Anda di halaman 1dari 10

Prosiding Skripsi Semester Genap 2010/2011

MINYAK ATSIRI DARI DAUN DAN BATANG TANAMAN DUA


SPESIES GENUS CYMBOPOGON, FAMILI GRAMINEAE SEBAGAI
INSEKTISIDA ALAMI DAN ANTIBAKTERI
Regalado Arswendiyumna*, Prof. Dr. R. Y. Perry Burhan1. Dra. Yulfi Zetra,MS2
Jurusan Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
___________________________________________________________________________
ABSTRAK
Minyak atsiri dari dua spesies genus Cymbopogon yaitu Cymbopogon nardus dan Cymbopogon
citratus didapatkan dengan proses destilasi dengan peralatan hidrodestilasi. Minyak atsiri tersebut di
identifikasi komponen senyawanya dengan menggunakan Kromatografi Gas Spektrometri Massa (
KG-SM). Komoponen mayor pada minyak atsiri Cymbopogon nardus adalah sitronellal ( 30,58%)
sedangkan pada Cymbopogon citratus adalah geranial (42,11%). Minyak atsiri dari kedua spesies ini
aktif sebagai antibakteri dan insektisida. Hal ini diketahui dengan nilai LC50 yang rendah (LC50<500)
dalam uji antibakteri dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) yaitu sebesar 315,24 ppm
untuk C. nardus dan 270,93 ppm untuk C. citratus, sedangkan pada uji insektisiada nilai LC50 adalah
sebesar 422,30 ppm untuk C. nardus dan 321,92 ppm untuk C. citratus.

Kata kunci : Cymbopogon nardus, Cymbopogon citratus, KG-SM, hidrodestilasi, bioaktivitas

___________________________________________________________________________
ABSTRACT
Two Cymbopogon species, Cymbopogon nardus and Cymbopogon citratus, were chosen to prepare
essential oil by hydrodistillation and to identify their volatile compound compositions. Gas
chromatography/mass spectrometry (GC/MS) was used to identify the volatile compound
compositions. Citronella ( 30,58%) was the major component of C. nardus, while geranial (42,11%)
of C. citratus. Essential oil of both species are active as antibacterial and insecticide. This is known by
a low LC50 (LC50<500) in the antimicrobial test with Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) method that
is equal to 315,24 ppm for C. nardus dan 270,93 ppm for C. citratus, while at insecticide test LC50
values amounted to 422,30 ppm for C. nardus dan 321,92 ppm for C. citratus.
Keyword: Cymbopogon nardus, Cymbopogon citratus, GC-MS, essential oil, hydrodistillation,
bioactivity.

1.

Pendahuluan

Negara kita termasuk negara penghasil


minyak atsiri dan minyak ini juga merupakan
komoditi yang menghasilkan devisa negara.
Oleh karena itu pada tahun-tahun terakhir ini,
minyak atsiri mendapat perhatian yang cukup
besar dari pemerintah Indonesia. Indonesia
baru menghasilkan sembilan jenis minyak
atsiri yaitu: minyak cengkeh, minyak kenanga,

minyak nilam, minyak akar wangi, minyak


pala, minyak kayu putih dan minyak sereh
wangi. Dari sembilan jenis minyak atsiri ini
terdapat enam jenis minyak yang paling
menonjol di Indonesia yaitu: minyak pala,
minyak nilam, minyak cengkeh dan minyak
sereh wangi (Anonimous, 1988).

Minyak sereh merupakan komoditi di


sektor agrobisnis yang memiliki pasaran bagus
dan berdaya saing kuat di pasaran luar negeri.
Tetapi tanaman sereh ini tampaknya masih
banyak yang belum digarap untuk siap
diinvestasi. Sebagai contoh tanaman sereh
wangi, tanaman penghasil minyak atsiri yang
dalam perdagangan dikenal dengan nama
sitronella oil. Nama ini masih asing bagi
sebagian orang, sebab hampir sepuluh tahun
lebih sereh wangi luput dari perbincangan dan
perhatian orang (Anonimous, 1988).
Tanaman yang menghasilkan minyak
atsiri meliputi sekitar 200 spesies (Ketaren,
1985), 40 spesies diantaranya terdapat di
Indonesia (Rusli dan Hobir, 1990). Jenis
minyak atsiri yang telah diproduksi dan
beredar di pasar dunia saat ini mencapai 70
80 macam, 15 macam diantaranya berasal dari
Indonesia (NAFED, 1993). Minyak atsiri
digunakan dalam berbagai industri parfum,
kosmetik, makanan, minuman dan obatobatan. Produk dari industri tersebut jenisnya
sangat banyak, tetapi kuantitas minyak atsiri
bagi setiap produk relatif sangat kecil.
Minyak atsiri atau disebut juga volatil
oil atau essential oil adalah istilah yang
digunakan untuk minyak mudah menguap dan
diperoleh dalam tanaman (daun, bunga, buah,
kulit batang dan akar) dengan cara destilasi.
Minyak atsiri bukanlah senyawa murni, akan
tetapi merupakan campuran senyawa organik
yang seringkali tersusun lebih dari 25 senyawa
atau komponen yang berlainan. Sebagian
komponen minyak atsiri adalah senyawa yang
mengandung karbon dan hidrogen, atau
karbon, hidrogen, dan oksigen yang tidak
bersifat aromatik. Senyawa-senyawa ini secara
umum disebut terpenoid (Guenther, 2006).
Minyak atsiri telah digunakan untuk mengatasi
dyspepsia, gastritis, gangguan sirkulasi darah
dan penyakit inflamatori di banyak negara
sejak zaman dahulu kala Yu, Lee (2007).
Aktivitas yang signifikan dari minyak atsiri
sebagai antialergi, antipiretik, anaestetik dan
analgesik dari berbagai varietas yang telah
diteliti oleh Kurokawa (1998) dan Lee (1998).
Di Indonesia sendiri minyak atsiri sudah
banyak dimanfaatkan, mulai dari pemanfaatan
bau dari minyak atsiri itu sendiri sampai
penggunaan minyak atsiri sebagai obat-obatan
dan aditif makanan.
Penelitian terhadap famili Gramineae
dari genus Cymbopogon telah berhasil
melaporkan keberadaan beberapa komponen

