [evaluasi f (x) pada x = 0 ]


(e)
f ( x) hf ( x) [ambil logaritma f (x)]
(f)
(c)
(d)

Soal 3.26
d2
d2
d2
2

Tuliskan operator untuk (a ) 2 (b) x (c ) 2 2 x d 1


dx
dx
dx
dx
Soal 3.27
Tentukan apakah pasangan operator berikut komut atau tidak

d
dx
(b ) x
(c )kuadrat

(d )
x

d2
2d
dx
dx 2
d
dx
akar kuadrat

(a)

Soal 3.28
Tunjukkan bahwa e x adalah fungsi eigen operator D n (didifferensiasi (diturunkan) n kali
terhadap x). Berapa nilai eigennya?.
Soal 3.29
Tunjukkan bahwa eiKx adalah suatu fungsi eigen operator momentum
x ih . Berapa nilai eigennya.
x
Soal 3.30
Dalam setiap kasus di bawah ini, tunjukkan bahwa f(x) adalah fungsi eigen operator yang
diberikan. Tentukan nilai eigennya.

f(x)

29

cos x

d2
dx 2
d
(b )
dt
d2
d
(c ) 2 2 3
dx
dx

(d )
y
(a)

eit
e x
x 2 e6 y

Soal 3.31
2
2
2
Tunjukkan bahwa (cos dx) (cos cz) adalah fungsi eigen operator 2 2 2 yang
x y z
kita kenal sebagai operator Laplacian.
2

Soal 3.32
Hitung probabilitas sebuah partikel dalam kotak satu dimensi yang panjangnya a berada
antara 0 dan a/2.
Soal 3.33
Barangkali distribusi kontinu yang paling sederhana adalah yang dikenal sebagai distribusi
uniform, dimana
a xb
F(x) constan =A
= 0 di yang lainnya.
2
Tunjukkan bahwa A mesti sama dengan 1/(b-a). Evaluasi (x), <x2 >, x
Dan x untuk distribusi ini.
Soal 3.34
Distribusi probabilitas kontinu yang paling biasa adalah
Distribusi Ganss, atau normal, yang distribusinya sbb.
x

f ( x )dx ce
Tentukan c , <x>, 2 dan

2
2 a2

dx x

Soal 3.35
Suatu distribusi probabilitas diskrit yang biasa dipakai dalam
Statistik adalah distribusi Poisson.
n
n= 0,1,2,
fn
e
n!
Buktikan bahwa fn ternormalisasi. Evaluasi <n> dan <n2 > dan tunjukkan bahwa
2 0 . Ingat kembali

xn
ex
n 0 n !
Soal 3.36
Suatu distribusi kontinu penting adalah distribusi eksponensial
30

P(x) dx = ce x dx0 x
Evaluasi Ec,<x>, 2 dan probabilitas untuk x a .
SOLUSI:
Solusi 3.2
a)
d2x
2x 0
2
dt
Solusi umum persamaan ini adalah
X(t) = Acos t B sin t
Kedua kondisi diterapkan, diperoleh
X(0) = 0 = A
X(0) = v0 = B
A = 0 dan B = v0 /
b). Solusi umum adalah
x(t) = A cos t + B sin t
Kedua kondisi diterapkan, diperoleh
X (0) = A
X (0) = v0 = B
Jadi
v
X (t) = A cos t + 0 sin t

Solusi 3.3
Mari kita mulai dengan
X(t) =A sin (t ) cos sin t A sin cos t
Bandingkan dengan
x(t ) C1 cos t C2 sin t
Kita lihat bahwa,
C1 = A sin
C2 = A cos
Dengan cara sama,
X (t) = B cos ( t ) = B cos
cos t - B sin
sin t

t
Bandingkan hasil ini dengan x (t) = c1 cos
+ c2 sin
Menunjukkan bahwa,
C1 = B cos
C2 = - B sin
Untuk menunjukkan A sin ( t ) berisolasi dengan frekuensi
/ 2 , ganti dengan t + n , dimana = 2 / yang merupakan
perioda osilasi. Subtitusi ini akan menghasilkan
A sin( t ) A sin[ (t 2 n / ) ]
A sin[(t ) 2 n]
A sin(t ) cos 2 n
A cos(t ) sin 2 n
A sin(t )
Jadi, 2 / merupakan periode osilasi dan / 22 adalah frekuensi
31

