Anda di halaman 1dari 43

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA ANAK AH DENGAN CRUS INJURI PEDIS


DI RUANG KEMUNING BAWAH RSU KABUPATEN
TANGERANG

DISUSUN OLEH KELOMPOK 2 :


1.
2.
3.
4.
5.

FAROH NINGRUM WIDIASTUTIK


YURI WAHYUNI
RATNA WIDYA SARI
ARIE MARSITA
NUR ATIKAH

PROFESI NERS FAKULTAS ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG
TAHUN AKADEMIK 2016

BAB I
TINJAUAN TEORI DAN KONSEP
A. Konsep Fraktur
1. Definisi
Fraktur merupakan istilah hilangnya kontinuitas tulang, baik bersifat total maupun
sebagian yang ditentukan berdasarkan jenis dan luasnya (Smeltzer & Bare, 2002).
Fraktur adalah patah tulang yang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik.
Kekuatan dari tenaga tersebut, keadaan tulang itu sendiri, dan jaringan lunak di sekitar
tulang akan menentukan kondisi fraktur tersebut (Price, 2006). Fraktur adalah
terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur akibat dari trauma, beberapa
fraktur sekunder terhadap proses penyakit seperti osteoporosis, yang menyebabkan
fraktur yang patologis (Mansjoer, 2001).
2. Klasifikasi Fraktur
Berdasarkan hubungan dengan dunia luar fraktur dibagi menjadi:
a. Fraktur Tertutup (simple/close fracture)
Fraktur tertutup adalah fraktur yang tidak menyebabkan robeknya kulit, tetapi
terjadi pergeseran tulang didalamnya. Pasien dengan fraktur tertutup harus
diusahakan untuk kembali ke aktivitas biasa sesegera mungkin. Pasien diajarkan
bagaimana cara mengontrol pembengkakan dan nyeri yaitu dengan meninggikan
ekstremitas yang cedera, dan mulai melakukan latihan kekuatan otot yang 8
dibutuhkan untuk pemindahan atau menggunakan alat bantu jalan ( Smeltzer &
Bare, 2002).
b. Fraktur Terbuka (complicated/ open fracture)
Fraktur terbuka merupakan fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa
sampai ke patahan tulang. Klasifikasi fraktur terbuka menurut Gustilo Anderson
(Smeltzer & Bare, 2002) adalah:
1) Grade I: dengan luka bersih kurang dari 1 cm panjangnya, kerusakan jaringan
lunak minimal, biasanya tipe fraktur simple transverse dan fraktur obliq
pendek.
2) Grade II: luka lebih dari 1 cm panjangnya, tanpa kerusakan jaringan lunak
yang ekstensif, fraktur komunitif sedang dan ada kontaminasi
3) Grade III: yang sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan
lunak yang ekstensif, kerusakan meliputi otot, kulit dan struktur neurovascular.

4) Grade III ini dibagi lagi kedalam: III A : fraktur grade III, tapi tidak
membutuhkan kulit untuk penutup lukanya. III B: fraktur grade III, hilangnya
jaringan lunak, sehingga tampak jaringan tulang, dan membutuhkan kulit
untuk penutup (skin graft). III C: fraktur grade III, dengan kerusakan arteri
yang harus diperbaiki,dan beresiko untuk dilakukannya amputasi.
3. Etiologi
Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (2005) ada 3 yaitu:
a. Cidera atau benturan
1) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang
patah secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan
kerusakan pada kulit diatasnya.
2) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur
klavikula.
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.
(Oswari, 2000)
b. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah oleh
karena tumor, kanker dan osteoporosis.
c. Fraktur beban
Fraktur baban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang baru saja
menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima dalam angkatan
bersenjata atau orang- orang yang baru mulai latihan lari.
4. Patofisiologi
Fraktur ganggguan pada tulang biasanya disebabkan oleh traumagangguan
adanya gaya dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik, gangguan metabolic,
patologik. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang terbuka ataupun
tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan pendarahan, maka volume
darah menurun. COP (cardiac output) menurun maka terjadi perubahan perfusi
jaringan. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi edem lokal
maka penumpukan di dalam tubuh.
Fraktur terbuka atau tertutup akan mengenai serabut saraf yang dapat
menimbulkan ganggguan rasa nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang dan
dapat terjadi revral vaskuler yang menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik
terganggau. Disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang

kemungkinan dapat terjadi infeksi dan kerusakan jaringan lunak akan mengakibatkan
kerusakan integritas kulit. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh
trauma gangguan metabolik, patologik yang terjadi itu terbuka atau tertutup. Baik
fraktur terbuka atau tertutup akan mengenai serabut syaraf yang dapat menimbulkan
gangguan rasa nyaman nyeri. Selaian itu dapat mengenai tulang sehingga akan terjadi
neurovaskuler yang akan menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik
terganggu, disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang
kemungkinan dapat terjadi infeksi karena terkontaminasi dengan udara luar. Pada
umumnya pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup akan dilakukan immobilitas
yang bertujuan untuk mempertahankan fragmen yang telah dihubungkan tetap pada
tempatnya sampai sembuh. (Price, 2006).
5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan
ekstermitas,

krepitus,

pembengkakan

lokal,

dan

perubahan

warna

(Smelzter&Bare,2002).
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah
yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara tidak alamiah bukannya tetap rigid seperti normalnya, pergeseran
fragmen pada fraktur menyebabkan deformitas, ekstermitas yang bias diketahui
dengan membandingkan dengan ekstermitas yang normal. Ekstermitas tak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas
tulang tempat melekatnya otot.
c. Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.
d. Saat ekstermitas di periksa dengan tangan, teraba adanya Derik tulang yang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
lainnya.
e. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya baru terjadi
setelah beberapa jam atau hari setelah ceder
6. Komplikasi
a. Komplikasi Awal

Komplikasi awal setelah fraktur adalah kejadian syok, yang berakhibat fatal hanya
dalam beberapa jam setelah kejadian,kemudian emboli lemak yang dapat terjadi
dalam 48 jam, serta sindrom kompartmen yang berakibat kehilangan fungsi
ekstremitas secara permanaen jika terlambat ditangani.
b.Komplikasi Lambat
Komplikasi lambat dalam kasus fraktur adalah penyatuan tulang yang mengalami
patah terlambat, bahkan tidak ada penyatuan. Hal ini terjadi jika penymbuhan tidak
terjadi dalam dengan waktu normal untuk jenis dan fraktur tertentu. Penyatuan tulang
yang terlambat atau lebih lama dari perkiraan berhubungan dengan adanya proses
infeksi sistemik dan tarikan jauh pada fragmen tulang. Sedangkan tidak terjadinya
penyatuan diakibatkan karena kegagalan penyatuan pada ujung-ujung tulang yang
mengalami patahan.
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan semua jenis fraktur memiliki prinsip penanganan yang sama dengan
metode yang berbeda-beda. Menurut Mansjoer (2001) dan Muttaqin (2008) konsep
dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu: rekognisi,
reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
a. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan,derajat keparahan,harus jelas untuk menentukan diagnosa
dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri
sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas
integritas rangka.
b. Reduksi (manipulasi/ reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen fragmen tulang
yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya untuk
memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimal.
Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi, atau reduksi
terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah jaringan
lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena
edema dan perdarahan.Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin
sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan (Mansjoer, 2002).
c. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimal.Setelah fraktur direduksi fragmen tulang harus

diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posis kesejajaran yang benar sampai


terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau
interna.
Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu,
pin, dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk
fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan
fragmen tulang dengan memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus
menembus tulang pada bagian proksimal dan distal dari tempat fraktur dan pin
tersebut dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan eksternalbars. Teknik
ini terutama atau kebanyakan digunakan untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi
juga dapat dilakukan pada tulang femur, humerus dan pelvis (Mansjoer, 2001)
Rehabilitasi Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk
menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan memungkinkan, harus segera
dimulai melakukan latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan anggota
tubuh dan mobilisasi (Mansjoer,2000).
8. Pemeriksaan Penunjang Menurut (Doengoes, 2000)pemeriksaan diagnostik
fraktur diantaranya adalah:
a. Pemeriksaan Rongent
Menentukan luas atau lokasi minimal 2 kali proyeksi, anterior, posterior
lateral.
b. CT Scan tulang, fomogram MRI (Magnetic Resonance Imaging).
Untuk melihat dengan jelas daerah yang mengalami kerusakan.
c. Arteriogram
Dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler.
d. Hitung darah lengkap
Hemokonsentrasi mungkin meningkat, menurun pada perdarahan; peningkatan
lekosit sebagai respon terhadap peradangan.
B. Asuhan Keperawatan Pada Fraktur Post Operasi
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara
menyeluruh. Pengkajian pasien fraktur dengan post operasi menurut (Doenges,2000)
a. Aktivitas atau istirahat
Keterbatasan atau kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin
segera akibat langsung dari fraktur atau akibat sekunder pembengkakan jaringan dan
nyeri).

