UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK GEOLOGI
TUGAS
GEOLOGI BATUBARA
OLEH :
D 611 06 018
MAKASSAR
2008
1.
PENDAHULUAN
Dua tahap penting yang dapat dibedakan untuk mempelajari genesa batubara
adalah gambut dan batubara. Dua tahap ini merupakan hasil dari suatu proses yang
berurutan terhadap bahan dasar yang sama (tumbuhan). Secara definisi dapat
diterangkan sebagai berikut (Wolf, 1984) :
Gambut adalah batuan sedimen organik yang dapat terbakar, berasal dari
tumpukan hancuran atau bagian dari tumbuhan yang terhumifikasi dan dalam kondisi
tertutup udara (di bawah air), tidak padat, kandungan air lebih dari 75% (berat) dan
kandungan mineral lebih kecil dari 50% dalam kondisi kering.
Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, berasal dari
tumbuhan, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya terkena proses
fisika dan kimia, yang mana mengakibatkan pengkayaan kandungan karbonnya.
Untuk menjadi batubara, ada beberapa tahapan yang harus dilewati oleh bahan
dasar pembentuknya. Pada tiap tahapan ada proses yang terjadi
dan proses-proses
tersebut unik untuk tiap tahapan. Proses-proses ini tergantung pada banyak faktor.
Mempelajari genesa batubara secara lengkap memerlukan banyak disiplin ilmu
yang saling mendukung (Botani, Kimia, Geologi, Fisika, dsb). Pada bahan kuliah ini
akan diuraikan secara umum mulai dari perkembangan tumbuh-tumbuhan (evolusi
tumbuh-tumbuhan dalam kaitannya dengan evolusi bumi) sebagai bahan dasar
pembentuk batubara, faktor yang mempengaruhi terjadinya gambut sebagai tahap
awal terjadinya batubara dengan tipenya masing-masing, proses-proses yang terjadi
dan faktor penyebabnya selama perkembangan dari gambut menjadi batubara, serta
manfaat pengetahuan genesa untuk eksplorasi penambangan, pengolahan dan
pemanfaatan.
Sebelum mulai dengan genesa maka akan diperkenalkan klasifikasi dan istilah
rank pada batubara, sehingga tidak menjadikan penghalang untuk mengenal tahaptahap yang dicapai, yang akan selalu disebut dengan rank / peringkat,
karena
batubara merupakan suatu nama yang mencakup semua tahap yang dicapai dalam
prosesnya setelah stadium gambut terlewati (Tabel 1).
Istilah rank / peringkat dipakai untuk menyatakan tahap yang telah dicapai oleh
batubara dalam urutan proses pembatubaraan. Rank bukanlah suatu besaran yang
dapat diukur tetapi ditentukan berdasarkan beberapa faktor. Ada beberapa parameter
yang dipakai untuk menentukan rank batubara (Tabel 1) dan setiap parameter
mempunyai ruang pakai tersendiri dalam kaitannya dengan rank yang dicapai. Hampir
setiap negara penghasil batubara dengan jumlah yang besar memiliki istilah tersendiri
untuk menyatakan rank-nya. Sebagai contoh diberikan rank batubara untuk ASTM
(Amerika) dan DIN (Jerman). Berdasarkan rank yang dicapai maka batubara dapat
diklasifikasikan. Ada banyak sekali klasifikasi batubara. Beberapa klasifikasi dibuat
hanya untuk keperluan pemanfaatan dan perdagangan batubara (berkaitan dengan
kualitas) dan ini kebanyakan tidak berkaitan dengan genesanya, atau mencerminkan
genesanya.
Sebagai pengetahuan umum tentang batubara sebelum mempelajari genesa
maka pada bagian awal sekali disinggung sedikit tentang pengenalan orang terhadap
batubara.
Pengetahuan tentang genesa batubara tidak terlepas dari kejadian bumi
itu sendiri, karena perkembangan bumi disertai dengan perkembangan iklim yang
berikutnya dikaitkan dengan perkembangan makhluk hidup (terutama dalam hal ini
tumbuhan). Sejarah geologi perkembangan bumi membawa akibat distribusi
endapan batubara secara geografis dan secara waktu geologi seperti yang dijumpai
keberadaannya saat ini. Tidak setiap tempat di bumi ini mempunyai endapan batubara
dan tidak setiap waktu geologi menghasilkan endapan batubara yang ekonomis.
Di dalam pegangan kuliah ini juga akan diterangkan komposisi batubara secara
makroskopis maupun mikroskopis. Pengamatan batubara secara makroskopis bisa
memberikan informasi tentang cara terjadinya endapan batubara yang bersangkutan.
Lebih lagi pengamatan secara mikroskopis akan sangat membantu penafsiran genesa
suatu endapan batubara, karena setiap komponen mikroskopis batubara (maseral)
mempunyai genesa masing-masing.
Pengetahuan kimia organik batubara sangat berperan dalam mempelajari
genesa batubara. Hampir seluruh studi tentang endapan batubara saat ini disertai
dengan hasil analysa geokimia organiknya, disamping secara mikroskopis.
Kelengkapan dengan hasil analisis
paleobotanik
interpretasi yang lebih baik lagi. Dari gabungan metode ini bisa diketahui bukan saja
lingkungan pengendapannya tetapi juga sampai pada jenis tumbuhan pembentuknya
dan juga proses yang terjadi dan dominan dari sekian banyak proses yang tercakup
dalam proses pembatubaraan.
perubahan iklim, distribusi tumbuhan dan binatang di bumi serta perpindahan kutub
dan sebagainya. Menurut Wegener bahwa dulu benua itu menjadi satu yang disebut
Pangaea dan satu lautan Panthalassa. Pangaea pecah menjadi dua benua besar yaitu
Laurasia dan Gondwana (dinamai oleh Alex Du Toit / ahli geologi Afrika Selatan).
Berdasarkan rekonstruksi continental drift yang dibuat oleh Bambach, Scotese dan
Ziegler (1980) dari data paleomagnetik hasil penyelidikan di Greenland maka sebelum
menjadi Pangaea, benua-benua itu asalnya terpisah satu sama lain (paleogeografi mulai
540 juta tahun yang lalu.
Sesudah Wegener maka ada lagi Holmes (sekitar tahun 1935) dengan arus konveksi
pada mantel bumi dan Vening Meinesz (hasil penelitian dasar laut dengan Kapal
Belanda dari tahun 1923 sampai dengan 1938) menemukan variasi gaya berat dasar
laut dalam. Kedua hasil ini dikombinasikan oleh Hess dan Dietz (1960) dan
menghasilkan konsep ocean floor spreading. Sebagai bagian akhir dari pemikiran
bahwa bumi itu dinamis maka muncul teori plate tectonics (tektonik lempeng)
Iklim merupakan faktor tunggal terpenting yang menentukan, kapan dan dimana
batubara terbentuk. Iklim daerah tertentu ditentukan oleh iklim global yang bervariasi
terhadap waktu geologi (Gambar 16). Posisi kontinen terhadap waktu geologi juga
menghasilkan iklim yang berbeda (akibat kontinental drift). Evolusi spesies tumbuhan
menghasilkan perubahan sangat besar dari material pembentuk batubara (dari
Cryptogam, Conifern sampai Angiosperm).
Kebanyakan tumbuhan Jaman Karbon adalah cryptogam yang terendapkan pada iklim
(sub) tropis di lagun atau rawa delta. Batubara perm termuda terendapkan pada iklim
yang dingin pada cekungan kontinental yang mengandung Glossopteris (Ziegler et al.,
1977). Pada jaman Kretasius dan Tersier, Konifern dan tumbuhan berbunga sangat
banyak. Flora Gondwana yang uniform adalah akibat tidak adanya pegunungan atau
rintangan yang lain seperti yang terjadi di Cina dan Siberia yang merupakan akibat
pengangkatan pegunungan (akibat tumbukan kontinental).
Gambut merupakan tahap paling awal dari proses pembentukan batubara. Untuk bisa
terbentuknya gambut maka ada beberapa faktor yang menentukan. Disamping itu
dengan adanya berbagai faktor tersebut maka bisa terjadi gambut dengan bermacam
tipe. Faktor-faktor yang penting dari pengendapan gambut pada rawa-rawa :
- Evolusi tumbuhan
- Iklim
- Geografi dan posisi serta struktur daerah
1.1.1. Evolusi Tumbuhan
Ragam tumbuh-tumbuhan seperti yang dikenal pada saat ini telah mengalami proses
evolusi yang sangat panjang mulai dari Jaman Devon. Perkembangan jenis tumbuhan
untuk setiap waktu geologi terlihat pada Gambar 1. Mulai dari satu jenis
tumbuhan (Algae/ganggang) pada jaman sebelum Devon menjadi sekian banyak pada
waktu-waktu berikutnya. Perkembangan ini perlu diketahui karena ada beberapa
tumbuhan yang hanya tumbuh pada jaman tertentu saja sehingga dengan mengenal
perkembangan ini akan memudahkan untuk menginterpretasikan genesanya. Sisa
tumbuhan pembentuk batubara kadang-kadang mudah dikenal di bawah mikroskop.
