Laporan-Tutorial-Skenario-3-Blok-Kegawatdaruratan-Medik (2010)
Laporan-Tutorial-Skenario-3-Blok-Kegawatdaruratan-Medik (2010)
(G0010028)
Candra Aji S,
(G0010040)
Coraega Gena E.
(G0010046)
Erma Malindha
(G0010074)
Gunung Mahameru
(G0010088)
Namira Qisthina
(G0010134)
Paksi Suryo B.
(G0010148)
Puji Rahmawati
(G0010154)
Satria Adi P.
(G0010172)
Yunita Asri P.
(G0010202)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kejang demam merupakan bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal >38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures (1980), kejang demam adalah
suatu kejadian pada bayi atau anak yang biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan
5 tahun berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi
intrakranial atau penyebab tertentu. Infeksi ekstrakranial yang paling banyak
didapatkan yakni sekitar 70% disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan bagian
atas (ISPA).
Kejang merupakan salah satu kedaruratan pediatri yang dapat berpengaruh
terhadap kecerdasan anak. Jika terlambat mengatasi kejang pada anak, bisa
menimbulkan epilepsi, atau bahkan gangguan tumbuh kembang anak. Untuk itu
diperlukan adanya penanganan kejang demam yang cepat dan benar. Berikut ini
merupakan skenario kejang demam blok kegawatdaruratan medic yang akan kita
bahas dalam skenario ini:
Anak saya stuip. Seorang anak laki-laki umur 1 tahun dibawa ke IGD oleh
ibunya dengan keluhan kejang. Kejang baru pertama kali ini kurang lebih 5 menit,
kejang seluruh tubuh, tangan dan kaki kaku kelojotan, mata mendelik ke atas,
kemudian kejang berhenti sendiri. Setelah kejang pasien tampak mengantuk.
Pasien sebelumnya demam tinggi mendadak, batuk, dan pilek. Tidak didapatkan
riwayat jatuh atau terbentur sebelumnya. Hasil pemeriksaan kesadaran somnolen,
BB 10 kg, TB 80 cm, suhu 39,8oC, nafas 24x/menit, nadi 100x/menit, isi cukup,
tekanan darah 100/70 mmHg. Ubun-ubun datar, tidak membonjol, tidak ada kaku
kuduk. Pada pasien ini diberikan diazepam rektal. Hasil laboratorium Hb 12 gr%,
hematokrit 35%., jumlah leukosit 22.000/mm3, jumlah trombosit 325.000/mm3,
GDS 100 mg/dL, Natrium 135 mmol/L, Kalium 4 mmol/L. Pasien selanjutnya
dirawat di bangsal atas persetujuan orangtua pasien.
B. Rumusan Masalah
1. Apa sajakah jenis-jenis kejang itu?
2. Apa sajakah etiologi kejang?
3. Bagaimanakah algoritma penatalaksanaan kejang?
4. Bagaimanakah patofisiologi gejala dalam scenario?
5. Apa sajakah kedaruratan yang terdapat pada skenario dan apa juga alasan
pasien dimasukkan dalam bangsal,bukan PICU?
6. Bagaimana prognosis tumbuh kembang anak yang mempunyai riwayat
kejang?
7. Bagaimana interpretasi pemeriksaan laboraturium dalam skenario ini?
C. Tujuan Pembelajaran
1. Mengetahui jenis-jenis kejang.
2. Mengetahui etiologi kejang.
3. Mengetahui algoritma penatalaksanaan kejang.
4. Mengetahui patofisiologi gejala dalam skenario.
5. Mengetahui kedaruratan yang terdapat pada skenario dan juga alasan pasien
dimasukkan dalam bangsal,bukan PICU.
6. Mengetahui bagaimana prognosis tumbuh kembang anak yang mempunyai
riwayat kejang.