minyak atsiri. Fandohan dkk (2008)


melaporkan kandungan minyak atsiri dari
Cymbopogon citratus yang berasal dari Benin
bagian selatan, Afrika barat yaitu neral (sitral
B), geranial (sitral A), dan mirsen yang
mempunyai potensi sebagai antitoksik. Khadri
dkk (2007) melaporkan kandungan minyak
atsiri dari Cymbopogon schoenanthus yang
berasal dari Maire et weill, Tunisia yaitu
limonen, -fellandrin, dan -terpineol yang
mempunyai potensi sebagai antioksidan. Saeed
dkk (1978) melaporkan kandungan minyak
atsiri dari Cymbopogon jawarancusa yang
berasal dari daerah Peshawar, Pakistan yaitu
pipertone dan -terpineol. Prashar dkk (2003)
melaporkan kandungan minyak atsiri dari
Cymbopogon martinii yang berasal dari
Battersea, London yaitu geraniol dan geranil
asetat yang mempunyai potensi sebagai
antibakteri. Takaisi dkk (1999) melaporkan
kandungan minyak atsiri dari Cymbopogon
densiflorus yang berasal dari Kinsasha (D.R.
Congo) yaitu limonen, simenen, p-simen, cisdan trans karveol, karvone, iso-piperitenon
yang mempunyai potensi sebagai antibakteri.
El-kamali dkk (2005) melaporkan kandungan
minyak atsiri dari Cymbopogon nervatus yang
berasal dari Sudan bagian timur yaitu cis-pmentha-1(7), 8-dien-2-ol, trans-p- mentha1(7),
8-dien-2-ol,2-(1-metil-propil)siklopentanon, trans-karveol yang mempunyai
potensi sebagai antibakteri. Minyak atsiri dari
Cymbopogon nardus (sereh wangi) terdiri dari
berbagai senyawa. Salah satu senyawa yang
dapat membunuh nyamuk adalah sitronelal.
Sitronelal mempunyai sifat racun (desiscant),
menurut cara kerjanya racun ini seperti racun
kontak yang dapat memberikan kematian
karena kehilangan cairan secara terus-menerus
sehingga tubuh nyamuk kekurangan cairan.
Pada penelitian ini dipilih dua spesies dari
genus Cymbopogon yaitu Cymbopogon nardus
dan Cymbopogon citratus. Berdasarkan
hubungan kekerabatan sesama tumbuhan
(Venkataraman, 1976) mengemukakan bahwa
spesies tumbuhan yang termasuk dalam genus
yang sama dari suatu famili tumbuhan tertentu
akan mengandung senyawasenyawa kimia
yang sama hanya saja intensitasnya yang
bervariasi, tergantung dari tempat tumbuhan
itu tumbuh. Rendemen minyak yang
dihasilkan dari daun sereh tergantung dari
bermacam-macam faktor antara lain: iklim,
kesuburan tanah, umur tanaman dan cara
penyulingan.

Penyulingan atau destilasi adalah


proses pemisahan komponen yang berupa
cairan atau padatan dari 2 macam campuran
atau lebih berdasarkan perbedaan titik uapnya
dan proses ini dilakukan terhadap minyak
atsiri yang tidak larut dalam air. Prinsip
destilasi
ini
adalah
penguapan
dan
pengembunan kembali uap tersebut pada suhu
titik didih. Sebelum dilakukan penyulingan,
tanaman tersebut perlu dilakukan proses
pelayuan dan pengeringan bertujuan untuk
menguapkan sebagian air dalam bahan
sehingga penyulingan berlangsung lebih
mudah dan lebih singkat (Ketaren, 1985).
Minyak atsiri yang didapatkan dari kedua
spesies genus Cymbopogon yaitu Cymbopogon
nardus dan Cymbopogon citratus akan diuji
bioaktivitasnya, insektisida dan uji larvasida.
2. Metodologi
2.1 Alat dan Bahan
2.1.1 Alat
Peralatan yang digunakan dalam
penelitian ini antara lain ; peralatan gelas
seperti gelas piala, gelas ukur, botol vial, labu
ukur, corong, erlenmeyer, bejana pengembang
(chamber), kaca arloji, spatula, mikropipet.
Peralatan lain yang digunakan antara lain;
alumunium voil, kertas saring, pinset,
seperangkat alat hidrodestilasi, dan kotak uji
bioaktivitas (microware). Instrumentasi yang
digunakan antara lain, seperangkat alat
kromatografi lapis tipis (KLT), dan
Kromatografi Gas-Spektroskopi Massa (KGSM).
2.1.1 Bahan
Bahan-bahan yang diperlukan adalah
daun dan batang tumbuhan Cymbopogon
nardus (tipe A) dan Cymbopogon citratus (tipe
B). Pelarut yang digunakan adalah aquades
(H2O). Bahan-bahan lain yang digunakan
antara lain Na2SO4 anhidrat, dimetil sulfoksida
(DMSO), kloroform, etanol (C2H5OH),
diklorometana (CH2Cl2), aseton, etil asetat,
metanol, n-heksana, dan plat KLT SiO2 F254
sebagai fasa diam untuk Kromatografi Lapis
Tipis (KLT).
2.2 Prosedur Kerja
2.2.1 Preparasi dan Destilasi Sampel
Sampel tipe A dan tipe B dibersihkan,
dikeringkan
dan
dirajang
kemudian
dimasukkan dalam labu destilasi sebanyak 100
gram dan diisi dengan aquades sampai seluruh

