Anda di halaman 1dari 11

See

discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/234507831

Sintesis dan Karakterisasi Poli (eter-sulfon) dan


Poli (eter-sulfon) ternitrasi sebagai Material
Membran untuk Imobilisasi Lipase
Article January 2010
CITATIONS

READS

5,641

3 authors:
Nurrahmi Handayani

Deana Wahyuningrum

Bandung Institute of Technology

Bandung Institute of Technology

7 PUBLICATIONS 15 CITATIONS

38 PUBLICATIONS 56 CITATIONS

SEE PROFILE

SEE PROFILE

Muhammad Ali Zulfikar


Bandung Institute of Technology
37 PUBLICATIONS 124 CITATIONS
SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Molecularly imprinted polymers nanofiber: synthesis, characterization and their application for water
and waste water treatment View project

All content following this page was uploaded by Deana Wahyuningrum on 28 January 2014.

The user has requested enhancement of the downloaded file. All in-text references underlined in blue are added to the original document
and are linked to publications on ResearchGate, letting you access and read them immediately.

Jurnal Kimia Indonesia


Vol. 5 (1), 2010, h. 7-16

Sintesis dan Karakterisasi Poli(eter-sulfon) dan Poli(eter-sulfon) ternitrasi


sebagai Material Membran untuk Imobilisasi Lipase
Nurrahmi Handayani,1 Buchari, Deana Wahyuningrum,2 Muhamad Ali Zulfikar
Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung,
Jl. Ganesha no.10 Bandung
E-mail: 1ami105@students.itb.ac.id, 2deana@chem.itb.ac.id
Abstrak. Enzim memiliki peranan yang besar sebagai katalis dalam berbagai reaksi sintesis baik
dalam skala laboratorium maupun industri karena produk samping sedikit, tidak membutuhkan
banyak energi, serta bersifat biodegradable. Akan tetapi, penggunaan enzim memiliki berbagai
keterbatasan seperti tidak dapat digunakan kembali setelah digunakan, biaya operasional yang mahal,
serta ketidakstabilannya terhadap suhu yang tinggi, pelarut organik, asam, basa, maupun pengocokan
secara mekanik. Hal ini dapat diatasi dengan melakukan imobilisasi enzim pada solid support yang
sesuai. Oleh karena itu, diperlukan serangkaian penelitian yang berguna untuk mencari solid support
yang sesuai untuk memediasi enzim sehingga dapat bekerja secara optimum. Nitrasi PES dilakukan
untuk meningkatkan kemampuan polimer tersebut sebagai solid support bagi enzim. Berdasarkan
spektrum IR, hidrokuinon ternitrasi dan PES ternitrasi menunjukkan puncak khas nitro pada bilangan
gelombang 1650,7 cm-1. PES sintesis yang diperoleh dengan refluks maupun microwave serta PES
komersial memiliki puncak khas yang sama pada bilangan gelombang 1327,7 cm-1, 1232,7 cm-1, dan
1156,7 cm-1. Sementara itu, hasil pengukuran dengan spektroskopi 1H dan 13C-NMR hidrokuinon
ternitrasi menunjukkan adanya satu sinyal proton pada pergeseran kimia 7,24 ppm dan dua sinyal
karbon pada pergeseran kimia 187,16 dan 136,47 ppm. Pada pengukuran spektroskopi 1H-NMR untuk
PES sintesis menghasilkan dua sinyal dengan pergeseran kimia sebesar 7,85 dan 7,02 ppm serta
memperlihatkan pola yang sama dengan PES komersial. Penentuan massa molekul polimer dilakukan
dengan metode viscometer Ostwald dan menunjukkan massa molekul PES hasil sintesis dengan
metode refluks adalah 83.234 g/mol, sedangkan massa molekul PES yang disintesis dengan
microwave (MAOS) adalah 582.581 g/mol.
Kata kunci: Poli(eter sulfon), Poli(eter sulfon) ternitrasi, microwave (MAOS), imobilisasi enzim

Pendahuluan
Enzim merupakan katalis yang potensial
digunakan dalam skala laboratorium maupun skala
industri karena sifatnya yang menguntungkan,
seperti bersifat regio- dan stereoselektif sehingga
produk samping sedikit, tidak membutuhkan
banyak energi, serta bersifat biodegradable. Akan
tetapi, penggunaan enzim juga memiliki berbagai
keterbatasan seperti tidak dapat digunakan kembali
setelah digunakan, biaya operasional yang mahal,
serta ketidakstabilannya terhadap suhu yang tinggi,
pelarut organik, asam, basa, maupun pengocokan
secara mekanik. Hal ini dapat diatasi dengan
melakukan imobilisasi enzim pada solid support
yang sesuai. Oleh karena itu, diperlukan
serangkaian penelitian yang berguna untuk
mencari solid support yang sesuai untuk
memediasi enzim sehingga dapat bekerja secara
optimum.

Salah satu polimer yang potensial untuk


dijadikan solid support bagi enzim seperti lipase
adalah poli(eter sulfon) yang memiliki stabilitas
termal yang tinggi, ketahanan mekanik yang baik,
serta resistan terhadap berbagai zat kimia (1,2).
Karakteristik inilah yang digunakan sebagai alasan
penggunaan PES sebagai solid support pada
imobilisasi enzim. Dalam proses imobilisasi enzim
juga digunakan berbagai macam pelarut, sehingga
diharapkan PES yang berfungsi sebagai solid
support tidak akan rusak selama reaksi
berlangsung.
Akan tetapi, PES tidak memiliki gugus yang
dapat berikatan secara kovalen dengan lipase
sehingga perlu dilakukan modifikasi. Berdasarkan
hasil penelitian sebelumnya, PES yang telah
dimodifikasi melalui penambahan gugus sulfon,
karboksi, dan epoksi memberikan ketahanan termal,
mekanik, dan kimia yang lebih baik dan dapat
digunakan
untuk aplikasi
proton exchange

