Scanan PENGEMBANGAN KURIKULUM
Scanan PENGEMBANGAN KURIKULUM
formal
ataupun
informal
selalu
mengharapkan
tumbuh
dan
berkembangnya anak, pemuda, dan generasi muda yang lebih baik, lebih cerdas,
lebih berkemampuan. Kurikulum mempunyai andil yang cukup besar dalam
melahirkan harapan tersebut.
Buku ini disusun dengan tujuan membantu para guru, dosen, instruktur,
widyaiswara, para pengembang, pengelola, penentu kebijaksanaan, dan siapa saja
yang terlibat dan berminat dalam pengembangan kurikulum; untuk menambah
wawasan tentang apa, mengapa, dan bagaimana pengembangan kurikulum.
Meskipun dalam buku ini diusahakan menyajikan materi yang bervariasi dengan
cara penyajian yang moderat, tetapi mungkin saja sajian ini belum bisa memenuhi
kebutuhan semua pihak. Untuk itu penulis meminta maaf dan menantikan saransaran bagi penyempurnaannya.
Isi buku ini merupakan penyempurnaan dari buku sebelumnya yang
berjudul Prinsip dan Landasan Pengembangan Kurikulum, yang ditulis dengan
bantuan Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan
Depdikbud,
untuk
kepentingan
Program
Pascasarjana.
Penulis
ingin
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
BAB 1 Konsep Kurikulum
A. Kedudukan kurikulum dalam pendidikan
B. Konsep kurikulum
C. Kurikulum dan teori-teori pendidikan
BAB 2 Teori Kurikulum 1
A. Apakah teori itu?
B. Teori pendidikan
C. Teori kurikulum
BAB 3 Landasan Filosofis dan Psikologis Pengembangan
Kurikulum
A. Landasan filosofis
B. Landasan psikologis
BAB 4 Landasan Sosial-Budaya, Perkembangan Ilmu dan
Teknologi dalam Pengembangan Kurikulum
A.
B.
C.
D.
E.
Daftar Rujukan
BAB 1
KONSEP KURIKULUM
jelas dan rinci ke mana anaknya akan diarahkan, dengan cara apa mereka akan
dididik, dan apa isi pendidikannya. Orang tua umumnya mempunyai harapan
tertentu pada anaknya, mudah-mudahan is menjadi orang soleh, sehat, pandai, dan
sebagainya, tetapi bagaimana rincian sifat-sifat tersebut bagi mereka tidak jelas.
Juga mereka tidak tahu apa yang harus diberikan dan bagaimana memberikannya
agar anak-anaknya memiliki sifat-sifat tersebut.
Interaksi pendidikan antara orang tua dengan anaknya juga sexing tidak
disadari. Dalam kehidupan keluarga interaksi pendidikan dapat terjadi setiap saat,
setiap kali orang tua bertemu, berdialog, bergaul, dan bekerja sama dengan anakanaknya. Pada saat demikian banyak perilaku dan perlakuan spontan yang
diberikan kepada anak, sehingga kemungkinan terjadi kesalahan-kesalahan
mendidik besar sekali. Orang tua menjadi pendidik juga tanpa dipersiapkan secara
formal. Mereka menjadi pendidik karena statusnya sebagai ayah atau ibu,
meskipun mungkin saja sebenarnya mereka belum siap untuk melaksanakan tugas
tersebut. Karena sifat-sifatnya yang tidak formal, tidak memiliki rancangan yang
konkret dan ada kalanya juga tidak disadari, maka pendidikan dalam lingkungan
keluarga disebut pendidikan informal. Pendidikan tersebut tidak memiliki
kurikulum formal dan tertulis.
Pendidikan dalam lingkungan sekolah lebihbersifat formal. Guru sebagai
pendidik di sekolah telah dipersiapkan secara formal dalam lembaga pendidikan
guru. la telah mempelajari ilmu, keterampilan, dan seni sebagai guru. Ia juga telah
dibina untuk memiliki kepribadian sebagai pendidik. Lebih dari itu mereka juga
telah diangkat dan diberi kepercayaan oleh masyarakat untuk menjadi guru, bukan
sekadar dengan surat keputusan dari pejabat yang berwenang, tetapi juga dengan
pengakuan dan penghargaan dari masyarakat. Guru melaksanakan tugasnya
sebagai pendidik dengan rencana dan persiapan yang matang. Mereka mengajar
dengan tujuan yang jelas, bahan-bahan yang telah disusun secara sistematis dan
rinci, dengan cara dan alat-alat yang telah dipilih dan dirancang secara cermat. Di
sekolah guru melakukan interaksi pendidikan secara berencana dan sadar. Dalam
lingkungan sekolah telah ada kurikulum formal, yang bersifat tertulis. Guru-guru
melaksanakan tugas mendidik secara formal, karena itu pendidikan yang
berlangsung di sekolah sering disebut pendidikan formal.
Kurikulum mempunyai
proses
yang
muncul
selanjutnya
telah
beralih
dari
sekolah
rencana yang memberi pedoman atau pegangan dalam proses kegiatan belajarmengajar.
Kurikulum juga sering dibedakan antara kurikulum sebagai rencana
(curriculum plan) dengan kurikulum yang fungional (functioning curricu- lum).
Menurut Beauchamp (1968, him. 6) "A curriculum is a written document which
may contain many ingredients, but basically it is a plan for the education of pupils
during their enrollment in given school". Beauchamp lebih memberikan tekanan
bahwa kurikulum adalah suatu rencana pendidikan atau pengajaran. Pelaksanaan
rencana itu sudah masuk pengajaran. Selanjutnya, Zais menjelaskan bahwa
kebaikan suatu kurikulum tidak dapat dinilai dari dokumen tertulisnya saja,
melainkan harus dinilai dalam proses pelaksanaan fungsinya di dalam kelas.
Kurikulum bukan hanya merupakan rencana tertulis bagi pengajaran, melainkan
sesuatu yang fungsional yang beroperasi dalam kelas, yang memberi pedoman dan
mengatur lingkungan dan kegiatan yang berlangsung di dalam kelas. Rencana
tertulis merupakan dokumen kurikulum (curriculum document or inert
curriculum), sedangkan kurikulum yang dioperasikan di kelas merupakan
kurikulum fungsional (functioning, live or operative curriculum).
Hilda Taba (1962) mempunyai pendapat yang berbeda dengan pendapatpendapat itu. Perbedaan antara kurikulum dan pengajaran menurut dia bukan
terletak pada implementasinya, tetapi pada keluasan cakupannya. Kurikulum
berkenaan dengan cakupan tujuan isi dan metode yang lebih luas atau lebih
umum, sedangkan yang lebih sempit lebih khusus menjadi tugas pengajaran.
Menurut Taba keduanya membentuk satu kontinum, kurikulum terletak pada
ujung tujuan umum atau tujuan jangka panjang, sedangkan pengajaran pada ujung
lainnya yaitu yang lebih khusus atau tujuan dekat.
BAGAN 1.2 Kontinum kurikulum dan pengajaran
serinci, sekhusus mungkin agar mudah dipahami guru, tetapi cukup luas dan
umum sehingga memungkinkan mencakup semua bahan yang dapat dipilih oleh
guru sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa serta kemampuan guru. Kurikulum
memberikan pegangan bagi pelaksanaan pengajaran di kelas, tetapi merupakan
tugas dan tanggung jawab guru untuk menjabarkannya.
Suatu kurikulum, apakah itu kurikulum pendidikan dasar, pendidikan
menengah atau pendidikan tinggi; kurikulum sekolah umum, kejuruan, dan lainlain merupakan perwujudan atau penerapan teori-teori kurikulum. Teori-teori
tersebut merupakan hasil pengkajian, penelitian, dan pengembangan para ahli
kurikulum. Kumpulan teori-teori kurikulum membentuk suatu ilmu atau bidang
studi kurikulum. Menurut Robert S. Zais (1976, him. 3), kurikulum sebagai
bidang studi mencakup: (1) the range of subject matters with which it is
concerned (the substantive structure), and (2) the procedures of inquiry and
practice that it follows (the syntactical structure)". Menurut George A. Beauchamp
(1976, him. 58-59) kurikulum sebagai bidang studi membentuk suatu teori, yaitu
teori kurikulum. Beauchamp mendefinisikan teori kurikulum sebagai ...a set of
related statements that gives meaning to a schools's curriculum by pointing up the
relationships among its elements and by directing its development, its use, and its
evaluation.
Bidang cakupan teori atau bidang studi kurikulum meliputi: konsep
kurikulum, penentuan kurikulum, pengembangan kurikulum, desain kurikulum,
implementasi dan evaluasi kurikulum.
Selain sebagai bidang studi menurut Beauchamp, kurikulum juga sebagai
rencana pengajaran dan sebagai suatu sistem (sistem kurikulum) yang merupakan
bagian dari sistem persekolahan. Sebagai suatu rencana pengajaran, kurikulum
berisi tujuan yang ingin dicapai, bahan yang akan disajikan, kegiatan pengajaran,
alat-alat pengajaran dan jadwal waktu pengajaran. Sebagai suatu sistem,
kurikulum m.erupakan bagian atau subsistem dari keseluruhan kerangka
organisasi sekolah atau sistem .ekolah. Kurikulum sebagai suatu sistem
menyangkut penentuan segala kebijakan tentang kurikulum, susunan personalia
dan
prosedur
pengemhangan
penyempurnaannya.
Fungsi
kurikulum,
utama
sistem
penerapan,
evaluasi,
kurikulum
adalah
dan
dalam
mendasari
pelaksanaan
pendidikan,
yaitu
pendidikan
klasik,
atau para pendidik tidak perlu susah-susah mencari dan menciptakan pengetahuan,
konsep, dan nilai-nilai baru, sebab sentuanya telah tersedia, tinggal menguasai dan
mengajarkannya kepada anak. Teori pendidikan ini lebih menekankan peranan isi
pendidikan daripada proses atau bagaimana mengajarkannya. Isi pendidikan atau
materi ilmu tersebut diambil dari khazanah ilmu pengetahuan, berupa disiplindisiplin ilmu yang telah ditemukan dan dikembangkan oleh para ahli tempo dulu.
Materi ilmu pengetahuan yang diambil dari disiplindisiplin ilmu tersebut telah
tersusun secara logis dan sistematis.
Tugas guru dan para pengembang kurikulum adalah memilih dan
menyajikan materi ilmu tersebut disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan
kemampuan peserta didik. Sebelum dapat menyampaikan materi ilmu
pengetahuan tersebut secara sempurna, para pendidik atau talon pendidik terlebih
dahulu harus mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Tugas para pendidik atau
guru bukan hanya mengajarkan materi pengetahuan, tetapi juga melatih
keterampilan dan menanamkan nilai. Mendidikkan nilainilai tidak sama dengan
mengajarkan pengetahuan yang berbentuk penyampaian informasi, tetapi perlu
dimanifestasikan dalam perilaku seharihari. Menurut konsep pendidikan klasik,
guru atau pendidik adalah ahli dalam bidang ilmu dan juga contoh atau model
nyata dan pribadi yang ideal. Siswa merupakan penerima pengajaran yang baik,
tetapi sebagai penerima informasi sesungguhnya mereka pasif. Meskipun
demikian dalam pendidikan klasik siswa bekerja keras menguasai apa-apa yang
diajarkan dan ditugaskan oleh guru. Pendidikan lebih menekankan perkembangan
segi-segi intelektual daripada segi emosional dan psikomotor.
Ada dua model konsep pendidikan klasik, perenialisme dan esensialisme.
Walaupun didasari dengan konsep-konsep yang sama, keduanya memiliki
pandangan yang berbeda. Parenialisme maupun esensialisme mempunyai
pandangan yang sama tentang masyarakat, bahwa masyarakat bersifat statis.
Pendidikan berfungsi memelihara dan mewariskan pengetahuan, konsep-konsep
dan nilai-nilai yang telah ada. Pengetahuan dan nilai-nilai yang akan diajarkan
diambil dari materi disiplin ilmu yang telah disusun dan dikembangkan oleh para
ahli. Dalam penyusunan kurikulum, matamata pelajaran dipilih dan ditentukan
oleh sekelompok orang ahli, disusun secara sistematis dan logis, dan diarahkan
pada perkembangan kemampuan berpikir.
Parenialisme berkembang di Eropa dalam masyarakat aristokralisagraris.
Mereka lebih berorientasi ke masa lampau dan kurang hivmen tingkan tuntutantuntutan masyarakat yang berkembang saat sekarang pendidikan lebih
menekankan pada humanitas, pembentukan pribadi, dan
sifat-sifat mental.
berpikiran praktis bahwa pendidikan adalah suatu Han untuk mencapai sukses
dalam kehidupan, terutama sukses secara ekonomis.
Kurikulum pendidikan klasik lebih menekankan isi pendidikan, yang
diambil dari disiplin-disiplin ilmu, disusun oleh para ahli tanpa mengikutsertakan
guru-guru, apalagi siswa. Isi disusun secara logis, sistematis, dan berstruktur,
dengan berpusatkan pada segi intelektual, sedikit sekali memperhatikan segi-segi
sosial atau psikologis peserta didik. Guru mempunyai peranan yang sangat besar
dan lebih dominan. Dalam pengajaran, ia menentukan isi, metode, dan evaluasi.
Dialah yang aktif dan bertanggung jawab dalam segala aspek pengajaran. Siswa
mempunyai peran yang pasif, sebagai penerima informasi dan tugas-tugas dari
guru.
2. Pendidikan pribadi
Pendidikan pribadi (personalized education) lebih mengutamakan peranan
siswa. Konsep pendidikan ini bertolak dari anggapan dasar bahwa, sejak
dilahirkan, anak telah memiliki potensi-potensi, baik potensi untuk berpikir,
berbuat, memecahkan masalah, maupun untuk belajar dan berkembang sendiri.
Pendidikan adalah ibarat persemaian, berfungsi menciptakan lingkungan yang
menunjang dan terhindar dari hama-hama. Tugas guru, seperti halnya seorang
petani adalah mengusahakan tanah yang gembur, pupuk, air, udara, dan sinar
matahari yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan tanaman (peserta
didik). Pendidikan bertolak dari kebutuhan dan minat peserta didik. Peserta didik
menjadi subjek pendidikan, dialah yang menduduki tempat utama dalam
pendidikan. Pendidik menempati posisi kedua, bukan lagi sebagai penyampai
informasi atau sebagai model dan ahli dalam disiplin ilmu. Ia lebih berfungsi
sebagai psikolog yang mengerti segala kebutuhan dan masalah peserta didik. la
juga berperan sebagai bidan yang membantu siswa melahirkan ide-idenya. Guru
adalah pembimbing, pendorong (motivator), fasilitator, dan pelayan bagi siswa.
Teori ini juga memiliki dua aliran, yaitu pendidikan progresif dan
pendidikan romantik. Tokoh pendahulu pendidikan progresif adalah Francis
Parker yang membawa aliran ini dari Eropa ke Amerika. Aliran ini menjadi lebih
terkenal di Amerika berkat percobaan-percobaan yang dilakukan John Dewey
pendidikan
pribadi
lebih
menekankan
pada
proses
pengembangan kemampuan siswa. Materi ajar dipilih sesuai dengan minat dan
Bagi mereka, dunia ini adalah dunia material, dunia empiris. Meskipun lebih
kompleks, manusia pada dasarnya tidak berbeda dengan binatang, ia mereaksi
terhadap perangsang-perangsang dari lingkungannya, perilakunya dapat dibentuk
dengan teknologi perilaku, seperti yang dinyatakan Skinner.
Man totally determined by his environment. Therefore, if we wish to relate
to him for better to educate him, we need only learn scientifically, how to
control his environment in such away as to reshape his behavior. What we
need is a technology of behavior (Skinner, 1972).
Menurut teori ini, pendidikan adalah ilmu dan bukan seni, pendidikan
adalah cabang dari teknologi ilmiah. Dengan pengembangan desain program,
pendidikan menjadi sangat efisien. Efisiensi merupakan salah satu ciri utama
teknologi pendidikan. Dalam pengembangan desain program, mereka juga
melibatkan penggunaan perangkat keras, alat-alat pandangdengar (audio-visual)
dan media elektronika. Pengembangan model-model pengajaran yang bersifat
individual serta menekankan penguasaan kemampuan, seperti computer assisted
instruction (CAI), individually prescribed instruction (IPI), competency based
instruction, dan behavior modification merupakan model-model pengajaran baru,
melengkapi model yang telah ada yaitu pengajaran berprogram, mesin pengajaran,
dan pengajaran modul.
Dalam konsep teknologi pendidikan, isi pendidikan dipilih oleh tim ahli
bidang-bidang khusus. Isi pendidikan berupa data-data objektif dan keterampilanketerampilan yang mengarah kepada kemampuan vocational. Isi disusun dalam
bentuk desain program atau desain pengajaran dan disampaikan dengan
menggunakan bantuan media elektronika (kaset audio, video, film, atau komputer)
dan para siswa belajar secara individual. Siswa berusaha untuk menguasai
sejumlah besar bahan dan pola-pola kegiatan secara efisien tanpa refleksi.
Keterampilan-keterampilan barunya segera digunakan dalam masyarakat. Guru
berfungsi sebagai direktur belajar, lebih banyak melakukan tugas-tugas
pengelolaan daripada penyampaian dan pendalaman bahan. Apabila digunakan
media elektronika, ierbehas dari tugas pengembangan segi-segi nonintelektual.
Kurikulum
pendidikan
teknologi
menekankan
kompetensi
atau
dalam konteks kehidupannya. Setiap siswa, begitu juga guru, mempunyai rentetan
pengalaman dan persepsi sendiri. Dalam proses belajar, persepsi-persepsi yang
berbeda tersebut digunakan untuk menyoroti masalah bersama yang muncul
dalam kehidupannya. Dalam proses seperti itu dialog berlangsung, setiap siswa
dan guru saling mendengarkan, memberikan pendapat, sal ing mengajar dan
belajar. Pemahaman yang muncul dari situasi demikian melebihi jumlah seluruh
sumbangan para peserta. Siswa tidak hanya berperan sebagai siswa, tetapi juga
sebagai guru, dan guru juga pada suatu saat berperan sebagai siswa yang turut
belajar bersama para siswanya.
Interaksi juga terjadi antara siswa dengan bahan ajar. Interaksi ini bukan
hanya pada tingkat apa dan bagaimana, tetapi lebih jauh yaitu pada tingkat
mengapa, tingkat mencari makna baik makna sosial (socially conscious) maupun
makna pribadi (self conscious). Isi atau bahan ajar ini berkenaan dengan
lingkungan sosial-budaya yang mereka hadapi saat ini. Setelah mengetahui makna
dari fakta-fakta dan nilai-nilai sosial budaya, mereka mengadakan evaluasi, kritik
dari sudut kepentingannya bagi kesejahteraan umat manusia.
Siswa sebagai individu selalu berinteraksi dengan lingkungannya, selalu
terjadi hubungan timbal balik antara keduanya. Pandangan-pandangannya
mempengaruhi bentuk dan pola lingkungan, di lain pihak kekuatan dan
keterbatasan lingkungan mempengaruhi individu siswa. Lingkungan merupakan
bagian dari kehidupan siswa. Interaksi juga terjadi antara pemikiran siswa dengan
kehidupannya. Suatu kebenaran tidak akan diyakininya apabila tidak dicobakan
dan dihayati dalam kehidupannya sehari-hari.
Sekolah berbeda dengan pendidikan, tetapi mempunyai peranan penting
dalam sistem masyarakat. Sekolah merupakan pintu untuk memasuki masyarakat,
menentukan stratifikasi sosial, dan memberikan kesiapan untuk melakukan
berbagai pekerjaan. Sekolah menyiapkan anak dengan berbagai keterampilan
sosial juga keterampilan bekerja. Lebih jauh, sekolah juga berperan dalam
membina sikap positif terhadap dunia kerja, disiplin kerja, dan sebagainya.
Pendidikan berperan dalam mengembangkan identitas pribadi, memperbaiki
modus dari kehidupan.
penilaian
yang
kritis,
kemudian
mereka
mengembangkan
D. Buku Acuan
Schubert, William H. 1986. Curriculum: Perspective, Paradigm and Possibility.
New York: Macmillan Publishing Co.
Dilatarbelakangi oleh minat pribadi yang sangat mendalam terhadap
pendidikan, khsusunya kurikulum, penulis memandang bahwa kurikulum
merupakan bidang yang sangat penting. Kurikulum menentukan jenis dan kualitas
pengetahuan dan pengalaman yang memungkinkan orang atau seseorang
mencapai
kehidupan
dan
penghidupan
yang
baik.
Dilengkapi
dengan
menyangkut hal-hal yang sangat prinsip. Secara sistematis dan logis, seluruh isi
buku ini terbagi atas tiga bagian. Bagian pertama menguraikan perspektif
kurikulum, baik dari segi konsep atau teori, sejarah maupun perkembangannya.
Bagian kedua membahas paradigma, yang berisi tujuan, misi, proses, organisasi,
dan ovaluasi, serta pelaksanaan. Bagian ketiga membahas problema-problema
kurikulum, profesionalisasi, dan pengembangan kurikulum.
Beane, James A. et. al., 1986. Curriculum Planning and Development. Boston:
Allyn and Bacon, Inc.
Isi buku ini hampir sama dengan buku-buku lain dalam tema yang sama.
Salah satu kelebihannya terletak pada isinya yang sangat komprehensif. Hampir
semua hal yang berkenaan dengan permasalahan kurikulum tercakup dalam buku
mi. Oleh karena itu, buku ini baik sekali bagi para pengajar kurikulum dan guruguru yang melaksanakan kurikulum..Secara sistematik diuraikan masalah apa
dalam kurikulum, pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai apa yang harus
disajikan dalam kurikulum, sampai sejauh mana dan untuk apa hal itu diberikan.
Juga diuraikan masalah mengapa, yaitu.landasan-landasan apa yang mendasari
penyusunan kurikulum. Selanjutnya, bagaimana proses penyampaian kurikulum
serta proses pengelolaan kurikulum, dan diakhiri dengan proses evaluasi
kurikulum.
Johnson, Mauritz. 1977. Intensionality in Education. Albany, New York: Center
for Curriculum Research and Services.
Judul buku ini adalah intensionality in Education, suatu judul yang
bertemakan pendidikan, dan isinya lebih banyak menyangkut kurikulum. Isi buku
ini sangat berharga bagi para pakar pendidikan, pakar kurikulum, para perencana
pengajaran, dan juga guru-guru. Dalam buku ini disajikan suatu model konseptual
kurikulum dan rencana pengajaran, serta evaluasinya. Dipisahkan dengan tegas
oleh penulis antara kurikulum dan pengajaran. Kurikulum berkenaan dengan apa
yang akan diajarkan, sedangkan pengajaran berkenaan dengan bagaimana cara
mengajarkannya. Dengan konsep scperti itu penulis mengemukakan suatu model
kurikulum yang disebutnya sebagai model P-I-E, dan dijelaskan pula bagaimana
pengembangannya. Dalam pengembangan tersebut diuraikan secara rinci
(predictive
statement).
Karakteristik
memadukan
(unifying
statement) banyak disetujui oleh para perumus teori, seperti yang dikemukakan
Kaplan (1964, him. 295).
A theory is a way of making sense of a disturbing situation, so as to allow us most
effectivelly to bring to bear our reverfoice of habits, and even more impor- tant, to
modify habits or discard them together, reflacing new ones as the situa- tion
demands. And the reconstructed logic, accordingly, theory will appear as the
device for interpreting, criticizing, and unifying established laws, modify- ing
them to fit data unanticipated in their formation, and guiding the enter- prise of
discovering new and more powerful generalizations.
Hall dan Lindsay (1970, him. 11) menekankan hal yang sama yaitu sifat
unifying, seperti mereka nyatakan bahwa "... a theory is set of conventions that
should contain a cluster of relevant assumption systematically related to each
other and a set of empirical definitions".
Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Snow (1973, hlm.78).
In its simplest form, a theory is a symbolic instruction designed to bring generalizable fact (or laws) into systematic connection. It consist of a) a set of units
(facts, concepts, variables), and b) a system of relationships among the units.
Karakteristik lain berupa kaidah-kaidah yang bersifat universal, kita temukan
dalam definisi teori Rose (1953, him. 52).
Bagian kedua yang dinyatakan sebagai asumsi, proposisi, dan postulat. Bagman
ketiga adalah bagian dari set universal atau bagian dari keseluruhan yang belum
diketahui. Visualisasi hubungan antara bagian-bagian tersebut dapat dilihat pada
bagan berikut.
BAGAN 2.1 Suatu set kejadian yang terkandung dalam suatu teori
atau bahasa secara umum. Istilah-istilah tersebut tidak perlu didefinisikan secara
operasional karena telah dikenal secara umum. The basic concept merupakan
istilah-istilah yang sangat dasar dan penting dalam menjelaskan suatu set kejadian,
oleh karenanya perlu didefinisikan secara operasional. Sebagai contoh, istilah
molekul dalam kimia, istilah kurikulum dalam pendidikan. Yang ketiga adalah
theoretical constructs, yang merupakan istilah yang punya makna khusus dalam
set kejadian yang akan dijelaskan suatu teori, tetapi tidak dapat diketahui melalui
pengamatan langsung. Contoh istilah minat, kebutuhan dalam pengajaran.
Hal lain yang juga sangat penting dalam pekerjaan ilmuwan adalah
pernyataan. Suatu teori terdiri atas serangkaian pernyataan, di dalam pernyataan
tersebut ada istilah-istilah. Seperti halnya istilah, pernyataan pun ada
pengkategoriannya. Pernyataan dapat menunjuk kepada faktafakta, definisi,
proposisi, hipotesis, generalisasi, dalil, postulat, teorem, asumsi, dan hukum.
Sering terdapat tumpang tindih atau pertukaran pengertian dari istilah-istilah
tersebut, juga penggunaannya sering amat terbatas hanya dalam teori atau konsep
tertentu.
Secara hukum istilah-istilah tersebut sering diartikan sebagai berikut.
Fakta adalah suatu fenomena yang diketahui melalui pengamatan. Definisi
merupakan perumusan arti dalam bentuk pernyataan formal. Proposisi merupakan
suatu pernyataan formal yang memperkuat atau menolak keberadaan sesuatu hal
tentang suatu subjek. Hipotesis, generalisasi, aksioma, postulat, teorem, dan
hukum-hukum merupakan bentuk-bentuk khusus proposisi. Hipotesis terbentuk
oleh satu proposisi atau lebih untuk menjelaskan suatu set kejadian. Generalisasi
adalah suatu proposisi yang memperkuat atau menegaskan kedudukan suatu
anggota atau beberapa anggota kolas, hal itu disimpulkan dari hasil pengamatan
atas sejumlah hubungan peristiwa. Aksioma atau postulat adalah suatu proposisi
yang diterima sebagai suatu kebenaran. Teorem adalah suatu proposisi yang
berasal dari pemikiran atau diturunkan dari aksioma. Hukum adalah suatu
proposisi yang sudah bersifat tetap, yang memberikan kondisi yang tidak berubah.
1. Apakah fungsi teori?
Minimal ada tiga fungsi teori yang sudah disepakati para ilmuwan yaitu;
(1) mendeskripsikan, (2) menjelaskan, dan (3) memprediksi. Untuk tiga fungsi
tersebut, Brodbeck (1963, hlm. 70) menambahkan fungsi lain. "A theory nol only
explains and predict, it also unifies phenomena". Khusus dalam penelitian Gawin
(1963) mengemukakan fungsi teori sebagai: ... the theory help teioire,/ searcher to
analyze data to make shorthand summarization or synopsis of data an
relations, and to suggest new thing to try out.
Dalam usaha mendeskripsikan, menjelaskan, dan membuat prediksi, para
ahli terus mencari dan menemukan hukum-hukum baru dan hubungan-hubungan
baru di antara hukum-hukum tersebut. Melalui proses demikian mungkin terjadi
di dalam suatu "set kejadian", semua hukum dan interealasinya dapat dinyatakan
dan teori itu telah berkembang menjadi hukum yang lebih tinggi. Para ahli teori
mencari hubungan baru dangan menggabungkan beberapa "set kejadian" menjadi
suatu "set kejadian yang baru yang lebih universal". Hal itu mendorong pencarian
dan pengkajian selanjutnya, untuk menemukan hukum-hukum baru dan hubungan
baru dalam suatu teori baru. Fungsi yang lebih besar dari suatu leori adalah
melahirkan teori baru.
Mouly (1970, hlm. 70-71) mengemukakan ciri-ciri suatu teori yang baik,
yaitu:
1. A theoretical system must permit deduction which be tested empirically,
2. A theory must be compatible both with observation and with previously
validated theories,
3. Theories must be stated in simple terms, that theory is best which explains
the most in the simplest form,
4. Scientific theories must be based on empirical facts and relationships.
Bagaimana proses pembentukan suatu teori atau bagaimana proses herteori
berlangsung, melalui beberapa langkah.
Pertama, pendefinisian istilah merupakan hal yang sangat penting berteori,
terutama berkenaan dengan kejelasan atau ketepatan penggunaan istilah yang
telah didefinisikan.
Kedua, klasifikasi yaitu pengelompokan informasi-informasi yang revan
dengan
kategori-kategori
yang
sejenis.
Klasifikasi
juga
merupakan
pandang ilmu lain, seperti filsafat, psikologi, dan lain-lain. Kedua, perkembangan
ilmu pendidikan dari praktik pendidikan. Keduanya dapat ding membantu,
melengkapi, dan memperkaya. Dalam kenyataan, tidak selalu terjadi hal yang
demikian. Hanya sedikit hasil-hasil pengkajian leoretis yang diterapkan para
pelaksana pendidikan. Sebagai contoh, teori IT Rousseau yang menekankan
pendidikan alam dengan peranan anak sebagai subjek yang penuh potensi, hampir
tidak ada yang melaksanakanIlya secara penuh, kecuali beberapa prinsip
utamanya, itu pun dengan keberapa modifikasi. Sebaliknya para pendidik di
lapangan melaksanakan praktik pendidikan yang lebih didasarkan atas kebutuhankebutuhan prakt is, sekalipun tidak banyak dilandasi oleh teori-teori yang kuat.
