Ikterus Obstruktif
Ikterus Obstruktif
I. Pendahuluan
Kandung empedu merupakan kantong berbentuk pir yang terletak tepat di bawah
lobus kanan hati. Empedu merupakan sekresi eksokrin dari hati dan diproduksi secara
terus-menerus oleh hepatosit. Cairan empedu berisi kolesterol, bilirubin dan garam
empedu. Cairan empedu ini membantu dalam penyerapan lemak. Sebagian dari cairan
empedu dialirkan secara langsung dari hati ke dalam duodenum melalui kanalikuli
(saluran-saluran kecil) yang kemudian kanalikuli ini bersatu dan akhirnya membentuk
suatu sistem saluran empedu (Common Bile Duct) yang lebih besar, dan 50% sisanya
disimpan di dalam kandung empedu. Cairan empedu ini dialirkan dari kandung
empedu melalui duktus sistikus yang bergabung dengan duktus hepatikus dari hati
yang membentuk sistem saluran empedu (Common Bile Duct). Common Bile Duct
berakhir pada sfingter di usus halus dan disini menerima enzim dari pankreas melalui
duktus pankreatikus.1,2
Angka kejadian obstruksi bilier atau disebut juga kolestasis diperkirakan 5 kasus
per 1000 orang per tahun di AS. Angka kesakitan dan kematian akibat obstruksi bilier
bergantung pada penyebab terjadinya obstruksi. Penyebab obstruksi bilier secara
klinis terbagi dua yaitu intrahepatik (hepatoseluler) yaitu terjadi gangguan
pembentukan empedu dan ekstrahepatik (obstruktif) yaitu terjadi hambatan aliran
empedu, dan yang terbanyak akibat batu empedu (kolelitiasis). Berdasarkan jenis
kelamin wanita lebih sering terkena kolelitiasis dari pada pria.1
Di negara Barat 10-15% pasien batu empedu juga disertai batu saluran empedu.
Pada beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat terbentuk primer di dalam saluran
empedu intra atau ekstrahepatik tanpa melibatkan kandung empedu. Batu saluran
empedu primer lebih banyak ditemukan pada pasien di wilayah Asia dibandingkan
dengan pasien di negara Barat.3
II Obstruksi Bilier
1 Definisi
Obstruksi bilier (kolestasis) merupakan suatu keadaan dimana terganggunya
aliran empedu dari hati ke kandung empedu atau dari kandung empedu ke usus halus.
Obstruksi ini dapat terjadi pada berbagai tingkatan dalam biliari sistem mulai dari
saluran empedu yang kecil (kanalikuli) sampai ampula Vateri. Penyebab obstruksi
bilier secara klinis terbagi dua yaitu intrahepatik (hepatoseluler) yaitu terjadi
gangguan pembentukan empedu dan ekstrahepatik (obstruktif) yaitu terjadi hambatan
aliran empedu. 1
2. Epidemiologi
Angka kejadian obstruksi bilier (kolestasis) diperkirakan 5 kasus per 1000 orang
per tahun di AS. Angka kesakitan dan kematian akibat obstruksi bilier bergantung
pada penyebab terjadinya obstruksi. Mayoritas kasus yang terbanyak adalah
kolelitiasis (batu empedu). Di Amerika Serikat, 20% orang tua berusia 65 tahun
menderita kolelitiasis (batu empedu) dan 1 juta kasus baru batu empedu didiagnosa
setiap tahunnya. Resiko terjadinya kolelitiasis terkenal dengan kriteria 4F yaitu
female, fourty, fat, dan fertile. Resiko terjadinya batu empedu meningkat pada usia
>40 tahun. Insiden teringgi terjadi pada usia 50-60 tahun. Berdasarkan jenis kelamin
wanita lebih sering terkena kolelitiasis dari pada pria. Hampir 25% wanita AS
menderita batu empedu dengan 50% diantaranya berusia 75 tahun, dan 20% pria
dengan usia yang sama menderita batu empedu. Rasio penderita wanita terhadap pria
yakni 3:1 pada kelompok usia dewasa masa reproduktif dan berkurang menjadi >2:1
pada usia di atas 70 tahun. Faktor predisposisi terjadinya batu empedu antara lain
obesitas terutama pada wanita, kehamilan,
Amerika Utara (>75%), Chili dan kaukasia di Amerika Serikat. Prevalensi terendah
pada orang Asia.4
Jenis batu empedu yang banyak ditemukan adalah batu kolesterol (75%),
berhubungan dengan obesitas terutama pada wanita. Pada penderita diabetes mellitus
paling banyak ditemukan mixed stones (80%), sedangkan batu kolesterol murni hanya
10%. 25% dari batu empedu merupakan batu pigmen (bilirubin, kalsium, and
berbagai material organik lainnya) berhubungan dengan hemolisis dan sirosis.
