Anda di halaman 1dari 41

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA

LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN

MEI 2016

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

Laserasi Palpebra e.c. Trauma Oculi Non Perforans

OLEH :
Wismoyo Indra Zoelman
10542 0158 10

PEMBIMBING :
dr. Sitti Soraya, Sp.M

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2016

HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :


Nama

: Wismoyo Indra Zoelman, S.Ked

NIM

: 10542 0158 10

Judul Referat

: O.D. Trauma Oculi

Telah menyelesaikan tugas tersebut dalam rangka kepaniteraan klinik pada


bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Makassar.

Makassar,

Mei 2016

Pembimbing

(dr. Sitti Soraya, Sp.M)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

HALAMAN PENGESAHAN

ii

DAFTAR ISI

iii

BAB I PENDAHULUAN

BAB II LAPORAN KASUS

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

10

BAB IV KESIMPULAN

31

DAFTAR PUSTAKA

32

BAB I
PENDAHULUAN
Mata mempunnyai sistem pelindung yang cukup baik seperti rongga orbita, kelopak,
dan jaringan lemak retrobulbar,selain terdapatnya refleks memejam atau mengedip, mata
masih sering mendapat trauma dari dunia luar. Trauma dapat mengakibatkan kerusakan pada
bola mata dan kelopak, saraf mata serta rongga orbita. Kerusakan mata akan dapat
mengakibatkan atau memberikan penyulit sehingga mengganggu fungsi penglihatan. Trauma
pada mata memerlukan perawatan yang tepat untuk mencegah terjadinya penyulit yang lebih
berat yang akan mengakibatkan kebutaan.
Trauma pada mata dapat mengenai jaringan di bawah ini secara terpisah atau menjadi
gabungan trauma jaringan mata. Trauma dapat mengenai jaringan mata: palpebrae,
konjungtiva, cornea, uvea, lensa, retina, papil saraf optik, dan orbita. Trauma mata
merupakan keadaan gawat darurat pada mata.
Trauma mata sering merupakan penyebab kebutaan unilateral pada anak dan dewasa
muda; kelompok usia ini mengalami sebagian besar cedera mata yang parah. Segala umur
dapat terkena rudapaksa mata walaupun beberapa kelompok umur tersering terkena (50 %)
yaitu umur kurang dari 18 tahun (di USA). Dewasa muda-terutama pria-merupakan
kelompok yang kemungkinan besar mengalami cedera tembus mata. Kecelakaan dirumah,
kekerasan, ledakan aki, cedera akibat olahraga dan kecelakaan lalu lintas merupakan
keadaan-keadaan yang paling sering menyebabkan trauma mata.
Trauma pada mata sering mengalami kesukaran dalam menilai kerusakan yang
diakibatkannya. Kadang-kadang pukulan mempunyai kesan tidak keras dan kerusakan
matapun sepintas lalu tidak nampak. Tetapi ternyata membawa akibat berat bahkan sampai
timbul kebutaan. Memang keadaan ini sering mengherankan terutama bagi para sejawat
bukan dokter mata, oleh karena memang tidak mempunyai perlengkapan atau perhatian yang
cukup untuk menemukan kerusakan yang diakibatkannya. Bahkan bagi dokter mata sendiri
kadang-kadang mengalami kesulitan atau tidak menduga adanya kelainan yang dapat
membawa kebutaan.

Untunglah bola mata, mendapat perlindungan yang cukup baik oleh kelopak mata,
tulang mata, rima orbita, jaringan orbita, kedipan kelopak mata, gerakan menghindari dari
kepala, alis mata, gerakan dari bola mata ke atas. Sebaiknya bila ada trauma mata segera
dilakukan pemeriksaan dan pertolongan karena kemungkinan fungsi penglihatan masih dapat
dipertahankan.

BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Ny. J

Jenis Kelamin

: Perempuan

Umur

: 34 tahun

Agama

: Islam

Suku/Bangsa

: Bugis/Indonesia

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Alamat

: SAMATA

No. Register

: 43.67.32

Tanggal Pemeriksaan

: 11 Mei 2016

Rumah Sakit

: RSUD Syekh Yusuf, Gowa

Pemeriksa

: dr. Y

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Luka robek pada kelopak mata atas kanan
Anamnesis Terpimpin :
Pasien datang ke poliklinik mata RSUD Syekh Yusuf dengan keluhan luka robek pada
kelopak mata atas kanan sejak 3 jam yang lalu. Keluhan tersebut bersamaan dengan nyeri (+),
perdarahan (+) dan bengkak pada kelopak mata kanan (+).

Awalnya, pasien sedang bekerja sebagai kuli bangunan di dekat rumah, bersama
dengan suaminya. Pasien berada di lantai 1 bangunan dan suaminya berada di lantai 2
bangunan. Pada lokasi kerjanya tersebut terdapat kail kosong yang biasanya tergantung
sebuah ember yang dihubungkan dengan katrol guna membantu pekerjaannya dalam
mengangkut alat bangunan dari lantai bawah ke atas atau sebaliknya. Pada saat suami pasien
sedang mengangkat tali yang terhubung dengan kail tersebut, pasien tidak melihat bahwa ada
kail yang berada di depan wajahnya. Pasien merasa terkejut dan segera berteriak saat melihat
ada kail di depannya. Tiba-tiba si suami yang mendengar teriakan istrinya tersebut panik dan
segera menarik tali tersebut lebih kuat lagi. Kail mata yang awalnya belum mengenai pasien
segera menancap pada kelopak mata atas kanan pasien hingga robek.
Keluhan lain : rasa mengganjal (+), air mata berlebih (-), kotoran mata berlebih (-),
rasa gatal (-), rasa silau (-), riwayat penggunaan kacamata (-), riwayat demam (-).

Riwayat Penyakit Terdahulu :


-

Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama sebelumnya (-)

Riwayat penyakit mata sebelumnya (-)

Riwayat diabetes melitus (-)

Riwayat hipertensi (-)

Riwayat trauma (+)

Riwayat alergi (-)

Riwayat Pengobatan :
Pasien belum pernah berobat sebelumnya. Pasien datang dari UGD RSUD Syekh Yusuf
Gowa dan segera dikonsul ke poli mata.
Riwayat Penyakit Keluarga dan sosial
Tidak ada riwayat penyakit yang sama pada keluarga pasien.