7. Mengetahui bagaimana interpretasi pemeriksaan laboraturium dalam
skenario ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kejang
1. Definisi
Kejang adalah perubahan fungsi otak mendadak dan sementara
sebagai akibat dari aktifitas neuronal yang abnormal dan sebagai pelepasan
listrik serebral yang berlebihan. Aktivitas ini bersifat dapat parsial atau
vokal, berasal dari daerah spesifik korteks serebri, atau umum, melibatkan
kedua hemisfer otak. Manifestasi jenis ini bervariasi, tergantung bagian otak
yang terkena.
Penyebab kejang mencakup factor-faktor perinatal, malformasi
otak congenital, factor genetic, penyakit infeksi (ensefalitis, meningitis),
penyakit demam, gangguan metabilisme, trauma, neoplasma, toksin,
gangguan sirkulasi, dan penyakit degeneratif susunan saraf. Kejang disebut
idiopatik bila tidak dapat ditemukan penyebabnya.
2. Insidens
Sedikitnya kejang terjadi sebanyak 3% sampai 5% dari semua
anak-anak sampai usia 5 tahun, kebanyakan terjadi karena demam.
3. Gejala Kejang
Gejala Kejang berdasarkan sisi otak yang terkena:
4. Jenis Kejang
a. Kejang Parsial
1) Kejang Parsial Sederhana
Kesadaran tidak terganggu; dapat mencakup satu atau lebih hal
berikut ini:
Tanda-tanda motoriskedutaan pada wajah. Tangan, atau salah
dilatasi pupil.
Gejala somatosensoris atau sensoris khusus-mendengar
atau
gerakan
aromatic
berkonsentrasi penuh.
Umumnya dimulai pada usia antara 4 dan 14 tahun dan sering
sembuh dengan sendirinya pada usia 18 tahun.
2) Kejang Mioklonik
Kedutaan-kedutaan involunter pada otot atau sekelompok otot yang
terjadi mendadak
3) Kejang MioklonikLanjutan
didalam kelompok.
Kehilangan kesadaran hanya sesaat
4) Kejang Tonik-Klonik
Diawali dengan hilangnya kesadaran dan saat tonik, kaku umum
pada otot ektremitas, batang tubuh, dan wajah, yang langsung
usus.
Tidak adan respirasi dan sianosis
Saat tonik diikuti dengan gerakan klonik pada ekstremitas atas
dan bawah.
Letargi, konfusi, dan tidur dalam fase postical
5) Kejang Atonik
Hilangnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan
kelopak mata turun, kepala menunduk atau jatuh ketanah.
Singkat, dan terjadi tanpa peringatan.
6) Status Epileptikus
Biasanya. Kejang tonik-klonik umum yang terjadi berulang.
Anak tidak sadar kembali diantara kejang.
Potensial untuk depresi pernapasan, hipotensi, dan hipoksia
memerlukan pengobatan medis darurat dengan segera
B. Kejang Demam
1. Patofisiologi Kejang Demam
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan
dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionic. Dalam keadaan
normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium
(K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya,
kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi
dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan diluar sel terdapat keadaan
sebaliknya). Karena perbedaan jenis dan konsentrasi didalam dan diluar sel,
maka disebut potensial membran. Untuk menjaga keseimbangan potensial
membaran diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang
terdapat pada permukaan sel (Gardner, 2004).
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan
kenaikan metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen meningkat
20%. Kenaikan suhu tubuh tertentu dapat mempengaruhi keseimbangan dari
membrane sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion
kalium dan natrium dari membran tadi, dengan akibat lepasnya muatan
listrik. Lepasnya muatan listrik ini demikan besar sehingga dapat meluas ke
seluruh
sel
maupun
membran
sel
tetangganya
dengan
bantuan
oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet), asidosis laktat (akibat
metabolisme anaerob), hiperkapnea, hipoksi arterial, dan peningkatan
metabolisme otak. Rangkaian kejadian di atas menyebabkan gangguan
peredaran darah di otak. Terjadi pula hipoksemia dan edema otak dan
akhirnya terjadi kerusakan sel neuron (Deliana, 2002).
