Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masa nifas berasal dari bahasa latin yaitu puer adalah bayi dan parous adalah
melahirkan yang berarti masa sesudah melahirkan (Saleha, 2008, dalam Mansyur &
Dahlan, 2014). Masa nifas atau masa peurperium adalah masa setelah persalinan selesai
sampai 6 minggu atau 42 hari. Selama masa nifas, organ reproduksi secara perlahan akan
mengalami perubahan seperti keadaan sebelum hamil. Perubahan ini disebut dengan
involusi (Maritalia, 2012).
Masa nifas (puerperium) merupakan masa yang cukup penting bagi tenaga
kesehatan untuk selalu melakukan pemantauan karena penatalaksanaan yang kurang
maksimal dapat menyebabkan angka morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi meningkat.
Jika ditinjau dari penyebab kematian para ibu adalah infeksi yang merupakan penyebab
nomor dua setelah perdarahan (Mansyur & Dahlan, 2014).
Mastitis adalah suatu peradangan payudara, yang dapat disertai atau tidak disertai
infeksi. Penyakit ini biasanya menyertai laktasi sehingga disebut juga mastitis laktasional
atau mastitis puerperalis. Dua penyebab utama mastitis adalah statis ASI dan infeksi.
Organisme yang paling sering ditemukan pada mastitis dan abses payudara adalah
organisme koagulase-positif Staphylococcus aureus dan Staph. albus (WHO, 2000).
Kejadian ini biasanya terjadi 1-3 minggu setelah melahirkan. Bila mastitis berlanjut,
dapat terjadi abses payudara (Nugroho, 2011).
Mastitis dan abses payudara terjadi pada semua populasi dengan atau tanpa
kebiasaan menyusui. Insiden yang dilaporkan bervariasi dan sedikit sampai 33% wanita
menyusui, tetapi biasanya di bawah 10% (WHO, 2000). Mastitis terjadi pada sekitar 10%
ibu menyusui di Amerika (Pillitteri, 2010). Sedangkan di Indonesia hanya 0,001/100.000
angka kesakitan akibat infeksi berupa mastitis (Depkes RI, 2008). Pada primigravida
lebih sering mengalami mastitis (Benson, 2008).
Mastitis dapat terjadi kapan pun selama masih menyusui. Mastitis muncul secara
tiba-tiba. Payudara akan terasa nyeri, ada daerah yang kemerahan atau seluruh payudara
berwarna kemerahan. Gejalanya mencangkup demam, menggigil, lelah, sakit kepala, dan
kadang-kadang mual serta muntah (Simkin, dkk, 2006).

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa yang dimaksud dengan mastitis?
b. Apa etiologi dari atresia mastitis?
c. Apa saja faktor resiko dari mastitis?
d. Apa saja komplikasi dari mastitis?
e. Bagaimana patofisiologi/pathway dari atresia esofagus?
f. Apa saja manifestasi klinis dari mastitis?
g. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari mastitis?
h. Bagaimana penatalaksanaan dari mastitis?
i. Bagaimana pencegahan mastitis?
j. Bagaimana konsep dasar asuhan keperawatan dengan diagnosa medis mastitis?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan
Maternitas II dengan materi Asuhan Keperawatan Ibu Post Natal dengan Infeksi:
Mastitis untuk mengeksplorasi secara lebih dalam tentang asuhan keperawatan
pada klien dengan infeksi mastitis.
1.3.2

Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengertian dari mastitis.
b. Mengetahui etiologi dari mastitis.
c. Mengetahui komplikasi dari mastitis.
d. Mengetahui patofisiologi/pathway dari mastitis.
e. Mengetahui manifestasi klinis dari mastitis.
f. Mengetahui pemerikaan penunjang dari mastitis.
g. Mengetahui penatalaksanaan medis dari mastitis.
h. Mengetahui pencegahan dari mastitis.
i. Mengetahui konsep dasar asuhan keperawatan dengan diagnosa medis
mastitis.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
3

Mastitis adalah suatu peradangan pada payudara yang disebabkan oleh kuman,
terutama Staphylococcus aureus melalui luka pada puting susu, atau melalui peredaran
darah (Norma D. & Dwi S, 2013). Sedangkan menurut Mansyur dan Dahlan (2014)
Mastitis adalah radang pada payudara yang terjadi pada masa nifas 1-3 minggu setelah
persalinan diakibatkan oleh sumbatan saluran ASI yang berkelanjutan. Bila mastitis
berlanjut, dapat terjadi abses payudara (Nugroho, 2011).
Menurut Mulyani (2013) mastitis adalah peradangan pada payudara. Payudara
menjadi merah, bengkak kadangkala diikuti rasa nyeri dan panas, suhu tubuh meningkat.
Di dalam terasa ada masa padat (lump) dan diluarnya kulit menjadi merah. Keadaan ini
disebabkan kurangnya ASI dihisap/dikeluarkan atau penghisapan yang tidak efektif.
Dapat juga karena kebiasaan menekan payudara dengan jari atau karena tekanan
baju/BH.
Mastitis adalah suatu peradangan payudara, yang dapat disertai atau tidak disertai
infeksi. Penyakit ini biasanya menyertai laktasi sehingga disebut juga mastitis laktasional
atau mastitis puerperalis. Dua penyebab utama mastitis adalah statis ASI dan infeksi.
Organisme yang paling sering ditemukan pada mastitis dan abses payudara adalah
organisme koagulase-positif Staphylococcus aureus dan Staph. albus. Mastitis paling
sering terjadi pada minggu kedua dan minggu ketiga pasca-kelahiran dengan sebagian
besar laporan menunjukkan bahwa 74% sampai 95% kasus terjadi dalam 12 minggu
pertama. Namun mastitis juga dapat terjadi pada setiap tahap laktasi, termasuk pada tahun
kedua (WHO, 2000).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa mastitis adalah
radang pada payudara yang disebabkan oleh infeksi Staphylococcus aureus dan Staph.
albus yang masuk melalui luka pada puting susu, atau peredaran darah. Selain itu juga
dapat disebabkan karena statis ASI yaitu sumbatan pada saluran ASI yang dapat
diakibatkan dari penghisapan yang tidak efektif, kebiasaan menekan payudara dengan
jari, atau karena tekanan baju/BH.
2.2 Anatomi Fisiologi Payudara
a. Anatomi