Dapat dibaca di journal.kimiawan.org/jki

Nurrahmi Handayani, Buchari, Deana Wahyuningrum, Muhamad Ali Zulfikar

membrane fuel cell (2-5). Pada penelitian ini,


modifikasi terhadap PES dilakukan untuk
meningkatkan kemampuannya sebagai solid
support bagi lipase. Hal ini merupakan sesuatu
yang belum dikembangkan secara optimal
mengingat PES memiliki kriteria yang sangat baik
untuk imobilisasi enzim dilihat dari segi ketahanan
dan reusabilitasnya. Salah satu modifikasi yang
perlu dilakukan dan dioptimasi lebih lanjut adalah
dengan menambahkan gugus nitro pada PES. Oleh
karena itu, penelitian ini bertujuan untuk
menghasilkan PES dan PES ternitrasi sebagai
starting material untuk imobilisasi lipase.
Metode Penelitian
Sintesis poli(eter sulfon). Sintesis poli(eter
sulfon) dilakukan dengan tiga cara. Cara yang
pertama mengikuti prosedur yang dikemukakan
oleh Keitoko, et.al (1994), cara kedua dilakukan
dengan cara polimerisasi kondensasi tanpa
menggunakan toluen, dan cara yang ketiga adalah
dengan melakukan polimerisasi melalui bantuan
microwave (MAOS = Microwave Assisted Organic
Synthesis).
Prosedur yang telah dikemukakan oleh Keitoko,
et.al (1994) adalah sebagai berikut (6). Dalam labu
leher tiga yang dihubungkan dengan Dean-Stark
trap, kondensor, aliran nitrogen, dan termometer,
0,01 mol hidrokuinon, 0,01 mol 4,4-diklorodifenil
sulfon, dan 0,01 mol K2CO3 dilarutkan ke dalam
campuran 20 mL NMP dan 10 mL toluen. Gas
nitrogen dialirkan terlebih dahulu terhadap sistem
sebelum reaksi dijalankan. Kemudian, campuran
reaksi dipanaskan dengan pengadukan yang
kontinu sampai toluen mulai terefluks dan
membawa air yang terkandung dalam sistem keluar
melalui distilasi azeotrop. Kemudian, temperatur
dijaga pada suhu tersebut hingga 3 jam. Setelah air
dan toluen yang terkandung pada sistem sudah
tidak ada, dilanjutkan pengadukan selama 1 jam.
Setelah itu, campuran reaksi diturunkan suhunya
mencapai 90oC dan ditambahkan sejumlah NMP
untuk memisahkan antara produk dan garam KCl
yang terbentuk. Setelah difiltrasi, filtrat
dinetralisasi dengan penambahan asam asetat
glasial. Setelah itu, filtrat tersebut dituangkan ke
dalam 300 mL air-metanol (1:1). Endapan yang
terbentuk kemudian disaring dan dicuci dengan
metanol. Setelah itu, pencucian dilanjutkan dengan
air mendidih dan metanol panas untuk
menghilangkan garam-garam anorganik yang
terjebak. Terlepas dari metode yang dikemukakan
oleh Keikoto, pencucian dilanjutkan dengan
menggunakan aseton. Setelah itu, polimer yang

terkumpul ditimbang, dikarakterisasi dengan uji


titik leleh, uji KLT, IR, dan NMR.
Sintesis yang kedua dilakukan dengan metode
refluks tanpa penggunaan Dean Stark trap dan
toluen. Setelah 0,01 mol hidrokuinon, 0,01 mol
4,4diklorodifenil sulfon, dan 0,01 mol K2CO3
dilarutkan dalam 20 mL NMP, campuran tersebut
direfluks selama 4 jam hingga mencapai suhu
maksimum. Setelah itu, suhu diturunkan hingga
mencapai 90oC. Kemudian, ditambahkan sejumlah
NMP untuk memisahkan antara produk dan garam
KCl yang terbentuk. Setelah difiltrasi, filtrat
dinetralisasi dengan penambahan asam asetat
glasial. Setelah itu, filtrat tersebut dituangkan ke
dalam 300 mL air-metanol (1:1). Endapan yang
terbentuk kemudian disaring dan dicuci dengan
metanol. Setelah itu, pencucian dilanjutkan dengan
air mendidih, metanol panas, dan aseton secara
berturut-turut untuk menghilangkan garam-garam
anorganik yang terjebak. Setelah itu, polimer yang
terkumpul ditimbang, dikarakterisasi dengan uji
titik leleh, uji KLT, IR, dan NMR.
Sintesis
dengan
bantuan
microwave
menggunakan daya sebesar 600 W. Setelah 0,01
mol hidrokuinon, 0,01 mol 4,4diklorodifenil
sulfon, dan 0,01 mol K2CO3 dilarutkan dalam 10
mL NMP, campuran dipanaskan dalam microwave
hingga suhu tetap. Hasil reaksi di netralsisasi
dengan asam asetat glasial dan dituangkan ke
dalam campuran air-metanol (1:1). Endapan yang
terbentuk kemudian disaring dan dicuci dengan
metanol. Setelah itu, pencucian dilanjutkan dengan
air mendidih, metanol panas, dan aseton secara
berturut-turut untuk menghilangkan garam-garam
anorganik yang terjebak. Setelah itu, polimer yang
terkumpul ditimbang, dikarakterisasi dengan uji
titik leleh, uji KLT, IR, dan NMR.
Sintesis Nitrohidrokuinon. Hidrokuinon,
atau yang biasa disebut sebagai bisfenol A,
dilarutkan dalam aseton dan disimpan dalam
lemari es hingga mencapai suhu 0oC. Setelah itu,
dalam keadaan dingin, ditambahakan asam nitrat
pekat secara perlahan hingga warna campuran
berubah menjadi coklat. Setelah di aduk selama
satu jam pada suhu kamar dan terbentuk endapan
oranye, campuran lalu dimasukkan kembali ke
dalam lemari es hingga beku. Setelah itu,
didiamkan pada suhu kamar hingga terbentuk
kristal berwarna oranye. Kristal dikumpulkan
melalui cara filtrasi kemudian dikeringkan.
Karakterisasi yang dilakukan adalah dengan uji
titik leleh, uji KLT, IR, dan NMR.