bahan terendam dalam air. Peralatan


hidrodestilasi di set seperti pada gambar 2.7.
Aquades ditambahkan ke dalam labu melalui
ujung kolom O sampai batas AB. Mantel
pemanas dinyalakan dan destilasi dilakukan
selama 6 jam yang dihitung setelah distilat
pertama turun.
Minyak
atsiri
hasil
destilasi
dipindahkan ke dalam labu erlenmeyer.
Natrium sulfat anhidrat ditambahkan ke dalam
erlenmeyer untuk menyerap aquades yang
masih terdapat dalam minyak atsiri. Minyak
atsiri yang telah dikeringkan dari air
selanjutnya didekantasi dan dipindahkan ke
dalam botol vial 5 ml. Masing-masing minyak
atsiri yang diperoleh dihitung rendemennya
dan dianalisa lebih lanjut meliputi identifikasi
secara Kromatogafi Gas Spektrofotome-tri
Masa (KG-SM) dan uji bioaktivitas meliputi
sifat antibakteri dan larvasida.
2.2.2
Metode
Identifikasi
Senyawa
Kromatografi Gas-Spektroskopi Massa
(KG-SM)
Minyak
atsiri
yang
diperoleh
diidentifikasi
komponen-komponennya
menggunakan Kromatografi Gas-Spektroskopi
Massa (KG-SM). Peralatan KG-SM yang
digunakan adalah QP 2010S Shimadzu dengan
kolom jenis : Rastek RXi-5MS (panjang
kolom 30 m dengan diameter 0,25 mm,
ketebalan 0,25 m). Temperatur kolom diatur
pada suhu 100C selama 5 menit dan
ditingkatkan 10C/menit hingga suhu 290C
selama 30 menit. Temperatur injektor dan
sumber ion (EI pada 70 eV) dikondisikan
masing-masing pada suhu 250oC dan 290C.
Gas pembawa yang digunakan adalah Helium
(He) dengan kecepatan alir 0,5 ml/menit
dengan rasio kecepatan 1:50. Range scan SM
adalah m/z 28-600. Penentuan struktur
senyawa dilakukan dengan menggunakan
standart yang sudah diketahui dengan
mencocokkan fragmentasi senyawa pada
database library. Setiap puncak yang muncul
dalam kromatogram memiliki waktu retensi
yang berbeda-beda.
2.2.3 Uji Bioaktivitas
2.2.3.1 Uji Toksisitas dengan menggunakan
Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)
Metode ini mengacu pada
penelitian Meyer dan Ferrigni dalam jurnal
Planta Medica, volume 45 (1982), hal 31-34.

Pembiakan Larva Udang Artemia


salina L.
Telur Artemia salina Leach yang telah dibuahi
sebanyak 100 mg dimasukkan ke dalam
bejana yang berisi 300 ml air laut yang
diambil dari Laut Kenjeran Air laut yang
digunakan sebagai media penetasan telur
udang disaring terlebih dahulu menggunakan
kertas saring Whatman 41. Telur udang yang
telah dibuahi dibiarkan menetas dalam
medianya selama 1x24 jam menjadi larva
sehingga siap digunakan sebagai hewan uji.

Prosedur uji Menggunakan Udang


Artemia salina L.
Minyak atsiri tipe A dan tipe B diambil
sebanyak 0,05 ml dan dilarutkan dalam 0,14
ml pelarut dimetil sulfoksida (tipe A) dan 0,14
ml (tipe B) untuk larut sempurna. Larutan
sampel tersebut ditambahkan aquades hingga
volumenya menjadi 25 ml sehingga diperoleh
larutan dengan konsentrasi 2000 ppm. Larutan
sampel
kemudian
diencerkan
hingga
konsentrasinya 1000; 500; 250; 125; 62,5 dan
31,25 ppm. Larutan kontrol dibuat dengan
prosedur sama, tetapi tanpa menggunakan
sampel. Masing-masing larutan dimasukkan ke
dalam microware yang telah diisi dengan 20
ekor Artemia salina sebagai hewan uji. Untuk
setiap konsentrasi masing-masing dilakukan
triplo. Prosedur untuk kontrol dilakukan
dengan cara yang sama tanpa penambahan
sampel. Hewan uji dibiarkan dalam larutan
selama 1x24 jam, kemudian dihitung jumlah
larva yang mati dan yang masih hidup dari tiap
lubang. Grafik dibuat dengan (konsentrasi)1/2
sebagai sumbu x terhadap mortalitas sebagai
sumbu y. Toksisitas dan aktivitas dilaporkan
sebagai LC50, yang menunjukkan kematian
hewan uji pada setengah konsentrasi maksimal
larutan uji. Nilai LC50 diperoleh dengan
menggunakan persamaan regresi polinomial y
= ax2 + bx + c
2.2.3.2 Uji Insektisida menggunakan Larva
Instar III Nyamuk Aedes aegypti
Metode ini mengacu pada penelitian
Meyer dan Ferrigni dalam jurnal Planta
Medica, volume 45 (1982), hal 31-34, dimana
hewan uji diganti dengan menggunakan larva
instar III nyamuk Aedes aegypti. Larva yang
digunakan adalah instar III yang didapatkan
dari TDC-UNAIR. Minyak atsiri tipe A dan
tipe B diambil sebanyak 0,05 ml dan
dilarutkan dalam 0,14 ml pelarut dimetil
sulfoksida (tipe A) dan 0,14 ml pelarut dimetil

sulfoksida (tipe B) untuk larut sempurna.