b. Sirkulasi
1) Peningkatan tekanan darah mungkin terjadi akibat respon terhadap nyeri atau
ansietas, sebaliknya dapat terjadi penurunan tekanan darah bilaterjadi
perdarahan.
2) Takikardia
3) Penurunan atau tidak ada denyut nadi pada bagian distal area cedera, pengisian
kapiler lambat dan pucat pada area fraktur.
4) Hematoma area fraktur.
c. Neurosensori
1) Hilang gerakan atau sensasi
2) Kesemutan (parestesia)
d. Nyeri atau Kenyamanan
1) Nyeri hebat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area fraktur,
berkurang pada imobilisasi.
2) Spasme atau kram otot setelah imobilisasi.
e. Keamanan
1) Laserasi kulit dan perdarahan.
2) Pembengkakan lokal (dapat meningkat bertahap atau tiba-tiba).
f. Penyuluhanatau Pembelajaran
1) Imobilisasi.
2) Bantuan aktivitas perawatan diri.
3) Prosedur terapi medis dan keperawatan.
2. Diagnosa dan Rencana Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien fraktur post operasi
berdasarkan Nanda dan intervensi adalah sebagai berikut (Nanda, 2012, NIC 2012, NOC,
2012):
a. Nyeri Akut berhubungan dengan agen cidera fisik: diskontuinitas jaringan
1) Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawan makan nyeri pasien terkontrol.
2) Kriteria Hasil: Pasien mengatakan nyeri berkurang, skala nyeri berkurang dan
tanda-tanda vital dalam rentang normal.
3) Intervensi keperatan: Manajemen nyeri (Pain Management)
a) Kaji nyeri (lokasi, durasi, karakteristik, frekuensi, intensitas, factor
pencetus)
b) Observasi tanda non verbal dari ketidaknyamanan
c) Monitor keefektifan tindakan mengontrol nyeri
d) Kontrol faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien
e) Ajarkan tehnik non farmakologis kepada pasien dan keluarga : relaksasi,
distraksi, guided imagery, hipnoterapy.
f) Ajarkan pada pasien dan keluarga tentang penggunaan analgetik dan efek
sampingnya

g) Anjurkan pasien untuk meningkatkan istirahat


h) Kolaborasi medis (pemberian analgetik), fisioterapis/ akupungturis
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan diskontuinitas jaringan dan tulang.
1) Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien meningkatkan
mobilitas pada tingkat yang paling tinggi yang mungkin.
2) Kriteria hasil: Pasien menunjukan teknik yang mampu melakukan aktivitas.
3) Intervensi
a) Latihan Kekuatan (Exercise Promotion: Strength Training)
Ajarkan dan berikan dorongan pada pasien untuk melakukan program latihan
secara rutin.
b) Latihan untuk ambulasi ( Exercise therapy:Ambulation)
Ajarkan teknik ambulasi dan perpindahan yang aman. Sediakan alat bantu untuk
pasien seperti kruk, kursi roda, dan walker. Beri penguatan positif untuk berlatih
mandiridalam batasan yang aman.
c) Latihan Keseimbangan ( Exercise Therapy Balance )
Ajarkan pada pasien untuk dapat mengatur posisi secara mandiri dan untuk
menjaga keseimbangan selama latihan ataupun dalam aktivitas sehari hari
c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terhadap fragmen
tulang dan prosedur operasi.
Tujuan: setelah di lakukan tindakan pemenuhan masalah kerusakan kulit dapat
teratasi, penyembuhan luka sesuai waktu.
Kriteria hasil: tidak ada tanda- tanda infeksi seperti pus, kemerahan, luka bersih tidak
lembab dan tidak kotor, tanda- tanda vital dalam batas normal atau dapat di toleransi.
Intervensi: Perawatan Luka (Wound Care)
1) Kaji keadaan kulit dan identitas pada tahap perkembangan luka untuk mengetahui
sejauhmana perkembangan luka mempermudah dalam melakukan tindakan yang
tepat.
2) Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
3) Lakukan perawatan luka dengan tehnik aseptik.
4) Kolaborasi dengan ahli gizi dan dengan medis untuk terapi antibiotik dan cairan
yang digunakan dalam perawatan luka
d. Resiko perluasan infeksi sekunder berhubungan dengan luka terbuka.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan infeksi sudah tidak
terjadi.
Kriteria hasil: Tidak ada tanda dan gejala infeksi dan lekosit dalam batas normal.
Intervensi: Pengendalian resiko (Infection Protection)

1) Pantau tanda dan gejala infeksi: suhu tubuh, nadi,kondisi luka, sekresi, penampilan
2)
3)
4)
5)
6)

urine, penurunan BB, keletihan dan malaise.


Pertahankan tehnik aseptik pada pasien yang beresiko
Bersihkan alat / lingkungan dengan benar setelah dipergunakan pasien
Anjurkan pasien untuk minum obat antibiotika sesuai program
Dorong masukan nutrisi dan cairan yang adekuat.
Berikan pendidikan kesehatan kepada pasien dan keluarga tentang penularan
penyakit infeksi: transmisi secara seksual, oral, fekal, sekresi tubuh, kontak

langsung.
7) Kolaborasi dengan medis untuk pemberian terapi sesuai indikasi, dan pemeriksaan
laboratorium
Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan.
Tujuan: Setelah dilakukan tidakan keperawatan diharapkan kekurangan volume
cairan teratasi.
Kriteriahasil: Tanda-tanda vital stabil, membrane mukosa lembab, turgor kulit baik,
pengisian kapiler cepat dan tidak terjadi perdarahan massif.
Intervensi: Manajemen cairan (Fluid Management)
1) Kaji atau ukurdancatatjumlah perdarahan.
2) Monitor tanda-tanda vital
3) Monitor status hidrasi (kelembaban membran mukosa, nadi dan suhu adekuat,
tekanan darah ortostatik) jika diperlukan
4) Ajarkan pada pasien dan keluarga tentang pentingnya kebutuhan cairan
5) Kolaborasi pemberian cairan intravena, dan pemeriksaan elektrolit, darah
lengkap.
C. Nyeri Post Operasi Fraktur dan Faktor yang Mempengaruhi
Pembedahan atau operasi merupakan tindakan pengobatan yang menggunakan cara invasif
dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani (Sjamsuhidajad,
2005). Sasaran pembedahan adalah untuk memperbaiki fungsi dengan mengembalikan
gerakan dan stabilitas, mengurangi nyeri dan komplikasi (Smeltzer & Bare, 2002). Respon
tubuh pasca pembedahan adalah nyeri. Nyeri diakibatkan adanya insisi pembedahan dan
kejadian fraktur sebelumnya. Sebagian besar pasien mempercayai bahwa nyeri yang
dialami post operasi menimbulkan ketakutan tersendiri yang berakibat mekanisme koping
yang tidak efektif.
Nyeri akut pasca pembedahan dapat mengancam proses pemulihan seseorang yang
berakibat pada bertambahnya waktu rawat, peningkatan resiko komplikasi akibat
immobilisasi dan tertundanya program rehabilitasi. Kemajuan secara fisik atau psikologis
menjadi tertunda akibat menetapnya nyeri yang dirasakan, karena pasien akan lebih

terfokus dan menghabiskan energinya hanya untuk proses penyembuhan nyeri tersebut.
Oleh karena itu tujuan utama perawat dalam kasus post operasi adalah untuk memberikan
pertolongan terhadap nyeri yang memungkinkan klien dapat berpartisipasi didalamnya
(Potter &Perry,2010)
Faktor faktor yang memepengaruhi nyeri post orif secara umum menurut Smelzer dan
Bare (2002) adalah usia, jenis kelamin, kultur, makna nyeri, perhatian, ansietas,
pengalaman masa lalu, pola koping dan dukungan sosial. Smeltzer dan Bare (2002)
menjelaskan bahwa usia sangat berpengaruh terhadap nyeri. Usia merupakan variabel
penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada anak dan lansia. Perbedaan
perkembangan yang ditemukan diantara kelompok usia ini dapat mempengaruhi
bagaimana anak dan lansia bereaksi terhadap nyeri. Jenis kelamin laki-laki dan perempuan
tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam merespon nyeri. Diragukan apakah hanya
jenis kelamin saja yang mempengaruhi kualitas nyeri. Toleransi nyeri sudah sejak lama
telah menjadi subjek penelitian yang melibatkan pria dan wanita, akan tetapi toleransi
terhadap nyeri dipengaruhi oleh biokimia. (Smeltzer dan Bare, 2002).
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu
mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh budaya mereka. Menurut
Perry dan Potter 2005 sosialisasi budaya menentukan perilaku psikologis seseorang
sehingga dapat mempengaruhi pengeluaran psikologis opiate endogen dan terjadilan
persepsi nyeri.
Makna dan pengalaman nyeri seseorang merupakan cara seseorang beradaptasi terhadap
nyeri. Individu akan mempersepsikan nyeri secara berbeda-beda apabila nyeri tersebut
memberikan kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman dan tantangan. Derajat dan
kualitas nyeri yang dipersiapkan nyeri klien berhubungan dengan makna nyeri.
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansiatas seringkali meningkatkan
persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas. Menurut
Price 2006 suatu bukti bahwa stimulus nyeri mengakibatkan sistem limbik dapat
memproses reaksi emosi seseorang, khususnya ansietas. Sistem limbic dapat memproses
reaksi emosi seseorang terhadap nyeri, yakni memperburuk atau menghilangkan nyeri.
Pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu akan menerima nyeri
dengan lebih mudah pada masa yang akan datang.
Apabila individu sejak lama sering mengalami serangkaian episode nyeri tanpa pernah
sembuh maka rasa takut akan muncul dan juga sebaliknya. Akibatnya klien akan lebih siap
untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri.

