Anda di halaman 1dari 244

BAB I

KONSEP KURIKULUM

A. Kedudukan Kurikulum dalam Pendidikan


Pendidikan berintikan interaksi antara pendidik dengan peserta didik
dalam upaya membantu peserta didik menguasai tujuan-tujuan pendidikan.
Interaksi pendidikan dapat berlangsung dalam lingkungan keluarga, sekolah,
ataupun rnasyarakat. Dalam lingkungan keluarga, interaksi pendidikan terjadi
antara orang tua sebagai pendidik dan anak sebagai peserta didik. Interaksi ini
berjalan tanpa rencana tertulis,Orang tua sering tidak mempunyai rencana yang
jelas dan rinci ke mana anaknya akan diarahkan, dengan cara apa mereka akan
dididik, dan apa isi pendidikannya. Orang tua umumnya mempunyai harapan
tertentu pada anaknya, mudah-mudahan is menjadi orang soleh, sehat, pandai, dan
sebagainya, tetapi bagaimana rincian sifat-sifat tersebut bagi mereka tidak jelas.
Juga mereka tidak tahu apa yang harus diberikan dan bagaimana memberikannya
agar anak-anaknya memiliki sifat-sifat tersebut.
Interaksi pendidikan antara orang tua dengan anaknya juga sexing tidak
disadari. Dalam kehidupan keluarga interaksi pendidikan dapat terjadi setiap saat,
setiap kali orang tua bertemu, berdialog, bergaul, dan bekerja sama dengan anak-
anaknya. Pada saat demikian banyak perilaku dan perlakuan spontan yang
diberikan kepada anak, sehingga kemungkinan terjadi kesalahan-kesalahan
mendidik besar sekali. Orang tua menjadi pendidik juga tanpa dipersiapkan secara
formal. Mereka menjadi pendidik karena statusnya sebagai ayah atau ibu,
meskipun mungkin saja sebenarnya mereka belum siap untuk melaksanakan tugas
tersebut. Karena sifat-sifatnya yang tidak formal, tidak memiliki rancangan yang
konkret dan ada kalanya juga tidak disadari, maka pendidikan dalam lingkungan
keluarga disebut pendidikan informal. Pendidikan tersebut tidak memiliki
kurikulum formal dan tertulis.
Pendidikan dalam lingkungan sekolah lebih•bersifat formal. Guru sebagai
pendidik di sekolah telah dipersiapkan secara formal dalam lembaga pendidikan
guru. la telah mempelajari ilmu, keterampilan, dan seni sebagai guru. Ia juga telah

1
dibina untuk memiliki kepribadian sebagai pendidik. Lebih dari itu mereka juga
telah diangkat dan diberi kepercayaan oleh masyarakat untuk menjadi guru, bukan
sekadar dengan surat keputusan dari pejabat yang berwenang, tetapi juga dengan
pengakuan dan penghargaan dari masyarakat. Guru melaksanakan tugasnya
sebagai pendidik dengan rencana dan persiapan yang matang. Mereka mengajar
dengan tujuan yang jelas, bahan-bahan yang telah disusun secara sistematis dan
rinci, dengan cara dan alat-alat yang telah dipilih dan dirancang secara cermat. Di
sekolah guru melakukan interaksi pendidikan secara berencana dan sadar. Dalam
lingkungan sekolah telah ada kurikulum formal, yang bersifat tertulis. Guru-guru
melaksanakan tugas mendidik secara formal, karena itu pendidikan yang
berlangsung di sekolah sering disebut pendidikan formal.
Dalam lingkungan masyarakat pun terjadi berbagai bentuk interaksi
pendidikan, dari yang sangat formal yang mirip dengan pendidikan di sekolah
dalam bentuk kursus-kursus, sampai dengan yang kurang formal seperti ceramah,
sarasehan, dan pergaulan kerja. Gurunya juga bervariasi dari yang memiliki latar
belakang pendidikan khusus sebagai guru, sampai dengan yang melaksanakan
tugas sebagai pendidik karena pengalaman. Kurikulumnya juga bervariasi, dari
yang memiliki kurikulum formal dan tertulis sampai dengan rencana pelajaran
yang hanya ada pada pikiran penceramah atau moderator sarasehan, atau gagasan
keteladanan yang ada pada pemimpin. Interaksi pendidikan yang berlangsung di
masyarakat, yang memiliki rancangan dan dilaksanakan secara formal sebenarnya
dapat dimasukkan dalam kategori pendidikan formal. Interaksi yang rancangan
dan pelaksanaannya kurang formal dapat kita sebut sebagai pendidikan kurang
formal (less formal). Karena adanya variasi itu, Para ahli pendidikan masyarakat
lebih senang menggunakan istilah pendidikan luar sekolah bagi interaksi
pendidikan yang berlangsung di masyarakat ini.
Dari hal-hal yang diuraikan itu, dapat ditarik beberapa kesimpulan
berkenaan dengan pendidikan formal. Pertama, pendidikan formal memiliki
rancangan pendidikan atau kurikulum tertulis yang tersusun secara sistematis,
jelas, dan rinci. Kedua, dilaksanakan secara formal, terencana, ada yang
mengawasi dan menilai. Ketiga, diberikan oleh pendidik atau guru yang memiliki
ilmu dan keterampilan khusus dalam bidang pendidikan. Keempat, interaksi

2
pendidikan berlangsung dalam lingkungan tertentu, dengan fasilitas dan alat serta
aturan-aturan permainan tertentu pula.
Pendidikan formal memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan
pendidikan informal dalam lingkungan keluarga. Pertaina, pendidikan for- mal di
sekolah memiliki lingkup isi pendidikan yang lebih luas, bukan hanya berkenaan
dengan pembinaan segi-segi moral tetapi juga ilmu pengetahuan dan
keterampilan. Kedua, pendidikan di sekolah dapat memberikan pengetahuan yang
lebih tinggi, lebih luas dan mendalam.
Sejarah pendirian sekolah diawali karena ketidakmampuan keluarga
memberikan pengetahuan dan keterampilan yang lebih tinggi dan mendalam.
Ketiga, karena memiliki rancangan atau kurikulum secara formal dan tertulis,
pendidikan di sekolah dilaksanakan secara berencana, sistematis, dan lebih
disadari. Karena yang memiliki rancangan atau kurikulum formal dan tertulis
adalah pendidikan di sekolah, maka dalam uraian-uraian selanjutnya yang
dimaksud dengan pendidikan atau pengajaran itu, lebih banyak mengacu pada
pendidikan atau pengajaran di sekolah.
Telah diuraikan sebelumnya, bahwa adanya rancangan atau kurikulum
formal dan tertulis merupakan ciri utama pendidikan di sekolah. Dengan kata lain,
kurikulum merupakan syarat mutlak bagi pendidikan di sekolah. Kalau kurikulum
merupakan syarat mutlak, hal itu berarti bahwa kurikulum merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari pendidikan atau pengajaran. Dapat kita bayangkan,
bagaimana bentuk pelaksanaan suatu pendidikan atau pengajaran di sekolah yang
tidak memiliki kurikulum.
Setiap praktik pendidikan diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan
tertentu, apakah berkenaan dengan penguasaan pengetahuan, pengembangan
pribadi, kemampuan sosial, ataupun kemampuan bekerja. Untuk menyampaikan
bahan pelajaran, ataupun mengembangkan kemampuankemampuan tersebut
diperlukan metode penyampaian serta alat-alat bantu tertentu. Untuk menilai hasil
dan proses pendidikan, juga diperlukap caracara dan alat-alat penilaian tertentu
pula. Keempat hal tersebut, yaitu tujuan, bahan ajar, metode-alat, dan penilaian
merupakan komponenkomponen utama kurikulum. Dengau berpedoman pada
kurikulum, interaksi pendidikan antara guru dan siswa berlangsung. Interaksi ini

3
iidak berlangsung dalam ruang hampa, tetapi selalu terjadi dalam lingkungan
tertentu, yang mencakup antara lain lingkungan fisik, alam, sosial budaya,
ekonomi, politik, dan religi. Pertautan antara satu komponen dan komlumen
pendidikan lainnya dapat dilihat pada bagan berikut.

BAGAN 1.1 Komponen-komponen utama pendidikan

Kurikulum mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses


pendidikan. Kurikulum mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan demi
tercapainya tujuan-tujuan pendidikan. Menurut Mauritz Johnson (1967, hlm. 130)
kurikulum "prescribes (or at least anticipates) the result of in- struction".
Kurikulum juga merupakan suatu rencana pendidikan, memberikan pedoman dan
pegangan tentang jenis, lingkup, dan urutan isi, serta proses pendidikan. Di
samping kedua fungsi itu, kurikulum juga merupakan suatu bidang studi, yang
ditekuni oleh para ahli atau spesialis kurikulum, yang menjadi sumber konsep-
konsep atau memberikan landasan-landasan teoretis bagi pengembangan
kurikulum berbagai institusi pendidikan..

B. Konsep Kurikulum
Konsep kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan
praktik pendidikan, juga bervariasi sesuai dengan aliran atau teori pendidikan
yang dianutnya. Menurut pandangan lama, kurikulum merupakan kumpulan mata-
mata pelajaran yang harus disampaikan guru atau dipelajari oleh siswa. Anggapan
ini telah ada sejak zaman Yunani Kuno, dalam lingkungan atau hubungan tertentu
pandangan ini masih dipakai sampai sekarang, yaitu kurikulum sebagai "... a
racecourse of subject matters to be mastered" (Robert S. Zais, 1976, hlm. 7).

4
Banyak orang tua bahkan juga guru-guru, kalau ditanya tentang kurikulum akan
memberikan jawaban sekitar bidang studi atau mata-mata pelajaran. Lebih khusus
mungkin kurikulum diartikan hanya sebagai isi pelajaran.
Pendapat-pendapat yang muncul selanjutnya telah beralih dari menekankan
pada isi menjadi lebih memberikan tekanan pada pengalaman belajar. Menurut
Caswel dan Campbell dalam buku mereka yang terkenal Curriculum Development
(1935), kurikulum ... to be composed of all the experi-ences children have under
the guidance of teachers. Perubahan penekanan pada pengalaman ini lebih jelas
ditegaskan oleh Ronald C. Doll (1974, hlm. 22):
The commonly accepted definition of the curriculum has changed from
content of courses of study and list of subjects and courses to all the
experiences which are offered to learners under the auspices or direction
of the school..
Definisi Doll tidak hanya menunjukkan adanya perubahan penekanan dari
isi kepada proses, tetapi juga menunjukkan adanya perubahan lingkup, dari
konsep yang sangat sempit kepada yang lebih luas. Apa yang di maksud dengan
pengalaman siswa yang diarahkan atau menjadi tanggung jawab sekolah
mengandung makna yang cukup luas. Pengalaman tersebut berlangsung di
sekolah, di rumah ataupun di masyarakat, bersama guru tanpa guru, berkenaan
langsung dengan pelajaran ataupun tidak. Definisi tersebut juga mencakup
berbagai upaya guru dalam mendorong terjadinya pengalaman tersebut serta
berbagai fasilitas yang mendukungnya.
Mauritz Johnson (1967, hlm. 130) mengajukan keberatan terhadap konsep
kurikulum yang sangat luas seperti yang dikemukakan oleh Ronald Doll. Menurut
Johnson, pengalaman hanya akan muncul apabila terjadi interaksi antara siswa
dengan lingkungannya. Interaksi seperti itu bukan kurikulum, tetapi pengajaran.
Kurikulum hanya menggambarkan atau mengantisipasi hasil dari pengajaran.
Johnson membedakan dengan tegas antara kurikulum dengan pengajaran. Semua
yang berkenaan dengan perencanaan dan pelaksanaan, seperti perencanaan isi,
kegiatan belajarmengajar, evaluasi, termasuk pengajaran, sedangkan kurikulum
hanya berkenaan dengan hasil-hasil belajar yang diharapkan dicapai oleh siswa.

5
Menurut Johnson kurikulum adalah ... a structured series of intended learning
outcomes (Johnson, 1967, him. 130).
Terlepas dari pro dan kontra terhadap pendapat Mauritz Johnson, beberapa
ahli memanciang kurikulum sebagai rencana pendidikan atau pengajaran. Salah
seorang di antara mereka adalah Mac Donald (1965, hlm.
Menurut dia, sistem persekolahan terbentuk atas empat subsistem, yaitu
mengajar, belajar, pembelajaran, dan kurikulum. Mengajar (teaching) merupakan
kegiatan atau perlakuan profesional yang diberikan oleh guru. belajar (learning)
merupakan kegiatan atau upaya yang dilakukan siswa. Sebagai respons terhadap
kegiatan mengajar yang diberikan oleh guru. Keluruhan pertautan kegiatan yang
memungkinkan dan berkenaan (lengan terjadinya interaksi belajar-mengajar
disebut pembelajaran (instruction). Kurikulum,(curriculum) merupakan suatu
rencana yang memberi pedoman atau pegangan dalam proses kegiatan belajar-
mengajar.
Kurikulum juga sering dibedakan antara kurikulum sebagai rencana
(curriculum plan) dengan kurikulum yang fungional (functioning curricu- lum).
Menurut Beauchamp (1968, him. 6) "A curriculum is a written document which
may contain many ingredients, but basically it is a plan for the education of pupils
during their enrollment in given school". Beauchamp lebih memberikan tekanan
bahwa kurikulum adalah suatu rencana pendidikan atau pengajaran. Pelaksanaan
rencana itu sudah masuk pengajaran. Selanjutnya, Zais menjelaskan bahwa
kebaikan suatu kurikulum tidak dapat dinilai dari dokumen tertulisnya saja,
melainkan harus dinilai dalam proses pelaksanaan fungsinya di dalam kelas.
Kurikulum bukan hanya merupakan rencana tertulis bagi pengajaran, melainkan
sesuatu yang fungsional yang beroperasi dalam kelas, yang memberi pedoman dan
mengatur lingkungan dan kegiatan yang berlangsung di dalam kelas. Rencana
tertulis merupakan dokumen kurikulum (curriculum document or inert
curriculum), sedangkan kurikulum yang dioperasikan di kelas merupakan
kurikulum fungsional (functioning, live or operative curriculum).
Hilda Taba (1962) mempunyai pendapat yang berbeda dengan pendapat-
pendapat itu. Perbedaan antara kurikulum dan pengajaran menurut dia bukan
terletak pada implementasinya, tetapi pada keluasan cakupannya. Kurikulum
berkenaan dengan cakupan tujuan isi dan metode yang lebih luas atau lebih

6
umum, sedangkan yang lebih sempit lebih khusus menjadi tugas pengajaran.
Menurut Taba keduanya membentuk satu kontinum, kurikulum terletak pada
ujung tujuan umum atau tujuan jangka panjang, sedangkan pengajaran pada ujung
lainnya yaitu yang lebih khusus atau tujuan dekat.

BAGAN 1.2 Kontinum kurikulum dan pengajaran

Menurut Taba, batas antara keduanya sangat relatif, bergantung pada


tafsiran guru. Sebagai contoh, dalam kurikulum (tertulis), isi harus digambarkan
serinci, sekhusus mungkin agar mudah dipahami guru, tetapi cukup luas dan
umum sehingga memungkinkan mencakup semua bahan yang dapat dipilih oleh
guru sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa serta kemampuan guru. Kurikulum
memberikan pegangan bagi pelaksanaan pengajaran di kelas, tetapi merupakan
tugas dan tanggung jawab guru untuk menjabarkannya.
Suatu kurikulum, apakah itu kurikulum pendidikan dasar, pendidikan
menengah atau pendidikan tinggi; kurikulum sekolah umum, kejuruan, dan lain-
lain merupakan perwujudan atau penerapan teori-teori kurikulum. Teori-teori
tersebut merupakan hasil pengkajian, penelitian, dan pengembangan para ahli
kurikulum. Kumpulan teori-teori kurikulum membentuk suatu ilmu atau bidang
studi kurikulum. Menurut Robert S. Zais (1976, him. 3), kurikulum sebagai
bidang studi mencakup: (1) the range of subject matters with which it is concerned
(the substantive structure), and (2) the procedures of inquiry and practice that it
follows (the syntactical structure)". Menurut George A. Beauchamp (1976, him.
58-59) kurikulum sebagai bidang studi membentuk suatu teori, yaitu teori
kurikulum. Beauchamp mendefinisikan teori kurikulum sebagai ...a set of related
statements that gives meaning to a schools's curriculum by pointing up the
relationships among its elements and by directing its development, its use, and its
evaluation.

7
Bidang cakupan teori atau bidang studi kurikulum meliputi: konsep
kurikulum, penentuan kurikulum, pengembangan kurikulum, desain kurikulum,
implementasi dan evaluasi kurikulum.
Selain sebagai bidang studi menurut Beauchamp, kurikulum juga sebagai
rencana pengajaran dan sebagai suatu sistem (sistem kurikulum) yang merupakan
bagian dari sistem persekolahan. Sebagai suatu rencana pengajaran, kurikulum
berisi tujuan yang ingin dicapai, bahan yang akan disajikan, kegiatan pengajaran,
alat-alat pengajaran dan jadwal waktu pengajaran. Sebagai suatu sistem,
kurikulum m.erupakan bagian atau subsistem dari keseluruhan kerangka
organisasi sekolah atau sistem ‘.ekolah. Kurikulum sebagai suatu sistem
menyangkut penentuan segala kebijakan tentang kurikulum, susunan personalia
dan prosedur pengemhangan kurikulum, penerapan, evaluasi, dan
penyempurnaannya. Fungsi utama sistem kurikulum adalah dalam pengembangan,
penerapan, ovaluasi, dan penyempurnaannya, baik sebagai dokumen tertulis
maupun aplikasinya dan menjaga agar kurikulum tetap dinamis.
Mengenai fungsi sistem kurikulum ini, lebih lanjut Beauchamp (1975, 111m. 60)
menggambarkan:
...(1) the choice of arena for curriculum decision making, (2) the selection
and involvement of person in curriculum planning, (3) organization for
and leachniques used in curriculum plannning, (4) actual writing of a
curriculum, (5) implementing the curriculum, (6) evaluation the
curriculum, and (7) providing for feedback and modification of the
curriculum.
Apa yang dikemukakan oleh Beauchamp bukan hanya menunjukkan tnnlsi
tetapi juga struktur dari suatu sistem kurikulum, yang secara garis berkenaan
dengan pengembangan, pelaksanaan, dan evaluasi kurikulum.

C. Kurikulum dan Teori-Teori Pendidikan


Kurikulum mempunyai hubungan yang sangat erat dengan teori
pendidikan. Suatu kurikulum disusun dengan mengacu pada satu atau beberapa
teori kurikulum, dan suatu teori kurikulum diturunkan atau dijabarkan dari teori
pendidikan tertentu. Kurikulum dapat dipandang sebagai rencana konkret

8
penerapan dari suatu teori pendidikan. Untuk lebih memahami hubungan
kurikulum dengan pendidikan, dikemukakan beberapa teori pendidikan dan
model-model konsep kurikulum dari masing-masing teori tersebut. Minimal ada
empat teori pendidikan yang banyak dibicarakan para ahli pendidikan dan
dipandang mendasari pelaksanaan pendidikan, yaitu pendidikan klasik,
pendidikan pribadi, pendidikan interaksional, dan teknologi pendidikan.

1. Pendidikan klasik
Pendidikan klasik atau classical education dapat dipandang sebagai konsep
pendidikan tertua. Konsep pendidikan ini bertolak dari asumsi seluruh warisan
budaya, yaitu pengetahuan, ide-ide, atau nilai-nilai telah ditemukan oleh para
pemikir terdahulu. Pendidikan berfungsi memelihara, mengawetkan, dan
meneruskan semua warisan budaya tersebut kepada generasi berikutnya. Guru
atau para pendidik tidak perlu susah-susah mencari dan menciptakan pengetahuan,
konsep, dan nilai-nilai baru, sebab sentuanya telah tersedia, tinggal menguasai dan
mengajarkannya kepada anak. Teori pendidikan ini lebih menekankan peranan isi
pendidikan daripada proses atau bagaimana mengajarkannya. Isi pendidikan atau
materi ilmu tersebut diambil dari khazanah ilmu pengetahuan, berupa disiplin-
disiplin ilmu yang telah ditemukan dan dikembangkan oleh para ahli tempo dulu.
Materi ilmu pengetahuan yang diambil dari disiplindisiplin ilmu tersebut telah
tersusun secara logis dan sistematis.
Tugas guru dan para pengembang kurikulum adalah memilih dan
menyajikan materi ilmu tersebut disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan
kemampuan peserta didik. Sebelum dapat menyampaikan materi ilmu
pengetahuan tersebut secara sempurna, para pendidik atau talon pendidik terlebih
dahulu harus mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Tugas para pendidik atau
guru bukan hanya mengajarkan materi pengetahuan, tetapi juga melatih
keterampilan dan menanamkan nilai. Mendidikkan nilainilai tidak sama dengan
mengajarkan pengetahuan yang berbentuk penyampaian informasi, tetapi perlu
dimanifestasikan dalam perilaku seharihari. Menurut konsep pendidikan klasik,
guru atau pendidik adalah ahli dalam bidang ilmu dan juga contoh atau model
nyata dan pribadi yang ideal. Siswa merupakan penerima pengajaran yang baik,

9
tetapi sebagai penerima informasi sesungguhnya mereka pasif. Meskipun
demikian dalam pendidikan klasik siswa bekerja keras menguasai apa-apa yang
diajarkan dan ditugaskan oleh guru. Pendidikan lebih menekankan perkembangan
segi-segi intelektual daripada segi emosional dan psikomotor.
Ada dua model konsep pendidikan klasik, perenialisme dan esensialisme.
Walaupun didasari dengan konsep-konsep yang sama, keduanya memiliki
pandangan yang berbeda. Parenialisme maupun esensialisme mempunyai
pandangan yang sama tentang masyarakat, bahwa masyarakat bersifat statis.
Pendidikan berfungsi memelihara dan mewariskan pengetahuan, konsep-konsep
dan nilai-nilai yang telah ada. Pengetahuan dan nilai-nilai yang akan diajarkan
diambil dari materi disiplin ilmu yang telah disusun dan dikembangkan oleh para
ahli. Dalam penyusunan kurikulum, matamata pelajaran dipilih dan ditentukan
oleh sekelompok orang ahli, disusun secara sistematis dan logis, dan diarahkan
pada perkembangan kemampuan berpikir.
Parenialisme berkembang di Eropa dalam masyarakat aristokralisagraris.
Mereka lebih berorientasi ke masa lampau dan kurang hivmen tingkan tuntutan-
tuntutan masyarakat yang berkembang saat sekarang pendidikan lebih
menekankan pada humanitas, pembentukan pribadi, dan sifat-sifat mental.
Konsep-konsep filosofis lebih banyak mewarnai pendidikan ini. Isi pendidikan
lebih banyak bersifat pendidikan umum (general education atau liberal art) dengan
model mengajar yang bersifat ekspositori, sedangkan model belajarnya adalah
asimilasi. Pendidikan menurut pandangan mereka adalah bebas nilai (value free)
dan bebas dari kebudayaan (culture free) artinya tidak terikat atau diwarnai oleh
nilai-nilai dan karakteristik masyarakat sekitar.
Esensialisme berkembang di Amerika Serikat dalam masyarakat industri.
Pendidikan ini lebih mengutamakan sains daripada humanitas. Mereka lebih
pragmatis, pendidikan diarahkan dalam mempersiapkan generasi muda untuk
terjun ke dunia kerja. Konsep ini lebih berorientasi pada masa sekarang dan yang
akan datang. Isi pengajaran lebih diarahkan kepada pembentukan keterampilan
dan pengembangan kemampuan vocational. Mengenai persamaan dan perbedaan
pendidikan perenial dengan esensial, Dianna Lapp, dkk. menjelaskan:

10
Like perennial education, essentialism is conservative, seeking to maintain
and pass on to the new generation the convictions of the older generation.
But unlike perennialism, essentialism is nonreflective, nonphilosophical. It
is far more prone to activity-to doing-than to wasting time on extensive
philosophical speculation. Looking to the present rather than the past, and
to science rather than to the humanities, it is primarily practical and
pragmatic. (Lapp, Dianna, et. al., 1975, hlm. 32).
Para esensialis bersifat praktis, mengutamakan kerja dan kompetisi di
tramping kerja sama. Mereka menghargai seni, keindahan, dan humanitas
sepanjang hal itu mendukung kehidupan sehari-hari, kehidupan produktif. Tujuan
utama pendidikan, menurut para esensialis, adalah (1) memperoleh pekerjaan
yang lebih baik, (2) dapat bekerja sama lebih baik dengan orang dari berbagai
tingkatan/lapisan masyarakat, (3) memperoleh penghasilan lehih banyak. Mereka
berpikiran praktis bahwa pendidikan adalah suatu Han untuk mencapai sukses
dalam kehidupan, terutama sukses secara ekonomis.
Kurikulum pendidikan klasik lebih menekankan isi pendidikan, yang
diambil dari disiplin-disiplin ilmu, disusun oleh para ahli tanpa mengikutsertakan
guru-guru, apalagi siswa. Isi disusun secara logis, sistematis, dan berstruktur,
dengan berpusatkan pada segi intelektual, sedikit sekali memperhatikan segi-segi
sosial atau psikologis peserta didik. Guru mempunyai peranan yang sangat besar
dan lebih dominan. Dalam pengajaran, ia menentukan isi, metode, dan evaluasi.
Dialah yang aktif dan bertanggung jawab dalam segala aspek pengajaran. Siswa
mempunyai peran yang pasif, sebagai penerima informasi dan tugas-tugas dari
guru.

2. Pendidikan pribadi
Pendidikan pribadi (personalized education) lebih mengutamakan peranan
siswa. Konsep pendidikan ini bertolak dari anggapan dasar bahwa, sejak
dilahirkan, anak telah memiliki potensi-potensi, baik potensi untuk berpikir,
berbuat, memecahkan masalah, maupun untuk belajar dan berkembang sendiri.
Pendidikan adalah ibarat persemaian, berfungsi menciptakan lingkungan yang
menunjang dan terhindar dari hama-hama. Tugas guru, seperti halnya seorang

11
petani adalah mengusahakan tanah yang gembur, pupuk, air, udara, dan sinar
matahari yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan tanaman (peserta
didik). Pendidikan bertolak dari kebutuhan dan minat peserta didik. Peserta didik
menjadi subjek pendidikan, dialah yang menduduki tempat utama dalam
pendidikan. Pendidik menempati posisi kedua, bukan lagi sebagai penyampai
informasi atau sebagai model dan ahli dalam disiplin ilmu. Ia lebih berfungsi
sebagai psikolog yang mengerti segala kebutuhan dan masalah peserta didik. la
juga berperan sebagai bidan yang membantu siswa melahirkan ide-idenya. Guru
adalah pembimbing, pendorong (motivator), fasilitator, dan pelayan bagi siswa.
Teori ini juga memiliki dua aliran, yaitu pendidikan progresif dan
pendidikan romantik. Tokoh pendahulu pendidikan progresif adalah Francis
Parker yang membawa aliran ini dari Eropa ke Amerika. Aliran ini menjadi lebih
terkenal di Amerika berkat percobaan-percobaan yang dilakukan John Dewey
dengan sekolah-sekolah laboratoriumnya. John Dewey menerapkan prinsip belajar
sambil berbuat (learning by doing). Dalam pendidikan progresif, siswa merupakan
satu kesatuan yang utuh, perkembangan emosi dan sosial sama pentingnya dengan
perkembangan intelektual. Isi pengajaran berasal dari pengalaman sisvva sendiri
yang sesuai dengan minat dan kebutuhannya. Ia merefleksi terhadap masalah-
masalah yang muncul dalam kehidupanhya. Berkat refleksinya itu is memahami
dan dapat menggunakannya bagi kehidupan. Guru lebih merupakan ahli dalam
metodologi daripada dalam bahan ajar. Guru membantu perkembangan siswa
sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya masing-masing.
Pendidikan romantik berpangkal dari pemikiran-pemikiran Jean Jacques
Rousseau. Menurut Rousseau, semua ciptaan Tuhan termasuk anak adalah baik
dan menjadi kurang baik atau sering rusak di tangan manusia. Ia ingin
mengembalikan pendidikan kepada pendidikan alam, sebab secara alamiah
manusia baik, merdeka, dan gentle. Setiap orang mempunyai nurani yang berisi
kejujuran, kebenaran, dan ketulusan. Inilah yang hams ditemukan, didengarkan,
dan diikuti. Rousseau menolak pendidikan yang mengutamakan intelektual.
Pendidikan adalah proses individual yang berisi rentetan pengembangan
kemampuan-kemampuan anak, berkat interaksi dengan berbagai aspek dalam
lingkungan maka terjadi rentetan pengembangan kemampuan-kemampuan anak.

12
Rousseau memandang pendidikan sebagai a lifelong personal growth process
rather than an information and skill gathering process that exists only during the
school years (Diane Lapp, et. al., 1975, hlm. 154).
Pengalaman merupakan isi sekaligus guru alamiah bagi anak. Anak tidak
diajari, tetapi didorong untuk belajar. Guru menyediakan lingkungan belajar,
memberikan kebebasan agar anak belajar dan berkembang sendiri, dan
mewujudkan rasa ingin tahunya. Ia dibiarkan untuk mengalami sendiri,
mewujudkan dorongan-dorongannya, dan tumbuh sesuai dengan polanya. Guru
juga berperan sebagai sumber lingkungan belajar, yang selalu siap memberikan
bantuan kepada siswa. Ia berusaha mencegah hal- hal yang mungkin mengganggu
perkembangan siswa.
Kurikulum pendidikan pribadi lebih menekankan pada proses
pengembangan kemampuan siswa. Materi ajar dipilih sesuai dengan minat dan
kebutuhan siswa. Pengembangan kurikulum dilakukan oleh guru- guru dengan
melibatkan siswa. Tidak ada suatu kurikulum standar, yang ada adalah kurikulum
minimal yang dalam implementasinya dikem- bangkan bersama siswa. Isi dan
proses pembelajarannya selalu berubah sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa.

3. Teknologi pendidikan
Teknologi pendidikan mempunyai persamaan dengan pendidikan klasik
tentang peranan pendidikan dalam menyampaikan informasi. Keduanya juga
mempunyai perbedaan, sebab yang diutamakan dalam teknologi pendidikan
adalah pembentukan dan penguasaan kompetensi bukan pengawetan dan
pemeliharaan budaya lama. Mereka lebih berorientasi ke masa sekarang dan yang
akan datang, tidak seperti pendidikan klasik yang lebih melihat ke masa lalu.
Perkembangan teknologi pendidikari dipengaruhi clan sangat diwarnai
oleh perkembangan ilmu dan teknologi. Hal itu memang sangat masuk akal, sebab
teknologi pendidikan bertolak dari dan merupakan penerapan prinsip-prinsip ilmu
dan teknologi dalam pendidikan. Teknologi telah masuk ke semua segi kehidupan,
termasuk dalam pendidikan.

13
Our technologies to day are so powerful, so prevalent, so deliberately
foster, and so prominent in the awareness of people, that they not only
bring about changes in the physical world which tecnologies have always
done but also in our insti- tutions, attitudes, and expectations, values,
goals, and in our very conceptions of the meaning of existence (Holtzman,
1970, hlm. 237).
Gambaran manusia tentang dunia dan makna kehidupan merupakan
sintesis dari pengalaman-pengalaman dasarnya. Menurut pandangan klasik,
pengalaman ini bersifat menetap, sama dari tahun ke tahun, berbeda dengan
pandangan teknologi pendidikan. Menurut mereka, pengalaman tersebut selalu
berubah, hari ini lebih baik dari kemarin dan besok lebih baik daripada hari Mi.
Kehidupan dan perkembangan itu selalu baru.
Karena sifat ilmiahnya, konsep pendidikan ini mengutamakan segi-segi
empiris, informasi objektif yang dapat diamati dan diukur serta dihitung secara
statistik. Mereka kurang menghargai hal-hal yang bersifat kualitatif dan spiritual.
Bagi mereka, dunia ini adalah dunia material, dunia empiris. Meskipun lebih
kompleks, manusia pada dasarnya tidak berbeda dengan binatang, ia mereaksi
terhadap perangsang-perangsang dari lingkungannya, perilakunya dapat dibentuk
dengan teknologi perilaku, seperti yang dinyatakan Skinner.
Man totally determined by his environment. Therefore, if we wish to relate
to him for better to educate him, we need only learn scientifically, how to
control his environment in such away as to reshape his behavior. What we
need is a technology of behavior (Skinner, 1972).
Menurut teori ini, pendidikan adalah ilmu dan bukan seni, pendidikan
adalah cabang dari teknologi ilmiah. Dengan pengembangan desain program,
pendidikan menjadi sangat efisien. Efisiensi merupakan salah satu ciri utama
teknologi pendidikan. Dalam pengembangan desain program, mereka juga
melibatkan penggunaan perangkat keras, alat-alat pandangdengar (audio-visual)
dan media elektronika. Pengembangan model-model pengajaran yang bersifat
individual serta menekankan penguasaan kemampuan, seperti computer assisted
instruction (CAI), individually prescribed instruction (IPI), competency based
instruction, dan behavior modification merupakan model-model pengajaran baru,
melengkapi model yang telah ada yaitu pengajaran berprogram, mesin pengajaran,
dan pengajaran modul.

14
Dalam konsep teknologi pendidikan, isi pendidikan dipilih oleh tim ahli
bidang-bidang khusus. Isi pendidikan berupa data-data objektif dan keterampilan-
keterampilan yang mengarah kepada kemampuan vocational. Isi disusun dalam
bentuk desain program atau desain pengajaran dan disampaikan dengan
menggunakan bantuan media elektronika (kaset audio, video, film, atau komputer)
dan para siswa belajar secara individual. Siswa berusaha untuk menguasai
sejumlah besar bahan dan pola-pola kegiatan secara efisien tanpa refleksi.
Keterampilan-keterampilan barunya segera digunakan dalam masyarakat. Guru
berfungsi sebagai direktur belajar, lebih banyak melakukan tugas-tugas
pengelolaan daripada penyampaian dan pendalaman bahan. Apabila digunakan
media elektronika, ierbehas dari tugas pengembangan segi-segi nonintelektual.
Kurikulum pendidikan teknologi menekankan kompetensi atau
kemampuan- kemampuan praktis. Materi disiplin ilmu dipelajari termasuk dalam
kurikulum, apabila hal itu mendukung penguasaan kemampuan-kemampuan
tersebut. Dalam kurikulum, materi disiplin ilmu tersebut disusun terjalin dalam
kemampuan. Penyusunan kurikulum dilakukan para ahli dan atau guru-guru yang
mempunyai kemampuan mengembangkan kurikulum. Perangkat kurikulum cukup
lengkap mulai dari struktur dan sebaran mata pelajaran sampai dengan rincian
bahan ajar yang dipelajari oleh siswa, yang tersusun dalam satuan-satuan bahan
ajar dalam bentuk satuan pelajaran, paket belajar, modul, paket program audio,
video ataupun komputer. Dalam satuan-satuan bahan ajar tersebut tercakup pula
kegiatan pembelajaran dan bentuk-bentuk serta alat penilaiannya.

4. Pendidikan interaksional
Konsep pendidikan ini bertolak dari pemikiran manusia sebagai makhluk
sosial. Dalam kehidupannya, manusia selalu membutuhkan manusia lain, selalu
hidup bersama, berinteraksi, dan bekerja sama. Karena kehidupan bersama dan
kerja sama ini, mereka dapat hidup, berkembang, dan mampu inemenuhi
kebutuhan hidup dan memecahkan berbagai masalah yang (iihadapi. Dapat
dibayangkan, apa yang akan dihadapi seseorang, bila ia hidup sendiri di sebuah
pulau terpencil. Bila lingkungannya mendukung, mungkin ia dapat bertahan
hidup, tetapi apabila tidak, mungkin tidak liapat hidup atau tidak dapat mencapai

15
kemajuan seperti yang dialami oleh I wang-orang yang hidup bersama dengan
orang lain.
Pendidikan sebagai salah satu bentuk kehidupan juga berintikan kerja ama
dan interaksi. Dalam pendidikan klasik dan teknologi interaksi terjadi sepiliak dari
guru kepada siswa, sedangkan dalam pendidikan romantik don progresif terjadi
sebaliknya dari siswa kepada guru. Pendidikan lideraksional menekankan
interaksi dua pihak, dari guru kepada siswa dan lari siswa kepada guru. Lebih
luas, interaksi ini juga terjadi antara siswa dengan bahan ajar dan dengan
lingkungan, antara pemikiran siswa dengan kehidupannya. Interaksi ini terjadi
melalui berbagai bentuk dialog.
Dalam pendidikan interaksional, belajar lebih dari sekadar mempelajari
fakta-fakta. Siswa mengadakan pemahaman eksperimental dari fakta-fakta
tersebut, memberikan interpretasi yang bersifat menyeluruh serta memahaminya
dalam konteks kehidupannya. Setiap siswa, begitu juga guru, mempunyai rentetan
pengalaman dan persepsi sendiri. Dalam proses belajar, persepsi-persepsi yang
berbeda tersebut digunakan untuk menyoroti masalah bersama yang muncul
dalam kehidupannya. Dalam proses seperti itu dialog berlangsung, setiap siswa
dan guru saling mendengarkan, memberikan pendapat, sal ing mengajar dan
belajar. Pemahaman yang muncul dari situasi demikian melebihi jumlah seluruh
sumbangan para peserta. Siswa tidak hanya berperan sebagai siswa, tetapi juga
sebagai guru, dan guru juga pada suatu saat berperan sebagai siswa yang turut
belajar bersama para siswanya.
Interaksi juga terjadi antara siswa dengan bahan ajar. Interaksi ini bukan
hanya pada tingkat apa dan bagaimana, tetapi lebih jauh yaitu pada tingkat
mengapa, tingkat mencari makna baik makna sosial (socially conscious) maupun
makna pribadi (self conscious). Isi atau bahan ajar ini berkenaan dengan
lingkungan sosial-budaya yang mereka hadapi saat ini. Setelah mengetahui makna
dari fakta-fakta dan nilai-nilai sosial budaya, mereka mengadakan evaluasi, kritik
dari sudut kepentingannya bagi kesejahteraan umat manusia.
Siswa sebagai individu selalu berinteraksi dengan lingkungannya, selalu
terjadi hubungan timbal balik antara keduanya. Pandangan-pandangannya
mempengaruhi bentuk dan pola lingkungan, di lain pihak kekuatan dan

16
keterbatasan lingkungan mempengaruhi individu siswa. Lingkungan merupakan
bagian dari kehidupan siswa. Interaksi juga terjadi antara pemikiran siswa dengan
kehidupannya. Suatu kebenaran tidak akan diyakininya apabila tidak dicobakan
dan dihayati dalam kehidupannya sehari-hari.
Sekolah berbeda dengan pendidikan, tetapi mempunyai peranan penting
dalam sistem masyarakat. Sekolah merupakan pintu untuk memasuki masyarakat,
menentukan stratifikasi sosial, dan memberikan kesiapan untuk melakukan
berbagai pekerjaan. Sekolah menyiapkan anak dengan berbagai keterampilan
sosial juga keterampilan bekerja. Lebih jauh, sekolah juga berperan dalam
membina sikap positif terhadap dunia kerja, disiplin kerja, dan sebagainya.
Pendidikan berperan dalam mengembangkan identitas pribadi, memperbaiki
modus dari kehidupan.
Proses belajar dalam model interaksional terjadi melalui dialog dengan
orang lain apakah dengan guru, teman, atau yang•lainnya. Belajar adalah kerja
sama dan saling kebergantungan dengan orang lain. Siswa belajar memperhatikan,
menerima, menilai pendapat orang lain, dan belajar menyatakan pendapat dan
sikapnya sendiri. Melalui interaksi tersebut muncul pengetahuan, pendapat, sikap,
dan keterampilan-keterampilan baru. Guru berperan dalam menciptakan situasi
dialog dengan dasar saling mempercayai dan saling membantu. Bahan ajar
diambil dari lingkungan sosial-budaya yang dihadapi para siswa sekarang. Mereka
diajak untuk menghayati nilai-nilai sosial-budaya yang ada di masyarakat,
memberikan penilaian yang kritis, kemudian mereka mengembangkan
persepsinya sendiri terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Kurikulum pendidikan interaksional menekankan baik pada isi maupun
proses pendidikan sekaligus. Isi pendidikan terdiri atas problem- problem nyata
yang aktual yang dihadapi dalam kehidupan di masyarakat. Proses pendidikannya
berbentuk kegiatan-kegiatan belajar kelompok yang mengutamakan kerja sama,
baik antarsiswa, siswa dan guru, maupun antara siswa dan guru dengan sumber-
sumber belajar yang lain. Kegiatan penilaian dilakukan untuk hasil maupun proses
belajar. Guru-guru melakukan kegiatan penilaian sepanjang kegiatan belajar.

17
BAB II
TEORI KURIKULUM

Dewasa ini berkembang suatu anggapan bahwa pendidikan bukan lagi


merupakan suatu ilmu, melainkan suatu teknologi. Hal ini disebabkan oleh upaya
pengembangan dan penyempurnaan pendidikan, khususnya kurikulum, lebih
banyak datang dari pengalaman praktik di sekolah, dibandingkan dengan dari
penerapan teori-teori yang sudah mapan. Perubahan atau penambahan isi
kurikulum sering diadakan karena adanya kebutuhan-kebutuhan praktis. Karena
selalu menekankan pada hal-hal praktis itulah, masa berlaku suatu kurikulum
tidak bisa lama. Pada bab ini akan diuraikan apa, mengapa, dan bagaimana teori,
khususnya pentingnya ilasar-dasar teoretis dalam pengembangan suatu kurikulum.

A. Apakah Teori Itu?


Mengenai apakah teori itu, telah ada beberapa kesepakatan di antara para
ahli, tetapi juga ada beberapa perbedaan pendapat. Kesepakatan yang telah
diterima secara umum, bahwa teori merupakan suatu set atau sistem pernyataan (a
set of statement) yang menjelaskan serangkaian hal. Ketidaksepakatannya terletak
pada karakteiistik pernyataan tersebut.
Di antara sekian banyak pendapat yang berbeda, ada tiga kelompok
karakteristik utama sistem pernyataan suatu teori. Pertama, pernyataan dalam
suatu teori bersifat memadukan (unifying statement). Kedua, pernyataan tersebut
berisi kaidah-kaidah umum (universal preposition). Ketiga, pernyataan bersifat
meramalkan (predictive statement). Karakteristik memadukan (unifying
statement) banyak disetujui oleh para perumus teori, seperti yang dikemukakan
Kaplan (1964, him. 295).
A theory is a way of making sense of a disturbing situation, so as to allow us most
effectivelly to bring to bear our reverfoice of habits, and even more impor- tant, to
modify habits or discard them together, reflacing new ones as the situa- tion
demands. And the reconstructed logic, accordingly, theory will appear as the
device for interpreting, criticizing, and unifying established laws, modify- ing

18
them to fit data unanticipated in their formation, and guiding the enter- prise of
discovering new and more powerful generalizations.
Hall dan Lindsay (1970, him. 11) menekankan hal yang sama yaitu sifat
unifying, seperti mereka nyatakan bahwa "... a theory is set of conventions that
should contain a cluster of relevant assumption systematically related to each
other and a set of empirical definitions".
Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Snow (1973, hlm.78).
In its simplest form, a theory is a symbolic instruction designed to bring gener-
alizable fact (or laws) into systematic connection. It consist of a) a set of units
(facts, concepts, variables), and b) a system of relationships among the units.
Karakteristik lain berupa kaidah-kaidah yang bersifat universal, kita temukan
dalam definisi teori Rose (1953, him. 52).
A theory may be defined as an integrated body of definitions, assumptions and
general prepositions covering a given subject matter from which a comprehensive
and consistent set of specific and testable hypotheses can be deducted logically.
Menurut Rose, karakteristik pernyataan (set of statement) tersebut meliputi
definisi, asumsi, dan kaidah-kaidah umum. Dalam rumusan yang lebih kompleks,
teori ini juga menyangkut hukum-hukum, hipotesis, dan deduksi-deduksi logis-
matematis. Definisi teori Abel umpamanya menunjukkan hal seperti itu.
A general theory is built upon the facts discovered by means of the use of theo-
rems and other conceptual models from empirical data and which have been ex-
pressed in the form of laws, correlations, or other type of generalizations. It in-
volves synthesis and is directed to the formulation of propositions about uni-
versals.
Karakteristik ketiga yang dipandang sebagai ciri utama suatu teori adalah
sifat prediktif (meramalkan). Teori harus mampu menjangkau ke depan, bukan
hanya menggambarkan apa adanya tetapi mampu meramalkan apa yang terjadi
atas suatu hal. Rumusan demikian dapat dilihat dalam definisi teori Travers (1960,
hlm. 10): "... a theory consists of generalizations intended to explain phenomena
and that the generalizations must be predictive".

19
Suatu rumusan yang lebih menyeluruh, yang mengandung tiga
karakteristik utama suatu teori (unifying, universal prepositions, dan predictive)
kita temukan dalam definisi Kerlinger (1973, hlm. 9).
A theory is a set of interelated constructs (concepts), definitions, and prepositions
that present a systematic view of phenomena by specifying relations among
variables, with the purpose of explaining and predicting phenomena".
Dengan bermacam-macam rumusan teori itu diharapkan sampai pada suatu
kesimpulan, walaupun bersifat tentatif bahwa suatu teori lahir dari suatu proses,
yang berbeda dengan yang lainnya. Suatu teori hanya menjelaskan hal yang
terbatas, teori lain menjelaskan hal yang lebih luas.
Teori menjelaskan suatu kejadian. Kejadian ini bisa sangat luas atau sangat
sempit. Suatu kejadian yang dijelaskan oleh suatu teori menunjukkan suatu set
yang universal. Set universal ini terbentuk oleh tiga bagian. Bagian pertama,
kejadian yang diketahui, yang dinyatakan sebagai fakta, hukum, atau prinsip.
Bagian kedua yang dinyatakan sebagai asumsi, proposisi, dan postulat. Bagman
ketiga adalah bagian dari set universal atau bagian dari keseluruhan yang belum
diketahui. Visualisasi hubungan antara bagian-bagian tersebut dapat dilihat pada
bagan berikut.
BAGAN 2.1 Suatu set kejadian yang terkandung dalam suatu teori

20
Tugas seorang teoretisi adalah merumuskan istilah-istilah dan pernyataan
yang akan menjelaskan isi bagian-bagian dan hubungan di antara bagian-bagian
tersebut. Hal yang sangat penting dalam pekerjaan seorang ilmuwan adalah
penggunaan istilah-istilah. Ia dituntut untuk menggunakan istilah dengan makna
yang tepat dan konsisten. Gordon dan teman-temannya (1967) membagi istilah-
istilah yang digunakan dalam suatu teori atas tiga kelas: primitive terms, key
terms, and theoretical terms. Primitive terms tak dapat didefinisikan secara
operasional. Contohnya, konsep titik (point) dalam geometri. Key terms adalah
istilah-istilah yang dapat didefinisikan secara operasional seperti pemecahan
masalah. Theo- retical terms dapat didefinisikan secara operasional, tetapi dalam
hubungannya dengan key terms.
Beauchamp (1975, hlm. 15) membedakan adanya tiga kelompok istilah,
yaitu "general language terms, basic concepts, dan theoretical contructs". General
language terms merupakan istilah-istilah yang digunakan dalam ilmu pengetahuan
atau bahasa secara umum. Istilah-istilah tersebut tidak perlu didefinisikan secara
operasional karena telah dikenal secara umum. The basic concept merupakan
istilah-istilah yang sangat dasar dan penting dalam menjelaskan suatu set kejadian,
oleh karenanya perlu didefinisikan secara operasional. Sebagai contoh, istilah
molekul dalam kimia, istilah kurikulum dalam pendidikan. Yang ketiga adalah
theoretical constructs, yang merupakan istilah yang punya makna khusus dalam
set kejadian yang akan dijelaskan suatu teori, tetapi tidak dapat diketahui melalui
pengamatan langsung. Contoh istilah minat, kebutuhan dalam pengajaran.
Hal lain yang juga sangat penting dalam pekerjaan ilmuwan adalah
pernyataan. Suatu teori terdiri atas serangkaian pernyataan, di dalam pernyataan
tersebut ada istilah-istilah. Seperti halnya istilah, pernyataan pun ada
pengkategoriannya. Pernyataan dapat menunjuk kepada faktafakta, definisi,
proposisi, hipotesis, generalisasi, dalil, postulat, teorem, asumsi, dan hukum.
Sering terdapat tumpang tindih atau pertukaran pengertian dari istilah-istilah
tersebut, juga penggunaannya sering amat terbatas hanya dalam teori atau konsep
tertentu.
Secara hukum istilah-istilah tersebut sering diartikan sebagai berikut. Fakta
adalah suatu fenomena yang diketahui melalui pengamatan. Definisi

21
merupakan perumusan arti dalam bentuk pernyataan formal. Proposisi merupakan
suatu pernyataan formal yang memperkuat atau menolak keberadaan sesuatu hal
tentang suatu subjek. Hipotesis, generalisasi, aksioma, postulat, teorem, dan
hukum-hukum merupakan bentuk-bentuk khusus proposisi. Hipotesis terbentuk
oleh satu proposisi atau lebih untuk menjelaskan suatu set kejadian. Generalisasi
adalah suatu proposisi yang memperkuat atau menegaskan kedudukan suatu
anggota atau beberapa anggota kolas, hal itu disimpulkan dari hasil pengamatan
atas sejumlah hubungan peristiwa. Aksioma atau postulat adalah suatu proposisi
yang diterima sebagai suatu kebenaran. Teorem adalah suatu proposisi yang
berasal dari pemikiran atau diturunkan dari aksioma. Hukum adalah suatu
proposisi yang sudah bersifat tetap, yang memberikan kondisi yang tidak berubah.

1. Apakah fungsi teori?


Minimal ada tiga fungsi teori yang sudah disepakati para ilmuwan yaitu;
(1) mendeskripsikan, (2) menjelaskan, dan (3) memprediksi. Untuk tiga fungsi
tersebut, Brodbeck (1963, hlm. 70) menambahkan fungsi lain. "A theory nol only
explains and predict, it also unifies phenomena". Khusus dalam penelitian Gawin
(1963) mengemukakan fungsi teori sebagai: ... the theory help teioire,/ searcher to
analyze data to make shorthand summarization or synopsis of data an
relations, and to suggest new thing to try out.
Dalam usaha mendeskripsikan, menjelaskan, dan membuat prediksi, para
ahli terus mencari dan menemukan hukum-hukum baru dan hubungan-hubungan
baru di antara hukum-hukum tersebut. Melalui proses demikian mungkin terjadi di
dalam suatu "set kejadian", semua hukum dan interealasinya dapat dinyatakan dan
teori itu telah berkembang menjadi hukum yang lebih tinggi. Para ahli teori
mencari hubungan baru dangan menggabungkan beberapa "set kejadian" menjadi
suatu "set kejadian yang baru yang lebih universal". Hal itu mendorong pencarian
dan pengkajian selanjutnya, untuk menemukan hukum-hukum baru dan hubungan
baru dalam suatu teori baru. Fungsi yang lebih besar dari suatu leori adalah
melahirkan teori baru.
Mouly (1970, hlm. 70-71) mengemukakan ciri-ciri suatu teori yang baik,
yaitu:

22
1. A theoretical system must permit deduction which be tested empirically,
2. A theory must be compatible both with observation and with previously
validated theories,
3. Theories must be stated in simple terms, that theory is best which explains
the most in the simplest form,
4. Scientific theories must be based on empirical facts and relationships.
Bagaimana proses pembentukan suatu teori atau bagaimana proses herteori
berlangsung, melalui beberapa langkah.
Pertama, pendefinisian istilah merupakan hal yang sangat penting berteori,
terutama berkenaan dengan kejelasan atau ketepatan penggunaan istilah yang
telah didefinisikan.
Kedua, klasifikasi yaitu pengelompokan informasi-informasi yang revan
dengan kategori-kategori yang sejenis. Klasifikasi juga merupakan
wugelompokan fakta dan generalisasi ke dalam kelompok-kelompok yang
.mogen, tetapi tidak menjelaskan interelasi antarkelompok atau interaksi
fakta dengan generalisasi dalam suatu kelompok.
Ketiga, mengadakan induksi dan deduksi. Induksi dan deduksi merupakan
dua proses penting di dalam mengembangkan pernyataan- pernyataan teoretis
setelah pendefinisian dan pengklasifikasian. Induksi merupakan proses penarikan
kesimpulan yang lebih bersifat umum dari fakta-fakta atau hal-hal yang bersifat
khusus. Deduksi merupakan penurunan kaidah-kaidah khusus dari kaidah yang
lebih umum.
Keempat adalah informasi, prediksi, dan penelitian. Pembentukkan suatu
teori yang kompleks mungkin berpangkal dari inferensi-inferensi yaitu
penyimpulan dari apa yang diamati. Inferensi ini mungkin ditarik melalui
perumusan asumsi, hipotesis, dan generalisasi dari hasil-hasil observasi. Sesuai
dengan fungsi dari teori yaitu memberikan prediksi, teori juga berkembang
melalui prediksi dan juga penelitian. Ada prediksi yang dibuktikan dengan suatu
penelitian, tetapi ada juga prediksi yang tetap sebagai prediksi.
Kelima pembentukan model-model. Karena yang dicakup dengan teori
sering menyangkut hal-hal yang sifatnya abstrak dan kompleks, maka untuk

23
memberikan gambaran yang lebih konkret dan sederhana dibuat model-model.
Model ini menggambarkan kejadian-kejadian serta interaksi antara kejadian.
Keenam, pembentukan subteori. Suatu teori yang telah mapan dan
komprehensif mendorong untuk terbentuknya sub-subteori. Subteori ini
cenderung memperluas lingkup dari suatu teori dan juga memberikan
penyempurnaan.

B. Teori Pendidikan
Pendidikan merupakan suatu ilmu terapan (applied science), yaitu terapan
dari ilmu atau disiplin lain terutama filsafat, psikologi, sosiologi, dan humanitas.
Sebagai ilmu terapan, perkembangan teori pendidikan berasal dari pemikiran-
pemikiran filosofis-teoretis, penelitian empiris dalam praktik pendidikan. Dengan
latar belakang seperti itu, beberapa ahli menyatakan bahwa ilmu pendidikan
merupakan ilmu yang "belum jelas". Hal itu diperkuat oleh kenyataan bahwa
cukup sulit untuk dapat merumuskan teori pendidikan. Teori-teori pendidikan
yang ada lebih menggambarkan pandangan filosofis, seperti teori pendidikan
Langeveld, Kohnstam, dan sebagainya, atau lebih menekankan pada pengajaran
seperti teori Gagne, Skinner, dan sebagainya.
Boyles (1959) menyatakan bahwa teori pendidikan di Amerika Serikat
berada dalam a state of suspended animation, penggambarannya masih
tertangguhkan. Masih memerlukan waktu yang cukup lama untuk menampilkan
dengan jelas teori pendidikan ini. Menurut Beauchamp (1975, hlm. 34), teori
pendidikan akan atau dapat berkembang, tetapi perkembangannya pertama-tama
dimulai pada sub-subteorinya. Yang menjadi subteori dari teori pendidikan adalah
teori-teori dalam kurikulum, pengajaran, evaluasi, bimbingan-konseling, dan
administrasi pendidikan.
Susunan hierarki teori pendidikan dengan subteori dan teori yang
memayunginya dapat dilihat pada Bagan 2.2.
Telah diuraikan sebelumnya bahwa ada dua kecenderungan perkembangan ilmu
pendidikan. Pertama, perkembangan yang bermilai teoretis yang merupakan
pengkajian masalah-masalah pendidikan dari sudut

24
BAGAN 2.2 Susunan hierarki teori pendidikan dan kurikulum

pandang ilmu lain, seperti filsafat, psikologi, dan lain-lain. Kedua, perkembangan
ilmu pendidikan dari praktik pendidikan. Keduanya dapat ding membantu,
melengkapi, dan memperkaya. Dalam kenyataan, tidak selalu terjadi hal yang
demikian. Hanya sedikit hasil-hasil pengkajian leoretis yang diterapkan para
pelaksana pendidikan. Sebagai contoh, teori IT Rousseau yang menekankan
pendidikan alam dengan peranan anak sebagai subjek yang penuh potensi, hampir
tidak ada yang melaksanakanIlya secara penuh, kecuali beberapa prinsip
utamanya, itu pun dengan keberapa modifikasi. Sebaliknya para pendidik di
lapangan melaksanakan praktik pendidikan yang lebih didasarkan atas kebutuhan-
kebutuhan prakt is, sekalipun tidak banyak dilandasi oleh teori-teori yang kuat.
Seharusnya tidak terjadi hal yang demikian, sebab seharusnya praktik
dilandasi oleh teori, tidak ada praktik yang baik tanpa teori yang mapan. Anima
teori dengan praktik memang terdapat perbedaan, tetapi keduanya ingat berkaitan
erat. Mengenai perbedaan antara teori dengan praktik, beauchamp menjelaskan:
Theory by its nature is impractical. The world of practicality is built around
clusters of specific events. The world of theory derives from generalization law a
axiomes and theorems explaining specific events and the relationships among
them (Beauchamp, 1975, him. 35).

25
Walaupun terdapat perbedaan, keduanya tidak dapat dipisahkan. Teori
menjadi pedoman bagi praktik dan praktik memberi umpan balik bagi
pengembangan teori. Sebagai ilmu dari segala ilmu, filsafat mempunyai hubungan
yang erat dengan ilmu pendidikan dan teori pendidikan. Ada dua kategori teori
yaitu teori deskriptif dan preskriptif. Teori deskriptif terdiri atas serangkaian
proposisi yang berinterelasi secara logis. Dari proposisi-proposisi tersebut
diturunkan secara deduktif informasi- informasi baru, juga dari proposisi-proposisi
tersebut hubungan antara beberapa hal dirumuskan. Teori deskriptif terdiri atas
serangkaian rencana kegiatan atau proposisi mengenai sesuatu kerangka masalah.
Pengembangan teori deskriptif berhubungan dengan pendekatan ilmiah (scientific
approach), sedangkan pengembangan teori preskriptif berhubungan dengan
pendekatan atau teknik-teknik filosofis (techniques of philosophy).

Filsafat mempunyai hubungan yang sangat erat dengan teori pendidikan.


Kebanyakan teori pendidikan yang ada, kalau tidak berlandaskan psikologi maka
bersumber pada filsafat. Filsafat khususnya filsafat pendidikan memberikan
pedoman bagi perumusan aspek-aspek pendidikan. Mendidik atau pendidikan
berkenaan dengan perbuatanperbuatan yang tidak lepas dari nilai, atau dengan
kata lain perbuatan mendidik selalu menyangkut nilai. Teori pendidikan selalu
menyangkut tentang teori nilai, etika, yang keduanya merupakan bahasan dari
bidang filsafat. Antara keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan. John Dewey
seorang ahli filsafat pendidikan progresif, umpamanya menyatakan bahwa filsafat
merupakan teori umum dari pendidikan.
Beberapa aliran filsafat pendidikan menggambarkan kedudukannya, juga
sebagai teori pendidikan, seperti dalam filsafat pendidikan realisme dari Borudy,
idealisme dari Butler, pragmatisme dari Mc. Murray. Pratte menegaskan
hubungan antara filsafat dengan teori pendidikan di dalam uraiannya tentang teori
pendidikan modern yaitu pendidikan progresif (eksperimentalisme), esensialisme,
perenialisme, rekonstruksionalisme, dan eksistensialisme. Dalam semua aliran
filsafat ini, dikemukakan pandangan filosofisnya tentang peranan sekolah
(pendidikan), ten tang hakikat pengetahuan, tentang manusia, tentang nilai, dan
sumber-sumber nilai.

26
Hugh C. Black dalam bukunya A Four fold Classification of Educational
Theories (1966) mengemukakan empat teori pendidikan, yaitu teori tradisional,
teori progresif, teori hasil belajar, dan teori proses belajar. Teori tradisional
menekankan fungsi pendidikan sebagai pemelihara dan penerus warisan budaya,
teori progresif memandang pendidikan sebagai penggali potensi anak-anak, dalam
teori ini anak menempati kedudukan sentral dalam pendidikan. Teori hasil belajar
sesuai dengan namanya mengutamakan hasil, sedangkan teori proses belajar
mengutamakan proses belajar.
Teori pendidikan bukan saja berkembang melalui pemikiran p.mikiran
filosofis atau teori preskriptif, juga dikembangkan melalui ponglojfisn
pengkajian ilmiah (teori deskriptif). Harry S. Broudy menyatakan perlunya suatu
teori pendidikan yang utuh yang membentuk satu kesatuan. Teori pendidikan yang
demikian sangat diperlukan mengingat hal-hal sebagai berikut.
a. The present and projected kinds of knowledge and personality traits re-
quired for citizenship, vocation, and self development.
b. A unified theory must be judicious about the latest development in learn-
ing theory and teaching technology.
c. A unified theory has to provide for general and special education, for dif-
ferences in ability and bent (Broudy, 1960, hlm. 24).
Brouner mengidentifikasi enam teori pendidikan yang berkembang di
merika Serikat pada tahun 1960-an. Keenam teori tersebut dapat dilihat pada
Bagan 2.3.
Dalam simposium di Universitas John Hopkins tahun 1961, dibahas
hvherapa makalah yang menguraikan apakah pendidikan merupakan

27
BAGAN 2.3 Enam teori pendidikan (menurut Brouner)

suatu disiplin ilmu atau bukan? Beberapa makalah mengakui pendidikan sebagai
disiplin ilmu, makalah lainnya menyangkalnya. Mereka yang menyangkal,
memandang pendidikan merupakan aplikasi dari berbagai disiplin. Pendidikan
hanyalah suatu profesi, yang ditandai sejumlah pelayanan yang diberikannya.
March Beth dalam buku Education as a Discipline (1965) menegaskan
bahwa pendidikan adalah suatu disiplin. la menolak pandangan bahwa pendidikan
hanyalah aplikasi dari disiplin-disiplin lain. Pendidikan adalah suatu bidang studi
(suatu disiplin) dalam bidangnya. Studi tentang pendidikan merupakan suatu
kajian tentang bagaimana cara atau model-model inkuiri disusun, digunakan,
dikembangkan, dan disusun kembali. Lebih jauh berisi kajian tentang model-
model yang cocok pada suatu tempat, saat, serta syarat-syarat yang diperlukan
bagi pelaksanaan model tersebut..
Menurut Beth, studi tentang pendidikan mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Sejarah tentang teori dan model-model pendidikan
2. Prinsip-prinsip dan prosedur analisis dari model-model pendidikan.
3. Studi tentang fungsi dari model-model yang ada, sebagai bahan dan alat
untuk mempelajari dan mengembangkannya.
4. Studi lebih mendalam tentang variasi model, bagaimana penerapannya
dalam berbagai tingkat sekolah dan berbagai jenis mata pelajaran.

28
5. Pelaksanaan model sesuai dengan kondisi waktu, kemampuan para
pelaksana, serta fasilitas yang ada.
Terlepas dari apakah pendidikan merupakan suatu disiplin ilmu atau
bukan, pendidikan tetap merupakan suatu bidang studi. Dalam bidang studi
tersebut, teori-teori pendidikan dikembangkan. Beauchamp (175, hlm. 43)
menyatakan bahwa Irrespective of label, evidence mounts that education is
sufficiently mature to become an organized field of study.
Pengembangan teori pendidikan menjadi semakin besar dan pesat dengan
berkembangnya sub-subteori pendidikan, yaitu bimbingan clan konseling,
kurikulum, penyuluhan, pengajaran, evaluasi, dan administrasi pendidikan.

C. Teori Kurikulum
Telah diuraikan sebelumnya bahwa teori merupakan suatu perangkat
pernyataan yang bertalian satu sama lain, yang disusun sedemikian rupa sehingga
memberikan makna yang fungsional terhadap serangkaian kejadian. Perangkat
pernyataan tersebut dirumuskan dalam bentuk definisi deskriptif atau fungsional,
suatu konstruksi fungsional, asumsi-asunro hipotesis, generalisasi, hukum, atau
teorem-teorem. Isi rumusan-rumusan tersebut ditentukan oleh lingkup dari
rentetan kejadian yang dicakup, jumlah pengetahuan empiris yang ada, dan
tingkat keluasan_ dan kedalaman teori dan penelitian di sekitar kejadian-kejadian
tersebut.
Kalau konsep-konsep itu diterapkan dalam kurikulum, maka dapatlah
dirumuskan tentang teori kurikulum, yaitu sebagai suatu perangkat pernyataan
yang rnemberikan makna terhadap kurikulum sekolah, makna tersebut Irryndi
karena adanya penegasan hubungan antara unsur-unsur kurikulum, karena allanya
petunjuk perkembangan, penggunaan dan evaluasi kurikulum. Bahan kajian dari
teori kurikulum adalah hal-hal yang berkaitan dengan renentuan keputusan,
penggunaan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kurikulum, dan lain-lain.

29
1. Konsep kurikulum
Konsep terpenting yang perlu mendapatkan penjelasan dalam teori
kurikulum adalah konsep kurikulum. Ada tiga konsep tentang kurikulum,
kurikulum sebagai substansi, sebagai sistem, dan sebagai bidang studi.
Konsep pertama, kurikulum sebagai suatu substansi, suatu kurikulum,
dipandang orang sebagai suatu rencana kegiatan belajar bagi murid-murid di
sekolah, atau sebagai suatu perangkat tujuan yang ingin dicapai. Suatu kurikulum
juga dapat menunjuk kepada suatu dokumen yang berisi rumusan tentang tujuan,
bahan ajar, kegiatan belajar-mengajar, jadwal, dan evaluasi. Suatu kurikulum juga
dapat digambarkan sebagai dokumen tertulis sebagai hasil persetujuan bersama
antara para penyusun kurikulum dan pemegang kebijaksanaan pendidikan dengan
masyarakat. Suatu kurikulum juga dapat mencakup lingkup tertentu, suatu
sekolah, suatu kabupaten, propinsi, ataupun seluruh negara.
Konsep kedua, adalah kurikulum sebagai suatu sistem, yaitu sistem
kurikulum. Sistem kurikulum merupakan bagian dari sistem persekolahan, sistem
pendidikan, bahkan sistem masyarakat. Suatu sistem kurikulum mencakup
struktur personalia, dan prosedur kerja bagaimana cara me- nyusun suatu
kurikulum, melaksanakan, mengevaluasi, dan menyem- purnakannya. Hasil dari
suatu sistem kurikulum adalah tersusunnya suatu kurikulum, dan fungsi dari
sistem kurikulum adalah bagaimana memelihara kurikulum agar tetap dinamis.
Konsep ketiga, kurikulum sebagai suatu bidang studi yaitu bidang studi
kurikulum. Ini merupakan bidang kajian para ahli kurikulum dan ahli pendidikan
dan pengajaran. Tujuan kurikulum sebagai bidang studi adalah mengembangkan
ilmu tentang kurikulum dan sistem kurikulum. Mereka yang mendalami bidang
kurikulum mempelajari konsep-konsep dasar tentang kurikulum. Melalui studi
kepustakaan dan berbagai kegiatan penelitian dan percobaan, mereka menemukan
hal-hal baru yang dapat memperkaya dan memperkuat bidang studi kurikulum.
Seperti halnya para ahli ilmu sosial lainnya, para ahli teori kurikulum juga
dituntut untuk: (1) mengembangkan definisi-definisi deskriptif dan preskriptif dari
istilah-istilah teknis, (2) mengadakan klasifikasi tentang pengetahuan yang telah
ada dalam pengetahuan-pengetahuan baru, (3) melakukan penelitian inferensial
dan prediktif, (4) mengembangkan subsubteori kurikulum, mengembangkan dan

30
melaksanakan model-model kurikulum. Keempat tuntutan tersebut menjadi
kewajiban seorang ahli teori kurikulum. Melalui pencapaian keempat hal tersebut
baik sebagai subtansi, sebagai sistem, maupun bidang studi kurikulum dapat
bertahan dan dikembangkan.

