adenitis. Sesuai namanya, etiologinya masih menjadi misteri hingga tahun 1967
ketika ditetapkan hubungan sebab-akibat antara infectious mononucleosis dan EBV.
EBV ditemukan oleh Epstein et al. pada tahun 1964 menggunakan mikroskop
elektron yang digunakan untuk mendeteksi virus pada sel kultur Burkitt lymphoma.
Epstein menemukan pembentukan herpesvirus baru dari sel Burkit yang diamati
dan studi mengenai karakter virus tersebut mulai berkembang.
Epidemiologi Infectious Mononucleosis
Infeksi EBV pada orang dewasa dan dewasa muda berkembang melalui deep
kissing. Sexual intercourse juga dilaporkan meningkatkan transmisi virus. Namun
penelitian yang dilakukan di University of Minnesota melaporkan subjet yang
berciuman dengan atau tanpa sexual intercourse memiliki risiko yang sama
tingginya dengan subjek yang tidak berciuman dan melakukan sexual intercourse.
Pada keadaan tertentu, infeksi EBV primer dapat juga menular melalui transfusi
darah, transplantasi organ atau transplantasi sel hematopoietik.
Penularan pada anak-anak masih belum diketahui mekanismenya. Bisa jadi mereka
terinfeksi dari orang tua atau saudara kandung yang menularkan EBV secara
periodik melalu sekresi oral. Misalnya pada anak melanesian yang pengasuhnya
mengunyahkan makanan sebelum diberikan ke bayi.
Periode inkubasi infectious mononucleosis adalah 32 49 hari. Case report dari
Swedia melaporkan subjek berciuman 38 hari sebelum onset gejala. Sedangkan
penelitian Balfour menunjukkan dari data behavioral, virologis dan immunologis,
bahwa periode inkubasi EBV adalah 42 hari.
Manifestasi Klinis Penyakit Akut
Infectious mononucleosis adalah kesatuan klinis yang ditandai faringitis,
pembesaran limfenodi servikal, kelelahan dan demam. Penyakit ini tersebar di
seluruh dunia tanpa predileksi musim. Penyakit ini dikenali terutama pada orang
dewasa dan dewasa muda di negara maju dengan alasan yang belum sepenuhnya
dimengerti. Penjelasan yang memungkinkan adalah sindrom pada preadolescent
yang susah dikenali. Tes antibodi heterofil seringkali tidak jelas pada anak-anak,
terutama dibawah usia 4 tahun. Oleh karena itu tes spesifik untuk EBV harus
dilakukan, sehingga diagnosis infectious mononucleosis tidak terlewatkan.
Infectious mononucleosis pada pre-adolescents tidak lah jarang. Pediatris seringkali
menemukan beberapa kasus pada anak dibawah 12 tahun.
Orang tua pada anak (<6 tahun) dilaporkan memiliki 30% EBV pada sekresi oral
mereka (jumlahnya lebih rendah ketika terjadi penyakit akut pada orang dewasa).
Kemungkinan ketiga adalah infectious mononucleosis pada orang dewasa mungkin
menyebabkan respon cross-reactive sel T memori CD8+. Sebagai contoh, sel T
CD8+ spesifik influenza mungkin mengalami reaksi silang dengan EBV. Orang
dewasa lebih cenderung memiliki jumlah sel T CD8+ spesifik influenza lebih banyak
dibanding anak-anak sehingga reaksinya juga lebih kuat. Namun hal ini belum
dibuktikan dengan penelitian.
Data terakhir melaporkan beberapa kelas sel natural killer (NK) sebagai faktor
penting pada early control EBV. Penelitian Azzi et al. menunjukkan pada darah tepi
anak dengan EBV ditemukan NK sel dengan level lebih tinggi dibandingkan pada
orang dewasa. Penemuan ini mungkin menjelaskan kenapa infectious
mononucleosis lebih sering terjadi pada orang dewasa.