Pengalaman nyeri dapat menjadi suatu pengalaman yang membuat merasa kesepian, dan
gaya koping mempengaruhi bagaimana mengatasi nyeri.
Dukungan keluarga dan sosial, kehadiran orang-orang terdekat klien dan bagaimana sikap
mereka terhadap klien mempengaruhi kualitas nyeri yang dirasakan seseorang. Kehadiran
orang yang bermakna bagi pasien akan meminimalkan rasa kesepian dan ketakutan.
Apabila tidak ada keluarga dan orang terdekat, sering kali nyeri akan membuat pasien
menjadi semakin tertekan dan sebaliknya.

D. Tehnik Relaksasi Nafas Dalam


1. Pengertian
Tehnik relaksasi nafas dalam merupakan salah satu bentuk intervensi asuhan
keperawatan untuk mengatasi masalah nyeri, terutama nyeri yang bersifat akut dan
sedang (McCloskey, 2000). Dalam intervensi ini perawat mengajarkan bagaimana cara
melakukan

nafas

dalam

lambat

(menahan

inspirasi

secara

maksimal)

dan

menghembuskan nafas secara perlahan melalui mulut. Selain itu tehnik relaksasi nafas
dalam dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi dalam darah
(Smeltzer &Bare, 2002). Relaksasi juga merupakan metode yang efektif dalam
mengurangi nyeri pasca operasi. Relaksasi yang sempurna dapat mengurangi
ketegangan otot, rasa jenuh kecemasan sehingga mencegah bertambahnya kualitas
nyeri.
Relaksasi merupakan perasaan bebas secara mental dan fisik dari ketegangan atau stress
yang membuat individu memliki rasa kontrol terhadap dirinya. Perubahan fisiologis
akibat relaksasi mencakup menurunya denyut jantung, tekanan darah, kecepatan
pernafasan, menurunkan kebutuhan oksigen, meningkatkan kesadaran, merilekskan otot
dan menimbulkan perasaan damai (Perry & Potter, 2010).
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa relaksasi nafas dalam merupakan
metode efektif untuk mengurangi rasa nyeri, mengurangi ketegangan otot, dimana nyeri
itu sendiri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan.
Penelitian terkait tehnik relaksasi adalah penelitian yang dilakukan oleh Nurdin (2013),

disebutkan bahwa tehnik relaksasi nafas dalam mempunyai pengaruh terhadap


penurunan intensitas nyeri pada pasien post operasi fraktur di ruang Irnina A BLU
RSUP Prof. Dr. R.D. Kanou Manado. Pendapat serupa juga terdapat pada penelitian
yang dilakukan Galuh tahun 2009 yang menyatakan bahwa tehnik relaksasi nafas dalam
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penurunan nyeri pada pasien pasca operasi
fraktur femur antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol di Rumah Sakit
Karima Utama Surakarta.
2. Tujuan
Tujuan tehnik relaksasi nafas dalam adalah untuk meningkatkan ventilasi dalam alveoli,
memelihara pertukaran gas, mengurangi stres baik fisik maupun emosional,
merilekskan otot, menurunkan kecemasan sehingga dapat menurunkan persepsi nyeri
seseorang (Smeltzer & Bare, 2002)
3. Prosedur Tehnik Relaksasi Nafas Dalam
Menurut Smeltzer &Bare (2002) tehnik relaksasi yang sederhana terdiri atas nafas
abdomen dengan frekuensi lambat dan berirama. Pasien dapat memejamkan matanya
kemudian bernafas dengan perlahan dan nyaman. Irama yang konstan dapat
dipetahankan dengan suatu hitungan dalam hati dan lambat bersamaan dengan inhalasi
dan ekshalasi. Pada saat perawat mengajarkan tehnik ini perawat menghitung dengan
keras dan membimbing pasien berulang kali agar pasien lebih terampil dalam
menggunakannya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Nurdin (2013), prosedur tehnik relaksasi nafas
dalam adalah dengan menciptakan suasana lingkungan yang tenang, usahakan pasien
tetap tenang dan rileks, menarik nafas dalam dari hidung dan mengisi paru-paru dengan
udara melalui hitungan, perlahan-lahan udara tersebut dihembuskan melalui mulut
sambil merasakan bahwa semua tubuh terasa rileks, usahan tetap konsentrasi dan
lakukan kegiatan tersebut sampai 15 kali dengan selingi istirahat singkat setiap 5 kali
(Priharjo, 2003, Nurdin, 2013).
4.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Teknik Relaksasi Nafas Dalam terhadap Penurunan Nyeri
Teknik relaksasi nafas dalam dipercaya dapat menurunkan intensitas nyeri melalui mekanisme
yaitu (Smeltzer dan Bare, 2002) :
a) Dengan merelaksasikan otot-otot skelet yang mengalami spasme yang disebabkan oleh
peningkatan prostaglandin sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah dan akan
meningkatkan aliran darah ke daerah yang mengalami spasme dan iskemik.

b) Teknik relaksasi nafas dalam dipercayai mampu merangsang tubuh untuk melepaskan
opioid endogen yaitu endorphin dan enkefalin. Pernyataan lain menyatakan bahwa
penurunan nyeri oleh teknik relaksasi nafas dalam disebabkan ketika seseorang melakukan
relaksasi nafas dalam untuk mengendalikan nyeri yang dirasakan, maka tubuh akan
meningkatkan komponen saraf parasimpatik secara stimulan, maka ini menyebabkan
terjadinya penurunan kadar hormon kortisol dan adrenalin dalam tubuh yang
mempengaruhi tingkat stress seseorang sehingga dapat meningkatkan konsentrasi dan
membuat klien merasa tenang untuk mengatur ritme pernafasan menjadi teratur. Hal ini
akan mendorong terjadinya peningkatan kadar PaCO 2 (tekanan carbondioksida) akan
menurunkan kadar pH sehingga terjadi peningkatan kadar oksigen dalam darah
(Handerson, 2006)

BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN ANAK
Nama Mahasiswa : Faroh Ningrum Widiastutik
Tempat Praktik
: Kemuning Bawah RSU Kab. Tangerang
Tanggal Praktik
: 14 November sampai 19 November 2016
Tanggal Pengkajian: 14 November 2016
I.

IDENTITAS PASIEN
Nama
: An. AH
Tempat/Tgl.lahir : Mauk, 09 januari 2010
Usia
: 6 tahun
BB
: 20 kg, TB: 135 cm => Gizi cukup
Jenis kelamin
: Laki-Laki
Diagnose medis : crush injuri pedis
Nama Ayah
: Tn. J
Nama ibu
: Ny. K
Pekerjaan Ayah
: Nelayan
Pekerjaan Ibu
: Ibu Rumah Tangga
Alamat
: KP Cibeneng RT 016/004, sasak, mauk.
Agama
: Islam
Suku Bangsa
: Jawa
Pendidikan Ayah : SD
Pendidikan Ibu
: SMP
Tanggal rawat
: 21 November 2016, Jam: 20.30 WIB

II. KELUHAN UTAMA

Pada saat pengkajian pada tgl 21 November 2016, Jam 20.00 WIB. Ibu pasien mengatakan
An. AH mengalami kecelakaan saat menyebrang jalan, kaki kiri An. AH terlindas mobil
box pada jam 11.30 WIB saat anak AH pulang dari sekolah.
III. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien datang dengan keluhan nyeri pada kaki sebelah kirinya.
IV. RIWAYAT KEHAMILAN DAN KELAHIRAN
1. Prenatal
: Ibu klien mengatakan tidak mengalami masalah selama kehamilan
2. Intranatal
: Ibu klien mengatakan An. AH lahir secara normal
3. Postnatal
: Ibu klien mengatakan setelah lahir tidak ada kelainan
V. RIWAYAT MASA LAMPAU
1. Penyakit waktu kecil
2.
3.
4.
5.