2. Perkernbangan teori kurikulum


Perkembangan teori kurikulum tidak dapat dilepaskan dari sejarah
perkembangannya. Perkembangan kurikulum telah dimulai pada tahun 1890
dengan tulisan Charles dan McMurry, tetapi secara definitif berawal pada hasil
karya Franklin Babbit tahun 1918. Bobbit sering dipandang sebagai ahli
kurikulum yang pertama, ia perintis pengembangan praktik kurikulum. Bobbit
adalah orang pertama yang mengadakan analisis kecakapan atau pekerjaan
sebagai cara penentuan keputusan dalam penyusunan kurikulum. Dia jugalah yang
menggunakan pendekatan ilmiah dalam mengidentifikasi kecakapan pekerjaan
dan kehidupan orang dewasa sebagai dasar pengembangan kurikulum.
Menurut Bobbit, inti teori kurikulum itu sederhana, yaitu kehidupan
manusia. Kehidupan manusia meskipun berbeda-beda pada dasarnya sama,
terbentuk oleh sejumah kecakapan pekerjaan. Pendidikan berupaya
mempersiapkan kecakapan-kecakapan tersebut dengan teliti dan sempurna.
Kecakapan-kecakapan yang harus dikuasai untuk dapat terjun dalam kehidupan
sangat bermacam-macam, bergantung pada tingkatannya maupun jenis
lingkungan. Setiap tingkatan dan lingkungan kehidupan menuntut penguasaan
pengetahuan, keterampilan, sikap, kebiasaan, apresiasi tertentu. Hal-hal itu
merupakan tujuan kurikulum. Untuk mencapai hal-hal itu ada serentetan
pengalaman yang harus dikuasai anak. Seluruh tujuan beserta pengalaman-
pengalaman tersebut itulah yang menjadi bahan kajian teori kurikulum.
Werrett W. Charlters (1923) setuju dengan konsep Bobbit tentang analisis
kecakapan/pekerjaan sebagai dasar penyusunan kurikulum. Char ters lebih
menekankan pada pendidikan vokasional.
Ada dua hal yang sama dari teori kurikulum, teori Bobbit dan Charters.
Pertama, keduanya setuju atas penggunaan teknik ilmiah dalam memecahkan
masalah-masalah kurikulum. Dalam hal ini mereka dipengaruhi oleh gerakan

31
ilmiah dalam pendidikan yang dipelopori oleh El. Thorndike, Charles Judd, dan
lain-lain. Kedua, keduanya bertolak pada asumsi bahwa sekolah berfungsi
mempersiapkan anak bagi kehidupan sebagai drang dewasa. Untuk mencapai hal
tersebut, perlu analisis tentang tugas-tugas dan tuntutan dalam kurikulum disusun
keterampilan, pengetatitian, sikap, nilai, dan lain-lain yang diperlukan untuk dapat
berpartisipasi dalam kehidupan orang dewasa. Bertolak pada hal-hal tersebut
mereka itionyusun kurikulum secara lengkap dalam bentuk yang sistematis.
Mulai tahun 1920, karena pengaruh pendidikan progresif, berkembang
gerakan pendidikan yang berpusat pada anak (child centered). Teori kurikulum
berubah dari yang menekankan pada organisasi isi yang diarahkan pada
kehidupan sebagai orang dewasa (Bobbit dan Charters) kepada kl•hidupan
psikologis anak pada saat ini. Anak menjadi pusat perhatian
Isi kurikulum harus didasarkan atas minat dan kebutuhan alswa.
Pendidikan menekankan kepada aktivitas siswa, siswa belajar nu lalui
pengalaman. Penyusunan kurikulum harus melibatkan siswa.
Perkembangan teori kurikulum selanjutnya dibawakan oleh Hollis I swell.
Dalam peranannya sebagai ketua divisi pengembang kurikulum beberapa negara
bagian di Amerika Serikat (Tennessee, Alabama, Ida, Virginia), ia
mengembangkan konsep kurikulum yang berpusat pada masyarakat atau
pekerjaan (society centered) maka Caswell mengembangkan kurikulum yang
bersifat interaktif. Dalam pengembangan kurikulumnya, Caswell menekankan
pada partisipasi guru-guru, Ism dalam menentukan kurikulum, menentukan
struktur dari penyusunan kurikulum, dalam merumuskan pengertian dalam
merumuskan tujuan, memilih isi, menentukan kegiatan belajar, kurikulum,
menilai hasil, dan sebagainya.
Pada tahun 1947 di Univeristas Chicago berlangsung diskusi besar ri lama
tentang teori kurikulum. Sebagai hasil diskusi tersebut 4.11111muskan tiga tugas
utama teori kurikulum: (1) mengidentifikasi Nin~..rIah masalah penting yang
muncul dalam pengembangan kurikulum tirui konsep-konsep yang mendasarinya,
(2) menentukan hubungan antara Malin tersebut dengan struktur yang
mendukungnya, (3) Monoirt atau meramalkan pendekatan-pendekatan pada masa
yang akan dittoing untuk memecahkan masalah tersebut.

32
Ralph W. Tylor (1949) mengemukakan empat pertanyaan pokok yang menjadi
inti kajian kurikulum:
1. Tujuan pendidikan yang manakah yang ingin dicapai oleh sekolah?
2. Pengalaman pendidikan yang bagaimanakah yang harus disediakan untuk
mencapai tujuan tersebut?
3. Bagaimana mengorganisasikan pengalaman pendidikan tersebut secara
efektif?
4. Bagaimana kita menentukan bahwa tujuan tersebut telah tercapai?
Empat pertanyaan pokok tentang kurikulum dari Tylor ini banyak dipakai
oleh para pengembangan kurikulum berikutnya. Dalam konferensi nasional
perhimpunan pengembang dan pengawas kurikulum tahun 1963 dibahas dua
makalah penting dari George A. Beauchamp dan Othanel Smith. Beauchamp
menganalisis pendekatan ilmiah tentang tugas-tugas pengembangan teori dalam
kurikulum. Menurut Beauchamp, teori kurikulum secara konseptual berhubungan
erat dengan pengembangan teori dalam ilmu-ilmu lain. Hal-hal yang penting
dalam pengembangan teori kurikulum adalah penggunaan istilah-istilah teknis
yang tepat dan konsisten, analisis dan klasifikasi pengetahuan, penggunaan
penelitianpenelitian prediktif untuk menambah konsep, generalisasi atau kaidah-
kaidah, sebagai prinsip-prinsip yang menjadi pegangan dalam menjelaskan
fenomena kurikulum.
Dalam makalah kedua, Othanel Smith menguraikan peranan filsafat dalam
pengembangan teori kurikulum yang bersifat ilmiah. Menurut Smith, ada tiga
sumbangan utama filsafat terhadap teori kurikulum, yaitu dalam (1) merumuskan
dan mempertimbangkan tujuan pendidikan, (2) memilih dan menyusun bahan, dan
(3) perumusan bahasa khusus kurikulum.
James B. MacDonald (1964) melihat teori kurikulum dari model sistem.
Ada empat sistem dalam persekolahan yaitu kurikulum, pengajaran (instruction),
mengajar (teaching), dan belajar. Interaksi dari empat sistem ini dapat
digambarkan dengan suatu diagram Venn. Melihat kurikulum sebagai suatu
sistem dalam sistem yang lebih besar yaitu persekolahan dapat memperjelas
pemikiran tentang konsep kurikulum. Penggunaan model sistem juga dapat

33
membantu para ahli teori kurikulum rnenentukan jenis dan lingkup
konseptualisasi yang diperlukan dalam teori kurikulum.
Broudy, Smith, dan Burnett (1964) menjelaskan masalah persekolahan
dalam suatu skema yang menggambarkan komponen-komponen dari keseluruhan
proses mempengaruhi anak. Skema persekolahan dari Broudy dan kawan-
kawannya dapat dilihat pada Bagan 2.4.
Beauchamp merangkumkan perkembangan teori kurikulum antara tahun
1960 sampai dengan 1965. Ia mengidentifikasi adanya enam komponen
kurikulum sebagai bidang studi, yaitu: landasan kurikulum, isi kurikulum, desain
kurikulum, rekayasa kurikulum, evaluasi dan penelitian, dan pengembangan teori.
Thomas L. Faix (1966) menggunakan analisis struktural-fungsional yang
berasal dari biologi, sosiologi, dan antropologi untuk menjelaskan konsep
kurikulum. Fungsi kurikulum dilukiskan sebagai proses bagaimana memelihara
dan mengembangkan strukturnya. Ada sejumlah pertanyaan yang diajukan dalam
analisis struktural-fungsional ini. Topik dan subtopik dari pertanyaan ini
menunjukkan fenomena-fenomena kurikulum Pertanyaan-pertanyaan itu
menyangkut: (1) pertanyaan umum tentang fenomena kurikulum, (2) sistem
kurikulum, (3) unit analisk (Ian unsur unsurnya, (4) struktur sistem kurikulum, (5)
Fungsi sistem kurikulum, (6) proses kurikulum (7) prosedur analisis structural
fungsional.

BAGAN 2.4 Skema persekolahan dari Broudy, Smith, dan Bunett.


CURRICULUM
Content Categories of instruction Modes of Teaching
Facts Symbolic studies Situational
Concept Basic Sciences Modes
Desriptive Developmental studies Operational
Principles Testhetics studies Modes
Students
Learnings:
Cognitive maps
Evaluational maps

34
Attitudes and
values systems
Associative meanings
and images
Intellectual Operations
Excecutive Operations
Assessment system:
Examinations
Tests: Essay-Objective
Teacher Judgements
Self evaluation
Self inventory"

Alizabeth S. Maccia (1965) dari hasil analisisnya menyimpulkan adanya


empat teori kurikulum, yaitu: (1) teori kurikulum (curriculum theory), (2) teori
kurikulum-formal (formal-curriculum theory), (3) teori kurikulum valuasional
(valuational curriculum theory), dan (4) teori kurikulum praksiologi (praxiological
curriculum theory).
Teori kurikulum (curriculum Theory atau event theory) merupakan teori
yang menguraikan pemilihan dan pemisahan kejadian/peristiwa kurikulum atau
yang berhubungan dengan kurikulum dan yang bukan. Menurut Maccia,
kurikulum merupakan bagian dari pengajaran, teori kurikulum merupakan
subteori pengajaran. Teori kurikulum formal memusatkan perhatiannya pada
struktur isi kurikulum. Teori kurikulum yaluasional mengkaji masalah-masalah
pengajaran apa yang berguna/ berharga bagi keadaan sekarang. Teori kurikulum
praksiologi merupakan suatu pengkajian tentang proses untuk mencapai tujuan-
tujuan kurikulum. Walaupun mungkin, kita tidak setuju dengan seluruh pendapat
Maccia, tetapi ia telah berhasil menunjukkan sejumlah dimensi kurikulum yang
cukup berharga untuk menjelaskan teori kurikulum.

35
Mauritz Johnson (1967) membedakan antara kurikulum dengan proses
pengembangan kurikulum. Kurikulum merupakan hasil dari sistem
pengembangan kurikulum, tetapi sistem pengembangan bukan kurikulum.
Menurut Johnson, kurikulum merupakan seperangkat tujuan belajar yang
terstruktur. Jadi, kurikulum berkenaan dengan tujuan dan bukan dengan kegiatan.
Berdasarkan rumusan kurikulum tersebut, pengalaman belajar anak menjadi
bagian dari pengajaran.
Johnson menganalisis enam unsur kurikulum, yaitu:
1. A curriculum is a structured series of intended learning out comes.
2. Selection is an essential aspect of curriculum formulation.
3. Structure is an essential charactistic of curriculum.
4. Curriculum guide instruction
5. Curriculum evaluation involeves validation of both selection and
structure.
6. Curriculum is the criterion for instructional evaluation.
Jack R. Frymier (1967) mengemukakan tiga unsur dasar kurikulum, yaitu
aktor, artifak, dan pelaksanaan. Aktor adalah orang-orang yang terlibat dalam
pelaksanaan kurikulum. Artifak adalah isi dan rancangan kurikulum. Pelaksanaan
adalah proses interaksi antara aktor yang melibatkan artifak. Studi kurikulum
menurut Frymier meliputi tiga langkah: perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Ada beberapa masalah atau isu substansial dalam pembahasan tentang
teori kurikulum, yaitu definisi kurikulum, sumber-sumber kebijaksanaan
kurikulum, desain kurikulum, rekayasa kurikulum, peranan nilai dalam
pengembangan kurikulum, dan implikasi teori kurikulum.
Semua rumusan teori kurikulum diawali dengan definisi. Definisi di sini
bukan sekadar definisi istilah, melainkan definisi konsep, isi dan ruang lingkup,
serta struktur. Beberapa pertanyaan umum tentang karakteristik kurikulum sebagai
bidang studi yang perlu didefinisikan umpamanya, apakah kurikulum merupakan
suatu konsep dalam sistem persekolahan? Apakah kurikulum mencakup mengajar
dan pengajaran? Sampai sejauh mana kegiatan belajar siswa menjadi bagian
kurikulum? Apakah ruang lingkup kurikulum sebagai bidang studi? Beberapa
pertanyaan yang lebih khusus, yang lebih berkenaan dengan karakteristik desain
kurikulum, umpamanya apakah kurikulum harus memiliki serangkaian tujuan
khusus? Apakah kurikulum perlu memiliki sejumlah materi untuk mencapai

36
tujuan-tujuan tersebut? Apakah kurikulum perlu mengadakan rumusan yang lebih
spesifik tentang rencana dan bahan pengajaran? Apakah perlu ada spesifika4i
tentang makna perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kurikulum?

1. Sumber Pengembangan Kurikulum


Dari kajian sejarah kurikulum, kita mengetahui beberapa hal yang menjadi
sumber atau landasan inti penyusunan kurikulum. Pengembangan kurikulum
pertama bertolak dari kehidupan dan pekerjaan orang dewasa. Karena sekolah
mempersiapkan anak bagi kehidupan orang dewasa, kurikulum terutama isi
kurikulum diambil dari kehidupan orang dewasa. Para pengembang kurikulum
mendasarkan kurikulumnya atas hasil analisis pekerjaan dan kehidupan orang
dewasa.
Dalam pengembangan selanjutnya, sumber ini menjadi luas meliputi
.sernua unsur kebudayaan. Manusia adalah makhluk yang berbudaya, hidup dalam
Iingkungan budaya, dan turut menciptakan budaya. Untuk dapat hidup dalam
Iingkungan budaya, ia harus mempelajari budaya, maka budaya menjadi sumber
utama isi kurikulum. Budaya ini mencakup ..einua disiplin ilmu yang telah
ditemukan dan dikembangkan para pakar, itilai-nilai adat-istiadat, perilaku, benda-
benda, dan lain-lain.
Sumber lain penyusunan kurikulum adalah anak. Dalam pendidikan *Wm
pengajaran, yang belajar adalah anak. Pendidikan atau pengajaran I iiikan
memberikan sesuatu pada anak, melainkan menumbuhkan potensipolensi yang
telah ada pada anak. Anak menjadi sumber kegiatan pengajaran, ia menjadi
sumber kurikulum. Ada tiga pendekatan terhadap anak sebagai sumber kurikulum,
yaitu kebutuhan siswa, perkembangan serta minat siswa. Jadi, ada pengembangan
kurikulum bertolak dari ,hutuhan-kebutuhan siswa, tingkat-tingkat perkembangan
siswa, serta hal hal yang diminati siswa.
Beberapa pengembang kurikulum mendasarkan penentuan kurikulum
kepada pengalaman-pengalaman penyusunan kurikulum yang lalu. Pengalaman
pengembangan kurikulum yang lalu menjadi sumber penyusunan kurikulum
kemudian. Hal lain yang menjadi sumber penyusunan kurikulum adalah nilai-
nilai. Beauchamp menegaskan bahwa nilai dapat merupakan sumber penentuan
keputusan yang dinamis. Pertanyaan pertama yang muncul dalam kurikulum yang
berdasarkan nilai adalah: Apakah yang harus diajarkan di sekolah? Ini merupakan

37
pertanyaan tentang nilai. Nilai-nilai apakah yang harus diberikan dalam
pelaksanaan kurikulum? Nilai-nilai apa yang digunakan sebagai kriteria penentuan
kurikulum dan pelaksanaan kurikulum.
Terakhir yang menjadi sumber penentuan kurikulum adalah kekuasaan
sosial-politik. Di Amerika Serikat pemegang kekuasaan sosial-politik yang
menentukan kebijaksanaan dalam kurikulum adalah board of education lokal yang
mewakili negara bagian. Di Indonesia, pemegang kekuasaan sosial- politik dalam
penentuan kurikulum adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang dalam
pelaksanaannya dilimpahkan kepada Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah
serta Dirjen Pendidikan Tinggi bekerja sama dengan Balitbangdikbud. Pada
pendidikan dasar dan menengah, kekuasaan penyusunan kurikulum sepenuhnya
ada pada pusat, sedangkan pada perguruan tinggi rektor diberi kekuasaan untuk
menentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam penyusunan kurikulum.

2. Desain dan Rekayasa Kurikulum


Telah diutarakan sebelumnya bahwa ada dua subteori dari teori kurikulum,
yaitu desain kurikulum (curriculum design) dan rekayasa kurikulum (curriculum
engineering).
Desain kurikulum merupakan suatu pengorganisasian tujuan, isi, serta
proses belajar yang akan diikuti siswa pada berbagai tahap perkembangan
pendidikan. Dalam desain kurikulum akan tergambar unsur-unsur dari kurikulum,
hubungan antara satu unsur dengan unsur lainnya, prinsipprinsip
pengorganisasian, serta hal-hal yang diperlukan dalam pelaksanaannya. Dalam
desain kurikulum, ada dua dimensi penting, yaitu (1) substansi, unsur-unsur serta
organisasi dari dokumen tertulis kurikulum, (2) model pengorganisasian dan
bagian-bagian kurikulum terutama organisasi dan proses pengajaran.
Menurut Beauchamp, kurikulum mempunyai tiga karakteristik, yaitu: (1)
kurikulum merupakan dokumen tertulis, (2) berisi garis-garis besar rumusan
tujuan, berdasarkan garis-garis besar tujuan tersebut desain kurikulum disusun, (3)
isi atau materi ajar, dengan materi tersebut tujuantujuan kurikulum dapat dicapai.
Ada dua hal yang perlu ditambahkan dalam desain kurikulum. Pertama,
ketentuan-ketentuan tentang bagaimana penggunaan kurikulum, serta bagaimana
mengadakan penyemprunaan-penyempurnaan berdasarkan masukan dari
pengalaman. Kedua kurikulum itu dievaluasi, baik bentuk desainnya maupun

38
sistem pelaksanaannya.
Rekayasa kurikulum berkenaan dengan bagaimana proses memfungsikan
kurikulum di sekolah, upaya-upaya yang perlu dilakukan para pengelola
kurikuluin agar kurikulum dayat berfungsi sebaik-baiknya. Pengelola kurikulum
di sekolah terdiri atas para pengawas/periilik dan kepala sekolah, sedangkan pada
tingkat pusat adalah Kepala Pusat Pengembangan Kurikulum BaLitbang Dikbud
dan para Kasubdit/Kepala Bagian Kurikulum di Direktorat. Dengan menerima
pelimpahan wewenang dari Menteri atau Dirjen, para pejabat pusat tersebut
merancang, mengembangkan, dan mengadakan penyempurnaan kurikulum. Juga
mereka memberi tugas dan tanggung jawab menyusun dan mengembangkan
berbagai bentuk pedoman dan petunjuk pelaksanaan kurikulum. Para pengelola di
daerah dan sekolah berperan melaksanakan dan mengawasi pelaksanaan
kurikulum
Seluruh sistem rekayasa kurikulum menurut Beauchamp mencakup lima
hal, yaitu 1) arena atau lingkup tempat dilaksanakannya berbagai proses rekayasa
kurikulum, (2) keterlibatan orang-orang dalam proses kurikulum, (3) tugas-tugas
dan prosedur perencanaan kurikulum, (4) tugas-tugas dan prosedur implementasi
kurikulum, dan (5) tugas-tugas dan prosedur evaluasi kurikulum.
Dari semua uraian tentang hal-hal yang berkaitan dengan teori kurikulum,
Beauchamp (hlm. 82) mengemukakan lima prinsip dalam pengembangan teori
kurikulum, yaitu:
1. Setiap teori kurikulum harus dimulai dengan perumusan (definisi) tentang
rangkaian kejadian yang dicakupnya.
2. Setiap teori kurikulum harus mempunyai kejelasan tentang nilai-nilai dan
sumber-sumber pangkal tolaknya.
3. Setiap teori kurikulum perlu menjelaskan karakteristik dari desain
kurikulumnya.
4. Setiap teori kurikulum harus menggambarkan proses-proses penentuan
kurikulumnya serta interaksi di antara proses tersebut.
5. Setiap teori kurikulum hendaknya menyiapkan diri bagi proses
penyempurnaannya.

39
BAB III
LANDASAN FILOSOFIS DAN PSIKOLOGIS
PENGEMBANGAN KURIKULUM

Pendidikan mempunyai peranan sangat penting dalam keseluruhan aspek


kehidupan manusia. Hal itu disebabkan pendidikan berpengaruh langsung
terhadap perkembangan manusia, perkembangan seluruh aspek kepribadian
manusia. Kalau bidang-bidang lain seperti ekonomi, pertanian, arsitektur, dan
sebagainya berperan menciptakan sarana dan prasarana bagi kepentingan manusia,
pendidikan berkaitan langsung dengan pembentukan manusia. Pendidikan
"menentukan" model manusia yang akan dihasilkannya.
Kurikulum sebagai rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang
cukup sentral dalam seluruh kegiatan pendidikan, menentukan proses pelaksanaan
dan basil pendidikan. Mengingat pentingnya peranan kurikulum di dalam
pendidikan dan dalam perkembangan kehidupan manusia, penyusunan kurikulum
tidak dapat dikerjakan sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan
landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan atas hasil-hasil pemikiran dan
penelitian yang mendalam. Kalau landasan pembuatan sebuah gedung tidak kokoh
yang akan ambruk adalah gedung tersebut, tetapi kalau landasan pendidikan,
khususnya kurikulum yang lemah, yang akan "ambruk" adalah manusianya.
Ada beberapa landasan utama dalam pengembangan suatu kurikulum,
yaitu landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosial budaya, serta
perkembangan ilmu dan teknologi. Pada bab ini akan dibahas landasan filosofis
dan landasan psikologis, sedangkan landasan sosial-budaya dan perkembangan
ilmu dan teknologi akan dibahas pada bab selanjutnya.

A. Landasan Filosofis
Pendidikan berintikan interaksi antarmanusia, terutama antara pendidik
dan terdidik untuk mencapai tujuan pendidikan. Di dalam interaksi tersebut
terlibat isi yang diinteraksikan serta proses bagaimana interaksi tersebut
berlangsung. Apakah yang menjadi tujuan pendidikan, siapa pendidik dan
terdidik, apa isi pendidikan dan bagaimana proses interaksi pendidikan tersebut,

40
merupakan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang mendasar,
yang esensial yaitu jawaban-jawaban filosofis.
Secara harfiah filosofis (filsafat) berarti "cinta akan kebijakan" (love of
wisdom). Orang belajar berfilsafat agar ia menjadi orang yang mengerti dan
berbuat secara bijak. Untuk dapat mengerti kebijakan dan berbuat secara bijak, ia
harus tahu atau berpengetahuan. Pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses
berpikir, yaitu berpikir secara sistematis, logis, dan mendalam. Pemikiran
demikian dalam filsafat sering disebut sebagai pemikiran radikal, atau berpikir
sampai ke akar-akarnya (radic berarti akar). Berfilsafat diartikan pula berpikir
secara radikal, berpikir sampai ke akar. Secara akademik, filsafat berarti upaya
untuk menggambarkan dan menyatakan suatu pandangan yang sistematis dan
komprehensif tentang alam semesta dan kedudukan manusia di dalamnya.
Berfilsafat berarti menangkap sinopsis peristiwa-peristiwa yang simpang siur
dalam penga- laman manusia. Suatu cabang ilmu pengetahuan mengkaji satu
bidang pengetahuan manusia, daerah cakupannya terbatas. Filsafat mencakup
keseluruhan pengetahuan manusia, berusaha melihat segala yang ada irti sebagai
satu kesatuan yang menyeluruh dan mencoba mengetahui kedudukan manusia di
dalamnya. Sering dikatakan bahwa filsafat merupakan ibu dari segala ilmu.
Terdapat perbedaan pendekatan antara ilmu dengan filsafat dalam
mengkaji atau memahami alam semesta mi. Ilmu menggunakan pendekatan
analitik, berusaha menguraikan keTeluruhan dalam bagian- bagian yang kecil dan
lebih kecil. Filsafat berupaya merangkum atau mengintegrasikan bagian-bagian ke
dalam satu'kesatuan yang menyeluruh dan bermakna. Ilmu berkenaan dengan
fakta-fakta sebagaimana adanya (Das Sem), berusaha melihat segala sesuatu
spcara objektif, menghilangkan hal-hal yang bersifat subjektif. Filsafat melihat
segala sesuatu dari sudut bagaimana seharusnya (Das So/len), faktor-faktor
subjektif dalam filsafat sangat berpengaruh. Filsafat dan ilmu mempunyai
hubungan yang saling mengisi dan melengkapi (komplementer). Filsafat
memberikan landasan- landasan dasar bagi ilmu. Keduanya dapat memberikan
bahan-bahan bagi manusia untuk membantu memecahkan berbagai masalah
dalam kehidupannya.

41
Ada tiga cabang besar filsafat, yaitti metafisika yang membahas segala
yang ada dalam alam ini, epistemologi yang membahas kebenaran dan aksiologi
yang membahas nilai. Aliran-aliran filsafat yang kita kenal bertolak dari
pandangan yang berbeda dalam ketiga hal itu.
Filsafat membahas segala permasalahan yang dihadapi oleh manusia
termasuk masalah-masalah pendidikan ini yang disebut filsafat pen- didikan.
Walaupun dilihat sepintas, filsafat pendidikan ini hanya merupakan aplikasi dari
pemikiran-pemikiran filosofis untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan,
tetapi antara keduanya yaitu antara filsafat dan filsafat pendidikan terdapat
hubungan yang sangat erat. Menurut Donald Butler, filsafat memberikan arah dan
metodologi terhadap praktik pendidikan, sedangkan praktik pendidikan
memberikan bahan-bahan bagi pertimbangan-pertimbangan filosofis. Keduanya
sangat berkaitan erat, malah menurut Butler menjadi satu.
1) Philosphy is primary and basic to an educational philosophy, 2) philosophy is
the flower not root of education, 3) educational philosophy is an independent
discipline which might benefit from contact with general philosophy, but this
contact is not essential, 4) philosophy and the theory of education is one (Butler,
1957: 12).
Pendapat para filsuf umumnya memandang filsafat umum sebagai dasar
dari filsafat pendidikan, tetapi John Dewey umpamanya mempunyai pandangan
yang hampir sama dengan Butler. Bagi Dewey, filsafat dan filsafat pendidikan
adalah sama, sebagaimana juga pendidikan menurut Dewey sama dengan
kehidupan. Seperti halnya dalam filsafat umum, dalam filsafat pendidikan pun
dikenal banyak pandangan atau aliran. Setiap pandangan mempunyai landasan
metafisika, epistemilogi, dan aksiologi tentang masalah pendidikan yang berbeda.
Dalam tulisan ini akan dikemukakan salah satu pandangan tentang filsafat
pendidikan, yaitu pandangan dari John Dewey. Hal itu tidak berarti bahwa
pandangan tersebut paling sesuai untuk masyarakat kita atau paling disetujui oleh
penulis.

42
1. Dasar-dasar filsafat Dewey
Ciri utama filsafat Dewey adalah konsepsinya tentang dunia yang selalu
berubah, mengalir, atau on going-ness. Prinsip ini membavva konsekuensi yang
cukup jauh, bagi Dewey tidak ada yang menetap dan abadi semuanya berubah.
Ciri lain filsafat Dewey adalah anti dualistik. Pandangannya tentang dunia adalah
monistik dan tidak lebih dari sebuah hipotesis.
Filsafat Dewey lebih berkenaan dengan epistemologi dan tekanannya
kepada proses berpikir. Proses berpikir merupakan satu dengan pemecahan yang
bersifat tentatif, antara ide dengan fakta, antara hipotesis dengan hasil. Proses
berpikir merupakan proses pengecekan dengan kejadiankejadian nyata. Dalam
filsafat Dewey kebenaran itu terletak dalam perbuatan atau truth is in the making,
yaitu adanya persesuaian antara hipotesis dengan kenyataan.
Dewey sangat menghargai peranan pengalaman, merupakan dasar bagi
pengetahuan dan kebijakan. Experience is the only basis for knowledge and
wisdom (Dewey, 1964, hlm. 101). Pengalaman itu mencakup kegiatan manusia,
baik yang berbentuk aktif maupu pasif.
Mengetahui tanpa mengalami adalah omong kosong. Dewey menolak
sesuatu yang bersifat spekulatif.
Pengertian pengalaman Dewey berbeda dengan kaum empiris lainnya,
yang mengartikannya sebagai pengalaman melalui pengindraan. Instrumentalisme
Dewey menganggap bahwa rohani itu adalah interelasi yang kreatif antara
organisme dengan lingkungannya, dengan waktu dan tempat.
Pengalaman selain merupakan sumber dari pengetahuan, juga sumber
nilai. Karena pengalaman selalu berubah maka nilai pun berubah. Nilai-nilai
adalah relatif, subjektif, dan hanya dirasakan oleh manusia. Sesuatu itu bernilai
karena diberi nilai oleh manusia, sesuatu dibutuhkan karena manusia
membutuhkannya, selalu dalam hubungannya dengan pengalaman. Nilai-nilai itu
tidak dapat diukur dan tidak ada hierarki nilai.
All values are thus subjective and either intrinsic or instrumental .... Values being
finally intrinsic, and feeling, it is held, being immeasurable, no scale of values,
and of any two things felt as intrinsically valuable it is than another. To be felt as

43
worthwhile in itself is thus the ultimate orientation of value. (Dewey dalam Joe
Park, (Ed). 1958, hlm. 185).
Tujuan perkembangan manusia adalah self realization. Pengertian self
hagi Dewey adalah sesuatu yang konkret bersifat empiris tidak dapat dipisahkan
dari pengalaman dan lingkungan. Self realization hanya dapat diperoleh melalui
pengalaman dan interaksi dengan yang lain.

2. Teori pendidikan Dewey


Apakah pendidikan menurut John Dewey? Pendidikan berarti perkem-
bangan, perkembangan sejak lahir hingga menjelang kematian. Jadi, pendidikan
itu juga berarti sebagai kehidupan. Bagi Dewey, Education is Ntowlh,
development, life. Ini berarti bahwa proses pendidikan itu tidak niempunyai
tujuan di luar dirinya, tetapi terdapat dalam pendidikan itu Itendiri. Proses
pendidikan juga bersifat kontinu, merupakan reorganisasi, teknnstruksi, dan
pengubahan pengalaman hidup. Jadi, pendidikan itu mei npakan organisasi
pengalaman hidup, pembentukan kembali hidup, dan juga perubahan pengalaman
hidup sendiri merupakan organisasi pengalaman hidup, pembentukan kembali
pengalaman hidup, dan juga perubahan pengalaman hidup sendiri.
Pendidikan merupakan reorganisasi dan rekonstruksi yang konstan dari
pengalaman. Pada setiap saat ada tujuan, perbuatan pendidikan selalu ditujukan
untuk mencapai tujuan. Setiap fase perkembangan kehidupan, masa kanak-kanak,
masa pemuda, dan dewasa, semuanya merupakan fase pendidikan, semua yang
dipelajari pada fase-fase tersebut mempunyai arti sebagai pengalaman;Pendidikan
itu tidak berakhir, kecuali kalau seseorang sudah mati.
Pengalaman sebagai suatu proses yang aktif membutuhkan waktu, waktu
yang kemudian menyempurnakan waktu sebelumnya. Seluruh proses pendidikan
itu membentuk pengertian-pengertian tentang benda, hubungan-hubungan, dan
segala sesuatu tentang kehidupannya. Konstruksi pengalaman ini tidak hanya
bersifat pribadi (individual), tetapi juga bersifat sosial. Pendidikan merupakan
suatu lembaga yang konstruktif untuk memperbaiki masyarakat. Realisasi
pendidikan dalam bentuk perkembangan bukan hanya perkembangan anak dan
pemuda-pemuda, melainkan juga perkembangan masyarakat.

44
Tujuan pendidikan diarahkan untuk mencapai suatu kehidupan yang
demokratis. Demokratis bukan dalam arti politik, melainkan sebagai cara hidup
bersama sebagai way of life, pengalaman bersama dan komunikasi bersama.
Tujuan pendidikan merupakan usaha agar individu melanjutkan pendidikannya.
Tujuan pendidikan terletak pada proses pendidikan itu sendiri, yakni kemampuan
dan keharusan individu meneruskan perkembangannya. John Dewey menegaskan
bahwa pendidikan itu tidak mernpunyai tujuan, hanya orang tua, guru, dan
masyarakat yang mempunyai tujuan. And it is well to remind ourselves that
education as such has no aims. Only persons, parents, and teacher etc., have aims,
not an abstarct idea like education. (John Dewey, 1964, hlm. 177).
Untuk mengetahui bagaimanakah proses belajarterjadi pada anak, baiklah
kita lihat bagaimana syarat-syarat untuk pertumbuhan. Pendidikan sama dengan
pertumbuhan. Syarat pertumbuhan adalah adanya kebelumdewasaan (immaturity),
yang berarti kemampuan untuk berkembang. Immaturity tidak berarti negatif,
tetapi positif, kemampuan, kecakapan, dan kekuatan untuk tumbuh. lni
menunjukkan bahwa anak adalah hidup, ia memiliki semangat untuk berbuat.
Pertumbuhan bukan sesuatu yang harus kita berikan, pertumbuhan adalah sesuatu
yang harus mereka lakukan sendiri.
Ada dua sifat dari immaturity yakni kebergantungan dan plastisitas.
Kebergantungan berarti kemampuan untuk menyatakan hubungan sosial, dan ini
akan menyebabkan individu itu matang dalam hubungan sosial. Sebagai hasilnya,
akan tumbuh kemampuan interpendensi atau saling kebergantungan antara
anggota masyarakat yang satu dengan yang lain. Plastisitas mengandung
pengertian kemampuan untuk berubah. Plastisitas juga berarti habitat yaitu
kecakapan menggunakan keadaan lingkungan sebagai alat untuk mencapai tujuan,
bersifat aktif mengubah lingkungan.
Kapankah proses belajar itu dimulai dan kapankah berakhir? Sesuai
dengan pandangan John Dewey, bahwa pendidikan itu adalah pertumbuhan itu
sendiri. Karena itu, pendidikan tersebut dimulai sejak lahir dan berakhir pada saat
kematian. Demikian juga proses belajar tidak dapat dilepaskan dari proses
pendidikan. Pendidikan adalah pengalaman, yaitu suatu proses yang berlangsung

45
terus-menerus. Bagaimana hubungan antara proses belajar, pengalaman, dan
berpikir?
Pengalaman itu bersifat aktif dan pasif. Pengalaman yang bersifat aktif
herarti berusaha, mencoba, dan mengubah, sedangkan pengalaman pasif herarti
menerima dan mengikuti saja. Kalau kita mengalami sesuatu maka kita berbuat,
sedangkan kalau mengikuti sesuatu kita memperoleh akibat atau hasil. Belajar dari
pengalaman berarti menghubungkan kemunduran dengan kemajuan dalam
perbuatan kita, yakni kita merasakan kesenangan atau penderitaan sebagai suatu
akibat atau hasil. "To learn from experience is hi make a backward and forward
connection between what we have do to things and what we enjoy or suffer from
thing in consequence (Dewey, dalam Jo Park, 1958: 94).
Belajar dari pengalaman adalah bagaimana menghubungkan pengalaman
kita dengan pengalaman masa lalu dan yang akan datang. lielajar dari pengalaman
berarti mempergunakan daya pikir reflektif (reflecI we thinking), dalam
pengalaman kita. Pengalaman yang efektif adalah pengalaman reflektif. Ada lima
langkah berpikir reflektif menurut John Dewey, yaitu:
1. merasakan adanya keraguan, kebingungan yang menimbulkan masalah,
2. mengadakan interpretasi tentatif (merumuskan hipotesis),
3. mengadakan penelitian atau pengumpulan data yang cermat,
4. memperoleh hasil dari pengujian hipotesis tentatif,
5. hasil pembuktian sebagai sesuatu yang dijadikan dasar untuk berbuat.

Langkah-langkah berpikir reflektif ini dipergunakan sebagai metode


belajar dalam pendekatan pendidikan proyek dari John Dewey, yang sampai
dengan tahun 50-an sangat populer. Belajar seperti halnya pendidikan adalah
proses pertumbuhan, belajar, dan berpikir adalah satu.
Dalam penyusunan bahan ajaran menurut Dewey hendaknya
memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut: 1) Bahan ajaran hendaknya konkret,
dipilih yang betul-betul berguna dan dibutuhkan, dipersiapkan secara sistematis
dan mendetil, 2) Pengetahuan yang telah diperoleh sebagai hasil belajar,
hendaknya ditempatkan, dalam kedudukan yang berarti, yang memungkinkan
dilaksanakannya kegiatan baru, dan kegiatan yang lebih menyeluruh.

46
Bahan pelajaran bagi anak tidak bisa semata-rnata diambil dari buku
pelajaran, yang diklasifikasikan dalam mata-mata pelajaran yang terpisah. Bahan
pelajaran harus berisikan kemungkinan-kemungkinan, harus mendorong anak
untuk bergiat dan berbuat. Bahan pelajaran harus memberikan rangsangan pada
anak-anak untuk bereksperimen. Demikian- lah dengan bahan pelajaran ini, kita
mengharapkan anak-anak yang aktif, anak-anak yang bekerja, anak-anak yang
bereksperimen. Bahan pelajaran tidak diberikan dalam disiplin-disiplin ilmu yang
ketat, tetapi merupakan kegiatan yang berkenaan dengan sesuatu masalah
(problem).
Peranan guru bukan hanya berhubungan dengan mata pelajaran,
melainkan dia harus menempatkan dirinya dalam seluruh interaksinya dengan
kebutuhan, kemampuan, dan kegiatan siswa. Guru juga harus dapat memilih
bahan-bahan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan lingkungan.
Metode mengajar merupakan, penyusunan bahan pelajaran yang
memungkinkan diterima oleh para siswa dengan lebih efektif. Sesuatu metode
tidak pernah terlepas dari bahan pelajaran, kita dapat membedakan cara berbuat,
tetapi cara ini hanya ada sebagai cara berhubungan dengan bahan atau materi
tertentu. Metode mengajar harus fleksibel dan menimbulkan inisiatif kepada para
siswa.
Sekolah merupakan suatu lingkungan khusus, bagian dari lingkungan
manusia, yang mempunyai peranan dan fungsi khusus. Fungsi-fungsi khusus dari
sekolah adalah:
1. Menyediakan lingkungan yang disederhanakan. Tidak mungkin kita
memasukkan seluruh peradaban manusia yang sangat kompleks itu ke
sekolah. Demikian pula, para siswa tidak mungkin dapat memahami seluruh
masyarakat yang sangat kompleks itu. Itulah sebabnya sekolah merupakan
masyarakat atau lingkungan hidup manusia yang disederhanakan.
2. Membentuk masyarakat yang akan datang yang lebih baik. Para siswa tidak
belajar dari masa lampau, tetapi belajar dari masa sekarang untuk
memperbaiki masa yang akan datang.

47
3. Mencari keseimbangan dari bermacam-macam unsur yang ada di dalam
lingkungan. Sekolah mernberi kesempatan kepada setiap individu/siswa
untuk memperluas lingkungan hidupnya.
Sekolah sebagai lingkungan yang khusus hendaknya memberikan
pengarahan sosial, dengan cara mendorong kegiatan-kegiatan yang bersifat
intrinsik, dalam suatu arah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, melalui
imitasi, persaingan sehat, kerja sama, dan memperkuat kontrol.
Dalam sekolah progresif, yaitu sekolah-sekolah yang menerapkan sistem
Pendidikan Progresif dari John Dewey, sumber dari kontrol sosial terletak pada
sifat kegiatannya yang berisikan kerja sama sosial. Di dalam kerja sama sosial ini,
setiap siswa mempunyai kesempatan untuk memberikan sumbangan dan untuk
memikul tanggung jawab. Sekolah dan kelas diciptakan sebagai suatu organisasi
sosial. Di dalam organisasi sosial itu setiap siswa mempunyai kesempatan untuk
memberikan sumbangan, melakukan kegiatan-kegiatan, berpartisipasi, semuanya
itu merupakan control social.
Di dalam kontrol sosial ini tidak ada peraturan umum, sebab kontrol
sosial tidak datang dari luar, tetapi timbul dari kegiatannya sendiri. Tugas guru
adalah memberikan bimbingan dan mengusahakan kerja sama secara individual.
Para siswa dibagi dalam kelompok-kelompok, dan bekerja dalam kelompok,
bahkan guru termasuk sebagai anggota kelompok. Tentu saja sebagai orang
dewasa, is mempunyai tanggung jawab yang khusus, yaitu memelihara interaksi
dan komunikasi, mendorong kelompok untuk melakukan kegiatan-kegiatan
seperti dalam kehidupan masyarakat. Guru bukan atasan, penguasa, apalagi
diktator, melainkan sebagai pemimpin dalam kegiatan kelompok.

B. Landasan Psikologis
Dalam proses pendidikan terjadi interaksi antar-individu manusia, yaitu
antara peserta didik dengan pendidik dan juga antara peserta didik dengan orang-
orang yang lainnya. Manusia berbeda dengan makhluk lainnya, karena kondisi
psikologisnya. Manusia berbeda dengan benda atau tonaman, karena benda atau
tanaman tidak mempunyai aspek psikologis. Manusia juga lain dari binatang,
karena kondisi psikologis manusia jauh tinggi tarafnya dan lebih kompleks

48
dibandingkan dengan binatang. Iterkat kemampuan-kemampuan psikologis yang
lebih tinggi dan kompleks inilah sesungguhnya manusia menjadi lebih maju, lebih
banyak menii liki kecakapan, pengetahuan, dan keterampilan dibandingkan
dengan binatang.
Apa yang dimaksud dengan kondisi psikologis itu? Kondisi psikologis
merupakan karakteristik psiko-fisik seseorang sebagai individu, yang din yatakan
dalani berbagai bentuk perilaku dalani interaksi den gan lingkungannya. Perilaku-
perilaku tersebut merupakan manifestasi dari ciri-ciri kehidupannya, baik. yang
tampak maupun yang tidak tampak, perilaku kognitif, afektif, dan psikomotor.
Kondisi psikologis setiap‘individu berbeda, karena perbedaan tahap
perkembangannya, latar belakang sosial-budaya, juga karena perbedaan faktor-
faktor yang dibawa dari kelahirannya. Kondisi ini pun berbeda pula bergantung
pada konteks, peranan, dan status individu di antara individu- individu yang
lainnya. Interaksi yang tercipta dalam situasi pendidikan harus sesuai dengan
kondisi psikologis para peserta didik rnaupun kondisi pendidiknya. Interaksi
pendidikan di rumah berbeda dengan di sekolah, interaksi antara anak dan guru
pada jenjang sekolah dasar berbeda dengan jenjang sekolah lanjutan pertarna dan
sekolah lanjutan atas.
Peserta didik adalah individu yang sedang berada dalam proses
perkembangan. Tugas utama yang sesungguhnya dari para pendidik adalah
membantu perkembangan peserta didik secara optimal. Sejak kelahiran sampai
menjelang kematian, anak selalu berada dalam proses perkembangan,
perkembangan seluruh aspek kehidupannya. Tanpa pendidikan di sekolah, anak
tetap berkembang, tetapi dengan pendidikan di sekolah tahap perkembangannya
menjadi lebih tinggi dan lebih luas. Apa yang dididikkan dan bagaimana cara
mendidiknya, perlu disesuaikan dengan pola-poly perkembangan anak.
Karakteristik perilaku individu pada tahap-tahap perkembangan, serta pola-pola
perkembangan individu menjadi kajian Psikologi Perkembangan.
Perkembangan atau kemajuan-kemajuan yang dialami anak sebagian
besar terjadi karena usaha belajar, baik berlangsung melalui proses peniruan,
pengingatan, pembiasaan, pemahaman, penerapan, maupun pemecahan masalah.
Pendidik atau guru melakukan berbagai upaya, dan menciptakan berbagai

49
kegiatan dengan dukungan berbagai alat bantu pengajaran agar anak-anak belajar.
Cara belajar-mengajar mana yang dapat memberikan hasil secara optimal serta
bagaimana proses pelaksanaannya membutuhkan studi yang sistematik dan
mendalam. Studi yang demikian merupakan bidang pengkajian dari Psikologi
Belajar.
Jadi, minimal ada dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan
kurikulum, yaitu Psikologi Perkembangan dan Psikologi Belajar. Keduanya
sangat diperlukan, baik di dalam merumuskan tujuan, memilih dan menyusun
bahan ajar, memilih dan menerapkan metode pembelajaran serta teknik-teknik
penilaian.

1. Psikologi perkembangan
Psikologi Perkembangan membahas perkembangan individu sejak masa
konsepsi, yaitu masa pertemuan spermatozoid dengan sel telur sampai dengan
dewasa.

a. Metode dalam psikologi perkembangan


Pengetahuan tentang perkembangan individu diperoleh melalui studi
yang bersifat longitudinal, cross sectional, psikoanalitik, sosiologik, atau studi
kasus. Studi longitudinal menghimpun informasi tentang perkembangan individu
melalui pengamatan dan pengkajian perkembangan sepanjang masa
perkembangan, dari saat lahir sampai dengan dewasa, seperti yang pernah
dilakukan oleh Williard C. Olson. Metode cross sectional pernah -dilakukan oleh
Arnold Gessel. Ia mempelajari beribu-ribu,. anak clan berbagai tingkatan usia,
mencatat ciri-ciri fisik dan mental, pola-pola perkembangan dan kemampuan,
serta perilaku mereka dilakukan oleh Sigmund Freud beserta para pengikutnya.
Studi ini banyak diaralikan mempelajari perkembangan anak pada masa- masa
sebelumnya, terutama pada masa kanak-kanak (balita). Menurut mereka,
pengalaman yang tidak menyenangkan pada masa balita ini dapat mengganggu
perkembangan pada masa-masa berikutnya. Metode sosiologik digunakan oleh
Robert Havighurst. Ia mempelajari perkembangan anak dilihat dari tuntutan akan
tugas-tugas yang harus dihadapi dan dilakukan dalam masyarakat. Tuntutan akan

50
tugas-tugas kehidupan masyarakat ini oleh Havighurst disebut sebagai tugas-tugas
perkembangan (developmental tasks). Ada seperangkat tugas-tugas perkembangan
yang harus dikuasai individu dalam setiap tahap perkembangan. Metode lain yang
sering digunakan untuk mengkaji perkembangan anak adalah studi kasus. Dengan
mempelajari kasus-kasus tertentu, para ahli psikologi perkembangan menarik
beberapa kesimpulan tentang pola-pola perkembangan anak. Studi demikian
pernah dilakukan oleh Jean Piaget tentang perkembangan kognitif anak.
Individu apakah itu, anak ataupun orang dewasa merupakan kesatuan
jasmani dan rohani yang tidak dapat dipisah-pisahkan dan menunjukkan
karakteristik-karakteristik tertentu yang khas. Individu manusia adalah mesuatu
yang sangat kompleks tetapi unik. Ia memiliki banyak aspek Neperti aspek
jasmani, intelektual, sosial, emosional, moral, tetapi keseluruhannya membentuk
satu kesatuan yang khas.
Walaupun individu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-
pisahkan, untuk mempermudah penelitian, biasanya pembahasan dilakukan per
aspek perkembangan. Hal itu berarti aspek tertentulah yang mendapatkan sorotan
utama, yang menjadi fokus pengkajian, tetapi tidak berarti aspek-aspek lainnya
diabaikan. Perkembangan anak adalah perkembangan seluruh aspek
kepribadiannya, tetapi tempo dan irama perkembangan masing-masing anak pada
setiap aspek tidak selalu sama. Seorang anak mungkin lebih cepat
perkembangannya pada tahap tertentu, tetapi lambat pada tahap lainnya, atau
perkembangan aspek tertentu lebih cepat dibandingkan dengan aspek lainrtya.
Para ahli Psikologi Perkem- bangan tidak selalu mempunyai pendapat yang sama
tentang perkem- bangan, baik secara menyeluruh maupun per aspek
perkembangan. Hal itu didasari oleh perbedaan asumsi yang menjadi titik
tolaknya, atau perbedaan pendekatan yang mereka pakai, populasi yang
digunakan, atau aspek perkembangan yang menjadi fokus. Adanya perbedaan-
perbedaan tersebut sering menimbulkan kebingungan pada para guru, tetapi justru
akan memperluas dan memperkaya pengetahuan para pemakai teori-teori
perkembangan anak.

51
b. Teori perkembangan
Dikenal ada tiga teori atau pendekatan tentang perkembangan individu,
yaitu pendekatan pentahapan (stage approach), pendekatan diferensial (dif-
ferential approach), dan pendekatan ipsatif (ipsative approach). Menurut
pendekatan pentahapan, perkembangan individu berjalan melalui tahaptahap
perkembangan. Setiap tahap perkembangan mempunyai karakteristik tertentu
yang berbeda dengan tahap yang lainnya. Pendekatan diferensial melihat bahwa
individu memiliki persamaan dan perbedaan. Atas dasar persamaan dan perbedaan
tersebut individu dikategorikan atas kelompok-kelompok yang berbeda. Kita
mengenal ada kelompok individu berdasarkan jenis kelamin, ras, agama, status
sosial-ekonomi, dan sebagainya. Pengelompokan individu adakalanya juga
didasarkan atas kesamaan karakteristiknya. Berkenaan dengan hal itu dikenal
pengelompokan yang bersifat bipolar, seperti: Introvert-- ekstravert

Dominan-- submisif
agresif --pasif
aktivitas tinggi-- aktivitas rendah
kholerik –melanholik

Kedua pendekatan tersebut berusaha untuk menarik atau membuat


generalisasi yang berlaku untuk semua individu. Apakah dalam kenyataannya
demikian? Dalam kenyataan seringkali ditemukan adanya sifatsifat individual,
yang hanya dimiliki oleh seorang individu dan tidak dimiliki oleh yang lainnya.
Pendekatan yang berusaha melihat karakteristik individu-individu inilah yang
dikelompokkan sebagai pendekatan isaptif.
Dari tiga pendekatan itu yang banyak dianut oleh para ahli Psikologi
Perkembangan adalah pendekatan pentahapan. Pendekatan ini lebih disenangi
karena lebih jelas menggambarkan proses ataupun.urutan perkembangan dan
kemajuan individu. Di samping ketiga pendekatan itu, ada beberapa ahli yang
mengombinasikan suatu pendekatan dengan pendekatan yang lain. Kombinasi ini
sering dipandang dapat memperlengkap deskripsi tentang perkembangan individu.

52
Dalam pendekatan pentahapan, dikenal dua variasi. Pertama, pendekatan
yang bersifat menyeluruh rnencakup segala segi perkembangan, seperti
perkembangan fisik dan gerakan motorik, sosial, intelektual, moral, emosional,
religi, dan sebagainya. Kedua, pendekatan yang bersifat khusus mendeskripsikan
salah satu segi atau aspek perkembangan saja. Dalam pentahapan yang bersifat
menyeluruh dikenal tahap-tahap perkembangan dari Jean Jacques Rousseau, G.
Stanley Hall, Havighurst dan lain-lain.
Rousseau membagi seluruh masa perkembangan anak a tas empat tahap
perkembangan. Masa bayi (infancy), usia 0-2 tahun merupakan tahap
perkembangan fisik, menurut Rousseau sebagai binatang yang sehat. Masa anak
(childhood), usia 2-12 tahun, masa perkembangan sebagai manusia primitif. Masa
remaja awal (pubescence), usia 12-15 tahun, masa bertualang yang ditandai
dengan perkembangan intelektual dan kemampuan nalar yang pesat. Masa remaja
(adolescene), usia 15-25 tahun masa hidup sebagai manusia yang beradab, masa
pertumbuhan seksual, sosial, moral, dan kata hati.
Stanley Hall adalah salah seorang ahli Psikologi Perkembangan penganut
teori evolusi. Hall menerapkan teori rekapitulasi, salah satu konsep dalam teori
evolusi, pada perkembangan anak. Menurut teori rekapitulasi, perkembangan
individu merupakan rekapitulasi dari perkembangan spesiesnya (ontogeny
recapitulates philogeny). Hall membagi keseluruhan masa perkembangan anak
atas empat tahap. Masa kanakkanak (infancy), usia 0-4 tahun, merupakan masa
kehidupan sebagai 1,matang melata dan berjalan. Masa anak (childhood), usia 4-8
tahun, masa pemburu. Masa Puer (youth), usia 8-12 tahun, masa manusia belum
beradab. Masa remaja (adolescence), usia 12/13 tahun sampai dewasa, iiierupakan
masa manusia beradab.
Robert J. Havighurst menyusun fase-fase perkembangan atas dasar
problema-problema yang harus dipecahkannya dalam setiap fase. Tuntutan akan
kemampuan memecahkan problema dalam setiap fase perkembangan ini oleh
Havighurst disebutnya sebagai tugas-tugas perkembangan (devel- opmental
tasks). Havighurst membagi seluruh masa perkembangan anak atas lima fase,
yaitu masa bayi (infancy) dari 0-1/2 tahun, masa anak awal (early childhood) 2/3-
5/7 tahun, masa anak (late chilhood) dari 5 / 7-masa pubesen, masa adolesen awal

53
(early adolescence) dari pubesen ke pubertas, dan masa adolesen (late
adolescence) dari masa pubertas sampai dewasa. Untuk setiap fase, perkembangan
Havighurst menghimpun sejumlah tugas-tugas perkembangan yang harus dikuasai
anak. Dikuasai atau tidak dikuasainya tugas-tugas perkembangan pada suatu fase
berpengaruh bagi penguasaan tugas pada fase-fase berikutnya.
Ada sepuluh kelompok tugas perkembangan yang harus dikuasai anak
pada setiap fase yang membentuk pola, yaitu pola:
1. kebergantungan-keberdirisendirian,
2. memberi-menerima kasih sayang,
3. hubungan sosial,
4. perkembangan kata hati,
5. peran bio-sosio dan psikologis,
6. penyesuaian dengan perubahan badan,
7. penguasaan perubahan badan dan motorik,
8. belajar memahami dan mengontrol lingkungan fisik,
9. pengembangan kemampuan konseptual dan sistem simbol,
10. kemampuan melihat hubungan dengan alam semesta.
Dalam pendekatan pentahapan yang bersifat khusus, kita mengenal pentahapan-
pentahapan dari Piaget, Kohlberg, Erikson, dan sebagainya.
Jean Piaget mengemukakan tahap-tahap perkembangan dari kemam- puan
kognitif anak. Dalam perkembangan kognitif menurut Piaget, yang terpenting
adalah penguasaan dan kategori konsep-konsep. Melalui penguasaan konsep-
konsep itu, anak mengenal lingkungan dan memecahkan berbagai problema yang
dihadapi dalam kehidupannya.
Ada empat tahap perkembangan kognitif anak menurut konsep Piaget,
yaitu:
1. tahap Sensorimotor, usia 0-2 tahun;
2. tahap Praopersional, usia 2-4 tahun;
3. tahap Konkret Operasional, usia 7-11 tahun;
4. tahap Formal Operasional, usia 11-15 tahun.
Tahap Sensorimotor disebut juga masa descriminating and labeling. Pada
masa ini kemampuan anak terbatas pada gerak-gerak refleks, bahasa awal, waktu

54
sekarang, dan ruang yang dekat saja. Masa praoperasional atau prakonseptual
disebut juga masa intuitif dengan kemampuan menerima perangsang yang
terbatas. Anak mulai berkembang kemampuan bahasanya, pemikirannya masih
statis dan belum dapat berpikir abstrak, persepsi waktu dan tempat masih terbatas.
Masa konkret operasional disebut juga masa performing operation. Pada tahap ini
anak sudah mampu menyelesaikan tugas-tugas menggabungkan, memisahkan,
menyusun, menderetkan, melipat, dan membagi. Masa formal operasional disebut
juga masa proportional thinking, pada masa ini anak sudah mampu berpikir
tingkat tinggi. Mereka sudah mampu berpikir secara deduktif, induktif,
menganalisis, menyintesis, mampu berpikir abstrak dan berpikir reflektif, serta
memecahkan berbagai masalah.
Lawrence Kohlberg mengembangkan suatu teori tentang perkembangan
moral kognitif dengan mengacu kepada teori Piaget. Berdasarkan atas hasil-hasil
penelitiannya yang cukup lama, Kohlberg menemukan ada tiga tahap
perkembangan moral kognitif. Masing-masing tahap terdiri atas dua tingkatan
sehingga seluruhnya meliputi enam tingkatan, yaitu: Tahap I Preconventional
moral reasoning
Tingkat 1. Obedience and punishment orientations
Tingkat 2. Naively egoistic orientation
Tahap II Conventional moral reasoning
Tingkat 3. Good boy orientation
Tingkat 4. Authority and social order maintenance orientation
Tahap III Postconventional moral reasoning
Tingkat 5. Contractual legalistic orientation
Tingkat 6. Conscience or principle orientation
Pada tahap prakonvensional, pertimbangan moral seseorang mengacu ke
luar, kepada objek-objek dan peristiwa yang konkret dan bersifat fisik. Mereka
belum mampu memberi pertimbangan moral atas standar sosial. Tingkat
keputusan dan hukuman (obedience and punishment orientation) diwarnai oleh
kecenderungan berbuat baik atau tidak berbuat salah karena takut akan hukuman.
Acuan perbuatan adalah kekuasaan dan kekuatan. Mereka patuh karena takut
dihukum, segala perbuatannya dikontrol oleh kekuatan-kekuasaan yang datang

55
dari luar. Tingkat kebaikan sebagai alat (naively egoitistic orientation) suatu
perbuatan dipandang baik apabila menguntungkan atau memberi kesenangan
kepada dirinya atau orang-orang yang dekat dengan dirinya.
Tahap kedua adalah pertimbangan moral konvensional. Pada tahap ini
perilaku dinilai atas harapan orang lain atau orang banyak. Suatu perbuatan
dipandang baik apabila sesuai dengan harapan orang banyak atau masyarakat.
Tahap ini meliputi dua tingkat, yaitu tingkat sebagai anak baik dan tingkat
memelihara ketertiban dan peraturan masyarakat. Tingkat anak/orang baik,
perilaku baik, atau jahat dilihat dari penilaian orang lain. Kalau seseorang berbuat
untuk kepentingan orang lain atau orang banyak, dinilai sebagai perbuatan baik.
Tingkat keempat memelihara ketertiban dan peraturan masyarakat, suatu
perbuatan dipandang baik bila perbuatan lersebut sesuai dengan ketentuan atau
peraturan yang ada dalam masyarakat, atau sejalan dengan tuntutan dan kebiasaan
masyarakat.
Tahap ketiga, pertimbangan moral pascakonvensi. Pada tahap ini
pertimbangan moral didasarkan atas pandangan yang bersifat relatif, unsur-unsur
subjektif dari aturan sosial. Pranata dan aturan-aturan sosial bukan sesuatu yang
absolut, bukan satu-satunya yang benar, tetapi juga ada kebenaran-kebenaran lain.
Tahap pascakonvensi mempunyai dua Inigkatan, yaitu tingkat pertimbangan
legalistik kontraktual, dan tingkat pertimbangan kata hati. Pada tingkat legalistik
kontraktual, pertimbangan perbuatan baik atau jahat didasarkan atas persetujuan
tidak tertulis antara pribadi dan masyarakat. Seseorang tidak mencuri karena
perbuatan mencuri akan merugikan orang lain. Pada tingkat pertimbangan kata
hati, baik tidak baik didasarkan atas nilai-nilai yang bersifat universal, prinsip-
prinsip yang mendasar.
Seseorang menghargai orang lain betul-betul sebagai manusia, tanpa
mehhat atribut-atribut yang disandangnya, apakah karena gelar, pangkat, status
ilmu, ekonomi, sosial, dan sebagainya. Seseorang berbuat baik karena dia yakin
bahwa perbuatan tersebut baik.
Erick Homburger Erikson merupakan salah seorang tokoh psiko- analisis
pengikut Sigmund Freud. Ia memusatkan studinya terhadap perkembangan
psikososial. Ada delapan tahap perkembangan psikososial menurut Erikson, dan

56
tahap-tahap tersebut paralel dengan tahap perkembangan psikososial dari Freud,
seperti dapat dilihat pada Bagan 3.1

BAGAN 3. Perkembangan psikososial


(Diadaptasi dari Erikson, 1959, hlm. 166)
PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL

2. Psikologi belajar
Psikologi belajar merupakan suatu studi tentang bagaimana individu
belajar. Banyak sekali definisi tentang belajar. Secara sederhana, belajar dapat
diartikan sebagai perubahan tingkah laku yang terjadi melalui pengalaman. Segala
perubahan tingkah laku balk yang berbentuk kognitif, afektif, maupun psikomotor
dan terjadi karena proses pengalaman dapat dikategorikan sebagai perilaku
belajar. Peruhahan-perubahan perilaku yang terjadi karena instink atau karena
kematangan serta pengaruh hal-hal yang bersifat kimiawi tidak termasuk belajar.
Menurut Gagne (1965, hlm. 5) perubahan tersebut berkenaan dengan disposisi
atau kapabilitas individu, "Learning is a change in human disposition or
capability, which can be retained, and which is not simply ascribable to the pro-
cess of growth. Hilgard dan Bower menambahkan bahwa peruhahan itu terjadi

57
karena individu berinteraksi dengan lingkungannya, sebagai reaksi terhadap
situasi yang diliadapinya. Menurut mereka belajar adalah :
The process by which an activity originates or is changed throught reacting to an
encountered situation, provided that the characteristics of the change in activity
cannot be explaned on the basis of native response tendecies, maturation, or
temporary states of the organism (e.g. fatigue, drug etc.) (Iiilgard dan Bower,
1966, hlm. 2).
Masih banyak definisi tentang belajar dan definisi-definisi tersebut
bersumber pada teori-teori belajar tententu. Menurut Morris L. Bigge dan Maurice
P. Hunt (1980, hlm. 226-227) ada tiga keluarga atau rumpun teori belajar, yaitu
teori disiplin mental, behaviorisme, dan Cognitive Gestalt Field.
Menurut rumpun teori disiplin mental dari kelahirannya atau secara
herediter, anak telah memiliki potensi-potensi tertentu. Belajar merupakan upaya
untuk mengembangkan potensi-potensi tersebut. Ada beberapa teori yang
termasuk rumpun disiplin mental yaitu: disiplin mental theistik, disiplin mental
humanistik, naturalisme, dan apersepsi.
Teori disiplin mental theistik berasal dari Psikologi Daya. Menurut teori
ini individu atau anak mempunyai sejumlah daya mental seperti daya untuk
mengamati, menanggap, mengingat, berpikir, memecahkan masalah, clan
sebagainya. Belajar merupakan proses melatih daya-daya tersebut. Kalau daya-
daya tersebut terlatih maka dengan mudah dapat digunakan untuk menghadapi
atau memecahkan berbagai masalah.
Teori disiplin mental humanistik bersumber pada psikologi humanisme
klasik dari Plato dan Aristoteles. Teori ini hampir sama dengan teori pertama
bahwa anak memiliki potensi-potensi. Potentsi-potensi perlu d ilatih agar
berkembang. Perbedaannya dengan teori disiplin mental IIu teori tersebut
menekankan bagian-bagian, latihan bagian, atau aspek tertentu. Teori disiplin
mental humanistik lebih menekankan keseluruhan, keutuhan. Pendidikannya
menekankan pendidikan umum (Neneml education). Kalau seseorang menguasai
hal-hal yang bersifat umum okan mudah ditransfer atau diaplikasikan kepada hal-
hal lain yang bersifat khusus.

58
Teori naturalisme atau natural unfoldment atau self actualization. Teori ini
berpangkal dari Psikologi Naturalisme Romantik dengan tokoh utamanya Jean
Jacques Rousseau. Sama dengan kedua teori sebelumnya bahwa anak mempunyai
sejumlah potensi atau kemampuan. Kelebihan dari teori ini adalah mereka
berasumsi bahwa individu bukan saja mempunyai potensi atau kemampuan untuk
berbuat atau melakukan berbagai tugas, tetapi juga memiliki kemauan dan
kemampuan untuk belajar dan berkembang sendiri. Agar anak dapat berkembang
dan mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya pendidik atau guru perlu
menciptakan situasi yang permisif yang jelas. Melalui situasi demikian, ia dapat
belajar sendiri dan mencapai perkembangan secara optimal.
Teori belajar yang keempat adalah teori apersepsi, disebut juga
Herbartisme, bersumber pada Psikologi Strukturalisme dengan tokoh utamanya
Herbart. Menurut aliran ini belajar adalah membentuk massa apersepsi. Anak
mempunyai kemampuan untuk mempelajari sesuatu. Hasil dari suatu perbuatan
belajar disimpan dan membentuk suatu massa apersepsi, dan massa apersepsi ini
digunakan untuk mempelajari atau menguasai pengetahuan selanjutnya. Demikian
seterusnya semakin tinggi perkembangan anak, semakin tinggi pula massa
apersepsinya.
Rumpun atau kelompok teori belajar yang kedua adalah Behaviorisme
yang biasa juga disebut S-R Stimulus-Respons. Kelompok ini mencakup tiga teori
yaitu S-R Bond, Conditioning, dan Reinforcement. Kelompok teori ini berangkat
dari asumsi bahwa anak atau individu tidak memiliki/ membawa potensi apa-apa
dari kelahirannya. Perkembangan anak ditentukan oleh faktor-faktor yang berasal
dari lingkungan. Lingkunganlah, apakah lingkungan keluarga, sekolah, atau
masyarakat; lingkungan manusia, alam, budaya, religi yang membentuknya.
Kelompok teori ini tidak mengakui sesuatu yang bersifat mental. Perkembangan
anak menyangkut nyata yang dapat dilihat, diamati.
Teori S-R Bond (Stimulus-Responce) bersumber dari Psikologi Koneksio-
nisme atau teori asosiasi dan merupakan teori pertama dari rumpun Behaviorisme.
Menurut konsep mereka, kehidupan ini tunduk kepada hukum stimulus-respons
atau aksi-reaksi. Setangkai bunga dapat merupakan suatu stimulus dan direspons
oleh mata dengan cara meliriknya. Kesan indah yang diterima individu dapat

59
merupakan stimulus yang mengakibatkan terespons memetik bunga tersebut.
Demikian halnya dengan belajar, terdiri atas rentetan hubungan stimulus respons.
Belajar adalah upaya untuk membentuk hubungan stimulus respons sebanyak-
banyaknya. Tokoh utama teori ini adalah Edward L. Thorndike. Ada tiga hukum
belajar yang sangat terkenal dari Thorndike, yaitu Law of readness, law of
exercise or repetition dan law of effect (Bigge dan Thurst, 1980, hlm. 273).
Menurut hukum kesiapan, hubungan antara stimulus dan respons akan
terbentuk atau mudah terbentuk apabila telah ada kesiapan pada sistem syaraf
individu. Selanjutnya, hukum latihan atau pengulangan, hubungan antara stimulus
dan respons akan terbentuk apabila sering dilatih atau diulang-ulang. Menurut
hukum akibat (law of effect), hubungan stimulus dan respons akan terjadi apabila
ada akibat yang menyenangkan.
Teori kedua dari rumpun behaviorisme adalah conditioning atau stimulus-
responce with conditioning. Tokoh utama teori ini adalah Watson, terkenal
dengan percobaan conditioning pada anjing. Belajar atau pembentukan hubungan
antara stimulus dan respons perlu dibantu dengan kondisi tertentu. Sebelum anak-
anak masuk kelas dibunyikan bel, demikian terjadi setiap hari dan setiap saat
pertukaran jam pelajaran. Bunyi bel menjadi kondisi bagi anak sebagai tanda
memulai pelajaran di sekolah. demikian juga dengan waktu makan pagi, siang,
dan makan malam.
Teori ketiga adalah reinforcement dengan tokoh utamanya C.L. Hull. Teori
ini berkembang dari teori psikologi, reinforcement, merupakan perkembangan
lebih lanjut dari teori S-R Bond dan conditioning. Kalau pada teori conditioning,
kondisi diberikan pada stimulus, maka pada reinforcement kondisi diberikan pada
respons. Karena anak belajar sungguh-sungguh (stimulus) selain is menguasai apa
yang dipelajarinya (respons) maka guru memberi angka tinggi, pujian, mungkin
juga hadiah. Angka tinggi, pujian dan hadiah merupakan reinforcement, supaya
pada kegiatan belajarnya akan Iebih giat dan sungguh-sungguh.
Di dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali contoh reinforcement kita
temukan seperti pemberian pujian, hadiah, bonus, insentif, piala, medali, piagam
penghargaan, kalpataru, adipura, serta lencana sampai dengan parasamya, dan
bintang mahaputra. Di samping reinforcement positif seperti itu dikenal pula

60
reinforcement negatif untuk mencegah atau menghilangkan suatu perbuatan yang
kurang baik atau tidak disetujui masyarakat. Contoh reinforcement negatif adalah:
peringatan, teguran, ancaman, sanksi, litikuman, pemotongan gaji, penundaan
kenaikan pangkat, dan sebagainya.
Rumpun ketiga adalah Cognitive Gestalt Field. Teori belajar pertama dari
rumpun ini adalah teori insight. Aliran ini bersumber dari Psikologi Gestalt Held.
Menurut mereka belajar adalah proses mengembangkan insight atau pemahaman
baru atau mengubah pemahaman lama. Pemahaman terjadi .ipabila individu
menemukan cara baru dalam menggunakan unsur-unsur .1ng ada dalam
lingkungan, termasuk struktur tubuhnya sendiri. Gestalt Field melihat bahwa
belajar itu merupakan perbuatan yang bertujuan, riksploratif, imajinatif, dan
kreatif. Pemahaman atau insight merupakan citra 11.1ri atau perasaan tentang
pola-pola atau hubungan.
To state it differently, insight is the sensed way through or solution of a prob-
lematic situation.... We might say that an insight is a kind of intelligent feel we get
about a situation that permits us to continue to strive actively to serve our
purposes. (Bigge dan Hunt, 1980, hlm. 293).
Teori belajar Goal Insight berkembang dari psikologi configurationlism.
Menurut mereka, individu selalu berinteraksi dengan lingkungan. Perbuatan
individu selalu bertujuan, diarahkan kepada pembentukan hubungan dengan
lingkungan. Belajar merupakan usaha untuk mengembangkan pemahaman tingkat
tinggi. Pemahaman yang bermutu tinggi (tingkat tinggi) adalah pemahaman yang
telah teruji, yang berisi kecakapan menggunakan suatu objek, fakta, proses,
ataupun ide dalam berbagai situasi. Pemahaman tingkat tinggi memungkinkan
seseorang bertindak inteligen, berwawasan luas, mampu memecahkan berbagai
masalah.
Teori belajar cognitive field bersumber pada psikologi lapangan (field
psikology), dengan tokoh utamanya Kurt Lewin. Individu selalu berada dalam
suatu lapangan psikologis yang oleh Lewin disebut life space. Dalam lapangan ini
selalu ada tujuan yang ingin dicapai, ada motif yang ilit•iidorong pencapaian
tujuan dan ada hambatan-hambatan yang harus diatasi. Perbuatan individu selalu
terarah kepada pencapaian sesuatu tujuan, oleh karena itu sering dikatakan

61
perbuatan individu adalah purposive. Apabila ia telah berhasil mencapai sesuatu
tujuan maka timbul tujuan lain yang ingin dicapai dan berada dalam life space
baru. Setiap orang berusaha mencapai tingkat perkembangan dan pemahaman
yang terbaik, di dalam lapangan psikologisnya masing-masing. Lapangan
psikologis terbentuk oleh interelasi yang simultan dari orang-orang dan
lingkungan psikologisnya di dalam suatu situasi. Tingkah laku seseorang pada
suatu saat merupakan fungsi dari semua faktor yang ada yang saling bergantung
pada yang lain.
Istilah congnitive berasal dari bahasa Latin "cognoscre" yang berarti
'mengetahui (to know)'. Aspek ini dalam teori belajar cognitive field berkenaan
dengan bagaimana individu memahami dirinya dan lingkungannya, bagaimana ia
menggunakan pengetahuan dan pengenalannya serta berbuat terhadap
lingkungannya. Bagi penganut cognitive field, belajar merupakan suatu proses
interaksi, dalam proses interaksi tersebut ia mendapatkan pemahaman baru atau
menemukan struktur kognitif lama. Dalam membimbing proses belajar, guru
harus mengerti akan dirinya dan orang lain, sebab dirinya dan orang lain serta
lingkungannya merupakan suatu kesatuan.

