Anda di halaman 1dari 28

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Indonesia mengalami kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta perkembangan
zaman yang semakin maju. Pola hidup menjadi penyebab munculnya berbagai jenis penyakit.
Faktor aktifitas yang sering dilakukan masyarakat seperti duduk terlalu lama, posisi yang
salah saat mengangkat beban, posisi tidur yang salah, membungkuk yang berlebihan,
membawa tas berat, kurangnya olahraga. Akibat banyaknya aktifitas yang melibatkan
pergerakan punggung maka sering memicu timbulnya suatu penyakit. Penyakit yang sering
muncul salah satunya adalah Nyeri Punggung Bawah atau Low Back Pain.
Nyeri punggung bawah adalah sindroma klinik yang ditandai dengan gejala utama
nyeri atau perasaan lain yang tidak enak di daerah tulang punggung bagian bawah. Dalam
masyarakat, nyeri punggung bawah tidak mengenal umur, jenis kelamin, tingkat sosial
ekonomi, dan pekerjaan. Keadaan itu bisa menyerang pria maupun wanita dari semua usia,
tetapi pada umumnya pada usia menengah atau kelompok umur produktif, yaitu 15-64 tahun.
Nyeri punggung bawah adalah salah satu alasan paling umum yang membuat orang tidak
dapat bekerja atau melakukan kegiatannya dengan baik. Berdasarkan penelitian, ditemukan
bahwa nyeri punggung bawah mengenai kira-kira 60-80 % anggota masyarakat semasa
hidupnya dan 50 % diantaranya menderita nyeri sepanjang tahun. Walaupun 30 % dari
penderita Low Back Pain ( LBP ) sembuh dalam 1 bulan dan 60 % sembuh dalam 3 bulan dan
kemungkinan 60 % akan kambuh lagi (Rematologi, 2007).
Pada makalah ini penulis membahas nyeri punggung bawah akibat Lumbal Spinal
Stenosis (LSS) L5-S1 yang disebabkan penyakit degeneratif yang proses terjadinya
dikarenakan adanya fibrosis pada tulang belakang bagian lumbal. Keadaan ini akan
menimbulkan nyeri apabila telah mengenai nervus spinalis sehingga dapat menyebabkan
gangguan impairment dan keterbatasan aktivitas sehari-hari
Fisioterapi dalam hal ini memegang peranan untuk mengembalikan dan mengatasi
impairment dan keterbatasan aktivitas tersebut, sehingga pasien dapat beraktivitas kembali
tanpa adanya keluhan. Penulis dalam hal ini menggunakan modalitas fisioterapi
Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation (TENS), traksi dan terapi latihan (Core
Stabilization) untuk mengatasi masalah nyeri punggung bawah akibat LSS L5-S1.

2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut: (1) bagaimana penatalaksanaan pemeriksaan pada LBP akibat LSS L5-S1? (2)
bagaimana penatalaksanaan fisioterapi pada LBP akibat LSS L5-S1? (3) bagaimana
penatalaksanaan evaluasi hasil terapi fisioterapi pada LBP akibat LSS L5-S1?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan karya tulis ilmiah ini, adalah: (1) untuk
mengetahui penatalaksanaan pemeriksaan pada LBP akibat LSS L5-S1, (2) untuk mengetahui
penatalaksanaan fisioterapi pada LBP akibat LSS L5-S1, (3) untuk mengetahui
penatalaksanaan evaluasi hasil fisioterapi pada LBP akibat LSS L5-S1.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Fungsional Vetebra


