Askep Fraktur Pedis
Askep Fraktur Pedis
BAB I
TINJAUAN TEORI DAN KONSEP
A. Konsep Fraktur
1. Definisi
Fraktur merupakan istilah hilangnya kontinuitas tulang, baik bersifat total maupun
sebagian yang ditentukan berdasarkan jenis dan luasnya (Smeltzer & Bare, 2002).
Fraktur adalah patah tulang yang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik.
Kekuatan dari tenaga tersebut, keadaan tulang itu sendiri, dan jaringan lunak di sekitar
tulang akan menentukan kondisi fraktur tersebut (Price, 2006). Fraktur adalah
terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur akibat dari trauma, beberapa
fraktur sekunder terhadap proses penyakit seperti osteoporosis, yang menyebabkan
fraktur yang patologis (Mansjoer, 2001).
2. Klasifikasi Fraktur
Berdasarkan hubungan dengan dunia luar fraktur dibagi menjadi:
a. Fraktur Tertutup (simple/close fracture)
Fraktur tertutup adalah fraktur yang tidak menyebabkan robeknya kulit, tetapi
terjadi pergeseran tulang didalamnya. Pasien dengan fraktur tertutup harus
diusahakan untuk kembali ke aktivitas biasa sesegera mungkin. Pasien diajarkan
bagaimana cara mengontrol pembengkakan dan nyeri yaitu dengan meninggikan
ekstremitas yang cedera, dan mulai melakukan latihan kekuatan otot yang 8
dibutuhkan untuk pemindahan atau menggunakan alat bantu jalan ( Smeltzer &
Bare, 2002).
b. Fraktur Terbuka (complicated/ open fracture)
Fraktur terbuka merupakan fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa
sampai ke patahan tulang. Klasifikasi fraktur terbuka menurut Gustilo Anderson
(Smeltzer & Bare, 2002) adalah:
1) Grade I: dengan luka bersih kurang dari 1 cm panjangnya, kerusakan jaringan
lunak minimal, biasanya tipe fraktur simple transverse dan fraktur obliq
pendek.
2) Grade II: luka lebih dari 1 cm panjangnya, tanpa kerusakan jaringan lunak
yang ekstensif, fraktur komunitif sedang dan ada kontaminasi
3) Grade III: yang sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan
lunak yang ekstensif, kerusakan meliputi otot, kulit dan struktur neurovascular.
4) Grade III ini dibagi lagi kedalam: III A : fraktur grade III, tapi tidak
membutuhkan kulit untuk penutup lukanya. III B: fraktur grade III, hilangnya
jaringan lunak, sehingga tampak jaringan tulang, dan membutuhkan kulit
untuk penutup (skin graft). III C: fraktur grade III, dengan kerusakan arteri
yang harus diperbaiki,dan beresiko untuk dilakukannya amputasi.
3. Etiologi
Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (2005) ada 3 yaitu:
a. Cidera atau benturan
1) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang
patah secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan
kerusakan pada kulit diatasnya.
2) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur
klavikula.
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.
(Oswari, 2000)
b. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah oleh
karena tumor, kanker dan osteoporosis.
c. Fraktur beban
Fraktur baban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang baru saja
menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima dalam angkatan
bersenjata atau orang- orang yang baru mulai latihan lari.
4. Patofisiologi
Fraktur ganggguan pada tulang biasanya disebabkan oleh traumagangguan
adanya gaya dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik, gangguan metabolic,
patologik. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang terbuka ataupun
tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan pendarahan, maka volume
darah menurun. COP (cardiac output) menurun maka terjadi perubahan perfusi
jaringan. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi edem lokal
maka penumpukan di dalam tubuh.
Fraktur terbuka atau tertutup akan mengenai serabut saraf yang dapat
menimbulkan ganggguan rasa nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang dan
dapat terjadi revral vaskuler yang menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik
terganggau. Disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang
kemungkinan dapat terjadi infeksi dan kerusakan jaringan lunak akan mengakibatkan
kerusakan integritas kulit. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh
trauma gangguan metabolik, patologik yang terjadi itu terbuka atau tertutup. Baik
fraktur terbuka atau tertutup akan mengenai serabut syaraf yang dapat menimbulkan
gangguan rasa nyaman nyeri. Selaian itu dapat mengenai tulang sehingga akan terjadi
neurovaskuler yang akan menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik
terganggu, disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang
kemungkinan dapat terjadi infeksi karena terkontaminasi dengan udara luar. Pada
umumnya pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup akan dilakukan immobilitas
yang bertujuan untuk mempertahankan fragmen yang telah dihubungkan tetap pada
tempatnya sampai sembuh. (Price, 2006).
5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan
ekstermitas,
krepitus,
pembengkakan
lokal,
dan
perubahan
warna
(Smelzter&Bare,2002).
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah
yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara tidak alamiah bukannya tetap rigid seperti normalnya, pergeseran
fragmen pada fraktur menyebabkan deformitas, ekstermitas yang bias diketahui
dengan membandingkan dengan ekstermitas yang normal. Ekstermitas tak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas
tulang tempat melekatnya otot.
c. Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.
d. Saat ekstermitas di periksa dengan tangan, teraba adanya Derik tulang yang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
lainnya.
e. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya baru terjadi
setelah beberapa jam atau hari setelah ceder
6. Komplikasi
a. Komplikasi Awal
Komplikasi awal setelah fraktur adalah kejadian syok, yang berakhibat fatal hanya
dalam beberapa jam setelah kejadian,kemudian emboli lemak yang dapat terjadi
dalam 48 jam, serta sindrom kompartmen yang berakibat kehilangan fungsi
ekstremitas secara permanaen jika terlambat ditangani.
b.Komplikasi Lambat
Komplikasi lambat dalam kasus fraktur adalah penyatuan tulang yang mengalami
patah terlambat, bahkan tidak ada penyatuan. Hal ini terjadi jika penymbuhan tidak
terjadi dalam dengan waktu normal untuk jenis dan fraktur tertentu. Penyatuan tulang
yang terlambat atau lebih lama dari perkiraan berhubungan dengan adanya proses
infeksi sistemik dan tarikan jauh pada fragmen tulang. Sedangkan tidak terjadinya
penyatuan diakibatkan karena kegagalan penyatuan pada ujung-ujung tulang yang
mengalami patahan.