Jurnal Kimia Indonesia Vol. 5(1), 2010

Sintesis dan Karakterisasi Poli(eter-sulfon) dan Poli(eter-sulfon) ternitrasi sebagai Material Membran
untuk Imobilisasi Lipase

Sintesis PES Ternitrasi. Sintesis PES ternitrasi


dilakukan dengan dua cara yaitu reaksi antara
prekursor hidrokuinon ternitrasi dengan 4,4diklorodifenil sulfon dan nitrasi PES hasil sintesis.
Reaksi antara prekursor hidrokuinon ternitrasi
dengan 4,4-diklorodifenil sulfon dilakukan
dengan
mengadopsi beberapa teknik yang
dikemukakan oleh Keitoko, et.al (1994). Dalam
500 mL labu leher tiga yang dihubungkan dengan
Dean-Stark trap, kondensor, aliran nitrogen, dan
termometer, 0,01 mol nitrohidrokuinon hasil
sintesis, 0,01 mol 4,4-diklorodifenil sulfon, dan
0,01 mol K2CO3 dilarutkan ke dalam campuran 20
mL NMP dan 10 mL toluen. Gas nitrogen dialirkan
terlebih dahulu terhadap sistem sebelum reaksi
dijalankan.
Kemudian,
campuran
reaksi
dipanaskan dengan pengadukan yang kontinu
sampai toluen mulai terefluks dan membawa air
yang terkandung dalam sistem keluar melalui
distilasi azeotrop. Kemudian, temperatur dijaga
pada suhu tersebut hingga 3 jam. Setelah air dan
toluen yang terkandung pada sistem sudah tidak
ada, dilanjutkan pengadukan selama 1 jam. Setelah
itu, campuran
reaksi diturunkan suhunya
mencapai 90oC dan ditambahkan sejumlah NMP
untuk memisahkan antara produk dan garam KCl
yang terbentuk. Setelah difiltrasi, filtrat
dinetralisasi dengan penambahan asam asetat
glasial. Setelah itu, filtrat tersebut dituangkan ke
dalam 600 mL air-metanol (4:2). Endapan yang
terbentuk kemudian disaring dan dicuci dengan
metanol. Setelah itu, pencucian dilanjutkan dengan
air mendidih dan metanol panas untuk
menghilangkan garam-garam anorganik yang
terjebak. Setelah itu, polimer yang terkumpul
ditimbang, dikarakterisasi dengan uji titik leleh, uji
KLT, IR, dan NMR.
Sintesis PES-NO2 dengan nitrasi PES dilakukan
dengan mengikuti prosedur dari Cui Wei, US
patent: 6878803 (9). PES dilarutkan dalam asam
sulfat pekat 95% (w/w) pada suhu rendah (0-5oC)

kemudian ditambahkan asam nitrat pekat (65%100%) pada rentang suhu (5-25oC).. Setelah reaksi
selesai, pengendapan PES-NO2 dilakukan dengan
menambahkan sejumlah air dan pemisahan
endapan PES-NO2 dengan larutan dilakukan
dengan filtrasi. Setelah itu, polimer yang
terkumpul ditimbang, dikarakterisasi dengan uji
titik leleh, uji KLT, dan IR.
Penentuan Massa molekul dan Viskositas
Intrinsik Polimer. Penentuan massa molekul (Mv)
polimer dilakukan secara metode viskometri
dengan menggunakan viskometer ostwald.
Pertama-tama,
sederetan
larutan
dengan
konsentrasi yang berbeda-beda disediakan untuk
mengetahui waktu alir masing-masing larutan.
Pelarut yang digunakan adalah N-metil pirolidon
(NMP). Oleh karena itu, NMP digunakan sebgai
blanko. Waktu alir dilakukan dengan menghitung
waktu saat cairan mengalir dari garis (index line)
pertama ke index line ke dua. Konsentrasi larutan
yang digunakan yaitu 1x 10-2 M, 7,5 x 10-3 M,
5x10-3 M, 2,5x10-3 M, dan 1,25x10-3 M. Saat
pengukuran waktu alir, larutan diinkubasi terlebih
dahulu pada suhu 50oC dan pengukuran pun
dilakukan pada suhu tersebut. Setelah tetapan
Mark Houwink PES diketahui, viskositas intrinsik
yang telah diketahui melalui kurva kemudian
dikonversi untuk mendapatkan massa molekul
polimer.
Hasil dan Pembahasan
Sintesis Poli(eter sulfon). Poli(eter sulfon) atau
yang biasa disebut sebagai PES memiliki gugus
eter dan sulfon pada tulang punggungnya. Subunit
dari polimer ini adalah (-O-aril-O-aril-SO2-aril)n.
Pada dasarnya, PES diproduksi melalui reaksi
kondensasi antara difenol dan 4,4-diklorodifenil
sulfon dengan menghasilkan produk samping
berupa garam klorida. Reaksi umumnya adalah
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1 Reaksi umum pembentukan poli(eter sulfon)

Difenol yang digunakan dalam penelitian ini


adalah hidrokuinon atau yang biasa disebut
sebagai bisfenol-A atau 1,4 dihidroksi benzen.
Pelarut yang digunakan dalam sintesis PES ini
adalah N-metilpirolidon (NMP). Garam
karbonat yang digunakan adalah K2CO3 anhidrat.

Garam karbonat ini berfungsi sebagai


pembentuk KCl, sehingga garam KCl yang
dihasilkan selama proses reaksi kondensasi
dapat dihilangkan dengan melarutkannya ke
dalam air dan difiltrasi. Sementara itu, ion
karbonat membentuk H2CO3 yang pada akhirnya

Nurrahmi Handayani, Buchari, Deana Wahyuningrum, Muhamad Ali Zulfikar

akan terurai menjadi CO2 dan H2O. Gas CO2


dapat dengan mudah keluar dari sistem,
sementara itu H2O dapat dihilangkan dengan
penambahan toluen untuk membentuk sistem
azeotrop toluen-air. Sehingga arah reaksi dapat
dengan lancar berjalan ke arah pemebentukan
produk. Oleh karena itu, pada reaksi sintesis ini
diperlukan rangkaian alat Dean-Stark trap yang
berperan penting dalam proses distilasi azeotrop.
Terbentuknya larutan yang kental menandakan
bahwa reaksi kondensasi telah selesai.
Hasil yang diperoleh dari sintesis PES
dengan metode yang berbeda juga memberikan
karakteristik polimer hasil sintesis yang berbeda
pula. Pada penelitian ini dilakukan tiga macam
cara pembuatan PES. Cara yang pertama adalah
dengan refluks menggunakan toluen dan Deanstark trap, cara kedua dengan refluks tanpa
toluen dan Dean Stark trap, dan cara ketiga
dengan bantuan microwave. Hal ini dilakukan
untuk mengetahui fungsi dari penelitian
sekaligus mencari prosedur yang tepat dalam
melakukan sintesis PES dan turunan-turunannya.
Wujud dari ketiga produk hasil sintesis dengan
menggunakan metode yang berbeda ditunjukkan
oleh Gambar 2.