Sisa tumbuhan seperti spora, tepung sari, serat, sel, dsb sering dipakai untuk mengenal
jenis tumbuhan pembentuk batubara (paleobotani atau maseral). Disamping itu ada
beberapa metoda yang lain (seperti geokimia organik) yang sering dipakai untuk
mengenal jenis tumbuhan pembentuk batubara.
Antrasit sudah dikenal dari Algoncium pada Middle Huronian of Michigan.
Batubara ini tidak berulang dan kotor, tetapi di bawah mikroskop dengan pembesaran
yang tinggi, strukturnya terlihat berasal dari tumbuhan Algae (Ganggang) dan Fungal
(Jamur) yang diisolasi oleh rijang dengan umur yang sama.
Pada Jaman Devon Bawah tumbuhan bawah air tumbuh pada lagun yang dangkal
(terendam). Dari sini terjadi lapisan batubara yang tipis, yang
diketemukan di
banyak
dan
terspesialisasi, sehingga banyak type fasies ditemukan pada lapisan gambut yang tebal.
1.1.2. Iklim
Iklim suatu daerah secara tidak langsung bisa mengendalikan faktor yang lain. Iklim
tropis menawarkan terbentuknya gambut yang lebih cepat karena kecepatan tumbuh
dari tumbuh-tumbuhan lebih besar dengan ragam yang sangat bervariasi. Temperatur
yang tinggi dengan kelembaban yang tinggi juga berpengaruh pada proses
pembentukan gambut.
Rawa di daerah tropis bisa menghasilkan kayu yang mencapai ketinggian 30 meter
dalam waktu 7 - 9 tahun sementara tumbuhan di daerah rawa dengan iklim sedang
hanya mencapai ketinggian 5 - 6 meter dalam jangka waktu yang sama. Daerah
dengan iklim sedang miskin akan bahan makanan sehingga hanya didominasi oleh
lumut, sedangkan daerah tropis didominasi oleh pohon.
Pembentukan gambut terjadi kebanyakan di daerah yang beriklim panas, banyak air
(khususnya Karbon Atas). Formasi yang terkaya akan lapisan batubara terendapkan
pada daerah beriklim panas (termasuk juga untuk batubara yang penting pada Jaman
Upper Cretaceous dan Tersier Bawah di Amerika Utara dan di belahan bumi bagian
Selatan yang beriklim kadang dingin dan basah), contohnya : Siberia, Inter dan Post
Glacial Permo Karbon, Gondwana Coal dengan Gangamopteris Glossopteris dan
Perm dan Jura-Cretasius Bawah dari Angara Continent (Tunguska dan Lena Regions).
Lapisan batubara yang terendapkan di daerah yang banyak air dan hangat akan
menghasilkan banyak lapisan dan tebal yang terjadi dari batang kayu yang besar/tebal
(bright coal), dan sebaliknya untuk iklim dingin. Contohnya Post Glacial Gondwana
Coal yang terbentuk dari tumbuhan yang relatif tahan pelapukan, biasanya merupakan
hasil rombakan halus, tetapi bercampur dengan mineral lempung yang terhembuskan
dari gunung sekitarnya ke rawa (Plumstead, 1962, dikutip dari Teichmueller 1989).
Dengan naiknya suhu tidak hanya pertumbuhan pohon menjadi lebih cepat tetapi juga
proses dekomposisi juga menjadi lebih cepat. Sebagai konsekuensinya (sampai
beberapa dekade berlalu) dianggap bahwa gambut dengan ketebalan yang tinggi hanya
akan terjadi pada daerah dengan iklim sedang. Tetapi belakangan diketemukan gambut
dengan ketebalan lebih dari 30 m di daerah tropis.
Raised bog hanya akan muncul pada iklim yang basah dimana hujan lebih besar dari
pada penguapan (suhu 8 - 90 C dengan curah hujan 700 mm cukup untuk
menghasilkan gambut). Pada daerah iklim sedang umumnya akan didominasi oleh
lumut dan spagnum (ciri khasnya). Tetapi raised bog untuk daerah tropis seperti
Sumatra dan Kalimantan (dengan curah hujan 3000-4000 mm/tahun, merata
sepanjang tahun) dicirikan oleh tumbuhan besar/kayu tetapi tidak banyak spesiesnya
(di Kalimantan hanya didominasi oleh Dipterocarp, Shorea Albida). Di Kalimantan
tinggi muka gambut mencapai 15 m dengan kemiringan pada pinggir 4 - 5 m/km.
1.1.3. Paleogeografi Dan Tektonik
Syarat untuk terbentuknya formasi batubara :
- Kenaikan secara lambat muka air tanah
- Perlindungan rawa (sand bar dsb) terhadap pantai atau sungai
- Energi relief rendah
Kalau muka air tanah cepat naik (atau penurunan dasar rawa cepat) maka kondisi
akan menjadi limnic atau bahkan akan terjadi endapan marine (lempung, napal atau
gamping). Kalau terlalu lambat maka tumpukan sisa tumbuhan akan menjadi merah
(teroksidasi) dan tererosi. Oleh karena itu pembentukan lapisan batubara berhubungan
dengan Paleogeografi dan struktur daerah. (Gambar 2)
1.1.3.1. Paleogeografi
Jika air tanah cukup tingginya dan berlangsung lama maka kadang-kadang di iklim
steppe (padang rumput tanpa adanya pohon) pun bisa terjadi gambut. Ini hanya
tergantung
pada
hochmoor / raised bog (climatically conditioned) atau topogenic low moors (akibat
erosi oleh air atau es atau dapat juga terjadi karena collapse dimana penurunan
terjadi karena pelarutan batuan karbonat di bawahnya pada daerah karst). Rawa bisa
juga terjadi pada bekas kawah gunung api.
Rawa bisa tawar atau sudah tercampur dengan air asin di tepi pantai atau di tepi danau
besar. Berdasarkan posisinya (geografi) maka endapan batubara dapat dibedakan
menjadi : paralis (sea coast/tepi pantai, contohnya batubara miosen di Jerman Tengah
yang terendapkan pada tepi delta, external distal margins of delta dan limnis (inland /
tepi danau).
Rawa di daerah delta ditumbuhi oleh banyak pepohonan sedangkan di daerah lagun
kadang sampai tidak ada pohon. Sedangkan Mangrove forest (hutan bakau) hanya
bisa terjadi di daerah pantai tropis.
Pada daerah rawa bisa terjadi regresi atau transgresi. Pada transgresi dimana air
laut
1.2. MOOR
Pengertian moor untuk ilmu geologi (pengertian endapan dalam Ilmu Tambang)
berlaku untuk suatu lapisan gambut dengan ketebalan minimum 30 cm (dalam hal
tertentu lumpur juga termasuk di dalamnya).
Gambut terjadi akibat tumpukan sisa tumbuhan (proses sedenter) yang tidak secara
keseluruhan (memerah/teroksidasi) karena terjadi di bawah kondisi basah (di bawah
air) sehingga tidak seluruhnya berhubungan dengan udara. Untuk highmoor/hochmoor
dimana C/N-Ratio > 50 dan pH kecil menghambat proses oksidasi. Sementara lumpur
yang ada pada gambut terendapkan secara sedimentasi.
Menurut Ilmu Tanah : Gambut adalah sedimen yang mengandung > 30% substansi
Organik (kondisi kering). Menurut pengertian yang lebih baru lagi, maka ada tiga
katagori berdasarkan pada pemanasan 5500 C. Disebut Moor kalau pada temperatur
tersebut kehilangan berat 75-100%. Kalau kehilangan berat 15-75% maka disebut
Anmoor dan kalau kehilangan berat 0-15% maka disebut mineral atau tanah.
Beberapa kemungkinan bentuk morfologi moor dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.
Dilihat dari bentuk permukaannya maka moor dapat dibagi menjadi dua, Hochmoor
(highmoor) dan Niedemoor (lowmoor). Jenis tumbuhan yang hidup pada masingmasing tipe moor itu berbeda. Pada Niedemoor biasanya tumbuh rumput-rumputan
dengan daun yang lebar dan tumbuhan perdu (sehingga pada musim semi dan musim
panas kelihatan sangat hijau). Sementara hochmoor ditumbuhi oleh jenis tumbuhan
yang sangat terbatas (lumut, rumput dengan daun yang kecil). Untuk daerah yang
beriklim sedang maka hochmoor ditumbuhi oleh Sphagnum dan untuk daerah tropis
ditumbuhi oleh hutan lebat dengan bermacam tumbuhan.
1.2.1. Niedermoor / Lowmoor
Niedermoor terbentuk pada lingkungan yang kaya akan bahan makanan (eutroph)
atau pada suatu bagian perairan (danau) yang menjadi darat (Verlandung
nahrstoffreicher Gewasser), dimana kekayaan makanan untuk tumbuhan sebagai
penyebab berlimpahnya/tumbuh suburnya vegetasi.
Air tanah atau air laut yang bergerak bisa mengakibatkan suatu penghancuran yang
cepat dari tumbuhan yang telah mati, sehingga penumpukan gambut menjadi lambat.
Dalam hal ini gambut sangat basah (banyak air). Permukaan moor dalam jangka
waktu yang panjang tertutup air (periode dalam setahun) sehingga jenis tumbuhan
yang hidup disini menyesuaikan diri. Sering permukaan moor datar atau cekung.