Sedangkan batu pigmen hitam ditemukan pada kolelitiasis yang tidak sembuh dengan
medikamentosa.6
Batu kolesterol banyak ditemukan di negara barat (80-90%), sedangkan batu
pigmen sekitar 10%. Batu pigmen lebih banyak ditemukan di negara Asia dan Afrika.
Walaupun demikian akhir-akhir ini batu kolesterol meningkat di Asia dan Afrika,
terutama di Jepang ketika westernisasi pola diet dan gaya hidup.1
Di negara Barat 10-15% pasien batu empedu juga disertai batu saluran empedu.
Pada beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat terbentuk primer di dalam saluran
empedu intra atau ekstrahepatik tanpa melibatkan kandung empedu. Batu saluran
empedu primer lebih banyak ditemukan pada pasien di wilayah Asia dibandingkan
dengan pasien di negara Barat.3
3 Etiologi dan Patognesis
Secara umum, obstruksi bilier menyebabkan terjadinya ikterus obtruktif. Ikterus
(jaundice) yaitu perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran
mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat
kadarnya dalam darah. Bilirubin sebagai akibat pemecahan cincin heme dari
metabolisme sel darah merah. Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal pada
sklera mata, dan ini menunjukkan kadar bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dl,
sedangkan jika ikterus jelas dapat dilihat dengan nyata maka bilirubin diperkirakan
sudah mencapai 7 mg/dl. Tahapan metabolisme bilirubin berlangsung melalui 3 fase
yaitu fase prehepatik, intrahepatik, dan pascahepatik, atau dikenal juga melalui
tahapan 5 fase yaitu (1) fase pembentukan bilirubin dan (2) transpor plasma, terjadi
pada fase prahepatik, (3) liver uptake dan (4) konyugasi, pada fase intrahepatik, serta
(5) ekskresi bilirubin pada fase ekstrahepatik.7
kemudian.
Kolangitis
sklerosis
primer
(Primary
Sclerosing
untuk
eksresi.
Retensi
bilirubin
menghasilkan
campuran
Gambar 5. Kolestasis7
Efek primer kolestasis terutama menyerang fungsi hati dan usus, sedangkan
efek sekundernya mempengaruhi tiap sistem organ. Efek primer meliputi retensi
empedu, regurgitasi empedu ke dalam serum, dan penurunan sekresi bilier ke dalam
usus. Efek sekundernya menyebabkan pemburukan penyakit hati serta penyakit
sistemik. Kolestasis menyebabkan beberapa kondisi berikut, yaitu :4
1. Retensi konjugasi dan regurgitasi bilirubin ke dalam serum
Peningkatan kadar serum bilirubin terkonjugasi merupakan tanda primer kolestasis.
Hal ini menyebabkan jaundice yang dapat dideteksi dengan ikterus sklera dan urine
berwarna gelap.
2. Peningkatan kadar serum bilirubin non konjugasi
Laju konjugasi bilirubin mengalami penurunan akibat jejas hepatosit. Laju
produksi bilirubin dapat pula mengalami peningkatan akibat hemolisis yang dapat
menyertai kolestasis.