Gambar 1. Kondisi mata


kanan pasien tampak luar

PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI
1

Pemeriksaan Inspeksi

Palpebra

OD

OS

Edema (+), Hiperemis (+),

Edema (-)

Laserasi 2.5cm
Silia

Normal, sekret (-)

Normal, sekret (-)

Apparatus
Lakrimalis

Lakrimasi (-)

Lakrimasi (-)

Konjungtiva

Hiperemis (+)

Hiperemis (-)

Membesar

Normal

Keruh

Jernih

Bilik Mata
Depan

Sulit dievaluasi

Normal

Iris

Sulit dievaluasi

Coklat, Kripte (+)

Pupil

Sulit dievaluasi

Bulat, Sentral

Lensa

Sulit dievaluasi

Jernih

Mekanisme

Sulit dievaluasi

Bola mata
Kornea

muscular

Ke
segala
arah

Pemeriksaan Palpasi
Palpasi

OD

OS

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

pemeriksaan

pemeriksaan

Nyeri tekan

(+)

(-)

Massa tumor

(-)

(-)

Tidak ada pembesaran

Tidak ada pembesaran

Tensi Okuler

Glandula preaurikuler

Tonometri
Tidak dilakukan pemeriksaan

Visus
VOD VOS

20/30

Campus Visual
Tidak dilakukan Pemeriksaan

Color sense
Tidak dilakukan pemeriksaan

Light Sense
Tidak dilakukan pemeriksaan

Diafanoskopi
Tidak dilakukan pemeriksaan

Penyinaran Oblik
No.

Pemeriksaan

OD

OS

Palpebra

Edema (+), Hiperemi (+), Normal


Lserasi 2.5cm

2.

Konjungtiva

Hiperemis (+)

Hiperemis (-)

3.

Kornea

Keruh Terdapat Infiltrat (+)

Jernih

4.

Bilik mata depan

Normal

Normal

5.

Iris

Coklat, kripte (+)

Coklat, kripte (+)

6.

Pupil

Isokor, Bulat, Sentral, RC(+)

Isokor, Bulat, Sentral,


RC(+)

7.

Lensa

Keruh

Jernih

10 Pemeriksaan Slit Lamp


a

SLOD : Tampak laserasi pada palpebra superior 2.5cm, edema (+), Hiperemi (+),
Konjungtiva hiperemis; BMD sulit dievaluasi.

SLOS : Tampak Konjungtiva hiperemis (+), Kornea jernih, Iris coklat, Kripte (+),
Pupil bulat sentral RC (+), Lensa jernih.

11 Pemeriksaan laboratorium
Tidak dilakukan pemeriksaan

RESUME

Pasien datang ke poliklinik mata RSUD Syekh Yusuf dengan keluhan luka robek pada
kelopak mata atas kanan sejak 3 jam yang lalu. Keluhan tersebut bersamaan dengan nyeri (+),
perdarahan (+) dan bengkak pada kelopak mata kanan (+). Keluhan lain : rasa mengganjal
(+), air mata berlebih (-), kotoran mata berlebih (-), rasa gatal (-), rasa silau (-), riwayat
penggunaan kacamata (-), riwayat demam (-), riwayat trauma (+).
Pada pemeriksaan oftalmologi (visus) VOD : sulit dinilai, VOS : 20/30. Pada
pemeriksan slit lamp, didapatkan : OD tampak laserasi pada palpebral superior, sedangkan
pada OS dalam batas normal. Pada pemeriksaan palpasi ditemukan nyeri tekan pada mata
kanan (+).
C. DIAGNOSIS KERJA
O.D. Trauma Oculi
D. DIAGNOSIS BANDING
-

Katarak Traumatik

Ulkus Kornea

E. TERAPI

Non Medikamentosa
-

Bed Resting

Medikamentosa
-

IVFD RL 20tpm

Inj. Ceftriaxone 1gr/12j/IV

Inj. Dexamethasone 1a/8j/IV

Inj. Ketorolac 1a/8j/IV

Inj. Ulsikur 1a/8j/IV

Xytrol EO 3 dd gtt I

Tobroson Ed Mds 4dd gtt I

Operatif
-

Hecting + Eksplorasi

Rekonstruksi Palpebra Superior

F. PROGNOSIS
-

Qua ad vitam

: Dubia

Qua ad sanationam

: Dubia

Qua ad functionam

: Dubia ad Bonam

Qua ad cosmeticam

: Dubia ad Bonam

G. DISKUSI

Pasien datang ke poliklinik mata RSUD Syekh Yusuf dengan keluhan luka
robek pada kelopak mata atas kanan sejak 3 jam yang lalu. Keluhan tersebut
bersamaan dengan nyeri (+), perdarahan (+) dan bengkak pada kelopak mata kanan
(+). Keluhan lain : rasa mengganjal (+), air mata berlebih (-), kotoran mata berlebih
(-), rasa gatal (-), rasa silau (-), riwayat penggunaan kacamata (-), riwayat demam (-),
riwayat trauma (+).
Pada pemeriksaan oftalmologi (visus) VOD : sulit dinilai, VOS : 20/30. Pada
pemeriksan slit lamp, didapatkan : OD tampak laserasi pada palpebral superior, sedangkan
pada OS dalam batas normal. Pada pemeriksaan palpasi ditemukan nyeri tekan pada mata
kanan (+).

Inspeksi langsung pada mata mata terlihat merah, palpebra tampak udem dan
laserasi pada daerah medial palpebral superior. Pemeriksaan pada bagian mata
selanjutnya memberikan gambaran kornea yang agak keruh, ini menandakan gejala
penglihatan kabur yang mungkin disebabkan oleh terganggunya fungsi kornea sebagai
media refraksi.
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang kemudian mengarahkan
diagnosis kerja pada O.D. Trauma Oculi. Maka penatalaksanaan dilakukan sesuai
penatalaksanaan yang ada.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. DEFINISI
Trauma mata adalah tindakan sengaja maupun tidak sengaja yang menimbulkan
perlukaan mata. Trauma mata merupakan kasus gawat darurat mata. Perlukaan yang
ditimbulkan dapat ringan sampai berat atau menimbulkan kebutaan bahkan kehilangan
mata.