Vertebra terdiri dari 7 tulang cervical, 12 tulang thoracal, 5 tulang lumbal, 5 tulang
sacral dan tulang coccygeus. Tulang cervical, thoracal dan lumbal membentuk columna
vertebralis, sedangkan tulang sacral dan coccygeus satu sama lain menyatu (Putz dan Pabs,
2002).
1. Struktur tulang vertebrae lumbal
Vertebra lumbal terletak di regio punggung bawah antara region thorax dan sacrum.
Vertebra lumbal ditandai dengan corpus dan arcus yang kuat. Vertebra lumbal berjumlah
lima, ke atas bersendi dengan thoracal ke 12 dan ke bawah bersendi dengan tulang sacral.
Vertebra dibentuk oleh corpus yang berfungsi sebagai penyangga berat badan. Procecius
spinosus merupakan bagian dari vertebra bagian posterior yang bila diraba terasa seperti
tonjolan, terutama berfungsi sebagai tempat melekatnya otot otot punggung. Procecius
transversus terletak pada kedua sisi corpus vertebra dan sedikit kearah atas dan bawah dari
procecius transversus, terdapat facies articularis vertebra dengan vertebra yang lainnya.
Bentuk permukaan facet joint akan mencegah atau membatasi gerakan yang berlawanan arah
dengan permukaan facet joint. Pada daerah lumbal, facet terletak pada bidang sagital
memungkinkan gerak fleksi dan ekstensi kearah anterior dan posterior (Cailliet, 1981).

1
2
8
7
6
9

3
4
5

Gambar 2.1 Tulang punggung (Sobotta, 1995)


Keterangan:
1. Vertebra cervical

6. Foramen intervertebra

2. Vertebra thoracal

7. Pancecius spinosus

3. Vertebra lumbal

8. Pancecius tranversus

4. Vertebra sacral

9. Discus invertebralis

5. Vertebra coccygeus

Gambar 2.2
Vertebra lumbalis ke IV, tampak dari cranial (Sobotta, 1995)

Keterangan
1. Lamina
2. Processus Transfersus
3. Foramen Vertebrae
4. Corpus Vertebrae
5. Pediculus Arcus Vertebrae
6. Processus et Facies Articularis
7. Processius Spinosus

2. Discus intervertebralis

6
Discus Intervertebralis merupakan struktur elastik diantara korpus vertebra. struktur
discus bagian dalam disebut nucleus pulposus, sebagian tepi disebut annulus fibrasus. Discus
berfungsi sebagai bantalan sendi antara korpus yang berdekatan sebagai penahan pada
berbagai tekanan dalam menumpu berat badan
(Kapandji, 1974).
Bila terjadi suatu tekanan atau kompresi yang merata bekerja pada vertebra maka
tekanan itu akan disalurkan secara merata ke seluruh discus intervertebralis. Bila suatu gaya
bekerja pada satu sisi saja, nucleus pulposus akan melawan gaya tersebut secara lumbal
antara lain (1) Ligamen longitudinal anterior dan posterior, (2) Ligamen flavum, (3) Ligamen
interspinosus, (4) Ligamen supraspinosus, lebih dominan pada sudut sisi
yang berlawanan. Keadaan ini terjadi pada gerakan vertebra seperti fleksi,
ekstensi dan latero fleksi (Cailliet, 1981).
c. Stabilisasi vertebra lumbalis
Stabilisasi vertebra lumbalis terutama terdiri dari bentuk tulang vertebra dan ligament
sebagai stabilisasi pasif serta otot sebagai stabilisasi aktif. Ligamen yang memperkuat
persendian columna vertebralis regio dan (5) Ligamen intertransversus (Yanuar, 2002 ).
Pada saat gerak fleksi vertebra slide ke anterior sehingga menyebabkan penyempitan pada
discus intervertebralis bagian anterior dan meluas ke posterior

Anulis Fibrosus

Nucleus Pulposus

Gambar 2.3 Discus Intervertebralis dan ligamentumPotongan melintang dan sagital


Keterangan :
1. Annulus Fibraus
2. Nucleus Pulposus
3. Ligament Interspinosus
4. Ligametum Supraprinosium
5. Nucleus Pulposus
6. Analus Vibrasus

Gambar 2.4 Segmen pergerakan Lumbal Skema, potongan medial (Sobotta,


1995)
Keterangan
1. Ligament longitudinal posterior

7. Ligament supraspinale

2. Anulus fibrosus

8. Processus spinosus

3. Nucleus pulposus

9. Ligament interspinale

4. Ligament longitudinal anterior

10. Processus articularis inferior

5. Ligament flavum

11. Foramen intervertebrale.

6. Processus articularis superior


Gerak fleksi dibatasi oleh ligamen flavum, ligamen supraspinosus dan ligamen
longitudinal posterior, sedangkan pada gerak ekstensi vertebra slide ke posterior. Gerakan
ekstensi dibatasi oleh ligamen longitudinal anterior.
Pada gerak lateralfleksi dibatasi oleh ligamen interspinalis, corpus vertebra pada sisi
kontralateralsaling melebar dan pada sisi lateral saling mendekat (Kapandji, 1974)

