Hukum Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Islam
Hukum Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Islam
A.
yang
populer
konsekuensi
di
dari
Indonesia.
Popularitas
masyarakat
isu
Indonesia
ini
yang
sebagai
majemuk,
kalangan,
tidak
hanya
pemerintah
tetapi
juga
non
muslim.
pemahaman
perbedaan
Namun
sebagian
agama
kadang
orang
yang
(pemahaman
kita
hanya
sangat
liberal).
Tak
mengikuti
mengagungkan
sedikit
yang
1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian nikah ?
2. Bagaimana pernikahan beda agama menurut hukum Islam ?
3. Adakah dalil mengenai pernikahan beda agama ?
4. Bagaimana hukumnya pernikahan beda agama menurut hukum Negara ?
C. Tujuan Penelitian
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nikah
Pengertian nikah perlu dibahas terlebih dahulu sebelum kita memasuki lebih
jauh pembahasan tentang nikah. Kata nikah berasal dari bahasa Arab NakahaYankihu-Nikhan yang berarti kawin atau perkawinan. Kata nikah ini sudah
diadopsi dari bahasa Arab dan menjadi kata bahasa Indonesia yang sangat populer
serta ditujukan pada hajat manusia yang lain jenis dalam meresmikan
perjodohannya. Sedangkan kata kawin sering diidentikkan dengan hal-hal yang
negatif dan berbau kebinatangan. Umat islam yang meresmikan perjodohannya
dengan pasangan pilihannya dengan disaksikan (diketahui) oleh masyarakat
sekitarnya disebut telah melaksankan nikah, sedangkan umat manusia yang
melakukan kumpul kebo bisa disebut kawin karena tidak berbeda jauh dengan
binatang dalam hal memuaskan nafsu birahinya, serta tidak mengindakan aturan,
norma dan nilai-nilai sosial yang telah ditetapkan agama.
Definisi nikah menurut syara adalah melakukan aqad (perjanjian) antara
calon suami dan istri agar dihalalkan melakukan pergaulan sebagaimana suami
istri dengan mengikuti norma, nilai-nilai sosial dan etika agam. Aqad yang
dimaksudkan di sini adalah pengucapan ijab dari pihak wali perempuan atau
wakilnya dan pengucapan qabul dari pihak calon suami atau bisa diwakilkan.1
Sedangkan pengertian nikah menurut Abu Haifah adalah aqad yang
dikukuhkan untuk memperoleh kenikmatan dari seorang wanita, yang dilakukan
dengan sengaja. Pengukuhan yang dimaksud adalah suatu pengukuhan yang
sesuai dengan ketetapan pembuat syariah, bukan sekedar pengukuhan yang
dilakukan oleh dua orang yang saling membuat aqad (perjanjian) yang bertujuan
hanya sekedar untuk mendapatkan kenikmatan belaka.
Menurut mazhab Maliki, pernikahan adalah Aqad yang dilakukan untuk
mendapatkan kenikmatan dari wanita, yang dengan aqad tersebut seseorang akan
terhindar dari perbuatan zina.
Menurut mazhab Syafii pernikahan adalah aqad yang menjamin
diperboleh-kannya persetubuhan antara seorang laki-laki dan perempuan.
Dan menurut mazhab Hambali adalah aqad yang di dalamnya terdapat
lafadz pernikahan secara jelas, agar diperbolehkan bercampur.2
Bila
berbagai
pengetian
nikah
beda
agama
yang
dan
masing-masing
tetap
mempertahankan
agama
yang
dianutnya.
D. Pandangan Islam Mengenai Pernikahan Beda Agama
Dalam Islam, menikah bukan hanya menyatukan dua manusia, melainkan
ada aturan atauran yang harus diperhatikan, sehingga dengan aturan aturan itu
menimbulkan adanya pernikahan yang sah dan tidak sah, serta pernikahan yang
diperbolehkan dan tidak diperbolehkan, lantas bagaimana dengan pernikahan beda
agama ?
Pada dasarnya ulama membolehkan menikah beda agama, namun dengan
kondisi seorang Muslim laki-laki menikah dengan wanita Ahli Kitab (Nasrani dan
Yahudi). Ini pendapat jumhur (mayoritas ulama).
Dalam beberapa literatur dan juga kitab-kitab Tafsir disebutkan perbedaan
pendapat apakah selain wanita Ahli Kitab, seorang Muslim boleh menikahinya?
Artinya ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menikahi wanita non-Muslim
yang dari selain Ahli Kitab.
Imam Syafii dalam kitab klasiknya, Al-Umm, mendefinisikan Kitabiyah
dan non Kitabiyah sebagai berikut, Yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah
orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berasal dari keturunan bangsa Israel asli.
Adapun umat-umat lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani, rnaka mereka
tidak termasuk dalam kata ahlul kitab. Sebab, Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s.
tidak diutus kecuali untuk Israil dan dakwah mereka juga bukan ditujukan bagi
umat-umat setelah Bani israil.
