Dextrometorphan HBR
Dextrometorphan HBR
3. Farmakodinamik
(a). Efek analgetik
Efek analgetik dekstrometorfan berdasarkan cara kerja sebagai antagonis reseptor NMDA. Peranan
NMDA dalam fenomena persepsi nyeri ditegaskan lagi pada binatang percobaan yaitu dengan cara
memberikan reseptor antagonis NMDA secara intraspinal. Pada suatu studi pada manusia pemberian
ketamin intravena akan mengurangi hiperalgesia primer dan sekunder dan mengurangi nyeri yang
ditimbulkan oleh stimulasi panas. Dektrometorfan menunjukkan hal yang sama (Ilkjaer et al., 1996).
Ikatan obat-obat antagonis pada reseptor NMDA menimbulkan terjadinya perubahan pada calsium
channel. Perubahan pada ca-channel akan menyebabkan aktivitas neuron yang dirangsang NMDA,
jika itu menetap, akan diikuti dengan peningkatan intensitas stimulus nosiseptik primer, misalnya
fenomena wind-up dan pencetusan dari nyeri sekunder. Dekstrometorfan mempunyai kemampuan
untuk mengurangi influks ion Ca2+melalui channel reseptor NMDA dan mengatur channel voltase Ca
yang pada keadaan normal diatur oleh konsentrasi K + ekstrasel yang tinggi (Weinbroum et al., 2000).
Dengan berkurangnya influks ion Ca+, maka eksitabilitas neuron di kornudorsalis medula spinalis
menurun, sehingga sensitisasi menurun dan terjadi pengurangan nyeri. Pada penelitian
dekstrometorfan sebagai efek analgetik, obat tersebut memberikan hasil yang cukup baik, yaitu dapat
mengurangi intensitas nyeri sebanyak 33,4% dibanding pada pemberian memantin maupun
lorazepam, dimana masing-masing hanya mengurangi nyeri sebanyak 17,4% dan 16,1%. Hal ini
menunjukkan perbedaan yang bermakna antara pemberian ketiga obat tersebut (Christine et
al.,2002)
(b). Sebagai antitusif
Empat puluh tahun yang lalu dekstrometorfan dibuat sebagai obat alternatif dari morfin.
Pada awalnya pemakaian klinis terbatas pada obat antitusif, pada orang dewasa
dosisnya adalah 10 30 mg, 3 6 kali sehari. Tempat spesifik sentral dimana
dekstrometorfan mempunyai efek antitusif belum jelas, tetapi dekstrometorfan berbeda
dengan golongan opioid, sehingga efek dekstrometorfan tidak ditekan oleh nalokson.
Dekstrometorfan juga mempunyai catatan keamanan yang baik, sebagai contoh dosis
terapetik untuk batuk 1 mg/kg /hr tidak mempunyai side efek yang berarti, dan tidak
menimbulkan komplikasi akibat pelepasan histamin (Weinbroum et al., 2000)
(c). Efek anti kejang dan parkinson
Pada manusia dekstrometorfan juga mampu mengurangi keluhan yang berhubungan
dengan gangguan neurologis oleh karena eksitotoksisitas, seperti kejang dan penyakit
parkinson jika diberikan pada dosis 30 atau 60 mg (Albers et al., 1987) yang diberikan 4
kali sehari, 45 180 mg single dose (Bonuccelli et al., 1992) atau 120 mg single dose
(Fisher et al., 1990) selama 3 minggu sampai 3 bulan. Tidak didapati adanya efek
samping neurologis yang berat pada penelitian ini dan juga pada penelitian lain dengan
sampel 8 orang yang sehat dimana eksitabilitas korteks motorik berkurang setelah
pemberian secara oral dengan dosis tinggi (150 mg) (Ziemann et al., 1998). Pada suatu
penelitian double blind plasebo control pada pasien dengan penyakit parkinson,
eksitabilitas korteks motorik dan diskinesia oleh karena levodopa berkurang dengan
pemberian dekstrometorfan pada dosis 100 mg dengan efek samping yang minimal
(Verbagen Metman et al., 1998).
Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika (FDA) sedang memberikan perhatian
pada penyalahgunaan Dextrometorfan (DMP), sebuah produk bahan sintetik yang terdapat
pada obat untuk mengatasi batuk dan flu. Tanggapan serius mengenai isu penyalahgunaan ini
sejak baru-baru ini lima remaja dilaporkan tewas berhubungan dengan konsumsi bubuk DMP
yang dijual dalam bentuk kapsul.
Meskipun DMP, ketika diformulasikan dengan tepat dan dalam dosis kecil, dapat
dengan aman digunakan sebagai obat penekan batuk. Penyalahgunaan obat dapat
menyebabkan kematian dan juga reaksi efek simpang lainnya, seperti mual, halusinasi,
kerusakan otak, seizure, kehilangan kesadaran, dan aritma jantung.
Penyalahgunaan DMP, meskipun bukan lagi sebuah fenomena baru, tetapi telah
berkembang menjadi sebuah tren baru yang melibatkan penjualan DMP murni dalam bentuk
serbuk. DMP murni ini sering dikemas dalam kapsul oleh pengedar dan ditawarkan pada
pengguna jalanan. DMP telah menggantikan kedudukan kodein sebagai obat yang paling luas
digunakan sebagai penekan batuk di Amerika Serikat.
Para orangtua mungkin merasa khawatir jika anak-anaknya terkena pengaruh dari
pergaulan sehingga menjadi salah satu pecandu DMP. Untuk mewaspadai hal tersebut, perlu
diketahui tanda-tanda sebagai berikut:
-->Anak anda akan meminum obat flu atau batuk dalam jumlah yang banyak atau
tetap mengkonsumsi obat meskipun tidak sakit.
-->Obat penekan batuk sering lenyap dari kotak obat anda.
-->Anda menemukan obat batuk tersembunyi dalam kamar atau lemari anak.
Tinggal kelas, kehilangan fokus, dan mengalami perubahan sikap atau penampilan juga dapat
menjadi pertanda dari masalah penyalahgunaan obat.
Nama jalanan yang sering digunakan untuk menyebut DMP antara lain: Candy, C-CC, Dex, DM, Drex, Red Devil, Robo, Rojo, Skittles, Tussin, Velvet, Vitamin D, Dexing,
Robotripping, Robotdosing
15 Juli 2009
1500 mg.
Gejala lain yang terjadi akibat overdosis DMP adalah bicara kacau, gangguan berjalan,
gampang tersinggung, berkeringat, dan bola mata berputar-putar (nistagmus).
Penyalahgunaan sediaan kombinasi malah berefek lebih parah. Komplikasi yang timbul
dapat berupa peningkatan tekanan darah karena keracunan pseudoefedrin, kerusakan
hati karena keracunan parasetamol, gangguan saraf dan sistim kardiovaskuler akibat
keracunan CTM. Alkohol atau narkotika lain yang telan bersama DMP dapat
meningkatkan efek keracunan dan bahkan menimbulkan kematian.