Poin terakhir adalah infectious mononucleosis lebih banyak ditemukan di negara
maju, karena infeksi primer EBV sering terjadi pada usia yang lebih tua
dibandingkan dengan negara berkembang.
Kebanyakan dewasa muda mengalami infectious mononucleosis setelah infeksi
primer EBV. Ada dua gejala klinis tipikal. Yang pertama adalah radang tenggorokan
dengan onset mendadak. Pasien juga mengeluhkan leher bengkak yang
menunjukkan pembesaran limfenodi servikal. Gejala klinis tipikal lainnya adalah
malaise, myalgia dan fatigue yang terjadi bertahap. Tanda dan gejala yang paling
umum adalah: radang tenggorokan (95%), limfadenopati servikal (80%), fatigue
(70%), upper respiratory simptoms (65%), nyeri kepala (50%), nafsu makan
menurun (50%), demam (47%) dan myalgia (45%). Kebanyakan gejala muncul
dalam 10 hari atau kurang namun fatigue dan pembesaran limfenodi servikal dapat
menetap hingga 3 minggu. Temuan klinis lainnya, yang ditemukan pada sebagian
kecil kasus, adalah nyeri perut, hepatomegali, splenomegali, nausea, vomitus,
palatal ptechiae, edema periorbital dan edema kelopak mata. Hepatitis terjadi pada
75% pasien namun biasanya subklinis (elevasi level alanine aminotransferase tanpa
jaundice dan nyeri perut). Rash jarang terlihat kecuali pada pasien hipersensitif
terhadap penisilin yang diberi penisilin dan derivatnya, hal ini sering disalahartikan
sebagai rubella.
Komplikasi Penyakit Akut
Komplikasi serius selama fase akut infeksi primer EBV sangat jarang. Komplikasi
yang terjadi setidaknya pada 1% pasien ini adalah: obstruksi saluran nafas karena
inflamasi orofaring, faringitis streptokokal, meningoencephalitis, anemia hemolitik
dan trombositopenia. Ruptur limpa terjadi pada <1% pasien, dan merupakan
komplikasi yang paling ditakutkan.
Dinamika Infeksi dan Respon Imun
Selama masa inkubasi 6 minggu dari infeksi primer EBV, replikasi virus terdekteksi
pertama kali di kavitas oral. Disana EBV menginfeksi baik sel B dan sel epitel tonsil.
Menariknya, infeksi EBV bergantung pada sel yang menyokong replikasi virus. Pada
penelitian in vitro virus yang berasal dari sel epitel lebih mungkin menginfeksi sel B
dan sebaliknya.
Transisi virus dari kavitas oral ke darah perifer terjadi selama masa inkubasi.
Bagaimana dan kapan transisi terjadi masih belum dipahami, meskipun demikian
transkrip genome EBV dapat terdeteksi pada darah perifer hingga minggu ke2
sebelum onset gejala.
Onset dari penyakit akut ditandai dengan tingginya viral load baik pada kavitas oral
maupun darah. Hal ini disertai dengan produksi antobodi IgM akibat viral capsid
antigen (VCA) EBV dan ekspansi sel limfosit T CD8+ yang tidak umum. Respon sel T
CD8+ ini menarik karena sel ini penting dalam mengontrol EBV.
Infectious mononucleosis akut ditandai dengan peningkatan abnormal jumlah sel T
CD8+ yang bersirkulasi.
Meskipun sudah ditulis pada literatut bahwa jumlah sel T CD4+ tidak meningkat
secara bermakna selama infectious mononucleosis, data yang ada mendukung
konsep bahwa sel T CD4+ berkontribusi penting dalam mengontrol EBV. Sel T CD4+
dapat mengenali beberapa antigen litik. Sel ini hanya muncul selama infeksi akut
namun dipertahankan di darah perifer meskipun dalam jumlah sedikit.