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan semua jenis fraktur memiliki prinsip penanganan yang sama dengan
metode yang berbeda-beda. Menurut Mansjoer (2001) dan Muttaqin (2008) konsep
dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu: rekognisi,
reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
a. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan,derajat keparahan,harus jelas untuk menentukan diagnosa
dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri
sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas
integritas rangka.
b. Reduksi (manipulasi/ reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen fragmen tulang
yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya untuk
memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimal.
Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi, atau reduksi
terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah jaringan
lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena
edema dan perdarahan.Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin
sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan (Mansjoer, 2002).
c. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimal.Setelah fraktur direduksi fragmen tulang harus
b. Sirkulasi
1) Peningkatan tekanan darah mungkin terjadi akibat respon terhadap nyeri atau
ansietas, sebaliknya dapat terjadi penurunan tekanan darah bilaterjadi
perdarahan.
2) Takikardia
3) Penurunan atau tidak ada denyut nadi pada bagian distal area cedera, pengisian
kapiler lambat dan pucat pada area fraktur.
4) Hematoma area fraktur.
c. Neurosensori
1) Hilang gerakan atau sensasi
2) Kesemutan (parestesia)
d. Nyeri atau Kenyamanan
1) Nyeri hebat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area fraktur,
berkurang pada imobilisasi.
2) Spasme atau kram otot setelah imobilisasi.
e. Keamanan
1) Laserasi kulit dan perdarahan.
2) Pembengkakan lokal (dapat meningkat bertahap atau tiba-tiba).
f. Penyuluhanatau Pembelajaran
1) Imobilisasi.
2) Bantuan aktivitas perawatan diri.
3) Prosedur terapi medis dan keperawatan.
2. Diagnosa dan Rencana Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien fraktur post operasi
berdasarkan Nanda dan intervensi adalah sebagai berikut (Nanda, 2012, NIC 2012, NOC,
2012):
a. Nyeri Akut berhubungan dengan agen cidera fisik: diskontuinitas jaringan
1) Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawan makan nyeri pasien terkontrol.
2) Kriteria Hasil: Pasien mengatakan nyeri berkurang, skala nyeri berkurang dan
tanda-tanda vital dalam rentang normal.
3) Intervensi keperatan: Manajemen nyeri (Pain Management)
a) Kaji nyeri (lokasi, durasi, karakteristik, frekuensi, intensitas, factor
pencetus)
b) Observasi tanda non verbal dari ketidaknyamanan
c) Monitor keefektifan tindakan mengontrol nyeri
d) Kontrol faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien
e) Ajarkan tehnik non farmakologis kepada pasien dan keluarga : relaksasi,
distraksi, guided imagery, hipnoterapy.
f) Ajarkan pada pasien dan keluarga tentang penggunaan analgetik dan efek
sampingnya
1) Pantau tanda dan gejala infeksi: suhu tubuh, nadi,kondisi luka, sekresi, penampilan
2)
3)
4)
5)
6)
langsung.
7) Kolaborasi dengan medis untuk pemberian terapi sesuai indikasi, dan pemeriksaan
laboratorium
Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan.
Tujuan: Setelah dilakukan tidakan keperawatan diharapkan kekurangan volume
cairan teratasi.
Kriteriahasil: Tanda-tanda vital stabil, membrane mukosa lembab, turgor kulit baik,
pengisian kapiler cepat dan tidak terjadi perdarahan massif.
Intervensi: Manajemen cairan (Fluid Management)
1) Kaji atau ukurdancatatjumlah perdarahan.
2) Monitor tanda-tanda vital
3) Monitor status hidrasi (kelembaban membran mukosa, nadi dan suhu adekuat,
tekanan darah ortostatik) jika diperlukan
4) Ajarkan pada pasien dan keluarga tentang pentingnya kebutuhan cairan
5) Kolaborasi pemberian cairan intravena, dan pemeriksaan elektrolit, darah
lengkap.
C. Nyeri Post Operasi Fraktur dan Faktor yang Mempengaruhi
Pembedahan atau operasi merupakan tindakan pengobatan yang menggunakan cara invasif
dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani (Sjamsuhidajad,
2005). Sasaran pembedahan adalah untuk memperbaiki fungsi dengan mengembalikan
gerakan dan stabilitas, mengurangi nyeri dan komplikasi (Smeltzer & Bare, 2002). Respon
tubuh pasca pembedahan adalah nyeri. Nyeri diakibatkan adanya insisi pembedahan dan
kejadian fraktur sebelumnya. Sebagian besar pasien mempercayai bahwa nyeri yang
dialami post operasi menimbulkan ketakutan tersendiri yang berakibat mekanisme koping
yang tidak efektif.
Nyeri akut pasca pembedahan dapat mengancam proses pemulihan seseorang yang
berakibat pada bertambahnya waktu rawat, peningkatan resiko komplikasi akibat
immobilisasi dan tertundanya program rehabilitasi. Kemajuan secara fisik atau psikologis
menjadi tertunda akibat menetapnya nyeri yang dirasakan, karena pasien akan lebih
terfokus dan menghabiskan energinya hanya untuk proses penyembuhan nyeri tersebut.