Payudara (mammae, susu) adalah kelenjar yang terletak di bawah kulit, di atas
otot dada. Fungsi dari payudara adalah memproduksi susu untuk nutrisi bayi.
Manusia mempunyai sepasang kelenjar payudara, yang beratnya kurang lebih 200
gram, yang kiri umumnya lebih besar dari kanan. Pada waktu hamil payudara
membesar mencapai 600 gram dan pada waktu menyusui bisa mencapai 800 gram.
Pada payudara terdapat tiga bagian utama, yaitu:
1) Korpus (badan), yaitu bagian yang membesar
Di dalam korpus mammae terdapat alveolus yaotu unit terkecil yang
memproduksi susu. Alveolus terdiri dari beberapa sel aciner, jaringan lemak, sel
plasma, sel otot polos dan pembuluh darah. Lobulus, yaitu kumpulan dari
alveolus. Lobus, yaitu beberapa lobulus yang berkumpul menjadi 15-20 lobus
pada tiap payudara. ASI disalurkan dari alveolus ke dalam saluran kecil
(duktulus), kemudian beberapa duktulus bergabung membentuk saluran yang
lebih besar (duktus laktiferus).
2) Areola, yaitu bagian yang kehitaman di tengah
Letaknya mengelilingi puting susu dan berwarna kegelapan yang
disebabkan oleh penipisan dan penimbunan pigmen pada kulitnya. Perubahan
warna ini tergantung dari corak kulit dan adanya kehamilan. Pada daerah ini akan
didapatkan kelenjar keringat, kelenjar lemak dari montgomery yang membentuk
tuberkel dan akan membesar selama kehamilan. Kelenjar lemak ini akan
5

menghasilkan suatu bahan dan dapat melicinkan kalang payudara selama


menyusui. Di kalang payudara terdapat duktus laktiferus yang merupakan tempat
penampungan air susu. Luasnya kalang payudara bisa 1/3-1/2 dari payudara.
3) Papilla atau puting, yaitu bagian yang menonjol di puncak payudara
Terletak setinggi interkosta IV, tetapi berhubung adanya variasi bentuk dan
ukuran payudara maka letaknya akan bervariasi. Pada tempat ini terdapat lubang
lubang kecil yang merupakan muara dari duktus laktiferus, ujung ujung serat
saraf, pembuluh darah, pembuluh getah bening, serat serat otot polos yang
tersusun secara sirkuler sehingga bila ada kontraksi maka duktus laktiferus akan
memadat dan menyebabkan putting susu ereksi, sedangkan serat-serat otot yang
longitudinal akan menarik kembali putting susu tersebut.
Ada 4 macam bentuk payudara yaitu berbentuk normal/umum,
pendek/datar, panjang dan terbenam (inverted).

b. Fisiologi
Laktasi atau menyusui mempunyai dua pengertian, yaitu produksi ASI
(prolaktin) dan pengeluaran ASI (oksitosin). Pengeluaran ASI merupakan suatu
interaksi yang sangat kompleks antara rangsangan mekanik, saraf, dan bermacammacam hormon.
1) Pembentukan kelenjar payudara dan ASI
Mulai dari bulan ketiga kehamilan, tubuh wanita memproduksi hormon
yang menstimulasi munculnya ASI dalam sistem payudara:
a) Saat bayi menghisap, sejumlah sel saraf di payudara ibu mengirimkan pesan
ke hipotalamus.
b) Ketika menerima pesan itu, hipotalamus melepas rem penahan prolaktin.
c) Untuk mulai menghasilkan ASI, prolaktin.
Progesteron:
Memengaruhi pertumbuhan dan ukuran alveoli. Tingkat
progesteron

dan

estrogen

menurun

sesaat

setelah

melahirkan. Hal ini menstimulasi produksi secara besarEstrogen:

besaran.
Menstimulasi sistem saluran ASI untuk membesar. Tingkat
estrogen menurun saat melahirkan dan tetap rendah untuk
beberapa bulan selama tetap menyusui. Karena itu,
sebaiknya ibu menyusui menghindari KB hormonal
berbasis hormon estrogen, karena dapat mengurangi

Prolaktin:
Oksitosin:

jumlah produksi ASI.


Berperan dalam membesarnya alveoil dalam kehamilan.
Mengencangkan otot halus dalam rahim pada saat
melahirkan dan setelahnya, seperti halnya juga dalam
orgasme.

Setelah

melahirkan,

oksitosin

juga

mengencangkan otot halus di sekitar alveoli untuk


memeras ASI menuju saluran susu. Oksitosin berperan
dalam proses turunnya susu let-down/milk ejection reflex.
Human placental lactogen (HPL):
Sejak bulan kedua kehamilan, plasenta mengeluarkan
banyak HPL, yang berperan dalam pertumbuhan payudara,
puting, dan areola sebelum melahirkan.
Pembentukan payudara dimulai sejak embrio berusia 18-19 minggu, dan
berakhir ketika mulai menstruasi. Hormon yang berperan adalah hormon
esterogen dan progesteron yang membantu maturasi alveoli. Sedangkan hormon
prolaktin berfungsi untuk produksi ASI.
Selama kehamilan hormon prolaktin dari plasenta meningkat tetapi ASI
belum keluar karena pengaruh hormon estrogen yang masih tinggi. Kadar
estrogen dan progesteron akan menurun pada saat hari kedua atau ketiga pasca
persalinan, sehingga terjadi sekresi ASI. Pada proses laktasi terdapat dua reflek
yang berperan, yaitu refleks prolaktin dan refleks aliran yang timbul akibat
perangsangan puting susu dikarenakan isapan bayi.
Refleks Prolaktin
Akhir kehamilan hormon prolaktin memegang peranan untuk membuat
kolostrum, tetapi jumlah kolostrum terbatas dikarenakan aktivitas prolaktin
dihambat oleh estrogen dan progesteron yang masih tinggi. Pasca persalinan,
yaitu saat lepasnya plasenta dan berkurangnya fungsi korpus luteum maka
7

estrogen dan progesteron juga berkurang. Hisapan bayi akan merangsang


puting susu dan kalang payudara, karena ujung-ujung saraf sensoris yang
berfungsi sebagai reseptor mekanik.
Rangsangan ini dilanjutkan ke hipotalamus melalui medulla spinalis
hipotalamus dan akan menekan pengeluaran faktor penghambat sekresi
prolaktin dan sebaliknya merangsang pengeluaran faktor pemacu sekresi
prolaktin. Faktor pemacu sekresi prolaktin akan merangsang hipofise anterior
sehingga keluar prolaktin. Hormon ini merangsang sel-sel alveoli yang
berfungsi untuk membuat air susu.
Kadar prolaktin pada ibu menyusui akan menjadi normal 3 bulan setelah
melahirkan sampai penyapihan anak dan pada saat tersebut tidak akan ada
peningkatan prolaktin walau ada isapan bayi, namun pengeluaran air susu
tetap berlangsung.
Pada ibu nifas yang tidak menyusui, kadar prolaktin akan menjadi normal
pada minggu ke 2-3. Sedangkan pada ibu menyusui prolaktin akan meningkat
dalam keadaan seperti: stress atau pengaruh psikis, anastesi, operasi dan
rangsangan puting susu

Refleks Aliran (Let Down Reflek)


Bersamaan dengan pembentukan prolaktin oleh hipofise anterior,
rangsangan yang berasal dari isapan bayi dilanjutkan ke hipofise posterior
(neurohipofise) yang kemudian dikeluarkan oksitosin. Melalui aliran darah,
hormon ini menuju uterus sehingga menimbulkan kontraksi. Kontraksi dari sel
akan memeras air susu yang telah terbuat, keluar dari alveoli dan masuk ke
sistem duktus dan selanjutnya mengalir melalui duktus lactiferus masuk ke
mulut bayi.
Faktor-faktor yang meningkatkan let down adalah melihat bayi,
mendengarkan suara bayi, mencium bayi, memikirkan untuk menyusui bayi.
Sedangkan, faktor-faktor yang menghambat reflek let down adalah stress,
seperti: keadaan bingung/ pikiran kacau, takut dan cemas.