Larutan sampel tersebut ditambahkan aquades
hingga volumenya 25 ml sehingga diperoleh
larutan dengan konsentrasi 2000 ppm. Larutan
sampel
kemudian
diencerkan
hingga
konsentrasinya 1000, 500; 250; 125; 62,5 dan
31,25 ppm. Larutan kontrol dibuat dengan
prosedur sama, tetapi tanpa menggunakan
sampel. Masing-masing larutan dimasukkan ke
dalam microware yang telah terisi 10 ekor
larva instar III nyamuk Aedes aegypti. Untuk
setiap konsentrasi masing-masing dilakukan
triplo. Larutan didiamkan selama 24 jam,
kemudian dihitung jumlah larva yang mati dan
yang masih hidup dari tiap lubang. Grafik
dibuat dengan (konsentrasi)1/2 sebagai sumbu x
terhadap mortalitas sebagai sumbu y.
Toksisitas dan aktivitas dilaporkan sebagai
LC50, yang menunjukkan kematian hewan uji
pada setengah konsentrasi maksimal larutan
uji. Nilai LC50 diperoleh dengan menggunakan
persamaan regresi polinomial y = ax2 + bx + c
3.1 Hasil dan Diskusi
3.1 Destilasi
Masing-masing minyak atsiri hasil
destilasi yang diperoleh dihitung rendemennya
dan dianalisa lebih lanjut meliputi identifikasi
secara Kromatogafi Gas Spektrofoto-metri
Masa (KG-SM) dan uji bioaktivitas meliputi
sifat antimikroba, antioksidan dan larvasida.
Minyak atsiri tipe A berwarna kuning
kecoklatan sedangkan minyak atsiri tipe B
berwarna kuning kehijauan jernih dan
mempunyai
rendemen
masing-adalah
sebesar 1.14 % dan 0,46%.
Residu yang merupakan sisa hasil
destilasi sebanyak 100 gram dikeringkan pada
suhu kamar kemudian di ekstrak dengan
pelarut etanol (3 x 250 ml). Pelarut etanol
diuapkan dengan rotary evaporator vakum
sehingga diperoleh ekstrak pekat etanol yang
berwarna kuning coklat agak kehitaman (tipe
A) dan berwarna kuning hijau agak kehitaman
(tipe B). Ekstrak pekat etanol selanjutnya diuji
sifat antioksidannya menggunakan DPPH.
3.2 Analisa KG-SM
Berdasarkan data kromatogram dan
hasil
identifikasi
diketahui
komponen
penyusun minyak atsiri tipe A dan tipe B
ditunjukkan pada tabel 4.1.
no
1.

Senyawa
6-metil-5-hepten-2-on

Tipe A

Tipe B
0,98

2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.

Mirsen
Linalool
3,3,5-trimetil-1,4-heksadiena
sitronellal
trans-limonen-oksida
Limonene oksida
Neral
geranial
Asam nerik
Neril asetat
-bergamonten
Limonen
2,6 dimetil-5-heptenal
Sitonellol
Geraniol
5,7-dimetiloktahidrokumarin
-ylangen
-elemen
-karyopilen
-humulen
Germacren
-muurolen
globulol
hedikaryol
1,6-germacradien-5-ol
Karyofilen oksida
Tau-kadinol
-kadinol
Sikloprop-azulen-4-ol

0,67
30,58

13,71
1,04
0,52
0,22
1,85
2,72
34,78
42,11
0,52
1,02
0,53

3,10
0,43
13,19
25,45
13,425
0,56
1,52
5,26
0,60
0,85
0,90
4,50
3,90
2,13
0,80
0,90
1,72
0,59

Minyak atsiri tipe A mempunyai


komponen penyusun utama yaitu sitronellal
dengan puncak area sebesar 30,58 %, geraniol
sebesar 25,45 % dan sitronellol sebesar
13,19%.
Minyak
atsiri
tipe
B
mempunyai komponen penyusun utama yaitu
geranial dengan puncak area sebesar 42,11 %,
neral sebesar 34,78 % dan mirsen sebesar
13,71%. Hasil identifikasi ini sesuai dengan
data literatur Willey 229.
Tumbuhan dalam satu spesies
memiliki biogenetik yang sama sedangkan
dalam penelitian ini dilakukan variasi spesies
dalam satu genus yang sama yaitu
Cymbopogon nardus (sereh wangi) dan
Cymbopogon citratus (sereh dapur). Puncak
area pada kromatogram KG menunjukkan
prosentase konsentrasi senyawa dalam minyak
atsiri.
Berdasarkan
hasil
identifikasi
kromatogram minyak atsiri tipe A dan B yang
dihasilkan, komponen mayor minyak atsiri
tipe A yaitu sitronellal memiliki prosentase
yang lebih besar (30,58 %) jika dibandingkan
dengan minyak atsiri tipe B yang hanya 0,22
%. Berdasarkan hubungan kekerabatan sesama
tumbuhan
(Venkataraman,
1976)
mengemukakan bahwa spesies tumbuhan yang
termasuk dalam genus yang sama dari suatu
famili tumbuhan tertentu akan mengandung
senyawasenyawa kimia yang hampir sama
hanya saja intensitasnya belum tentu sama.