Oleh karena itu tujuan utama perawat dalam kasus post operasi adalah untuk memberikan
pertolongan terhadap nyeri yang memungkinkan klien dapat berpartisipasi didalamnya
(Potter &Perry,2010)
Faktor faktor yang memepengaruhi nyeri post orif secara umum menurut Smelzer dan
Bare (2002) adalah usia, jenis kelamin, kultur, makna nyeri, perhatian, ansietas,
pengalaman masa lalu, pola koping dan dukungan sosial. Smeltzer dan Bare (2002)
menjelaskan bahwa usia sangat berpengaruh terhadap nyeri. Usia merupakan variabel
penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada anak dan lansia. Perbedaan
perkembangan yang ditemukan diantara kelompok usia ini dapat mempengaruhi
bagaimana anak dan lansia bereaksi terhadap nyeri. Jenis kelamin laki-laki dan perempuan
tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam merespon nyeri. Diragukan apakah hanya
jenis kelamin saja yang mempengaruhi kualitas nyeri. Toleransi nyeri sudah sejak lama
telah menjadi subjek penelitian yang melibatkan pria dan wanita, akan tetapi toleransi
terhadap nyeri dipengaruhi oleh biokimia. (Smeltzer dan Bare, 2002).
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu
mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh budaya mereka. Menurut
Perry dan Potter 2005 sosialisasi budaya menentukan perilaku psikologis seseorang
sehingga dapat mempengaruhi pengeluaran psikologis opiate endogen dan terjadilan
persepsi nyeri.
Makna dan pengalaman nyeri seseorang merupakan cara seseorang beradaptasi terhadap
nyeri. Individu akan mempersepsikan nyeri secara berbeda-beda apabila nyeri tersebut
memberikan kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman dan tantangan. Derajat dan
kualitas nyeri yang dipersiapkan nyeri klien berhubungan dengan makna nyeri.
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansiatas seringkali meningkatkan
persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas. Menurut
Price 2006 suatu bukti bahwa stimulus nyeri mengakibatkan sistem limbik dapat
memproses reaksi emosi seseorang, khususnya ansietas. Sistem limbic dapat memproses
reaksi emosi seseorang terhadap nyeri, yakni memperburuk atau menghilangkan nyeri.
Pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu akan menerima nyeri
dengan lebih mudah pada masa yang akan datang.
Apabila individu sejak lama sering mengalami serangkaian episode nyeri tanpa pernah
sembuh maka rasa takut akan muncul dan juga sebaliknya. Akibatnya klien akan lebih siap
untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri.
Pengalaman nyeri dapat menjadi suatu pengalaman yang membuat merasa kesepian, dan
gaya koping mempengaruhi bagaimana mengatasi nyeri.
Dukungan keluarga dan sosial, kehadiran orang-orang terdekat klien dan bagaimana sikap
mereka terhadap klien mempengaruhi kualitas nyeri yang dirasakan seseorang. Kehadiran
orang yang bermakna bagi pasien akan meminimalkan rasa kesepian dan ketakutan.
Apabila tidak ada keluarga dan orang terdekat, sering kali nyeri akan membuat pasien
menjadi semakin tertekan dan sebaliknya.
nafas
dalam
lambat
(menahan
inspirasi
secara
maksimal)
dan
menghembuskan nafas secara perlahan melalui mulut. Selain itu tehnik relaksasi nafas
dalam dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi dalam darah
(Smeltzer &Bare, 2002). Relaksasi juga merupakan metode yang efektif dalam
mengurangi nyeri pasca operasi. Relaksasi yang sempurna dapat mengurangi
ketegangan otot, rasa jenuh kecemasan sehingga mencegah bertambahnya kualitas
nyeri.
Relaksasi merupakan perasaan bebas secara mental dan fisik dari ketegangan atau stress
yang membuat individu memliki rasa kontrol terhadap dirinya. Perubahan fisiologis
akibat relaksasi mencakup menurunya denyut jantung, tekanan darah, kecepatan
pernafasan, menurunkan kebutuhan oksigen, meningkatkan kesadaran, merilekskan otot
dan menimbulkan perasaan damai (Perry & Potter, 2010).
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa relaksasi nafas dalam merupakan
metode efektif untuk mengurangi rasa nyeri, mengurangi ketegangan otot, dimana nyeri
itu sendiri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan.
Penelitian terkait tehnik relaksasi adalah penelitian yang dilakukan oleh Nurdin (2013),
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Teknik Relaksasi Nafas Dalam terhadap Penurunan Nyeri
Teknik relaksasi nafas dalam dipercaya dapat menurunkan intensitas nyeri melalui mekanisme
yaitu (Smeltzer dan Bare, 2002) :
a) Dengan merelaksasikan otot-otot skelet yang mengalami spasme yang disebabkan oleh
peningkatan prostaglandin sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah dan akan
meningkatkan aliran darah ke daerah yang mengalami spasme dan iskemik.