2.3 Etiologi
Dua penyebab utama mastitis adalah statis ASI dan infeksi. Statis ASI biasanya
merupakan penyebab primer yang dapat disertai atau menyebabkan infeksi. Stagnasi ASI
8

dapat dicegah dengan pengeluaran ASI yang efisien. Sedangkan mastitis yang disebabkan
oleh infeksi meskipun bukan penyebab primer tetapi dengan adanya stagnasi ASI
membuat timbulnya media pertumbuhan bakteri.
a. Statis ASI
Statis ASI terjadi jika ASI tidak dikeluarkan dengan efisien dari payudara. Hal
ini terjadi jika payudara terbendung segera setelah melahirkan, atau setiap saat jika
bayi tidak mengisap ASI. Penyebabnya termasuk kenyutan bayi yang buruk pada
payudara, pengisapan yang tidak efektif, pembatasan frekuensi/durasi menyusui,
sumbatan pada saluran ASI, suplai ASI yang sangat berlebihan dan menyusui untuk
b.

kembar dua atau lebih.


Infeksi
Organisme yang paling sering ditemukan pada mastitis dan abses payudara
adalah organisme koagulase-positif Staphylococcus aureus dan Staphylococcus
albus. Escherichia coli dan Streptococcus kadang-kadang juga ditemukan. Mastitis
jarang ditemukan sebagai komplikasi demam tifoid dan infeksi salmonella lain.
Terkadang ditemukan pula mastitis tuberkulosis yang menyebabkan bayi dapat
menderita tuberkulosa tonsil. Pada daerah endemis tuberkulosa kejadian mastitis
tuberkulosis mencapai 1%.

2.4 Patofisiologi
Terjadinya mastitis diawali dengan peningkatan tekanan di dalam duktus (saluran
ASI) akibat stasis ASI. Bila ASI tidak segera dikeluarkan maka terjadi tegangan alveoli
yang berlebihan dan mengakibatkan sel epitel yang memproduksi ASI menjadi datar dan
tertekan, sehingga permeabilitas jaringan ikat meningkat. Beberapa komponen (terutama
protein kekebalan tubuh dan natrium) dari plasma masuk ke dalam ASI dan selanjutnya
ke jaringan sekitar sel sehingga memicu respons imun. Stasis ASI, adanya respons
inflamasi, dan kerusakan jaringan memudahkan terjadinya infeksi.
Terdapat beberapa cara masuknya kuman yaitu melalui duktus laktiferus ke lobus
sekresi, melalui puting yang retak ke kelenjar limfe sekitar duktus (periduktal) atau
melalui penyebaran hematogen (pembuluh darah). Organisme yang paling sering adalah
Staphylococcus aureus, Escherecia coli dan Streptococcus. (Alasiry, 2013).

2.5 Pathway
Perawatan payudara
tidak adekuat

Kontak fisik (bayi, ibu,


dll)

Stagnasi ASI

Kontaminasi kuman
patogen

Puting luka/lecet

Lesi mammae

Infeksi kuman

Masuk ke duktusduktus sinus mammae


Infeksi payudara
(mastitis)
Suhu tinggi, rasa panas, nyeri,
bengkak, terba benjolan keras,
bayi tidak mau menyusu

Dx. Nyeri akut, Hipertermi,


Ketidakefektifan pemberian ASI

Abses mammae

Mamae tegang, mengkilat, merah,


suhu naik, pengeluaran pus (nanah)

Dx. Gangguan Citra


Tubuh

10

2.6 Manifestasi Klinis


Menurut Suherni, Widyasih, dan Rahmawati (2008) gejala mastitis:
a. Gejala mastitis non-infeksiosa:
1) Ibu memperhatikan adanya bercak merah atau area nyeri tekan yang akut.
2) Ibu dapat merasakan bercak kecil yang keras di daerah nyeri tekan tersebut.
3) Ibu tidak mengalami demam dan merasa baik-baik saja.
b. Gejala mastitis infeksiosa
1) Ibu mengeluh lemah dan sakit-sakit pada otot seperti flu.
2) Ibu dapat mengeluh sakit kepala.
3) Ibu demam dengan suhu diatas 38,5C.
4) Terdapat area luka yang terbatas atau lebih luas pada payudara.
5) Kulit pada payudara tampak kemerahan atau bercahaya.
6) Kedua payudara mungkin terasa keras dan tegang pembengkakan.
2.7 Faktor Resiko
a. Umur
Wanita berumur 21-35 tahun lebih sering menderita mastitis dari pada wanita di bawah
usia 21 tahun atau di atas 35 tahun.
b. Paritas
Primipara ditemukann sebagai faktor risiko terjadinya mastitis karena primipara
merupakan seorang wanita yang baru pertama kali melahirkan sehingga tubuh yang
mengalami perubahan akibat melahirkan belum memiliki kekebalan terhadap infeksi
bakteri yang dating dalam hal ini adalah infeksi bakteri Staphilococcus aureus
terhadap payudara primipara (Inch dan Xylander, 2012).
c. Serangan sebelumnya
Serangan mastitis pertama cenderung berulang. Pada beberapa studi, 40 sampai 54
persen wanita pernah menderita satu atau lebih serangan sebelumnya. Hal ini
merupakan akibat teknik menyusui yang buruk yang tidak diperbaiki.
d. Melahirkan
Komplikasi melahirkan dapat meningkatkan risiko mastitis, walupun penggunaan
oksitosin tidak meningkatkan resiko.
e. Gizi
Asupan garam dan lemak tinggi serta anemia menjadi faktor predisposisi terjadinya
mastitis. Antioksidan dari vitamin E, vitamin A dan selenium dapat mengurangi resiko
mastitis.
f. Faktor kekebalan dalam ASI
Faktor kekebalan dalam ASI dapat memberikan mekanisme pertahanan dalam
payudara.
g. Stres dan kelelahan