3. Hiperkolemia (peningkatan kadar garam empedu serum)
4. Pruritus
5. Hiperlipidemia
Pada kolestasis, kolesterol serum mengalami peningkatan karena terjadi gangguan
degradasi dan ekskresi metabolik. Dengan penurunan pembentukan empedu,
kolesterol mengalami retensi sehingga kandungan kolesterol pada membran
meningkat, menyebabkan penurunan fluiditas dan fungsi membran.
6. Xanthoma
Xanthoma terutama terjadi pada kolestasis obstruktif disebabkan deposisi
kolesterol ke dalam dermis.
7. Gangguan perkembangan
10
11
empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita
menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari
tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas. Batu saluran empedu tidak
menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang teraba hati dan sklera ikterik.3,4,10
Kolestasis ekstrahepatik dapat diduga dengan adanya kandung empedu teraba
(Courvoisier sign). Jika sumbatan karena keganasan kaput pankreas sering timbul
kuning yang tidak disertai gejala keluhan sakit perut (painless jaundice). Kadangkadang apabila kadar bilirubin telah mencapai kadar yang lebih tinggi sering warna
kuning sklera mata memberi kesan berbeda dimana ikterus lebih memberi kesan
kehijauan (greenish jaundice) pada kolestasis ekstrahepatik dan kekuningan
(yellowish jaundice) pada kolestasis intrahepatik.1,3,7
5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan
laboratorium
mempunyai
keterbatasan
diagnosis.
Kelainan
laboratorium yang khas adalah peningkatan nilai alkali fosfatase yang diakibatkan
terutama peningkatan sintesis karena gangguan eksresi akibat obstruksi bilier, namun
tetap belum dapat menjelaskan penyebabnya (intrahepatik atau ekstrahepatik). Alkali
fosfatase merupakan enzim yang terdapat pada membrane kanalikuli hepatosit.1,7
Nilai bilirubin juga mencerminkan beratnya tetapi bukan penyebab kolestasisnya.
Pada obstruksi ekstrahepatik kadar bilirubin direk dan indirek meningkat.
Peningkatan bilirubin direk disebabkan karena adanya obstruksi saluran empedu
sehingga menghambat ekskresinya ke duodenum, sedangkan bilirubin indirek
meningkat di dalam darah karena mekanisme liver uptake terganggu disebabkan oleh
kadar bilirubin direk meningkat di dalam hati. Pada obtruksi intrahepatik, bilirubin
direk dan indirek kemungkinan juga meningkat. Bilirubin indirek meningkat karena
ketidakmampuan sel hati yang rusak untuk mengubah bilirubin indirek menjadi direk,
sedangkan peningkatan bilirubin direk terjadi karena gangguan ekskresi akibat proses
peradangan.1,7
Nilai aminotrasnferase bergantung terutama pada penyakit dasarnya, namun
seringkali meningkat tidak tinggi. Apabila peningkatan tinggi sangat mungkin karena
12
proses
hepatoselular,
namun
kadang-kadang
terjadi
juga
pada
kolestasis
ekstrahepatik, terutama pada sumbatan akut yang diakibatkan oleh adanya batu di
duktus
koledokus.
Pada
obstruksi
ekstrahepatik
umumnya
kadar
aspartat
13
Gambar 6.
Rontgen abdomen
opaque11
Dewasa ini USG merupakan pencitraan pilihan pertama untuk mendiagnosis batu
kandung empedu dengan sensivisitas tinggi melebihi 95% sedangkan untuk
mendeteksi batu saluran empedu sensivisitasnya relatif rendah berkisar antara 1874%, namun nilai diagnosis USG rendah pada pasien dengan obesitas. Endoscopic
Ultrasonography (EUS) mempunyai sensitivitas yang tinggi (97%) dalam mendeteksi
batu saluran empedu dibandingkan dengan USG transabdominal. EUS merupakan
suatu metode pemeriksaan dengan memakai instrumen gastroskop dengan echoprobe
di ujung skop yang dapat terus berputar. Dibandingkan dengan USG transabdominal,
EUS memberikan gambaran pencitraan yang jauh lebih jelas sebab echoprobe-nya
diletakkan di dekat organ yang diperiksa. Teknik pencitraan ini belum banyak diikuti
oleh praktisi kedokteran di Indonesia sebab hal ini berhubungan dengan masalah
latihan, pengalaman, dan ketersediaan instrumen EUS.3,7
Lesi di pankreas dapat dilihat dengan CT Scan. Endoscopic Retrograde
Cholangio-Pancreatography (ERCP) dapat melihat secara langsung saluran bilier dan
sangat bermanfaat untuk menetapkan sumbatan ekstrahepatik. Percutaneous
Transhepatic Cholangigraphy (PTC) dapat pula digunakan untuk tujuan yang sama.