62
BAB IV
LANDASAN SOSIAL-BUDAYA, PERKEMBANGAN ILMU DAN
TEKNOLOGI DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai
suatu rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kita
ketahui bahwa pendidikan mempersiapkan generasi muda untuk terjun ke
lingkungan masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan, tetapi
memberikan bekal pengetahuan, keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup,
bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat. Anak-anak
berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal
dalam lingkungan masyarakat, dan diarahkan bagi kehidupan dalam masyarakat
pula. Kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan
budayanya, menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan.
Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusiamanusia
yang lain dan asing terhadap masyarakatnya, tetapi manusia yang lebih bermutu,
mengerti, dan mampu membangun masyarakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi,
maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kondisi, karakteristik,
kekayaan, dan perkembangan masyarakat tersebut.

A. Pendidikan dan Masyarakat


Ada tiga sifat penting pendidikan. Pertama, pendidikan mengandung nilai
dan memberikan pertimbangan nilai. Hal itu disebabkan karena pendidikan
diarahkan pada pengembangan pribadi anak agar sesuai dengan nilai-nilai yang
ada dan diharapkan masyarakat. Karena tujuan pendidikan mengandung nilai,
maka isi pendidikan harus memuat nilai. Proses pendidikannya juga harus bersifat
membina dan mengembangkan nilai. Kedua, pendidikan diarahkan pada
kehidupan dalam masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan, tetapi
rnenyiapkan anak untuk kehidupan dalam masyarakat. Generasi muda perlu
mengenal dan memahami apa yang ada dalam masyarakat, memiliki kecakapan
untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat, baik sebagai warga maupun sebagai
karyawan. Ketiga, pelaksanaan pendidikan dipengaruhi dan didukung oleh
lingkungan masyarakat tempat pendidikan itu berlangsung. Kehidupan
masyarakat berpengaruh terhadap proses pendidikan, karena pendidikan sangat

63
melekat dengan kehidupan masyarakat. Proses pendidikan merupakan bagian dari
proses kehidupan masyarakat. Pelaksanaan pendidikan membutuhkan dukungan
dari lingkungan masyarakat, penyediaan fasilitas, personalia, sistem sosial
budaya, politik, keamanan, dan lain-lain.
Tujuan umum pendidikan sering dirumuskan untuk menyiapkan generasi
muda menjadi orang dewasa anggota masyarakat yang mandiri dan produktif. Hal
itu merefleksikan konsep adanya tuntutan individual (pribadi) dan sosial dari
orang dewasa kepada generasi muda. Tuntutan individual merupakan harapan
orang dewasa agar generasi muda dapat mengembangkan pribadinya sendiri,
mengembangkan segala potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Tuntutan
sosial adalah harapan orang dewasa agar anak mampu bertingkah laku, berbuat
dan hidup dengan baik dalam berbagai situasi dan lingkungan masyarakat.
Konsep pendidikan bersifat universal, tetapi pelaksanaan pendidikan
bersifat lokal, disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat.
Pendidikan dalam suatu lingkungan masyarakat tertentu berbeda dengan
lingkungan masyarakat lain, karena adanya perbedaan sistem sosialbudaya,
lingkungan alam, serta sarana dan prasarana yang ada.
Setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki sistem sosial-
budaya yang berbeda. Sistem sosial-budaya ini mengatur pola kehidupan dan pola
hubungan antar-anggota masyarakat, antara anggota dan lembaga, serta antara
lembaga dan lembaga. Sistem sosial-budaya di daerah perkotaan berbeda dengan
di pedesaan, di daerah pesisir berbeda dengan di pegunungan, di pusat
perindustrian berbeda dengan di daerah pertanian. Sistem sosial-budaya pada
suatu daerah juga berbeda dari suatu periode waktu dengan waktu yang lainnya,
karena masyarakatnya berkembang.
Salah satu aspek yang cukup penting dalam sistem sosial-budaya adalah
tatanan nilai-nilai. Tatanan nilai merupakan seperangkat ketentuan, peraturan,
hukum, moral yang mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para warga
masyarakat. Nilai-nilai tersebut bersumber dari agama, budaya, kehidupan politik,
maupun dari segi-segi kehidupan lainnya. Sejalan dengan perkembangan
masyarakat maka nilai-nilai yang ada dalam masyarakat juga selalu berkembang,
dan mungkin pada suatu saat perkembangan begitu drastis, sehingga tidak jarang
menimbulkan perbedaan bahkan konflik nilai. Konflik nilai bisa juga diakibatkan
adanya perbedaan sudut pandang karena adanya variasi sumber-sumber nilai

64
tersebut.
Perbedaan ataupun konflik nilai tersebut dilatarbelakangi oleh perbedaan
tatanan yang berakar pada perbedaan pola-pola kebudayaan Menurut Tylor
(1871), kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang meliputi
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, adat-istiadat, serta
kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan. Dalam arti yang lebih
mendasar, pendidikan merupakan suatu proses kebudayaan. Setiap generasi
manusia menempatkan dirinya dalam urutan sejarah kebudayaan. Menurut Israel
Scheffler (1958), melalui pendidikan manusia mengenal peradaban masa lalu,
turut serta dalam peradaban masa sekarang dan membuat peradaban masa yang
akan datang.
Proses pembudayaan tidak dapat berlangsung secara sendirian, melainkan
harus dalam interaksi dengan orang lain, interaksi dengan lingkungan. Status dan
peranan manusia dalam kelompok, apakah kelompok usia, jenis kelamin, sekolah,
pekerjaan, kemasyarakatan, dan lain-lain, menentukan jenis interaksi dan tingkat
partisipasinya dalam proses pembudayaan.
Kehidupan masyarakat tidak dapat terlepas dari tempat masyarakat itu
berada. Masalah tempat menyangkut lingkungan alam dan keadaan geografis.
Lingkungan alam dan keadaan geografis mempengaruhi perilaku dan pola hidup
para anggota masyarakat. Masyarakat yang hidup di daerah tropis berbeda pola
hidupnya dengan di daerah subtropis atau daerah dingin. Demikian juga
masyarakat di daerah kepulauan berbeda dengan di daerah daratan, di daerah
gurun pasir berbeda dengan di daerah padang rumput atau rawa. Kondisi alam dan
geografis mempengaruhi cara hidup, cara berpikir, cara bekerja, cara
mempertahankan diri, cara bermasyarakat, dan lain-lain.

Kehidupan masyarakat juga dipengaruhi oleh tingkat kemajuan yang telah


dicapainya. Masyarakat yang telah mencapai tingkat kemajuan yang tinggi dalam
segi ilmu, teknologi, ekonomi, sosial-budaya, dan segi-segi kehidupan yang

65
lainnya, akan memiliki sistem dan fasilitas yang lebih mapan dibandingkan
dengan masyarakat yang kemajuannya rendah. Sistem dan fasilitas yang tersedia
akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat.

B. Perkembangan Masyarakat
Salah satu ciri dari masyarakat adalah selalu berkembang. Mungkin pada
masyarakat tertentu perkembangannya sangat cepat, tetapi pada masyarakat
lainnya agak lambat bahkan lambat sekali. Karena adanya pengaruh dari
perkembangan teknologi, terutama teknologi industri transportasi, komunikasi,
telekomunikasi dan elektronika, masyarakat kita dewasa ini berkembang sangat
cepat menuju masyarakat terbuka, masyarakat informasi dan global.
Dalam kondisi masyarakat demikian, perubahan-perubahan terjadi dengan
cepat, mobilitas manusia dan barang sangat tinggi, komunikasi cepat, lancar, dan
akurat. Perubahan yang cepat hampir terjadi dalam semua aspek kehidupan,
sosial-budaya, ekonomi, politik, ideologi, nilainilai etik dan estetik. Perubahan-
perubahan masyarakat ini akan mempengaruhi perkembangan setiap individu
warga masyarakat, mempengaruhi pengetahuan, kecakapan, sikap, aspirasi, minat,
semangat, kebiasaan bahkan pola-pola hidup mereka.
Mobilitas yang tinggi mempercepat pertemuan antarsuku dan antarbangsa,
membuka daerah-daerah yang terisolasi, meningkatkan pemerataan pembangunan.
Komunikasi sangat cepat, lancar, dan akurat memudahkan perolehan informasi,
yang sangat berharga baik bagi kepentingan bisnis, pemerintahan, penelitian,
rekreasi, maupun hobi. Pertemuan antarsuku bangsa, antarbangsa, dan antarras
dengan berbagai kebudayaan, kemampuan masyarakat makin sering terjadi. Maka
it'rjadilah proses pembauran budaya, tradisi, nilai-nilai, pengetahuan, dan lain-lain
malah terjadi pembauran suku, bangsa, atau ras. Di samping pembauran,
pertentangan atau konflik antarsektor sosial-budaya adakalanya juga terjadi.
Melalui proses alkulturalisasi, pertentangan atau konflik-konflik ini berangsur-
angsur berkurang.

66
1. Perubahan pola pekerjaan
Karena pengaruh perkembangan teknologi maka terjadi perubahan yang
cukup drastis dalam pola pekerjaan. Masyarakat secara berangsur-angsur,
terutama di perkotaan sering terjadi loncatan, berubah dari kehidupan yang
berpola agraris ke pola kehidupan industri. Pola kehidupan agraris memiliki
kesamaan, hidup yang lebih santai, cara kerja yang teratur, rasa kerja sama yang
tinggi, perubahan yang lamban, dan sebagainya.
Dalam pola kehidupan masyarakat industri, sifat-sifat yang dimiliki
masyarakatnya jauh berbeda. Diversifikasi pekerjaan dan tugas-tugas dalam satu
pekerjaan melahirkan spesialisasi yang menuntut profesio- nalisme dalam setiap
spesialisasi tersebut. Hal itu mengakibatkan adanya keragaman tugas dan
pekerjaan. Tugas-tugas dalam suatu spesialisasi sering tidak dipahami oleh
spesialisasi lain. Penerapan teknologi di bidang industri relatif lebih maju
dibandingkan di bidang pertanian, dan menuntut profesionalisme yang lebih tinggi
pula. Bekerja di bidang industri tidak lagi bergantung pada musim (hujan atau
kemarau, panas, atau dingin), bisa bekerja sepanjang masa, malah bisa bekerja
siang dan malam. Oleh karena itu, hidup santai telah ditinggalkan, diganti dengan
pola kerja keras mengejar target meningkatkan produksi.
Dalam bekerja di sektor industri telah ada pembagian tugas masingmasing,
menghadapi mesin dan peralatan lain yang berbeda, yang menuntut konsentrasi
perhatian dan kegiatan. Oleh karena itu, sifat gotong royong mulai menipis,
diganti dengan kerja sama sesuai dengan alur kerja. Penggunaan peralatan
berteknologi tinggi tidak menuntut banyak orang, tetapi sedikit orang dengan
kemampuan tinggi. Pola padat karya yang dikerjakan secara gotong royong dalam
kehidupan agraris telah beralih pada padat teknologi yang dikerjakan secara
profesional. Sifat kompetitif, baik dengan sesama karyawan maupun dengan
waktu atau prestasi sebelumnya, lebih mewarnai kehidupan dalam masyarakat
industri. Dalam pola kehidupan industri perubahan sangat cepat terjadi. Perubahan
ini bukan saja karena adanya peralatan baru atau jenis pekerjaan yang baru, tetapi
karena dunia industri berorientasi pada pasar. Dengan demikian, strategi, taktik,
kebijakan baru yang melahirkan produk dan layanan baru selalu muncul.

67
2. Perubahan peranan wanita
Dewasa ini jumlah wanita yang berpendidikan relatif seimbang dengan
dengan pria, sebagai akibat ernansipasi yang membuka kesempatan kepada kaum
wanita untuk memperoleh pendidikan. Diperkuat dengan perubahan pandangan
tentang kedudukan wanita, wanita tidak lagi hanya bekerja di rumah, mengurus
anak dan keluarga seperti pada pola kehidupan lama. Wanita memiliki peluang
yang sama dengan pria, bekerja hampir pada seluruh sektor pekerjaan. Keadaan
ini membawa beberapa implikasi, baik bagi kehidupan sosial-pribadi para wanita,
kehidupan keluarga, maupun dalam situasi kerja.
Dengan bekerja di luar rumah, wanita lebih bebas bergerak, berkarya, dan
berkreasi dibandingkan apabila hanya bekerja di rumah tangga. Wawasan dan
pengetahuan mereka menjadi lebih luas, potensi-potensi yang dimilikinya dapat
diwujudkan dan disalurkan. Memang banyak pekerjaan-pekerjaan tertentu yang
lebih berhasil bila dikerjakan oleh wanita. Wanita yang bekerja juga dapat
menambah penghasilan keluarga, sehingga kesejahteraan ekonomi keluarga
menjadi lebih baik. Kehadiran wanita dalam lingkungan kerja juga dapat
menimbulkan suasana lain dibandingkan apabila semua karyawannya pria.
Di samping sejumlah kebaikan dari para wanita yang bekerja, sejumlah
masalah dan kesulitan juga muncul. Masalah pertama berkenaan dengan
kehidupan sosial-pribadi wanita. Wanita yang bekerja apabila telah menikah
mempunyai tugas ganda, menyelesaikan tugas-tugas pekerjaan dan tugas-tugas
keluarga. Penyelesaian kedua tugas tersebut bukan masalah ringan, membutuhkan
pemikiran dan tenaga yang dengan sedikit ketidakmampuan membagi tugas dapat
membengkalaikan salah satu tugas, bahkan kedua- duanya.
Masalah kedua berkenaan dengan kehidupan keluarga. Wanita betapapun
tinggi tingkat pendidikan dan jabatan yang dipegangnya, tidak bisa dilepaskan
dari kodratnya sebagai wanita, sebagai istri dan ibu. Sampai batas tertentu masih
tetap harus melayani suami, mendidik anak, dan mengatur rumah tangga. Tugas
yang banyak menyita waktu, tenaga, dan perhatian dalam pekerjaan atau karier,
bagaimanapun akan menelantarkan pelaksanaan tugas-tugasnya dalam rumah
tangga. Hal itu bisa mengakibatkan keluarga tidak harmonis, pendidikan anak
terbengkalai, kesejahteraan rumah tangga terabaikan, dan mungkin terjadi

68
perpecahan keluarga (brooken home). Perpecahan keluarga ada dua macam, pecah
secara struktur yaitu cerai antara suami dan istri, atau pecah secara lungsi tidak
bercerai tetapi masing-masing pihak tidak melaksanakan lungsi yang semestinya.
Rumah hanya berfungsi sebagai tempat parkir .1tau lebih parah sebagai tempat
bertengkar.
Masalah ketiga berkenaan dengan situasi pekerjaan. Pekerjaan atau karier
bukan tempat beristirahat, tetapi tempat berkarya, berkreasi, berprestasi, dan
berkompetisi. Situasi demikian menuntut sikap, penampilan, pemikiran, dan unjuk
kerja yang optimal. Kalau karyawati itu belum berkeluarga atau melepaskan din i
dari tugas-tugas rumah tangga, mungkin tuntutan pekerjaan tersebut dapat
dipenuhi secara optimal. Bila tidak maka hambatan karier yang akan terjadi.
Situasi ini dapat menimbulkan konflik berkepanjangan. Masalah tersebut akan
bertambah lagi apabila terjadi situasi-situasi yang tidak sehat atau menyimpang.
Bagaimanapun dalam situasi kerja akan terjadi konkurensi, tidak semua pria
menerima kedudukan di bawah wanita, apalagi bila latar belakang pendidikan dan
kemampuan terasa sama. Dalam lingkungan kerja yang ada wanita dan pria, bisa
saja terjadi hal-hal yang tidak diharapkan, mulai dari pelecehan sampai dengan
skandal. Hal ini tentu menimbulkan masalah, baik bagi wanita yang bersangkutan,
keluarga, maupun unit kerja.

3. Perubahan kehidupan keluarga


Perkembangan kehidupan keluarga sejalan dengan perkembangan
masyarakat. Pola kerja masyarakat modern (industri) menuntut waktu kerja yang
tidak teratur, melebihi waktu biasa. Dalam masyarakat modern, orang tidak lagi
bekerja dari pukul 7.00 sampai pukul 14.00. Walaupun ketentuan sampai pukul
16.00, kenyataannya jam kerja kadang-kadang sampai pukul 22.00 bahkan lebih.
Bekerja bukan lagi dari Senin sampai Jumat dan pulang tiap hari, melainkan dari
Senin sampai Minggu dan pulang seminggu sekali, bahkan beberapa minggu tidak
pulang. Hal seperti itu mungkin hanya dialami oleh para bapak/suami, tetapi
mungkin juga dialami oleh para ibu/istri, bahkan oleh kedua-duanya.

69
Dalam keluarga, anak juga mempunyai masalah sendiri. Anak-anak yang
belum bersekolah tinggal di rumah bersama pembantu. Mereka lebih banyak
hidup dan bergaul dengan pembantu daripada dengan orang tuanya. Anak yang
bersekolah sebagian waktunya digunakan di sekolah, tetapi sebagian besar
digunakan di rumah atau di luar rumah dengan teman-temannya. Kesempatan
anak remaja di rumah lebih sedikit, umumnya berada di luar rumah untuk
menyelesaikan tugas sekolah atau bergaul dengan teman.\
Banyaknya waktu yang digunakan untuk bekerja akan seimbang dengan
penghasilan yang diperoleh. Apalagi bila suami dan istri bekerja, penghasilan
mereka jauh lebih banyak. Penghasilan tinggi akan meningkatkan kemampuan
ekonomi dan kesejahteraan keluarga. Fasilitas keluarga lebih lengkap dan lebih
baik, semua kebutuhan hidup terpenuhi, bahkan bisa menabung dan berlibur ke
luar kota secara berkala.
Di samping memperoleh nilai lebih dari pola kerja pada masyarakat
modern, beberapa masalah juga dihadapi dalam kehidupan keluarga. Kesibukan
kerja/karier dalam batas-batas wajar memungkinkan anggota keluarga
melaksanakan tugasnya dengan baik. Kesibukan di luar batas kewajaran bisa
mengorbankan pelaksanaan fungsi-fungsi keluarga. Bapak tidak lagi
melaksanakan tugas sebagai kepala keluarga, demikian juga ibu dan anak.
Hubungan harmonis antara suami dan istri, komunikasi pedagogis antara orang
tua dan anak bisa sangat terbatas, bahkan mungkin hilang. Karena sangat sibuknya
setiap anggota keluarga, bisa terjadi rumah hanya berfungsi sebagai tempat parkin
Dalam situasi demikian, berbagai masalah keluarga bisa timbul.

C. Perkembangan Ilmu Pengetahuan


Sejak abad pertengahan ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat.
Masa setelah abad pertengahan sering disebut zaman modern. Perkembangan ilmu
pengetahuan pada masa ini banyak didasari oleh penemuan dan basil pemikiran
para filsuf purba, seperti Thales, Phythagoras, Leucipos, Demokritos, Socrates,
Plato, Aristoteles, Euclid, Archimides, Aristarhus yang hidup sebelum Masehi,
sampai kepada A1-Khawarizmi yang hidup pada abad ke-9. Perkembangan ilmu
pengetahuan modern tidak dapat dilepaskan dari peranan ilmuwan Muslim, seperti
dikemukakan Briffault dalam Making of Humanity (dalam C.A. Qodir, 1995 : 2).

70
Orang Yunani mengadakan sistematisasi, generalisasi, dan menyusun
teori, namun ketekunan melakukan pengamatan dan penyelidikan eksperimental
yang saksama dan lama bukanlah watak mereka … apa yang kita sebut ilmu
pengetahuan muncul sebagai akibat metode eksperimen baru, yang diperkenalkan
ke Eropa oleh orang Arab .... Ilmu pengetahuan modern merupakan sumbangan
paling penting bagi peradaban Islam.
Selama beberapa abad, sampai dengan abad ke-13, pengembangan ilmu
pengetahuan didominasi oleh ilmuwan muslim. Dalam bidang geografi dikenal
nama Al-Kindi sampai dengan Musa Al-Khawarizmi dan Al-Beruni sebagai
penemu geodesi. Ilmu pengetahuan alam dikembangkan oleh Al-Beruni, Al-Kindi,
Jabin Ibn Hayan, Ibn Bajjah. Al-Bagdadi adalah ahli botani terkenal. Dalam
matematika dikenal Jamshid Al-Kashmi (ahli matematika), A1-Khawarizmi dan
Omar Khayyam (Aljabar). Bidang astronomi juga banyak dikembangan ilmuwan
muslim di berbagai negara. Salah satu pusat penelitian astronomi terkenal,
Observatorium Maragah, didirikan oleh Al-Tusi tahun 1259. Teleskop ditemukan
oleh Ibn Yunus jauh sebelum Galileo. Dalam bidang kedokteran, Ibn Sina dan Al-
Rani adalah dua tokoh yang sangat terkenal. Dalam bidang anatomi, nama Al-
Baydawi tidak dapat dilupakan. Dalam ilmu kimia, Imam Jaffar dan Al-Razi
adalah para ilmuwan pengembang pertama ilmu Kimia.
Mulai akhir abad ke-13 ada kemunduran dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan di negara-negara Islam. Setelah perang antara negara-negara Islam
dengan negara-negara Eropa, terjadi pergeseran perkembangan ilmu pengetahuan
dari Timur Tengah ke Eropa. Sejak awal abad ke-14 sampai dengan akhir abad
ke-19 terdapat perkembangan ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan
murni yang begitu pesat. Pada abad ke-20, perkembangan yang sangat pesat
terjadi pada ilmu pengetahuan terapan dan teknologi.
Perang antara negara Arab dan Eropa pada awal abad ke-14 banyak
menimbulkan percampuran dan pertukaran kebudayaan dan ilmu pengetahuan
antara Barat dan Timur.
Berikut ini adalah beberapa perkembangan besar ilmu pengetahuan pada
zaman mi. Copernicus 1473-1543 M, seorang ahli astronomi, mengembangkan
lebih jauh prinsip heliocentrisme. Semua planet dan bumi berputar mengelilingi

71
matahari. Teori Copernicus ini bukan hanya menyangkal teori geocentrisme, juga
membalikkan prinsip hornocentrisme dari ajaran agama. Homocentrisme
merupakan padangan yang me- nganggap bahwa matahari, bulan, dan bintang-
bintang berputar mengelilingi manusia sebagai tanda kasih Tuhan. Semua itu
disediakan untuk manusia. Teori Copernicus ini mendapatkan banyak tantangan
dari golongan gereja.
Tycho Brache (1546-1601), Johannes Keppler (1571-1630), dan Galileo
(1546-1642) adalah para ahli astronomi. Mereka banyak dipengaruhi gagasan
Copernicus dan melanjutkan gagasan itu. Tycho Brache dalam me- ngamati
jalannya bintang-bin tang menggunakan teropong yang besar- besar. la juga
membangun observatorium yang dilengkapi alat, perpustakaan, serta pendukung
lainnya. Usaha Tycho Brache itu diteruskan oleh Keppler.
Dari dua sarjana tersebut banyak temuan baru tentang orbit planet. Galileo
menemukan planet, hukum pergerakan, serta tata bulan planet Jupiter. Ia juga
berhasil membuat teropong bintang yang lebih sempurna. Selain ahli astronomi,
Galileo juga mendalami fisika. Ia banyak mempelajari tentang pergerakan.
Temuannya tentang lintasan lengkung diterapkan dalam menentukan lintasan
peluru. Dengan demikian, teori lintasan tersebut menjadi bagian ilmu peperangan.
Galileo juga banyak mengadakan pengamatan langsung.
Fermat (1601-1665) dan Pascal (16234662) adalah ahli matematika dan
fisika. Fermat mengembangkan teori Aljabar mengenai bilangan-bilangan, kini
terkenal dengan perhitungan diferensial integral (kalkulus). Fermat dan Pascal
mengembangkan dasar-dasar statistika (teori kemungkinan).
Newton (1643-1727) adalah seorang pujangga besar, ahli matematika,
astronomi, dan fisika. Newton banyak menyumbangkan ilmunya bagi per-
kembangan ilmu pengetahuan yang hingga sekarang banyak digunakan.
Sumbangan terbesarnya adalah teori gravitasi, perhitungan kalkulus (diferensial
integral), serta teori cahaya atau optika.
Lavoisier (1743-1794) adalah ahli fisika, yang mendasari ilmu kimia.
Lavoisier berbeda dengan para ahli lainnya, ia melakukan percobaan dengan cara
kuantitatif. Percobaan-percobaan Lavoisier mendasari perkembangan kimia
analitik dan kimia organik.

72
Perkembangan ilmu pengetahuan terus berlangsung, apakah menghasilkan
suatu teori/ hukum baru atau menggugurkan teori/hukum yang ada. Einstein
(1905-1911) menemukan teori kenisbian, teori relativitas. Dalton (1766-1844)
menemukan dasar ilmu kimia yang ditekankan pada teori atom. Henry Becquerel
(1852-1908), Curie (1859-1906), dan Thomson 1897 menemukan radium, logam
yang dapat berubah menjadi logam lain.
Thomson menemukan elektron, yang menggugurkan teori atom sebagai
bagian terkecil yang tak dapat dibagi lagi. Dengan penemuanpenemuan tersebut
berkembanglah ilmu baru dalam bidang kimia-fisika, yaitu ilmu fisika nuklir.
Perkembangan selanjutnya menghasilkan teoriteori baru dalam kenisbian,
elektron, dan energi.

D. Perkembangan Teknologi
Dari para ahli, kita sering mendengar pernyataan bahwa ilmu bukan hanya
untuk ilmu. Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa pengembangan suatu ilmu
pengetahuan tidak hanya ditujukan kepada perkembangan ilmu pengetahuan itu
sendiri, melainkan juga diharapkan dapai mem herikan sumbangan kepada
bidang-bidang kehidupan atau ilmu yang lainnya. Sumbangan yang berupa
penggunaan atau penerapan suatu bidang ilmu pengetahuan terhadap bidang-
bidang lain disebut teknologi, seperti dinyatakan Kast dan Rosenweig (1962, hlm.
11) Technology is the art of utilizing scientific knowledge, sedangkan menurut
Charles Susskind (1973: 1) ... how we do things is technology. Iskandar
Alisyahbana (1980, hlm. 1) merumuskan lebih jelas dan lengkap tentang
teknologi, Teknologi ialah cara melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan
manusia dengan bantuan alat dan akal (hardware dan software) sehingga seakan-
akan memperpanjang, memperkuat, atau membuat lebih ampuh anggota tubuh,
pancaindera, dan otak manusia.
Sebenarnya sejak dahulu, teknologi sudah ada atau manusia sudah
menggunakan teknologi. Kalau manusia zaman dulu memecahkan kemiri dengan
batu atau memetik buah dengan galah, sesungguhnya mereka sudah menggunakan
teknologi yaitu teknologi sederhana. Mengapa manusia menggunakan teknologi,

73
karena manusia berakal. Dengan akalnya itu ia ingin hidup lebih baik, lebih
mudah, lebih aman, lebih sejahtera.
Penemuan teknologi pertama yang cukup penting adalah teknologi api.
Dengan teknologi ini manusia mendapatkan penerangan pada malam hari, bisa
menghangatkan badan, dan mengolah berbagai bahan makanan. Ilerkat api,
makanan menjadi lebih lunak, lebih lezat, dan lebih sehat. Ienemuan teknologi api
mendasari pengembangan teknologi lain pada masa-masa berikutnya, umpamanya
teknologi penerangan, teknologi pemadam kebakaran, teknologi pembuangan
asap, dan yang paling penting dan banyak mendasari pengembangan teknologi
lebih lanjut adalah teknologi logam. Dengan teknologi api, bijih timah, besi,
mangan, lembaga, perak, mas, dan lain-lain, dapat diolah menjadi batangan
kemudian diolah lebih lanjut menjadi berbagai alat kebutuhan manusia.
pengembangan suatu teknologi sering berdampak negatif, karena itu perlu Iemuan
teknologi lain untuk mengatasinya, seperti teknologi untuk mengatasi kebakaran,
mengurangi polusi, dan sebagainya.
Teknologi penting lain yang ditemukan selanjutnya adalah teknologi
pertanian. Dengan teknologi ini, manusia membudidayakan bermacam- macam
tanaman dan binatang yang sebelumnya tumbuh liar di alam bebas. Teknologi ini
memberikan kesejahteraan kepada manusia karena hasil pertanian lebih banyak
dan mudah didapat. Teknologi budidaya ini mampu mengubah pola hidup
berpindah-pindah menjadi menetap. Karena manusia hidup menetap, mereka
berkumpul, kemudian berkembang tambah banyak, maka terbentuklah masyarakat
dengan berbagai aturan dan sistem kehidupan sosial.
Perkembangan teknologi lain yang sangat penting dan banyak membawa
perkembangan pada teknologi lain adalah teknologi industri. Mulanya teknologi
ini berkembang secara individual dalam lingkungan kecil dan bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan sendiri, kemudian berkembang menjadi kongsi ditujukan
untuk memenuhi lingkungan yang makin meluas sampai bersekala ekspor.
Penemuan-penemuan di bidang ilmu pengetahuan mempercepat pertumbuhan
teknologi industri.

74
Perkembangan yang begitu cepat pada beberapa dekade terakhir adalah
perkembangan teknologi transportasi, teknologi komunikasi dan informatika, serta
teknologi media cetak. Perkembangan teknologi industri transportasi berkembang
pesat, baik transportasi darat, laut, maupun udara. Berbagai jenis alat transportasi
yang bermutu tinggi dengan perlengkapan mutakhir telah tersedia, memungkinkan
orang dan barang bisa berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dengan mudah
dan cepat. Jarak geografis tidak menjadi hambatan lagi untuk hubungan
antarorang, antarkelompok, dan antarbangsa. Perkembangan alat transportasi
bukan hanya ditujukan untuk mobilitas orang dan barang, melainkan untuk
kepentingan penelitian dan penemuan-penemuan teknologi lebih lanjut. Alat
transportasi yang banyak mendapat perhatian dari negara-negara maju adalah
pesawat angkasa luar. Pengembangan teknologi angkasa luar ini, bukan saja
membuktikan bahwa manusia bisa ke luar dari orbit bumi, menuju planet lain,
tetapi juga bisa menempatkan berbagai satelit untuk memantau apa yang terjadi di
bumi dan memperlancar komunikasi antardaerah di bumi.
Perkembangan teknologi terbesar dalam pertengahan abad ke-20
berkenaan dengan penjelajahan angkasa luar. Peluncuran Sputnik I tahun 1958
oleh Uni Soviet (sebelum bubar - red) menarik banyak masyarakat dunia, dan
merupakan awal babak baru dalam bidang angkasa luar. Program penerbangan
angkasa luar Amerika Serikat yang dimulai dengan Mercury 1962, Gemini 1963-
1965, Apollo yang dimulai tahun 1964 berhasil mendaratkan para astronot di
bulan. Uni Soviet dengan program Soyus-nya selalu berlomba dengan Amerika
Serikat dalam menjelajahi angkasa luar.
Eropa Barat juga tak mau kalah dalam pengembangan teknologi angkasa
luar, dengan program Arian-nya yang dimotori oleh Perancis. Arian berhasil
menempatkan sejumlah satelit negara-negara Eropa dan beberapa negara lain,
termasuk Indonesia yang berhasil mengorbitkan Palapa C2 pada tahun 1996 pada
posisi yang direncanakan. Setelah berhasil dengan Apollo, Amerika Serikat
melaksanakan program Voyager. Voyager mengangkasa sejauh 680 juta kilometer
dari bumi dan berhasil mendapatkan data gambar dan bentuk lain dari planet
Yupiter. Voyager II yang akan menyusul Voyager I akan meneruskan
penerbangan ke Saturnus dan ken-Indian keluar dari tata surya kita. Pada tahun-
tahun terakhir, Amerika Serikat mengembangkan program Challenger kemudian
Discovery dengan pesawat clang-aliknya walupun pernah mengalami kegagalan,

75
tetapi basil hasil van); dieapainya luar biasa. Dengan kemajuan teknologi angkasa
luar ini, manusia berhasil meneliti planet- planet yang paling jauh bukan dengan
renungan atau spekulasi atau peneropongan, melainkan dengan pesawatpesawat
yang berawak manusia. Penerbangan angkasa luar bukan hanya ditujukan untuk
meneliti planet-planet luar, juga digunakan untuk meneliti dan membuat beberapa
peralatan bagi kepentingan bumi. Melalui penggunaan berbagai satelit, diadakan
berbagai pengamatan dan penelitiaan tentang bumi. Umpamanya pengamatan dan
penelitian daerahdaerah yang mengandung minyak atau bahan-bahan mineral,
masalah arus laut, cuaca, dan iklim. Satelit merupakan sarana komunikasi massa,
telekomunikasi, dan internet.
Temuan-temuan di bidang fisika, kimia, dan matematika mengembangkan
teknologi ruang angkasa dan kemiliteran. Perkembangan teknologi di bidang
kemiliteran bukan hanya menghasilkan teknologi senjatasenjata biasa, juga
teknologi senjata mutakhir, peluru kendali antarbenua, misil, born hidrogen, born
nuklir, dan lain-lain, merupakan perkembangan teknologi yang banyak
menimbulkan ancaman dan kekhawatiran manusia.
Teknologi lain yang perkembangannya sangat cepat pada beberapa dekade
terakhir adalah teknologi komunikasi dan informatika. Teknologi ini berkembang
sangat pesat berkat temuan-temuan di bidang eletronika. Perkembangan radio dan
televisi telah membuka bagian-bagian dunia yang terbelakang menjadi daerah
terbuka karena arus informasi. Apa yang terjadi di suatu daerah atau negara,
dalam waktu beberapa menit, sudah dapat diketahui oleh orang-orang di bagian
dunia lainnya.
Selain kemajuan di bidang komuniksi massa, kemajuan bidang
telekomunikasi pun mengalami kemajuan yang begitu pesat. Kemajuan di bidang
telepon, faksimil, yang dikombinasikan dengan kemajuan di bidang komputer,
menghasilkan sistem komunisikasi gaya baru, internet. Dengan komunikasi
massa, kita hanya bisa memperoleh informasi yang disiarkan, artinya sangat
bergantung pada jam siar. Tetapi dengan internet, jam siar ini hilang. Orang bisa
memperoleh hampir semua informasi dari setiap negara tanpa dibatasi waktu.
Oleh karena itu, dewasa ini dunia disebut dunia global, sebab dengan perantaraan
komunikasi massa dan komunikasi batas-batas pemisah antarnegara dan antar

76
daerah menjadi hilang. Melalui internet, setiap saat orang bisa masuk, tanpa
permisi, ke Library of Congres Amerika Serikat, ke Gedung Putih, bahkan ke
Pentagon.
Teknologi media cetak, walaupun jangkauan dan kecepatan sebarannya
tidak seluas dan secepat komunikasi massa dan telekomunikasi, mempunyai
keunggulan sendiri. Penemuan alat-alat cetak modern, dengan kemampuan cetak
yang sangat cepat, telah menghasilkan barang cetakan, seperti buku, majalah, dan
surat kabar, yang bermutu tinggi. Barang- barang cetakan ini bisa
didokumentasikan untuk waktu yang lama, kalau bahannya cukup baik, tahan
sampai ratusan tahun. Untuk dokumentasi- dokumentasi yang menggunakan
tempat terlalu besar, sekarang ada teknologi microfilm dan microfiche untuk
mengecilkannya.
Dalam bahasan tentang perkembangan teknologi pada awal bagian ini,
banyak dikemukakan contoh-contoh perkembangan teknologi yang berbentuk
material. Sesungguhnya teknologi tidak hanya menyangkut halhal material, tetapi
juga yang immaterial, konsep, kaidah, pendekatan, sistem kerja, dan pola
hubungan.
Santoso S. Hamijoyo (1975, hlm. 2) membedakan teknologi tersebut
menjadi teknologi jenis hardware, software, dan hubungan antarorang.

1. Transformasi teknologi
Pengembangan ilmu dan teknologi tidak berarti harus mencari dan
menemukan sendiri serta harus mulai dari awal. Apabila cara itu ditempuh, akan
banyak waktu terbuang dan kita akan semakin jauh tertinggal. Cara yang lebih
tepat dan memungkinkan untuk mengejar ketinggalan adalah dengan transformasi
teknologi. Transformasi teknologi merupakan suatu proses pengalihan, penerapan,
dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara teratur (B.J. Habibie,
1983). Proses pengalihan tidak berarti mengambil dan menerapkan teknologi,
seperti keadaan aslinya di negara yang mengembangkannya, tetapi mencakup juga
penyesuaian, modifikasi, dan pengembangannya lebih lanjut.
Menurut B.J. Habibie (1983), ada lima prinsip yang menjadi pegangan
dalam transformasi teknologi (industri): 1) perlu diselenggarakan pendidikan dan
pelatihan di dalam dan luar negeri untuk menyiapkan para pelaku transformasi; 2)

77
perlu dikembangkan konsep yang jelas dan realistic tentang masyarakat yang akan
dibangun serta teknologi-teknologi yang diperlukan untuk mewujudkannya; 3)
teknologi hanya dapat dialihkan, diterapkan, dan dikembangkan lebih lanjut jika
benar-benar diterapkan; 4) bangsa yang ingin mengembangkan diri secara
teknologis harus berusaha sendiri memecahkan setiap masalahnya; 5) pada tahap-
tahap awal transformasi, setiap negara harus melindungi perkembangan
kemampuan nasionalnya, hingga saat tercapainya kemampuan bersaing secara
internasional.
Transformasi teknologi tidak bisa dilakukan secara serempak dan langsung
pada tahap akhir, disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, dan kemampuan. Ada
tiga tahap penting transformasi teknologi menurut B.J. Habibie (1983). Tahap
pertama, penggunaan teknologi yang ada digunakan untuk proses nilai tambah
produksi barang di pasaran. Teknologi produksi dan manajemen digunakan untuk
mengubah bahan baku atau barang setengah jadi menjadi barang-barang yang
bernilai jual lebih tinggi. Proses ini disebut proses nilai tambah.
Tahap kedua, tahap integrasi teknologi digunakan untuk desain dan
produksi barang baru. Pada tahap ini dikembangkan desain dan cetak biru
sehingga ada elemen baru, elemen penciptaan.
Tahap ketiga, adalah tahap pengembangan teknologi itu sendiri. Dalam
tahap ini teknologi-teknologi yang ada dikembangkan lebih lanjut, begitupun
teknologi baru. Tahap ini merupakan tahap dilaksanakannya inovasi-inovasi,
diciptakannya teknologi untuk komponen produk-produk teknologi terbaik dalam
bidang masing-masing.
Tahap keempat, adalah tahap pelaksanaan penelitian dasar secara besar-
besaran. Tahap ini penting bagi negara-negara berkembang yang menghadapi
kendala keuangan, sumber daya manusia, serta sarana dan prasarana. Oleh karena
itu, banyak negara berkembang melakukan penelitian dasar melalui perjanjian
kerja sama dengan negara-negara maju di bidang ilmu dan teknologi.

78
2. Perkembangan teknologi di Indonesia
Perkembangan teknologi terjadi di mana-mana, asal manusia meng-
gunakan alat dan akalnya untuk menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi.
Sejak lama teknologi di Indonesia berkembang, tetapi yang dikembangkannya
adalah teknologi sederhana. Dalam beberapa hal mungkin dikembangkan
teknologi madya, namun jumlahnya masih terbatas. Perkembangan teknologi
tinggi yang cukup pesat terjadi pada masa pembangunan, sejak dilaksanakannya
Pelita I. Perkembangan teknologi ini diawali dengan diluncurkannya Sistem
Komunikasi Satelit Domestik Palapa Al, yang sekarang sudah mencapai generasi
C2. Pada mulanya, pemanfaatan satelit ini terbatas pada bidang komunikasi massa
dan jangkauannya terbatas pada beberapa wilayah saja. Dewasa ini pemanfaatan
satelit tersebut semakin luas, misalnya untuk kepentingan telekomunikasi dan
jaringan internet, dengan jangkauan bukan hanya negara-negara ASEAN dan
negara-negara di sekitar Indonesia.
Perkembangan teknologi yang lebih terencana dan terarah tampaknya
dimulai setelah B.J. Habibie menjabat sebagai menteri sekaligus pemikiran
pemimpin pengembangan teknologi di Indonesia. Di bawah pimpinan Habibie
pengembangan teknologi benar-benar bertolak dari kondisi dan karakteristik
wilayah dan kebutuhan pembangunan Indonesia. Pengemkmgan teknologi
diarahkan bukan hanya pada kepentingan kemajuan ekonomi, melainkan juga
pada kepentingan politik (integritas bangsa), social budaya, serta aspek-aspek lain.
Menurut B.J. Habibie (1983), ada delapan wahana transformasi yang
menjadi prioritas pengembangan teknologi terutama teknologi industri, yaitu: 1)
industri pesavvat terbang, 2) industri maritim dan perkapalan, 3) industri alat-alat
transportasi darat, laut, dan udara, 4) industri elektronika dan telekomunikasi, 5)
industri energi, 6) industri rekayasa, 7) industri alat- alat dan mesin-mesin
pertanian, dan 8) industri pertahanan dan keamanan.
Indonesia juga telah memiliki pusat-pusat pengembangan ilmu dan
teknologi. Pusat pengembangan terbesar adalah Pusat Pengembangan Penelitian
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek) di Tanggerang, Jawa Barat. Pusat
pengembangan ini memiliki bidang dan fasilitas yang sangat lengkap. Ada
sejumlah laboratorium yang dimiliki Puspitek, antara lain: laboratorium uji

79
konstruksi; laboratorium aerodinamika, gas dinamika, dan getaran; laboratorium
termodinamika elan propulsi; laboratorium teknologi proses; laboratorium fisika;
laboratorium kimia; laboratorium kalibrasi dan instrumentasi; laboratorium
energi; laboratorium metalurgi; serta reaktor penelitian serba guna dengan
beberapa laboratorium penunjangnya.
Untuk pengkajian dan penerapan teknologi, Indonesia mempunyai badan
khusus, yaitu Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang
kepemimpinannya dirangkap oleh Menteri Riset dan Teknologi. Lembaga lain
yang juga mengadakan pengkajian tentang ilmu pengetahuan adalah Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jauh sebelum didirikan Puspitek dan BPPT,
Indonesia juga memiliki pusat penelitian astronomi di Lembang, Bandung, lebih
dikenal dengan nama Peneropong Bintang. Di bidang tenaga atom, Indonesia
memiliki dua pusat reaktor atom, yaitu Pusat Reaktor Atom Bandung dan Pusat
Reaktor Atom Kartini di Yogyakarta.
Perguruan tinggi juga berperan dalam pengkajian dan pengembangan ilmu
dan teknologi sebagai realisasi dari salah satu tridharmanya, yaitu dharma
penelitian. Walaupun tahap pengembangannya belum sama, fungsi penelitian dan
pengembangan pada perguruan tinggi telah berjalan. Ada beberapa perguruan
tinggi yang terkemuka dan ada pula perguruan tinggi yang masih miskin dengan
penelitian dan pengembangan yang berarti. Beberapa perguruan tinggi yang cukup
maju dalam penelitian dan pengembangan adalah Universitas Indonesia untuk
bidang kedokteran dan ekonomi; Institut Pertanian Bogor untuk bidang pertanian,
kehutanan, dan peternakan; Institut Teknologi Bandung untuk bidang rekayasa
dan teknologi; Universitas Padjadjaran, Universitas Gajah Mada, dan Universitas
Airlangga untuk bidang ekonomi.

E. Pengaruh Perkembangan Ilmu dan Teknologi


Pengaruh perkembangan ilmu dan teknologi cukup luas, meliputi semua
aspek kehidupan, politik, ekonomi, sosial, budaya, keagamaan, etika, dan estetika,
bahkan keamanan dan ilmu pengetahuan itu sendiri. Pada bagi.in ini pembahasan
dibatasi pada pengaruh perkembangan ilmu pengetalimm din teknologi terhadap
kehidupan masyarakat dan pendidikan.

80
Ada beberapa bidang ilmu dan teknologi yang mempunyai pengaruh yang
baik secara langsung maupun tidak langsung, terhadap kehidupan masyarakat.
Bidang-bidang tersebut adalah komunikasi, transportasi, mekanisasi industri dan
pertanian, serta persenjataan.
Komunikasi cukup berkembang pesat di Indonesia dan berpengaruh besar
terhadap kehidupan masyarakat. Dewasa ini di Indonesia terdapat sejumlah media
komunikasi massa yang perkembangannya sudah cukup maju dan dapat
menjangkau hampir seluruh pelosok tanah air. Media komunikasi massa tersebut
adalah surat kabar, majalah, radio, dan televisi. Di antara keempat media
komunikasi massa tersebut yang paling luas jangkauannya adalah radio. Dengan
adanya teknologi transistor yang diproduksi secara massal dengan harga yang
relatif murah, maka radio transistor telah dapat dimiliki oleh rakyat kecil yang
tinggal di daerah terpencil sekalipun. Urutan kedua yang juga cukup luas
jangkauannya adalah televisi. Setelah diluncurkannya SKSD Palapa, seluruh kota
di Nusantara dapat dijangkau oleh televisi. Sebagian besar ibu kota propinsi telah
mempunyai stasiun siaran TV sendiri. Tempat ketiga dan keempat diduduki oleh
surat kabar dan majalah. Surat kabar dan majalah belum dapat terserap oleh
seluruh lapisan masyarakat di seluruh pelosok tanah air. Hal itu disebabkan karena
kemampuan ekonomi serta motif membaca yang masih kurang, di samping masih
kurangnya kemampuan membaca serta adanya kendala geografis karena banyak
pulau-pulau terpencil.
Komunikasi massa terutama melalui radio dan teleyisi mempunyai peranan
dan pengaruh yang sangat besar terhadap masyarakat. Hal itu karena kedua media
tersebut bukan hanya berfungsi memberikan informasi tetapi juga memberikan
hiburan. Melalui situasi hiburan tersebut secara tidak disadari banyak informasi,
program dan kegiatan pem- bangunan, mungkin juga konsep-konsep, gagasan-
gagasan, nilai-nilai yang terserap oleh masyarakat. Melalui media tersebut,
budaya, tradisi, kegiatan, kemajuan dart sebagainya yang telah dicapai oleh suatu
golongan masyarakat atau daerah tertentu dapat diketahui oleh masyarakat atau
daerah lain. Dengan demikian komunikasi massa dapat meningkatkan
pengetahuan masyarakat, bahkan sampai batas tertentu dapat mengubah sikap
masyarakat. Sudah tentu di samping nilai-nilai yang positif, media massa dapat

81
pula menimbulkan efek negatif. Tentang efek negatif acara TV beberapa ahli dan
hasil penelitian menyatakan: banyak orang yang membuang waktunya antara 4-6
jam tiap hari untuk mengikuti semua acara TV; film-film banyak yang
mempertunjukkan kejahatan, pembunuhan, perampokan, dan sebagainya, iklan
TV dapat menimbulkan penyakit the gimmees terutama pada anak (penyakit
merengek ingin dibelikan).
Perkembangan teknologi transportasi meningkatkan mutu dan kecepa tan
lalu lintas orang dan barang, mempermudah perhubungan baik lokal, antara kota,
antara pulau maupun antara negara, menyebabkan terbukanya perhubungan
dengan daerah-daerah yang asalnya terpencil. Pembukaan perhubungan tersebut
dapat memperlancar arus perdagangan dan meningkatkan mobilitas penduduk.
Kelancaran arus perdagangan berarti barang-barang hasil bumi dari desa dapat
dengan segera dikirimkan dan dijual ke kota, dan sebaliknya penduduk desa juga
dapat dengan mudah mendapatkan barang-barang hasil industri. Mobilitas
penduduk memungkinkan terjadinya akulturasi, terutama penduduk desa dengan
cara-cara dan kehidupan orang-orang kota. Mobilitas penduduk atau masyarakat
bukan hanya dari desa ke kota tetapi juga dari kota atau daerah yang satu ke kota
atau daerah yang lain atau dari pulau yang satu ke pulau yang lain. Hal itu, juga
akan memberikan sumbangan dalam pembentukan persatuan nasional,
menghilangkan kesukuan, kedaerahan ataupun sikap eksklusivisme.
Perkembangan transportasi juga dapat memberi beberapa efek sampingan
di antaranya: daerah-daerah pedesaan lebih konsumtif terhadap barang-barang
hasil industri, memperbesar terjadinya urbanisasi, masuknya kebiasaan, cara-cara
hidup, norma-norma kota yang belum tentu sesuai dengan kehidupan di desa
(menggeser kebiasaan desa yang baik), naiknya harga-harga produksi desa di
desanya.
Perkembangan teknologi di bidang pertanian belum sepesat bidang
industri, namun dampaknya terhadap peningkatan produksi dan kesejahteraan para
petani telah dirasakan. Ada beberapa hambatan yang dihadapi dalam penerapan
teknologi di bidang pertanian antara lain: terutama di Pulau Jawa tidak banyak
lahan pertanian yang luas, pemilikan lahan pertanian yang sempit yang kurang
menguntungkan bila diolah secara mekanis, keadaan alam yang banyak
bergunung-gunung atau berawa-rawa, kemampuan permodalan dan pengelolaan,

82
pemasaran hasil pertanian dan sebagainya. Meskipun demikian, pemerintah telah
berusaha mengembangkan teknologi tepat guna di bidang pertanian, untuk
mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Beberapa pertanian besar seperti rice
estate di Palembang dan lain-lain yang merupakan joint venture sudah
menggunakan teknologi maju yang serba mekanik. Penggunaan teknologi maju
yang paling banyak adalah di bidang industri, baik industry maupun hilir, industri
besar, menengah bahkan industri kecil. Dalam pengembangan teknologi industri
ini, kebijaksanaan yang diambil pemerintah tidak hanya diarahkan pada
pengembangan teknologi maju, tetapi juga teknologi tepat guna, yang mungkin
dapat diterapkan pada industri-industri menengah dan kecil. Walaupun dalam
beberapa kasus tidak dapat dihindari terjadinya ketersisihan industri kecil oleh
industri besar.
Mengenai ketersisihan industri-industri kecil yang menggunakan teknologi
tradisional oleh industri-industri besar yang mengginiakan teknologi modern,
Filino Harapah (1975, hlm. 8) mengemukakan pandangannya sebagai berikut:
Dalam Pelita I kita telah melihat.terjadinya suatu eksperimentasi yang m
cukup berani, di mana teknologi modern yang belum kita miliki berada
berdampingan dengan teknologi tradisional yang masih terbelakang. Teknologi
modern tersebut masih sangat bergantung kepada unsurunsur non-Indonesia.
Dalam proses sudah berlangsung, kelihatan bahwa teknologi tradisional bukannya
kian meningkat, malahan sebaliknya; seolah-olah terdesak. Bukti-bukti yang
memperkuat pengamatan ini adalah terdesaknya pabrik-pabrik rokok gulung
(linting), usaha tenun bukan mesin dan perusahaan minuman yang
mempergunakan teknologi tradisional sederhana, akibat saingan pabrik yang lebih
modern dan unggul teknologinya.
Penggunaan teknologi maju dalam industri mempunyai beberapa pengaruh
terhadap kehidupan masyarakat. Sebagai konsumen, masyarakat mempunyai
beberapa keuntungan dari industri besar tersebut, yaitu barang-barang cukup
banyak tersedia, kualitas barang cukup baik, harga kemungkinan juga sedikit lebih
rendah bila dibandingkan dengan produksi pabrik kecil. Masyarakat sebagai
sumber tenaga kerja banyak menderita kesulitan dengan adanya industri-industri
teknologi maju tersebut. Suatu pekerjaan yang sebelum menggunakan teknologi
maju mungkin membutuhkan 15-20 orang pegawai/buruh maka setelah
menggunakan teknologi maju dapat dikerjakan oleh 1 atau 2 orang saja. Dengan

83
demikian dapat memperbesar angka pengangguran. Bagi orang-orang yang secara
kebetulan dapat bekerja dengan teknologi maju tersebut dapat menikmati
keberuntungannya, tetapi sejumlah besar anggota masyarakat yang lain menderita
karena tidak mendapat pekerjaan. Mengenai pengangguran atau kesempatan kerja
tersebut, M. Ziemek mengemukakan pendapat sebagai berikut:
Melihat angka-angka terakhir mengenai kesempatan kerja di Indonesia
yang menunjukkan bahwa 30% dari jumlah 44 juta angkatan kerja yang benar-
benar, memperoleh kesempatan kerja penuh, jelas bahwa untuk mengurangi
jumlah ini secara cukup berarti akan hampir tidak mungkin dicapai dengan jalan
mengadakan industrialisasi perekonomian menurut pola di Barat.
Pendidikan, juga menda pat pen garuh yang cukup besar dari ilmu dan
teknologi. Pendidikan sangat erat hubungan dengan kehidupan sosial, sebab,
pendidikan merupakan salah satu aspek sosial. Pendidikan tidak terbatas pada
pendidikan formal saja, melainkan juga pendidikan nonformal, sebab pendidikan
meliputi segala usaha sendiri atau usaha pihak luar untuk meningkatkan
pengetahuan dan kecakapan, memperoleh keterampilan dan membentuk sikap-
sikap tertentu.
Pada bagian sebelum ini telah diungkapkan bahwa kemajuan di bidang
komunikasi massa sangat berpengaruh terhadap pendidikan. Sebab media massa
juga merupakan juga media pendidikan. Dengan kata lain, melalui media massa
dapat berlangsung proses pendidikan. Baik tayangantayangan yang berbentuk
informasi ataupun tayangan yang bersifat hiburan juga mempunyai nilai-nilai
pendidikan. Kami kira tidak ada seorang penulis skenario film, sinetron, atau
sandiwara TV, ataupun penulis berita atau cerita yang sengaja menulis suatu tema
cerita atau tulisan dengan tujuan merusak masyarakat. Meskipun penulis membuat
ceritera tentang kejahatan atau kekejaman, namun tujuannya justru menyadarkan
masyarakat bahwa perbuatan seperti itu tidak baik, yang jahat pasti dihukum dan
sebagainya. Dengan demikian semua acara tersebut sebenarnya mempunyai
maksud dan pesan yang positif, namun yang diterima oleh pemirsa tidak selalu
seperti maksud dan pesan tersebut (tidak komunikatif). Sebagai penyebabnya
mungkin saja karena adeganadegan yang kurang terpuji tersebut lebih
mendominasi dibandingkan degnan adegan-adegan yang mengandung maksud
dan pesan luhur. Dari pihak pemirsa kebanyakan lebih memperhatikan adegan-
adegan yang ramai daripada mencari makna pesan luhur yang dibawa dengan

84
keramaian tersebut.
Bagaimanapun media massa mempunyai fungsi pendidikan. Tiap acara TV
atau radio, tiap berita atau tulisan dalam surat kabar atau majalah dapat menambah
pengetahuan pendengar, penonton, atau pembacanya, memberikan kecakapan atau
keterampilan serta membina sikap tertentu. Dalam hal ini media massa
mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan belajar dalam kelas, sebab
dalam kelas, belajar berlangsung secara disadari, diperintah dan diuji tetapi
melalui media massa belajar terjadi secara tidak sadar, tanpa paksaan atau
perintah orang lain dan tidak ada tekanan untuk ulangan atau ujian. Mar'at seorang
psikolog dari Unpad mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:
"TV mampu mengubah sikap, pandangan, dan perasaan seseorang. Dan
yang penting adalah fungsi TV-nya sendiri yang disesuaikan dengan kemampuan
masyarakat, sebagai media komunikasi visual dalam meningkatkan pengetahuan,
cara berpikir, dan cara menyelesaikan masalah".
Segi negatif yang lain dari media TV untuk pendidikan anak selain yang
telah diungkapkan terdahulu adalah kecenderungan anak untuk mengadakan
peniruan dan identifikasi. Kita mengetahui bahwa anak suka tneniru; dan pada
masa tertentu terutama pada awal masa pubertas ada masa anak untuk
beridentifikasi dengan tokoh-tokoh pujaan tertentu. Mudah kita pahami bahwa
yang menjadi idola anak adalah tokoh-tokoh terkenal atau jagoan-jagoan tertentu.
Sering terjadi kalau anak sudah menntio seorang tokoh, apa saja yang dilakukan
oleh tokoh tersebut selalu baik. Padahal mungkin saja tidak semua tingkah laku
tokoh tersebut baik, apalagi idolanya itu adalah tokoh dalam film-film Barat yang
mungkin tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Perkembangan teknologi di bidang industri mempunyai hubungan timbal
balik dengan pendidikan. Industri dengan teknologi maju memproduksi berbagai
macam alat-alat dan bahan yang secara langsung atau tidak langsung dibutuhkan
dalam pendidikan. Kegiatan pendidikan membutuhkan dukungan dari penggunaan
alat-alat hasil industri seperti komputer, televisi, radio, cassete tape recorder,
video tape, buku-buku, gambar-gambar, peta, berbagai bentuk alat peraga, alat-
alat permainan, alat tulis menulis, alat-alat berhitung, dan sebagainya.
Peningkatan pendidikan sangat membutuhkan bantuan hasil-hasil
teknologi industri tidak hanya yang bersifat hardware, tetapi juga membutuhkan
bantuan penggunaan hasil pengembangan teknologi yang bersifat software. Sudah

85
tentu penggunaan alat-alat hasil industri maju dalam bidang pendidikan, menuntut
pengetahuan dan kecakapan gurugurunya. Hal itu berkenaan dengan segi software
sebagai hasil pengembangan teknologi. Penggunaan alat-alat belajar yang modern
dalam pendidikan akan mempengaruhi proses belajar. Dengan menggunakan alat-
alat belajar yang modern anak akan lebih aktif belajar. Aktivitas belajar anak akan
bergantung pada metode belajar-mengajar yang digunakan, anak akan lebih aktif
dibandingkan dengan kalau hanya menggunakan kapur dan papan tulis saja.
Ada segi lain mengenai hubungan antara pendidikan dengan
perkembangan teknologi dalam industri. Perkembangan teknologi industri
menuntut peningkatan penguasaan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan
sumber daya manusianya. Hal itu berarti membuka pekerjaan baru dan juga
menuntut keahlian baru yang harus dipersiapkan dalam pendidikan. Untuk
menyelenggarakan suatu sekolah kejuruan tertentu dituntut banyak hal. Sekolah
kejuruan yang baru menuntut penyediaan guru-guru dalam kejuruan tersebut,
menuntut peralatan pendidikan atau latihan yang baru yang mungkin tidak sama
dengan peralatan bagi pendidikan atau kejuruan yang telah ada. Sekolah kejuruan
yang baru juga mungkin menuntut sistem atau program yang baru, metode
mengajar yang baru, sistem penilaian yang baru, dan sebagainya. Dengan
perkataan lain perkembangan teknologi dalam industri dapat memberikan tuntutan
pembaharuan dalam pendidikan.
Telah dibicarakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
membawa beberapa perubahan dalam kehidupan masyarakat. Beberapa
masyarakat terpencil, yang tertutup dengan adanya transportasi dan komunikasi
yang luas, berubah menjadi masyarakat yang terbuka dan cukup berkomunikasi
dengan daerah-daerah lain. Masyarakat yang pada mulanya hanya konsumtif
terhadap hasil-hasil pertanian telah berubah menjadi masyarakat yang lebih
konsumtif terhadap produksi industri.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga telah menimbulkan
banyak perubahan dalam nilai-nilai, baik nilai sosial, budaya, spiritual, intelektual,
maupun material. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga
menimbulkan kebutuhan barn, aspirasi baru, sikap hidup baru. Hal-hal di atas
menuntut perubahan pada sistem dan isi pendidikan. pendidikan bukan hanya
mewariskan nilai-nilai dan hasil kebudayaan lama, tetapi juga mempersiapkan
generasi muda agar mampu hidup pada masa kini dan yang akan datang.

86
Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
meyebabkan perkembangan pula pada dunia pendidikan. Pengaruh perkembangan
ilmu dan teknologi terhadap pendidikan selain yang bersifat tidak langsung seperti
yang telah dikemukakan terdahulu, juga yang bersifat langsung. Perkembangan
ilmu dan teknologi bukan hanya yang bentuk hardware tetapi juga software dan
hubungan antarmanusia. Sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan lainnya,
merupakan tempat pemindahan teknologi yang bersifat software dan hubungan
antarmanusia. Di sekolah, perguruan tinggi atau lembaga pendidikan lainnya,
dipelajari konsep-konsep, prinsip-prinsip, kaidah-kaidah, cara-cara dan
pendekatanpendekatan baru, untuk memahami dan memecahkan berbagai
persoalan dalam kehidupan di rumah dan di masyarakat, dalam pekerjaan serta
dalam hubungan-hubungan yang lebih luas. Hal-hal tersebut juga menuntut selalu
adanya perkembangan dari pendidikan.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara langsung, maupun
tidak langsung menuntut perkembangan pendidikan. Pengaruh langsung
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah memberikan isi/materi atau
bahan yang akan disampaikan dalam pendidikan. Pengaruh tak langsung adalah
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menyebabkan perkembangan
masyarakat, dan perkembangan masyarakat menimbulkan problema-problema
baru yang menuntut pemecahan dengan pengetahuan, kemampuan, dan
keterampilan barn yang dikembangkan dalam pendidikan.

87
BAB V
MACAM-MACAM MODEL KONSEP KURIKULUM

Pada Bab I telah ungkapkan empat aliran pendidikan yaitu pendidikan


klasik, pribadi, teknologi, dan interaksionis. Empat aliran itu bertolak dari asumsi
yang berbeda dan mempunyai pandangan yang berbeda pula lentang kedudukan
dan peranan pendidik, peserta didik, isi, maupun proses pendidikan. Empat aliran
atau teori pendidikan tersebut memiliki model konsep kurikulum dan praktik
pendidikan yang berbeda. Model konsep kurikulum dari teori pendidikan klasik
disebut kurikulum subjek akademis, pendidikan pribadi disebut kurikulum
humanistik, teknologi pendidikan disebut kurikulum teknologis dan dari
pendidikan interaksionis, disebut kurikulum rekonstruksi sosial.