11

Wanita yang merasa nyeri dan demam sering merasa lelah dan ingin istirahat, tetapi
tidak jelas apakah kelelahan dapat menyebabkan keadaan ini atau tidak.
h. Pekerjaan di luar rumah
Terjadi akibat statis ASI karena interval antar menyusui yang panjang dan kekurangan
waktu dalam pengeluaran ASI yang adekuat.
i. Trauma
Trauma pada payudara karena penyabab apapun dapat merusak jaringan kelenjar dan
saluran susu dan hal ini dapat menyebabkan mastitis.
2.8 Komplikasi
Berikut beberapa komplikasi yang dapat muncul karena mastitis, yaitu :
a. Abses payudara
Abses payudara merupakan komplikas mastitis yang biasanya terjadi karena
pengobatan yang terlambat atau tidak adekuat. Bila terdapat daerah payudara teraba
keras, merah, dan tegang walaupun ibu telah diterapi, maka kita sebagai tenaga
medis harus memikirkan kemungkinan terjadinya abses. Kurang lebih 3% dari
kejadian mastitis berlanjut menjadi abses. Pemeriksaan USG payudara diperlukan
untuk mengidentifikasi adanya cairan yang terkumpul. Cairan ini dapat dikeluarkan
dengan aspirasi jarum halus yang berfungsi sebagai diagnostik sekaligus terapi,
bahkan mungkin diperlukan aspirasi jarum secara serial/berlanjut. Pada abses yang
sangat besar terkadang diperlukan tindakan bedah. Selama tindakan ini dilakukan,
ibu harus mendapatkan terapii medikasi antibiotik. ASI dari sekitar tempat abses juga
perlu di kultur agar antibiotik yang diberikan sesuai dengan jenis kumannya.
b. Mastitis berulang / kronis
Mastitis berulang biasanya disebabkan karena pengobatan yang terlambat atau
tidak adekuat. Ibu harus benar-benar banyak istirahat, banyak minum, mengonsumsi
makanan dengan gizi seimbang, serta dapat mengatasi stress. Pada kasus mastitis
berylang ini dikarenakan infeksi bakteri dan biasanya diberikan antibiotik dosis
rendah (Eritromisin 500 mg sekali sehari) selama masa menyusui.
c. Infeksi jamur
Komplikasi sekunder pada mastitis berulang adalah infeksi oleh jamur seperti
Candida albicans. Keadaan ini sering ditemukan setelah ibu mendapat terapi
antibiotik. Infeksi jamur biasanya didiagnosis berdasarkan nyeri berusa rasa terbakar
yang menjalar di sepanjang saluran ASI. Diantara waktu menyusui, permukaan
payudara terasa gatal. Puting mungkin tidak terlihat adanya suatu kelainan. Pada

12

kasus ini, ibu dan bayi perlu mendapatkan pengobatan. Pengobatan terbaik adalah
mengoleskan nistatin krim yang juga mengandung kortison ke daerah putting dan
areola setiap selesai bayi menyusu dan bayi juga harus diberi nistatin oral pada saat
yang sama (Alasiry, 2013).
2.9 Macam Mastitis
Mastitis diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu: mastitis puerparalis epidemic,
mastitis noninfeksosa, mastitis subklinis, dan mastitis infeksiosa. Dimana keempat jenis
tersebut muncul dalam kondisi yang berbeda-beda. Diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Mastitis Puerparalis Epidemik
Mastitis puerparalis epidemic ini biasanya timbul apabila pertama kali bayi dan
ibunya terpajan pada organisme yang tidak dikenal atau virulen. Masalah ini paling
sering terjadi di rumah sakit, yaitu dari infeksi silang atau bekesinambungan strain
resisten.
b. Mastitis Non-Infesiosa
Mastitis noninfeksiosa terjadi apabila ASI tidak keluar dari sebagian atau seluruh
payudara, yang dikarenakan produksi ASI melambat dan aliran terhenti. Namum
proses ini membutuhkan waktu beberapa hari dan tidak akan selesai dalam 2-3
minggu. Untuk sementara waktu, akumulasi ASI dapat menyebabkan respon
peradangan.
c. Mastitis Subklinis
Mastitis subklinis merupakan sebuah kondisi yang dapat disertai dengan
pengeluaran ASI yang tidak adekuat, sehingga produksi ASI sangat berkurang yaitu
kira-kira hanya sampai <400ml/hari.
d. Mastitis Infeksiosa
Mastitis infeksiosa terjadi apabila siasis ASI tidak sembuh dan proteksi oleh
faktor imun dalam ASI dan oleh respon dari inflamasi. Secara normal, ASI segar
bukan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri (Sugiarto, 2002).
Selain itu, mastitis juga dibagi menjadi 3 berdasarkan tempatnya, yaitu:
a. Mastitis yang menyebabkan abses di bawah areola mammae.
b. Mastitis di tengah-tengah mammae yang menyebabkan abses di tempat itu.
c. Mastitis pada jaringan di bawah dorsal dari kelenjar-kelenjar yang menyebabkan abses
antara mammae dan otot-otot di bawahnya (Norma D. & Dwi S, 2013).
2.10 Pemeriksaan Penunjang
Data yang mendukung pemeriksaan yang tidak dapat diketahui dengan
pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan laboraturium dan rontgen. Pada ibu nifas
13

dengan mastitis tidak dilakukan pemeriksaan laboraturium / rontgen (Wiknjosastro,


2005). Namun World Health Organization (WHO) menganjurkan pemeriksaan kultur
dan uji sensitivitas pada beberapa keadaan yaitu bila:
a. Pengobatan dengan antibiotik tidak memperlihatkan respons yang baik dalam 2
hari.
b. Terjadi mastitis berulang.
c. Mastitis terjadi di rumah sakit.
d. Penderita alergi terhadap antibiotik atau pada kasus yang berat.
Bahan kultur diambil dari ASI pancar tengah hasil dari perahan tangan yang
langsung ditampung menggunakan penampung urin steril. Puting harus dibersihkan
terlebih dahulu dan bibir penampung diusahakan tidak menyentuh puting untuk
mengurangi kontaminasi dari kuman yang terdapat di kulit yang dapat memberikan
hasil positif palsu dari kultur (Alasiry, 2013).
2.11 Penatalaksanaan
a. Tata laksana suportif
Tata laksana mastitis dimulai dengan memperbaiki teknik menyusui ibu.
Aliran ASI yang baik merupakan hal penting dalam tata laksana mastitis karena
stasis ASI merupakan masalah yang biasanya mengawali terjadinya mastitis. Ibu
dianjurkan agar lebih sering menyusui dimulai dari payudara yang bermasalah.
Tetapi bila ibu merasa sangat nyeri, ibu dapat mulai menyusui dari sisi payudara
yang sehat, kemudian sesegera mungkin dipindahkan ke payudara bermasalah,
bila sebagian ASI telah menetes (let down) dan nyeri sudah berkurang. Posisikan
bayi pada payudara sedemikian rupa sehingga dagu atau ujung hidung berada
pada tempat yang mengalami sumbatan. Hal ini akan membantu mengalirkan ASI
dari daerah tersebut.
Ibu dan bayi biasanya mempunyai jenis pola kuman yang sama, demikian
pula pada saat terjadi mastitis sehingga proses menyusui dapat terus dilanjutkan
dan ibu tidak perlu khawatir terjadi transmisi bakteri ke bayinya. Tidak ada bukti
terjadi gangguan kesehatan pada bayi yang terus menyusu dari payudara yang
mengalami mastitis. Ibu yang tidak mampu melanjutkan menyusui harus
memerah ASI dari payudara dengan tangan atau pompa. Penghentian menyusui
dengan segera memicu risiko yang lebih besar terhadap terjadinya abses
dibandingkan yang melanjutkan menyusui. Pijatan payudara yang dilakukan