Hanya moor di lereng gunung bisa miring permukaannya. Moor ini tidak secara
langsung tergantung pada air hujan, karena supply airnya bisa dari sekitarnya (sungai
atau air tanah).
1.2.2. Hochmoor / Highmoor
Hochmoor bisa mencapai beberapa meter dari permukaan tanah dengan bentuk yang
cembung. Moor ini tidak tergantung pada air tanah atau air kolam karena moor ini
mempunyai system air tersendiri yang tergantung hanya pada air hujan. Moor ini
terjadi akibat neraca air yang positif (penguapan lebih kecil dari curah hujan) sehingga
air hujan tersimpan dalam gambut. Akibatnya pH menjadi kecil dan miskin akan
oksigen. Aktifitas mikroorganisme pada moor ini juga kecil karena terbatasnya
oksigen. Dengan demikian penghancuran sisa tumbuhan menjadi terhambat
(penumpukan gambut menjadi cepat). Karena miskin akan bahan makanan maka
disebut Ombrotroph. Beberapa realitas penting yang berkaitan dengan moor dapat
dilihat pada Gambar 5.
kolk
stadium
genesa
troph
typ
terestris
ombrogen
oligotroph
high moor
semi terestris
akibat
muka air
positif
mesotroph
moor antara
topogen
eutroph
lowmoor
lagg
gambut
sedenter
gambut + mineral
karbonat, lempung
pasir
telmatis
limnis
sedimenter
(permeabel). Pada kondisi lain hochmoor bisa berasal dari suatu Niedemoor
yang tumbuh (Verlandeten Moor). Untuk topografi yang datar biasanya bentuk moor
symetris dan pada bagian pinggir timbul mata air, pada bagian tengah ada kolamkolam kecil (Kolk atau Blindsee)
Pada daerah ini sebagian tumbuhan terendam air dan jenis tumbuhannya bisa
bermacam-macam. Jenis tumbuhan ini juga sangat dipengaruhi oleh pengaruh air
laut atau tidak (tawar, payau dan asin).
- Open reed swamp, sering dengan sedges
Daerah ini hanya ditumbuhi oleh jenis rumput-rumputan yang membutuhkan
banyak air.
- Forest swamps
Rawa dengan tumbuhan kayu.
- Moss swamps
Rawa dengan tumbuhan lumut-lumutan.
Pada daerah yang beriklim sedang dan lembab terjadi perkembangan rumpun
tumbuhan dari dasar ke atas, mulai dari lumpur, detritus gyttjae (lumpur organik),
reed peat, forest peat dan most peat.
Pada jaman Karbon (di Belahan Bumi Bagian Utara) perkembangan gambut biasanya
dimulai dari tumbuhan hutan rawa (Sigillaria dan Lepidodendron) dan berakhir dengan
ditutup
lumpur.
Sehingga
bagian
bawah
lapisan
batubara
bright
coal
(Vitrain/mengkilap), banyak mengandung Vitrinit dan Clarit yang miskin akan Liptinit.
Bagian atas lapisan biasanya dull coal (Durain/batubara kusam) seperti : Duroclarit,
Clarodurit dan Durit. Durit yang berada pada bagian paling atas sering berubah
menjadi carbonaceous shale (carbargillites) dan kadang-kadang menjadi cannels dan
cannel ironstones.
Pada batubara berlapis lemah (light layer) yang terendapkan di Reed moor biasanya
mengandung >90% Humodetrinit dan Sporinit 10% (lebih banyak dari di
kebanyakan dark strata yang terendapkan pada forest swamp). Coniferous Forest
Coal menghasilkan pengawetan yang lebih baik sehingga partikelnya lebih besar
(Cellular tissue/Humotelinit) dari pada yang berasal dari Angiosperm forest coal.
Reed coal type dibedakan dari kandungan hydrogen, selulose dan tar temperatur
rendahnya yang tinggi. Reed coal dan Angiosperm forest coal briquetting
propertiesnya (kedapatan untuk dijadikan briket) lebih baik dari coniferous coals.
Hampir sebagian bituminous coal dan brown coal berasal dari forest swamp
(contohnya Pantai Timur dan Selatan USA). Di daerah yang beriklim hangat dan
basah proporsi pepohonan kayu bertambah, tidak lagi reed plant, tetapi tumbuhan
khusus yang penyebarannya luas, flat root system, khususnya aereal roots dan
broadened stem basis. Contoh yang modern/resen adalah Cypress swamp (Taxodium
distichum) di daerah Subtropis Amerika Utara. Forest swamp fasies (berhubungan
dengan element bawah air), sebagai contohnya adalah Taxodiaceae-Nyssaceae forest
coals dari lower Rhein brown coal.
Pada Carboniferous, pohon Sigilarian berkembang ke arah air dalam. Kulitnya
dijumpai sebagai Vitrit layer.
Pantai daerah tropis (saat ini) dihuni oleh hutan bakau (Mangrove) mengganti rumput
laut. Kalau tak terjadi gangguan laut maka gambut akan terakumulasi. Kalau
gangguan laut kuat dengan oxigen segar dalam air mengakibatkan batang mati yang
berada di atas air menjadi rusak sehingga yang terawetkan hanyalah akarnya saja. Di
daerah marine/payau maka rhizophora mangle tidak hanya berkembang ke arah laut
tetapi juga berkembang ke arah darat. Di daerah tropis bisa terjadi tumbuhan kayu
yang membentuk raised bog.
Secara umum material hasil tumbuhan (terbesar dari forest swamp) di daerah tropis,
sebagai contohnya : biji Erythrina dalam satu tahun untuk satu pohon bisa
menghasilkan 3,0 - 4,5 m tingginya dan 2,5 - 3,75 kg kering. Sehingga pembentukan
gambut relatif cepat pada forest swamp kalau muka air tanah bertahan cukup tinggi.
Biasanya wood rich peat (gambut yang kaya akan bahan kayu) dengan kandungan
lignin yang tinggi, terendapkan dan selama pembatubaraan akan ditransformasikan
menjadi Xylite rich soft brown coal dan Vitrain rich bituminous coal dengan
(biasanya) Telinit dan Tellocolinit.
Reed swamp dengan rerumputan, sedge dan paku secara umum membutuhkan muka
air yang lebih tinggi dari forest swamp, miskin akan lignin, strukturnya terdekomposisi
dengan kuat. Elemen bawah air dan mineral tercuci lebih baik. Contohnya South
Florida (Eleocharis, Mariscus Utricularia). Reed peat menghasilkan Liptinit rich coal
(batubara yang kaya akan liptinit) contohnya : light band of the Cologne Soft Brown
Coal, dull layer with Exinit rich clarites, trimacerit dan durit of bituminous coal.
Vitrinitnya di dominasi oleh Desmocollinit.
Marine swamp dengan rumput Halophyte dijumpai di banyak pantai saat ini
(khususnya pantai Atlantik Amerika Utara).
Sphagnum
adalah
tumbuh-tumbuhan
menghasilkan gambut yang asam (pH 3 - 5) atau raised bog. Raised bog
mempertahankan airnya dengan mengandalkan air hujan, sehingga kadar abunya
sangat rendah (sering < 1%). Dengan pH yang rendah maka aktifitas bakteri
berkurang mengakibatkan pengawetan kayu menjadi lebih baik. Gambut dari Raised
bog banyak mengandung sellulose dan hemisellulose, fat dan lilin yang berlebihan
dan sedikit protein.
Batubara yang berasal dari ombrogenous moos peat di Cologne Brown Coal, berlapis
lemah, dengan detritus masa dasar yang kecil/halus dan kayu Konifern yang
terawetkan dengan baik.
Pada dasar rawa air terbuka, organic mud deposite / Gyttjae terakumulasi dari sisa
tumbuhan terapung (Nymphaeaceae, Utricularia dan tumbuhan bawah air seperti
Alge), binatang air dan bakteri. Materi lainnya seperti lempung halus, tepung sari,
spora dan debu yang berasal dari pembakaran di permukaan gambut (Charcoal flakes),
dsb.
Dull coal dengan banyak liptinit (Liptinit rich Clarit dan Durit) atau sapropilit coal
berasal dari Gyttjae. Vitrinit relatif jarang, Desmocollinit didominasi oleh
Corpocollinit. Subaquatik coal spesies secara alam banyak atau relatif kaya akan
mineral yang tidak hanya klastik tetapi juga anorganik syngenetik yang terendapkan
dari lautan seperti Siderit atau Pyrit.
2.3. LINGKUNGAN PENGENDAPAN
- Telmatis / terrestrial
dengan
yang
pengendapan pada batuan gamping atau campuran air yang kaya akan Ca dari
daerah sekitarnya mengurangi keasaman gambut. Akibatnya aktifitas bakteri naik
sehingga degradasi tumbuhan menjadi makin tinggi. Pada awal Humifikasi dan
gelifikasi biokimia membentuk dopplerit (Calsium Humate). Kalau Kalsium dan
Oxigen bereaksi bersama (lingkungan aerobsi) maka sporopollenin yang tahan juga
akan terhancurkan sehingga tak akan terbentuk gambut.
Oleh karena itu maka Ca-rich coal selalu terjadi pada lingkungan bawah air dengan
kondisi oksigen terbatas. Sisa binatang (tulang yang kaya Ca) yang seharusnya
terlarutkan oleh asam humin, maka pada Ca-rich akan terawetkan dengan baik.