9
Sedangkan otot otot yang berfungsi sebagai stabilitas aktif dan berfungsi sebagai
flexor yaitu m. rectus abdominis, m. obligus internus, m. obligus eksternus, m. ilio psoas, dan
m. quadratus lumborum. Adapun yang berfungsi sebagai ekstensor yaitu m. interspinalis, m.
transversus spinalis, m. sacrospinalis. Sebagai lateral flexor yaitu m. psoas mayor, m.
quadratus lumborum (Kapandji, 1974)

Gambar 2.6
Otot Lumbal (Sobotta, 1995)

10

Gambar 2.7 Otot Lumbal (Sobotta, 1995).


a. Biomekanika vertebra lumbal
Dalam lingkup gerak sendi lumbosacral saat gerak fleksi adalah 85 derajat, saat gerak
ekstensi adalah 30 derajat (Russe dan Gerhard, 1975). Biomekanik columna vertebralis regio
lumbal facet jointnya memiliki arah sagital dan medial sehingga memungkinkan gerakan
fleksi - ekstensi dan latero fleksi, rotasi yang terjadi dengan aksis vertical melalui prosessus
spinosus dengan sudut normal 45 derajat, gerakan ini dibatasi otot rotasi samping berlawanan
dan ligamen interspinosus (Kapandji, 1974). Facet joint di region lumbal memiliki bidang
gerak sagital dan frontal sehinga memungkinkan gerakan fleksi, ekstensi, lateral fleksi, dan
rotasi. Gerakan 40 fleksi hanya terjadi pada lumbal dan 60 fleksi bila dipengaruhi oleh
pelvic complek. Gerak 30 karena dibatasi oleh ligamentum longitudinal anterior dan
procecus spinosus yang saling bertemu

11

Gambar Otot otot perut ( Sobotta, 1995)


Keterangan :
1. M. rectus abdominis
2. M. obliquus externus abdominis
3. M. obliquus internus abdominis

12

Gambar 2.9 Otot otot punggung ( Sobota, 1995 )


Keterangan :
1. M. Illiocostalis thoracic
2. M. Latisimus dorsi
3. M. Illiocostalis thoracic
4. M. Erector spine
5. M. Spinalis thoracic
6. M. Longisimus dorsi
7. M. Illiocostalis
8. Obliqus internus abdominis
(Kapandji, 1974).
Dilihat dari struktur anatomi dan aligment vertebra, lumbal mudah terjadi pergeseran
karena lengkungan lordosis lumbal yang berlangsung bersendi dengan tulang sacrum yang
berbentuk kifosis. Sedangkan ditinjau dari jaringan sekitar, region lumbal kurang stabil
karena tidak ada tulang yang memfiksasi, berbeda dengan region thoracal yang difiksasi oleh
tulang costa. Selain itu vertebra lumbal berfungsi menahan berat badan sehingga cenderung
terkena cedera (Cailiet, 1981).
B. Low Back Pain (LBP) atau Nyeri punggung bawah
1.Definisi
adalah suatu sensasi nyeri yang dirasakan pada diskus intervertebralis umumnya
lumbal bawah, L4-L5 dan L5-S1. Low Back Pain adalah nyeri kronik didalam