b) Teknik relaksasi nafas dalam dipercayai mampu merangsang tubuh untuk melepaskan
opioid endogen yaitu endorphin dan enkefalin. Pernyataan lain menyatakan bahwa
penurunan nyeri oleh teknik relaksasi nafas dalam disebabkan ketika seseorang melakukan
relaksasi nafas dalam untuk mengendalikan nyeri yang dirasakan, maka tubuh akan
meningkatkan komponen saraf parasimpatik secara stimulan, maka ini menyebabkan
terjadinya penurunan kadar hormon kortisol dan adrenalin dalam tubuh yang
mempengaruhi tingkat stress seseorang sehingga dapat meningkatkan konsentrasi dan
membuat klien merasa tenang untuk mengatur ritme pernafasan menjadi teratur. Hal ini
akan mendorong terjadinya peningkatan kadar PaCO 2 (tekanan carbondioksida) akan
menurunkan kadar pH sehingga terjadi peningkatan kadar oksigen dalam darah
(Handerson, 2006)
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN ANAK
Nama Mahasiswa : Faroh Ningrum Widiastutik
Tempat Praktik
: Kemuning Bawah RSU Kab. Tangerang
Tanggal Praktik
: 14 November sampai 19 November 2016
Tanggal Pengkajian: 14 November 2016
I.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: An. AH
Tempat/Tgl.lahir : Mauk, 09 januari 2010
Usia
: 6 tahun
BB
: 20 kg, TB: 135 cm => Gizi cukup
Jenis kelamin
: Laki-Laki
Diagnose medis : crush injuri pedis
Nama Ayah
: Tn. J
Nama ibu
: Ny. K
Pekerjaan Ayah
: Nelayan
Pekerjaan Ibu
: Ibu Rumah Tangga
Alamat
: KP Cibeneng RT 016/004, sasak, mauk.
Agama
: Islam
Suku Bangsa
: Jawa
Pendidikan Ayah : SD
Pendidikan Ibu
: SMP
Tanggal rawat
: 21 November 2016, Jam: 20.30 WIB
Pada saat pengkajian pada tgl 21 November 2016, Jam 20.00 WIB. Ibu pasien mengatakan
An. AH mengalami kecelakaan saat menyebrang jalan, kaki kiri An. AH terlindas mobil
box pada jam 11.30 WIB saat anak AH pulang dari sekolah.
III. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien datang dengan keluhan nyeri pada kaki sebelah kirinya.
IV. RIWAYAT KEHAMILAN DAN KELAHIRAN
1. Prenatal
: Ibu klien mengatakan tidak mengalami masalah selama kehamilan
2. Intranatal
: Ibu klien mengatakan An. AH lahir secara normal
3. Postnatal
: Ibu klien mengatakan setelah lahir tidak ada kelainan
V. RIWAYAT MASA LAMPAU
1. Penyakit waktu kecil
2.
3.
4.
5.
6. Kecelakaan
7. Imunisasi
VI. RIWAYAT KELUARGA
1. Sosial Ekonomi
2. Penyakit Keluarga
3. Genogram
Tn. J
Ny. K
Keterangan :
= Laki-Laki
= Perempuan
= Menikah
= Klien
X = Meninggal
-------- = Tinggal 1 rumah
RIWAYAT SOSIAL
1. Yang mengasuh
2. Hubungan dengan anggota keluarga
3. Hubungan dengan teman sebaya
4. Pembawaan secara umum
5. Lingkungan rumah
An.AH tampak gelisah dan ibu An. AH selalu menemani An. AH di RS dan selalu
mengajarkan An. AH untuk bersholawat ketika nyeri pada kaki kiri An. AH timbul.
8. Kognitif dan persepsi
:
Penglihatan : An.AH dapat melihat sekeliling dan aktiv melihat orang-orang
disekelilingnya.
Pendengaran : An.AH saat dipanggil merespon dan mampu menjawab pertanyaan
Perabaan
gelisah.
: Tidak ada masalah pada alat reproduksi An.AH.
: Ibu masih mempercayai bahwa dengan berdo`a dan bersolawat dapat
mengurangi nyeri pada kaki kiri An. AH dan meningkatkan
kesembuhan pada An. AH.
IX.
Test
Laboratorium
Satuan
Hasil
Nilai Normal
HEMATOLOGI
Hemoglobin
Lekosit
*8,9
g/dl
13.2 - 17.3
*15,70
10/L
3.80 - 10.60
Hematocrit
*25
40 - 52
Trombosit
314
10/L
140 - 440
Test
Laboratorium
Satuan
Hasil
Nilai Normal
HEMATOLOGI
FALL HEMOSTASIS
MASA PROTROMBIN
HASIL
15,2
detik
12,8 15,9
Control PT
15,2
detik
11,2 17,9
INR
1,05
APTT
Hasil
36,5
detik
21,0 53,0
Control APTT
32,9
detik
28,6 41,6
1/9
Mg/dl
<180
SGOT
45
U/L
0 - 50
SGPT
33
U/L
0 - 50
Ureum
13
Mg/dl
10 - 50
Creatinin
0,5
Mg/dl
0.0 1.3
Natrium (Na)
137
mEq/L
135 - 147
Kalium (K)
3,4
mEq/L
3.5 5.0
KIMIA
KARBOHIDRAT
Glukosa Darah Sewaktu
FUNGSI HATI
FUNGSI GINJAL
ELEKTROLIT
Chloride (Cl)
96
mEq/L
96 - 105
Laboratorium
Satuan
Hasil
Nilai Normal
HEMATOLOGI
X.
