Anda di halaman 1dari 15

HUKUM PERNIKAHAN BEDA AGAMA

DALAM PERSPEKTIF ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah


Hubungan antar umat beragama telah lama menjadi isu

yang

populer

konsekuensi

di

dari

Indonesia.

Popularitas

masyarakat

isu

Indonesia

ini

yang

sebagai
majemuk,

khususnya dari segi agama dan etnis. Karena itu, persoalan


hubungan antar umat beragama ini menjadi perhatian dari
berbagai

kalangan,

tidak

hanya

pemerintah

tetapi

juga

komponen lain dari bangsa ini, sebut saja misalnya, LSM,


lembaga keagamaan, baik Islam maupun non Islam dan lain
sebagainya.
Seringkali kita lihat di tengah masyarakat apalagi di
kalangan orang berkecukupan dan kalangan selebriti terjadi
pernikahan beda agama, entah si pria yang muslim menikah
dengan wanita non muslim (nashrani, yahudi, atau agama
lainnya) atau barangkali si wanita yang muslim menikah dengan
pria

non

muslim.

pemahaman
perbedaan

Namun

sebagian
agama

kadang

orang

yang

(pemahaman

kita

hanya

sangat

liberal).

Tak

mengikuti

mengagungkan
sedikit

yang

terpengaruh dengan pemahaman liberal semacam itu, yang


mengagungkan kebebasan, yang pemahamannya benar-benar

jauh dari Islam. Paham liberal menganut keyakinan perbedaan


agama dalam pernikahan tidaklah jadi masalah.
Namun bagaimana sebenarnya menurut pandangan Islam
yang benar mengenai status pernikahan beda agama? Berangkat
dari permasalahan itu kami mencoba untuk menjelas sekelumit
tentang bagaimana hukumnya pernikahan beda agama, baik itu
menurut UUD 1945, Kompilasi Hukum Islam, dan juga menurut
agama Islam itu sendiri.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian nikah ?
2. Bagaimana pernikahan beda agama menurut hukum Islam ?
3. Adakah dalil mengenai pernikahan beda agama ?
4. Bagaimana hukumnya pernikahan beda agama menurut hukum Negara ?
C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pengertian nikah.


2. Memahami pandangan Islam mengenai pernikahan beda agama.
3. Mengetahui dalil mengenai pernikahan beda agama.
4. Memahami pandangan hukum negara mengenai hukum pernikahan beda
agama.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nikah
Pengertian nikah perlu dibahas terlebih dahulu sebelum kita memasuki lebih
jauh pembahasan tentang nikah. Kata nikah berasal dari bahasa Arab NakahaYankihu-Nikhan yang berarti kawin atau perkawinan. Kata nikah ini sudah
diadopsi dari bahasa Arab dan menjadi kata bahasa Indonesia yang sangat populer
serta ditujukan pada hajat manusia yang lain jenis dalam meresmikan
perjodohannya. Sedangkan kata kawin sering diidentikkan dengan hal-hal yang
negatif dan berbau kebinatangan. Umat islam yang meresmikan perjodohannya
dengan pasangan pilihannya dengan disaksikan (diketahui) oleh masyarakat
sekitarnya disebut telah melaksankan nikah, sedangkan umat manusia yang
melakukan kumpul kebo bisa disebut kawin karena tidak berbeda jauh dengan
binatang dalam hal memuaskan nafsu birahinya, serta tidak mengindakan aturan,
norma dan nilai-nilai sosial yang telah ditetapkan agama.
Definisi nikah menurut syara adalah melakukan aqad (perjanjian) antara
calon suami dan istri agar dihalalkan melakukan pergaulan sebagaimana suami
istri dengan mengikuti norma, nilai-nilai sosial dan etika agam. Aqad yang