Sehingga pada batubara yang terendapkan pada lingkungan ini akan banyak fosilnya.
Sebagian besar batubara yang kaya Ca akan kaya dengan S dan syngenetic pyrit.
Mungkin ini akibat aktifitas bakteri yang tinggi dengan supply protein dari binatang
atau akibat adanya S yang banyak. Keberadaan unsur N pada batubara yang
terendapkan pada lingkungan ini juga naik. Disamping itu Ca-rich coal juga akan
menghasilkan banyak bitumen.
2.4. PERSEDIAAN BAHAN MAKANAN
Rawa Eutrophic, Mesotrophic dan Oligotrophic dibedakan tergantung dari banyak
sedikitnya bahan makanan yang bisa digunakan. Topogenic low moor biasanya
eutrophic (kaya bahan makanan) karena menerima air dari air tanah yang banyak
mengandung bahan makanan terlarut. Sementara Raised bog / Hoch moor adalah
oligotropic karena hanya mengandalkan air hujan. Transisi antara topogenic low moor
dan raised bog disebut mesotrophic.
Di bawah kondisi hidrologi yang seragam maka tumbuh-tumbuhan rawa eutrophic
banyak spesiesnya. Oligotrophic di daerah beriklim sedang pada umumnya merupakan
Sphagnum bog, sedang untuk daerah tropis bisa ditumbuhi oleh hutan kayu tetapi
tidak banyak spesiesnya, karena rawa jenis ini akan asam (pH 3,5 - 4,0) dan
kandungan mineralnya sangat rendah. Gambut dari oligotrophic banyak menyisakan
kayu yang tidak terdekomposisi karena C/N ratio dan asam Humin tinggi akibat
aktifitas bakteri rendah. Kandungan nutrisi (Ca, Phosphoric acid, K dan N) pada high
moor adalah 1/5 dari low moor. Kandungan S rendah (0,06 - 0,15%) dan biasanya
bitumen yang terekstraksi akan tinggi. Disamping itu batubara yang berasal dari
oligotrophic moor akan mempunyai kandungan abu yang rendah. Pengawetan sisa
tumbuhan yang baik terlihat sebagai Textinit/ Telinit. Hasil abu atau sisipan-sisipan
tipis lapisan lempung atau napal pada batubara bisa diinterpretasikan sebagai akibat
banjir.
2.5. pH, AKTIFITAS BAKTERI DAN SULFUR
Keasaman gambut sangat mempengaruhi keberadaan bakteri sehingga dengan
demikian akan sangat mempengaruhi pengawetan sisa tumbuhan. Contohnya : Akibat
pengaruh laut / Ca-rich, lingkungan pengendapan yang Alkalin mengakibatkan
dekomposisi struktur yang kuat, dengan pembentukan Humin gel dan produk
penggambutan yang kaya akan N dan H.
- Low moor peat biasanya mempunyai pH 4,8 - 6,5
- High moor peat mempunyai pH 3,3 - 4,6
Disamping type batuan dasar dan air yang mengalir masuk ke rawa maka keasaman
rawa tergantung pada rumpun tumbuhan yang ada, supply O 2, konsentrasi asam
Humin yang sudah terbentuk.
Sphagnum peat mempunyai pH yang sangat rendah (3,3-4,6) yang diakibatkan oleh
supply O2 yang tinggi karena kondisi raised bog yang kering dan asam humin yang
terbentuk tidak terlarutkan oleh air sehingga menjadi banyak. Begitu juga dengan
raised bog di Indonesia, gambut yang dihasilkan juga sangat asam (pH = 3,5 - 4,5).
PH gambut akan naik dengan naiknya kedalaman.
Bakteri hidup dengan baik pada kondisi netral (pH 7,0 - 7,5), kondisi makin asam
maka bakteri makin sedikit dan struktur kayu terawetkan dengan lebih baik.
Pada bagian paling atas dari gambut hanya jamur yang bisa hidup (pH = 4,0).
Kandungan N dan persediaan garam sangat penting untuk aktifitas bakteri. C/N kecil
(banyak N) atau kondisi eutrophic maka aktifitas bakteri banyak. Protein
terkonsentrasi pada low moor peat akibat aktifitas bakteri. Jumlah bakteri berkurang
dengan naiknya kedalaman dan jenisnya ditentukan oleh potensial redox. Pada bagian
paling atas dari gambut (disamping Actinomyces dan jamur) maka aerobic bakteri
mengambil O2 dari udara, membentuk Carbohidrat yang mudah larut (seperti : gula
dan kanji/starch, juga sellulose dan hemisellulose). Pada bagian bawah anaerobic
bakteri menggunakan O2 dari substansi organik yang hidup dibalik produk sisa yang
kaya H (diperkirakan bakteri ini masih hidup sampai kedalaman 10 meter).
Bakteri sulfur mempunyai peran khusus pada gambut (lumpur organik). Bakteri ini
mengambil S dari Sulphates untuk membentuk syngenetic Pyrit/Markasit.
2.6. TEMPERATUR
Temperatur permukaan gambut memegang peran yang sangat penting untuk proses
dekomposisi primer. Pada iklim yang hangat dan basah membuat bakteri hidup dengan
lebih baik sehingga proses-proses kimia akibat bakteri bisa berjalan dengan lebih baik.
Process
Product
disintegration
mouldering
mould
peatification
peat
putrefaction
sapropel
anaerobic
decrease of O-supply
humic coals
aerobic
sapropelic coals
sapropelites
petroleum
Secara umum urutan di tabel ini dicirikan oleh kenaikan air tanah. Air mengalir
membawa Oksigen terlarut. Makin banyak produksi organik matter maka makin cepat
pemisahan Oksigen dari air tergenang yang dikonsumsi untuk akhirnya membentuk
kondisi reduksi. Dengan tak terbatasnya persediaan Oksigen di udara dan air maka
muncul desintegrasi yang menghasilkan pembentukan gas dan produk dekomposisi
cairan. Sering sisa padatan (Resin, atau Liptinit yang resisten dan Inertinit) tersisa
terus. Selama mouldering, aerobic bakteri dan jamur ambil bagian untuk membentuk
humic substan yang miskin Oksigen yang akhirnya menjadi Oxyfusinit dan Macrinit.
Proses penggambutan terjadi di permukaan kalau oksigen terbatas. Humic acid ciri
produknya membentuk Lignin hanya lewat oksidasi.
Putrefication (permentasi) bisa terjadi pada kondisi reduksi kalau bakteri anaerobis
mengkonsumsi Oksigen dari organik substan dan mentransformasikannya menjadi
Bituminous yang kaya Hydrogen. Selama permentasi dari Sellulose, H, Methan,
Acetic Acid, Butyric Acid akan terbentuk carbon dioksida.
Selama bituminisasi dan pembatubaraan, maka bituminit dan Vitrinit dengan Reflektan
(R) rendah akan menghasilkan banyak bitumen yang bisa diekstraksi. Ini merupakan
produk bakteri anaerobis, karena material awal yang kaya protein (alge, plankton,
sisa bakteri) dan karena penghancuran anaerobis maka batubara berkembang menjadi
sapropel coal yang relatif kaya akan Nitrogen.
Umumnya R Vitrinit dari lapisan yang sama akan turun dengan berkurangnya potensial
redox dari gambut asalnya, namun H/O ratio dan VM naik. Perubahan ini adalah
akibat naiknya komponen lilin-getah (wax-resin component) pada Vitrinit.
Kandungan air
Kandungan karbon
Gambut
Brown Coal
>75%
<75%
% Carbon (daf)
< 60%
> 60%
Sellulose bebas
ya
tidak
Dapat dipotong
ya
tidak
Karena batas antara gambut dan brown coal bertahap maka sulit ditentukan secara
pasti, tetapi kira-kira untuk kondisi normal pada kedalaman mencapai 200-400 m.
2. COALIFICATION (PEMBATUBARAAN)
Dull brown coal stage (lignit - sub. bit. C) 1% moisture / 100 m kenaikan
kedalaman
Bright brown coal (sub. bit. B-A) 1% moisture / 100 m kenaikan kedalaman
Dengan turunnya kandungan air maka nilai kalori naik. Penurunan moisture content
akibat berkurangnya porositas dan juga pada dekomposisi dari hydrophylic funktional
groups, khususnya OH - group (khususnya pada tahap awal brown coal). Disamping
hydroxyl (-OH) group, carboxyl (-COOH) group, methoxyl (-OCH3) group, carbonyl
(>C=O) group, maka ring oksigen juga temperatur sehingga mengakibatkan kenaikan
kandungan karbon.
Selama tahap hard brown coal (lignit - sub bituminous) maka sisa terakhir dari
sellulose dan lignin ditransformasikan menjadi material humic dan asam himic,
terkondensasi menjadi molekul yang besar dengan melepaskan sifat asamnya dan
membentuk humin yang tak terlarutkan oleh alkali. Rusia dan Jerman memakai
metoda KOH untuk membedakan brown coal dengan bituminous coal. Asam humic
bereaksi dengan KOH sedangkan humic tidak (Tabel 2).
Vollatile matter berubah sedikit selama tahap brown coal dan hasil reaksinya terdiri
dari (paling banyak dari) : CO2, air, methan (Gambar 2).