Hemoglobin
*10,4
g/dl
13.2 - 17.3
Lekosit
*21,80
10/L
3.80 - 10.60
Hematocrit
*30
40 - 52
Trombosit
204
10/L
140 - 440
PEMERIKSAAN FISIK
a. Kepala
: Tidak ada kelainan, bentuk simetris, distribusi rambut merata dan
warna hitam
b. Mata
: Pupil miosis konjungtiva anemis
c. Hidung
: Tidak ada secret, hidung simetris.
d. Mulut
: Mukosa bibir kering, tidak ada stomatitis
e. Tengkuk
: Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, trakea kanan dan kiri
simetris
f. Dada
: Tidak ada pembesaran, dada simetris, tidak terdapat bunyi nafas
tambahan.
g. Jantung
: Bunyi jantung normal S1,S2 tidak ada pembesaran,
N=75 x/m, crt < 3dtk
h. Paru
: RR=21x/m, suara nafas normal.
i. Perut
: Tidak ada pembesaran, tidak ada nyeri tekan, bising usus 5 x/mnt.
j. Ekstermitas : Ekstermitas atas tangan kanan terpasang infus vena, tidak ada
kelainan, tidak ada edem, bentuk simetris, terdapat luka lecet di
tangan kanan bagian sik, dagu, dan kaki kanan sedikit luka di bagian
patella serta luka di kaki kiri terutama pada jari-jari kaki kiri terlihat
biru (terputusnya kontinuitas jaringan). Musculoskeletal: imobilisasi
k. Kulit
kaki kiri.
: Tampak pucat, tidak ada petechi, tidak ada lesi, kulit tampak
bersih, turgor kulit tidak elastis, kulit teraba kering, pada bagian yang
luka, tampak terpasang kassa dan bidai.
l. TTV
: N= 75x/m, S= 37,3 oC, RR= 21x/mnt
m. BB & TB/PB: BB= 20 kg, PB= 135 cm, Status gizi: baik.
XI.
b. Motorik Halus
Ibu mengatakan bahwa anaknya sudah mampu menulis, membaca dan mewarnai
serta mampu mengulang apa yang dicontohkan oleh gurunya.
c. Bahasa
Ibu mengatakan bahwa anaknya sudah mampu mengartikan 7 kata.
d. Motorik kasar
Ibu mengatakan bahwa anaknya sudah mampu berdiri 1 kaki selama 6 detik.
SEKTOR
Personal Sosial
Motorik Halus
RESPON ANAK
KESIMPULAN
An.
AH
dalam
batas
dan
tidak
mengambil makanan
normal
mengalami keterlambatan
rumah.
dalam
perkembangan
personal sosial.
An. AH sudah mampu An.AH dalam batas normal
menulis, membaca dan dan tidak mengalami
mewarnai serta mampu keterlambatan dalam
mengulang apa yang perkembangan motorik
dicontohkan
Bahasa
oleh halus.
gurunya.
An. AH sudah mampu An. AH dalam batas
mengartikan 7 kata.
Motorik Kasar
bahasa
An. AH sudah dapat An.AH dalam batas normal
berdiri dengan 1 kaki dan
tidak
mengalami
dalam
perkembangan
motorik
sebelum sakit.
kasar
2. Interpretasi Hasil Test Dari DDST II
An. AH dapat melakukan semua item yang diminta dengan baik sehingga anak
dinyatakan lulus (P). An.AH mendapat skor A pada beberapa item yang ditunjukan
bahwa anak mengalami perkembangan lebih serta hasil tes perilaku anak yang baik.
3. Kesimpulan Dari Keempat Sektor
An. AH dapat melakukan semua item yang ditunjukan. Jadi, dapat disimpulkan
bahwa An. AU mengalami perkembangan personal sosial, motorik halus, bahasa,
motorik kasar dengan baik dan normal sesuai dengan umur anak.
XII.
INFORMASI LAIN
Ibu An. AH mengatakan, An. AH mengalami kecelakaan setelah pulang dari
sekolah pada jam 17.00 WIB. An. AH ingin menyebrang lalu terserempet oleh mobil
box, kaki kiri An. AH terlindas oleh ban mobil box, lalu An. AH dibawa ke puskesmas
mauk, sebelum dibawa ke RS, kaki kiri An. AH tampak pucat kebiruan, kaki kiri An.
AH di bibidai di ruang IGD RSU Kabupaten Tangerang.
ANALISA DATA
1. PRE OPERASI
NO
DX
DATA KLIEN
ETIOLOGI
MASALAH
KEPERAWATAN
1.
Cedera
DS:
Trauma/fraktur
Nyeri akut
saat
kakinya
digerakan
An.H mengatakan nyeri terus
menerus
Ibu pasien mengatakan An. AH
mengalami kecelakaan, kaki kiri
terlindas mobil box 1 hari yang
lalu
Ibu pasien mengatakan anaknya
Mempengaruhi jaringan
sekitarnya
Kerusakan periosteum,
pembuluh darah,
rupture tendon,
dislokasi sendi
Perdarahan & spasme
otot
Merangsang
hipotalamus
Persepsi nyeri
2.
DS :
Rencana pembedahan
Kurang pengetahuan
operasi
An.AH mengatakan tidak mau
tentang tindakan
dilakukan operasi
pembedahan
Ansietas
DO :
Stressor psikologis
Cemas
DIAGNOSA
NOC
KEPERAWATAN
Nyeri Akut
Setelah
Definisi :
keperawatan
diharapkan
emosional tidak
kriteria hasil:
dilakukan
selama
nyeri
tindakan
1x8
akut
jam
dengan
Outcome
Psikologis Tambahan
1. Adanya
Nyeri:
Respon
gangguan
konsentrasi
ringan (4).
2. Distress nyeri dari deviasi
dari
pada
kerusakan (international
1. Melakukan
mel
onset/durasi
MANAJEMEN NY
yang
NIC :
deviasi
terkait
cukup
berat
(2)
bisa
ditahan
atau beratny
2. Gali penget
mengenai ny
3. Tentukan a
terhadap ku
tidur, nafsu
hubungan,
jawab peran
4. Gunakan m
dengan
ta
memungkin
perubahan n
mengidentif
dan
pote
perkembang
5. Tentukan
dari
melakukan
pasien dan
terhadap
monitor
6. Pilih dan im
beragam
menyebabkan
nonfarmako
ketidakmampuan
dari
memfasilita
dengan kebu
7. Ajarkan
nonfarmako
relaksasi, t
terapi aktivi
yang menim
terjadi, atau
dengan tind
lainnya)
8. Mulai
pengontrola
pasien.