Kedua cara tersebut mempunyai potensi terapeutik. ERCP bersifat invasif dan dapat
menimbulkan komplikasi pankreatitis dan kolangitis yang dapat berakibat fatal.7
Magnetic Resonance Cholangio-Pancreatography (MRCP) merupakan teknik
pencitraan dengan gema magnet tanpa menggunakan zat kontras, instrumen, dan
radiasi ion. MRCP cocok untuk mendignosis batu saluran empedu. Studi terkini
MRCP menunjukkan nilai sensivisitas antara 91-100%, nilai spesivisitas antara 92-
14
100% dan nilai prediktif positif antara 93-100% pada keadaan dengan dugaan batu
saluran empedu. Nilai diagnostik MRCP yang tinggi membuat teknik ini makin sering
dikerjakan untuk diagnosis atau eksklusi batu saluran empedu khususnya pada pasien
dengan kemungkinan kecil mengandung batu. Selain itu cara ini bersifat non invasif,
namun bukan merupakan modalitas terapi dan juga aplikasinya bergantung pada
operator.3
Biopsi hati akan menjelaskan diagnosis pada kolestasis intrahepatik. Walaupun
demikian dapat timbul juga kesalahan, terutama jika penilaian dilakukan oleh orang
yang kurang berpengalaman. Umumnya biopsi aman pada kasus kolestasis, namun
berbahaya pada keadaan obtruksi ekstrahepatik yang berkepanjangan, karenanya
harus disingkirkan dahulu dengan pemeriksaan pencitraan sebelum biopsi dilakukan.7
6. Diagnosis
Riwayat penyakit yang rinci dan pemeriksaan jasmani sangat penting, karena
kesalahan diagnosis terutama dikarenakan penilaian klinis yang kurang atau penilaian
gangguan laboratorium yang berlebihan. Diagnosis sebaiknya ditegakkan melalui
penilaian klinis, dengan bantuan alat penunjang khusus jika memungkinkan. Jika
diagnosis tidak pasti, USG dan CT Scan akan sangat membantu. Obstruksi mekanis
dapat ditegakkan jika ditemukan tanda pelebaran saluran bilier, terutama pada pasien
dengan kolestasis yang progresif. Pemeriksaan lebih lanjut dengan kolangiografi
langsung (ERCP, PTC, dan MRCP) dapat dipertimbangkan. Jika pada pemeriksaan
USG tidak ditemukan pelebaran saluran empedu, maka sangat mungkin ke masalah
intrahepatik, dan biopsi sangat dianjurkan.7
Apabila alat penunjang tersebut di atas tidak terdapat, maka laparoskopi diagnosis
harus dipertimbangkan, jika pertimbangan klinis lebih menjurus ke sumbatan
ekstrahepatik dan kolestasis yang memburuk progresif. Pemeriksaan peritoneoskopi
(laparoskopi) memungkinkan untuk memeriksa langsung hati dan kandung empedu.
Laparatomi diagnostik jarang diperlukan pada pasien dengan kolestasis atau
hepatosplenomegali yang belum bisa diterangkan penyebabnya.7
15
7. Pengobatan
Pengobatan obstrusksi bilier atau ikterus sangat bergantung pada penyebabnya.