13
lumbal,biasanya disebabkan oleh terdesaknya para vertebral otot, herniasi dan regenerasi dari
nucleus pulposus,osteoartritis dari lumbal sacral pada tulang belakang (Brunner, 2002).
2. Lumbal Spinal Stenosis (LSS)
Lumbal spinal stenosis adalah yang paling umum karena perubahan degeneratif
pada orang tua. LSS sedang lebih sering didiagnosis dan mungkin berhubungan dengan
akses yang lebih baik ke pencitraan canggih dan populasi penuaan. Ulasan ini berfokus pada
gejala radikuler yang berhubungan dengan stenosis dan pengetahuan pusat dan lateral
degeneratif LSS patofisiologi, diagnosis dan manajemen. Sejak pasien dengan anatomi LSS
dapat berkisar dari tanpa gejala sampai cacat berat, diagnosis klinis berfokus pada gejala dan
temuan pemeriksaan terkait dengan LSS. Temuan pencitraan membantu untuk pasien dengan
gigih, gejala mengganggu di antaranya perawatan invasif sedang dipertimbangkan. Ada
informasi yang terbatas dari studi berkualitas tinggi tentang manfaat relatif dan bahaya
perawatan yang umum digunakan. Menafsirkan dan hasil membandingkan penelitian yang
tersedia dibatasi oleh kurangnya konsensus tentang definisi LSS. Namun demikian, bukti
yang mendukung laminectomy decompressive untuk pasien dengan gejala persisten dan
mengganggu. Rekomendasi mendukung keputusan bersama pendekatan membuat karena
penting trade-off antara terapi dan perbedaan antara pasien dalam preferensi dan nilai-nilai
mereka alternatif ( Genevay, 2010).

Lumbar spinal stenosis (LSS) umumnya digunakan untuk menggambarkan pasien


dengan gejala yang berhubungan dengan pengurangan anatomi tulang belakang lumbar
ukuran. Tantangan definisi berdasarkan anatomi ini adalah bahwa sementara diperlukan untuk
diagnosis LSS, itu tidak cukup untuk menentukan keparahan gejala dan gangguan fungsional
yang mengarah pasien untuk mencari pengobatan. Memang, stenosis tulang belakang anatomi
bahkan yang parah dapat hadir pada pasien tanpa gejala. Ulasan ini berfokus pada manajemen

14
klinis degeneratif LSS termasuk etiologi dan sejarah alam, gejala dan temuan fisik, tes
diagnostik, dan pilihan pengobatan. Degeneratif stenosis tulang belakang dapat terjadi dengan
kondisi lain termasuk spondylolisthesis degeneratif atau scoliosis degeneratif. Meskipun
banyak studi degeneratif LSS termasuk individu dengan kondisi ini, mereka berada di luar
lingkup ulasan ini.
3. Etiologi
Stenosis tulang belakang yang paling sering diklasifikasikan sebagai primer, yang
disebabkan oleh kelainan bawaan atau gangguan perkembangan postnatal, atau sekunder
(diperoleh stenosis) yang dihasilkan dari perubahan degeneratif atau sebagai konsekuensi dari
infeksi lokal, trauma atau operasi. Fokus ulasan ini adalah pada penyebab yang paling umum,
proses degeneratif progresif lambat yang mendominasi di tiga rendah tingkat lumbal. Sejarah
alami stenosis tulang belakang masih kurang dipahami dengan studi melaporkan sekitar
setengah dari pasien. Tetap klinis stabil, dengan seperempat memburuk atau membaik. Untuk
setiap individu pasien, tentu saja tidak dapat diprediksi dengan flare dan periode stabil dari
waktu ke waktu.

4. Patologi
Degeneratif LSS anatomis dapat melibatkan saluran pusat, istirahat lateral, foramen
atau kombinasi dari lokasi tersebut. Stenosis kanal sentral mungkin akibat dari penurunan
anteroposterior, transversal atau gabungan diameter sekunder untuk kehilangan tinggi disc
dengan atau tanpa menggembung dari disk intervertebralis, dan hipertrofi sendi facet dan
ligamentum flavum. Fibrosis adalah penyebab utama ligamentum flavum hipertrofi dan

