Anda di halaman 1dari 7

Nyeri Sendi

1. Pengertian
Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang
berkaitan dengan kerusakan jaringan yang nyata atau yang berpotensial untuk menimbulkan
kerusakan jaringan (Dharmady, 2004). Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang
mempengaruhi seseorang dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya
(Tamsuri, 2007). Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah
pengalaman perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat terjadinya kerusakan aktual
maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.
Sendi adalah pertemuan antara dua tulang atau lebih, sendi memberikan adanya
segmentasi pada rangka manusia dan memberikan kemungkinan variasi pergerakan diantara
segmen-segmen serta kemungkinan variasi pertumbuhan (Smeltzer & Bare, 2002).
Rasa nyeri pada lansia dapat dibagi dalam 3 kategori yaitu nosiseptif (nociceptive),
neuropati dan campuran. Kategori rasa nyeri yang bersifat nosiseptif berasal dari kerusakan
badan jaringan, lebih jauh lagi dapat dikelompok dalam rasa nyeri somatik dan viseral. Contoh
rasa nyeri yang dikategorikan sebagai nyeri somatik adalah osteoarthritis, rheumatoid arthritis
dan fibromyalgia, sedangkan rasa nyeri viseral adalah irritable bowel syndrome, pancreatitis,
noncardiac chest pain dan rasa nyeri abdominal. Distribusi aferen nosiseptif tersebar di seluruh
tubuh baik kulit, otot, pergelangan, visera maupun meningen. Dan terdiri dari serabut bermyelin
A delta dengan ukuran medium dan kecil yang mengantar konduksi cepat. Serabut C dengan
ukuran diameter kecil tidak bermyelin mengantar konduksi lamban. Rasa nyeri neuropati
mencakup kerusakan pada sistem saraf yang seringkali menyebabkan rasa nyeri pada
sarafdermatom, misalkan sciatica. Sedangkan kanker dan nyeri punggung termasuk dalam
kategori nyeri yang bersifat campuran (Kasran & Kusumaranata, 2006).
2. Etiologi
Penyebab utama penyakit nyeri sendi masih belum diketahui secara pasti. Biasanya
merupakan kombinasi dari faktor genetik, lingkungan, hormonal dan faktor sistem reproduksi.
Namun faktor pencetus terbesar adalah faktor infeksi seperti bakteri, mikroplasma dan virus.
Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai penyebab nyeri sendi yaitu:
a. Mekanisme Imunitas
Penderita nyeri sendi mempunyai auto anti body di dalam serumnya yang di kenal sebagai
faktor rematoid anti bodynya adalah suatu faktor antigama globulin (IgM) yang bereaksi

terhadap perubahan IgG titer yang lebih besar 1:100, Biasanaya dikaitkan dengan vaskulitis
dan prognosis yang buruk.
b. Faktor Metabolik
Faktor metabolik dalam tubuh erat hubungannya dengan proses autoimun.
c. Faktor Genetik dan Faktor Pemicu Lingkungan
Penyakit nyeri sendi terdapat kaitannya dengan pertanda genetik. Juga dengan masalah
lingkungan, Persoalan perumahan dan penataan yang buruk dan lembab juga memicu
pennyebab nyeri sendi.
d. Faktor Degeneratif
Degenerasi dari organ tubuh menyebabkan usia lanjut rentan terhadap penyakit baik yang
bersifat akut maupun kronik (Smeltzer & Bare, 2002). Semakin bertambahnya usia, protein
pembentuk tulang rawan sendi mengalami penipisan serta penggunaan sendi selama bertahuntahun menyebabkan iritasi dan peradangan tulang rawan, sehingga menimbulkan nyeri sendi
(Davies, 2007).
Proses penuaan akan menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis dan biokimia pada
tubuh, sehingga akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan
(Depkes RI; 2004). Semua sistem dalam tubuh lansia mengalami kemunduran, termasuk pada
sistem muskuloskeletal lansia sering mengalami rematik, penyakit gout, nyeri sendi dan
lumbago (Maryam, 2008).
3. Patofisiologi
Pemahaman mengenai anatomi normal dan fisiologis persendian diartrodial atau sinovial
merupakan kunci untuk memahami patofisiologi penyakit nyeri sendi. Fungsi persendian
sinovial adalah gerakan. Setiap sendi sinovial memiliki kisaran gerak tertentu kendati masingmasing orang tidak mempunyai kisaran gerak yang sama pada sendi-sendi yang dapat
digerakkan. Pada sendi sinovial yang normal. Kartilago artikuler membungkus ujung tulang
pada sendi dan menghasilkan permukaan yang licin serta ulet untuk gerakan. Membran sinovial
melapisi dinding dalam kapsula fibrosa dan mensekresikan cairan kedalam ruang antara-tulang.
Cairan sinovial ini berfungsi sebagai peredam kejut (shock absorber) dan pelumas yang
memungkinkan sendi untuk bergerak secara bebas dalam arah yang tepat. Sendi merupakan
bagian tubuh yang sering terkena inflamasi dan degenerasi yang terlihat pada penyakit nyeri
sendi. Meskipun memiliki keaneka ragaman mulai dari kelainan yang terbatas pada satu sendi

