Teh merupakan salah satu komoditi yang mempunyai peran strategis dalam
perekonomian Indonesia. Industri teh mampu memberikan kontribusi Produk
Domestik Bruto (PDB) sekitar Rp 1,2 triliun (0,3% dari total PDB nonmigas).
Komoditi ini juga menyumbang devisa sebesar 110 juta dollar AS setiap tahunnya
(ATI, 2000).
Selain untuk menjaga fungsi hidrolis dan pengembangan agroindustri, perkebunan
teh juga menjadi sektor usaha unggulan yang mampu menyerap tenaga kerja
dalam jumlah yang besar. Rasio perbandingan tenaga kerja dengan luas lahannya
0,75. Karena itu perkebunan teh digolongkan sebagai industri padat karya
(www.pkps.org). Tahun 1999 industri ini mampu menyerap 300.000 pekerja dan
menghidupi sekitar 1,2 juta jiwa (Suprihatini Rohayati, Daya Saing Ekspor Teh
Indonesia di Pasar Teh Dunia).
Potensi pengembangan komoditi teh Indonesia sangat besar. Produksi teh yang
tinggi menempatkan Indonesia pada urutan kelima sebagai negara produsen teh
curah, setelah India, Cina, Sri Lanka dan Kenya. Indonesia juga menduduki posisi
kelima sebagai negara eksportir teh curah terbesar dari segi volume setelah Sri
Lanka, Kenya, Cina dan India (Suprihatini Rohayati, Daya Saing Ekspor Teh
Indonesia di Pasar Teh Dunia).
Meskipun potensi yang dimiliki cukup besar, sama halnya dengan ekspor produk
pertanian Indonesia lainnya ke pasar internasional, komoditi teh juga menghadapi
persoalan klasik yang selalu berulang. Setumpuk permasalahan seperti penurunan
volume, nilai, pangsa pasar ekspor dan rendahnya harga teh Indonesia
memberikan dampak buruk pada perkembangan industri teh. Kondisi ini membuat
usaha perkebunan teh rakyat semakain terpuruk. Para petani harus menjual teh
dengan harga Rp 400 Rp 500 per kilogram sementara biaya perawatan teh
mencapai Rp 700 per kg. Petani merugi dari tahun ke tahun (Kompas, 20 Desember
2004).
Di satu sisi komoditi teh mampu menjadi sumber pendapatan bagi negara dan
masyarakat Indonesia, namun di sisi lain dengan permasalahan-permasalahan yang
semakin berlarut-larut, komoditi teh dapat membunuh kehidupan petani/buruh dan
industri ini secara pelan-pelan. Diperlukan penelitian yang lebih mendalam untuk
membantu para petani/buruh teh menemukan jalan keluar dari keterpurukan ini.
Berikut ini dijelaskan secara lebih mendetail bagaimana profil bisnis komoditi teh di
Indonesia.
Usaha budidaya dilakukan kembali dengan bibit teh dari jepang yang dipromosikan
oleh Dr Van Siebold setalah tahun 1824. Usaha perkebunan teh yang pertama
dipelopori Jacobson pada tahun 1828 dan berkembang menjadi komoditi yang
menguntungkan pemerintahan Hindia Belanda. Sejak saat itu teh menjadi salah
satu tanaman yang harus ditanam rakyat melalui politik Tanam Paksa (Culture
Stetsel).
Berbeda dengan komoditi Indonesia lainnya, teh tidak membutuhkan areal lahan
yang luas seperti karet, kelapa sawit dan tebu. Meski demikian produktivitas teh
tidak kalah apabila dibandingkan dengan komoditi lainnya. Bahkan produktivitas teh
menempati urutan ketiga setelah kelapa sawit dan tebu.
Pada umumnya tanaman teh di Indonesia adalah 50% jenis medium grown, 20%
high grown tea. Sisanya 30% adalah jenis low grown yang merupakan hasil grade
medium grown yang bermutu rendah (Kantor Pemasaran Bersama PTPN). Jenis teh
ini didasarkan pada ketinggian lahan.
menjadi propinsi yang memiliki luas lahan perkebunan teh terbesar di Indonesia
karena wilayah tersebut mempunyai banyak dataran tinggi yang cocok untuk
tanaman ini.
Lahan yang digunakan untuk perkebunan teh di Indonesia semakin berkurang dari
tahun ke tahun. Jika dihitung secara keseluruhan pertumbuhan luas areal teh pada
tahun 2004 mengalami penurunan 0,58%. Lahan-lahan ini sebagian dikonversi
menjadi kebun kelapa sawit, sayuran dan tanaman lainnya yang dianggap lebih
menguntungkan. Bahkan sebagian petani teh telah menjual tanah mereka karena
dinilai tidak lagi mendatangkan keuntungan (Kompas,11 Maret 2004).
PRODUKSI
Penurunan areal teh di Indonesia telah mempengaruhi jumlah produksi teh nasional.