15
disebabkan oleh akumulasi stres mekanik, terutama di sepanjang aspek dorsal ligamentum
flavum. Transformasi faktor pertumbuhan (TGF) - dirilis oleh sel endotel dapat merangsang
fibrosis, terutama selama fase awal hipertrofi. Proses yang sama, penurunan ketinggian
discus, sendi permukaan hipertrofi (dengan atau tanpa spondylolisthesis) dan endplate
vertebralis osteofitosis juga dapat mengakibatkan lateralis reses stenosis. Stenosis Foraminal
dapat berupa anteroposterior dihasilkan dari kombinasi ruang diskus penyempitan dan
pertumbuhan berlebih dari struktur anterior ke facet kapsul sendi, dan vertikal yang
dihasilkan dari osteofit posterolateral dari endplates vertebra yang menonjol ke dalam
foramen bersama dengan anulus fibrosis lateral menggelembung atau hernia disk yang
kompres akar saraf terhadap pedicle superior. Stenosis Foraminal lebih sering melibatkan
akar saraf L5, sebagai foramen L5-S1 adalah satu dengan foramen kecil atau daerah akar.
Selain perubahan anatomi degeneratif progresif lambat, lumbar tulang belakang stenosis
memiliki komponen dinamis penting. Ruang yang tersedia di kanal tengah menurun dalam
pemuatan dan penyuluhan dan peningkatan gangguan aksial dan fleksi. Dinamika yang sama
juga mempengaruhi foramen dengan fleksi menyebabkan peningkatan 12%, dan ekstensi
penurunan 15%, di daerah permukaan ( Genevay, 2010)

5. Tanda dan Gejala


Gejala yang paling umum dikaitkan dengan LSS adalah klaudikasio neurogenik, juga
disebut sebagai pseudoclaudication. Klaudikasio neurogenik mengacu gejala kaki yang
meliputi pantat, paha, dan paha anterior, serta radiasi bawah bagian posterior dari kaki ke
kaki. Selain rasa sakit, gejala kaki dapat termasuk kelelahan, berat, kelemahan atau
paresthesia. Pasien dengan LSS juga dapat melaporkan kram kaki nokturnal dan gejala

16
kandung kemih neurogenik. (29) Gejala dapat unilateral atau lebih umum bilateral dan
simetris. Pasien mungkin menderita menyertai sakit punggung tapi kaki sakit dan
ketidaknyamanan biasanya lebih menyusahkan.
Fitur utama dari klaudikasio neurogenik adalah hubungannya dengan postur pasien
mana kenaikan ekstensi lumbal dan fleksi mengurangi rasa sakit. Gejala semakin memburuk
ketika berdiri atau berjalan dan lega dengan duduk. Lega dengan duduk di LSS kontras
dengan nyeri punggung yang paling non-spesifik rendah yang umumnya diperburuk oleh
lama duduk. Pasien dengan laporan klaudikasio neurogenik yang meletakkan datar sering
dikaitkan dengan lega kurang sambil berbaring di sisi (memungkinkan fleksi lumbal) lebih
nyaman. Jarak yang bisa berjalan sebelum gejala terjadi lebih variabel pada mereka dengan
klaudikasio neurogenik dibandingkan dengan klaudikasio pembuluh darah, dan meningkat ke
depan lentur dari batang tubuh (peningkatan kyphosis toraks dan penurunan lordosis lumbal).
Akibatnya, pasien mengadopsi posisi dengan pinggul dan lutut sedikit menekuk kadangkadang disebut sebagai "sikap monyet". (30) Berbeda dengan orang-orang dengan
klaudikasio vaskular, duduk tapi tidak berdiri akan meredakan gejala, berjalan menanjak akan
lebih baik ditoleransi daripada menurun berjalan , dan olahraga pada sepeda stasioner dalam
posisi tertekuk duduk akan lebih baik ditoleransi daripada berjalan dalam posisi tegak.
Pemeriksaan punggung bawah akan sering mengungkapkan mobilitas berkurang nonspesifik. Ekstensi mungkin lebih terbatas daripada fleksi.
Hamstring sesak sering digambarkan. Pemeriksaan neurologis biasanya normal, dan
temuan saat ini adalah kelemahan motorik biasanya ringan atau perubahan sensorik.
Beberapa tanda-tanda ini dapat ditingkatkan segera setelah pasien melakukan latihan gejala.
Absen atau penurunan refleks pergelangan kaki telah dilaporkan pada sekitar setengah dari
pasien tetapi tanda ini sering ditemukan pada pasien yang lebih tua.