hingga kelainan multi sistem yang sistemik, semua penyakit reumatik meliputi inflamasi dan
degenerasi dalam derajat tertentu yang biasa terjadi sekaligus. Inflamasi akan terlihat pada
persendian yang mengalami pembengkakan. Pada penyakit reumatik inflamatori, inflamasi
merupakan proses primer dan degenerasi yang merupakan proses sekunder yang timbul akibat
pembentukan pannus (proliferasi jaringan sinovial). Inflamasi merupakan akibat dari respon
imun.
Sebaliknya pada penyakit nyeri sendi degeneratif dapat terjadi proses inflamasi yang
sekunder. Pembengkakan ini biasanya lebih ringan serta menggambarkan suatu proses reaktif,
dan lebih besar kemungkinannya untuk terlihat pada penyakit yang lanjut. Pembengkakan
dapat berhubungan dengan pelepasan proteoglikan tulang rawan yang bebas dari karilago
artikuler yang mengalami degenerasi kendati faktor-faktor imunologi dapat pula terlibat
(Smeltzer & Bare, 2002).
4. Manifestasi Klinis
Ada banyak sekali sebab mengapa persendian sakit, nyeri sendi dapat merupakan gejala
tunggal atau menjadi bagian banyak gejala lain yang dialami. Manifestasi nyeri sendi dapat
bervariasi, seperti kelembutan atau tidak nyaman ketika di sentuh, pembengkakan,
peradangan, kekakuan, atau pembatasan gerakan.
Nyeri sendi adalah suatu peradangan sendi yang ditandai dengan pembengkakan sendi,
warna kemerahan, panas, nyeri dan terjadinya gangguan gerak. Pada keadaan ini lansia sangat
terganggu, apabila lebih dari satu sendi yang terserang (Santoso & Ismail, 2009).
5. Penatalaksanaan
Sendi yang meradang di istirahatkan selama eksaserbasi, periode-periode istirahat setiap
hari, kompres panas dan dingin bergantian, aspirin, obat anti-inflamasi nonsteroid lainnya, atau
steroid sistemik, pembedahan untuk mengeluarkan membran sinovium (Corwin, 2001).
Pada dasarnya nyeri persendian yang sering dikeluhakan oleh kebanyakan para lansia
merupakan hal yang biasa (fisiologis) namun jika nyeri dirasakan sampai mengganggu aktivitas
bahkan istirahat lansia hal tersebut tidak bisa dibiarkan. Diperlukan tindakan nyata untuk
mengurangi nyeri tersebut, tetapi kebanyakan lansia memilih obat-obatan anti nyeri yang biasa
didapatkan di toko-toko atau di warung terdekat. Padahal ada cara yang lebih sehat untuk
mengurangi hal tersebut diantaranya dengan melakukan kebiasaan hidup sehat dan
berolahraga (Suharjono dkk, 2015).
a. Penatalaksanaan akibat kadar asam urat tinggi
Secara umum, penanganan gout arthritis adalah memberikan edukasi, pengaturan diet,
istirahat sendi dan pengobatan. Pengobatan dilakukan secara dini agar tidak terjadi
kerusakan sendi ataupun komplikasi lain. Pengobatan gout arthritis akut bertujuan
menghilangkan keluhan nyeri sendi dan peradangan dengan obat-obat, antara lain:
kolkisin, obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), kortikosteroid atau hormon ACTH. Obat