A. Kurikulum Subjek Akademis


Model konsep kurikulum ini adalah model yang tertua, sejak sekolah yang
pertama berdiri, kurikulumnya mirip dengan tipe ini. Sampai sekarang, walaupun
telah berkembang tipe-tipe lain, umumnya sekolah tidak dapat welepaskan tipe
ini. Mengapa demikian? Kurikulum ini sangat praktis, imidah disusun, mudah
digabungkan dengan tipe lainnya.
Kurikulum subjek akademis bersumber dari pendidikan klasik
(perenialisme dan esensialisme) yang berorientasi pada masa lalu. Semua Woo
pengetahuan dan nilai-nilai telah ditemukan oleh para pemikir masa lalu. Fungsi
pendidikan memelihara dan mewariskan hasil-hasil budaya ilia.,a lalu tersebut.
Kurikulum ini lebih mengutamakan isi pendidikan. liciajar adalah berusaha
menguasai ilmu sebanyak-banyaknya. Orang yang berhasil dalam belajar adalah
orang yang menguasai seluruh atau sebagian besar isi pendidikan yang diberikan
atau disiapkan oleh guru.
Isi pendidikan diambil dari setiap disiplin ilmu. Sesuai dengan bidang
disiplinnya para ahli, masing-masing telah mengembangkan ilmu secara
sistematis, logis, dan solid. Para pengembang kurikulum tidak perlu susah- susah
menyusun dan mengembangkan bahan sendiri. Mereka tinggal memilih bahan
materi ilmu yang telah dikembangkan para ahli disiplin ilmu, kemudian
mereorganisasinya secara sistematis, sesuai dengan tujuan pendidikan dan tahap

88
perkembangan siswa yang akan mempelajarinya. Guru sebagai penyampai bahan
ajar memegang peranan penting. Mereka harus menguasai semua pengetahuan
yang ada dalam kurikulum. Ia harus menjadi ahli dalam bidang-bidang studi yang
diajarkannya. Lebih jauh guru dituntut bukan hanya menguasai materi pendidikan,
tetapi ia juga menjadi model bagi para siswanya. Apa yang disampaikan dan cara
penyampaiannya harus menjadi bagian dari pribadi guru. Guru adalah yang
"digugu dan "ditiru (diikuti dan dicontoh).
Karena kurikulum sangat mengutamakan pengetahuan maka
pendidikannya lebih bersifat intelektual. Nama-nama mata pelajaran yang menjadi
isi kurikulum hampir sama dengan nama disiplin ilmu, seperti bahasa dan sastra,
geografi, matematika, ilmu kealaman, sejarah, dan sebagainya.
Kurikulum subjek akademis tidak berarti hanya menekankan pada materi
yang disampaikan, dalam perkembangannya secara berangsur memperhatikan
proses belajar yang dilakukan siswa. Proses belajar yang dipilih sangat bergantung
pada segi apa yang dipentingkan dalam materi pelajaran tersebut.
Jerome Bruner dalam The Process of Education menyarankan bahwa
desain kurikulum hendaknya didasarkan atas struktur disiplin ilmu. Selanjutnya, ia
menegaskan bahwa kurikulum suatu mata pelajaran harus didasarkan atas
pemahaman yang mendasar yang dapat diperoleh dari prinsip-prinsip yang
mendasarinya dan yang memberi struktur kepada suatu disiplin ilmu.
Beberapa kegiatan belajar memungkinkan untuk mengadakan generalisasi,
suatu pengetahuan dapat digunakan dalam konteks lain daripada sekadar yang
dipelajarinya, dapat merangsang ingatan apabila siswa diminta untuk
menghubungkannya dengan masalah lain. Seorang siswa yang belajar fisika,
umpamanya, harus melakukan kegiatan belajar sebagaimana seorang ahli fisika
melakukannya. Hal seperti itu akan mempermudah proses belajar fisika bagi
siswa.
Penekanan pada segi intelektual ini dianut oleh hampir seluruh proyek
pengembangan kurikulum pada tahun 1960-an di sekolah-sekolah negara bagian
Amerika Serikat. Para pengembang kurikulum pada masa adalah para ahli mata

89
pelajaran yang menyusun bahan ajar di sekitar unsur-unsur struktural mendasar
dari disiplin ilmunya, menyangkiii problema, konsep-konsep inti, prinsip-prinsip,
dan cara-cara bagaimana berinkuiri.
Salah satu contoh kurikulum yang berdasarkan atas struktur pengetahuan
adalah Man: A Course of Study (MACOS) Macos adalah kurikulum untuk
sekolah dasar, terdiri atas buku-buku, film, poster, rekaman, permainan, dan
perlengkapan kelas lainnya. Kurikulum ini ditujukan untuk mengadakan
penyempurnaan tentang pengajaran ilmu sosial dan humanitas, dengan
pengarahan dan bimbingan Bruner.
Para pengembang kurikulum mengharapkan anak-anak dapat menggali
faktor-faktor penting yang akan menjadikan manusia sebagai manusia. Melalui
perbandingan dengan binatang, anak mengetahui keadaan biologis manusia.
Dengan membandingkan manusia dari suatu masyarakat dengan masyarakat
lainnya, anak-anak akan mempelajari aspek-aspek universal dari kebudayaan
manusia.
Sasaran utama kurikulum model MACOS adalah perkembangan
kemampuan intelektual, yaitu membangkitkan penghargaan dan keyakinan akan
kemampuan sendiri dan memberikan serangkaian cara kerja yang memungkinkan
anak walaupun dengan cara sederhana mampu menganalisis kehidupan sosial.
Melalui serangkaian kegiatan ilmiah seperti observasi, percobaan, penyusunan,
dan pengujian hipotesis, pemahaman disiplin ilmu-ilmu sosial, kegiatan diskaveri
dan sebagainya, diharapkan anak dapat mengambil banyak manfaat. Pada tahun
1970-an pendekatan struktur pengetahuan dalam pengembangan kurikulum ini
mengalami kemunduran, sebab para ahli lebih tertarik pada pemecahan masalah
kemanusiaan.
Sekurang-kurangnya ada tiga pendekatan dalam perkembangan Kurikulum
Subjek Akademis. Pendekatan pertama, melanjutkan penih struktur pengetahuan.
Murid-murid belajar ba.gaimana memperoleh dan menguji fakta-fakta dan bukan
sekadar mengingat-ingatnya.
Pendekatan kedua, adalah studi yang bersifat integratif. Pendekatan ini
merupakan respons terhaclap perkembangan masyarakat yang menuntut model-
model pengetahuan yang lebih komprehensif-terpadu. Pelajaran tersusun atas
satuan-satuan pelajaran, dalam satuan-satuan pelajaran tersebut batas-batas ilmu

90
menjadi hilang. Pengorganisasian tema-tema pengajaran didasarkan atas
fenomena-fenomena alam, proses kerja ilmiah dan problema-problema yang ada.
Mereka mengembangkan suatu model kurikulum yang terintegrasi (integrated
curriculum). Ada beberapa ciri model kurikulum yang dikembangkan.
1. Menentukan tema-tema yang membentuk satu kesatuan (unifying theme),
yang dapat terdiri atas ide atau konsep besar yang dapat mencakup semua
ilmu atau suatu proses kerja ilmu, fenomena alam, atau masalah sosial yang
membutuhkan pemecahan secara ilmiah.
2. Menyatukan kegiatan belajar dari beberapa disiplin ilmu. Kegiatan belajar
melibatkan isi dan proses dari satu atau beberapa ilmu sosial atau perilaku
yang mempunyai hubungan dengan tema yang dipilih/ dikerjakan.
3. Menyatukan berbagai cara/metode belajar. Kegiatan belajar ditekankan pada
pengalaman konkret yang bertolak dari minat dan kebutuhan murid serta
disesuaikan dengan keadaan setempat.
Pendekatan ketiga, adalah pendekatan yang dilaksanakan pada sekolah-
sekolah fundamentalis. Mereka tetap mengajar berdasarkan matamata pelajaran
dengan menekankan membaca, menulis, dan memecahkan masalah-masalah
matematis. Pelajaran-pelajaran lain seperti ilmu kealaman, ilmu sosial, dan lain-
lain dipelajari tanpa dihubungkan dengan kebutuhan praktis pemecahan masalah
dalam kehidupan.
1. Ciri-ciri kurikulum subjek akademis
Kurikulum subjek akademis mempunyai beberapa ciri berkenaan dengan
tujuan, metode, organisasi isi, dan evaluasi. Tujuan kurikulum subjek akademis
adalah pemberian pengetahuan yang solid serta melatih para siswa menggunakan
ide-ide dan proses "penelitian". Dengan berpengetahuan dalam berbagai disiplin
ilmu, para siswa diharapkan memiliki konsep-konsep dan cara-cara yang dapat
terus dikembangkan dalam masyarakat yang lebih luas. Para siswa harus belajar
menggunakan pemikiran dan dapat mengontrol dorongan-dorongannya. Sekolah
harus memberikan kesempatan kepada para siswa untuk merealisasikan
kemampuan mereka menguasai warisan budaya dan jika mungkin
memperkayanya.

91
Metode yang paling banyak digunakan dalam kurikulum subjek akademis adalah
metode ekspositori dan inkuiri. Ide-ide diberikan guru kemudian dielaborasi
(dilaksanakan) siswa sampai mereka kuasai. Konsep utama disusun secara
sistematis, dengan ilustrasi yang jelas untuk selanjutnya dikaji. Dalam materi
disiplin ilmu yang diperoleh, dicari berbagai masalah penting, kemudian
dirumuskan dan dicari cara pemecahannya.
Melalui proses tersebut para siswa akan menemukan, bahwa kemampuan
berpikir dan mengamati digunakan dalam ilmu kealaman, logika digunakan dalam
matematika, bentuk dan perasaan digunakan dalam seni dan koherensi dalam
sejarah. Mereka mempelajari buku-buku standar untuk memperkaya pengetahuan,
dan untuk memahami budaya masa lalu dan mengerti keadaan masa kini.
Ada beberapa pola organisasi isi (materi pelajaran) kurikulum subjek
akademis. Pola-pola organisasi yang terpenting di antaranya:
1. Correlated curriculum adalah pola organisasi materi atau konsep yang
dipelajari dalam suatu pelajaran dikorelasikan dengan pelajaran lainnya.
2. Unified atau Concentrated curriculum adalah pola organisasi bahan pelajaran
tersusun dalam tema-tema pelajaran tertentu, yang mencakup materi dari
berbagai pelajaran disiplin ilmu.
3. Integrated curriculum. Kalau dalam unified masih tampak warna iliciplin
ilmunya, maka dalam pola yang integrated warna disiplin ilmu tersebut
sudah tidak kelihatan lagi. Bahan ajar diintegrasikan dalam suatu persoalan,
kegiatan atau segi kehidupan tertentu.
4. Problem Solving curriculum adalah pola organisasi isi yang berisi topik
pemecahan masalah sosial yang dihadapi dalam kehidupan dengan
menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari berbagai
mata pelajaran atau disiplin ilmu.
Tentang kegiatan evaluasi, kurikulum subjek akademis menggunakan
bentuk evaluasi yang bervariasi disesuaikan dengan tujuan dan sifat mata
pelajaran. Dalam bidang studi humaniora lebih banyak digunakan bentuk uraian
(essay test) daripada tes objektif. Bidang studi tersebut membutuhkan jawaban
yang merefleksikan logika, koherensi, dan integrasi secara menyeluruh. Bidang
studi seni yang sifatnya ekspresi membutuhkan penilaian subjektif yang jujur, di

92
samping standar keindahan dan cita rasa. Lain halnya dengan matematika, nilai
tertinggi diberikan bila siswa menguasai landasan aksioma serta cara
penghitungannya benar. Dalam ilmu kealaman penghargaan tertinggi bukan hanya
diberikan kepada jawaban yang benar tetapi juga pada proses berpikir yang
digunakan siswa.
Para ahli disiplin ilmu sering memiliki sifat ainbivalen terhadap evaluasi.
Satu pihak melihatnya sebagai suatu kegiatan yang sangat berharga, yang dapat
memberikan informasi yang dibutuhkan. Pada pihak lain mereka
mengkhawatirkan kegiatan evaluasi dapat mempengaruhi hubungan antara guru
dan siswa. Evaluasi yang dilakukan dalam waktu singkat tidak akan memberikan
gambaran yang benar tentang perkemhangan dan penguasaan siswa.
Kekhawatiran mereka dapat sedikit dikurangi dengan dikembangkannya model
evaluasi formatif dan sumatif.

2. Pemilihan disiplin ilmu


Masalah besar yang dihadapi oleh para pengembang kurikulum subjek
akademis adalah bagaimana memilih materi pelajaran dari sekian banyak disiplin
ilmu yang ada. Apabila ingin memiliki penguasaan yang cukup mendalam maka
jumlah disiplin ilmunya harus sedikit. Apabila hanya mempelajari sedikit disiplin
ilmu maka penguasaan para siswa akan sangat Ierbatas, sukar menerapkannya
dalam kehidupan masyarakat secara luas. apabila disiplin ilmunya cukup banyak,
maka tahap penguasaannya akan mendangkal. Anak-anak akan tahu banyak tetapi
pengetahuannya hanya sedikit- dikit (tidak mendalam).
Ada beberapa saran untuk mengatasi masa lah tersebut, yaitu:
1. Mengusahakan adanya penguasaan yang menyeluruh (comprehensive- ness)
dengan menekankan pada bagaimana cara menguji kebenaran atau
mendapatkan pengetahuan.
2. Mengutamakan kebutuhan masyarakat (social utility), memilih dan
menentukan aspek-aspek dari dari disiplin ilmu yang sangat diperlukan
dalam kehidupan masyarakat.

93
3. Menekankan pengetahuan dasar, yaitu pengetahuan-pengetahuan yang
menjadi dasar (prerequisite) bagi penguasaan disiplin-disiplin ilmu yang
lainnya.

3. Penyesuaian mata pelajaran dengan perkembangan anak


Para pengembang kurikulum subjek akademis, lebih mengutamakan
penyusunan bahan secara logis dan sistematis daripada menyelaraskan urutan
bahan dengan kemampuan berpikir anak. Mereka umumnya kurang
memperhatikan bagaimana siswa belajar dan lebih mengutamakan susunan isi,
yaitu apa yang akan diajarkan. Proses belajar yang ditempuh oleh siswa sama
pentingnya dengan penguasaan konsep, prinsip-prinsip, dan generalisasi. Para ahli
kurikulum subjek akademis juga memandang materi yang akan diajarkan bersifat
universal, mereka mengabaikan karakteristik siswa dan kebutuhan masyarakat
setempat.
Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan di atas dalam perkembangan
selanjutnya dilakukan beberapa penyempurnaan. Pertama, untuk mengimbangi
penekanannya pada proses berpikir, mereka mulai mendorong penggunaan intuisi
dan tebakan-tebakan. Kedua adanya upaya-upaya untuk menyesuaikan pelajaran
dengan perbedaan individu dan kebutuhan setempat. Ketiga, pemanfaatan fasilitas
dan sumber yang ada pada masyarakat.

B. Kurikulum Humanistik
1. Konsep dasar
Kurikulum humanistik dikembangkan oleh para ahli pendidikan
humanistik. Kurikulum ini berdasarkan konsep aliran pendidikan pribadi
(personalized education) yaitu John Dewey (Progressive Education) dan J.J.
Rousseau (Romantic Education). Aliran ini lebih memberikan tempat utama
kepada siswa. Mereka bertolak dari asumsi bahwa anak atau siswa adalah yang
pertama dan utama dalam pendidikan. la adalah subjek yang menjadi pusat
kegiatan pendidikan. Mereka percaya bahwa siswa mempunyai potensi, punya
kemampuan, dan kekuatan untuk berkembang. Para pendidik humanis juga
berpegang pada konsep Gestalt, bahwa individu atau anak merupakan satu

94
kesatuan yang menyeluruh. Pendidikan diarahkan kepada membina manusia yang
utuh bukan saja segi fisik dan intelektual tetapi juga segi sosial dan afektif (emosi,
sikap, perasaan, nilai, dan lain-lain).
Pandangan mereka berkembang sebagai reaksi terhadap pendidikan yang
lebih menekankan segi intelektual dengan peran utama dipegang oleh guru.
Pendidikan humanistik menekankan peranan siswa. Pendidikan merupakan suatu
upaya untuk menciptakan situasi yang permisif, rileks, akrab. Berkat situasi
tersebut anak mengembangkan segala potensi yang dimilikinya. Menurut Mc Neil
"The nezv humanists are self actualizers who see curriculum as a liberating
process that can meet the need for growth and personal integrity (John D. Mc
Neil, 1977, hlrn. 1). Tugas guru adalah menciptakan situasi yang permisif dan
mendorong siswa untuk mencari dan mengembangkan pemecahan sendiri.
Pendidikan mereka lebih menekankan bagaimana mengajar siswa
(mendorong siswa), dan bagaimana merasakan atau bersikap terhadap sesuatu.
Tujuan pengajaran adalah memperluas kesadaran diri sendiri dan mengurangi
kerenggangan dan keterasingan dari lingkungan. Ada beberapa aliran yang
termasuk dalam pendidikan humanistik yaitu pendidikan: Konfluen, Kritikisme
Radika I, dan Mistikisme modern.
Pendidikan konfluen menekankan keutuhan pribadi, individu harus
merespons secara utuh (baik segi pikiran, perasaan, maupun tindakan), terhadap
kesatuan yang menyeluruh dari lingkungan.
Kritikisme radikal bersumber dari aliran naturalisme atau romantisme
Rousseau. Mereka memandang pendidikan sebagai upaya untuk membantu anak
menemukan dan mengembangkan sendiri segala potensi yang dimilikinya.
Pendidikan merupakan upaya untuk menciptakan situasi yang memungkinkan
anak berkembang optimal. Pendidik adalah ibarat petani yang berusaha
menciptakan tanah yang gembur, air dan udara yang •ukup, terhindar dari
berbagai hama, untuk tumbuhnya tanaman yang penuh dengan berbagai potensi.
Dalam pendidikan tidak ada pemaksaan, yang ada adalah dorongan dan
rangsangan untuk berkembang

95
Mistikisme modern adalah aliran yang menekankan latihan dan
pengembangan kepekaan perasaan, kehalusan budi pekerti, melalui sensitivity
training, yoga, meditasi, dan sebagainya.

2. Kurikulurn konfluen
Kurikulum konfluen dikembangkan oleh para ahli pendidikan konfluen,
yang ingin menyatukan segi-segi afektif (sikap, perasaan, nilai) dengan segi-segi
kognitif (kemampuan intelektual). Pendidikan konfluen kurang menekankan
pengetahuan yang mengandung segi afektif). Menurut mereka kurikulum tidak
menyiapkan pendidikan tentang sikap, perasaan, dan nilai yang harus dimiliki
murid-murid. Kurikulum hendaknya mempersiapkan berbagai alternatif yang
dapat dipilih murid-murid dalam proses bersikap, berperasaan dan memberi
pertimbangan nilai. Murid-murid hendaknya diajak untuk menyatakan pilihan dan
mempertanggungjawabkan sikap-sikap, perasaan-perasaan, dan pertimbangan-
pertimbangan nilai yang telah dipilihnya.

3. Beberapa ciri kurikulum konfluen


Kurikulum konfluen mempunyai beberapa ciri utama yaitu:
a. Partisipasi. Kurikulum ini menekankan partisipasi murid dalam belajar.
Kegiatan belajar adalah belajar bersama, melalui berbagai bentuk aktivitas
kelompok. Melalui partisipasi dalam kegiatan bersama, murid-murid dapat
mengadakan perundingan, persetujuan, pertukaran kemampuan,
bertanggung jawab bersama, dan lain-lain. Ini menunjukkan ciri yang non-
otoriter dari pendidikan konfluen.
b. Integrasi. Melalui partisipasi dalam berbagai kegiatan kelompok terjadi
interaksi, interpenetrasi, dan integrasi dari pemikiran, perasaan dan juga
tindakan.
c. Relevansi. Isi pendidikan relevan dengan kebutuhan, mina t dan kehidupan
murid karena diambil dari dunia murid oleh murid sendiri. Hal demikian
sudah tentu akan lebih berarti bagi murid baik secara intelektual maupun
emosioanal.

96
d. Pribadi anak. Pendidikan ini memberi tempat utama pada pribadi anak.
Pendidikan adalah pengembangan pribadi, pengaktualisasian segala
potensi pribadi anak secara utuh.
e. Tujuan. Pendidikan ini bertujuan mengembangkan pribadi yang utuh, yang
serasi baik di dalam dirinya maupun dengan lingkungan secara
menyeluruh.
Dasar dari kurikulum konfluen adalah Psikologi Gestalt yang menekankan
keutuhan, kesatuan, keseluruhan. Teori yang mendukung pandangan ini adalah
Eksistensialisme yang memusatkan perhatiannya pada apa yang terjadi sekarang
di tempat ini. Apa yang menjadi isi kurikulum diukur oleh apakah hal itu
bermanfaat bagi kita sekarang? Apakah hal itu akan memperbaiki kehidupan kita
sekarang.
Prinsip pengajarannya menerapkan prinsip terapi Gestalt, yang
menekankan keterbukaan, kesadaran, keunikan, dan tanggung jawab pribadi. Hal-
hal di atas sangat esensial dalam perkembangan individu yang sehat, yang matang.
Pengajaran lebih menekankan kepada tanggung jawab pribadi daripada kompetisi.
Tidak ada jawaban yang salah atau benar dalam pengajaran konfluen. Melalui
latihan kesadaran/kepekaan perkembangan yang sehat akan tercapai, karena
dengan cara itu ia lebih sadar akan eksistensinya dan kemungkinannya untuk
berkembang.
Kurikulum konfluen menyatukan pengetahuan objektif dan subjektif,
berhubungan dengan kehidupan siswa dan bermanfaat baik bagi individu maupun
masyarakat. Hal itu sesuai dengan konsep Gestalt bahwa sesuatu itu dikatakan
berarti (penting - red) apabila bermanfaat bagi keseluruhan. Pendidikan konfluen
sangat mengutamakan kesatuan dari keseluruhan.

4. Metode-metode belajar konfluen


Para pengembang kurikulum konfluen telah menyusun kurikulum untuk
berbagai bidang pengajaran. Kurikulum tersebut mencakup tujuan, topic- topik
yang akan dipelajari, alat-alat pelajaran, dan buku teks. Pengajaran konfluen juga
telah tersusun dalam bentuk rencana-rencana pelajaran, unit- unit pelajaran yang
telah diujicobakan. Kebanyakan bahan tersebut diajarkan dengan teknik afektif.

97
George Issac Brown telah memberikan sekitar 40 macam teknik
pengajaran konfluen, di antaranya: dyads yang merupakan latihan komunikasi
afektif antara dua orang, fantasy body trips merupakan pemahaman tentang badan
dan diri individu, rituals yaitu suatu kegiatan untuk menciptakan kebiasaan,
kegiatan atau ritual baru.
Berbeda dengan pengembang kurikulum yang lain, para penyusun
kurikulum konfluen tidak menuntut para guru melaksanakan pengajaran seperti
yang mereka kerjakan. Mereka mengharapkan setiap guru mengembangkan kreasi
sendiri. Dalam menciptakan kreasi ini, yang terpenting mereka memahami tujuan
dan kegunaan kegiatan yang mereka ciptakan.
Dalam memilih kegiatan belajar beberapa cara dapat ditempuh. Pertama,
mengidentifikasi tema-tema atau topik-topik yang mengandung self judgment.
Untuk setiap tema atau topik hendaknya dipilih prosedur atau bentuk-bentuk
kegiatan atau teknik yang sesuai. Kedua, materi disajikan dalam bentuk yang
belum selesai (open ended), tema atau issue-iswre diharapkan muncul secara
spontan dari prosedur serta perlengkapan pengajaran yang ada. Cara yang kedua
ini menuntut keterbukaan dari peristiwa tetapi juga guru perlu mengusahakan
kerahasiaan.
Pengajaran humanistik memfokuskan proses aktualisasi din i (self actual-
ization). Setiap orang mempunyai self (aku = din) yang tidak selalu disadari,
tersembunyi atau tertutup. Aku atau diri ini perlu dibuka, atau diba- ngunkan
melalui pendidikan.
Kurikulum perlu merencanakan program untuk membantu para siswa
menemukan dan menampakan dirinya. Kurikulum humanistik dapat membantu
mereka memperlancar proses aktualisasi diri ini. Melalui berbagai kegiatan
pengajaran model humanistik para siswa dapat menyatakan din, berekspresi,
bereksperimen, berbuat, memperoleh umpan balik dan menemukan dirinya.
Menurut Abraham Maslow (1968, him. 685- 686) kita dapat belajar lebih banyak
tentang diri kita melalui pengujian respons-respons menuju puncak pengalaman
(peak experiences). Puncak pengalaman adalah pengalaman-pengalaman yang
membangkitkan rasa sayang, benci, cemas, duka, senang dsb. Menurut Maslow
puncak pengalaman ini merupakan awal dan juga akhir dari pendidikan.

98
Menurut Philip H. Phenix (1971, him. 271-283) kurikulum harus dapat
mengembangkan kesadaran dan mendorong kreativitas murid-murid. Bagi Phenix
kesadaran merupakan kunci perkembangan diri dalam membina hubungan dan
penycsuaian diri dengan orang lain, kelompok, budaya, dan lain-lain.

5. Karakteristik kurikulum humanistik


Kurikulum humanistik mempunyai beberapa karakteristik, berkenaan
dengan tujuan, metode, organisasi isi, dan evaluasi. Menurut para humanis,
kurikulum befungsi menyediakan pengalaman (pengetahuanred) berharga untuk
membantu memperlancar perkembangan pribadi mu- rid. Bagi mereka tujuan
pendidikan adalah proses perkembangan pribadi yang dinamis yang diarahkan
pada pertumbuhan, integritas, dan otonomi kepribadian, sikap yang sehat terhadap
diri sendiri, orang lain, dan belajar. Semua itu merupakan bagian dari cita-cita
perkembangan manusia yang teraktualisasi (self actualizing person). Seseorang
yang telah mampu mengakutalisasikan diri adalah orang yang telah mencapai
keseimbangan (harmoni) perkembangan seluruh aspek pribadinya baik aspek
kognitif, estetika, maupun moral. Seorang dapat bekerja dengan baik bila
memiliki karakter yang baik pula.
Kurikulum humanistik menuntut hubungan emosional yang baik antara
guru dan murid. Guru selain harus mampu menciptakan hubungan yang hangat
dengan murid, juga mampu menjadi sumber. Ia harus mampu memberikan materi
yang menarik dan mampu menciptakan situasi yang memperlancar proses belajar.
Guru harus memberikan dorongan kepada murid atas dasar saling percaya. Peran
mengajar bukan saja dilakukan oleh guru tetapi juga oleh murid. Guru tidak
memaksakan sesuatu yang tidak disengani murid.
Sesuai dengan prinsip yang dianut, kurikulum humanistik menekan- kan
integrasi, yaitu kesatuan perilaku bukan saja yang bersifat intelektual tetapi juga
emosional dan tindakan. Kurikulum humanistik juga menekankan keseluruhan.
Kurikulurn harus mampu memberikan penga- laman yang menyeluruh, bukan
pengalaman yang terpenggal-penggal. Kurikulum ini kurang menekankan
sekuens, karena dengan sekuens mu- rid-murid kurang mempunyai kesempatan
untuk memperluas dan memperdalam aspek-aspek perkembangannya.
Penyusunan sekuens dalam pengajaran yang sifatnya afektif, dilakukan oleh

99
Shiflett (1975, hlm. 121- 139) dengan langkah-langkah sebagai berikut.
a. Menyusun kegiatan yang dapat memunculkan sikap, minat atau perhatian
tertentu.
b. Memperkenalkan bahan-bahan yang akan dibahas dalam setiap kegiatan. Di
dalamnya tercakup topik-topik, bahan ajar serta kegiatan belajar yang akan
membantu siswa dalam merumuskan apa yang ingin mereka pelajari. Kegiatan
yang diutamakan adalah yang akan membangkitkan rasa ingin tahu dari
pemahaman.
c. Pelaksanaan kegiatan, para siswa diberi pengalaman yang menyenangkan baik
yang berupa gerakan-gerakan maupun penghayatan.
d. Penyempurnaan, pembahasan hasil-hasil yang telah dicapai, penyempurnaan
hasil serta upaya tindak lanjutnya.
Dalam evaluasi, kurikulum humanistik berbeda dengan yang biasa. Model
lebih mengutamakan proses daripada hasil. Kalau kurikulum yang hiasa terutama
subjek akademis mempunyai kriteria pencapaian, maka dalam kurikulum
humanistik tidak ada kriteria. Sasaran mereka adalah perkembangan anak supaya
menjadi manusia yang lebih terbuka, lebih berdiri sendiri. Kegiatan yang mereka
lakukan hendaknya bermanfaat bagi siswa. Kegiatan belajar yang baik adalah
yang memberikan pengalaman yang akan membantu para siswa memperluas
kesadaran akan dirinya dan orang lain dan dapat mengembangkan potensi-potensi
yang dimilikinya. l'onilaiannya bersifat subjektif baik dari guru maupun para
siswa.

C. Kurikulum Rekonstruksi Sosial


Kurikulum rekonstruksi sosial berbeda dengan model-model kurikulum
lainnya. Kurikulum ini lebih memusatkan perhatian pada problema- problema
yang dihadapinya dalam masyarakat. Kurikulum ini bersumber pada aliran
pendidikan interaksional. Menurut mereka pendidikan bukan upaya sendiri,
melainkan kegiatan bersama, interaksi, kerja sama. Kerja sama atau interaksi
bukan hanya terjadi antara sisvva dengan guru, tetapi juga antara siswa dengan
siswa, siswa dengan orang-orang di lingkungan- nya, dan dengan sumber belajar

100
lainnya. Melalui interaksi dan kerja sama ini siswa berusaha memecahkan
problema-problema yang dihadapinya dalam masyarakat menuju pembentukan
masyarakat yang lebih baik.
Pandangan rekonstruksi sosial di dalam kurikulum dimulai sekitar tahun
1920-an. Harold Rug mulai melihat dan menyadarkan kawan- kawannya bahvva
selama ini terjadi kesenjangan antara kurikulum dengan masyarakat. Ia
menginginkan para siswa dengan pengetahuan dan konsep- konsep baru yang
diperolehnya dapat mengidentifikasi dan memcahkan masalah-masalah sosial.
Setelah diharapkan dapat menciptakan masya- rakat baru yang lebih stabil.
Theodore Brameld, pada awal tahun 1950-an menyampaikan gagasannya
tentang rekonstruksi sosial. Dalam masyarakat demokratis, seluruh warga
masyarakat harus turut serta dalam perkembangan dana pembaharuan masyarakat.
Untuk melaksanakan hal itu sekolah mempunyai posisi yang cukup penting.
Sekolah bukan saja dapat membantu individu memperkembangkan kemampuan
sosialnya, tetapi juga dapat membantu bagaimana berpartisipasi sebaik-baiknya
dalam kegiatan sosial.
Para rekonstruksionis sosial tidak mau terlalu menekankan kebebasan
individu. Mereka ingin meyakinkan murid-murid bagaimana masyarakat membuat
warganya seperti yang ada sekarang dan bagaimana masyarakat metnenuhi
kebutuhan pribadi warganya melalui konsensus sosial. Brameld juga ingin
memberikan keyakinan tentang pentingnya perubahan sosial. Perubahan sosial
tersebut harus dicapai melalui prosedur demokrasi. Para rekonstruksionis sosial
menentang intimidasi, menakut-nakuti dan kompromi semu. Mereka mendorong
agar para siswa mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masalah-masalah
sosial yang mendesak (crucial) dan kerja sama atau bergotong royong untuk
memecahkannya.

1. Desain kurikulum rekonstruksi sosial


Ada beberapa ciri dari desain kurikulum ini.
a. Asumsi. Tujuan utama kurikulum rekonstruksi sosial adalah menghadapkan
para siswa pada tantangan, ancaman, hambatan-hambatan atau gangguan-
gangguan yang dihadapi manusia. Tantangan-tantangan tersebut merupakan

101
bidang garapan studi sosial, yang perlu didekati dari bidang-bidang lain
seperti ekonomi, sosiologi psikologi, estetika, bahkan pengetahuan alam, dan
matematika. Masalah-masalah masyarakat bersifat universal dan hal ini
dapat dikaji dalam kurikulum.
b. Masalah-masalah sosial yang mendesak. Kegiatan belajar dipusatkan pada
masalah-masalah sosial yang mendesak. Masalah-masalah tersebut
dirumuskan dalam pertanyaan, seperti: Dapatkah kehidupan seperti sekarang
ini memberikan kekuatan untuk menghadapi ancaman ancaman yang akan
mengganggu integritas kemanusiaan? Dapatkah tata ekonomi dan politik
yang ada dibangun kembali agar setiap orang dapat memanfaatkan sumber-
sumber daya alam dan cumber daya manusia seadil mungkin. Pertanyaan-
pertanyaan tersebut mengundang pengungkapan lebih mendalam, bukan saja
dari buku-buku dan kegiatan laboratorium tetapi juga dari kehidupan nyata
dalanl masyarakat.
c. Pola-pola organ isasi. Pada tingkat sekolah menengah, pola organisasi
kurikulum disusun seperti sebuah roda. Di tengah-tengahnya sebagai poros
dipilih sesuatu masalah yang menjadi tema utama dan dibahas secara pleno.
Dan tema utama dijabarkan sejumlah topik yang dibahas dalam diskusi-
diskusi kelompok, latihan-latihan, kunjungan dan lain- lain. Topik-topik
dengan berbagai kegiatan kelompok ini merupakan jar-jar. Semua kegiatan
jar-jari tersebut dirangkum menjadi satu kesatuan sebagai bingkai atau velk.
BAGAN 5. Pola desain kurikulum rekonstruksi sosial

102
1. Komponen-komponen kurikulum
Kurikulum rekonstruksi sosial memiliki komponen-komponen yang sama
dengan model kurikulum lain tetapi isi dan bentuk-bentuknya berbeda.
a) Tujuan dan isi kurikulum. Tujuan program pendidikan setiap tahun berubah.
Dalam program pendidikan ekonomi-politik, umpamanya untuk tahun pertama
tujuannya membangun kembali dunia ekonomipolitik. Kegiatan yang
dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut adalah (1) mengadakan survai
secara kritis terhadap masyarakat (2) mengadakan studi tentang hubungan
antara keadaan ekonomi lokal dan ekonomi nasional serta dunia, (3)
mengadakan studi tentang latar belakang nkloris dan kecenderungan-
kecenderungan perkembangan ekonomi, Illihungannya dengan ekonomi lokal,
(4) mengkaji praktik politik dalam Ind,mT.Innyo dengan faktor ekonomi, (5)
memantapkan rencana perubahan praktik politik, (6) mengevaluasi semua
rencana dengan criteria, apakah telah mempengaruhi kepentingan sebagian
besar orang.
b) Metode. Dalam pengajaran rekonstruksi social para pengembang kurikulum
berusaha mencari keselarasan antara tujuan- tujuan nasional dengan tujuan
siswa. Guru-guru berusaha membantu para siswa menemukan minat dan
kebutuhannya. Sesuai dengan minat masingmasing siswa, baik dalam kegiatan
pleno maupun kelompok-kelompok berusaha memecahkan masalah sosial
yang dihadapinya. Kerja sama baik antara individu dalam kegiatan kelompok,
maupun antarkelompok dalam kegiatan pleno sangat mewarnai metode
rekonstruksi sosial. Kerja sama ini juga terjadi antara para siswa dengan
manusia sumber dari masyarakat. Bagi rekonstruksi sosial, belajar merupakan
kegiatan bersama, ada kebergantungan antara seorang dengan yang lainnya.
Dalam kegiatan belajar tidak ada kompetisi yang ada adalah kooperasi atau
kerja sama, saling pengertian dan konsensus. Anakanak sejak sekolah dasar
pun diharuskan turut serta dalam survai kemasyarakatan serta kegiatan-
kegiatan sosial lainnya. Untuk kelaskelas tinggi selain mereka dihadapkan
kepada situasi nyata juga mereka diperkenalkan dengan situasi-situasi ideal.
Dengan hal itu diharapkan para siswa dapat menciptakan model-model kasar
dari situasi yang akan datang.

103
c) Evaluasi. Dalam kegiatan evaluasi para siswa juga libatkan. Keterlibatan
mereka terutama dalam memilih, menyusun, dan menilai bahan yang akan
diujikan. Soal-soal yang akan diujikan dinilai lebih dulu baik ketepatan
maupun keluasan isinya, juga keampuhan menilai pencapaian tujuan-tujuan
pembangunan masyarakat yang sifatnya kualitatif. Evaluasi tidak hanya
menilai apa yang telah dikuasai siswa, tetapi juga menilai pengaruh kegiatan
sekolah terhadap masyarakat. Pengaruh tersebut terutama menyangkut
perkembangan masyarakat dan peningkatan taraf kehidupan masyarakat.

2. Pelaksanaan pengajaran rekonstruksi sosial


Pengajaran rekonstruksi sosial banyak dilaksanakan di daerah-daerah yang
tergolong belum maju dan tingkat ekonominya juga belum tinggi. Pelaksanaan
pengajaran ini diarahkan untuk meningkatkan kondisi kehidupan mereka. Sesuai
dengan potensi yang ada dalam masyarakat, sekolah mempelajari potensi-potensi
tersebut, dengan bantuan biaya dari pemerintah sekolah berusaha
mengembangkan poterisi tersebut. Di daerah pertanian umpamanya sekolah
mengembangkan bidang pertanian dan peternakan, di daerah industri
mengembangkan bidang-bidang industri.
Salah satu badan yang banyak mengembangkan baik teori maupun praktik
pengajaran rekonstruksi sosial adalah Paulo Freize. Mereka banyak membantu
pengembangan daerah-daerah di Amerika Latin. Untuk memerangi kebodohan
dan keterbelakangan mereka menggalakkan gerakan budaya akal budi
(conscientization). Conscientization merupakan suatu proses pendidikan atau
pengajaran di mana siswa tidak diperlakukan sebagai penerima tetapi sebagai
pelajar yang aktif. Mereka berusaha membuka diri, memperluas kesadaran tentang
realitas sosial budaya dan dengan segala kemampuannya berupaya mengubah dan
meningkatkannya.
Sekolah berusaha memberikan penerangan dan melatih kemampuan untuk
melihat dan mengatasi hambatan-hambatan yang dihadapi, meningkatkan
kemampuan memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. Dengan gerakan
conscientization mereka membantu masyarakat memahami fakta-fakta dan
masalah-masalah yang dihadapinya dalam konteks kondisi masyarakat mereka.
Keterbatasan dan potensi yang mereka miliki. Bertolak dari kenyataan-kenyataan

104
tersebut mereka membina diri dan membangun masyarakat.
Harold G. Shane seorang profesor dari Universitas Indiana Amerika
Serikat, mewakili teman-temannya para Futurolog menggunakan perencanaan
masa yang akan datang (future planning) sebagai dasar penyusunan kurikulum. Ia
menggalakkan perencanaan masa akan datang, dari bukan perencanaan untuk
masa yang akan datang. Shane menegaskan peranan individu dalam menemukan
masa depannya sendiri, mereka tidak dapat melepaskan din dari perkembangan
tetapi harus menyesuaikannya.
Shane menyarankan para pengembang kurikulum, agar mempelajari
kecenderungan (trends) perkembangan. Kecenderungan utama adalah
perkembangan teknologi dengan berbagai dampaknya terhadap kondisi dan
perkembangan masyarakat. Kecenderungan lain adalah perkembangan ekonomi,
politik, sosial, dan budaya. Dalam perkembangan sosial yang perlu mendapatkan
perhatian utama adalah perkembangan manusia, baik bagai individu maupun
dalam interaksinya dengan yang lain. Untuk iiiengidentifikasi dan menganalisis
kecenderungan-kecenderungan tersebut diperlukan bantuan dari para ahli disiplin
ilmu. Dalam pemecahan problema sosial dan membuat kebijaksanaan sosial
diperlukan musyawarah tiengan warga masyarakat.
Para ahli kurikulum yang berorientasi ke masa depan menyarankan agar isi
kurikulum difokuskan pada: penggalian sumber-sumber alam dan htikan alam,
populasi, kesejahteraan masyarakat, masalah air, akibat pertambahan penduduk,
ketidakseragaman pemanfaatan sumber-sumber dan lain-lain.
Pandangan rekonstruksi sosial berkembang karena keyakinannya pada
kemampuan manusia untuk membangun dunia yang lebih baik. Juga
penekanannya tentang peranan ilmu dalam memecahkan masalah-masalah sosial.
Beberapa kritikus pendidikan menilai pandangan ini sukar diterapkan langsung
dalam kurikulum (pendidikan). Penyebabnya adalah interpretasi para ahli tentang
perkembangan dan masalah-masalah sosial berbeda. Kemampuan warga untuk
ikut serta dalam pemecahan masalah juga bervariasi.

105
D. Teknologi dan Kurikulum
Abad dua puluh ditandai dengan perkembangan teknologi yang sangat
pesat. Perkembangan teknologi mempengaruhi setiap bidang dan aspek
kehidupan, termasuk bidang pendidikan. Sejak dahulu teknologi telah diterapkan
dalam pendidikan, tetapi yang digunakan adalah teknologi sederhana seperti
penggunaan papan tulis dan kapur, pena dan tinta, sabak dan grip, dan lain-lain.
Dewasa ini sesuai dengan tahap perkembangannya yang digunakan adalah
teknologi maju, seperti audio dan video casssette, overhead projector, film slide,
dan motion film, mesin pengajaran, komputer, CD-rom dan internet.
Sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi, di bidang pendidikan
berkembang pula teknologi pendidikan. Aliran ini ada persamaannya dengan
pendidikan klasik, yaitu menekankan isi kurikulum, tetapi diarahkan bukan pada
pemeliharaan dan pengawetan ilmu tersebut tetapi pada penguasaan kompetensi.
Suatu kompetensi yang besar diuraikan menjadi kompetensi yang lebih
sempit/khusus dan akhirnya menjadi perilaku-perilaku yang dapat diamati atau
diukur.
Penerapan teknologi dalam bidang pendidikan khususnya kurikulum
adalah dalam dua bentuk, yaitu bentuk perangkat lunak (software) dan perangkat
keras (hardware). Penerapan teknologi perangkat keras dalam pendidikan dikenal
sebagai teknologi alat (tools technology), sedangkan penerapan teknologi
perangkat lunak disebut juga teknologi sistem (system technology).
Teknologi pendidikan dalam arti teknologi alat, lebih menekankan kepada
penggunaan alat-alat teknologis untuk menunjang efisiensi dan efektivitas
pendidikan. Kurikulumnya berisi rencana-rencana penggunaan berbagai alat dan
media, juga model-model pengajaran yang banyak melibatkan penggunaan alat.
Contoh-contoh model pengajaran tersebut adalah: pengajaran dengan bantuan film
dan video, pengajaran berprogram, mesin pengajaran, pengajaran modul.
Pengajaran dengan bantuan komputer, dan lain-lain.
Dalam arti teknologi sistem, teknologi pendidikan menekankan kepada
penyusunan program pengajaran atau rencana pelajaran dengan menggunakan
pendekatan sistem. Program pengajaran ini bisa semata-mata program sistem, bisa

106
program sistem yang ditunjang dengan alat dan media, dan bisa juga program
sistem yang dipadukan dengan alat dan media pengajaran.
Pada bentuk pertama, pengajaran tidak membutuhkan alat dan med id yang
canggih, tetapi bahan ajar dan proses pembelajaran disusun secai sistem. Alat dan
media digunakan sesuai dengan kondisi tetapi tidal terlalu dipentingkan. Pada
bentuk kedua, pengajaran disusun secara system. Alat dan media digunakan sesuai
dengan kondisi tetapi tidak terlalu dipentingkan. Pada bentuk kedua, pengajaran
disusun secara system dan ditunjang dengan penggunaan alat dan media
pembelajaran. Penggunaan alat dan media belum terintegrasi dengan program
pembelajaran, bersifat "on-off', yaitu bila digunakan alat dan media akan lebih
baik, tetapi bila tidak menggunakan alat pun pengajaran masih tetap berjalan.
Pada bentuk ketiga program pengajaran telah disusun secara terpadu antara bahan
dan kegiatan pembelajaran dengan alat dan media. Bahan ajar telah disusun dalam
kaset audio, video atau film, atau diprogramkan dalam komputer. Pembelajaran
tidak bisa berjalan tanpa melibatkan penggunaan alat-alat dan program tersebut.

1. Beberapa ciri kurikulum teknologis


Kurikulum yang dikembangkan dari konsep teknologi pendidikan,
memiliki beberapa ciri khusus, yaitu:
a. Tujuan. Tujuan diarahkan pada penguasaan kompetensi, yang dirumuskan
dalam bentuk perilaku. Tujuan-tujuan yang bersifat umum yaitu kompetensi
dirinci menjadi tujuan-tujuan khusus, yang disebut objektif atau tujuan
instruksional. Objektif ini menggambarkan perilaku, perbuatan atau
kecakapan-keterampilan yang dapat diamati atau diukur.
b. Metode. Metode yang merupakan kegiatan pembelajaran sering dipandang
sebagai proses mereaksi terhadap perangsang-perangsang yang diberikan dan
apabila terjadi respons yang diharapkan maka respons tersebut diperkuat.
Tujuan-tujuan pengajaran telah ditentukan sebelumnya. Pengajaran bersifat
individual, tiap siswa menghadapi serentetan tugas yang harus dikerjakannya,
dan maju sesuai dengan kecepatan masing-masing. Pada saat tertentu ada tugas-
tugas yang harus dikerjakan secara kelompok. Setiap

107
siswa harus menguasai secara tuntas tujuan-tujuan program pengajaran.
Pelaksanaan pengajaran mengikuti langkah-langkah sebagai berikut.
1) Penegasan tujuan. Para siswa diberi penjelasan tentang pentingnya bahan
yang harus dipelajari. Sebagai tanda menguasai bahan mereka harus
menguasai seara tuntas tujuan-tujuan dari suatu program.
2) Pelaksanaan pengajaran. Para siswa belajar secara individual melalui media
buku-buku ataupun media elektronik. Dalam kegiatan belajarnya mereka
dapat menguasai keterampilan-keterampilan dasar ataupun perilaku-perilaku
yang dinyatakan dalam tujuan program. Mereka belajar dengan cara
memberikan respons secara cepat terhadap persoalan-persoalan yang
diberikan.
3) Pengetahuan tentang hasil. Kemajuan siswa dapat segera diketahui oleh
siswa sendiri, sebab dalam model kurikulum ini umpan balik selalu
diberikan. Para siswa dapat segera mengetahui apa yang telah mereka kuasai
dan apa yang masih harus dipelajari lebih serius.

c. Organisasi Indian ajar. Bahan ajar atau isi kurikulum banyak diambil dari
disiplin ilmu, tetapi telah diramu sedemikian rupa sehingga mendukung
penguasaan sesuatu kompetensi. Bahan ajar atau kompetensi yang luas/besar
dirinci menjadi bagian-bagian atau subkompetensi yang lebih kecil, yang
rnenggambarkan objektif. Urutan dari objektifobjektif ini pada dasarnya
menjadi inti organisasi bahan.
d. Evaluasi. Kegiatan evaluasi dilakukan pada setiap saat, pada akhir suatu
pelajaran, suatu unit ataupun semester. Fungsi evaluasi ini bermacam-
macam, sebagai umpan balik bagi siswa dalam penyempurnaan penguasaan
suatu satuan pelajaran (evaluasi formatif), umpan balik bagi siswa pada akhir
suatu program atau semester (evaluasi sumatif). Juga dapat menjadi umpan
balik bagi guru dan pengembang kurikulum untuk penyempurnaan
kurikulum. Evaluasi yang mereka gunakan umumnya berbentuk tes objektif.
Sesuai dengan landasan pemikiran mereka, bahwa model pengajarannya
menekankan sifat ilmiah, bentuk ini tes dipandang yang paling cocok.

108
Program pengajaran teknologis sangat menekankan efisiensi dan
efektivitas. Program dikembangkan melalui beberapa kegiatan uji coba dengan
sampel-sampel dari suatu populasi yang sesuai, direvisi beberapa kali sampai
standar yang diharapkan dapat dicapai. Dengan model pengajaran ini tingkat
penguasaan siswa dalam standar konvensional jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan model-model lain. Apalagi kalau digunakan program-program yang lebih
berstruktur seperti pengajaran berprogram, pengajaran modul atau pengajaran
dengan bantuan video dan komputer, yang dilengkapi dengan sistem umpan balik
dan bimbingan yang teratur dari dapat mempercepat dan meningkatkan
penguasaan siswa.
Meskipun memiliki kelebihan-kelebihan, kurikulum teknologis tidak
terlepas dari beberapa keterbatasan atau kelemahan. Model ini terbatas
kemampuannya untuk mengajarkan bahan ajar yang kompleks atau membutuhkan
penguasaan tingkat tinggi (analisis, sintetis, evaluasi) juga bahan-bahan ajar yang
bersifat afektif. Beberapa percobaan menunjukkan kemampuan siswa untuk
mentransfer hasil belajar cukup rendah. Pengajaran teknologis sukar untuk dapat
melayani bakat-bakat siswa belajar dengan metode-metode khusus. Metode
mengajar mereka cenderung seragam. Keberhasilan belajar siswa juga sangat
dipengaruhi oleh sikap mereka, bila sikapnya positif maka siswa akan berhasil,
tetapi bila sikapnya negatif, tingkat penguasaannya pun relatif rendah. Masalah
kebosanan juga berpengaruh terhadap proses belajar.

2. Pengembangan kurikulum
Dalam pengembangan kurikulum model lama, menurut para ahli teknologi
pendidikan, penyusunan kurikulum, penyusunan buku-buku serta perangkat
kurikulum lainnya lebih bersifat seni dan didasarkan atas kepentingan politik
daripada landasan-landasan ilmiah dan teknologis. Pengembangan kurikulum
diarahkan pada pencapaian nilai-nilai umum, konsep-konsep, masalah dan
keterampilan yang akan menjadi isi kurikulum disusun dengan fokus pada nilai-
nilai tadi.
Pengembangan kurikulum teknologis berpegang pada beberapa kriteria,
yaitu: 1) Prosedur pengembangan kurikulum dinilai dan disempurnakan oleh
pengembang kurikulum yang lain, 2) Hasil pengembangan terutama yang

109
berbentuk model adalah yang bisa diuji coba ulang, dan hendaknya memberikan
hasil yang sama.
Inti dari pengembangan kurikulum teknologis adalah penekanan pada
kompetensi. Pengembangan dan penggunaan alat dan media pengajaran bukan
hanya sebagai alat bantu tetapi bersatu dengan program pengajaran dan ditujukan
pada penguasaan kompetensi tertentu.
Pengembangan kurikulum ini membutuhkan kerjasama dengan para
penyusun program dan penerbit media elektronik dan media cetak. Di pihak lain
harus dicegah jangan sampai pengembangan kurikulum ini menjadi objek bisnis.
Pengembangan pengajaran yang betul-betul berstruktur dan bersatu dengan alat
dan media membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Inilah hambatan utama
pengembangan kurikulum ini, terutama bagi sekolah atau daerah-daerah yang
kemampuan finansialnya masih rendah.
Pemecahan masih dapat dilakukan dengan menerapkan model kurikulum
teknologis yang lebih menekankan pada teknologi sistem dan kurang menekankan
pada teknologi alat. Dengan pendekatan ini biaya dapat lebih ditekan, di samping
memberi kesempatan kepada pelaksana pengajaran, terutama guru-guru untuk
mengembangkan sendiri program pengajarannya. Model ini di Indonesia dikenal
dengan nama Satuan Pelajaran dalam lingkungan Pendidikan Dasar dan
Menengah atau Satuan Acara Perkuliahan pada Perguruan Tinggi, sebagai
bagman dari. Sistem Instruksional atau Desain Instruksional.
Pengembangan kurikulum teknologis terutama yang menekankan
teknologi alat, perlu mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, formulasi perlu
dirumuskan terlebih dahulu apakah pengembangan alat atau media tersebut benar-
benar diperlukan. Hal ini menyangkut pasaran. Kedua spesifikasi, diperlukan
adanya spesifikasi dari alat atau media yang akan dikembangkan, baik dilihat dari
segi kegunaannya maupun ketepatan penggunaannya.
Spesifikasi juga meliputi spesifikasi situasi lingkungan tempat belajar,
standar perilaku belajar, serta keterampilan-keterampilan untuk mencapai tujuan.
Ketiga prototipe, sekuens-sekuens pengajaran perlu diujicobakan dalam bentuk
prototipe-prototipe, demikian juga format-format media, dan organisasi. Keempat

110
percobaan pertama, unit-unit pengajaran diujicobakan pada sejumlah sampel
siswa untuk mengetahui keberhasilan dan kelemahannya. Data tentang kebaikan
dan kekurangan-kekurangan sangat diperlukan bagi penyempurnaan. Kelima
mencoba hasil, hasil dari pengembangan dicoba diterapkan di dalam sistem
pengajaran yang berlaku. Proses pelaksanaan, hasil dan kesulitan-kesulitan yang
dihadapi dicatat sebagai umpan balik bagi penyempurnaan selanjutnya.

111
BAB VI
ANATOMI DAN DESAIN KURIKULUM

Pada bab-bab sebelum ini telah dikemukakan bahwa terdapat variasi dalam
mendepinisikan kurikulum. Ada yang memandangnya secara sempit, yaitu
kurikulum sebagai kumpulan mata pelajaran atau bahan ajar. Ada yang
mengartikannya secara luas, meliputi semua pengalaman yang diperoleh siswa
karena pengarahan-bimbingan dan tanggung jawab sekolah. Kurikulum juga
diartikan sebagai dokumen tertulis dari suatu rencana atau program pendidikan
(written curriculum), dan juga sebagai pelaksanaan dari rencana di atas (actual
curriculum). Tidak semua yang ada dalam kurikulum tertulis, kemungkinan
dilaksanakan di kelas.
Kurikulum dapat mencakup lingkup yang sangat luas, yaitu sebagai
program pengajaran pada suatu jenjang pendidikan, dan dapat pula menyangkut
lingkup yang sangat sempit, seperti program pengajaran suatu mata pelajaran
untuk beberapa jam pelajaran. Apakah dalam lingkup yang luas ataupun sempit,
kurikulum membentuk desain yang menggambarkan pola organisasi dari
komponen-komponen kurikulum dengan perlengkapan penunjangnya.

A. Komponen-Komponen Kurikulum
Kurikulum dapat diumpamakan sebagai suatu organisme manusia ataupun
binatang, yang memiliki susunan anatomi tertentu. Unsur atau komponen-
komponen dari anatomi tubuh kurikulum yang utama adalah: tujuan, isi atau
materi, proses atau sistem penyampaian dan media, serta evaluasi. Keempat
komponen tersebut berkaitan erat satu sama lain.
Suatu kurikulum harus memiliki kesesuaian atau relevansi. Kesesuaian ini
meliputi dua hal. Pertama kesesuaian antara kurikulum dengan tuntutan,
kebutuhan, kondisi, dan perkembangan masyarakat. Kedua kesesuaian
antarkomponen-komponen kurikulum, yaitu isi sesuai dengan tujuan, proses
sesuai dengan isi dan tujuan, demikian juga evaluasi sesuai dengan proses, isi dan
tujuan kurikulum.

112
Telah dikemukakan bahwa, dalam kurikulum atau pengajaran, tujuan
memegang peranan penting, akan mengarahkan semua kegiatan pengajaran dan
mewarnai komponen-komponen kurikulum lainnya. Tujuan kurikulum
dirumuskan berdasarkan dua hal. Pertama perkembangan tuntutan, kebutuhan dan
kondisi masyarakat. Kedua, didasari oleh pemikiran-pemikiran dan terarah pada
pencapaian nilai-nilai filosofis, terutama falsafah negara. Kita mengenal beberapa
kategori tujuan pendidikan, yaitu tujuan umum dan khusus, jangka panjang,
menengah, dan jangka pendek.
Dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah 1975/1976 dikenal
kategori tujuan sebagai berikut. Tujuan pendidikan nasional merupakan tujuan
jangka panjang, tujuan ideal pendidikan bangsa Indonesia. Tujuan institusional,
merupakan sasaran pendidikan sesuatu lembaga pendidikan. Tujuan kurikuler,
adalah tujuan yang ingin dicapai oleh sesuatu program studi. Tujuan instruksional
yang merupakan target yang harus dicapai oleh sesuatu mata pelajaran. Yang
terakhir ini, masih dirinci lagi menjadi tujuan instruksional umum dan khusus atau
disebut juga objektif, yang merupakan tujuan pokok bahasan. Tujuan pendidikan
nasional yang berjangka panjang merupakan suatu tujuan pendidikan umum,
sedangkan tujuan isntruksional yang berjangka waktu cukup pendek merupakan
tujuan yang bersifat khusus. Tujuan-tujuan khusus dijabarkan dari sasaran-sasaran
pendidikan yang bersifat umum yang biasanya abstrak dan luas, menjadi sasaran-
sasaran khusus yang lebih konkret, sempit, dan terbatas.
Dalam kegiatan belajar-mengajar di-dalam kelas, tujuan-tujuan khusus
lebih diutamakan, karena lebih jelas dan mudah pencapaiannya. Dalam
mempersiapkan pelajaran, guru menjabarkan tujuan mengajarnya dalam bentuk
tujuan-tujuan khusus atau objectives yang yang bersifat operasional. Tujuan
demikian akan menggambarkan "what will the student he able to do as a result of
the teaching that he was unable to do before" (Rowntree, 1974: 5). Mengajar
dalam kelas lebih menekankan tujuan khusus, sebab hal itu akan dapat
memberikan gambaran yang lebih konkret, dan menekankan pada perilaku siswa,
sedang perumusan tujuan umum lebih bersifat abstrak, pencapaiannya
memerlukan waktu yang lebih lama dan lebih sukar diukur.

113
Tujuan-tujuan mengajar dibedakan atas beberapa kategori, sesuai dengan
perilaku yang menjadi sasarannya. Gage dan Briggs mengemukakan lima kategori
tujuan, yaitu intellectual skills, cognitive strategies, verbal information, motor
skills and attitudes (1974, hlm. 23-24). Bloom mengemukakan tiga kategori tujuan
mengajar sesuai dengan domain-domain perilaku individu, yaitu domain kognitif,
afektif, dan psikomotor. Domain kognitif berkenaan dengan penguasaan
kemampuan-kemampuan intelektual atau berpikir. Domain afektif berkenaan
dengan penguasaan dan pengembangan perasaan, sikap, minat, dan nilai-nilai.
Domain psikomotor menyangkut penguasaan dan pengembangan keterampilan-
keterampilan motorik.
Tujuan-tujuan khusus mengajar juga memiliki tingkat kesukaran yang
berbeda-beda. Bloom, (1975) membagi domain kognitif atas enam tingkatan dari
yang paling rendah, yaitu: pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis,
dan evaluasi. Untuk domain afektif Krathwohl dan kawan-kawan (1974)
membaginya atas lima tingkatan yang juga berjenjang, yaitu: menerima,
merespons, menilai, mengorganisasi nilai, dan karakterisasi nilai-nilai. Untuk
domain psikomotor Anita Harrow (1971) membaginya atas enam jenjang, yaitu:
gerakan refleks, gerakan-gerakan dasar, kecakapan mengamati, kecakapan
jasmaniah, gerakan-gerakan keterampilan dan komunikasi yang
berkesinambungan.
Perumusan tujuan mengajar yang berbentuk tujuan khusus (objective),
memberikan beberapa keuntungan:
a. Tujuan khusus memudahkan dalam mengkomunikasikan maksud kegiatan
mengajar-belajar kepada siswa. Berdasarkan penelitian Mager dan Clark
(1963) siswa yang mengetahui tujuan-tujuan khusus suatu pokok bahasan,
diberikan referensi dan sumber yang memadai, dapat belajar sendiri dalam
waktu setengah dari waktu belajar dalam kelas biasa.
b. Tujuan khusus, membantu memudahkan guru-guru memilih dan
menyusun bahan ajar.
c. Tujuan khusus memudahkan guru menentukan kegiatan belajar dan media
mengajar.

114
d. Tujuan khusus memudahkan guru mengadakan penilaian. Dengan tujuan
khusus guru lebih mudah menentukan bentuk tes, lebih mudah
merumuskan butir tes dan lebih mudah menentukan kriteria pen-
capaiannya.
Di samping keuntungan-keuntungan di atas pengembangan tujuantujuan
mengajar yang bersifat khusus menghadapi beberapa kesukaran, yaitu: 1) Sukar
menyusun tujuan-tujuan khusus untuk domain afektif, 2) Sukar menyusun tujuan-
tujuan khusus pada tingkat tinggi. Untuk mengatasi kedua kesukaran di atas
diperlukan keahlian, latihan dan pengalaman yang mencukupi dari guru-guru.
Kekurangan keahlian, latihan dan pengalaman akan membawa guru-guru pada
perumusan tujuan-tujuan yang bertaraf rendah, yang mudah diukur. Kelemahan di
atas akan menyebabkan penyusunan tujuan-tujuan khusus bersifat mekanistis,
dengan jumlah tujuan yang sangat banyak. Bagaimana perumusan sesuatu tujuan
khusus atau objective yang baik?
Beberapa ahli seperti Mager (1962), Banathy (1968), Rowntree (1974),
Gagne (1974), De Cecco (1977) dan Davies (1981) sepakat bahwa, tujuan khusus
merupakan suatu perilaku yang diperlihatkan siswa pada akhir suatu kegiatan
belajar. Ahli-ahli di atas juga memberikan beberapa spesifikasi dari tujuan-tujuan
mengajar khusus, yaitu:
a. Menggambarkan apa yang diharapkan dapat dilakukan oleh siswa, dengan:
1) menggunakan kata-kata kerja yang menunjukkan tingkah laku yang dapat
diamati, 2) menunjukkan stimulus yang membangkitkan tingkah laku siswa,
3) memberikan pengkhususan tentang sumber-sumber yang dapat digunakan
siswa dan orang-orang yang dapat diajak bekerjasama.
b. Menunjukkan mutu tingkah laku yang diharapkan dilakukan oleh siswa,
dalam bentuk: 1) ketepatan atau ketelitian respons, 2) kecepatan, panjangnya
dan frekeunsi respons.
c. Menggambarkan kondisi atau lingkungan yang menunjang tingkah laku
siswa, berupa: 1) kondisi atau lingkungan fisik, 2) kondisi atau lingkungan
psikologis.

115
2. Bahan ajar
Siswa belajar dalam bentuk interaksi dengan lingkungannya, lingkungan
orang-orang, alat-alat dan ide-ide. Tugas utama seorang guru adalah menciptakan
lingkungan tersebut, untuk mendorong siswa melakukan interaksi yang produktif
dan memberikan pengalaman belajar yang dibutuhkan. Kegiatan dan lingkungan
demikian dirancang dalam suatu rencana mengajar, yang mencakup komponen-
komponen: tujuan khusus, sekuens bahan ajaran, strategi mengajar, media dan
sumber belajar, serta evaluasi hasil mengajar. Karena perumusan tujuan khusus
strategi, dan evaluasi hasil mengajar dibahas secara tersendiri, maka dalam bagian
ini yang akan diuraikan hanya sekuens bahan ajar.

a. Sekuens bahan ajar


Untuk mencapai tiap tujuan mengajar yang telah ditentukan diperlukan
hahan ajar. Bahan ajar tersusun atas topik-totpik dan sub-subtopik tertentu. Hap
topik atau subtopik mengandung ide-ide pokok yang relevan dengan tujuan yang
telah ditetapkan. Topik-topik atau sub-subtopik tersebut terusun sekuens tertentu
yang membentuk suatu sekuens bahan ajar.
Ada beberapa cara untuk menyusun sekuens bahan ajar, yaitu:
1) Sekuens kronologis. Untuk menyusun bahan ajar yang mengandung urutan
waktu, dapat digunakan sekuens kronologis. Peristiwaperistiwa sejarah,
perkembangan historis suatu institusi, penemuanpenemuan ilmiah dan
sebagainya dapat disusun berdasarkan sekuens kronologis.
2) Sekuens kausal. Masih berhubungan erat dengan sekuens kronologis adalah
sekuens kausal. Siswa dihadapkan pada peristiwa-peristiwa atau situasi yang
menjadi sebab atau pendahulu dari sesuatu peristiwa atau situasi lain. Dengan
mempelajari sesuatu yang menjadi sebab atau pendahulu para siswa akan
menemukan akibatnya. Menurut Rowntree (1974: 75) "sekuens kausal cocok
untuk menyusun bahan ajar dalam bidang meteorologi dan geomorfologi".
3) Sekuens struktural. Bagian-bagian bahan ajar suatu bidang studi telah
mempunyai struktur tetentu. Penyusunan sekuens bahan ajar bidang studi
tersebut perlu disesuaikan dengan strukturnya. Dalam fisika tidak mungkin
mengajarkan alat-alat optik, tanpa terlebih dahulu mengajarkan pemantulan

116
dan pembiasan cahaya, dan pemantulan dan pembiasan cahaya tidak mungkin
diajarkan tanpa terlebih dahulu mengajarkan masalah cahaya. Masalah cahaya,
pemantulan-pembiasan, dan alat-alat optik tersusun secara struktural.
4) Sekuens logis dan psikologis. Bahan ajar juga dapat disusun berdasarkan
urutan logis. Rowntree (1974: 77) melihat perbedaan antara sekuens logis
dengan psikologis. Menurut sekuens logis bahan ajar dimulai dari bagian
menuju pada keseluruhan, dari yang sederhana kepada yang kompleks, tetapi
menurut sekuens psikologis sebaliknya dari keseluruhan kepada bagian, dari
yang kompleks kepada yang sederhana. Menurut sekuens logis bahan ajar
disusun dari yang nyata kepada yang abstrak, dari benda-benda kepada teori,
dari fungsi kepada struktur, dari masalah bagaimana kepada masalah
mengapa.
5) Sekuens spiral, dikembangkan oleh Bruner (1960). Bahan ajar dipusatkan
pada topik atau pokok bahan tertentu. Dari topik atau pokok tersebut bahan
diperluas dan diperdalam. Topik atau pokok bahan ajar tersebut adalah sesuatu
yang populer dan sederhana, tetapi kemudian diperluas dan diperdalam
dengan bahan yang lebih kompleks.
6) Rangkaian ke belakang. (backward chaining), dikembangkan oleh Thomas
Gilbert (1962). Dalam sekuens ini mengajar dimulai dengan langkah terakhir
dan mundur ke belakang. Contoh, proses pemecahan masalah yang besifat
ilmiah, meliputi 5 langkah, yaitu: (a) Pembatasan masalah (b) Penyusunan
hipotesis, (c) Pengumpulan data, (d) Pengetesan hipotesis, (e) Interpretasi
basil tes. Dalam mengajarnya mulai dengan langkah (e), kemudian guru
menyajikan data tentang sesuatu masalah dari langkah (a) sampai (d), dan
siswa diminta untuk membuat interpretasi hasilnya (e). Pada kesempatan lain
guru menyajikan data tentang masalah lain dari langkah (a) sampai (c) dan
siswa diminta untuk mengadakan pengetesan hipotesis (d) dan seterusnya.
7) Sekuens berdasarkan hierarki belajar. Model ini dikembangkan oleh Gagne
(1965), dengan prosedur sebagai berikut: tujuan-tujuan khusus utama
pembelajaran dianalisis, kemudian dicari suatu hierarki urutan bahan ajar
untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Hierarki tersebut menggambarkan
urutan perilaku apa yang mula-mula harus dikuasai siswa, berturut-turut

117
sampai dengan perilaku terakhir. Untuk bidang studi tertentu dan pokok-pokok
bahasan tertentu hierarki juga dapat mengikuti hierarki tipe-tipe belajar dari
Gagne. Gagne mengemukakan 8 tipe belajar yang tersusun secara hierarkis
mulai dari yang paling sederhana: signal learning, stimulus-respons learning,
motor-chain learning, verbal association, multiple discrimination, concept
learning, principle learning, dan problem-solving learning. (Gagne, 1970: 63-
64).

3. Strategi mengajar
Penyusunan sekuens bahan ajar berhubungan erat dengan strategi atau
metode mengajar. Pada waktu guru menyusun sekuens suatu bahan ajar, is juga
harus memikirkan strategi mengajar mana yang sesuai untuk menyajikan bahan
ajar dengan urutan seperti itu.
Ada beberapa strategi yang dapat digunakan dalam mengajar. Rowntree
(1974: 93-97) membagi strategi mengajar itu atas Exposition - Discovery Learning
dan Groups - Individual Learning. Ausubel and Robinson (1969 : 43-45)
membaginya atas strategi Reception Learning- Discovery Learning dan Rote
Learning- Meaningful Lerning.
a. Reception/Exposition Learning - Discovery Learning.
Reception dan exposition sesungguhnya mempunyai makna yang sama,
hanya berbeda dalam pelakunya. Reception learning dilihat dari sisi siswa
sedangkan exposition dilihat dari sisi guru. Dalam exposition atau reception
learning keseluruhan bahan ajar disampaikan kepada siswa dalam bentuk akhir
atau bentuk jadi, baik secara lisan maupun secara tertulis. Siswa tidak dituntut
untuk mengolah, atau melakukan aktivitas lain kecuali menguasainya. Dalam
discovery learning bahan ajar tidak disajikan dalam hentuk akhir, siswa dituntut
untuk melakukan berbagai kegiatan flienghimpun informasi, membandingkan,
mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta
membuat kesimpulankosimpulan. Melalui kegiatan-kegiatan tersebut siswa akan
menguasainya, menerapkan, serta menemukan hal-hal yang bermanfaat bagi
dirinya.

118
b. Rote learning - Meaningful Learning.
Dalam rote learning bahan ajar disampaikan kepada siswa tanpa
memperhatikan arti atau maknanya bagi siswa. Siswa menguasai bahan ajar
dengan menghafalkannya. Dalam meaningful learning penyampaian bahan
mengutamakan maknanya bagi siswa. Menurut Ausubel and Robinson (1970: 52-
53) sesuatu bahan ajar bermakna bila dihubungkan dengan struktur kognitif yang
ada pada siswa. Struktur kognitif terdiri atas fakta-fakta, data, konsep, proposisi,
dalil, hukum dan teori-teori yang telah dikuasai siswa sebelumnya, yang tersusun
membentuk suatu struktur dalam pikiran anak. Lebih lanjut Ausubel and Robinson
menekankan bahwa reception-discovery learning dan rote-meaningful learning
dapat dikombinasikan satu sama lain sehingga membentuk 4 kombinasi strategi
belajar-mengajar, yaitu: a) meaningful-reception learning, b) rote-reception
learning, c) meaningful-discovery learning, dan d) rote-discovery learning.

c. Group Learning - Individual Learning.


Pelaksanaan discovery learning menuntut aktivitas belajar yang bersifat
individual atau dalam kelompok-kelompok kecil. Discovery learning dalam
bentuk kelas pelaksanaannya agak sukar dan mempunyai beberapa masalah.
Masalah pertama, karena kemampuan dan kecepatan belajar siswa tidak sama,
maka kegiatan discovery hanya akan dilakukan oleh siswa-siswa yang pandai dan
cepat, siswa-siswa yang kurang dan lambat, akan mengikuti saja kegiatan dan
menerima temuan-temuan anak-anak cepat. Di pihak lain anak-anak lambat akan
menderita kurang motif belajar, acuh tak acuh, dan kemungkinan menjadi
pengganggu kelas. Masalah lain adalah kemungkinan untuk bekerja sama, dalam
kelas besar tidak mungkin semua anak dapat bekerja sama. Kerja sama hanya
akan dilakukan oleh anak-anak yang aktif, yang lain mungkin hanya akan menanti
atau menonton. Dengan demikian akan terjadi perbedaan yang semakin jauh
antara anak pandai dengan yang kurang.