3.2. JENIS-JENIS TRAUMA


Trauma mata dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
1) Trauma Oculi Perforans
2) Trauma Oculi Non Perforans
Selain itu, trauma mata berdasarkan penyebabnya dibagi, antara lain :
1)

2)

3)

Mekanis :

Tumpul

Tajam

Bahan Kimia :

Asam

Basa

Fisik :

Cahaya

Ledakan

Kebakaran

Blow out Fraktur

BERDASARKAN HUBUNGANNYA DENGAN UDARA LUAR


1) TRAUMA OCULI NON PERFORANS
Definisi
Luka pada bola mata, namun tidak disertai adanya hubungan antara intraokuler dan
ekstraokuler.
Gejala Klinis
Trauma okuli non perforans, yaitu trauma okuli dengan ciri-ciri :

Tidak menembus dinding orbital (kornea dan sklera masih utuh)

Mungkin terjadi robekan konjungtiva

Adanya perlukaan kornea dan sklera

Kontaminasi intra okuli dengan udara luar tidak ada

Diagnosis

Anamnesis informasi yang di peroleh dapat berupa mekanisme dan onset


terjadinya trauma, bahan penyebab trauma dan pekerjaan untuk mengetahui objek
penyebabnya. Anamnesis harus mencakup perkiraan ketajaman penglihatan
sebelum dan segera sesudah cedera. Harus dicatat apakah gangguan penglihatan
bersifat progresif lambat atau berawitan mendadak. Harus dicurigai adanya benda
asing intraokuler apabila terdapat riwayat terjadi ledakan atau mengasah. Riwayat
kejadian harus diarah secara khusus pada detail terjadinya trauma, riwayat
pembedahan okuler sebelumnya, riwayat penyakit, pengobatan sebelumnnya dan

alergi.
Pemeriksaan Fisik

Periksa tekanan bola mata secara palpasi. Jika tekanan bola mata terasa

lembek, maka curiga perforans, namun bila tidak maka non perforans.
2 Gerak bola mata dan tes konvergensi untuk melihat fungsi otot ekstra okuler.
Pemeriksaan Penunjang
1 Seidel Test : Jika subkonjungtiva dan kornea terlibat.
2 Funduskopi jika TIO normal

2) TRAUMA OCULI PERFORANS


Definisi
Luka pada bola mata dan disertai adanya hubungan antara intraokuler dan
ekstraokuler.
Gejala Klinis
Trauma okuli perforans, yaitu trauma okuli dengan ciri-ciri :

Adanya dinding orbita yang tertembus

Adanya kontaminasi intra okuli dengan udara luar

Prolaps bisa muncul, bisa tidak.

Diagnosis
Diagnosis trauma okuli perforans dapat di tegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang jika tersedia. Pada anamnesis informasi
yang di peroleh dapat berupa mekanisme dan onset terjadinya trauma, bahkan
penyebab trauma dan pekerjaan untuk mengetahui objek penyebabnya. Anamnesis
harus mencakup perkiraan ketajaman penglihatan sebelum dan segera sesudah cedera.
Harus di catat apakah gangguan penglihatan bersifat prograsif lambat atau berawitan
mendadak. Cedera pada anak dengan riwayat yang tidak sesuai dengan cedera yang
diderita, harus di curigai akan adanya penganiayaan anak. Riwayat kejadian harus
diarah secara khusus pada detail terjadinya trauma, riwayat pembedahan okuler
sebelumnya, riwayat penyakit, pengobatan sebelumnya dan alergi.
Pemeriksaan fisik dilakukan secara hati-hati dan manipulasi sedapat mungkin
diminimalisir. Pemeriksaan fisik dimulai dengan pengukuran dan pencatatan
ketajaman penglihatan. Apabila ganguan penglihatannya parah, maka periksa proyeksi
cahaya, diskriminasi dua titik, dan adanya defek pupil eferan. Periksa motilitas mata
dan sensasi kulit perorbita dan lakukan palpasi untuk mencari defek pada bagian tepi
tulang orbita. Pada pemeriksaan kornea dan konjungtiva bila luka tidak menyebabkan
ruptur bola mata, maka dilakukan eversi kelopak mata untuk mengetahui lokasi benda
tersebut sejelas-jelasnya. Kedalaman dan kejernihan kamera anterior dicatat. Ukuran

bentuk dan reaksi terhadap cahaya dari pupil harus dibandingkan dengan mata yang
lain untuk memastikan apakah terdapat defek pupil di mata yang cedera.
Pemeriksaan slit lamp juga dapat dilakukan untuk melihat kedalam cedera di
segmen anterior bola mata. Tes fluoresisn dapat digunakan untuk mewarnai kornea,
sehingga cedera kelihatan dengan jelas. Pemeriksaan tonometri perlu dilakukan untuk
mengetahui tekanan bola mata. Pemeriksaan fundus yang di dilatasikan dengan
oftalmoskop indirek penting untuk dilakukan untuk mengetahui adanya benda asing
intraokuler. Bila benda asing yang masuk cukup dalam, dapat dilakukan tes seidel
untuk mengetahui adanya cairan yang keluar dari mata. Tes ini dilakukan dengan cara
memberi anestesi pada mata yang akan di periksa, kemusian diuji pada strip
fluorescein steril. Penguji menggunakan slit lamp dengan filter kobalt biru, sehingga
akan terlihat perubahan warna strip akibat perubahan pH bila ada pengeluaran cairan
mata.
Pemeriksaan Ct-scan dan USG B-Scan digunakan untuk mengetahui posisi
benda asing. MRI kontraindikasi untuk kecurigaan trauma akibat benda logam.
Electroretinography (ERG) berguna untuk mengetahui ada tidaknya degenarasi pada
retina dan sering digunakan pada pasien yang tidak berkomunikasi dengan pemeriksa.
Bila dalam inspeksi terlihat rupture bola mata , atau adanya kecenderungan
rupture bola mata, maka tidak dilakukan pemeriksaan lagi. Mata dilindungi dengan
pelingdung tanpa bebat, kemudian dirujuk ke se spesialis mata. Dokumentasi foto
bermanfaat untuk tujuan-tujuan medikolegal pada semua kasus trauma eksternal.