Seharusnya tidak terjadi hal yang demikian, sebab seharusnya praktik
dilandasi oleh teori, tidak ada praktik yang baik tanpa teori yang mapan. Anima
teori dengan praktik memang terdapat perbedaan, tetapi keduanya ingat berkaitan
erat. Mengenai perbedaan antara teori dengan praktik, beauchamp menjelaskan:
Theory by its nature is impractical. The world of practicality is built around
clusters of specific events. The world of theory derives from generalization law a
axiomes and theorems explaining specific events and the relationships among
them (Beauchamp, 1975, him. 35).
Walaupun terdapat perbedaan, keduanya tidak dapat dipisahkan. Teori
menjadi pedoman bagi praktik dan praktik memberi umpan balik bagi
pengembangan teori. Sebagai ilmu dari segala ilmu, filsafat mempunyai hubungan
yang erat dengan ilmu pendidikan dan teori pendidikan. Ada dua kategori teori
yaitu teori deskriptif dan preskriptif. Teori deskriptif terdiri atas serangkaian
proposisi yang berinterelasi secara logis. Dari proposisi-proposisi tersebut
diturunkan secara deduktif informasi- informasi baru, juga dari proposisiproposisi tersebut hubungan antara beberapa hal dirumuskan. Teori deskriptif
terdiri atas serangkaian rencana kegiatan atau proposisi mengenai sesuatu
kerangka masalah. Pengembangan teori deskriptif berhubungan
dengan
b. A unified theory must be judicious about the latest development in learning theory and teaching technology.
c. A unified theory has to provide for general and special education, for differences in ability and bent (Broudy, 1960, hlm. 24).
Brouner mengidentifikasi enam teori pendidikan yang berkembang di
merika Serikat pada tahun 1960-an. Keenam teori tersebut dapat dilihat pada
Bagan 2.3.
Dalam simposium di Universitas John Hopkins tahun 1961, dibahas
hvherapa makalah yang menguraikan apakah pendidikan merupakan
BAGAN 2.3 Enam teori pendidikan (menurut Brouner)
suatu disiplin ilmu atau bukan? Beberapa makalah mengakui pendidikan sebagai
disiplin ilmu, makalah lainnya menyangkalnya. Mereka yang menyangkal,
1. Konsep kurikulum
Konsep terpenting yang perlu mendapatkan penjelasan dalam teori
kurikulum adalah konsep kurikulum. Ada tiga konsep tentang kurikulum,
kurikulum sebagai substansi, sebagai sistem, dan sebagai bidang studi.
Konsep pertama, kurikulum sebagai suatu substansi, suatu kurikulum,
dipandang orang sebagai suatu rencana kegiatan belajar bagi murid-murid di
sekolah, atau sebagai suatu perangkat tujuan yang ingin dicapai. Suatu kurikulum
juga dapat menunjuk kepada suatu dokumen yang berisi rumusan tentang tujuan,
bahan ajar, kegiatan belajar-mengajar, jadwal, dan evaluasi. Suatu kurikulum juga
dapat digambarkan sebagai dokumen tertulis sebagai hasil persetujuan bersama
antara para penyusun kurikulum dan pemegang kebijaksanaan pendidikan dengan
masyarakat. Suatu kurikulum juga dapat mencakup lingkup tertentu, suatu
sekolah, suatu kabupaten, propinsi, ataupun seluruh negara.
Konsep kedua, adalah kurikulum sebagai suatu sistem, yaitu sistem
kurikulum. Sistem kurikulum merupakan bagian dari sistem persekolahan, sistem
pendidikan, bahkan sistem masyarakat. Suatu sistem kurikulum mencakup
struktur personalia, dan prosedur kerja bagaimana cara me- nyusun suatu
terbentuk
oleh
sejumah
kecakapan
pekerjaan.
Pendidikan
berupaya
bermacam-macam,
bergantung
pada
tingkatannya
maupun
jenis
bagian
di
Amerika
Serikat
(Tennessee,
Alabama,
Ida,
Virginia),
ia
fenomena-fenomena
kurikulum
Pertanyaan-pertanyaan
itu
Fungsi sistem kurikulum, (6) proses kurikulum (7) prosedur analisis structural
fungsional.
BAGAN 2.4 Skema persekolahan dari Broudy, Smith, dan Bunett.
CURRICULUM
Content
Categories of instruction
Modes of Teaching
Facts
Symbolic studies
Situational
Concept
Basic Sciences
Modes
Desriptive
Developmental studies
Operational
Principles
Testhetics studies
Modes
Students
Learnings:
Cognitive maps
Evaluational maps
Attitudes and
values systems
Associative meanings
and images
Intellectual Operations
Excecutive Operations
Assessment system:
Examinations
Tests: Essay-Objective
Teacher Judgements
Self evaluation
Self inventory"
kurikulum.
Kurikulum
merupakan
hasil
dari
sistem
structure.
6. Curriculum is the criterion for instructional evaluation.
Jack R. Frymier (1967) mengemukakan tiga unsur dasar kurikulum, yaitu
aktor, artifak, dan pelaksanaan. Aktor adalah orang-orang yang terlibat dalam
pelaksanaan kurikulum. Artifak adalah isi dan rancangan kurikulum. Pelaksanaan
adalah proses interaksi antara aktor yang melibatkan artifak. Studi kurikulum
menurut Frymier meliputi tiga langkah: perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
ditemukan dan dikembangkan para pakar, itilai-nilai adat-istiadat, perilaku, bendabenda, dan lain-lain.
Sumber lain penyusunan kurikulum adalah anak. Dalam pendidikan *Wm
pengajaran, yang belajar adalah anak. Pendidikan atau pengajaran I iiikan
memberikan sesuatu pada anak, melainkan menumbuhkan potensipolensi yang
telah ada pada anak. Anak menjadi sumber kegiatan pengajaran, ia menjadi
sumber kurikulum. Ada tiga pendekatan terhadap anak sebagai sumber kurikulum,
yaitu kebutuhan siswa, perkembangan serta minat siswa. Jadi, ada pengembangan
kurikulum bertolak dari ,hutuhan-kebutuhan siswa, tingkat-tingkat perkembangan
siswa, serta hal hal yang diminati siswa.
Beberapa pengembang kurikulum mendasarkan penentuan kurikulum
kepada pengalaman-pengalaman penyusunan kurikulum yang lalu. Pengalaman
pengembangan kurikulum yang lalu menjadi sumber penyusunan kurikulum
kemudian. Hal lain yang menjadi sumber penyusunan kurikulum adalah nilainilai. Beauchamp menegaskan bahwa nilai dapat merupakan sumber penentuan
keputusan yang dinamis. Pertanyaan pertama yang muncul dalam kurikulum yang
berdasarkan nilai adalah: Apakah yang harus diajarkan di sekolah? Ini merupakan
pertanyaan tentang nilai. Nilai-nilai apakah yang harus diberikan dalam
pelaksanaan kurikulum? Nilai-nilai apa yang digunakan sebagai kriteria
penentuan kurikulum dan pelaksanaan kurikulum.
Terakhir yang menjadi sumber penentuan kurikulum adalah kekuasaan
sosial-politik. Di Amerika Serikat pemegang kekuasaan sosial-politik yang
menentukan kebijaksanaan dalam kurikulum adalah board of education lokal yang
mewakili negara bagian. Di Indonesia, pemegang kekuasaan sosial- politik dalam
penentuan kurikulum adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang dalam
pelaksanaannya dilimpahkan kepada Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah
serta Dirjen Pendidikan Tinggi bekerja sama dengan Balitbangdikbud. Pada
pendidikan dasar dan menengah, kekuasaan penyusunan kurikulum sepenuhnya
ada pada pusat, sedangkan pada perguruan tinggi rektor diberi kekuasaan untuk
menentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam penyusunan kurikulum.
2. Desain dan Rekayasa Kurikulum
Telah diutarakan sebelumnya bahwa ada dua subteori dari teori kurikulum,
yaitu desain kurikulum (curriculum design) dan rekayasa kurikulum (curriculum
engineering).
Desain kurikulum merupakan suatu pengorganisasian tujuan, isi, serta
proses belajar yang akan diikuti siswa pada berbagai tahap perkembangan
pendidikan. Dalam desain kurikulum akan tergambar unsur-unsur dari kurikulum,
hubungan
antara
satu
unsur
dengan
unsur
lainnya,
prinsipprinsip
penyemprunaan-penyempurnaan
berdasarkan
masukan
dari
teori
pendidikan
yang
mendasarinya.
Teori
pendidikan
oleh
perkembangan
masyarakat
yang
dilatarbelakangi
oleh
sebagai
akibat
perkembangan
teknologi.
Karena
pengaruh
BAB 3
LANDASAN FILOSOFIS DAN PSIKOLOGIS
PENGEMBANGAN KURIKULUM
Pendidikan mempunyai peranan sangat penting dalam keseluruhan aspek
kehidupan manusia. Hal itu disebabkan pendidikan berpengaruh langsung
terhadap perkembangan manusia, perkembangan seluruh aspek kepribadian
manusia. Kalau bidang-bidang lain seperti ekonomi, pertanian, arsitektur, dan
sebagainya berperan menciptakan sarana dan prasarana bagi kepentingan manusia,
pendidikan berkaitan langsung dengan pembentukan manusia. Pendidikan
"menentukan" model manusia yang akan dihasilkannya.
Kurikulum sebagai rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang
cukup sentral dalam seluruh kegiatan pendidikan, menentukan proses pelaksanaan
dan basil pendidikan. Mengingat pentingnya peranan kurikulum di dalam
pendidikan dan dalam perkembangan kehidupan manusia, penyusunan kurikulum
tidak dapat dikerjakan sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan
landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan atas hasil-hasil pemikiran dan
penelitian yang mendalam. Kalau landasan pembuatan sebuah gedung tidak kokoh
yang akan ambruk adalah gedung tersebut, tetapi kalau landasan pendidikan,
khususnya kurikulum yang lemah, yang akan "ambruk" adalah manusianya.
analitik, berusaha menguraikan keTeluruhan dalam bagian- bagian yang kecil dan
lebih kecil. Filsafat berupaya merangkum atau mengintegrasikan bagian-bagian ke
dalam satu'kesatuan yang menyeluruh dan bermakna. Ilmu berkenaan dengan
fakta-fakta sebagaimana adanya (Das Sem), berusaha melihat segala sesuatu
spcara objektif, menghilangkan hal-hal yang bersifat subjektif. Filsafat melihat
segala sesuatu dari sudut bagaimana seharusnya (Das So/len), faktor-faktor
subjektif dalam filsafat sangat berpengaruh. Filsafat dan ilmu mempunyai
hubungan yang saling mengisi dan melengkapi (komplementer). Filsafat
memberikan landasan- landasan dasar bagi ilmu. Keduanya dapat memberikan
bahan-bahan bagi manusia untuk membantu memecahkan berbagai masalah
dalam kehidupannya.
Ada tiga cabang besar filsafat, yaitti metafisika yang membahas segala
yang ada dalam alam ini, epistemologi yang membahas kebenaran dan aksiologi
yang membahas nilai. Aliran-aliran filsafat yang kita kenal bertolak dari
pandangan yang berbeda dalam ketiga hal itu.
Filsafat membahas segala permasalahan yang dihadapi oleh manusia
termasuk masalah-masalah pendidikan ini yang disebut filsafat pen- didikan.
Walaupun dilihat sepintas, filsafat pendidikan ini hanya merupakan aplikasi dari
pemikiran-pemikiran filosofis untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan,
tetapi antara keduanya yaitu antara filsafat dan filsafat pendidikan terdapat
hubungan yang sangat erat. Menurut Donald Butler, filsafat memberikan arah dan
metodologi
terhadap
praktik
pendidikan,
sedangkan
praktik
pendidikan
Dewey menganggap bahwa rohani itu adalah interelasi yang kreatif antara
organisme dengan lingkungannya, dengan waktu dan tempat.
Pengalaman selain merupakan sumber dari pengetahuan, juga sumber
nilai. Karena pengalaman selalu berubah maka nilai pun berubah. Nilai-nilai
adalah relatif, subjektif, dan hanya dirasakan oleh manusia. Sesuatu itu bernilai
karena diberi nilai oleh manusia, sesuatu dibutuhkan karena manusia
membutuhkannya, selalu dalam hubungannya dengan pengalaman. Nilai-nilai itu
tidak dapat diukur dan tidak ada hierarki nilai.
All values are thus subjective and either intrinsic or instrumental .... Values being
finally intrinsic, and feeling, it is held, being immeasurable, no scale of values,
and of any two things felt as intrinsically valuable it is than another. To be felt as
worthwhile in itself is thus the ultimate orientation of value. (Dewey dalam Joe
Park, (Ed). 1958, hlm. 185).
Tujuan perkembangan manusia adalah self realization. Pengertian self
hagi Dewey adalah sesuatu yang konkret bersifat empiris tidak dapat dipisahkan
dari pengalaman dan lingkungan. Self realization hanya dapat diperoleh melalui
pengalaman dan interaksi dengan yang lain.
2. Teori pendidikan Dewey
Apakah pendidikan menurut John Dewey? Pendidikan berarti perkembangan, perkembangan sejak lahir hingga menjelang kematian. Jadi, pendidikan
itu juga berarti sebagai kehidupan. Bagi Dewey, Education is Ntowlh,
development, life. Ini berarti bahwa proses pendidikan itu tidak niempunyai
tujuan di luar dirinya, tetapi terdapat dalam pendidikan itu Itendiri. Proses
pendidikan juga bersifat kontinu, merupakan reorganisasi, teknnstruksi, dan
pengubahan pengalaman hidup. Jadi, pendidikan itu mei npakan organisasi
pengalaman hidup, pembentukan kembali hidup, dan juga perubahan pengalaman
hidup sendiri merupakan organisasi pengalaman hidup, pembentukan kembali
pengalaman hidup, dan juga perubahan pengalaman hidup sendiri.
Pendidikan merupakan reorganisasi dan rekonstruksi yang konstan dari
pengalaman. Pada setiap saat ada tujuan, perbuatan pendidikan selalu ditujukan
untuk mencapai tujuan. Setiap fase perkembangan kehidupan, masa kanak-kanak,
masa pemuda, dan dewasa, semuanya merupakan fase pendidikan, semua yang
dipelajari pada fase-fase tersebut mempunyai arti sebagai pengalaman;Pendidikan
itu tidak berakhir, kecuali kalau seseorang sudah mati.
Pengalaman sebagai suatu proses yang aktif membutuhkan waktu, waktu
yang kemudian menyempurnakan waktu sebelumnya. Seluruh proses pendidikan
itu membentuk pengertian-pengertian tentang benda, hubungan-hubungan, dan
segala sesuatu tentang kehidupannya. Konstruksi pengalaman ini tidak hanya
bersifat pribadi (individual), tetapi juga bersifat sosial. Pendidikan merupakan
suatu lembaga yang konstruktif untuk memperbaiki masyarakat. Realisasi
pendidikan dalam bentuk perkembangan bukan hanya perkembangan anak dan
pemuda-pemuda, melainkan juga perkembangan masyarakat.
Tujuan pendidikan diarahkan untuk mencapai suatu kehidupan yang
demokratis. Demokratis bukan dalam arti politik, melainkan sebagai cara hidup
bersama sebagai way of life, pengalaman bersama dan komunikasi bersama.
Tujuan pendidikan merupakan usaha agar individu melanjutkan pendidikannya.
Tujuan pendidikan terletak pada proses pendidikan itu sendiri, yakni kemampuan
dan keharusan individu meneruskan perkembangannya. John Dewey menegaskan
bahwa pendidikan itu tidak mernpunyai tujuan, hanya orang tua, guru, dan
masyarakat yang mempunyai tujuan. And it is well to remind ourselves that
education as such has no aims. Only persons, parents, and teacher etc., have aims,
not an abstarct idea like education. (John Dewey, 1964, hlm. 177).
Untuk mengetahui bagaimanakah proses belajarterjadi pada anak, baiklah
kita lihat bagaimana syarat-syarat untuk pertumbuhan. Pendidikan sama dengan
pertumbuhan. Syarat pertumbuhan adalah adanya kebelumdewasaan (immaturity),
yang berarti kemampuan untuk berkembang. Immaturity tidak berarti negatif,
tetapi positif, kemampuan, kecakapan, dan kekuatan untuk tumbuh. lni
menunjukkan bahwa anak adalah hidup, ia memiliki semangat untuk berbuat.
Pertumbuhan bukan sesuatu yang harus kita berikan, pertumbuhan adalah sesuatu
yang harus mereka lakukan sendiri.
Ada dua sifat dari immaturity yakni kebergantungan dan plastisitas.
Kebergantungan berarti kemampuan untuk menyatakan hubungan sosial, dan ini
akan menyebabkan individu itu matang dalam hubungan sosial. Sebagai hasilnya,
belajar dalam pendekatan pendidikan proyek dari John Dewey, yang sampai
dengan tahun 50-an sangat populer. Belajar seperti halnya pendidikan adalah
proses pertumbuhan, belajar, dan berpikir adalah satu.
Dalam
penyusunan
bahan
ajaran
menurut
Dewey
hendaknya
sekolah. Demikian pula, para siswa tidak mungkin dapat memahami seluruh
masyarakat yang sangat kompleks itu. Itulah sebabnya sekolah merupakan
masyarakat atau lingkungan hidup manusia yang disederhanakan.
2. Membentuk masyarakat yang akan datang yang lebih baik. Para siswa tidak
belajar dari masa lampau, tetapi belajar dari masa sekarang untuk
memperbaiki masa yang akan datang.
3. Mencari keseimbangan dari bermacam-macam unsur yang ada di dalam
lingkungan. Sekolah mernberi kesempatan kepada setiap individu/siswa
untuk memperluas lingkungan hidupnya.
Sekolah sebagai lingkungan yang khusus hendaknya memberikan
pengarahan sosial, dengan cara mendorong kegiatan-kegiatan yang bersifat
intrinsik, dalam suatu arah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, melalui
imitasi, persaingan sehat, kerja sama, dan memperkuat kontrol.
Dalam sekolah progresif, yaitu sekolah-sekolah yang menerapkan sistem
Pendidikan Progresif dari John Dewey, sumber dari kontrol sosial terletak pada
sifat kegiatannya yang berisikan kerja sama sosial. Di dalam kerja sama sosial ini,
setiap siswa mempunyai kesempatan untuk memberikan sumbangan dan untuk
memikul tanggung jawab. Sekolah dan kelas diciptakan sebagai suatu organisasi
sosial. Di dalam organisasi sosial itu setiap siswa mempunyai kesempatan untuk
memberikan sumbangan, melakukan kegiatan-kegiatan, berpartisipasi, semuanya
itu merupakan control social.
Di dalam kontrol sosial ini tidak ada peraturan umum, sebab kontrol
sosial tidak datang dari luar, tetapi timbul dari kegiatannya sendiri. Tugas guru
adalah memberikan bimbingan dan mengusahakan kerja sama secara individual.
Para siswa dibagi dalam kelompok-kelompok, dan bekerja dalam kelompok,
bahkan guru termasuk sebagai anggota kelompok. Tentu saja sebagai orang
dewasa, is mempunyai tanggung jawab yang khusus, yaitu memelihara interaksi
dan komunikasi, mendorong kelompok untuk melakukan kegiatan-kegiatan
seperti dalam kehidupan masyarakat. Guru bukan atasan, penguasa, apalagi
diktator, melainkan sebagai pemimpin dalam kegiatan kelompok.
B. Landasan Psikologis
perlu
disesuaikan
dengan
pola-poly
perkembangan
anak.
pengamatan
dan
pengkajian
perkembangan
sepanjang
masa
perkembangan, dari saat lahir sampai dengan dewasa, seperti yang pernah
dilakukan oleh Williard C. Olson. Metode cross sectional pernah -dilakukan oleh
Arnold Gessel. Ia mempelajari beribu-ribu,. anak clan berbagai tingkatan usia,
mencatat ciri-ciri fisik dan mental, pola-pola perkembangan dan kemampuan,
serta perilaku mereka dilakukan oleh Sigmund Freud beserta para pengikutnya.
Studi ini banyak diaralikan mempelajari perkembangan anak pada masa- masa
Perkembangan
anak
adalah
perkembangan
seluruh
aspek
lebih
cepat
perkembangannya pada tahap tertentu, tetapi lambat pada tahap lainnya, atau
perkembangan aspek tertentu lebih cepat dibandingkan dengan aspek lainrtya.
Para ahli Psikologi Perkem- bangan tidak selalu mempunyai pendapat yang sama
tentang perkem- bangan, baik secara menyeluruh maupun per aspek
perkembangan. Hal itu didasari oleh perbedaan asumsi yang menjadi titik
tolaknya, atau perbedaan pendekatan yang mereka pakai, populasi yang
digunakan, atau aspek perkembangan yang menjadi fokus. Adanya perbedaan-
perbedaan tersebut sering menimbulkan kebingungan pada para guru, tetapi justru
akan memperluas dan memperkaya pengetahuan para pemakai teori-teori
perkembangan anak.
b. Teori perkembangan
Dikenal ada tiga teori atau pendekatan tentang perkembangan individu,
yaitu pendekatan pentahapan (stage approach), pendekatan diferensial (differential approach), dan pendekatan ipsatif (ipsative approach). Menurut
pendekatan pentahapan, perkembangan individu berjalan melalui tahaptahap
perkembangan. Setiap tahap perkembangan mempunyai karakteristik tertentu
yang berbeda dengan tahap yang lainnya. Pendekatan diferensial melihat bahwa
individu memiliki persamaan dan perbedaan. Atas dasar persamaan dan perbedaan
tersebut individu dikategorikan atas kelompok-kelompok yang berbeda. Kita
mengenal ada kelompok individu berdasarkan jenis kelamin, ras, agama, status
sosial-ekonomi, dan sebagainya. Pengelompokan individu adakalanya juga
didasarkan atas kesamaan karakteristiknya. Berkenaan dengan hal itu dikenal
pengelompokan yang bersifat bipolar, seperti:
Introvert-- ekstravert
Dominan-- submisif
agresif --pasif
aktivitas tinggi-- aktivitas rendah
kholerik melanholik
Kedua pendekatan tersebut berusaha untuk menarik atau membuat
generalisasi yang berlaku untuk semua individu. Apakah dalam kenyataannya
demikian? Dalam kenyataan seringkali ditemukan adanya sifatsifat individual,
yang hanya dimiliki oleh seorang individu dan tidak dimiliki oleh yang lainnya.
Pendekatan yang berusaha melihat karakteristik individu-individu inilah yang
dikelompokkan sebagai pendekatan isaptif.
Dari tiga pendekatan itu yang banyak dianut oleh para ahli Psikologi
Perkembangan adalah pendekatan pentahapan. Pendekatan ini lebih disenangi
masa ini kemampuan anak terbatas pada gerak-gerak refleks, bahasa awal, waktu
sekarang, dan ruang yang dekat saja. Masa praoperasional atau prakonseptual
disebut juga masa intuitif dengan kemampuan menerima perangsang yang
terbatas. Anak mulai berkembang kemampuan bahasanya, pemikirannya masih
statis dan belum dapat berpikir abstrak, persepsi waktu dan tempat masih terbatas.
Masa konkret operasional disebut juga masa performing operation. Pada tahap ini
anak sudah mampu menyelesaikan tugas-tugas menggabungkan, memisahkan,
menyusun, menderetkan, melipat, dan membagi. Masa formal operasional disebut
juga masa proportional thinking, pada masa ini anak sudah mampu berpikir
tingkat tinggi. Mereka sudah mampu berpikir secara deduktif, induktif,
menganalisis, menyintesis, mampu berpikir abstrak dan berpikir reflektif, serta
memecahkan berbagai masalah.
Lawrence Kohlberg mengembangkan suatu teori tentang perkembangan
moral kognitif dengan mengacu kepada teori Piaget. Berdasarkan atas hasil-hasil
penelitiannya yang cukup lama, Kohlberg menemukan ada tiga tahap
perkembangan moral kognitif. Masing-masing tahap terdiri atas dua tingkatan
sehingga seluruhnya meliputi enam tingkatan, yaitu:
Tahap I Preconventional moral reasoning
Tingkat 1. Obedience and punishment orientations
Tingkat 2. Naively egoistic orientation
Tahap II Conventional moral reasoning
Tingkat 3. Good boy orientation
Tingkat 4. Authority and social order maintenance orientation
Tahap III Postconventional moral reasoning
Tingkat 5. Contractual legalistic orientation
Tingkat 6. Conscience or principle orientation
Pada tahap prakonvensional, pertimbangan moral seseorang mengacu ke
luar, kepada objek-objek dan peristiwa yang konkret dan bersifat fisik. Mereka
belum mampu memberi pertimbangan moral atas standar sosial. Tingkat
keputusan dan hukuman (obedience and punishment orientation) diwarnai oleh
kecenderungan berbuat baik atau tidak berbuat salah karena takut akan hukuman.
Acuan perbuatan adalah kekuasaan dan kekuatan. Mereka patuh karena takut
dihukum, segala perbuatannya dikontrol oleh kekuatan-kekuasaan yang datang
dari luar. Tingkat kebaikan sebagai alat (naively egoitistic orientation) suatu
perbuatan dipandang baik apabila menguntungkan atau memberi kesenangan
kepada dirinya atau orang-orang yang dekat dengan dirinya.
Tahap kedua adalah pertimbangan moral konvensional. Pada tahap ini
perilaku dinilai atas harapan orang lain atau orang banyak. Suatu perbuatan
dipandang baik apabila sesuai dengan harapan orang banyak atau masyarakat.
Tahap ini meliputi dua tingkat, yaitu tingkat sebagai anak baik dan tingkat
memelihara ketertiban dan peraturan masyarakat. Tingkat anak/orang baik,
perilaku baik, atau jahat dilihat dari penilaian orang lain. Kalau seseorang berbuat
untuk kepentingan orang lain atau orang banyak, dinilai sebagai perbuatan baik.
Tingkat keempat memelihara ketertiban dan peraturan masyarakat, suatu
perbuatan dipandang baik bila perbuatan lersebut sesuai dengan ketentuan atau
peraturan yang ada dalam masyarakat, atau sejalan dengan tuntutan dan kebiasaan
masyarakat.
Tahap ketiga, pertimbangan moral pascakonvensi. Pada tahap ini
pertimbangan moral didasarkan atas pandangan yang bersifat relatif, unsur-unsur
subjektif dari aturan sosial. Pranata dan aturan-aturan sosial bukan sesuatu yang
absolut, bukan satu-satunya yang benar, tetapi juga ada kebenaran-kebenaran lain.
Tahap pascakonvensi mempunyai dua Inigkatan, yaitu tingkat pertimbangan
legalistik kontraktual, dan tingkat pertimbangan kata hati. Pada tingkat legalistik
kontraktual, pertimbangan perbuatan baik atau jahat didasarkan atas persetujuan
tidak tertulis antara pribadi dan masyarakat. Seseorang tidak mencuri karena
perbuatan mencuri akan merugikan orang lain. Pada tingkat pertimbangan kata
hati, baik tidak baik didasarkan atas nilai-nilai yang bersifat universal, prinsipprinsip yang mendasar.
Seseorang menghargai orang lain betul-betul sebagai manusia, tanpa
mehhat atribut-atribut yang disandangnya, apakah karena gelar, pangkat, status
ilmu, ekonomi, sosial, dan sebagainya. Seseorang berbuat baik karena dia yakin
bahwa perbuatan tersebut baik.
Erick Homburger Erikson merupakan salah seorang tokoh psiko- analisis
pengikut Sigmund Freud. Ia memusatkan studinya terhadap perkembangan
psikososial. Ada delapan tahap perkembangan psikososial menurut Erikson, dan
2. Psikologi belajar
Psikologi belajar merupakan suatu studi tentang bagaimana individu
belajar. Banyak sekali definisi tentang belajar. Secara sederhana, belajar dapat
diartikan sebagai perubahan tingkah laku yang terjadi melalui pengalaman. Segala
perubahan tingkah laku balk yang berbentuk kognitif, afektif, maupun psikomotor
dan terjadi karena proses pengalaman dapat dikategorikan sebagai perilaku
belajar. Peruhahan-perubahan perilaku yang terjadi karena instink atau karena
kematangan serta pengaruh hal-hal yang bersifat kimiawi tidak termasuk belajar.
Menurut Gagne (1965, hlm. 5) perubahan tersebut berkenaan dengan disposisi
atau kapabilitas individu, "Learning is a change in human disposition or
capability, which can be retained, and which is not simply ascribable to the process of growth. Hilgard dan Bower menambahkan bahwa peruhahan itu terjadi
Teori naturalisme atau natural unfoldment atau self actualization. Teori ini
berpangkal dari Psikologi Naturalisme Romantik dengan tokoh utamanya Jean
Jacques Rousseau. Sama dengan kedua teori sebelumnya bahwa anak mempunyai
sejumlah potensi atau kemampuan. Kelebihan dari teori ini adalah mereka
berasumsi bahwa individu bukan saja mempunyai potensi atau kemampuan untuk
berbuat atau melakukan berbagai tugas, tetapi juga memiliki kemauan dan
kemampuan untuk belajar dan berkembang sendiri. Agar anak dapat berkembang
dan mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya pendidik atau guru perlu
menciptakan situasi yang permisif yang jelas. Melalui situasi demikian, ia dapat
belajar sendiri dan mencapai perkembangan secara optimal.
Teori belajar yang keempat adalah teori apersepsi, disebut juga
Herbartisme, bersumber pada Psikologi Strukturalisme dengan tokoh utamanya
Herbart. Menurut aliran ini belajar adalah membentuk massa apersepsi. Anak
mempunyai kemampuan untuk mempelajari sesuatu. Hasil dari suatu perbuatan
belajar disimpan dan membentuk suatu massa apersepsi, dan massa apersepsi ini
digunakan untuk mempelajari atau menguasai pengetahuan selanjutnya. Demikian
seterusnya semakin tinggi perkembangan anak, semakin tinggi pula massa
apersepsinya.