dimaksudkan di sini adalah pengucapan ijab dari pihak wali perempuan atau
wakilnya dan pengucapan qabul dari pihak calon suami atau bisa diwakilkan.1
Sedangkan pengertian nikah menurut Abu Haifah adalah aqad yang
dikukuhkan untuk memperoleh kenikmatan dari seorang wanita, yang dilakukan
dengan sengaja. Pengukuhan yang dimaksud adalah suatu pengukuhan yang
sesuai dengan ketetapan pembuat syariah, bukan sekedar pengukuhan yang
dilakukan oleh dua orang yang saling membuat aqad (perjanjian) yang bertujuan
hanya sekedar untuk mendapatkan kenikmatan belaka.
Menurut mazhab Maliki, pernikahan adalah Aqad yang dilakukan untuk
mendapatkan kenikmatan dari wanita, yang dengan aqad tersebut seseorang akan
terhindar dari perbuatan zina.
Menurut mazhab Syafii pernikahan adalah aqad yang menjamin
diperboleh-kannya persetubuhan antara seorang laki-laki dan perempuan.
Dan menurut mazhab Hambali adalah aqad yang di dalamnya terdapat
lafadz pernikahan secara jelas, agar diperbolehkan bercampur.2

Bila

diperhatikan kembali dari keempan definisi yang dipaparkan oleh


beberapa mazhab di atas jelas, bahwa yang menjadi inti pokok
pernikahan itu adalah aqad.
B. Tujuan Nikah
Di dunia ini Allah menciptakan segala sesuatu dengan ada maksud atau
tujuan tertentu, begitu pula dengan nikah. Tujuah nikah ialah menurut perintah
Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan
mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur. Selain itu ada pula yang
1 Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan,
(Yogyakarta: Darussalam, 2004), hal. 5-63

2 M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah


Kontemporer Hukum Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997),
hal. 1-2

mengatakan bahwa tujuan pernikahan dalam Islam selain untuk memenuhi


kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk membentuk
keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalani hidupnya
di dunia ini, juga mencegah perzinahan, agar terciptanya ketenangan jiwa bagi
yang bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat.3
Menurut Ny. Soemijati, S.H., dalam buku Hukum Pernikahan Islam yang
ditulis oleh Mohd. Idris Ramulyo, S.H., M.H., disebutkan bahwa tujuan
pernikahan dalam islam adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat
kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka
mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayag,
untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikut
ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syariat. Rumusan tujuan pernikahan
di atas dapat diperinci sebagai berikut:
1. Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat
kemanusiaan.
2. Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih
3. Memperoleh keturunan yang sah
Dari rumusan di atas, filosof Islam Imam Ghazali membagi tujuan dan
faedah pernikahan kepada lima hal, yaitu:
1. Memperoleh keturunan sah yang akan melangsungkan keturunan serta
memperkembangkan suku-suku bangsa manusia.
2. Memenuhi tuntunan naluri hidup manusia.
3. Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan .
4.

Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama


dari masya-rakat besar di atas dasar kecintaan dan kasih saying.

3 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,


1996), hal. 26-274

5. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rizki penghidupan yang


halal, dan memperbesar rasa tanggungjawab.
C. Pengertian Nikah Beda Agama
Di atas telah penulis paparkan mengenai pengertian nikah, di sini penulis
juga akan memaparkan pengertian nikah, tapi nikah yang dimaksudkan di sini
adalah pengertian nikah beda agama. Menurut Rusli, SH dan R. Tama, yang
dimaksud dengan pengertian pernikahan beda agama adalah merupakan ikatan
lahir dan batin antara seorang laki-laki dan perempuan, yang karena berbeda
agama. Menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai
syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan pernikahan sesuai dengan hukum
agamanya masing-masing, dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan
kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
5
Menurut I. Ketut Madra, SH dan I. Ketut Artadi, SH yang dimaksud dengan
pernikahan beda agama adalah ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan
yang masing-masing berbeda agamanya dengan mempertahankan perbedaan
agamanya itu sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan menurut Abdurrahman, SH yang dimaksud dengan pernikahan
beda agama adalah suatu pernikahan yang dilakukan oleh orang-orang yang
memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda satu dengan yang lainnya.4
Dari

berbagai

pengetian

nikah

beda

agama

yang

dikemukakan oleh para sarjana diatas dapat kami simpulkan


bahwa yang dimaksud dengan pernikahan beda agama menurut
mereka adalah pernikahan antar dua orang yang berbeda agama