17
Selain klaudikasio neurogenik, lumbar spinal stenosis dapat hadir dengan gejala yang
lebih radikuler di alam. Tidak seperti klaudikasio neurogenik yang lebih umum bilateral dan
berhubungan dengan stenosis kanal sentral, gejala radikuler karena stenosis tulang belakang
lebih sering unilateral dan terkait dengan stenosis dari reses lateral atau kanal foraminal.
Pasien cenderung lebih muda dan sering mengalami nyeri saat istirahat dan pada malam hari
yang meningkat dengan manuver Valsava. Nyeri tungkai sering digambarkan sebagai berat
dan radikuler dalam distribusi, dan dapat diperburuk dengan ekstensi lumbal. Temuan
Pemeriksaan dapat mencakup rentang yang terbatas lumbal gerak terutama dalam ekstensi,
motorik kelemahan fokal dalam distribusi akar tertentu, tanda-tanda ketegangan variabel
lurus-kaki, dan berkurang sensasi subjektif dan refleks dalam distribusi akar tertentu.
Beberapa pasien dapat melaporkan gejala yang sulit definitif atribut untuk LSS.
Sebagai contoh, mereka hanya dapat melaporkan nyeri punggung bawah (tanpa gejala kaki),
yang khas dari klaudikasio neurogenik (Genevay, 2010).

6. Komplikasi
Karena lumbar stenosis lebih banyak mengenai populasi lanjut usia maka
kemungkinan terjadi komplikasi pasca operasi lebih tinggi daripada orang yang lebih muda.
Selain itu juga lebih banyak penyakit penyerta pada orang lanjut usia yang akan
mempengaruhi proses pemulihan pasca operasi. Komplikasi dibagi menjadi empat grup

18
yaitu , infeksi, vaskuler, kardiorespirasi, dan kematian. Kematian berkorelasi dengan usia dan
penyakit komorbid. Peningkatan resiko komplikasi yang berkaitan dengan fungsi meliputi :
infeksi luka, DVT (deep vein thrombosis) atau emboli paru, kerusakan saraf. Komplikasi
pada graft, dan kegagalan pada instrumen. Komplikasi laminektomi bisa terjadi fraktur pada
facet lumbar, dan spondilolistesis postoperatif
7. Prognosis
Dalam kebanyakan kasus prognosis untuk stenosis tulang belakang sangat baik.
Banyak orang bisa mendapatkan bantuan baik dari gejala mereka dengan pengobatan
nonsurgical. Dalam beberapa kasus, seperti stenosis menjadi lebih parah, pengobatan
nonsurgical menjadi kurang efektif. Bagi pasien, operasi adalah pilihan yang baik untuk
dipertimbangkan. Kebanyakan pasien mendapatkan bantuan baik dari gejala di lengan dan
kaki mereka segera setelah operasi mengurangi kompresi saraf. Pengecualian adalah kasus
yang lebih berat di mana ada kompresi berkepanjangan saraf yang menyebabkan kerusakan
saraf permanen. Seperti di bagian lain dari tubuh, arthritis tulang belakang dapat menjadi
progresif bahkan setelah operasi. Hal ini dimungkinkan untuk mengembangkan gejala baru
setelah operasi baik pada tingkat yang sama atau pada tingkat terdekat ( Jason C, 2015).

C. Deskripsi Problematika Fisioterapi


Problematika fisioterapi pada kasus nyeri punggung

terbagi dalam 3 hal, yaitu

impairment, functional limitation dan participation of restriction.


1. Impairment

19
Problematika yang berkaitan dengan impairment, yaitu adanya nyeri pada punggung
bawah, penurunan kekuatan otot perut, serta penurunan LGS trunk.
2. Funtional Limitation
Problematika yang berkaitan dengan fungsional yang dapat menambah keluhan pasien
adalah pada waktu melakukan gerakan punggung setelah berdiam lama dalam sikap duduk
atau berbaring dan adanya keterbatasan pada trunk saat gerakan membungkuk serta terganggu
dalam bersujud.
3. Participation of Restriction
Problematika yang berkaitan dengan Participation of Restriction adalah adanya
gangguan dalam pekerjaannya dan sangat tergantung dengan aktivitas dan kehidupan sosial.
Pasien mengalami gangguan saat bersosialisasi dengan lingkungan sekitar dan dalam
pekerjaannya, dan pengajian.