: Ibu An. AH mengatakan An. AH hanya sakit biasa


waktu masih kecil An. AH sakit panas biasa.
Pernah dirawat di RS
: Ibu An. AH mengatakan An. AH tidak pernah dirawat
di RS.
Obat-obatan yang digunakan : Ibu An. AH mengatakan An. AH jika panas diberikan
obat bodrexin.
Tindakan (operasi)
: Tidak ada
Alergi
: Tidak ada, namun ketika di RS mendapat transfusi
darah (golongan darah A), An. AH mengalami gatalgatal dan bentol-bentol.
: Ibu An. AH mengatakan An. AH tidak pernah
mengalami kecelakaan.
: Ibu An. AH mengatakan imunisasi An. AH lengkap.

6. Kecelakaan
7. Imunisasi
VI. RIWAYAT KELUARGA
1. Sosial Ekonomi
2. Penyakit Keluarga

: Tingkat social ekonomi klien termasuk menengah, pekerjaan


Ayah klien sebagai nelayan.
: Ibu An. AH mengatakan tidak ada riwayat penyakit keluarga.

3. Genogram

Tn. J

Ny. K

Keterangan :
= Laki-Laki
= Perempuan
= Menikah
= Klien
X = Meninggal
-------- = Tinggal 1 rumah

An. AH (15 bln)


Kesimpulannya: An. AH adalah anak ke 2 (laki-laki) dari pasangan Tn. J dan Ny. K.
VII.

RIWAYAT SOSIAL
1. Yang mengasuh
2. Hubungan dengan anggota keluarga
3. Hubungan dengan teman sebaya
4. Pembawaan secara umum
5. Lingkungan rumah

: Kedua Orang Tua


: Anak
: Ibu mengatakan An. AH kalau dirumah
sering bermain dengan teman sebayanya.
: Pembawaan secara umum An. AH baik.
: Baik, karena lingkungan nya sangat
mendukung dan mengharapkan
kesembuhan An. AH

VIII. KESEHATAN FUNGSIONAL (11 POLA GORDON)


1. Pemeliharaan dan persepsi terhadap kesehatan :
Orangtua An. AH sangat khawatir terhadap kesehatan anaknya, terutama terkait luka
pada kaki kiri An. AH yang terlindas ban mobil, namun keluarga An. AH terlihat
selalu mendo`akan untuk kesembuhan untuk An. AH.
2. Nutrisi
:
Makanan yang disukai An. AH selama di rawat kurang mau makan, namun ibu An.
AH berkata An. AH makanan yang tidak di sukai An. AH selama di RS tidak ada.
Selera makan An. AH mengalami penurunan, makanan An. AH terlihat tidak habis.
Alat makan yang dipakai : piring, sendok, garpu, Pola makan An. AH/jam: An
AH makan 3 kali sehari pada pagi, siang dan malam hari.
3. Aktivitas
:
An.AH terlihat lemah dan lemas dan terkadang menangis serta merintih merasakan
kaki kirinya yang sakit.
4. Tidur dan istirahat :
Pola tidur An. AH kurang baik, karena An. AH merasakan sakit pada kaki kirinya.
Kebiasaan sebelum tidur

: ibu An. AH mengatakan biasaya ibu An. AH selalu

menceritaka dongeng atau bersolawat sampai An. AH tertidur.


5. Eliminasi
:
Ibu An. AH mengatakan An.AH blm BAB selama berada di RS dan BAK
menggunakan kateter urin 200 CC/ 6 jam.
6. Pola hubungan
:
An.AH tinggal bersama orangtuanya, sehari-hari An.AH di asuh oleh ibunya,
hubungan dengan keluarga baik.
7. Koping atau temperamen dan disiplin yang diterapkan

An.AH tampak gelisah dan ibu An. AH selalu menemani An. AH di RS dan selalu
mengajarkan An. AH untuk bersholawat ketika nyeri pada kaki kiri An. AH timbul.
8. Kognitif dan persepsi
:
Penglihatan : An.AH dapat melihat sekeliling dan aktiv melihat orang-orang
disekelilingnya.
Pendengaran : An.AH saat dipanggil merespon dan mampu menjawab pertanyaan
Perabaan

yang diajukan dengan baik.


: An.AH dapat merasakan rabaan, namun pada kaki yang terlindas

ban mobil sudah baal dan tampak biru.


Pengecapan : An.AH fungsi pengecapannya baik dapat merasakan makanan.
9. Konsep diri : An.AH konsep dirinya baik, namun An. AH tampak merasakan nyeri
pada kaki sebelah kiri yang terlindas ban mobil dan An. AH terlihat
10. Seksual
11. Nilai

gelisah.
: Tidak ada masalah pada alat reproduksi An.AH.
: Ibu masih mempercayai bahwa dengan berdo`a dan bersolawat dapat
mengurangi nyeri pada kaki kiri An. AH dan meningkatkan
kesembuhan pada An. AH.

IX.

KEADAAN KESEHATAN SAAT INI


1. Diagnosa medis
: Crush Injury Pedis Sinistra
2. Tindakan operasi
: Tidak ada
3. Status nutrisi
: Nafsu makan An. AH mengalami penurunan karena An.
AH merasakan nyeri.
4. Status cairan
: Terpasang infus intra vena ringer laktat 500/8 jam
(20 tpm)
5. Obat-obatan
: Terapi obat suntik
- Ceftriaxone 3 x 500 mg
- Ketorolac 3 x 10 mg
- Hiponac / gentamicin 2 x1 gr
Terapi Obat Oral
- Kolkamoc 2 x 0,5 mg
6. Aktivitas
: Berbaring dan tidur diatas tempat tidur dan terkadang An.
AH menangis.
7. Tindakan keperawatan : - Mengobservasi KU (S=37,3oC, N=75x/m, RR=21x/m)
- Memonitor infus RL 500cc/8 jam (20 tts/mnt).
- Persiapan rencana operasi kaki kiri pada hari selasa
jam 18.00 WIB.
8. Hasil laboratorium
:
Hasil laboratorium tanggal 21 November 2016, Jam: 22.59 WIB

Test

Laboratorium
Satuan
Hasil

Nilai Normal

HEMATOLOGI

Hemoglobin

Lekosit

*8,9

g/dl

13.2 - 17.3

*15,70

10/L

3.80 - 10.60

Hematocrit

*25

40 - 52

Trombosit

314

10/L

140 - 440

Hasil laboratorium tanggal 21 November 2016, Jam: 22.00 WIB

Test

Laboratorium
Satuan
Hasil

Nilai Normal

HEMATOLOGI
FALL HEMOSTASIS
MASA PROTROMBIN
HASIL

15,2

detik

12,8 15,9

Control PT

15,2

detik

11,2 17,9

INR

1,05

APTT
Hasil

36,5

detik

21,0 53,0

Control APTT

32,9

detik

28,6 41,6

1/9

Mg/dl

<180

SGOT

45

U/L

0 - 50

SGPT

33

U/L

0 - 50

Ureum

13

Mg/dl

10 - 50

Creatinin

0,5

Mg/dl

0.0 1.3

Natrium (Na)

137

mEq/L

135 - 147

Kalium (K)

3,4

mEq/L

3.5 5.0

KIMIA
KARBOHIDRAT
Glukosa Darah Sewaktu
FUNGSI HATI

FUNGSI GINJAL

ELEKTROLIT

Chloride (Cl)

96

mEq/L

96 - 105

Hasil laboratorium tanggal 23 November 2016, Jam: 07.11 WIB


Test

Laboratorium
Satuan
Hasil

Nilai Normal

HEMATOLOGI

X.

Hemoglobin

*10,4

g/dl

13.2 - 17.3

Lekosit

*21,80

10/L

3.80 - 10.60

Hematocrit

*30

40 - 52

Trombosit

204

10/L

140 - 440

PEMERIKSAAN FISIK
a. Kepala
: Tidak ada kelainan, bentuk simetris, distribusi rambut merata dan
warna hitam
b. Mata
: Pupil miosis konjungtiva anemis
c. Hidung
: Tidak ada secret, hidung simetris.
d. Mulut
: Mukosa bibir kering, tidak ada stomatitis
e. Tengkuk
: Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, trakea kanan dan kiri
simetris
f. Dada
: Tidak ada pembesaran, dada simetris, tidak terdapat bunyi nafas
tambahan.
g. Jantung
: Bunyi jantung normal S1,S2 tidak ada pembesaran,
N=75 x/m, crt < 3dtk
h. Paru
: RR=21x/m, suara nafas normal.
i. Perut
: Tidak ada pembesaran, tidak ada nyeri tekan, bising usus 5 x/mnt.
j. Ekstermitas : Ekstermitas atas tangan kanan terpasang infus vena, tidak ada
kelainan, tidak ada edem, bentuk simetris, terdapat luka lecet di
tangan kanan bagian sik, dagu, dan kaki kanan sedikit luka di bagian
patella serta luka di kaki kiri terutama pada jari-jari kaki kiri terlihat
biru (terputusnya kontinuitas jaringan). Musculoskeletal: imobilisasi
k. Kulit

kaki kiri.
: Tampak pucat, tidak ada petechi, tidak ada lesi, kulit tampak
bersih, turgor kulit tidak elastis, kulit teraba kering, pada bagian yang
luka, tampak terpasang kassa dan bidai.

l. TTV
: N= 75x/m, S= 37,3 oC, RR= 21x/mnt
m. BB & TB/PB: BB= 20 kg, PB= 135 cm, Status gizi: baik.
XI.

