Anda di halaman 1dari 30

BAB XI

POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL

A. Pendahuluan
Tujuan nasional bangsa Indonesia telah ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945.
Tujuan nasional tersebut hanya dapat dicapai dengan usaha pembangunan bangsa dan usaha
itu hanya mungkin dilaksanakan, apabila kondisi politik nasional yang merupakan faktor
lingkungan dari usaha pembangunan berada dalam keadaan stabil, dalam arti sistem
konstitusional berjalan dengan efektif; demokrasi tumbuh dengan kuat; hukum berjalan dan
dapat ditegakkan dengan pasti.
Disamping itu tiap-tiap negara mempunyai suatu perangkat kepentingan nasional yang
secara akumulatif berpuncak pada kepentingan nasional utama. Dalam Pembukaan UUD 1945
dapat ditemukan beberapa kepentingan nasional utama, yaitu yang menyangkut kesejahteraan,
keamanan, kecerdasan bangsa, dan hubungan internasional.
Kepentingan nasional tersebut dapat dijabarkan di dalam beberapa kepentingan
nasional di tiap-tiap bidang kehidupan nasional yang selanjutnya dirumuskan menjadi beberapa
sasaran nasional. Sasaran nasional hanya dapat diwujudkan atau dicapai dengan politik dan
strategi nasional.

B. Pengertian Politik dan Strategi Nasional


1. Politik
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam
kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-
tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan (desicion
making) mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi antara
beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih itu.
Untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan umum (public
policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation)
dari sumber-sumber dan resources yang ada.
Untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu, perlu dimiliki kekuasaan (power)
dan kewenangan (authority) yang akan dipakai baik untuk membina kerja sama maupun untuk
menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses tersebut.
Pengertian politik itu banyak sekali sebanyak buku yang kita baca, karena setiap sarjana
meneropong hanya satu aspek atau unsur politik saja. Akan tetapi paling tidak, politik itu

POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL 146


mengandung aspek-aspek sebagai berikut: negara (state), kekuasaan (power), pengambilan
keputusan (desicion making), kebijaksanaan (policy), dan pembagian (distribution) atau alokasi
(allocation) (Budiardjo, 1998: 8 - 13).
a. Negara
Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan
tertinggi yang sah dan yang ditaati oleh rakyatnya.
b. Kekuasaan
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi
tingkah-laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku.
Politik adalah semua kegiatan yang menyangkut masalah merebutkan dan
mempertahankan kekuasaan. Biasanya dianggap bahwa perjuangan kekuasaan (power
struggle) ini mempunyai tujuan yang menyangkut kepentingan seluruh masyarakat.
c. Pengambilan Keputusan
Keputusan (desicion) adalah membuat pilihan di antara beberapa alternatif. Sedangkan
pengambilan keputusan (desicion making) menunjuk pada proses yang terjadi sampai
keputusan itu tercapai.
d. Kebijaksanaan Umum
Kebijaksanaan (policy) adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang
pelaku atau oleh kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk
menca-pai tujuan-tujuan itu. Pada prinsipnya fihak yang membuat kebijaksanaan-kebijaksanaan
itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya.
e. Pembagian
Pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) adalah pembagian atau penjatahan
dari nilai-nilai dalam masyarakat. Politik adalah membagikan dan mengalokasikan nilai-nilai
secara mengikat.
Karena sedemikian luasnya cakupan makna yang terkandung dalam politik, maka
sangat sulit untuk mendefinisikan secara lengkap. Tanpa bermaksud untuk dapat mengartikan
kata “politik” itu secara tuntas, dalam buku ini politik diartikan segala hal yang berkenaan
dengan bagaimana kebijakan itu disusun dan bagaimana kebijakan itu dilaksanakan.

2. Politik Nasional
Politik nasional adalah azas, haluan, usaha, kebijaksanaan dari negara dalam mencapai
tujuan nasionalnya dengan membina dan menggunakan potensi nasional, sumber daya
nasional dan sarana serta prasarana nasional. Apabila cita-cita nasional dan tujuan nasional

POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL 147


masih berbentuk konsepsional dan teoritis maka politik nasional sudah dalam bentuk aktualisasi
yang bersifat praktis.
Hakikat politik nasional adalah kebijaksanaan nasional yang menjadi landasan serta
arah bagi penyusunan konsep strategi nasional. Kebijaksanaan nasional merupakan
manifestasi dan upaya pencapaian tujuan nasional melalui rumusan pokok kegiatan mencapai
tujuan.
Politik nasional menggariskan usaha-usaha untuk mencapai tujuan nasional yang dalam
perumusannya dibagi dalam tahap-tahap utama yaitu: jangka panjang, jangka menengah, dan
jangka pendek. Politik nasional itu meliputi:
a. Politik dalam negeri, yang diarahkan kepada mengangkat, meninggikan, dan memelihara
harkat derajat dan potensi rakyat Indonesia yang pernah mengalami kehinaan dan
kemelaratan akibat penjajahan menuju sifat-sifat bangsa yang terhormat dan dapat
dibanggakan.
b. Politik luar negeri yang bersifat bebas aktif anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala
bentuk dan manifestasinya, mengabdi kepada kepentingan nasional dan amanat
penderitaan rakyat serta diarahkan kepada pembentukan solidaritas antarbangsa terutama
bangsa-bangsa Asia Afrika dan negara-negara non-aligned.
c. Politik ekonomi yang bersifat swasembada/swadaya dengan tidak berarti mengisolasi diri,
tetapi diarahkan kepada peningkatkan taraf hidup dan daya kreasi rakyat Indonesia
sebesar-besarnya.
d. Politik pertahanan-keamanan, yang bersifat defensif aktif dan diarahkan kepada
pengamanan serta perlindungan bangsa dan negara serta usaha-usaha nasional dan
penanggulangan segala macam tantangan, ancaman, dan hambatan.

3. Strategi
Kata strategi pada mulanya berasal dari lingkungan khas militer. Strategi berasal dari
kata Yunani strategis yang diartikan sebagai the art of the general atau seni dari para jenderal.
Jauh sebelum abad ke-19 tampak bahwa kemenangan suatu bangsa atas peperangan banyak
ditentukan oleh adanya panglima-panglima perang yang ulung dan bijaksana. Tokoh-tokoh
yang mempelajari strategi secara ilmiah antara lain Antoine Henri Jomini, Karl von Clausewitz,
Liddle Hart dan Sun Tsu.
Dalam perkembangannya di dalam abad modern sekarang ini, arti strategi telah meluas
jauh dari artinya semula menurut pengertian militer. Pengertian strategi tidak lagi terbatas pada
konsep ataupun seni seorang panglima di masa perang, akan tetapi sudah berkembang dan

POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL 148


menjadi tangungjawab dari seorang pimpinan. Terdapat beberapa rumusan tentang strate-gi,
akan tetapi dalam rumusan-rumusan yang ada tersebut tetap ada persamaan pandangan,
bahwa strategi tidak boleh lepas dari politik dan bahwa strategi tidak dapat berdiri sendiri.

4. Strategi Nasional
Perjuangan nasional memerlukan penggunaan tidak hanya diplomasi dan perang,
melainkan juga kekuataan ideologi dan psikologi, kekuatan politik, kekuatan ekonomi, kekuatan
sosial-budaya, dan kekuatan militer. Seluruh kekuatan ini menghendaki integrasi, pengaturan,
dan penyusunan serta penggunaan yang terarah, maka digunakanlah pengertian strategi
nasional, yang dilandaskan tidak hanya pada pengertian strategi yang semula tetapi
mempunyai ruang lingkup yang jauh lebih luas.
Strategi nasional adalah pelaksanaan dari politik nasional. Bentuk pelaksanaan ini
tersusun dalam program nasional yang bersifat lebih konkrit baik dari segi tempat, waktu,
bidang, biaya maupun pelaksanaannya. Strategi nasional adalah seni dan ilmu
mengembangkan dan menggunakan kekuatan-kekuatan nasional (IPOLEKSOSBUDHANKAM).
Dalam masa damai maupun dalam masa perang untuk mendukung pencapaian tujuan yang
ditetapkan politik nasional, maka strategi nasional sebagai rencana dan pelaksanaan harus
kenyal dan dinamis disesuaikan dengan situasi, kondisi dan kemampuan disamping seni.