Solusi 3.4
Untuk membuktikan Y(x,t) adalah gelombang yang mempunyai panjang gelombang , ganti
x dengan x +
2
y ( x , t ) A sin
( x ) vt

A sin
( x vt ) 2

A sin
( x vt ) y ( x, t )

Untuk menunjukkan y (x,t) menjalar kekanan dengan kecepatan


V, lihat pada harga maksimum y (x,t), katakanlah misalnya ketika argumen sinus sama dengan
/ 2 . Dalam kasus seperti ini
2

( x vt )

2
atau
x vt / 4
Ingat, x bertambah secara linear dengan t untuk suatu kecepatan v.
Solusi 3.5
Kita ingin menunjukkan
2
n x
m x
I nm n( x) m( x)dx sin
sin
dx nm
a0
a
a
0
pakai identitas trigonometri
n x
m x 1
(n m) x 1
(m n) x
sin
sin
cos
cos
a
a
2
a
2
a
untuk menuliskan
a
a
1
(n m) x
1
I nm cos
dx cos ( m an ) x
a0
a
a0
a

1 a sin (n m) x / a
a
(n m)

1 a sin (n m) x / a
nm
a
(n m)
1
1
nm
= (0) (0) 0
a
a
Dalam hal ini, kita pakai kenyataan sin N 0 untuk nilai bilangan integer N.
a
a
1
1
2 nx
I

dx

cos
dx 1 .
Ingat, jika n = m, kita peroleh nn

a0
a0
a
Solusi 3.6
-

32

Kondisi ortonormalitas adalah n( x ) m ( x)dx nm . Untuk n = m, kita peroleh


0

1 in x / a in x / a 1
e
e
dx 1 untuk
a 0
a0

n m,

1 i ( mn ) x / a
1
(m n) x
( m n ) x
e
dx cos
i sin

dx 0 ..
a0
a 0
a
a
a

Solusi 3.8
Untuk kasus m = n, kita peroleh
2

*( ) n ( ) d

(2 ) 1/ 2 e in

(2 ) 1/ 2 e in d

1
2

Untuk kasus m n , kita peroleh


2

*( )
( )
m n d
0

1
2

i ( n m )

d 1
0

d 0

Solusi 3.9
a

E ( x ) A ( x )dx
0

h2 d 2
= (x) ( x)dx
2
2m dx
0
a

=-

630h2 2
x (a x) 2 (2a 2 12ax 12 x 2 )dx
9
2ma 0

untuk menentukan harga integral, biasanya dipakai hubungan berikut


1
m !n ! x
m
n
0 x (1 x) dx (m n 1)!
jadi
315h2
ma 9

E ?

315h
ma 2

2
2a

2!2! a 5
3!2! a 6
4!2! a 7
12a
12
5!
6!
7!

2
7 x15

6h2
ma 2

33

E 2 ( x ) A2 ( x)dx
0

h4 d 4
= (x)
( x)dx
2
4
4m dx
0
a

630h4 2
126h4
2
x
(
a

x
)
(4.3.2)
d
4m 2 a 9 0
m2 a 4

dan
90h4
m2a 4

E E 2 E 2

Solusi 3.10
Jika sebuah sistem berada pada salah satu keadaan eigennya (eigenstate; keadaan nilai diri),
maka
H nx n y Enx n y nx n y
dan
A2 nx ny E 2 nx ny nx ny
Karena itu
E n*x n y A nx n y dxdy Enx n y
dan

E 2 nx*n y A2 nx n y dx E 2 nx n y

E 2 E 2 E 2 0
Solusi 3.11
a

<p>= dx dy n x n y



( x, y )

i
h
i

nxn y
x

nx y
4ih

dx
dy
sin
ab 0 0
b
a

( x, y)

n
n
n
n
n
x i x cos x y j y sin x x cos y y
b
b
a
a
a
=0
a
b

2
2
p 2 dx dy nx n y ( x, y ) h2 2 2
x y
0
0

( x, y )
x nx ny

a
b
n y y
4h2
n x x
dx
dy
sin
sin
ab 0 0
a
b

n
nx 2 2 ny 2 2
n

sin x x sin y y
2
2
b
a
b
a

34

nx 2 ny 2
2
h 2 nx 2 ny

2
b 2
4 a 2
b 2
a
Hasil ini merupakan pengembangan persamaan yang menunjukkan harga <p2 >
2p p 2 p 2 p 2
2 2
= h