Rumpun atau kelompok teori belajar yang kedua adalah Behaviorisme
yang biasa juga disebut S-R Stimulus-Respons. Kelompok ini mencakup tiga teori
yaitu S-R Bond, Conditioning, dan Reinforcement. Kelompok teori ini berangkat
dari asumsi bahwa anak atau individu tidak memiliki/ membawa potensi apa-apa
dari kelahirannya. Perkembangan anak ditentukan oleh faktor-faktor yang berasal
dari lingkungan. Lingkunganlah, apakah lingkungan keluarga, sekolah, atau
masyarakat; lingkungan manusia, alam, budaya, religi yang membentuknya.
Kelompok teori ini tidak mengakui sesuatu yang bersifat mental. Perkembangan
anak menyangkut nyata yang dapat dilihat, diamati.
Teori S-R Bond (Stimulus-Responce) bersumber dari Psikologi Koneksionisme atau teori asosiasi dan merupakan teori pertama dari rumpun Behaviorisme.
Menurut konsep mereka, kehidupan ini tunduk kepada hukum stimulus-respons
atau aksi-reaksi. Setangkai bunga dapat merupakan suatu stimulus dan direspons
oleh mata dengan cara meliriknya. Kesan indah yang diterima individu dapat
pengetahuan
dan
pengenalannya
serta
berbuat
terhadap
Hodgkin, R.A. (1976). Bom Curious, New Perspectives in Educational Psychology. New York, London: John Wiley & Sons.
Yang dibahas dalam tulisan ini adalah suatu pendekatan dari exploration
theory, yang bertolak dari pandangan bahwa siswa atau anak adalah aktif dan suka
bertanya. Pendekatan ini menolak pandangan pendidikan bahwa anak pasif dan
statis. Teori pendidikan menurut pengarang tersumbat dalam tiga disiplin ilmu:
filsafat, sosiologi, dan psikologi. Tiga hal tersebut harus disatukan dan
kombinasikan menjadi satu. Buku ini berusaha untuk menyatukan ketiganya.
Problem dalam pengetahuan inanusia selalu ingin tahu, tetapi teori bersifat statis.
Menurut penulis, ada heberapa komponen dari suatu teori yaitu: play, toys, tools,
skill, dan simbol. Play merupakan fenomena kehidupan yang sering ditafsirkan
sebagai 1,etiadaan daripada keberadaan. Toys merupakan bagian dari kebudayaan
ang tetap berada pada taraf play. Play berkembang menjadi skill dan toys
I,vrkembang menjadi tools, melalui penggunaan simbol yang konkret dapat
iliabstraksi. Ada 4 model yang dapat melancarkan kegiatan belajar, yaitu:
interpersonal, enactive, iconic, dan semiotic.
Klausmeyer , Herbert J. (1980). Learning and Teaching Concept, a Strategy for
Testing Applications of Theory. New York: Academic Press.
Buku ini membahas teori belajar dan perkembangan kognitif, serta
bagaimana menyusun suatu model pengajaran yang disesuaikan dengan
livrkembangan dan perbedaan individual siswa. Pada bagian pertama hiiku ini
diuraikan teori belajar dan perkembangan konsep, meliputi iiuktur kognitif, proses
kegiatan mental dalam belajar konsep, transfer thin perluasan konsep, serta
motivasi dalam perkembangan belajar konsep. lingian selanjutnya menguraikan
penyusunan model pengajaran yang atas perbedaan individual, yang meliputi
analisis isi, analisis prilaku, analisis pengajaran, penyusunan pengajaran dan tes.
Pada bagian akhir diuraikan cara-cara pelaksanaan dan pengelolaannya.
BAB 4
LANDASAN SOSIAL-BUDAYA, PERKEMBANGAN ILMU DAN
TEKNOLOGI DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM
masyarakat
tempat
pendidikan
itu
berlangsung.
Kehidupan
kepercayaan,
kesenian,
hukum,
moral,
adat-istiadat,
serta
perpecahan keluarga (brooken home). Perpecahan keluarga ada dua macam, pecah
secara struktur yaitu cerai antara suami dan istri, atau pecah secara lungsi tidak
bercerai tetapi masing-masing pihak tidak melaksanakan lungsi yang semestinya.
Rumah hanya berfungsi sebagai tempat parkir .1tau lebih parah sebagai tempat
bertengkar.
Masalah ketiga berkenaan dengan situasi pekerjaan. Pekerjaan atau karier
bukan tempat beristirahat, tetapi tempat berkarya, berkreasi, berprestasi, dan
berkompetisi. Situasi demikian menuntut sikap, penampilan, pemikiran, dan unjuk
kerja yang optimal. Kalau karyawati itu belum berkeluarga atau melepaskan din i
dari tugas-tugas rumah tangga, mungkin tuntutan pekerjaan tersebut dapat
dipenuhi secara optimal. Bila tidak maka hambatan karier yang akan terjadi.
Situasi ini dapat menimbulkan konflik berkepanjangan. Masalah tersebut akan
bertambah lagi apabila terjadi situasi-situasi yang tidak sehat atau menyimpang.
Bagaimanapun dalam situasi kerja akan terjadi konkurensi, tidak semua pria
menerima kedudukan di bawah wanita, apalagi bila latar belakang pendidikan dan
kemampuan terasa sama. Dalam lingkungan kerja yang ada wanita dan pria, bisa
saja terjadi hal-hal yang tidak diharapkan, mulai dari pelecehan sampai dengan
skandal. Hal ini tentu menimbulkan masalah, baik bagi wanita yang bersangkutan,
keluarga, maupun unit kerja.
3. Perubahan kehidupan keluarga
Perkembangan
kehidupan
keluarga
sejalan
dengan
perkembangan
masyarakat. Pola kerja masyarakat modern (industri) menuntut waktu kerja yang
tidak teratur, melebihi waktu biasa. Dalam masyarakat modern, orang tidak lagi
bekerja dari pukul 7.00 sampai pukul 14.00. Walaupun ketentuan sampai pukul
16.00, kenyataannya jam kerja kadang-kadang sampai pukul 22.00 bahkan lebih.
Bekerja bukan lagi dari Senin sampai Jumat dan pulang tiap hari, melainkan dari
Senin sampai Minggu dan pulang seminggu sekali, bahkan beberapa minggu tidak
pulang. Hal seperti itu mungkin hanya dialami oleh para bapak/suami, tetapi
mungkin juga dialami oleh para ibu/istri, bahkan oleh kedua-duanya.
Dalam keluarga, anak juga mempunyai masalah sendiri. Anak-anak yang
belum bersekolah tinggal di rumah bersama pembantu. Mereka lebih banyak
hidup dan bergaul dengan pembantu daripada dengan orang tuanya. Anak yang
bersekolah sebagian waktunya digunakan di sekolah, tetapi sebagian besar
digunakan di rumah atau di luar rumah dengan teman-temannya. Kesempatan
anak remaja di rumah lebih sedikit, umumnya berada di luar rumah untuk
menyelesaikan tugas sekolah atau bergaul dengan teman.\
Banyaknya waktu yang digunakan untuk bekerja akan seimbang dengan
penghasilan yang diperoleh. Apalagi bila suami dan istri bekerja, penghasilan
mereka jauh lebih banyak. Penghasilan tinggi akan meningkatkan kemampuan
ekonomi dan kesejahteraan keluarga. Fasilitas keluarga lebih lengkap dan lebih
baik, semua kebutuhan hidup terpenuhi, bahkan bisa menabung dan berlibur ke
luar kota secara berkala.
Di samping memperoleh nilai lebih dari pola kerja pada masyarakat
modern, beberapa masalah juga dihadapi dalam kehidupan keluarga. Kesibukan
kerja/karier
dalam
batas-batas
wajar
memungkinkan
anggota
keluarga
pelaksanaan
fungsi-fungsi
keluarga.
Bapak
tidak
lagi
melaksanakan tugas sebagai kepala keluarga, demikian juga ibu dan anak.
Hubungan harmonis antara suami dan istri, komunikasi pedagogis antara orang
tua dan anak bisa sangat terbatas, bahkan mungkin hilang. Karena sangat sibuknya
setiap anggota keluarga, bisa terjadi rumah hanya berfungsi sebagai tempat parkin
Dalam situasi demikian, berbagai masalah keluarga bisa timbul.
C. Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Sejak abad pertengahan ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat.
Masa setelah abad pertengahan sering disebut zaman modern. Perkembangan ilmu
pengetahuan pada masa ini banyak didasari oleh penemuan dan basil pemikiran
para filsuf purba, seperti Thales, Phythagoras, Leucipos, Demokritos, Socrates,
Plato, Aristoteles, Euclid, Archimides, Aristarhus yang hidup sebelum Masehi,
sampai kepada A1-Khawarizmi yang hidup pada abad ke-9. Perkembangan ilmu
pengetahuan modern tidak dapat dilepaskan dari peranan ilmuwan Muslim, seperti
dikemukakan Briffault dalam Making of Humanity (dalam C.A. Qodir, 1995 : 2).
matahari. Teori Copernicus ini bukan hanya menyangkal teori geocentrisme, juga
membalikkan prinsip hornocentrisme dari ajaran agama. Homocentrisme
merupakan padangan yang me- nganggap bahwa matahari, bulan, dan bintangbintang berputar mengelilingi manusia sebagai tanda kasih Tuhan. Semua itu
disediakan untuk manusia. Teori Copernicus ini mendapatkan banyak tantangan
dari golongan gereja.
Tycho Brache (1546-1601), Johannes Keppler (1571-1630), dan Galileo
(1546-1642) adalah para ahli astronomi. Mereka banyak dipengaruhi gagasan
Copernicus dan melanjutkan gagasan itu. Tycho Brache dalam me- ngamati
jalannya bintang-bin tang menggunakan teropong yang besar- besar. la juga
membangun observatorium yang dilengkapi alat, perpustakaan, serta pendukung
lainnya. Usaha Tycho Brache itu diteruskan oleh Keppler.
Dari dua sarjana tersebut banyak temuan baru tentang orbit planet. Galileo
menemukan planet, hukum pergerakan, serta tata bulan planet Jupiter. Ia juga
berhasil membuat teropong bintang yang lebih sempurna. Selain ahli astronomi,
Galileo juga mendalami fisika. Ia banyak mempelajari tentang pergerakan.
Temuannya tentang lintasan lengkung diterapkan dalam menentukan lintasan
peluru. Dengan demikian, teori lintasan tersebut menjadi bagian ilmu peperangan.
Galileo juga banyak mengadakan pengamatan langsung.
Fermat (1601-1665) dan Pascal (16234662) adalah ahli matematika dan
fisika. Fermat mengembangkan teori Aljabar mengenai bilangan-bilangan, kini
terkenal dengan perhitungan diferensial integral (kalkulus). Fermat dan Pascal
mengembangkan dasar-dasar statistika (teori kemungkinan).
Newton (1643-1727) adalah seorang pujangga besar, ahli matematika,
astronomi, dan fisika. Newton banyak menyumbangkan ilmunya bagi perkembangan ilmu pengetahuan yang hingga sekarang banyak digunakan.
Sumbangan terbesarnya adalah teori gravitasi, perhitungan kalkulus (diferensial
integral), serta teori cahaya atau optika.
Lavoisier (1743-1794) adalah ahli fisika, yang mendasari ilmu kimia.
Lavoisier berbeda dengan para ahli lainnya, ia melakukan percobaan dengan cara
kuantitatif. Percobaan-percobaan Lavoisier mendasari perkembangan kimia
analitik dan kimia organik.
karena manusia berakal. Dengan akalnya itu ia ingin hidup lebih baik, lebih
mudah, lebih aman, lebih sejahtera.
Penemuan teknologi pertama yang cukup penting adalah teknologi api.
Dengan teknologi ini manusia mendapatkan penerangan pada malam hari, bisa
menghangatkan badan, dan mengolah berbagai bahan makanan. Ilerkat api,
makanan menjadi lebih lunak, lebih lezat, dan lebih sehat. Ienemuan teknologi api
mendasari pengembangan teknologi lain pada masa-masa berikutnya, umpamanya
teknologi penerangan, teknologi pemadam kebakaran, teknologi pembuangan
asap, dan yang paling penting dan banyak mendasari pengembangan teknologi
lebih lanjut adalah teknologi logam. Dengan teknologi api, bijih timah, besi,
mangan, lembaga, perak, mas, dan lain-lain, dapat diolah menjadi batangan
kemudian diolah lebih lanjut menjadi berbagai alat kebutuhan manusia.
pengembangan suatu teknologi sering berdampak negatif, karena itu perlu Iemuan
teknologi lain untuk mengatasinya, seperti teknologi untuk mengatasi kebakaran,
mengurangi polusi, dan sebagainya.
Teknologi penting lain yang ditemukan selanjutnya adalah teknologi
pertanian. Dengan teknologi ini, manusia membudidayakan bermacam- macam
tanaman dan binatang yang sebelumnya tumbuh liar di alam bebas. Teknologi ini
memberikan kesejahteraan kepada manusia karena hasil pertanian lebih banyak
dan mudah didapat. Teknologi budidaya ini mampu mengubah pola hidup
berpindah-pindah menjadi menetap. Karena manusia hidup menetap, mereka
berkumpul, kemudian berkembang tambah banyak, maka terbentuklah masyarakat
dengan berbagai aturan dan sistem kehidupan sosial.
Perkembangan teknologi lain yang sangat penting dan banyak membawa
perkembangan pada teknologi lain adalah teknologi industri. Mulanya teknologi
ini berkembang secara individual dalam lingkungan kecil dan bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan sendiri, kemudian berkembang menjadi kongsi ditujukan
untuk memenuhi lingkungan yang makin meluas sampai bersekala ekspor.
Penemuan-penemuan di bidang ilmu pengetahuan mempercepat pertumbuhan
teknologi industri.
Perkembangan yang begitu cepat pada beberapa dekade terakhir adalah
perkembangan teknologi transportasi, teknologi komunikasi dan informatika, serta
hasil van); dieapainya luar biasa. Dengan kemajuan teknologi angkasa luar ini,
manusia berhasil meneliti planet- planet yang paling jauh bukan dengan renungan
atau spekulasi atau peneropongan, melainkan dengan pesawatpesawat yang
berawak manusia. Penerbangan angkasa luar bukan hanya ditujukan untuk
meneliti planet-planet luar, juga digunakan untuk meneliti dan membuat beberapa
peralatan bagi kepentingan bumi. Melalui penggunaan berbagai satelit, diadakan
berbagai pengamatan dan penelitiaan tentang bumi. Umpamanya pengamatan dan
penelitian daerahdaerah yang mengandung minyak atau bahan-bahan mineral,
masalah arus laut, cuaca, dan iklim. Satelit merupakan sarana komunikasi massa,
telekomunikasi, dan internet.
Temuan-temuan di bidang fisika, kimia, dan matematika mengembangkan
teknologi ruang angkasa dan kemiliteran. Perkembangan teknologi di bidang
kemiliteran bukan hanya menghasilkan teknologi senjatasenjata biasa, juga
teknologi senjata mutakhir, peluru kendali antarbenua, misil, born hidrogen, born
nuklir, dan lain-lain, merupakan perkembangan teknologi yang banyak
menimbulkan ancaman dan kekhawatiran manusia.
Teknologi lain yang perkembangannya sangat cepat pada beberapa dekade
terakhir adalah teknologi komunikasi dan informatika. Teknologi ini berkembang
sangat pesat berkat temuan-temuan di bidang eletronika. Perkembangan radio dan
televisi telah membuka bagian-bagian dunia yang terbelakang menjadi daerah
terbuka karena arus informasi. Apa yang terjadi di suatu daerah atau negara,
dalam waktu beberapa menit, sudah dapat diketahui oleh orang-orang di bagian
dunia lainnya.
Selain kemajuan di bidang komuniksi massa, kemajuan bidang
telekomunikasi pun mengalami kemajuan yang begitu pesat. Kemajuan di bidang
telepon, faksimil, yang dikombinasikan dengan kemajuan di bidang komputer,
menghasilkan sistem komunisikasi gaya baru, internet. Dengan komunikasi
massa, kita hanya bisa memperoleh informasi yang disiarkan, artinya sangat
bergantung pada jam siar. Tetapi dengan internet, jam siar ini hilang. Orang bisa
memperoleh hampir semua informasi dari setiap negara tanpa dibatasi waktu.
Oleh karena itu, dewasa ini dunia disebut dunia global, sebab dengan perantaraan
komunikasi massa dan komunikasi batas-batas pemisah antarnegara dan antar
daerah menjadi hilang. Melalui internet, setiap saat orang bisa masuk, tanpa
permisi, ke Library of Congres Amerika Serikat, ke Gedung Putih, bahkan ke
Pentagon.
Teknologi media cetak, walaupun jangkauan dan kecepatan sebarannya
tidak seluas dan secepat komunikasi massa dan telekomunikasi, mempunyai
keunggulan sendiri. Penemuan alat-alat cetak modern, dengan kemampuan cetak
yang sangat cepat, telah menghasilkan barang cetakan, seperti buku, majalah, dan
surat
kabar, yang
bermutu
tinggi.
Barang-
barang
cetakan
ini
bisa
didokumentasikan untuk waktu yang lama, kalau bahannya cukup baik, tahan
sampai ratusan tahun. Untuk dokumentasi- dokumentasi yang menggunakan
tempat terlalu besar, sekarang ada teknologi microfilm dan microfiche untuk
mengecilkannya.
Dalam bahasan tentang perkembangan teknologi pada awal bagian ini,
banyak dikemukakan contoh-contoh perkembangan teknologi yang berbentuk
material. Sesungguhnya teknologi tidak hanya menyangkut halhal material, tetapi
juga yang immaterial, konsep, kaidah, pendekatan, sistem kerja, dan pola
hubungan.
Santoso S. Hamijoyo (1975, hlm. 2) membedakan teknologi tersebut
menjadi teknologi jenis hardware, software, dan hubungan antarorang.
1. Transformasi teknologi
Pengembangan ilmu dan teknologi tidak berarti harus mencari dan
menemukan sendiri serta harus mulai dari awal. Apabila cara itu ditempuh, akan
banyak waktu terbuang dan kita akan semakin jauh tertinggal. Cara yang lebih
tepat dan memungkinkan untuk mengejar ketinggalan adalah dengan transformasi
teknologi. Transformasi teknologi merupakan suatu proses pengalihan, penerapan,
dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara teratur (B.J. Habibie,
1983). Proses pengalihan tidak berarti mengambil dan menerapkan teknologi,
seperti keadaan aslinya di negara yang mengembangkannya, tetapi mencakup juga
penyesuaian, modifikasi, dan pengembangannya lebih lanjut.
Menurut B.J. Habibie (1983), ada lima prinsip yang menjadi pegangan
dalam transformasi teknologi (industri): 1) perlu diselenggarakan pendidikan dan
pelatihan di dalam dan luar negeri untuk menyiapkan para pelaku transformasi; 2)
perlu dikembangkan konsep yang jelas dan realistic tentang masyarakat yang akan
dibangun serta teknologi-teknologi yang diperlukan untuk mewujudkannya; 3)
teknologi hanya dapat dialihkan, diterapkan, dan dikembangkan lebih lanjut jika
benar-benar diterapkan; 4) bangsa yang ingin mengembangkan diri secara
teknologis harus berusaha sendiri memecahkan setiap masalahnya; 5) pada tahaptahap awal transformasi, setiap negara harus melindungi perkembangan
kemampuan nasionalnya, hingga saat tercapainya kemampuan bersaing secara
internasional.
Transformasi teknologi tidak bisa dilakukan secara serempak dan langsung
pada tahap akhir, disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, dan kemampuan. Ada
tiga tahap penting transformasi teknologi menurut B.J. Habibie (1983). Tahap
pertama, penggunaan teknologi yang ada digunakan untuk proses nilai tambah
produksi barang di pasaran. Teknologi produksi dan manajemen digunakan untuk
mengubah bahan baku atau barang setengah jadi menjadi barang-barang yang
bernilai jual lebih tinggi. Proses ini disebut proses nilai tambah.
Tahap kedua, tahap integrasi teknologi digunakan untuk desain dan
produksi barang baru. Pada tahap ini dikembangkan desain dan cetak biru
sehingga ada elemen baru, elemen penciptaan.
Tahap ketiga, adalah tahap pengembangan teknologi itu sendiri. Dalam
tahap ini teknologi-teknologi yang ada dikembangkan lebih lanjut, begitupun
teknologi baru. Tahap ini merupakan tahap dilaksanakannya inovasi-inovasi,
diciptakannya teknologi untuk komponen produk-produk teknologi terbaik dalam
bidang masing-masing.
Tahap keempat, adalah tahap pelaksanaan penelitian dasar secara besarbesaran. Tahap ini penting bagi negara-negara berkembang yang menghadapi
kendala keuangan, sumber daya manusia, serta sarana dan prasarana. Oleh karena
itu, banyak negara berkembang melakukan penelitian dasar melalui perjanjian
kerja sama dengan negara-negara maju di bidang ilmu dan teknologi.
Ada beberapa bidang ilmu dan teknologi yang mempunyai pengaruh yang
baik secara langsung maupun tidak langsung, terhadap kehidupan masyarakat.
Bidang-bidang tersebut adalah komunikasi, transportasi, mekanisasi industri dan
pertanian, serta persenjataan.
Komunikasi cukup berkembang pesat di Indonesia dan berpengaruh besar
terhadap kehidupan masyarakat. Dewasa ini di Indonesia terdapat sejumlah media
komunikasi massa yang perkembangannya sudah cukup maju dan dapat
menjangkau hampir seluruh pelosok tanah air. Media komunikasi massa tersebut
adalah surat kabar, majalah, radio, dan televisi. Di antara keempat media
komunikasi massa tersebut yang paling luas jangkauannya adalah radio. Dengan
adanya teknologi transistor yang diproduksi secara massal dengan harga yang
relatif murah, maka radio transistor telah dapat dimiliki oleh rakyat kecil yang
tinggal di daerah terpencil sekalipun. Urutan kedua yang juga cukup luas
jangkauannya adalah televisi. Setelah diluncurkannya SKSD Palapa, seluruh kota
di Nusantara dapat dijangkau oleh televisi. Sebagian besar ibu kota propinsi telah
mempunyai stasiun siaran TV sendiri. Tempat ketiga dan keempat diduduki oleh
surat kabar dan majalah. Surat kabar dan majalah belum dapat terserap oleh
seluruh lapisan masyarakat di seluruh pelosok tanah air. Hal itu disebabkan karena
kemampuan ekonomi serta motif membaca yang masih kurang, di samping masih
kurangnya kemampuan membaca serta adanya kendala geografis karena banyak
pulau-pulau terpencil.
Komunikasi massa terutama melalui radio dan teleyisi mempunyai peranan
dan pengaruh yang sangat besar terhadap masyarakat. Hal itu karena kedua media
tersebut bukan hanya berfungsi memberikan informasi tetapi juga memberikan
hiburan. Melalui situasi hiburan tersebut secara tidak disadari banyak informasi,
program dan kegiatan pem- bangunan, mungkin juga konsep-konsep, gagasangagasan, nilai-nilai yang terserap oleh masyarakat. Melalui media tersebut,
budaya, tradisi, kegiatan, kemajuan dart sebagainya yang telah dicapai oleh suatu
golongan masyarakat atau daerah tertentu dapat diketahui oleh masyarakat atau
daerah lain. Dengan demikian komunikasi massa dapat meningkatkan
pengetahuan masyarakat, bahkan sampai batas tertentu dapat mengubah sikap
masyarakat. Sudah tentu di samping nilai-nilai yang positif, media massa dapat
pula menimbulkan efek negatif. Tentang efek negatif acara TV beberapa ahli dan
hasil penelitian menyatakan: banyak orang yang membuang waktunya antara 4-6
jam tiap hari untuk mengikuti semua acara TV; film-film banyak yang
mempertunjukkan kejahatan, pembunuhan, perampokan, dan sebagainya, iklan
TV dapat menimbulkan penyakit the gimmees terutama pada anak (penyakit
merengek ingin dibelikan).
Perkembangan teknologi transportasi meningkatkan mutu dan kecepa tan
lalu lintas orang dan barang, mempermudah perhubungan baik lokal, antara kota,
antara pulau maupun antara negara, menyebabkan terbukanya perhubungan
dengan daerah-daerah yang asalnya terpencil. Pembukaan perhubungan tersebut
dapat memperlancar arus perdagangan dan meningkatkan mobilitas penduduk.
Kelancaran arus perdagangan berarti barang-barang hasil bumi dari desa dapat
dengan segera dikirimkan dan dijual ke kota, dan sebaliknya penduduk desa juga
dapat dengan mudah mendapatkan barang-barang hasil industri. Mobilitas
penduduk memungkinkan terjadinya akulturasi, terutama penduduk desa dengan
cara-cara dan kehidupan orang-orang kota. Mobilitas penduduk atau masyarakat
bukan hanya dari desa ke kota tetapi juga dari kota atau daerah yang satu ke kota
atau daerah yang lain atau dari pulau yang satu ke pulau yang lain. Hal itu, juga
akan
memberikan
sumbangan
dalam
pembentukan
persatuan
nasional,
usaha
tenun
bukan
mesin
dan
perusahaan
minuman
yang
pendidikan
sangat
membutuhkan
bantuan
hasil-hasil
teknologi industri tidak hanya yang bersifat hardware, tetapi juga membutuhkan
bantuan penggunaan hasil pengembangan teknologi yang bersifat software. Sudah
tentu penggunaan alat-alat hasil industri maju dalam bidang pendidikan, menuntut
pengetahuan dan kecakapan gurugurunya. Hal itu berkenaan dengan segi software
sebagai hasil pengembangan teknologi. Penggunaan alat-alat belajar yang modern
dalam pendidikan akan mempengaruhi proses belajar. Dengan menggunakan alatalat belajar yang modern anak akan lebih aktif belajar. Aktivitas belajar anak akan
bergantung pada metode belajar-mengajar yang digunakan, anak akan lebih aktif
dibandingkan dengan kalau hanya menggunakan kapur dan papan tulis saja.
Ada
segi
lain
mengenai
hubungan
antara
pendidikan
dengan
konsep-konsep,
prinsip-prinsip,
kaidah-kaidah,
cara-cara
dan
F. Buku Acuan
Percipal, Fred & Ellington, Henry. (1984). Handbook of Educational
Technology. London: Kogan Page Ltd, dan New York: Nichols Publishing Co.
Buku ini merupakan buku dasar tentang teknologi pendidikan,
menguraikan aspek-aspek utama teknologi pendidikan dan peranannya dalam
tisaha meningkatkan efisiensi dan efektivitas pendid4 Ali Pada liawan 1)1.1.taina
blikil ini ditiraikan tentang pengerarahan pendidikan, pendekatan sistem dan
sekilas sejarah teknologi pendidikan. Bagian selanjutnya menjelaskan dua
pendekatan pendidikan, yaitu yang berpusat pada guru atau institusi dan yang
berpusat pada siswa. Peranan dan perumusan tujuan sebagai pusat dan titik tolak
dalam penyusunan desain pengajaran yang didasarkan atas pendekatan sistem.
juga dikemukakan macam-macam metode mengajar, baik yang bersifat kolas,
kelompok ataupun individual. Pada bagian akhir diuraikan evaluasi hasil belajar,
media dan sumber-sumber pengajaran, serta kecenderungan perkembangan
teknologi pendidikan pada tahun 2000.
Unruh, Glenys G. and Alexander, William M. (1970). Innovations in Secondary
Education. New York: Holt, Rinerhart and Winston, Inc.
Sekolah disadari atau tidak, mempunyai andil di dalam perubahan sosial.
Perubahan sosial merupakan suatu keharusan dan sekolah tidak dapat absen dalam
proses perubahan tersebut. Agar tanggap dan dapat selalu mengikuti perubahanperubahan sosial, maka sekolah pun harus mengadakan inovasi. Inovasi itu
bermacam-macam. Yang menjadi inti pembahasan dalam buku ini adalah inovasi
dalam pendidikan di sekolah yang diarahkan pada peningkatan efektivitas
pendidikan. Secara sistematis dalam buku ini dibahas; faktor-faktor yang
mendorong inovasi bagi perkembangan pendidikan. Selanjutnya kegiatan inovasi
berkenaan dengan komponen siswa, kurikulum, organisasi, staf pengajar, sarana,
media serta bangunan. Pada bagian terakhir diuraikan proses inovasi dan
perkembangannya serta berbagai pendekatan dalam inovasi pendidikan. Buku ini
sangat bermanfaat bagi para perencana pendidikan, ahli kurikulum serta pelaksana
pendidikan terutama kepala sekolah dan guru, sebab dalam tugasnya mereka harus
selalu mengadakan inovasi.
ini
dijelaskan
bagaimana
pengaruh
pendekatan-pendekatan
dalam
BAB 5
MACAM-MACAM MODEL KONSEP KURIKULUM
subjek
akademis
bersumber
dari
pendidikan
klasik
(perenialisme dan esensialisme) yang berorientasi pada masa lalu. Semua Woo
pengetahuan dan nilai-nilai telah ditemukan oleh para pemikir masa lalu. Fungsi
pendidikan memelihara dan mewariskan hasil-hasil budaya ilia.,a lalu tersebut.
Kurikulum ini lebih mengutamakan isi pendidikan. liciajar adalah berusaha
menguasai ilmu sebanyak-banyaknya. Orang yang berhasil dalam belajar adalah
orang yang menguasai seluruh atau sebagian besar isi pendidikan yang diberikan
atau disiapkan oleh guru.
Isi pendidikan diambil dari setiap disiplin ilmu. Sesuai dengan bidang
disiplinnya para ahli, masing-masing telah mengembangkan ilmu secara
sistematis, logis, dan solid. Para pengembang kurikulum tidak perlu susah- susah
menyusun dan mengembangkan bahan sendiri. Mereka tinggal memilih bahan
materi ilmu yang telah dikembangkan para ahli disiplin ilmu, kemudian
mereorganisasinya secara sistematis, sesuai dengan tujuan pendidikan dan tahap
perkembangan siswa yang akan mempelajarinya. Guru sebagai penyampai bahan
ajar memegang peranan penting. Mereka harus menguasai semua pengetahuan
yang ada dalam kurikulum. Ia harus menjadi ahli dalam bidang-bidang studi yang
diajarkannya. Lebih jauh guru dituntut bukan hanya menguasai materi pendidikan,
tetapi ia juga menjadi model bagi para siswanya. Apa yang disampaikan dan cara
penyampaiannya harus menjadi bagian dari pribadi guru. Guru adalah yang
"digugu dan "ditiru (diikuti dan dicontoh).