14

dengan jari-jari yang dilumuri minyak atau krim selama proses menyusui dari
daerah sumbatan ke arah puting juga dapat membantu melancarkan aliran ASI.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah ibu harus beristirahat,
mengkonsumsi cairan yang adekuat dan nutrisi berimbang. Anggota keluarga
yang lain perlu membantu ibu di rumah agar ibu dapat beristirahat. Kompres
hangat terutama saat menyusu akan sangat membantu mengalirkan ASI. Setelah
menyusui atau memerah ASI, kompres dingin dapat dipakai untuk mengurangi
nyeri dan bengkak. Pada payudara yang sangat bengkak kompres panas kadang
membuat rasa nyeri bertambah. Pada kondisi ini kompres dingin justru membuat
ibu lebih nyaman. Keputusan untuk memilih kompres panas atau dingin lebih
tergantung pada kenyamanan ibu.
Perawatan di rumah sakit dipertimbangkan bila ibu sakit berat atau tidak ada
yang dapat membantunya di rumah. Selama di rumah sakit dianjurkan rawat
gabung ibu dan bayi agar proses menyusui terus berlangsung.
b. Penggunaan obat-obatan
Meskipun ibu menyusui sering enggan untuk mengkonsumsi obat, ibu
dengan mastitis dianjurkan untuk mengkonsumsi beberapa obat sesuai indikasi.
1) Analgesik
Rasa nyeri merupakan faktor penghambat produksi hormon oksitosin
yang berguna dalam proses pengeluaran ASI. Analgesik diberikan untuk
mengurangi rasa nyeri pada mastitis. Analgesik yang dianjurkan adalah obat
anti inflamasi seperti ibuprofen. Ibuprofen lebih efektif dalam menurunkan
gejala yang berhubungan dengan peradangan dibandingkan parasetamol atau
asetaminofen. Ibuprofen sampai dosis 1,6 gram per hari tidak terdeteksi pada
ASI sehingga direkomendasikan untuk ibu menyusui yang mengalami
mastitis.
2) Antibiotik
Jika gejala mastitis masih ringan dan berlangsung kurang dari 24 jam,
maka perawatan konservatif (mengalirkan ASI dan perawatan suportif) sudah
cukup membantu. Jika tidak terlihat perbaikan gejala dalam 12 - 24 jam atau
jika ibu tampak sakit berat, antibiotik harus segera diberikan. Jenis antibiotik
yang biasa digunakan adalah dikloksasilin atau flukloksasilin 500 mg setiap 6
jam secara oral. Dikloksasilin mempunyai waktu paruh yang lebih singkat
dalam darah dan lebih banyak efek sampingnya ke hati dibandingkan
15

flukloksasilin. Pemberian per oral lebih dianjurkan karena pemberian secara


intravena sering menyebabkan peradangan pembuluh darah. Sefaleksin
biasanya aman untuk ibu hamil yang alergi terhadap penisillin tetapi untuk
kasus hipersensitif penisillin yang berat lebih dianjurkan klindamisin.
Antibiotik diberikan paling sedikit selama 10 - 14 hari. Biasanya ibu
menghentikan antibiotik sebelum waktunya karena merasa telah membaik.
Hal ini meningkatkan risiko terjadinya mastitis berulang. Tetapi perlu pula
diingat bahwa pemberian antibiotik yang cukup lama dapat meningkatkan
risiko terjadinya infeksi jamur pada payudara dan vagina.
Pada penelitian yang dilakukan Jahanfar diperlihatkan bahwa pemberian
antibiotik disertai dengan pengosongan payudara pada mastitis mempercepat
penyembuhan bila dibandingkan dengan pengosongan payudara saja.
Sedangkan penelitian Jimenez dkk. memperlihatkan bahwa pemberian
Lactobacillus salivarius dan Lactobacillus gasseri mempercepat perbaikan
kondisi klinik pada kasus mastitis yang sementara mendapat antibiotic
(Alasiry, 2013).
2.12 Pencegahan
Pencegahan yang dilakukan antara lain dengan:
a. Pengurutan payudara sebelum laktasi merupakan salah satu tindakan yang sangat
efektif untuk menghindari terjadinya sumbatan pada duktus.
b. Usahakan untuk selalu menyusui dengan posisi dan sikap yang benar. Kesalahan
sikap

saat

menyusui

dapat

menyebabkan

terjadinya

sumbatan

duktus.

Menggunakan penyangga bantal saat menyusui cukup membantu menciptakan


posisi menyusui yang lebih baik.
c. Susui bayi segera dan sesering mungkin. Bila payudara terasa penuh, segera
keluarkan dengan cara menyusui langsung pada bayi. Kalaupun bayi belum lapar,
keluarkan ASI dengan cara diperah atau dipompa sehingga pengeluaran ASI tetap
lancar.
d. Jangan membersihkan puting dengan sabun. Kandungan soda pada sabun dapat
membuat kulit menjadi kering sehingga mudah terjadi iritasi seperti lecet atau luka
bila disusu bayi.
e. Pilih bra khusus untuk ibu menyusui dengan bahan yang menyerap keringat. Jangan
gunakan bra yang terlalu menekan payudara. Demi menjaga higienitas daerah

16

payudara, ganti bra sesering mungkin setiap kali basah karena keringat atau setelah
dipakai seharian (Kurniasih, 2010).

BAB III
17

ASUHAN KEPERAWATAN IBU DENGAN INFEKSI: MASTITIS


3.1 Pengkajian Keperawatan
a. Periksa mammae terhadap area kemerahan, nyeri tekan, dan pembengkakan yang
terlokalisir. Pada palpasi, daerah tersebut mungkin sangat keras dan teraba panas, dan
gumpalan mungkin terasa sangat keras dan teraba panas, dan gumpalan mungkin
terasa seperti batu yang keras.
b. Inspeksi puting bila terdapat fisura dan keretakan karena ini merupakan jalan masuk
terhadapai infeksi. Waspada terhadap puting yang meradang dan terasa sangat sakit,
yang bisa berindikasi infeksi fungus dan yeast. Abses opada mammae tampak berupa
inflamasi lokal yang nyeri, teraba keras di bawah permukaan kulit.
c. Kaji keaadaan fisik umum ibu. Gejala yang sistematis termasuk gejala menyerupai flu:
sakit kepala, malaise, nyeri otot, fekuensi nadi yang cepat, dan suhu sekitar 38,5C.
d. Kaji pola makan dan tidur serta tingkat stress ibu. Penurunan dalam asupan makanan,
serta tidur atau stress dan aktivitas yang berlebihan dapat menurunkan daya tahn ibu
terhadap infeksi.
e. Kaji riwayat untuk faktor-faktor resiko saat menyusui, seperti ketidakefektifan
pengosongan mammae, pembengkakan, kompresi mammae yang berasal dari pakaian
atau BH yang ketat, atau perubahan mendadak dalam pola menyusui seperti bayi tidur
sepanjang malam, atau penggunaan suplemen makanan.
f. Inspeksi mulut bayi bila terdapat bercak putih yang dikelilingi oleh kemerahan pada
membran mulut, yang berindikasi infeksi akibat Candida albicans atau infeksi
sariawan pada mulut.

3.2 Diagnosis Keperawatan


No

Hari/Tanggal

Sign and Symptom


/ Data

Problem/Masalah

Etiology/
Penyebab

18

1.

Senin, 19

DS: Klien mengeluhkan

Desember

demamnya tidak kunjung

2016

turun sejak 3 hari yang


lalu.

Hipertermia

Penyakit

Domain 11:
Keamanan/Perlindungan

DO:
S:

39C,

N:

101

Kelas 6: Termoregulasi

x/menit, TD: 140/90


mmHg.
Payudara

klien

tampak

2.

kemerahan

Senin, 19

dan mengkilat.
Akral teraba hangat.
DS:

Desember

Klien

2016

nyeri

Nyeri Akut

biologis

mengeluhkan
skala

payudara

di

kanannya

sejak 3 hari yang lalu.