Menurut Guenther, 1950, komponen utama


penyusun minyak sereh wangi yaitu, geraniol,
sitronellol, dan sitronellal. Sedangkan menurut
Fandohan dkk, (2008) komponen utama
minyak atsiri dari Cymbopogon citratus yang
berasal dari Benin bagian selatan, Afrika barat
yaitu neral (sitral B), geranial (sitral A), dan
mirsen. Berdasarkan penelitian terdahulu
komponen mayor minyak atsiri dari masingmasing spesies memiliki kesamaan hanya saja
intensitasnya tidak sama.
Berdasarkan penelitian terdahulu
komponen mayor minyak atsiri dari masingmasing spesies memiliki kesamaan hanya saja
intensitasnya tidak sama. Hal ini terjadi
disebabkan karena enzim yang terdapat dalam
masing-masing tumbuhan dimana kerja enzim
tersebut dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Perbedaan ini diakibatkan oleh perbedaan
iklim, lingkungan alam, lingkungan dengan
kecepatan angin yang berbeda, kandungan
organik dan anorganik yang ada dalam tanah
tempat tumbuhan tumbuh.
3.3 Uji Bioaktivitas
3.3.1 Uji Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)
Minyak Atsiri Tipe A
Pengujian bioaktivitas minyak atsiri
tipe A dengan metode Brine Shrimp Lethality
Test (BSLT) didapatkan hasil pengamatan
mortalitas udang (Artemia salina L.).dan dari
dat yang diperoleh dibuat grafik hubungan
antara log konsentrasi dengan % mortalitas
udang laut (Artemia salina L.) dan ditunjukkan
pada gambar 4.3.

Gambar 4.3
Grafik hubungan antara
(konsentrasi)1/2 dengan % mortalitas udang
laut (Artemia salina L.)
Persamaan regresi polinomial yang diperoleh
dari grafik tersebut adalah y = -0,019x2 +
4,714x - 27,72. Berdasarkan persamaan regresi
polinomial tersebut, dapat dihitung nilai LC50
larutan uji. Hasil perhitungan menunjukkan

bahwa minyak atsiri tipe A memiliki nilai


LC50 sebesar 315,24 ppm.
Pengujian bioaktivitas minyak atsiri
tipe B dengan metode Brine Shrimp Lethality
Test (BSLT) didapatkan hasil pengamatan
mortalitas udang (Artemia salina L.).dan dari
dat yang diperoleh dibuat grafik hubungan
antara log konsentrasi dengan % mortalitas
udang laut (Artemia salina L.) dan ditunjukkan
pada gambar 4.4.

Gambar 4.4 Grafik hubungan antara


(konsentrasi)1/2 dengan % mortalitas udang
laut (Artemia salina L.)
Persamaan regresi polinomial yang diperoleh
dari grafik tersebut adalah y = -0,046x2 +
5,691x - 31,22. Berdasarkan persamaan regresi
polinomial tersebut, dapat dihitung nilai LC50
larutan uji. Hasil perhitungan menunjukkan
bahwa minyak atsiri tipe B memiliki nilai LC50
sebesar 270,93 ppm.
Suatu senyawa dikatakan aktif pada uji
toksisitas menggunakan metode BSLT dengan
konsentrasi maksimal yang digunakan 1000
ppm, jika memiliki harga LC50 500 ppm dan
dikatakan tidak aktif jika memiliki harga LC50
> 500 ppm, sedangkan senyawa murni
dikatakan aktif dan mempunyai sifat
bioaktifitas jika memiliki harga LC50 200
ppm dan tidak aktif jika LC50 > 200 ppm
(Meyer dan Ferrigini, 1982). Minyak atsiri tipe
A dan minyak atsiri tipe B mempunyai nilai
LC50 500 ppm yaitu 315,24 ppm dan 270,93
ppm. Hasil ini menunjukkan bahwa minyak
atsiri tipe B bersifat lebih aktif dibandingkan
dengan minyak atsiri tipe A. Minyak atsiri
tersusun dari berbagai senyawa organik.
Senyawa-senyawa tersebut ada yang bersifat
aktif dan tidak aktif. Nilai LC50 tersebut dapat
digunakan untuk mengetahui urutan aktifitas
kedua minyak tersebut. Minyak atsiri tipe B
memiliki LC50 yang lebih kecil jika
dibandingkan dengan minyak atsiri tipe A.