Respon antibodi IgG terhadap beberapa protein EBV diilustrasikan pada line blot
assay pada gambar 2. Pemeriksaan ini berisi 6 antigen EBV, 2 diantaranya adalah
komponen VCA structural protein: p23 (BLRF2) dan p18 (BFRF3). Antibodi IgG
terhadap VCA EBV umumnya terdeteksi pada minggu pertama sakit dan akan ada
seumur hidup. Respon imun terhadap p23 berkembang lebih dulu dibanding p18/ 3
antigen EBV termasuk dalam kelas temporal dari produk gen lytic: immediate early,
early, dan late. Antibodi terhadap immediate EA BZLF1 juga muncul secara cepat
dan menetap. Respon antibodi terhadap EAs p128 dan p54 lebih bervariasi.
Meskipun mereka dapat ditemukan segera setelah infeksi, mereka seringkalo tidak
terdeteksi setelah masa kovalesen. Sebaliknya, antibodi terhadap EBNA-1, yang
merupakan produk gen laten, terbentuk perlahan dan umunya tidak terdeteksi
hingga bulan ke-3 atau lebih setelah onset penyakit. Meskipun demikian, sekalinya
mereka ditemukan makan akan menetap seumur hidup. Respon antibodi EBNA-1
yang terlambat berhubungan dengan respon sel T CD4+ terhadap EBNA-1 yang
terlambat juga.
Meskipun sel T CD8+ dikenal sebagai faktor vital dalam mengontrol infeksi EBV, sel
NK juga sama pentingnya selama infectious mononucleosis. Penelitian secara in
vitro menunjukkan sel NK membunuh sel yang terinfeksi EBV ketika transisi virus ke
fase litik. Sel NK mungkin membantu mengontrol infeksi EBV melalui dua cara:
melalui sitolisis langsung terhadap sel yang terinfeksi dan melalui blokade
transformasi via interferon gamma.
Selama masa kovalesen (3-6 bulan setelah onset infectious mononucleosis), jumlah
sel T CD8+ dan sel NK kembali ke level normal.
Diagnosis Infectious Mononucleosis yang Disebabkan Infeksi Primer EBV
Penyebab infectious mononucleosis tidak dapat ditentukan dengan pemeriksaan
klinis saja. Pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan adalah tes antibodi
heterofil. Pemeriksaan ini sudah digunakan sebagai standar point-of-care sejak
ditemukan oleh Paul dan Bunnell tahun 1932. Tes heterofil menggunakan eritrosit
untuk mendeteksi antibodi IgM, yang meningkat selama infeksi akut.
Tes heterofil memiliki kekurangan yaitu kurang lebih 40% anak <=4 tahun tidak
menunjukkan antibodi heterofil selama infeksi primer EBV. Antibodi heterofil ini juga
tidak spesifik dan dapat muncul pada infeksi akibat patogen lainnya, malignansi
dan penyakit autoimun. Antibodi heterofil ini juga dapat menetap hingga setahun
atau lebih sehingga tidak selalu digunakan untuk diagnosis infeksi EBV akut.
Pemeriksaan antibodi spesifik yang paling berguna adalah VCA IgM, VCA IgG dan
EBNA-1 IgG yang umumnya diukur menggunakan enzyme immunoassay platform.
VCA IgM ditemukan pada 75% pasien selama penyakit akut, namun false-positive
sering terjadi terutama pada infeksi cytomegalovirus. Semua pasien infectious
mononucleosis menunjukkan antibodi IgG akibat VCA, sehingga IgG adalah penanda
riwayat infeksi EBV yang terbaik. Antibodi terhadap EBNA-1 terbentuk perlahan dan
umumnya tidak terdeteksi hingga 90 hari atau lebih setelah onset penyakit.
Sehingga ditemukannya antibodi EBNA-1 menyingkirkan infeksi EBV primer akut.
Pada umumnya, infeksi EBV dapat dibagi menjadi beberapa stage dengan
mengukur antibodi VCA IgM, VCA IgG dan EBNA-1 IgG serum.
Pengaruh
Genetis
Mononucleosis
dalam
Penularan
dan
Keparahan
Infectious
infectious