9. Dukung isti
membantu m
10. Informasika
keluarga
nonfarmako
untuk men
terkait deng
11. Berikan in
meningkatk
keluarga ter
12. Libatkan
penurunan n
13. Monitor k
manajemen
spesifik.
14. Periksa ting
pasien, cat
medis
pas
kesehatan la
15. Ajarkan prin
16. Kolaborasi
tindakan pen
NO
2.
DIAGNOSA
NOC
KEPERAWATAN
Ansietas
Definisi
perasaan
Setelah
dilakukan
tidak keperawatan
tindakan
Pengurangan Kece
jam
selama
tingkat
kecemasan
spesifik
diketahui
atau
oleh
perasaan
takut
disebabkan
oleh
terhadap
bahaya.
tidak Outcome :
iindividu)
yang
3 ke 5(tidak ada)
Wajah tenang dari 2 ke
antisipasi
Hal
merupakan
isyarat
kewaspadaan
yang
memeperingatkan
akan
ini
adanya
individu
bahaya
dan
untuk mengura
Jelaskan prose
akan
dirasak
(tindakan)
4(ringan)
Perasaan gelisah dari 2 ke 4
(ringan
Peningkatan nadi 3 ke 5
(tidak ada)
Gangguan tidur dari 2 ke 4
(ringan)
menyakinkan
Berikan aktivi
menghadapi
ancaman.
PRE OPERASI
TGL / HARI
NO. DIAGNOSA
Selasa,
22 11 16
(NYERI AKUT)
(16.00 wib)
Melakukan
pengkajian
nyeri
S:
An.AH
dan
(misalnya.,
tidur,
pngertian,
perasaan,
O:
makan,
hubungan,
nafsu
peran)
Menggunakan metode penilaian yang
memungkinkan
balutan
TD : 10
RR : 25
N : 102
S : 37,3
A : masala
dapat
P:
membantu
mengidentifikasi
catatan harian.
Menentukan kebutuhan
untuk
melakukan
ketidaknyamanan
Monito
Kaji ke
frekuensi
pengkajian
pasien
mengimplementasikan
-
Klien m
Klien
untuk
menjala
Klien m
dan
rencana
monitor
Menganjurkan ibu untuk memberikan
minyak angina pada perut An. N dan
untuk memfasilitasi penurunan nyeri,
Selasa,
2.
22 11 16
(Ansietas)
pasien/anak
Mengkaji tanda verbal dan nonverbal
kecemasan
Menggunakan
pendekatan
yang
An.AH
sedikit
O:
kecemasan
Menjelaskan prosedur tindakan dan
Klien ta
TD : 10
RR : 25
N : 102
operasi
DATA KLIEN
ETIOLOGI
DS:
hingga
nyeri
pangkal
MASALAH
KEPERAW2ATAN
Nyeri Akut
Adanya tindakan
rekontruksi pada tulang
(pembedahan)
Rangsangan mediator
kimia (protaglandin)
Afferent
nyeri
Cortex cerebri
Klien
tampak
menjerit-jerit
digerakkan
Klien tampak berkeringat
Klien tampak melindungi
daerah yang sakit
DS :
Ibu
mengatakan
anaknya
3.
post operasi
Tampak pembengkakan pada
DS:
Kerusakan jaringan di
Kerusakan integritas
ujung tulang
jaringan
Hematoma
Peradangan
(kalor,dubor,tumor)
Perubahan perfusi
jaringan
Kerusakan integritas
kulit
Tindakan pembedahan
Resiko infeksi
Port dentry
mikroorganisme
DO:
+/- 9cm
leukosit: 21,80
hematocrit 30%
hemoglobin 10,4
Suhu : 37,6 C
PRIORITAS MASALAH
PREOPERASI
POSTOPERASI
Risiko infeksi
INTERVENSI KEPERAWATAN
XII.
XIII.
XIV. DIAGNOSA
NO
KEPERAWATAN
XVII. XVIII. Nyeri Akut
1.
XV.
NOC
XVI. NIC
XXI. Setelah
dilakukan
XIX. Definisi :
tindakan
XX.
Pengalaman sensori
yang
menyenangkan yang
hasil:
muncul akibat
XXII.
kerusakan jaringan
Respon
Tambahan
sebagai kerusakan
1. Adanya
keperawatan
XXIV. NIC :
Psikologis
gangguan
dari
pada
konsentrasi
deviasi
ringan (4).
2. Distress nyeri dari deviasi
cukup berat (2) menjadi
ringan (4).
3. Kekhawatiran
lokasi,
karakteristik,
mengenai nyeri
3. Tentukan akibat dari pengalaman nyeri
terhadap kualitas hidup pasien (misalnya.,
(international
study of pain), awitan
terkait
tahapan
perkembangan
yang
dan
akan
dapat
membantu
deviasi
cukup
berat
(2)
bisa
ditahan
dari
pengkajian
untuk
ketidaknyamanan
terhadap
frekuensi
(misalnya,
nonfarmakologi,
memfasilitasi
farmakologi,
interpersonal)
penurunan
nyeri,
untuk
sesuai
dari
dengan kebutuhan.
7. Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologi
ketidakmampuan
preventif
manajemen nyeri
11. Berikan informasi
yang
terkait
akurat
dengan
untuk
XXVII. DIAGNOSA
XXVIII.NOC
NO
KEPERAWATAN
XXX. XXXI. Kerusakan Integritas
XXXIII.