Gambar 2 Wujud dari PES hasil sintesis (a. PES


sintesis dengan toluen, b. PES sintesis tanpa toluen,
dan c. PES sintesis dengan microwave)

PES yang disintesis dengan menggunakan


toluen dan rangkaian alat Dean-Stark trap
memiliki sifat yang kaku, keras, dan berwarna
putih. Sementara itu, PES yang disintesis tidak
dengan menggunakan toluen dan rangkaian alat
Dean-Stark trap memiliki sifat yang rapuh dan
berwarna putih transparan. Hal ini dapat terjadi
karena adanya perbedaan pada tahap terminasi
saat reaksi polimerisasi kondensasi berlangsung.
Tahap terminasi tersebut menentukan panjang
rantai polimer sehingga sangat menentukan
struktur dan kapasitas polimer tersebut. Selain

10

itu,
perbedaan
metode
sintesis
juga
mempengaruhi tingkat kemurnian dari polimer
yang dihasilkan. Pencucian dilakukan dengan
air-metanol, air mendidih, metanol, dan aseton.
Namun dari ketiga produk polimerisasi tersebut,
salah satunya memiliki kelarutan yang baik
dalam aseton, sehingga tahap pemurnian tidak
dilakukan dengan menggunakan aseton.
PES yang disintesis dengan bantuan
microwave memiliki wujud yang kaku, keras,
dan berwarna coklat. Melalui hasil yang
diperoleh dari uji KLT, PES yang disintesis
dengan bantuan microwave ini masih
mengandung banyak air. Hal ini diakibatkan
oleh tidak dilakukannya pengusiran air yang
terbentuk dari reaksi kondensasi. Oleh karena itu,
dilakukan pencucian berulang kali dengan
aseton untuk menghilangkan prekursor awal
yang larut dalam aseton ataupun pengotorpengotor yang lain. Selain itu juga dilakukan
penguapan agar air yang terjebak dalam molekul
polimer dapat dihilangkan.
Berat produk yang dihasilkan juga
memberikan perbedaan yang cukup signifikan.
PES yang disintesis dengan menggunakan
toluen dan Dean-stark trap memiliki rendemen
sebesar 24,11%. Kemudian, berat PES yang
disintesis tanpa menggunakan toluen dan Deanstark trap memiliki rendemen sebesar 38,40%.
Sementara itu, berat PES yang disintesis dengan
bantuan microwave memiliki rendemen sebesar
24,24%. Perbedaan berat produk bagi tiap PES
yang disintesis dengan metode yang berbeda
menunjukkan bahwa jumlah produk utama dan
produk samping yang terbentuk juga
dipengaruhi oleh teknik dan kondisi reaksi.
Uji kelarutan dilakukan dengan melarutkan
tiga PES sintesis dengan metode berbeda
tersebut dengan pelarut tertentu. Hasilnya adalah
PES
yang
disintesis
dengan
refluks
menggunakan toluen larut dalam kloroform,
PES yang disintesis tanpa toluen larut dalam
aseton, dan PES yang disintesis dengan
microwave larut dalam NMP. Hasil tersebut
mengindikasikan bahwa PES yang disintesis
dengan refluks tanpa toluen memiliki kepolaran
yang paling tinggi dari ketiga PES tersebut dan
PES yang disintesis dengan microwave memiliki
kepolaran yang paling rendah dibandingkan
kedua PES lainnya.
Berdasarkan hasil uji titik leleh, PES sintesis
dengan menggunakan toluen memiliki nilai titik
leleh yang lebih tinggi dibandingkan PES

Jurnal Kimia Indonesia Vol. 5(1), 2010

Pembuatan Elastomer Termoplastik Menggunakan Inisiator Potassium Persulfate Dan Ammonium Peroksi
Disulfate

sintesis yang tidak menggunakan toluen dalam


proses polimerisasinya. Trayek leleh PES
sisntesis dengan menggunakan toluen berkisar
antara 207,4-208,0oC. Sementara itu, PES
sintesis yang tidak menggunakan toluen saat
polimerisasinya memiliki trayek leleh 145,3146,0oC. Hal ini mengindikasikan bahwa
ketahanan termal dari produk PES yang
disintesis dengan menggunakan toluen lebih
besar apabila dibandingkan dengan PES yang
disintesis tidak dengan menggunakan toluen. Uji
titik leleh juga dilakukan terhadap PES yang
disintesis dengan bantuan microwave dan
menghasilkan trayek leleh sebesar 246,5247,3oC. Dari karakterisasi yang dilakukan dapat
disimpulkan bahwa PES yang disintesis dengan
metode microwave memiliki ketahanan termal
yang paling baik namun memiliki rendemen
yang rendah. Perbedaan ketahanan termal dari
polimer tersebut dapat diakibatkan oleh
perbedaan panjang rantai polimer dan hal ini
dapat dibuktikan dengan menentukan massa
molekul dengan metode viskometer.
Untuk mengetahui kemurnian dan tingkat
kepolaran
dari
PES
yang
dihasilkan
dibandingkan terhadap starting material-nya
dilakukan karakterisasi dengan menggunakan
kromatografi lapis tipis. Gambar 3 berikut ini
adalah penampakan noda dari berbagai hasil
sintesis PES yang divisualisasikan oleh sinar UV
dibandingkan terhadap hidrokuinon dan
4,4diklorodifenil sulfon sebagai prekursor awal.