Karena
kurikulum
sangat
mengutamakan
pengetahuan
maka
dapat
merangsang
ingatan
apabila
siswa
diminta
untuk
mereka
memperkayanya.
menguasai
warisan
budaya
dan
jika
mungkin
Metode yang paling banyak digunakan dalam kurikulum subjek akademis adalah
metode ekspositori dan inkuiri. Ide-ide diberikan guru kemudian dielaborasi
(dilaksanakan) siswa sampai mereka kuasai. Konsep utama disusun secara
sistematis, dengan ilustrasi yang jelas untuk selanjutnya dikaji. Dalam materi
disiplin ilmu yang diperoleh, dicari berbagai masalah penting, kemudian
dirumuskan dan dicari cara pemecahannya.
Melalui proses tersebut para siswa akan menemukan, bahwa kemampuan
berpikir dan mengamati digunakan dalam ilmu kealaman, logika digunakan dalam
matematika, bentuk dan perasaan digunakan dalam seni dan koherensi dalam
sejarah. Mereka mempelajari buku-buku standar untuk memperkaya pengetahuan,
dan untuk memahami budaya masa lalu dan mengerti keadaan masa kini.
Ada beberapa pola organisasi isi (materi pelajaran) kurikulum subjek
akademis. Pola-pola organisasi yang terpenting di antaranya:
1. Correlated curriculum adalah pola organisasi materi atau konsep yang
dipelajari dalam suatu pelajaran dikorelasikan dengan pelajaran lainnya.
2. Unified atau Concentrated curriculum adalah pola organisasi bahan pelajaran
tersusun dalam tema-tema pelajaran tertentu, yang mencakup materi dari
berbagai pelajaran disiplin ilmu.
3. Integrated curriculum. Kalau dalam unified masih tampak warna iliciplin
ilmunya, maka dalam pola yang integrated warna disiplin ilmu tersebut
sudah tidak kelihatan lagi. Bahan ajar diintegrasikan dalam suatu persoalan,
kegiatan atau segi kehidupan tertentu.
4. Problem Solving curriculum adalah pola organisasi isi yang berisi topik
pemecahan masalah sosial yang dihadapi dalam kehidupan dengan
menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari berbagai
mata pelajaran atau disiplin ilmu.
Tentang kegiatan evaluasi, kurikulum subjek akademis menggunakan
bentuk evaluasi yang bervariasi disesuaikan dengan tujuan dan sifat mata
pelajaran. Dalam bidang studi humaniora lebih banyak digunakan bentuk uraian
(essay test) daripada tes objektif. Bidang studi tersebut membutuhkan jawaban
yang merefleksikan logika, koherensi, dan integrasi secara menyeluruh. Bidang
studi seni yang sifatnya ekspresi membutuhkan penilaian subjektif yang jujur, di
samping standar keindahan dan cita rasa. Lain halnya dengan matematika, nilai
informasi
yang
dibutuhkan.
Pada
pihak
lain
mereka
yang
benar
tentang
perkemhangan
dan
penguasaan
siswa.
dengan
kemampuan
berpikir
anak.
Mereka
umumnya
kurang
dikembangkan oleh
upaya untuk menciptakan situasi yang permisif, rileks, akrab. Berkat situasi
tersebut anak mengembangkan segala potensi yang dimilikinya. Menurut Mc Neil
"The nezv humanists are self actualizers who see curriculum as a liberating
process that can meet the need for growth and personal integrity (John D. Mc
Neil, 1977, hlrn. 1). Tugas guru adalah menciptakan situasi yang permisif dan
mendorong siswa untuk mencari dan mengembangkan pemecahan sendiri.
Pendidikan mereka lebih menekankan bagaimana mengajar siswa
(mendorong siswa), dan bagaimana merasakan atau bersikap terhadap sesuatu.
Tujuan pengajaran adalah memperluas kesadaran diri sendiri dan mengurangi
kerenggangan dan keterasingan dari lingkungan. Ada beberapa aliran yang
termasuk dalam pendidikan humanistik yaitu pendidikan: Konfluen, Kritikisme
Radika I, dan Mistikisme modern.
Pendidikan konfluen menekankan keutuhan pribadi, individu harus
merespons secara utuh (baik segi pikiran, perasaan, maupun tindakan), terhadap
kesatuan yang menyeluruh dari lingkungan.
Kritikisme radikal bersumber dari aliran naturalisme atau romantisme
Rousseau. Mereka memandang pendidikan sebagai upaya untuk membantu anak
menemukan dan mengembangkan sendiri segala potensi yang dimilikinya.
Pendidikan merupakan upaya untuk menciptakan situasi yang memungkinkan
anak berkembang optimal. Pendidik adalah ibarat petani yang berusaha
menciptakan tanah yang gembur, air dan udara yang ukup, terhindar dari
berbagai hama, untuk tumbuhnya tanaman yang penuh dengan berbagai potensi.
Dalam pendidikan tidak ada pemaksaan, yang ada adalah dorongan dan
rangsangan untuk berkembang
Mistikisme modern adalah aliran yang menekankan latihan dan
pengembangan kepekaan perasaan, kehalusan budi pekerti, melalui sensitivity
training, yoga, meditasi, dan sebagainya.
2. Kurikulurn konfluen
Kurikulum konfluen dikembangkan oleh para ahli pendidikan konfluen,
yang ingin menyatukan segi-segi afektif (sikap, perasaan, nilai) dengan segi-segi
kognitif (kemampuan intelektual). Pendidikan konfluen kurang menekankan
perundingan,
persetujuan,
pertukaran
kemampuan,
bertanggung jawab bersama, dan lain-lain. Ini menunjukkan ciri yang nonotoriter dari pendidikan konfluen.
b. Integrasi. Melalui partisipasi dalam berbagai kegiatan kelompok terjadi
interaksi, interpenetrasi, dan integrasi dari pemikiran, perasaan dan juga
tindakan.
c. Relevansi. Isi pendidikan relevan dengan kebutuhan, mina t dan kehidupan
murid karena diambil dari dunia murid oleh murid sendiri. Hal demikian
sudah tentu akan lebih berarti bagi murid baik secara intelektual maupun
emosioanal.
d. Pribadi anak. Pendidikan ini memberi tempat utama pada pribadi anak.
Pendidikan adalah pengembangan pribadi, pengaktualisasian segala
potensi pribadi anak secara utuh.
e. Tujuan. Pendidikan ini bertujuan mengembangkan pribadi yang utuh, yang
serasi baik di dalam dirinya maupun dengan lingkungan secara
menyeluruh.
Dasar dari kurikulum konfluen adalah Psikologi Gestalt yang menekankan
keutuhan, kesatuan, keseluruhan. Teori yang mendukung pandangan ini adalah
Eksistensialisme yang memusatkan perhatiannya pada apa yang terjadi sekarang
di tempat ini. Apa yang menjadi isi kurikulum diukur oleh apakah hal itu
bermanfaat bagi kita sekarang? Apakah hal itu akan memperbaiki kehidupan kita
sekarang.
Prinsip
pengajarannya
menerapkan
prinsip
terapi
Gestalt,
yang
menekankan keterbukaan, kesadaran, keunikan, dan tanggung jawab pribadi. Halhal di atas sangat esensial dalam perkembangan individu yang sehat, yang matang.
Pengajaran lebih menekankan kepada tanggung jawab pribadi daripada kompetisi.
Tidak ada jawaban yang salah atau benar dalam pengajaran konfluen. Melalui
latihan kesadaran/kepekaan perkembangan yang sehat akan tercapai, karena
dengan cara itu ia lebih sadar akan eksistensinya dan kemungkinannya untuk
berkembang.
Kurikulum konfluen menyatukan pengetahuan objektif dan subjektif,
berhubungan dengan kehidupan siswa dan bermanfaat baik bagi individu maupun
masyarakat. Hal itu sesuai dengan konsep Gestalt bahwa sesuatu itu dikatakan
berarti (penting - red) apabila bermanfaat bagi keseluruhan. Pendidikan konfluen
sangat mengutamakan kesatuan dari keseluruhan.
4. Metode-metode belajar konfluen
Para pengembang kurikulum konfluen telah menyusun kurikulum untuk
berbagai bidang pengajaran. Kurikulum tersebut mencakup tujuan, topic- topik
yang akan dipelajari, alat-alat pelajaran, dan buku teks. Pengajaran konfluen juga
telah tersusun dalam bentuk rencana-rencana pelajaran, unit- unit pelajaran yang
telah diujicobakan. Kebanyakan bahan tersebut diajarkan dengan teknik afektif.
George Issac Brown telah memberikan sekitar 40 macam teknik
pengajaran konfluen, di antaranya: dyads yang merupakan latihan komunikasi
afektif antara dua orang, fantasy body trips merupakan pemahaman tentang badan
dan diri individu, rituals yaitu suatu kegiatan untuk menciptakan kebiasaan,
kegiatan atau ritual baru.
Berbeda dengan pengembang kurikulum yang lain, para penyusun
kurikulum konfluen tidak menuntut para guru melaksanakan pengajaran seperti
yang mereka kerjakan. Mereka mengharapkan setiap guru mengembangkan kreasi
sendiri. Dalam menciptakan kreasi ini, yang terpenting mereka memahami tujuan
dan kegunaan kegiatan yang mereka ciptakan.
memperluas
dan
memperdalam
aspek-aspek
perkembangannya.
sosial
yang
mendesak.
Masalah-masalah
tersebut
dari buku-buku dan kegiatan laboratorium tetapi juga dari kehidupan nyata
dalanl masyarakat.
c. Pola-pola organ isasi. Pada tingkat sekolah menengah, pola organisasi
kurikulum disusun seperti sebuah roda. Di tengah-tengahnya sebagai poros
dipilih sesuatu masalah yang menjadi tema utama dan dibahas secara pleno.
Dan tema utama dijabarkan sejumlah topik yang dibahas dalam diskusidiskusi kelompok, latihan-latihan, kunjungan dan lain- lain. Topik-topik
dengan berbagai kegiatan kelompok ini merupakan jar-jar. Semua kegiatan
jar-jari tersebut dirangkum menjadi satu kesatuan sebagai bingkai atau velk.
BAGAN 5. Pola desain kurikulum rekonstruksi sosial
1. Komponen-komponen kurikulum
Kurikulum rekonstruksi sosial memiliki komponen-komponen yang sama
dengan model kurikulum lain tetapi isi dan bentuk-bentuknya berbeda.
a)
Tujuan dan isi kurikulum. Tujuan program pendidikan setiap tahun berubah.
Dalam program pendidikan ekonomi-politik, umpamanya untuk tahun pertama
tujuannya membangun kembali dunia ekonomipolitik. Kegiatan yang
dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut adalah ( I) mengadakan survai
secara kritis terhadap masyarakat (2) mengadakan studi tentang hubungan
antara keadaan ekonomi lokal dan ekonomi nasional serta dunia, (3)
mengadakan studi tentang latar belakang nkloris dan kecenderungankecenderungan perkembangan ekonomi, Illihungannya dengan ekonomi lokal,
(4) mengkaji praktik politik dalam Ind,mT.Innyo dengan faktor ekonomi, (5)
memantapkan rencana perubahan praktik politik, (6) mengevaluasi semua
dengan
bantuan
biaya
dari
pemerintah
sekolah
berusaha
bidang
pertanian
dan
peternakan,
di
daerah
industri
(trends)
perkembangan.
Kecenderungan
utama
adalah
tiap
siswa
menghadapi
serentetan
tugas
yang
harus
tetapi bila sikapnya negatif, tingkat penguasaannya pun relatif rendah. Masalah
kebosanan juga berpengaruh terhadap proses belajar.
2. Pengembangan kurikulum
Dalam pengembangan kurikulum model lama, menurut para ahli teknologi
pendidikan, penyusunan kurikulum, penyusunan buku-buku serta perangkat
kurikulum lainnya lebih bersifat seni dan didasarkan atas kepentingan politik
daripada landasan-landasan ilmiah dan teknologis. Pengembangan kurikulum
diarahkan pada pencapaian nilai-nilai umum, konsep-konsep, masalah dan
keterampilan yang akan menjadi isi kurikulum disusun dengan fokus pada nilainilai tadi.
Pengembangan kurikulum teknologis berpegang pada beberapa kriteria,
yaitu: 1) Prosedur pengembangan kurikulum dinilai dan disempurnakan oleh
pengembang kurikulum yang lain, 2) Hasil pengembangan terutama yang
berbentuk model adalah yang bisa diuji coba ulang, dan hendaknya memberikan
hasil yang sama.
Inti dari pengembangan kurikulum teknologis adalah penekanan pada
kompetensi. Pengembangan dan penggunaan alat dan media pengajaran bukan
hanya sebagai alat bantu tetapi bersatu dengan program pengajaran dan ditujukan
pada penguasaan kompetensi tertentu.
Pengembangan kurikulum ini membutuhkan kerjasama dengan para
penyusun program dan penerbit media elektronik dan media cetak. Di pihak lain
harus dicegah jangan sampai pengembangan kurikulum ini menjadi objek bisnis.
Pengembangan pengajaran yang betul-betul berstruktur dan bersatu dengan alat
dan media membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Inilah hambatan utama
pengembangan kurikulum ini, terutama bagi sekolah atau daerah-daerah yang
kemampuan finansialnya masih rendah.
Pemecahan masih dapat dilakukan dengan menerapkan model kurikulum
teknologis yang lebih menekankan pada teknologi sistem dan kurang menekankan
pada teknologi alat. Dengan pendekatan ini biaya dapat lebih ditekan, di samping
memberi kesempatan kepada pelaksana pengajaran, terutama guru-guru untuk
mengembangkan sendiri program pengajarannya. Model ini di Indonesia dikenal
kurikulum
teknologis
terutama
yang
menekankan
optimal. Buku ini sangat berfaidah bagi para pendidik, ahli kurikulum dan
pengajaran, serta para guru di sekolah. Pokok-pokok yang diuraikan dalam buku
ini meliputi, dasar-dasar teori Gestalt, konsep-konsep Confluent Education,
contoh-contoh rencana serta pelaksanaan pelajarannya.
Gilchrist, Robert S. & Roberts, Bernice B. (1974). Curriculum Development: A
Humanized System Approach. Belmont California: A Phi Delta Kappa Book.
Apa yang dikupas dalam buku ini, merupakan reaksi dan sekaligus ingin
memperbaiki sistem pendidikan yang ada. Sistem pendidikan yang ada umumnya
kurang memperhatikan kebutuhan siswa dan kurang melibatkan partisipasi guru
dan siswa. Sistem pendidikan, kurikulum, buku, alat pelajaran dan lain-lain,
umumnya ditentukan oleh pihak lain, pemegang kebijaksanaan pendidikan, suatu
komisi dan sebagainya, tanpa melibatkan siswa dan guru. Pengajaran bersifat
mekanis dan satu komponen terlepas dari komponen lainnya. Melihat kelemahankelemahan di atas para penulis melalui buku ini ingin memperbaikinya. Perbaikan
tersebut bertolak dari pendekatan humanisme, suatu pandangan pendidikan yang
menekankan kebutuhan perkembangan pribadi siswa seutuhnya. Segi afektif
berjalan sejajar dengan segi kognitif dan psikomotor. Dalam buku ini secara
sistematis dikemukakan; hakikat manusia, nilai dan tujuan perkembangan
manusia; bagaimana mengorganisasi pendidikan sehingga tercipta kegia tan
belajar yang efektif, bagaimana mempersiapkan dan melaksanakan pengajaran
yang efektif dan terakhir bagaimana mengembangkan sistem sekolah yang bersifat
humanistik. Buku ini sangat berguna bagi perencana dan pelaksana kurikulum dan
pengajaran.
BAB 6
ANATOMI DAN DESAIN KURIKULUM
Pada bab-bab sebelum ini telah dikemukakan bahwa terdapat variasi dalam
mendepinisikan kurikulum. Ada yang memandangnya secara sempit, yaitu
kurikulum sebagai kumpulan mata pelajaran atau bahan ajar. Ada yang
mengartikannya secara luas, meliputi semua pengalaman yang diperoleh siswa
karena pengarahan-bimbingan dan tanggung jawab sekolah. Kurikulum juga
diartikan sebagai dokumen tertulis dari suatu rencana atau program pendidikan
(written curriculum), dan juga sebagai pelaksanaan dari rencana di atas (actual
curriculum). Tidak semua yang ada dalam kurikulum tertulis, kemungkinan
dilaksanakan di kelas.
Kurikulum dapat mencakup lingkup yang sangat luas, yaitu sebagai
program pengajaran pada suatu jenjang pendidikan, dan dapat pula menyangkut
lingkup yang sangat sempit, seperti program pengajaran suatu mata pelajaran
untuk beberapa jam pelajaran. Apakah dalam lingkup yang luas ataupun sempit,
kurikulum membentuk desain yang menggambarkan pola organisasi dari
komponen-komponen kurikulum dengan perlengkapan penunjangnya.
A. Komponen-Komponen Kurikulum
Kurikulum dapat diumpamakan sebagai suatu organisme manusia ataupun
binatang, yang memiliki susunan anatomi tertentu. Unsur atau komponenkomponen dari anatomi tubuh kurikulum yang utama adalah: tujuan, isi atau
materi, proses atau sistem penyampaian dan media, serta evaluasi. Keempat
komponen tersebut berkaitan erat satu sama lain.
Suatu kurikulum harus memiliki kesesuaian atau relevansi. Kesesuaian ini
meliputi dua hal. Pertama kesesuaian antara kurikulum dengan tuntutan,
kebutuhan,
kondisi,
dan
perkembangan
masyarakat.
Kedua
kesesuaian
komponen-komponen
kurikulum
lainnya.
Tujuan
kurikulum
pendidikan yang bersifat umum yang biasanya abstrak dan luas, menjadi sasaransasaran khusus yang lebih konkret, sempit, dan terbatas.
Dalam kegiatan belajar-mengajar di-dalam kelas, tujuan-tujuan khusus
lebih diutamakan, karena lebih jelas dan mudah pencapaiannya. Dalam
mempersiapkan pelajaran, guru menjabarkan tujuan mengajarnya dalam bentuk
tujuan-tujuan khusus atau objectives yang yang bersifat operasional. Tujuan
demikian akan menggambarkan "what will the student he able to do as a result of
the teaching that he was unable to do before" (Rowntree, 1974: 5). Mengajar
dalam kelas lebih menekankan tujuan khusus, sebab hal itu akan dapat
memberikan gambaran yang lebih konkret, dan menekankan pada perilaku siswa,
sedang perumusan tujuan umum lebih bersifat abstrak, pencapaiannya
memerlukan waktu yang lebih lama dan lebih sukar diukur.
Tujuan-tujuan mengajar dibedakan atas beberapa kategori, sesuai dengan
perilaku yang menjadi sasarannya. Gage dan Briggs mengemukakan lima kategori
tujuan, yaitu intellectual skills, cognitive strategies, verbal information, motor
skills and attitudes (1974, hlm. 23-24). Bloom mengemukakan tiga kategori
tujuan mengajar sesuai dengan domain-domain perilaku individu, yaitu domain
kognitif, afektif, dan psikomotor. Domain kognitif berkenaan dengan penguasaan
kemampuan-kemampuan intelektual atau berpikir. Domain afektif berkenaan
dengan penguasaan dan pengembangan perasaan, sikap, minat, dan nilai-nilai.
Domain psikomotor menyangkut penguasaan dan pengembangan keterampilanketerampilan motorik.
Tujuan-tujuan khusus mengajar juga memiliki tingkat kesukaran yang
berbeda-beda. Bloom, (1975) membagi domain kognitif atas enam tingkatan dari
yang paling rendah, yaitu: pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis,
dan evaluasi. Untuk domain afektif Krathwohl dan kawan-kawan (1974)
membaginya atas lima tingkatan yang juga berjenjang, yaitu: menerima,
merespons, menilai, mengorganisasi nilai, dan karakterisasi nilai-nilai. Untuk
domain psikomotor Anita Harrow (1971) membaginya atas enam jenjang, yaitu:
gerakan refleks, gerakan-gerakan dasar, kecakapan mengamati, kecakapan
jasmaniah,
gerakan-gerakan
berkesinambungan.
keterampilan
dan
komunikasi
yang
2. Bahan ajar
Siswa belajar dalam bentuk interaksi dengan lingkungannya, lingkungan
orang-orang, alat-alat dan ide-ide. Tugas utama seorang guru adalah menciptakan
lingkungan tersebut, untuk mendorong siswa melakukan interaksi yang produktif
dan memberikan pengalaman belajar yang dibutuhkan. Kegiatan dan lingkungan
demikian dirancang dalam suatu rencana mengajar, yang mencakup komponenkomponen: tujuan khusus, sekuens bahan ajaran, strategi mengajar, media dan
sumber belajar, serta evaluasi hasil mengajar. Karena perumusan tujuan khusus
strategi, dan evaluasi hasil mengajar dibahas secara tersendiri, maka dalam bagian
ini yang akan diuraikan hanya sekuens bahan ajar.
a. Sekuens bahan ajar
Untuk mencapai tiap tujuan mengajar yang telah ditentukan diperlukan
hahan ajar. Bahan ajar tersusun atas topik-totpik dan sub-subtopik tertentu. Hap
topik atau subtopik mengandung ide-ide pokok yang relevan dengan tujuan yang
telah ditetapkan. Topik-topik atau sub-subtopik tersebut terusun sekuens tertentu
yang membentuk suatu sekuens bahan ajar.
Ada beberapa cara untuk menyusun sekuens bahan ajar, yaitu:
1) Sekuens kronologis. Untuk menyusun bahan ajar yang mengandung urutan
waktu, dapat digunakan sekuens kronologis. Peristiwaperistiwa sejarah,
perkembangan historis suatu institusi, penemuanpenemuan ilmiah dan
sebagainya dapat disusun berdasarkan sekuens kronologis.
siswa diminta untuk membuat interpretasi hasilnya (e). Pada kesempatan lain
guru menyajikan data tentang masalah lain dari langkah (a) sampai (c) dan
siswa diminta untuk mengadakan pengetesan hipotesis (d) dan seterusnya.
7) Sekuens berdasarkan hierarki belajar. Model ini dikembangkan oleh Gagne
(1965), dengan prosedur sebagai berikut: tujuan-tujuan khusus utama
pembelajaran dianalisis, kemudian dicari suatu hierarki urutan bahan ajar
untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Hierarki tersebut menggambarkan
urutan perilaku apa yang mula-mula harus dikuasai siswa, berturut-turut
sampai dengan perilaku terakhir. Untuk bidang studi tertentu dan pokok-pokok
bahasan tertentu hierarki juga dapat mengikuti hierarki tipe-tipe belajar dari
Gagne. Gagne mengemukakan 8 tipe belajar yang tersusun secara hierarkis
mulai dari yang paling sederhana: signal learning, stimulus-respons learning,
motor-chain learning, verbal association, multiple discrimination, concept
learning, principle learning, dan problem-solving learning. (Gagne, 1970: 6364).
3. Strategi mengajar
Penyusunan sekuens bahan ajar berhubungan erat dengan strategi atau
metode mengajar. Pada waktu guru menyusun sekuens suatu bahan ajar, is juga
harus memikirkan strategi mengajar mana yang sesuai untuk menyajikan bahan
ajar dengan urutan seperti itu.
Ada beberapa strategi yang dapat digunakan dalam mengajar. Rowntree
(1974: 93-97) membagi strategi mengajar itu atas Exposition - Discovery
Learning dan Groups - Individual Learning. Ausubel and Robinson (1969 : 43-45)
membaginya atas strategi Reception Learning- Discovery Learning dan Rote
Learning- Meaningful Lerning.
a. Reception/Exposition Learning - Discovery Learning.
Reception dan exposition sesungguhnya mempunyai makna yang sama,
hanya berbeda dalam pelakunya. Reception learning dilihat dari sisi siswa
sedangkan exposition dilihat dari sisi guru. Dalam exposition atau reception
learning keseluruhan bahan ajar disampaikan kepada siswa dalam bentuk akhir
atau bentuk jadi, baik secara lisan maupun secara tertulis. Siswa tidak dituntut
untuk mengolah, atau melakukan aktivitas lain kecuali menguasainya. Dalam
discovery learning bahan ajar tidak disajikan dalam hentuk akhir, siswa dituntut
untuk melakukan berbagai kegiatan flienghimpun informasi, membandingkan,
mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta
membuat kesimpulankosimpulan. Melalui kegiatan-kegiatan tersebut siswa akan
menguasainya, menerapkan, serta menemukan hal-hal yang bermanfaat bagi
dirinya.
b. Rote learning - Meaningful Learning.
Dalam rote learning bahan ajar disampaikan kepada siswa tanpa
memperhatikan arti atau maknanya bagi siswa. Siswa menguasai bahan ajar
dengan menghafalkannya. Dalam meaningful learning penyampaian bahan
mengutamakan maknanya bagi siswa. Menurut Ausubel and Robinson (1970: 5253) sesuatu bahan ajar bermakna bila dihubungkan dengan struktur kognitif yang
ada pada siswa. Struktur kognitif terdiri atas fakta-fakta, data, konsep, proposisi,
dalil, hukum dan teori-teori yang telah dikuasai siswa sebelumnya, yang tersusun
membentuk suatu struktur dalam pikiran anak. Lebih lanjut Ausubel and Robinson
menekankan bahwa reception-discovery learning dan rote-meaningful learning
dapat dikombinasikan satu sama lain sehingga membentuk 4 kombinasi strategi
belajar-mengajar, yaitu: a) meaningful-reception learning, b) rote-reception
learning, c) meaningful-discovery learning, dan d) rote-discovery learning.
c. Group Learning - Individual Learning.
Pelaksanaan discovery learning menuntut aktivitas belajar yang bersifat
individual atau dalam kelompok-kelompok kecil. Discovery learning dalam
bentuk kelas pelaksanaannya agak sukar dan mempunyai beberapa masalah.
Masalah pertama, karena kemampuan dan kecepatan belajar siswa tidak sama,
maka kegiatan discovery hanya akan dilakukan oleh siswa-siswa yang pandai dan
cepat, siswa-siswa yang kurang dan lambat, akan mengikuti saja kegiatan dan
menerima temuan-temuan anak-anak cepat. Di pihak lain anak-anak lambat akan
menderita kurang motif belajar, acuh tak acuh, dan kemungkinan menjadi
pengganggu kelas. Masalah lain adalah kemungkinan untuk bekerja sama, dalam
kelas besar tidak mungkin semua anak dapat bekerja sama. Kerja sama hanya
akan dilakukan oleh anak-anak yang aktif, yang lain mungkin hanya akan menanti
atau menonton. Dengan demikian akan terjadi perbedaan yang semakin jauh
antara anak pandai dengan yang kurang.
4. Media mengajar
Media mengajar merupakan segala macam bentuk perangsang dan alat
yang disediakan guru untuk mendorong siswa belajar. Perumusan di atas
menggambarkan pengertian media yang cukup luas, mencakup berbagai bentuk
perangsang belajar yang sering disebut sebagai audio visual aid, serta berbagai
bentuk alat penyaji perangsang belajar, berupa alat-alat elektronika seperti mesin
pengajaran, film, audio cassette, video cassette, televisi, dan komputer.
Rowntree (1974: 104-113) mengelompokkan media mengajar menjadi lima
macam dan disebut Modes, yaitu Interaksi insani, realita, pictorial, simbol tertulis,
dan rekaman suara.
a. Interaksi insani. Media ini merupakan komunikasi langsung antara dua orang
atau lebih. Dalam komunikasi tersebut kehadiran sesuatu pihak secara sadar
atau tidak sadar mempengaruhi perilaku yang lainnya. Terutama kehadiran
guru mempengaruhi perilaku siswa atau siswasiswanya. Interaksi insani dapat
bcrlangsung melalui komunikasi verbal atau nonverbal. Komunikasi yang
bersifat verbal memegang peranan penting, terutama dalam perkembangan
segi kognitif siswa. Untuk pengembangan segi-segi afektif, bentuk-bentuk
komunikasi nonverbal seperti: perilaku, penampilan fisik, roman muka, gerakgerik, sikap, dan lain-lain lebih memegang peranan penting sebagai contohcontoh nyata. Intensitas interaksi insani dalam berbagai metode mengajar
tidak selalu sama. Intensitas interaksi insani dalam metode ceramah lebih
rendah
dibandingkan
dengan
metode
diskusi,
permainan,
simulasi,
5. Evaluasi pengajaran
Komponen utama selanjutnya setelah rumusan tujuan, bahan ajar, strategi
mengajar, dan media mengajar adalah evaluasi dan penyempurnaan. Evaluasi
ditujukan untuk menilai pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan serta
menilai proses pelaksanaan mengajar secara keseluruhan. Tiap kegiatan akan
memberikan umpan balik, demikian juga dalam pencapaian tujuan-tujuan belajar
dan proses pelaksanaan mengajar. Umpan balik tersebut digunakan untuk
mengadakan berbagai usaha penyempurnaan baik bagi penentuan dan perumusan
tujuan mengajar, penentuan sekuens bahan ajar, strategi, dan media mengajar.
a. Evaluasi hasil belajar-mengajar
Untuk menilai keberhasilan penguasaan siswa atau tujuan-tujuan khusus
yang telah ditentukan, diadakan suatu evaluasi. Evaluasi ini disebut juga evaluasi
hasil belajar-mengajar. Dalam evaluasi ini disusun butir-butir soal untuk
mengukur pencapaian tiap tujuan khusus yang telah ditentukan. Untuk tiap tujuan
khusus minimal disusun satu butir soal. Menurut lingkup luas bahan dan jangka
waktu belajar dibedakan antara evaluasi formatif dan evaluasi sumatif.
bersifat relatif. Kelompok ini dapat berupa kelompok kelas, sekolah, daerah,
ataupun nasional. Dalam implementasi kurikulum atau pelaksanaan pengajaran,
criterion referenced digunakan pada evaluasi formatif, sedangkan norm referenced
digunakan pada evaluasi sumatif.
lebih
lanjut.