Klien

mengatakan

Agen cidera

Domain12:
Kenyamanan
Kelas 1: Kenyamanan
Fisik

rasa nyerinya seperti


ditusuk-tusuk
dan

jarum,

rasa

nyerinya

bertambah

parah

ketika

ia

tidak

menyusui.
Klien

mengatakan

payudaranya
penuh,

terasa

berat,

dan

keras.
DO:
S:

39C,

N:

101

x/menit, TD: 140/90

19

mmHg.
Payudara

klien

tampak

kemerahan

dan mengkilat.
Teraba benjolan yang
keras pada payudara
kanan.
Klien

tampak

menggigit

bibirnya

menahan nyeri.
3.

Senin, 19

DS:

Desember

Klien

2016

mengatakan

payudaranya
penuh,

dan

Pemberian Asi

pemberian ASI

Domain 7:
Hubungan Peran

keras.

anaknya

Diskontinuitas

terasa

berat,

Klien

Ketidakefektifan

mengatakan
tidak

menyusu

mau

Kelas 1:

sejak

Peran Pemberi Asuhan

payudaranya bengkak
sehingga

ia

menghentikan
pemberian ASI.
DO:
S:

39C,

N:

101

x/menit, TD: 140/90


mmHg.
Payudara
tampak

klien
kemerahan

dan mengkilat.
Teraba benjolan yang
keras pada payudara
kanan.
20

Prioritas Diagnosa Keperawatan


1. Hipertermia b.d penyakit yang ditandai dengan klien mengeluhkan demamnya tidak
kunjung turun sejak 3 hari yang lalu. S: 39C, N: 101 x/menit, TD: 140/90 mmHg.
Payudara klien tampak kemerahan dan mengkilat. Akral teraba hangat.
2. Nyeri akut b.d agen cidera biologis yang ditandai dengan klien mengeluhkan nyeri skala
6 di payudara kanannya sejak 3 hari yang lalu, klien mengatakan rasa nyerinya seperti
ditusuk-tusuk jarum, dan rasa nyerinya bertambah parah ketika ia tidak menyusui. Klien
mengatakan payudaranya terasa penuh, berat, dan keras. S: 39C, N: 101 x/menit, TD:
140/90 mmHg. Payudara klien tampak kemerahan dan mengkilat. Teraba benjolan yang
keras pada payudara kanan. Klien tampak menggigit bibirnya menahan nyeri.
3. Ketidakefektifan proses menyusui yang ditandai dengan klien mengatakan payudaranya
terasa penuh, berat, dan keras. Klien mengatakan anaknya tidak mau menyusu sejak
payudaranya bengkak sehingga ia menghentikan pemberian ASI. S: 39C, N: 101
x/menit, TD: 140/90 mmHg. Payudara klien tampak kemerahan dan mengkilat. Teraba
benjolan yang keras pada payudara kanan.

21

3.3 Perencanaan, Tujuan, dan Intervensi Keperawatan


No

Hari,

Diagnosa

1.

Tanggal
Senin, 19

Keperawatan
Hipertermia

Perencanan
Tujuan
dilakukan

Setelah

Desember

tindakan

2016

selama 2x24 jam,


Domain 11:
Keamanan/
Perlindungan

Kelas 6:

Intervensi
Fever Treatment

Rasionalisasi
Fever Treatment

keperawatan

1.
klien 2.
mempertahankan
tubuhnya dalam 3.

Pantau suhu dan TTV lainnya


1. Untuk memantau suhu
Pantau warna kulit dan suhu
tubuh dan TTV pada pasien
dapat
tubuh
menjadi normal
Pantau terkait
komplikasi
suhu
2. Untuk memantau warna
demam
dan
tanda
&
gejala
dari
rentang normal dengan
kulit menjadi normal (tidak
komplikasi
penyebab
demam
kriteria hasil:
kemerah-merahan) dan
4. Dorong konsumsi cairan
5. Tingkatkan sirkulasi udara
suhu tubuh normal
Termoregulation
6. Fasilitasi istirahat, pembatasan 3. Mengetahui tanda dan
Menurunya
temperature

Termoregulasi

suhu

tubuh (skala 1-4)


Hipertermia (skala 1-

4)
TD dan nadi (skala 1-

4)
Perubahan warna kulit

aktivitas jika dibutuhkan


7. Tutupi pasien dengan selimut
yang tipis

gejala komplikasi yang


terjadi
4. Untuk memenuhi
kebutuhan cairan tubuh
5. Untuk membuang kalor
dalam tubuh, memperlancar
sirkulasi udara
6. Meminimalisir kelelahan

(skala 1-4)

pasien
7. Untuk membuang kalor
dalam tubuh

2.

Senin, 19

Nyeri Akut

Setelah

dilakukan

Pain Management

Pain Management
22

Desember

Domain12:

2016

Kenyamanan
Kelas 1:
Kenyamanan
Fisik

tindakan

keperawatan 1. Lakukan

pengkajian

nyeri 1. Pengkajian

secara

selama 2x24 jam, rasa

secara komprehensif termasuk

komprehensif

nyeri

lokasi,

durasi,

akanmemberikan ketepatan,

frekuensi, kualitas dan faktor

kecepatan, dan keefektifan

klien

berkurang

dengan kriteria hasil:


Pain Control
1. Mengenali

karakteristik,

presipitasi
faktor 2. Gunakan teknik komunikasi

penyebab (skala 1-5)


2. Mengenali

onset

terapeutik untuk mengetahui

akan membuat pasien lebih


nyaman
3. Teknik non

pengalaman nyeri pasien

(lamanya sakit) (skala 3. Ajarkan tentang tehnik non


1-4)

dalam penanganan nyeri


2. Nyeri yang diekspresikan

farmakologi

dapat membantu mengatasi

farmakologi

nyeri
3. Menggunakan metode 4. Kaji tipe dan sumber nyeri 4. Menentukan intervensi yang
nonanalgetik

untuk

mengurangi

nyeri 5. Kaji

(skala 1-4)

nyeri 6. Monitor
terkontrol

(skala 1-4)
5. Mencatat pengalaman
nyeri

pengalaman

individu

sebelumnya

(skala 1-4)

penerimaan

ada keluhan dan tindakan nyeri


tidak berhasil
keluarga

yang

terhadap

yang

membantu

non

sesuai
dapat
proses

penyembuhan
6. Mengetahui
teknik

untuk

berbeda

nyeri

pengalaman

7. Kolaborasi dengan dokter jika

mengurangi nyeri
Pain level

pasien

tentang manajemen nyeri

8. Libatkan

tepat
5. Setiap individu mempunyai
respon

terhadap nyeri

4. Melaporkan
sudah

untuk menentukan intervensi

keefektifan
farmakologis

untuk mengatasi nyeri


7. Menentukan intervensi yang
tepat
8. Kehadiran

keluarga

akan
23

1. Ekspresi nyeri pada

memberi kenyamanan pada

wajah (skala 1-4)

pasien.
Pain level
1. Mengetahui tingkatan nyeri

2.