Semakin lama kejang dialami akan semakin banyak kemungkinan
kerusakan yang terjadi dengan demikian prognosisnya menjadi semakin
buruk. Pasien mengalami kejang seluruh tubuh yang sering dikenal dengan
kejang umum, kasus kejang inilah yang termasuk dalam keadaan emergensi
karena pada kejang seluruh tubuh komplikasinya lebih kompleks dan
berbahaya. Penting untuk diketahui bagaimana tampilan kejang yang
dialami seperti pada pasien yang tangan dan kaki kaku, inilah fase tonik
yaitu fleksi yang hebat, diikuti fase ekstensi yang lebih lama, disertai
gangguan kesadaran. Pasien kemudian kelojotan, inilah fase klonik yaitu
relaksasi otot menginterupsi kontraksi tonik, kembalinya tonus otot
berganti-gantian dengan spasme yang kasar dari fleksor dan berulang secara
ritmik menyebabkan penampakan seperti hentakan ritmis, yang makin lama
tampak makin jauh satu sama lain sampai kejang berhenti. Mata mendelik
ke atas juga merupakan suatu tanda demam akibat kontraksi otot luar bola
mata, artinya kejang yang dialami pasien bersifat umum, tonik-klonik.
Informasi pada saat kejang berhenti juga harus ditanyakan meliputi
bagaimana kejang berhenti dan begaimana keadaan pasien sesaat setelah
kejang.
C. Interpretasi Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium Pada Skenario
Hasil pemeriksaan, kesadaran somnolen, BB 10 kg, TB 80 cm, suhu
39.80C, nafas 24 x/menit, nadi 100 x/menit, isi cukup, tekanan darah 100/70
mmHg. Ubun-ubun datar, tidak menonjol, tidak ada kaku kuduk. Pada
pemeriksaan fisik di atas, dapat disimpulkan bahwa keadaan pasien tampak
mengantuk, suhu meningkat, nafas sedikit menurun, nadi normal dan tekanan
darah meningkat. Hal ini berdasarkan nilai normal pemeriksaan vital sign
pada anak usia 1 tahun. Tekanan darah normal anak usia 6 bulan-12 tahun
yaitu 90/60 mmHg dan anak usia 1 tahun-5 tahun yaitu 95/65 mmHg.
Frekuensi pernafasan normal anak usia 1 bulan-1 tahun yaitu 30-60 x/menit
dan anak usia 1 tahun-2 tahun yaitu 25-50 x/menit. Frekuensi nadi normal
anak usia 3 bulan-2 tahun yaitu 80-150 x/menit dan suhu rektal anak normal
yaitu 36.5-37.50C. BB dan TB selain untuk mengetahui status gizi anak juga
digunakan untuk menentukan dosis obat untuk pasien anak.
Ubun-ubun datar dan tidak menonjol menunjukkan bahwa tidak ada
penurunan maupun peningkatan tekanan intrakranial. Ubun-ubun cekung
dapat ditemukan pada kondisi dehidrasi yang juga dapat menimbulkan
timbulnya kejang. Tidak ada kaku kuduk menandakan pasien dalam skenario
tidak mengalami meningitis. Apabila ditemukan tanda-tanda meningeal pada
anak, maka pemeriksaan selanjutnya yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan pungsi lumbal.
Pada pasien ini diberikan diazepam rektal. Pemberian diazepam
rektal maksimal 3 kali, apabila berlebihan akan menimbulkan depresi napas.
Adapun dosis diazepam rektal yaitu 5 mg untuk anak dengan BB < 10 kg dan
10 mg untuk anak dengan BB > 10 kg. Dipilih diazepam sebagai obat pilihan
pertama karena mula kerja diazepam cepat sehingga diharapkan episode
kejang dapat segera berhenti. Kejang pada pasien dalam skenario sudah
berhenti ketika tiba di IGD, maka pemberian diazepam di sini untuk
mencegah timbulnya kejang berulang.