Sifat antitoksik dari minyak atsiri umumnya


dipengaruhi oleh kompenen mayornya.
Menurut penelitian terdahulu oleh Fandohan,
dkk, komponen mayor minyak atsiri
Cymbopogon citratus yang berperan sebagai
antitoksik adalah neral, geranial dan mirsen,
dan pada minyak atsiri Cymbopogon citratus
(tipe B) dalam penelitian ini memiliki
komponen mayor yang sama, sehingga dapat
dimungkinkan komponen minyak atsiri tipe B
yang berperan sebagai antitoksik adalah
senyawa tersebut, sedangkan pada minyak
atsiri Cymbopogon nardus (tipe A), meskipun
dalam genus yang sama tetapi memiliki
komponen mayor yang berbeda yaitu
sitronellal, sitronellol, dan geraniol, dan
komponen minyak atsiri tipe A yang berperan
sebagai antitoksik adalah senyawa tersebut.
perbedaan nilai LC50 ini disebabkan prosentase
luas area yang berbeda dari komponen mayor
masing-masing spesies. Geranial dan neral
yang merupakan komponen mayor minyak
tipe B mempunyai prosentase area yaitu
42,11% dan 34,78%, sedangkan sitronellal
yang merupakan senyawa mayor minyak tipe
A memiliki prosentase area sebesar 30,58%.
Dari data diatas menunjukkan bahwa
keduanya bersifat aktif dan memiliki sifat
bioaktivitas tinggi, yang artinya pada
konsentrasi yang kecil sudah bersifat toksik
dan mematikan terhadap udang.
3.3.2. Uji Insektisida Menggunakan Larva
Instar III Nyamuk Aedes aegypti
Uji insektisida menggunakan larva
instar III nyamuk Aedes aegypti dilakukan
terhadap minyak atsiri hasil destilasi dari
spesies Cymbopogon nardus (tipe A) dan
Cymbopogon citratus (tipe B). Bredasarkan
data yang diperoleh dibuat grafik hubungan
antara log konsentrasi dengan % mortalitas
udang laut (Artemia salina L.) dan ditunjukkan
pada gambar 4.4 dan 4.5.

Gambar 4.5 Grafik hubungan antara


(konsentrasi)1/2 dengan % mortalitas larva
instar III nyamuk A.aegypti.
Persamaan regresi polinomial yang diperoleh
dari grafik tersebut adalah y = 0,044x2 +
2,778x 25,67. Berdasarkan persamaan
regresi polinomial tersebut, dapat dihitung
nilai LC50 larutan uji. Hasil perhitungan
menunjukkan bahwa minyak atsiri tipe A
memiliki nilai LC50 sebesar 422,30 ppm.

Gambar 4.6 Grafik hubungan antara


(konsentrasi)1/2 dengan % mortalitas larva
instar III nyamuk A.aegypti.
Persamaan regresi polinomial yang diperoleh
dari grafik tersebut adalah y= -0,030x2 +
5,702x 42,66. Berdasarkan persamaan
regresi polinomial tersebut, dapat dihitung
nilai LC50 larutan uji. Hasil perhitungan
menunjukkan bahwa minyak atsiri tipe B
memiliki nilai LC50 sebesar 321,92 ppm.
Suatu senyawa dikatakan aktif pada uji
toksisitas menggunakan metode BSLT dengan
konsentrasi maksimal yang digunakan 1000
ppm, jika memiliki harga LC50 500 ppm dan
dikatakan tidak aktif jika memiliki harga LC50
> 500 ppm, sedangkan senyawa murni
dikatakan aktif dan mempunyai sifat
bioaktifitas jika memiliki harga LC50 200
ppm dan tidak aktif jika LC50 > 200 ppm

(Meyer dan Ferrigini, 1982). Minyak atsiri tipe


A dan minyak atsiri tipe B mempunyai nilai
LC50 500 ppm yaitu 422,30 ppm dan 321,92
ppm. Hasil ini menunjukkan bahwa minyak
atsiri tipe B bersifat lebih aktif dibandingkan
dengan minyak atsiri tipe A. Minyak atsiri
tersusun dari berbagai senyawa organik.
Senyawa-senyawa tersebut ada yang bersifat
aktif dan tidak aktif. Nilai LC50 tersebut dapat
digunakan untuk mengetahui urutan aktifitas
kedua minyak tersebut. Minyak atsiri tipe B
memiliki LC50 yang lebih kecil jika
dibandingkan dengan minyak atsiri tipe A.
Sifat antitoksik dari minyak atsiri umumnya
dipengaruhi oleh kompenen mayornya.
Menurut penelitian terdahulu oleh Fandohan,
dkk, komponen mayor minyak atsiri
Cymbopogon citratus yang berperan sebagai
antitoksik adalah neral, geranial dan mirsen,
dan pada minyak atsiri Cymbopogon citratus
(tipe B) dalam penelitian ini memiliki
komponen mayor yang sama, sehingga dapat
dimungkinkan komponen minyak atsiri tipe B
yang berperan sebagai antitoksik adalah
senyawa tersebut, sedangkan pada minyak
atsiri Cymbopogon nardus (tipe A), meskipun
dalam genus yang sama tetapi memiliki
komponen mayor yang berbeda yaitu
sitronellal, sitronellol, dan geraniol, dan
komponen minyak atsiri tipe A yang berperan
sebagai antitoksik adalah senyawa tersebut.
perbedaan nilai LC50 ini disebabkan prosentase
luas area yang berbeda dari komponen mayor
masing-masing spesies. Geranial dan neral
yang merupakan komponen mayor minyak
tipe B mempunyai prosentase area yaitu
42,11% dan 34,78%, sedangkan sitronellal
yang merupakan senyawa mayor minyak tipe
A memiliki prosentase area sebesar 30,58%.
Dari data diatas menunjukkan bahwa
keduanya bersifat aktif dan memiliki sifat
bioaktivitas tinggi, yang artinya pada
konsentrasi yang kecil sudah bersifat toksik
dan mematikan terhadap larva instar III
nyamuk A.aegypti.
4. Kesimpulan
Minyak atsiri genus Cymbopogon tipe
A dan tipe B dapat diperolah dengan metode
hidrodestilasi. Minyak atsiri tipe A berwarna
kuning kecoklatan sedangkan minyak atsiri
tipe B berwarna kuning kehijauan jernih dan
mempunyai rendemen masing- masing adalah
sebesar 1.14 % dan 0,46%.