Beberapa gejala yang cukup mengganggu misalnya gatal (pruritus) pada keadaan
kolestasis intrahepatik, pengobatan penyebab dasarnya sudah mencukupi. Pruritus
pada keadaan ireversibel seperti sirosis bilier primer biasanya responsif terhadap
kolestiramin 4-16 mg/hari per oral dalam dosis terbagi dua yang akan mengikat
garam empedu di usus atau dapat juga diberikan antihistamin. Kecuali jika terjadi
kerusakan hati yang berat. Hipoprotrombinemia biasanya membaik setelah pemberian
fitonadion (vitamin K) 5-10 mg/hari sub kutan untuk 2-3 hari.1,7,9
Pemberian suplemen kalsium dan vitamin D dalam keadaan kolestasis yang
ireversibel. Suplemen vitamin A dapat mencegah kekurangan vitamin yang larut
lemak ini dan steatorrhea yang berat dapat dikurangi dengan pemberian sebagian
lemak dalam diet. Sumbatan bilier ekstrahepatik (kolelitiasis) biasanya membutuhkan
tindakan bedah yaitu kolesistektomi laparoskopik. ERCP terapeutik dengan
melakukan sfingterotomi endoskopik untuk mengeluarkan batu empedu tanpa operasi
pertama kali dilakukan tahun 1974.Untuk mengeluarkan batu empedu yang sulit
diperlukan beberapa prosedur endoskopik tambahan sesudah sfingterotomi seperti
seperti pemecehan batu dengan litotripsi mekanik, litotripsi laser, dan ESWL
(Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy). Selain itu, perlu modifikasi diet berupa diet
rendah lemak dan gula serta tinggi serat.1,7,9
16
17
KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny.
Umur
: 34 Tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Status Perkawinan
: Menikah
Pekerjaan
Suku
: Jawa
Agama
: Islam
Alamat
Tgl. Masuk
: 12 Desember 2015
Tgl. Periksa
: 13 Desember 2015
ANAMNESIS
Keluhan Utama
Nyeri perut kanan atas yang semakin memburuk sejak 2 hari SM
Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak 30 hari SMRS pasien mengalami demam tinggi, demam naik turun, namun
tidak pernah mencapai suhu normal. Pasien juga mengeluhkan perut kanan atas
18
terasa nyeri, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri hilang timbul. Lalu pasien berobat
ke RSUD setempat, pasien dirawat inap selama 7 hari. Selama di rawat keluhan
tidak membaik.
Sejak 2 hari SMRS, pasien semakin lemah, nyeri perut kanan atas semakin
memburuk, akhirnya pasien di rujuk ke RSUD AA.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Kesadaran
: Komposmentis
Tekanan darah
: 100/60 mmHg
Nadi
19
Pernapasan
: 20 x/menit
Suhu
: 37,60C
Pemeriksaan Khusus:
Kepala :
Mata
Mulut
: Bibir kering, lidah tidak kotor, faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1
Leher
Thoraks:
Jantung :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Paru :
Inspeksi
: Dada simetris, gerakan dada simetris kiri dan kanan, tidak ada bagian
yang tertinggal
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Palpasi
20
Perkusi
Auskultasi
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, kulit kering, turgor jelek.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tanggal 10 April 2012
Darah rutin
Hb
: 9,6 gr/dl
Hematokrit
: 26,5 %
Lekosit
Trombosit
: 9.800/L
: 426.000 /L
Elektrolit
Na+
: 130,4 mmol/L
K+
: 4,30 mmol/L
Cl-
: 98,2 mmol/L
Kimia darah
Glukosa
: 79 mg/dL
BUN
: 13 mg/dL
CR-S
: 0,27 mg/dL
AST
: 130 IU/L
ALT
: 57 IU/L
Ureum
: 57 mg/Dl
: 5,5 mg/dL
TBIL
: 16,3 mg/dL
Bilirubin Indirect
: 10,8 mg/dL
GGT
: 143 IU/L