4 Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: PT


RajaGrafindo, 1996), hal. 35-366

dan

masing-masing

tetap

mempertahankan

agama

yang

dianutnya.
D. Pandangan Islam Mengenai Pernikahan Beda Agama
Dalam Islam, menikah bukan hanya menyatukan dua manusia, melainkan
ada aturan atauran yang harus diperhatikan, sehingga dengan aturan aturan itu
menimbulkan adanya pernikahan yang sah dan tidak sah, serta pernikahan yang
diperbolehkan dan tidak diperbolehkan, lantas bagaimana dengan pernikahan beda
agama ?
Pada dasarnya ulama membolehkan menikah beda agama, namun dengan
kondisi seorang Muslim laki-laki menikah dengan wanita Ahli Kitab (Nasrani dan
Yahudi). Ini pendapat jumhur (mayoritas ulama).
Dalam beberapa literatur dan juga kitab-kitab Tafsir disebutkan perbedaan
pendapat apakah selain wanita Ahli Kitab, seorang Muslim boleh menikahinya?
Artinya ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menikahi wanita non-Muslim
yang dari selain Ahli Kitab.
Imam Syafii dalam kitab klasiknya, Al-Umm, mendefinisikan Kitabiyah
dan non Kitabiyah sebagai berikut, Yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah
orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berasal dari keturunan bangsa Israel asli.
Adapun umat-umat lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani, rnaka mereka
tidak termasuk dalam kata ahlul kitab. Sebab, Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s.
tidak diutus kecuali untuk Israil dan dakwah mereka juga bukan ditujukan bagi
umat-umat setelah Bani israil.
Jumhur sahabat dan jumhur ulama pun membolehkan pernikahan berbeda
agama dalam keadaan seperti ini, yakni laki laki muslim menikahi wanita muslim,
diantara para jumhur shahabat membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita
kitabiyah, diantaranya adalah Umar bin Al-Khattab, Ustman bin Affan, Jabir,

Thalhah, Huzaifah. Bersama dengan para sahabat Nabi juga ada para tabi` Insya
Allah seperti Atho`, Ibnul Musayib, al-Hasan, Thawus, Ibnu Jabir Az-Zuhri.
Adapun jika keadaannya terbalik, wanita muslim menikahi laki laki non
muslim (kafir / musyrik) Ijma (konsensus) ulama: tidak diperbolehkan seorang
wanita Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim, apapun jenis ke-nonMuslimannya. Entah itu dia seorang Nasrani, Yahudi, Budha, Hindu atau agama
pun, yang penting ia bukanlah seorang Muslim.
Yang sedikit berbeda pendapatnya hanyalah Imam Malik dan Imam
Ahmad bin Hanbal, dimana mereka berdua tidak melarang hanya memkruhkan
menikahi wanita kitabiyah selama ada wanita muslimah.
Pendapat yang mengatakan bahwa nasrani itu musyrik adalah pendapat
Ibnu Umar. Beliau mengatakan bahwa nasrani itu musyrik. Selain itu ada Ibnu
Hazm yang mengatakan bahwa tidak ada yang lebih musyrik dari orang yang
mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa. Sehingga menurut mereka menikahi
wanita ahli kitab itu haram hukumnya karena mereka adalah musyrik.
7
Namun jumhur Ulama tetap mengatakan bahwa wanita kitabiyah itu
boleh dinikahi, meski ada perbedaan dalam tingkat kebolehannya. Namun
demikian, wanita muslimah yang komitmen dan bersungguh-sungguh dengan
agamanya tentu lebih utama dan lebih layak bagi seorang muslim dibanding
wanita ahlul kitab. Juga apabila ia khawatir terhadap akidah anak-anak yang lahir
nanti, serta apabila jumlah pria muslim sedikit sementara wanita muslimah
banyak, maka dalam kondisi demikian ada yang berpendapat haram
hukumnyapria muslim menikah dengan wanita non muslim.
Secara ringkas hukum nikah beda agama bisa kita bagi menjadi demikian :
1. Suami Islam, istri ahli kitab = boleh