Solusi 3.12
Untuk menunjukkan ( x, y ) ternormalisasi, proses sebagai berikut
a
b
a
b
900
2
2
2
dx
dy

(
x
,
y
)

dx
x
(
a

x
)
dy y 2 (b y ) 2
5
0 0

ab 0
0
900 2.2a 5
a 5b5 5!

2.2 b5
1
5!

Kita telah memakai hubungan


1

n !m !
(n m 1)!
0
<E> diperoleh sebagai berikut
a
a
900
dx dyx(a x ) y (b y )
a 5b5 0 0
<E> =
h2

x 2 y(b y) 2 x(a x)
2m

2
5
5
900h 1x1a 2 x 2b
= 5 5 [[
][
]
abm
3!
5!
2 x 2a 5 1x1b3
[
][
]]
5!
3!
5h2 1 1

=
m a 2 b 2
Solusi 3.13
Kita harus menentukan apakah operator memenuhi persamaan berikut

(1 x) m dx

A dx
*

( A
*

) dx

d
a)
dx
dx

d *
dx
dx

= -

d *
dx
dx

tidak Hermitian.

b) Operator Hermitian
c) Operator Hermitian

2
d * d
* d

* d

dx

i
dx
d)

dx
dx
dx
dx

35

e).

d
d 2 *
i
dx
dx
dx 2

= -I

d 2
= - i 2 *dx
dx

d *
* d

*
*

x
dx

dx
x dx dx

x
-

d *
dx
dx
tidak Hermitian

f).

*
*
x dx ( x ) dx

tidak Hermitian

Solusi 3.14
Operator tersebut Hermitian, karena itu
*
fA * g *dx
g Afdx
Kemudian

a g fdx
g ( A a fdx g Afdx

g dx a m fg dx
= fA

= f(A-<a>
g dx
*

karena <a> real (A Hermitian). Untuk membuktikan jumlah dua buah operator Hermitian
adalah real, perhatikan hubungan berikut
*
*
* *
* *
* g *dx
= (A
g * Bfdx
g ( A B ) fdx g Afdx
g ) fdx ( B g ) fdx = f(A+B)
Solusi 3.15
*
* *
Jika A Hermitian, maka g A fdx ( A g ) fdx . Misalkan f = B dan g = , dan Soal
terpecahkan.
Solusi 3.16
1/ 2
Kita peroleh n ( x) (2 / a) cos( n x / a)
Maka
a
a
2
n x
m x
*
0 n ( x) m ( x)dx a 0 cos a cos a dx
Pakai identitas trigonometri
1
1
cos cos cos( ) cos( )
2
2
untuk memperoleh
36

1
(n m) x
1
(n m) x
cos
dx cos
dx

a0
a
a0
a
kecuali n = m, integral ini sama dengan nol karena
a

N x
dx 0
N = 1,2,
a
0
Jika m = n, maka
a
2
n x
n x
cos
cos
dx nm

a0
a
a
a

cos

Solusi 3.18
Mulai dengan hubungan

n x
f ( x ) bn sin
a
n 1
Kalikan kedua ruas dengan sin ( m x / a ) dan integralkan dari 0 ke a
a
a

m x
n x
m x
bn sin
sin
dx
0 f ( x)sin a dx
a
a
n 1
0
=

b
n-1

a
a
nm bm
2
2

atau
2
m x
f ( x) sin
dx

a0
a
Jika f (x) = x, maka
a

2
m x
2 a2
bm x sin
dx
cos m
a0
a
a m

bm

=Jadi

2a
2a
(1) m
(1)m 1
m
m

2a (1) m 1
m x
x
sin

m 1 m
a
Solusi 3.19
Kita mesti mengevaluasi hubungan



,

a).