21
HbsAg kualitatif
: non reaktif
Anti HbsAg
: non reaktif
AFP
: 4,07 IU/mL
: 8 mg/dL
CR-S
: 0,12 mg/dL
AST
: 169 IU/L
ALT
: 73 IU/L
Ureum
: 17,1 mg/DL
22
Tirah Baring
Diet MB
IVFD NaCl 0,9% 20 tetes/menit
Injeksi ceftriaxon 1gr/ 8 jaM
Injeksi ranitidin 1gr/12 jam
Injeksi Metoclopamid 1gr/12 jam
Sistenol 3x1 tablet
Curcuma 3x1 tab
FOLLOW UP
16 April 2012
S
17 April 2012
S
23
18 April 2012
S
: 6,2 mg/dL
TBIL
: 19,0 mg/dL
AST
: 193 IU/L
ALT
: 67 IU/L
Bil indirek
: 12,8 mg/dL
AFP
: 5,00 IU/mL
ALP
: 1417 IU/L
24
20 April 2012
S
21 April 2012
S
25
23 April 2012
S
24 April 2012
S
26
25 April 2012
S
26 April 2012
S
27
Levofloxacin 1x500mg
Clindamicin 3x300mg
Lansoprazol 2x1 tablet
Ondansentron 3x1 tablet
Antasid 3x cth 2
ANALISA MASALAH
3.1 Simpulan
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien ini didiagnosis menderita
ikterus obstruktif dimana penyebabnya adalah batu empedu. Dalam mengkaji pasien
dengan ikterus, terlebih dahulu kita hendaknya memikirkan apakah ikterus yang
terjadi akibat proses prehepatik, intrahepatik, atau posthepatik. Pada pasien ini, proses
prehepatik dapat disingkirkan karena tidak ada keluhan yang menunjang ke arah
prehepatik. Pasien tidak pernah mengalami penyakit hemolitik. Sehingga yang perlu
dipikirkan adalah proses pada intrahepatik dan post hepatik.
Untuk mengarah ke diagnosis tersebut, pada anamnesis didapatkan pasien
mengeluhkan nyeri pada perut kanan atas, nyeri terasa seperti di tusuk-tusuk, nyeri
hilang timbul. Ini merupakan salah satu gejala dari kolik bilier yang bisa disebabkan
oleh batu empedu. Pasien juga mengeluhkan badan yang terasa gatal, urin yang
berwarna teh pekat. Hal ini merupakan karakteristik dari terjadinya obstruksi dari
bilirubin.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan bahwa terlihat sklera pasien yang berwarna
kuning kehijauan dan kulit yang ikterik. Hal ini khas pada obstruksi ikterus
ekstrahepatik. Pada pemeriksaan fisik juga didapatkan adanya tanda murphy dan
kandung empedu yang tidak membesar. Hal ini dapat menyingkirkan adanya
keganasan yang menyumbat saluran empedu pada pasien ini. Karena apabila terjadi
keganasan , maka akan ditemukan pembesaran kandung empedu yang akan teraba
pada palpasi abdomen.
28
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Bonheu J.L, Ells P.F. Biliary Obstruction 2009. http://www.emedicine.com
[ 14 April 2012].
2. Lee A. Biliary Tract Obstruction 2008. http://www.suite101.com [Diakses 14
April 2012].
3. Lesmana LA. Penyakit Batu Empedu. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid I. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FK.UI; 2006. 481-2.
4. Sulaiman A, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Edisi I. Jakarta : Jayabadi;
2007.9,14-5, 161, 165, 171, 174, 175.
5. McPhee S. J, Papadakis M. A, Tierney L. M. Biliary Obstruction. In : Current
Medical Diagnosis and Treatment. San Fransisco : Mc Graw Hill; 2007. ebook.
6. Ferri FF. Cholelithiasis. In : Ferris Clinical Advisor. 10 th Edition. USA :
Mosby Elsevier; 2008. e-book.
7. Sulaiman A. Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK.UI; 2006. 422-5.
8. Anonimous. Total Bilirubin. http://diaglab.vet.cornell.edu [Diakses tanggal 14
April 2012].
9. Anonimous. Cholestasis 2009. http://www.merck.com [Diakses tanggal 14
April 2012].
30
31