Hasil dari data kromatogram KG-SM minyak


atsiri tipe A diketahui ada 20 macam senyawa
dan tipe B ada 12 macam senyawa. Komponen
mayor dari minyak atsiri tipe A adalah
sitronellal (30,58%), geraniol (25,45%) dan
sitronellol (13,19%), sedangkan komponen
mayor minyak atsiri tipe B adalah geranial
(42,11%), neral (34,78%), dan mirsen
(13,70%).
Minyak atsiri tipe A dan tipe B samasama memiliki aktivitas sebagai antimikroba,
larvasida, hanya berbeda keaktivannnya.
Minyak atsiri tipe B lebih aktif sebagai
antimikroba dan larvasiada dibandingkan
dengan minyak tipe A, hal ini dikarenakan
nilai LC50 dari minyak tipe B lebih kecil
daripada tipe A, yaitu 270,93 ppm (tipe B) dan
315,24 ppm (tipe A) untuk antimikroba. Pada
uji larvasida nilai LC50 untuk minyak tipe A
sebesar 422,30 ppm dan untuk minyak tipe B
sebesar 321,92 ppm, sehingga dapat
disimpulakan bahwa minyak atsiri dari kedua
spesies tersebut aktif sebagai antimikroba dan
larvasida karena memilki nilai LC50<500.
Ucapan Terimakasih
1. Prof. Dr. R. Y. Perry Burhan dan Dra.
Yulfi Zetra, MS atas
dukungan,bimbingan dan motivasi yang
diberikan.
2. Ibu dan ayahanda atas dukungannya dan
doanya.
3. Semua pihak yang mendukung yang tidak
dapat sya sebutkan satu persatu hingga
terselesaikannya penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, S. A., 1985, Kimia Organik Bahan
Alam, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Universitas Terbuka,
Jakarta
Ames, G.R., Matthews, M.S. A., 1968, The
Destilation Of Essential Oil, Trop. Sci
Anonimous., 1970, Spesification standards
essential oil association of USA, Inc
Brady, J., 1994, Kimia Universitas Asas dan
Struktur, Jilid satu, Edisi Kelima,
Binarupa Aksara, Jakarta

Campbell, R. M., 2002, Biologi, Erlangga,


Jakarta.
Cheng, Sen-Sung., Hui-Ting Chang, ShangTzen Chang, Kun-Hsien Tsai, WeiJune Chen, 2003. Bioactivity of
selected plant essential oils against
the yellow fever mosquito Aedes
aegypti
larvae,
Bioresource
Technology, 89, 99102
Conforti, F., 2002. Antioxidant Activity of
Methanolic Extract of Hypericum
triquetrifolum tura aerial part,
Phytoterapia, 73, 479-483
Dewan Atsiri Indonesia dan IPB, 2009,
Minyak Atsiri Indonesia. Editor: Dr.
Molide Rizal, Dr. Meika S. Rusli dan
Ariato Mulyadi
Duke, S.O., 1990. Natural Pesticides From
Plants, Advances in new crops,
Timber Press, Portland, 511-517
El-Kamali, H. H., Hamza, M. A., El-Amir, M.
Y., (2005), Antibacterial activity of
the essential oil from Cymbopogon
nervatus inflorescence, Fitoterapia
Fandohan, P., Gnonlonfin, B., Laleye, A.,
Gbenou, J. D., Darboux, R.,
Moudachirou, M., 2008, Toxicity and
gastric tolerance of essential oil from
Cymbopogon
citratus,
Ocimum
Gratissimum, and Ocimum basilicum
in Wistar rats, Food and Chemical
Toxicology
Fessenden, R.J., Fessenden, J.S.,
Penerjemah:A.H. Pudjaatmaka,
(1986), Kimia Organik Jilid 2, Edisi
ketiga, Erlangga, Jakarta
Guenther, E, 1987. Minyak Atsiri. Jilid I,
Universitas Indonesia Press, Jakarta

Guenther, E., 1948. The essensial oils.


Vol.1.D. Van Nostrand Compay. Inc.,
New York, hal 367.
Guenther, E., 2006. Minyak Atsiri, Jilid 1,
penerjemah Ketaren S., Penerbit UI
Press, Jakarta
Haliwell, B., 1991. Reactive oxigens spesies in
living system : Source Biochemistry
and Role in Human disease, The
American Journal of Medicine,
Proceedings of a Symposium
Oxidant
an
Antioxidans,
:
Patophysiologic Determinants and
Therapheutic agents
Harbone, J. B., 1987, Metode Fitokimia,
Penerbit ITB, Bandung
Harris, R, 1987. Tanaman Minyak Atsiri.
Penebar Swadaya, Jakarta
Ketaren, S, 1981. Minyak Atsiri. Jurusan
Teknologi
Industri,
Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor
Ketaren, S., 1985. Pengantar teknologi minyak
atsiri. Balai Pustaka. Jakarta
Khadri, A., Serralheiro, M. L. M., Nogueira, J.
M. F., Neffati, M., Smiti, S., Araujo,
M. E. M., 2007, Antioxidant and
anticetylcholinesterase activities of
essential oil from Cymbopogon
schoenanthus
L.
Spreng.
Determination
of
chemical
composition by GC-mass spectrometry
and 13C NMR, Food Chemistry
Kristanti, A.N., Aminah, N.S., Tanjung, M.
dan Kurniadi, B., 2004. Bahan Ajar
Metode Fitokimia, Laboratorium
Kimia Organik Jurusan Kimia FMIPA
Universitas Airlangga, Surabaya