2
f d xf d f x df

dx 2
dx
dx

=2

df
d2 f d
d 2
x 2 2 x 2 f
dx
dx
dx
dx
37

2
f x d xf

dx 2

2 d

dx
d
df

f
f
b).
dx x dx x

d2

d2 f
2

x
f

1 x 2 f
=

2
2
dx
dx

f d x df xf

dx dx
d2

d2 f
2
=
f x f 2 1 x 2 f
2
dx
dx

2
x

f dx df f ( x ) f (0)

0 dx '
x

c).
f d dx ' f ( x ') f ( x)
dx 0

f ( x) f (0)

d 2 df

f 2 x
x 2 f

dx
dx
d).
2
d3 f
df
2 d f
=

x
3x (2 x 3 ) f
3
2
dx
dx
dx
2
f d x 2 d f xf

dx
dx 2

2
d3 f
df
2 d f

x
x (1 x 3 ) f
3
2
dx
dx
dx
d



, 4 x dx 3

Solusi 3.20
Perhatikan deret Taylor dari
1

e A B I ( A B ) ( A B ) 2
2!
1
+ ( A B )3 ....)
3!
Kita perhatikan suku-suku kuadrat
BA
B 2
( A B ) 2 ( A B ) ( A B ) A2 AB
Sekarang, perhatikan
38

1
1

e Ae B ( I A A 2 ...)( I B B 2 ...)
2
2
1 B 2 ...
=I+A+B+AB+
2
1 ( A 2 2 AB
B 2 ) ...
=I+A+B+
2
komut.
Kedua ekspansi sama hanya jika A dan B
Solusi 3.21
Jika [ A , A] 0, maka n ( x) dan m ( x) akan sama. Pada kasus ini

m ( x) n( x)dx
*

mn

dan
Cm (t ) Cm exp(iEnt / h)
dan
2

Pm (t ) Cm (t ) Cm Cm
yang dalam hal ini tidak gayut waktu. Jadi A adalah besaran konservasi
Solusi 3.22
*
Turunkan x ( x, t ) x ( x, t )dx
Untuk memperoleh hubungan
dx
*

x dx * x
dx
dt
t
t
1
1
=- ( H )* x dx * x ( H ) dx
ih
ih
1
dx 1 * X ( H ) dx
= - * HX
ih
ih
1
XH
) dx
* ( XH

ih
=
i
XH
) dx
* ( HX
h
2
2
XH
) f h d U ( x) x
( HX
2m dx 2

h2 d 2 f

-x U ( x ) f
2
2m dx

2
h df
2
2m dx
=
h2 i
ih

Px Px
mh
m
39

Akhirnya
dx i
*[ H , X ] dx
dt
h
1
Px
=
* Px dx

m
m
Solusi 3.23
Jika
F * ( x, t ) F ( x, t ) dx
maka

dF
*

F ( x, t )dx * ( x, t ) F
dx
dt
t
t
1
1
dx
( H * * ) F dx * FH
ih
ih
1
dx 1 * FH
dx
= * HF
ih
ih
i
* ( HF
FH ) dx
h
F P
x

( x)
x
Misalkan HPx Px H U ( x) Px PU
dU
= ih
dx
Jadi,
d Px
dU
dU
*
dx
dt
dx
dx
Solusi 3.24
3
( x 4 ) x 2 ; b). Af
d x 3 e x ( x 3 3 )e x ;
a ) Af
dx 3

dx ( x 3 2 x 3) 1 2 3 9
c ). Af
0
4 2
4
2
2
2
x3 y 2 z 4
Af
x 2 y 2 z 2

d).
2 4
3 4
= 6xy z 2 x z 12 x3 y 2 z 2

Solusi 3.25

40

a ). A C1 f1 ( x) C2 f 2 ( x)

= SQR c1 f1 ( x) c2 f 2 ( x )
= c1 f ( x)1 c2 f 2 ( x)
2

= c1 f1 ( x) c2 f 2 ( x) 2c1c2 f1 ( x) f 2 ( x )
=
2
2
c1 f1 ( x ) c2 f 2 ( x)
Karena itu, A tidak linear
A c1 f1 ( x) c2 f 2 ( x)
c1 f1 ( x) c2 f 2 ( x)

b). c1* f1* ( x) c2* f 2* ( x)


*
*
c Af
( x) c Af
( x)
1

( x) c Af
( x)
c1 Af
1
2
2
Karena itu A tidak linear
c ). A c1 f1 ( x ) c2 f 2 ( x )