Hasil laboratorium Hb 12gr%, hematokrit 35%, jumlah leukosit
22.000/mm3, jumlah trombosit 325.000/mm3, GDS 100 mg/dl, natrium 135
mmol/l, kalium 4 mmol/l. Pasien selanjutnya dirawat di bangsal atas
persetujuan orang tua pasien. Dari hasil pemeriksaan laboratorium, hasil yang
tidak normal yaitu pada jumlah leukosit. Terdapat peningkatan jumlah
leukosit pada anak di skenario. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi infeksi
pada pasien. Infeksi yang dialami pasien ini yaitu berupa infeksi respiratori
akut bagian atas yang tampak dengan adanya batuk pilek pada pasien.
Pada kasus kejang demam, beberapa pemeriksaan laboratorium yang
dapat dilaksanakan adalah sebagai berikut:
1.
Pemeriksaan LCS, biasanya jernih dengans el normal, atau sedikit
meningkat 50-500 per mm3, hitung jenis didominasi sel limfosit.
2.
3.
asam
asetilsalisilat,
rifampisin,
primakuin,
dan
2. Hematokrit
Nilai normal dewasa pria 40-54%, wanita 37-47%, wanita hamil
30-46%. Nilai normal anak 31-45%, batita 35-44%, bayi 29-54%,
neonatus 40-68%
5. Trombosit
Nilai normal dewasa 150.000-400.000 sel/mm3, anak 150.000450.000 sel/mm3.
Penurunan trombosit (trombositopenia) dapat ditemukan pada
demam berdarah dengue, anemia, luka bakar, malaria, dan sepsis.
keganasan,
sirosis,
polisitemia,
ibu
hamil,
habis
0 5 menit:
a. Yakinkan bahwa aliran udara pernafasan baik
b. Monitoring tanda vital, pertahankan perfusi oksigen ke jaringan,
berikan oksigen
c. Bila keadaan pasien stabil, lakukan anamnesis terarah, pemeriksaan
setelah 5 10 menit.
e. Jika didapatkan hipoglikemia, berikan glukosa 25% 2ml/kgbb.
10 15 menit
a. Cenderung menjadi status konvulsivus
b. Berikan fenitoin 15 20 mg/kgbb intravena diencerkan dengan NaCl
0,9%
c. Dapat diberikan dosis ulangan fenitoin 5 10 mg/kgbb sampai
kloro-1,3-dihidro-1-metil-5-fenil-2H-1,4-benzodiazepin-2-on
Sediaan
Tablet, injeksi dan gel rectal, dalam berbagai dosis sediaan.
Beberapa contoh nama dagang diazepam dipasaran yaitu Stesolid,
Valium, Validex dan Valisanbe, untuk sediaan tunggal dan
Neurodial, Metaneuron dan Danalgin, untuk sediaan kombinasi
dengan metampiron dalam bentuk sediaan tablet.
Efek samping
a. Efek samping yang sering terjadi, seperti : pusing, mengantuk
b. Efek samping yang jarang terjadi, seperti : Depresi, Impaired
Cognition
c. Efek samping yang jarang sekali terjadi,seperti : reaksi alergi,
amnesia,
anemia,
angioedema,
behavioral
disorders,
blood
trombositopenia,
tremors,
visual
changes,
vomiting, xerostomia.
Mekanisme kerja
Bekerja pada sistem GABA, yaitu dengan memperkuat fungsi
hambatan neuron GABA. Reseptor Benzodiazepin dalam seluruh sistem
saraf pusat, terdapat dengan kerapatan yang tinggi terutama dalam
korteks otak frontal dan oksipital, di hipokampus dan dalam otak kecil.
Pada reseptor ini, benzodiazepin akan bekerja sebagai agonis. Terdapat
korelasi tinggi antara aktivitas farmakologi berbagai benzodiazepin
dengan afinitasnya pada tempat ikatan.
Dengan adanya interaksi benzodiazepin, afinitas GABA terhadap
reseptornya akan meningkat, dan dengan ini kerja GABA akan
meningkat. Dengan aktifnya reseptor GABA, saluran ion klorida akan
terbuka sehingga ion klorida akan lebih banyak yang mengalir masuk ke
dalam
sel.