Pada batas antara dull dan bright brown coal yang paling menonjol terjadi adalah
perubahan petrografis yang diakibatkan oleh gelifikasi geokimia (vitrinitisasi) dari
substan humin batubara yang berubah menjadi hitam dan mengkilap sebagai bright
brown coal (sub bituminous C/B coal). Proses ini unik untuk tahap ini.
Kandungan karbon kurang baik untuk menentukan rang pada bituminous
< 30%
dan pada daerah dingin (4o C/100 m) mencapai rang tersebut pada kedalaman 2.600
m. Biasanya temperatur yang dibutuhkan untuk proses pembatubaraan di alam jauh
lebih rendah dari yang dibutuhkan untuk percobaan di laboratorium. Di alam dengan
temperatur 100 - 150o C cukup untuk pembentukan bituminous coal (berdasarkan
penyelidikan geologi, max. depth of subsidence dan gradien geothermal).
Moskow Basin yang berumur karbon bawah, tetapi tidak pernah mengalami
penurunan (untuk mencapai T > 20 - 25o C).
Tekanan makin tinggi maka proses pembatubaraan makin cepat, terutama di daerah
patahan, terlipat, dan sebagainya.
Proses pembatubaraan yang diakibatkan oleh radioaktif masih jarang diamati, tetapi
sampai saat ini dilaporkan hanya menyebabkan kenaikan reflektan di sekitar inklusi
mineral redioaktif saja.
4.
proses bituminisasi lipid menjadi bersatu dengan kerogen pada batuan induk.
(Menurut Welte, 1972 : Kerogen adalah padatan organik yang kaya H dan tak larut
pada pelarut organik).
Dengan naiknya temperatur kerak bumi (subsidence) minyak bumi dan gas alam yang
terlepaskan dari kerogen mulai bermigrasi untuk selanjutnya berkumpul pada suatu
tempat (endapan minyak pada batuan). Pembentukan minyak dan gas dari kerogen
mulai pada temperatur, tekanan dan waktu yang sama untuk batubara tahap sub
bituminous A dan berakhir kalau sudah mencapai rang medium volatile bituminous
coal (26% VM).
Dari Gambar 5 terlihat bahwa kandungan ekstrak mencapai maksimum pada rang
0,9% yang dibarengi oleh kandungan aromatiknya.
Pengamatan petografi batubara mendukung bahwa bituminous (petroleum like
substance/material seperti minyak bumi) terbentuk dari maseral liptinit (dan vitrinit ?).
Bituminisasi pada batubara mulai pada rang sub bituminous (high volatile bituminous
C-B). Disini terjadi loncatan proses pembatubaraan yang pertama (coalification jump)
untuk maseral grup liptinit dan grup vitrinit (hal ini dihubungkan dengan pembentukan
minyak bumi pada batuan induk). Bersamaan dengan itu maka terbentuk maseral
mikrinit yang mempunyai R yang tinggi sebagai produk padatan.
Pada minyak bumi maka bitumen yang terbentuk akan bermigrasi ke batuan sumber
tetapi pada umumnya pada bitumen pada batubara tidak bermigrasi karena sistem pori
yang sangat kecil dari vitrinit sebagai penyaring (diadsorpsi atau berasosiasi secara
kimia).
Proses bituminisasi terjadi pada rang antara vitrinit reflektan / Rr (random reflektan) =
0,5% (sub bituminous coal) sampai Rr vitrinit = 1,3% (medium volatile bituminous
coal). Daerah ini dikenal dengan istilah oil window / oilfenster (Tabel 3). Selanjutnya
bitumen yang baru terbentuk akan pecah / retak untuk membentuk molekul
hidrokarbon dengan ukuran kecil dan produk sisa yang mempunyai R yang tinggi
(polykondensat).
Dekomposisi ini mulai pada rang medium volatile bituminous coal (29 - 28% VM).
Daerah ini merupakan loncatan proses pembatubaraan yang kedua. Sementara
dekomposisi berjalan makan dibarengi dengan naiknya R liptinit dan vitrinit dengan
sangat cepat dan fluorisensinya hilang.
Jumlah bitumen yang terbentuk tergantung dari material induk pembentuk batubara
dan lingkungan pengendapannya. Bitumen rich coal sering diasosiasikan dengan
lingkungan pengendapan yang marin atau dengan batuan gamping yang mana
batubaranya kaya akan mineral pyrit dan organik sulfur (mikrolitotyp bawah air yang
kaya akan liptinit dan desmocollinit). Vitrit dengan kandungan H relatif tinggi dan tar,
H2O dan R rendah tetapi fluoresen kuat.
Maseral pada batubara analog dengan mineral pada batuan atau bagian terkecil dari
batubara yang bisa teramati dengan mikroskop. Dengan mikroskop (sinar pantul)
maseral dapat dibedakan berdasarkan pada reflektifitasnya dan morfologinya. Maseral
dengan sifat optis dan susunan kimia yang sama dimasukkan dalam satu grup maseral
(Stach, 1982). Menurut ICCP (International Committee for Coal Petrology, 1963,
1971 dan 1975), klasifikasi maseral dapat terlihat seperti Tabel 1 dan 2.
Tabel 1. Klasifikasi maseral pada browncoal (ICCP, 1975)
GRUPMASERAL SUBGRUPMASERAL MASERAL
TIPE MASERAL
Textinit
Humotelinit
Ulminit
Texto-Ulminit
Eu-Ulminit
Humodetrinit
Huminit
Attrinit
Densinit
Gelinit
Humocollinit
Porigelinit
Levigelinit
Corpohumini Phlobaphinit
t
Pseudophlobaphini
t
Sporinit
Cutinit
Resinit
Liptinit
Suberinit
Alginit
Liptodetrinit
Chloriphyllin
it
Fusinit
Semifusinit
Inertinit
Macrinit
Sclerotinit
Inertodetrinit
MASERAL
MASERALTYP
Telinit
Vitrinit
Liptinit
Inertinit
Collinit
Vitrodetrinit
Sporinit
Cutinit
Resinit
Alginit
Suberinit
Bituminit
Fluorinit
Exsudatinit
Chlorophyllinit
Liptodetrinit
Fusinit
Semifusinit
Sclerotinit
Macrinit
Inertodetrinit
Micrinit
Telicollinit
Gelocollinit
Desmocollinit
Corpocollinit
Maseral grup Liptinit (Exinit) dan maseral grup Inertinit pada Browncoal dan
Hardcoal mempunyai nama yang sama. Korelasi grup maseral Huminit pada
Browncoal dan Vitrinit pada Hardcoal dapat terlihat pada Tabel 3.
Pada batubara dengan rank rendah (browncoal), maka Liptinit yang relatif kaya akan
Hidrogen, mempunyai reflektifitas yang paling rendah. Sementara Inertinit, yang
relatif kaya akan unsur karbon , mempunyai reflektifitas yang paling tinggi.
Menurut Teichmueller (1987) dan Alpern & Lemos de Sousa (1970) Liptinit pada
batubara mempunyai kandungan zat terbang paling rendah dan bisa mencapai harga
reflektifitas yang sama dengan Vitrinit pada rank batubara dengan R-Vitrinit kira-kira
1,5% (Gambar 2).
Maseral
Maseral
HARDCOAL
Maseraltyp
Maseral Grup
Maseral
Textinit
Humotel Ulminit
Texto-
init
Ulminit
Telinit 1
Eu-Ulminit
Telinit
Telinit 2
Humode Atrinit
Vitrodet
trinit
rinit
Densinit
Desmocolli
nit
Huminit
Detrogeli
nit
Gelinit
Levigelinit
Vitrinit
Humoco
Eugelinit
Gelocollinit
llinit
Porigelinit
Corpo-
Phlobaphinit
huminit
Corpocollin
it
Pesudophlobaphinit
Vitrinit pada dasarnya berasal dari selulosa (C6 H10 O5) dan lignin dinding sel pada
tumbuhan. Beberapa maseral pada grup Vitrinit berasal dari Tanin yang terimpregnasi
pada dinding sel atau sebagai pengisi rongga sel. Protein dan Lipide juga merupakan
material pembentuk dari Vitrinit (seperti Huminit). Maseral ini dapat dikenal dari
fraksi aromatik yang tinggi dan kaya akan Oksigen.
Vitrinit dan Liptinit dibedakan dari material pembentuknya. Liptinit berasal dari sisa
tumbuhan berupa : spora, resin/getah, lilin dan lemak. Maseral ini dicirikan oleh
kandungan fraksi alifatik (parafin) yang tinggi. Inertinit berasal dari material yang
sama dengan material vitrinit dan Liptinit.
1. GRUP VITRINIT
Teichmueller (1989) membagi bagian awal pembentukan maseral ini dalam dua
proses, yaitu Humifikasi dan Gelifikasi Biokimia.
Humifikasi adalah proses utama dalam stadium gambut. Proses ini terjadi paling kuat
pada bagian permukaan gambut akibat oksidasi lemah dan aktifitas mikrobiologi.
Gelifikasi biokimia merupakan proses lanjutan dari material yang sudah terhumifukasi.
Material ini total atau sebagian struktur selnya hilang (peptidisation, softening,
plasticity, compaction dan homogenisation). Proses ini sebagian berlangsung pada
stadium gambut dan total pada stadium Weichbraunkohle.