Komponen
apa
yang
Walaupun bertolak dari hal yang sama, dalam suatu pola desain terdapat
beberapa variasi desain kurikulum. Dalam subject centered design dikenal ada: the
subject design, the disciplines design dan the broad fields design. Pada problems
centered design dikenal pula the areas of living design dan the core design.
pertama dari hal itu adalah isi dari kurikulum. Para pengembang kurikulum dari
aliran ini berpegang teguh pada disiplin-disiplin ilmu seperti: fisika, biologi,
psikologi, sosiologi, dan sebagainya.
Perbedaan lain adalah dalarn tingkat penguasaan, disciplines design tidak
seperti subject design yang menekankan penguasaan fakta-fakta dan informasi
tetapi pada pemahaman (understanding). Para peserta didik didorong untuk
memahami logika atau struktur dasar suatu disiplin, memahami konsep-konsep,
ide-ide dan prinsip-prinsip penting, juga didorong untuk memahami cara mencari
dan menemukannya (modes of inquiry and discovery). Hanya dengan menguasai
hal-hal itu, kata mereka, peserta didik akan memahami masalah dan mampu
melihat hubungan berbagai fenomena baru.
Proses belajarnya tidak lagi menggunakan pendekatan ekspositori yang
menyebabkan peserta didik lebih banyak pasif, tetapi menggunakan pendekatan
inkuiri dan diskaveri. Disciplines design sudah mengintegrasikan unsur-unsur
progresifisme dari Dewey. Bentuk ini memiliki beberapa kelebihan dibandingkan
dengan subject design. Pertama, kurikulum ini bukan hanya memiliki organisasi
yang sistematik dan efektif tetapi juga dapat memelihara integritas intelektual
pengetahuan manusia. Kedua, peserta didik tidak hanya menguasai serentetan
fakta, prinsip hasil hafalan tetapi menguasai konsep, hubungan dan proses-proses
intelektual yang berkembang pada siswa.
Meskipun telah menunjukkan beberapa kelebihan bentuk, desain ini masih
memiliki beberapa kelamahan. Pertama, belum dapat memberikan pengetahuan
yang terintegrasi. Kedua, belum mampu mengintegrasikan sekolah dengan
masyarakat atau kehidupan. Ketiga, belum bertolak dari minat dan kebutuhan atau
pengalaman peserta didik. Keempat, susunan kurikulum belum efisien baik untuk
kegiatan belajar maupun untuk penggunaannya. Kelima, meskipun sudah lebih
luas dibandingkan dengan subject design tetapi secara akademis dan intelektual
masih cukup sempit.
c.
pemisahan tersebut adalah mengembangkan the broad filed design. Dalam model
ini mereka menyatukan beberapa mata pelajaran yang berdekatan atau
berhubungan menjadi satu bidang studi seperti Sejarah, Geografi, dan Ekonomi
digabung menjadi Ilmu Pengetahuan Sosial, Aljabar, Ilmu Ukur, dan Berhitung
menjadi Matematika, dan sebagainya.
Tujuan pengembangan kurikulum broad field adalah menyiapkan para
siswa yang dewasa ini hidup dalam dunia informasi yang sifatnya spesialistis,
dengan pemahaman yang bersifat menyeluruh. Bentuk kurikulum ini banyak
digunakan di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, di sekolah menengah
atas penggunaannya agak terbatas apalagi di perguruan tinggi sedikit sekali.
Ada dua kelebihan penggunaan kurikulum ini. Pertama, karena dasarnya
bahan yang terpisah-pisah, walaupun sudah terjadi penyatuan beberapa mata
kuliah masih memungkinkan penyusunan warisan-warisan budaya secara
sistematis dan teratur. Kedua, karena mengintegrasikan beberapa mata kuliah
memungkinkan peserta didik melihat hubungan antara berbagai hal.
Di samping kelebihan tersebut, ada beberapa kelemahan model kurikulum
ini. Pertama kemampuan guru, untuk tingkat sekolah dasar guru mampu
menguasai bidang yang luas, tetapi untuk tingkat yang lebih tinggi, apalagi di
perguruan tinggi sukar sekali. Kedua, karena bidang yang dipelajari itu luas, maka
tidak dapat diberikan secara mendetil, yang diajarkan hanya permukaannya saja.
Ketiga, pengintegrasian bahan ajar terbatas sekali, tidak menggambarkan
kenyataan, tidak memberikan pengalaman yang sesungguhnya bagi siswa, dengan
demikian kurang membangkitkan minat belajar. Keempat, meskipun kadarnya
lebih rendah dibandingkan dengan subject design, tetapi model ini tetap
menekankan tujuan penguasaan bahan dan informasi. Kurang menekankan proses
pencapaian tujuan ya.lg sifatnya afektif dan kognitif tingkat tinggi.
2. Learner-centered design
Sebagai reaksi sekaligus penyempurnaan terhadap beberapa kelemahan
subject centered design berkembang learner centered design. Desain ini berbeda
dengan subject centered, yang bertolak dari cita-cita untuk melestarikan dan
mewariskan budaya, dan karena itu mereka mengutamakan peranan isi dari
kurikulum.
Learner centered, memberi tempat utama kepada peserta didik. Di dalam
pendidikan atau pengajaran yang belajar dan berkembang adalah peserta didik
sendiri. Guru atau pendidik hanya berperan menciptakan situasi belajar-mengajar,
mendorong dan memberikan bimbingan sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
Peserta didik bukanlah tiada daya, dia adalah suatu organisme yang punya potensi
untuk berbuat, berperilaku, belajar dan juga berkembang sendiri. Learner centered
design bersumber dari konsep Rousseau tentang pendidikan alam, menekankan
perkembangan peserta didik. Pengorganisasian kurikulum didasarkan atas minat,
kebutuhan dan tujuan peserta didik.
Ada dua ciri utama yang membedakan desain model learner centred
dengan subject centered. Pertama, learner centered design mengembangkan
kurikulum dengan bertolak dari peserta didik dan bukan dari isi. Kedua, learner
centered bersifat not-preplanned (kurikulum tidak diorganisasikan sebelumnya)
tetapi dikembangkan bersama antara guru dengan siswa dalam penyelesaian
tugas-tugas pendidikan. Organisasi kurikulum didasarkan atas masalah-masalah
atau topik-topik yang menarik perhatian dan dibutuhkan peserta didik dan
sekuensnya disesuaikan dengan tingkat perkembangan mereka.
Ada beberapa variasi model ini yaitu the activity atau experience design,
humanistic design, the open, free design, dan lain-lain. Pada tulisan ini akan
dikemukakan sebagian saja.
a. The Activity atau Experience Design
Model desain ini berawal pada abad 18, atas hasil karya dari Rousseau dan
Pestalozzi, yang berkembang pesat pada tahun 1920/1930-an pada masa kejayaan
Pendidikan Progresif.
Berikut beberapa ciri utama activity atau experience design. Pertama,
struktur kurikulum ditentukan oleh kebutuhan dan minat peserta didik. Dalam
mengimplementasikan ciri ini guru hendaknya: a) Menemukan minat dan
kebutuhan peserta didik, b) Membantu para siswa memilih mana yang paling
penting dan urgen. Hal ini cukup sulit, sebab harus dapat dibedakan mana minat
dan kebutuhan yang sesungguhnya dan mana yang hanya angan-angan. Untuk itu
guru perlu menguasai benar perkembangan dan karakteristik peserta didik.
Kedua, karena struktur kurikulum didasarkan atas minat dan kebutuhan
peserta didik, maka kurikulum tidak dapat disusun jadi sebelumnya, tetapi disusun
bersama oleh guru dengan para siswa. Demikian juga tujuan yang akan dicapai,
sumber-sumber belajar, kegiatan belajar dan prosedur evaluasi, dirumuskan
bersama siswa. Istilah yang mereka gunakan adalah teacher-student planning.
Seperti dikemukakan oleh Smith, Stanley and Shores (1977: 274-1725) bahwa
tugas guru adalah:
... discovering students interest, guiding students in selection of interest, helping
groups and individuals to plan and carryout learning activi ties, and assisting
learners to appraise their experience. In short, the teacher must prepare in
advance to help learners decide what to to do, how to do it, and how to evaluate
the results.
Ketiga, desain kurikulum tersebut menekankan prosedur pemecahan
masalah. Di dalam proses menemukan minatnya peserta didik menghadapi
hambatan atau kesulitan-kesulitan tertentu yang harus diatasi. Kesulitankesulitan
tersebut menunjukkan problema nyata yang dihadapi peserta didik. Dalam
menghadapi dan mengatasi masalah-masalah tersebut, peserta didik melakukan
proses belajar yang nyata, sungguh-sungguh bermakna, hidup dan relevan dengan
kehidupannya. Berbeda dengan subject design yang menekankan isi, activity
design lebih mengutamakan proses (keterampilan memecahkan masalah).
Ada beberapa kelebihan dari desain kurikulum ini. Pertama, karena
kegiatan pendidikan didasarkan atas kebutuhan dan minat peserta didik, maka
motivasi belajar bersifat intrinsik dan tidak perlu dirangsang dari luar. Fakta-fakta,
konsep, keterampilan dan proses pemecahan dipelajari peserta didik karena hal itu
mereka perlukan. jadi belajar benar-benar relevan dan bermakna. Kedua,
pengajaran memperhatikan perbedaan individual. Mereka turut dalam kegiatan
belajar kelompok karena membutuhkannya, demikian juga kalau mereka
melakukan kegiatan individual. Ketiga, kegiatan-kegiatan pemecahan masalah
memberikan bekal kecakapan dan pengetahuan untuk menghadapi kehidupan di
luar sekolah.
pelajaran dengan bidang dan pengalaman hidup peserta didik sangat kecil.
Sebaliknya dalam the areas of living hubungannya besar sekali. Tiap pengalaman
peserta didik sangat erat hubungannya dengan bidang-bidang kehidupan sehingga
dapat dikatakan suatu desain kurikulum bidang-bidang kehidupan yang
dirumuskan dengan baik akan merangkumkan pengalaman-pengalaman sosial
peserta didik. Dengan demikian, desain ini sekaligus menarik minat peserta didik
dan mendekatkannya pada pemenuhan kebutuhan hidupnya dalam masyarakat.
Desain ini mempunyai beberapa kebaikan dibandingkan dengan bentuk desaindesain lainnya.
Pertama, the areas of living design merupakan the subject matter design
tetapi dalam bentuk yang terintegrasi. Pemisahan antara subject dihilangkan oleh
problema-problema kehidupan sosial. Kedua, karena kurikulum diorganisasikan di
sekitar problema-problema peserta didik dalam kehidupan sosial, maka desain ini
mendorong penggunaan prosedur belajar pemecahan masalah. Prinsip-prinsip
belajar aktif dapat diterapkan dalam model desain ini. Ketiga, menyajikan bahan
ajar dalam bentuk yang relevan, yaitu untuk memecahkan masalah-masalah dalam
kehidupan. Melalui kurikulum ini para peserta didik akan mcmperoleh
pengetahuan, dan dapat menginternalisasi artinya. Keempat desain tersebut
menyajikan bahan ajar dalam bentuk yang fungsional, sebab diarahkan pada
pemecahan masalah peserta didik, secara langsung dipraktikkan dalam kehidupan.
Lebih dari itu kurikulum ini membawa peserta didik dalam hubungan yang lebih
dekat dengan masyarakat. Kelima, motivasi belajar datang dari dalam din peserta
didik, tidak perlu dirangsang dari luar.
Beberapa kritik dilontarkan dan menunjukkan kelemahan model desain ini.
Pertama, penentuan lingkup dan sekuens dari bidang-bidang kehidupan yang
sangat esensial (penting) sangat sukar, timbul organisasi isi kurikulum yang
berbeda-beda. Kedua, sebagai akibat dari kesulitan pertama, maka lemahnya atau
kurangnya integritas dan kontinuitas organisasi isi kurikulum. Ketiga, desain
tersebut sama sekali mengabaikan warisan budaya, padahal apa yang telah
ditemukan pada masa lalu penting untuk memahami dan memecahkan masalahmasalah masa kini. Keempat, karena kurikulum hanya memusatkan perhatian
pada pemecahan masalah sosial pada saat sekarang, ada kecenderungan untuk
mengindoktrinasi peserta didik dengan kondisi yang ada, peserta didik tidak
tovIlhat alternatif lain, baik mengenai masa lalu maupun masa yang akan 'Wang,
desain tersebut akan mempertahankan status quo. Kelima, sama hainva dengan
kritik terhadap learner centered design, baik guru maupun buku dan media lain
tidak banyak yang disiapkan untuk model tersebut sehingga di dalam
pelaksanaannya akan mengalami beberapa kesulitan.
b. The Core Design
The core desgin kurikulum timbul sebagai reaksi utama kepada separate
subjects design, yang sifatnya terpisah-pisah. Dalam mengintegrasikan bahan ajar,
mereka memilih mata-mata pelajaran/bahan ajar tertentu sebagai inti (core).
Pelajaran lainnya dikembangkan di sekitar core tersebut. Karena pengaruh
Pendidikan Progresif, berkembang teori tentang core design yang didasarkan atas
pandangan Progresif. Menurut konsep ini inti-inti bahan ajar dipusatkan pada
kebutuhan individual dan sosial.
Terdapat banyak variasi pandangan tentang the core design. Mayoritas
memandang core curriculum sebagai suatu model pendidikan atau program
pendidikan yang memberikan pendidikan umum. Pada beberapa kurikulum yang
berlaku di Indonesia dewasa ini, core curriculum disebut kelompok mata kuliah
atau pelajaran dasar umum, dan diarahkan pada pengembangan kemampuankemampuan pribadi dan sosial. Kalau kelompok mata kuliah/pelajaran spesialisasi
diarahkan pada pengusaan keahlian/kejuruan tertentu, maka kelompok mata
pelajaran ini ditujukan pada pembentukan pribadi yang sehat, baik, matang, dan
warga masyarakat yang mampu membina kerja sama yang baik pula.
The core curriculum diberikan guru-guru yang memiliki penguasaan dan
berwawasan luas, bukan spesialis. Di samping memberikan pengetahuan, nilainilai dan keterampilan sosial, guru-guru tersebut juga memberikan bimbingan
terhadap perkembangan sosial pribadi peserta didik.
Ada beberapa variasi desain core curriculum yaitu: (1) the separate
subject core, (2) the correlated core, (3) the fused core, (4) the activity/experience
core, (5) the areas of living core, dan (6) the social problems core.
The separate subjects core. Salah satu usaha untuk mengatasi keterpisahan
antar-mata pelajaran, beberapa mata pelajaran yang dipandang mendasari atau
menjadi inti mata pelajaran lainnya dijadikan core.
The correlated core. Model desain ini pun berkembang dari the separate
subjects design, dengan jalan mengintegrasikan beberapa mata pelajaran yang erat
hubungannya.
The fused core. Kurikulum ini juga berpangkal dari separate subject,
pengintegrasiannya bukan hanya antara dua atau tiga pelajaran tetapi lebih
banyak. Sejarah, Geografi, Antropologi, Sosiologi, Ekonomi dipadukan menjadi
Studi Kemasyarakatan. Dalam studi ini dikembangkan tema-tema masalah umum
yang dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang.
The activity/experience core. Model desain ini berkembang dari
pendidikan progresif dengan learner centerd design-nya. Seperti halnya pada
learner centered, the acitivity /experience core dipusatkan pada minat-minat dan
kebutuhan peserta didik.
The areas of living core. Desain model ini berpangkal juga pada
pendidikan progresif, tetapi organisasinya berstruktur dan dirancang sebelumnya.
Berbentuk pendidikan umum yang isinya diambil dari masalah-masalah yang
muncul di masyarakat. Bentuk desain ini dipandang sebagai core design yang
paling murni dan paling cocok untuk program pendidikan umum.
The social problems core. Model desain ini pun merupakan produk dari
pendidikan progresif. Dalam beberapa hal model ini sama dengan the areas of
living core. Perbedaannya terletak pada the areas of living core didasarkan atas
kegiatan-kegiatan manusia yang unviversal tetapi tidak berisi hal yang
kontroversial, sedangkan the social problems core didasarkan atas problemaproblema yang mendasar dan bersifat kontroversial. Beberapa contoh masalah
sosial yang menjadi tema model core design ini adalah kemiskinan, kelaparan,
inflasi, rasialisme, perang senjata nuklir, dan sebagainya. Halhal di atas adalah
sesuatu yang mendesak untuk dipecahkan dan berisi suatu kontroversial bersifat
pro dan kontra. The areas of living core cenderung memelihara dan
mempertahankan kondisi yang ada, sedang the social problems core mencoba
memberikan penilaian yang sifatnya kritis dari sudut sistem nilai sosial dan
pribadi yang berbeda.
Penyusunan kurikulum the social problems core, mengikuti pola seperti
yang digambarkan dengan urutan pertanyaan-pertanyaan berikut:
1.
2.
3.
4.
penyempurnaan pada setiap saat, agar tetap mutakhir dan relevan dengan
perkembangan masyarakat. Sekuens kurikulum disusun dengan memperhatikan
prinsip-prinsip psikologis, seperti: kematangan, minat, tingkat kesukaran,
pengalaman dan penguasaan sebelumnya.
Terhadap model-model desain di atas dapat ditambahkan dua model lain
yang juga menekankan pendidikan umum yaitu the unencapsulation design dan
Becker's Humanistic design.
The Unencapsulation design. Model desain ini merupakan reaksi terhadap
encapsulation. Menurut konsep encapsulation manusia memiliki kemampuan
untuk mengamati dan memahami seluruh yang ada di dunia ini, tetapi kenyataannya karena berbagai hambatan, hanya sebagian kecil yang mereka kuasai. The
Unencapsulation design diarahkan pada pengembangan manusia yang lebih baik,
yang memiliki pengetahuan dan kemampuan yang lebih lengkap, tepat dan
seimbang. Menu rut Joseph Royce, pencetus konsep ini, pengetahuan dan
kemampuan yang demikian akan tercapai melalui penggunaan empat cara
penguasaan, yaitu melalui: pemikiran (rasionalisme), pengamatan (empirisme),
perasaan (intuisisme), dan kepercayaan (otoritarianisme).
Beckers's Humanistic Design. Desain ini juga sama dengan uncaptulsation
menekankan pendidikan umum. Becker ingin mengembangkan suatu model
pendidikan yang dapat menghilangkan "keterasingan" (alination yang mempunyai
makna yang sama dengan encapsulation). Ia bercita-cita ingin mendidik anak
menjadi manusia "ideal" yaitu manusia sejati (authentic) tidak palsu atau pura-
pura, percaya kepada diri sendiri (self reliant) dan menyatu dengan
masyarakatnya. Desain kurikulum dari Becker lebih menekankan pada isi
daripada proses. Isi kurikulumnya dipusatkan pada tiga bidang, yaitu 1) Dimensi
individu, 2) Dimensi sosial dan historis, dan 3) Dimensi teologis.
Dimensi individu membahas keadaan dan keberadaan manusia, dimensi
sosial
dan
historis
membahas
kehidupan
kemasyarakatan
dan
sejarah
pemilihan
dan
penyusunan
taktik-taktik
pengajaran,
struktur
pengetahuan dan analisisnya, struktur tingkah laku atau keterampilan, modelmodel rencana pengajaran seperti simulasi, permainan, dan sebagainya serta
evaluasi pengajaran.
Knirk, Frederick G. & Gustafson, Kent L. (1986). Instructional Technology, A
Systematic Approach to Education. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Buku ini membahas dasar-dasar teori dan praktik teknologi instruksional.
Hal
tersebut
sangat
diperlukan
dalam
menganalisis,
merencanakan,
belajar,
teknologi
pendekatan
sistem,
belajar,
teknologi
proses,
serta
pendidikan. Selama ini media dianggap hanya sebagai alat bantu pengajaran.
Dengan buku ini diungkapkan bahwa media merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari proses berpikir. Proses berpikir menyangkut sistem simbol, dan
salah satu bentuk penyajian dan penyampaian sistem simbol adalah dalam media.
Dilatarbelakangi oleh dasar pendidikan penulis yang pernah mendalami teater,
media yang lebih banyak mendapatkan sorotan adalah media visual dalam konteks
kebudayaan.
BAB 7
PROSES PENGAJARAN
sekolah dasar bahkan para mahasiswa tingkat persiapan tidak pernah memperoleh
pengetahuan tersebut. Para sarjana dan cendekiawan tidak pernah turut serta
dalam pengembangan kurikulum sekolah dasar dan sekolah menengah. Dengan
demikian, program sekolah kurang berbobot dan jauh ketinggalan dari
perkembangan ilmu pengetahuan tiekarang hal itu telah dapat diatasi, para sarjana
dan cendekiawan yang turut serta dalam penyusunan kurikulum dan perencanaan
program sekolah, menyiapkan buku teks serta berbagai media pendidikan.
Dewasa ini para ahli psikologi di Amerika Serikat, banyak yang mulai
beralih membahas masalah-masalah belajar di sekolah. Sayangnya perhatian para
ahli tersebut masih lebih banyak tercurah pada studi tentang bakat dan kecakapan,
serta aspek-aspek sosial dan psikologis dalam pendidikan, dan kurang
memperhatikan masalah struktur intelek dari kegiatan dalam kelas.
Dalam tujuan pendidikan di Amerika Serikat, ada dualisme yang
membutuhkan keseimbangan, yaitu antara kegunaan (useful), dengan keindahan
(ornamental). Sekolah diharapkan dapat mengajarkan semua yang berguna dan
semua yang indah. Pengertian berguna mengandung dua pengertian, pertama
dalam bentuk penguasaan keterampilan (skill), dan kedua pemahaman umum
(general understanding). Keterampilan merupakan kecakapan-kecakapan khusus
yang dikuasai seseorang. Keterampilan sangat berhubungan erat dengan profesi
seseorang. Pemahaman umum, merupakan penguasaan hal-hal yang berhubungan
erat dengan masalah kehidupan, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga
masyarakat. Menyusun program pendidikan yang seimbang antara pendidikan
umum dengan pendidikan keterampilan sering cukup sukar.
Dewasa ini konsep proses belajar berangsur-angsur pindah dari
pemahaman umum pada penguasaan keterampilan khusus. Studi tentang transfer
belajar, dahulu berkenaan dengan disiplin-disiplin formal bagaimana menguasai
kemampuan analisis, sintesis, penilaian, dan sebagainya melalui berbagai bentuk
latihan, sekarang transfer lebih banyak berkenaan dengan latihan keterampilan
khusus. Akibatnya selama pertengahan pertama abad 20, sangat kurang penekanan
pada penguasaan struktur atau penguasaan pengetahuan secara menyeluruh.
Apa yang dimaksud dengan penguasaan struktur? Penguasaan struktur
merupakan pemahaman suatu bahan pelajaran secara menyeluruh dan penuh arti.
Belajar struktur adalah belajar secara keseluruhan (utuh), yakni hal-hal yang
saling berhubungan terintegrasi menjadi satu kesatuan. Penguasaan struktur dalam
penyusunan kalimat, umpamanya, memungkinkan anak dengan cepat menyusun
banyak kalimat didasarkan atas model struktur yang dipelajari, walaupun tidak
mengetahui aturannya.
Dalam penyusunan kurikulum, masalah mengajarkan struktur perlu
mendapatkan perhatian utama, sebab keberhasilan pelaksanaan suatu kurikulum
sangat dipengaruhi oleh hal tersebut. Ada beberapa pertanyaan umum, sebelum
seseorang sampai pada pertanyaan-pertanyaan yang lebih khusus. Contoh
pertanyaan umum, apakah tujuan pendidikan suatu sekolah. Setelah merumuskan
jawaban pertanyaan tersebut, baru mengajukan pertanyaan yang lebih khusus,
umpamanya, apakah manfaat mata-mata pelajaran yang diberikan. Jawaban
terhadap pertanyaan pertama dapat dihubungkan dengan sifat masyarakat yaitu
tuntutan dan kebutuhannya, juga dapat dihubungkan dengan pemenuhan
kebutuhan pribadi dan masyarakat (kesejahteraan individu dan masyarakat).
Pendidikan yang menekankan struktur, mengutamakan pendidikan intelek,
tetapi tidak berarti pendidikan segi lain diabaikan. Pendidikan yang menekankan
struktur bukan saja dapat berhasil dengan baik pada anak-anak yang cerdas, tetapi
juga pada anak-anak biasa bahkan anak-anak yang kurang mampu. Ini tidak
berarti urutan dan isi bahan pelajaran bagi mereka sama.
Ada empat hal pokok penting dalam proses pendidikan. Pertatna, peranan
struktur bahan, dan bagaimana hal tersebut menjadi pusat kegiatan belajar. Hal
yang sangat penting dalam menyusun dan mengembangkan kurikulum adalah
bagaimana memberikan pengertian kepada siswa tentang struktur yang mendasar
terhadap tiap mata pelajaran. Bagaimana mengajarkan struktur mendasar secara
efektif, serta bagaimana menciptakan kondisi belajar yang mendukung hal
tersebut. Kedua, proses belajar menekankan pada berpikir intuitif. Berpikir intuitif
merupakan teknik intelektual untuk mencapai formulasi tentatif tanpa
mengadakan analisis langkah demi langkah. Ketiga, masalah kesiapan (readiness)
dalam belajar. Pada masa lalu, sekolah banyak membuang vvaktu untuk
mengajarkan hal-hal yang terlalu sulit bagi anak, karena kurang memperhatikan
Belajar intuitif
untuk
menggunakan
konsep-konsep
tersebut.
Dua
contoh
belum
selesai,
maka
si
pelajar
harus
berusaha
mencari
dan
Keempat tipe belajar tesebut sebenarnya hanya merupakan kencederungankecenderungan. Cenderung ke arah mencari atau menerima ke arah menghafal
atau mendapatkan makna. Keseluruhan tipe belajar tersebut juga bisa
berkombinasi satu sama lain, membentuk tipe belajar menerima-bermakna,
mencari bermakna, menghafal menerima, dan menghafal mencari.
a. Konsep-Konsep Dasar
Ada dua hal penting dalam konsep belajar bermakna, yaitu struktur
kognitif dan materi pengetahuan baru. Struktur kognitif merupakan segala
pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebagai hasil dari kegiatan belajar yang
lalu. Dalam belajar bermakna pengetahuan baru harus mempunyai hubungan atau
dihubungkan dengan struktur kognitifnya. Hubungan tersebut akan terjadi karena
adanya kesamaan isi (substantiveness) dan secara beraturan (non-arbitrer). Kedua
sifat hubungan tersebut menunjukkan adanya kebermaknaan logis materi yang
akan dipelajari. Jadi kebermaknaan logis ini merupakan sifat dari materi yang
akan dipelajari, tetapi tidak berarti menjamin bahwa itu bermakna bagi siswa.
Agar hal itu bermakna bagi siswa, ada dua tambahan persyaratan. Pertama, suatu
materi memiliki kebermaknaan logis berarti bahwa materi tersebut dapat
dihubungkan dengan konsep-konsep yang telah ada pada siswa. Agar materi baru
dapat difahami siswa, maka is sendiri harus memiliki materi yang sesuai dengan
hal itu. Bila siswa dalam struktur kognitifnya telah memiliki materi, ide-ide yang
sesuai, yang memungkinkan materi baru dapat dihubungkan padanya secara
subtantif dan non-arbitrer, maka materi tersebut telah memiliki kebermaknaan
potensial (potential meaningfulness).Kedua, suatu materi memiliki kebermaknaan
potensial, sebab siswa dapat memberikan makna, tetapi hal itu bergantung pada
kemauan siswa untuk memberi makna atau tidak. Apabila si siswa mempunyai
kesiapan untuk memberi makna maka terjadilah belajar bermakna (meaningful
learning).
Kalau disimpulkan belajar bermakna ini menuntut tiga persyaratan:
1. Materi yang dipelajari harus dapat dihubungkan dengan struktur kognitif
secara beraturan karena adanya kesamaan isi.
2. Siswa harus memiliki konsep yang sesuai dengan materi yang akan
dipelajarinya.
logis
terbentuk
melalui
fenomena
adanya
benda-benda
yang
dikelompokkan karena memiliki ciri-ciri yang sama. Berbagai macam kucing dan
harimau karena cirinya yang sama, dikelompokkan sebagai kucing. Dalam makna
logis ada ciri-ciri utama yang menunjukkan sekumpulan sifat-sifat yang dimiliki
oleh setiap anggota suatu kelas konsep. Ciri-ciri utama tersebut berbeda antara
suatu kelas konsep dengan kelas yang lain. Makna psikologis suatu konsep
terbentuk dalam dua tahap. Pada tahap pertama konsep terbentuk melalui
pengalaman nyata. Secara induktif anak menemukan ciri-ciri utama benda-benda
tertentu. Melalui permainan dengan bermacam-macam warna dan bentuk kubus
anak akan memiliki konsep tentang kubus, walaupun tidak tahu namanya. Pada
tahap berikutnya bila anak telah bersekolah ia belajar makna konsep secara formal
dari nama dan kata-kata. Kedua tahap proses pembentukan makna konsep tersebut
terjadi hampir dalam semua kegiatan anak belajar konsep. Pembentukan konsep
selanjutnya terjadi melalui proses asimilasi yaitu definisi-definisi.
Belajar proposisi. Proposisi atau kaidah merupakan suatu kalimat yang
menunjukkan hubungan antara dua hal. Proposisi ini ada yang bersifat umum,
"binatang buas makan daging" yang berisi banyak konsep dan ada pula yang
bersifat khusus, harimau makan kelinci yang hanya berisi satu konsep.
Dalam belajar proposisi yang bermakna, kalimat yang dipelajari dihubungkan
dengan konsep yang ada dalam struktur kognitif. Ada tiga macam cara
menghubungkan:
1) Hubungan antar-bagian. Bahan baru yang dipelajari siswa merupakan bagian
dari konsep-konsep yang telah ada. Dalam belajar hubungan antar-bagian ini
ada dua macam bagian, yaitu bagian yang bersifat derivative dan correlative.
