Oleh :
Nama : Shafwan Hariz
Npm
: 230110130224
Kelas : Akuakultur
Ikan patin (Pangasius sp.) adalah salah satu ikan asli perairan Indonesia yang
telah berhasil didomestikasi. Jenisjenis ikan patin di Indonesia sangat banyak, antara
lain Pangasius pangasius atau Pangasius jambal, Pangasius humeralis, Pangasius
lithostoma, Pangasius nasutus, pangasius polyuranodon, Pangasius niewenhuisii.
Sedangkan Pangasius sutchi dan Pangasius hypophtalmus yang dikenal sebagai
jambal siam atau lele bangkok merupakan ikan introduksi dari Thailand (Kordi,
2005).
Ikan patin mempunyai bentuk tubuh memanjang, berwarna putih perak
dengan punggung berwarna kebiruan. Ikan patin tidak memiliki sisik, kepala ikan
patin relatif kecil dengan mulut terletak diujung kepala agak ke bawah. Hal ini
merupakan ciri khas golongan catfish. Panjang tubuhnya dapat mencapai 120 cm.
Sudut mulutnya terdapat dua pasang kumis pendek yang berfungsi sebagai peraba.
Sirip punggung memiliki sebuah jarijari keras yang berubah menjadi patil yang
besar dan bergerigi di belakangnya, sedangkan jarijari lunak pada sirip punggungnya
terdapat 6 7 buah (Kordi, 2005).
Produksi ikan patin di Indonesia terus menunjukkan peningkatan setiap
tahunnya. Karena itu, pemerintah menargetkan angka produksi ikan patin yang
meningkat secara signifikan di tahun 2013 ini. Dengan kapasitas produksi yang
tinggi, diharapkan visi untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara
pengekspor ikan patin di dunia dapat tercapai. Berbagai program kerja disusun dan
berbagai upaya dilakukan untuk mencapai visi tersebut, salah satunya adalah
pengembangan budidaya akuakultur ikan patin di berbagai daerah di Indonesia.
Pengembangan teknologi pengadaan bibit ikan unggul terus dikembangkan
untuk memenuhi target pertumbuhan produksi perikanan. Hal ini sejalan dengan
target peningkatan produksi perikanan yang telah dicanangkan oleh Kementrian
Kelautan dan Perikanan pada tahun 2014 sebesar 16,89 juta ton atau meningkat
sebesar 353 persen dibandingkan produksi tahun 2009 yang sebesar 4,78 juta ton
(DKP, 2009). Ikan patin merupakan salah satu jenis ikan yang menjadi prioritas
utama pengembangan ikan air tawar. Pengembangan teknologi pengadaan bibit
unggul dapat dilakukan melalui seleksi atau pemuliaan dan rekayasa genetik
(kromosom, gen, dan DNA).
Rekayasa kromosom merupakan salah satu inovasi teknologi dalam
mengembangkan benih ikan unggulan. Poliploidisasi merupakan salah satu metode
manipulasi kromosom untuk perbaikan dan peningkatan kualitas genetik ikan guna
menghasilkan benih-benih ikan yang mempunyai keunggulan, antara lain:
pertumbuhan cepat, toleransi terhadap lingkungan dan resisten terhadap penyakit.
Induksi poliploid dalam budidaya ikan sangat menarik perhatian masyarakat petani
ikan maupun para peneliti di bidang perikanan. Poliploidisasi pada ikan dapat
dilakukan melalui perlakuan secara fisik seperti melakukan kejutan (shocking) suhu
baik panas maupun dingin, pressure (hydrostatic pressure) dan atau secara kimiawi
untuk mencegah peloncatan polar body II atau pembelahan sel pertama pada telur
terfertilisasi (Thorgaard, 1983; Yamazaki, 1983; Carman et al., 1992; Shepperd dan
Bromage, 1996).
Pengembangan rekayasa kromosom pada ikan patin dilakukan untuk
mencegah terjadinya perkawinan secara acak sehingga menyebabkan penurunan
genetik yang ditandai dengan tingkat pertumbuhan yang semakin menurun, derajat
penetasan serta ketahanan tubuh yang rendah. Selain itu, rekayasa kromosom
dilakukan untuk mendapatkan individu yang mempunyai pertumbuhan cepat. Salah
satu aplikasi yang telah dilakukan pembentukan individu triploid atau yang
mempunyai
struktur
kromosom
3n.
Keuntungan
triploid
adalah
dapat
melalui pemberian kejutan suhu pada saat pembelahan meiosis 1, sehingga polar
body II tidak keluar dari sel telur.