PEMERIKSAAN TINGKAT PERKEMBANGAN


1. Riwayat Pertumbuhan Dan Perkembangan
a. Personal sosial/ kemandirian bergaul
Ibu mengatakan bahwa anaknya sudah mampu mengambil dan biasanya makan
sendiri di rumah.

b. Motorik Halus
Ibu mengatakan bahwa anaknya sudah mampu menulis, membaca dan mewarnai
serta mampu mengulang apa yang dicontohkan oleh gurunya.
c. Bahasa
Ibu mengatakan bahwa anaknya sudah mampu mengartikan 7 kata.
d. Motorik kasar
Ibu mengatakan bahwa anaknya sudah mampu berdiri 1 kaki selama 6 detik.
SEKTOR
Personal Sosial

Motorik Halus

RESPON ANAK

KESIMPULAN

An. AH sudah mampu

An.

AH

dalam

batas

dan

tidak

mengambil makanan

normal

dan makan sendiri di

mengalami keterlambatan

rumah.

dalam

perkembangan

personal sosial.
An. AH sudah mampu An.AH dalam batas normal
menulis, membaca dan dan tidak mengalami
mewarnai serta mampu keterlambatan dalam
mengulang apa yang perkembangan motorik
dicontohkan

Bahasa

oleh halus.

gurunya.
An. AH sudah mampu An. AH dalam batas
mengartikan 7 kata.

normal dan tidak


mengalami keterlambatan
dalam perkembangan

Motorik Kasar

bahasa
An. AH sudah dapat An.AH dalam batas normal
berdiri dengan 1 kaki dan

tidak

mengalami

dalam 6 detik jika keterlambatan

dalam

perkembangan

motorik

sebelum sakit.

kasar
2. Interpretasi Hasil Test Dari DDST II
An. AH dapat melakukan semua item yang diminta dengan baik sehingga anak
dinyatakan lulus (P). An.AH mendapat skor A pada beberapa item yang ditunjukan
bahwa anak mengalami perkembangan lebih serta hasil tes perilaku anak yang baik.
3. Kesimpulan Dari Keempat Sektor

An. AH dapat melakukan semua item yang ditunjukan. Jadi, dapat disimpulkan
bahwa An. AU mengalami perkembangan personal sosial, motorik halus, bahasa,
motorik kasar dengan baik dan normal sesuai dengan umur anak.
XII.

INFORMASI LAIN
Ibu An. AH mengatakan, An. AH mengalami kecelakaan setelah pulang dari
sekolah pada jam 17.00 WIB. An. AH ingin menyebrang lalu terserempet oleh mobil
box, kaki kiri An. AH terlindas oleh ban mobil box, lalu An. AH dibawa ke puskesmas
mauk, sebelum dibawa ke RS, kaki kiri An. AH tampak pucat kebiruan, kaki kiri An.
AH di bibidai di ruang IGD RSU Kabupaten Tangerang.

XIII. RINGKASAN RIWAYAT KEPERAWATAN


An. AH dirawat di ruangan kemuning bawah pada tgl 21 November 2016
pukul: 21.30 WIB. An. AH berumur 6 thn dengan diagnosa Crush Injury Pedis
Sinistra. Saat dikaji pada tgl 21/11/2016 An.AH mengalami nyeri pada kaki kiri An.
AH. An. AH terpasang infus RL denagn 20 dpm dengan dosis 500 cc/8 jam, diberikan
terapi obat suntik Ceftriaxone 3 x 500 mg, Ketorolac 3 x 10 mg, Hiponac / gentamicin
2 x1 gr dan Terapi Obat Oral: Kolkamoc 2 x 0,5 mg. Tindakan keperawatan:
Mengobservasi KU (S=37,6oC, N=75x/m, RR=21x/m) dan memonitor infus RL
500cc/8 jam (20 tts/mnt).
XIV. DATA DARI DISIPLIN LAIN. (Mencakup rangkuman kondisi klien dari gizi,
fisioterapi dan medis, dll)
Pemantauan Status Gizi
TB: 135 cm, BB: 20 kg, IMT: normal. An. AH mendapat asupan sebelum masuk ke
RSU 200 Kkal, Protein: 2,2 kg, Lemak: 8,4 g. rencana penatalaksanaan gizi:
kebutuhan energy 400 Kkal, protein 8 gr, dan lemak 6 gr.
XV.

ANALISA DATA
1. PRE OPERASI
NO
DX

DATA KLIEN

ETIOLOGI

MASALAH
KEPERAWATAN

1.

Cedera
DS:

Trauma/fraktur

An.H mengeluh nyeri di kaki


sebelah kirinya, nyeri menjalar

hingga pangkal paha


An. H mengatakan skala nyeri 8
An.H
mengatakan
nyeri
bertambah

Nyeri akut

saat

kakinya

digerakan
An.H mengatakan nyeri terus

menerus
Ibu pasien mengatakan An. AH
mengalami kecelakaan, kaki kiri
terlindas mobil box 1 hari yang

lalu
Ibu pasien mengatakan anaknya

tidak bisa tidur karena nyeri


Ibu pasien mengatakan anaknya

Mempengaruhi jaringan
sekitarnya
Kerusakan periosteum,
pembuluh darah,
rupture tendon,
dislokasi sendi
Perdarahan & spasme
otot
Merangsang
hipotalamus
Persepsi nyeri

tidak nafsu makan


DO :

An.AH tampak meringis


An.AH tampak menjerit jerit

saat di ganti balutan di kakinya


An.AH tampak melindungi

daerah yang nyeri (kaki kirinya)


Suhu : 37,3oC
N=75x/m
RR=21x/m
An.AH
sering
menangis
kesakitan

2.

DS :

Rencana pembedahan

An.AH mengatakan takut di

Kurang pengetahuan

operasi
An.AH mengatakan tidak mau

tentang tindakan

dilakukan operasi

pembedahan

Ansietas

Ibu klien mengatakan sangat


takut jika anaknya dioperasi

DO :

An.AH tampak gelisah


An.AH tampak ketakutan

Stressor psikologis
Cemas

DIAGNOSA PRE OPERASI


1. Nyeri Akut
2. Ansietas
NO
1.

DIAGNOSA

NOC

KEPERAWATAN
Nyeri Akut

Setelah

Definisi :

keperawatan

Pengalaman sensori dan

diharapkan

emosional tidak

kriteria hasil:

dilakukan
selama
nyeri

tindakan
1x8

akut

jam

dengan

Outcome

actual atau potensial atau

Psikologis Tambahan

1. Adanya

Nyeri:

Respon

gangguan

konsentrasi

Association for the study of

cukup berat (2) menjadi

pain), awitan yang tiba-tiba

ringan (4).
2. Distress nyeri dari deviasi

akhir yang dapat di antisipasi


atau di prediksi.

dari

pada

kerusakan (international

ringan hingga berat dengan

1. Melakukan

mel

onset/durasi

akibat kerusakan jaringan

atau lambat dari intensitas

MANAJEMEN NY
yang

menyenangkan yang muncul

yang digambarkan sebagai

NIC :

deviasi

cukup berat (2) menjadi


ringan (4).
3. Kekhawatiran

terkait

toleransi terhadap nyeri dari


deviasi

cukup

berat

(2)

menjadi ringan (4).


4. Ansietas dari deviasi sedang
(3) menjadi tidak ada (5)
5. Ketakutan pada nyeri yang
tidak

bisa

ditahan

atau beratny
2. Gali penget

mengenai ny
3. Tentukan a

terhadap ku

tidur, nafsu
hubungan,

jawab peran
4. Gunakan m
dengan

ta

memungkin

perubahan n

mengidentif
dan

pote

perkembang
5. Tentukan

dari

melakukan

deviasi sedang (3) menjadi

pasien dan

deviasi ringan (4)


6. Rasa
marah

terhadap

monitor
6. Pilih dan im

dampak dari nyeri yang

beragam

menyebabkan

nonfarmako

ketidakmampuan

dari

memfasilita

deviasi sedang (3) menjadi


deviasi ringan (4).

dengan kebu
7. Ajarkan

nonfarmako

relaksasi, t

terapi aktivi

yang menim

terjadi, atau

dengan tind
lainnya)
8. Mulai

pengontrola

pasien.
9. Dukung isti

membantu m
10. Informasika
keluarga

nonfarmako

untuk men

terkait deng
11. Berikan in

meningkatk

keluarga ter
12. Libatkan

penurunan n
13. Monitor k
manajemen

spesifik.
14. Periksa ting

pasien, cat
medis

pas

kesehatan la
15. Ajarkan prin
16. Kolaborasi

dan tim kes

tindakan pen

NO
2.