119
4. Media mengajar
Media mengajar merupakan segala macam bentuk perangsang dan alat
yang disediakan guru untuk mendorong siswa belajar. Perumusan di atas
menggambarkan pengertian media yang cukup luas, mencakup berbagai bentuk
perangsang belajar yang sering disebut sebagai audio visual aid, serta berbagai
bentuk alat penyaji perangsang belajar, berupa alat-alat elektronika seperti mesin
pengajaran, film, audio cassette, video cassette, televisi, dan komputer.
Rowntree (1974: 104-113) mengelompokkan media mengajar menjadi lima
macam dan disebut Modes, yaitu Interaksi insani, realita, pictorial, simbol tertulis,
dan rekaman suara.
a. Interaksi insani. Media ini merupakan komunikasi langsung antara dua orang
atau lebih. Dalam komunikasi tersebut kehadiran sesuatu pihak secara sadar
atau tidak sadar mempengaruhi perilaku yang lainnya. Terutama kehadiran
guru mempengaruhi perilaku siswa atau siswasiswanya. Interaksi insani dapat
bcrlangsung melalui komunikasi verbal atau nonverbal. Komunikasi yang
bersifat verbal memegang peranan penting, terutama dalam perkembangan
segi kognitif siswa. Untuk pengembangan segi-segi afektif, bentuk-bentuk
komunikasi nonverbal seperti: perilaku, penampilan fisik, roman muka, gerak-
gerik, sikap, dan lain-lain lebih memegang peranan penting sebagai contoh-
contoh nyata. Intensitas interaksi insani dalam berbagai metode mengajar
tidak selalu sama. Intensitas interaksi insani dalam metode ceramah lebih
rendah dibandingkan dengan metode diskusi, permainan, simulasi,
sosiodrama, dan lain-lain.
b. Realia. Realita merupakan bentuk perangsang nyata seperti orang-orang,
binatang, benda-benda, peristiwa, dan sebagainya yang diamati siswa. Dalam
interaksi insani siswa berkomunikasi dengan orang-orang, sedangkan dalam
realita orang-orang tersebut hanya menjadi objek pengamatan, objek studi
siswa.
c. Pictorial. Media ini menunjukkan penyajian berbagai bentuk variasi gambar
dan diagram nyata ataupun simbol, bergerak atau tidak, dibuat di atas kertas,
film, kaset, disket, dan media lainnya. Media pictorial mempunyai banyak
keuntungan karena hampir semua bentuk, ukuran, kecepatan, benda, makhluk,

120
dan peristiwa dapat disajikan dalam media ini. Juga penyajiannya dapat
bervariasi dari bentuk yang paling sederhana seperti sketsa dan bagan sampai
dengan yang cukup sempurna seperti film bergerak yang berwarna dan
bersuara, atau bentuk-bentuk animasi yang disajikan dalam video atau
komputer.
d. Simbol tertulis. Simbol tertulis merupakan media penyajian informasi yang
paling umum, tetapi tetap efektif. Ada beberapa macam bentuk media simbol
tertulis seperti buku teks, buku paket, paket program belajar, modul, dan
majalah-majalah. Penulisan simbol-simbol tertulis biasanya dilengkapi dengan
media pictorial seperti gambar-gambar, bagan, grafik, dan sebagainya.
e. Rekaman suara. Berbagai bentuk informasi dapat disampaikan kepada anak
dalam bentuk rekaman suara. Rekaman suara dapat disajikan secara tersendiri
atau digabung dengan media pictorial. Penggunaan rekaman suara tanpa
gambar dalam pengajaran bahasa cukup efektif.
Dale (1969), mengemukakan 12 macam media mengajar atau audio visual
aid, yang disebutnya Cone of Experience, atau kerucut pengalaman, yaitu:

BAGAN 6. Kerucut pengalaman dari Edgar Dale

121
5. Evaluasi pengajaran
Komponen utama selanjutnya setelah rumusan tujuan, bahan ajar, strategi
mengajar, dan media mengajar adalah evaluasi dan penyempurnaan. Evaluasi
ditujukan untuk menilai pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan serta
menilai proses pelaksanaan mengajar secara keseluruhan. Tiap kegiatan akan
memberikan umpan balik, demikian juga dalam pencapaian tujuan-tujuan belajar
dan proses pelaksanaan mengajar. Umpan balik tersebut digunakan untuk
mengadakan berbagai usaha penyempurnaan baik bagi penentuan dan perumusan
tujuan mengajar, penentuan sekuens bahan ajar, strategi, dan media mengajar.

a. Evaluasi hasil belajar-mengajar


Untuk menilai keberhasilan penguasaan siswa atau tujuan-tujuan khusus
yang telah ditentukan, diadakan suatu evaluasi. Evaluasi ini disebut juga evaluasi
hasil belajar-mengajar. Dalam evaluasi ini disusun butir-butir soal untuk
mengukur pencapaian tiap tujuan khusus yang telah ditentukan. Untuk tiap tujuan
khusus minimal disusun satu butir soal. Menurut lingkup luas bahan dan jangka
waktu belajar dibedakan antara evaluasi formatif dan evaluasi sumatif.
Evaluasi formatif ditujukan untuk menilai penguasaan siswa terhadap
tujuan-tujuan belajar dalam jangka waktu yang relatif pendek. Tujuan utama dari
evaluasi formatif sebenarnya lebih besar ditujukan untuk menilai proses
pengajaran. Dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah evaluasi formatif
digunakan untuk menilai penguasaan siswa setelah selesai mempelajari satu
pokok bahasan. Hasil evaluasi formatif ini terutama digunakan untuk

122
memperbaiki proses belajar-mengajar dan membantu mengatasi kesulitan-
kesulitan belajar siswa. Dengan demikian evaluasi formatif, selain berfungsi
menilai proses, juga merupakan evaluasi atau tes diagnostik. Gronlund (1976:
489) mengemukakan fungsi tes formatif sebagai berikut: (1) to plan corrective
action for overcoming learning deficiences, (2) to aid in motivating learning, dan
(3) to increase retention and transfer or learning.
Evaluasi sumatif ditujukan untuk menilai penguasaan siswa terhadap
tujuan-tujuan yang lebih luas, sebagai hasil usaha belajar dalam jangka waktu
yang cukup lama, satu semester, satu tahun atau selama jenjang pendidikan.
Evaluasi sumatif mempunyai fungsi yang lebih luas daripada evaluasi formatif.
Dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah, evaluasi sumatif dimaksudkan
untuk menilai kemajuan belajar siswa (kenaikan kelas, kelulusan ujian) serta
menilai efektivitas program secara menyeluruh. Ini sesuai dengan pendapat
Grondlund (1976: 499) bahwa evaluasi sumatif berguna bagi: (1) assigning
grades, (2) reporting learning progress to parents, pupils, and school personnel,
and (3) improving learning and instruction.
Untuk mengukur tingkat penguasaan siswa terhadap tujuan-tujuan yang
telah ditentukan atau bahan yang telah diajarkan ada dua macam norma yang
digunakan, yaitu norm referenced dan criterion referenced (Chauhan, 1979: 170-
177, Gronlund, 1976: 18-19, Thorndike, 1976: 654). Dalam cirterion referenced
penguasaan siswa yang diukur dengan sesuatu tes hasil belajar dibandingkan
dengan sesuatu kriteria tertentu umpamanya 80% dari tujuan atau bahan yang
diberikan. Dengan demikian dalam cirterion referenced ada suatu kriteria standar.
Dalam norm referenced, tidak ada suatu kriteria sebagai standar, penguasaan siswa
dibandingkan dengan tingkat penguasaan kawan-kawannya satu kelompok.
Dengan demikian norma yang digunakan adalah norma kelompok, yang lebih
bersifat relatif. Kelompok ini dapat berupa kelompok kelas, sekolah, daerah,
ataupun nasional. Dalam implementasi kurikulum atau pelaksanaan pengajaran,
criterion referenced digunakan pada evaluasi formatif, sedangkan norm referenced
digunakan pada evaluasi sumatif.

123
b. Evaluasi pelaksanaan mengajar
Komponen yang dievaluasi dalam pengajaran bukan hanya hasil belajar-
mengajar tetapi keseluruhan pelaksanaan pengajaran, yang meliputi evaluasi
komponen tujuan mengajar, bahan pengajaran (yang menyangkut sekuens bahan
ajar), strategi dan media pengajaran, serta komponen evaluasi mengajar sendiri.
Stufflebeam dan kawan-kawan (1977: 243) mengutip Model Evaluasi dari EPIC,
bahwa dalam program mengajar komponen-komponen yang dievaluasi meliputi:
komponen tingkah laku yang mencakup aspek-aspek (subkomponen): kognitif,
afektif dan psikomotor; komponen mengajar mencakup subkomponen: isi,
metode, organisasi, fasilitas dan biaya; dan komponen populasi, yang mencakup:
siszva, guru, administrator, spesialis pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Untuk
mengevaluasi komponenkomponen dan proses pelaksanaan mengajar bukan
hanya digunakan tes tetapi juga digunakan bentuk-bentuk nontes, seperti
observasi, studi dokumenter, analisis hasil pekerjaan, angket dan checklist.
Evaluasi dapat dilakukan oleh guru atau oleh pihak-pihak lain yang berwenang
atau diberi tugas, seperti Kepala Sekolah dan Pengawas, tim evaluasi Kanwil atau
Pusat. Sesuai dengan prinsip sistem, evaluasi dan umpan balik diadakan secara
terus menerus, walupun tidak semua komponen mendapat evaluasi yang sama
kedalaman dan keluasannya. Karena sifatnya menyeluruh dan terus menerus
tersebut maka evaluasi pelaksanaan sistem mengajar dapat dipandang sebagai
suatu monitoring.

6. Penyempurnaan pengajaran
Hasil-hasil evaluasi, baik evaluasi hasil belajar, maupun evaluasi
pelaksanaan mengajar secara keseluruhan, merupakan umpan balik bagi
penyempurnaan-penyempurnaan lebih lanjut. Komponen apa yang
disempurnakan, dan bagimana penyempurnaan tersebut dilaksanakan' Sesuai
dengan komponen-komponen yang dievaluasi, pada dasarnya semua komponen
mengajar mempunyai kemungkinan untuk disempurna kan. Suatu komponen
mendapatkan prioritas lebih dulu atau mendapatkan penyempurnaan lebih banyak,
dilihat dari peranannya dan tingkat kelemahannya (Rowntree, 1974: 150-151).
Penyempurnaan juga mungkin dilakukan secara langsung begitu didapatkan
sesuatu informasi umpan balik, atau ditangguhkan sampai jangka waktu tertentu

124
bergantung pada urgensinya dan kemungkinannya mengadakan penyempurnaan.
Penyempurnaan mungkin dilaksanakan sendiri oleh guru, tetapi dalam hal-hal
tertentu mungkin dibutuhkan bantuan atau saran-saran orang lain baik sesama
personalia sekolah atau ahli pendidikan dari luar sekolah. Penyempurnaan juga
mungkin bersifat menyeluruh atau hanya menyangkut bagian-bagian tertentu.
Semua hal tersebut bergantung pada kesimpulan-kesimpulan hasil evaluasi.

B. Desain Kurikulum
Desain kurikulum menyangkut pola pengorganisasian unsur-unsur atau
komponen kurikulum. Penyusunan desain kurikulum dapat dilihat dari dua
dimensi, yaitu dimensi horisontal dan vertikal. Dimensi horisontal berkenaan
dengan penyusunan dari lingkup isi kurikulum. Susunan lingkup ini sering
diintegrasikan dengan proses belajar dan mengajarnya. Dimensi vertikal
menyangkut penyusunan sekuens bahan berdasarkan urutan tingkat kesukaran.
Bahan tersusun mulai dari yang mudah, kemudian menuju pada yang lebih sulit,
atau mulai dengan yang dasar diteruskan dengan yang lanjutan.
Berdasarkan pada apa yang menjadi fokus pengajaran, sekurangkurangnya dikenal
tiga pola desain kurikulum, yaitu:
1. Subject centered design, suatu desain kurikulum yang berpusat pada bahan
ajar.
2. Learner centered design, suatu desain kurikulum yang mengutamakan
peranan siswa.
3. Problems centered design, desain kurikulum yang berpusat pada masalah-
masalah yang dihadapi dalam masyarakat.

Walaupun bertolak dari hal yang sama, dalam suatu pola desain terdapat
beberapa variasi desain kurikulum. Dalam subject centered design dikenal ada: the
subject design, the disciplines design dan the broad fields design. Pada problems
centered design dikenal pula the areas of living design dan the core design.

125
1. Subject centered design
Subject centred design curriculum merupakan bentuk desain yang paling
populer, paling tua dan paling banyak digunakan. Dalam subject centered design,
kurikulum dipusatkan pada isi atau materi yang akan diajarkan. Kurikulum
tersusun atas sejumlah mata-mata pelajaran, dan mata-mata pelajaran tersebut
diajarkan secara terpisah-pisah. Karena terpisahpisahnya itu maka kurikulum ini
disebut juga separated subject curriculum.
Subject centered desain berkembang dari konsep pendidikan klasik yang
menekankan pengetahuan, nilai-nilai dan warisan budaya masa lalu, dan berupaya
untuk mewariskannya kepada generasi berikutnya. Karena mengutamakan isi atau
bahan ajar atau subject matter tersebut, maka desain kurikulum ini disebut juga
subject academic curriculum.
Model design curriculum ini mempunyai beberapa kelebihan dan
kekurangan. Beberapa kelebihan dari model desain kurikulum ini adalah: 1)
mudah disusun, dilaksanakan, dievaluasi, dan disempurnakan, 2) para pengajarnya
tidak perlu dipersiapkan khusus, asal menguasai ilmu atau bahan yang akan
diajarkan sering dipandang sudah dapat menyampaikannya. Beberapa kritik yang
juga merupakan kekurangan model desain ini, adalah: 1) karena pengetahuan
diberikan secara terpisah-pisah, hal itu bertentangan dengan kenyataan, sebab
dalam kenyataan pengetahuan itu merupakan satu kesatuan, 2) karena
mengutamakan bahan ajar maka peran peserta didik sangat pasif, 3) pengajaran
lebih menekankan pengetahuan dan kehidupan masa lalu, dengan demikian
pengajaran lebih bersifat verbalistis dan kurang praktis. Atas dasar tersebut, para
pengkritik menyarankan perbaikan ke arah yang lebih terintegrasi, praktis, dan
bermakna serta memberikan peran yang lebih a ktif kepada siswa.

a. The Subject Design


The subject design curriculum merupakan bentuk desain yang paling
murni dari subject centered design. Materi pelajaran disajikan secara terpisah-
pisah dalam bentuk mata-mata pelajaran. Model desain ini telah ada sejak lama.
Orang-orang Yunani dan kemudian Romawi mengembangkan Trivium dan
Quadrivium. Trivium meliputi gramatika, logika, dan retorika, sedangkan
Quadrivium, matematika, geometri, astronomi, dan musik. Pada saat itu

126
pendidikan tidak diarahkan pada mencari nafkah, tetapi pada pembentukan pribadi
dan status sosial (Liberal Art). Pendidikan hanya diperuntukkan bagi anak-anak
golongan bangsawan yang tidak usah bekerja mencari nafkah.
Pada abad 19 pendidikan tidak lagi diarahkan pada pendidikan umum
(Liberal Art), tetapi pada pendidikan yang lebih yang bersifat praktis, berkenaan
dengan mata pencaharian (pendidikan vokasional). Pada saat itu mulai
berkembang mata-mata pelajaran fisika, kimia, biologi, bahasa yang masih
bersifat teoretis, juga berkembang mata-mata pelajaran praktis seperti pertanian,
ekonomi, tata buku, kesejahteraan keluarga, keterampilan, dan lain-lain. Isi
pelajaran diambil dari pengetahuan, dan nilai-nilai yang telah ditemukan oleh ahli-
ahli sebelumnya. Para siswa dituntut untuk menguasai semua pengetahuan yang
diberikan, apakah mereka menyenangi atau tidak, membutuhkannya atau tidak.
Karena pelajaran-pelajaran tersebut diberikannya secara terpisah-pisah, maka
siswa menguasainya pun terpisah-pisah pula. Tidak jarang siswa menguasai bahan
hanya pada tahap hafalan, bahan dikuasai secara verbalistis.
Lebih rinci kelemahan-kelemahan bentuk kurikulum ini adalah:
1) Kurikulum memberikan pengetahuan terpisah-pisah, satu terlepas dari yang
lainnya.
2) Isi kurikulum diambil dari masa lalu, terlepas dari kejadian-kejadian yang
hangat, yang sedang berlangsung saat sekarang.
3) Kurikulum ini kurang memperhatikan minat, kebutuhan dan pengalaman para
peserta didik.
4) Isi kurikulum disusun berdasarkan sistematika ilmu sering menimbulkan
kesukaran di dalam mempelajari dan menggunakannya.
5) Kurikulum lebih mengutamakan isi dan kurang memperhatikan cara
penyampaian. Cara penyampaian utama adalah ekspositori yang menyebabkan
peranan siswa pasif.
Meskipun ada kelemahan-kelemahan di atas, bentuk desain kurikulum ini
mempunyai beberapa kelebihan. Karena kelebihan-kelebihan tersebut bentuk
kurikulum ini lebih banyak dipakai.

127
1. Karena materi pelajaran diambil dari ilmu yang sudah tersusun secara
sitematis logis, maka penyusunannya cukup mudah.
2. Bentuk ini sudah dikenal lama, baik oleh guru-guru maupun orang tua,
sehingga lebih mudah untuk dilaksanakan.
3. Bentuk ini memudahkan para peserta didik untuk mengikuti pendidikan di
Perguruan Tinggi, sebab pada Perguruan Tinggi umumnya digunakan
bentuk ini.
4. Bentuk ini dapat dilaksanakan secara efisien, karena metode utamanya
adalah metode ekspositori yang dikenal tingkat efisiennya cukup tinggi.
5. Bentuk ini sangat ampuh sebagai alat untuk melestarikan dan mewariskan
warisan budaya masa lalu.
Dengan adanya kelemahan-kelemahan di atas pengembang kurikulum
subject design tidak tinggal diam, mereka berusaha untuk memperbaikinya.
Dalam rumpun subject centerd, the broad field design merupakan pengembangan
dari bentuk ini. Begitu juga pengembangan bentuk-bentuk lain di luar subject
centered, seperti activity atau experience design, areas of living design dan core
design.

b. The Disciplines Design


Bentuk ini merupakan pengembangan dari subject design, keduanya masih
menekankan kepada isi atau materi kurikulum. Walaupun bertolak dari hal yang
sama tetapi antara keduanya terdapat perbedaan. Pada subject design belum ada
kriteria yang tegas tentang apa yang disebut subject (ilmu). Belum ada perbedaan
antara matematika, psikologi dengan teknik atau cara mengemudi, semuanya
disebut subject. Pada disciplines design kriteria tersebut telah tegas, yang
membedakan apakah suatu pengetahuan itu ilmu atau subject dan bukan adalah
batang tubuh keilmuannya. Batang tubuh keilmuan menentukan apakah suatu
bahan pelajaran itu disiplin ilmu atau bukan. Untuk menegaskan hal itu mereka
menggunakan istilah disiplin.
Isi kurikulum yang diberikan di sekolah adalah disiplin-disiplin ilmu.
Menurut pandangan ini sekolah adalah mikrokosmos dari dunia intelek, batu
pertama dari hal itu adalah isi dari kurikulum. Para pengembang kurikulum dari
aliran ini berpegang teguh pada disiplin-disiplin ilmu seperti: fisika, biologi,

128
psikologi, sosiologi, dan sebagainya.
Perbedaan lain adalah dalarn tingkat penguasaan, disciplines design tidak
seperti subject design yang menekankan penguasaan fakta-fakta dan informasi
tetapi pada pemahaman (understanding). Para peserta didik didorong untuk
memahami logika atau struktur dasar suatu disiplin, memahami konsep-konsep,
ide-ide dan prinsip-prinsip penting, juga didorong untuk memahami cara mencari
dan menemukannya (modes of inquiry and discovery). Hanya dengan menguasai
hal-hal itu, kata mereka, peserta didik akan memahami masalah dan mampu
melihat hubungan berbagai fenomena baru.
Proses belajarnya tidak lagi menggunakan pendekatan ekspositori yang
menyebabkan peserta didik lebih banyak pasif, tetapi menggunakan pendekatan
inkuiri dan diskaveri. Disciplines design sudah mengintegrasikan unsur-unsur
progresifisme dari Dewey. Bentuk ini memiliki beberapa kelebihan dibandingkan
dengan subject design. Pertama, kurikulum ini bukan hanya memiliki organisasi
yang sistematik dan efektif tetapi juga dapat memelihara integritas intelektual
pengetahuan manusia. Kedua, peserta didik tidak hanya menguasai serentetan
fakta, prinsip hasil hafalan tetapi menguasai konsep, hubungan dan proses-proses
intelektual yang berkembang pada siswa.
Meskipun telah menunjukkan beberapa kelebihan bentuk, desain ini masih
memiliki beberapa kelamahan. Pertama, belum dapat memberikan pengetahuan
yang terintegrasi. Kedua, belum mampu mengintegrasikan sekolah dengan
masyarakat atau kehidupan. Ketiga, belum bertolak dari minat dan kebutuhan atau
pengalaman peserta didik. Keempat, susunan kurikulum belum efisien baik untuk
kegiatan belajar maupun untuk penggunaannya. Kelima, meskipun sudah lebih
luas dibandingkan dengan subject design tetapi secara akademis dan intelektual
masih cukup sempit.

c. The Broad Fields Design


Baik subject design maupun disciplines design masih menunjukkan adanya
pemisahan antar-mata pelajaran. Salah satu usaha untuk menghilangkan
pemisahan tersebut adalah mengembangkan the broad filed design. Dalam model

129
ini mereka menyatukan beberapa mata pelajaran yang berdekatan atau
berhubungan menjadi satu bidang studi seperti Sejarah, Geografi, dan Ekonomi
digabung menjadi Ilmu Pengetahuan Sosial, Aljabar, Ilmu Ukur, dan Berhitung
menjadi Matematika, dan sebagainya.
Tujuan pengembangan kurikulum broad field adalah menyiapkan para
siswa yang dewasa ini hidup dalam dunia informasi yang sifatnya spesialistis,
dengan pemahaman yang bersifat menyeluruh. Bentuk kurikulum ini banyak
digunakan di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, di sekolah menengah
atas penggunaannya agak terbatas apalagi di perguruan tinggi sedikit sekali.
Ada dua kelebihan penggunaan kurikulum ini. Pertama, karena dasarnya
bahan yang terpisah-pisah, walaupun sudah terjadi penyatuan beberapa mata
kuliah masih memungkinkan penyusunan warisan-warisan budaya secara
sistematis dan teratur. Kedua, karena mengintegrasikan beberapa mata kuliah
memungkinkan peserta didik melihat hubungan antara berbagai hal.
Di samping kelebihan tersebut, ada beberapa kelemahan model kurikulum
ini. Pertama kemampuan guru, untuk tingkat sekolah dasar guru mampu
menguasai bidang yang luas, tetapi untuk tingkat yang lebih tinggi, apalagi di
perguruan tinggi sukar sekali. Kedua, karena bidang yang dipelajari itu luas, maka
tidak dapat diberikan secara mendetil, yang diajarkan hanya permukaannya saja.
Ketiga, pengintegrasian bahan ajar terbatas sekali, tidak menggambarkan
kenyataan, tidak memberikan pengalaman yang sesungguhnya bagi siswa, dengan
demikian kurang membangkitkan minat belajar. Keempat, meskipun kadarnya
lebih rendah dibandingkan dengan subject design, tetapi model ini tetap
menekankan tujuan penguasaan bahan dan informasi. Kurang menekankan proses
pencapaian tujuan ya.lg sifatnya afektif dan kognitif tingkat tinggi.

2. Learner-centered design
Sebagai reaksi sekaligus penyempurnaan terhadap beberapa kelemahan
subject centered design berkembang learner centered design. Desain ini berbeda
dengan subject centered, yang bertolak dari cita-cita untuk melestarikan dan
mewariskan budaya, dan karena itu mereka mengutamakan peranan isi dari
kurikulum.

130
Learner centered, memberi tempat utama kepada peserta didik. Di dalam
pendidikan atau pengajaran yang belajar dan berkembang adalah peserta didik
sendiri. Guru atau pendidik hanya berperan menciptakan situasi belajar-mengajar,
mendorong dan memberikan bimbingan sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
Peserta didik bukanlah tiada daya, dia adalah suatu organisme yang punya potensi
untuk berbuat, berperilaku, belajar dan juga berkembang sendiri. Learner centered
design bersumber dari konsep Rousseau tentang pendidikan alam, menekankan
perkembangan peserta didik. Pengorganisasian kurikulum didasarkan atas minat,
kebutuhan dan tujuan peserta didik.
Ada dua ciri utama yang membedakan desain model learner centred
dengan subject centered. Pertama, learner centered design mengembangkan
kurikulum dengan bertolak dari peserta didik dan bukan dari isi. Kedua, learner
centered bersifat not-preplanned (kurikulum tidak diorganisasikan sebelumnya)
tetapi dikembangkan bersama antara guru dengan siswa dalam penyelesaian
tugas-tugas pendidikan. Organisasi kurikulum didasarkan atas masalah-masalah
atau topik-topik yang menarik perhatian dan dibutuhkan peserta didik dan
sekuensnya disesuaikan dengan tingkat perkembangan mereka.
Ada beberapa variasi model ini yaitu the activity atau experience design,
humanistic design, the open, free design, dan lain-lain. Pada tulisan ini akan
dikemukakan sebagian saja.
a. The Activity atau Experience Design
Model desain ini berawal pada abad 18, atas hasil karya dari Rousseau dan
Pestalozzi, yang berkembang pesat pada tahun 1920/1930-an pada masa kejayaan
Pendidikan Progresif.
Berikut beberapa ciri utama activity atau experience design. Pertama,
struktur kurikulum ditentukan oleh kebutuhan dan minat peserta didik. Dalam
mengimplementasikan ciri ini guru hendaknya: a) Menemukan minat dan
kebutuhan peserta didik, b) Membantu para siswa memilih mana yang paling
penting dan urgen. Hal ini cukup sulit, sebab harus dapat dibedakan mana minat
dan kebutuhan yang sesungguhnya dan mana yang hanya angan-angan. Untuk itu
guru perlu menguasai benar perkembangan dan karakteristik peserta didik.

131
Kedua, karena struktur kurikulum didasarkan atas minat dan kebutuhan
peserta didik, maka kurikulum tidak dapat disusun jadi sebelumnya, tetapi disusun
bersama oleh guru dengan para siswa. Demikian juga tujuan yang akan dicapai,
sumber-sumber belajar, kegiatan belajar dan prosedur evaluasi, dirumuskan
bersama siswa. Istilah yang mereka gunakan adalah teacher-student planning.
Seperti dikemukakan oleh Smith, Stanley and Shores (1977: 274-1725) bahwa
tugas guru adalah:
... discovering students interest, guiding students in selection of interest, helping
groups and individuals to plan and carryout learning activi ties, and assisting
learners to appraise their experience. In short, the teacher must prepare in
advance to help learners decide what to to do, how to do it, and how to evaluate
the results.
Ketiga, desain kurikulum tersebut menekankan prosedur pemecahan
masalah. Di dalam proses menemukan minatnya peserta didik menghadapi
hambatan atau kesulitan-kesulitan tertentu yang harus diatasi. Kesulitankesulitan
tersebut menunjukkan problema nyata yang dihadapi peserta didik. Dalam
menghadapi dan mengatasi masalah-masalah tersebut, peserta didik melakukan
proses belajar yang nyata, sungguh-sungguh bermakna, hidup dan relevan dengan
kehidupannya. Berbeda dengan subject design yang menekankan isi, activity
design lebih mengutamakan proses (keterampilan memecahkan masalah).
Ada beberapa kelebihan dari desain kurikulum ini. Pertama, karena
kegiatan pendidikan didasarkan atas kebutuhan dan minat peserta didik, maka
motivasi belajar bersifat intrinsik dan tidak perlu dirangsang dari luar. Fakta-fakta,
konsep, keterampilan dan proses pemecahan dipelajari peserta didik karena hal itu
mereka perlukan. jadi belajar benar-benar relevan dan bermakna. Kedua,
pengajaran memperhatikan perbedaan individual. Mereka turut dalam kegiatan
belajar kelompok karena membutuhkannya, demikian juga kalau mereka
melakukan kegiatan individual. Ketiga, kegiatan-kegiatan pemecahan masalah
memberikan bekal kecakapan dan pengetahuan untuk menghadapi kehidupan di
luar sekolah.
Beberapa kritik yang menunjukkan kelemahan dilontarkan terhadap model
desain kurikulum:

132
Pertama, penekanan pada minat dan kebutuhan peserta didik belum tentu
cocok dan memadai untuk menghadapi kenyataan dalam kehidupan. Kehidupan
dunia modern sangat kompleks, peserta didik belum tentu mampu melihat dan
merasakan kebutuhan-kebutuhan esensial.
Kedua, kalau kurikulum hanya menekankan minat dan kebutuhan peserta
didik, dasar apa yang digunakan untuk menyusun struktur kurikulum. Kurikulum
tidak mempunyai pola dan struktur. Kedua kritik ini tidak semuanya benar, sebab
beberapa tokoh activity design telah mengembangkan struktur ini. Dewey dalam
sekolah laboratoriumnya menyusun struktur di sekitar kebutuhan manusia,
kebutuhan sosial, kebutuhan untuk membangun, kebutuhan untuk meneliti dan
bereksperimen dan kebutuhan untuk berekspresi dan keindahan.
Ketiga, activity design curriculum sangat lemah dalam kontinuitas dan
sekuens bahan. Dasar minat peserta didik tidak memberikan landasan yang kuat
untuk menyusun sekuens, sebab minat mudah sekali berubah karena pengaruh
perkembangan, kematangan dan faktor-faktor lingkungan. Beberapa usaha telah
dilakukan untuk mengatasi kelemahan ketiga ini: 1) usaha untuk menemukan
sekuens perkembangan kemampuan mental peserta didik, seperti perkembangan
kemampuan kognitif dari Piaget, 2) penelitian tentang pusat-pusat minat pada
berbagai tingkat usia. Penemuan tentang pusat-pusat minat yang lebih terinci
dijadikan dasar penyusunan sekuens kurikulum.
Keempat, kritik terhadap model desain kurikulum ini dikatakan tidak dapat
dilakukan oleh guru biasa. Kurikulum ini menuntut guru ahli general education
plus ahli psikologi perkembangan dan human relation. Model desain ini sulit
menemukan buku-buku sumber, karena buku yang ada disusun berdasarkan
subject atau discipline design. Kesulitan lain adalah apabila peserta didik akan
melanjutkan studi ke perguruan tinggi, sebab di perguruan tinggi digunakan model
subject atau discipline design.

133
3. Problem centered design
Problem centered design berpangkal pada filsafat yang mengutamakan
peranan manusia (man centered). Berbeda dengan learner centered yang
mengutamakan manusia atau peserta didik secara individual, problem centered
design menekankan manusia dalam kesatuan kelompok yaitu kesejahteraan
masyarakat.
Konsep pendidikan para pengembang model kurikulum ini berangkat dari
asumsi bahwa manusia sebagai makhluk sosial selalu hidup bersama. Dalam
kehidupan bersama ini manusia menghadapi masalah-masalah bersama yang
harus dipecahkan bersama pula. Mereka berinteraksi, berkooperasi dalam
memecahkan masalah-masalah sosial yang mereka hadapi untuk mcningkatkan
kehidupan mereka.
Konsep-konsep ini menjadi landasan pula dalam pendidikan dan
pengembangan kurikulum. Berbeda dengan learner centered, kurikulum mereka
disusun sebelumnya (preplanned). Isi kurikulum berupa masalahmasalah sosial
yang dihadapai peserta didik sekarang dan yang akan datang. Sekuens bahan
disusun berdasarkan kebutuhan, kepentingan dan kemampuan peserta didik.
Problem centered design menekankan pada isi maupun perkembangan peserta
didik. Minimal ada dua variasi model desain kurikulum ini, yaitu The Areas of
living design, dan The Core design.

a. The Areas of Living Design


Perhatian terhadap bidang-bidang kehidupan sebagai dasar penyusunan
kurikulum telah dimulai oleh Herbert Spencer pada abad 19, dalam tulisan yang
berjudul What knowledge is of most Worth? Areas of living design seperti learner
centered design menekankan prosedur belajar melalui pemecahan masalah. Dalam
prosedur belajar ini tujuan yang bersifat proses (process objectives) dan yang
bersifat isi (content objectives) diintegrasikan. Penguasaan informasi-informasi
yang lebih bersifat pasif tetap dirangsang. Ciri lain dari model desain ini adalah
menggunakan pengalaman dan situasi-situasi nyata dari peserta didik sebagai
pembuka dan mempelajari bidang-bidang kehidupan.
Strategi yang sama juga digunakan dalam subject centered design, tetapi
pelaksanaannya mengalami kesulitan, sebab dalam desain tersebut hubungan mata
pelajaran dengan bidang dan pengalaman hidup peserta didik sangat kecil.

134
Sebaliknya dalam the areas of living hubungannya besar sekali. Tiap pengalaman
peserta didik sangat erat hubungannya dengan bidang-bidang kehidupan sehingga
dapat dikatakan suatu desain kurikulum bidang-bidang kehidupan yang
dirumuskan dengan baik akan merangkumkan pengalaman-pengalaman sosial
peserta didik. Dengan demikian, desain ini sekaligus menarik minat peserta didik
dan mendekatkannya pada pemenuhan kebutuhan hidupnya dalam masyarakat.
Desain ini mempunyai beberapa kebaikan dibandingkan dengan bentuk desain-
desain lainnya.
Pertama, the areas of living design merupakan the subject matter design
tetapi dalam bentuk yang terintegrasi. Pemisahan antara subject dihilangkan oleh
problema-problema kehidupan sosial. Kedua, karena kurikulum diorganisasikan di
sekitar problema-problema peserta didik dalam kehidupan sosial, maka desain ini
mendorong penggunaan prosedur belajar pemecahan masalah. Prinsip-prinsip
belajar aktif dapat diterapkan dalam model desain ini. Ketiga, menyajikan bahan
ajar dalam bentuk yang relevan, yaitu untuk memecahkan masalah-masalah dalam
kehidupan. Melalui kurikulum ini para peserta didik akan mcmperoleh
pengetahuan, dan dapat menginternalisasi artinya. Keempat desain tersebut
menyajikan bahan ajar dalam bentuk yang fungsional, sebab diarahkan pada
pemecahan masalah peserta didik, secara langsung dipraktikkan dalam kehidupan.
Lebih dari itu kurikulum ini membawa peserta didik dalam hubungan yang lebih
dekat dengan masyarakat. Kelima, motivasi belajar datang dari dalam din peserta
didik, tidak perlu dirangsang dari luar.
Beberapa kritik dilontarkan dan menunjukkan kelemahan model desain ini.
Pertama, penentuan lingkup dan sekuens dari bidang-bidang kehidupan yang
sangat esensial (penting) sangat sukar, timbul organisasi isi kurikulum yang
berbeda-beda. Kedua, sebagai akibat dari kesulitan pertama, maka lemahnya atau
kurangnya integritas dan kontinuitas organisasi isi kurikulum. Ketiga, desain
tersebut sama sekali mengabaikan warisan budaya, padahal apa yang telah
ditemukan pada masa lalu penting untuk memahami dan memecahkan masalah-
masalah masa kini. Keempat, karena kurikulum hanya memusatkan perhatian
pada pemecahan masalah sosial pada saat sekarang, ada kecenderungan untuk
mengindoktrinasi peserta didik dengan kondisi yang ada, peserta didik tidak
tovIlhat alternatif lain, baik mengenai masa lalu maupun masa yang akan 'Wang,
desain tersebut akan mempertahankan status quo. Kelima, sama hainva dengan

135
kritik terhadap learner centered design, baik guru maupun buku dan media lain
tidak banyak yang disiapkan untuk model tersebut sehingga di dalam
pelaksanaannya akan mengalami beberapa kesulitan.

b. The Core Design


The core desgin kurikulum timbul sebagai reaksi utama kepada separate
subjects design, yang sifatnya terpisah-pisah. Dalam mengintegrasikan bahan ajar,
mereka memilih mata-mata pelajaran/bahan ajar tertentu sebagai inti (core).
Pelajaran lainnya dikembangkan di sekitar core tersebut. Karena pengaruh
Pendidikan Progresif, berkembang teori tentang core design yang didasarkan atas
pandangan Progresif. Menurut konsep ini inti-inti bahan ajar dipusatkan pada
kebutuhan individual dan sosial.
Terdapat banyak variasi pandangan tentang the core design. Mayoritas
memandang core curriculum sebagai suatu model pendidikan atau program
pendidikan yang memberikan pendidikan umum. Pada beberapa kurikulum yang
berlaku di Indonesia dewasa ini, core curriculum disebut kelompok mata kuliah
atau pelajaran dasar umum, dan diarahkan pada pengembangan kemampuan-
kemampuan pribadi dan sosial. Kalau kelompok mata kuliah/pelajaran spesialisasi
diarahkan pada pengusaan keahlian/kejuruan tertentu, maka kelompok mata
pelajaran ini ditujukan pada pembentukan pribadi yang sehat, baik, matang, dan
warga masyarakat yang mampu membina kerja sama yang baik pula.
The core curriculum diberikan guru-guru yang memiliki penguasaan dan
berwawasan luas, bukan spesialis. Di samping memberikan pengetahuan, nilai-
nilai dan keterampilan sosial, guru-guru tersebut juga memberikan bimbingan
terhadap perkembangan sosial pribadi peserta didik.
Ada beberapa variasi desain core curriculum yaitu: (1) the separate subject
core, (2) the correlated core, (3) the fused core, (4) the activity/experience core,
(5) the areas of living core, dan (6) the social problems core.
The separate subjects core. Salah satu usaha untuk mengatasi keterpisahan
antar-mata pelajaran, beberapa mata pelajaran yang dipandang mendasari atau
menjadi inti mata pelajaran lainnya dijadikan core.

136
The correlated core. Model desain ini pun berkembang dari the separate
subjects design, dengan jalan mengintegrasikan beberapa mata pelajaran yang erat
hubungannya.
The fused core. Kurikulum ini juga berpangkal dari separate subject,
pengintegrasiannya bukan hanya antara dua atau tiga pelajaran tetapi lebih
banyak. Sejarah, Geografi, Antropologi, Sosiologi, Ekonomi dipadukan menjadi
Studi Kemasyarakatan. Dalam studi ini dikembangkan tema-tema masalah umum
yang dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang.
The activity/experience core. Model desain ini berkembang dari
pendidikan progresif dengan learner centerd design-nya. Seperti halnya pada
learner centered, the acitivity /experience core dipusatkan pada minat-minat dan
kebutuhan peserta didik.
The areas of living core. Desain model ini berpangkal juga pada
pendidikan progresif, tetapi organisasinya berstruktur dan dirancang sebelumnya.
Berbentuk pendidikan umum yang isinya diambil dari masalah-masalah yang
muncul di masyarakat. Bentuk desain ini dipandang sebagai core design yang
paling murni dan paling cocok untuk program pendidikan umum.
The social problems core. Model desain ini pun merupakan produk dari
pendidikan progresif. Dalam beberapa hal model ini sama dengan the areas of
living core. Perbedaannya terletak pada the areas of living core didasarkan atas
kegiatan-kegiatan manusia yang unviversal tetapi tidak berisi hal yang
kontroversial, sedangkan the social problems core didasarkan atas problema-
problema yang mendasar dan bersifat kontroversial. Beberapa contoh masalah
sosial yang menjadi tema model core design ini adalah kemiskinan, kelaparan,
inflasi, rasialisme, perang senjata nuklir, dan sebagainya. Halhal di atas adalah
sesuatu yang mendesak untuk dipecahkan dan berisi suatu kontroversial bersifat
pro dan kontra. The areas of living core cenderung memelihara dan
mempertahankan kondisi yang ada, sedang the social problems core mencoba
memberikan penilaian yang sifatnya kritis dari sudut sistem nilai sosial dan
pribadi yang berbeda.
Penyusunan kurikulum the social problems core, mengikuti pola seperti
yang digambarkan dengan urutan pertanyaan-pertanyaan berikut:

137
1. Bagaimana gambaran masyarakat yang ada dewasa ini?
2. Apa akibatnya bila kita torus mempertahankan kondisi yang ada ini?
3. Bagaimana gambaran keadaan masyarakat yang ideal?
4. Jika gambaran pada pertanyaan 3 berbeda dengan pertanyaan 2, usaha apa
yang dapat dilakukan untuk mengatasinya, baik secara kelompok maupun
individual.
Kurikulum the social problems core tidak bersifat kaku, terbuka untuk
penyempurnaan pada setiap saat, agar tetap mutakhir dan relevan dengan
perkembangan masyarakat. Sekuens kurikulum disusun dengan memperhatikan
prinsip-prinsip psikologis, seperti: kematangan, minat, tingkat kesukaran,
pengalaman dan penguasaan sebelumnya.
Terhadap model-model desain di atas dapat ditambahkan dua model lain
yang juga menekankan pendidikan umum yaitu the unencapsulation design dan
Becker's Humanistic design.
The Unencapsulation design. Model desain ini merupakan reaksi terhadap
encapsulation. Menurut konsep encapsulation manusia memiliki kemampuan
untuk mengamati dan memahami seluruh yang ada di dunia ini, tetapi kenya-
taannya karena berbagai hambatan, hanya sebagian kecil yang mereka kuasai. The
Unencapsulation design diarahkan pada pengembangan manusia yang lebih baik,
yang memiliki pengetahuan dan kemampuan yang lebih lengkap, tepat dan
seimbang. Menu rut Joseph Royce, pencetus konsep ini, pengetahuan dan
kemampuan yang demikian akan tercapai melalui penggunaan empat cara
penguasaan, yaitu melalui: pemikiran (rasionalisme), pengamatan (empirisme),
perasaan (intuisisme), dan kepercayaan (otoritarianisme).
Beckers's Humanistic Design. Desain ini juga sama dengan uncaptulsation
menekankan pendidikan umum. Becker ingin mengembangkan suatu model
pendidikan yang dapat menghilangkan "keterasingan" (alination yang mempunyai
makna yang sama dengan encapsulation). Ia bercita-cita ingin mendidik anak
menjadi manusia "ideal" yaitu manusia sejati (authentic) tidak palsu atau pura-
pura, percaya kepada diri sendiri (self reliant) dan menyatu dengan
masyarakatnya. Desain kurikulum dari Becker lebih menekankan pada isi

138
daripada proses. Isi kurikulumnya dipusatkan pada tiga bidang, yaitu 1) Dimensi
individu, 2) Dimensi sosial dan historis, dan 3) Dimensi teologis.
Dimensi individu membahas keadaan dan keberadaan manusia, dimensi
sosial dan historis membahas kehidupan kemasyarakatan dan sejarah
perkembangan manusia, sedangkan dimensi teologis membahas keharusan
manusia beragama dan bahaya-bahaya sekulerisme.

139
BAB VII
PROSES PENGAJARAN
A. Keseimbangan Antara Isi dan Proses
Baik dalam uraian tentang model-model konsep kurikulum, maupun dalam
macam-macam desain kurikulum, masalah isi dan proses pengajaran selalu
menjadi tema dan titik tolak. Hal itu disebabkan kedudukan kedua komponen
kurikulum tersebut sangat penting. Dengan demikian, tidak mengherankan apabila
ada yang berpendapat bahwa kurikulum itu tidak lain dari suatu program
pendidikan yang berisi jalinan antara isi dengan proses penyampaiannya.
Pendapat demikian tidak seluruhnya benar tetapi mengandung kebenaran,
mengingat kedua komponen tersebut berperanan sebagai kunci.
Telah kita ketahui dalam uraian-uraian yang terdahulu bahwa ada konsep-
konsep kurikulum yang lebih mengutamakan isi dan ada pula yang
mengutamakan proses. Keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Mengingat kelebihan dan kekurangan masing-masing maka keseimbangan
ataupun keserasian antara keduanya merupakan pemecahan yang paling praktis,
walaupun bukan berarti tanpa menghadapi kesulitan-kesulitan, Kedua komponen
kurikulum tersebut dapat saling menghambat, yang satu mengurangi kualitas yang
lainnya. Di dalam pelaksanaan kurikulum kita mengharapkan para siswa
menguasai sebanyak-banyaknya bahan yang terbaik dan diperoleh dengan cara
yang terbaik pula. Meskipun ideal hal tersebut sangat sulit kita capai, namun
bukan sesuatu yang mustahil Kesulitannya bukan saja disebabkan adanya ciri
yang cenderung kontradiktif antara keduanya, tetapi juga karena banyaknya faktor
yang turut mempengaruhi pelaksanaan kurikulum atau pengajaran Keberhasilan
pengajaran atau pelaksanaan suatu kurikulum sangat dipengaruhi kondisi dan
aktivitas siswa, guru, serta para pelaksana kurikulum lainnya; oleh kondisi
lingkungan fisik, sosial budaya dan psikologis sekitar, oleh kondisi dan
kelengkapan sarana dan prasarana baik di sekolah maupun dalam keluarga.
Pendidikan dan pengajaran selaln berlangsung dalam keterbatasan-keterbatasan,
kemampuan, fasilitas, waktu, tempat maupun biaya. Yang harus selalu diupayakan

140
oleh para penyusun, pengembang dan pelaksana pendidikan umumnya, kurikulum
khususnya, adalah mengoptimalkan hasil sesuai dengan kondisi yang ada, di
samping mengoptimalkan isi dan prosesnya sendiri.

B. Isi Kurikulum
Pertanyaan yang selalu muncul pada para perencana pendidikan dan
pengembang kurikulum adalah, bahan apakah yang harus diajarkan kepada siswa,
dan apa tujuannya? Pertanyaan ini menyangkut isi kurikulum atau isi pengajaran.
Isi kurikulum atau pengajaran bukan hanya terdiri atas sekumpulan pengetahuan
atau kumpulan informasi, tetapi harus merupakan kesatuan pengetahuan terpilih
dan dibutuhkan, baik bagi pengetahuan itu sendiri maupun bagi siswa dan
lingkungannya.
Beberapa program pengembangan pendidikan, terutama pengembangan
kurikulum pada sekolah dasar dan menengah, telah dilakukan dengan
mengikutsertakan para sarjana, dosen, ahli-ahli pendidikan selain guru, dari
berbagai bidang ilmu pengetahuan. Mereka telah berusaha menyusun isi
kurikulum atau pengajaran, bukan saja didasarkan atas perkembangan ilmu
pengetahuan, tetapi juga disesuaikan dengan karakteristik perkembangan anak dan
konsep-konsep modern tentang hakikat pengalaman belajar. Meskipun demikian
pertanyaan tentang karakteristik bahan yang akan diajarkan masih selalu timbul.
Ahli pendidikan, Jerome S. Bruner dari Amerika Serikat mencoba memberikan
jawaban atas pertanyaan tersebut, yaitu dengan mengemukakan konsep struktur
bahan pengajaran. Pengembangan konsep ini tidaklah terjadi begitu saja, tetapi
dilatarbelakangi oleh keadaan dan perkembangan pendidikan, khususnya
pendidikan dasar dan menengah di Amerika Serikat.
Salah satu faktor yang mendorong diperlukannya pengembangan
kurikulum adalah karena perkembangan universitas di Amerika Serikat pada
pertengahan pertama abad 20 sangat menekankan pada pengembangan ilmu dan
penelitian. Hasil-hasil perkembangan ilmu dan penelitian hanya menjadi santapan
para sarjana dan cendekiawan. Anak-anak sekolah menengah, apalagi anak
sekolah dasar bahkan para mahasiswa tingkat persiapan tidak pernah memperoleh
pengetahuan tersebut. Para sarjana dan cendekiawan tidak pernah turut serta

141
dalam pengembangan kurikulum sekolah dasar dan sekolah menengah. Dengan
demikian, program sekolah kurang berbobot dan jauh ketinggalan dari
perkembangan ilmu pengetahuan tiekarang hal itu telah dapat diatasi, para sarjana
dan cendekiawan yang turut serta dalam penyusunan kurikulum dan perencanaan
program sekolah, menyiapkan buku teks serta berbagai media pendidikan.
Dewasa ini para ahli psikologi di Amerika Serikat, banyak yang mulai
beralih membahas masalah-masalah belajar di sekolah. Sayangnya perhatian para
ahli tersebut masih lebih banyak tercurah pada studi tentang bakat dan kecakapan,
serta aspek-aspek sosial dan psikologis dalam pendidikan, dan kurang
memperhatikan masalah struktur intelek dari kegiatan dalam kelas.
Dalam tujuan pendidikan di Amerika Serikat, ada dualisme yang
membutuhkan keseimbangan, yaitu antara kegunaan (useful), dengan keindahan
(ornamental). Sekolah diharapkan dapat mengajarkan semua yang berguna dan
semua yang indah. Pengertian berguna mengandung dua pengertian, pertama
dalam bentuk penguasaan keterampilan (skill), dan kedua pemahaman umum
(general understanding). Keterampilan merupakan kecakapan-kecakapan khusus
yang dikuasai seseorang. Keterampilan sangat berhubungan erat dengan profesi
seseorang. Pemahaman umum, merupakan penguasaan hal-hal yang berhubungan
erat dengan masalah kehidupan, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga
masyarakat. Menyusun program pendidikan yang seimbang antara pendidikan
umum dengan pendidikan keterampilan sering cukup sukar.
Dewasa ini konsep proses belajar berangsur-angsur pindah dari
pemahaman umum pada penguasaan keterampilan khusus. Studi tentang transfer
belajar, dahulu berkenaan dengan disiplin-disiplin formal bagaimana menguasai
kemampuan analisis, sintesis, penilaian, dan sebagainya melalui berbagai bentuk
latihan, sekarang transfer lebih banyak berkenaan dengan latihan keterampilan
khusus. Akibatnya selama pertengahan pertama abad 20, sangat kurang penekanan
pada penguasaan struktur atau penguasaan pengetahuan secara menyeluruh.
Apa yang dimaksud dengan penguasaan struktur? Penguasaan struktur
merupakan pemahaman suatu bahan pelajaran secara menyeluruh dan penuh arti.
Belajar struktur adalah belajar secara keseluruhan (utuh), yakni hal-hal yang
saling berhubungan terintegrasi menjadi satu kesatuan. Penguasaan struktur dalam

142
penyusunan kalimat, umpamanya, memungkinkan anak dengan cepat menyusun
banyak kalimat didasarkan atas model struktur yang dipelajari, walaupun tidak
mengetahui aturannya.
Dalam penyusunan kurikulum, masalah mengajarkan struktur perlu
mendapatkan perhatian utama, sebab keberhasilan pelaksanaan suatu kurikulum
sangat dipengaruhi oleh hal tersebut. Ada beberapa pertanyaan umum, sebelum
seseorang sampai pada pertanyaan-pertanyaan yang lebih khusus. Contoh
pertanyaan umum, apakah tujuan pendidikan suatu sekolah. Setelah merumuskan
jawaban pertanyaan tersebut, baru mengajukan pertanyaan yang lebih khusus,
umpamanya, apakah manfaat mata-mata pelajaran yang diberikan. Jawaban
terhadap pertanyaan pertama dapat dihubungkan dengan sifat masyarakat yaitu
tuntutan dan kebutuhannya, juga dapat dihubungkan dengan pemenuhan
kebutuhan pribadi dan masyarakat (kesejahteraan individu dan masyarakat).
Pendidikan yang menekankan struktur, mengutamakan pendidikan intelek,
tetapi tidak berarti pendidikan segi lain diabaikan. Pendidikan yang menekankan
struktur bukan saja dapat berhasil dengan baik pada anak-anak yang cerdas, tetapi
juga pada anak-anak biasa bahkan anak-anak yang kurang mampu. Ini tidak
berarti urutan dan isi bahan pelajaran bagi mereka sama.
Ada empat hal pokok penting dalam proses pendidikan. Pertatna, peranan
struktur bahan, dan bagaimana hal tersebut menjadi pusat kegiatan belajar. Hal
yang sangat penting dalam menyusun dan mengembangkan kurikulum adalah
bagaimana memberikan pengertian kepada siswa tentang struktur yang mendasar
terhadap tiap mata pelajaran. Bagaimana mengajarkan struktur mendasar secara
efektif, serta bagaimana menciptakan kondisi belajar yang mendukung hal
tersebut. Kedua, proses belajar menekankan pada berpikir intuitif. Berpikir intuitif
merupakan teknik intelektual untuk mencapai formulasi tentatif tanpa
mengadakan analisis langkah demi langkah. Ketiga, masalah kesiapan (readiness)
dalam belajar. Pada masa lalu, sekolah banyak membuang vvaktu untuk
mengajarkan hal-hal yang terlalu sulit bagi anak, karena kurang memperhatikan
kesiapan belajar. Keempat, dorongan untuk belajar (learning motives) serta
bagaimana membangkitkan motif tersebut.

143
Tujuan belajar lebih dari sekadar untuk mendapatkan kepuasan atau
menguasai pengetahuan. Belajar menyiapkan peserta didik untuk menghadapi
masa yang akan datang. Ada dua macam belajar untuk menghadapi masa yang
akan datang. Pertama, aplikasi belajar dalam tugastugas khusus, atau pekerjaan-
pekerjaan khusus. Hal itu merupakan transfer belajar dalam berbagai bentuk
keterampilan. Kedua, transfer belajar dalam bentuk prinsip-prinsip dan sikap-
sikap. Tipe belajar yang kedua bukan merupakan belajar keterampilan tetapi
belajar ide-ide yang bersifat umum, yang dapat digunakan untuk mengenal dan
memecahkan berbagai masalah kehidupan. Jenis transfer yang kedua merupakan
inti proses pendidikan, merupakan proses perluasan dan pendalaman yang terus
menerus dari ide-ide dasar dan ide-ide umum. Keberlanjutan proses belajar
tersebut sangat bergantung pada tingkat penguasaan struktur bahan yang akan
diajarkan. Agar seorang siswa mampu mengenal apakah suatu ide dapat
diaplikasikan atau tidak terhadap situasi baru, is harus mempunyai gambaran yang
jelas tentang hakikat fenomena yang dihadapinya. Sebab yang terpenting dalam
belajar ide-ide adalah yang dipelajarinya harus 1.ipat diaplikasikan secara luas
pada masalah-masalah baru.
Untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, dan ini
merupakan hal yang sangat penting, bagaimana menyusun kurikulum yang dapat
diajarkan oleh guru biasa, terhadap murid biasa, yang dapat merefleksikan
prinsip-prinsip dasar dari berbagai bentuk inkuiri. Hal itu meyangkut dua masalah
yaitu bagaimana memilih bahan yang akan diajarkan serta alat-alat pelajaran yang
dapat memberikan tekanan utama pada pengembangan ide-ide dan sikap.
Kemudian, bagaimana menentukan tingkat-tingkat bahan yang akan diajarkan itu
sesuai dengan kemampuan dan tingkat perkembangan para siswa. Agar dapat
memenuhi kedua hal tersebut, dibutuhkan partisipasi dari ahli-ahli yang terbaik
dalam bidangnya dalam penyusunan kurikulum sekolah. Kedua, yang perlu
mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh adalah bagaimana para siswa
menguasai ide-ide dasar dari berbagai bidang studi, bukan saja berkenaan dengan
pengetahuan umum, tetapi juga dengan perkembangan sikap berinkuiri,
perkembangan kemampuan memperkirakan (predictive ability) dan pemecahan
masalah oleh anak sendiri.

144
Seorang ahli fisika memiliki sikap tertentu terhadap alam semesta serta
menguasai cara memahami sistem alam semesta. Siswa yang belajar fisika juga
perlu memiliki sikap tersebut, bila is belajar fisika, tentunya agar yang
dipelajarinya itu berguna bagi proses berpikirnya. Untuk mencapai hal tersebut
yang terpenting adalah menyediakan bahan, memberikan kesempatan dan
mendorong anak untuk mencari dan menemukan aturan yang sebelumnya tidak
diketahui. Menemukan hubungan, persamaan, perbc.- daan di antara ide-ide, hal
itu bukan saja menghasilkan pemahaman ten- tang suatu masalah tetapi juga akan
menumbuhkan kepercayaan kepada diri sendiri. Para ahli berpendapat bahwa hal
itu tidak mungkin dapat dicapai hanya dengan memperhatikan penyusunan
sekuens bahan ajar saja, tetapi juga harus memperhatikan metode untuk
mengajarkan hal tersebut.
Metode utama mengajarkan konsep belajar seperti di atas adalah dengan
menggunakan metode inkuiri. Metode inkuiri banyak digunakan dalam
mengajarkan EPA dan Matematika, tetapi sesungguhnya metodi. inkuiri cukup
memberikan hasil yang baik bila digunakan dalam mengajarkan ilmu-ilmu sosial.
Bagaimana pengetahuan-pengetahuan dasar dijalin dengan minat don kemampuan
anak. Hal itu membutuhkan pemahaman yang dalam serta kejujuran yang
sungguh-sungguh untuk menyajikan fenomena-fenomena baik dalam penyusunan
kurikulum maupun dalam penyajian di kelas. Pengetahuan dasar yang
dihubungkan dengan fenomena-fenomena tersebut harus disajikan dengan benar,
menarik minat dan memberikan manfaat.
Minimal ada empat hal yang merupakan manfaat belajar atau mengajarkan
struktur dasar: Pertama, pemahaman tentang hal-hal yang bersifat fundamental
memungkinkan penguasaan bahan ajar secara lebih komprehensif. Hal itu bukan
hanya berlaku bagi IPA dan Matematika tetapi juga bagi ilmu-ilmu sosial. Anak
yang sudah memahami latar belakang, tujuan dan dasar-dasar pembentukan
ASEAN akan d'engan mudah memahami berbagai bentuk kerja sama dan kegiatan
ASEAN.
Kedua, berhubungan dengan kemampuan ingatan manusia. Menurut
beberapa hasil penelitian, ingatan manusia tentang hal-hal yang detail yang
ditempatkan dalam suatu hubungan pola struktur, mudah sekali dilupakan. Agar

145
sesuatu bahan ajar dapat mudah dan lama dikuasai perlu disimpan atau disajikan
dalam bentuk yang sederhana yang mewakili hal yang lebih kompleks. Perwakilan
yang sederhana tersebut disebut regenerative. Contoh regenerative dalam IPA dan
Matematika adalah rumus-rumus. Suatu rumus yang sederhana merupakan
prasarana dan representasi dari hal yang cukup kompleks. Dalam ilmu sosial juga
dikenal rumus, kaidah, prinsip tertentu. Selain hal-hal tersebut regerative juga
dapat berupa peta, bagan, model, dan sebagainya.
Belajar struktur dasar dapat menjamin berbagai bentuk lupa atau
kehilangan penguasaan. Dengan belajar struktur dasar suatu kehilangan tidak akan
berbentuk kehilangan total, hal-hal yang tersisa dapat membantu menyusun
kembali apa-apa yang sudah hilang atau terlupakan. Suatu teori yang baik bukan
hanya merupakan alat untuk memahami fenomena yang dihadapinya sekarang,
tetapi juga untuk mengingatnya besok.
Ketiga, pemahaman prinsip-prinsip dan ide-ide fundamental merupakan
syarat utama untuk mengadakan transfer. Pemahaman tentang hal yang umum
memungkinkan menguasai banyak hal yang sifatnya khusus, sebab penguasaan
hal umum memungkinkan penguasaan model pemahaman. Ide, bahwa prinsip dan
konsep merupakan dasar bagi transfer merupakan hal yang sudah lama dikenal.
Keempat, penekanan pada struktur dan prinsip-prinsip mengajar yang
fundamental dapat mempersempit jarak antara pengetahuan elementer dengan
pengetahuan yang lebih lanjut.

C. Proses Belajar
Kegiatan mengajar tidak dapat dilepaskan dari belajar, sebab keduanya
merupakan dua sisi dari sebuah mata uang. Mengajar merupakan suatu upaya
yang dilakukan guru agar siswa belajar. Apabila kita mengkaji teoriteori mengajar
yang ada, hampir seluruhnya dikembangkan atau bertolak dari teori belajar.
1. Belajar intuitif
Ada suatu pertanyaan mendasar berkenaan dengan proses belajar, yaitu
apakah proses belajar lebih baik menekankan pada berpikir intuitif atau berpikir
analitik?

146
Pengamatan menunjukkan bahwa dalam berbagai kegiatan belajar
penilaian di sekolah, tekanan lebih banyak diberikan pada kemampuan untuk
memformulasikan secara eksplisit, dan pada kemampuan anak memreproduksikan
penguasaan secara verbal dan numerikal. Belum banyak diketahui apakah
penekanan tersebut menghambat perkembangan pemahaman intuitif atau tidak.
Kita dapat membedakan antara inarticulate genius dengan articulate idiocy.
Inarticulate genius diperlihatkan oleh anak yang menguasai secara mendalam
konsep-konsep bahan ajar, tetapi kurang mampu menyatakan secara verbal. Pada
articulate ideocy anak pandai menyatakan dengan kata-kata tetapi tak punya
kemampuan untuk menggunakan konsep-konsep tersebut. Dua contoh
pemahaman intuitif, pertama seseorang telah cukup lama menghadapi suatu
persoalan, tiba-tiba ia menemukan pemecahan walaupun belum didasarkan atas
pembuktian formal, kedua, seorang dapat dengan cepat memberikan jawaban
dugaan terhadap sesuatu persoalan dengan benar. Seseorang pemikir intuitif yang
baik dilahirkan dengan kekhususan tertentu, tetapi efektivitas intuitifnya dilandasi
oleh pengetahuan yang kuat tentang bidang yang berhubungan dengan kekhususan
tersebut. Pengetahuan yang secara sistematis dikuasainya dapat menunjang
berpikir intuitif, atau variabel-variabel yang mempengaruhinya.

Apakah berpikir intuitif?


Orang lebih mudah membahas atau melakukan pemikiran analitik yang
lebih bersifat konkret daripada berpikir intuitif yang lebih abstrak. Berpikir
analitik meliputi suatu rentetan langkah-langkah. Langkah-langkah tersebut
bersifat eksplisit dan biasanya dapat disampaikan kepada orang lain. Hasil-hasil
pemikiran ini berupa informasi atau suatu operasi. Model pemikiran ini
menggunakan proses pemikiran secara deduktif dengan bantuan model konsep
matematika atau logika, menggunakan prinsip penelitian, eksperimen dan analisis
statistik.
Berpikir intuitif tidak memiliki langkah-langkah yang dapat dirumuskan
secara pasti dan teliti, lebih merupakan suatu manuver yang didasarkan atas
persepsi implisit dari keseluruhan masalah. Pemikir sampai pada suatu jawaban
mungkin benar mungkin juga tidak, dengan sedikit pernyataan tentang proses

147
pencapaiannya. Ia sering jarang dapat menjelaskan bagaimana memperoleh
jawaban, mungkin juga ia tidak menyadari aspek-aspek dari situasi masalah yang
ia hadapi/kerjakan. Biasanya proses pemikiran intuitif ini berkenaan dengan
domain kognitif, terutama dengan struktur pengetahuan, yang memungkinkan ia
melangkah atau meloncat atau memotong jalan pendek untuk sampai pada suatu
jawaban atau pemecahan. Hasil berpikir intuitif dapat dicek dengan kesimpulan
dari hasil analitik, apakah induktif atau deduktif.
Kedua model pemikiran ini dapat saling komplemen. Melalui berpikir
intuitif seseorang memungkinkan sampai pada jawaban atau pemecahan yang
sama sekali tak dapat dipecahkan atau lambat sekali bila menggunakan
pemecahan melalui proses analitik. Kemungkinan dapat teijadi pada suatu saat
pemikir intuitif dapat menemukan masalah yang sama sekali tak dapat ditemukan
oleh pemikir analitik. Pemecahan intuitif mungkin dapat lebih cepat dibandingkan
dengan pemecahan analitik. Hasil pemecahan intuitif dapat dicek oleh hasil
pemecahan analitik.
Intuisi sering diartikan sebagai immediate apprehension atau cognition.
Immediate apprehension merupakan lawan dari mediate apprehension. Mediate
apprehension menunjukkan penguasaan dan pengenalan tak langsung melalui
penggunaan metode formal, analitis dan pembuktian-pembuktian. Immediate
apprehension merupakan pengenalan atau penguasaan langsung tanpa mengikuti
langkah-langkah formal. Menangkap pengertian dan struktur masalah atau situasi
tanpa menggunakan alat atau cara analitis. Dalam berpikir intuitif, hipotesis
dirumuskan dengan cepat, mengkombinasikan beberapa konsep sebelum diketahui
faedahnya.
Di sekolah terutama dalam bidang science dan matematika dewasa ini
sangat dipentingkan proses-proses berpikir analitik. Para perencana kurikulum
perlu berusaha menemukan bagaimana mengembangkan pemikiran intuitif pada
murid-murid seawal mungkin. Seharusnya sebelum murid-murid diperkenalkan
dengan metode analitik terlebih dahulu ditanamkan pemahaman intuitif. Situasi
belajar intuitif di sekolah akan sangat ditentukan oleh sifat bahan pelajaran. Bahan
pelajaran yang berisi banyak perkiraan, memberikan kemungkinan pemahaman

148
dan pengalaman yang luas, mengundang spontanitas, dapat banyak membantu
kegiatan berpikir intuitif bagi murid-muridnya.
Faktor-faktor apa yang mempengaruhi berpikir intuitif? Faktor pertama,
adalah predisposisi, yang berkenaan dengan dimiliki atau tidak dimilikinya
kemampuan intuitif dalam suatu bidang tertentu serta kekuatan intuitif pada
bidang tersebut. Apakah perkembangan intuisi seorang siswa menyerupai gurunya
yang berpikir itu? Mungkin ya, mungkin juga tidak. Kemungkinan kemampuan
intuitif seorang siswa berkembang melalui imitasi sederhana dengan gurunya,
dapat juga berkembang melalui identifikasi yang cukup kompleks. Guru yang
biasa menerka jawaban suatu persoalan, lalu mengeceknya dengan cara analitis
kritis akan lebih mengembangkan kemampuan berpikir intuitifnya daripada guru
yang memecahkan persoalan dengan cara analitis. Seseorang yang mempunyai
pemahaman yang cukup luas dalam bidang tertentu akan mudah memberikan
pemecahan intuitif dibandingkan dengan orang yang kurang menguasai.
Seorang spesialis dalam bidang kedokteran (dokter) dalam pertemuan
pertamanya dengan pasiennya mengemukakan beberapa pertanyaan, mengadakan
pemeriksaan singkat lalu memberikan diagnosis. Untuk pengalaman pertama
diagnosis intuitif yang dilakukan dokter tersebut mungkin kurang sempurna
dibandingkan dengan diagnosis yang bersifat analisis langkah-langkah formal
yang dilakukan oleh seorang dokter muda. Untuk selanjutnya, diagnosis yang
bersifat intuitif (clinical prediction) dapat Iebih berhasil dibandingkan dengan
diagnosis analitis (actuarial prediciton). Hal itu juga tidak berarti bahwa prediksi
intuitif selalu lebih berhasil daripada prediksi analitis. Dari uraian di atas tampak
di samping variabel predisposisi yang mempengaruhi berpikir intuitif, juga imitasi
atau identifikasi dengan seorang pengintuitif, penguasaan atau pemahaman dalam
bidang tertentu serta pengalaman.
Bagaimana pengaruh atau peranan prosedur heuristik terhadap proses
berpikir intuitif? Prosedur heuristik merupakan lawan dari prosedur algoritma.
Algoritma merupakan prosedur pemecahan suatu masalah yang mengikuti urutan
yang teliti, selangkah demi selangkah. Prosedur heuristik merupakan prosedur
pemecahan masalah yang tidak mengikuti urutan langkah demi langkah
pemecahan lebih bersifat menyeluruh dan fleksibel. Prosedur heuristik dengan

149
menggunakan analogi, simetri, pengujian kondisi, visualisasi pemecahan yang
dilakukan secara berulang-ulang akan singat menunjang proses berpikir intuitif.
Apakah dengan berpikir intuitif anak dilatih untuk sekadar mengiratigira?
Padahal di sekolah sering mengira-ngira dianggap suatu kemalasan. Dengan
berpikir intuitif memang anak diminta untuk mengira-ngira, tetapi suatu perkiraan
yang selalu dicek dengan pembuktian, dengan proses pemikiran analitis. Berpikir
intuitif didasari oleh keyakinan pada diri sendiri dan keberanian dari siswa.
Seorang yang berpikir intuitif tidak boleh takut berbuat salah, tetapi juga tidak
boleh menutupi kesalahan. Pemikir intuitif harus jujur, pengecekan kesalahan
dengan pembuktian melalui proses berpikir analitis dapat memperbaiki dan
mengembangkan kemampuan berpikir intuitif seseorang.