= (0) c1 f1 ( x) c2 f 2 ( x)
= c1 (0) f1 ( x) c2 (0) f 2 ( x)

=0
Karena A itu linear
d ). A c1 f1 ( x) c2 f ( x) 2
= c1 f1 ( x ) c2 f 2 ( x)
=

1
c1 f1 ( x ) c2 f 2 ( x)

c1 f1 ( x) c2 f 2 ( x)
1

Karena itu, A non linear


e). A c1 f1 ( x) c2 f 2 ( x) c1 f1 (0) c2 f 2 (0)
( x ) c Af
( x)
= c1 Af
1
2
2
Karena itu A linear
f ). A c1 f1 ( x ) c2 f ( x )2

= 1n c1 f1 ( x) c2 f 2 ( x)
c11nf1 ( x) c21nf 2 ( x)

Solusi 3.26

41

2
2
4
) d d f d f
a ). A 2 f A ( Af
dx 2 dx 2
dx 4
dan juga
4
2 d
A
dx 4
d
b). A 2 f
x
dx
karena itu

df
d2 f
df
xf 2 2 x f x 2 f
dx
dx
dx

2
2 d 2 x d ( x 2 1)
A
dx 2
dx
2
d
d d2 f
df
c ). A 2 f

2
x
1
2 x f
2
2
dx dx
dx
dx

d4 f
d3 f
d2
2
=
4 x 3 (4 x 2) 2 1
dx 4
dx
dx
Karena itu
d4
d3
d2
A 2 4 4 x 3 (4 x 2 2) 2 1
dx
dx
dx
Solusi 3.27
2
( f ( x) A ( Bf
( x)) d d 2 d f ( x)
a ). AB
dx dx 2
dx
d3
d 2
=

2
f ( x)
3
dx 2
dx
dan juga
3
2
d 2 d
AB
dx 3
dx 2
d2
d d

BAf ( x) B ( Af ( x))
2
f ( x)
2
dx dx

dx

d3
d 2
= 3 2 2 f ( x)
dx
dx
dan juga
d3
d2

BA 3 2 2
dx
dx

Karena , operator-operator tersebut komut

42

x df
b) ABf
dx
d ( xf ) x df f
BAf
dx
dx
Karena itu,
x d
AB
dx
dan
1 x d
BA
dx
Karena A dan B tidak komut
2
1/ 2 2
( x ) f ( x )
c ). AB

f
(
x
)

= f (x)
dan juga
1
AB

( x) [( f ( x) 21 ] [ f ( x)]2
BAf
= f(x)
dan juga
1
BA
karena itu
BA

AB
dan jelaslahkuadart dan akar kuadrat tidak komut
2
f f
AB
x y
xy


2 f
f

yx
y x
Untuk fungsi yang berkelakuan baik f (x,y)
BA

AB
dan

and commute.
x
y
BA

Solusi 3.28
Kita turunkan e x n kali, dan kita peroleh
d n x
n x
De
e n e x sehingga nilai eigen = n .
dx
Solusi 3.29
Operator komponen momentum pada sumbu x adalah
43


Px ih
x
Kemudian operator ini kita terapkan pada fungsi eikx , kita peroleh

Px eikx ih eikx hkeikx


x
Dapat dilihat bahwa eikx adalah fungsi eigen dan hk adalah nilai eigen operator momentum.
Solusi 3.30
a)
2
d cos x 2 cos x
Af
dx 2
d
Af eit i eit
b)
dt
2
d 2 d 3 e x ( 2 2 3)e x
Af
c)
dt 2
dx

2e 6 y 6 x 2 e 6 y
Af
d)
y x
Solusi 3.31
2 (cos ax) (cosby) (coscz)

2
2
2

(cosax) (cosby) (coscz)


2
2
2
x y z
=(- a 2 - b 2 - c 2 ) (cosax) (cosby) (coscz)
=

Solusi 3.32
Probabilitas menemukan partikel berada antara 0 dan a/2 adalah
a/2
2 a/2
n x
Pr ob * ( x) ( x)dx sin 2
dx
0
0
a
a
Misalkan n x / a adalah z, maka kita peroleh
n / 2
2 n / 2 2
2 x sin 2 x
Pr ob
sin zdz

n 0
n 2
4 0
2 n sin n
1


n 4
4
2
Jadi, probabilitas menemukan partikel berada pada interval (0,a) adalah .
=