BAB IV
PEMBAHASAN

A. Hasil Penanganan Kasus


1. Traksi Lumbal
Traksi lumbal adalah suatu metode pengobatan fisioterapi dengan menggunakan
suatu teknik penarikan untuk daerah lumbal. Memiliki 2 tipe yaitu statik atau

20
konstan, yang digunakan pada kondisi penerkanan syaraf akut yaitu intermittent.
Model aplikasi menggunakan mekanik, manual dan posisional.
a. Indikasi
1) Penekanan radix nervus spinalis lumbalis
2) Proses degenerasi discus intervertebralis lumbalis
3) Proses calsificasi tendon, otot, ligamentum dan discus intervertebralis
lumbalis
4) Dislokasi ringan vertebrae lumbalis
5) Pembengkokan struktur vertebrae
b. Kontra indikasi
1) Proses degeneratif aktif yang melibatkan medula spinalis
2) Proses porose vertebrae dan costae , spinabifida occulta , hemi vertebrae
3) Gangguan sistem vascularisasi intervertebrae lumbalis
4) Gangguan sistem vascularisasi intervertebrae lumbalis
5) Strain, sprain otot, tendon, ligamentum dan fraktur vertebrae lumbalis
6) Kehamilan melebihi 4 bulan
7) Gangguan sistem traktus urinarius
c. Prosedur
1) Persiapan
a) Ukur tensi, nadi, berat badan untuk melihat kondisi pasien
b) Atur posisi pasien, tidur terlentang, di bed traksi dengan bantal
dibawah kepala dan tungkai tersangga diatas stool, posisi hip flexi 30450
c) Pasang lumbal belt dengan tepat, tidak tertekan dan tidak terlalu
longgar diatas SIAS
2) Pelaksanaan
a) Agar tarikan maximal, selama traksi pasie harus tenang
b) Tidak meninggalkan pasien sebelum pasien merasa tarikan sudah
enak
c) Tunjukan cara pengguanaan tombol penghentian traksi untuk keadaan
darurat
d) Melakukan pengontrolan secara periodeik saat berlangsungnya traksi
untuk melihat apakah pasien pusing, mual, sesak sehingga traksi perlu
dihentikan
3) Dosis
a) Beban tarikan : Mulai dari dari berat badan
b) Waktu : 15-30 menit
c) Pengulangan : akut 1 kali dalam sehari
d) Membaik 1 kali dalam 1-2 hari
e) Menggakhiri terapi

21
f) Setelah selesai penarikan , traksi dilepas
g) Pasien disarankan istirahat selama 1-2 menit di bed traksi agar tidak
pusing
2. TENS (Trancutaneus Electrical Nerve Stimulation)
Merupakan suatu cara penggunaan energi listrik untuk merangsang sistem
saraf melalui permukaan kulit. Penggunaan TENS dalam pengurangan nyeri dapat
diperoleh dengan mekanisme peripheral, segmental dan ekstrasegmental. Dalam
peripheral stimulasi listrik yang dihasilkan akan membawa peristiwa yang disebut
dengan aktivasi antidromik. Aktivasi antidromik adalah berjalannya impuls syaraf
dengan dua arah di sepanjang akson yang bersangkut. Disini, impuls yang
dihasilkan TENS yang berjalan menjauh dari sistem saraf pusat akan menabrak
impuls yang datang dari jaringan rusak.
Dalam penurunan nyeri melalui mekanisme segmental, TENS akan
menghasilkan efek analgesia dengan jalan mengaktifasi serabut A beta yang akan
menginhibisi neuron nosiseptif di kornu dorsalis medula spinalis, yang mengacu
pada teori gerbang kontrol bahwa gerbang terdiri dari sel internunsia yang bersifat
inhibisi yang dikenal sebagai substansia gelatinosa dan yang terletak di kornu
posterior dan sel T yang merelai informasi dari pusat yang lebih tinggi . Tingkat
aktivitas sel T ditentukan oleh keseimbangan asupan dari serabut berdiameter A
besar A beta dan A alfa serta serabut yang berdiameter kecil A delta dan serabut C.
Asupan dari saraf berdiameter kecil akan mengaktifasi sel T yang kemudian
dirasakan sebagai keluhan nyeri. Namun pada saat yang bersamaan impuls juga
dapat memicu sel substansia gelatinosa yang berdampak pada penurunan asupan
terhadap sel T baik yang berasal dari serabut berdiameter besar maupun kecil
dengan kata lain asupan impuls dari serabut aferen berdiameter besar akan
menutup gerbang dan membloking transmisi impuls dariserabut aferen noniseptor