Jumhur sahabat dan jumhur ulama pun membolehkan pernikahan berbeda
agama dalam keadaan seperti ini, yakni laki laki muslim menikahi wanita muslim,
diantara para jumhur shahabat membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita
kitabiyah, diantaranya adalah Umar bin Al-Khattab, Ustman bin Affan, Jabir,
Thalhah, Huzaifah. Bersama dengan para sahabat Nabi juga ada para tabi` Insya
Allah seperti Atho`, Ibnul Musayib, al-Hasan, Thawus, Ibnu Jabir Az-Zuhri.
Adapun jika keadaannya terbalik, wanita muslim menikahi laki laki non
muslim (kafir / musyrik) Ijma (konsensus) ulama: tidak diperbolehkan seorang
wanita Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim, apapun jenis ke-nonMuslimannya. Entah itu dia seorang Nasrani, Yahudi, Budha, Hindu atau agama
pun, yang penting ia bukanlah seorang Muslim.
Yang sedikit berbeda pendapatnya hanyalah Imam Malik dan Imam
Ahmad bin Hanbal, dimana mereka berdua tidak melarang hanya memkruhkan
menikahi wanita kitabiyah selama ada wanita muslimah.
Pendapat yang mengatakan bahwa nasrani itu musyrik adalah pendapat
Ibnu Umar. Beliau mengatakan bahwa nasrani itu musyrik. Selain itu ada Ibnu
Hazm yang mengatakan bahwa tidak ada yang lebih musyrik dari orang yang
mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa. Sehingga menurut mereka menikahi
wanita ahli kitab itu haram hukumnya karena mereka adalah musyrik.
7
Namun jumhur Ulama tetap mengatakan bahwa wanita kitabiyah itu
boleh dinikahi, meski ada perbedaan dalam tingkat kebolehannya. Namun
demikian, wanita muslimah yang komitmen dan bersungguh-sungguh dengan
agamanya tentu lebih utama dan lebih layak bagi seorang muslim dibanding
wanita ahlul kitab. Juga apabila ia khawatir terhadap akidah anak-anak yang lahir
nanti, serta apabila jumlah pria muslim sedikit sementara wanita muslimah
banyak, maka dalam kondisi demikian ada yang berpendapat haram
hukumnyapria muslim menikah dengan wanita non muslim.
Secara ringkas hukum nikah beda agama bisa kita bagi menjadi demikian :
1. Suami Islam, istri ahli kitab = boleh
.dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanitawanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu, mereka mengajak
ke neraka,. ( QS: Al-Baqarah: 221)
(al mumtahanah 10)
mereka (wanita-wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan
orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka (QS: Al-Mumtahanah: 10)
Dua ayat ini secara tegas mengatakan bahwa wanita Muslimah itu haram
dinikahkah dengan orang kafir bagaimana pun alasannya. Dan ulama telah
mengatakan bahwa ini adalah Ijma ulama.
Jika suatu hukum itu sudah dihukumi oleh sebuah Ijma, maka sudah tidak
ada lagi perselisihan pendapat didalamnnya. Begitu suatu masalah dihukumi, dan
hukum itu tidak diperselisihkan oleh ulama yang lain, maka itu menjadi ijma.
Dan ketika sudah menjadi Ijma, sudah tidak perlu lagi dipertanyakan. Ini prinsip
yang dipegang oleh para fuqaha (ahli fiqih).
Adapun ayat yang terkandung dalam surah Al-Maidah ayat 5, seperti
dibawah ini:
(al maidah 5)
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orangorang Ahli kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.
(Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanitawanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang Ahli kitab sebelum kamu.. (QS. Al-Maidah: 5)
9
Ayat ini ialah takhshish [ ]untuk ayat 221 surah al-Baqarah diatas.
Disebutkan bahwa wanita non-Muslim (musyrik) itu tidak boleh dinikahi oleh
laki-laki Muslim. Pada ayat ini terjadi pengkhususan, bahwa larangan yang ada di
surah al-Baqarah itu untuk wanita musyrik saja, sedangkan Ahli Kitab,
dibolehkan.
Artinya bahwa kalau wanita itu Ahli Kitab, tetap boleh. Walaupun ia seorang
wanita kafir. Karena yang dilarang itu ialah wanita kafir yang selain Ahli Kitab.
Larangan bagi wanita Muslimah untuk menikah dengan laki-laki nonMuslim tetap berlaku. Karena ayat ini ialah takhshish [ ]bukan naskh []
yang menghapus kandungan hukum dalam ayat. Ini hanya pengkhususan saja.
Maka yang tidak dikhususkan dalam ayat, hukumnya tetap berlaku.
F. Pernikahan Beda Agama Menurut Hukum Negara Indonesia
Dalam menghadapi masyarakat kompleks baik dalam segi budaya maupun
agama, maka penting bagi pemerintah mengatur atau memayungi suatu
kepentingan umum dengan hukum diantaranya masalah pernikahan. Untuk
menghindari konflik atau ketidak selarasan dimasyarakat, maka pemerintah
membuat
perundang-undangan
tentang
pernikahan
khususnya
mengenai
agama. Pendapat ketiga bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur
dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka
persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan
campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa pernikahan beda agama
diatur dalam kompilasi hukum Islam dan tidak diatur dalam UUD di Negara
Indonesia sehingga dapat dipahami bahwa terdapat perbedaan antara KHI dengan
https://coretanzulfah.wordpress.com/2015/10/25/79/,
accessed on December 12, 2016
14