2.
dilakukan
Jaringan
XXXII.
XXIX. NIC
Setelah
tindakan
keperawatan selama
jam
1. Perawatan amputasi
Monitor keutuhan kulit dan jaringan
(infeksi,) setiap ganti balutan.
Monitor penyembuhan luka disekitar insisi
diharapkan
penyembuhan
dengan
luka adekuat
XXXIV.
kriteria hasil:
Drainase purulen dari 4 ke 5
(tidak ada)
Bau luka busuk dari 4 ke 5
(tidak ada)
Pembentukan bekas luka dari 3
ke 4 (besar)
Lebam disekitar kulit sekitar
(analgesic)
ganti balutan dengan sesuai dengan jumlah
eksudat.
Monitor
karakteristik
luka
termasuk
dari 1 ke 4(terbatas)
Ukuran luka berkurang dari 2
ke 4 (besar)
XXXV.
XXXVI.
XXXVII.
XXXVIII.
NO
XLI.
3.
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
XXXIX.NOC
XL.
XLII.
imunitas
Definisi:
1. Fungsi
XLVI. NIC :
XLVII.
respirasi
deviasi
NIC
PERAWATAN LUKA
XLIV. Mmengalami
peningkatan resiko
terserang organisme
patogenik
menjadi
sedikit
terganggu (4).
4. Jumlah sel darah
absolut
deviasi
terganggu
(3)
putih
cukup
menjadi
badan
XLVIII.
XLIX.
L.
LI.
LII.
LIII.
LIV.
LV.
LVI.
LVII.
LVIII.
LIX. CATATAN KEPERAWATAN/IMPLEMENTASI& EVALUASI
LX. Nama Klien : An.AH
LXI. Ruangan
: Kemuning Bawah RSU Kabupaten Tangerang
LXII.
LXIII.
LXIV. POST OPERASI
LXV.
TGL /
HARI
LXIX. Rabu,
LXX. 23 11
16
LXVI. NO.
DIAGNOSA
LXXI. 1
LXXII. (NYERI
AKUT)
HASIL
pengkajian
Melakukan
nyeri LXXIII.
S:
An.AH
menjalar
klien mengatakan nyeri saat kaki
digerakan
Klien mengatakan skala nyeri 7
dan
tidur,
pngertian,
perasaan,
makan,
hubungan,
nafsu
LXVIII.EVALUASI
peran)
mengatakan
nyeri
O:
tidak
P:
Monitor
Menentukan
untuk
kebutuhan
melakukan
frekuensi
pengkajian LXXIX.
ketidaknyamanan
pasien
mengimplementasikan
-
monitor
Memilih
ttv
dan
Dorong
intake nutrisi
rencana LXXX.
Monitor
perdarahan
dan
implementasikan
dan
nonfarmakologi
menganjurkan
ibu
untuk
LXXXIV.
R LXXXV.
abu,
LXXXIII.
(ker
usakan
itegritas
0 11 16
jaringan)
kebutuhan.
Memonitor
nyeri,
sesuai
keutuhan
dengan
kulit
dan LXXXVII.
luka
LXXXIX.
-
O:
teknik
steril
saat
penggantian balutan
LXXXVI.
XC.
XCI.
XCII. P :
XCIII. Monitor warna kulit
XCIV. Monitor kebersihan luka
XCV.
XCVI.
XCVII.
XCVIII.
XCIX.
C.
CI.
CII.
Rabu,
CIII. 23 11
16
CXII. 3
CXVI.
CXIII. (risiko
infeksi)
CIV.
CV.
CVI.
dengan tepat.
Memberikan balutan yang sesuai
O:
suhu : 37,5 C
CVII.
CVIII.
CIX.
CX.
CXI.
-
- TD : 108/61 mmhg
- Nadi : 112 x/menit
- RR : 27 x/ menit
CXVII.
dengan tepat.
Memeriksa luka setiap kali perubahan CXVIII.
balutan
CXIX. A : Masalah risiko infeksi belum
Memposisikan untuk menghindari,
teratasi
menempatkan ketegangan pada luka
CXX. P :
dengan tepat.
CXXI. Monitor lingkungan pasien
CXIV.
CXXII.
Monitor
kebersihan luka
CXXIII.
CXXIV.
CXXV.
HUBUNGAN
STATUS
GIZI
DENGAN
KEJADIAN
terserang penyakit infeksi tetapi apabila status gizinya semakin memburuk, penyakit
yang dianggap biasa dapat menjadi berat dan menyebabkan kematian. Sedangkan balita
dengan status gizi baik akan meningkatkan daya tahan tubuh cukup kuat, sehingga tubuh
tidak akan mudah terserang berbagai jenis penyakit terutama penyakit pneumonia. Anak
yang berstatus gizi baik akan baik pula dalam melawan bahaya infeksi (Sediaoetama,
2008). Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa balita dengan status gizi kurang
tentunya akan lebih rentan terkena pneumonia dibandingkan dengan balita dengan status
gizi baik dan lebih.
CXXXI.
180 sampel yang merupakan pasien yang berkunjung ke Klinik Masjid Agung Jawa
Tengah dari bulan April 2008 sampai bulan April 2009. Setelah dilakukan analisis
terhadap 180 sampel, disimpulkan bahwa status gizi mempunyai pengaruh yang sangat
kuat terhadap kejadian ISPA pada balita. Hal ini terbukti dengan nilai p < 0,0001 jauh
lebih kecil dari derajat kemaknaan yang ditetapkan peneliti yaitu 0,05. Dengan demikian
perbaikan status gizi dapat mencegah anak terserang pneumonia (Elyana, 2009).