Proses gelifikasi biokimia berlangsung pada fase gambut dan braunkohle dibawah air
atau subaquatik (Teichmueller, 1950, 1898 ; Chaffe et.al., 1984; Cohen et. al., 1987;
Lamberson et. al., 1991; Calder et. al. 1991).
Reflektifitas maseral Huminit dan Vitrinit naik secara teratur selama proses
pembatubaraan (Teichmueller, 1987, 1989; Stach, 1982; Alpern & Lemos de Sousa,
1970).
Berdasarkan morfologinya maka maseral pada grup Huminit dibagi menjadi :
- Subgrup maseral Humotelinit : berasal dari dinding sel dan terdiri dari Textinit dan
Ulminit.
- Subgrup maseral Humodetrinit : berasal dari detritus dan terdiri dari Attrinit dan
Densinit.
- Subgrup maseral Humocollinit : berasal dari gel dan terdiri dari Gelinit dan
Corpohuminit.
Pembagian Humotelinit (begitu juga Humodetrinit dan Humogelinit) menjadi dua
maseral adalah berdasarkan tingkat gelifikasinya. Seperti contohnya :
Textinit = belum tergelifikasi
Ulminit = tergelifikasi lemah
Textinit A dikenal dari reflektifitasnya yang rendah akibat dari sisa selulosa atau resin
yang terimpregnasi pada dinding sel, walaupun impregnasi resin pada dinding sel ini
terjadi hanya pada tumbuhan Konifera (Jurasky, 1940 ; dikutip dari Teichmueller,
1989). Russel & Barron (1984) menulis bahwa maseral textinit masih mengandung
selulosa. Kebanyakan textinit dan Ulminit pada Browncoal berasal dari tumbuhan
Konifern karena Angiosperm dan serat kulit kayu tumbuhan perdu yang tidak sempat
tergelifikasi akibat strukturnya yang mudah termusnahkan (Teichmueller, 1989).
Schneider (1984) dengan penelitiannya yang sempurna terhadap bermacam-macam
Humotelinit pada browncoal mengklasifikasikan :
- Xylo-textinit berasal dari kayu
- Peridermo-textinit berasal dari kulit kayu
- Phyllo-textinit berasal dari daun
- Rhizo-textinit berasal dari akar.
Pengawetan akar jauh lebih baik karena akar terlindung dari proses oksidasi
dipermukaan gambut (peatigenic layer).
Sesudah gelifikasi geokimia maka Humotelinit pada browncoal akan berubah menjadi
Telinit dan Telocollinit pada hardcoal. Telinit dan Telocollinit dibedakan dari sel
struktur yang tersisa, dimana Telocollinit tidak lagi menunjukkan adanya sisa sel
struktur. Struktur bisa diamati kalau di etching (etsa).
Ruang sel pada telinit sering terisi oleh Collinit, terkadang juga oleh Resinit, Mikrinit
dan mineral. Telocollinit tumbuh dari selserat terhumifikasi dan terawetkan baik.
Material asalnya adalah sisa tumbuhan yang kaya Lignin yang berubah secara pelan
dalam humus. Oleh karena itu maka telocollinit merupakan indikator untuk kumpulan
tumbuhan kayu (tumbuhan besar).
Humodetrinit berasal dari campuran pragmen sel, amorf dan partikel humickoloid,
jumlahnya naik dengan naiknya tingkat gelifikasi. Gelifikasi mulai dari maseral Attrinit
melalui Densinit dan kemudian berakhir pada Detrogelinit yang merupakan maseraltyp
pada grup Humocollinit (Teichmueller, 1989). Biasanya Humodetrinit berasal dari
tumbuhan perdu dan Angiosperm karena mudah terhancurkan. Von der Brelie dan
Wolf (1981a) mengatakan bahwa Humodetrinit bisa dihasilkan dari hutan gambut
yang teroksidasi.
Sesudah gelifikasi geokimia maka Humodetrinit berubah menjadi Desmocollinit pada
hardcoal. Kandungan abu Desmocollinit (inherent ash) relatif tinggi dan komposisinya
heterogen (Alpern & Quesson, 1956; dikutip dari Teichmueller, 1989).
Desmocollinit menggambarkan kumpulan detritus tumbuhan dan humusgel. Ini
terbentuk melalui sisa tumbuhan yang kaya selulosa dan terhumifikasi kuat dan
akhirnya bergelifikasi geokimia, yang mana akhirnya partikel detritus dan humus gel
ini menjadi satu kesatuan massa. (Teichmueller, 1982a). Diessel (1982) mengatakan
bahwa bahan dasar dari Humodetrinit adalah kemungkinan didominasi oleh serat
tumbuhan yang kaya selulosa dan mudah rusak seperti : daun-daunan, rumput dan
tumbuhan perdu.
Alpern (1966) membagi Collinit menjadi dua sub maseral, yakni Humocollinit
(Telocollinit menurut ICCP) dan Heterocollinit (Desmocollinit menurut ICCP) dan
untuk kedua Collinit ini Brown et. al. (1964) menyebut masing-masing dengan Vitrinit
A dan Vitrinit B.
Berlawanan dengan Desmocollinit maka ada Pseudovitrinit (Benedict et. al., 1968).
Desmocollinit kaya akan hidrogen (perhidrous) dan Pseudovitrinit adalah subhidrous
dan dapat dikenali dari reflektifitasnya yang tinggi dan potensial untuk kokas yang
rendah. Material asal dari pseudovitrinit
Pseudovitrinit sering masih menunjukkan sel strukturnya tetapi sering juga teramati
sebagai Vitrinit yang homogen dengan struktur khasnya yaitu : Struktur koma dan
pinggiran butir yang berbentuk tangga (Benedict et. al., 1968; Kaegi, 1985).
Reflektifitas pseudovitrinit berada sedikit lebih tinggi dari Telocollinit. Banyak penulis
mengatakan bahwa Pseudovitrinit merupakan produk awal dari oksidasi, tetapi Kaegi
(1985) dengan percobaan oksidasi temperatur rendah terhadap batubara Medium
Volatile Bituminous Coal tidak bisa sepaham. Teichmueller (1989) mengatakan bahwa
Pseudovitrinit mewakili vitrinit yang kaya akan Asphalten. Maseral ini mencapai
tingkat kematangan yang lebih sehingga sering muncul pada Low Volatile Bituminous
Coal (Fett & Esskohle). Pemunculan Pseudovitrinit merupakan indikator lingkungan
pengendapan terestrial, sewaktu waktu mencapai kondisi eorobik.
Gelinit pada browncoal adalah serat tumbuhan yang secara total tergelifikasi geokimia
(Telogelinit) atau humic detritus yang tergelifikasi (Detrogelinit) atau gel murni yang
berasal dari larutan koloid pengisi ruang sel (Eugelinit).
Gelifikasi Geokimia meningkat dibawah air. Kondisi ini khas untuk type fasies
anaerobik di bawah permukaan air, seperti Humic Gyttjae (Teichmueller, 1950;
Diessel, 1986; Lamberson et.al., 1991). Bagaimanapun juga oksidasi karena air dalam
gambut dan browncoal mengakibatkan oksidasi dini.
Batubara yang kaya akan Kalsium kaya akan Gelinit. Sering terpresipitasi sebagai CaHumat (Dopplerit). Gelinit pada stadium browncoal terkorelasi dengan Collinit pada
Hardcoal.
Corpohuminit adalah pengisi ruang sel dan merupakan produk primer (diperkirakan)
dari tumbuhan hidup atau produk langsung setelah sel tertentu mati (khususnya kulit
kayu). Secara kimia Corpohuminit adalah produk oksidasi atau produk kondensasi
dari Tanin. SOOS (1963, 1966 ; dikutip dari Teichmueller, 1989) meneliti tentang
Corpohuminit
pada
browncoal
dan
menamakannya
dengan
Phlobaphenites
Corpocollinit teramati
sebagai suatu yang homogen, butir Vitrinit bulat sampai oval, sering terisolasi pada
Desmocollinit
dan juga sebagai pengisi sel pada Telinit (insitu). Ini bisa
mencerminkan ketahanan terhadap penghancuran dari produk primer sel hidup atau
terbentuk sekunder akibat pengisian ruang sel oleh humus gel (Teichmueller, 1982a).
Corpohuminit atau Corpocollinit sangat resistan sehingga sering pada Coal Ball
sebagai material batubara yang tidak terbatukan tetapi dinding selnya yang dari
karbonat/silika terbatukan.
Sementara Vitrodetrinit adalah Vitrinit dengan ukuran < 20 mikrometer, bersudut dan
sering terendapkan pada daerah yang kaya mineral lempung. Reflektifitasnya bisa
berada antara Desmocollinit dan Telocollinit.
2. GRUP LIPTINIT
Liptinit berasal dari organ tumbuhan (ganggang, spora, kotak spora, kutikula dan
getah), yang relatif kaya dengan ikatan alifatik sehingga kaya akan hidrogen
(Techmueller, 1982; Wolf, 1988) atau bisa juga sekunder, terjadi selama proses
pembatubaraan dari bitumen.
Sifat optis (Refektivitas rendah dan fluoresense tinggi) dari Liptinit mulai gambut dan
batubara pada rank rendah sampai pada batubara sub-bituminus relatif stabil
(Techmueller, 1989).