2. Belajar bermakna
Ausubel dan Robinson (1969) membedakan dua dimensi dari proses
belajar, yaitu dimensi cara menguasai pengetahuan dan cara menghubungkan
pengetahuan baru dengan struktur ide yang telah ada. Pada dimensi yang pertama
dibedakan tipe belajar yang bersifat mencari (discovery learning) dan yang
bersifat menerima (reception learning). Pada dimensi kedua, dibedakan antara
belajar yang bersifat menghafal (rote learning) dan belajar bermakna (meaningful!
learning).
Dalam belajar menerima keseluruhan bahan pelajaran disajikan kepada si
pelajar dalam bentuk yang sudah sempurna. Si pelajar tinggal menerima saja tanpa
mengadakan usaha-usaha pengolahan, atau pemrosesan Iebih lanjut. Pada belajar
mencari atau belajar diskoveri karena bahan ajar disajikan dalam, bentuk yang
belum selesai, maka si pelajar harus berusaha mencari dan menyelesaikannya
sendiri. Dalam belajar menghafal siswa berusaha menguasai bahan tanpa
mengetahui maknanya, sedang pada belajar bermakna siswa mempelajari sesuatu
bahan ajar dengan berusaha memahami makna atau artinya.
Keempat tipe belajar tesebut sebenarnya hanya merupakan kencederungan-
kecenderungan. Cenderung ke arah mencari atau menerima ke arah menghafal
atau mendapatkan makna. Keseluruhan tipe belajar tersebut juga bisa

150
berkombinasi satu sama lain, membentuk tipe belajar menerima-bermakna,
mencari bermakna, menghafal menerima, dan menghafal mencari.

a. Konsep-Konsep Dasar
Ada dua hal penting dalam konsep belajar bermakna, yaitu struktur
kognitif dan materi pengetahuan baru. Struktur kognitif merupakan segala
pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebagai hasil dari kegiatan belajar yang
lalu. Dalam belajar bermakna pengetahuan baru harus mempunyai hubungan atau
dihubungkan dengan struktur kognitifnya. Hubungan tersebut akan terjadi karena
adanya kesamaan isi (substantiveness) dan secara beraturan (non-arbitrer). Kedua
sifat hubungan tersebut menunjukkan adanya kebermaknaan logis materi yang
akan dipelajari. Jadi kebermaknaan logis ini merupakan sifat dari materi yang
akan dipelajari, tetapi tidak berarti menjamin bahwa itu bermakna bagi siswa.
Agar hal itu bermakna bagi siswa, ada dua tambahan persyaratan. Pertama, suatu
materi memiliki kebermaknaan logis berarti bahwa materi tersebut dapat
dihubungkan dengan konsep-konsep yang telah ada pada siswa. Agar materi baru
dapat difahami siswa, maka is sendiri harus memiliki materi yang sesuai dengan
hal itu. Bila siswa dalam struktur kognitifnya telah memiliki materi, ide-ide yang
sesuai, yang memungkinkan materi baru dapat dihubungkan padanya secara
subtantif dan non-arbitrer, maka materi tersebut telah memiliki kebermaknaan
potensial (potential meaningfulness).Kedua, suatu materi memiliki kebermaknaan
potensial, sebab siswa dapat memberikan makna, tetapi hal itu bergantung pada
kemauan siswa untuk memberi makna atau tidak. Apabila si siswa mempunyai
kesiapan untuk memberi makna maka terjadilah belajar bermakna (meaningful
learning).
Kalau disimpulkan belajar bermakna ini menuntut tiga persyaratan:
1. Materi yang dipelajari harus dapat dihubungkan dengan struktur kognitif
secara beraturan karena adanya kesamaan isi.
2. Siswa harus memiliki konsep yang sesuai dengan materi yang akan
dipelajarinya.
3. Siswa harus mempunyai kemauan atau motif untuk menghubungkan konsep
tersebut dengan struktur kognitifnya.

151
Makna merupakan hasil suatu proses belajar bermakna. Hal itu juga akan
menjadi isi kognitif atau isi dari penyadaran yang muncul bila materi yang punya
makna potensial dihubungkan dengan struktur kognitif. Belajar bermakna dan
belajar manghafal bukan dua hal yang benar-benar bersifat dikotomis, tetapi
hanya menunjukkan apakah sesuatu kegiatan belajar lebih mengarah pada
bermakna atau kurang bermakna.
Suatu kegiatan belajar yang kurang bermakna akan muncul apabila:
1. Materi yang dipelajari kurang memilik kebermaknaan logis.
2. Siswa kurang memiliki konsep-konsep yang sesuai dalam struktur
kognitifnya.
3. Siswa kurang memiliki kesiapan untuk melakukan kegiatan belajar
bermakna.
Belajar bermakna akan menghasilkan konsep-konsep, ide-ide barn yang
punya makna, penuh arti, jelas, nyata perbedaannya dengan yang lain. Konsep
yang demikian tidak akan mudah digoyahkan dibandingkan dengan konsep-
konsep yang dibentuk melalui hubungan atau asosiasi arbitrer. Dengan belajar
bermakna, siswa akan menguasai dan mengingat konsep-konsep inti. Dalam
belajar menghafal sering konsep inti dan konsep bukan inti berbaur dan saling
menghambat, tetapi dalam belajar makna keduanya bisa dibedakan dengan jelas.
Mengapa seseorang melakukan kegiatan belajar dengan menghafal
Minimal ada tiga sebab utama:
1) Mereka belajar dari pengelaman yang kurang menyenangkan yang secara
material memberikan jawaban yang benar, tetapi kurang memberikan
hubungan yang bermakna. Adanya tuntutan memberikan jawaban yang
bersifat fakta-fakta sering mendorong siswa untuk belajar dengan cara
mengingat dan menghafal.
2) Siswa mengalami kecemasan yang cukup besar. Hal ini kemungkinan besar
disebabkan karena ia gagal dalam menguasai pelajaran, atau karena kurang
yakin akan kemampuan belajar bermakna. Untuk mengatasi kecemasan
tersebut ia belajar dengan cara menghafal.
3) Siswa berada dalam suatu tekanan untuk selalu memperhatikan keberhasilan
dan kelancaran belajar, atau menyembunyikan kekurangan-kekurangannya.

152
b. Macam-Macam Belajar Bermakna
Makna merupakan isi dari struktur kognitif, yang terjadi karena materi
yang memiliki kebermaknaan potensial disatukan dengan struktur kognitif. Proses
penyatuan tersebut berbeda-beda dan dapat diletakkan dalam suatu hierarki dari
yang bersifat represensional sampai dengan belajar tingkat tinggi, perbuatan
belajar kreatif.
Belajar represensional merupakan suatu proses belajar untuk mendapatkan
arti atau makna dari simbol-simbol. Kalau orang tua mengatakan kucing sambil
menunjuk seekor kucing, maka pada struktur kognitif anak akan terbentuk
rangsangan internal yang akan memberi makna pada kata kucing sebagai binatang
kucing. Kata kucing menjadi simbol yang mewakili binatang kucing. Melalui
proses representasi tersebut anak akan mengenal banyak nama dan tiap benda
punya nama sendiri. Belajar represensional juga berlaku bagi nama-nama bukan
benda. Kata depan terjadi melalui hubungan antara dua objek seperti kucing di
atas meja, air di dalam gelas dsb.
Belajar konsep dapat mempunyai makna logis dan makna psikologis.
Makna logis terbentuk melalui fenomena adanya benda-benda yang
dikelompokkan karena memiliki ciri-ciri yang sama. Berbagai macam kucing dan
harimau karena cirinya yang sama, dikelompokkan sebagai kucing. Dalam makna
logis ada ciri-ciri utama yang menunjukkan sekumpulan sifat-sifat yang dimiliki
oleh setiap anggota suatu kelas konsep. Ciri-ciri utama tersebut berbeda antara
suatu kelas konsep dengan kelas yang lain. Makna psikologis suatu konsep
terbentuk dalam dua tahap. Pada tahap pertama konsep terbentuk melalui
pengalaman nyata. Secara induktif anak menemukan ciri-ciri utama benda-benda
tertentu. Melalui permainan dengan bermacam-macam warna dan bentuk kubus
anak akan memiliki konsep tentang kubus, walaupun tidak tahu namanya. Pada
tahap berikutnya bila anak telah bersekolah ia belajar makna konsep secara formal
dari nama dan kata-kata. Kedua tahap proses pembentukan makna konsep tersebut
terjadi hampir dalam semua kegiatan anak belajar konsep. Pembentukan konsep
selanjutnya terjadi melalui proses asimilasi yaitu definisi-definisi.
Belajar proposisi. Proposisi atau kaidah merupakan suatu kalimat yang
menunjukkan hubungan antara dua hal. Proposisi ini ada yang bersifat umum,
"binatang buas makan daging" yang berisi banyak konsep dan ada pula yang

153
bersifat khusus, harimau makan kelinci yang hanya berisi satu konsep. Dalam
belajar proposisi yang bermakna, kalimat yang dipelajari dihubungkan dengan
konsep yang ada dalam struktur kognitif. Ada tiga macam cara menghubungkan:
1) Hubungan antar-bagian. Bahan baru yang dipelajari siswa merupakan bagian
dari konsep-konsep yang telah ada. Dalam belajar hubungan antar-bagian ini
ada dua macam bagian, yaitu bagian yang bersifat derivative dan correlative.
Pada bagian derivative siswa melukiskan atau meneruskan hal yang dicakup
dalam sutu proposisi. Contoh: "kucing memanjat pohon", bagian derivative-
nya "kucing tetangga memanjat pohon saya". Dalam bagian correlative,
belajar berfungsi memperluas, mengelaborisasi, memodifikasi proposisi-
proposisi yang telah ada. Contoh anak telah mengenal jajaran genjang,
dengan correlative preposition anak akan mengenal belah ketupat.
2) Hubungan superordinat. Bahan yang dipelajari merupakan superordinat dari
konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya. Anak telah
mengenal besar sudut segi tiga siku-siku 180 derajat, segi tiga sama sisi 180
derajat, dan sebagainya, maka dalam kegiatan belajar sampai pada proposisi
bahwa jumlah sudut setiap segi tiga besarnya 180 derajat.
3) Hubungan kombinasi. Bahan yang dipelajari bukan merupakan bagian bukan
juga superordinat dari yang telah ada, akan tetapi merupakan kombinasi dari
banyak hubungan. Contohnya adalah belajar model.
Belajar diskaveri atau mencari. Bahan yang dipelajari tidak disajikan
secara tuntas tetapi membutuhkan beberapa kegia tan mental untuk menuntaskan
dan menyatakannya dengan struktur kognitif. Belajar diskoveri terbagi atas dua
macam kegiatan belajar, yaitu belajar pemecahan masalah dan belajar kreatif.
Belajar pemecahan masalah, memiliki proses psikologis yang lebih
kompleks dibandingkan dengan belajar proposisi. Dalam belajar pemecahan
masalah, anak dihadapkan pada masalah-masalah yang memerlukan pemecahan.
Guru mengajukan beberapa pertanyaan yang mengarahkan siswa agar
menemukan pemecahan atau jawabannya sendiri.

154
Belajar kreatif. Kreativitas merupakan suatu kemampuan untuk meng-
hasilkan sesuatu yang baru, baik baru bagi dirinya maupun orang lain. Belajar
kreatif adalah siswa proses belajar merencanakan, melaksanakan, dan
membuktikan sendiri•percobaan-percobaan. Mereka berusaha mencari hubungan
antara konsep-konsep yang baru dan konsep-konsep yang telah ada pada struktur
kognitifnya.

3. Hubungan macam-macam belajar dengan taksonomi Bloom Macam-macam


belajar yang telah diuraikan sebelum ini, menunjukkan
adanya beberapa kategori tingkah laku belajar, yaitu belajar bermakna, menghafal
menerima, dan diskaveri. Belajar bermakna pun berbeda-beda pula dari yang
bersifat represensional sampai dengan belajar kreatif. Karena adanya
pengkategorian tersebut maka dapat dicari hubungannya dengan kategori belajar
atau taksonomi dari. Bloom.
Karena pengetahuan atau knowledge Bloom lebih banyak berhubungan
dengan ingatan maka dapat dikelompokkan sebagai belajar menghafal (rote
learning). Mulai dari pemahaman sampai dengan evaluasi dapat dikategorikan
sebagai belajar bermakna. Belajar konsep dan preposisi dapat disamakan dengan
pemahaman, pemecahan masalah dengan analitis dan kreativitas dengan sintesis
yang sukar dimasukkan dalam kategori tersebut adalah aplikasi dan evaluasi.
Dari pembandingan dengan taksonomi Bloom juga dapat ditarik
kesimpulan bahwa macam-macam belajar bermakna ini, lebih menyangkut ranah
kognitif. Ranah afektif dan psikomotor tidak tercakup dengan macam-macam
kategori belajar ini.

4. Mengingat dan lupa


Belajar merupakan proses menguasai makna dari sesuatu bahan pelajaran
yang secara potensial bermakna. Mengingat merupakan suatu proses memelihara
penguasaan sesuatu makna baru. Lupa merupakan kemunduran atau kehilangan
penguasaan suatu makna yang telah dikuasai.

155
Suatu konsep baru dipelajari oleh individu, diingat untuk beberapa saat dan
sebagian ada yang terlupakan. Proses ini terjadi dalam dua langkah: (1)
penguasaan dan penyimpanan, (2) mengingat dan lupa.
Penguasaan dan penyimpanan. Suatu konsep dipelajari dengan cara yang
bermakna dan disatukan dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur
kognitif. Interaksi antara konsep baru dengan konsep-konsep yang telah ada
menimbulkan suatu makna. Makna baru tersebut mungkin mengubah,
memperluas, mempersempit konsep yang telah ada, tetapi dalam bebe rapa hal
mungkin juga tidak mengubah konsep lama.
Dalam struktur kognitif suatu konsep baru, tidak hanya berhubungan
dengan suatu konsep tetapi dengan beberapa konsep yang telah ada. Kekuatan
hubungan dengan masing-masing konsep tidak selalu sama, ada yang kuat sekali,
lemah sekali di samping yang tidak berhubungan sama sekali.
Mengingat dan lupa. Konsep-konsep baru yang kurang umum, melalui
periode waktu bersatu atau berasimilasi dengan konsep-konsep yang telah ada.
Keadaan tersebut dapat terjadinya pengurangan makna, karena terjadi
pengurangan hubungan (reduksi). Karena proses asimilasi dan reduksi tersebut
berjalan spontan dan berangsur-angsur maka konsep-konsep tersebut terlupakan.
Ada dua tingkat kritis untuk mengingat kembali konsep yang terlupakan.
Tingkat yang tertinggi berada pada tingkat yang berhubungan dengan mengingat
kembali (recall). Bila suatu konsep di bawah tingkat recall maka anak tidak dapat
mengingatnya kembali. Suatu konsep yang berada di bawah tingkat recall,
mungkin masih terletak di atas tingkat recognition. Sesuatu yang terlupakan sama
sekali, kalau dipelajari kembali akan terjadi recognition.
Apabila dirangkumkan maka ada tiga faktor yang mempengaruhi
penguasaan kembali konsep dari ingatan:
1) Kekuatan hubungan antara konsep yang telah ada dengan konsep baru.
2) Efektivitas usaha untuk menguasai kembali konsep yang terlupakan, baik
yang memperkuat penguasaan kembali, maupun yang menghambat lupa.
3) Macam penguasaan apakah pada tingkat recall atau recognition.

156
5. Kelebihan belajar bermakna
Suatu bahan dipelajari secara bermakna atau dihafal bergantung pada (1)
sifat bahan apakah secara potensial bermakna atau tidak bermakna, (2) kesiapan si
pelajar sendiri untuk melakukan belajar bermakna.
Hasil belajar bermakna lebih lama dikuasai daripada belajar menghafal.
Dengan demikian belajar bermakna lebih efisien dibandingkan dengan belajar
menghafal. Hal itu disebabkan adanya hubungan yang substantif dan non-arbitrer
dengan konsep-konsep yang ada dalam struktur kognitif. Keadaan demikian
memungkinkan sejumlah besar bahan dapat disatukan dalam struktur kognitif
dengan penguasaan yang lebih efektif. Hubungan suatu konsep yang dipelajari
dengan bermakna dengan struktur kognitif menyebabkan konsep tersebut lebih
lama dikuasai dalam ingatan. Dalam belajar yang bersifat menghafal
hubungannya tidak mendalam, karena terjadi hubungan secara arbitrer, terputus-
putus dan terisolasi.

6. Inhibisi proaktif dan retroaktif


Salah satu penyebab utama dari lupa pada belajar bermakna adalah pengu-
rangan makna dari suatu konsep dalam struktur kognitif.
Pada belajar yang bersifat menghafal, masalah lupa disebabkan oleh
hilangnya atau lemahnya asosiasi antara dua hal. Dalam belajar mengingat ada
dua hambatan (inhibition) yang mungkin terjadi yaitu hambatan proaktif dan
retroaktif. Hambatan proaktif merupakan hambatan dalam mengingat sesuatu
karena adanya pengaruh dari bahan yang telah dipelajari lebih dahulu. Hambatan
retroaktif merupakan hambatan dalam mengingat yang lama karena bahan baru.
Ketimpangan isi yang diajarkan dan yang diingat. Sering terjadi perbedaan antara
isi bahan yang diajarkan dengan diingat, hal itu dilatarbelakangi oleh beberapa
hal:
a. Ketidakjelasan, kekacauan, keraguan arti sesuatu konsep sejak awal proses
belajar, karena kekurangtepatan makna konsep pokok dalam struktur kognitif.
Kekurangstabilan dan kekurangjelasan konsepkonsep pokok tersebut,
menyebabkan terjadinya perbedaan isi antara bahan baru dengan konsep
pokok.

157
b. Pada saat memberikan penafsiran pertama terhadap bahan baru yang bersifat
selektif, terjadi kesalahan dan penghilangan atau pengurangan ciri-ciri. Pada
fase mengingat kembali bahan-bahan tersebut cenderung terjadi pengurangan
terhadap konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif. Jika suatu
bahan baru salah penafsirannya karena adanya kelainan dalam struktur
kognitif, kesalahan tersebut akan menetap malah akan diperkuat pada masa-
masa asimilasi.
c. Kesalahan dan penyimpangan dapat terjadi bila suatu makna yang telah
tersimpan dirumuskan kembali secara verbal.
Dalam menerima suatu konsep baru terjadi "leveling" dan "sharpening".
Leveling adalah penyusutan bentuk yang tidak lazim dalam bentuk yang lebih
lazim, sedang sharpening adalah penajaman suatu konsep atau perangsang
menjadi lebih sempurna lebih baik. Masalah lupa memiliki nilai positif dan juga
nilai negatif. Nilai positifnya adalah menyeleksi ideide baru mana yang lebih
stabil, lebih penting dan lebih memperkuat konsep-konsep yang telah ada, dan
tidak mengingat semua perangsang yang masuk.
Mengingat bermakna yaitu memasukkan konsep-konsep penting dalam
struktur kognitif sangat penting bagi kegiatan belajar Iebih lanjut dan kegiatan-
kegiatan pemecahan masalah sebab konsep-konsep tersebut merupakan pijakan
dan bahan yang akan diolah dalam proses belajar selanjutnya. Penguasaan konsep-
konsep penting sering mengabaikan konsep-konsep atau detail-detail yang kurang
penting. Hal itu disebabkan bahan-bahan yang tidak penting sudah tercakup dalam
hal-hal yang penting. Karena merasa sudah tercakup sering terlupakan. Sebab lain,
terjadi karena bahan-bahan baru yang kurang penting tersebut dalam
penyatuannya dengan yang telah ada kurang stabil, kurang kuat, kurang jelas
sehingga mudah sekali terlupakan.

D. Kesiapan Belajar
Tiap bahan pelajaran dapat diajarkan kepada anak secara efektif bila sesuai
dengan tingkat perkembangan anak tersebut. Ada tiga masalah penting berkenaan
dengan penyesuaian bahan ajar dengan perkembangan anak:

158
1. Perkernbangan intelek
Hasil penelitian berkenaan dengan perkembangan intelek anak menun-
jukkan, bahwa tiap tingkat perkembangan mempunyai karakteristik tertentu
tentang cara anak melihat lingkungannya dan cara memberi arti bagi dirinya
sendiri. Mengajarkan suatu bahan pelajaran kepada anak, adalah
mempresentasikan struktur bahan pelajaran sesuai dengan cara anak memandang
atau mengartikan bahan pelajaran tersebut. Pengajaran merupakan suatu
translation. Suatu dugaan umum bahwa ide atau konsep dapat direpresentasikan
dengan sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya sesuai dengan tingkat pemikiran
anak pada tingkat usia tertentu, dan representasi pertama diperkuat dan diperbaiki
pada tingkat selanjutnya.
Menurut Piaget, ada empat tingkat perkembangan anak: Tingkat pertama
adalah tingkat Sensory motor, masa lahir sampai 2 tahun merupakan masa
perkembangan kemampuan bergerak dan merespons terhadap rangsangan. Tingkat
kedua, masa 2 sampai 7 tahun disebut tingkat Preoperasional. Tugas
perkembangan anak pada masa ini terutama membentuk hubungan antara
pengalaman dengan kegiatan. Melalui berbagai kegiatan anak bermanipulasi
dengan lingkungan. Tingkat ini mulai dari perkembangan awal berbahasa sampai
anak marnpu belajar bermanipulasi dengan simbol-simbol. Kemampuan simbolik
utama yang harus dipelajari anak, adalah bagaimana merepresentasikan dunia luar
melalui pembentukan simbol-simbol anak, tidak ada batas perbedaan antara motif
dan peranan dirinya dengan kegiatan lingkungannya. Matahari bergerak karena
didorong oleh Tuhan, dan bintang-bintang tidur seperti dia. Anak tidak dapat
membedakan antara tujuan dengan cara atau alat untuk mencapainya. Hal itu
karena anak lebih dipengaruhi oleh intuisi daripada oleh kegiatan simbolik, lebih
banyak dipengaruhi perbuatan trial and error daripada hasil pemikiran.
Kekurangan utama pada tingkat ini adalah anak belum memiliki konsep
perbedaan atau perlawanan (reversibility). Bila suatu benda berubah anak belum
dapat menangkap ide bahwa benda tersebut dapat dikembalikan pada keadaan
asalnya. Kekurangan tersebut sering menghambat penguasaan ide dasar bidang
studi tertentu terutama matematika dan fisika. Tingkat ketiga, masa antara 7
sampai 11 tahun, merupakan masa anak sekolah, disebut juga tingkat "concrete

159
operational". Tingkat ini merupakan tingkat operasional yang berbeda dengan
tingkat pertama yang semata-mata hanya aktif.
Operasi merupakan pengumpulan data tentang dunia sekitarnya, kemudian
ditransformasikan sehingga dapat disusun dan digunakan secara selektif dalam
memecahkan masalah. Operasi bersifat internalisasi dan reversible. Internalisasi
berarti bahwa anak memecahkan masalah bukan dengan cara trial and error tetapi
dengan pemikiran, trial and error digunakan untuk menjadi pembantu atau bahan
pembanding pemikiran. Reversibility diperlukan, karena dalam operasi
dibutuhkan adanya "complete compensation". Suatu operasi dapat dikompensasi
dengan operasi sebaliknya. Pengurangan dikompensasi oleh penjumlahan,
perkalian oleh pembagian.
Dengan operasi konkret anak mengembangkan struktur internalnya.
Struktur internal merupakan hal yang sangat esensial, karena dengan struktur
internal anak mampu beroperasi. Pada diri anak ada sistem simbolik internal yang
merepresentasikan dunia luar. Agar anak menguasai apa yang diajarkan, maka
bahan ajar harus disesuaikan dengan "bahasa" struktur internal tersebut. Operasi
konkret dibimbing oleh "logika kelas" dan "logika" hubungan yang merupakan
alat penstrukturan kenyataan yang dihadapinya dan pernah dialaminya pada saat
yang lalu, tetapi ma belum mampu menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang
sama sekali asing baginya. Ini tidak berarti anak yang beroperasi secara konkret
tidak mampu mengantisipasi hal-hal yang tidak ada. Anak belum mampu secara
sistematik melampaui informasi yang diberikan, untuk mendeskripsikan apa yang
terjadi.
Tingkat keempat, masa antara 11 sampai dengan 14 tahun, merupakan
tingkat "formal operation". Kegiatan intelektual anak didasarkan atas kemampuan
beroperasi pada tingkat hipotetis dan bukan lagi pada tingkat pengalaman, atau
terbatas pada apa yang telah dikenalnya. Seorang anak mampu memikirkan
kemungkinan variabel-variabel, dan bahkan mampu mendeduksi hubungan
potensial yang dapat dicek dengan percobaan atau pengamatan. Operasi
intelektual telah berkembang sampai pada tingkat semacam operasi logis ahli
logika, sarjana atau para pemikir lainnya. Pada tingkat ini anak mampu
memberikan pernyataan formal atau pernyataan axiomatik pada ide-ide yang

160
konkret, sebelum langkah pemecahan masalah. Pada tingkat operasi konkret anak
mampu menangkap secara intuitif dan konkret, sejumlah ide-ide dasar ilmu
pengetahuan.
Yang sangat penting dalam mengajarkan konsep-konsep dasar adalah anak
dibantu untuk berkembang dari berpikir konkret pada menggunakan cara berpikir
yang lebih konseptual. Hal itu akan sia-sia saja, bila guru mengajarkannya dengan
cara menyajikan penjelasan-penjelasan formal yang didasarkan atas logika,
kurang disesuaikan dengan cara berpikir anak serta kurang mengaplikasikannya.
Dalam pengajaran matematika sering anak bukan belajar "aturan matematis",
tetapi belajar menggunakan alatalat atau resep-resep matematis tanpa
memahaminya.
Perkembangan intelek anak bukanlah suatu rangkaian perkembangan yang
bersifat tertutup, tetapi terbuka, merespons terhadap pengaruh lingkungannya
terutama lingkungan sekolah. Perkembangan intelek anak perlu ditunjang oleh
kesempatan-kesempatan yang berguna agar berkembang lebih pesat. Menurut
David Page seorang ahli dan guru yang sangat berpengalaman dalam mengajar
matematika, dalam pengajaran dari Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan
Tinggi dalam perkembangan intelek menunjukkan kecenderungan yang sama,
bahwa anak lebih spontan, lebih kreatif, lebih energik dibandingkan dengan orang
dewasa. Belajar anak dalam segala hal lebih cepat dibandingkan dengan orang tua.

2. Kegiatan belajar
Belajar sesuatu bidang pelajaran, minimal meliputi tiga proses. Pertama,
proses mendapatkan atau memperoleh informasi baru untuk melengkapi atau
menggantikan informasi yang telah dimiliki atau menyempurnakan pengetahuan
yang telah ada. Kedua, transformasi, yaitu proses memanipulasi pengetahuan agar
sesuai dengan tugas yang baru. Transformasi meliputi cara-cara mengolah
informasi untuk sampai pada kesimpulan yang lebih tinggi. Ketiga, proses
evaluasi untuk mengecek apakah manipulasi sudah memadai untuk dapat
menjalankan tugas rnencapai sasaran. Apakah kesimpulan yang telah dilakukan
dengan saksama, dapat dioperasikan dengan baik.

161
Dalam mempersiapkan bahan pelajaran, biasanya kita susun bahan
pelajaran tersebut dalam rentetan episode (satuan pelajaran). Dalam tiap episode
terdapat ketiga proses di atas. Episode belajar dapat panjang, juga dapat pendek,
berisi banyak konsep, atau hanya beberapa konsep saja. Dalam menyajikan bahan
pelajaran sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan murid, episode-episode bahan
pelajaran, kita manipulasi dengan beberapa cara. Cara-cara yang biasa dilakukan
adalah: memperpanjang atau memperpendek isi episode, memberikan ganjaran
dalam bentuk pujian, pemberian gelar juara, dan sebagainya, mempersiapkan
pertanyaan yang dapat memberikan motivasi intrinsik atau ekstrinsik.

3. Spiral Kurikulum
Jika prinsip-prinsip perkembangan anak telah diperhatikan, bahan ajar
telah disusun dalam urutan yang logis dan cukup mendorong perkembangan dan
keadaan memungkinkan untuk memperkenalkannya seawal mungkin; apakah
anak akan menjadi orang dewasa dan berpengetahuan. Bila sudah cukup
berpengetahuan apakah menjadi orang dewasa yang lebih baik? Bila javvabannya
cenderung ke arah tidak atau tidak jelas (ambigius), hal itu menunjukkan belum
adanya keteraturan dalam mated, kurikulum.
Kurikulum bukan sesuatu yang staffs tertutup, tetapi merupakan spiral
terbuka. Kurikulum memiliki struktur bahan ajar, yang disusun atau dibentuk di
sekitar prinsip-prinsip, masalah-masalah dan nilai-nilai dalam masyarakat.
Kurikulum selalu membutuhkan baik anak didik maupun masyarakat sekitarnya.

E. Minat dan Motif Belajar


Dalam perencanaan kurikulum sering dibedakan antara tujuan jangka
panjang dan tujuan jangka pendek. Seorang yang berpendirian lebih praktis lebih
mengutamakan tujuan jangka pendek, yang dapat dicapai dengan penggunaan
bahan yang singkat serta metode yang sederhana. Orang yang lebih ideal, lebih
mengutamakan tujuan jangka panjang, karena tujuan jangka pendek tidak
memberikan arah sama sekali. Kedua macam tujuan tersebut sama pentingnya dan
diperlukan dalam pelaksanaan program. Tujuan jangka panjang merupakan tujuan
akhir pendidikan (the end of education), penting, sebab merupakan sasaran akhir,

162
tetapi tujuan jangka pendek juga penting sebab dengan tujuan tersebut lebih
konkret, lebih mudah dicapai dan akan selalu ditemukan tujuan yang baru menuju
sasaran akhir.
Pendidikan di Amerika Serikat dewasa ini sangat menekankan pada
keunggulan (excellence). Masalahnya, untuk mencapai hal tersebut, apa yang
harus diajarkan, bagaimana mengajarkannya serta bagaimana membangkitkan
minat belajar murid. Pencapaian keunggulan bukan hanya bagi anak-anak yang
cerdas tetapi juga ditujukan bagi anak-anak biasa. Konsep pendidikan atau
pengajaran hanya dipersiapkan bagi anak ratarata agar sesuai bagi setiap
kelompok anak, adalah kurang tepat. Persoalannya, bagaimana menyiapkan bahan
pengajaran yang dapat merangsang minat belajar anak cerdas, tetapi juga tidak
mematikan minat atau tetap mendorong minat belajar anak-anak yang tidak
cerdas. Untuk mencapai cita-cita pendidikan unggul dibutuhkan kurikulum yang
sesuai, pendidikan guru yang efektif, menggunakan alat-alat bantu pengajaran
yang cukup serta diciptakan berbagai usaha pemberian motivasi.
Pembangkitan motif belajar pada anak, sukar dilaksanakan apabila proses
belajar lebih menekankan pada satuan-satuan kurikulum, sistem kenaikan kelas,
sistem ujian, serta mengutamakan kontinuitas dan pendalaman belajar.
Mengenai pemusatan perhatian dan minat belajar terletak dalam suatu
kontinum yang bergerak dari sikap apatis atau sama sekali tidak menaruh minat
sampai dengan yang sangat berminat. Minat atau perhatian belajar ini sangat
berhubungan dengan kegiatan belajar. Kegiatan belajar juga bergerak dari yang
aktif, yang berbentuk suatu proyek yang berisi kegiatan kompetitif, yang banyak
membangkitkan minat belajar anak sampai dengan kegiatan yang bersifat
excessive yakni setiap anak secara pasif menanti giliran penugasan, yang banyak
memberikan kebosanan dan apatisme.
Pembangkitan minat belajar pada anak, ada yang bersifat sementara
(jangka pendek), dan ada juga yang lebih bersifat menetap (jangka panjang).
Terdapat perbedaan usaha untuk membangkitkan minat yang bersifat sementara
dengan yang lebih bersifat menetap. Penggunaan film, audio visual aid, dan lain-
lain dapat membangkitkan minat yang bersifat sementara. Untuk yang lebih
berjangka lama, film, audio visual aid, dan lain-lain dapat menimbulkan

163
kepasifan. Film dan audio visual aid merupakan alat yang berorientasi pada
hiburan, seperti halnya kebudayaan komunikasi massa dapat menimbulkan
kepasifan dan sikap monoton. Sikap belajar menonton yang pasif (the spectator's
possitivy) merupakan hal yang membahayakan dalam perkembangan anak. Untuk
membangkitkan minat yang lebih bersifat menetap (jangka panjang), langkah
pertama yang harus diusahakan adalah membangkitkan otonomi yang aktif, yang
merupakan lawan dari kepenontonan yang pasif. Motif belajar pada anak
umumnya campuran, antara yang bersifat sementara, antara otonomi aktif dengan
menonton.
Beberapa hal dapat diusahakan untuk membangkitkan motif belajar pada
anak yaitu pemilihan bahan pengajaran yang berarti bagi anak, menciptakan
kegiatan belajar yang dapat membangkitkan dorongan untuk menemukan
(discovery), menerjemahkan apa yang akan diajarkan dalam bentuk pikiran yang
sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Sesuatu bahan pengajaran yang berarti
bagi anak yang disajikan dalam bentuk yang sesuai dengan tingkat kemampuan
berpikir anak, dan disampaikan dalam bentuk anak lebih aktif, anak banyak
terlibat dalam proses belajar dapat membangkitkan motif belajar yang lebih
berjangka panjang.
Salah satu sistem untuk membangkitkan motif belajar para siswa, yang
sekarang sedang dikembangkan adalah yang disebut meritocracy. Meritocracy
merupakan sistem pengajaran yang menekankan pada kompetisi atau persaingan.
Dalam sistem meritocracy siswa mempunyai kesempatan untuk maju terus sesuai
dengan prestasi belajar yang dicapainya. Posisi dalam sekolah selanjutnya
ditentukan oleh record di sekolah sebelumnya. Kesempatan pendidikan selan-
jutnya bahkan juga kesempatan pekerjaan selanjutnya, ditentukan oleh sukses
sebelumnya. Dalam sistem meritocracy anak yang pandai dapat berkembang
pesat, jauh meninggalkan teman-temannya, tetapi sebaliknya anak yang kurang
pandai akan jauh tertinggal. Sistem meritocracy dapat membangkitkan motif yang
sangat besar bagi anakanak yang pandai, tetapi dapat mematahkan semangat anak-
anak yang kurang. Sistem meritocracy selain mempunyai beberapa kebaikan, juga
mempunyai beberapa efek negatif terutama berkenaan dengan suasana belajar.
Efek yang kurang baik dalam suasana belajar dapat dikontrol dengan perencanaan
yang matang.

164
Dalam sekolah yang menekankan sistem kompetitif, dibutuhkan usaha-
usaha remedial terutama untuk anak-anak lambat belajar. Penyuluhan khusus
sering dibutuhkan bukan saja oleh anak-anak yang lambat tetapi juga anak cepat.
Remedial dan penyuluhan bukan satu-satunya jawaban untuk mengatasi masalah
belajar yang bersifat kompetitif. Salah satu kelemahan sistem meritocracy adalah
terlalu menekankan pada science dan teknologi, pelajaran yang berkenaan dengan
humanisme kurang sekali. Hal itu dapat diatasi dengan menggunakan sistem
pendidikan yang pluralistis. Pendidikan seni, musik, drama serta pendidikan
humanitas lainnya sangat membantu untuk mencapai keseimbangan.

165
BAB 8
PENGEMBANGAN KURIKULUM

A. Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum


Kurikulum merupakan rancangan pendidikan yang merangkum semua
pengalaman belajar yang disediakan bagi siswa di sekolah. Dalam kurikulum
terintegrasi filsafat, nilai-nilai, pengetahuan, dan perbuatan pendidikan.
Kurikulum disusun oleh para ahli pendidikan/ahli kurikulum, ahli bidang ilmu,
pendidik, pejabat pendidikan, pengusaha serta unsurunsur masyarakat lainnya.
Rancangan ini disusun dengan maksud memberi pedoman kepada para pelaksana
pendidikan, dalam proses pembimbingan perkembangan siswa, mencapai tujuan
yang dicita-citakan oleh siswa sendiri, keluarga, maupun masyarakat.
Kelas merupakan tempat untuk melaksanakan dan menguji kurikulum. Di
sana semua konsep, prinsip, nilai, pengetahuan, metode, alat, dan kemampuan
guru diuji dalam bentuk perbuatan, yang akan mewujudkan bentuk kurikulum
yang nyata dan hidup. Pewujudan konsep, prinsip, dan aspek-aspek kurikulum
tersebut seluruhnya terletak pada guru. Oleh karena itu, gurulah pemegang kunci
pelaksanaan dan keberhasilan kurikulum. Dialah sebenarnya perencana,
pelaksana, penilai, dan pengembang kurikulum sesungguhnya. Suatu kurikulum
diharapkan memberikan landasan, isi, dan, menjadi pedoman bagi pengembangan
kemampuan siswa secara optimal sesuai dengan tuntutan dan tantangan
perkembangan masyarakat.

1. Prinsip-prinsip umum
Ada beberapa prinsip umum dalam pengembangan kurikulum. Pertama,
prinsipreigansi. Ada dua macam relevansi yang harus dimiliki kurikulum, yaitu
relevan ke luar dan relevansi di dalam kurikulum itu sendiri. Relevansi ke luar
maksudnya tujuan, isi, dan proses belajar yang tercakup dalam kurikulum
hendaknya relevan dengan tuntutan, kebutuhan, dan perkembangan masyarakat.
Kurikulum menyiapkan siswa untuk bisa hidup dan bekerja dalam masyarakat.
Apa yang tertuang dalam kurikulum hendaknya mempersiapkan siswa untuk tugas

166
tersebut. Kurikulum bukan hanya menyiapkan anak untuk kehidupannya sekarang
tetapi juga yang akan datang. Kurikulum juga harus memiliki relevansi di dalam
yaitu ada kesesuaian atau konsistensi antara komponen-komponen kurikulum,
yaitu antara tujuan, isi, proses penyampaian, dan penilaian. Relevansi internal ini
menunjukkan suatu keterpaduan kurikulum.
Prinsip kedua adalah fleksibilitas, kurikulum hendaknya memilih sifat
lentur atau fleksibel. Kurikulum mempersiapkan anak untuk kehidupan sekarang
dan yang akan datang, di sini dan ditempat lain, bagi anak yang memiliki latar
belakang dan kemampuan yang berbeda. Suatu kurikulum yang baik adalah
kurikulum yang berisi hal-hal yang solid, tetapi daram pelaksanaannya memung
inkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan kondisi daera aktu maupun
kemampuan, dan latar belakang anak.
Prinsip ketiga adalah kontinuitas yaitu kesinambungan. Perkembangan dan
proses belajar anak berlangsung secara berkesinambungan, tidak terputus-putus
atau berhenti-henti. Oleh karena itu, pengalamanpengalaman belajar yang
disediakan kurikulum juga hendaknya berkesinambungan antara satu tingkat
kelas, dengan kelas lainnya, antara satu jenjang pendidikan dengan jenjang
lainnya, juga antara jenjang pendidikan dengan pekerjaan. Pengembangan
kurikulum perlu dilakukan serempak bersama-sama, perlu selalu ada komunikasi
dan kerja sama antara para pengembang kurikulum sekolah dasar dengan SMTP,
SMTA, dan Perguruan Tinggi.
Prinsip keempat adalah praktis, mudah dilaksanakan, menggunakan alat-
alat sederhana dan biayanya juga murah. Prinsip ini juga disebut prinsip efisiensi.
Betapapun bagus dan idealnya suatu kurikulum kalau menuntut keahlian-keahlian
dan peralatan yang sangat khusus dan mahal pula biayanya, maka kurikulum
tersebut tidak praktis dan sukar dilaksanakan. Kurikulum dan pendidikan selalu
dilaksanakan dalam keterbatasan-keterbatasan, baik keterbatasan waktu, biaya,
alat, maupun personalia. Kurikulum bukan hanya harus ideal tetapi juga praktis.
Prinsip kelima adalah efektivitas. Walatipun kurikulum tersebut hams
murah, sederhana, dan murah tetapi keberhasilannya tetap harus diperhatikan.
Keberhasilan pelaksanaan kurikulum ini baik secara kuantitas maupun kualitas.
Pengembangan suatu kurikulum tidak dapat dilepaskan dan merupakan penjabaran
dari perencanaan pendidikan. Perencanaan di bidang pendidikan juga merupakan

167
bagian yang dijabarkan dari kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah di bidang
pendidikan. Keberhasilan kurikulum akan mempengaruhi keberhasilan
pendidikan.
Kurikulum pada dasarnya berintikan empat aspek utama yaitu: tujuan-
tujuan pendidikan, isi pendidikan, pengalaman belajar, dan penilaian.
Interelasi antara keempat aspek tersebut serta antara aspek-aspek tersebut
dengan kebijaksanaan pendidikan perlu selalu mendapat perhatian dalam
pengembangan kurikulum.
Visualisasi kerangka berpikir tersebut dapat dilihat pada bagan berikut:

BAGAN 8. Hubungan kurikulum dengan pembangunan pendidikan

168
2. Prinsip-prinsip khusus
Ada beberapa prinsip yang lebih khusus dalam pengembangan kurikulum.
Prinsip-prinsip ini berkenaan dengan penyusunan tujuan, isi, pengalaman belajar,
dan penilaian.
Prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan
Tujuan menjadi pusat kegiatan dan arah semua kegiatan pendidikan.
Perumusan komponen-komponen kurikulum hendaknya mengacu pada tujuan
pendidikan. Tujuan pendidikan mencakup tujuan yang bersifat umum atau
berjangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek (tujuan khusus).
Perumusan tujuan pendidikan bersumber pada:
1. Ketentuan dan kebijaksanaan pemerintah, yang dapat ditemukan dalam
dokumen-dokumen lembaga negara mengenai tujuan, dan strategi
pembangunan termasuk di dalamnya pendidikan;
2. Survai mengenai persepsi orang tua/masyarakat tentang kebutuhan memka
yang dikirimkan melalui angket atau wawancara dengan mereka;
3. Survai tentang pandangan para ahli dalam bidang-bidang tertentu, dihimpun
melalui angket, wawancara, observasi, dan dari berbagai media massa;
4. Survai tentang manpower;
5. Pengalaman negara-negara lain dalam masalah yang sama;
6. Penelitian.

Prinsip berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan


Memilih isi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan yang telah
ditentukan para perencana kurikulum perlu mempertimbangkan beberapa hal.
1. Perlu penjabaran tujuan pendidikan/pengajaran ke dalam bentuk perbuatan
hasil belajar yang khusus dan sederhana. Makin umum suatu perbuatan hasil
belajar dirumuskan semakin sulit menciptakan pengalaman belajar;
2. Isi bahan pelajaran harus meliputi segi pengetahuan, sikap, dan
keterampilan;
3. Unit-unit kurikulum harus disusun dalam urutan yang logis dan sistematis.
Ketiga ranah belajar, yaitu pengetahuan, sikap, dan keterampilan diberikan
secara simultan dalam urutan situasi belajar. Untuk hal tersebut diperlukan

169
buku pedoman guru yang memberikan penjelasan tentang organisasi bahan
dan alat pengajaran secara lebih mendetail.

Prinsip berkenaan dengan pemilihan proses belajar mengajar


Pemilihan proses belajar mengajar yang digunakan hendaknya memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
1. Apakah metode/teknik belajar-mengajar yang digunakan cocok untuk
mengajarkan bahan pelajaran?
2. Apakah metode/teknik tersebut memberikan kegiatan yang bervariasi
sehingga dapat melayani perbedaan individual siswa?
3. Apakah metode/teknik tersebut memberikan urutan kegiatan yang
bertingkat-tingkat?
4. Apakah metode/ teknik tersebut dapat menciptakan kegiatan untuk
mencapai tujuan kognitif, afektif dan psikomotor?
5. Apakah metode/teknik tersebut lebih mengaktifkan siswa, atau
mengaktifkan guru atau kedua-duanya?
6. Apakah metode/teknik tersebut mendorong berkembangnya kemampuan
baru?
7. Apakah metode/teknik tersebut menimbulkan jalinan kegiatan belajar di
sekolah dan di rumah, juga mendorong penggunaan sumber yang ada di
rumah dan di masyarakat?
8. Untuk belajar keterampilan sangat dibutuhkan kegiatan belajar yang
menekankan "learning by doing" di samping "learning by seeing and
knowing".

Prinsip berkenaan dengan pemilihan media dan alat pengajaran


Proses belajar-mengajar yang baik perlu didukung oleh penggunaan media dan
alat-alat bantu pengajaran yang tepat.
1. Alat/media pengajaran apa yang diperlukan. Apakah semuanya sudah
tersedia? Bila alat tersebut tidak ada apa penggantinya?
2. Kalau ada alat yang harus dibuat, hendaknya memperhatikan: bagaimana
pembuatannya, siapa yang membuat, pembiayaannya, waktu pembuatan?

170
3. Bagaimana pengorganisasian alat dalam bahan pelajaran, apakah dalam
bentuk modul, paket belajar, dan lain-lain?
4. Bagaimana pengintegrasiannya dalam keseluruhan kegiatan belajar?
5. Hasil yang terbaik akan diperoleh dengan menggunakan multi media.

Prinsip berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian


Penilaian merupakan bagian integral dari pengajaran:
1. Dalam penyusunan alat penilaian (test) hendaknya diikuti langkahlangkah
sebagai berikut:
Rumuskan tujuan-tujuan pendidikan yang umum, dalam ranahranah
kognitif, afektif, dan psikomotor. Uraikan ke dalam bentuk tingkah-
tingkah laku murid yang dapat diamati. Hubungkan dengan bahan
pelajaran. Tuliskan butir-butir test.
2. Dalam merencanakan suatu penilaian hendaknya diperhatikan beberapa
hal;
Bagaimana kelas, usia, dan tingkat kemampuan kelompok yang akan
ditest?
Berapa lama waktu dibutuhkan untuk pelaksanaan test? Apakah test
tersebut berbentuk uraian atau objektif?
Berapa banyak butir test perlu disusun?
Apakah tes tersebut diadministrasikan oleh guru atau oleh murid?
3. Dalam pengolahan suatu hasil penilaian hendaknya diperhatikan halhal
sebagai berikut:
Norma apa yang digunakan di dalam pengolahan hasil test? Apakah
digunakan formula guessing?
Bagaimana pengubahan skor ke dalam skor masak?
Skor standar apa yang digunakan?
Untuk apakah hasil-hasil test digunakan?

B. Pengembang Kurikulum
Dalam mengembangkan suatu kurikulum banyak pihak yang turut
berpartisipasi, yaitu: administrator pendidikan, ahli pendidikan, ahli kurikulum,

171
ahli bidang ilmu pengetahuan, guru-guru, dan orang tua murid serta tokoh-tokoh
masyarakat. Dari pihak-pihak tersebut yang secara terusmenerus turut terlibat
dalam pengembangan kurikulum adalah: administrator, guru, dan orang tua.
1. Peranan para administrator pendidikan
Para administrator pendidikan ini terdiri atas: direktur bidang pendidikan,
pusat pengembangan kurikulum, kepala kantor wilayah, kepala kantor kabupaten
dan kecamatan serta kepala sekolah. Peranan para administrator di tingkat pusat
(direktur dan kepala pusat) dalam pengembangan kurikulum adalah menyusun
dasar-dasar hukum, menyusun kerangka dasar serta program inti kurikulum.
Kerangka dasar dan program inti tersebut akan menentukan minimum course yang
dituntut.
Administrator tingkat pusat bekerja sama dengan para ahli pendidikan dan
ahli bidang studi di Perguruan Tinggi serta meminta persetujuannya terutama
dalam penyusunan kurikulum sekolah. Atas dasar kerangka dasar dan program inti
tersebut para administrator daerah (kepala kantor wilayah) dan administrator lokal
(kabupaten, kecamatan dan kepala sekolah) mengembangkan kurikulum sekolah
bagi daerahnya yang sesuai dengan kebutuhan daerah. Para kepala sekolah
mempunyai wewenang dalam membuat operasionalisasi sistem pendidikan pada
masing-masing sekolah. Para kepala sekolah ini sesungguhnya yang secara terus
menerus terlibat dalam pengembangan dan implementasi kurikulum, memberikan
dorongan dan bimbingan kepada guru-guru. Walaupun guru dapat
mengembangkan kurikulum sendiri, tetapi dalam pelaksanaannya sering harus
didorong dan dibantu oleh para administrator. Administrator lokal harus bekerja
sama dengan kepala sekolah dan guru dalam mengembangkan kurikulum yang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mengkomunikasikan sistem pendidikan
kepada masyarakat, serta mendorong pelaksanaan kurikulum oleh guru-guru di
kelas. Peranan kepala sekolah lebih banyak berkenaan dengan implementasi
kurikulum di sekolahnya. Kepala sekolah juga mempunyai peranan kunci dalam
menciptakan kondisi untuk pengembangan kurikulum di sekolahnya. la
merupakan figur kunci di sekolah, kepemimpinan kepala sekolah sangat
mempengaruhi suasana sekolah dan pengembangan kurikulum.

172
2. Peranan para ahli
Pengembangan kurikulum bukan saja didasarkan atas perubahan tuntutan
kehidupan dalam masyarakat, tetapi juga perlu dilandasi oleh perkembangan
konsep-konsep dalam ilmu. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum
membutuhkan bantuan pemikiran para ahli, baik ahli pendidikan, ahli kurikulum,
maupun ahli bidang studi/disiplin ilmu.
Mengacu pada kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ditetapkan pemerintah,
baik kebijaksanaan pembangunan secara umum maupun pembangunan
pendidikan, perkembangan tuntutan masyarakat, dan masukan-masukan dari
pelaksaman pendidikan dan kurikulum yang sedang berjalan, para ahli pendidikan
dan kurikulum memberikan alternatif konsep pendidikan dan model kurikulum
yang dipandang paling sesuai dengan keadaan dan tuntutan di atas.
Pengembangan kurikulum bukan hanya sekadar memilih dan menyusun bahan
pelajaran dan metode mengajar, tetapi menyangkut penentuan arah dan orientasi
pendidikan, pemilihan sistem dan model kurikulum, baik model konsep, model
desain, model pembelajaran, model media, model pengelolaan, maupun model
evaluasinya, serta berbagai perangkat dan pedoman penjabaran serta pedoman
implementasi dari model-model tersebut.
Partisipasi para ahli pendidikan dan ahli kurikulum terutama sangat
dibutuhkan dalam pengembangan kurikulum pada tingkat pusat. Apabila
pengembangan kurikulum sudah banyak dilakukati pada tingkat daerah atau lokal,
maka pertisipasi mereka pada tingkai daerah, lokal bahkan sekolah juga sangat
diperlukan, sebab apa yany; telah digariskan pada tingkat pusat belum tentu dapat
dengan mudali dipahami oleh para pengembang dan pelaksana kurikulum di
daerah.
Pengembangan kurikulum juga membutuhkan partisipasi para ahli bidang
studi/bidang ilmu yang juga mempunyai wawasan tentang pendidikan serta
perkembangan tuntutan masyarakat. Sumbangan mereka dalam memilih materi
bidang ilmu, yang mutakhir dan sesuai dengan perkembangan kebutuhan
masyarakat sangat diperlukan. Mereka juga sangat diharapkan partisipasinya
dalam menyusun materi ajaran dalam sekuens yang sesuai dengan struktur
keilmuan tetapi sangat memudahkan para siswa untuk mempelajarinya.

173
3. Peranan guru
Guru memegang peranan yang cukup penting baik di dalam perencanaan
maupun pelaksanaan kurikulum. Dia adalah perencana, pelaksana, dan
pengembang kurikulum bagi kelasnya.
Sekalipun ia tidak mencetuskan sendiri konsep-konsep tentang kurikulum,
guru merupakan penerjemah kurikulum yang datang dari atas. Dialah yang
mengolah, meramu kembali kurikulum dari pusat untuk disajikan di kelasnya.
Karena guru juga merupakan barisan pengembang kurikulum yang terdepan maka
guru pulalah yang selalu melakukan evaluasi dan penyempurnaan terhadap
kurikulum.
Peranan guru bukan hanya menilai perilaku dan prestasi belajar murid-
murid dalam kelas, tetapi juga menilai implementasi kurikulum dalam lingkup
yang lebih luas. Hasil-hasil penilaian demikian akan sangat membantu
pengembangan kurikulum, untuk memahami hambatanhambatan dalam
implementasi kurikulum dan juga dapat membantu mencari cara untuk
mengoptimalkan kegiatan guru.
Guru juga bukan hanya berperan sebagai guru di dalam kelas, ia juga
seorang komunikator, pendorong kegiatan belajar, pengembang alat-alat belajar,
pencoba, penyusunan organisasi, manajer sistem pengajaran, pembimbing baik di
sekolah maupun di masyarakat dalam hubungannya dengan pelaksanaan
pendidikan seumur hidup.
Guru juga berperan sebagai pelajar dalam masyarakatnya, sebab ia harus
selalu belajar struktur sosial masyarakat, nilai-nilai utama masyarakat, pola-pola
tingkah laku dalam masyarakat. Hal-hal di atas diperlukan untuk mempersiapkan
guru dalam berbagai situasi dan kegiatan pendidikan.
Sebagai pelaksana kurikulum maka guru pulalah yang menciptakan
kegiatan belajar mengajar bagi murid-muridnya. Berkat keahlian, keterampilan
dan kemampuan seninya dalam mengajar, guru mampu menciptakan situasi
belajar yang aktif yang menggairahkan yang penuh kesungguhan dan mampu
mendorong kreativitas anak.

174
4. Peranan orang tua murid
Orang tua juga mempunyai peranan dalam pengembangan kurikulum.
Peranan mereka dapat berkenaan dengan dua hal: pertama dalam penyusunan
kurikulum dan kedua dalam pelaksanaan kurikulum. Dalam penyusunan
kurikulum mungkin tidak semua orang tua dapat ikut serta, hanya terbatas kepada
beberapa orang saja yang cukup waktu dan mempunyai latar belakang yang
memadai. Peranan orang tua lebih besar dalam pelaksanaan kurikulum. Dalam
pelaksanaan kurikulum diperlukan kerja sama yang sangat erat antara guru atau
sekolah dengan para orang tua murid. Sebagian kegiatan belajar yang dituntut
kurikulum dilaksanakan di rumah, dan orang tua sewajarnya mengikuti atau
mengamati kegiatan belajar anaknya di rumah. Orang tua juga secara berkala
menerima laporan kemajuan anak-anaknya dari sekolah berupa rapor dan
sebagainya. Rapor juga merupakan suatu alat komunikasi tentang program atau
kegiatan pendidikan yang dilaksanakan di sekolah. Orang tua juga dapat hind
berpartisipasi dalam kegiatan di sekolah melalui berbagai kegaitan seperti diskusi,
lokakarya, seminar, pertemuan orang tua-guru, pameran sekolah, dan sebagainya.
Melalui pengamatan dalam kegiatan belajar di rumah, laporan sekolah, partisipasi
dalam kegiatan sekolah orang tua dapat turut serta dalam pengembangan
kurikulum terutama dalam bentuk pelaksanaan kegiatan belajar yang sewajarnya,
minat yang penuh, usaha yang sungguh-sungguh, penyelesaian tugas-tugas serta
partisipasi dalam setiap kegiatan di sekolah. Kegiatan-kegiatan tersebut akan
memberikan umpan balik bagi penyempumaan kurikulum.

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Kurikulum


Sekolah mendapatkan pengaruh dari kekuatan-kekuatan yang ada dalain
masyarakat, terutama dari perguruan tinggi dan masyarakat.

1. Perguruan tinggi
Kurikulum minimal mendapat dua pengaruh dari Perguruan Tinggi.
Pertama, dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan
di perguruan tinggi umum. Kedua, dari pengembangan ilmu pendidikan dan
keguruan serta penyiapan guru-guru di Perguruan Tinggi Keguruan (Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan). Telah diuraikan terdahulu bahwa pengetahuan

175
dan teknologi banyak memberikan sumbangan bagi isi kurikulum serta proses
pembelajaran. Jenis pengetahuan yang dikembangkan di Perguruan Tinggi akan
mempengaruhi isi pelajaran yang akan dikembangkan dalam kurikulum.
Perkembangan teknologi selain menjadi isi kurikulum juga mendukung
pengembangan alat bantu dan media pendidikan.
Kurikulum Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan juga mem-
pengaruhi pengembangan kurikulum, terutama melalui penguasaan ilmu dan
kemampuan keguruan dari guru-guru yang dihasilkannya. Penguasaan ilmu, baik
ilmu pendidikan maupun bidang studi serta kemampuan mengajar dari guru-guru
akan sangat mempengaruhi pengembangan dan implementasi kurikulum di
sekolah. Guru-guru yang mengajar pada berbagai jenjang dan jenis sekolah yang
ada dewasa ini, umumnya disiapkan oleh LPTK (IKIP, FKIP, STKIP) melalui
berbagai program, yaitu program D2, D3 dan Sl. Pada Sekolah Dasar masih
banyak guru berlatar belakang pendidikan SPG dan SGO, tetapi secara berangsur-
angsur mereka akan mengikuti program penyetaraan D2.

2. Masyarakat
Sekolah merupakan bagian dari masyarakat dan mempersiapkan anak
untuk kehidupan di masyarakat. Sebagai bagian dan agen dari masyarakat,
sekolah sangat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat di mana sekolah tersebut
berada. Isi kurikulum hendaknya mencerminkan kondisi dan dapat memenuhi
tuntutan dan kebutuhan masyarakat di sekitarnya. Masyarakat yang ada di sekitar
sekolah mungkin merupakan masyarakat homogen atau heterogen, masyarakat
kota atau desa, petani, pedagang atau pegawai, dan sebagainya. Sekolah harus
melayani aspirasi-aspirasi yang ada di masyarakat. Salah satu kekuatan yang ada
dalam masyarakat adalah dunia usaha. Perkembangan dunia usaha yang ada di
masyarakat mempengaruhi pengembangan kurikulum sebt sekolah bukan hanya
mempersiapkan anak untuk hidup, tetapi juga untuk bekerja dan berusaha. Jenis
pekerjaan dan perusahaan yang ada di masyarakat menuntut persiapannya di
sekolah.

176
3. Sistem nilai
Dalam kehidupan masyarakat terdapat sistem nilai, baik nilai moral,
keagamaan, sosial, budaya maupun nilai politis. Sekolah sebagai lembaga
masyarakat juga bertanggung jawab dalam pemeliharaan dan penerusan nilai-nilai.
Sistem nilai yang akan dipelihara dan diteruskan tersebut harus terintegrasikan
dalam kurikulum. Masalah utama yang dihadapi para pengembang kurikulum
menghadapi nilai ini adalah, bahwa dalam masyarakat nilai itu tidak hanya satu.
Masyarakat umumnya heterogen dan multifaset. Masyarakat memiliki kelompok-
kelompok etnis, kelompok vokasional, kelompok intelek, kelompok sosial,
spiritual dan sebagainya yang tiap kelompok sering memiliki nilai yang berbeda.
Dalam masyarakat Ingo terdapat aspek-aspek sosial, ekonomi, politik, fisik,
estetika, etika, chr,iiis, dan sebagainya A..pek-aspek tersebut sering juga
mengandung nilai-nilai yang berbeda. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
guru dalam mengajarkan nilai: (1) guru hendaknya mengetahui dan
memperhatikan semua nilai yang ada dalam masyarakat, (2) guru hendaknya
berpegang pada prinsip demokrasi, etis, dan moral, (3) guru berusaha menjadikan
dirinya sebagai teladan yang patut ditiru, (4) guru menghargai nilai-nilai
kelompok lain, (5) memahami dan menerima keragaman kebudayaan sendiri.

D. Artikulasi dan Hambatan Pengembangan Kurikulum


Artikulasi dalam pendidikan berarti "kesatupaduan dan koordinasi segala
pengalaman belajar". Untuk merealisasikan artikulasi kurikulum, perlu meneliti
kurikulum secara menyeluruh, membuang hal-hal yang tidak diperlukan,
menghilangkan duplikasi, merevisi metode serta isi pengajaran, mengusahakan
perluasan dan kesinambungan kurikulum. Bila artikulasi dilaksanakan dengan
baik akan terwujud kesinambungan pengalaman belajar sejak TK sampai
Perguruan Tinggi, juga antara satu bidang studi dengan bidang studi lainnya
secara horizontal. Tanpa artikulasi akan terdapat keragaman baik dalam isi,
metode maupun perhatian terhadap perkembangan anak.
Untuk menyusun artikulasi kurikulum diperlukan kerja sama dari berbagai
pihak: para administrator, kepala sekolah, TK sampai rektor universitas, guru-
guru dari setiap jenjang pendidikan, orang tua murid dan tokoh-tokoh masyarakat.

177
Dalam mengusahakan artikulasi kurikulum tersebut murid pun perlu dimintakan
pendapatnya tentang hubungan pelajaran yang satu dengan yang lainnya,
hubungan antara satu tingkat dengan tingkat berikutnya. Salah satu hal yang
sering dipandang menghambat artikulasi adalah pembagian menurut tingkat
belajarnya. Hal itu menyebabkan tersusunnya organisasi mata pelajaran yang
kaku. Untuk menjamin kesinambungan pengalaman belajar beberapa sekolah
menggunakan sistem pendidikan tidak berkelas.

Hambatan-hambatan pengembangan kurikulum


Dalam pengembangan kurikulum terdapat beberapa hambatan. Hambatan
pertama terletak pada guru. Guru kurang berpartisipasi dalam pengembangan
kurikulum. Hal itu disebabkan beberapa hal. Pertama kurang waktu. Kedua
kekurangsesuaian pendapat, baik antara sesama guru maupun dengan kepala
sekolah dan administrator. Ketiga karena kemampuan dan pengetahuan guru
sendiri.
Hambatan lain datang dari masyarakat. Untuk pengembangan kurikulum
dibutuhkan dukungan masyarakat baik dalam pembiayaan maupun dalam
memberikan umpan balik terhadap sistem pendidikan atau kurikulum yang sedang
berjalan. Masyarakat adalah sumber input dari sekolah. Keberhasilan pendidikan,
ketepatan kurikulum yang digunakan membutuhkan bantuan, serta input fakta dan
pemikiran dari masyarakat.
Hambatan lain yang dihadapi oleh pengembang kurikulum adalah masalah
biaya. Untuk pengembangan kurikulum, apalagi yang berbentuk kegiatan
eksperimen baik metode, isi atau sistem secara keseluruhan membutuhkan biaya
yang sering tidak sedikit.

E. Model-Model Pengembangan Kurikulum


Banyak model yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum.
Pemilihan suatu model pengembangan kurikulum bukan saja didasarkan atas
kelebihan dan kebaikan-kebaikannya serta kemungkinan pencapaian hasil yang
optimal, tetapi juga perlu disesuaikan dengan sistem pendidikan dan sistem
pengelolaan pendidikan yang dianut serta model konsep pendidikan mana yang

178
digunakan. Model pengembangan kurikulum dalam sistem pendidikan dan
pengelolaan yang sifatnya sentralisasi berbeda dengan yang desentralisasi. Model
pengembangan dalam kurikulum yang sifatnya subjek akademis berbeda dengan
kurikulum humanistik, teknologis dan rekonstruksi sosial.
Sekurang-kurangnya dikenal delapan model pengembangan kurikulum,
yaitu: the administrative (line staff) model, the grass roots model, Beauchamp's
system, the demonstration model, Taba's inverted model, Roger's interpersonal
relations model, the systematic action research model dan emerging technical
model.

1. The administrative model


Model pengembangan kurikulum ini merupakan model paling lama dan
paling banyak dikenal. Diberi nama model administratif atau line staff karena
inisiatif dan gagasan pegembangan datang dari para administrator pendidikan dan
menggunakan prosedur administrasi. Dengan wewenang administrasinya,
administrator pendidikan (apakah dirjen, direktur atau kepala kantor wilayah
pendidikan dan kebudayaan) membentuk suatu komisi atau tim pengarah
pengembangan kurikulum. Anggota-anggota komisi atau tim ini terdiri atas,
pejabat di bawahnya, para ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu, dan
para tokoh dari dunia kerja dan perusahaan. Tugas tim atau komisi ini adalah
merumuskan konsep-konsep dasar, landasan-landasan, kebijaksanaan, dan strategi
utama dalam pengembangan kurikulum. Setelah hal-hal yang mendasar ini
terumuskan dan mendapatkan pengkajian yang saksama, administrator pendidikan
menyusun tim atau komisi kerja pengembangan kurikulum. Para anggota tim atau
komisi ini terdiri atas para ahli pendidikan/kurikulum, ahli disiplin ilmu dari
perguruan tinggi, guru-guru bidang studi yang senior. Tim kerja pengembangan
kurikulum bertugas menyusun kurikulum yang sesungguhnya yang lebih
operasional, dijabarkan dari konsep-konsep dan kebijaksanaan dasar yang telah
digariskan oleh tim pengarah. Tugas tim kerja ini merumuskan tujuan-tujuan yang
lebih operasional dari tujuantujuan yang lebih umum, memilih dan menyusun
sekuens bahan pelajaran, memilih strategi pengajaran dan evaluasi, serta
menyusun pedomanpedoman pelaksanaan kurikulum tersebut bagi guru-guru.

179
Setelah semua tugas dari tim kerja pengembang kurikulum tersebut selesai,
hasilnya dikaji ulang oleh tim pengarah serta para ahli lain yang berwenang atau
pejabat yang kompeten. Setelah mendapatkan beberapa penyempurnaan, dan
dinilai telah cukup baik, administrator pemberi tugas menetapkan berlakunya
kurikulum tersebut serta memerintahkan sekolahsekolah untuk melaksanakan
kurikulum tersebut. Karena sifatnya yang datang dari atas, model pengembangan
kurikulum demikian disebut juga model "top down" atau "line staff'.
Pengembangan kurikulum dari atas, tidak selalu segera berjalan, sebab menuntut
kesiapan dari pelaksanaannya, terutama guru-guru. Mereka perlu mendapatkan
petunjuk-petunjuk dan penjelasan atau mungkin juga peningkatan pengetahuan
dan keterampilan. Kebutuhan akan adanya penataran sering tidak dapat
dihindarkan.
Dalam pelaksanaan kurikulum tersebut, selama tahun-tahun permulaan
diperlukan pula adanya kegiatan monitoring, pengamatan dan pengawasan serta
bimbingan dalam pelaksanaannya. Setelah berjalan beberapa saat perlu juga
dilakukan suatu evaluasi, untuk menilai baik validitas komponen-komponennya,
prosedur pelaksanaan maupun keberhasilannya. Penilaian menyeluruh dapat
dilakukan oleh tim khusus dari tingkat pusat atau daerah, sedang penilaian
persekolah dapat dilakukan oleh tim khusus sekolah yang bersangkutan. Hasil
penilaian tersebut merupakan umpan balik, baik bagi instansi pendidikan di
tingkat pusat, daerah, maupun sekolah.

2. The grass roots model


Model pengembangan ini merupakan lawan dari model pertama. Inisiatif
dan upaya pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi dari bawah,
yaitu guru-guru atau sekolah. Model pengembangan kurikulum yang pertama,
digunakan dalam sistem pengelolaan pendidikan/kurikulum yang bersifat
sentralisasi, sedangkan model grass roots akan berkembang dalam sistem
pendidikan yang bersifat desentralisasi. Dalam model pengembangan yang
bersifat grass roots seorang guru, sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu
sekolah mengadakan upaya pengembangan kurikulum. Pengembangan atau
penyempurnaan ini dapat berkenaan dengan suatu komponen kurikulum, satu atau

180
beberapa bidang studi ataupun seluruh bidang studi dan seluruh komponen
kurikulum. Apabila kondisinya telah memungkinkan, baik dilihat dari
kemampuan guru-guru, fasilitas, biaya maupun bahan-bahan kepustakaan,
pengembangan kurikulum model grass roots, akan lebih baik. Hal itu didasarkan
atas pertimbangan bahwa guru adalah perencana, pelaksana, dan juga
penyempurna dari pengajaran di kelasnya. Dialah yang paling tahu kebutuhan
kelasnya, oleh karena itu dialah yang paling kompeten menyusun kurikulum bagi
kelasnya. Hal itu sesuai dengan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang
dikemukakan oleh Smith, Stanley dan Shores (1957: 429);
1. The curriculum will improve only as the professional competence of
teachers improves.
2. The competence of teachers will be improved only as the teachers become
involved personally in the problems of curriculum revision.
3. If teachers share in shaping the goals to be attained, in selecting, defining,
and solving the problems to be encountered, and in judging and evaluating
the rusults, their involvement will be most nearly assured.
4. As people meet in face-to-face groups, they will be able to understand one
another better and to reach a consensus on basic principles, goals, and
plans (Smith, Stanley, and Shores 1957: 429).
Pengembangan kurikulum yang bersifat grass roots, mungkin hanya
berlaku untuk bidang studi tertentu atau sekolah tertentu, tetapi mungkin pula
dapat digunakan untuk bidang studi sejenis pada sekolah lain, atau keseluruhan
bidang studi pada sekolah atau daerah lain. Pengembangan kurikulum yang
bersifat desentralisasi dengan model grass rootsnya, memungkinkan terjadinya
kompetisi di dalam meningkatkan mutu dan sistem pendidikan, yang pada
gilirannya akan melahirkan manusiamanusia yang lebih mandiri dan kreatif.

3. Beauchamp's system
Model pengembangan kurikulum ini, dikembangkan oleh Beauchamp
seorang ahli kurikulum. Beauchamp mengemukakan lima hal di dalam
pengembangan suatu kurikulum.