Kurokawa, M., Kumeda, C. A., Yamamura, J.,


Kamiyama, T., & Shiraki, K. (1998).
Antipyretic activity of cinnamyl
derivatives and related compounds in
influenza
virus-infected
mice.
European Journal of Pharmacology,
348, 4551.
Lee, H. S., Ahn, Y. J. (1998). Growthinhibiting effects of Cinnamomum
cassia barkderived materials on
human intestinal bacteria, Journal of
Agricultural and Food Chemistry,
46, 812
Lichtenthaler, H.K., Rohmer, M., Schwender,
J.,
1997.
Two
Independent
Biochemical Pathway for Isopentenyl
Diphosphate
and
Isoprenoid
Biosynthesis in Higher Plants,
Physiologia Plantarum, 101, 643-652
Manitto, (1992), Biosintesis Produk Alami,
Semarang Press, Semarang
Mayo, D. W., Pike, R. M., Trumper, P. K.,
1994.
Microscale
Organic
Laboratory, Edisi Ketiga, John Willey
and Sons, New York
Mc Nair, H.M. dan Bonelli, E.J., 1993, Dasar
Kromatografi Gas, Edisi Ketiga,
ITB, Bandung
NAFED, 1993. Buyers guide to Indonesia
Essential Oils. Depatement of Coners,
RI.
Oxtoby, Gillis., 2001. Prinsip-prinsip Kimia
Modern, Jilid Satu, Edisi Keempat,
Erlangga, Jakarta
Poole

C. F., dan Salwa, K., 1991,


Chromatography Today., Elsevier
Science Publisher, Amsterdam

Prashar, A., Hili, P., Veness, R. G., Evans, C.


S., 2003, Antimicrobial action of

palmarosa oil (Cymbopogon martinii)


on
Saccharomyces
cerevisiae,
Phytochemistry

Santoso, H. B., 1992. Sereh Wangi Bertanam


dan
Penyulingan,
Kanisius,
Yogyakarta

Putra, S. R., Louis, L. M., Campos, N.,


Boronat, A., Rohmer, M., 1998.
Incorporation of [2,3-13C]- and [2,413
C]-D-1-deoxyxylulose
Into
Ubiquinon of Escherichia coli via The
Mevalonate Independent Pathway for
The
Isoprenoid
Biosynthesis,
Tetrahedron Letters, 38, 23

Sastrohamidjojo, H.,
Liberty, Yogyakarta

Richards, W. F, 1944, Perfumers Hand Book


And Catalog Fritzsche, Brother Inc.
New York

Syahputra, E., 2001. Hutan Kalbar Sumber


Pestisida Botani: Dulu, Kini dan
Kelak, Makalah Falsafah Sains,
Program Pasca Sarjana IPB, Bogor

Rohmer, K,.Lois, L.M., Campos, N., Putra,


S.R., Danielsen, , , M. & Boronat, A.
1998 Cloning and characterization of
a gene from Escherichia coli encoding
a transketolase-like enzyme that
catalyzes the synthesis of D-1deoxyxylulose 5-phosphate, a common
precursor for isoprenoid, thiamin, and
pyridoxol biosynthesis. Proc. Natl.
Acad. Sci. U.S.A. 95.

Rusli, S, 1977. Konstruksi Unit Penyulingan


Sereh Wangi, Sereh Dapur Dan
Cengkeh,
Lembaga
Penelitian
Tanaman Industri
Rusli, S dan Hobir. 1990. Hasil penelitian dan
pengembangan tanaman minyak
atsiri. Simposium I. Hasil Penelitian
dan Pengembangan Tanaman
Industri. Puslitbang Tanaman Industri
Bogor.
Saeed, T., Sandra, P. J., Verzele, M. J. E.,
Constituent of the essential oil of
Cymbopogon jawarancusa,
Phitochemistry
Satyadiwiria, Y., 1979. Pembuatan Minyak
Atsiri. Dinas Pertanian, Medan

Sell,

1985.

Spektroskopi,

Charles S . 2003. A Fragrant


Introduction to Terpenoid Chemistry,
The Royal Society of Chemistry,
Thomas
Graham
House,
ssCambridge . UK

Takaisi, N. B. K., Tshilanda, D., Babady, B.,


1999, Antibacterial activity of the
essential
oil
of
Cymbopogon
densiflorus, Fitoterapia
Tan Hong Sieng, 1962. Minyak Atsiri. Balai
Penelitian Kimia PNPR. Nupika-Yasa
Deperindag. Penerbit Kantor dan
Penyuluhan Deperindag. Bogor.
Tarumingkeng, R.C., 1992. Insektisida, Sifat,
Mekanisme Kerja dan Dampak
Penggunaanya, Ukrida, Jakarta
Weiss, E. A., 1997. Essential Oil Crops, CAB
International, Victoria
Yu, H. S., Lee, S. Y., & Jang, C. G. (2007).
Involvement of 5-HT1A and GABAA
receptors in the anxiolytic-like effects
of Cinnamomum cassia in mice.
Pharmacology Biochemistry and
Behavior, 87,164170
Zetra, Y., 2005, Prinsip Kromatografi Lapis
Tipis Retooling Program Batch IV,
Kimia Organik, Jurusan Kimia, ITS,
Surabaya

Anda mungkin juga menyukai