Solusi 3.33
Karena f(x) mesti ternormalisasi, maka

f ( x)dx 1 A dx
a

=A(b-a)
dan juga A= 1/ (b a), serta
1
f ( x)
axb
ba
44

= 0 yang lainnya
Mean x diperoleh berdasarkan hubungan berikut,
b
1 b
x xf ( x)dx
xdx
a
b a a
b 2 a 2 b3 a 3
=

2(b a)
2
Seterusnya,
x
2

1 b 2
b3 a 3
x f ( x)dx
x dx
b a a
3(b a )
2

b 2 ab a 2
=
12
Akhirnya, varians dapat ditentukan sebagai berikut x2 x 2 x 2
(b a )
12
Solusi 3.34

(b a ) 2
12

dan x

Gambar (a) fungsi genap y (x) = y (-x). (b) fungsi ganjil y (x)= -y (-x)
Konstanta c ditentukan berdasarkan normalisasi berikut

f ( x) dx 1 c e x

atau c = 1/(2 a 2 )1/ 2

/ 2 a2

dx c(2 a 2 )1/ 2

Mean x adalah

x xf ( x) dx (2 a 2 ) 1/ 2 xe x

/ 2 a2

dx

Integral ini dapat ditentukan dengan memeriksa jika kita menekankan sifat genap ganjil
integrand. Ingat bahwa fungsi y(x) adalah ganjil jika y(x)=-y(-x). Grafik fungsi genap
kelihatan seperti pada gambar (a) integral fungsi ganjil antara limit simetri.
Limit A dan +A adalah nol karena daerah pada satu sisi sumbu y untuk x adalah
x2 / 2 a 2
x=0
xe
Ini merupakan fungsi ganjil, jadi <x>=0 varians x ditentukan seperti berikut ini;

2 x 2 x 2 (2 a 2 ) 1/ 2 x 2 e x

/ 2 a2

dx
2

Integrand dalam kasus ini adalah fungsi genap, y (x)= x 2 e x / 2 a y ( x)


Grafik suatu fungsi genap simetri terhadap sumbu y (lihat gambar (a)) dan juga
45

2 2(2 a 2 ) 1/ 2 x 2e x

/ 2 a2

dx

Integral ini dapat dihitung memakai tabel integral, dan hasilnya adalah
2
(2 a 2 )1/ 2 a 2
2
a2
(2 a 2 )1/ 2
2
dan
a
Varians distribusi normal adalah parameter yang muncul eksponensial. Fungsi distribusi
2
2
Gauss ditulis sebagai f ( x) dx (2 2 ) 1/ 2 e x / 2 dx
Solusi 3.35
Untuk menunjukkan fn ternormalisasi, diproses sebagai berikut

n
n

e
e e 1

n
n 0
n 0 n !
n 0 n !
Untuk memperoleh <n> dan <n2> paling baik jika dipakai relasi berikut

d
d n
n n 1
e
e

d
d 2 n 0 n ! n 0 n
dan
e

d2
d2
e

d 2
d2

n n(n 1) n2

n!
n 0 n !
n0

jadi,

n n
n n 1
e e
n!
n 0 n ! n
n 0

n nf
n 0

=( e- )e

n 2 2
n2 n2
e 2e
n!
n0
n 0 n !
n 0
Untuk memakai ungkapan turunan ke dua di atas, kurangkan dan jumlahkan sebagai berikut

n n 2 1 n n 1 e

n!
n 0 n!

n 0
untuk memperoleh
( n 2 n) n 2 n n 2
n 2 2e

n!
n !
n 0
n0

n 2 n 2 f n

e
= 2 e e 2

2 n 2 n 2 ( 2 ) 2 0
Solusi 3.36
p ( x)dx ce x dx

46

Untuk

harga c, pakai kenyataan bahwa p (x) ternormalisasi

c
1
x
p
(
x
)
dx

c
e
dx

xp
(
x
)
dx

xe x dx .
. Karena itu, c= dan
0
0

0
0

memperoleh

47

Anda mungkin juga menyukai