DIAGNOSA

NOC

KEPERAWATAN
Ansietas
Definisi

perasaan

Setelah

dilakukan

tidak keperawatan

nyaman atau kekhawatiran diharapkan

tindakan

Pengurangan Kece

jam

Kaji skala kece


Kaji tanda verb
Gunakan pen

selama
tingkat

kecemasan

yang samar disertai respon berkurang dengan kriteria hasil:


otonom (sumber sering kali
tidak

spesifik

diketahui

atau

oleh

perasaan

takut

disebabkan

oleh

terhadap

bahaya.

tidak Outcome :

iindividu)

Tidak dapat beristirahat dari

yang

3 ke 5(tidak ada)
Wajah tenang dari 2 ke

antisipasi
Hal

merupakan

isyarat

kewaspadaan

yang

memeperingatkan
akan

ini

adanya

individu

bahaya

dan

untuk mengura
Jelaskan prose
akan

dirasak

(tindakan)

4(ringan)
Perasaan gelisah dari 2 ke 4
(ringan
Peningkatan nadi 3 ke 5
(tidak ada)
Gangguan tidur dari 2 ke 4
(ringan)

memapukan individu untuk


bertindak

menyakinkan
Berikan aktivi

menghadapi

ancaman.

CATATAN KEPERAWATAN/IMPLEMENTASI& EVALUASI


Nama Klien : An.AH
Ruangan

: Kemuning Bawah RSU Kabupaten Tangerang

PRE OPERASI
TGL / HARI

NO. DIAGNOSA

Selasa,

22 11 16

(NYERI AKUT)

(16.00 wib)

IMPLEMENTASI DAN RESPON HASIL


-

Melakukan

pengkajian

nyeri

S:

komprehensif yang meliputi lokasi,


karakteristik, onset/durasi, frekuensi,

An.AH

kualitas, intensitas atau beratnya nyeri

dan faktor pencetus.


Menggali
pengetahuan

kepercayaan pasien mengenai nyeri


Menentukan akibat dari pengalaman

dan

nyeri terhadap kualitas hidup pasien

(misalnya.,

tidur,

pngertian,

perasaan,

O:

makan,
hubungan,

nafsu

performa kerja dan tanggung jawab

peran)
Menggunakan metode penilaian yang

sesuai dengan tahapan perkembangan


yang

memungkinkan

balutan
TD : 10
RR : 25
N : 102
S : 37,3

memonitor perubahan nyeri dan akan

A : masala

dapat

P:

membantu

mengidentifikasi

catatan harian.
Menentukan kebutuhan
untuk

melakukan

ketidaknyamanan

Monito
Kaji ke

frekuensi
pengkajian

pasien

mengimplementasikan
-

Klien m
Klien

untuk

faktor pencetus actual dan potensial


(misalnya., catatan perkembangan,
-

menjala
Klien m

dan
rencana

monitor
Menganjurkan ibu untuk memberikan
minyak angina pada perut An. N dan
untuk memfasilitasi penurunan nyeri,

Selasa,

2.

22 11 16

(Ansietas)

sesuai dengan kebutuhan.


Mengkaji
skala
kecemasan S :

pasien/anak
Mengkaji tanda verbal dan nonverbal
kecemasan
Menggunakan

pendekatan

yang

An.AH
sedikit

O:

tenang dan menyakinkan

Memberikan aktivitas pengganti yang


bertujuan
untuk
mengurangai

kecemasan
Menjelaskan prosedur tindakan dan

Klien ta
TD : 10
RR : 25
N : 102

sensasi yang akan dirasakan anak S : 37,3


Klien ta
selama prosedur (tindakan)
Mempersiapkan anak dan keluarga
A : masala
untuk berdoa`a dan mengantarkan
P:
anak ke ruang operasi.
Damp

operasi

2. ANALISA DATA POST OPERASI


NO
DX
1

DATA KLIEN

ETIOLOGI

DS:

Klien mengatakan nyeri pada

kaki kiri jika digerakkan


Klien
mengatakan
nyeri

seperti ditusuk tusuk


Klien
mengatakan
menyebar

hingga

nyeri
pangkal

MASALAH
KEPERAW2ATAN
Nyeri Akut

Adanya tindakan
rekontruksi pada tulang
(pembedahan)
Rangsangan mediator
kimia (protaglandin)
Afferent

paha, skala nyeri 8


Klien
mengatakan

nyeri

Cortex cerebri

mendadak saat digerakan


Persepsi nyeri
DO:

Klien

tampak

menjerit-jerit

dan menangis saat kaki kiri

digerakkan
Klien tampak berkeringat
Klien tampak melindungi
daerah yang sakit

DS :

Ibu

mengatakan

anaknya

operasi di kaki hari kedua


DO :

3.

Terjadi kemerahan pada daerah

post operasi
Tampak pembengkakan pada

kulit sekitar luka


Tampak jaringan nekrotik pada

DS:

luka post operasi


S: 37,6 C

Kerusakan jaringan di

Kerusakan integritas

ujung tulang

jaringan

Hematoma
Peradangan
(kalor,dubor,tumor)
Perubahan perfusi
jaringan
Kerusakan integritas
kulit
Tindakan pembedahan

Ibu klien mengatakan ini luka Terputusnya kontinuitas


operasi hari kedua
jarinngan

Resiko infeksi

Port dentry
mikroorganisme

DO:

Tampak luka terbuka post


amputasi pada pedis sinistra

+/- 9cm
leukosit: 21,80
hematocrit 30%
hemoglobin 10,4
Suhu : 37,6 C

PRIORITAS MASALAH
PREOPERASI

POSTOPERASI

Risiko infeksi

INTERVENSI KEPERAWATAN
XII.
XIII.

XIV. DIAGNOSA

NO
KEPERAWATAN
XVII. XVIII. Nyeri Akut
1.

XV.

NOC

XVI. NIC

XXI. Setelah

dilakukan

XIX. Definisi :

tindakan

XX.

Pengalaman sensori

selama 1x8 jam diharapkan

dan emosional tidak

nyeri akut dengan kriteria

yang

menyenangkan yang

hasil:

onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas

muncul akibat

XXII.

kerusakan jaringan

XXIII. Outcome : Nyeri:

atau beratnya nyeri dan faktor pencetus.


2. Gali pengetahuan dan kepercayaan pasien

actual atau potensial

Respon

atau yang digambarkan

Tambahan

sebagai kerusakan

1. Adanya

keperawatan

XXIV. NIC :

Psikologis
gangguan

Association for the

cukup berat (2) menjadi

lambat dari intensitas


ringan hingga berat
dengan akhir yang

dari

pada

konsentrasi

yang tiba-tiba atau

deviasi

ringan (4).
2. Distress nyeri dari deviasi
cukup berat (2) menjadi
ringan (4).
3. Kekhawatiran

1. Melakukan pengkajian nyeri komprehensif


meliputi

lokasi,

karakteristik,

mengenai nyeri
3. Tentukan akibat dari pengalaman nyeri
terhadap kualitas hidup pasien (misalnya.,

(international
study of pain), awitan

XXV. MANAJEMEN NYERI

terkait

toleransi terhadap nyeri dari

tidur, nafsu makan, pngertian, perasaan,


hubungan, performa kerja dan tanggung
jawab peran)
4. Gunakan metode penilaian yang sesuai
dengan

tahapan

perkembangan

yang

memungkinkan untuk memonitor perubahan


nyeri

dan

akan

dapat

membantu

mengidentifikasi faktor pencetus actual dan

dapat di antisipasi atau


di prediksi.

deviasi

cukup

berat

(2)

menjadi ringan (4).


4. Ansietas dari deviasi sedang
(3) menjadi tidak ada (5)
5. Ketakutan pada nyeri yang
tidak

bisa

ditahan

dari

deviasi sedang (3) menjadi


deviasi ringan (4)
6. Rasa
marah

potensial (misalnya., catatan perkembangan,


catatan harian.
5. Tentukan kebutuhan
melakukan

dampak dari nyeri yang


menyebabkan

pengkajian

untuk

ketidaknyamanan

pasien dan mengimplementasikan rencana


monitor
6. Pilih dan implementasikan tindakan yang
beragam

terhadap

frekuensi

(misalnya,

nonfarmakologi,
memfasilitasi

farmakologi,

interpersonal)

penurunan

nyeri,

untuk
sesuai

dari

dengan kebutuhan.
7. Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologi

deviasi sedang (3) menjadi

(seperti hypnosis, relaksasi, terapi music,

deviasi ringan (4).

terapi bermain, terapi aktivitas, ketika

ketidakmampuan

melakukan aktivitas yang menimbulkan


nyeri, sebelum nyeri terjadi, atau meningkat,
dan bersamaan dengan tindakan penurunan
rasa nyeri lainnya)
8. Mulai dan modifikasi tindakan pengontrolan
nyeri berdasarkan respon pasien.
9. Dukung istirahat/tidur yang adekuat untuk
membantu menurunkan nyeri.
10. Informasikan tim kesehatan lain /anggota
keluarga mengenai strategi nonfarmakologi

yang sedang digunakan untuk mendorong


pendekatan

preventif

manajemen nyeri
11. Berikan informasi

yang

terkait
akurat

dengan
untuk

meningkatkan pengetaahuan dan respon


keluarga terhadap pengalaman nyeri.
12. Libatkan
keluarga
dalam
modalitas
penurunan nyeri, jika memungkinkan.
13. Monitor
kepuasan
pasien
terhadap
manajemen nyeri dalam interval yang
spesifik.
14. Periksa tingkat ketidaknyamanan bersama
pasien, catat perubahan dalam catatan medis
pasien, informasikan petugas kesehatan lain
yang merawat pasien.
15. Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri.
16. Kolaborasi dengan pasien, orang terdekat
dan tim kesehatan lainnya untuk memilih
tindakan penurunan nyeri.
XXVI.