Penatalaksanaan
Keadaan trauma tembus pada mata merupakan hal yang gawat darurat dan harus
segera mendapat perawatan khusus karena dapat menimbulkan bahaya seperti:
-

Infeksi

Siderosis, kalkosis dan oftalmika simpatika

Pada setiap tindakan bertujuan untuk :

Mempertahan bola mata

Mempertahankan penglihatan

Pada setiap keadaan, harus dilakukan usaha untuk mempertahankan bola mata bila
masih terdapat kemampuan melihat.

BERDASARKAN PENYEBABNYA
1)

TRAUMA MEKANIS

TRAUMA TUMPUL
Trauma tumpul pada mata dapat diakibatkan benda yang keras atau benda yang
tidak keras, dimana benda tersebut dapat mengenai mata dengan keras (kencang)
ataupun lambat.
Tingkatan dari rudapaksa mata ini tergantung dari besar, berat, energi kinetik dari
obyek.
Mekanisme :
Gelombang tekanan akibat dari rudapaksa mata menyebabkan :
1. Tekanan yang sangat tinggi dan jelas dalam waktu yang singkat didalam bola
mata.
2. Perubahan yang menyolok dari bola mata.
3. Tekanan dalam bola mata akan menyebar antara cairan vitreous yang kental
dan jaringan sclera yang tidak elastis.
4. Akibatnya terjadi peregangan dan robeknya jaringan pada tempat dimana ada
perbedaan elastisitas, mis: daerah limbus, sudut iridocorneal, ligamentum
Zinii, corpus ciliare.
Respon dari jaringan terhadap rudapaksa mata tumpul :

1. Vasokonstriksi dari pembuluh darah perifer, sehingga terjadi iskemia dan


nekrosis lokal.
2. Diikuti dengan vasodilatasi, hiperpermeabilitas, aliran darah yang menurun.
3. Dinding pembuluh darah robek maka cairan jaringan dan isi sel akan
menyebar menuju jaringan sekitarnya sehingga terjadi edema dan
perdarahan.
Karena tiap-tiap jaringan mempunyai sifat-sifat dan respon khusus terhadap
trauma maka akan dibicarakan satu-persatu.
A. PALPEBRA
Suatu benturan tumpul bisa mendorong mata ke belakang sehingga
kemungkinan merusak struktur pada permukaan (kelopak mata, konjungtiva,
sklera, kornea dan lensa) dan struktur mata bagian belakang (retina dan
persarafan). Karena palpebra merupakan pelindung bola mata maka saat terjadi
trauma akan melakukan refleks menutup. Hal ini akan menyebabkan terjadinya
hematoma palpebra. Hematoma ini terjadi karena keluarnya darah dari
pembuluh darah yang rusak pada trauma tersebut.

Gambar 2. Hematom
Palpebra B.
B. KONJUNGTIVA
Edema Konjungtiva
Jaringan konjungtiva yang bersifat selaput lendir dapat menjadi kemotik
pada setiap kelainannya, demikian pula akibat trauma tumpul. Bila kelopak
terpajan ke dunia luar dan konjungtiva secara langsung kena angin tanpa
dapat mengedip, maka keadaan ini telah dapat mengakibatkan edema pada
konjungtiva.

Kemotik konjungtiva yang berat dapat mengakibatkan palpebra tidak


menutup sehingga bertambah rangsangan terhadap konjungtiva.
Pada edema konjungtiva dapat diberikan dekongestan untuk mencegah
pembendungan cairan didalam selaput lendir konjungtiva.
Pada kemotik konjungtiva berat dapat dilakukan insisi sehingga cairan
konjungtiva kemotik keluar melalui insisi tersebut.

Gambar 3. Edema
Subkonjungtiva

Hematoma Subkonjungtiva
Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah yang terdapat pada atau
dibawah konjungtiva, seperti arteri konjungtiva dan arteri episklera.
Bila perdarahan ini terjadi akibat trauma tumpul maka perlu dipastikan
bahwa tidak terdapat robekan dibawah jaringan konjungtiva atau sklera.
Kadang-kadang hematoma subkonjungtiva menutupi keadaan mata yang
lebih buruk seperti perforasi bola mata. Pemeriksaan funduskopi adalah perlu
pada setiap penderita dengan perdarahan subkonjungtiva akibat trauma. Bila
tekanan bola mata rendah dengan pupil lonjong disertai tajam penglihatan
menurun dan hematoma subkonjungtiva maka sebaiknya dilakukan
eksplorasi bola mata untuk mencari kemungkinan adanya ruptur bulbus
okuli.
Pengobatan ini pada hematoma subkonjungtiva ialah dengan kompres
hangat. Perdarahan subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi dalam 1-2
minggu tanpa diobati.

Gambar 4. Hematom
Subkonjungtiva

KORNEA
Edema Kornea
Trauma tumpul yang keras atau cepat mengenai mata dapat
mengakibatkan edema kornea malahan ruptur membran descement. Edema
kornea akan memberikan keluhan penglihatan kabur dan terlihatnya pelangi
sekitar bola lampu atau sumber cahaya yang dilihat. Kornea akan terlihat
keruh dengan uji placido yang positif.
Edema kornea yang berat dapat mengakibatkan masuknya serbukan sel
radang dan neovaskularisasi kedalam jaringan stroma kornea.
Pengobatan yang diberikan adalah larutan hipertonik seperti NaCl 5%
atau larutan garam hipertonik 2-8%, glukose 40% dan larutan albumin.
Bila terdapat peninggian tekanan bola mata maka diberikan azetolamida.
Pengobatan untuk menghilangkan rasa sakit dan memperbaiki tajam
penglihatan dengan lensa kontak lembek dan mungkin akibat kerjanya
menekan kornea terjadi pengurangan edema kornea.
Penyulit trauma kornea yang berat berupa terjadinya kerusakan membran
descement yang lama sehingga mengakibatkan keratopati bulosa yang akan
memberikan keluhan rasa sakit dan menurunkan tajam penglihatan akibat
astimagtisme ireguler.