2. Suami Islam, istri kafir bukan ahli kitab = haram


3. Suami ahli kitab, istri Islam = haram
4. Suami kafir bukan ahli kitab, istri Islam = haram
Dibolehkannya laki-laki muslim menikah dengan wanita ahlul kitab namun
tidak sebaliknya karena laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, berkuasa atas
isterinya, dan bertanggung jawab terhadap dirinya. Namun perlulah diketahui
masih adakah yg namanya wanita ahlul kitab zaman sekarang ? wallahu`alam itu
seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami.dan untuk hal satu ini adalah sulit
laki laki menemukan wanita ahli kitab walaupun diperbolehkan.
Islam menjamin kebebasan aqidah bagi isterinya, serta melindungi hak-hak
dan kehormatannnya dengan syariat dan bimbingannya. Akan tetapi, agama lain
seperti nasrani dan yahudi tidak pernah memberikan jaminan kepada isteri yang
berlainan agama.
E. Dalil Mengenai Pernikahan Beda Agama
Allah Taala berfirman,

8

.dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanitawanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu, mereka mengajak
ke neraka,. ( QS: Al-Baqarah: 221)
(al mumtahanah 10)

mereka (wanita-wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan
orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka (QS: Al-Mumtahanah: 10)
Dua ayat ini secara tegas mengatakan bahwa wanita Muslimah itu haram
dinikahkah dengan orang kafir bagaimana pun alasannya. Dan ulama telah
mengatakan bahwa ini adalah Ijma ulama.
Jika suatu hukum itu sudah dihukumi oleh sebuah Ijma, maka sudah tidak
ada lagi perselisihan pendapat didalamnnya. Begitu suatu masalah dihukumi, dan
hukum itu tidak diperselisihkan oleh ulama yang lain, maka itu menjadi ijma.
Dan ketika sudah menjadi Ijma, sudah tidak perlu lagi dipertanyakan. Ini prinsip
yang dipegang oleh para fuqaha (ahli fiqih).
Adapun ayat yang terkandung dalam surah Al-Maidah ayat 5, seperti
dibawah ini:
(al maidah 5)
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orangorang Ahli kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.
(Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanitawanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang Ahli kitab sebelum kamu.. (QS. Al-Maidah: 5)
9
Ayat ini ialah takhshish [ ]untuk ayat 221 surah al-Baqarah diatas.
Disebutkan bahwa wanita non-Muslim (musyrik) itu tidak boleh dinikahi oleh
laki-laki Muslim. Pada ayat ini terjadi pengkhususan, bahwa larangan yang ada di
surah al-Baqarah itu untuk wanita musyrik saja, sedangkan Ahli Kitab,
dibolehkan.
Artinya bahwa kalau wanita itu Ahli Kitab, tetap boleh. Walaupun ia seorang
wanita kafir. Karena yang dilarang itu ialah wanita kafir yang selain Ahli Kitab.

Larangan bagi wanita Muslimah untuk menikah dengan laki-laki nonMuslim tetap berlaku. Karena ayat ini ialah takhshish [ ]bukan naskh []
yang menghapus kandungan hukum dalam ayat. Ini hanya pengkhususan saja.
Maka yang tidak dikhususkan dalam ayat, hukumnya tetap berlaku.
F. Pernikahan Beda Agama Menurut Hukum Negara Indonesia
Dalam menghadapi masyarakat kompleks baik dalam segi budaya maupun
agama, maka penting bagi pemerintah mengatur atau memayungi suatu
kepentingan umum dengan hukum diantaranya masalah pernikahan. Untuk
menghindari konflik atau ketidak selarasan dimasyarakat, maka pemerintah
membuat