Penurunan pertumbuhan produksi teh pada tahun 2004 berkisar 2,95%. Meski
demikian, di beberapa propinsi seperti Jawa Tengah, DIY dan Sumatera Barat,
penurunan areal tidak berpengaruh pada produksi mereka, bahkan produksi teh
mengalami peningkatan.
Dalam hal produksi, Jawa Barat merupakan penghasil teh terbesar di Indonesia.
Propinsi ini menghasilkan 70% dari total produksi teh nasional. Propinsi lain yang
juga merupakan penghasil teh terbesar adalah Sumatera Utara dan Jawa Tengah.
Perusahaan Teh
Tanaman teh mempunyai berbagai macam manfaat. Dalam industri, bagian
tanaman teh yang sering dimanfaatkan adalah batang dan daun. Batang teh dapat
digunakan untuk industri kerajinan kayu. Sementara itu daunnya dapat dikonsumsi
dalam beberapa bentuk seperti yang diterangkan dalam bagan pohon industri teh.
Perkebunan teh yang dikelola oleh pemerintah Hindia Belanda diambil alih oleh
pemerintah RI sejak kemerdekaan dan dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara
(BUMN). Meski demikian dalam manajemen di tingkat perkebunan, proses
pengolahan bahkan sampai teknologi, perusahaan milik negara ini masih
menggunakan teknologi atau mesin buatan Belanda. Dalam perkembangannya
potensi besar dalam komoditi teh ini tidak hanya dilirik oleh BUMN, namun juga
perusahaan swasta. Perusahaan-perusahaan swasta melakukan pengelolaan
industri teh dari hulu hingga hilir. Menurut data Statistik Indonesia tahun 2004,
terdapat 143 perusahaan perkebunan di Indonesia pada tahun 2004 baik yang
dikelola oleh swasta maupun BUMN.
Peringkat sepuluh besar perusahaan teh Indonesia didominasi oleh BUMN. Hal ini
terjadi karena trend penggabungan BUMN-BUMN dalam satu manajemen sehingga
menjadi sebuah perusahaan teh yang besar. Daftar sepuluh besar perusahaan teh
di Indonesia dapat dilihat dari table berikut.
PERKEMBANGAN EKSPOR
Penjualan komoditi teh Indonesia sangat bergantung pada ekspor. Enam puluh lima
persen produksi teh Indonesia ditujukan pada pasar ekspor. Kondisi ini tidak lepas
dari peran dan kebijakan pemerintah yang ingin menggalakan penerimaan devisa
dengan mendorong produsen untuk berorientasi pada ekspor (Bisnis Indonesia, 3
Desember 2004).
Pangsa pasar teh Indonesia terus mengalami penurunan. Bahkan beberapa pasar
utama teh yang dikuasai Indonesia telah diambil alih oleh negara produsen teh
lainnya. Pasar-pasar yang kurang dapat dipertahankan Indonesia adalah Pakistan,
Inggris, Belanda, Jerman, Irlandia, Rusia, Amerika Serikat, Singapura, Malaysia, Siria,
Taiwan, Mesir, Maroko, dan Australia (Suprihatini, 2000). Indonesia mengalami
penurunan pangsa pasar dari 5,4% di tahun 1997 menjadi 3,9 pada tahun 2001.
Dari data penguasaan pangsa nilai ekspor seluruh jenis teh, pada tahun 2001
Indonesia merupakan negara pengekspor teh terbesar pada urutan ketujuh di dunia
setelah India (18,9%), Cina (17,1%), Sri Lanka (15,2%), Kenya (7,9%), Inggris (7.9%)
dan Uni Emirat Arab (4%).
Dengan jumlah pangsa pasar ekspor yang semakin kecil dan sebagian besar produk
ekspor berupa produk hulu yaitu teh curah, nilai ekspor Indonesia semakin jauh
tertinggal dibanding dengan negara-negara lain. Berbeda dengan negara-negara
seperti Jepang, Inggris, Amerika Serikat dan Uni Emirat Arab, Meskipun mereka
mengimpor teh, tetapi mereka mampu memberikan nilai tambah pada teh dengan
mengolahnya menjadi produk hilir dan mengekspornya dengan harga lebih tinggi.
Tabel komposisi ekspor teh beberapa negara tahun 2001 di bawah menunjukkan
bahwa Indonesia adalah negara pengekspor produk hilir teh terbesar dibanding
negara-negara pengekspor lainnya. Kurang berkembangnya industri hilir teh di
dalam negeri menyebabkan harga jual teh Indonesia tetap rendah.
Ekspor tertinggi teh Indonesia adalah teh hitam curah. Ekspor komoditi jenis ini
mencapai 85,5%. Sementara itu, sebagian besar pertumbuhan pasar teh hitam
curah dunia justru mengalami penurunan. Hanya negara-negara tertentu saja yang
mengalami peningkatan pertumbuhan pasar, misalnya negara Uni Emirat Arab,
Federasi Rusia, Jepang dan Polandia. Pasar teh hitam curah di Ingris, Jerman dan
Amerika Serikat diduga telah menglami kejenuhan yang tercermin dari
pertumbuhan pasarnya yang negatif (Rohayati Suprihartini, Daya Saing Ekspor Teh
Indonesia di Pasar Teh Dunia).