Pembatubaraan Pada Grup Liptinit
Naiknya reflektivitas dibarengi sifat fluoresense menurun (Gambar 3). Warna
fluoresense berubah dari panjang gelombang yang pendek (hijau dan kuning) ke
panjang gelombang yang lebih tinggi (merah). Liptinit-liptinit tertentu mempunyai
loncatan proses pembatubaraan masing-masing, seperti: Sporinit mempunyai loncatan
Perubahan mikroskopis disertai dengan perubahan komposisi dan jumlah ekstrak dari
batubara yang kaya akan Liptinit (Radke et. al. 1980).
Sesudah oilgeneration (bituminisasi)
membentuk mikrinit yang berupa sisa padatan (dari Resinit dan Bituminit). Liptinitliptinit yang lain (Sporinit dan Kutinit) berkurang kemudian mencapai reflektivitas
yang lebih tinggi dari reflektivitas vitrinit.
Eksudatinit adalah maseral sekunder pada grup Liptinit dan terbentuk selama proses
pembatubaraan (awal bituminisasi). Eksudatinit mencapai reflektivitas yang lebih
tinggi dari reflektivitas vitrinit pada awal stadium coking coal. Banyak metaeksudatinit dikenal dari anisotropinya yang tinggi. Secara umum R Liptinit dan
fluoresensenya berubah pada stadium oilwindow.
Sporinit terbentuk dari bagian luar dinding sel spora dan kotak spora. Secara kimia
substansi ini mengandung sporopollenin. Pada lingkungan yang kaya akan kalsium dan
relatif kering, spora dan kotak spora akan terhancur dengan kuat oleh bakteri. Tetapi
dalam lingkungan yang basah (di bawah air) spora dan kotak spora terawetkan dengan
baik (Teichmueller, 1989).
Kulit spora sering sama-sama tertindih sehingga ruang dalam spora hanya bisa dikenali
sebagai satu garis hitam di bagian tengah (Gambar 4 dan 5). Bagian luar spora
terpisahkan secara simetris. Berdasarkan besarnya sporinit dibagi menjadi
megasporinit dan mikrosporinit. Mikrosporinit lebih kecil dari 100 mikrometer.
Berdasarkan pada ketebalan dindingnya maka mikrosporinit dibagi menjadi dua, yaitu
Tenuisporinit yang mempunyai dinding yang tipis dan Crassisporinit yang mempunyai
dinding yang tebal (Stach, 1982).
Cutinit berasal dari kutikula dan lapisan kutikula yang biasanya berada pada
permukaan daun, cabang dan bagian lain dari tumbuhan sebagai pelindung dari
kekeringan. Substansi kimianya disebut cutin dan komposisinya adalah asam lemak
dan lilin. Dalam sayatan yang tegak lurus dengan perlapisan, cutinit mempunyai
lapisan berbentuk gigi yang unik dengan berbagai ketebalan. Dalam sayatan yang lain
sering terlihat sebagai struktur jarring.
Suberinit, resinit dan fluorinit berbeda dengan sporinit, alginit dan cutinit. Material
asalnya hanya diketahui secara umum. Suberinit berasal dari lapisan suberin dari
dinding sel yang tergabuskan khususnya kulit kayu.
Suberin adalah polimer yang mengandung asam lemak dan ester gliserin (Treiber,
1957). Suberin tidak hanya terdapat pada kulit kayu tetapi juga pada permukaan akar,
buah dan berfungsi sebagai pelindung dari kekeringan. Pemunculan suberinit sering
pada brown coal tersier dimana dinding sel yang tipis, reflektivitas rendah dan
berfluoresense dari suberinit mengelilingi suatu material dengan reflektivitas tinggi,
biasanya berbentuk tabular, sebagai pengisi ruang sel dan disebut phlobaphinit. Pada
batubara mezosoikum, suberinit sangat jarang dan pada batubara karbon tidak
terdapat suberinit (Teichmueller, 1989).
Resinit berasal dari resin, balsem, lateks, lemak dan lilin. Secara kimia resinit
dibedakan menjadi terpen resin (yang berasal dari resin, balsam, copals, lateks dan
minyak essensial) dan lipid resin (berasal dari lemak dan lilin). Terpin adalah produk
hasil kondensasi yang relatif stabil dari molekul isoprene (C 6H8). Lipid dari lemak dan
lilin merupakan campuran yang dapat diekstak dari asam lemak (dari ester gliserin
atau lemak atau asam lemak dengan alkohol yang tinggi atau lilin). Secara botani resin
merupakan sekresi dari dinding sel pada ruang sel dan kanal. Beberapa konifern
menghasilkan resin (kalau terluka), dan resin ini menghasilkan resinit pada batubara.
Karena perbedaan material asal, maka resinit akan muncul dengan berbagai sifat
mikrokopis, seperti bentuk, warna, reflektan dan fluoresense (Zhao et. al., 1990).
Resin muncul sebagai pengisi sel pada telocollinit atau terisolasi pada massa dasar
vitrinit. Bentuk resinit yang bundar, opal atau juga tidak beraturan menunjukkan
variasi yang besar pada reflektivitas dan fluoresensenya (Gambar 8).
Batubara tersier mengandung banyak resinit karena tumbuh banyak kornifern pada
jaman tersier. Di daerah tropis ada banyak angiosperm yang kaya akan resin, lateks,
minyak dan lemak sebagi sumber dari resinit (Teichmueller, 1989). Resinit mempunyai
kecenderungan untuk membentuk eksudatinit pada awal proses pembatubaraan
(Teichmueller, 1989 ; Zhao et. al., 1990).
Walaupun material asal dari fluorinit adalah minyak essensial tetapi karena sifat
optisnya yang khusus maka fluorinit dipisahkan dari resinit. Fluorinit adalah relatif
baru dan dapat diamati dengan mikroskop fluoresense (Teichmueller, 1974 a, c).
Dengan panjang gelombang yang pendek fluorinit menunjukkan warna fluoresense
yang berwarna kuning terang yang kuat. Sementara dengan sinar putih fluorinit tidak
dapat dibedakan dengan mineral lempung pada batubara. Pemunculan fluorinit adalah
khas pada sel yang kecil dari phyllovitrinit dan dikelilingi oleh cutinit. Beberapa
fluorinit berasal dari sel lipoida pada daun-daun tertentu.
Liptodetrinit adalah campuran fragmen dan sisa-sisa kecil dari produk degradasi atau
dari maseral Liptinit yang lain. Liptodetrinit banyak pada batubara sub-aquatis
(batubara sapropel atau clarit, durit dan trimaserit tertentu), karena Liptinit terbentuk
dari penghancuran mekanis dari Liptinit selama proses transport.
Eksudatinit (seperti bituminit dan fluorinit) dapat diamati dengan sinar fluoresense.
Eksudatinit adalah maseral sekunder dan pembentukannya adalah selama proses
pembatubaraan (awal bituminisasi atau antara sub-bituminous coal sampai high
volatile bitumious coal) dari Liptinit dan perhydrous vitrinit (migrabitumen menurut
Jakob, 1985). Eksudatinit mengisi rekahan, bidang perlapisan, kekar, sel yang kosong
dari fusinit dan sclerotinit (Zhao et. al, 1990). Komposisi kimia dari eksudatinit
diperkirakan asphaltene (Teichmueller, 1989).
3. GRUP INERTINIT
Sifat khas untuk Inertinit adalah reflektivitas tinggi, sedikit atau tanpa fluoresense,
kandungan karbon yang tinggi dan sedikit kandungan hidrogen, aromatis kuat karena
beberapa penyebab, seperti pembakaran (charring), mouldering dan penghancuran
oleh jamur, gelifikasi biokimia dan oksidasi serat tumbuhan. Menurut Teichmueller
(1982 a) inertinit berasal dari melanin (inertinit primer).
Sebagian besar inertinit sudah terbentuk pada bagian awal proses pembatubaraan.
Inertinit tidak menunjukkan perubahan selama proses pembatubaraan. Hanya semiinertinit berubah menjadi inertinit.
Smith dan Cook (1980) mengatakan sebagian besar inertinitisasi (penaikan
reflektivitas) terjadinya tidak lebih awal dari stadium brown coal dan sub-bitumious.
Penyebab proses ini adalah reaksi yang tidak seimbang. Aromatisasi (inertinisasi)
berada disatu pihak dan pembentukan hidrokarbon disisi yang lain (Teichmueller,
1987a). Reaksi ini sama dengan pembentukan mikrinit pada rank bitumious.
Pada meta-antrasit, reflektan vitrinit menjadi lebih tinggi dari reflektan inertinit (Alper
& Lemos de Sousa, 1971). kandungan hidrogen yang tinggi dari vitrinit dan
kecenderungan pembentukan grafit yang lebih awal merupakan penyebab kondisi ini
(Teichmueller, 1987b).
Fusinit dan semi-fusinit terbentuk akibat proses pembatubaraan dari material
tumbuhan atau pembakaran pada gambut. Fusinit dan semi-fusinit akibat pembakaran
disebut pyrofusinit atau pyrosemifusinit dan mewakili tipe utama dari inertinit pada
gambut dan stadium brown coal. Batubara jaman Perm atau Karbon kaya akan
degradofusinit (khususnya degradosemifusinit), dimana pengawetan struktur selnya
dapat dibedakan dari pyrofusinit. Pyro- dan degradofusinit (semifusinit) merupakan
indikasi dari lingkungan pengendapan yang diperkirakan relatif kering.