Meningkatnya
jumlah
ion
klorida
menyebabkan
digunakan
sebagai
obat
penenang
dan
dapat
juga
b
c
d
mg/kg.
Relaksasi Otot Skelet
PO (Dewasa) : 2-10 mg 3-4 kali sehari atau 15-30 mg bentuk lepas
lambat satu kali sehari. 2-2,5 mg 1-2 kali sehari diawal pada lansia
atau pasien yang sangat lemah.
BAB III
PEMBAHASAN
Pada skenario dengan judul Anak Saya Stuip didapatkan seorang anak
laki-laki umur 1 tahun dibawa ke IGD oleh ibunya dengan keluhan kejang. Pada
anak-anak kejang merupakan hal yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Pada kasus kejang informasi yang didapat dari hasil anamnesis terhadap orang
yang melihat langsung pada saat kejadian merupakan hal yang penting karena
hampir seluruh kasus kejang tidak sedang kejang pada saat pemeriksaan
berlangsung. Hal pertama yang diketahui adalah identitas pasien yaitu seorang
anak laki-laki berusia 1 tahun yang akan mengarahkan diagnosis sesuai
epidemiologi. Hal-hal lain yang harus digali pada anamnesis kasus kejang berguna
untuk menyingkirkan diagnosis pseudoseizure sesuai kriteria yang telah diketahui
kemudian apabila diketahui bahwa pasien sungguh-sungguh mengalami kejang
maka dapat mengarahkan diagnosis berdasarkan presentasi kejang yang dialami.
Informasi bahwa kejang baru pertama kali ini memungkinan bahwa pasien tidak
memiliki penyakit yang memang ditandai kejang berulang.
Kemudian dikatan pula bahwa kejang baru pertama kali ini kurang lebih 5
menit, kejang seluruh tubuh, tangan dan kaki kaku kemudian kelojotan, mata
mendelik ke atas, kemudian kejang berhenti sendiri. Setelah kejang, pasien
tampak mengantuk. Pasien sebelumnya demam tinggi mendadak, batuk dan pilek.
Tidak didapatkan riwayat jatuh atau terbentur sebelumya. Mengantuk pasca
kejang merupakan kondisi biasa terjadi. Hal tersebut diakibatkan oleh kelelahan
terjadinya
infeksi
saluran
pernafasan
atas.
Berdasarkan
studi
epidemiologi, penyebab kejang demam tertinggi pada anak adalah ISPA diikuti
radang telinga tengah, infeksi saluran cerna, dan infeksi saluran kemih (Hanhan,
2001). Adanya infeksi pada pasien juga dibuktikan dengan hasil pemeriksaan
leukosit yang melebihi batas normal. Pasien tidak mengalami kaku kuduk yang
menandakan pasien dalam skenario tidak mengalami meningitis.
Dari keterangan di atas, dapat dilihat bahwa pasien mengalami kejang
demam. Kejang demam pada anak terjadi apabila terdapat peningkatan suhu tubuh
yang bila diukur dengan termometer pada rektal anak akan diperoleh suhu >38 0C.
Kejang demam pada anak terjadi karena proses ekstrakranial dan terjadi paling
banyak pada anak usia 3 bulan-5 tahun. Selain demam sebagai faktor risiko dan
faktor pencetus terjadinya kejang demam pada anak, usia juga merupakan faktor
risiko terjadinya kejang pada anak. Hal ini berkaitan dengan tahap perkembangan
otak anak. Pematangan otak anak terjadi sampai anak berusia 2 tahun, yang
meliputi 6 fase yaitu neurulasi, perkembangan prosensefali, proliferasi neuron,
migrasi neural, organisasai dan mielinisasi. Pada usia <2 tahun yang mana masa
ortak belum matang, maka neuron-neuron otak mempunyai eksitabilitas neural
lebih tinggi dibanding otak yang sudah matang, hal ini disebut dengan
developmental window. Sehingga pada usia <2 tahun, anak-anak rentan terhadap
bangkitan kejang (Berg, 2003).