XXVII. DIAGNOSA

XXVIII.NOC

NO
KEPERAWATAN
XXX. XXXI. Kerusakan Integritas

XXXIII.

2.

dilakukan

Jaringan
XXXII.

XXIX. NIC

Setelah
tindakan

keperawatan selama

jam

1. Perawatan amputasi
Monitor keutuhan kulit dan jaringan
(infeksi,) setiap ganti balutan.
Monitor penyembuhan luka disekitar insisi

diharapkan

penyembuhan

letakkan bagian yang teramputasi dibawah

dengan

lutut dengan posisi ekstensi


kolaborasi pemberian therapy medikasi

luka adekuat
XXXIV.
kriteria hasil:
Drainase purulen dari 4 ke 5
(tidak ada)
Bau luka busuk dari 4 ke 5
(tidak ada)
Pembentukan bekas luka dari 3
ke 4 (besar)
Lebam disekitar kulit sekitar

(analgesic)
ganti balutan dengan sesuai dengan jumlah
eksudat.
Monitor

karakteristik

luka

termasuk

darinase,warna, ukuran dan bau.


Gunakan teknik steril saat penggantian
balutan
Kolaborasikan pemberian antibiotik .

dari 1 ke 4(terbatas)
Ukuran luka berkurang dari 2
ke 4 (besar)

XXXV.
XXXVI.
XXXVII.
XXXVIII.
NO
XLI.
3.

DIAGNOSA

KEPERAWATAN

XXXIX.NOC

XL.

XLII.

XLV. Outcome : status

Resiko tinggi infeksi


XLIII.

imunitas

Definisi:

1. Fungsi

XLVI. NIC :
XLVII.

respirasi

deviasi

cukup terganggu (3) menjadi

NIC

PERAWATAN LUKA

1. Angkat balutan dan plester perekat


2. Monitor karakteristik luka, termasuk drainase,

XLIV. Mmengalami
peningkatan resiko
terserang organisme
patogenik

tidak terganggu (5).


2. Suhu tubuh deviasi cukup
terganggu (3) menjadi tidak
terganggu (5).
3. Skrining untuk infeksi saat
ini deviasi cukup terganggu
(3)

menjadi

sedikit

terganggu (4).
4. Jumlah sel darah
absolut

deviasi

terganggu

(3)

putih
cukup

menjadi

sedikit terganggu (4).


5. Infeksi berulang deviasi
cukup terganggu (3) menjadi
tidak terganggu (5).
6. Kehilangan berat

badan

deviasi cukup terganggu (3)


menjadi sedikit terganggu
(4).

XLVIII.
XLIX.
L.

warna, ukuran, bau.


3. Ukur luas luka yang sesuai.
4. Bersihkan dengan normal salin atau pembersih
yang tidak beracun dengan tepat.
5. Berikan rawatan insisi pada luka yang di
perlukan.
6. Berikan perawatan ulkus pada kulit yang
diperlukan
7. Berikan balutan yang sesuai dengan jenis luka
8. Pertahankan teknik balutan steril ketika
melakukan perawatan luka dengan tepat.
9. Periksa luka setiap kali perubahan balutan
10. Posisikan untuk menghindari, menempatkan
ketegangan pada luka dengan tepat.
11. Reposisi pasien setidaknya setiap 2 jam dengan
tepat.
12. Dorong cairan yang sesuai.
13. Dokumentasikan lokasi luka, ukuran dan
tampilan.

LI.

LII.
LIII.
LIV.
LV.
LVI.
LVII.
LVIII.
LIX. CATATAN KEPERAWATAN/IMPLEMENTASI& EVALUASI
LX. Nama Klien : An.AH
LXI. Ruangan
: Kemuning Bawah RSU Kabupaten Tangerang
LXII.
LXIII.
LXIV. POST OPERASI

LXV.

TGL /

HARI
LXIX. Rabu,
LXX. 23 11
16

LXVI. NO.
DIAGNOSA
LXXI. 1

LXVII. IMPLEMENTASI DAN RESPON


-

LXXII. (NYERI
AKUT)

HASIL
pengkajian

Melakukan

nyeri LXXIII.

S:

komprehensif yang meliputi lokasi,

An.AH

karakteristik, onset/durasi, frekuensi,


kualitas, intensitas atau beratnya nyeri

menjalar
klien mengatakan nyeri saat kaki

dan faktor pencetus.


Menggali
pengetahuan

digerakan
Klien mengatakan skala nyeri 7

dan

kepercayaan pasien mengenai nyeri


Menentukan akibat dari pengalaman LXXIV.
nyeri terhadap kualitas hidup pasien LXXV.
(misalnya.,

tidur,

pngertian,

perasaan,

makan,

hubungan,

nafsu

performa kerja dan tanggung jawab


-

LXVIII.EVALUASI

peran)

Menggunakan metode penilaian yang


sesuai dengan tahapan perkembangan
yang
memungkinkan
untuk

mengatakan

nyeri

O:

Klien masih meringis


Klien menangis kesakitan saat ganti
balutan
TD : 108/61 mmhg
Nadi : 112 x/menit
RR : 27 x/ menit
Klien melindungi daerah yang sakit
Klien tampak tidur di damping ibunya

memonitor perubahan nyeri dan akan LXXVI.


A
dapat membantu mengidentifikasi
Masalah nyeri belum teratasi
faktor pencetus actual dan potensial LXXVII.
(misalnya., catatan perkembangan, LXXVIII.
catatan harian.

tidak

P:
Monitor

Menentukan
untuk

kebutuhan

melakukan

frekuensi

pengkajian LXXIX.

ketidaknyamanan

pasien

mengimplementasikan
-

monitor
Memilih

ttv

dan

Dorong

intake nutrisi

rencana LXXX.

Monitor

perdarahan
dan

implementasikan

tindakan yang beragam (misalnya,


farmakologi,
dengan

dan

nonfarmakologi

menganjurkan

ibu

untuk

memberikan minyak angina pada


perut An. N dan untuk memfasilitasi
penurunan
LXXXI.
LXXXII.

LXXXIV.
R LXXXV.

abu,
LXXXIII.

(ker
usakan

itegritas

0 11 16

jaringan)

kebutuhan.
Memonitor

nyeri,

sesuai

keutuhan

dengan

kulit

dan LXXXVII.

jaringan (infeksi,) setiap ganti balutan. LXXXVIII.


S:
Memonitor
penyembuhan
luka
- An.AH mengatakan nyeri di luka
disekitar insisi
post operasi
Meletakkan bagian yang teramputasi

dibawah lutut dengan posisi ekstensi


Melakukan kolaborasi pemberian

therapy medikasi (analgesic)


Mengganti balutan dengan sesuai

dengan jumlah eksudat.


Memonitor
karakteristik

luka

LXXXIX.
-

O:

Luka anak cukup bau


luka tampak kebiruan
klien tampak meringis kesakitan
suhu : 37,5 C
TD : 108/61 mmhg

termasuk darinase,warna, ukuran dan


bau.
Menggunakan

teknik

steril

saat

penggantian balutan
LXXXVI.

Nadi : 112 x/menit


RR : 27 x/ menit

XC.
XCI.

A : Masalah kerusakan jaringan


belum teratasi

XCII. P :
XCIII. Monitor warna kulit
XCIV. Monitor kebersihan luka
XCV.
XCVI.
XCVII.
XCVIII.
XCIX.
C.
CI.
CII.

Rabu,

CIII. 23 11
16

CXII. 3

Memonitor karakteristik luka, termasukCXV. S :


drainase, warna, ukuran, bau.
Mengukur luas luka yang sesuai.
Membersihkan dengan normal salin

atau pembersih yang tidak beracun

CXVI.