181
Pertama, menetapkan arena atau lingkup wilayah yang akan dicakup oleh
kurikulum tersebut, apakah suatu sekolah, kecamatan, kabupaten, propinsi
ataupun seluruh negara. Pentahapan arena ini ditentukan oleh wewenang yang
dimiliki oleh pengambil kebijaksanaan dalam pengembangan kurikulum, serta
oleh tujuan pengembangan kurikulum. Walaupun daerah yang menjadi wewenang
kepala kanwil pendidikan dan kebudayaan mencakup suatu wilayah propinsi,
tetapi arena pengembangan kurikulum lianya mencakup satu daerah kabupaten
saja sebagai pilot proyek.
Kedua, menetapkan personalia, yaitu siapa-siapa yang turut serta terlibat
dalam pengembangan kurikulum. Ada empat kategori orang yang turut
berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum, yaitu: (1) para ahli
pendidikan/kurikulum yang ada pada pusat pengembangan kurikulum dan para
ahli bidang ilmu dari luar, (2) para ahli pendidikan dari perguruan tinggi atau
sekolah dan guru-guru terpilih, (3) para profesional dalam sistem pendidikan, (4)
profesional lain dan tokoh-tokoh masyarakat.
Beauchamp mencoba melibatkan para ahli dan tokoh-tokoh pendidikan
seluas mungkin, yang biasanya pengaruh mereka kurang langsung terhadap
pegembangan kurikulum, dibanding dengan tokohtokoh lain seperti, para penulis
dan penerbit buku, para pejabat pemerintah, politikus, dan pengusaha serta
industriawan. Penetapan personalia ini sudah tentu disesuaikan dengan tingkat dan
luas wilayah arena. Untuk tingkat propinsi atau nasional tidak terlalu banyak
melibatkan guru. Sebaliknya untuk tingkat kabupaten, kecamatan atau sekolah
keterlibatan guru-guru semakin besar. Mengenai keterlibatan kelompok-kelompok
personalia ini, Beauchamp mengemukakan tiga pertanyaan: (1) Haruskah
kelompok ahli/pejabat/profesi tersebut dilibatkan dalam pengembangan
kurikulum?, (2) Bila ya, apakah peranan mereka?, (3) Apakah mungkin ditemukan
alat dan cara yang paling efektif untuk melaksanakan peran tersebut?
Ketiga, organisasi dan prosedur pengembangan kurikulum. Langkah ini
berkenaan dengan prosedur yang harus ditempuh dalam merumuskan tujuan
umum dan tujuan yang lebih khusus, memilih isi dan pengalaman belajar, serta
kegiatan evaluasi, dan dalam menentukan keseluruhan desain kurikulum.
Beauchamp membagi keseluruhan kegiatan ini dalam lima langkah, yaitu; (1)

182
Membentuk tim pengembang kurikulum, (2) mengadakan penilaian atau
penelitian terhadap kurikulum yang ada yang sedang digunakan, (3) Studi
penjajagan tentang kemungkinan penyusunan kurikulum baru, (4) merumuskan
kriteria-kriteria bagi penentuan kurikulum baru, (5) penyusunan dan penulisan
kurikulum baru.
Keempat, implementasi kurikulum. Langkah ini merupakan langkah
mengimplementasikan atau melaksanakan kurikulum yang bukan sesuatu yang
sederhana, sebab membutuhkan kesiapan yang menyeluruh, baik kesiapan guru-
guru, siswa, fasilitas, bahan maupun biaya, di samping kesiapan manajerial dari
pimpinan sekolah atau administrator setempat.
Langkah yang kelima dan merupakan terakhir adalah evaluasi kurikulum.
Langkah ini minimal mencakup empat hal, yaitu: (1) evaluasi tentang pelaksanaan
kurikulum oleh guru-guru, (2) evaluasi desain kurikulum, (3) evaluasi hasil
belajar siswa, (4) evaluasi dari keseluruhan sistem kurikulum. Data yang
diperoleh dari hasil kegiatan evaluasi ini digunakan bagi penyempurnaan sistem
dan desain kurikulum, serta prinsip-prinsip melaksanakannya.

4. The demonstration model


Model demonstrasi pada dasarnya bersifat grass roots, datang dari bawah.
Model ini diprakarsai oleh sekelompok guru atau sekelompok guru bekerja sama
dengan ahli yang bermaksud mengadakan perbaikan kurikulum. Model ini
umumnya berskala kecil, hanya mencakup suatu atau beberapa sekolah, suatu
komponen kurikulum atau mencakup keseluruhan komponen kurikulum. Karena
sifatnya ingin mengubah atau mengganti kurikulum yang ada, pengembangan
kurikulum sering mendapat tantangan dari pihak-pihak tertentu.
Menurut Smith, Stanley, dan Shores ada dua variasi model demonstrasi
ini. Pertama, sekelompok guru dari satu sekolah atau beberapa sekolah ditunjuk
untuk melaksanakan suatu percobaan tentang pengembangan kurikulum. Proyek
ini bertujuan mengadakan penelitian dan pengembangan tentang salah satu atau
beberapa segi/komponen kurikulum. Hasil penelitian dan pegembangan ini
diharapkan dapat digunakan bagi lingkungan yang lebih luas. Kegiatan penelitian
dan pengembangan ini biasanya diprakarsai dan diorganisasi oleh instansi

183
pendidikan yang berwewenang seperti, direktorat pendidikan, pusat
pengembangan kurikulum, kantor wilayah pendidikan dan kebudayaan, dan
sebagainya.
Bentuk yang kedua, kurang bersifat formal. Beberapa orang guru yang
merasa kurang puas dengan kurikulum yang ada, mencoba mengadakan penelitian
dan pengembangan sendiri. Mereka mencoba menggunakan halhal lain yang
berbeda dengan yang berlaku. Dengan kegiatan ini mereka mengharapkan
ditemukan kurikulum atau aspek tertentu dari kurikulum yang lebih baik, untuk
kemudian digunakan di daerah yang lebih luas.
Ada beberapa kebaikan dari pengembangan kurikulum dengan model
demonstrasi ini. Pertama, karena kurikulum disusun dan dilaksanakan dalam
situasi tertentu yang nyata, maka akan dihasilkan suatu kurikulum atau aspek
tertentu dari kurikulum yang lebih praktis. Kedua, perubahan atau penyempurnaan
kurikulum dalam skala kecil atau aspek tertentu yang khusus, sedikit sekali untuk
ditolak oleh administrator, dibandingkan dengan perubahan dan penyempurnaan
yang menyeluruh. Ketiga, pengembangan kurikulum dalam skala kecil dengan
model demonstrasi ilapat menend hambatan yang sering dialami yaitu
dokumentasinya hagus tetari pclaknotiaatinva tidak ada. Keempat, model ini
sifatnya yang grass roots menempatkan guru sebagai pengambil inisiatif dan nara
sumber yang dapat menjadi pendorong bagi para administrator untuk
mengembangkan program baru. Kelemahan model ini, adalah bagi guru- guru
yang tidak turut berpartisipasi mereka akan menerimanya dengan enggan-enggan,
dalam keadaan terburuk mungkin akan terjadi apatisme.

5. Taba's inverted model


Menurut cara yang bersifat tradisional pengembangan kurikulum
dilakukan secara deduktif, dengan urutan:
1) Penentuan prinsip-prinsip dan kebijaksanaan dasar,
2) Merumuskan desain kurikulum yang bersifat menyeluruh didasarkan atas
komitmen-komitmen tertentu,
3) Menyusun unit-unit kurikulum sejalan dengan desain yang menyeluruh,
4) Melaksanakan kurikulum di dalam kelas.

184
Taba berpendapat model deduktif ini kurang cocok, sebab tidak
merangsang timbulnya inovasi-inovasi. Menurutnya pengembangan kurikulum
yang lebih mendorong inovasi dan kreativitas guru-guru adalah yang bersifat
induktif, yang merupakan inversi atau arah terbalik dari model tradisional.
Ada lima langkah pengembangan kurikulum model Taba ini. Pertama,
mengadakan unit-unit eksperimen bersama guru-guru. Di dalam unit eksperimen
ini diadakan studi yang saksama tentang hubungan antara teori dengan praktik.
Perencanaan didasarkan atas teori yang kuat, dan pelaksanaan eksperimen di
dalam kelas menghasilkan data-data yang untuk menguji landasan teori yang
digunakan. Ada delapan langkah dalam kegia tan unit eksperimen ini;
1) Mendiagnosis kebutuhan,
2) Merumuskan tujuan-tujuan khusus,
3) Memilih isi,
4) Mengorganisasi isi,
5) Memilih pengalaman belajar,
6) Mengorganisasi pengalaman belajar,
7) Mengevaluasi,
8) Melihat sekuens dan keseimbangan (Taba, 1962: 347-379).
Langkah kedua, menguji unit eksperimen. Meskipun unit eksperimen ini
telah diuji dalam pelaksanaan di kelas eksperimen, tetapi masih harus diuji di
kelas-kelas atau tempat lain untuk megetahui validitas dan kepraktisannya, serta
menghimpun data bagi penyempurnaan.
Langkah ketiga, mengadakan revisi dan konsolidasi. Dari langkah
pengujian diperoleh beberapa data, data tersebut digunakan untuk mengadakan
perbaikan dan penyempurnaan. Selain perbaikan dan penyempurnaan diadakan
juga kegiatan konsolidasi, yaitu penarikan kesimpulan tentang hal-hal yang lebih
bersifat umum yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas. Hal itu dilakukan,
sebab meskipun suatu unit eksperimen telah cukup valid dan praktis pada sesuatu
sekolah belum tentu demikian juga pada sekolah yang lainnya. Untuk menguji
keberlakuannya pada daerah yang lebih luas perlu adanya kegiatan konsolidasi.
Langkah keempat, pengembangan keseluruhan kerangka kurikulum.
Apabila dalam kegiatan penyempurnaan dan konsolidasi telah diperoleh sifatnya

185
yang lebih menyeluruh atau berlaku lebih luas, hal itu masih harus dikaji oleh para
ahli kurikulum dan para profesional kurikulum lainnya. Kegiatan itu dilakukan
untuk megnetahui apakah konsep-konsep dasar atau landasan-landasan teori yang
dipakai sudah masuk dan sesuai.
Langkah kelima, implementasi dan diseminasi, yatiu menerapkan
kurikulum baru ini pada daerah atau sekolah-sekolah yang lebih luas. Di dalam
langkah ini masalah dan kesulitan-kesulitan pelaksanaan tetapi dihadapi, baik
berkenaan dengan kesiapan guru-guru, fasilitas, alat dan bahan juga biaya.

6. Roger's interpersonal relations model


Meskipun Rogers bukan seorang ahli pendidikan (ia ahli psikologi atau
psikoterapi) tetapi konsep-konsepnya tentang psikoterapi khususnya bagaimana
membimbing individu juga dapat diterapkan dalam bidang pendidikan dan
pengembangan kuriulum. Memang ia banyak mengemukakan konsepnya tentang
perkembangan dan perubahan individu. Menurut When Crosby (1970: 388)
perubahan kurikulum adalah perubahan individu.
Menurut Rogers manusia berada dalam proses perubahan (becoming,
developing, changing), sesungguhnya ia mempunyai kekuatan dan potensi untuk
berkembang sendiri, tetapi karena ada hambatan-hambatan tertentu ia
membutuhkan orang lain untuk membantu memperlancar atau mempercepat
perubahan tersebut. Pendidikan juga tidak lain merupakan upaya untuk membantu
memperlancar dan mempercepat perubahan tersebut. Guru serta pendidik lainnya
bukan pemberi informasi apalagi penentu perkembangan anak, mereka hanyalah
pendorong dan pemelancar perkembangan anak.
Ada empat langkah pengembangan kurikulum model Rogers. Pertama,
pemilihan target dari sistem pendidikan. Di dalam penentuan target ini satu-
satunya kriteria yang menjadi pegangan adalah adanya kesediaan dari pejabat
pendidikan untuk turut serta dalam kegiatan kelompok yang intensif. Selama satu
minggu para pejabat pendidikan/administrator melakukan kegiatan kelompok
dalam suasana yang relaks, tidak formal. Melalui kegiatan kelompok ini mereka
akan mengalami perubahanperubahan sebagai berikut.

186
1. He is less protective of his own beliefs and can listen more accurately
2. He finds it easier and less threatening to accept innovative ideas.
3. He has less need to protect bureaucratic rules.
4. He communicates more clearly and realistically to superiors, peers, and
sub-ordinates because he is more open and less self-protective.
5. He is more person oriented and democratic.
6. He openly confronts personal emotional frictions between him self and
colleagues.
7. He is more able to accept both positive and negative feeback and use it
constructively (Rogers, 1967:722).
Langkah kedua dalam pengembangan kurikulum model Rogers adalah
partisipasi guru dalam pengalaman kelompok yang intensif. Sama seperti yang
dilakukan para pejabat pendidikan, guru juga turut serta dalam kegiatan
kelompok. Keikutsertaan guru dalam kelompok tersebut sebaiknya bersifat suka
rela, lama kegiatan kalau bisa satu minggu lebih baik, tetapi dapat juga kurang
dari satu minggu. Efek yang akan diterima guru-guru sejalan dengan para
administrator, dengan beberapa tambahan.
1. He is more able to listen to students,
2. He accepts innovative, torublesome ideas from students, rather than in-
sisting on conformity,
3. He pays as much attention to his relationships with student as he does to
course content,
4. He works out problems with students rather than responding in a disci-
plinary and punitive manner,
5. He develops an equalitarian and democratic classroom climate (Rogers,
1967:724).
Langkah ketiga, pengembangan pengalaman kelompok yang intensif untuk
satu kelas atau unit pelajaran. Selama lima hari penuh siswa ikut serta dalam
kegiatan kelompok, dengan fasilitator para guru atau administrator atau fasilitator
dari luar. Dan kegiatan ini para siswa akan mendapatkan:
1. He feels freer to express both positive and negative feelings in class.
2. He works through these feelings toward a realistic solutin.

187
3. He has more energy for learning because he has less fear of constant
evaluation and punishment.
4. He discovers that he is responsible for his own learning
5. He awe anal tear of authority diminish as he finds teachers and .1(liiiiii
istr.um•. litho fallibly human beings.
6. He finds that the learning process enables him to deal with his lily (Rogers,
1967:725).
Langkah keempat, partisipasi orang tua dalam kegiatan kelompok.
Kegiatan ini dapat dikoordinasi oleh BP3 masing-masing sekolah. Lama kegiatan
kelompok dapat tiga jam tiap sore hari selama seminggu atau 24 jam secara terus
menerus. Kegiatan ini bertujuan memperkaya orang-orang dalam hubungannya
dengan sesama orang tua, dengan anak, dan dengan guru. Rogers juga
menyarankan, kalau mungkin ada pengalaman kegiatan kelompok yang bersifat
campuran. Kegiatan merupakan kulminasi dari semua kegiatan kelompok di atas.
Model pengembangan kurikulum dari Rogers ini berbeda dengan model-
model lainnya. Sepertinya tidak ada suatu perencanaan kurikulum tertulis, yang
ada hanyalah rangkaian kegiatan kelompok. Itulah ciri khas Carl Rogers sebagai
seorang Eksistensialis Humanis, is tidak mementingkan formalitas, rancangan
tertulis, data, dan sebagainya. Bagi Rogers yang penting adalah aktivitas dan
interaksi. Berkat berbagai bentuk aktivitas dalam interaksi ini individu akan
berubah. Metode pendidikan yang diutamakan Rogers adalah sensitivity training,
encounter group dan Training Group (T Group).

7. The systematic action-research model


Model kurikulum ini didasarkan pada asumsi bahwa perkembangan
kurikulum merupakan perubahan sosial. Hal itu mencakup suatu proses yang
melibatkan kepribadian orang tua, siswa guru, struktur sistem sekolah, pola
hubungan pribadi dan kelompok dari sekolah dan masyarakat. Sesuai dengan
asumsi tersebut model ini menekankan pada tiga hal itu: hubungan insani, sekolah
dan organisasi masyarakat, serta wibawa dari pengetahuan profesional.
Kurikulum dikembangkan dalam konteks harapan warga masyarakat, para
orang tua, tokoh masyarakat, pengusaha, siswa, guru, dan lain-lain, mempunyai

188
pandangan tentang bagaimana pendidikan, bagaimana anak belajar, dan
bagaimana peranan kurikulum dalam pendidikan dan pengajaran. Penyusunan
kurikulum hams memasukkan pandangan dan harapan-harapan masyarakat, dan
salah satu cara untuk mencapai hal itu adalah dengan prosedur action research.
Langkah pertama, mengadakan kajian secara saksama tentang masalah-
masalah kurikulum, berupa pengumpulan data yang bersifat menyeluruh, dan
mengidentifikasi faktor-faktor, kekua tan dan kondisi yang mempengaruhi
masalah tersebut. Dari hasil kajian tersebut dapat disusun rencana yang
menyeluruh tentang cara-cara mengatasi masalah lersebut, serta tindakan pertama
yang hams diambil.
Kedua, implementasi dari keputusan yang diambil dalam tindakan
pertama. Tindakan ini segera diikuti oleh kegiatan pengumpulan data dan fakta-
fakta. Kegiatan pengumpulan data ini mempunyai beberapa fungsi:
menyiapkan data bagi evaluasi tindakan, (2) sebagai bahan pemahaman tentang
masalah yang dihadapi, (3) sebagai bahan untuk menilai kembali dan mengadakan
modifikasi, (4) sebagai bahan untuk menentukan tindakan lebih lanjut.

8. Emerging technical models


Perkembangan bidang teknologi dan ilmu pengetahuan serta nilai-nilai
efisiensi efektivitas dalam bisnis, juga mempengaruhi perkembangan model-
model kurikulum. Tumbuh kecenderungan-kecenderungan baru yang didasarkan
atas hal itu, di antaranya: (1) The Behavioral Analysis Model, The system analysis
model, (3) The computer based model.
The Behavioral Analysis Model, menekankan penguasaan perilaku atau
kemampuan. Suatu perilaku/kemampuan yang kompleks diuraikan menjadi
perilaku-perilaku yang sederhana yang tersusun secara hierarkis. Siswa
mempelajari perilaku-perilaku tersebut secara berangsur-angsur mulai dari yang
sederhana menuju yang lebih kompleks.
The System Analysis Model berasal dari gerakan efisiensi bisnis. Langkah
pertama dari model ini adalah menentukan spesifikasi perangkat hasil belajar yang
harus dikuasai siswa. Langkah kedua adalah menyusun instrumen untuk menilai
ketercapaian hasil-hasil belajar tersebut. Langkah. ketiga, mengidentifikasi tahap-

189
tahap ketercapaian hasil serta perkiraan biaya yang diperlukan. Langkah keempat,
membandingkan biaya dan keuntungan dari beberapa program pendidikan.
The Computer-Based Model, suatu model pengembangan kurikulum dengan
memanfaatkan komputer. Pengembangannya dimulai dengan mengidentifikasi
seluruh unit-unit kurikulum, tiap unit kurikulum telah memiliki rumusan tentang
hasil-hasil yang diharapkan. Kepada para siswa dan guru-guru diminta untuk
melengkapi pertanyaan tentang unit-unit kurikulum tersebut. Setelah diadakan
pengolahan disesuaikan dengan kemampuan dan hasil-hasil belajar yang dicapai
siswa disimpan dalam komputer.

190
BAB IX
EVALUASI KURIKULUM

A. Evaluasi dan Kurikulum


Evaluasi kurikulum memegang peranan penting baik dalam penentuan ke-
bijaksanaan pendidikan pada umumnya, maupun pada pengambilan keputusan
dalam kurikulum. Hasil-hasil evaluasi kurikulum dapat digunakan oleh para
pemegang kebijaksanaan pendidikan dan para pengembang kurikulum dalam
memilih dan menetapkan kebijaksanaan pengembangan sistem pendidikan dan
pengembangan model kurikulum yang digunakan. Hasil-hasil evaluasi kurikulum
juga dapat digunakan oleh guru-guru, kepala sekolah dan para pelaksana
pendidikan lainnya, dalam memahami dan membantu perkembangan siswa,
memilih bahan pelajaran, memilih metode dan alat-alat bantu pelajaran, cara
penilaian serta fasilitas pendidikan lainnya. Evaluasi kurikulum sukar dirumuskan
secara tegas, hal itu disebabkan beberapa faktor:
1. Evaluasi kurikulum berkenaan dengan fenomena-fenomena yang terus
berubah.
2. Objek evaluasi kurikulum adalah sesuatu yang berubah-ubah sesuai dengan
konsep kurikulum yang digunakan.
3. Evaluasi kurikulum merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh manusia
yang sifatnya juga berubah.
Evaluasi dan kurikulum merupakan dua disiplin yang berdiri sendiri. Ada
pihak yang berpendapat antara keduanya tidak ada hubungan, tetapi ada pihak lain
yang menyatakan keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Pihak yang
memandang ada hubungan, hubungan tersebut merupakan hubungan sebab-akibat.
Perubahan dalam kurikulum berpengaruh pada evaluasi kurikulum, sebaliknya
perubahan evaluasi akan memberi warna pada pelaksanaan kurikulum. Hubungan
antara evaluasi dengan kurikulum bersifat organis, dan prosesnya berlangsung
secara evoltisioner, pandangan lama yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan
zaman, secara berangsur- angsur diganti dengan pandangan baru yang lebih

191
R.A. Becher, seorang ahli pendidikan dari Universitas Sussex, Inggris
menyatakan bahwa: Tiap program pengembangan kurikulum mempunyai style
dan karakteristik tertentu, dan evaluasi dari program tersebut akan
memperlihatkan style dan karakteristik yang sama pula. Seorang evaluator akan
menyusun program evaluasi kurikulum sesuai dengan style dan karakteristik
kurikulum yang dikembangkannya. Juga terjadi sebaliknya, hasil program
evaluasi kurikulum akan mempengaruhi pelaksanaan praktik kurikulum.
Konsep R.A. Becher tentang pengembangan kurikulum dan evaluasi
kurikulum, pada mulanya bersifat deskriptif yaitu menekankan pada What is it?,
tetapi kemudian berkembang kepada yang bersifat preskriptif, yang menekankan
pada What ought to be. Konsep-konsep evaluasi kurikulum yang bersifat
preskriptif, mempunyai tempat dalam konsep kurikulum yang bersifat preskriptif
pula. Sebagai contoh, teori dari Ralph Tylor dan Benyamin Bloom, berisikan
pedoman-pedoman praktis bagi pengembangan kurikulum, demikian juga dengan
teori evaluasi kurikulumnya.
Evaluasi merupakan kegiatan yang luas, kompleks dan terus-menerus
untuk mengetahui proses dan basil pelaksanaan sistem pendidikan dalam
mencapai tujuan yang telah ditentukan. Evaluasi juga meliputi rentangan yang
cukup luas, mulai dari yang bersifat sangat informal sampai dengan yang sangat
formal. Pada tingkat yang sangat informal evaluasi kurikulum berbentuk
perkiraan, dugaan atau pendapat tentang perubahan-perubahan yang telah dicapai
oleh program sekolah. Pada tingkat yang lebih formal evaluasi kurikulum meliputi
pengumpulan dan pencatatan data, sedangkan pada tingkat yang sangat formal
berbentuk pengukuran berbagai bentuk kemajuan ke arah tujuan yang telah
ditentukan.
Komponen-komponen kurikulum yang dievaluasi juga sangat luas.
Program evaluasi kurikulum bukan hanya mengevaluasi hasil belajar siswa dan
proses pembelajarannya, tetapi juga desain dan implementasi kurikulum,
kemampuan dan unjuk kerja guru, kemampuan dan kemajuan siswa, sarana,
fasilitas dan sumber-sumber belajar, dan lain-lain. Hilda Taba menjelaskan hal-hal
yang dievaluasi dalam kurikulum, yaitu meliputi:

192
Objective, it scope, the quality of personnel in charger of it, the capacities
of the students, the relative importance of various subject, the degree to which
objectives are implemented, the equipment and materials and so son (Taba, 1962:
310).
Apa yang dikemukakan di atas merupakan konsep evaluasi kurikulum
yang sangat luas yang mencakup seluruh komponen dan kegiatan pendidikan.
Evaluasi kurikulum sering juga dibatasi secara sempit, yaitu hanya ditekankan
pada hasil-hasil yang dicapai oleh murid. Curriculum evaluation may be defined
as the estimation of the growth and progess of students toward objectives or
values of the curriculum (Wright, 1966: 303).
Luas atau sernpitnya suatu program evaluasi kurikulum sebenarnya
ditentukan oleh tujuannya. Apakah evaluasi tersebut ditujukan untuk menilai
keseluruhan sistem kurikulum atau hanya komponen-komponen tertentu dalam
sistem kurikulum tersebut. Apakah mengevaluasi keseluruhan sistem atau
komponen-komponen tertentu saja, diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu,
agar hasil evaluasi tersebut tetap bermakna. Doll (1976), mengemukakan syarat-
syarat suatu program evaluasi kurikulum, yaitu acknowledge presence of values
and valuing, orientation to goals, comprehensiveness, continuity, diagnostic worth
and validity and integration (Doll, 1976: 362-363). Suatu evaluasi kurikulum
harus memiliki nilai dan penilaian, punya tujuan atau sasaran yang jelas, bersifat
menyeluruh dan terus-menerus, berfungsi diagnostik dan terintegrasi.
Evaluasi kurikulum juga bervariasi bergantung pada dimensi-dimensi yang
menjadi fokus evaluasi. Salah satu dimensi yang sering mendapat sorotan adalah
dimensi kuantitas dan kualitas.
One dimension is that of quantity; much of the program is to be evaluated?
The other dimension is that of quality-what goals are being highlighted in this
evaluation and how does achievement of the goals as sure quality (Doll, 1976:
364).
Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi dimensi kuantitatif berbeda
dengan instrumen untuk mengevaluasi aspek-aspek perkembangan dan prestasi
yang dicapai anak. Dimensi yang bersifat kuantitatif dapat diukur dengan
menggunakan berbagai bentuk alat ukur atau tes standar. Tes standar tersebut ada

193
yang diperuntukkan mengukur kemampuan yang bersifat potensial (kecerdasan,
bakat) dan ada pula yang diperuntukkan mengukur kemampuan nyata atau
achievement. Tes standar yang mengukur kecerdasan dan bakat umpamanya:
intelligence test, scholastic aptitude test, special aptitude test, prognostic aptitude
test, dan lain-lain, dan tes standar yang mengukur achievement seperti subject
areas test, survey test, diagnostic test, dan lain-lain. Instrumen yang sering
digunakan untuk mengevaluasi dimensi kualitatif umpamanya: questionnaire,
interest inventories, temperament and adjustment inventories, nominating
techniques, interviews, and annecdotal records. (Writht, 1966: 306).

B. Konsep Kurikulum
Kurikulum merupakan daerah studi intelek yang cukup luas. Banyak teori
tentang kurikulum berupa teori menekankan pada rencana, yang lain pada inovasi,
pada dasar-dasar filosofis, dan pada konser konsep yang diambil dari ilmu
perilaku manusia ini menunjukkan betapa luasnya teori- teori tentang kurikulum.
Secara sederhana teori kurikulum dapat diklasifikasikan atas teori-teori yang lebih
menekankan pada isi kurikulum, pada situasi pendidikan serta pada organisasi
kurikulum.
Penekanan kepada isi kurikulum. Strategi pengembangan yang
menekankan isi, merupakan yang paling lama dan banyak dipakai, tetapi juga
terus mendapat penyempurnaan atau pembaharuan Sebab-sebab yang mendorong
pembaharuan ini bermacam-macam. Pertama, karena didorong oleh tuntutan
untuk menguatkan kembali nilai-nilai moral dan budaya dari masyarakat. Kedua,
karena perubahan dasar filosofis tentang struktur pengetahuan. Ketiga, karena
adanya tuntutan bahwa kurikulum harus lebih berorientasi pada pekerjaan.
Faktor-faktor tersebut tidak timbul dari atau tidak ada hubungannya
dengan sistem institusi persekolahan, tetapi sangat mempengaruhi pengembangan
kurikulum. Pengaruhnya terhadap pengembangan kurikulum umpamanya,
penguatan kembali nilai-nilai moral dan budaya akan meminta perhatian yang
lebih besar pada kumpulan ilmu pengetahuan masa lalu, orientasi kepada
pekerjaan akan lebih banyak melihat ke masa depan, sedangkan titik tolak pada
pandangan filosofis akan lebih menekankan pada disiplin-disiplin keilmuan.

194
Apapun titik tolaknya, penekanan pada isi kurikulum akan membawa
beberapa akibat. Pengetahuan sebagai isi kurikulum mempunyai nilai intrinsik,
sesuatu yang akan diwariskan, sesuatu yang baru atau diperbaharui.
Pengembangan kurikulum yang menekankan isi bersifat material centered.
Kurikulum ini memandang murid sebagai penerima resep yang pasif. Secara
teoretis kurikulum yang menekankan isi dapat diukur, mempunyai tujuan yang
apabila telah ditransfer pada anak dapat dikuasai oleh anak. Ini merupakan
engineering approach. Anak dianggap bahan kasar yang tidak berdaya, bersama
dengan teman-temannya yang lain dicetak melalui blue print masyarakat. Salah
satu atribut organisasi kurikulum yang didasarkan pada pengetahuan (knowledge
based curriculum), memungkinkan pengembangan dalam jumlah besar. Melalui
proses diseminasi mereka dapat menggunakan teknik produksi massa untuk
mendapatkan pendidikan massal.
Penekanan pada situasi pendidikan. Tipe kurikulum ini lebih menekankan
pada masalah di mana (where), bersifat khusus, sangat memperhatikan dan
disesuaikan dengan lingkungannya) Tipe ini akan menghasilkan kurikulum
berdasarkan situasi-situasi lingkungan, seperti kurikulum pedesaan, kurikulum
kelompok masyarakat nelayan, kurikulum daerah pesisir, pegunungan dan
sebagainya. Tujuannya adalah menghasilkan kurikulum yang benar-benar
merefleksikan dunia kehidupan dari lingkungan anak. Kurikulum yang
menekankan situasi pendidikan akan sangat beraneka, dibandingkan dengan
kurikulum yang menekankan isi. Kurikulum ini bertujuan mencari kesesuaian
antara kurikulum dengan situasi di mana pendidikan berlangsung.
Penekanan pada situasi pendidikan. Tipe kurikulum ini lebih menekankan
pada masalah di mana (where), bersifat khusus, sangat memperhatikan dan
disesuaikan dengan lingkungannya) Tipe ini akan menghasilkan kurikulum
berdasarkan situasi-situasi lingkungan, seperti kurikulum pedesaan, kurikulum
kelompok masyarakat nelayan, kurikulum daerah pesisir, pegunungan dan
sebagainya. Tujuannya adalah menghasilkan kurikulum yang benar-benar
merefleksikan dunia kehidupan dari lingkungan anak. Kurikulum yang
menekankan situasi pendidikan akan sangat beraneka, dibandingkan dengan

195
kurikulum yang menekankan isi. Kurikulum ini bertujuan mencari kesesuaian
antara kurikulum dengan situasi di mana pendidikan berlangsung.
Sifat lain tipe ini adalah kurang atau tidak menekankan pada spesifikasi isi
dan. organisasi, lebih menunjukkan fleksibilitas dalam interpretasi dan
pelaksanaannya. Pengetahuan dianggap bersifat relatif terhadap situasi-situasi
yang khusus sesuai dengan kondisi setempat. Kurikulum ini ruang lingkupnya
sempit, masa pengembangannya juga relatif lebih singkat daripada desiminasinya.
Kalau kurikulum yang menekankan pada isi merupakan engineering approach
maka kurikulum yang menekankan situasi lebih mendekati gardening approach.
Kurikulum disusun sesuai dengan keadaan tanah, alam setempat, perhatian sangat
ditumpahkan pada mempersiapkan kebun atau sawah.
Secara teoretis, mengevaluasi kurikulum yang menekankan pada situasi
sangat sulit. Perencanaan dan pelaksanaan pengajaran sangat beraneka, peranan
guru dalam mengembangkan dan rnenerapkan kreasinya sangat besar, sehingga
cukup sulit merancang alat penilaian yang dapat mencakup skala yang agak luas.
Kesulitan lain adalah juga dalam menentukan standar kriteria.
Penekanan pada organisasi. Tipe kurikulum ini sangat menekankan pada
proses belajar-mengajarjMeskipun dengan berbagai perbedaan dan di sana sini
ada pertentangan, umpamanya antara konsep sistem instruksional (pengajaran
berprogram, pengajaran modul, pengajaran dengan bantuan komputer) dengan
konsep pengajaran (perkembangan) dari Bruner dan Jean Piaget, keduanya sangat
mempengaruhi perkembangan kurikulum tipe ini.
Perbedaan yang sangat jelas antara kurikulum yang menekankan
organisasi dengan yang menekankan isi dan situasi, adalah memberikan perhatian
yang sangat besar kepada si pelajar atau siswa. Dalam pembelajaran model sistem
instruksional aktivitas murid sangat ditekankan, tetapi aktivitas ini merupakan
aktivitas yang sudah dirancang secara ketat. Siswa tidak mungkin melakukan hal-
hal atau kegiatan di luar yang telah diprogramkan. Dalam konsep belajar dari
Bruner juga peranan aktif dari siswa sangat ditekankan, tetapi aktivitas ini bukan
yang telah diprogramkan secara ketat. Siswa mempunyai kesempatan, dan
didorong untuk berinovasi, menyatakan kreativitasnya. Dalam belajar aktif
tersebuI penguasaan bahasa serta proses mental dari si pelajar sangat memegang

196
peranan utama. Anak menurut Bruner merupakan hasil yang sangal kompleks dari
sejarah, biologi dan social, harus berpartisipasi secara aktil dalam lingkungan
belajar, menguasai bahasa dan menguasai kemamption kemampuan kognitif.
Apakah dalam bentuk sistem instruksional ataupun dalam sistem
pengajaran (perkembangan) dari Bruner, kurikulum yang menekankan pada
organisasi, memusatkan perhatiannya pada sekuens-sekuens belajar serta
organisasi bahan pelajaran yang disusun melalui elaborasi isi dan prosedur
pengukuran. Tipe kurikulum ini secara relatif bersifat lepas dari situasi lingkungan
atau situation free, berbeda dengan yang menekankan situasi. Kurikulum yang
menekankan masalah belajar-mengajar (menekankan organisasi) sebenarnya lebih
dekat kepada pendekatan kurikulum yang bersifat umum (generalized
curriculum), berlaku dalam lingkungan yang cukup luas. Inti kurikulum bukan
terletak pada bahanbahan yang dipelajari anak tetapi pada teacher's guide.
Kurikulum yang menekankan pada organisasi menolak pendapat bahwa
penguasaan pengetahuan merupakan alat untuk mencapai tujuan. Kurikulum yang
menekankan organisasi juga sesungguhnya sukar untuk diukur. Secara teoretis
penyusunan tes yang spesifik dapat dibuat, tetapi seperti telah diutarakan di muka,
isi kurikulum tidak spesifik, tujuannya dapat dicapai dengan cara yang berbeda-
beda. Tes yang disusun akan banyak menyangkut proses belajar yang bersifat
umum. Lebih jauh, kalau penyusunan tes hasil belajar didasarkan pada tujuan,
maka kurikulum yang menekankan pada organisasi, tesnya akan lebih banyak
mengukur tujuan-tujuan tingkat tinggi pada klasifikasi Bloom (analisis, sintesis,
dan evaluasi).

C. Implementasi dan Evaluasi Kurikulum


Di muka telah diutarakan bahwa, perbedaan penekanan dalam kurikulum
mengakibatkan perbedaan dalam pola rancangan, dalam pengembangan serta
dalam desiminasinya.
Konsep kurikulum yang menekankan isi, memberikan perhatian besar pada
analisis pengetahuan baru yang ada, konsep situasi menuntut penilaian secara rinci
tentang lingkungan belajar, dan konsep organisasi memberi perhatian

197
besar pada struktur dan sekuens belajar. Perbedaanperbedaan dalam rancangan
tersebut mempengaruhi langkah selanjutnya.
Pengembangan kurikulum yang menekankan isi, membutuhkan waktu
mempersiapkan situasi belajar dan menyatukannya dengan tujuan pengajaran
yang cukup lama. Kurikulum yang menekankan situasi, waktu untuk
mempersiapkannya lebih pendek, sedangkan kurikulum yang menekankan
organisasi waktu persiapannya hampir sama dengan kurikulum yang menekankan
isi. Meskipun demikian perhatian harus cukup banyak dipusatkan pada struktur
konsep yang tidak tampak (covert) daripada analisis tujuan yang tampak (overt).
Kurikulum yang menekankan isi sangat mengutamakan peranan
desiminasi, meskipun umpamanya kurikulum itu kurang thaik, mereka dapat
memaksakannya melalui jalur birokrasi. Tipe kurikulum ini mengikuti model
penyebaran (difusi) dari pusat ke daerah). Sebaliknya penyebaran kurikulum yang
menekankan situasi sangat mementingkan penyiapan unsur-unsur yang terkait
(catalyc ingredient). Pengembangan kurikulumnya bersifat lokal, individual, dan
khan. Dengan demikian penyebaran kurikulum ini memiliki network yang
terpisah, tetapi masingmasing dapat menyesuaikan diri serta mencari keserasian
antara arahan yang dibersifat pusat dengan tuntutan kebutuhan dan sifat-sifat
lokal. Kurikulum yang menekankan organisasi, strategi penyebarannya sangat
mengutamakan latihan guru. Penyebaran ini lebih merupakan pembaharuan dari
dalam dan bukan karena paksaan atau keharusan dari luar.
CARE (Centre for Applied Research in Education) di Universitas East
Anglia Norwegia, aktif dalam mengadakan pelatihan guru. Salah satu proyeknya
yang pertama adalah Nuffield/Schools Council Humanities Curriculum Project
tahun 1967. Proyek ini disiapkan untuk meningkatkan usia anak yang
meninggalkan sekolah, disediakan bagi anak usia 14 sampai 16 tahun dan yang
kecerdasannya di bawah rata-rata. Banyak kesulitan yang dialami dalam proyek
ini, yang paling kritis adalah mengenai komunikasi antara tim proyek dengan
guru-guru, para administrator, dan para siswa. Proyek ini juga memiliki suatu tim
evaluasi. Salah satu kesimpulan dari hasil evaluasi mereka adalah hasil-hasil yang
dicapai oleh guru-guru yang terlatih (yang mengerti maksud serta latar belakang
proyek) tidak dapat dicapai oleh guru-guru yang tidak terlatih. Ini menunjukkan
bahwa latihan guru memegang peranan penting dalam penyebaran program.

198
Model evaluasi kaitannya dengan teori kurikulum. Perbedaan konsep dan
strategi pengembangan dan penyebaran kurikulum, juga menimbulkan perbedaan
dalam rancangan evaluasi. Model evaluasi yang bersifat komparatif atau
menekankan pada objektif sangat sesuai bagi kurikulum yang bersifat rasional dan
menekankan isi. Dalam kurikulum yang menekankan situasi sukar disusun
evaluasi yang bersifat komparatif, karena konteksnya bukan terhadap guru atau
satu tujuan, tetapi terdapat banyak tujuan. Dengan menggunakan konsep Ralph
Tylor atau Benyamin Bloom mungkin dapat dibuat suatu modifikasi dengan
menyusun tujuan yang bersifat universal yang dapat digunakan pada semua
situasi, tetapi tujuan yang bersifat umum seperti itu akin kabur, dan sukar
menyusun alat evaluasinya. Pendekatan yang bersifat goal free (lebih menekankan
penguasaan aktual dan bukan ideal) lebih memungkinkan, tetapi harus dihindari
penjenjangan tujuan sampai pada perumusan tujuan yang sangat khusus, dengan
kriteria yang khusus pula.
Pada kurikulum yang menekankan organisasi, tugas evaluasi lebih sulit
lagi, karena isi dan hasil kurikulum bukan hal yang utama, yang utamanya adalah
aktivitas dan kemampuan siswa. Salah satu pemecahan bagi masalah ini adalah
dengan pendekatan yang bersifat eklektik seperti dalam proyek Kurikulum
Humaniti dari CARE. Dalam proyek itu dicari perbandingan materi antara proyek
yang menggunakan guru yang terlatih dengan yang tidak terlatih, dalam
evaluasinya juga diteliti pengaruh umum dari proyek, dengan cara mengumpulkan
bahan-bahan secara studi kasus dari sekolah-sekolah proyek. Meskipun
pendekatan perbandingan banyak memberikan hasil yang berharga, tetapi
meminta waktu terlalu banyak dari para evaluator. Dalam perkembangan
selanjutnya ternyata, bahan-bahan dari hasil studi kasus memberikan hasil yang
lebih berharga bagi evaluasi kurikulum.
Teori kurikulum dan teori evaluasi. Model evaluasi kurikulum berkaitan
erat dengan konsep kurikulum yang digunakan, seperti model pengembangan dan
penyebaran dihasilkan oleh kurikulum yang menekankan isi. Evaluasi kurikulum
yang bebas tujuan (Goal free evaluation) dalam kebanyakan kurikulum bukan
merupakan salah satu alternatif evaluasi tetapi merupakan satu-satunya prosedur
evaluasi yang paling memungkinkan.
Macam-macarn model evaluasi yang digunakan bertumpu pada aspek-
aspek tertentu yang diutamakan dalam proses pelaksanaan kurikulum. Model

199
evaluasi yang bersifat komparatif berkaitan erat dengan tingkahtingkah laku
individu, evaluasi yang menekankan tujuan berkaitan erat dengan kurikulum yang
menekankan pada bahan ajaran atau isi kurikulum, model (pendekatan)
antropologis dalam evaluasi ditujukan untuk mengevaluasi tingkah-tingkah laku
dalam suatu lembaga sosial. Dengan demikian sesungguhnya terdapat hubungan
yang sangat erat antara evaluasi dengan kurikulum sebab teori kurikulum juga
merupakan teori dari evaluasi kurikulum.

D. Peranan Evaluasi Kurikulum


Evaluasi kurikulum dapat dilihat sebagai proses sosial dan sebagai institusi
sosial. Proyek-proyek evaluasi yang dikembangkan di lnggris umpamanya, juga di
negara-negara lain, merupakan institusi sosial dari gerakan penyempurnaan
kurikulum. Evaluasi kurikulum sebagai institusi sosial mempunyai asal-usul,
sejarah, struktur serta interest sendiri. Beberapa karakteristik dari proyek-proyek
kurikulum yang telah dikembangkan di Inggris, umpamanya (1) lebih berkenaan
dengan inovasi daripada dengan kurikulum yang ada, (2) lebih berskala nasional
daripada lokal, (3) dibiayai oleh vim/ dari luar yang berjangka pendek daripada
oleh anggapan tetap, (4) 1(.1)111 banyak dipengaruhi oleh kebiasaan penelitian
yang bersifat psikometris daripada oleh kebiasaan lama yang berupa penelitian
social. Peranan evaluasi kebijaksanaan dalam kurikulum khususnya pendidikan
umumnya minimal berkenaan dengan tiga hal, yaitu : evaluasi sebagai moral
judgement, evaluasi dan penentuan keputusan, evaluasi, dan konsensus nilai.
Evaluasi sebagai moral judgement. Konsep utama dalam evaluasi adalah
masalah nilai. Hasil dari suatu evaluasi berisi suatu nilai yang akan digunakan
untuk tindakan selanjutnya. Hal ini mengandung dua pengertian, pertama evaluasi
berisi suatu skala nilai moral, berdasarkan skala tersebut suatu objek evaluasi
dapat dinilai. Kedua, evaluasi berisi suatu perangkat kriteria praktis berdasarkan
kriteria-kriteria tersebut suatu hasil dapat dinilai.

200
Evaluasi bukan merupakan suatu proses tunggal, minimal meliputi dua
kegiatan, pertama mengumpulkan informasi dan kedua menentukan suatu
keputusan. Kegiatan yang pertama mungkin juga mengandung segisegi nilai
(terutama dalam memilih sumber informasi dan jenis informasi yang akan
dikumpulkan), tetapi belum menunjukkan suatu evaluasi. Dalam kegiatan yang
kedua, yaitu menentukan keputusan menunjukkan suatu evaluasi, dasar
pertimbangan yang digunakan adalah suatu perangkat nilai-nilai.
Karena masalah-masalah dan konsep-konsep dalam pendidikan selalu
mengalami pengembangan, maka pertalian antara informasi pendidikan yang
diperoleh dengan keputusan yang diambil tidak selalu sama, mengalami
perkembangan pula. Perkeinbangan ini terutama berkenaan dengan perkembangan
atau perubahan nilai-nilai. Oleh karena itu, salah satu tugas dari para evaluator
pendidikan mempelajari kerangka nilai-nilai tersebut. Atas dasar kerangka nilai-
nilai tersebut maka keputusan pendidikan diambil.
Dalam evaluasi kurikulum salah satu hal yang sering menjadi inti
perdebatan antara para ahli adalah pemisahan antara pengumpulan dan
penyusunan informasi dengan penentuan keputusan. Perbedaan pendapat
mengenai hal ini akan direfleksikan dalam perbedaan-perbedaan perumusan
tentang evaluasi. Daniel Stufflebeam (1971) merumuskan evaluation is the
process of delinating, obtaining and providing useful information for delinating,
obtaining and providing useful information for judging decision alternatif. Stake
(1976), dari Universitas Illinois merumuskan evaluation is an observed value
compared to some standard. Michael Scriven (1969) dari Universitas Indiana,
memberikan perumusan tentang tugas evaluator, Its (the evaluator's) task is to try
very hard to condense all that mass of data into one word: good, or bad.
Kutipan-kutipan di atas bukan saja melukiskan perbedaan tekanan pada
pengumpulan informasi atau pada penentuan keputusan, tetapi juga
memperlihatkan adanya perbedaan karakteristik, mereka yang lebih menekankan
pengumpulan informasi memandang terlepas atau tidak melibatkan nilai-nilai. Hal
itu tidak benar, sebab baik pada pemilihan masalah yang akan diteliti,
pengumpulan data, pemilihan teknik penentuan sampel serta penyajian hasil
penelitian selalu melibatkan atau menyangkut masalah nilai-nilai. Nilai-nilai
tersebut baik dilihat dari evaluasi, para sponsor, atau dari subjek yang dinilai.

201
Apabila terdapat perbedaan nilai antara mereka, dapat timbul ketegangan atau
konflik.
Pemisahan antara pengumpulan informasi dengan penentuan keputusan
merupakan salah satu karakteristik institusional, hal ini dipengaruhi oleh
kebiasaan pemisahan pekerjaan administrator dan peneliti. Dalam pendidikan
perbedaan formal tersebut tidak ada, pengumpul data adalah pengambil keputusan
juga.
Evaluasi dan penentuan keputusan. Siapa pengambil keputusan dalam
pendidikan atau khususnya dalam pelaksanaan kurikulum. Pengambil keputusan
dalam pelaksanaan pendidikan atau kurikulum banyak, yaitu: guru, murid, orang
tua, kepala sekolah, para inspektur, pengembang kurikulum, dan sebagainya.
Siapa di antara mereka yang memegang peranan paling besar dalam penentuan
keputusan. Pada prinsipnya tiap individu di atas membuat keputusan sesuai
dengan posisinya. Murid mengambil keputusan sesuai dengan posisinya sebagai
murid. Guru mengambil berbagai keputusan sesuai dengan posisinya sebagai
guru. Besar atau kecilnya peranan keputusan yang diambil oleh seseorang sesuai
dengan lingkup tanggung jawabnya serta lingkup masalah yang dihadapinya pada
suatu saat. Beberapa hasil evaluasi menjadi bahan pertimbangan bagi murid untuk
mengambil keputusan apakah ia harus lebih rajin belajar atau tidak, apakah ia
harus memilih jurusan IPA atau IPS, dan sebagainya. Dengan perkataan lain
penentuan keputusan yang diambil oleh murid, sebagian besar berkenaan dengan
kepentingan dirinya.
Lain halnya dengan keputusan yang diambil oleh seorang guru, ia
mengambil keputusan bagi kepentingan seorang atau beberapa orang mu- rid, atau
dapat pula mengambil keputusan bagi seluruh murid. Demikian juga lingkup
keputusan yang diambil oleh kepala sekolah, inspektur, pengembang kurikulum,
dan sebagainya berbeda-beda. Jadi, tiap pengambil keputusan dalam proses
evaluasi memegang posisi nilai yang berbeda, sesuai dengan posisinya. Salah satu
kesulitan yang dihadapi dalam penggunaan hasil evaluasi bagi pengambilan
keputusan adalah, hasil evaluasi yang diterima oleh berbagai pihak pengambil
keputusan adalah sama. Masalah yang timbul adalah, apakah hasil evaluasi

202
tersebut dapat bermanfaat bagi semua pihak. Sudah tentu jawabannya belum
tentu. Suatu informasi mungkin lebih bermanfaat bagi pihak tertentu, tetapi
kurang bermanfaat bagi pihak yang lain, dan seterusnya.
Evaluasi dan konsensus nilai. Dalam bagian yang terdahulu sudah
dikemukakan bahwa penelitian pendidikan dan evaluasi kurikulum sebagai
perilaku sosial berisi nilai-nilai. Dalam berbagai situasi pendidikan serta kegiatan
pelaksanaan evaluasi kurikulum sejumlah nilai-nilai dibawakan oleh orang-orang
yang turut terlibat (berpartisipasi) dalam kegiatan penilaian atau evaluasi. Para
partisipan dalam evaluasi pendidikan dapat terdiri atas: orang tua, murid, guru,
pengembang kurikulum, administrator, ahli politik, ahli ekonomi, penerbit,
arsitek, dan sebagainya.
Pernah dimimpikan bahwa para partisipan tersebut merupakan suatu
kelompok yang homogen sebagai pengambil keputusan atas hasil penelitian, tetapi
beberapa pengalaman menunjukkan bahwa hal itu tidak mungkin. Mereka
mempunyai sudut pandangan, kepentingan nilai-nilai serta pengalaman tersendiri.
Bagaimana caranya agar di antara mereka terdapat kesatuan penilaian. Kesatuan
penilaian hanya dapat dicapai melalui suatu konsensus.
Secara historis konsensus nilai dalam evaluasi kurikulum berasal dari
tradisi tes mental serta eksperimen. Konsensus tersebut berupa kerangka kerja
penelitian, yang dipusatkan pada tujuan-tujuan khusus, pengukuran prestasi
belajar yang bersifat behavioral, penggunaan analisis statistik dari pre test dan
post test dan lain-lain. Model penelitian di atas merupakan suatu social
engineering atau system approach dalam pendidikan. Dalam model penelitian
tersebut keseluruhan kegiatan dapat digambarkan dalam suatu flow chart yang
merumuskan secara operasional input (pre test) caracara kegiatan (treatment) serta
output (post test).
Model di atas mendapatkan beberapa kritik, tetapi kritik atau kesulitan
tersebut yang paling utama adalah dalam merumuskan tujuan-tujuan khusus yang
dapat diterima oleh seluruh partisipan evaluasi kurikulum serta perencanaan
kurikulum. Juga di antara partisipan harus ada persetujuan tentang tujuan-tujuan
mana yang paling penting.

203
Selain harus terdapat konsensus tentang tujuan-tujuan yang akan dicapai,
dalam penggunaan model di atas juga harus ada konsensus tentang siapa di antara
para partisipan tersebut yang turut terlibat secara langsung. Tanpa adanya
persetujuan tentang hal-hal tersebut maka sukar untuk dapat menyusun flow chart
yang definitif. Model system approach atau model social engineering bersifat goal
based evaluation, karena bertitik tolak dari tujuan-tujuan yang khusus. Karena
model ini mempunyai beberapa keberatan, maka berkembang model evaluasi
yang lain yang lebih bersifat goal free evaluation.
Pendekatan evaluasi yang bersifat goal free bertolak dari sikap kebudayaan
yang majemuk (cultural pluralism). Sikap kebudayaan yang majemuk mempunyai
dasar relativis, memandang bahwa tiap pandangan sama baiknya. Dalam evaluasi
kurikulum sudah tentu pandangan ini mempunyai kesulitan yang cukup besar,
sebab alat-alat evaluasi yang drgunakan bertolak dari dasar posisi nilai yang
berbeda. Dengan demikian evaluasi juga bersifat relatif. Evaluasi model ini dapat
ditemukan pada para peneliti yang memandang pekerjaannya semata-mata hanya
sebagai pengumpulan data.

E. Ujian sebagai Evaluasi Sosial


Sejak diperkenalkannya sistem ujian atau tes untuk umum di Amerika
Serikat dan negara-negara lain, pengukuran yang berbentuk umum (publik)
tersebut merupakan salah satu model evaluasi dalam pendidikan. Menguji adalah
mengevaluasi kemampuan individu. Dengan adanya ujianujian tersebut, maka
jenis-jenis kemampuan tertentu dipandang menunjukkan status lebih tinggi
dibandingkan dengan kemampuan lainnya. Penguasaan pengetahuan dan
kemampuan skolastik umpamanya sering dipandang memiliki status lebih tinggi
daripada penguasaan kemampuan yang lainnya.
Keberhasilan dalam ujian pengetahuan dan kemampuan skolastik, selama
bertahun-tahun ditentukan oleh kemampuan mengingat faktafakta.
Kecenderungan ini bukan saja didasari oleh teori psikologi lama, yang
memandang bahwa otak yang lebih baik mampu menguasai fakta lebih banyak,
tetapi juga oleh keadaan masyarakat di mana buku-buku sumber (teks)
pengetahuan secara relatif tidak berubah selama dua abad. Westminster Shorter
Catechism umpamanya digunakan sebagai buku teks di sekolah-sekolah di

204
Scotlandia dari abad 17 sampai 19. Karena adanya berbagai kemajuan dalam
masyarakat, maka dalam perkembangan selanjutnya jenis kemampuan yaitu
kemampuan menyimpulkan dipandang mempunyai nilai yang lebih tinggi.
Ujian bukan saja menunjukkan nilai pengetahuan atau kemampuan secara
sosial, tetapi juga telah merupakan peraturan dari sekolah. Dalam dua dekade
pertama dari abad 20 sejumlah ahli psikologi dikumpulkan dalam satu komisi
untuk menyusun tes kecerdasan. Hasilnya digunakan untuk menyeleksi anak-anak
yang akan masuk ke sekolah menengah yang tidak mampu membayar uang
sekolah. Kemudian tes tersebut juga digunakan sebagai alat bagi penentuan
kenaikan kelas serta sebagai saringan masuk. Pelaksanaan ujian-ujian tersebut
sejalan dengan anggapan masyarakat pada waktu itu, bahwa hanya sebagian dari
penduduk yang mempunyai kemampuan untuk menguasai pengetahuan pada
suatu jenis sekolah atau pada jenjang sekolah tertentu. Sistem ujian yang
mempunyai nilai historis ini juga digunakan untuk mengontrol efisiensi dan
efektivitas pelaksanaan sekolah. Apakah sistem ini dipandang baik atau jelek
bergantung pada pandangan yang menggunakannya.
Sistem ujian seperti yang dilaksanakan di atas, lebih banyak digunakan
untuk mengukur atau menguji kemampuan individu-individu (siswa). Untuk
menilai gambaran sekolah secara keseluruhan, yaitu menilai tentang keadaan
murid, guru, kurikulum, pembiayaan sekolah, fasilitas sekolah, keseragaman
sekolah, penyusunan rancangan dan pemeliharaan sekolah diperlukan sistem
pengumpulan data serta penilaian yang lain. Kalau untuk mengukur kemampuan
siswa digunakan istilah examination atau assessment maka untuk penilaian
keseluruhan situasi sekolah atau kurikulum lebih tepat digunakan istilah
evaluation.
Para evaluator menyadari bahwa aneka macam kerangka kerja evaluasi
mempunyai implikasi terhadap penentuan keputusan pendidikan. Barry Mc
Donald (1975), mendasarkan argumentasinya pada anggapan dasar bahwa
evaluasi merupakan kegiatan politik. is membedakan adanya tiga tipe evaluasi
dalam pendidikan dan kurikulum, yaitu evaluasi birokratik, otokratik, dan
demokratik.

205
Evaluasi birokratik, merupakan suatu layanan yang bersifat unconditional
terhadap lembaga-lembaga pemerintahan yang memiliki wewenang kontrol
terbesar dalam alokasi sumber-sumber pendidikan. Evaluator menerima
kebijaksanaan dari pemegang jabatan, dengan menggunakan berbagai informasi
yang diperoleh akan membantu mereka mencapai tujuan dari kebijaksanaan yang
telah digariskan. Evaluator tidak mempunyai kekuasaan sendiri, atau kontrol
sendiri terhadap penggunaan informasi yang diperoleh. Prinsip utama evaluasi
birokratik adalah pelayanan (service), penggunaan (utility), dan efisiensi
(efficiency).
Evaluasi otokratik, merupakan layanan evaluasi terhadap lembagalembaga
pemerintah yang mempunyai wewenang kontrol cukup besar dalam
mengalokasikan sumber-sumber pendidikan. Tugas para evaluator adalah
membantu pelaksanaan kebijaksanaan, ketentuan-ketentuan hukum dan moral dari
birokrasi. Peranan evaluator tidak dicampuri oleh pihak yang dilayaninya, dan is
mempunyai wewenang penuh dalam bidangnya. Bila rekomendasi evaluator
ditolak maka kebijaksanaannya tidak bisa dilaksanakan. Sumber kekuataan
evaluator adalah penelitian kemasyarakatan. Konsep utama evaluator otokratik
adalah evaluasi yang bersifat prinsipil dan objektif (principles and objectivity).
Evaluasi demokratik, merupakan layanan pemberian informasi terhadap
masyarakat, tentang program-program pendidikan. Evaluasi ini menganut nilai
pluralisme serta mengusahakan memenuhi berbagai minat masyarakat dalam
memberikan informasi. Tugasnya adalah memberikan informasi terhadap
kelompok-kelompok masyara kat, dan evaluator bertindak sebagai perantara
dalam pertukaran informasi di antara kelompokkelompok yang berbeda. Teknik
pengumpulan dan penyajian data yang digunakan harus dapat dipahami oleh
penerima informasi yang bukan ahli. Kriteria keberhasilannya adalah pihak yang
dilayaninya seluas-luasnya. Konsep utama evaluator demokratis adalah
kerahasiaan, musyawarah, dan ketercapaian sasaran (confidentiality, negosiasi,
and accessibility).
Sebagai contoh Mc Donald memandang bahwa pelaksanaan evaluasi di
Amerika Serikat dewasa ini bersifat birokratik, karena kenyataannya evaluasi
sebagian besar dibiayai oleh pemerintah pusat atau negara bagian, kedudukan
evaluator berbeda-beda di bawah lembaga-lembaga federal. Lembaga-lembaga

206
pendidikan setempat berada di bawah lembaga-lembaga pusat yang memberikan
biaya.

F. Model-Model Evaluasi Kurikulum


Evaluasi kurikulum merupakan suatu tema yang luas, meliputi banyak
kegiatan, meliputi sejumlah prosedur, bahkan dapat merupakan suatu lapangan
studi yang berdiri sendiri. Evaluasi kurikulum juga merupakan suatu fenomena
yang multifaset, memiliki banyak segi.
Bagian ini membahas perkembangan evaluasi kurikulum, yaitu evaluasi
kurikulum sebagai fenomena sejarah, suatu elemen dalam proses sosial
dihubungkan dengan perkembangan pendidikan.

1. Evaluasi model penelitian


Model evaluasi kurikulum yang menggunakan model penelitian didasarkan
atas teori dan metode tes psikologis serta eksperimen lapangan. Tes psikologis
atau tes psikometrik pada umumnya mempunyai dua bentuk, yaitu tes inteligensi
yang ditujukan untuk mengukur kemampuan bawaan, serta tes hasil belajar yang
mengukur perilaku skolastik.
Eksperimen lapangan dalam pendidikan, dimulai tahun 1930 dengan
menggunakan metode yang biasa digunakan dalam penelitian botani pertanian.
Para ahli botani pertanian mengadakan percobaan untuk mengetahui produktivitas
bermacam-macam benih. Beberapa macam benih ditanam pada petak-petak tanah
yang memiliki kesuburan dan lain-lain yang sama. Dari percobaan tersebut dapat
diketahui benih mana yang paling produktif. Percobaan serupa dapat juga
digunakan untuk mengetahui pengaruh tanah, pupuk dan sebagainya terhadap
produktivitas suatu macam benih.
Model eksperimen dalam botani pertanian dapat digunakan dalam
pendidikan, anak dapat disamakan dengan benih, sedang kurikulum serta berbagai
fasilitas serta sistem sekolah dapat disamakan dengan tanah dan pemeliharaannya.
Untuk mengetahui tingkat kesuburan benih (anak) serta hasil yang dicapai pada
akhir program percobaan dapat digunakan tes (pre test dan post test).

207
Comparative approach dalam evaluasi. Salah satu pendekatan dalam
evaluasi yang enggunakan eksperimen lapangan adalah mengadakan
pembandingan antara dua macam kelompok anak, umpamanya yang
menggunakan dua metode belajar yang berbeda. Kelompok pertama belajar
membaca dengan metode global dan kelompok lain menggunakan metode unsur.
Kelompok mana yang lebih baik atau lebih berhasil? Apakah keberhasilan metode
tersebut dapat ditransfer ke metode yang lain? Rancangan penelitian lapangan ini
membutuhkan persiapan yang sangat teliti dan rinci. Besarnya sampel, variabel
yang terkontrol, hipotesis, treatment, tes hasil belajar dan sebagainya, perlu
dirumuskan secara tepat dan rinci.
Ada beberapa kesulitan yang dihadapi dalam eksperimen tersebut.
Pertama, kesulitan administratif, sedikit sekali sekolah yang bersedia dijadikan
sekolah eksperimen. Kedua, masalah teknis dan logis, yaitu kesulitan menciptakan
kondisi kelas yang sama untuk kelompok-kelompok yang diuji. Ketiga, sukar
untuk mencampurkan guru-guru untuk mengajar pada kelompok eksperimen
dengan kelompok kontrol, pengaruh guru- guru tersebut sukar dikontrol.
Keempat, ada keterbatasan mengenai manipulasi eksperimen yang dapat
dilakukan. Dalam botani pertanian dengan rancangan yang sangat sempurna dapat
memanipulasi eksperimen sampai 25 treatment, tetapi dalam penelitian
pendidikan tidak mungkin dapat melakukan treatment sebanyak itu.

2. Evaluasi model objektif


Evaluasi model objektif (model tujuan) berasal dari Amerika Serikat.
Perbedaan model objektif dengan model komparatif adalah dalam dua hal.
Pertama dalam model objektif, evaluasi merupakan bagian yang sangat penting
dari proses pengembangan kurikulum. Para evaluator juga mempunyai peranan
menghimpun pendapat-pendapat orang luar tentang inovasi kurikulum yang
dilaksanakan. Evaluasi dilakukan pada akhir pengembangan kurikulum, kegiatan
penilaian ini sering disebut evaluasi sumatif. Dalam hal-hal tertentu sering
evaluator bekerja sebagai bagian dari tim pengembang. Informasi-informasi yang
diperoleh dari hasil penilaiannya digunakan untuk penyempurnaan inovasi yang
sedang berjalan. Evaluasi ini sering disebut evaluasi formatif. Kedua, kurikulum

208
tidak dibandingkan dengan kurikulum lain tetapi diukur dengan seperangkat
objektif (tujuan khusus). Keberhasilan pclaksanaan kurikulum diukur oleh
penguasaan siswa akan tujuan-tujuan tersebut. Para pengembang kurikulum yang
menggunakan sistem instruksional (model objektif) menggunakan standar
pencapaian tujuan-tujuan tersebut. Tujuan dari comparative approach adalah
menilai apakah kegiatan yang dilakukan kelompok eksperimen lebih baik
daripada kelompok kontrolpleh karena itu, kedua kelompok tersebut hams
ekuivalen, tetapi dalam model objektli hal itu tidak menjadi soal.
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh tim pengembang
model objektif.
1. Ada kesepakatan tentang tujuan-tujuan kurikulum,
2. Merumuskan tujuan-tujuan tersebut dalam perbuatan siswa,
3. Menyusun materi kurikulum yang sesuai dengan tujuan tersebut,
4. Mengukur kesesuaian antara perilaku siswa dengan hasil yang diinginkan.
Pendekatan inilah yang digunakan oleh Ralph Tylor (1930) dalam
menyusun tes dengan titik tolak pada perumusan tujuan tes, sebagai asal mula
pendekatan sistem (system approach). Pada tahun 1950-an Benyamin S. Bloom
dengan kawan-kawannya menyusun klasifikasi sistem tujuan yang meliputi
daerah-daerah belajar (cognitive domain). Mereka membagi proses mental yang
berhubungan dengan belajar tersebut dalam 6 kategori, yaitu knowledge,
comprehension, application, analysis, synthesis dan evaluation. Mereka membagi-
bagi lagi tujuan-tujuan tersebut pada sub-tujuan yang lebih khusus. Perumusan
tujuan-tujuan dari Bloom dan kawan-kawan belum sampai pada perumusan tujuan
yang bersifat behavioral, untuk itu diperlukan perumusan lebih lanjut yang sangat
khusus dan bersifat behavioral.
Dasar-dasar teori Tylor dan Bloom menjadi prinsip sentral dalam berbagai
rancangan kurikulum, dan mencapai puncaknya dalam sistem belajar berprogram
dan sistem instruksional. Sistem pengajaran yang terkenal adalah IPI (Individually
Prescribed Instruction), suatu program yang dikembangkan oleh Learning
Research and Development Centre Universitas Pittsburg. Dalam IPI anak
mengikuti kurikulum yang memiliki 7 unsur:

209
1. Tujuan-tujuan pengajaran yang disusun dalam daerah-daerah, tingkattingkat
dan unit-unit,
2. Suatu prosedur program testing,
3. Pedoman perosedur penulisan,
4. Materi dan alat-alat pengajaran,
5. Kegiatan guru dalam kelas,
6. Kegiatan murid dalam kelas, dan
7. Prosedur pengelolaan kelas.
Tes untuk mengukur prestasi belajar anak merupakan bagian integral dan
kurikulum. Tiap butir tes berkenaan dengan keterampilan, unit atau tingkat
tertentu dari tujuan khusus. Untuk mengikuti program pendidikan, siswa hams
mengambil dulu tes penempatan, untuk menentukan di mana mereka harus mulai
belajar. Kemajuan siswa dimonitor oleh guru dengan memberikan tes yang
mengukur tingkat penguasaan tujuan-tujuan khusils melalui pre test dan post test.
Siswa dianggap mengusai suatu unit Oa memperoleh skor minimal 80. Bila ini
sudah dikuasai berarti penguasaan siswa sudah sesuai dengan kriteria.

3. Model campuran multivariasi


Evaluasi model perbandingan (comparative approach) dan model Tylor
dan Bloom melahirkan evaluasi model campuran multivariasi, yaitu strategi
evaluasi yang menyatukan unsur-unsur dari kedua pendekatan tersebut. Strategi
ini memungkinkan pembandingan lebih dari satu kurikulum dan secara serempak
keberhasilan flap kurikulum diukur berdasarkan kriteria khusus dari masing-
masing kurikulum?
Seperti halnya pada eksperimen lapangan serta usaha-usaha awal dari
Tylor dan Bloom, metode ini pun terlepas dari proyek evaluasi. Metodemetode
tersebut masuk ke bidang kurikulum setelah komputer dan program paket
berkembang yaitu tahun 1960. Program paket berisi program statistik yang
secterhana yang tidak membutuhkan pengetahuan komputer untuk
mengenakannya. Dengan berkembangnya penggunaan komputer memungkinkan
studi lapangan tidak dihambat oleh kesalahan dan kelambatan. Semua masalah
pengolahan statistik dapat dikerjakan dengan komputer.

210
Langkah-langkah model multivariasi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mencari sekolah yang berminat untuk dievaluasi/diteliti,
2. Pelaksanaan program. Bila tidak ada pencampuran sekolah tekanannya
pada partisipasi yang optimal,
3. Sementara tim menyusun tujuan yang meliputi semua tujuan dari
pengajaran umpamanya dengan metode global dan metode unsur, dapat
disiapkan tes tambahan,
4. Bila semua informasi yang diharapkan telah terkumpul, maka mulailah
pekerjaan komputer,
5. Tipe analisis dapat juga digunakan untuk mengukur pengaruh bersama dari
beberapa variabel yang berbeda)
Beberapa kesulitan dihadapi dalam model campuran multivariasi ini.
Kesulitan pertama adalah diharapkan memberikan tes statistik yang signifikan)
Maka untuk itu diperlukan 100 kelas dengan 10 pengukuran, dan ini lebih
memungkinkan daripada 10 kelas dengan 100 pengukuran. Jadi model
multivariasi ini lebih sesuai bagi evaluasi kurikulum skald besar. kesulitan terlalu
banyaknya varaibel yang perhi dihitung pada suatu saat, kemampuan komputer
hanya sampai 40 variabel, sedangkan dengan model ini dapat dikumpulkan
sampai 300 variabel Kesulitan ketiza, meskipun model multivariasi telah
mengurangi masalah kontrol berkenaan dengan eksperimen lapangan tetapi tetap
menghadapi masalah-masalah pembandingan.
Model-model evaluasi kurikulum tersebut berkembang dari dan digunakan
untuk mengevaluasi model atau pendekatan kurikulum tertentu. Model
perbandingan lebih sesuai untuk mengevaluasi pengembangan kurikulum yang
menekankan isi (Content based curriculum), podel tujuan lebih sesuai digunakan
dalam pengembangan kurikulum yang menggunakan pendekatan tujuan (Goal
based curriculum), zodel campuran dapat digunakan untuk mengevaluasi baik
kurikulum yang menekankan isi, tujuan maupun situasi (Situation based
curriculum).
Di samping model-model evaluasi kurikulum di atas, dikenal pula
beberapa model evaluasi kuiikulum ynag lebih bersifat umum, seperti model
EPIC, CEMREL, dan model CDPP.