Gambar 5. Edema Kornea

Erosi Kornea

Erosi kornea merupakan keadaan terkelupasnya epitel kornea yang dapat


diakibatkan oleh gesekan keras pada epitel kornea. Erosi dapat terjadi tanpa
cedera pada membran basal. Dalam waktu yang pendek epitel sekitarnya
dapat bermigrasi dengan cepat dan menutupi defek epitel tersebut.
Pada erosi pasien akan merasa sakit sekali akibat erosi merusak kornea
yang mempunnyai serat sensibel yang banyak, mata berair, denagan kornea
yang keruh.
Pada kornea akan terlihat suatu defek epitel kornea yang bila diberi
perwanaan fluorescein akan berwarna hijau.
Epitel yang terkelupas atau terlipat sebaiknya dilepas atau dikupas.
Untuk mencegah infeksi bakteri diberikan antibiotika spektrum luas seperti
neosporin, kloramfenikol, dan sulfasetamide tetes mata. Akibat rangsangan
yang mengakibatkan spasme siliar maka diberikan siklopegik aksi pendek
seperti tropikamida. Pasien akan merasa lebih tertutup bila dibebat tekan
selama 24 jam. Erosi yang kecil biasanya tertutup kembali setelah 48 jam.

Gambar 6. Erosi Kornea

D. BILIK MATA DEPAN


Hifema (Perdarahan dalam bilik mata depan yang berasal dari iris dan
corpus siliare)

Respon vaskuler yang terkena adalah Arteri Ciliaris

Anterior,

perdarahan vena di Schlemm kanal dan adanya hipotoni, seperti pada


siklodialisis. Pada umumnya 70 % kasus penyerapan terjadi dalam waktu 5-6
hari.
Bila perdarahan luas koagulasi dibilik mata depan akan luas dimana
terjadi gumpalan fibrin dan darah merah. Hal ini akan memperlambat
penyerapan ditambah lagi hambatan mekanis terhadap outflow humor
aquos disudut iridocorneal.
Pada beberapa produk darah menempel pada bagian anterior pigmen
membran dari iris didaerah pupil dan sudut iridocorneal.Walaupun sepintas
bilik mata depan jernih, tetapi iritis cukup kuat untuk membentuk sinekia
anterior dan posterior. Hifema sekunder pada umumnya nampak antara hari
ke 2 dan ke 5. biasanya diikuti dengan ancaman iritis.
Pada hifema ringan dapat terjadi glaukoma sekunder dengan
meningkatnya tekanan intraokuler. Hal ini dari adanya edema di trabekuler
meshwork, sehingga terjadi gangguan outflow humor aquos. Tekanan
intraokuli kadang baru terjadi beberapa hari setelah trauma, ini adalah akibat
adanya perdarahan sekunder. Frekuensi perdarahan sekunder tanpa kenaikan
tekanan intraokuler 30%. Frekuensi perdarahan sekunder dengan kenaikan
tekanan intraokuler 50%.

Gambar 7. Hyfema

PERAWATAN KONSERVATIF/TANPA OPERASI


1. Tirah baring sempurna (bed rest total)

Penderita ditidurkan dalam keadaan terlentang dengan posisi kepala


diangkat (diberi alas bantal) dengan elevasi kepala 30 - 45. Hal ini akan
mengurangi tekanan darah pada pembuluh darah iris serta memudahkan
kita mengevaluasi jumlah perdarahannya. Ada banyak pendapat dari
banyak ahli mengenai tirah baring sempurna ini sebagai tindakan pertama
yang harus dikerjakan bila menemui kasus traumatik hifema. Bahkan Darr
dan Rakusin menunjukkan bahwa dengan tirah baring sempurna absorbsi
dari hifema dipercepat dan sangat mengurangi timbulnya komplikasi
perdarahan sekunder.
Istirahat total ini harus dipertahankan minimal 5 hari mengingat
kemungkinan perdarahan sekunder. Hal ini sering sukar dilakukan,
terlebih-lebih pada anak-anak.
2. Bebat mata
Mengenai pemakaian bebat mata, masih belum ada persesuaian
pendapat di antara para ahli. Edward- Layden lebih condong untuk
menggunakan bebat mata pada mata yang terkena trauma saja, untuk
mengurangi pergerakan bola mata yang sakit. Selanjutnya dikatakan
bahwa pemakaian bebat pada kedua mata akan menyebabkan penderita
gelisah, cemas dan merasa tak enak, dengan akibat penderita (matanya)
tidak

istirahat

Akhirnya

Rakusin

mengatakan

bahwa

dalam

pengamatannya tidak ditemukan adanya pengaruh yang menonjol dari


pemakaian bebat atau tidak terhadap absorbsi, timbuInya komplikasi
maupun prognosa bagi tajam penglihatannya:
3. Pemakaian obat-obatan
Pemberian obat-obatan pada penderita dengan traumatik hifema
tidaklah mutlak, tapi cukup berguna untuk menghentikan perdarahan,
mempercepat absorbsinya dan menekan komplikasi yang timbul. Untuk
maksud di atas digunakan obat-obatan seperti :
(a) Koagulansia

Golongan obat koagulansia ini dapat diberikan secara oral


maupun

parenteral,

berguna

untuk

menekan/menghentikan

perdarahan, Misalnya : Anaroxil, Adona AC, Coagulen, Transamin,


vit K dan vit C.
Pada hifema yang baru dan terisi darah segar diberi obat anti
fibrinolitik (Dipasaran obat ini dikenal sebagai transamine/ transamic
acid) sehingga bekuan darah tidak terlalu cepat diserap dan pembuluh
darah diberi kesempatan untuk memperbaiki diri dahulu sampai
sembuh.