Senin, 19
Desember

Ketidakefektifan Setelah
Pemberian Asi

2016

dilakukan

tindakan

Hubungan Peran

324

jam,

pemberian ASI adekuat

Peran Pemberi
Asuhan

cukup,

Establishment Maternal
Posisi

nyaman

saat

menyusui (skala 1-4)


Payudara
penuh
langsung

mengenai menyusui.
2. Dukung
keberlangsungan
menyusui meski berkerja.
3. Diskusikan kebutuhan istirahat

dengan kriteria hasil:


Breastfeeding

Kelas 1:

Lactation Counseling

keperawatan 1. Benarkan kesalahan persepsi 1. Memberikan

selama
Domain 7:

klien
Lactation Counseling

menyusui

(skala 1-4)
Pompa ASI (skala 1-4)
Asupan cairan ibu

bernutrisi.
4. Pantau adanya
putting,

tentang pentingnya menyusui


dengan ASI.
2. Mengoptimalkan

pengeluaran ASI
dan 3. Memberikan
pengetahuan

hidrasi,

mengonsumsi

pengetahuan

makanan

pentingkan istirahat cukup,


asupan cairan yang baik,

nyeri

gangguan

pada

memakan

makanan

yang

integritas

bergizi saat menyusui.


kulit di putting.
4. Mengetahui adanya luka
5. Ajarkan berbagai macam posisi
pada putting.
menyusui yang benar.
5. Klien dapat menyusui dengan
posisi yang benar.

(skala 1-4)
Mencegah pemberian
air pada bayi (skala 14)
Dukungan

keluarga
24

(skala 1-4)

3.4.
No
1.

Implementasi Keperawatan

Diagnosa

Hari, tgl

Keperawatan
Hipertermia

Selasa, 20
Desember

Domain 11:

2016

Keamanan/

Jam 10.00

Perlindungan

WIB

Kelas 6:
Termoregulasi

Implementasi

Evaluasi

1. Memantau suhu dan TTV lainnya


S: Pasien mengatakan kalau demamnya agak turun.
2. Memantau warna kulit
O:
3. Memantau terkait
komplikasi
S: 38C
demam dan tanda & gejala dari
TD: 130/80 mmHg
komplikasi penyebab demam
N: 89x/menit
4. Mendorong konsumsi cairan
Warna kulit kemerah-merahan
5. Menutupi pasien dengan selimut
A: Masalah hipertermia teratasi sebagian
yang tipis
P:
Lanjutkan intervensi:
1. Tingkatkan sirkulasi udara
2. Fasilitasi istirahat, pembatasan aktivitas
jika dibutuhkan

Yogyakarta, 20 Desember 2016

25

TTD
2.

Nyeri Akut

Selasa, 20

(Nama Terang)
1. Melakukan pengkajian nyeri secara S: Pasien mengatakan nyerinya sedikit berkurang.

Desember

komprehensif

Domain12:

2016

karakteristik,

Kenyamanan

Jam 13.00

Kelas 1:
Kenyamanan
Fisik

WIB

termasuk
durasi,

lokasi, Pasien mengatakan paham cara mengompres yang


frekuensi, benar

kualitas dan faktor presipitasi


2. Menggunakan
terapeutik

teknik
untuk

komunikasi

O:

mengetahui

dengan

pengalaman nyeri pasien


3. Mengkaji tipe dan sumber nyeri
pengalaman

terhadap nyeri

baik

setelah

diajarkan

teknik

mengompres payudaranya.
Pasien tampak nyaman saat mengompres
payudaranya.

untuk menentukan intervensi


4. Mengkaji

Pasien dapat menirukan instruksi perawat

individu A: Masalah nyeri teratasi sebagian.


P:

9. Mengajarkan tentang mengompres

Lanjutkan intervensi:

hangat dan dingin pada payudara

1. Ajarkan tentang tehnik non farmakologi

yang bengkak

2. Kaji pengalaman individu terhadap nyeri


3. Kolaborasi dengan dokter jika ada keluhan
dan tindakan nyeri tidak berhasil
4. Libatkan keluarga untuk mengurangi nyeri

26

Yogyakarta, 20 Desember 2016


TTD
Selasa, 20

1. Membenarkan

Pemberian ASI

Desember

mengenai menyusui.
persepsinya yang salah mengenai pemberian ASI
2. Mendukung
keberlangsungan
pada bayinya. Pasien mengatakan akan tetap
menyusui meski berkerja.
menyusuo meski sedang bekerja
3. Mendiskusikan kebutuhan istirahat
O:
cukup, hidrasi, dan mengonsumsi
Pasien mampu menyebutkan kesalahan
makanan bernutrisi.

2016
Domain 7:

Jam 16.00

Hubungan Peran

WIB

Kelas 1:
Peran Pemberi

kesalahan persepsi S:

Pasien

(Nama Terang)
mengatakan sudah mengetahui

Ketidakefektifan

4. Memantau adanya nyeri pada putting,

gangguan integritas kulit di putting.

persepsinya mengenai pemberian ASI.


Pasien tampak paham tentang kebutuhan
yang diperlukan saat menyusui.

Asuhan

A: Masalah ketidakefektifan pemberian ASI.tertasi


sebagian
P:
Lanjutkan intervensi:
1.

Ajarkan

berbagai

macam

posisi

menyusui yang benar.

Yogyakarta, 20 Desember 2016


27

TTD
(Nama Terang)

28

BAB IV
ANALISIS JURNAL
4.1 Judul
Manajemen dari Mastitis dan Pembengkakan Payudara pada Ibu Menyusui
(Management of Mastitis and Breast Engorgement in Breastfeeding Women).
4.2 Subjek
Menganalisis seluruh manajemen mastitis terbaik pada ibu menyusui dengan
peninjauan panduan internasional yang ada, yaitu:
a. Postpartum mastitis. In: Clinical Recommendations. Obstetrics and Gynecology. 4th
Issue. Edited by V.N. Serov, G.T. Sukhikh. : GEOTAR-Media, 2014. pp 546-551.
b. World Health Organization: Mastitis: Causes and Management, Publication Number
WHO/FCH/CAH/00.13, World Health Organization, Geneva, 2000.
c. Cusack L, Brennan M. Lactational mastitis and breast abscess diagnosis and
management in general practice. Australian Family Physician 2011; 40(12): 976-979.
d. Kataria K, Srivastava A, Dhar A. Management of Lactational Mastitis and Breast
Abscesses:

Review

of

Current

Knowledge

and

Practice.

Indian

Surg

2013;75(6):430435.
e. The Academy of Breastfeeding Medicine Protocol Committee (ABM) Clinical
Protocol #4: Mastitis. Breastfeed Med 2008;3:177-180.
f. Jacobs A, Abou-Dakn M, Becker K et al. Association of Scientific Medical Societies
in Germany (AWMF) Guidelines. Geburtshilfe Frauenheilkd 2013; 73(12): 1202-1208.
g. ACOG Committee Opinion N 361: Breastfeeding: Maternal and Infant Aspects. Obstet
Gynecol 2007; 109: 479-480.
h. Clinical
Knowledge
Summary.