penurun asam urat penurun asam urat seperti alupurinol atau obat urikosurik tidak dapat
diberikan pada stadium akut. Namun, pada pasien yang secara rutin telah mengkonsumsi
obat penurun asam urat, sebaiknya tetap diberikan. Pada stadium interkritik dan menahun,
tujuan pengobatan adalah menurunkan kadar asam urat, sampai kadar normal, guna
mencegah kekambuhan. Penurunan kadar asam urat dilakukan dengan pemberian diet
rendah purin dan pemakaian obat alupurinol bersama obat urikosurik yang lain. (Putra,
2009).
Penelitian terbaru telah menemukan bahwa konsumsi tinggi dari kopi, susu rendah
lemak produk dan vitamin C merupakan faktor pencegah gout (Doherty, 2009).

b. Penatalaksanaan akibat Osteoarthritis (peradangan sendi tanpa adanya penumpukan


purin)
Penatalaksanaan pada OA bertujuan untuk mengontrol nyeri, memperbaiki fungsi
sendi yang terserang, menghambat progresifitas penyakit, serta edukasi pasien. Terdapat
beberapa hal yang direkomendasikan oleh ACR 2012 dalam manajemen terapi non
farmakologis OA lutut, yaitu sebagai berikut.

Secara garis besar, ACR 2012 merekomendasikan terapi farmakologis untuk OA lutut
sebagai berikut:

Asetaminofen, atau yang lebih dikenal dengan nama parasetamol dengan merupakan
analgesik pertama yang diberikan pada penderita OA karena cenderung aman dan dapat

ditoleransi dengan baik, terutama pada pasien usia tua.21 Dengan dosis maksimal 4 gram/hari,
pasien perlu diberi penjelasan untuk tidak mengonsumsi obat-obat lain yang mengandung
asetaminofen, termasuk obat flu serta produk kombinasi dengan analgesic Opioid.
6. Pencegahan
Berbagai cara bisa dilakukan untuk meminimalkan resiko terserang gangguan-gangguan
persendian seperti mencegah kegemukan, tidak memaksakan diri untuk melakukan aktivitas
fisik yang berbahaya atau diluar kemampuan, mengenakan alas kaki yang nyaman,
mengonsumsi suplemen kesehatan seperti glucosamine dan chondroitin untuk menjaga kondisi
prima persendian, melakukan latihan olahraga seperti senam lansia, yang mana senam lansia
merupakan suatu aktivitas olahraga bagi lansia yang akan membantu tubuh tetap lentur dan
juga memperkuat otot dan ligamen yang menstabilkan sendi. Kapasitas konsentrasinya pada
gerakan sendi, sambil meregangkan dan menguatkan ototnya, karena otot-otot itulah yang
membantu sendi untuk menopang tubuh (Suharjono dkk, 2015).
.

DAFTAR PUSTAKA
Kasran, S & Rina KK. (2006). Universa Medicine: Penatalaksanaan Nyeri pada Lansia. Vol.25
No.1. FK Universitas Trisakti (online) diambil dari http://www.univmed.org/ diakses pada
tanggal 23 September 2016
Suharjono, dkk. (2015). Pengaruh Senam Lansia terhadap Perubahan Nyeri Persendian pada
Lansia Di Kelurahan Komplek Kenjeran, Kecamatan Bulak, Surabaya. FKP Unair.
(Online) diambil dari http://journal.unair.ac.id/ diakses pada tanggal 23 September 2016
Corwin, EJ. (2001). Patofisiologi. Jakarta: EGC
Smeltzer, SC & Brenda GB. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth Ed.8, Vol. 1, 2. Jakarta: EGC
Santoso, H. dan Ismail, A. (2009). Memahami krisis lanjut usia. Jakarta: Gunung Mulia.

Anda mungkin juga menyukai