Dengan

demikian

diharapkan

terjadinya

perdarahan

sekunder dapat dihindarkan. Pemberiannya 4 kali 250 mg dan hanya


kira-kira 5 hari jangan melewati satu minggu oleh karena dapat
timbulkan gangguan transportasi cairan COA dan terjadinya
glaukoma juga imbibisio kornea. Selama pemberiannya jangan lupa
pengukuran tekanan intra okular.
(b) Midriatika Miotika
Masih banyak perdebatan mengenai penggunaan obat-obat
golongan midriatika atau miotika, karena masing-masing obat
mempunyai keuntungan dan kerugian sendiri-sendiri: Miotika
memang akan mempercepat absorbsi, tapi meningkatkan kongesti dan
midriatika akan mengistirahatkan perdarahan. Gombos menganjurkan
pemberian midriatika bila didapatkan komplikasi iridiocyclitis.
Akhirnya Rakusin membuktikan bahwa pemberian midriatika dan
miotika bersama-sama dengan interval 30 menit sebanyak dua kali
sehari akan mengurangi perdarahan sekunder dibanding pemakaian
salah satu obat saja. Darr menentangnya dengan tanpa menggunakan
kedua golongan obat tersebut pada pengobatan hifema traumatik.
(c) Ocular Hypotensive Drug
Semua para ahli menganjurkan pemberian acetazolamide
(Diamox) secara oral sebanyak 3x sehari bilamana ditemukan adanya
kenaikan

tekanan

intraokuler. Bahkan

Gombos

dan Yasuna

menganjurkan juga pemakaian intravena urea, manitol dan gliserin

untuk menurunkan tekanan intraokuler, walaupun ditegaskan bahwa


cara ini tidak rutin.
Pada hifema yang penuh dengan kenaikan tekanan intra okular,
berilah diamox, glyserin, nilai selama 24 jam :
Bila tekanan intra okular tetap tinggi atau turun, tetapi tetap
diatas normal, lakukan parasentesa yaitu pengeluaran darah melalui
sayatan di korneaBila tekanan intra okular turun sampai normal,
diamox terus diberikan dan dievaluasi setiap hari. Bila tetap normal
tekanan intra okularnya dan darahnya masih ada sampai hari ke 5-9
lakukan juga parasentesa.
(d) Kortikosteroid dan Antibiotika
Pemberian hidrokortison 0,5% secara topikal akan mengurangi
komplikasi iritis dan perdarahan sekunder dibanding dengan
antibiotika. Yasuna menganjurkan pemberian prednison 40 mg/hari
secara oral segera setelah terjadinya hifema traumatik guna
mengurangi perdarahan sekunder.
(e) Obat-obat lain
Sedativa diberikan bilamana penderita gelisah. Diberikan
analgetika bilamana timbul rasa nyeri.
PERAWATAN OPERASI
Perawatan cara ini akan dikerjakan bilamana ditemukan glaukoma
sekunder, tanda imbibisi kornea atau hemosiderosis cornea dan tidak ada
pengurangan dari tingginya hifema dengan perawatan non-operasi selama 3 5 hari.
Untuk mencegah atrofi papil saraf optik dilakukan pembedahan bila
tekanan bola mata maksimal > 50 mmHg selama 5 hari atau tekanan bola
mata maksimal > 35 mmHg selama 7 hari. Untuk mencegah imbibisi kornea
dilakukan pembedahan bila tekanan bola mata rata-rata > 25 mmHg selama 6

hari atau bila ditemukan tanda-tanda imbibisi kornea. Untuk mencegah


sinekia anterior perifer dilakukan pembedahan bila hifema total bertahan
selama 5 hari atau hifema difus bertahan selama 9 hari.
Intervensi bedah biasanya diindikasikan pada atau setelah 4 hari. Dari
keseluruhan indikasinya adalah sebagai berikut :
a. Empat hari setelah onset hifema total
b. Microscopic corneal bloodstaining (setiap waktu)
c. Hifema total dengan dengan Tekanan Intra Okular 50 mmHg atau lebih
selama 4 hari (untuk mencegah atrofi optic)
d. Hifema total atau hifema yang mengisi lebih dari COA selama 6 hari
dengan tekanan 25 mmHg (untuk mencegah corneal bloodstaining)
e. Hifema mengisi lebih dari COA yang menetap lebih dari 8-9 hari
(untuk mencegah peripheral anterior synechiae)
f. Pada pasien dengan sickle cell disease dengan hifema berapapun
ukurannya dengan Tekanan Intra Ocular lebih dari 35 mmHg lebih dari
24 jam.Jika Tekanan Inta Ocular menetap tinggi 50 mmHg atau lebih
selama 4 hari, pembedahan tidak boleh ditunda. Suatau studi mencatat
atrofi optic pada 50 persen pasien dengan total hifema ketika
pembedahan terlambat. Corneal bloodstaining terjadi pada 43% pasien.
Pasien dengan sickle cell hemoglobinopathi

diperlukan operasi jika

tekanan intra ocular tidak terkontrol dalam 24 jam.6

E. IRIS
1.

Iridodialisis
Trauma tumpul dapat mengakibatkan robekan pada pangkal iris sehingga
bentuk pupil menjadi berubah. Pasien akan melihat ganda dengan satu
matanya.

Pada iridosialisis akan terlihat pupil lonjong. Biasanya iridodialisis


terjadi bersama-sama dengan terbentuknya hifema.
Bila keluhan demikian maka pada pasien sebaiknya dilakukan
pembedahan dengan melakukan reposisi pangkal iris yang terlepas.

Gambar 8. Iridodialisis

F. LENSA
a. Dislokasi Lensa. Dislokasi lensa terjadi pada putusnya zonula zinn yang
akan mengakibatkan kedudukan lensa terganggu.