Gambar 3 Penampakan noda pada uji KLT di bawah


sinar UV (Ket. H:Hidrokuinon, DPS: 4,4diklorodifenil sulfon, R/t:PES sintesis refluks dengan
toluen, R/nt: PES sintesis refluks tanpa toluen, dan
MW: PES sintesis dengan bantuan microwave)

Pada uji KLT tersebut, eluen yang digunakan


adalah kloroform-aseton (1:1). Noda yang
memiliki Rf lebih rendah memiliki kepolaran

yang lebih besar dibandingkan senyawa yang


memiliki nilai Rf lebih tinggi. Nilai Rf dari
masing-masing komponen ditunjukkan oleh
Tabel 1.
Tabel 1 Nilai Rf dari PES sintesis dan prekursornya
Senyawa
Hidrokuinon
4,4-diklorodifenil sulfon
PES sintesis refluks dengan
toluene
PES sintesis refluks dengan
toluene
PES sintesis dengan bantuan
microwave

Nilai Rf
0,77
0,90
0,86
0,89
0,89 (tailing)

Dari hasil uji KLT tersebut dapat


disimpulkan bahwa PES yang disintesis dengan
menggunakan refluks dengan atau tanpa adanya
toluen memiliki kepolaran yang hampir sama
dengan 4,4-diklorodifenil sulfon. Hal ini
disebabkan oleh strukturnya yang rigid dan
berantai panjang. Oleh karena itu, sifat dari PES
hampir mirip dengan 4,4-diklorodifenil sulfon
yaitu bersifat non polar (hidrofobik). Sementara
itu, PES yang disintesis dengan menggunakan
metode microwave masih memiliki tailing. Hal
ini menunjukkan bahwa PES yang dihasilkan
dari metode dengan bantuan microwave tersebut
masih mengandung produk samping ataupun
starting material yang belum bereaksi. Setelah
dilakukan pencucian dan penguapan, serta diuji
KLT dengan eluen NMP-aseton (1:1)
didapatkan hasil PES memberikan satu noda dan
tidak mengalami tailing. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa sintesis PES dengan metode
microwave merupakan metode yang baik
digunakan untuk polimerisasi kondensasi,
karena selain membutuhkan waktu yang sangat
singkat untuk sintesis PES juga memiliki
ketahanan termal yang baik. Hal ini sangat baik
mengingat microwave merupakan metode yang
baru untuk digunakan sebagai teknik dalam
sintesis PES. Akan tetapi, untuk mengatasi
masalah kecilnya rendemen PES yang disintesis
dengan microwave perlu dilakukan optimasi
lebih lanjut.
Karakterisasi
gugus
fungsi
dengan
menggunakan spektrofotometri infra merah
dilakukan dengan melarutkan polimer tersebut
dengan pelarut tertentu. Hal yang pertama kali
dilakukan
saat
pengukuran
dengan
spektrofotometri
infra
merah
adalah
mengoleskan pelarut pada pelet KBr dan
dilakukan
pengukuran.
Spektrum
hasil

11

Nurrahmi Handayani, Buchari, Deana Wahyuningrum, Muhamad Ali Zulfikar

pengukuran pelarut berfungsi sebagai blanko.


Kemudian larutan polimer tersebut dioleskan
pada pelet KBr dan dilakukan pengukuran.
Spektrum yang terbentuk kemudian di-substract
dengan spektrum blanko. Pelarut yang
digunakan untuk PES sintesis hasil refluks
dengan menggunakan toluen adalah kloroform,
sedangkan pelarut yang digunakan untuk PES
sintesis hasil refluks tanpa menggunakan toluen
adalah aseton, dan pelarut yang digunakan untuk
PES sintesis dengan microwave adalah NMP.
Tabel 2 menunjukkan perbandingan serapan
yang terdapat pada spektrum IR dari PES
komersial sebagai standar, PES hasil sintesis
dengan menggunakan toluen dan PES hasil
sintesis tanpa menggunakan toluen.
Tabel 2 Perbandingan serapan pada spektrum IR dari
beberapa sampel PES
Senyawa
PES komersial
(standar)
PES sintesis
hasil refluks
dengan toluen
PES sintesis
hasil refluks
tanpa toluen
PES sintesis
dengan bantuan
microwave

Serapan
(cm-1)
1323,9 dan 1137,3
1265,4
1327,7 dan 1156,7
1282,1

Jenis
getaran
SO2
C-O-C
SO2
C-O-C

1323,9 dan 1156,7


1282,1

SO2
C-O-C

1358,1 dan 1194,7


1278,3

SO2
C-O-C

Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa


ikatan C-O-C (eter) antara residu hidrokuinon
dengan residu 4,4-diklorodifenil sulfon telah
terbentuk. Adanya gugus sulfon juga
ditunjukkan oleh adanya serapan pada bilangan
gelombang 1265,4 1289,7 cm-1. Diantara
keempat spketrum IR PES, baik PES komersial
maupun PES sintesis, bagi PES yang disintesis
dengan metode refluks tanpa adanya toluen
masih menunjukkan adanya sedikit serapan pada
bilangan gelombang 3490 cm-1 dan bersifat
broad. Hal ini menunjukkan bahwa PES sintesis
tersebut masih terdapat sisa hidrokuinon yang
belum dapat dihilangkan dari produk PES.

Analisis struktur PES dilakukan dengan


spektroskopi NMR dan didapatkan hasil bahwa
ada kemiripan pergeseran kimia antara PES
komersial sebagai standar dan PES sintesis.
Pelarut yang digunakan saat pengukuran dengan
spektroskopi NMR adalah CDCl3. Tabel 3
menunjukkan perbandingan geseran kimia
antara PES standar dan PES hasil sintesis.
Berdasarkan hasil perbandingan pergeseran
kimia tersebut, dapat disimpulkan bahwa PES
hasil sintesis masih banyak pengotor sehingga
diperlukan tahap pemurnian lebih lanjut.
Sementara itu, spektrum NMR terdapat pada
Lampiran C. Berdasarkan struktur PES, polimer
ini memiliki dua jenis H dan masing-masing H
tersebut memiliki satu H tetangga, sehingga
menunjukkan puncak doublet pada geseran
kimia sekitar 7,09 dan 7,91 ppm. Struktur PES
tersebut ditunjukkan oleh Gambar 4.

Gambar 4. Struktur PES

Sintesis nitrohidrokuinon Target utama dari


penelitian semester pertama ini adalah
terbentuknya PES ternitrasi yang dapat dijadikan
solid support bagi lipase untuk meningkatkan
produksi biodisel. Metode yang dilakukan dalam
melakukan modifikasi gugus fungsi bagi PES
sampai saat ini adalah melakukan nitrasi pada
hidrokuinon
sebagai
prekursor
reaksi
polimerisasi. Hidrokuinon memiliki sifat yang
kristalin, bening. Akan tetapi, nitrohidrokuinon
memiliki sifat yang kristalin dan berwarna
kuning oranye.
Dalam reaksi nitrasi tersebut, diperlukan
suhu yang rendah agar reaksi berjalan dengan
baik, hal ini dilakukan agar senyawa tidak rusak
akibat sifat reaksi yang eksoterm saat
hidrokuinon ditambahkan HNO3 pekat. Selain
itu, proses kristalisasi juga berlangsung dalam
suhu yang rendah. Wujud dari kristal
nitrohidrokuinon ditunjukkan pada Gambar 5.