Pada bagian derivative siswa melukiskan atau meneruskan hal yang dicakup
dalam sutu proposisi. Contoh: "kucing memanjat pohon", bagian derivativenya "kucing tetangga memanjat pohon saya". Dalam bagian correlative,
belajar berfungsi memperluas, mengelaborisasi, memodifikasi proposisiproposisi yang telah ada. Contoh anak telah mengenal jajaran genjang,
dengan correlative preposition anak akan mengenal belah ketupat.
2) Hubungan superordinat. Bahan yang dipelajari merupakan superordinat dari
konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya. Anak telah
mengenal besar sudut segi tiga siku-siku 180 derajat, segi tiga sama sisi 180
derajat, dan sebagainya, maka dalam kegiatan belajar sampai pada proposisi
bahwa jumlah sudut setiap segi tiga besarnya 180 derajat.
3) Hubungan kombinasi. Bahan yang dipelajari bukan merupakan bagian bukan
juga superordinat dari yang telah ada, akan tetapi merupakan kombinasi dari
banyak hubungan. Contohnya adalah belajar model.
Belajar diskaveri atau mencari. Bahan yang dipelajari tidak disajikan
secara tuntas tetapi membutuhkan beberapa kegia tan mental untuk menuntaskan
dan menyatakannya dengan struktur kognitif. Belajar diskoveri terbagi atas dua
macam kegiatan belajar, yaitu belajar pemecahan masalah dan belajar kreatif.
Belajar pemecahan masalah, memiliki proses psikologis yang lebih
kompleks dibandingkan dengan belajar proposisi. Dalam belajar pemecahan
masalah, anak dihadapkan pada masalah-masalah yang memerlukan pemecahan.
Guru mengajukan beberapa pertanyaan yang mengarahkan siswa agar
menemukan pemecahan atau jawabannya sendiri.
Belajar kreatif. Kreativitas merupakan suatu kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang baru, baik baru bagi dirinya maupun orang lain. Belajar
represensional
sampai
dengan
belajar
kreatif.
Karena
adanya
dan kekurangjelasan
kognitif, kesalahan tersebut akan menetap malah akan diperkuat pada masamasa asimilasi.
c. Kesalahan dan penyimpangan dapat terjadi bila suatu makna yang telah
tersimpan dirumuskan kembali secara verbal.
Dalam menerima suatu konsep baru terjadi "leveling" dan "sharpening".
Leveling adalah penyusutan bentuk yang tidak lazim dalam bentuk yang lebih
lazim, sedang sharpening adalah penajaman suatu konsep atau perangsang
menjadi lebih sempurna lebih baik. Masalah lupa memiliki nilai positif dan juga
nilai negatif. Nilai positifnya adalah menyeleksi ideide baru mana yang lebih
stabil, lebih penting dan lebih memperkuat konsep-konsep yang telah ada, dan
tidak mengingat semua perangsang yang masuk.
Mengingat bermakna yaitu memasukkan konsep-konsep penting dalam
struktur kognitif sangat penting bagi kegiatan belajar Iebih lanjut dan kegiatankegiatan pemecahan masalah sebab konsep-konsep tersebut merupakan pijakan
dan bahan yang akan diolah dalam proses belajar selanjutnya. Penguasaan konsepkonsep penting sering mengabaikan konsep-konsep atau detail-detail yang kurang
penting. Hal itu disebabkan bahan-bahan yang tidak penting sudah tercakup dalam
hal-hal yang penting. Karena merasa sudah tercakup sering terlupakan. Sebab lain,
terjadi karena bahan-bahan baru yang kurang penting tersebut dalam
penyatuannya dengan yang telah ada kurang stabil, kurang kuat, kurang jelas
sehingga mudah sekali terlupakan.
D. Kesiapan Belajar
Tiap bahan pelajaran dapat diajarkan kepada anak secara efektif bila sesuai
dengan tingkat perkembangan anak tersebut. Ada tiga masalah penting berkenaan
dengan penyesuaian bahan ajar dengan perkembangan anak:
1. Perkernbangan intelek
Hasil penelitian berkenaan dengan perkembangan intelek anak menunjukkan, bahwa tiap tingkat perkembangan mempunyai karakteristik tertentu
tentang cara anak melihat lingkungannya dan cara memberi arti bagi dirinya
sendiri.
Mengajarkan
suatu
bahan
pelajaran
kepada
anak,
adalah
dengan pemikiran, trial and error digunakan untuk menjadi pembantu atau bahan
pembanding
pemikiran.
Reversibility
diperlukan,
karena
dalam
operasi
belajar
menggunakan
alatalat
atau
resep-resep
matematis
tanpa
memahaminya.
Perkembangan intelek anak bukanlah suatu rangkaian perkembangan yang
bersifat tertutup, tetapi terbuka, merespons terhadap pengaruh lingkungannya
terutama lingkungan sekolah. Perkembangan intelek anak perlu ditunjang oleh
kesempatan-kesempatan yang berguna agar berkembang lebih pesat. Menurut
David Page seorang ahli dan guru yang sangat berpengalaman dalam mengajar
matematika, dalam pengajaran dari Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan
Tinggi dalam perkembangan intelek menunjukkan kecenderungan yang sama,
bahwa anak lebih spontan, lebih kreatif, lebih energik dibandingkan dengan orang
dewasa. Belajar anak dalam segala hal lebih cepat dibandingkan dengan orang tua.
2. Kegiatan belajar
Belajar sesuatu bidang pelajaran, minimal meliputi tiga proses. Pertama,
proses mendapatkan atau memperoleh informasi baru untuk melengkapi atau
menggantikan informasi yang telah dimiliki atau menyempurnakan pengetahuan
yang telah ada. Kedua, transformasi, yaitu proses memanipulasi pengetahuan agar
sesuai dengan tugas yang baru. Transformasi meliputi cara-cara mengolah
informasi untuk sampai pada kesimpulan yang lebih tinggi. Ketiga, proses
evaluasi untuk mengecek apakah manipulasi sudah memadai untuk dapat
menjalankan tugas rnencapai sasaran. Apakah kesimpulan yang telah dilakukan
dengan saksama, dapat dioperasikan dengan baik.
Dalam mempersiapkan bahan pelajaran, biasanya kita susun bahan
pelajaran tersebut dalam rentetan episode (satuan pelajaran). Dalam tiap episode
terdapat ketiga proses di atas. Episode belajar dapat panjang, juga dapat pendek,
berisi banyak konsep, atau hanya beberapa konsep saja. Dalam menyajikan bahan
pelajaran sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan murid, episode-episode bahan
pelajaran, kita manipulasi dengan beberapa cara. Cara-cara yang biasa dilakukan
adalah: memperpanjang atau memperpendek isi episode, memberikan ganjaran
cerdas tetapi juga ditujukan bagi anak-anak biasa. Konsep pendidikan atau
pengajaran hanya dipersiapkan bagi anak ratarata agar sesuai bagi setiap
kelompok anak, adalah kurang tepat. Persoalannya, bagaimana menyiapkan bahan
pengajaran yang dapat merangsang minat belajar anak cerdas, tetapi juga tidak
mematikan minat atau tetap mendorong minat belajar anak-anak yang tidak
cerdas. Untuk mencapai cita-cita pendidikan unggul dibutuhkan kurikulum yang
sesuai, pendidikan guru yang efektif, menggunakan alat-alat bantu pengajaran
yang cukup serta diciptakan berbagai usaha pemberian motivasi.
Pembangkitan motif belajar pada anak, sukar dilaksanakan apabila proses
belajar lebih menekankan pada satuan-satuan kurikulum, sistem kenaikan kelas,
sistem ujian, serta mengutamakan kontinuitas dan pendalaman belajar.
Mengenai pemusatan perhatian dan minat belajar terletak dalam suatu
kontinum yang bergerak dari sikap apatis atau sama sekali tidak menaruh minat
sampai dengan yang sangat berminat. Minat atau perhatian belajar ini sangat
berhubungan dengan kegiatan belajar. Kegiatan belajar juga bergerak dari yang
aktif, yang berbentuk suatu proyek yang berisi kegiatan kompetitif, yang banyak
membangkitkan minat belajar anak sampai dengan kegiatan yang bersifat
excessive yakni setiap anak secara pasif menanti giliran penugasan, yang banyak
memberikan kebosanan dan apatisme.
Pembangkitan minat belajar pada anak, ada yang bersifat sementara
(jangka pendek), dan ada juga yang lebih bersifat menetap (jangka panjang).
Terdapat perbedaan usaha untuk membangkitkan minat yang bersifat sementara
dengan yang lebih bersifat menetap. Penggunaan film, audio visual aid, dan lainlain dapat membangkitkan minat yang bersifat sementara. Untuk yang lebih
berjangka lama, film, audio visual aid, dan lain-lain dapat menimbulkan
kepasifan. Film dan audio visual aid merupakan alat yang berorientasi pada
hiburan, seperti halnya kebudayaan komunikasi massa dapat menimbulkan
kepasifan dan sikap monoton. Sikap belajar menonton yang pasif (the spectator's
possitivy) merupakan hal yang membahayakan dalam perkembangan anak. Untuk
membangkitkan minat yang lebih bersifat menetap (jangka panjang), langkah
pertama yang harus diusahakan adalah membangkitkan otonomi yang aktif, yang
merupakan lawan dari kepenontonan yang pasif. Motif belajar pada anak
umumnya campuran, antara yang bersifat sementara, antara otonomi aktif dengan
menonton.
Beberapa hal dapat diusahakan untuk membangkitkan motif belajar pada
anak yaitu pemilihan bahan pengajaran yang berarti bagi anak, menciptakan
kegiatan belajar yang dapat membangkitkan dorongan untuk menemukan
(discovery), menerjemahkan apa yang akan diajarkan dalam bentuk pikiran yang
sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Sesuatu bahan pengajaran yang berarti
bagi anak yang disajikan dalam bentuk yang sesuai dengan tingkat kemampuan
berpikir anak, dan disampaikan dalam bentuk anak lebih aktif, anak banyak
terlibat dalam proses belajar dapat membangkitkan motif belajar yang lebih
berjangka panjang.
Salah satu sistem untuk membangkitkan motif belajar para siswa, yang
sekarang sedang dikembangkan adalah yang disebut meritocracy. Meritocracy
merupakan sistem pengajaran yang menekankan pada kompetisi atau persaingan.
Dalam sistem meritocracy siswa mempunyai kesempatan untuk maju terus sesuai
dengan prestasi belajar yang dicapainya. Posisi dalam sekolah selanjutnya
ditentukan oleh record di sekolah sebelumnya. Kesempatan pendidikan selanjutnya bahkan juga kesempatan pekerjaan selanjutnya, ditentukan oleh sukses
sebelumnya. Dalam sistem meritocracy anak yang pandai dapat berkembang
pesat, jauh meninggalkan teman-temannya, tetapi sebaliknya anak yang kurang
pandai akan jauh tertinggal. Sistem meritocracy dapat membangkitkan motif yang
sangat besar bagi anakanak yang pandai, tetapi dapat mematahkan semangat anakanak yang kurang. Sistem meritocracy selain mempunyai beberapa kebaikan, juga
mempunyai beberapa efek negatif terutama berkenaan dengan suasana belajar.
Efek yang kurang baik dalam suasana belajar dapat dikontrol dengan perencanaan
yang matang.
Dalam sekolah yang menekankan sistem kompetitif, dibutuhkan usahausaha remedial terutama untuk anak-anak lambat belajar. Penyuluhan khusus
sering dibutuhkan bukan saja oleh anak-anak yang lambat tetapi juga anak cepat.
Remedial dan penyuluhan bukan satu-satunya jawaban untuk mengatasi masalah
belajar yang bersifat kompetitif. Salah satu kelemahan sistem meritocracy adalah
terlalu menekankan pada science dan teknologi, pelajaran yang berkenaan dengan
humanisme kurang sekali. Hal itu dapat diatasi dengan menggunakan sistem
pendidikan yang pluralistis. Pendidikan seni, musik, drama serta pendidikan
humanitas lainnya sangat membantu untuk mencapai keseimbangan.
F. Buku Acuan
Hosyom, John. (1985). Inquiring Into the Teaching Process. Toronto, Ontario:
OISE Press/The Ontariao Institut for Study in Education.
Sesuai dengan judul bukunya, inquiring, tulisan ini mengajak dan
mendorong para pelaksana pendidikan terutama guru, kepala sekolah, pengawas,
ahli kurikulum, serta administrator pendidikan untuk lebih memahami apa yang
secara nyata berlangsung dalam kelas. Agar para pelaksana dan juga perencana
pendidikan mempunyai pemahaman yang mendalam tentang situasi pendidikan,
mereka perlu memahami pemikiran guru, kegiatan guru dalam kelas, kegiatan
siswa serta pemikiran siswa. Dengan dasar pemahaman di atas para pelaksana
pendidikan, terutama guru dapat melaksanakan pengajaran dan memonitor
perkembangannya. Sebagai dasar pemahaman situasi pendidikan mereka harus
mempunyai pengetahuan ten- tang pendidikan yang baik. Untuk melaksanakan
pengajaran yang baik, mereka harus menguasai pula peranan profesional dari guru
serta prosedur pelaksanaan pengajaran. Dengan buku ini para perencana dan
pelaksana pendidikan diajak, didorong untuk berpikir, berbuat dan mengadakan
studi sendiri, berinkuiri dalam profesinya.
Joice, Bruce R., et.al. (1981). Flexibility in Teaching. New York, London:
Longman.
Konsep yang ingin disampaikan dalam buku ini ialah suatu keyakinan
bahwa esensi dari pengajaran adalah fleksibilitas. Pengajaran merupakan suatu
kehidupan yang berisi hubungan simbiosis antara guru dengan siswa, tetapi sering
penuh dengan frustrasi dan kegembiraan, hukuman, dan ganjaran. Dalam buku ini
digambarkan bahwa pengajaran adalah suatu perbuatan yang gentleman, suatu
adaptasi alamiah antara seorang dengan yang lain. Pendidikan guru memegang
BAB 8
PENGEMBANGAN KURIKULUM
terintegrasi
filsafat,
nilai-nilai,
pengetahuan,
dan
perbuatan
pendidikan.
Kurikulum disusun oleh para ahli pendidikan/ahli kurikulum, ahli bidang ilmu,
pendidik, pejabat pendidikan, pengusaha serta unsurunsur masyarakat lainnya.
Rancangan ini disusun dengan maksud memberi pedoman kepada para pelaksana
pendidikan, dalam proses pembimbingan perkembangan siswa, mencapai tujuan
yang dicita-citakan oleh siswa sendiri, keluarga, maupun masyarakat.
Kelas merupakan tempat untuk melaksanakan dan menguji kurikulum. Di
sana semua konsep, prinsip, nilai, pengetahuan, metode, alat, dan kemampuan
guru diuji dalam bentuk perbuatan, yang akan mewujudkan bentuk kurikulum
yang nyata dan hidup. Pewujudan konsep, prinsip, dan aspek-aspek kurikulum
tersebut seluruhnya terletak pada guru. Oleh karena itu, gurulah pemegang kunci
pelaksanaan dan keberhasilan kurikulum. Dialah sebenarnya perencana,
pelaksana, penilai, dan pengembang kurikulum sesungguhnya. Suatu kurikulum
diharapkan memberikan landasan, isi, dan, menjadi pedoman bagi pengembangan
kemampuan siswa secara optimal sesuai dengan tuntutan dan tantangan
perkembangan masyarakat.
1. Prinsip-prinsip umum
Ada beberapa prinsip umum dalam pengembangan kurikulum. Pertama,
prinsipreigansi. Ada dua macam relevansi yang harus dimiliki kurikulum, yaitu
relevan ke luar dan relevansi di dalam kurikulum itu sendiri. Relevansi ke luar
maksudnya tujuan, isi, dan proses belajar yang tercakup dalam kurikulum
hendaknya relevan dengan tuntutan, kebutuhan, dan perkembangan masyarakat.
Kurikulum menyiapkan siswa untuk bisa hidup dan bekerja dalam masyarakat.
Apa yang tertuang dalam kurikulum hendaknya mempersiapkan siswa untuk tugas
tersebut. Kurikulum bukan hanya menyiapkan anak untuk kehidupannya sekarang
tetapi juga yang akan datang. Kurikulum juga harus memiliki relevansi di dalam
yaitu ada kesesuaian atau konsistensi antara komponen-komponen kurikulum,
yaitu antara tujuan, isi, proses penyampaian, dan penilaian. Relevansi internal ini
menunjukkan suatu keterpaduan kurikulum.
Prinsip kedua adalah fleksibilitas, kurikulum hendaknya memilih sifat
lentur atau fleksibel. Kurikulum mempersiapkan anak untuk kehidupan sekarang
dan yang akan datang, di sini dan ditempat lain, bagi anak yang memiliki latar
belakang dan kemampuan yang berbeda. Suatu kurikulum yang baik adalah
kurikulum yang berisi hal-hal yang solid, tetapi daram pelaksanaannya memung
inkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan kondisi daera aktu maupun
kemampuan, dan latar belakang anak.
Prinsip ketiga adalah kontinuitas yaitu kesinambungan. Perkembangan dan
proses belajar anak berlangsung secara berkesinambungan, tidak terputus-putus
atau berhenti-henti. Oleh karena itu, pengalamanpengalaman belajar yang
disediakan kurikulum juga hendaknya berkesinambungan antara satu tingkat
kelas, dengan kelas lainnya, antara satu jenjang pendidikan dengan jenjang
lainnya, juga antara jenjang pendidikan dengan pekerjaan. Pengembangan
kurikulum perlu dilakukan serempak bersama-sama, perlu selalu ada komunikasi
dan kerja sama antara para pengembang kurikulum sekolah dasar dengan SMTP,
SMTA, dan Perguruan Tinggi.
Prinsip keempat adalah praktis, mudah dilaksanakan, menggunakan alatalat sederhana dan biayanya juga murah. Prinsip ini juga disebut prinsip efisiensi.
Betapapun bagus dan idealnya suatu kurikulum kalau menuntut keahlian-keahlian
dan peralatan yang sangat khusus dan mahal pula biayanya, maka kurikulum
tersebut tidak praktis dan sukar dilaksanakan. Kurikulum dan pendidikan selalu
dilaksanakan dalam keterbatasan-keterbatasan, baik keterbatasan waktu, biaya,
alat, maupun personalia. Kurikulum bukan hanya harus ideal tetapi juga praktis.
Prinsip kelima adalah efektivitas. Walatipun kurikulum tersebut hams
murah, sederhana, dan murah tetapi keberhasilannya tetap harus diperhatikan.
Keberhasilan pelaksanaan kurikulum ini baik secara kuantitas maupun kualitas.
Pengembangan suatu kurikulum tidak dapat dilepaskan dan merupakan
penjabaran dari perencanaan pendidikan. Perencanaan di bidang pendidikan juga
merupakan bagian yang dijabarkan dari kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah
di bidang pendidikan. Keberhasilan kurikulum akan mempengaruhi keberhasilan
pendidikan.
Kurikulum pada dasarnya berintikan empat aspek utama yaitu: tujuantujuan pendidikan, isi pendidikan, pengalaman belajar, dan penilaian.
2. Prinsip-prinsip khusus
Ada beberapa prinsip yang lebih khusus dalam pengembangan kurikulum.
Prinsip-prinsip ini berkenaan dengan penyusunan tujuan, isi, pengalaman belajar,
dan penilaian.
Prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan
lembaga
negara
mengenai
tujuan,
dan
strategi
siswa,
atau
dan
bimbingan
kepada
guru-guru.
Walaupun
guru
dapat
kebijaksanaan
pembangunan
secara
umum
maupun
pembangunan
kurikulum,
untuk
memahami
hambatanhambatan
dalam
Guru juga bukan hanya berperan sebagai guru di dalam kelas, ia juga
seorang komunikator, pendorong kegiatan belajar, pengembang alat-alat belajar,
pencoba, penyusunan organisasi, manajer sistem pengajaran, pembimbing baik di
sekolah maupun di masyarakat dalam hubungannya dengan pelaksanaan
pendidikan seumur hidup.
Guru juga berperan sebagai pelajar dalam masyarakatnya, sebab ia harus
selalu belajar struktur sosial masyarakat, nilai-nilai utama masyarakat, pola-pola
tingkah laku dalam masyarakat. Hal-hal di atas diperlukan untuk mempersiapkan
guru dalam berbagai situasi dan kegiatan pendidikan.
Sebagai pelaksana kurikulum maka guru pulalah yang menciptakan
kegiatan belajar mengajar bagi murid-muridnya. Berkat keahlian, keterampilan
dan kemampuan seninya dalam mengajar, guru mampu menciptakan situasi
belajar yang aktif yang menggairahkan yang penuh kesungguhan dan mampu
mendorong kreativitas anak.
dari
pengembangan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi
yang
2. Masyarakat
Sekolah merupakan bagian dari masyarakat dan mempersiapkan anak
untuk kehidupan di masyarakat. Sebagai bagian dan agen dari masyarakat,
sekolah sangat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat di mana sekolah tersebut
berada. Isi kurikulum hendaknya mencerminkan kondisi dan dapat memenuhi
tuntutan dan kebutuhan masyarakat di sekitarnya. Masyarakat yang ada di sekitar
sekolah mungkin merupakan masyarakat homogen atau heterogen, masyarakat
kota atau desa, petani, pedagang atau pegawai, dan sebagainya. Sekolah harus
melayani aspirasi-aspirasi yang ada di masyarakat. Salah satu kekuatan yang ada
dalam masyarakat adalah dunia usaha. Perkembangan dunia usaha yang ada di
masyarakat mempengaruhi pengembangan kurikulum sebt sekolah bukan hanya
mempersiapkan anak untuk hidup, tetapi juga untuk bekerja dan berusaha. Jenis
pekerjaan dan perusahaan yang ada di masyarakat menuntut persiapannya di
sekolah.
3. Sistem nilai
Dalam kehidupan masyarakat terdapat sistem nilai, baik nilai moral,
keagamaan, sosial, budaya maupun nilai politis. Sekolah sebagai lembaga
masyarakat juga bertanggung jawab dalam pemeliharaan dan penerusan nilainilai. Sistem nilai yang akan dipelihara dan diteruskan tersebut harus
terintegrasikan dalam kurikulum. Masalah utama yang dihadapi para pengembang
kurikulum menghadapi nilai ini adalah, bahwa dalam masyarakat nilai itu tidak
hanya satu. Masyarakat umumnya heterogen dan multifaset. Masyarakat memiliki
kelompok-kelompok etnis, kelompok vokasional, kelompok intelek, kelompok
sosial, spiritual dan sebagainya yang tiap kelompok sering memiliki nilai yang
berbeda. Dalam masyarakat Ingo terdapat aspek-aspek sosial, ekonomi, politik,
fisik, estetika, etika, chr,iiis, dan sebagainya A..pek-aspek tersebut sering juga
mengandung nilai-nilai yang berbeda. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
guru
dalam
mengajarkan
nilai:
(1)
guru
hendaknya
mengetahui
dan
memperhatikan semua nilai yang ada dalam masyarakat, (2) guru hendaknya
berpegang pada prinsip demokrasi, etis, dan moral, (3) guru berusaha menjadikan
dirinya sebagai teladan yang patut ditiru, (4) guru menghargai nilai-nilai
kelompok lain, (5) memahami dan menerima keragaman kebudayaan sendiri.
D. Artikulasi dan Hambatan Pengembangan Kurikulum
Artikulasi dalam pendidikan berarti "kesatupaduan dan koordinasi segala
pengalaman belajar". Untuk merealisasikan artikulasi kurikulum, perlu meneliti
kurikulum secara menyeluruh, membuang hal-hal yang tidak diperlukan,
menghilangkan duplikasi, merevisi metode serta isi pengajaran, mengusahakan
perluasan dan kesinambungan kurikulum. Bila artikulasi dilaksanakan dengan
baik akan terwujud kesinambungan pengalaman belajar sejak TK sampai
Perguruan Tinggi, juga antara satu bidang studi dengan bidang studi lainnya
secara horizontal. Tanpa artikulasi akan terdapat keragaman baik dalam isi,
metode maupun perhatian terhadap perkembangan anak.
Untuk menyusun artikulasi kurikulum diperlukan kerja sama dari berbagai
pihak: para administrator, kepala sekolah, TK sampai rektor universitas, guru-guru
dari setiap jenjang pendidikan, orang tua murid dan tokoh-tokoh masyarakat.
Dalam mengusahakan artikulasi kurikulum tersebut murid pun perlu dimintakan
pendapatnya tentang hubungan pelajaran yang satu dengan yang lainnya,
hubungan antara satu tingkat dengan tingkat berikutnya. Salah satu hal yang
sering dipandang menghambat artikulasi adalah pembagian menurut tingkat
belajarnya. Hal itu menyebabkan tersusunnya organisasi mata pelajaran yang
kaku. Untuk menjamin kesinambungan pengalaman belajar beberapa sekolah
menggunakan sistem pendidikan tidak berkelas.
Hambatan-hambatan pengembangan kurikulum
Dalam pengembangan kurikulum terdapat beberapa hambatan. Hambatan
pertama terletak pada guru. Guru kurang berpartisipasi dalam pengembangan
kurikulum. Hal itu disebabkan beberapa hal. Pertama kurang waktu. Kedua
kekurangsesuaian pendapat, baik antara sesama guru maupun dengan kepala
sekolah dan administrator. Ketiga karena kemampuan dan pengetahuan guru
sendiri.
dalam
pengembangan
kurikulum,
yaitu:
(1)
para
ahli
ahli/pejabat/profesi
tersebut
dilibatkan
dalam
pengembangan
kurikulum?, (2) Bila ya, apakah peranan mereka?, (3) Apakah mungkin ditemukan
alat dan cara yang paling efektif untuk melaksanakan peran tersebut?
Ketiga, organisasi dan prosedur pengembangan kurikulum. Langkah ini
berkenaan dengan prosedur yang harus ditempuh dalam merumuskan tujuan
umum dan tujuan yang lebih khusus, memilih isi dan pengalaman belajar, serta
kegiatan evaluasi, dan dalam menentukan keseluruhan desain kurikulum.
Beauchamp membagi keseluruhan kegiatan ini dalam lima langkah, yaitu; (1)
Membentuk tim pengembang kurikulum, (2) mengadakan penilaian atau
penelitian terhadap kurikulum yang ada yang sedang digunakan, (3) Studi
penjajagan tentang kemungkinan penyusunan kurikulum baru, (4) merumuskan
kriteria-kriteria bagi penentuan kurikulum baru, (5) penyusunan dan penulisan
kurikulum baru.
Keempat, implementasi kurikulum. Langkah ini merupakan langkah
mengimplementasikan atau melaksanakan kurikulum yang bukan sesuatu yang
sederhana, sebab membutuhkan kesiapan yang menyeluruh, baik kesiapan guruguru, siswa, fasilitas, bahan maupun biaya, di samping kesiapan manajerial dari
pimpinan sekolah atau administrator setempat.
Langkah yang kelima dan merupakan terakhir adalah evaluasi kurikulum.
Langkah ini minimal mencakup empat hal, yaitu: (1) evaluasi tentang pelaksanaan
kurikulum oleh guru-guru, (2) evaluasi desain kurikulum, (3) evaluasi hasil
belajar siswa, (4) evaluasi dari keseluruhan sistem kurikulum. Data yang
diperoleh dari hasil kegiatan evaluasi ini digunakan bagi penyempurnaan sistem
dan desain kurikulum, serta prinsip-prinsip melaksanakannya.
yang
berwewenang
seperti,
direktorat
pendidikan,
pusat
Mendiagnosis kebutuhan,
Merumuskan tujuan-tujuan khusus,
Memilih isi,
Mengorganisasi isi,
Memilih pengalaman belajar,
Mengorganisasi pengalaman belajar,
Mengevaluasi,
Melihat sekuens dan keseimbangan (Taba, 1962: 347-379).
Langkah kedua, menguji unit eksperimen. Meskipun unit eksperimen ini
telah diuji dalam pelaksanaan di kelas eksperimen, tetapi masih harus diuji di
kelas-kelas atau tempat lain untuk megetahui validitas dan kepraktisannya, serta
menghimpun data bagi penyempurnaan.
Langkah ketiga, mengadakan revisi dan konsolidasi. Dari langkah
pengujian diperoleh beberapa data, data tersebut digunakan untuk mengadakan
perbaikan dan penyempurnaan. Selain perbaikan dan penyempurnaan diadakan
juga kegiatan konsolidasi, yaitu penarikan kesimpulan tentang hal-hal yang lebih
bersifat umum yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas. Hal itu dilakukan,
sebab meskipun suatu unit eksperimen telah cukup valid dan praktis pada sesuatu
sekolah belum tentu demikian juga pada sekolah yang lainnya. Untuk menguji
keberlakuannya pada daerah yang lebih luas perlu adanya kegiatan konsolidasi.
Langkah keempat, pengembangan keseluruhan kerangka kurikulum.
Apabila dalam kegiatan penyempurnaan dan konsolidasi telah diperoleh sifatnya
yang lebih menyeluruh atau berlaku lebih luas, hal itu masih harus dikaji oleh para
ahli kurikulum dan para profesional kurikulum lainnya. Kegiatan itu dilakukan
untuk megnetahui apakah konsep-konsep dasar atau landasan-landasan teori yang
dipakai sudah masuk dan sesuai.
Langkah kelima, implementasi dan diseminasi, yatiu menerapkan
kurikulum baru ini pada daerah atau sekolah-sekolah yang lebih luas. Di dalam
langkah ini masalah dan kesulitan-kesulitan pelaksanaan tetapi dihadapi, baik
berkenaan dengan kesiapan guru-guru, fasilitas, alat dan bahan juga biaya.
6. Roger's interpersonal relations model
Meskipun Rogers bukan seorang ahli pendidikan (ia ahli psikologi atau
psikoterapi) tetapi konsep-konsepnya tentang psikoterapi khususnya bagaimana
membimbing individu juga dapat diterapkan dalam bidang pendidikan dan
pengembangan kuriulum. Memang ia banyak mengemukakan konsepnya tentang
perkembangan dan perubahan individu. Menurut When Crosby (1970: 388)
perubahan kurikulum adalah perubahan individu.