Pasar utama produk teh hijau kemasan yang memiliki pertumbuhan pasar tinggi
adalah Jepang, Maroko, Perancis, Amerika Serikat, Saudi Arabia dan Kanada.
Diantara negara-negara tersebut, hanya Saudi Arabia yang menjadi negara tujuan
utama ekspor teh hijau kemasan Indonesia. Padahal di dalam pasar ini, Indonesia
hanya menguasai pangsa pasar sebesar 2,5% dan kalah bersaing dengan teh hijau
kemasan asal Sri Langka (Rohayati Suprihartini, Daya Saing Ekspor Teh Indonesia di
Pasar Teh Dunia).
Sayangnya, tingkat konsumsi teh negara Indonesia justru paling kecil dibanding
negara-negara lain di dunia. Meskipun mengalami kenaikan tiap tahunnya, jumlah
konsumsi teh Indonesia belum memberikan kontribusi yang signifikan bagi
penjualan domestik komoditi teh. Salah satu sebab rendahnya konsumsi teh dalam
negeri adalah kurangnya informasi manfaat teh sebagai minuman kesehatan.
Harga komoditi Indonesia sangat ditentukan oleh supply dan demand teh
internasional. Harga teh Indonesia mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Pada
tahun 2002, harga teh Indonesia lebih tinggi dibanding dengan harga pada tahun
2003. Harga teh kembali naik pada tahun 2004.
Harga/Kg
2001
96,36
2002
101,33
2003
95,53
Pada tahun 2006, harga teh Indonesia berpotensi mengalami kenaikan. Kenaikan ini
disebabkan oleh faktor penurunan produksi teh dari negara Kenya. Produksi Kenya
mengalami penurunan sebesar 40% karena kemarau. Hal ini memberikan dampak
positif pada harga teh Indonesia yang kini menikmati rata-rata US$1.6 per Kg.
Kenaikan ini merupakan harga tertinggi sejak 8 tahun terakhir. Bahkan harga teh
kualitas baik mampu mencapai US$2.6 per Kg atau mampu naik 100% dari
sebelumnya (Kompas, 15 Februari 2006)
PENUTUP
Pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang ketentuan penetapan harga pembelian
pucuk teh produksi petani dalam Keputusan Menteri Kehutanan No 629 Tahun 1998.
Tujuan dari kebijakan tersebut adalah untuk menjamin perolehan harga yang wajar
dari pucuk teh produksi petani dan mencegah persaingan tidak sehat di antara
pabrik pengolahan teh. Dalam keputusan tersebut mensyaratkan adanya penetapan
harga pucuk teh di tingkat petani yang dilakukan oleh masing-masing perusahaan
bersama-sama dengan petani/kelembagaan petani dengan berpedoman pada hasil
perumusan Tim Penetapan Pembelian Pucuk Teh. Pemerintah juga menetapkan
rumus harga pembelian pucuk teh sebagai berikut:
HP = R (HJ-B)
HP : Harga pucuk teh yang diterima oleh petani di tingkat pabrik, dinyatakan dalam
Rp/Kg pucuk teh basah
R : Rendemen rata-rata pucuk teh basah menjadi teh kering yang dinyatakan dalam
persentase (%)
HJ : Harga riil rata-rata tertimbang realisasi penjualan ekspor (FOB) dan local
masingmasing perusahaan selama 2 (dua) minggu sebelumnya, sesuai komposisi jenis dan
Komoditas teh sangat dibutuhkan oleh masyarakat dunia karena berbagai manfaat
yang dimilikinya. Tingkat konsumsi teh dunia sangat besar. Ini merupakan peluang
pasar bagi Indonesia untuk menjual komoditi tersebut. Potensi pasar teh dunia yang
cukup besar mengharuskan Indonesia memiliki daya saing produk yang tinggi untuk
dapat memasarkan teh di tingkat internasional. Beberapa negara pesaing Indonesia
adalah India, Sri Langka, Kenya dan Cina. Nilai ekspor komoditas teh Indonesia
masih kecil dibanding dengan produk-produk dari negara pesaing karena Indonesia
lebih banyak menjual produk-produk hulu teh yang tidak memiliki nilai tambah dan
dihargai dengan sangat murah.
Meski produksi teh Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan, namun semakin
banyak pula petani yang menjual tanah perkebunan tehnya atau mengkonversi
lahannya menjadi perkebunan kelapa sawit atau tanaman sayuran karena
mengalami kerugian besar dalam pembudidayaannya. Harga teh yang terus
merosot setiap tahun menyebabkan para petani harus menanggung biaya
perawatan dan budidaya tanaman tehnya. Perhatian pemerintah Indonesia
terhadap pengembangan komoditi teh masih sangat kecil. Hal ini diperlihatkan dari
sedikitnya kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk melindungi dan
mengembangkan industri teh dari hulu hingga hilir.
http://dhonie-aja.blogspot.co.id/2010/06/komoditi-teh-di-indonesia.html