Tabel 3 Perbandingan sinyal proton pada PES standar dan sintesis melalui spektroskopi NMR
Senyawa
PES standar

Jenis H
C-H aromatik (posisi orto dengan O-)
C-H aromatik (posisi orto dengan SO2)

PES sintesis

C-H aromatik (posisi orto dengan O-)


C-H aromatik (posisi orto dengan SO2)

12

(ppm)
7,91

Multiplisitas
Doublet

7,09
7,87
7,02

Doublet
Multiplet
Multiplet

Jurnal Kimia Indonesia Vol. 5(1), 2010

Pembuatan Elastomer Termoplastik Menggunakan Inisiator Potassium Persulfate Dan Ammonium Peroksi
Disulfate

116,9-117,5oC. Dari data tersebut dapat


disimpulkan bahwa senyawa tersebut tidak
mengandung pengotor dan merupakan senyawa
yang sama. Untuk mendukung kesimpulan ini,
dilakukan pula uji KLT dengan eluen toluenaseton (1:1). Gambar 6 berikut ini menunjukkan
hasil identifikasi dengan menggunakan sinar UV.

Gambar 5 Hasil sintesis nitrohidrokuinon


Setelah kristal nitrohidrokuinon didapatkan,
residu dari proses filtrasi dikumpulkan
kemudian disimpan kembali pada suhu rendah
hingga terdapat kristal nitrohidrokuinon yang
baru. Hal ini diulangi hingga tidak terdapat
kristal nitrohidrokuinon lagi dalam larutan.
Melalui prosedur tersebut, didapatkan tiga
sampel nitrohidrokuinon. Ketiga sampel tersebut
diukur trayek leleh, uji KLT, uji dengan
spektrofotometri IR, serta uji dengan
spektroskopi NMR.
Uji kelarutan dari ketiga hasil nitrasi
hidrokuinon tersebut dilakukan dengan beberapa
pelarut, yakni n-heksana, kloroform, dan toluen.
Perbandingan dari ketiga hasil nitrasi tersebut
ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4 Uji kelarutan nitrohidrokuinon dengan
berbagai pelarut
Sampel

Nitrohidroquinon 1
Nitrohidroquinon 2
Nitrohidroquinon 3

Pelarut
n-heksana

Kloroform

toluen

Tidak larut

Larut

Tidak larut

Larut

Tidak larut

Larut

Larut
(lama)
Larut
(lama)
Larut
(lama)

Dari hasil tersebut, sepintas dapat


disimpulkan bahwa ketiga produk dari nitrasi
hidrokuinon tersebut merupakan senyawa yang
sama. Akan tetapi perlu dilakukan pengujian
lebih lanjut.
Uji titik leleh juga dilakukan untuk
menentukan
titik
leleh
dari
senyawa
nitrohidrokuinon serta meramalkan apakah
senyawa tersebut sudah murni atau belum.
Trayek leleh dari ketiga produk nitrasi
hidrokuinon tersebut menunjukkan angka yang
tidak terlalu jauh berbeda, yakni berkisar dari

Gambar 6 Hasil pengukuran KLT dengan penampak


noda sinar UV. Ket: s1 : sampel 1, s2 : sampel 2, s3 :
sampel 3, dan h : hidrokuinon

Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa


ketiga produk nitrasi hidrokuinon memiliki nilai
Rf yang sama dan memiliki kepolaran yang
lebih rendah apabila dibandingkan dengan
hidrokuinon.
Karakterisasi dengan spektroskopi IR
ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5 Uji kelarutan nitrohidrokuinon dengan
berbagai pelarut
Senyawa
Nitrohidrokuinon
1

Serapan
(cm-1)
1688,7
1308,6

Nitrohidrokuinon
2

1650,7
1304,9

Nitrohidrokuinon
3

1655,1
1304,9

Hidrokuinon

3292,3
(broad)

Jenis getaran
Gugus NO2
aromatik
Ikatan C-N
aromatic
Gugus NO2
aromatik
Ikatan C-N
aromatic
Gugus NO2
aromatik
Ikatan C-N
aromatik
Gugus OH
fenolik

Dari data spektrum IR tersebut terlihat bahwa


pada hidrokuinon terdapat serapan pada 3292,3
cm-1 dan lebar. Hal ini mengindikasikan
terdapatnya gugus OH pada senyawa tersebut.
Sementara itu, pada spektrum IR untuk ketiga
sampel nitrohidrokuinon terdapat serapan pada
bilangan gelombang sekitar 1655,1 cm-1 dan
1304,9 cm-1. Hal ini menunjukkan telah adanya

13

Nurrahmi Handayani, Buchari, Deana Wahyuningrum, Muhamad Ali Zulfikar

gugus NO2 dan adanya ikatan C-N pada


senyawa hasil sintesis. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa penambahan gugus nitro
pada hidrokuinon telah berhasil dilakukan.
Untuk mengetahui struktur nitrohidrokuinon
hasil sintesis secara pasti, dilakukan uji
pengukuran dengan spektroskopi NMR. Hasil
yang diperoleh tercantum dalam Tabel 6.
Tabel 6 Puncak yang terdapat pada spektrum 1H dan
13
C spektrofotometri NMR untuk nitrohidrokuinon
Jenis spektrum
NMR
1
H
13

(ppm)

Keterangan

7,2400

Multiplisitas :
singlet
Integrasi : 1
Integrasi : 4

187,165
136,473

Pada spektrum 1H spektrofotometri NMR,


hanya terdapat satu sinyal proton yakni pada
geseran kimia 7,24 ppm. Hal ini terjadi jika
senyawa aromatik hasil sintesis merupakan
senyawa yang bersifat simetris. Dengan
demikian dapat diramalkan ada dua gugus nitro
yang terikat pada hidrokuinon. Sedangkan, pada
spektrum 13C spektrofotometri NMR tersebut,
terdapat puncak pada geseran kimia 76,6977,33
ppm. Puncak ini merupakan puncak dari CDCl3
sebagai pelarut. Sementara itu, C aromatik
memberikan geseran kimia pada 187,17 ppm
yang mengindikasikan atom C kuartener yang
berinteraksi dengan gugus NO2, serta pada
136,47 ppm yang merupakan sinyal dari atom C
kuartener yang mengikat OH dan bersatu
dengan C-H yang bersebelahan dengan C-NO2
sehingga memiliki sifat yang hampir sama dan
memberi sinyal yang sama dengan C-OH
aromatik. Itulah alasan mengapa sinyal pada
136,47 ppm memiliki integrasi yang tinggi.
Dari hasil analisis di atas dapat disimpulkan
bahwa senyawa hasil sintesis tersebut
merupakan kelompok senyawa nitrohidrokuinon
dimana kedua gugus nitro berada pada posisi
orto terhadap gugus OH aromatik. Visualisasi
senyawa 4,6-dinitrohidrokuinon hasil sintesis
ditunjukkan pada Gambar 7.