C. Tahap-tahap Pemikiran Strategi Nasional


1. Telaahan Strategi
Telaahan strategi adalah suatu kajian terhadap lingkungan yang akan berpengaruh
kepada strategi yang akan ditempuh. Dalam menelaah lingkungan politik nasional ini perlu
diperhatikan beberapa hal yang menyangkut soal-soal: pembidangan, sasaran, pedoman
pelaksanaan, sikap dan pendirian serta pengendalian perencanaan.
a. Pembidangan: Politik nasional mencakup sektor-sektor ideologi, politik, ekonomi, sosial-
budaya, dan hankam.
b. Sasaran-sasaran masing-masing bidang ditentukan sehingga tujuan politik nasional dapat
dicapai.
c. Pedoman pelaksanaan yang mencakup
1) Usaha pembiayaan
2) Pengadaan, pengembangan, pengarahan sumber - sumber material, tenaga manusia
dan kekuatan imaterial

POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL 149


3) Pengerahan usaha dan tindakan diantara sikap umum terhadap pengadaan modal,
sikap dalam hal yang mengenai Hankamnas seperti sistem Hankamrata, memelihara
perdamaian dunia dan lain sebagainya dengan menggunakan prinsip-prinsip
prioritasnya
4) Penentuan periode waktu
d. Sikap dan pendirian, menggariskan sikap dan pendirian terhadap masalah-masalah
nasional maupun internasional. Oleh karenanya sikap ini seterusnya menjadi asas yang
tidak dapat diabaikan.
e. Pengendalian perencanaan dituangkan dalam strategi nasional, seperti:
1) Sikap Indonesia terhadap masalah hankam dari Asia Tenggara (Perang Indo-Cina),
maupun perang terbatas/ketegangan yang terjadi di dunia
2) Sikap politik luar negeri Indonesia bebas aktif terhadap berbagai masalah dunia
3) Sikap Indonesia terhadap perkembangan rumah tangga ekonomi nasional dan masalah
peranan ekonomi wilayah Asia Tenggara.

2. Perkiraan Strategi Nasional


Langkah utama ke arah formulasi suatu perkiraan nasional yang bersifat strategis
berdasarkan hasil telaahan strategis, yaitu: melaksanakan analisis menurut urutan tertentu;
menentukan sasaran-sasaran yang dipilih, dan cara bertindak yang ditunjuk/dipilih. Analisis
secara beruntun ini adalah prosedur yang disebut sebagai perkiraan strategi nasional.
Perkiraan strategi nasional adalah suatu analisis yang akan menghasilkan sasaran-
sasaran alternatif yang ditetapkan serta beberapa alternatif cara bertindak yang akan digunakan
mencapai sasaran-sasaran tadi.
Melalui perkiraan ini senantiasa dapat diidentifikasikan adanya kesempatan-
kesempatan, maupun masalah-masalah yang perlu dihadapi dalam pencapaian tujuan nasional.
Disamping itu dapat pula dianalisis kebijaksanaan apa yang sebaiknya ditempuh, dan
tersedia/tidaknya sumber-sumber kekuatan yang perlu digunakan bagi pemanfataan
kesempatan-kesempatan baik yang tersedia guna menghadapi masalah-masalah yang ada.
Pada umumnya perkiraan strategi nasional terdiri dari:
a. Mempelajari lingkungan
b. Pengembangan sasaran alternatif dan cara bertindak
c. Analisis kekuatan
d. Batas waktu penilaian strategis

POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL 150


3. Tingkat Perencanaan
Suatu perencanaan yang sifatnya strategis nasional harus mengikat semua aparatur
pemerintah, swasta maupun lembaga- lembaga masyarakat lainnya, untuk menjamin terjadinya
usaha di bidang rencana maupun pada pelaksaaannya, untuk penyusunan strategi yang akan
ditempuh dalam pencapaian sasaran-sasaran nasional.
Untuk mencapai sasaran tersebut perlu disusun rencana dalam bentuk program-
program yang meliputi:
a. Perencanaan jangka panjang
b. Perencanaan jangka menengah
c. Perencanaan jangka pendek

4. Anggaran dan Pembiayaan


Suatu strategi nasional harus dikembangkan tanpa mengabaikan masalah anggaran,
yaitu implikasi anggaran dalam hubungannya dengan ekonomi nasional, dan keseluruhan
prospek anggaran serta kebutuhan-kebutuhan yang perlu didahului persiapannya dalam
menunjang program-program nasional
Umumnya faktor tersedianya biaya dan tenaga yang menentukan luasnya suatu
program nasional untuk dapat menentukan dapat tidaknya dilaksanakan suatu cara bertindak
yang dipilih.

5. Data dan informasi


Pengumpulan data dan pengolahan data merupakan suatu keharusan dalam suatu
administrasi dan manajemen yang efisien dan menyeluruh di dalam pencapaian sasaran-
sasaran.
Data tidak lain dari bahan-bahan untuk mendapat informasi, atau dengan kata lain
mengolah data, mengungkapkan informasi-informasi tentang faktor-faktor intern dan ekstern
yang didapat dari organisasi yang dinamis. Faktor-faktor intern adalah faktor produksi termasuk
waktu yang dikuasai dalam suatu organisasi, sehingga pembuat keputusan dapat mengetahui
keseluruhan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya.
Faktor-faktor ekstern adalah semua tantangan yang dihadapi oleh organisasi. Hanya
dengan mengetahui ruang lingkup dan intensitas dari tantangan itu barulah pembuat keputusan
mengatur aneka ragam kemampuan yang optimum untuk menghadapinya.

POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL 151


D. Politik Pembangunan Nasional dan Manajemen Nasional
1. Politik Pembangunan Nasional
Politik nasional dewasa ini adalah politik pembangunan. Sebagaimana diketahui bahwa
tugas yang diberikan oleh UUD 1945 kepada pemerintahan Indonesia adalah pembangunan
bangsa Indonesia. Membangun masyarakat yang demikian jelas memerlukan waktu.
Pelaksanaannya harus melalui rangkaian tahap-tahap pembangunan. Tahap yang satu harus
jelas kaitan dan fungsinya terhadap tahap yang lain, tahap yang satu harus merupakan
kelanjutan dan peningkatan dari tahap sebelumnya, dan tahap yang satu harus dapat menjadi
landasan yang kokoh bagi tahap pembangunan berikutnya.
Tahap-tahap pembangunan inilah yang dituangkan ke dalam program pembangunan
tahunan (Propeta). Jelas bahwa dalam program pembangunan yang demikian terkandung
tujuan-tujuan untuk memperbaiki taraf hidup lahiriah dan rokhaniah secara utuh dan serasi.
Yang dipentingkan tidak hanya tercapainya tujuan-tujuan ekonomi, akan tetapi juga fungsi
kehidupan serta cara bagaimana tujuan-tujuan itu dapat dicapai. Karena itu, dalam mencapai
tujuan ekonomi itu diperlukan langkah-langkah untuk memperkokoh nilai-nilai kehidupan
bangsa dan negara yang dianggap luhur, sehingga kehidupan mempunyai makna juang indah
dan dalam, seperti yang dikehendaki oleh Pancasila dan UUD 1945.
Untuk itu dalam menggerakkan pembangunan bangsa dalam arti yang luas, maka
pertumbuhan kehidupan demokrasi yang sehat, dan penguatan kehidupan konstitusional serta
penegakkan hukum merupakan usaha-usaha yang tidak dapat diabaikan, malahan harus
menjadi bagian yang penting dari tujuan pemban-gunan itu sendiri.

2. Manajemen Nasional
Manajemen nasional pada dasarnya merupakan sebuah sistem, oleh karena itu lebih
tepat apabila kita menggunakan istilah sistem manajemen nasional.
Sistem manajemen nasional merupakan suatu perpaduan dari tata nilai, struktur dan
proses, yang merupakan himpunan usaha untuk mencapai kekuatan, daya guna dan hasil guna
sebesar mungkin dalam penggunaan sumber dana dan daya nasional dalam rangka
mewujudkan tujuan nasional (Suryosumarto, 1989: 2).
Proses penyelenggaraannya meliputi siklus kegiatan berupa:
a. Perumusan kebijakan (policy formulation)
b. Pelaksanaan kebijakan (policy implementation)
c. Penilaian hasil kebijakan (policy evaluation)

POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL 152


Secara sederhana dapat dikatakan bahwa unsur-unsur pokok sistem manajemen
nasional dalam bidang ketatanegaraan meliputi:
a. Negara sebagai “organisasi kekuasaan”
b. Bangsa Indonesia sebagai “pemilik negara”
c. Pemerintah sebagai “manajer atau pengelola” negara
d. Masyarakat sebagai unsur “penunjang dan pemakai”
Sejalan dengan pokok pikiran di atas, maka unsur utama Simenas secara struktural
tersusun atas 4 (empat) tatanan, yaitu:
a. Tata Laksana Pemerintahan (TLP)
b. Tata Administrasi Negara (TAN)
c. Tata Politik Nasional (TPN)
d. Tata Kehidupan Masyarakat (TKM)
Sebagai proses Simenas berpusat pada suatu rangkaian pengambilan keputusan oleh
pihak yang berwenang yang terjadi dalam Tata Administrasi Negara dan Tata Laksana
Pemerintahan. Dengan kewenangan yang ada padanya maka keputusan yang diambil
merupakan keputusan yang otoritatif, yaitu keputusan yang mengikat dan harus ditaati oleh
semua pihak. Keputusan yang diambil oleh pihak yang berwenang didasarkan pada masukan
(input) yang berasal dari Tata Kehidupan Masyarakat berupa keinginan atau aspirasi yang
menggambarkan kepentingan rakyat. Aspirasi rakyat tersebut dapat datang dari rakyat secara
individual, melalui partai politik, kelompok-kelompok kepentingan (organisasi massa), media
massa dan sebagainya. Aspirasi yang berasal dari masyarakat diproses sehingga
menghasilkan keluaran (output) berupa kebijakan pemerintah yang otoritatif, termasuk dalam
pengertian ini adalah berbagai macam peraturan yang berlaku. Dengan demikian keluaran dari
Simenas merupakan tanggapan pemerintah terhadap berbagai tuntutan atau aspirasi
masyarakat yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Selanjutnya dalam Simenas terjadi
mekanisme umpan balik yang menghubungkan output dengan input. Artinya bahwa output dari
Simenas itu akan dinilai oleh masyarakat apakah hal itu telah sesuai dengan aspirasi atau
tuntutan masyarakat. Apabila output sesuai dengan aspirasi masyarakat maka dukungan
masyarakat kepada pemerintah sebagai penentu kebijakan akan menguat, demikian pula
sebaliknya.
Simenas menjalankan beberapa fungsi yang secara garis besar dapat dikelompokkan
menjadi input, fungsi pengambilan keputusan, dan fungsi output. Fungsi input meliputi
sosialisasi politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan dan seleksi kepemimpinan.
Fungsi pengambilan keputusan meliputi fungsi perencanaan, pengendalian, dan penilaian.

POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL 153


Sedangkan fungsi output meliputi fungsi pembuatan aturan (rule making), penerapan aturan
(rule application), dan fungsi penghakiman atau penyelesaian perselisihan (rule adjudication).

E. Kebijakan Publik
1. Hubungan Dasar Polstranas dengan Kebijakan Publik
Polstranas adalah politik dan strategi nasional yang membahas tentang pembangunan
nasional dalam mencapai tujuan nasional ini dimiliki oleh setiap negara yang merdeka dan
berdaulat sehingga lebih mudah dan terarah dalam mencapai tujuan nasional yang sudah
direncanakan.
Polstranas atau politik dan strategi nasional juga adalah asas, haluan, usaha dan
kebijaksanaan negara tentang pembinaan (perencanaan, pengembangan, pemeliharan, dan
pengendalian) serta penggunaan nasional untuk mencapai tujuan nasional. Dengan demikian,
Polstranas memiliki hubungan yang erat dengan pembangunan nasional karena dapat
menentukan prioritas dan pemerataan pembangunan yang damai, aman, adil, dan demokrasi.
Penentuan-penentuan prioritas itulah diwujudkan dalam bentuk kebijakan publik yang meliputi
keputusan-keputusan pemerintah dalam mengatasi suatu masalah yang menjadi perhatian
publik.
Pembangunan nasional merupakan usaha negara dalam meningkatkan kualitas
manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya dengan memanfaatkan
perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang ada. Contonya, dalam mencapai tujuan
nasional bangsa Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea
ke-4 maka berbagai kebijakan dan peraturan dibuat agar dapat mencapai tujuan tersebut
dengan memanfaatkan teknologi se-efektif mungkin.
Dengan demikian, pada saat ini arah pembangunan dan kebijakan-kebijakan publik yang
dilakukan pemerintah lebih bersifat transparansi dan mudah untuk disalurkan kepada
masyarakat lewat berbagai media informasi yang mudah diakses. Mayarakat dalam era ini juga
bebas mengemukakan pendapat yang membangun dan mengritik pemerintah jika kebijakan
publik yang diambil memiliki dampak negatif bagi masyarakat. Hal, ini membawa dampak positif
seperti arah pembangunan nasional yang dilakukan pemerintah akan berjalan lebih bijak dan
terarah tanpa mengorbankan atau terlalu banyak merugikan masyrakatnya.
Namun ternyata disis lain dengan bebasnya masyarakat untuk berpendapat terkait
dengan kebijakan publik yang ditetapkan oleh pemerintah, membawa problem tersendiri.
Contohnya, dengan banyak pendapat dari berbagai lapisan masyarakat membuat pemerintah

POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL 154


mengalami kesulitan untuk mengambil keputusan atau kebijakan yang tepat dalam arah
pembangunan nasional untuk mencapai tujuan nasional.
Pada era ini, arah pembangunan nasional mengalami peningkatan kualitas seperti yang
kita lihat mulai adanya pembangunan yang merata walaupun belum semua tempat di Indonesia
dijangkau. Namun dalam hal-hal kecil ini dapat membuat pembangunan yang mencakup
pemerataan, keadilan, pemeliharan, dan pengendalian pembangunan nasional ke arah yang
lebih baik tentunya melalui pengambilan kebijakan yang tepat dan efektif.

2. Pengertian Kebijakan
Sebelum dibahas lebih jauh mengenai konsep kebijakan publik, kita perlu mengakaji
terlebih dahulu mengenai konsep kebijakan atau dalam bahasa inggris sering kita dengar
dengan istilah policy. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebijakan diartikan sebagai
rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan
suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi, dsb);
pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip dan garis pedoman untuk manajemen dalam usaha
mencapai sasaran.
Carl J Federick sebagaimana dikutip Leo Agustino (2008: 7) mendefinisikan kebijakan
sebagai serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah
dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan
kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijaksanaan tersebut dalam rangka
mencapai tujuan tertentu. Pendapat ini juga menunjukan bahwa ide kebijakan melibatkan
perilaku yang memiliki maksud dan tujuan merupakan bagian yang penting dari definisi
kebijakan, karena bagaimanapun kebijakan harus menunjukan apa yang sesungguhnya
dikerjakan daripada apa yang diusulkan dalam beberapa kegiatan pada suatu masalah.
Menurut Budi Winarno (2007: 15), istilah kebijakan (policy term) mungkin digunakan
secara luas seperti pada “kebijakan luar negeri Indonesia”, “kebijakan ekonomi Jepang”, dan
atau mungkin juga dipakai untuk menjadi sesuatu yang lebih khusus, seperti misalnya jika kita
mengatakan kebijakan pemerintah tentang debirokartisasi dan deregulasi. Namun baik Solihin
Abdul Wahab maupun Budi Winarno sepakat bahwa istilah kebijakan ini penggunaanya sering
dipertukarkan dengan istilah lain seperti tujuan (goals) program, keputusan, undang-undang,
ketentuan ketentuan, standar, proposal dan grand design (Suharno, 2009: 11).
Irfan Islamy sebagaimana dikutip Suandi (2010: 12) kebijakan harus dibedakan dengan
kebijaksanaan. Policy diterjemahkan dengan kebijakan yang berbeda artinya dengan wisdom
yang artinya kebijaksanaan. Pengertian kebijaksanaan memerlukan pertimbangan

POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL 155


pertimbangan lebih jauh lagi, sedangkan kebijakan mencakup aturan aturan yang ada
didalamnya. James E Anderson sebagaimana dikutip Islamy (2009: 17) mengungkapkan bahwa
kebijakan adalah “a purposive course of action followed by an actor or set of actors in dealing
with a problem or matter of concern” (Serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu
yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan
suatu masalah tertentu).
Konsep kebijakan yang ditawarkan oleh Anderson ini menurut Budi Winarno (2007: 18)
dianggap lebih tepat karena memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan dan
bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan. Selain itu konsep ini juga membedakan
secara tegas antara kebijakan (policy) dengan keputusan (decision) yang mengandung arti
pemilihan diantara berbagai alternatif yang ada.
Richard Rose sebagaimana dikutip Budi Winarno (2007: 17) juga menyarankan bahwa
kebijakan hendaknya dipahami sebagai serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan
beserta konsekuensi konsekuensi bagi mereka yang bersangkutan daripada sebagai keputusan
yang berdiri sendiri. Pendapat kedua ahli tersebut setidaknya dapat menjelaskan bahwa
mempertukarkan istilah kebijakan dengan keputusan adalah keliru, karena pada dasarnya
kebijakan dipahami sebagai arah atau pola kegiatan dan bukan sekadar suatu keputusan untuk
melakukan sesuatu.
Berdasarkan pendapat berbagai ahli tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa
kebijakan adalah tindakan-tindakan atau kegiatan yang sengaja dilakukan atau tidak dilakukan
oleh seseorang, suatu kelompok atau pemerintah yang di dalamnya terdapat unsur keputusan
berupa upaya pemilihan diantara berbagai alternatif yang ada guna mencapai maksud dan
tujuan tertentu.

3. Kebijakan Publik
a. Pengertian Kebijakan Publik
Kebijakan publik merupakan suatu ilmu multidisipliner karena melibatkan banyak disiplin
ilmu seperti ilmu politik, sosial, ekonomi, dan psikologi. Studi kebijakan berkembang pada awal
1970-an terutama melalui tulisan Harold D. Laswell. Definisi dari kebijakan publik yang paling
awal dikemukakan oleh Harold Laswell dan Abraham Kaplan dalam Howlett dan Ramesh
(1995:2) yang mendefinisikan kebijakan publik/public policy sebagai “suatu program yang
diproyeksikan dengan tujuan-tujuan, nilai-nilai, dan praktik-praktik tertentu (a projected of goals,
values, and practices)”.

POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL 156


Senada dengan definisi ini, George C. Edwards III dan Ira Sharkansky dalam Suwitri
(2008: 10) mendefinisikan kebijakan publik sebagai “suatu tindakan pemerintah yang berupa
program-program pemerintah untuk pencapaian sasaran atau tujuan”. Dari dua definisi di atas
kita bisa melihat bahwa kebijakan publik memiliki kata kunci “tujuan”, “nilai-nilai”, dan “praktik”.
Menurut Thomas R. Dye dalam Howlett dan Ramesh (2005:2), kebijakan publik adalah
adalah “segala yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan perbedaan yang
dihasilkannya (what government did, why they do it, and what differences it makes)”. Dalam
pemahaman bahwa “keputusan” termasuk juga ketika pemerintah memutuskan untuk “tidak
memutuskan” atau memutuskan untuk “tidak mengurus” suatu isu, maka pemahaman ini juga
merujuk pada definisi Thomas R. Dye dalam Tilaar dan Nugroho (2008:185) yang menyatakan
bahwa kebijakan publik merupakan “segala sesuatu yang dikerjakan dan tidak dikerjakan oleh
pemerintah”.
Menurut James A. Anderson dalam Subarsono (2005: 2), kebijakan publik merupakan
“kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah”. Senada dengan Laswell
dan Kaplan, David Easton dalam Subarsono (2005:2) mendefinisikan kebijakan publik sebagai
“pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat”, karena setiap kebijakan mengandung
seperangkat nilai di dalamnya.
Dari beberapa definisi ini dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik juga menyentuh
nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Suwitri (2008: 13) mencontohkan bahwa pergeseran
nilai-nilai masyarakat dapat mengakibatkan pergeseran kebijakan publik seperti dicontohkan
tatanan masyarakat yang sangat terbuka akan nilai-nilai baru membuat beberapa negara
melegalkan perkawinan sesama jenis. Sebaliknya negara juga dapat mengkampanyekan atau
bahkan memaksakan suatu nilai kepada masyarakat, seperti dicontohkan program KB yang
mula-mula ditentang sebagian kalangan masyarakat pada akhirnya dapat diterima oleh
masyarakat setelah pemerintah membuat kebijakan tentang KB, memberi penyuluhan,
menyediakan sarana dan prasarana dan merangkul pemuka-pemuka agama untuk mendukung
program tersebut.
Berdasarkan definisi-definisi kebijakan publik yang dipaparkan di atas, maka kebijakan
publik memiliki konsep-konsep sebagai berikut:
1) Kebijakan publik berisi tujuan, nilai-nilai, dan praktik/pelaksanaannya.
2) Kebijakan publik tersebut dibuat oleh badan pemerintah, bukan organisasi swasta.
3) Kebijakan publik tersebut menyangkut pilihan yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh
pemerintah.

POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL 157


Dari poin-poin di atas maka kita bisa menarik benang merah dari definisi kebijakan
publik dalam Lampiran 1 Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
PER/04/M.PAN/4/2007 tentang Pedoman Umum Formulasi, Implementasi, Evaluasi Kinerja,
dan Revisi Kebijakan Publik di Lingkungan Lembaga Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam
Peraturan Menteri ini, kebijakanpublik adalah “keputusan yang dibuat oleh pemerintah atau
lembaga pemerintahan untuk mengatasi permasalahan tertentu, untuk melakukan kegiatan
tertentu atau untuk mencapai tujuan tertentu yang berkenaan dengan kepentingan dan manfaat
orang banyak”.
Kebijakan dapat pula dipandang sebagai sistem. Bila kebijakan dipandang sebagai
sebuah sistem, maka kebijakan memiliki elemen-elemen pembentuknya. Menurut Thomas R.
Dye dalam Dunn (2000: 110) terdapat tiga elemen kebijakan yang membentuk sistem
kebijakan. Dye menggambarkan ketiga elemen kebijakan tersebut sebagai kebijakan
publik/public policy, pelaku kebijakan/policy stakeholders, dan lingkungan kebijakan/policy
environment.

Pelaku

Lingkungan Kebijakan

Gambar 1. Tiga Elemen Sistem Kebijakan


Sumber: Thomas R. Dye dalam Dunn (2000:110)

Ketiga elemen ini saling memiliki andil, dan saling mempengaruhi. Sebagai contoh,
pelaku kebijakan dapat mempunyai andil dalam kebijakan, namun mereka juga dapat pula
dipengaruhi oleh keputusan pemerintah. Lingkungan kebijakan juga mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh pembuat kebijakan dan kebijakan publik itu sendiri. Dunn (2000: 111)
menyatakan, “Oleh karena itu, sistem kebijakan berisi proses yang dialektis, yang berarti bahwa
dimensi obyektif dan subyektif dari pembuat kebijakan tidak tepisahkan di dalam prakteknya”.

b. Urgensi Kebijakan Publik


Untuk melakukan studi kebijakan publik merupakan studi yang bermaksud untuk
menggambarkan, menganalisis, dan menjelaskan secara cermat berbagai sebab dan akibat

POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL 158


dari tindakan-tindakan pemerintah. Studi kebijakan publik menurut Thomas R. Dye,
sebagaimana dikutip Sholichin Abdul Wahab (Suharno: 2010: 14) sebagai berikut: “Studi
kebijakan publik mencakup menggambarkan upaya kebijakan publik, penilaian mengenai
dampak dari kekuatankekuatan yang berasal dari lingkungan terhadap isi kebijakan publik,
analisis mengenai akibat berbagai pernyataan kelembagaan dan proses-proses politik terhadap
kebijakan publik; penelitian mendalam mengenai akibat-akibat dari berbagai kebijakan politik
pada masyarakat, baik berupa dampak kebijakan publik pada masyarakat, baik berupa dampak
yang diharapkan (direncanakan) maupun dampak yang tidak diharapkan.”
Sholichin Abdul Wahab sebagaimana dikutip Suharno (2010: 1619) dengan mengikuti
pendapat dari Anderson (1978) dan Dye (1978) menyebutkan beberapa alasan mengapa
kebijakan publik penting atau urgen untuk dipelajari, yaitu:
1) Alasan Ilmiah
Kebijakan publik dipelajari dengan maksud untuk memperoleh pengetahuan yang luas
tentang asal-muasalnya, proses perkembangannya, dan konsekuensi-konsekuensinya bagi
masyarakat. Dalam hal ini kebijakan dapat dipandang sebagai variabel terikat (dependent
variable) maupun sebagai variabel independen (independent variable). Kebijakan
dipandang sebagai variabel terikat, maka perhatian akan tertuju pada faktor-faktor politik
dan lingkungan yang membantu menentukan substansi kebijakan atau diduga
mempengaruhi isi kebijakan piblik. Kebijakan dipandang sebagai variabel independen jika
focus perhatian tertuju pada dampak kebijakan tertuju pada sistem politik dan lingkungan
yang berpengaruh terhadapo kebijakan publik.
2) Alasan Profesional
Studi kebijakan publik dimaksudkan sebagai upaya untuk menetapkan pengetahuan ilmiah
dibidang kebijakan publik guna memecahkan masalah-masalah sosial sehari-hari.
3) Alasan Politik
Mempelajari kebijakan publik pada dasarnya dimaksudkan agar pemerintah dapat
menempuh kebijakan yang tepat guna mencapai tujuan yang tepat pula.

c. Tahapan-tahapan Kebijakan Publik


Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks karena
melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu beberapa ahli
politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik membagi proses-proses
penyusunan kebijakan publik kedalam beberapa tahap. Tujuan pembagian seperti ini adalah
untuk memudahkan kita dalam mengkaji kebijakan publik. Namun demikian, beberapa ahli

POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL 159


mungkin membagi tahap-tahap ini dengan urutan yang berbeda. Tahap-tahap kebijakan publik
menurut William Dunn sebagaimana dikutip Budi Winarno (2007: 32-34 adalah sebagai berikut:
1) Tahap Penyusunan Agenda
Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik.
Sebelumnya masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk dalam agenda
kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan para perumus
kabijakan. Pada tahap ini mungkin suatu masalah tidak disentuh sama sekali, sementara
masalah yang lain ditetapkan menjadi fokus pembahasan, atau ada pula masalah karena
alasan-alasan tertentu ditunda untuk waktu yang lama.
2) Tahap Formulasi Kebijakan
Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para
pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan
masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan
kebijakan (policy alternatives/policy options) yang ada. Dalam perumusan kebijakan
masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk
memecahkan masalah. Dalam tahap ini masing-masing actor akan bersaing dan berusaha
untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.
3) Tahap Adopsi Kebijakan
Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus
kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan
dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau putusan
peradilan.
4) Tahap Implementasi Kebijakan
Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit jika program
tersebut tidak diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi
maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil
dilaksanakan oleh unit-unit administrasikan yang memobilisasikan sumber daya finansial
dan manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing.
Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana (implementors),
namun beberapa yang lain munkin akan ditentang oleh para pelaksana.
5) Tahap evaluasi kebijakan
Dalam tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi, unuk
melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan, yaitu
memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu ditentukan ukuran-

POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL 160


ukuran atau kriteria-kriteria yamh menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik
yang telah dilaksanakan sudah mencapai dampak atau tujuan yang diinginkan atau belum.
Secara singkat, tahap-tahap kebijakan adalah seperti gambar dibawah ini;

Penyusunan Kebijakan Formulasi Kebijakan Adopsi Kebijakan

Evaluasi Kebijakan Implementasi Kebijakan

Gambar 2. Tahap-tahap Kebijakan Publik


Sumber: William Dunn sebagaimana dikutip Budi Winarno (2007: 32-34)

Keberhasilan implementasi kebijakan membutuhkan keterlibatan stakeholders secara


demokratis dan partisipatif. Stakeholders dan pembuat kebijakan harus terus menerus terlibat
dalam dialog untuk menganalisis konsekuensi dari pelaksanaan kebijakan tersebut. Oleh
karena itu, evaluasi pelaksanaan kebijakan perlu dilakukan untuk melihat akuntabilitas dan
peningkatan kinerja suatu kebijakan publik. Model Helmut Wollman menguraikan evaluasi
pelaksanaan kebijakan pada tiga tipe utama, yaitu: Evaluasi pada tahan perencanaan (ex-ante
evaluation), Evaluasi pada tahap pelaksanaan (on-going evaluation), dan Evaluasi pada tahap
pasca pelaksanaan (ex-post evaluation) (Lintjewas, Tulusan, & Egetan, 2016).

d. Kerangka Kerja Kebijakan Publik


Menurut Suharno (2010: 31) kerangka kebijakan publik akan ditentukan oleh beberapa
variabel dibawah ini, yaitu:
1) Tujuan yang akan dicapai, hal ini mencakup kompleksitas tujuan yang akan dicapai.
Apabila tujuan kebijakan semakin kompleks, maka semakin sulit mencapai kinerja
kebijakan. Sebaliknya, apabila tujuan kebijakan semakin sederhana, maka untuk
mencapainya juga semakin mudah.
2) Prefensi nilai seperti apa yang perlu dipertimbangkan. Suatu kebijakan yang mengandung
berbagai variasi nilai akan jauh lebih sulit untuk dicapai dibanding dengan suatu kebijakan
yang hanya mengejar satu nilai.

POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL 161


3) Sumber daya yang mendukung kebijakan. Kinerja suatu kebijakan akan ditentukan oleh
sumber daya finansial, material, dan infrastruktur lainnya.
4) Kemampuan aktor yang terlibat dalam pembuatan kebijakan. Kualitas dari suatu kebijakan
akan dipengaruhi oleh kualitas aktor kebijakan yang terlibat dalam proses penetapan
kebijakan. Kualitas tersebut ditentukan oleh tingkat pendidikan, kompetensi dalam
bidangnya, pengalaman kerja dan integritas moralnya.
5) Lingkungan yang mencakup lingkungan sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya. Kinerja
dari suatu kebijakan akan dipengaruhi oleh konteks sosial, ekonomi, maupun politik tempat
kebijakan tersebut diimplementasikan.
6) Strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan. Strategi yang digunakan untuk
mengimplementasikan suatu kebijakan akan mempengaruhi kinerja suatu kebijakan.
Stretegi yang digunakan dapat bersifat top/down approach atau bottom approach, otoriter
atau demokratis (Suharno: 2010: 31).

e. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembuatan kebijakan


Menurut Suharno (2010: 52) proses pembuatan kebijakan merupakan pekerjaan yang
rumit dan kompleks dan tidak semudah yang dibayangkan. Walaupun demikian, para
adsministrator sebuah organisasi institusi atau lembaga dituntut memiliki tanggung jawab dan
kemauan, serta kemampuan atau keahlian, sehingga dapat membuat kebijakan dengan resiko
yang diharapkan (intended risks) maupun yang tidak diharapkan (unintended risks).
Pembuatan kebijakan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Hal penting yang turut
diwaspadai dan selanjutnya dapat diantisipasi adalah dalam pembuatan kebijakan sering terjadi
kesalahan umum. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan kebijakan adalah:
1) Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar
Tidak jarang pembuat kebijakan harus memenuhi tuntutan dari luar atau membuat kebijakan
adanya tekanan-tekanan dari luar.
2) Adanya pengaruh kebiasaan lama
Kebiasaan lama organisasi yang sebagaimana dikutip oleh Nigro disebutkan dengan istilah
sunk cost, seperti kebiasaan investasi modal yang hingga saat ini belum professional dan
terkadang amat birikratik, cenderung akan diikuti kebiasaan itu oleh para administrator,
meskipun keputusan/kebijakan yang berkaitan dengan hak tersebut dikritik, karena sebagai
suatu yang salah dan perlu diubah. Kebiasaan lama tersebut sering secara terus-menerus
pantas untuk diikuti, terlebih kalau suatu kebijakan yang telah ada tersebut dipandang
memuaskan.

POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL 162


3) Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi
Berbagai keputusan/kabijakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan/kebijakan banyak
dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya. Sifat pribadi merupakan faktor yang berperan besar
dalam penentuan keputusan/kebijakan.
4) Adanya pengaruh dari kelompok luar
Lingkungan sosial dari para pembuat keputusan/kebijakan juga berperan besar.
5) Adanya pengaruh keadaan masa lalu
Maksud dari faktor ini adalah bahwa pengalaman latihan dan pengalaman sejarah pekerjaan
yang terdahulu berpengaruh pada pembuatan kebijakan/keputusan. Misalnya,orang
mengkhawatirkan pelimpahan wewenang yang dimilikinya kepada orang lain karena khawatir
disalahgunakan (Suharno: 2010: 52-53).

f. Ciri-ciri Kebijakan Publik


Menurut Suharno (2010: 22-24), ciri-ciri khusus yang melekat pada kebijakan publik
bersumber pada kenyataan bahwa kebijakan itu dirumuskan. Ciri-ciri kebijakan publik antara
lain:
1) Kebijakan publik lebih merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan daripada sebagai
perilaku atau tindakan yang serba acak dan kebetulan. Kebijakan-kebijakan publik dalam
system politik modern merupakan suatu tindakan yang direncanakan.
2) Kebijakan pada hakekatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkait dan berpola
yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan
bukan merupakan keputusan yang berdiri sendiri. Kebijakan tidak cukup mencakup
keputusan untuk membuat undang-undang dalam bidang tertentu, melainkan diikuti pula
dengan keputusan-keputusan yang bersangkut paut dengan implementasi dan pemaksaan
pemberlakuan.
3) Kebijakan bersangkut paut dengan apa yang senyatanya dilakukan pemerintah dalam
bidang tertentu.
4) Kebijakan publik mungkin berbentuk positif, munkin pula negatif, kemungkinan meliputi
keputusan-keputusan pejabat pemerintah untuk tidak bertindak atau tidak melakukan
tindakan apapun dalam masalah-masalah dimana justru campur tangan pemerintah
diperlukan.

POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL 163


g. Jenis-jenis Kebijakan Publik
Banyak pakar yang mengajukan jenis kebijakan publik berdasarkan sudut pandang
masing-masing. Sholichin Abdul Wahab sebagaimana dikutip Suharno (2010: 25-27)
mengisyaratkan bahwa pemahaman yang lebih baik terhadap hakikat kebijakan publik sebagai
tindakan yang mengarah pada tujuan, ketika kita dapat memerinci kebijakan tersebut kedalam
beberapa kategori, yaitu:
1) Tuntutan kebijakan (policy demands)
Yaitu tuntutan atau desakan yang diajukan pada pejabat-pejabat pemerintah yang dilakukan
oleh actor-aktor lain, baik swasta maupun kalangan pemerintah sendiri dalam sistem politik
untuk melakukan tindakan tertentu atau sebaliknya untuk tidak melakukan tindakan pada
suatu masalah tertentu. Tuntutan ini dapat bervariasi, mulai dari desakan umum, agar
pemerintah berbuat sesuatu hingga usulan untuk mengambil tindakan konkret tertentu
terhadap suatu masalah yang terjadi di dalam masyarakat.
2) Keputusan kebijakan (policy decisions)
Adalah keputusan yang dibuat oleh para pejabat pemerintah yang dimaksudkan untuk
memberikan arah terhadap pelaksanaan kebijakan publik. Dalam hal ini, termasuk
didalamnya keputusan-keputusan untuk menciptakan statuta (ketentuan-ketentuan dasar),
ketetapan-ketetapan, ataupun membuat penafsiran terhadap undang-undang.
3) Pernyataan kebijakan (policy statements)
Ialah pernyataan resmi atau penjelasan mengenai kebijakan publik tertentu. Misalnya;
ketetapan MPR, Keputusan Presiden atau Dekrit Presiden, keputusan peradialn, pernyataan
ataupun pidato pejabat pemerintah yang menunjukkan hasrat, tujuan pemerintah, dan apa
yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan tersebut.
4) Keluaran kebijakan (policy outputs)
Merupakan wujud dari kebijakan publik yang paling dapat dilihat dan dirasakan, karena
menyangkut hal-hal yang senyatanya dilakukan guna merealisasikan apa yang telah
digariskan dalam keputusan dan pernyataan kebijakan. Secara singkat keluaran kebijakan ini
menyangkut apa yang ingin dikerjakan oleh pemerintah.
5) Hasil akhir kebijakan (policy outcomes)
Adalah akibat-akibat atau dampak yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat, baik yang
diharapkan atau yang tidak diharapkan sebagai konsekuensi dari adanya tindakan atau tidak
adanya tindakan pemerintah dalam bidang-bidang atau masalah-masalah tertentu yang ada
dalam masyarakat.

POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL 164


William N. Dunn (2000: 21) membedakan tipe-tipe kebijakan menjadi lima bagian, yaitu:
1) Masalah kebijakan (policy public)
Adalah nilai, kebutuhan dan kesempatan yang belum terpuaskan, tetapi dapat diidentifikasi
dan dicapai melalui tindakan public. Pengetahuan apa yang hendak dipecahkan
membutuhkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang mendahului adanya problem
maupun informasi mengenai nilai yang pencapaiannya menuntut pemecahan masalah.
2) Alternative kebijakan (policy alternatives)
Yaitu arah tindakan yang secara potensial tersedia yang dapat memberi sumbangan kepada
pencapaian nilai dan pemecahan masalah kebijakan. Informasi mengenai kondisi yang
menimbulkan masalah pada dasarnya juga mengandung identifikasi terhadap kemungkinan
pemecahannya.
3) Tindakan kebijakan (policy actions)
Adalah suatu gerakan atau serangkaian gerakan sesuai dengan alternatif kebijakan yang
dipilih, yang dilakukan untuk mencapai tujuan bernilai.
4) Hasil kebijakan (policy outcomes)
Adalah akibat-akibat yang terjadi dari serangkaian tindakan kebijakan yang telah
dilaksanakan. Hasil dari setiap tindakan tidak sepenuhnya stabil atau diketahui sebelum
tindakan dilakukan, juga tidak semua dari hasil tersebut terjadi seperti yang diharapkan atau
dapat diduga sebelumnya.
5) Hasil guna kebijakan
Adalah tingkat seberapa jauh hasil kebijakan memberiakn sumbangan pada pencapaian
nilai. Pada kenyataanya jarang ada problem yang dapat dipecahkan secara tuntas,
umumnya pemecahan terhadap suatu problem dapat menumbuhkan problem sehingga perlu
pemecahan kembali atau perumusan kembali.
Jika dilihat secara tradisional para ilmuwan politik umumnya membagi: 1) kebijakan
substantif (misalnya kebijakan perburuhan, kesejahteraan sosial, hak-hak sipil, masalah luar
negeri); 2) kelembagaan (misalnya: kebijakan legislatif, kebijakan eksekutif, kebijakan yudikatif,
kebijakan departemen); 3) kebijakan menurut kurun waktu tertentu (misalnya kebijakan masa
reformasi, kebijakan masa orde baru).

h. Aspek yang Mempengaruhi Kebijakan Publik


Menurut Edwards III, pelaksanaan kebijakan dapat diartikan sebagai bagian dari
tahapan proses kebijaksanaan, yang posisinya berada diantara tahapan penyusunan
kebijaksanaan dan konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh kebijaksanaan tersebut

POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL 165


(output, outcome). Lebih lanjut, Edward III mengidentifikasikan aspek-aspek yang diduga kuat
berkontribusi pada pelaksanaan kebijakan, yaitu: komunikasi, sumberdaya, disposisi atau sikap
pelaksana, dan struktur birokrasi. Keempat aspek mempengaruhi pelaksanaan kebijakan, baik
secara langsung maupun tidak secara langsung, dan masing-masing aspek saling berpengaruh
terhadap aspek lainnya (Wahyudi, 2016).
1) Kewenangan/ Struktur Birokrasi Kewenangan merupakan otoritas/ legitimasi bagi para
pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik (Afandi & Warjio,
2015). Kewenangan ini berkaitan dengan struktur birokrasi yang melekat pada posisi/ strata
kelembagaan atau individu sebagai pelaksana kebijakan. Karakteristik utama dari birokrasi
umumnya tertuang dalam prosedur kerja atau Standard Operating Procedures (SOP) dan
fragmentasi organisasi.
2) Komunikasi. Komunikasi adalah aktivitas yang mengakibatkan orang lain
menginterprestasikan suatu ide/ gagasan, terutama yang dimaksudkan oleh pembicara atau
penulis melalui sesuatu sistem yang biasa (lazim) baik dengan simbol-simbol, signal-signal,
maupun perilaku (Wardhani, Hasiolan, & Minarsih, 2016). Komunikasi mempengaruhi
pelaksanaan kebijakan publik, dimana komunikasi yang tidak baik dapat menimbulkan
dampak-dampak buruk bagi pelaksanaan kebijakan. Dimensi komunikasi yang dapat
mempengaruhi pelaksanaan kebijakan publik diantaranya: transmisi, konsistensi, dan
kejelasan (Winarno, 2012). Pencapaian keberhasilan pelaksanaan kebijakan publik
mensyaratkan pelaksana untuk mengetahui yang harus dilakukan secara jelas; tujuan dan
sasaran kebijakan harus diinformasikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga
dapat mengurangi kesenjangan antara rencana dan pelaksanaan kebijakan. Apabila
penyampaian informasi tentang tujuan dan sasaran suatu kebijakan kepada kelompok
sasaran tidak jelas, dimungkinkan terjadi resistensi dari kelompok sasaran (Afandi & Warjio,
2015). Kemampuan komunikasi diarahkan agar pelaksana kegiatan dapat berunding satu
sama lain dan menemukan titik kesepahaman/ konsensus yang saling menguntungkan.
Konsensus yang terbagun dapat meningkatkan kinerja personal dalam bekerja dengan
menemukan kondisi win-win solution pada setiap permasalahan (Ramdhani & Suryadi,
2005).
3) Sumberdaya Pelaksanaan kebijakan harus ditunjang oleh ketersediaan sumberdaya
(manusia, materi, dan metoda). Pelaksanaan kebijakan publik perlu dilakukan secara cermat,
jelas, dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumberdaya yang diperlukan,
maka pelaksanaaan kebijakan akan cenderung tidak dapat dilaksanakan secara efektif.
Tanpa dukungan sumberdaya, kebijakan hanya akan menjadi dokumen yang tidak

POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL 166


diwujudkan untuk memberikan pemecahan masalah yang ada di masyarakat, atau upaya
memberikan pelayanan pada masyarakat. Dengan demikian, sumberdaya merupakan faktor
penting dalam melaksanakan kebijakan publik. Sumberdaya dalam pelaksanaan kebijakan
publik diantaranya: staf yang memadai, informasi, pendanaan, wewenang, dan fasilitas
pendukung lainnya (Afandi & Warjio, 2015).
4) Disposisi atau sikap dari pelaksana Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki
oleh pelaksana kebijakan, seperti komitmen, disiplin, kejujuran, kecerdasan, dan sifat
demokratis (Wahab, 2010). Apabila pelaksana kebijakan memiliki disposisi yang baik, maka
dia diduga kuat akan menjalankan kebijakan dengan baik, sebaliknya apabila pelaksana
kebijakan memiliki sikap atau cara pandang yang berbeda dengan maksud dan arah dari
kebijakan, maka dimungkinkan proses pelaksanaan kebijakan tersebut tidak akan efektif dan
efisien. Disposisi atau sikap para pelaksana akan menimbulkan dukungan atau hambatan
terhadap pelaksanaan kebijakan tergantuk dari kesesuaian kompetensi dan sikap dari
pelaksanan. Karena itu, pemilihan dan penetapan personalia pelaksana kebijakan
dipersyaratkan individu-individu yang memiliki kompetensi dan dedikasi yang tepat pada
kebijakan yang telah ditetapkan (Afandi & Warjio, 2015).

i. Dimensi Pelaksanaan Kebijakan Publik


Berdasarkan beberapa konsep dan sifat tindakan yang berkenaan dengan pelaksanaan
Good Governance, menurut pemahaman penulis maka pelaksanaan kebijakan dapat diukur/
dievaluasi berdasarkan dimensi-dimensi: konsistensi, transparansi, akuntabilitas, keadilan,
efektivitas, dan efisiensi.
1) Konsistensi
Pelaksanaan kebijakan berlangsung dengan baik apabila pelaksanaan kebijakan dilakukan
secara konsisten dengan berpegang teguh pada prosedur dan norma yang berlaku
(Mutiasari, Yamin, & Alam, 2016).
2) Transparansi
Transparansi merupakan kebebasan akses atas informasi yang patut diketahui oleh publik
dan/ atau pihak-pihak yang berkepentingan (Coryanata, 2012). Informasi yang berkenaan
dengan pelaksanaan kebijakan publik perlu dilakukan bersifat terbuka, mudah, dan dapat
diakses oleh semua pihak yang memerlukan, dan disediakan secara memadai, serta mudah
dimengerti (Rohman, 2016).

POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL 167


3) Akuntabilitas
Setiap aktivitas pelaksanaan kebijakan publik harus dapat dipertanggungjawabkan baik
secara administratif maupun substantif, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan (Rohman, 2016).
4) Keadilan
Keadilan secara umum dapat dipahami sebagai kebaikan, kebajikan, dan kebenaran, yang
mengikat antara anggota masyarakat dalam mewujudkan keserasian antara penggunaan
hak dan pelaksanaan kewajiban (Nasution, 2016). Keadilan dalam kebijakan publik
diwujudkan pada aktivitas pelayanan yang tidak diskriminatif. Pelaksanaan kebijakan publik
tidak membedakan kualitas pelayanan pada kelompok sasaran berdasarkan pertimbangan
suku, ras, agama, golongan, status sosial, dan lain-lain (Rohman, 2016).
5) Partisipatif
Partisipasi masyarakat adalah keterlibatan dan peran serta masyarakat dalam pelaksanaan
kebijakan. Partisipasi masyarakat disamping menopang percetapan pelaksanaan kebijakan,
pada sisi lain akan berdampak pada proses evaluasi/ kontrol atas kinerja pemerintah dan
dapat mampu menimalisir penyalahgunaan wewenang. Partisipasi masyarakat merupakan
kunci sukses dari pelaksanaan kebijakan publik karena dalam partisipasi menyangkut aspek
pengawasan dan aspirasi. Pengawasan yang dimaksud di sini termasuk pengawasan
terhadap pihak eksekutif melalui pihak legislatif (Coryanata, 2012). Berdasarkan uraian
tersebut, pelaksanaan kebijakan sebaiknya bersifat partisipatif, yaitu pelaksanaan kebijakan
yang dapat mendorong peran serta masyarakat dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan,
kepentingan, dan harapan masyarakat (Rohman, 2016)
6) Efektivitas
Efektifitas berkenaan dengan pencapaian hasil yang telah ditetapkan, atau pencapaian
tujuan dari dilaksanakannya tindakan, yang berhubungan dengan aspek rasionalitas teknis,
dan selalu diukur dari unit produk atau layanan (Dunn, 2003). Dalam pelaksanaan kebijakan
publik, efektifitas diukur dari keberhasilan pencapaian tujuan dan sasaran yang telah
ditetapkan pada kebijakan publik.
7) Efisiensi
Efisiensi berkenaan dengan jumlah penggunaan sumberdaya yang dibutuhkan untuk
menghasilkan tingkat efektivitas tertentu. Efisiensi merupakan hubungan antara efektivitas
dan penggunaan sumberdaya (Dunn, 2003). Indikator ukuran yang dapat digunakan pada
dimensi efisiensi adalah penggunaan sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan

POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL 168


yang ditetapkan, yang bisa diukur dengan tingkat pengunaan waktu, biaya, manusia,
peralatan, dan sumber daya lainnya.

j. Aktor-aktor yang Terlibat dalam Proses Kebijakan Publik


Pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan kebijakan adalah:
1) Pemerintah
Pemerintah merupakan abdi masyarakat, maka hendaknya pemerintah dalam mengambil
setiap kebijakan harus memperhatikan kepentingan orang banyak (masyarakat aau rakyat).
Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan kebijakan adalah Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Dinas Pendapatan Daerah (DISPENDA), Dinas Pasar,
Kebersihan dan Pertamanan, Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah (KIMPRASWIL).
2) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
DPRD memiliki peranan yang penting sebagai perwakilan rakyat dalam menyalurkan
aspirasinya. DPRD haruslah tetap menjadi cerminan masyarakat yang diwakilinya dalam
membuat suatu kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan hidup orang banyak (rakyat),
sehingga untuk dapat memenuhi keinginan tersebut DPRD harus melakukan komunikasi
dengan masyarakat guna mencari masukan dalam proses perumusan. Hal ini dimungkinkan
dalam rangka mencari serta menggali apa yang menjadi keinginan masyarakat.
3) Tokoh Masyarakat
Peran serta tokoh masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan sangat diharapkan peran
aktifnya secara tidak langsung karena tokoh masyarakat adalah salah satu tempat
masyarakat untuk menyampaikan segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah yang
dihadapi oleh masyarakat, tokoh masyarakat merupakan orang yang sangat disegani dan
dihormati oleh pemerintah. Tokoh masyarakat yang dimaksud adalah pimpinan atau yang
dituakan di lingkungan Pasar Inpres Bangkinang.
4) Media Massa
Media dapat ikut berperan dalam proses pengambilan suatu bijakan, karena media
mengupas atau mengangkat isu-isu yang sedang hangat dibicarakan oleh masyarakat dan
pemerintahan.
5) Kelompok Kepentingan
Didalam membuat suatu kebijakan pemerintah terkadang harus berhadapan dengan
kekuatan-kekuatan yang tersembunyi, dimana kekuatan-kekuatan tersebut memanfaatkan
keadaan yang tidak tertata dengan baik.kelompok kepentingan tersebut dengan kata lain

POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL 169


adalah kekuatan-kekuatan tersembunyi seperti organisasi masyarakat, preman dan
organisasi informal.

k. Diskresi Pelaksanaan KebijakanPublik


Diskresi merupakan kebebasan bertindak atau mengambil keputusan dari pelaksana
kebijakan publik (para pejabat administrasi negara yang berwenang dan berwajib) menurut
pendapat sendiri (Mustafa, Purnama, & Syahbandir, 2016). Diskresi merupakan pengambilan
keputusan yang dipengaruhi oleh penilaian pribadi, yang tidak terikat dengan hukum yang
berlaku. Diskresi adalah kebebasan yang diberikan kepada pelaksana kebijakan publik dalam
rangka penyelenggaraan kebijakan publik, sesuai dengan meningkatnya tuntutan pelayanan
publik yang harus diberikan negara kepada masyarakat yang semakin kompleks (Pradana,
2016).
Namun demikian, diskresi hanya dapat dilakukan apabila memenuhi indikator-indikator
yang ditetapkan oleh undang-undang yaitu: melancarkan penyelenggaraan pemerintahan,
mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, dan mengatasi stagnasi
pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Ruang
lingkup diskresi meliputi adanya kekuasaan pelaksana kebijakan (pejabat public) untuk
bertindak menurut keputusan dan hati nurani sendiri, karena adanya pilihan keputusan atau
tindakan, peraturan tidak mengatur, peraturan tidak lengkap, ataupun karena adanya stagnasi
pemerintahan. Tindakan tersebut dilakukan atas dasar kekuasaan atau kewewenangan yang
melekat pada dirinya selaku pengambil keputusan (Mustafa, Purnama, & Syahbandir, 2016).
Keputusan diskresi biasanya digunakan dalam peningkatan pelayanan masyarakat.
Umumnya, pelaksana kebijakan dituntut harus dapat memahami dinamika kemasyarakatan
secara personal, terlebih lagi pelaksana kebijakan yang harus mengatasi akibat dari keputusan
yang mereka berikan dalam pelayanan masyarakat. Adanya derajat kebebasan ini, dapat
menyebabkan tidak seragamnya pelayanan yang diperoleh masyarakat pelaksana kebijakan
(Pradana, 2016). Penggunaan diskresi bagi pelaksana kebijakan misalnya pemanfaatan budaya
lokal, penggunaan sumberdaya lokal, atau penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa
pengantar dalam pelaksanaan suatu kebijakan.
Penggunaan diskresi bagi pelaksana kebijakan misalnya pemanfaatan budaya lokal,
penggunaan sumberdaya lokal, atau penggunaan bahasa daerah pada kelompok masyarakat
tertentu sebagai bahasa pengantar dalam pelaksanaan suatu kebijakan. Beberapa diskresi
yang diduga diperkenankan pada pelaksanaan kebijakan pembangunan misalnya dengan
pemilihan prioritas pada pembangunan yang berwawasan lingkungan, mengingat setiap

POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL 170


pembangunan harus memperhatikan aspek keberlanjutan (Farida & Ramdhani, 2014). Diskresi
pada program peningkatan pelayanan publik dapat dilakukan dengan mengimplementasikan
sistem informasi, penggunaan sistem informasi diyakini akan meringankan pekerjaan yang
kompleks menjadi lebih sederhana serta mampu memberikan pelayanan lebih cepat dan tepat
(Ramdhani, Suryadi, & Susantosa, 2006; Tsabit, Ramdhani, & Cahyana, 2012), dan bahkan
dapat menggunakan Sistem Information Geografis (SIG) sebagai pengendalian program
pembangunan berdasarkan pemetaan lokasi untuk memberikan pembangunan yang lebih adil
dan merata (Bustomi, Ramdhani, & Cahyana, 2012).