Ruang sel yang bulat, oval atau memanjang pada semi fusinit dapat diisi oleh mineral
lempung, karbonat, pyrit atau kadang juga oleh eksudatinit dan resinit. Akibat
penghancuran dinding sel muncul potongan-potongan fusinit yang khas yang disebut
Bogenstruktur.
Karena gambut dan brown coal resen mengandung lebih sedikit fusinit dan semifusinit
dibanding pada hard coal maka Teichmeuller (1982 a) mengambil kesimpulan bahwa
fusinit dan begitu juga inertinit yang lain terutama terbentuk pada proses
pembatubaraan (rank fusinit). Dapat dikatakan serat kayu berubah menjadi fusinit
pada proses pembatubaraan. Konsep ini didukung pula oleh penelitian Smith dan
Cook (1980) terhadap batubara dari Australia. Diungkapkan bahwa banyak inertinit
antara gambut dan high volatile bitumious coal (R max = 0,2 - 0,9 %) reflektivitasnya
berubah secara drastis. Fusinit seperti ini dapat juga terjadi dari sifat material
tumbuhan awal.
Semifusinit merupakan maceral antara vitrinit dan fusinit (Stach, 1982). Reflektivitas
semifusinit sangat bervariasi. Namun demikian selalu lebih kecil dari fusinit dan lebih
besar dari vitrinit pada batubara yang sama. Dibandingkan dengan fusinit, semifusinit
pada mikroskop (sinar pantul putih) berwarna abu-abu terang, dinding sel lebih tebal,
tidak teratur, sel struktur lebih tidak jelas, begitu juga reliefnya lebih rendah. Seperti
pada fusinit maka ruang selnya diisi oleh mineral.
Makrinit mempunyai reflektivitas tinggi, amorf dan mengandung gel. Material asalnya
sampai sekarang masih belum jelas. Diperkirakan makrinit terbentuk akibat oksidasi
yang intensif, pengeringan tumbuhan dan gambut, produk metabolisma oleh jamur
dan bakteri. Karena itu makrinit jarang muncul pada gambut dan brown coal
(Teichmueller, 1989). Hipotesa Cohen et. al. (1987) yang benar-benar berlawanan
tentang pembentukan makrinit adalah material yang tergelifikasi pada saat awal
dimana dibedakan dari reflektivitasnya yang tinggi dan masih bersifat huminit pada
stadium gambut (terbentuk pada lingkungan pengendapan bawah air). Makrinit
mencapai reflektivitas inertinit pada proses pembatubaraan dalam stadium hard coal
(seperti fusinit sekunder). Beberapa makrinit berasal dari charred peat.
Sclerotinit mewakili jamur mycelia yang mengandung melanin hitam sejak saat
hidupnya. Spora dari jamur hitam ini diserang oleh jamur karat, jamur hangus, dan
rumput-rumputan. Jamur hitam bisa hidup pada kondisi yang kurang baik tetapi jamur
yang kaya akan melanin tertentu saja yang membentuk sclerotinit. Pendapat lama yang
menyatakan bahwa chitin sebagai pembentuk utama dari jamur menyebabkan
tingginya reflektivitas sclerotinit tidak dapat diterima lagi.
Bartram et. al. (1987, dikutip dari Teichmueller 1989) dengan penelitian terhadap
batubara dari Yorkshire, England dan Goodarzi (1984, dikutip juga dari Teichmueller,
1989) dengan penelitian batubara dari Kanada mengatakan bahwa sclerotinit adalah
Eksplorasi batubara
Mempelajari tektonik
Genesa batubara memberikan gambaran yang jelas untuk rank dalam kaitan dengan
terbentuknya minyak bumi. Terbentuknya maseral sekunder seperti Exsudatinit dan
mikrinit pada batubara) sebagai indikator oil window (daerah rank terbentuknya
minyak bumi pada sedimen), sehingga dengan mengetahui indikator ini maka
eksplorasi minyak dan gas bumi bisa diarahkan sesuai dengan kemungkinan arah
migrasinya.
Bahkan beberapa ahli pernah memikirkan tentang terbentuknya minyak bumi yang
bersumber dari batubara (batubara sebagai batuan induk minyak bumi). Hal ini secara
teori mungkin terbentuk tetapi migrasi untuk akumulasi dalam jumlah yang banyak
masih tidak mungkin karena pori-pori pada batubara sangat kecil.
3.
yang relatif panjang. Sehingga hal ini analog dengan proses yang terjadi pada batuan
sedimen yang lain yang mengalami proses diagenesa. Pada batubara dengan mudah
dapat diketahui rank-nya sedangkan pada batuan sedimen yang lain agak sulit. Rank
pada batubara merupakan posisi meterial organik akibat proses pembatubaraan dan ini
merupakan proses irreversible sehingga kalau suatu rank sudah dicapai maka tidak
akan bisa kembali ke kondisi aslinya. Dengan anggapan bahwa setiap batuan sedimen
mengandung unsur organik yang bisa diukur reflektifitasnya sebagai indikator rank
maka dengan cepat dapat diketahui proses atau akibat proses diagenesa yang dialami
oleh batuan sedimen itu. Artinya walaupun keberadaannya saat ini di permukaan
(tersingkap) bukan berarti dari sejak terbetuknya tidak pernah berada pada kedalaman
yang tinggi dimana temperatur tinggi (akibat gradien geothermal) dan tebal batuan
penutup yang mengakibatkan tekanan yang tinggi juga. Dengan demikian komponen
organik yang berasal dari tumbuhan akan mempunyai rank yang tinggi sesuai dengan
temperatur dan tekanan yang pernah dialaminya
4. MEMPELAJARI TEKTONIK
Dari rank batubara yang terdapat pada suatu cekungan bisa dipelajari sejarah
cekungan tempat terdapatnya endapan batubara tersebut. Rank batubara yang tinggi
bisa dikaitkan dengan masa lalu cekungan itu yang pernah berada turun sampai
kedalaman tertentu (tinggi). Proses naik turunnya cekungan sulit diketahui dari
sedimen yang lain, sedangkan dari komponen organik (batubara pada sedimen) itu
dapat diketahui bahwa komponen organik yang ada pada sedimen itu sudah pada rank
tertentu dengan korelasi temperatur dan beban yang pernah dialami (Gambar 5.2).
Distribusi rank yang tidak merata mencerminkan keberadaan penyebab lokal. Hal ini
bisa akibat struktur sesar, pelipatan ataupun akibat intrusi. Yang penting adalah
keberadaan suatu proses yang mengakibatkan adanya temperatur atau tekanan yang
tinggi atau bahkan keduanya sekaligus.
Tidak homogennya lapisan, adanya banyak sisipan atau lapisan bercabang
mecerminkan kondisi cekungan tempat pengendapan batubara yang tidak stabil, dalam
artian penurunan cekungan yang tidak homogen.
dia berlapis ataupun tidak berlapis tentu akan sangat mempengaruhi dalam proses
pemanfaatan/pengolahan.
Batubara yang terbentuk dari tipe atau fasies bawah air akan mempunyai kandungan
abu dan sulfur yang lebih tinggi dibanding yang terjadi dari gambut tipe highmoor.
Keterdapatan mineral (baik jenis maupun bentuknya) akan sangat mempengaruhi cara
pengolahan atau pencuciannya. Keterdapatan mineral ini bisa banyak ragamnya
dengan genesa yang beragam pula. Oleh karena itu keberadaan mineral dalam bentuk
yang beragam dan terjadinya juga beragam akan sangat mempengaruhi cara
pencucian, pengolahan bahkan peruntukan batubaranya.
Belum lagi kondisi batuan samping dengan lingkungan pengendapan yang beragam,
komposisi juga beragam, dapat juga mempengaruhi kualitas batubaranya. Hal ini
umumnya mempengaruhi batubara pada saat pembatubaraan berlangsung.
Komposisi meseral batubara yang merupakan produk dari ragam tumbuhan
pembentuk sangat menentukan peruntukannya. Batubara dengan komposisi dominan
atrinit yang merupakan cerminan pembentuk yang kebanyakan dari tumbuhan perdu
yang banyak tumbuh pada lingkungan yang kurang subur atau kondisi PH yang kecil
(asam) dimana hanya mengandalkan air hujan (highmoor) akan baik untuk briket.
Batubara yang banyak unsur gelinit yang diyakini merupakan produk gelifikasi (bagian
awal proses pembatubaraan yang berlangsung tergantung air) akan kurang baik untuk
briket.
Sebenarnya masih sangat banyak aplikasi ilmu genesa batubara untuk keperluan baik
ilmu perbatubaraan maupun industri perbatubaraan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
Stach E., Mackowsky M. TH., Teichmller M., Taylor G. H., Chandra D.,
Teichmller R. (1982) : Stachs Textbooks of Coal Petrology, Gebrder
Borntraeger, Berlin-Stuttgart : 535 S.
3.
Taylor G. H., Teichmueller M., Davis A., Diessel C. F. K., Littke R., Robert P.
(1998), Organic Petrologi, Gebrueder Borntraeger, Berlin, Stuttgart.
4.
5.