Gambar 9. Dislokasi
Lensa
b. Subluksasi Lensa. Terjadi akibat putusnya sebagian zonula zinn sehingga
lensa berpindah tempat. Subluksasi lensa dapat juga terjadi spontan
akibat pasien menderita kelainan pada zonula zinn yang rapuh (sindrom
Marphan). Pasien pasca trauma akan mengeluh penglihatan berkurang.
Subluksasi lensa akan memberikan gambaran pada iris berupa
iridodonesis. Akibat pegangan lensa pada zonula tidak ada maka lensa
yang elastic akan menjadi cembung, dan mata akan menjadi lebih
miopik. Lensa yang menjadi sangat cembung mendorong iris ke depan
sehingga sudut bilik mata tertutup. Bila sudut bilik mata menjadi sempit
pada mata ini mudah terjadi glaucoma sekunder.
c. Luksasi Lensa Anterior. Bila seluruh zonula zinn di sekitar ekuator putus
akibat trauma maka lensa dapat masuk ke dalam bilik mata depan.
Akibat lensa terletak dalam bilik mata depan ini maka akan terjadi
gangguan pengaliran keluar cairan bilik mata sehingga akan timbul
glaucoma kongestif akut dengan gejala-gejalanya. Pasien akan mengeluh
penglihatan menurun mendadak, disertai rasa sakit yang sangat, muntah,
mata merah dengan blefarospasme. Terdapat injeksi siliar yang berat,
edema kornea, lensa di dalam bilik mata depan. Iris terdorong ke
belakang dengan pupil yang lebar. Tekanan bola mata sangat tinggi.
d. Luksasi Lensa Posterior. Pada trauma tumpul yang keras pada mata
dapat terjadi luksasi lensa posterior akibat putusnya zonula zinn di

seluruh lingkaran ekuator lensa sehingga lensa jatuh ke dalam badan


kaca dan tenggelam di dataran bawah polus posterior fundus okuli.
Pasien akan mengeluh adanya skotoma pada lapang pandangannya
akibat lensa mengganggu kampus. Mata ini akan menunjukkan gejala
mata tanpa lensa atau afakia. Pasien akan melihat normal dengan lensa
+12.0 dioptri untuk jauh, bilik mata depan dalam dan iris tremulans.
Lensa yang terlalu lama berada dalam polus posterior dapat
menimbulkan penyulit akibat degenerasi lensa, berupa glaucoma
fakolitik ataupun uveitis fakotoksik

TRAUMA TAJAM
Trauma tajam pada mata adalah suatu trauma dimana seluruh lapisan jaringan
atau organ mengalami kerusakan.
ETIOLOGI
Trauma tajam disebabkan benda tajam atau benda asing masuk ke dalam
bola mata.
TANDA DAN GEJALA
1. Tajam penglihatan yang menurun
2. Tekanan bola mata rendah
3. Bilikmata dangkal
4. Bentuk dan letak pupil berubah
5. Terlihat adanya ruptur pada cornea atau sclera
6. Terdapat jaringan yang prolaps seperti caiaran mata iris,lensa,badan kaca
atau retina
7. Konjungtiva kemotis

PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiology pada trauma mata sangat membantu dalam
menegakkan diagnosa, terutama bila ada benda asing .Pemeriksaan ultra
sonographi untuk menentukan letaknya, dengan pemeriksaan ini dapat
diketahui benda tersebut pada bilik mata depan, lensa, retina.
b. Pemeriksaan Computed Tomography (CT)
Suatu tomogram dengan menggunakan komputer dan dapat dibuat
scanning dari organ tersebut.

PENATALAKSANAAN
Bila terlihat salah satu tanda diatas atau dicurigai adanya perforasi bola
mata, maka secepatnya dilakukan pemberian antibiotik topical, mata ditutup,
dan segera dikirim kepada dokter mata untuk dilakukan pembedahan.
Sebaiknya dipastikan apakah ada benda asing yang masuk ke dalam mata
dengan membuat foto. Pada pasien dengan luka tembus bola mata selamanya
diberikan antibiotik sistemik atau intravena dan pasien dikuasakan untuk
kegiatan pembedahan. Pasien juga diberi antitetanus provilaksis, dan kalau
perlu penenang. Trauma tembus dapat terjadi akibat masuknya benda asing
ke dalam bola mata. Benda asing didalam bola mata pada dasarnya perlu
dikeluarkan dan segera dikirim ke dokter mata. Benda asing yang bersifat
magnetic dapat dikeluarkan dengan mengunakan magnet raksasa. Benda
yang tidak magnetic dikeluarkan dengan vitrektomi. Penyulit yang dapat
timbul karena terdapatnya benda asing intraokular adalah endoftalmitis,
panoftalmitis, ablasi retina, perdarahan intraokular dan ptisis bulbi.

2)

TRAUMA KIMIA

TRAUMA ASAM
Trauma asam merupakan salah satu jenis trauma kimia mata dan termasuk
kegawatdaruratan mata yang disebabkan zat kimia bersifat asam dengan pH < 7.
Beberapa zat asam yang sering mengenai mata adalah asam sulfat, asam asetat,
hidroflorida, dan asam klorida. Jika mata terkena zat kimia bersifat asam maka
akan terlihat iritasi berat yang sebenarnya akibat akhirnya tidak berat. Asam akan
menyebabkan koagulasi protein plasma. Dengan adanya koagulasi protein ini
menimbulkan keuntungan bagi mata, yaitu sebagai barrier yang cenderung
membatasi penetrasi dan kerusakan lebih lanjut. Hal ini berbeda dengan basa
yang mampu menembus jaringan mata dan akan terus menimbulkan kerusakan
lebih jauh. Selain keuntungan, koagulasi juga menyebabkan kerusakan
konjungtiva dan kornea. Dalam masa penyembuhan setelah terkena zat kimia

asam akan terjadi perlekatan antara konjugtiva bulbi dengan konjungtiva tarsal
yang disebut simblefaron.(Susanto, 2004; Vaughan, 2000)
Penatalaksanaan yang tepat pada trauma kimia adalah irigasi dengan
menggunakan salin isotonic steril dan memeriksa pH permukaan mata dengan
meletakkan seberkas kertas indicator di forniks. Ulangi irigasi apabila pH tidak
terletak antara 7,3-7,7. (Vaughan, 2000).