Pasien kejang kemudian berhenti sendiri tanpa pemberian obat. Mekanisme
berhentinya kejang sebernarnya masih belum jelas sampai dengan saat ini. Kejang
dapat berhenti sendiri diduga akibat adanya inhibisi aktif yaitu blok depolarisasi
dan perubahan lingkungan ekstraselular yaitu turunnya K intraseluler, eliminasi
Ca intraseluler, serta adanya agen-agen endogen seperti norepinefrin atau
adenosin yang bersifat antikonvulsan. Setelah kejang berhenti pasien tampak
mengantuk, hal ini terjadi pada kejang umum tonik-klonik akibat kelelahan.
Apabila pasien dapat ditanya yaitu pada pasien yang lebih dewasa, biasanya tidak
ingat dengan kejang yang dialami karena kejang mengenai sistem saraf pusat.
Pada kasus kejang demam biasanya pasien menangis setelah berhenti kejang.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan jenisnya kejang dibagi dalam kejang parsial dan kejang
umum. Pada skenario ini kejangnya adalah kejang tonik klonik yang masuk
dalam kejang umum. Penatalaksanaan kejang untuk lini pertama pada kasus
ini adalah diazepam per rectal dan untuk jenis kejang yang kompleks serta
tidak memberikan respon dapat ditambahkan dengan antikonvulsan yang lain.
Jika kejang berulang >2 kali per 24 jam, maka harus diberikan terapi rumatan
sampai 1 tahun bebas kejang. Kedaruratan yang terdapat pada skenario ini
adalah kejang pada pediatri, dan alasan pasien dimasukkan dalam bangsal,
bukan PICU karena dengan terapi lini pertama pasien sudah memeberikan
hasil yang diharapkan. Pasien akan dimasukkan ke dalam PICU jika obat
yang diberikan menyebabkan efek samping terhadap tubuh, misalkan
nidazolam yang menyebabkan paralisis otot-otot pernapasan sehingga pasien
memerlukan perawatan di PICU. Anak yang mengalami kejang dan tidak
mendapat penanganan yang tepat prognosisnya akan mengalami gangguan
tumbuh kembang. Maka pada kasus skenario ini segera diberikan terapi
kejang berupa obat antikonvulsan. Selain itu baiknya diberikan terapi suportif
yaitu obat antipiretik karena kasus ini adalah kejang demam, perhatikan posisi
pasien untuk tetap menjaga airway terbuka, mencegah aspirasi, menjauhkan
pasien dari tempat yang berbahaya, serta tidak lupa lakukan evaluasi dan
segera mengatasi penyebab kejangnya.
B. Saran
1. Setiap kasus kejang demam anak harus ditangani dengan segera, karena
komplikasinya dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak tersebut
selanjutnya.
2. Diskusi tutorial skenario 3 blok kegawatdaruratan medik sudah berjalan
dengan lancar. Mahasiswa aktif mengutarakan materi-materi yang sudah
didapatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Appleton PR, Choonara I, Marland T, Phillips B, Scott R, Whitehouse W (2000).
The treatment of convulsive status epilepticus in children. Arch Dis
Child; 83:415-19.
Berg A T (2003). Are Febrile Seizures Provoked by a Rapid Rise in Temperature.
AJDC; 147: 1101-3.
Chernecky CC & Berger BJ (2008). Laboratory Tests and Diagnostic Procedures
5th edition. Saunders-Elsevier.
Deliana M (2002). Tata laksana kejang demam pada anak. Dalam: Sari pediatri
volume 4 nomor 2. Medan: FK USU.
Gradnner D K (2004). Membran : Struktur, Susunan & Fungsinya. Dalam :
Ronardi D H, Oswari J ed. Biokimia Harper (alih bahasa) cetakan ke 1.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC: 529-50.
Hanhan UA, Fialos MR, Orlowski JP (2001). Status Epilepticus. Ped Clin North
Am. 48.3. 683-94.