Menurut Rogers manusia berada dalam proses perubahan (becoming,
developing, changing), sesungguhnya ia mempunyai kekuatan dan potensi untuk
berkembang sendiri,
hambatan-hambatan
tertentu ia
perubahan tersebut. Pendidikan juga tidak lain merupakan upaya untuk membantu
memperlancar dan mempercepat perubahan tersebut. Guru serta pendidik lainnya
bukan pemberi informasi apalagi penentu perkembangan anak, mereka hanyalah
pendorong dan pemelancar perkembangan anak.
Ada empat langkah pengembangan kurikulum model Rogers. Pertama,
pemilihan target dari sistem pendidikan. Di dalam penentuan target ini satusatunya kriteria yang menjadi pegangan adalah adanya kesediaan dari pejabat
pendidikan untuk turut serta dalam kegiatan kelompok yang intensif. Selama satu
minggu para pejabat pendidikan/administrator melakukan kegiatan kelompok
dalam suasana yang relaks, tidak formal. Melalui kegiatan kelompok ini mereka
akan mengalami perubahanperubahan sebagai berikut.
1.
2.
3.
4.
He is less protective of his own beliefs and can listen more accurately
He finds it easier and less threatening to accept innovative ideas.
He has less need to protect bureaucratic rules.
He communicates more clearly and realistically to superiors, peers, and
4. He works out problems with students rather than responding in a disciplinary and punitive manner,
5. He develops an equalitarian and democratic classroom climate (Rogers,
1967:724).
Langkah ketiga, pengembangan pengalaman kelompok yang intensif untuk
satu kelas atau unit pelajaran. Selama lima hari penuh siswa ikut serta dalam
kegiatan kelompok, dengan fasilitator para guru atau administrator atau fasilitator
dari luar. Dan kegiatan ini para siswa akan mendapatkan:
1. He feels freer to express both positive and negative feelings in class.
2. He works through these feelings toward a realistic solutin.
3. He has more energy for learning because he has less fear of constant
evaluation and punishment.
4. He discovers that he is responsible for his own learning
5. He awe anal tear of authority diminish as he finds teachers and .1(liiiiii
istr.um. litho fallibly human beings.
6. He finds that the learning process enables him to deal with his lily (Rogers,
1967:725).
Langkah keempat, partisipasi orang tua dalam kegiatan kelompok.
Kegiatan ini dapat dikoordinasi oleh BP3 masing-masing sekolah. Lama kegiatan
kelompok dapat tiga jam tiap sore hari selama seminggu atau 24 jam secara terus
menerus. Kegiatan ini bertujuan memperkaya orang-orang dalam hubungannya
dengan sesama orang tua, dengan anak, dan dengan guru. Rogers juga
menyarankan, kalau mungkin ada pengalaman kegiatan kelompok yang bersifat
campuran. Kegiatan merupakan kulminasi dari semua kegiatan kelompok di atas.
Model pengembangan kurikulum dari Rogers ini berbeda dengan modelmodel lainnya. Sepertinya tidak ada suatu perencanaan kurikulum tertulis, yang
ada hanyalah rangkaian kegiatan kelompok. Itulah ciri khas Carl Rogers sebagai
seorang Eksistensialis Humanis, is tidak mementingkan formalitas, rancangan
tertulis, data, dan sebagainya. Bagi Rogers yang penting adalah aktivitas dan
interaksi. Berkat berbagai bentuk aktivitas dalam interaksi ini individu akan
berubah. Metode pendidikan yang diutamakan Rogers adalah sensitivity training,
encounter group dan Training Group (T Group).
7. The systematic action-research model
BAB 9
EVALUASI KURIKULUM
yang menyatakan keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Pihak yang
memandang ada hubungan, hubungan tersebut merupakan hubungan sebab-akibat.
Perubahan dalam kurikulum berpengaruh pada evaluasi kurikulum, sebaliknya
perubahan evaluasi akan memberi warna pada pelaksanaan kurikulum. Hubungan
antara evaluasi dengan kurikulum bersifat organis, dan prosesnya berlangsung
secara evoltisioner, pandangan lama yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan
zaman, secara berangsur- angsur diganti dengan pandangan baru yang lebih
R.A. Becher, seorang ahli pendidikan dari Universitas Sussex, Inggris
menyatakan bahwa: Tiap program pengembangan kurikulum mempunyai style
dan
karakteristik
tertentu,
dan
evaluasi
dari
program
tersebut
akan
memperlihatkan style dan karakteristik yang sama pula. Seorang evaluator akan
menyusun program evaluasi kurikulum sesuai dengan style dan karakteristik
kurikulum yang dikembangkannya. Juga terjadi sebaliknya, hasil program
evaluasi kurikulum akan mempengaruhi pelaksanaan praktik kurikulum.
Konsep R.A. Becher tentang pengembangan kurikulum dan evaluasi
kurikulum, pada mulanya bersifat deskriptif yaitu menekankan pada What is it?,
tetapi kemudian berkembang kepada yang bersifat preskriptif, yang menekankan
pada What ought to be. Konsep-konsep evaluasi kurikulum yang bersifat
preskriptif, mempunyai tempat dalam konsep kurikulum yang bersifat preskriptif
pula. Sebagai contoh, teori dari Ralph Tylor dan Benyamin Bloom, berisikan
pedoman-pedoman praktis bagi pengembangan kurikulum, demikian juga dengan
teori evaluasi kurikulumnya.
Evaluasi merupakan kegiatan yang luas, kompleks dan terus-menerus
untuk mengetahui proses dan basil pelaksanaan sistem pendidikan dalam
mencapai tujuan yang telah ditentukan. Evaluasi juga meliputi rentangan yang
cukup luas, mulai dari yang bersifat sangat informal sampai dengan yang sangat
formal. Pada tingkat yang sangat informal evaluasi kurikulum berbentuk
perkiraan, dugaan atau pendapat tentang perubahan-perubahan yang telah dicapai
oleh program sekolah. Pada tingkat yang lebih formal evaluasi kurikulum meliputi
pengumpulan dan pencatatan data, sedangkan pada tingkat yang sangat formal
berbentuk pengukuran berbagai bentuk kemajuan ke arah tujuan yang telah
ditentukan.
One dimension is that of quantity; much of the program is to be evaluated? The other dimension is that of quality-what goals are being highlighted in
this evaluation and how does achievement of the goals as sure quality (Doll,
1976: 364).
Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi dimensi kuantitatif
berbeda dengan instrumen untuk mengevaluasi aspek-aspek perkembangan dan
prestasi yang dicapai anak. Dimensi yang bersifat kuantitatif dapat diukur dengan
menggunakan berbagai bentuk alat ukur atau tes standar. Tes standar tersebut ada
yang diperuntukkan mengukur kemampuan yang bersifat potensial (kecerdasan,
bakat) dan ada pula yang diperuntukkan mengukur kemampuan nyata atau
achievement. Tes standar yang mengukur kecerdasan dan bakat umpamanya:
intelligence test, scholastic aptitude test, special aptitude test, prognostic aptitude
test, dan lain-lain, dan tes standar yang mengukur achievement seperti subject
areas test, survey test, diagnostic test, dan lain-lain. Instrumen yang sering
digunakan untuk mengevaluasi dimensi kualitatif umpamanya: questionnaire,
interest inventories, temperament and adjustment inventories, nominating
techniques, interviews, and annecdotal records. (Writht, 1966: 306).
B. Konsep Kurikulum
Kurikulum merupakan daerah studi intelek yang cukup luas. Banyak teori
tentang kurikulum berupa teori menekankan pada rencana, yang lain pada inovasi,
pada dasar-dasar filosofis, dan pada konser konsep yang diambil dari ilmu
perilaku manusia ini menunjukkan betapa luasnya teori- teori tentang kurikulum.
Secara sederhana teori kurikulum dapat diklasifikasikan atas teori-teori yang lebih
menekankan pada isi kurikulum, pada situasi pendidikan serta pada organisasi
kurikulum.
Penekanan
kepada
isi
kurikulum.
Strategi
pengembangan
yang
menekankan isi, merupakan yang paling lama dan banyak dipakai, tetapi juga
terus mendapat penyempurnaan atau pembaharuan Sebab-sebab yang mendorong
pembaharuan ini bermacam-macam. Pertama, karena didorong oleh tuntutan
untuk menguatkan kembali nilai-nilai moral dan budaya dari masyarakat. Kedua,
akan diwariskan,
sesuatu
yang sangat besar kepada si pelajar atau siswa. Dalam pembelajaran model sistem
instruksional aktivitas murid sangat ditekankan, tetapi aktivitas ini merupakan
aktivitas yang sudah dirancang secara ketat. Siswa tidak mungkin melakukan halhal atau kegiatan di luar yang telah diprogramkan. Dalam konsep belajar dari
Bruner juga peranan aktif dari siswa sangat ditekankan, tetapi aktivitas ini bukan
yang telah diprogramkan secara ketat. Siswa mempunyai kesempatan, dan
didorong untuk berinovasi, menyatakan kreativitasnya. Dalam belajar aktif
tersebuI penguasaan bahasa serta proses mental dari si pelajar sangat memegang
peranan utama. Anak menurut Bruner merupakan hasil yang sangal kompleks dari
sejarah, biologi dan social, harus berpartisipasi secara aktil dalam lingkungan
belajar, menguasai bahasa dan menguasai kemamption kemampuan kognitif.
Apakah dalam bentuk sistem instruksional ataupun dalam sistem
pengajaran (perkembangan) dari Bruner, kurikulum yang menekankan pada
organisasi, memusatkan perhatiannya pada sekuens-sekuens belajar serta
organisasi bahan pelajaran yang disusun melalui elaborasi isi dan prosedur
pengukuran. Tipe kurikulum ini secara relatif bersifat lepas dari situasi lingkungan
atau situation free, berbeda dengan yang menekankan situasi. Kurikulum yang
menekankan masalah belajar-mengajar (menekankan organisasi) sebenarnya lebih
dekat kepada pendekatan kurikulum yang bersifat umum (generalized
curriculum), berlaku dalam lingkungan yang cukup luas. Inti kurikulum bukan
terletak pada bahanbahan yang dipelajari anak tetapi pada teacher's guide.
Kurikulum yang menekankan pada organisasi menolak pendapat bahwa
penguasaan pengetahuan merupakan alat untuk mencapai tujuan. Kurikulum yang
menekankan organisasi juga sesungguhnya sukar untuk diukur. Secara teoretis
penyusunan tes yang spesifik dapat dibuat, tetapi seperti telah diutarakan di muka,
isi kurikulum tidak spesifik, tujuannya dapat dicapai dengan cara yang berbedabeda. Tes yang disusun akan banyak menyangkut proses belajar yang bersifat
umum. Lebih jauh, kalau penyusunan tes hasil belajar didasarkan pada tujuan,
maka kurikulum yang menekankan pada organisasi, tesnya akan lebih banyak
mengukur tujuan-tujuan tingkat tinggi pada klasifikasi Bloom (analisis, sintesis,
dan evaluasi).
meninggalkan sekolah, disediakan bagi anak usia 14 sampai 16 tahun dan yang
kecerdasannya di bawah rata-rata. Banyak kesulitan yang dialami dalam proyek
ini, yang paling kritis adalah mengenai komunikasi antara tim proyek dengan
guru-guru, para administrator, dan para siswa. Proyek ini juga memiliki suatu tim
evaluasi. Salah satu kesimpulan dari hasil evaluasi mereka adalah hasil-hasil yang
dicapai oleh guru-guru yang terlatih (yang mengerti maksud serta latar belakang
proyek) tidak dapat dicapai oleh guru-guru yang tidak terlatih. Ini menunjukkan
bahwa latihan guru memegang peranan penting dalam penyebaran program.
Model evaluasi kaitannya dengan teori kurikulum. Perbedaan konsep dan
strategi pengembangan dan penyebaran kurikulum, juga menimbulkan perbedaan
dalam rancangan evaluasi. Model evaluasi yang bersifat komparatif atau
menekankan pada objektif sangat sesuai bagi kurikulum yang bersifat rasional dan
menekankan isi. Dalam kurikulum yang menekankan situasi sukar disusun
evaluasi yang bersifat komparatif, karena konteksnya bukan terhadap guru atau
satu tujuan, tetapi terdapat banyak tujuan. Dengan menggunakan konsep Ralph
Tylor atau Benyamin Bloom mungkin dapat dibuat suatu modifikasi dengan
menyusun tujuan yang bersifat universal yang dapat digunakan pada semua
situasi, tetapi tujuan yang bersifat umum seperti itu akin kabur, dan sukar
menyusun alat evaluasinya. Pendekatan yang bersifat goal free (lebih menekankan
penguasaan aktual dan bukan ideal) lebih memungkinkan, tetapi harus dihindari
penjenjangan tujuan sampai pada perumusan tujuan yang sangat khusus, dengan
kriteria yang khusus pula.
Pada kurikulum yang menekankan organisasi, tugas evaluasi lebih sulit
lagi, karena isi dan hasil kurikulum bukan hal yang utama, yang utamanya adalah
aktivitas dan kemampuan siswa. Salah satu pemecahan bagi masalah ini adalah
dengan pendekatan yang bersifat eklektik seperti dalam proyek Kurikulum
Humaniti dari CARE. Dalam proyek itu dicari perbandingan materi antara proyek
yang menggunakan guru yang terlatih dengan yang tidak terlatih, dalam
evaluasinya juga diteliti pengaruh umum dari proyek, dengan cara mengumpulkan
bahan-bahan secara studi kasus dari sekolah-sekolah proyek. Meskipun
pendekatan perbandingan banyak memberikan hasil yang berharga, tetapi
meminta waktu terlalu banyak dari para evaluator. Dalam perkembangan
selanjutnya ternyata, bahan-bahan dari hasil studi kasus memberikan hasil yang
lebih berharga bagi evaluasi kurikulum.
Teori kurikulum dan teori evaluasi. Model evaluasi kurikulum berkaitan
erat dengan konsep kurikulum yang digunakan, seperti model pengembangan dan
penyebaran dihasilkan oleh kurikulum yang menekankan isi. Evaluasi kurikulum
yang bebas tujuan (Goal free evaluation) dalam kebanyakan kurikulum bukan
merupakan salah satu alternatif evaluasi tetapi merupakan satu-satunya prosedur
evaluasi yang paling memungkinkan.
Macam-macarn model evaluasi yang digunakan bertumpu pada aspekaspek tertentu yang diutamakan dalam proses pelaksanaan kurikulum. Model
evaluasi yang bersifat komparatif berkaitan erat dengan tingkahtingkah laku
individu, evaluasi yang menekankan tujuan berkaitan erat dengan kurikulum yang
menekankan pada bahan ajaran atau isi kurikulum, model (pendekatan)
antropologis dalam evaluasi ditujukan untuk mengevaluasi tingkah-tingkah laku
dalam suatu lembaga sosial. Dengan demikian sesungguhnya terdapat hubungan
yang sangat erat antara evaluasi dengan kurikulum sebab teori kurikulum juga
merupakan teori dari evaluasi kurikulum.
D. Peranan Evaluasi Kurikulum
Evaluasi kurikulum dapat dilihat sebagai proses sosial dan sebagai institusi
sosial. Proyek-proyek evaluasi yang dikembangkan di lnggris umpamanya, juga di
negara-negara lain, merupakan institusi sosial dari gerakan penyempurnaan
kurikulum. Evaluasi kurikulum sebagai institusi sosial mempunyai asal-usul,
sejarah, struktur serta interest sendiri. Beberapa karakteristik dari proyek-proyek
kurikulum yang telah dikembangkan di Inggris, umpamanya (1) lebih berkenaan
dengan inovasi daripada dengan kurikulum yang ada, (2) lebih berskala nasional
daripada lokal, (3) dibiayai oleh vim/ dari luar yang berjangka pendek daripada
oleh anggapan tetap, (4) 1(.1)111 banyak dipengaruhi oleh kebiasaan penelitian
yang bersifat psikometris daripada oleh kebiasaan lama yang berupa penelitian
social. Peranan evaluasi kebijaksanaan dalam kurikulum khususnya pendidikan
umumnya minimal berkenaan dengan tiga hal, yaitu : evaluasi sebagai moral
judgement, evaluasi dan penentuan keputusan, evaluasi, dan konsensus nilai.
informasi
atau
pada
penentuan
keputusan,
tetapi
juga
dapat pula mengambil keputusan bagi seluruh murid. Demikian juga lingkup
keputusan yang diambil oleh kepala sekolah, inspektur, pengembang kurikulum,
dan sebagainya berbeda-beda. Jadi, tiap pengambil keputusan dalam proses
evaluasi memegang posisi nilai yang berbeda, sesuai dengan posisinya. Salah satu
kesulitan yang dihadapi dalam penggunaan hasil evaluasi bagi pengambilan
keputusan adalah, hasil evaluasi yang diterima oleh berbagai pihak pengambil
keputusan adalah sama. Masalah yang timbul adalah, apakah hasil evaluasi
tersebut dapat bermanfaat bagi semua pihak. Sudah tentu jawabannya belum
tentu. Suatu informasi mungkin lebih bermanfaat bagi pihak tertentu, tetapi
kurang bermanfaat bagi pihak yang lain, dan seterusnya.
Evaluasi dan konsensus nilai. Dalam bagian yang terdahulu sudah
dikemukakan bahwa penelitian pendidikan dan evaluasi kurikulum sebagai
perilaku sosial berisi nilai-nilai. Dalam berbagai situasi pendidikan serta kegiatan
pelaksanaan evaluasi kurikulum sejumlah nilai-nilai dibawakan oleh orang-orang
yang turut terlibat (berpartisipasi) dalam kegiatan penilaian atau evaluasi. Para
partisipan dalam evaluasi pendidikan dapat terdiri atas: orang tua, murid, guru,
pengembang kurikulum, administrator, ahli politik, ahli ekonomi, penerbit,
arsitek, dan sebagainya.
Pernah dimimpikan bahwa para partisipan tersebut merupakan suatu
kelompok yang homogen sebagai pengambil keputusan atas hasil penelitian, tetapi
beberapa pengalaman menunjukkan bahwa hal itu tidak mungkin. Mereka
mempunyai sudut pandangan, kepentingan nilai-nilai serta pengalaman tersendiri.
Bagaimana caranya agar di antara mereka terdapat kesatuan penilaian. Kesatuan
penilaian hanya dapat dicapai melalui suatu konsensus.
Secara historis konsensus nilai dalam evaluasi kurikulum berasal dari
tradisi tes mental serta eksperimen. Konsensus tersebut berupa kerangka kerja
penelitian, yang dipusatkan pada tujuan-tujuan khusus, pengukuran prestasi
belajar yang bersifat behavioral, penggunaan analisis statistik dari pre test dan
post test dan lain-lain. Model penelitian di atas merupakan suatu social
engineering atau system approach dalam pendidikan. Dalam model penelitian
tersebut keseluruhan kegiatan dapat digambarkan dalam suatu flow chart yang
merumuskan secara operasional input (pre test) caracara kegiatan (treatment) serta
output (post test).
Model di atas mendapatkan beberapa kritik, tetapi kritik atau kesulitan
tersebut yang paling utama adalah dalam merumuskan tujuan-tujuan khusus yang
dapat diterima oleh seluruh partisipan evaluasi kurikulum serta perencanaan
kurikulum. Juga di antara partisipan harus ada persetujuan tentang tujuan-tujuan
mana yang paling penting.
Selain harus terdapat konsensus tentang tujuan-tujuan yang akan dicapai,
dalam penggunaan model di atas juga harus ada konsensus tentang siapa di antara
para partisipan tersebut yang turut terlibat secara langsung. Tanpa adanya
persetujuan tentang hal-hal tersebut maka sukar untuk dapat menyusun flow chart
yang definitif. Model system approach atau model social engineering bersifat goal
based evaluation, karena bertitik tolak dari tujuan-tujuan yang khusus. Karena
model ini mempunyai beberapa keberatan, maka berkembang model evaluasi
yang lain yang lebih bersifat goal free evaluation.
Pendekatan evaluasi yang bersifat goal free bertolak dari sikap kebudayaan
yang majemuk (cultural pluralism). Sikap kebudayaan yang majemuk mempunyai
dasar relativis, memandang bahwa tiap pandangan sama baiknya. Dalam evaluasi
kurikulum sudah tentu pandangan ini mempunyai kesulitan yang cukup besar,
sebab alat-alat evaluasi yang drgunakan bertolak dari dasar posisi nilai yang
berbeda. Dengan demikian evaluasi juga bersifat relatif. Evaluasi model ini dapat
ditemukan pada para peneliti yang memandang pekerjaannya semata-mata hanya
sebagai pengumpulan data.
E. Ujian sebagai Evaluasi Sosial
Sejak diperkenalkannya sistem ujian atau tes untuk umum di Amerika
Serikat dan negara-negara lain, pengukuran yang berbentuk umum (publik)
tersebut merupakan salah satu model evaluasi dalam pendidikan. Menguji adalah
mengevaluasi kemampuan individu. Dengan adanya ujianujian tersebut, maka
jenis-jenis kemampuan tertentu dipandang menunjukkan status lebih tinggi
dibandingkan dengan kemampuan lainnya. Penguasaan pengetahuan dan
ditentukan
oleh
kemampuan
mengingat
faktafakta.
Kecenderungan ini bukan saja didasari oleh teori psikologi lama, yang
memandang bahwa otak yang lebih baik mampu menguasai fakta lebih banyak,
tetapi juga oleh keadaan masyarakat di mana buku-buku sumber (teks)
pengetahuan secara relatif tidak berubah selama dua abad. Westminster Shorter
Catechism umpamanya digunakan sebagai buku teks di sekolah-sekolah di
Scotlandia dari abad 17 sampai 19. Karena adanya berbagai kemajuan dalam
masyarakat, maka dalam perkembangan selanjutnya jenis kemampuan yaitu
kemampuan menyimpulkan dipandang mempunyai nilai yang lebih tinggi.
Ujian bukan saja menunjukkan nilai pengetahuan atau kemampuan secara
sosial, tetapi juga telah merupakan peraturan dari sekolah. Dalam dua dekade
pertama dari abad 20 sejumlah ahli psikologi dikumpulkan dalam satu komisi
untuk menyusun tes kecerdasan. Hasilnya digunakan untuk menyeleksi anak-anak
yang akan masuk ke sekolah menengah yang tidak mampu membayar uang
sekolah. Kemudian tes tersebut juga digunakan sebagai alat bagi penentuan
kenaikan kelas serta sebagai saringan masuk. Pelaksanaan ujian-ujian tersebut
sejalan dengan anggapan masyarakat pada waktu itu, bahwa hanya sebagian dari
penduduk yang mempunyai kemampuan untuk menguasai pengetahuan pada
suatu jenis sekolah atau pada jenjang sekolah tertentu. Sistem ujian yang
mempunyai nilai historis ini juga digunakan untuk mengontrol efisiensi dan
efektivitas pelaksanaan sekolah. Apakah sistem ini dipandang baik atau jelek
bergantung pada pandangan yang menggunakannya.
Sistem ujian seperti yang dilaksanakan di atas, lebih banyak digunakan
untuk mengukur atau menguji kemampuan individu-individu (siswa). Untuk
menilai gambaran sekolah secara keseluruhan, yaitu menilai tentang keadaan
murid, guru, kurikulum, pembiayaan sekolah, fasilitas sekolah, keseragaman
sekolah, penyusunan rancangan dan pemeliharaan sekolah diperlukan sistem
pengumpulan data serta penilaian yang lain. Kalau untuk mengukur kemampuan
siswa digunakan istilah examination atau assessment maka untuk penilaian
yang
mempunyai
wewenang
kontrol
cukup
besar
dalam
pengumpulan dan penyajian data yang digunakan harus dapat dipahami oleh
penerima informasi yang bukan ahli. Kriteria keberhasilannya adalah pihak yang
dilayaninya
seluas-luasnya.
Konsep
utama
evaluator
demokratis
adalah
evaluasi
kurikulum
yang
menggunakan
model
penelitian
didasarkan atas teori dan metode tes psikologis serta eksperimen lapangan. Tes
psikologis atau tes psikometrik pada umumnya mempunyai dua bentuk, yaitu tes
inteligensi yang ditujukan untuk mengukur kemampuan bawaan, serta tes hasil
belajar yang mengukur perilaku skolastik.
Eksperimen lapangan dalam pendidikan, dimulai tahun 1930 dengan
menggunakan metode yang biasa digunakan dalam penelitian botani pertanian.
Para ahli botani pertanian mengadakan percobaan untuk mengetahui produktivitas
bermacam-macam benih. Beberapa macam benih ditanam pada petak-petak tanah
yang memiliki kesuburan dan lain-lain yang sama. Dari percobaan tersebut dapat
diketahui benih mana yang paling produktif. Percobaan serupa dapat juga
digunakan untuk mengetahui pengaruh tanah, pupuk dan sebagainya terhadap
produktivitas suatu macam benih.
Model eksperimen dalam botani pertanian dapat digunakan dalam
pendidikan, anak dapat disamakan dengan benih, sedang kurikulum serta berbagai
fasilitas serta sistem sekolah dapat disamakan dengan tanah dan pemeliharaannya.
Untuk mengetahui tingkat kesuburan benih (anak) serta hasil yang dicapai pada
akhir program percobaan dapat digunakan tes (pre test dan post test).
Comparative approach dalam evaluasi. Salah satu pendekatan dalam
evaluasi
yang
pembandingan
enggunakan
antara
dua
eksperimen
macam
lapangan
kelompok
anak,
adalah
mengadakan
umpamanya
yang
Pertama dalam model objektif, evaluasi merupakan bagian yang sangat penting
dari proses pengembangan kurikulum. Para evaluator juga mempunyai peranan
menghimpun pendapat-pendapat orang luar tentang inovasi kurikulum yang
dilaksanakan. Evaluasi dilakukan pada akhir pengembangan kurikulum, kegiatan
penilaian ini sering disebut evaluasi sumatif. Dalam hal-hal tertentu sering
evaluator bekerja sebagai bagian dari tim pengembang. Informasi-informasi yang
diperoleh dari hasil penilaiannya digunakan untuk penyempurnaan inovasi yang
sedang berjalan. Evaluasi ini sering disebut evaluasi formatif. Kedua, kurikulum
tidak dibandingkan dengan kurikulum lain tetapi diukur dengan seperangkat
objektif (tujuan khusus). Keberhasilan pclaksanaan kurikulum diukur oleh
penguasaan siswa akan tujuan-tujuan tersebut. Para pengembang kurikulum yang
menggunakan sistem instruksional (model objektif) menggunakan standar
pencapaian tujuan-tujuan tersebut. Tujuan dari comparative approach adalah
menilai apakah kegiatan yang dilakukan kelompok eksperimen lebih baik
daripada kelompok kontrolpleh karena itu, kedua kelompok tersebut hams
ekuivalen, tetapi dalam model objektli hal itu tidak menjadi soal.
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh tim pengembang
model objektif.
1.
2.
3.
4.
menyusun tes dengan titik tolak pada perumusan tujuan tes, sebagai asal mula
pendekatan sistem (system approach). Pada tahun 1950-an Benyamin S. Bloom
dengan kawan-kawannya menyusun klasifikasi sistem tujuan yang meliputi
daerah-daerah belajar (cognitive domain). Mereka membagi proses mental yang
berhubungan dengan belajar tersebut dalam 6 kategori, yaitu knowledge,
comprehension, application, analysis, synthesis dan evaluation. Mereka membagibagi lagi tujuan-tujuan tersebut pada sub-tujuan yang lebih khusus. Perumusan
tujuan-tujuan dari Bloom dan kawan-kawan belum sampai pada perumusan tujuan
yang bersifat behavioral, untuk itu diperlukan perumusan lebih lanjut yang sangat
khusus dan bersifat behavioral.
Dasar-dasar teori Tylor dan Bloom menjadi prinsip sentral dalam berbagai
rancangan kurikulum, dan mencapai puncaknya dalam sistem belajar berprogram
dan sistem instruksional. Sistem pengajaran yang terkenal adalah IPI (Individually
Prescribed Instruction), suatu program yang dikembangkan oleh Learning
Research and Development Centre Universitas Pittsburg. Dalam IPI anak
mengikuti kurikulum yang memiliki 7 unsur:
1. Tujuan-tujuan pengajaran yang disusun dalam daerah-daerah, tingkattingkat
2.
3.
4.
5.
6.
7.
dan unit-unit,
Suatu prosedur program testing,
Pedoman perosedur penulisan,
Materi dan alat-alat pengajaran,
Kegiatan guru dalam kelas,
Kegiatan murid dalam kelas, dan
Prosedur pengelolaan kelas.
Tes untuk mengukur prestasi belajar anak merupakan bagian integral dan
kurikulum. Tiap butir tes berkenaan dengan keterampilan, unit atau tingkat
tertentu dari tujuan khusus. Untuk mengikuti program pendidikan, siswa hams
mengambil dulu tes penempatan, untuk menentukan di mana mereka harus mulai
belajar. Kemajuan siswa dimonitor oleh guru dengan memberikan tes yang
mengukur tingkat penguasaan tujuan-tujuan khusils melalui pre test dan post test.
Siswa dianggap mengusai suatu unit Oa memperoleh skor minimal 80. Bila ini
sudah dikuasai berarti penguasaan siswa sudah sesuai dengan kriteria.
3. Model campuran multivariasi
Evaluasi model perbandingan (comparative approach) dan model Tylor
dan Bloom melahirkan evaluasi model campuran multivariasi, yaitu strategi
evaluasi yang menyatukan unsur-unsur dari kedua pendekatan tersebut. Strategi
ini memungkinkan pembandingan lebih dari satu kurikulum dan secara serempak
keberhasilan flap kurikulum diukur berdasarkan kriteria khusus dari masingmasing kurikulum?
Seperti halnya pada eksperimen lapangan serta usaha-usaha awal dari
Tylor dan Bloom, metode ini pun terlepas dari proyek evaluasi. Metodemetode
tersebut masuk ke bidang kurikulum setelah komputer dan program paket
berkembang yaitu tahun 1960. Program paket berisi program statistik yang
secterhana
yang
tidak
membutuhkan
pengetahuan
komputer
untuk
G. Buku Acuan
Skillback, Malcolm (ed). (1984). Evaluating the Curriculum in the Eighties.
London: Houder and Stoughton.