CXIII. (risiko
infeksi)

CIV.
CV.
CVI.

dengan tepat.
Memberikan balutan yang sesuai

An.AH mengatakan nyeri di luka


post operasi

O:
suhu : 37,5 C

CVII.
CVIII.

ketika melakukan perawatan luka

CIX.
CX.

dengan jenis luka


Mempertahankan teknik balutan steril

CXI.
-

- TD : 108/61 mmhg
- Nadi : 112 x/menit
- RR : 27 x/ menit
CXVII.

dengan tepat.
Memeriksa luka setiap kali perubahan CXVIII.
balutan
CXIX. A : Masalah risiko infeksi belum
Memposisikan untuk menghindari,
teratasi
menempatkan ketegangan pada luka
CXX. P :
dengan tepat.
CXXI. Monitor lingkungan pasien
CXIV.
CXXII.
Monitor
kebersihan luka
CXXIII.
CXXIV.
CXXV.

CXXVI. JURNAL TERKAIT DENGAN KASUS.


CXXVII.
JUDUL

HUBUNGAN

STATUS

GIZI

DENGAN

KEJADIAN

PNEUMONIA PADA BALITA USIA 1-5 TAHUN DI PUSKESMAS CANDI LAMA


KECAMATAN CANDISARI KOTA SEMARANG 2013
CXXVIII.
PEMBAHASAN :
CXXIX.
CXXX.

Status gizi kurang dengan keadaan imunitas rendah akan mudah

terserang penyakit infeksi tetapi apabila status gizinya semakin memburuk, penyakit
yang dianggap biasa dapat menjadi berat dan menyebabkan kematian. Sedangkan balita
dengan status gizi baik akan meningkatkan daya tahan tubuh cukup kuat, sehingga tubuh
tidak akan mudah terserang berbagai jenis penyakit terutama penyakit pneumonia. Anak
yang berstatus gizi baik akan baik pula dalam melawan bahaya infeksi (Sediaoetama,
2008). Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa balita dengan status gizi kurang
tentunya akan lebih rentan terkena pneumonia dibandingkan dengan balita dengan status
gizi baik dan lebih.
CXXXI.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan terhadap

180 sampel yang merupakan pasien yang berkunjung ke Klinik Masjid Agung Jawa
Tengah dari bulan April 2008 sampai bulan April 2009. Setelah dilakukan analisis
terhadap 180 sampel, disimpulkan bahwa status gizi mempunyai pengaruh yang sangat
kuat terhadap kejadian ISPA pada balita. Hal ini terbukti dengan nilai p < 0,0001 jauh
lebih kecil dari derajat kemaknaan yang ditetapkan peneliti yaitu 0,05. Dengan demikian
perbaikan status gizi dapat mencegah anak terserang pneumonia (Elyana, 2009).
CXXXII.
KESIMPULAN
CXXXIII. Status gizi balita sebagian besar baik yaitu sebanyak 17 responden (65,4%).
Kejadian Pneumonia sebanyak 13 responden (4,3%) dari 300 balita yang diperiksa di
Puskesmas. Ada hubungan antara status gizi dengan kejadian pneumonia pada balita usia
1 5 tahun di Puskesmas Candi Lama Kecamatan Candisari Kota Semarang. Hal ini
dibuktikan dengan hasil Fishers Exact Test dan didapat nilai p value sebesar 0,005 (p <
0,05).
CXXXIV.
CXXXV.

CXXXVI.
PERBANDINGAN :
CXXXVII. Faktor penyebab pada jurnal yaitu Menurut Maryunani (2010), status
gizi adalah keadaan yang ditunjukkan sebagai konsekuensi dari keseimbangan antara zat
gizi yang masuk ke tubuh dan yang diperlukan. Teori Sediaoetama (2008) menyatakan,
bahwa status gizi baik akan meningkatkan daya tahan tubuh cukup kuat, sehingga tubuh
tidak akan mudah terserang berbagai jenis penyakit terutama penyakit infeksi. Anak yang
berstatus gizi baik akan baik pula dalam melawan bahaya infeksi.
CXXXVIII.Pada kasus An. AU, anak AU memiliki status gizi yang kurang hal ini
dibuktikan dengan BB= 6,7 kg, PB= 73 cm, , LLA : 10 cm dan lingkar kepala 40 cm,
Kulit: Tampak pucat (anemis), turgor kulit tidak elastis, kulit teraba kering, status gizi:
kurang (< 18,5). Ibu nya juga mengatakan bahwa An. AU sudah 4 hari tidak mau
menyusu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa gizi yang kurang akan membuat anak
mudah terserang berbagai jenis penyakit terutama infeksi. Pada hasil pemeriksaan darah
terakhir tanggal 14/11/2016, jam: 15.58 WIB menyatakan bahwa hasil hemoglobin : 8,8
g/dl (menurun). Hasil leukosit : 15,70 10/uL (meningkat). Hasil hematocrit : 27 %
(menurun). Hasil trombosit : 663 10/uL (meningkat). Hasil MCV : 57 m (menurun)
dan hasil MCH : 19 pg (menurun). Sehingga dapat disimpulkan bahwa pertahanan tubuh
pada anak AU sangat rendah dan mudah terkena infeksi atau penyakit bronkopneumonia.
CXXXIX.
CXL. JURNAL TERKAIT TINDAKAN PADA KASUS
CXLI.
JUDUL : PENGARUH CHEST THERAPY TERHADAP PENURUNAN SESAK
NAFAS

DENGAN

PARAMETER

RESPIRATORY

RATE

PADA

ANAK

BRONCHITIS.
CXLII.
PEMBAHASAN:
CXLIII.

Anak dengan diagnose bronchitis mempunyai keluhan batuk berdahak

dan sesak yang menyebabkan gangguan pernapasan sehingga mempengaruhi respiratory


rate. Chest therapy di harapkan dapat mengatasi permasalahan yang timbul pada anak
dikarenakan belum bisa mengeluarkan sputum sendiri. Chest therapy bertujuan
mengeluarkan sputum dari dalam saluran respiratori, mencegah obstruksi, mencegah
rusaknya saluran respirasi dan dapat membantu memperbaiki ventilasi dan perfusi paru.

CXLIV.

Chest therapy adalah sekumpulan tehnik fisioterapi sebagai usaha

untuk membersihkan jalan nafas akibat menurunnya fungsi mucocilliary clearance atau
batuk yang terdiri dari postural drainage, perkusi, fibrasi, breathing, coughing, suction
dan mobilisasi thorak. Chest therapy adalah istilah fisioterapi yang digunakan untuk
intervensi dalam penatalaksanaan gangguan pernapasan seperti batuk kronik berulang,
penyakit paru yang menghasilkan banyak lendir kental atau cair dan penyakit
penyempitan saluran pernapasan (Rahajoe, 2008).
CXLV.

Chest therapy bermanfaat dan diindikasikan pada semua penyakit paru

dengan secret yang berlebih, kegagalan fungsi mukosiliar saluran pernapasan dan reflex
batuk sehingga timbul komplikasi akibat akumulasi secret intrabronchial dan materi yang
teraspirasi. Kontra indikasi chest therapy apabila terdapat kelainan dinding dada seperti
fraktur iga, neoplasma, riketsia, tension pneumothorax, kelainan pembekuan,
haemoptisis, perdarahan intrabronchial yang massif dan aritmia jantung.
CXLVI.

Chest therapy merupakan teknik untuk mengeluarkan secret yang

berlebihan atau material yang teraspirasi dari dalam saluran pernapasan. Material atau
benda-benda yang masuk ke saluran pernapasan menyebabkan kerusakan pada saluran
pernapasan akibat meningkatnya resistensi saluran pernapasan dan usaha bernapas
sehingga hiperinflasi. Mikroorganisme dan respon inflamasi yang terjadi akan
merangsang pengeluaran proteolitik sehingga dapat menghancurkan dinding saluran
pernapasan, chest therapy selain mencegah obstruksi juga mencegah rusaknya saluran
pernapasan (Rahajoe, 2008).
KESIMPULANNYA:
CXLVII. Ada pengaruh chest therapy terhadap penurunan sesak nafas dengan
menggunakan parameter respiratory rate pada anak bronchitis. Ada beda pengaruh
antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol chest therapy terhadap penurunan
sesak nafas dengan menggunakan parameter respiratory rate pada anak bronchitis.
Berdasarkan analisa hasil statistik dan pembahasan penelitian, maka hasil penelitian ini
dapat diterapkan menjadi khasanah kepustakaan dan referensi untuk institusi kesehatan
dan lebih mensosialisasikan fisioterapi tentang perlakuan chest therapy terhadap
penurunan sesak nafas dengan menggunakan parameter respiratory rate pada anak
bronchitis karena lebih efektif dan efisien.
CXLVIII.
PEMBAHASAN KASUS:

CXLIX.

Seharusnya

bisa

dilakukan

pada

An.

AU

yang

mengalami

bronkopneumonia yang memiliki banyak secret namun sulit untuk dikeluarkan dan hal
ini bisa diberikan atau mengajarkan ibu terkait teknik chest therapy ini.

Anda mungkin juga menyukai