CXXXII.
KESIMPULAN
CXXXIII. Status gizi balita sebagian besar baik yaitu sebanyak 17 responden (65,4%).
Kejadian Pneumonia sebanyak 13 responden (4,3%) dari 300 balita yang diperiksa di
Puskesmas. Ada hubungan antara status gizi dengan kejadian pneumonia pada balita usia
1 5 tahun di Puskesmas Candi Lama Kecamatan Candisari Kota Semarang. Hal ini
dibuktikan dengan hasil Fishers Exact Test dan didapat nilai p value sebesar 0,005 (p <
0,05).
CXXXIV.
CXXXV.
CXXXVI.
PERBANDINGAN :
CXXXVII. Faktor penyebab pada jurnal yaitu Menurut Maryunani (2010), status
gizi adalah keadaan yang ditunjukkan sebagai konsekuensi dari keseimbangan antara zat
gizi yang masuk ke tubuh dan yang diperlukan. Teori Sediaoetama (2008) menyatakan,
bahwa status gizi baik akan meningkatkan daya tahan tubuh cukup kuat, sehingga tubuh
tidak akan mudah terserang berbagai jenis penyakit terutama penyakit infeksi. Anak yang
berstatus gizi baik akan baik pula dalam melawan bahaya infeksi.
CXXXVIII.Pada kasus An. AU, anak AU memiliki status gizi yang kurang hal ini
dibuktikan dengan BB= 6,7 kg, PB= 73 cm, , LLA : 10 cm dan lingkar kepala 40 cm,
Kulit: Tampak pucat (anemis), turgor kulit tidak elastis, kulit teraba kering, status gizi:
kurang (< 18,5). Ibu nya juga mengatakan bahwa An. AU sudah 4 hari tidak mau
menyusu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa gizi yang kurang akan membuat anak
mudah terserang berbagai jenis penyakit terutama infeksi. Pada hasil pemeriksaan darah
terakhir tanggal 14/11/2016, jam: 15.58 WIB menyatakan bahwa hasil hemoglobin : 8,8
g/dl (menurun). Hasil leukosit : 15,70 10/uL (meningkat). Hasil hematocrit : 27 %
(menurun). Hasil trombosit : 663 10/uL (meningkat). Hasil MCV : 57 m (menurun)
dan hasil MCH : 19 pg (menurun). Sehingga dapat disimpulkan bahwa pertahanan tubuh
pada anak AU sangat rendah dan mudah terkena infeksi atau penyakit bronkopneumonia.
CXXXIX.
CXL. JURNAL TERKAIT TINDAKAN PADA KASUS
CXLI.
JUDUL : PENGARUH CHEST THERAPY TERHADAP PENURUNAN SESAK
NAFAS
DENGAN
PARAMETER
RESPIRATORY
RATE
PADA
ANAK
BRONCHITIS.
CXLII.
PEMBAHASAN:
CXLIII.
CXLIV.
untuk membersihkan jalan nafas akibat menurunnya fungsi mucocilliary clearance atau
batuk yang terdiri dari postural drainage, perkusi, fibrasi, breathing, coughing, suction
dan mobilisasi thorak. Chest therapy adalah istilah fisioterapi yang digunakan untuk
intervensi dalam penatalaksanaan gangguan pernapasan seperti batuk kronik berulang,
penyakit paru yang menghasilkan banyak lendir kental atau cair dan penyakit
penyempitan saluran pernapasan (Rahajoe, 2008).
CXLV.
dengan secret yang berlebih, kegagalan fungsi mukosiliar saluran pernapasan dan reflex
batuk sehingga timbul komplikasi akibat akumulasi secret intrabronchial dan materi yang
teraspirasi. Kontra indikasi chest therapy apabila terdapat kelainan dinding dada seperti
fraktur iga, neoplasma, riketsia, tension pneumothorax, kelainan pembekuan,
haemoptisis, perdarahan intrabronchial yang massif dan aritmia jantung.
CXLVI.
berlebihan atau material yang teraspirasi dari dalam saluran pernapasan. Material atau
benda-benda yang masuk ke saluran pernapasan menyebabkan kerusakan pada saluran
pernapasan akibat meningkatnya resistensi saluran pernapasan dan usaha bernapas
sehingga hiperinflasi. Mikroorganisme dan respon inflamasi yang terjadi akan
merangsang pengeluaran proteolitik sehingga dapat menghancurkan dinding saluran
pernapasan, chest therapy selain mencegah obstruksi juga mencegah rusaknya saluran
pernapasan (Rahajoe, 2008).
KESIMPULANNYA:
CXLVII. Ada pengaruh chest therapy terhadap penurunan sesak nafas dengan
menggunakan parameter respiratory rate pada anak bronchitis. Ada beda pengaruh
antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol chest therapy terhadap penurunan
sesak nafas dengan menggunakan parameter respiratory rate pada anak bronchitis.
Berdasarkan analisa hasil statistik dan pembahasan penelitian, maka hasil penelitian ini
dapat diterapkan menjadi khasanah kepustakaan dan referensi untuk institusi kesehatan
dan lebih mensosialisasikan fisioterapi tentang perlakuan chest therapy terhadap
penurunan sesak nafas dengan menggunakan parameter respiratory rate pada anak
bronchitis karena lebih efektif dan efisien.
CXLVIII.
PEMBAHASAN KASUS:
CXLIX.
Seharusnya
bisa
dilakukan
pada
An.
AU
yang
mengalami
bronkopneumonia yang memiliki banyak secret namun sulit untuk dikeluarkan dan hal
ini bisa diberikan atau mengajarkan ibu terkait teknik chest therapy ini.