Buku ini merupakan kumpulan tulisan beberapa ahli pendidikan yang
berpengalaman dan memiliki spesialisasi dalam evaluasi kurikulum. Meskipun
berbentuk kumpulan tulisan, tetapi telah tersusun sedemikian rupa sehingga
membentuk satu pemikiran yang utuh tentang evaluasi kurikulum. Bahan yang
diuraikan mencakup perkembangan-perkem- bangan baru di Inggris pada dekade
BAB 10
GURU DAN PENGEMBANGAN KURIKULUM
pendidikan
merupakan
komponen
utama
pendidikan.
Ketiganya
membentuk suatu triangle, jika hilang salah satu komponen, hilang pulalah
hakikat pendidikan. Dalam situasi tertentu tugas guru dapat diwakilkan atau
dibantu oleh unsur lain seperti oleh media teknologi, tetapi tidak dapat
digantilcan. Mendidik adalah pekerjaan profesional, oleh karena itu guru sebagai
pelaku utama pendidikan merupakan pendidik profesional.
Sebagai pendidik profesional, guru bukan saja dituntut melaksanakan
tugasnya secara pagesional, tetapi juga harus memiliki pengetahuan dan
kemampuan profesional. Dalam diskusi pengembangan model pendidikan
profesional tenaga kependidikan, yang diselenggarakan oleh PPS IKIP Bandung
tahun 1990, dirumuskan 10 ciri suatu profesi, yaitu:
1. Memiliki fungsi dan signifikansi social
2. Memiliki keahlian/keterampilan tertentu.
3. Keahlian/keterampilan diperoleh dengan menggunakan teori dan metode
4.
5.
6.
7.
8.
ilmiah.
Didasarkan atas disiplin ilmu yang jelas.
Diperoleh dengan pendidikan dalam masa tertentu yang cukup lama.
Aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional.
Memiliki kode etik.
Kebebasan untuk memberikan judgment dalam memecahkan masalah dalam
lingkup kerjanya.
9. Memiliki tanggung jawab profesional dan otonomi.
10. Ada pengakuan dari masyarakat dan imbalan atas layanan profesinya.
Mungkin belum seluruh ciri profesi di atas telah dimiliki secara kokoh
(sempurna) oleh para pendidik kita. Sebab sebagai suatu profesi terbuka, masih
ada anggapan masyarakat bahwa setiap orang bisa menjadi pendidik, atau setiap
orang bisa mendidik. Memang hal itu sukar dihindari, walaupun telah ada batas
yang jelas antara pendidikan formal dengan pendidikan informal, atau antara
pendidikan profesional dengan nonprofesional, tetapi orang-orang yang tidak
memiliki profesi dalam bidang pendidikan juga melaksanakan tugas-tugas
pendidikan formal- profesional dan mengganggap dirinya telah memiliki profesi
tersebut. Pada sisi lain, mengingat banyaknya jenis dan jenjang pendidikan yang
harus disediakan bagi berbagai kategori peserta didik, juga tidak bisa dihindari
banyaknya tenaga nonprofesional pendidikan yang melaksanakan tugas- tugas
pendidikan.
Louis E. Raths (1964), mengemukakan sejumlah kemampuan yang harus dimiliki
oleh seorang guru.
The points are proposed, not as a rating scale, but as a broad frame work
for teachers to discover more about themselves in relation to the func- tions of
teaching:
1. Explaining, informing, showing how,
2. Initiating, directing, administering,
3. Unifying the group,
4. Giving security,
5. Clarifying attitudes, beliefs, problems,
6. Diagnosing learning problems,
7. Making curriculum materials,
8. Evaluating, recording, reporting,
9. Enriching community activities,
10. Organizing and arranging classroom,
11. Participating in school activities,
12. Participating in professional and civic life.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1980) telah merumuskan
kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki guru dan mengelompok- kannya
atas tiga dimensi umum kemampuan, yaitu:
1.
pada apa yang dilakukan oleh guru di dalam kelas (actual). Dengan demikian,
guru memegang peranan penting baik dalam penyusunan maupun pelaksanaan
kurikulum.
Pada keempat konsep pendidikan yang telah diuraikan di muka terdapat
perbedaan peranan atau kedudukan guru. Dalam konsep pendidikan klasik, guru
berperan sebagai penerus dan penyampai ilmu, sedangkan dalam konsep teknologi
pendidikan, guru adalah pelatih kemampuan. Dalam Konsep interaksional guru
berperan sebagai mitra belajar, sedangkan dalam konsep pendidikan pribadi, guru
lebih berperan sebagai pengarah, pendorong dan pembimbing. Dalam praktik
pendidikan di sekolah, jarang sekali digunakan satu konsep pendidikan secara
utuh. Pada umumnya pelaksanaan pendidikan bersifat eklektik, mungkin
mencampurkan dua, tiga bahkan mungkin keempat-empatnya. Model- model
konsep pendidikan tersebut dalam praktik tidak lagi dipandang sebagai model
pendidikan yang masing-masing eksklusif, tetapi dapat dipadukan atau minimal
dihubungkan satu dengan yang lainnya. Yang tampak adalah variasi peranan guru
dalam pelaksanaan pendidikan dan pengajaran. Dalam keseluruhan proses belajarmengajar atau pada suatu waktu tertentu mungkin salah satu peranan lebih
menonjol dari yang lainnya. Keempat ragam peranan tersebut sesungguhnya dapat
ditempatkan dalam satu kontinum, seperti pada Bagan 10.1
BAGAN 10.1 Ragam peranan guru dalam proses belajar-mengajar
PENYAMPAIAN
PENGETAHUAN
PELATIH
KEMAMPUAN
MITRA
BELAJAR
PENGARAH
PEMBIMBING
kesempatan, dan menciptakan suasana kelas yang bebas, untuk mendorong siswa
memecahkan sendiri masalah-masalah yang mereka hadapi. Guru tak mungkin
menjawab semua pertanyaan siswa. Kesempatan belajar yang diciptakan guru
adalah agar merangsang siswa belajar, berpikir, melakukan penalaran, jadi
memungkinkan siswa untuk belajar sendiri. Jadi, antara guru dan siswa harus
tercipta hubungan sebagai mitra belajar. Minat dan pemahaman, timbal balik
antara guru dan siswa akan memperkaya kurikulum dan kegiatan belajar-mengajar
pada kelas bersangkutan.
Hasil dan kemajuan belajar yang dicapai siswa ditentukan juga oleh bentuk
hubungan antara guru dan siswa, antara guru dan administrator, antara guru dan
orang tua siswa. Hubungan guru dengan siswa menjadi syarat mutlak, bukan
hanya dalam hubungan sebagai pembimbing dan yang dibimbing tetapi juga
sebagai mitra belajar. Karena itu guru harus memahami siswa yang dibimbingnya
dan sebaliknya siswa harus mengakui kewibawaan pembimbingnya. Hubungan
antara guru dengan siswa harus didukung oleh hubungan yang sejalan antara guru
dengan administrator dan guru dengan orang tua siswa. Hubungan guru dengan
administrator haruslah bersikap terbuka, sehingga memungkinkan guru mencari
jalan, berkreasi dan berani mencoba sendiri sesuatu usaha instruksional yang lebih
baru yang dipandangnya lebih relevan dengan kegiatannya selaku guru. Antara
keduanya juga tercipta hubungan sebagai mitra yang baik, tetapi dengan tugas
yang berbeda. Administrator mengadakan bimbingan dan supervisi dengan
maksud merangsang kegiatan belajar para siswa. Demikian pula hubungan antara
guru dengan orang tua, keduanya memiliki tanggung jawab yang sama dalam
mengembangkan pribadi anak, tetapi dengan tugas yang berbeda. Orang tua bukan
saja harus percaya kepada guru, akan tetapi harus memberikan dukungan dan
partisipasi sebesar mungkin untuk kepentingan pendidikan anak-anak mereka di
sekolah. Bagaimana bentuk hubungan dan pelaksanaan hubungan-hubungan itu
tentu saja perlu dibicarakan dalam kerangka yang lebih luas.
Semua kegiatan dan fasilitas yang dipilih serta peranan yang dilakukan
guru harus tertuju pada kepentingan siswa, diarahkan pada memenuhi kebutuhan
siswa, disesuaikan dengan kondisi siswa, dan siswa menguasai apa yang diberikan
atau memperoleh perkembangan secara optimal.
tingkat darurat. Jumlah yang demikian ini tampaknya jauh lebih banyak
dibandingkan dengan sekolah yang telah mapan. Keem pat, adanya golongan atau
kelompok tertentu dalam masyarakat, yang ingin mengutamakan golongan atau
kelompoknya dan menggunakan sekolah sebagai alat untuk mencapai tujuan
tersebut.
Model pengembangan kurikulum yang bersifat sentralisasi mempunyai
beberapa kelebihan di samping juga kelemahan. Kelebihannya selain mendukung
terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa, dan tercapainya standar minimal
penguasaan/perkembangan anak, juga model ini mudah dikelola, dimonitor dan
dievaluasi, serta lebih hemat dilihat dari segi biaya, waktu, dan fasilitas. Hal-hal di
atas tampaknya sesuai dengan kondisi dan tahap perkembangan negara kita
dewasa ini.
Model pengembangan ini memiliki beberapa kelemahan. Pertama,
menyeragamkan kondisi yang berbeda-beda keadaan dan tahap perkem- bangan
intelek, alam dan sosial budayanya, sukar sekali. Penyeragaman dapat
menghambat kreativitas, dapat memperlambat kemajuan sekolah yang sudah
mapan
dan
menyeret
perkembangan
sekolah
yang
masih
terbelakang.
Penyeragaman yang sangat jauh dari kondisi dan sifat sesuatu wilayah akan
menghambat kepesatan perkembangan wilayah tersebut. Kedua, ketidakadilan
dalam menilai hasil. Dalam kurikulum yang seragam, penilaian sering dilakukan
secara seragam pula. Yang dimaksudkan dengan seragam dalam penilaian yaitu
kesamaan di dalam segi yang dinilai, prosedur dan alat penilaian serta standar
penilaian. Di muka telah dibahas bahwa dalam wilayah Indonesia yang luas ini
terdapat keragaman kondisi alam, sosial budaya, tingkat intelek, kemampuan dan
fasilitas sekolah. Hasil pendidikan dan pengajaran sangat dipengaruhi oleh faktorfaktor di atas. Pengabaian faktor-faktor yang mempengaruhi proses pendidikan
merupakan suatu ketidakadilan. Ketiga, penggunaan standar yang sama untuk
semua sekolah di seluruh wilayah akan memberikan gambaran hasil yang
beragam dan menunjukkan adanya perbedaan yang sangat ekstrem. Bagi sekolahsekolah yang kebetulan hasilnya sangat baik dapat menimbulkan sikap
kecongkakan, sedangkan bagi sekolah yang hasilnya sangat jelek akan
mengakibatkan rasa rendah din, di samping adanya cemoohan dari berbagai pihak.
Dalam situasi yang tidak sehat bukan tidak mungkin terjadi pembocoran soal,
ketidakjujuran dalam penilaian, dan sebagainya.
Terlepas dari pro dan kontra, kelebihan dan kekurangannya kita akan
mencoba melihat peranan guru di dalamnya. Peranan guru baik dalam model
sentralisasi maupun desentralisasi dapat dilihat dalam tiga tahap, yaitu tahap
perancangan, pelaksanaan dan evaluasi. Kurikulum juga dapat dilihat dalam
lingkup makro dan juga mikro. Pengembangan kurikulum pada tahap perancangan
berkenaan dengan seluruh kegiatan menghasilkan dokumen kurikulum, atau
kurikulum tertulis. Pelaksanaan kurikulum atau disebut juga implementasi
kurikulum, meliputi kegiatan menerapkan semua rancangan yang tercantum dalam
kurikulum tertulis. Evaluasi kurikulum merupakan kegiatan menilai pelaksanaan
dan hasil-hasil penggunaan suatu kurikulum. Kurikulum makro yaitu kurikulum
yang menyeluruh meliputi semua komponen, atau meliputi seluruh wilayah, atau
seluruh siswa pada jenjang pendidikan tertentu. Kurikulum mikro merupakan
jabaran atau rincian dari kurikulum makro, atau rancangan bagi pelaksanaan
pengajaran di kelas. Kedua dimensi pengembngan kurikulum tersebut dapat
dilihat pada Bagan 10.2
Bagan 10.2 Tahap dan Lingkup Pengembangan Kurikulum
sistematis
dan
rinci
akan
sangat
memudahkan
guru
dalam
ditentukan atau disusun bersama di tingkat nasional. Perbedaan antara suatu IKIP
dengan IKIP lainnya adalah pada kelompok mata kuliah kejuruan atau
spesialisasi. Bentuk kurikulum yang berlaku pada IKIP, FKIP ini mungkin dapat
diklasifikasikan sebagai kurikulum sentralisasi- desentralisasi.
Dalarn kurikulum yang dikelola secara desentralisasi dan sampai batasbatas tertentu juga yang sentralisasi-desen-tralisasi, peranan guru dalam
pengembangan kurikulum lebih besar dibandingkan dengan yang dikelola secara
sentralisasi. Guru-guru turut berpartisipasi, bukan hanya dalam penjabaran
kurikulum induk ke dalam program tahunan/semester/ catur wulan, atau satuan
pelajaran, tetapi juga di dalarn menyusun kurikulum yang menyeluruh untuk
sekolahnya. Guru-guru turut memberi andil dalam merumuskan setiap komponen
dan unsur dari kurikulum. Dalam kegiatan seperti itu, mereka mempunyai
perasaan turut memiliki kurikulum dan terdorong untuk mengembangkan
pengetahuan dan kemampuan dirirtya dalam pengembangan kurikulum.
Karena guru-guru sejak awal penyusunan kurikulum telah diikutserta- kan,
mereka akan memahami dan benar-benar menguasai kurikulumnya, dengan
demikian pelaksanaan kurikulum di dalam kolas akan lebih tepat dan lancar. Guru
bukan hanya berperan sebagai pengguna, tetapi peren- cana, pemikir, penyusun,
pengernbang dan juga pelaksana dan evaluator kurikulum.
D. Pendidikan Guru
1. Masalah pendidikan guru
Masalah pendidikan guru tidak dapat dilepaskan dari masalah pendidikan
secara keseluruhan. Dalam pendidikan di Indonesia kita menghadapi dua masalah
besar, yaitu masalah kuantitas dan kualitas pendidikan. Masalah pertama kuantitas
pendidikan, berkenaan dengan penyediaan fasilitas belajar bagi semua anak usia
sekolah. Hal itu berkenaan dengan penyediaan ruang kelas, gedung dan peralatan
sekolah, guru, dan tenaga kependidikan lainnya.
Salah satu penyebab utama yang menuntut pengembangan kuantitas
pendidikan adalah angka kelahiran. Meskipun persentasenya sudah semakin
mengecil tetapi angka pertambahan kelahiran total masih cukup besar. Hal itu
menyebabkan makin membesarnya jumlah calon murid ke sekolah dasar.
Membesarnya jumlah murid SD dengan sendirinya mengakibatkan membesarnya
juga jumlah siswa SLP, SLA, clan perguruan tinggi.
Sebab lain yang mendorong pertambahan calon siswa ke sekolah- sekolah
adalah kebijaksanaan pemerintah yang memberikan kesempatan yang luas dalam
pendidikan, terutama dengan diterapkannya wajib belajar sembilan tahun. Di
samping itu, kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan telah sernakin
besar dan kemampuan ekonomi orang tua juga telah semakin baik.
Akibatnya sekolah-sekolah setiap tahun dihadapkan pada masalah
melimpahnya calon murid yang semakin membengkak. Kecuali di sekolah dasar,
pada daerah-daerah tertentu terjadi pengurangan jumlah murid, hal itu
kemungkinan besar disebabkan keberhasilan program keluarga berencana. Telah
disinggung sebelumnya bahwa pertarnbahan jumlah siswa tersebut selain
menuntut penambahan ruang kelas, gedung, peralatan sekolah dan peralatan
belajar, juga menuntut penambahan jumlah tenaga guru. Guru memegang peranan
kunci bagi berlangsungnya kegiatan pendidikan. Tanpa kelas, gedung peralatan
dan sebagainya proses pendidikan masih dapat berjalan walaupun dalam keadaan
darurat, tetapi tanpa guru proses pendidikan hampir tak mungkin dapat berjalan.
Dengan penambahan jumlah siswa tersebut dibutuhkan penambahan tenaga guru
yang cukup besar pula setiap tahunnya baik untuk tingkat SD, SLP, SLA maupun
perguruan tinggi.
Masalah kedua yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia adalah
menyangkut kualitas. Masyarakat dan para ahli pendidikan banyak yang
mensinyalir bahwa mutu pendidikan dewasa ini belum seperti yang diharapkan.
Banyak faktor yang mungkin melatarbelakangi hal tersebut. Selain masih
kurangnya sarana dan fasilitas belajar yang tersedia, adalah karena faktor guru.
Hal itu pun mungkin disebabkan dua hal, pertama guru belum atau tidak bekerja
dengan sungguh-sungguh, dan kedua mungkin karena kemampuan profesional
guru yang memang masih kurang. Banyak cara yang telah ditempuh dalam
meningkatkan kompetensi guru, baik melalui pendidikan prajabatan (pre-service
education), maupun pendidikan dalam jabatan (in-service training). Salah satu
pendidikan
guru
dan
guru-guru
di
lapangan
pengajaran
tentang
pertumbuhan
dan
perkembangan anak.
6. Program menyediakan pengajaran tentang bagaimana siswa belajar.
7. Program menyediakan kesempatan bagi calon guru untuk memperoleh dan
menerapkan pengetahuan dan keterampilan secara efektif terhadap siswa
dari berbagai latar belakang budaya, ras, bahasa, agama, dan sosial
ekonomi.
2.
Proses pengajaran
1) Program menyediakan pengajaran bagi pengembangan fisik dan intelek
siswa dari berbagai latar belakang.
2) Program menyediakan pengajaran tentang strategi pemgajaran.
3) Program menyediakan pengajaran tentang peranan guru dalam penentuart
keputusan.
4) Program menyediakan pengajaran bagimana menggunakan bahan cetak,
bukan cetak dan alat-alat teknologi.
5) Program menyediakan pengajaran bagaimana bekerja dan membantu anakanak yang berkelainan.
6) Program meliputi pengajaran tentang pengelolaan kelas.
7) Program menyediakan pengajaran tentang pengembangan keterampilan
hubungan interpersonal dan proses kelompok.
8) Program menyediakan pengajaran tentang keterampilan berkomunikasi
secara luas, terutama yang berhubungan dengan peranan profesional guru.
9) Program menyediakan pengajaran tentang penilaian proses dan hasil
belajar.
10) Program menyediakan pengajaran tentang peranan, pentingnnya dan
sumbangan sekolah terhadap pembangunan bangsa.
11) Program menyediakan pengajaran tentang kebijaksanaan pemerintah dan
pengelolaan pendidikan.
12) Program menyediakan pengajaran tentang hak dan tanggung jawab guru
dart siswa.
e. Keanggotaan profesi
1) Program menyediakan pengajaran tentang bagaimana suatu profesi
diorganisasi, fungsi berbagai organisasi profesi dan tanggung jawab
anggota suatu organisasi profesi.
apabila para pelaku pekerjaan itu merasa enjoy dengan pekerjaan tersebut. Apa
yang harus diupayakan agar para pelaksana pendidikan guru merasa enjoy. Hal
yang sama juga berlaku agar para guru di sekolah merasa enjoy dengan
pekerjaannya. Apakah imbalan finansial yang akan menumbuhkan enjoyness?
atau pimpinart yang bijaksana dengan kepemimpinannya yang terbuka? atau
sistem kenaikan pangkat yang terbuka yang memungkinkan guru-guru (termasuk
guru sekolah dasar) bisa mencapai golongan IVe? atau faktor-faktor lainnya?
3. Pendidikan guru berdasarkan kompetensi
Salah satu model pendidikan guru yang mungkin bisa mencapai standar,
adalah model pendidikan guru berdasarkan kompetensi (PGBK) atau competence
based teacher education (CBTE). Beberapa ahli lebih setuju memakai kata
performance
(perbuatan
atau
perilaku)
daripada
competence,
karena
spesifik,
Dirumuskan secara eksplisit dan menunjuk pada tingkat penguasaan
tertentu,
Kriteria tersebut harus dipublikasikan.
c. Penilaian kompetensi siswa:
Menggunakan perbuatan siswa sebagai sumber pertama,
juga mengguriakan pengetahuan siswa yang berkaitan dengan rencana
Harus objektif.
d. Perkembangan siswa dalam menempuh program pendidikan ditentukan
oleh kompetensi yang telah dikuasai, dan bukan ditentukan oleh waktu
atau mata pelajaran yang telah ditempuh.
e. Program pengajaran ditujukan untuk mendorong perkembangan siswa
serta menilai penguasaan siswa tentang kornpetensi kompetensi tertentu.
2. Berkenaan dengan pelaksanaan program menurut Elam PGBK memiliki
karakteristik sebagai berikut:
a. Pengajaran bersifat individual dan personal. Dalam PGBK waktu bukan
sesuatu yang konstan tetapi hanya sebagai variabel, karena tiap siswa
punya latar belakang dan tujuan yang berbeda, maka pengajaran sangat
bersifat personal dan individual.
b. Pengalaman belajar siswa dituntun oleh umpan balik yang diterima dari
teman, dari guru atau dari dirinya sendiri. Setiap basil yang is memperoleh
merupakan umpan balik yang menentukan kegiatan selanjutnya.
c. Program pengajaran tersusun dalam suatu sistem. Semua komponen
pengajaran tersusun secara sistematis terarah pada pencapai tujuan
tertentu.
d. Penekanan program pengajaran adalah pada keluaran (hasil) dan bukan
pada masukan.
e. Pelaksanaan pengajaran bersifat modular. Modul merupakan seperangkat
kegiatan belajar, dengan unsur-unsur (tujuan, prasyarat, pra-penilaian,
kegiatan
membantu
pembelajaran,
siswa
pasca-penilaian,
menguasai
dan
kemampuan-
perbaikan)
ditujukan
kemampuan
tertentu.
banyak
mendapatkan
dalam
konsep,
bentuk
keterampilan
yang
dan
dan
terus
berusaha
profesional
di
bidang
kependidikan,
dalam
berbagai
bidang
ahli-profesional
dengan
sebagai
warga
negara,
maupun
antara
dengan
komponen-komponen
dasar
umum,
dasar
lebih besar pada bidang studi hampir tiga perempat dari kependidikan. Rinciannya
adalah dasar umum 14 SKS, dasar kependidikan 12 SKS, proses belajar-mengajar
18 SKS, dan bidang studi 100-116 sks.
E. Buku Acuan
Cruickshank, Donald R. et a!. (1980). Teaching is Tough. Englewood Cliff, New
Jersey: Prentice Hall Inc.
Penyusunan buku ini dimaksudkan untuk membantu guru-guru dalam
memecahkan masalah pendidikan yang sering mereka hadapi. Tulisan ini diberi
judul Teaching is Tough, karena mengajar merupakan suatu pekerjaan yang bukan
saja menuntut kemampuan intelektual dan fisik, tetapi juga kemampuan
psikologis dan afektif. Guru bukan saja harus bekerja sama dengan siswa, sebagai
muridnya yang sering sekaligus juga jadi kliennya, tetapi juga harus bekerja sama
dengan staf sekolah yang lain, rang tua serta warga masyarakat lainnya. Ada lima
problem utama menurut penulis yang dihadapi guru dalam tugasnya. Pertama,
masalah afiliation, menjalin kerja sama dan membina hubungan baik serta
menanamkan disiplin pada siswa. Kedua, control, yaitu membina dan mengawasi
siswa agar berperilaku seperti yang diharapkan. Ketiga, parent relation and home
condi- tion, yaitu menjalin hubungan baik dengan orang tua serta memahami
kondisi keluarga mereka. Masalah keempat adalah, student success, berusaha
membantu siswa agar berhasil baik dalam perkembangan akademis maupun
sosialnya. Kelima adalah time, membagi dan mengelola waktu baik bagi
kebutuhan pribadi guru maupun bagi penyelesaian dan perkembangan tugas-tugas
profesinya.
Wolfgang, Charles H. and Glickman, Carl D. (1980). Solving Discipline Problems. Boston: Allyn & Bacon Inc.
Banyak masalah yang dihadapi guru dalam kelas. Buku ini menguraikan
beberapa strategi untuk memecahkan berbagai masalah, terutama masalah siswa
dalam kelas. Buku ini sangat penting terutama bagi guru dan kepala sekolah,
karena mereka adalah manajer kelas dan sekolah. Penulis menegaskan bahwa,
tidak ada satu cara yang terbaik untuk memecahkan masalah dalam kelas, tetapi
banyak cara. Guru dan kepala sekolah harus dapat memilih dan menggunakan
cara yang paling tepat. Dalam buku ini dikemukakan sejumlah strategi atau model
pemecahan yang dapat dipilih oleh guru. Model-model tersebut adalah:
Supportive model dari Gordon dengan Teacher Effectiveness Training Analysisnya; Valuing model dari Raths dan Simon dengan Value Clarification Tech- niquenya; Social Discipline model dari Rudolf Dreikurs, Reality model dari William
Glasser, Behavior Modification model, Behaviorism/Punishment model dari
Engleman dan Dobson. Pada bagian akhir tulisannya dijelaskan peranan guru
dalam memahami masalah siswa dengan berbagai macam latar belakangnya serta
cara mereka bertindak sebagai decision maker dalam kelas.
Emmer, Edmund T. et al. (1984). Classroom Management for Secondary Teachers. Englewood cliffs, New Jersey: Prentice Hall Inc.
Kelas yang baik tidak terjadi dengan sendirinya, hal itu terjadi karena guru
memahami benar situasi kelas dan perilaku para siswa serta berusaha keras untuk
menciptakannya. Buku ini membahas bagaimana menciptakan kelas yang
terkelola dengan baik. Secara garis besar pengelolaan kelas ini meliputi tiga
langkah: perencanaan, dilakukan sebelum tahun ajaran, pelaksanaan pengelolaan,
serta pemeliharaan prosedur pengelolaan, keduanya dilakukan sepanjang tahun
ajaran. Ketiga langkah pengelolaan tersebut dalam buku ini meliputi, pengelolaan
ruang kelas dan alat-alat belajar, memilih peraturan dan prosedur pengelolaan,
mengelola kegiatan siswa, memelihara perilaku siswa, memberikan ganjaran dan
hukuman, mengorganisasi dan melaksanakan kegiatan pengayaan, mengelola
kelompok-kelompok khusus, mengevaluasi organisasi dan manajemen kelas.
Buku ini menguraikan hal-hal yang sangat praktis, oleh karena itu buku ini sangat
berharga bagi guru-guru, kepala sekolah, konselor serta para mahasiswa yang
sedang mempersiapkan din i untuk menjadi guru.
Schwebel, Andrew I. et al. (1979). The Studnet Teacher's Handbook. New York:
Barners & Nobles Books.
Sesuai dengan judulnya, buku ini memberikan gambaran dan sekaligus
pedoman kepada calon-calon guru serta para mahasiswa yang sedang belajar di
antara
pemenuhan
kebutuhan
individu
dengan
kelas.
Perkembangan calon guru dari serba ragu menjadi penuh keyakinan dan penuh
tanggung jawab, berdiri sendiri.
DAFTAR RUJUKAN
Alisyahbana, Iskandar (1980). Teknologi dan Perkembangan. Jakarta: Yayasan
Idayu.
Anwar Jasin, (1987). Pembaharuan Kurikulum Sekolah Dasar Sejak Proklamasi
Kemerdekaan. Jakarta: Balai Pustaka.
Apeid. (1984). Training Educational Personnel for Integrated Curriculum.
Bangkok: Unesco, Regional Office for Education in Asia and Pacific.
Beauchamp, George A. (1975). Curriculum Theory. Wilmette, Illinois: The
KAGG Press.
Beanne, J.A. & Toepfer, Jr. C.F. & Alessi, S.J. (1986). Curriculum Planning and
Development. Newton, Massachussetts: Alyn and Bacon, Inc.
Beanne, J.A. (Ed). (1995). Toward A Coherent Curriculum. Alexandria, Virginia:
ASCD.
Glasser, William. (1980).Control Theory in the Classroom. New York: Harper &
Row Publisher.
Habibie, B.J. (1983). Beberapa Pemikiran tentang Strategi Transformasi Industri
suatu Negara Sedang Berkembang. Jakarta: Kantor Menteri Negara Riset
dan Teknologi.
Hall, Calvin S. & Lindzey, Gardner. (1970). Theories of Personality. New York:
John Wiley & Sons.
Hass, Glen. (Ed). (1970). Readings in Curriculum. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Hass, Glen. (Ed). (1980).Curriculum Development, A Humanized System
Approach. Belmont, California: Lear Siegler Inc.
Hillgard, Ernest R. & Gordon H. Bower. (1966). Theories of Learning. New York:
Appleton Century Crofts.
Hlebowitsh, Peter S. (1993). Radical Curriculum Theory Reconsidered. New York
and London: Teacher College, Columbia University.
Hodgkinson, Bill. (1991). Curriculum in the Classroom. Queensland: Distance
Education Centre.
Holmes Group, (1990). Tomorrow's Schools. East Lansing, USA: The Holmes
Group.
Hosyom, John. (1985). Inquiring Into the Teaching Process. Toronto, Ontario:
Oise Press.
Jackson, Philip W. (Ed). (1992). Handbook of Research on Curriculum. New
York: Macmillan Publishing Co.
Johnson, Mauritz. (1977). Intentionality in Education. New York: Center for
Curriculum Research and Services.
Kaplan, Abraham. (1964). The Conduct of Inquiry. San Fransisco: Chandler
Publishing Co.
Kast, Fremont E. & Rosenweig James E. (1962). Science Technology and Man
agement. New York: McGraw Hill Book Co.
Kibler, Robert J, et al. (1970). Behavioral Objectives and Instruction, Allyn &
Bacon.
Klose, Al Paul. (1980). Democracy, Technology, Collision. Indianapoli, Rulihs
Merrill Educational Publishing.
TENTANG PENULIS