Mastitis

and

Breast

Abscess,

2010/www.cks.nhs.uk.417660.
Selain itu, melakukan pengumpulan informasi tentang agen penyebab, korelasi antara
bayi yang diberikan ASI dan sensitifitas terhadap antibiotik, kejadian dari berbagai jenis
mastitis, dan prinsip utama pengobatan mastitis.
4.3 Metode
Membandingkan berbagai panduan internasional dan tinjauan dari manajemen
mastitis pada wanita menyusui dan pengobatan pembengkakan pada payudara.
4.4 Hasil Penelitian

29

Setelah membandingkan berbagai cara atau panduan dalam mengatasi infeksi


mastitis, yang paling efektif ialah dengan cara Effective Milk Removal yang berarti
menyusui sesering mungkin dan memerah ASI menggunakan tangan atau pompa.
Kompres hangat ketika akan menyusui dan kompres dingin setelah selesai menyusui, cara
tersebut dianjurkan untuk mengurangi rasa nyeri akibat inflamasi bersamaan dengan
pemakaian obat anti-inflamasi seperti ibuprofen atau paracetamol. Selain itu, istirahat
yang cukup selama menyusui dan banyak minum setidaknya lebih dari 4-5 L per hari
agar dapat menekan sekresi prolaktin oleh hipofisis sehingga produksi ASI menurun.
Asupan cairan 2,5-3 L per hari tidak mempengaruhi produksi ASI.
Jika cara Effective Milk Removal tidak berhasil penggunaan antibiotik dapat
diberikan. Hal tersebut akan lebih efektif bersamaan dengan proses menyusui terus
menerus. Saat terjadi pembengkakan payudara pada hari ke 3-4 setelah melahirkan, cara
kedua tersebut diperbolehkan. Penggunaan progestogel juga dapat dipertimbangkan.
Untuk mencegah terjadinya mastitis dan pembengkakan payudara, ibu perlu
mengetahui prinsip-prinsip dasar menyusui dan paham tentang teknik menyusui yang
benar, mampu menjaga kebersihan saat menyusui, menyusui on demand, melakukan
room-in. Hal-hal tersebut harus dipahami ibu sebelum pulang dari rumah sakit.
4.5 Saran Aplikatif
Manajemen tersebut dapat diterapkan pada ibu menyusui yang mengalami
mastitis dan pembengkakan payudara karena tidak hanya pada jurnal tersebut tetapi juga
banyak penelitian menjadikan cara Effective Milk Removal sebagai langkah pertama
dan paling efektif sebagai manajemen mastitis dan bengkak (engorgement) pada
payudara.
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Mastitis merupakan radang pada payudara yang disebabkan oleh infeksi
Staphylococcus aureus dan Staph. albus yang masuk melalui luka pada puting susu, atau
peredaran darah yang dapat timbul secara tiba-tiba. Selain itu juga dapat disebabkan
karena statis ASI yaitu sumbatan pada saluran ASI yang dapat diakibatkan dari
penghisapan yang tidak efektif, kebiasaan menekan payudara dengan jari, atau karena
tekanan baju/BH. Manifestasi klinis ibu dengan mastitis adalah peningkatan suhu tubuh,
30

malaise, tidak nafsu makan, nyeri lokal, kulit merah, bengkak, dan nyeri saat ditekan.
Kejadian tersebut terjadi 1-3 minggu setelah melahirkan. Bila mastitis berlanjut maka
dapat terjadi abses yang merupakan komplikasi dari mastitis.
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan yaitu dengan pemberian ASI terusmenerus, melakukan konpres hangat dingin, minum air yang banyak. Jika tidak terjadi
perbaikan maka penggunaan antibiotik dan anti inflamasi (paracetamol dan ibuprofen)
disarankan. Selain itu, pencegahan infeksi mastitis antara lain, dengan menyusui secara
kontinu (on demand), menggunakan baju/BH yang menopang, melakukan upaya
menyusui yang benar, menjaga kebersihan payudara dan istirahat yang cukup selama
menyusui.
5.2 Saran
Untuk mencegah terjadinya mastitis dan pembengkakan payudara, perawat perlu
memberikan informasi kepada ibu khususnya primigravida agar mengetahui prinsipprinsip dasar menyusui dan paham tentang teknik menyusui yang benar, menyusui secara
kontinu (on demand), menggunakan baju/BH yang menopang, menjaga kebersihan
payudara, dan istirahat yang cukup selama menyusui, meningkatkan asupan cairan. Halhal tersebut harus dipahami ibu sebelum pulang dari rumah sakit.

DAFTAR PUSTAKA
Alasiry,

Ema.

(2013).

Mastitis:

Pencegahan

dan

Penanganan.

(Online)

Tersedia:

http://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/mastitis-pencegahan-dan-penanganan.

(Diakses

Minggu, 18 Desember, 2016).


Bulechek, G.M., Butcher, H.W. & Dochterman, J.M. (2013). Nursing Intervention Classification
(NIC). (6th edition). St Louis: Mosby Elsevier.
Benson, Ralph C., dan Martin L. Pernoll. (2008). Buku Saku Obstetric & Ginekologi. Jakarta:
EGC.
Herdman, T.H. (2012). NANDA International Nursing Diagnosis: Definitions & Classification.
United Kingdom: Wiley-Blackwell.
Kurniasih, Dedeh, dkk. (2010). Sehat dan Bugar Berkat Gizi Seimbang. Jakarta: Kompas
Gramedia.
31

Ladewig, Patricia W., Marcia L. London, & Sally B. Olds. (2005). Asuhan Keperawatan IbuBayi Baru Lahir. Jakarta: EGC.
Mansyur, Nurliana dan A. Kasrida Dahlan. (2014). Asuhan Kebidanan Masa Nifas. Malang:
Selaksa Media.
Maritalia, Dewi. (2012). Asuhan Kebidanan Nifas dan Menyusui. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mitayani, (2009). Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta: Salemba Medika.
Morrhead, S., Jhonson, M., Maas, M.L. & Swanson, E. (2008). Nursing Outcome Classification
(NOC). (4th edition). St Louis: Mosby Elsevier.
Norma D., Nita dan Mustika Dwi S. (2013). Asuhan Kebidanan: Patologi Teori dan Tinjauan
Kasus. Yogyakarta: Nuha Medika.
Nugroho, Taufan. (2011). ASI dan Tumor Payudara. Yogyakarta: Nuha Medika.
Simkin, Penny, Janet Walley, & Anna Keppler. (2008). Panduan Lengkap Kehamilan,
Melahirkan, & Bayi. Jakarta: Arcan.
Sugiarto, Bertha. (2002). Mastitis: Penyebab dan Penatalaksanaan (Alih Bahasa). Jakarta:
Widya Medika.
Pillitteri, A., (2010). Maternal & Child Health Nursing: Care of The Childbearing Family. (6th
edition). Philadelphia: J.B. Lippincott.
Pustotina, Olga A. (2015). Management of Mastitis and Breast Engorgement in Breastfeeding
Women. DOI: 10.3109/1476058.2015.1114092.
WHO.

(2000).

Mastitis

Penyebab

&

Penatalaksanaan.

(Online)

Tersedia:

http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/66230/2/WHO_FCH_CAH_00.13_ind.pdf.
(Diakses Minggu, 18 Desember, 2016).

32

Anda mungkin juga menyukai