perundang-undangan

tentang

pernikahan

khususnya

mengenai

perbedaan agama. Diantara peraturan-peraturan mengenai pernikahan beda agama


yang masih berlaku diantaranya:
1. Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata
2. UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
3. UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama
4. PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 1/1974
5. Intruksi Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar
pemeluk agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan
bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita yang tidak beragama Islam.
10
Kemudian dalam pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
KHI tersebut selaras dengan pendapat Prof. Dr. Hazairin S.H., yang
menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada
kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya. Dalam KHI
telah dinyatakan dengan jelas bahwa perkawinan beda agama jelas tidak dapat
dilaksanakan selain kedua calon suami isteri beragama Islam. Sehingga tidak ada

peluang bagi orang-orang yang memeluk agama Islam untuk melaksanakan


perkawinan antar agama.
Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, perkawinan antar
agama dapat terjadi. Hal ini disebabkan peraturan perundang-undangan tentang
perkawinan memberikan peluang tersebut terjadi, karena dalam peraturan tersebut
dapat memberikan beberapa penafsiran bila terjadi perkawinan antar agama.
Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal 66, maka semua peraturan yang
mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1/1974,
dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undangundang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan
peraturan perkawinan campuran. Secara a contrario, dapat diartikan bahwa
beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No.
1/1974.
Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon
suami isteri dapat dilihat dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan pada pasal 2
ayat 1, bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya. Pada pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan
bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan
dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum
masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.
11
Dalam memahami perkawinan beda agama menurut undang-undang
Perkawinan ada tiga penafsiaran yang berbeda. Pertama, penafsiran yang
berpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU
No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f. Pendapat kedua, bahwa perkawinan antar
agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam
perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan
campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua
orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda

agama. Pendapat ketiga bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur
dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka
persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan
campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan.

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa pernikahan beda agama
diatur dalam kompilasi hukum Islam dan tidak diatur dalam UUD di Negara
Indonesia sehingga dapat dipahami bahwa terdapat perbedaan antara KHI dengan

peraturan UUD Negara Indonesia, yang mana keduanya saling bertentangan.


Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar pemeluk
agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan bahwa
dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita
yang tidak beragama Islam.
Sedangkan menurut hukum Islam Menikah dengan wanita musyrik jelas
tidak diperbolehkan, namun dengan ahlu kitab ada dasar yang membolehkan
yakni al-Qur'an surat al-Maidah ayat 5, Dalam hal ini pernikahan dengan ahlu
kitab bisa ditolerir. Sebab dalam aspek teologis, konsep ketuhanan, rasul, hari
akhir, dan prinsip-prinsip agama banyak persamaan. Hanya saja perlu diingat
bahwa kebolehan menikah dengan ahlu kitab hanya berlaku bagi lelaki muslim
dengan wanita ahlu kitab. Bukan sebaliknya. Sekali lagi ini untuk menjaga iman.
Sebab, lumrahnya, istri mudah terpengaruh. Jika diperbolehkan, mereka
dikhawatirkan akan terperdaya ke agama lain.
B. Saran
Setiap permasalahan dalam fiqh adalah masalah yang akan memunculkan
pembahasan yang panjang, bagi pembaca khususnya mahasiswa atau pelajar yang
akan menyusun makalah dengan permasalahan sejenis, penyusun anjurkan untuk
menggali referensi lebih banyak lagi, sehingga dapat meghadirkan penjelasan
yang lebih rinci dari apa yang penyusun sajikan.
13
DAFTAR PUSTAKA

Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah. PT TOKO GUNUNG AGUNG. Jakarta.


1977

Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari,


Sulaiman Mari, tt. hlm. 243

https://coretanzulfah.wordpress.com/2015/10/25/79/,
accessed on December 12, 2016

http://gudangtugasku.blogspot.co.id/2011/05/nikah-beda-agama-dalamperspektif-islam.html , accessed on December 13, 2016

14

Anda mungkin juga menyukai