Dijelaskan pada gambar berikut :
Tiga hal yang perlu diperhatikan dalam perlakuan kejutan suhu pada telur,
yaitu waktu awal kejutan, suhu kejutan dan lama kejutan (jelas sangat rendah daya
hidupnya, tetapi Don dan Avtalion, 1986). Nilai parameter tersebut berbeda untuk
setiap spesies (Pandian dan Varadaraj, 1988). Tave (1993) melaporkan, triploidisasi
akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan dan sterilitas. Ukuran sel ikan triploid
lebih besar dibandingkan dengan diploid, nukleus berisi 33 % lebih allel untuk
pertumbuhan dan energi untuk pertumbuhan produksi gamet berkurang atau
terhambat. Ikan triploid mempunyai gonadosomatic index yang lebih rendah bila
dibandingkan dengan diploid (Mair, 1993).
Beberapa aplikasi pembentukan individu triploid dengan menggunakan
kejutan suhu, yaitu dengan menggunakan kejutan suhu panas dan suhu dingin.
Permasalahan yang ditemukan yaitu masih rendahnya persentase individu triploid
yang terbentuk. Kondisi ini disebabkan oleh waktu pemberian kejutan atau initial
time yang dilakukan masih belum sepenuhnya dapat menahan polar body II di dalam
telur, sehingga individu yang terbentuk adalah individu diploid normal. Oleh karena
itu, perlu dilakukan kajian untuk menentukan waktu yang tepat (jarak waktu antara
proses pembuahan telur dengan pemberian kejutan) dalam memberikan kejutan suhu
yang diberikan agar dapat meningkatkan persentase pembentukan individu triploid.
Keunggulan keunggulan dari triplodisasi ini ada juga kerugian kerugian
yang terjadi karena adanya perlakuan yaitu heat shock pada proses triploidisasi ini
maka tingkat keberhasilannya pun lebih kecil dibandingkan dengan pembenihan ikan
patin dengan cara biasa kemudian persentase untuk menghasilkan ikan yang cacat
pun lebih tinggi karena adanya rekasaa ini berdampak hasil hasil abnormal semua
hal ini dipengaruhi oleh lama perlakuan heatshock.
Rendahnya laju penetasan pada ikan lele triploid ini juga disebabkan
tingginya larva cacat yang dihasilkan setelah proses penetasan. Rieder dan Bajer
(1978) dalam Bidwell et al. (1985) mengemukakan bahwa larva cacat dapat
disebabkan oleh lapisan terluar dari telur (chorion) yang mengalami pengerasan,
sehingga embrio akan sulit untuk keluar. Setelah chorion dapat dipecahkan, maka
embrio akan lahir dengan keadaan tubuh yang cacat. Pengerasan chorion ini akibat
terganggunya aktivitas enzim penetasan yang disebabkan oleh suhu air media
inkubasi terlalu tinggi. Pemberian kejutan panas pada telur dapat pula menyebabkan
individu-individu yang dihasilkan memperlihatkan bentuk tubuh yang abnormal
seperti ekor yang pendek, tidak berekor atau memiliki ekor yang bengkok (Solar et
al., 1984) dan berkromosom haploid (Gervai et al., 1980). Embrio haploid akan mati
selama penetasan dan hanya sebagian kecil saja yaitu 0,15-0,2 % yang dapat bertahan
hidup (Purdom, 1983).
DAFTAR PUSTAKA
Carman, O. 1992. Chromosome Set Manipulation in Some Warm-Water Fish.
Doctoral Thesis. Tokyo University of Fisheries. Tokyo. 131 p.
Carman, O., Oshiro, T. dan Takashima, F. (1991) Estimation of Effective Condition
for Induction of Triploidy in Goldfish, Carassius auratusLinnaeus. Journal of
The Tokyo University of Fisheries, Volume 78, Nomor 2. pp. 127-135.
Carman, O., Oshiro, T. dan Takashima, F. (1992) Variation in The Maximum Number
of Nucleoli in Diploid and Triploid Common Carp. Nippon Suisan Gakkaishi,
58 (12) Formerly Bull. Japan. Soc. Sci. Fish. pp. 2303-2309.
Mair, G. C. (1993) Chromosome-Set Manipulation in Tilapia-Techniques, Problems
and Prospects. Aquaculture, 111: 227-244.
Pandian, T. J. dan Varadaraj, K. (1990) Techniques to Produce 100 % Male
Tilapia. NAGA, The ICLARM Quarterly, Volume 13, Nomor 34. pp. 3-5.