F. Otonomi Daerah
1. Makna dan Dasar Hukum Otonomi Daerah
Dalam konteks negara Indonesia, negara Indonesia adalah negara kesatuan. Sebagai
negara kesatuan, maka kedaulatan negara adalah tunggal, tidak tersebar pada negara-negara
bagian seperti negara federal atau serikat. Karena itu, pada dasarnya sistem pemerintahan
dalam negara kesatuan adalah sentralisasi atau dekonsentrasi. Artinya pemerintah pusat
memegang kekuasaan penuh. Namun mengingat negara Indonesia sangat luas yang terdiri
atas puluhan ribu pulau besar dan kecil dan penduduknya yang terdiri dari atas beragam suku
bangsa, etnis, golongan dan memeluk agama yang berbeda-beda, sesuai pasal 18, 18A, dan
18B UUD 1945 penyelenggaraan pemerintahan tidak diselenggarakan secara sentralisasi tapi
desentralisasi. Dalam pasal tersebut ditegaskan bahwa pemerintah terdiri atas pemerintah
pusat dan pemerintah daerah yang diatur dengan undang-undang.
Sejalan dengan keharusan membentuk pemerintah daerah dalam sistem administrasi
negara Indonesia, maka sejak proklamasi kemerdekaan hingga sekarang negara Indonesia
telah mengeluarkan Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah : Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965,
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004. Melalui Undang-Undang tersebut Indonesia menyelenggarakan
pemerintahan daerah dalam sistem administrasi pemerintahannya (Nurcholis, 2007: 7).
Otonomi daerah adalah kewenangan otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Sedangkan daerah otonom adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL 171


Otonomi daerah merupakan hal yang sangat penting dalam penyelengaraan kehidupan
nasional, karena dengan otonomi tersebut daerah memiliki kesempatan yang lebih luas untuk
menyusun kebijakan pembangunan yang sesuai dengan situasi dan kondisi daerah, serta
kebutuhan masyarakat daerah. Dengan demikian diharapkan pembangunan di daerah akan
berhasil dengan baik, dan potensi setiap daerah dapat dikembangkan secara maksimal.
Otonomi daerah dapat juga dilihat sebagai bagian dari proses demokratisasi, sebab dengan
otonomi tersebut berarti daerah diberi wewenang yang lebih luas untuk mengambil keputusan
dalam penyelenggaraan pemerintahan, dan tidak harus selalu mengikuti garis kebijakan yang
ditentukan dari pemerintah pusat atau pemerintah di atasnya.
Masalah otonomi daerah sekarang ini diatur dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Ketentuan tersebut menggantikan UU No. 22 tahun 1999 yang mengatur
hal yang sama. Kedua undang-undang tersebut lebih membawakan corak desentralistis, yakni
memberi kekuasaan yang besar kepada daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya
sendiri. Hal itu sangat berbeda dengan UU No. 5 tahun 1974 yang sifatnya sangat sentralistis.
Pemberian otonomi ditekankan pada daerah kabupaten dan kota yang dianggap lebih mengerti
situasi dan kondisi daerah serta kebutuhan masyarakat di daerah.
Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, kewenangan daerah kabupaten atau kota
mencakup kewenangan dalam seluruh bidang bidang pemerintahan, kecuali kewenangan
dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama,
serta kewenangan bidang lain Kewenangan bidang lain itu meliputi kebijakan tentang
perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana
perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara,
pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam
serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional. Kewenangan yang
dikecualikan itu dipegang oleh pemerintah pusat.
Kewenangan propinsi sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang
pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, serta kewenangan bidang tertentu
lainnya. Disamping itu juga kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh daerah
kabupaten atau kota. Mengenai kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah propinsi
sebagai daerah otonom kemudian dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah.
Pemberian otonomi yang lebih luas kepada daerah membawa berbagai konsekuensi,
terutama sekali adalah konsekuensi pembiayaan. Sebab semua urusan pemerintahan yang
telah diserahkan kepada daerah, pelaksanaannya harus dibiayai oleh daerah yang
bersangkutan. Oleh karena itu maka dalam rangka pembiayaan berbagai urusan otonomi,

POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL 172


dikeluarkan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah. Atas dasar undang-undang tersebut, sumber-sumber keuangan yang sebelumnya
masuk ke pemerintah pusat harus dibagi secara proporsional dengan pemerintah daerah.
Otonomi daerah yang luas sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut
diberlakukan mulai tahun 2001. Persoalan yang sangat dirasakan terutama adalah adanya
daerah-daerah tertentu yang potensi kekayaan alamnya sangat terbatas, sehingga mengalami
kesulitan untuk membiayai penyelenggaraan otonomi daerah. Oleh karena itu maka pemberian
otonomi yang luas kepada daerah, disamping merupakan peluang sekaligus juga merupakan
tantangan, yaitu tantangan untuk bisa mandiri dalam membiayai penyelenggaraan urusan
pemerintahan di daerah masing-masing. Mengenai persoalan tersebut kirangan sangat perlu
untuk didiskusikan bersama.

2. Asas-asas Otonomi Daerah


Asas otonomi daerah sebagaimana diatur dalam pasal 1 UU No. 32 tahun 2004 terdiri
dari tiga asas, yaitu: (a) Asas Desentraliasasi; (b) Asas Dekonsentrasi; dan (c) Asas Tugas
Pembantuan.
a. Asas Desentralisasi
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang penyelenggaraan pemerintahan oleh
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini mengandung
pengertian bahwa pada saat urusan pemerintahan diserahkan menjadi urusan otonomi daerah,
maka daerah tersebut bertanggung jawab sepenuhnya atas penyelenggaraan urusan, baik
menyangkut perencanaan, pelaksanaan, pembiayaan, evaluasi, dan pertanggungjawaban.
b. Asas Dekonsentrasi
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat
kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah
tertentu, karena tidak semua urusan pemerintahan negara tidak mungkin seluruhnya
diserahkan menjadi urusan otonomi daerah menurut azas desentralisasi. Oleh karena itu,
pemerintah pusat memberikan pelimpahan wewenang kepada Gubernur sebagai Kepala
Wilayah yang tidak lain merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat.
c. Asas Tugas Pembantuan
Tugas Pembantuan adalah penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah dan/atau
desa, dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa, serta dari dari
pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melakukan tugas tertentu. Tugas pembantuan

POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL 173


merupakan tugas untuk membantu menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam tahap
implementasi kebijakan yang bersifat operasional. Kewenangan yang dapat dilimpahkan melalui
tugas pembantuan adalah kewenangan yang bersifat atributif dan bukan kewenangan yang
bersifat delegatif. Berkenaan dengan pelaksanaan tugas pembantuan, kebijakan, strategi,
pembiayaan, sarana dan prasarana disediakan oleh lembaga yang menugaskannya,
sedangkan kegiatan operasional diserahkan kepada institusi yang mendapatkan penugasan
sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada padanya. Institusi yang mendapatkan penugasan
wajib melaporkan dan mempertanggungjawabkan kepada yang memberikan tugas.
Lebih lanjut dalam pasal 21 UU No. 32 tahun 2004 dijelaskan bahwa dalam
menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahannya, memilih pimpinan daerah, mengelola aparatur daerah, mengelola
kekayaan daerah, memungut pajak daerah dan retribusi daerah, mendapatkan bagi hasil dari
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah, mendapatkan
sumber-sumber pendapatan lain yang syah, dan mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam
Peraturan perundang-undangan.
Selain memiliki hak, daerah juga berkewajiban untuk melindungi masyarakat, menjaga
persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, mengembangkan kehidupan
demokrasi, mewujudkan keadilan dan pemerataan, meningkatkan pelayanan dasar pendidikan,
menyediakan fasilitas kesehatan, menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak,
mengembangkan sistem jaminan sosial, menyusun perencanaan dan tata ruang daerah,
mengembangkan sumber daya produktif di daerah, melestarikan lingkungan hidup, mengelola
adminstrasi kepndudukan, melestarikan nilai sosial budaya, membentuk dan menerapkan
peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya, dan kewajiban lain yang diatur
dalam perundang-undangan.

3. Tujuan Otonomi Daerah


Berdasarkan pembahasan sebelumnya tentang hak dan kewajiban daerah, pemberian
otonomi daerah bertujuan untuk :
a. Meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat.
b. Menumbuhkembangkan kehidupan demokrasi.
c. Mewujudkan keadilan nasional.
d. Pemerataan wilayah daerah.

POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL 174


e. Membentuk hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam
rangka keutuhan NKRI.
f. Mendorong pemberdayaaan masyarakat.
g. Menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat,
mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL 175

Anda mungkin juga menyukai