211
Model EPIC atau Evaluation Programs for Innovative Curriculums meng-
gambarkan keseluruhan program evaluasi dalam sebuah kubus. Kubus tersebut
mempunyai tiga bidang. Bidang pertama adalah behavior atau perilaku yang
menjadi sasaran pendidikan yang meliputi perilaku cognitive, affective dan
psychomotor. Bidang kedua adalah "instruction" atau pengajaran, yang meliputi
organization, content, method, facilities and cost, dan bidang ketiga adalah
kelembagaan yang meliputi student, teacher, adminsitrator, educational spesialist,
family and community (Doll, 1976: 374). BAGAN 9. Evaluasi model EPIC

212
BAB X
GURU DAN PENGEMBANGAN KURIKULUM

A. Guru sebagai Pendidik Profesional


Pendidikan berintikan interaksi antara pendidik (guru) dan peserta didik
(siswa) untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Pendidik, peserta didik, dan
tujuan pendidikan merupakan komponen utama pendidikan. Ketiganya
membentuk suatu triangle, jika hilang salah satu komponen, hilang pulalah
hakikat pendidikan. Dalam situasi tertentu tugas guru dapat diwakilkan atau
dibantu oleh unsur lain seperti oleh media teknologi, tetapi tidak dapat
digantilcan. Mendidik adalah pekerjaan profesional, oleh karena itu guru sebagai
pelaku utama pendidikan merupakan pendidik profesional.
Sebagai pendidik profesional, guru bukan saja dituntut melaksanakan
tugasnya secara pagesional, tetapi juga harus memiliki pengetahuan dan
kemampuan profesional. Dalam diskusi pengembangan model pendidikan
profesional tenaga kependidikan, yang diselenggarakan oleh PPS IKIP Bandung
tahun 1990, dirumuskan 10 ciri suatu profesi, yaitu:
1. Memiliki fungsi dan signifikansi social
2. Memiliki keahlian/keterampilan tertentu.
3. Keahlian/keterampilan diperoleh dengan menggunakan teori dan metode
ilmiah.
4. Didasarkan atas disiplin ilmu yang jelas.
5. Diperoleh dengan pendidikan dalam masa tertentu yang cukup lama.
6. Aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional.
7. Memiliki kode etik.
8. Kebebasan untuk memberikan judgment dalam memecahkan masalah dalam
lingkup kerjanya.
9. Memiliki tanggung jawab profesional dan otonomi.
10. Ada pengakuan dari masyarakat dan imbalan atas layanan profesinya.

213
Mungkin belum seluruh ciri profesi di atas telah dimiliki secara kokoh
(sempurna) oleh para pendidik kita. Sebab sebagai suatu profesi terbuka, masih
ada anggapan masyarakat bahwa setiap orang bisa menjadi pendidik, atau setiap
orang bisa mendidik. Memang hal itu sukar dihindari, walaupun telah ada batas
yang jelas antara pendidikan formal dengan pendidikan informal, atau antara
pendidikan profesional dengan nonprofesional, tetapi orang-orang yang tidak
memiliki profesi dalam bidang pendidikan juga melaksanakan tugas-tugas
pendidikan formal- profesional dan mengganggap dirinya telah memiliki profesi
tersebut. Pada sisi lain, mengingat banyaknya jenis dan jenjang pendidikan yang
harus disediakan bagi berbagai kategori peserta didik, juga tidak bisa dihindari
banyaknya tenaga nonprofesional pendidikan yang melaksanakan tugas- tugas
pendidikan.

Louis E. Raths (1964), mengemukakan sejumlah kemampuan yang harus dimiliki


oleh seorang guru.
The points are proposed, not as a rating scale, but as a broad frame work
for teachers to discover more about themselves in relation to the func- tions of
teaching:
1. Explaining, informing, showing how,
2. Initiating, directing, administering,
3. Unifying the group,
4. Giving security,
5. Clarifying attitudes, beliefs, problems,
6. Diagnosing learning problems,
7. Making curriculum materials,
8. Evaluating, recording, reporting,
9. Enriching community activities,
10. Organizing and arranging classroom,
11. Participating in school activities,
12. Participating in professional and civic life.

214
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1980) telah merumuskan
kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki guru dan mengelompok- kannya
atas tiga dimensi umum kemampuan, yaitu:
1. Kemampuan profesional, yang mencakup:
a. Penguasaan materi pelajaran, mencakup bahan yang akan diajarkan dan
dasar keilmuan dari bahan pelajaran tersebut.
b. Penguasaan landasan dan wawasan kependidikan dan keguruan.
c. Penguasaan proses kependidikan, keguruan dan pembelajaran siswa.
2. Kemampuan sosial, yaitu kemampuan menyesuaikan diri dengan tuntutan
kerja dan lingkungan sekitar.
3. Kemampuan personal yang mencakup:
a. Penampilan sikap yang positif terhadap keseluruhan tugasnya sebagai
guru, dan terhadap keseluruhan situasi pendidikan.
b. Pemahaman, penghayatan, dan penampilan nilai-nilai yang seyogianya
dimiliki guru.
c. Penampilan upaya unruk menjadikan dirinya sebagai anutan dan teladan
bagi para siswanya.

Lebih lanjut Depdikbud (1980) merinci ketiga kelompok kernampuan tersebut


menjadi 10 kemampuan dasar, yaitu:
1. Penguasaan bahan pelajaran beserta konsep-konsep dasar keil- muannya.
2. Pengelolaan program belajar-mengajar.
3. Pengelolaan kelas.
4. Penggunaan media dan sumber pembelajaran.
5. Penguasaan landasan-landasan kependidikan.
6. Pengelolaan interaksi belajar-mengajar.
7. Penilaian prestasi siswa.
8. Pengenalan fungsi dan program bimbingan dan penyuluhan.
9. Pengenalan dan penyelenggaraan administrasi sekolah.
10. Pemahaman prinsip-prinsip dan pemanfaatan hasil penelitian pendidikan
untuk kepentingan peningkatan mutu pengajaran.

215
Kedua belas kemampuan yang dikemukakan oleh Rath berkenaan dengan
pelaksanaan pengajaran dan pengembangan kemampuan dalam me- ngajar. Ada
satu hal yang tidak dinyatakan secara eksplisit Rath yaitu penguasaan rnateri atau
bahan pelajaran. Penguasaan kemampuan proses hams terjalin secara utuh dengan
penguasaan isi, baik yang berasal dari disiplin ilmu, maupun dari kehidupan
masyarakat. Dua kemampuan terakhir dari Rath, tidak berkenaan dengan teknis
pengajaran, tetapi dengan kegiatan yang lebih luas, yaitu partisipasi dalam
kegiatan di sekolah, dalam masyarakat biasa dan masyarakat profesional. Untuk
dapat berpartisipasi dalam situasi- situasi tersebut, selain harus menguasai
kemampuan teknis pendidikan, dan penguasaan bidang studi, juga penguasaan
kemampuan sosial, seperti kepemimpinan, hubungan sosial, dan komunikasi
dengan orang lain.
Sepuluh kemampuan dasar yang dirumuskan Depdikbud sebenarnya baru
merupakan rincian kelompok kemampuan pertama (kemampuan profesional),
sedangkan kelompok kemampuan yang kedua dan ketiga (kemampuan sosial dan
personal), belum dirinci lebih jauh, padahal cukup penting. Di antara kemampuan
sosial dan personal yang paling mendasar yang harus dikuasai guru adalah
idealisme, idealisme dalam pendidikan. Penguasaan dan penggunaan dua belas
kemampuan dari Rath atau sepuluh kemampuan dari Depdikbud, hanya akan
optimal apabila didasari oleh adanya idealisme, yaitu cita-cita luhur yang ingin
dicapai dengan pendidikan.
Perbuatan mendidik harus dilandasi oleh sikap dan keyakinan sebagai
pengabdian pada nusa, bangsa, dan kemanusiaan, untuk mencerdaskan bangsa,
untuk melahirkan generasi pembangunan, atau generasi penerus yang lebih andal,
dan sebagainya. Kalau perbuatan mendidik hanya didorong oleh kebutuhan
memperoleh nafkah, maka guru-guru hanya akan bekerja ala kadarnya, bekerja
secara mekanistis dan formalitas. Idealisme seharusnya dimiliki oleh setiap
profesi, karyawan, bahkan setiap orang. Idealisme dalam perbuatan mendidik
akan menumbuhkan rasa cinta pada guru terhadap profesinya, terhadap pekerjaan
pendidikan, terhadap para siswanya, dan sebagainya. Dengan dasar rasa cinta itu
guru akan berbuat yang terbaik bagi peserta didik, bagi pendidikan. ldealisme dan
rasa cinta mendasari dan menjiwai semua perilaku mendidik, menghidupkan

216
kemampuan-kemampuan profesional yang dimiliki. Tanpa idealisme dan rasa
cinta, kemampuan-kemampuan profesional yang dirniliki hanya akan tampak
seperti lampu yang kekurangan minyak.

B. Guru sebagai Pembimbing Belajar


Telah dijelaskan bahwa dalam kurikulum dapat dibedakan antara official
atau written curriculum dengan actual curriculum. Official atau written cur-
riculum merupakan kurikulum resmi yang tertulis, yang merupakan acuan bagi
pelaksanaan pengajaran dalam kelas. Actual curriculum merupakan kurikulum
nyata yang dilaksanakan of eh guru-guru. Kurikulum nyata merupakan
implementasi dari official curriculum di dalam kelas. Beberapa ahli menyatakan
bahwa betapapun bagusnya suatu kurikulum (official), hasilnya sangat bergantung
pada apa yang dilakukan oleh guru di dalam kelas (actual). Dengan demikian,
guru memegang peranan penting baik dalam penyusunan maupun pelaksanaan
kurikulum.
Pada keempat konsep pendidikan yang telah diuraikan di muka terdapat
perbedaan peranan atau kedudukan guru. Dalam konsep pendidikan klasik, guru
berperan sebagai penerus dan penyampai ilmu, sedangkan dalam konsep teknologi
pendidikan, guru adalah pelatih kemampuan. Dalam Konsep interaksional guru
berperan sebagai mitra belajar, sedangkan dalam konsep pendidikan pribadi, guru
lebih berperan sebagai pengarah, pendorong dan pembimbing. Dalam praktik
pendidikan di sekolah, jarang sekali digunakan satu konsep pendidikan secara
utuh. Pada umumnya pelaksanaan pendidikan bersifat eklektik, mungkin
mencampurkan dua, tiga bahkan mungkin keempat-empatnya. Model- model
konsep pendidikan tersebut dalam praktik tidak lagi dipandang sebagai model
pendidikan yang masing-masing eksklusif, tetapi dapat dipadukan atau minimal
dihubungkan satu dengan yang lainnya. Yang tampak adalah variasi peranan guru
dalam pelaksanaan pendidikan dan pengajaran. Dalam keseluruhan proses belajar-
mengajar atau pada suatu waktu tertentu mungkin salah satu peranan lebih
menonjol dari yang lainnya. Keempat ragam peranan tersebut sesungguhnya dapat
ditempatkan dalam satu kontinum, seperti pada Bagan 10.1

217
BAGAN 10.1 Ragam peranan guru dalam proses belajar-mengajar
PENYAMPAIAN PELATIH MITRA PENGARAH
PENGETAHUAN KEMAMPUAN BELAJAR PEMBIMBING

Para pelaksana pendidikan termasuk guru sering tidak melihat keempat


peranan tersebut terletak dalam kontinum. Mereka melihatnya sebagai dua
ekstrem. Pada satu ujung guru berperan sebagai penyampai ilmu dan pelatih
dalam arti drilling, dan pada ujung lain peran guru sebagai pengarah,
pembimbing, pendorong, fasilitator, dan sebagainya. Praktik pendidikan yang
memberikan peranan kepada guru hanya sebagai penyampai ilmu atau pelatih
dianggap model lama, sedangkan yang memberikan peranan sebagai pengarah,
pendorong, pembimbing dipandang model baru.
Pandangan sederhana dan polair seperti itu memang banyak ditemukan,
bukan hanya dalam pendidikan dan pengajaran tetapi juga dalam bidang-bidang
lain. Sebenarnya semua konsep pendidikan itu baik atau memiliki kebaikan-
kebaikan tertentu, di samping kendala-kendala tertentu pula. Dalam praktik yang
lebih penting adalah mempertimbangkan, konsep pendidikan mana yang paling
tepat untuk mencapai tujuan tertentu bagi kelompok peserta didik tertentu, pada
jenjang dan jenis pendidikan tertentu, dalam waktu dan kondisi tertentu pula.
Sejalan dengan konsep pendidikan tersebut peran-peran apa yang tepat dimainkan
oleh guru. Pada saat dan situasi tertentu peran menyampaikan materi pengetahuan
memang tepat dan sangat diperlukan, tetapi pada saat lain latihan pengembangan
kemampuan dengan menggunakan media pembelajaran mutakhir tepat, karena
memang hal itu sangat diperlukan dan sarananya ada. Pada saat dan situasi lain
pengarahan dan dorongan terhadap siswa dalam merencanakan, dan melaksanakan
suatu kegiatan atau memecahkan suatu masalah adalah tepat, karena kondisinya
mendukung. Jadi, sesungguhnya realisasi dari peranan guru tersebut sangat
situasional, tidak ada yang berlaku umum.
Meskipun demikian ada satu hal yang menjadi acuan bagi guru, dalam
memilih kegiatan yang akan dilakukan serta peranan yang akan dimainkannya,
yaitu siswa. Tujuan utama kegiatan guru dalam mengajar ialah mempengaruhi
perubahan pola tingkah laku para siswanya. Perubahan ini terjadi karena guru
memberikan perlakuan-perlakuan. Tepat tidaknya, efektif tidaknya perlakuan
yang diberikan guru akan menentukan usaha belajar yang dilakukan oleh siswa.

218
Upaya guru memberikan perlakuan tersebut erat kaitannya dengan tingkat harapan
dan perubahan yang diinginkannya. Tujuan lainnya adalah mendorong dan
meningkatkan kemampuan sebagai hasil belajar, dengan cara itu, guru dapat
mempengaruhi perubahan tingkah laku siswa.
Untuk mencapai kedua tujuan di atas, diperlukan hubungan timbal balik
antara guru dan siswa. Guru perlu menyenangi siswanya, bersikap menerima,
mengerti, dan membantu. Sebaliknya siswa juga harus menerima, menyenangi,
dan menghormati gurunya. Kesukaan dan sikap positif siswa kepada guru, akan
meningkatkan hasil belajar mereka. Antara siswa dan guru perlu terjalin kerja
sama yang baik dalam belajar. Di samping itu, guru harus memberikan
kesempatan, dan menciptakan suasana kelas yang bebas, untuk mendorong siswa
memecahkan sendiri masalah-masalah yang mereka hadapi. Guru tak mungkin
menjawab semua pertanyaan siswa. Kesempatan belajar yang diciptakan guru
adalah agar merangsang siswa belajar, berpikir, melakukan penalaran, jadi
memungkinkan siswa untuk belajar sendiri. Jadi, antara guru dan siswa harus
tercipta hubungan sebagai mitra belajar. Minat dan pemahaman, timbal balik
antara guru dan siswa akan memperkaya kurikulum dan kegiatan belajar-mengajar
pada kelas bersangkutan.
Hasil dan kemajuan belajar yang dicapai siswa ditentukan juga oleh bentuk
hubungan antara guru dan siswa, antara guru dan administrator, antara guru dan
orang tua siswa. Hubungan guru dengan siswa menjadi syarat mutlak, bukan
hanya dalam hubungan sebagai pembimbing dan yang dibimbing tetapi juga
sebagai mitra belajar. Karena itu guru harus memahami siswa yang dibimbingnya
dan sebaliknya siswa harus mengakui kewibawaan pembimbingnya. Hubungan
antara guru dengan siswa harus didukung oleh hubungan yang sejalan antara guru
dengan administrator dan guru dengan orang tua siswa. Hubungan guru dengan
administrator haruslah bersikap terbuka, sehingga memungkinkan guru mencari
jalan, berkreasi dan berani mencoba sendiri sesuatu usaha instruksional yang lebih
baru yang dipandangnya lebih relevan dengan kegiatannya selaku guru. Antara
keduanya juga tercipta hubungan sebagai mitra yang baik, tetapi dengan tugas
yang berbeda. Administrator mengadakan bimbingan dan supervisi dengan
maksud merangsang kegiatan belajar para siswa. Demikian pula hubungan antara
guru dengan orang tua, keduanya memiliki tanggung jawab yang sama dalam
mengembangkan pribadi anak, tetapi dengan tugas yang berbeda. Orang tua bukan

219
saja harus percaya kepada guru, akan tetapi harus memberikan dukungan dan
partisipasi sebesar mungkin untuk kepentingan pendidikan anak-anak mereka di
sekolah. Bagaimana bentuk hubungan dan pelaksanaan hubungan-hubungan itu
tentu saja perlu dibicarakan dalam kerangka yang lebih luas.
Semua kegiatan dan fasilitas yang dipilih serta peranan yang dilakukan
guru harus tertuju pada kepentingan siswa, diarahkan pada memenuhi kebutuhan
siswa, disesuaikan dengan kondisi siswa, dan siswa menguasai apa yang diberikan
atau memperoleh perkembangan secara optimal.
Dalam mengoptimalkan perkembangan siswa, ada tiga langkah yang harus
ditempuh. Pertama, mendiagnosis kemampuan dan perkembangan siswa. Guru
harus mengenal dan memahami siswa dengan baik, memahami tahap
perkembangan yang telah dicapainya, kemampuan- kemampuannya, keunggulan
dan kekurangannya, hambatan yang dihadapi serta faktor-faktor dominan yang
mempengaruhinya. Setiap peserta didik sebagai individu mempunyai kemampuan,
kecepatan belajar, karakteristik dan problem-problem sendiri, yang berbeda
dengan individu lainnya. Perkembangan yang optimal hanya mungkin dapat
dicapai apabila kegiatan yang dilakukan siswa dan bantuan yang diberikan guru,
disesuaikan dengan kondisi tersebut.
Kedua, memilih cara pembelajaran yang sesuai dengan kondisi siswa.
Pembelajaran yang betul-betul disesuaikan dengan perbedaan individual, harus
pendekatan pembelajaran yang bersifat individual. Pendekatan demikian pernah
dilaksanakan pada delapan PPSP dengan menggunakan sistem modul, tetapi
karena alasan-alasan tertentu, PPSP dibubarkan dan metode tersebut tidak
digunakan lagi. Konsep modul dan sistem belajar sendirinya masih dipakai pada
SMP dan Universitas Terbuka. Di sekolah- sekolah biasa umumnya digunakan
pendekatan yang bersifat klasikal. Dalam pendekatan klasikal sebenarnya tidak
tertutup kemungkinan untuk memperhatikan perbedaan individual. Salah satu
prinsip pengajaran yang efektif, adalah nnenggunakan pendekatan atau metode
dan media yang bervariasi, "pendekatan multi metode-multi media". Dengan
menggunakan metode dan media yang bervariasi, perbedaan-perbedaan individual
dapat terlayani, di samping pembelajaran menjadi lebih menarik, karena sering
terjadi pergantian kegiatan. Dalam pembelajaran guru dapat mengadakan variasi,
antara metode yang lebih mengaktifkan guru dengan yang mengaktifkan siswa,
antara belajar secara klasikal dengan belajar kelompok dan penugasan yang

220
bersifat individual. Variasi antara yang menckankan pengetahuan dengan
keterampilan dan nilai-nilai, antara yang hanya menggunakan kapur-papan tulis
dengan menggunakan media, antara me- dia sederhana dengan media yang lebih
kompleks. Juga variasi antara kegiatan yang bersifat menerima, mengolah,
menyajikan, dan penilaian.
Ketiga, kegiatan pembimbingan. Pemilihan .dan penggunaan metode dan
media yang bervariasi tidak dengan sendirinya, akan mengoptimalkan
perkembangan siswa. Pelaksanaan metode pembelajaran tersebut perlu disertai
dengan usaha-usaha pemberian dorongan, bantuan, pengawasan, pengarahan dan
bimbingan dari guru. Pembimbingan ini diberikan pada saat kegiatan
pembelajaran, atau di luar kegiatan pembelajaran. Pembimbingan juga dapat
berupa usaha-usaha pemberian remedial teach- ing dan pengayaan.

C. Peranan Guru dalam Pengembangan Kurikulum


Dilihat dari segi pengelolaannya, pengembangan kurikulum dapat
dibedakan antara yang bersifat sentralisasi, desentralisasi, dan sentral- desentral.
Dalam pengembangan kurikulum yang bersifat sentralisasi, kurikulum disusun
oleh sesuatu tim khusus di tingkat pusat. Kurikulum bersifat uniform untuk
seluruh negara, daerah, atau jenjang/jenis sekolah.
Di Indonesia dewasa ini terutama pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah digunakan model Mi. Kurikulum untuk Sekolah Dasar, Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama, Sekolah Menengah Umum, dan Sekolah Menengah
Kejuruan pada prinsipnya seragam. Pengembartgan kurikulum tersebut sudah
tentu memiliki tujuan dan latar belakang tertentu yang sangat mendesak dan
mendasar.
Tujuan utama pengembangan kurikulum yang uniform ini adalah untuk
menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa, serta memberikan standar
penguasaan yang sama bagi seluruh wilayah. Hal itu dilatarbelakangi oleh
beberapa kondisi. Pertama, wilayah negara Indonesia luas sekali, terbentuk atas
pulau-pulau yang satu sama lain letaknya berjauhan dan terpisahkan oleh laut.
Kedua, kondisi dan karakteristik tiap daerah berbeda-beda, ada yang sudah maju
sekali dan ada yang sangat terbelakang, ada daerah tertutup ada yang terbuka, ada
daerah kaya dan daerah miskin dan sebagainya. Ketiga, perkembangan dan
kemampuan sekolah juga berbeda- beda. Ada sekolah yang sudah mapan mampu

221
berdiri sendiri dan melakukan pengembangan sendiri, karena memililci
personalia, fasilitas yang memadai, dan manajemen yang mapan. Sekolah yang
lain kondisinya sangat memprihatinkan, karena segalanya masih berada pada
tingkat darurat. Jumlah yang demikian ini tampaknya jauh lebih banyak
dibandingkan dengan sekolah yang telah mapan. Keem pat, adanya golongan atau
kelompok tertentu dalam masyarakat, yang ingin mengutamakan golongan atau
kelompoknya dan menggunakan sekolah sebagai alat untuk mencapai tujuan
tersebut.
Model pengembangan kurikulum yang bersifat sentralisasi mempunyai
beberapa kelebihan di samping juga kelemahan. Kelebihannya selain mendukung
terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa, dan tercapainya standar minimal
penguasaan/perkembangan anak, juga model ini mudah dikelola, dimonitor dan
dievaluasi, serta lebih hemat dilihat dari segi biaya, waktu, dan fasilitas. Hal-hal di
atas tampaknya sesuai dengan kondisi dan tahap perkembangan negara kita
dewasa ini.
Model pengembangan ini memiliki beberapa kelemahan. Pertama,
menyeragamkan kondisi yang berbeda-beda keadaan dan tahap perkem- bangan
intelek, alam dan sosial budayanya, sukar sekali. Penyeragaman dapat
menghambat kreativitas, dapat memperlambat kemajuan sekolah yang sudah
mapan dan menyeret perkembangan sekolah yang masih terbelakang.
Penyeragaman yang sangat jauh dari kondisi dan sifat sesuatu wilayah akan
menghambat kepesatan perkembangan wilayah tersebut. Kedua, ketidakadilan
dalam menilai hasil. Dalam kurikulum yang seragam, penilaian sering dilakukan
secara seragam pula. Yang dimaksudkan dengan seragam dalam penilaian yaitu
kesamaan di dalam segi yang dinilai, prosedur dan alat penilaian serta standar
penilaian. Di muka telah dibahas bahwa dalam wilayah Indonesia yang luas ini
terdapat keragaman kondisi alam, sosial budaya, tingkat intelek, kemampuan dan
fasilitas sekolah. Hasil pendidikan dan pengajaran sangat dipengaruhi oleh faktor-
faktor di atas. Pengabaian faktor-faktor yang mempengaruhi proses pendidikan
merupakan suatu ketidakadilan. Ketiga, penggunaan standar yang sama untuk
semua sekolah di seluruh wilayah akan memberikan gambaran hasil yang
beragam dan menunjukkan adanya perbedaan yang sangat ekstrem. Bagi sekolah-
sekolah yang kebetulan hasilnya sangat baik dapat menimbulkan sikap
kecongkakan, sedangkan bagi sekolah yang hasilnya sangat jelek akan

222
mengakibatkan rasa rendah din, di samping adanya cemoohan dari berbagai pihak.
Dalam situasi yang tidak sehat bukan tidak mungkin terjadi pembocoran soal,
ketidakjujuran dalam penilaian, dan sebagainya.
Terlepas dari pro dan kontra, kelebihan dan kekurangannya kita akan
mencoba melihat peranan guru di dalamnya. Peranan guru baik dalam model
sentralisasi maupun desentralisasi dapat dilihat dalam tiga tahap, yaitu tahap
perancangan, pelaksanaan dan evaluasi. Kurikulum juga dapat dilihat dalam
lingkup makro dan juga mikro. Pengembangan kurikulum pada tahap perancangan
berkenaan dengan seluruh kegiatan menghasilkan dokumen kurikulum, atau
kurikulum tertulis. Pelaksanaan kurikulum atau disebut juga implementasi
kurikulum, meliputi kegiatan menerapkan semua rancangan yang tercantum dalam
kurikulum tertulis. Evaluasi kurikulum merupakan kegiatan menilai pelaksanaan
dan hasil-hasil penggunaan suatu kurikulum. Kurikulum makro yaitu kurikulum
yang menyeluruh meliputi semua komponen, atau meliputi seluruh wilayah, atau
seluruh siswa pada jenjang pendidikan tertentu. Kurikulum mikro merupakan
jabaran atau rincian dari kurikulum makro, atau rancangan bagi pelaksanaan
pengajaran di kelas. Kedua dimensi pengembngan kurikulum tersebut dapat
dilihat pada Bagan 10.2
Bagan 10.2 Tahap dan Lingkup Pengembangan Kurikulum

223
1. Peranan guru dalam pengembangan kurikulum yang bersifat sentralisasi
Dalam kurikulum yang bersifat sentralisasi, guru tidak mernpunyai
peranan dalam perancangan, dan evaluasi kurikulum yang bersifat makro, mereka
lebih berperan dalam kurikulum mikro. Kurikulum makro disusun oleh tim atau
komisi khusus, yang terdiri atas para ahli. Penyusunan kuri- kulum mikro
dijabarkan dari kurikulum makro. Guru menyusun kuriku- lum dalam bidangnya
untuk jangka waktu satu tahun, satu semester, satu catur wulan, beberapa minggu
ataupun beberapa hari saja. Kurikulurn untuk saw tahun, satu semester atau satu
catur wulan disebut juga program tahunan, semesteran, catur wulanan, sedangkan
kurikulum untuk beberapa minggu atau hari, disebut satuan pelajaran. Program
tahunan, semesteran, catur wulanan, ataupun satuan pelajaran memiliki
kornponen-komponen yang sama yaitu tujuan, bahan pelajaran, metode dan media
pembelajaran, dan evaluasi, hanya keluasan dan kedalamannya berbeda-beda.
Menjadi tugas gurulah menyusun dan merumuskan tujuan yang tepat,
memilih dan menyusun bahan pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan, minat dan
tahap perkembangan anak, memiliki metode dan media mengajar yang bervariasi,
serta menyusun program dan alat evaluasi yang tepat. Suatu kurikulum yang
tersusun sistematis dan rinci akan sangat memudahkan guru dalam
implementasinya. Walaupun kurikulum sudah tersusun dengan berstruktur, tetapi
guru masih mempunyai tugas untuk mengadakan penyempurnaan dan
penyesuaian-penyesuaian.
Implementasi kurikulum hampir seluruhnya bergantung pada kreativitas,
kecakapan, kesungguhan, dan ketekunan guru. Guru hendaknya mampu memilih
dan menciptakan situasi-situasi belajar yang menggairahkan siswa, mampu
memilih dan melaksanakan metode mengajar yang sesuai dengan kemampuan
siswa, bahan pelajaran dan banyak mengaktifkan siswa. Guru hendaknya mampu
memilih, menyusun dan melaksanakan evaluasi, baik untuk mengevaluasi
perkembangan atau hasil belajar siswa untuk menilai efisiensi pelaksanannya itu
sendiri.
Guru juga berkewajiban untuk menjelaskan kepada para siswanya tentang
apa yang akan dicapai dengan pengajarannya. Ia juga hendaknya melakukan
berbagai upaya untuk membangkitkan motivasi belajar, menciptakan situasi

224
kompetitif dan kooperatif, memberikan pengarahan dan bimbingan. Guru
memberikan tugas-tugas individual atau kelompok yang akan memperkaya dan
memperdalam penguasaan siswa. Dalam kondisi ideal guru juga berperan sebagai
pembimbing, berusaha memahami secara saksama potensi dan kelemahan siswa,
serta membantu mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa.

2. Peranan guru dalam pengembangan kurikulum yang bersifat desentralisasi


Kurikulum desentralisasi disusun oleh sekolah ataupun kelompok sekolah
tertentu dalam suatu wilayah atau daerah. Kurikulum ini diperuntukkan bagi suatu
sekolah atau lingkungan wilayah tertentu. Pengembangan kurikulum semacam ini
didasarkan atas karakteristik, kebutuhan, perkembangan daerah serta kemampuan
sekolah atau sekolah-sekolah tersebut. Dengan demikian kurikulum terutama
isinya sangat beragam, tiap sekolah atau wilayah mempunyai kurikulum sendiri,
tetapi kurikulum ini cukup realistis.
Bentuk kurikulum seperti ini mempunyai beberapa kelebihan di •samping
juga kekurangan. Kelebihan-kelebihannya, di antaranya (1) kurikulum sesuai
dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat setempat, (2) kurikulum sesuai
dengan tingkat dan kemarnpuan sekolah, baik kemampuan profesional, finansial
maupun manajerial, (3) disusun oleh guru-guru sendiri dengan demikian sangat
memudahkan dalam pelaksanaannya, (4) ada rnotivasi kepada sekolah (kepala
sekolah, guru) untuk mengembangkan din, mencari dan menciptakan kurikulum
yang sebaik-baiknya, dengan demikian akan terjadi semacam kompetisi dalam
pengembangan kurikulum.
Beberapa kelemahan bentuk kurikulum ini, adalah: (1) tidak adanya
keseragaman, untuk situasi yang membutuhkan keseragaman demi persatuan dan
kesatuan nasional, bentuk ini kurang tepat, (2) tidak adanya standar penilaian yang
sama, sehingga sukar untuk diperbandingkan keadaan dan kemajuan suatu
sekolah/wilayah dengan sekolah/wilayah lainnya, (3) adanya kesulitan bila terjadi
perpindahan siswa ke sekolah/ wilayah lain, (4) sukar untuk mengadakan
pengelolaan dan penilaian secara nasional, (5) belum semua sekolah/daerah
mempunyai kesiapan untuk menyusun dan mengembangkan kurikulum sendiri.

225
Untuk mengatasi kelemahan kedua bentuk kurikulum tersebut, bentuk
campuran antara keduanya dapat digunakan, yaitu bentuk sentraldesentral.
Beberapa waktu yang lampau di Perguruan Tinggi di Indonesia digunakan model
pengembangan kurikulum yang sifatnya desentralisasi. Tiap universitas, institut,
atau akademi mempunyai otonomi untuk menyusun dan mengembangkan
kurikulum sendiri, satu berbeda dengan yang lainnya. Dewasa ini kadar
desentralisasinya agak berkurang, dengan adanya usaha-usaha ke arab
penyeragaman. Untuk beberapa perguruan tinggi sejenis dikembangakan kerangka
kurikulum dan kelompok- kelompok mata kuliah atau program inti yang seragam.
Sebagai contoh, pada IKIP atau FKIP ada kelompok-kelornpok mata kuliah dasar
umum, dasar keguruan, dan proses belajar mengajar yang seluruhnya seragam,
ditentukan atau disusun bersama di tingkat nasional. Perbedaan antara suatu IKIP
dengan IKIP lainnya adalah pada kelompok mata kuliah kejuruan atau
spesialisasi. Bentuk kurikulum yang berlaku pada IKIP, FKIP ini mungkin dapat
diklasifikasikan sebagai kurikulum sentralisasi- desentralisasi.
Dalarn kurikulum yang dikelola secara desentralisasi dan sampai batas-
batas tertentu juga yang sentralisasi-desen-tralisasi, peranan guru dalam
pengembangan kurikulum lebih besar dibandingkan dengan yang dikelola secara
sentralisasi. Guru-guru turut berpartisipasi, bukan hanya dalam penjabaran
kurikulum induk ke dalam program tahunan/semester/ catur wulan, atau satuan
pelajaran, tetapi juga di dalarn menyusun kurikulum yang menyeluruh untuk
sekolahnya. Guru-guru turut memberi andil dalam merumuskan setiap komponen
dan unsur dari kurikulum. Dalam kegiatan seperti itu, mereka mempunyai
perasaan turut memiliki kurikulum dan terdorong untuk mengembangkan
pengetahuan dan kemampuan dirirtya dalam pengembangan kurikulum.
Karena guru-guru sejak awal penyusunan kurikulum telah diikutserta- kan,
mereka akan memahami dan benar-benar menguasai kurikulumnya, dengan
demikian pelaksanaan kurikulum di dalam kolas akan lebih tepat dan lancar. Guru
bukan hanya berperan sebagai pengguna, tetapi peren- cana, pemikir, penyusun,
pengernbang dan juga pelaksana dan evaluator kurikulum.

226
D. Pendidikan Guru

1. Masalah pendidikan guru


Masalah pendidikan guru tidak dapat dilepaskan dari masalah pendidikan
secara keseluruhan. Dalam pendidikan di Indonesia kita menghadapi dua masalah
besar, yaitu masalah kuantitas dan kualitas pendidikan. Masalah pertama kuantitas
pendidikan, berkenaan dengan penyediaan fasilitas belajar bagi semua anak usia
sekolah. Hal itu berkenaan dengan penyediaan ruang kelas, gedung dan peralatan
sekolah, guru, dan tenaga kependidikan lainnya.
Salah satu penyebab utama yang menuntut pengembangan kuantitas
pendidikan adalah angka kelahiran. Meskipun persentasenya sudah semakin
mengecil tetapi angka pertambahan kelahiran total masih cukup besar. Hal itu
menyebabkan makin membesarnya jumlah calon murid ke sekolah dasar.
Membesarnya jumlah murid SD dengan sendirinya mengakibatkan membesarnya
juga jumlah siswa SLP, SLA, clan perguruan tinggi.
Sebab lain yang mendorong pertambahan calon siswa ke sekolah- sekolah
adalah kebijaksanaan pemerintah yang memberikan kesempatan yang luas dalam
pendidikan, terutama dengan diterapkannya wajib belajar sembilan tahun. Di
samping itu, kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan telah sernakin
besar dan kemampuan ekonomi orang tua juga telah semakin baik.
Akibatnya sekolah-sekolah setiap tahun dihadapkan pada masalah
melimpahnya calon murid yang semakin membengkak. Kecuali di sekolah dasar,
pada daerah-daerah tertentu terjadi pengurangan jumlah murid, hal itu
kemungkinan besar disebabkan keberhasilan program keluarga berencana. Telah
disinggung sebelumnya bahwa pertarnbahan jumlah siswa tersebut selain
menuntut penambahan ruang kelas, gedung, peralatan sekolah dan peralatan
belajar, juga menuntut penambahan jumlah tenaga guru. Guru memegang peranan
kunci bagi berlangsungnya kegiatan pendidikan. Tanpa kelas, gedung peralatan
dan sebagainya proses pendidikan masih dapat berjalan walaupun dalam keadaan
darurat, tetapi tanpa guru proses pendidikan hampir tak mungkin dapat berjalan.
Dengan penambahan jumlah siswa tersebut dibutuhkan penambahan tenaga guru

227
yang cukup besar pula setiap tahunnya baik untuk tingkat SD, SLP, SLA maupun
perguruan tinggi.
Masalah kedua yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia adalah
menyangkut kualitas. Masyarakat dan para ahli pendidikan banyak yang
mensinyalir bahwa mutu pendidikan dewasa ini belum seperti yang diharapkan.
Banyak faktor yang mungkin melatarbelakangi hal tersebut. Selain masih
kurangnya sarana dan fasilitas belajar yang tersedia, adalah karena faktor guru.
Hal itu pun mungkin disebabkan dua hal, pertama guru belum atau tidak bekerja
dengan sungguh-sungguh, dan kedua mungkin karena kemampuan profesional
guru yang memang masih kurang. Banyak cara yang telah ditempuh dalam
meningkatkan kompetensi guru, baik melalui pendidikan prajabatan (pre-service
education), maupun pendidikan dalam jabatan (in-service training). Salah satu
pendekatan yang telah dilaksanakan dalam pendidikan prajabatan adalah
pendekatan kompetensi, sedangkan pelatihan dalam jabatan, salah satu program
yang sampai sekarang masih berjalan adalah program bantuan pengembangan
profesi.

2. Standardisasi pendidikan guru


Ada beberapa prinsip yang perlu dijadikan pegangan dalam pengembangan
pendidikan guru. Pertama, syarat untuk masuk ke lembaga pendidikan guru
(tingkat universitas) harus standar, tetapi prosedurnya cukup fleksibel sehingga
dapat menjaring calon-calon yang potensial dan cocok. Penerimaan didasarkan
atas pertimbangan potensi, kecakapan, serta karakteristik pribadi yang dim i liki
yang sesuai dengan sifat jurusan /program yang dipilih. Kedua, program
pendidikan guru hendakriya memiliki tiga komponen yang terintegrasi, yaitu
pendidikan umum, minimal satu bidang spesialisasi, dan keahlian dalam
kurikulum dan pengajaran. Ketiga, perkembangan calon guru dinilai selama
program berlangsung dengan teknik penilaian yang bervariasi, seperti: tes tertulis,
lisan, pengamatan praktik secara langsung dan melalui video, serta penilaian atas
hasil kerja mereka. Hanya yang memperlihatkan hasil-hasil yang baiklah yang
dapat diluluskan, yang lain perlu pembinaan lagi. Keempat, program pendidikan
guru perlu diakreditasi dengan standar yang memungkikan calon guru bisa bekerja

228
dengan baik. Kelima, perlu ada lembaga yang memberikan legalitas terhadap
kelayakan program pendidikan guru, standar yang digunakan serta memberikan
sertifikasi terhadap guru. Lembaga ini dikelola oleh para ahli pendidikan guru,
para guru dan pelaksana pendidikan.
Pendidikan guru perlu memiliki suatu standar, yang akan menjadi acuan,
baik dalam pengembangan, pelaksanaan maupun evaluasi program pendidikan
guru.
Dengan mengacu pada National Education Association (NEA) Amerika
Serikat, standar pendidikan guru meliputi lima komponen pendidikan, yaitu:
perencanaan, irnplementasi, personalia, dan isi program serta keang- gotaan dalam
profesi guru.
a. Perencanaan program
1. Tujuan program adalah menyiapkan calon guru agar mampu mengajar
secara efektif.
2. Perencanaan program didasarkan atas pengetahuan tentang apa yang akan
dikerjakan guru di sekolah.
3. Program disusun secara sistematis dan berisi perpaduan antara pendidikan
umum, bidang studi dan profesi kurikulum.
4. Program disusun dan dikembangkan oleh ekspert dalam ilmu pendidikan
(pedagogy), dalam bidang studi (spesilisasi) bersama para praktisi
pendidikan.
5. Rencana program bersifat menyeluruh, berisi pemberian kesempatan untuk
pengembangan sikap, penguasaan pengetahuan, dan keterampilan yang
esensial bagi pelaksanaan pengajaran yang efektif.
b. Implementasi program
1. Implernentasi program sejalan dengan tujuan dan rencana prog- ram.
2. Prosedur penerimaan siswa, pembinaan serta pelulusannya sesuai dengan
tujuan program.
3. Dosen lembaga pendidikan guru memiliki pengetahuan praktis tentang
lapangan (sekolah dan pelaksanaan pengajaran).
4. Program menyediakan kesempatan yang cukup bagi calon guru untuk
mempraktikkan apa yang mereka pelajari.

229
5. Program memadukan metode mengajar dengan bahan pelajaran.

c. Personalia program
1. Dosen lembaga pendidikan guru dan guru-guru di lapangan
memperlihatkan sikap dan perilaku seperti yang diharapkan dalam
program.
2. Dosen dan guru-guru yang membimbing calon guru, dipersiapkan khusus
melalui latihan yang intensif dalam bidangnya.
3. Dosen, guru pamong dan staf lainnya dievaluasi dengan kriteria standar,
dan penentuan kebijaksanaan personalia didasarkan atas hasil evaluasi tsb.

d. Isi program
1. Bahan pelajaran
1. Program menyediakan latihan bagi penguasaan keterampilan dasar yang
belum dimiliki calon guru pada waktu masuk.
2. Program menyediakan pengajaran untuk pendidikan umum
3. Program menyediakan pengajaran tentang berpikir kritis, pemecahan
masalah dan kreativitas.
4. Program menyediakan pengajaran bidang studi secara mendalam, baik
yang berkenaan dengan bahan yang a kan diajarkan maupun bahan yang
berhubungan erat.
5. Program menyediakan pengajaran tentang pertumbuhan dan
perkembangan anak.
6. Program menyediakan pengajaran tentang bagaimana siswa belajar.
7. Program menyediakan kesempatan bagi calon guru untuk memperoleh dan
menerapkan pengetahuan dan keterampilan secara efektif terhadap siswa
dari berbagai latar belakang budaya, ras, bahasa, agama, dan sosial
ekonomi.

230
2. Proses pengajaran
1) Program menyediakan pengajaran bagi pengembangan fisik dan intelek
siswa dari berbagai latar belakang.
2) Program menyediakan pengajaran tentang strategi pemgajaran.
3) Program menyediakan pengajaran tentang peranan guru dalam penentuart
keputusan.
4) Program menyediakan pengajaran bagimana menggunakan bahan cetak,
bukan cetak dan alat-alat teknologi.
5) Program menyediakan pengajaran bagaimana bekerja dan membantu anak-
anak yang berkelainan.
6) Program meliputi pengajaran tentang pengelolaan kelas.
7) Program menyediakan pengajaran tentang pengembangan keterampilan
hubungan interpersonal dan proses kelompok.
8) Program menyediakan pengajaran tentang keterampilan berkomunikasi
secara luas, terutama yang berhubungan dengan peranan profesional guru.
9) Program menyediakan pengajaran tentang penilaian proses dan hasil
belajar.
10)Program menyediakan pengajaran tentang peranan, pentingnnya dan
sumbangan sekolah terhadap pembangunan bangsa.
11)Program menyediakan pengajaran tentang kebijaksanaan pemerintah dan
pengelolaan pendidikan.
12)Program menyediakan pengajaran tentang hak dan tanggung jawab guru
dart siswa.

e. Keanggotaan profesi
1) Program menyediakan pengajaran tentang bagaimana suatu profesi
diorganisasi, fungsi berbagai organisasi profesi dan tanggung jawab
anggota suatu organisasi profesi.
2) Program menyediakan pengajaran tentang hubungan antara organisasi
profesi dengan lembaga-lembaga pemerintah yang mengelola pendidikan.
Perencanaan dan implementasi program pendidikan guru di Indonesia
dapat dikembangkan dengan menggunakan standar NEA sebagai acuan. Hampir
seluruh butir standar dapat diterapkan, walaupun untuk butir- butir tertentu
membutuhkan beberapa penyesuaian, atau penerapannya secara berangsur-angsur.

231
Peningkatan mutu pendidikan guru melalui penerapan standar, membutuhkan
beberapa hal.
Pertarna, perlu adanya kesamaan pandangan dari berbagai pihak yang
berkepentingan dan terlibat dalam pengembangan pendidikan guru, ten- tang
program dan standar program pendidikan guru. Adanya perbedaan pandangan
yang jauh, selain akan menghambat kelancaran pengembangan program, juga bisa
menghambat pencapaian program yang bermutu.
Kedua, perlu adanya kesiapan terutama dari para pengelola dan pelaksana
program. Dosen lembaga pendidikan guru dan guru pamong, menjadi barisan
terdepan dalam pembinaan profesi guru. Mereka harus menjadi ekspert dan
sekaligus contoh model bagi para siswa pendidikan guru. Beberapa butir dalam
standar menekankan hal itu. Sudah siap dan akan siapkah para dosen dan guru-
guru di lapangan untuk menjadi ekspert dan model guru yang didambakan? Apa
yang harus dilakukan terlebih dahulu agar mereka betul-betul siap? Guru
profesional bukan hanya tahu banyak, tetapi juga bisa banyak.
Ketiga, agar guru-guru yang dihasilkan dari lembaga pendidikan guru,
betul-betul bisa mengajar diperlukan pengalaman praktik yang memadai. Untuk
itu diperlukan tempat praktik yang representatif yang memung- Idnkan para siswa
calon guru, belajar berlatih dan berbuat banyak. Ini me nyangkut tersedianya
tempat praktik yang representatif, dengan fasilitas dan peralatan praktik yang
memadai. Pengembangan program pendidikan guru yang bermutu standar
membutuhkan dalam menilai kompetensi, harus:
Keempat, pengembangan program pendidikan guru yang bermutu standar
membutuhkan kepedulian, motivasi dan dedikasi yang tinggi dari para
pelaksananya. Upaya apa yang harus dilakukan agar tercipta kondisi tersebut?
Suatu pekerjaan akan dilakukan dengan sungguh-sungguh dan penuh semangat,
apabila para pelaku pekerjaan itu merasa enjoy dengan pekerjaan tersebut. Apa
yang harus diupayakan agar para pelaksana pendidikan guru merasa enjoy. Hal
yang sama juga berlaku agar para guru di sekolah merasa enjoy dengan
pekerjaannya. Apakah imbalan finansial yang akan menumbuhkan enjoyness?
atau pimpinart yang bijaksana dengan kepemimpinannya yang terbuka? atau

232
sistem kenaikan pangkat yang terbuka yang memungkinkan guru-guru (termasuk
guru sekolah dasar) bisa mencapai golongan IVe? atau faktor-faktor lainnya?

3. Pendidikan guru berdasarkan kompetensi


Salah satu model pendidikan guru yang mungkin bisa mencapai standar,
adalah model pendidikan guru berdasarkan kompetensi (PGBK) atau competence
based teacher education (CBTE). Beberapa ahli lebih setuju memakai kata
performance (perbuatan atau perilaku) daripada competence, karena
dipandangnya lebih luas. Dalam tulisan ini keduanya dipandang sama.
Stanley Elam (1971) merumuskan beberapa unsur yang esensial dalam PGBK.
Unsur-unsur itu berkenaan dengan program pendidikan, pelaksanaan program
serta hal-hal yang bersifat umum.
1) Berkenaan dengan program pendidikan Elam merumuskan unsurunsur sebagai
berikut:
a. Kompetensi (pengetahuan, keterampilan dan perilaku) yang diperlihatkan
siswa:
 
 Berasal dari konsep yang tampak dari perenan guru,

  diukur dalam perilaku siswa
Dirumuskan secara jelas sehingga dapat
sebagai perwujudan kemampuannya,
 
 Dapat dikenal secara umum.
b. Kriteria yang digunakan untuk mengukur kompetensi:

Didasarkan dan disesuaikan dengan kompetensi-kompetensi yang
 spesifik,

 Dirumuskan secara eksplisit dan menunjuk pada tingkat penguasaan
tertentu,
 
 Kriteria tersebut harus dipublikasikan.
c. Penilaian kompetensi siswa:
 
 Menggunakan perbuatan siswa sebagai sumber pertama,

juga mengguriakan pengetahuan siswa yang berkaitan dengan rencana
untuk menganalisis,
 menginterpretasikan, dan minilai situasi atau
 perilaku,
 
Harus objektif.

233
d. Perkembangan siswa dalam menempuh program pendidikan ditentukan
oleh kompetensi yang telah dikuasai, dan bukan ditentukan oleh waktu
atau mata pelajaran yang telah ditempuh.
e. Program pengajaran ditujukan untuk mendorong perkembangan siswa
serta menilai penguasaan siswa tentang kornpetensi kompetensi tertentu.

2. Berkenaan dengan pelaksanaan program menurut Elam PGBK memiliki


karakteristik sebagai berikut:
a. Pengajaran bersifat individual dan personal. Dalam PGBK waktu bukan
sesuatu yang konstan tetapi hanya sebagai variabel, karena tiap siswa
punya latar belakang dan tujuan yang berbeda, maka pengajaran sangat
bersifat personal dan individual.
b. Pengalaman belajar siswa dituntun oleh umpan balik yang diterima dari
teman, dari guru atau dari dirinya sendiri. Setiap basil yang is memperoleh
merupakan umpan balik yang menentukan kegiatan selanjutnya.
c. Program pengajaran tersusun dalam suatu sistem. Semua komponen
pengajaran tersusun secara sistematis terarah pada pencapai tujuan
tertentu.
d. Penekanan program pengajaran adalah pada keluaran (hasil) dan bukan
pada masukan.
e. Pelaksanaan pengajaran bersifat modular. Modul merupakan seperangkat
kegiatan belajar, dengan unsur-unsur (tujuan, prasyarat, pra-penilaian,
kegiatan pembelajaran, pasca-penilaian, dan perbaikan) ditujukan
membantu siswa menguasai kemampuan- kemampuan tertentu. Pengajaran
modular memungkinkan pengajaran bersifat individual, personal dan
independen, maju sesuai dengan iramanya sendiri.
f. Siswa dinyatakan telah selesai dalam sutau program, apabila telah
mengusai semua kemampuan yang dituntut.

3. Di samping dua komponen PGBK di atas, menurut Elam ada beberapa


karakteristik dasar yang menyangkut hal-hal lain yang lebih umum.

234
a. Program pengajaran berpusat pada lapangan. Karena PGBK menekankan
pada perbuatan maka kegiatan pengajarannya sebanyak-banyaknya
dilaksanakan di lapangan dalam situasi yang nyata.
b. Dalam pelaksanaan pengajaran siswa banyak mendapat kesempatan
berlatih membuat penentuan keputusan.
c. Bahan-bahan dan pengalaman disiapkan dalam bentuk yang
memungkinkan banyak mendapatkan konsep, keterampilan dan
pengetahuan. Bahan-bahan disusun dalam bentuk materi protokol dan
dibantu atau diintegrasikan dengan materi latihan.
d. Guru dan siswa bersama-sama merencanakan pengajaran. Siswa membuat
keputusan tentang pengajarannya, ia pula yang mencobanya, serta menilai
hasil dan pelaksanaannya.
e. Untuk memberikan umpan batik dalam rangka perbaikan dan mengadakan
regeneratif maka siswa juga mengadakan penclitian- penelitian.
f. Pembinaan profesional bukan hanya pada pendidikan pra-jabatan tetapi
diteruskan dalam pengembangan karier.
g. Siswa bukan saja harus menguasai teknik-teknik pengajaran, tetapi juga
harus menguasai teknik-teknik pengajaran, harus mampu mendiagnosis,
mengintegrasikan dan memecahkan problem-prob- lem pengajaran.

Pendidikan guru yang didasarkan atas kompetensi mengajar dan PGBK


mempunyai beberapa proposisi:
1. Guru adalah orang yang berpendidikan luas dengan latar belakang bidang
pengajaran yang mendalam,
2. Perbuatan guru memanifestasikan penguasaan behavioral science yang
luas,
3. Dalam keputusan is ambit secara rasional,
4. Guru menguasai teknik-teknik komunikasi serta strategi mengajar dengan
baik,
5. Dalam perbuatannya guru merefleksikan profesionalisme.

235
Menurut Robert Houston dan Howard L. Jones ada lima belas kompetensi
yang harus dimiliki guru yaitu:
1. Mendiagnosis kebutuhan emosional, sosial, jasmaniah, intelektual siswa.
2. Merumuskan tujuan-tujuan instruksional yang didasarkan atas kebutuhan
siswa.
3. Membuat rencana pelajaran untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
4. Melaksanakan pengajaran sesuai dengan rencana tersebut
5. Merencanakan dan melaksanakan penilaian untuk menilai hasil belajar
siswa dan efektivitas pengajaran.
6. Menyesuaikan pengajaran dengan latar belakang budaya siswa.
7. Memperlihatkan keterampilan mengajar dan model-model pengajaran
untuk mencapai tujuan tertentu bagi siswa tertentu.
8. Memperlihatkan pola-pola komunikasi yang efektif dalam kelas.
9. Menggunakan sumber-sumber yang sesuai untuk mencapai tujuan
pengajaran.
10. Memonitor proses dan hasil belajar dan mengadakan perbaikan
pengajaran.
11. Menguasai bidang studi yang akan diajarkannya.
12. Menggunakan keterampilan manajerial dan organisasi dalam mendorong
perkembangan sosial, emosi, jasmani dan intelek siswa.
13. Sensitif terhadap kebutuhan dan perasaan sendiri dan juga terandap
kebutuhan dan perasaan orang lain.
14. Bekerja efektif dalam kelompok profesional.
15. Menganalisis efektivitas keprofesionalannya dan terus berusaha
memperluas efektivitas tersebut.

4. IKIP, FKIP, STKIP sebagai lembaga pendidikan guru


Di Indonesia dewasa ini, kita mempunyai dua kelompok lembaga
pendidikan guru, yaitu: IKIP, FKIP, dan STKIP yang merupakan lembaga
pendidikan guru pada jenjang perguruan tinggi, dan PGA pada jenjang pendidikan
menengah. Sebelumnya pada jenjang pendidikan menengah juga ada SPG dan
SGO yang menyiapkan calon-calon guru sekolah dasar. Dewasa ini penyiapan

236
guru-guru sekolah dasar dikerjakan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) yang
merupakan Program D2 pada IKIP, FKIP, dan STKIP.
Dalam bagian ini yang akan dibahas terbatas hanya pada IKIP, FKIP, dan
STKIP sebagai lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) yang
menyiapkan guru dan tenaga kependidikan lainnya pada jenjang Sekolah Dasar,
Sekolah Lanjutan Pertama dan Sekolah Lanjutan Atas serta LPTK sendiri.
Meskipun ada tiga lembaga formal lembaga pendidikan guru berjenjang
pendidikan tinggi, yaitu IKIP, FKIP, dan STKIP, tetapi dasar, tujuan dan misinya
sama, perbedaannya hanya pada keorganisasiannya saja. IKIP sebagai lembaga
pendidikan guru berstatus institut merupakan lembaga otonom, berada langsung di
bawah Mendikbud, mempunyai jumlah fakultas, jurusan, dan program studi. FKIP
merupakan lembaga pendidikan guru, berstatus fakultas berada di universitas (di
bawah Rektor), mempunyai sejumlah Jurusan dan Program Studi. STKIP setara
dengan FKIP mempunyai beberapa Jurusan dan Program Studi, tetapi
kedudukannya otonom seperti IKIP (di bawah Menteri).
LPTK (IKIP, FKIP, dan STKIP) mempunyai misi menyiapkan tenaga-
tenaga profesional di bidang kependidikan, dalam berbagai bidang
keahlian/program studi, program gelar clan non-gelar. Program gelar memberikan
tekanan pada pembentukan keahlian akadernik, sedang non- gelar pada keahlian
profesional.
Menurut Kepmen 211 tahun 1982, ada tiga jenjang program gelar, yaitu
Sarjana (Si) dengan rentang studi 8-14 semester, jenjang Pascasarjana (52)
rentang studi 12-18 semester dan jenjang Doktor (S3) rentang 16-22 semes- ter di
atas SMTA. Dewasa ini yang menyelenggarakan jenjang program S2 dan S3
hanya beberapa IKIP, belum ada FKIP dan STKIP yang menyelenggarakan
jenjang program S2 dan S3.
Program non-gelar disebut juga program Diploma, terdiri atas Diploma I
dengan paket kurikulum 2 semester, dan rentang studi 2-4 semester, Di- ploma II
paket kurikulum 4 semester, rentang studi 4-6 semester, Diploma 3 paket
kurikulum 6 semester, rentang studi 6-10 semester clan Diploma 4 paket
kurikulum 8 semester, rentang studi 8-14 semester di atas SMTA. Selama ini

237
program Diploma yang dilaksanakan di LPTK adalah Diploma II dan III, dan
dewasa ini program Diploma III juga sudah mulai tidak dibuka lagi.
Selain kedua program di atas, ada lagi satu program yang diterapkan pada
LPTK, yaitu program Akta. Program ini ditujukan untuk memberikan wewenang
kependidikan khususnya wewenang mengajar. Bagi para mahasiswa LPTK
program ini sudah terintegrasi dengan program gelar maupun non-gelar, tetapi
bagi luar LPTK yang ingin menjadi guru, harus mengambilnya secara terpisah.
Ada lima jenjang program Akta, masing- masing beban studinya 20 SKS, hanya
berbeda jumlah SKS yang telah dimiliki pada bidang studi non-kependidikan.
Akta I setelah memiliki 20 SKS, Akta II setelah memiliki 60 SKS, Akta III setelah
memiliki 90 SKS, Akta IV setelah memiliki 124 SKS dan Akta V setelah
memiliki 160 SKS pada bidang studi non-kependidikan.
Penyiapan tenaga kependidikan pada LPTK umumnya menggunakan
model pendidikan simultan (concurrent model) yaitu materi bidang studi diberikan
bersama-sama dengan materi kependidikan, kecuali untuk program akta bagi talon
guru dari luar LPTK menggunakan model pendidikan berurutan (consecutive
model), kependidikan ditempuh setelah menguasai bidang studi.
Secara garis besar ada dua jenis keahlian yang dibina pada LPTK, yaitu
guru dan non-guru, baik untuk jenjang Sekolah Dasar, STLP maupun SLTA.
Penyiapan guru Sekolah Dasar dilaksanakan dalam program D2 PGSD, ada
program guru kelas ada guru bidang studi khususnya pendidikan jasmani. Pada
beberapa IKIP mulai dirintis pengembangan PGTK untuk guru Taman Kanak-
Kanak. Untuk tenaga guru SLTP, dan SLTA (SMU dan SMK) disiapkan dalam
program D3 dan Si berbagai bidang studi, kelompok pendidikan ilmu sosial,
bahasa dan sastra, matematika dan ilmu pengetahuan alam, teknik dan kejuruan,
serta olah raga dan kesehatan. Untuk tenaga non-guru disiapkan dalam program
Si, bidang bimbingan dan konseling, teknologi pendidikan, administrasi
pendidikan, pendidikan luar sekolah, dan pendidikan luar biasa. Peningkatan
profesionalisme para dosen dilakukan melalui program S2 dan S3, baik bidang
studi maupun kependidikan.
Walaupun LPTK umumnya tidak menerapkan konsep PGBK secara utuh,
tetapi beberapa prinsip dan unsur PGBK tetapi menjadi pegangan. Prinsip penting

238
PGBK yang tetap diperhatikan dalam program pendidikan LPTK adalah
tekanannya pada pengembangan kemampuan. Konsep kemampuan ini telah
dimodifikasi yaitu dipadukan dengan konsep disiplin ilmu (bidang studi) dalam
pengembangan topik-topik inti. Prinsip lainnya adalah tekanan kepada
pengalaman lapangan. Pengembangan kemampuan profesional pada bidang
kependidikan, khususnya guru harus diperkuat dengan pengalaman lapangan yang
cukup intensif dan kaya.
Program pendidikan guru yang dikembangkan pada LPTK diarahkan pada
pengembangan kemampuan yang seimbang, baik antara kemampuan sebagai
tenaga ahli-profesional dengan sebagai warga negara, maupun antara
kemampuan/penguasaan bidang ilmu/bidang studi dengan bidang kependidikan.
Pengembangan kemampuan yang seimbang ini dirancang dalam program
pendidikan/kurikulum dengan komponen-komponen dasar umum, dasar
kependidikan, proses belajar-mengajar dan bidang studi. Bobot SKS memang
lebih besar pada bidang studi hampir tiga perempat dari kependidikan. Rinciannya
adalah dasar umum 14 SKS, dasar kependidikan 12 SKS, proses belajar-mengajar
18 SKS, dan bidang studi 100-116 sks.

239
DAFTAR RUJUKAN

Alisyahbana, Iskandar (1980). Teknologi dan Perkembangan. Jakarta: Yayasan


Idayu.

Anwar Jasin, (1987). Pembaharuan Kurikulum Sekolah Dasar Sejak Proklamasi


Kemerdekaan. Jakarta: Balai Pustaka.

Apeid. (1984). Training Educational Personnel for Integrated Curriculum.


Bangkok: Unesco, Regional Office for Education in Asia and Pacific.
Beauchamp, George A. (1975). Curriculum Theory. Wilmette, Illinois:
The KAGG Press.

Beanne, J.A. & Toepfer, Jr. C.F. & Alessi, S.J. (1986). Curriculum Planning and
Development. Newton, Massachussetts: Alyn and Bacon, Inc.

Beanne, J.A. (Ed). (1995). Toward A Coherent Curriculum. Alexandria, Virginia:


ASCD.

Beeby, C.E. (1981). Pendidikan di Indonesia: Penilaian dan Pedoman


Perencanaan. Jakarta: LP3ES.

Bigge, Morris L. & Hunt, Maurice P. (1980). Psychological Foundation of


Education. New York: Harper & Row Pub.

Brandes, D & Ginnis, P. (1992), The Student Centred School. Great Britain:
Simon and Schuster Education.

Brown, George I. (Ed). (1975). The Live Classroom. New York: The Viking
Press.

Brown, James W. (Ed). 1984. Trends in Instructional Technology. Syracuse:


ERIC Clearinghouse on Information.

Chambers, John H. (1983). The Achievement of Education. New York: Harper &
Row Pub.

Conny R. Semiawan & T. Raka Joni. (1993). Pendekatan Pembelajaran: Acuan


Konseptual Pengelolaan KBM di Sekolah. Jakarta: Konsorsium Ilmu

Pendidikan, Ditjen Dikti Depdikbud.

Cornnelly, F.M. (1992). Curriculum Inquiry. Oxford, UK: Blackwell Publisher.

Davies, Ivor K. (1981). Instructional Techniques. New York: McGraw Hill


Books, Co.

240
Depdikbud. Kurikulum SD, SMP, SMA, Kejuruan 1975, 1984, 1994. Jakarta:
Depdikbud

Depdikbud, (1990). Peraturan Pelaksanaan Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta:


Armas Duta Jaya.

Doll, Ronald C. (1974). Curriculum Improvement, Decision Making and Process.


Boston: Allyn & Bacon, Inc.

Dull, Lloyd W. (Ed). (1977). Selecting and Use of Teaching Technology.


Columbus, Ohio: Ohio Departemen of Education.

Dunkin, Michael, J. (Ed). (1987). The International Encyclopedia of Teaching


and Teacher Education. Oxford, New York: Pergamon Press.

Gagne, Robert M. (1965). The Condition of Learning. New York: Holt, Rinehart
& Winston.

Gardiner, W. Lambert. (1980). The Psychology of Teaching. Monterey, Califor-


nia: Brooks/Cole Publishing.

Glasser, William. (1980).Control Theory in the Classroom. New York: Harper &
Row Publisher.

Habibie, B.J. (1983). Beberapa Pemikiran tentang Strategi Transformasi Industri


suatu Negara Sedang Berkembang. Jakarta: Kantor Menteri Negara Riset
dan Teknologi.

Hall, Calvin S. & Lindzey, Gardner. (1970). Theories of Personality. New York:
John Wiley & Sons.
Hass, Glen. (Ed). (1970). Readings in Curriculum. Boston: Allyn and Bacon, Inc.

Hass, Glen. (Ed). (1980).Curriculum Development, A Humanized System


Approach. Belmont, California: Lear Siegler Inc.

Hillgard, Ernest R. & Gordon H. Bower. (1966). Theories of Learning. New


York: Appleton Century Crofts.

Hlebowitsh, Peter S. (1993). Radical Curriculum Theory Reconsidered. New York


and London: Teacher College, Columbia University.

Hodgkinson, Bill. (1991). Curriculum in the Classroom. Queensland: Distance


Education Centre.

Holmes Group, (1990). Tomorrow's Schools. East Lansing, USA: The Holmes
Group.

241
Hosyom, John. (1985). Inquiring Into the Teaching Process. Toronto, Ontario:
Oise Press.

Jackson, Philip W. (Ed). (1992). Handbook of Research on Curriculum. New


York: Macmillan Publishing Co.

Johnson, Mauritz. (1977). Intentionality in Education. New York: Center for


Curriculum Research and Services.

Kaplan, Abraham. (1964). The Conduct of Inquiry. San Fransisco: Chandler


Publishing Co.

Kast, Fremont E. & Rosenweig James E. (1962). Science Technology and Man
agement. New York: McGraw Hill Book Co.

Kibler, Robert J, et al. (1970). Behavioral Objectives and Instruction, Allyn &
Bacon.

Klose, Al Paul. (1980). Democracy, Technology, Collision. Indianapoli, Rulihs


Merrill Educational Publishing.

Koentjaraningrat. (1979). Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta:


Gramedia.

Kryspin, William J. at al. (1974). Writing Behavioral Objectives. Minneapolis,


Minnesota: Burgess Pub. Co.

Kourilsky, Marilyn & Quaranta, Lory. 1987. Effective Teaching. London: Scott,
Foresman and Co.

Lapp, Dianne. et al. (1975). Teaching and Learning: Philosophical,


Psychological, Curricular Application. New York: Macmillan Pub. Co.
Inc.

Mac Donald, James B. (1965). Educational Models for Instruction. Washington


DC: The Association for Supervision and Curriculum Development.

Miller, J.P. & Seller, W. (1985). Curriculum : Perspectives and Practices. New
York and London: Longman.

Mouly, George, J. (1970). The Science of Educational Research. New York:


American Book Co.

McCutcheon, Gail. (Ed). (1982). Curriculum Theory: Theory Into Practice.


Journal Vol. XXI No.1 1982, OSU.

McNeil John D. (1977) Curriculum A Comprehensive Introduction. Boston: Little


Brown & Co, Inc.

242
NEA, (1982). Excellence in Our Schools Teacher Education: An Action Plan.
Washington DC.

Novak, Joseph D. (1986). A Theory of Education. Ithaca: Come! University Press.

Petty, Walter T. (Ed). (1976). Curriculum for the Modern Elementary School.
Chicago: Rand MacNally College Pub.

Qodir, C.A. (Ed). (1995). Ilmu Pengetahuan dan Metodenya. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.

Raka Joni, T. (1992). Pokok-Pokok Pikiran Mengenai Pendidikan Guru. Jakarta:


Konsorsium Ilmu Pendidikan, Ditjen Dikti, Depdikbud.

Ruggiero, V.R. (1988). Teaching Thinking Across the Curriculum. New York:
Harper & Row, Publishers.

Skinner, B.F. (1972). Beyond Freedom and Dignity. New York: Alfred A Knopf,
Inc.

Snow, Richard E. (1973). Theory Construction for Research on Teaching, in


Travers, R.M. (Ed), Second Handbook of Research on Teaching. Chicago:
Rand Mac Nally & Co.

Schubert, W.H. (1986). Curriculum: Perspective, Paradigm and Possibility. New


York: Macmillan Pub.

Seckinger, Donald S. (1975). Problem Approach to Foundation of Education.


New York: John Wiley & Sons, Inc.

Sleeman, P.J. & Rockwell D.M. (1976). Instructional Media and Technology.
Stroudsberg : downden, Hutchinson & Sons.

Stephem, Thomas M. (1970). Directive Teaching. Columbus, Ohio: Charles E


Merril Pub. Co.

Susskind, Charles. (1978). Understanding Technology. Baltimore and London:


The John Hopkins University Press.

Taba, Hilda. (1962). Curriculum Development: Theory and Practices. New York:
Harcourt, Brace and World, Inc.

Tanner, Daniel & Tanner, Laurel, N. (1980). Curriculum Development.


Macmillan Publishing Co, Inc.

Thomas, Murray. (1979). Comparing Theories of Child Development. Belmont,


California: Wadsworth Pub. Co.

243
Tilaar, H.A.R. (1991). Sistem Pendidikan Nasional yang Kondusif bagi Pembangunan
Masyarakat Industri Modern Berdasarkan Pancasila. Jakarta: Panitia Kongres
Ilmu Pengetahuan Nasional V.

Tisna Amidjaja, D.A. (1980). Pedoman Pelaksanaan Pala Pembangunan Sistem


pendidikan Tenaga Kependidikan di Indonesia. Jakarta: Depdikbud.

Toffler, Alwvi.n. (1980). Gelombang Ketiga. Jakarta: Panca Simpati.

Unruh, G.G. & Unruh, A. (1984). Curriculum Development. Berkeley, California:


McCutchan Publishing, Co.

Welch, I.D. (Ed). (1978). Humanistic Psychology. New York: Promenthus Books.

Woolfolk, Anita E. et al. (1984). Educational Psychology for Teachers. New Jersey:
Prentice Hall, Englewood Cliffs.

Zais, Robert S. (1976). Curriculum Principles and Foundations. New York:


Harper & Row Publisher.

244

Anda mungkin juga menyukai