Gambar 7 Struktur nitrohidrokuinon hasil analisis

14

Senyawa 4,6-dinitrohidrokuinon yang telah


disintesis akan menjadi prekursor bagi
pembentukan PES ternitrasi. Hal ini merupakan
tahapan yang sangat penting untuk mendukung
keberhasilan penelitian selanjutnya.
Sintesis PES Ternitrasi. Sintesis PES
ternitrasi
dilakukan
dengan
melakukan
polimerisasi kondensasi 4,6-dinitrohidrokuinon
hasil sintesis dengan 4,4-diklodifenil sulfon.
Pelarut yang digunakan dalam polimerisasi ini
tidak berbeda dengan pelarut yang digunakan
saat dilakukan sintesis PES, karena kelarutan
PES-NO2 memiliki kelarutan yang sama dengan
PES yaitu larut dalam NMP. Toluen digunakan
dalam reaksi ini adalah untuk mengontrol reaksi
polimerisasi dan menarik air yang diproduksi
agar tidak terjadi reaksi balik. Setelah dilakukan
karakterisasi didapatkan hasil seperti yang
terdapat pada Tabel 7.
Tabel 7 Karakteristik yang dimiliki oleh PES-nitro
hasil kondensasi
Karakterisasi
Massa Produk

Nilai Rf
Eluen:
kloroform:aseton
(1:1)
Kelarutan
Spektrum IR

Hasil
0,525 gr (hasil dari
polimerisasi dengan komposisi
0,01 mol prekursor ). Persen
rendemen <20%
0,94

Larut dalam aseton dan NMP,


namun tidak larut dalam
kloroform
1327,7 dan 1164,1 (SO2)
1255,1 (C-O-C)
1643,1 (NO2 aromatik)

Dari data hasil karakterisasi tersebut, dapat


disimpulkan bahwa perlu adanya perbaikan dari
metode sintesis untuk mendapatkan rendemen
yang besar dengan kemurnian yang tinggi.
Kecilnya rendemen ini dapat diakibatkan karena
pencucian dilakukan dengan jumlah pelarut
yang banyak (600 mL) sehingga dapat
dimungkinkan banyak polimer yang terbuang
saat pencucian. Selain itu, dapat diakibatkan
oleh kurang optimalnya proses pemanasan saat
reaksi polimerisasi.
Nilai Rf yang teramati saat dilakukan uji
kromatografi lapis tipis diperoleh hasil 0,94. Hal
ini menunjukkan bahwa nilai Rf PES ternitrasi
lebih besar dibandingkan nilai Rf PES yang
tidak dilakukan modifikasi. Sehingga, dapat
disimpulkan bahwa kepolaran dari PES setelah
dilakukan nitrasi lebih rendah. Hal ini

Jurnal Kimia Indonesia Vol. 5(1), 2010

Pembuatan Elastomer Termoplastik Menggunakan Inisiator Potassium Persulfate Dan Ammonium Peroksi
Disulfate

disebabkan karena gugus NO2 berada pada


posisi simetris dan semakin besarnya ukuran
molekul mengakibatkan sifat kepolarannya
berkurang. Akan tetapi terdapat suatu
kejanggalan, dimana saat dilakukan uji kelarutan
PES ternitrasi tersebut larut dalam aseton.
Sehingga, perlu dilakukan pengkajian ulang dan
optimalisasi kondisi proses polimerisasi.
Saat dilakukan analisis gugus ujung, PES
ternitrasi memiliki beberapa puncak serapan
yang menunjukkan adanya gugus SO2 (1327,7
dan 1164,61 cm-1), C-O-C (1255,1 cm-1), dan
NO2 aromatik (1643,1 cm-1). Akan tetapi,
intensitas dari puncak serapan-serapan tersebut
masih sangatlah rendah sehingga perlu
dilakukan optimalisasi dalam proses sintesis
maupun pemurniannya.
PES-nitro yang dihasilkan dari nitrasi PES
dilakukan dengan mereaksikan PES dengan
H2SO4 dan HNO3 pekat. Penambahan H2SO4
bertujuan untuk meningkatkan kekuatan ionik
dari NO2 sehingga terbentuk ikatan antara CNO2. Pencucian dilakukan dengan air karena
selain PES memiliki kelarutan yang rendah
dengan air, sisa asam yang tidak bereaksi dapat
larut dalam air. Wujud dari PES-nitro
merupakan polimer berwarna oranye dan
ditunjukkan oleh Gambar 8.

Gambar 8 PES-nitro hasil nitrasi PES

Karakterisasi dilakukan melingkupi uji


kelarutan, uji titik leleh, KLT dan
spektrofotometri IR. Tabel 8 menunjukkan
karakteristik yang dimiliki oleh PES-nitro hasil
nitrasi PES.
Tabel 8 Karakteristik yang dimiliki oleh PES-nitro
hasil nitrasi PES
Karakterisasi
Rendemen
Nilai Rf
Eluen: NMP-aseton (1:1)
Kelarutan
Spektrum IR

Hasil
32%
0,94
Larut hanya dalam NMP
1304,9 dan 1118,2 (SO2)
1266,5 (C-O-C)
1666,2 (NO2 aromatik)

Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa


reaksi antara PES dengan asam nitrat dan asam
sulfat pekat dapat menghasilkan PES-nitro
dengan rendemen yang lebih baik dibandingkan
PES-nitro yang disintesis dari prekursornya.
Akan tetapi, karakteristik yang mendukung
dapat digunakannya polimer tersebut untuk
imobilisasi enzim akan dilakukan studi lebih
lanjut.
Penentuan Massa molekul dan Viskositas
Intrinsik Polimer. Penentuan massa molekul
dilakukan dengan metode viskometri dengan
mengginakan viskometer Ostwald Fischer 100.
Pelarut yang digunakan adalah NMP. Waktu alir
ditentukan bagi NMP sebagai blanko dan PES
dalam NMP dengan konsentrasi tertentu.
Inkubasi dilakukan pada suhu 50oC dimana
viskositas NMP pada suhu itu adalah 1 c.p.
Viskometer merupakan alat yang digunakan
untuk menentukan massa molekul suatu polimer
berdasarkan pengamatan viskositas larutan
polimer yang bergantung pada konsentrasi dan
ukuran molekul.7
Informasi yang perlu didapatkan untuk
menentukan massa molekul PES adalah dengan
mencari nilai dan K yang merupakan
konstanta Mark Houwink untuk PES.8 Nilai
PES adalah 0,70 dan K adalah 33,8 x 10-5 dL
molag1+a. Untuk menentukan viskositas suatu
polimer dapat ditentukan terlebih dahulu waktu
alirnya diantara kedua index line pada
konsentrasi tertentu. Dari data waktu alir
tersebut dapat dihitung viskositas spesifik dan
viskositas tereduksi. Melalui kurva yang
dialurkan antara viskositas tereduksi terhadap
konsentrasi PES dalam NMP dapat ditentukan
persamaan garisnya. Melalui persamaan garis
tersebut dapat diketahui viskositas intrinsik PES.
Setelah viskositas intrinsik diketahui, maka
massa molekul pun dapat diketahui. Grafik
viskositas terhadap konsentrasi ditunjukkan oleh
Gambar 9.
Berdasarkan grafik tersebut, viskositas
intrinsik dan massa molekul PES hasil sintesis
dengan refluks menggunakan toluen dan Dean
Stark trap berturut-turut adalah 0,94 dan 83.234
g/mol. Sementara itu, viskositas intrinsik dan
massa molekul PES hasil sintesis dengan
microwave berturut-turut adalah 3,6707 dan
582.581 g/mol. Hasil tersebut mengindikasikan
bahwa PES yang disintesis dengan metode
microwave menghasilkan PES dengan massa

15

Nurrahmi Handayani, Buchari, Deana Wahyuningrum, Muhamad Ali Zulfikar

molekul yang besar dan dapat digunakan untuk


solid support dalam imobilisasi enzim.

30
25
20

y = 2300x + 0.94
R2 = 0.9857

15
10
5
0
0

0.002

0.004

Grafik viskositas tereduksi terhadap konsentrasi


PES (refluks w/ toluen) dalam NMP
viskositas tereduksi

viskositas tereduksi

Grafik viskositas tereduksi terhadap konsentrasi


PES (refluks w/ toluen) dalam NMP

0.006

0.008

0.01

30
25
20

y = 2300x + 0.94
R2 = 0.9857

15
10
5
0
0

0.012

0.002

0.004

0.006

0.008

0.01

0.012

konsentrasi (g/mL)

konsentrasi (g/mL)

Gambar 9 Grafik viskositas tereduksi terhadap konsentrasi

Akan tetapi, hasil ini perlu pengkajian lebih


lanjut mengingat belum ditemukannya literatur
yang mendukung keabsahan hasil tersebut.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari
penelitian awal untuk imobilisasi enzim ini
dapat disimpulkan bahwa senyawa nitro
hidrokuinon dan PES telah berhasil disintesis.
Massa molekul PES hasil sintesis dengan
microwave menunjukkan nilai yang lebih besar
dibandingkan dengan PES yang disintesis
dengan refluks. Metode sintesis PES yang tepat
untuk dilakukan pada tahap selanjutnya adalah
dengan menggunakan microwave dan refluks
dengan menggunakan rangkaian alat Dean-Stark
trap dan menggunakan pelarut toluen untuk
menghasilkan produk yang optimal. Modifikasi
gugus fungsi dari PES juga berhasil dilakukan
dan dapat digunakan sebagai solid support
material untuk imobilisasi enzim.

5.

6.

7.
8.

9.

poly(ether sulfone)copolymer membranes for fuel


cell applications, Journal of Power Sources, 2006,
158, 2461250
Harrison, W.L, Synthesis and characterization of
sulfonated poly(arylene-ethersulfone) copolymers
via direct copolymerization: candidates for proton
exchange membrane fuel cells, Dissertation, 2002.
Keitoko, F., Kakimoto, M., dan Imai, Y.,
Synthesis and Properties of Aromatic Poly (ether
sulfone)s and Poly (ether ketone)s Based on
Methyl-Substituted Biphenyl-4,4-Diols, Journal
of Polymer Science: Part A Polymer Chemistry,
1994, 32, 317-322
Peacock, A.J., Handbook of Polyethylene
Structure, Proterties, and Application, Marcel
Dekker Inc, 2000, 236-240.
Maes, C, dkk., Characterization of molar mass
and dilute solution properties of PES with high
glass transition temperature, Journal of
Macromolecular Chemistry and Physics, 2003,
196.5, 1523-1538.
Wei, C., Method for nitrating and aminating an
aryl polymer, US Patent: 6878803; free patents
online, 2005

Pustaka
1. Polyethersulfon Technicals Literature, Mitsui
Chemical, Inc., 2009, 4 Maret, 1-28.
2. Weisse, H., Keul, H., Hocker, H., A New Route
Carboxylated Poly(ether sulfone)s: Synthesis and
Characterization, Polymer, 2001, 42, 5973-5978.
3. Rajasekaran, R., Alagar, M., Mechanical
Properties of Polyethersulfone Modified epoxy/
3,3-bis(maleimidophenyl)phenylphosphine oxide
(BMI) Intercrosslinked Matrices, Bull. Mater. Sci.,
2008, 31, 853858.
4. Krishnan, N.N, Kim, H.J.,Prasanna, M., Cho, E.,
Shin, E.M., Lee, S.Y., Oh, I.H.,Hong, S.A.,Lim,
T.H., Synthesis and characterization of sulfonated

16

Jurnal Kimia Indonesia Vol. 5(1), 2010

Anda mungkin juga menyukai