TRAUMA BASA
Trauma akibat bahan kimia basa akan memberikan iritasi ringan pada mata
apabila dilihat dari luar. Namun, apabila dilihat pada bagian dalam mata, trauma
basa ini mengakibatkan suatu kegawatdaruratan. Basa akan menembus kornea,
camera oculi anterior, dan sampai retina dengan cepat, sehingga berakhir dengan
kebutaan. Pada trauma basa akan terjadi penghancuran jaringan kolagen kornea.
Bahan kimia basa bersifat koagulasi sel dan terjadi proses persabunan, disertai
dengan dehidrasi.
Menurut klasifikasi Thoft, trauma basa dapat dibedakan menjadi:
Derajat 1 : terjadi hiperemi konjungtiva disertai dengan keratitis pungtata
Derajat 2 : terjadi hiperemi konjungtiva disertai hilangnya epitel kornea
Derajat 3 : terjadi hiperemi disertai dengan nekrosis konjungtiva dan
lepasnya epitel kornea
Derajat 4 : konjungtiva perilimal nekrosis sebanyak 50%
Tindakan bila terjadi trauma basa adalah secepatnya melakukan irigasi
dengan garam fisiologik selama mungkin. Bila mungkin irigasi dilakukan paling
sedikit 60 menit setelah trauma. Penderita diberi sikloplegia, antibiotika, EDTA
untuk mengikat basa. EDTA diberikan setelah 1 minggu trauma basa, diperlukan
untuk menetralisir kolagenase yang terbentuk pada hari ketujuh. Penyulit yang
dapat terjadi adalah simblefaron, kekeruhan kornea, edema, dan neovaskularisasi
kornea, katarak, disertai dengan ptisis bola mata.

Gambar 10. Stadium pada Trauma Basa

3)

TRAUMA FISIK

CAHAYA
Cahaya yang berasal dari matahari atau alat untuk las mengandung ultraviolet
yang dapat mengakibatkan konjungtivitis dan keratitis, sedangkan cahaya dari
pembikinan kaca (Glass Blomers) banyak mengandung infra red yang dapat
mengakibatkan katarak.
-

Anamnesa :

Mata terasa nyeri

Epifora yang timbul 6-12 jam sesudah melihat cahaya tersebut

Pemeriksaan :

Hiperemi konjungtiva

Flurescein test positif

Pengobatan :

Pada Konjungtiva beri antibiotika lokal,atropine bila fluorescein luar

KEBAKARAN
Dengan adanya reflek perlindungan menutup palpebra sering kornea dan
konjungtiva terhindar dari bahaya kebakaran, sehingga kelainan terbatas pada
palpebra.
Pengobatan

: Tidak berbeda dengan kelainan akibat luka bakar pada kulit


bagian tubuh yang lain.

LEDAKAN
Ledakan yang cukup kuat dapat menimbulkan bermacam-macam kerusakan.
Pengobatan diberikan.

BLOW OUT FRAKTUR


Patah tulang dasar orbita tanpa kerusakan dari rima orbita akibat perubahan
mendadak dan ruang retrobulbar karena perubahan tekanan yang terjadi akibat
hantaman yang keras pada bulbus oculi.
-

Anamnesa :

Adanya trauma

Visus menurun

Nyeri

Diplopia

Mual

Muntah

Pemeriksaan :

Edema hypoestesi daerah saraf intraorbita

Tanda-tanda patah tulang : Gerakan terbatas,enoftalmus

Pengobatan :

Konservatif selama 3 minggu untuk mengevaluasi sambil menunggu


oedema dan ekhimosis berkurang

Bila enoftalmus masih tampak,keluhan diplopia sangat menganggu :


operatif.

Gambar 11. Blow out fracture

BAB IV
KESIMPULAN
Trauma pada mata dapat terjadi dalam bentuk-bentuk antara lain trauma mekanik
(tumpul dan tajam), trauma kimia (asam dan basa), dan trauma fisik. Pemeriksaan awal pada
trauma mata antara lain meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Anamnesis harus mencakup perkiraan ketajaman penglihatan sebelum dan

segera

sesudah cedera. Harus dicatat apakah gangguan penglihatan bersifat progesif lambat atau
berawitan mendadak. Harus dicurigai adanya benda asing intraocular apabila terdapat riwayat
memalu, mengasah atau ledakan.
Pemeriksaan fisik dimulai dengan pengukuran dan pencatatan ketajaman penglihatan.
Apabila gangguan penglihatannya parah, maka periksa proyeksi cahaya, diskriminasi duatitik dan adanya defek pupil aferen. Periksa motilitas mata dan sensasi kulit periorbita dan
lakukan palpasi untuk mencari defek pada bagian tepi tulang orbita. Pada pemeriksaan
bedside, adanya enoftalmus dapat ditentukan dengan melihat profil kornea dari atas alis.
Apabila tidak tersedia slit-lamp di ruang darurat, maka senter, kaca pembesar atau
oftalmoskop langsung pada + 10 ( nomor gelap ) dapat digunakan untuk memeriksa adanya
cedera dipermukaan tarsal kelopak mata dan segmen anterior.
Permukaan kornea diperiksa untuk mencari adanya benda asing, luka dan abrasi.
Dilakukan inspeksi konjungtiva bulbaris untuk mencari adanya perdarahan, benda asing atau
laserasi. Kedalaman dan kejernihan kamera anterior dicatat. Ukuran, bentuk dan reaksi
terhadap cahaya dari pupil harus dibandingkan dengan mata yang lain untuk memastikan
apakah terdapat defek pupil aferen di mata yang cedera. Apabila bola mata tidak rusak, maka
kelopak, konjungtiva palpebra dan forniks dapat diperiksa secara lebih teliti, termasuk
inspeksi setelah eversi kelopak mata atas. Oftalmoskop langsung dan tidak langsung
digunakan untuk mengamati lensa, korpus vitreosus, diskus optikus, dan retina. Dokumentasi
foto bermanfaat untuk tujuan-tujuan medikolegal pada semua kasus trauma eksternal. Pada
semua kasus trauma mata, mata yang tampak tidak cedera juga harus diperiksa dengan teliti.

DAFTAR PUSTAKA

1. Tjokronegoro, Arjatmo. 2003. Ilmu Penyakit Mata,3 rd edisi. Jakarta : Balai

Penerbit

FKUI
2. Radjamin R.K.et all. 1998. Ilmu Penyakit mata. 3rd edisi. Surabaya : Airlangga University
Press.
3. Ilyas,Sidharta. 2005. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. 3rd edisi. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI
4. James, Bruce, et al. 2006 . Lecture Notes Oftalmologi, 9th eds. Surabaya : Airlangga.
5. Government. Contusio Bulbi. Available on http.//www. NCBI, nlm. Nih. Gov/enter
contusion_bulbi access on May 18th 2016. US : NCBI.

Anda mungkin juga menyukai