4-Fenil-3-Thiosemicarbozone
BAB I. PENDAHULUAN
Studi mengenai ligan dengan golongan basa schiff banyak yang menyebut
memiliki sifat antibakteri sehingga hal ini menjadi acuan potensi pengembangan
kompleks logam dengan basa schiff yang memiliki aktivitas biologis, seperti aktivitas
antibakteri, antijamur, antivirus, antidiabetik, antioksidan, antikanker, dan
antiinflamasi. Vanilin merupakan aldehid aromatik dengan ikatan rangkap
terkonjugasi sehingga dapat membentuk kompleks yang lebih stabil dibandingkan
aldehid alifatik (V, S, & G, 2021). Vanilin merupakan senyawa alami yang dapat
diperoleh dari tanaman vanila planifola. Banyak penelitian yang mengungkapkan
bahwa kompleks logam yang terbentuk dari vanillin memiliki beberapa khasiat obat
yang tinggi (Hasanah, Fatmawati, & Hariyanti, 2019). Beberapa penelitian
melakukan eksperimen yaitu mereaksikan senyawa vanillin dengan basa schiff
thiosemikarbazon, eksperimen ini dilakukan karena thiosemikarbazon merupakan
senyawa yang terbentuk dari kombinasi antara gugus hidrazin dan aldehid sehingga
diketahui juga memiliki aktivitas biologis dan farmasi yang tinggi. Menariknya,
turunan-turunan senyawa tiosemikarbazon menunjukan aktivitas biologis yang
berbeda-beda setiap senyawa turunannya (Piri, Shoeili, & Assoud, 2019). Selain itu,
ligan tiosemikarbazon merupakan ligan pengkhelat yang dapat membentuk kompleks
lebih stabil sehingga dapat memberikan aktivitas biologis yang sangat baik (Piri,
Shoeili, & Assoud, 2019).
Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini dari sigma aldrich dan
merck, untuk mengetahui kandungan atau kadar unsur C, H, N, dan O dalam senyawa
kompleks nikel-vanilin-4-metil-4-fenil-3-tiosemikarbazon menggunakan alat CHN
analyzer, untuk mengetahui sifat kemagnetan senyawa kompleks ini menggunakan
metode gouy menggunakan larutan Hg[CO(SCN)4] sebagai penentu nilai magnetisasi
suatu sampel, Hg2+ berperan sebagai pengion yang mempengaruhi perubahan
magnetisasi sampel, karakterisasi berikutnya yaitu menentukan konduktivitas
senyawa kompleks yang dihasilkan, konduktivitas diukur dalam pelarut dimetil
sulfoksida 0,001 M pada suhu kamar, interaksi antar molekul dalam ligan
diidentifikasi dengan menggunakan alat spektroskopi inframerah, diukur pada
bilangan gelombang 4000-400 cm-1, Selanjutnya karakterisasi ligan menggunakan
spektrofotometri UV-Vis Geneys 10S dalam pelarut dimetil sulfoksida 0,001 M,
struktur kisi serta ukuran kristal kompleks nikel dan ligan diidentifikasi menggunakan
X-ray diffraction (XRD).
Padatan HVTS dilarutkan ke dalam metanol pada suhu panas, lalu ke dalam
larutan metanol panas ditambahkan tetes demi tetes larutan NiCl dengan pengadukan
menggunakan magnetic stirrer sambil dipanaskan dengan penangas air selama 4 jam.
Kompleks berwarna hitam yang terbentuk disaring, kemudian dicuci dengan metanol
untuk menghilangkan ligan yang tidak bereaksi, lalu dikeringkan dalam vakum.
Hasil sintesis kompleks [Ni(VTS)2] berupa kristal yang stabil pada suhu ruang
karena kristal kompleks tidak larut dalam air dan pelarut organik lainnya. Namun,
kompleks ini larut dalam larutan DMSO dan DMF. Berikut merupakan struktur
senyawa kompleks yang terbentuk,
Gambar 1. Struktur senyawa kompleks [Ni(VTS2]
Puncak pada massa molekul 687.13831 merupakan ion induk atau ion
molekul kompleks itu sendiri, puncak yang memiliki nilai relative abundance sebesar
100 disebut base peak, hal ini disebabkan pada base peak tersebut bentuk molekul
memiliki sifat resonansi. Nilai massa molar pada kondisi base peak sebesar
373,03333, apabila senyawa kompleks [Ni(VTS)2] diprediksikan mengandung atom
13
C maka dapat digunakan rumus [M + 1] sehingga menghasilkan nilai massa molar
374,03333, puncak nilai massa molar tersebut terlihat di dekat base peak
(Wahyudiono, Adlan, Permanadewi, & Gibran, 2018). Massa molar sebesar
13
374,03333 menunjukkan kelimpahan isotop C pada senyawa kompleks. Puncak
dengan massa molar sebesar 314,13256 merupakan hasil pemutusan ikatan molekul
dari massa molar bernilai 374,03333, pada puncak ini merupakan pembentukan
senyawa bermuatan positif dan senyawa yang bersifat radikal.
Spektrum XRD serbuk ligan dan kompleks nikel dicatat dalam rentang waktu
2 jam, puncak-puncak pada spektrum ligan dan kompleks menunjukan aktivitas atau
perilaku dari kompleks.
Gambar 9. Persentase
viabilitas sel
Gambar 10. Gambar fotomikrografi [Ni(VTS)2] terhadap a) garis sel kanker & b) garis sel normal.
Sitotoksisitas kompleks nikel ligan terhadap garis sel serviks HeLa dan garis
sel normal dipelajari dengan uji MTT. Persentase viabilitas sel menurun dengan
meningkatnya konsentrasi. Persentase viabilitas sel senyawa pada konsentrasi
berbeda ditunjukkan pada Gambar 9. Kompleks logam ditemukan menghasilkan
toksisitas yang lebih tinggi dibandingkan ligan sebagai akibat dari khelasi. Kompleks
ini juga menunjukkan sitotoksisitas yang tinggi terhadap garis sel kanker
dibandingkan dengan garis sel normal.
Dari nilai IC50 terlihat bahwa kompleks nikel dapat digunakan sebagai obat
antikanker yang lebih baik dibandingkan obat standar 5-flurouracil. Nilai IC50 ligan,
kompleks nikel dan standar terhadap dua garis sel diberikan pada Tabel 1.
Sitotoksisitas senyawa terhadap garis sel HeLa dan garis sel normal dapat
dipahami dengan jelas dari gambar fotomikrograf sel. Kehadiran sampel
menyebabkan perubahan bentuk sel. Beberapa sel yang ditemukan menghilang dalam
grafik mikro menunjukkan bahwa kematian sel terjadi akibat sitotoksisitas yang
dihasilkan oleh sampel. Ketika konsentrasi sampel meningkat, penghambatan
pertumbuhan sel juga meningkat. Dari gambar tersebut terlihat jelas bahwa dengan
adanya kompleks nikel pada konsentrasi tinggi, bentuk sel berubah menjadi bulat atau
granular, yang menunjukkan sitotoksisitasnya terhadap garis sel HeLa. Perubahan
morfologi permukaan garis sel terhadap kompleks nikel pada konsentrasi 100 mg/mL
ditunjukkan pada Gambar 10.
DAFTAR PUSTAKA