22
sehingga nyeri berkurang. Sedangkan analgesia tingkat ekstrasegmental dihasilkan
oleh TENS yang menginduksi aktivitas aferen yang berdiameter kecil juga.
( parjoto, 2006).
a. Persiapan alat
Pastikan mesin masih dalam keadaan baik. Siapkan elektroda yang sama besar
dan dalam kondisi yang cukup basah sehingga hantaran listrik yang sampai ke
jaringan dapat penuh. Harus dipastikan pula pemasangan kabel, metode
pemasangan dan penempatan elektroda sampai pemilihan frekuensi, durasi
pulsa, durasi waktu dan intensitas.
b. Persiapan pasien
Pastikan pasien pada posisi aman dan nyaman, yaitu dengan posisi tidur
tengkurap. Beri penjelasan pada pasien tentang terapi yang akan dilakukan.
Penjelasan bisa berupa nama terapi, mengapa terapi ini dipilih rasa yang
diharapkan selama terapi dan efek terapi.
c. Pelaksanaan terapi
Pasang elektroda dengan metode contraplanar pada vertebrae lumbal.
Kemudian hidupkan mesin dan atur arus dengan gelombang biphasic
asimetris, fase durasi 220s, frekuensi 140 Hz, frekuensi modulasi program
1/30, intensitas 20,5 mA dan waktu 13 menit setelah 5 menit terapi berjalan
periksalah pasien untuk mengetahui apa yang dirasakan. Jika pasien tidak lagi
merasakan

arus,

maka

intensitas

dinaikan

pertimbangkanlah

untuk

menggunakan bentuk modulasi atau ubah durasi dan frekuensi pulsa tetap
pada parameter yang telah ditentukan. Setelah terapi selesai mesin dimatikan
dan lepas elektroda dari pasien, serta dapat dilanjtkan program terapi yang
lainnya.
3. Core stability
Latihan ini merupakan salah satu latihan yang dilakukan untuk meningkatkan
daya tahan dan pembentukan otot-otot dibagian flexi pinggang dan otot-otot
abdumen. Berikut ini latihan-latihancore stability :

23
a. The Plank
Pertahankan posisi badan tetap lurus dengan bertumpu pada kedua siku dan
ujung kaki, kencangkan otot perut dan pertahankan garis tubuh tetap lurus.
b. Side Plank
1) Tidur dalam posisi miring, pastikan kedua hip saling sejajar
2) Tumpuan pada siku
3) tekan ke atas sehingga garis tubuh benar2 lurus (kedua kaki, panggul,
kepala) posisi bahu abduksi
4) Pastikan siku berada di bawah bahu
5) Lakukan pada sisi yang berlawanan

c. Bridge
1) Posisi tiduran pada alas, kedua lutut fleksi dan kedua kaki menapak
2) Kontraksikan otot gluteus dan angkat hip sehingga terjadi garis lurus
antara lutut, hip, uuper body dan bahu
3) Bahu tetap menempel pada alas

d. Superman
1) Posisi awal merangkak
2) Tungkai kanan diluruskan dan lengan kiri diluruskan, pertahankan badan
tetap lurus
3) Lakukan pada sisi yang berlawanan

24

e. Side lying hip abduction


1) Posisi awal tidur miring dengan kedua hip saling bertumpukan
2) Kontraksikan otot-otot abdominal untuk memberikan efek bracing dan
gerakkan tungkai yang di atas ke arah abduksi
f. Dog Crowl
Posisi pasien merangkak, punggung di lengkungkan
g. Low Dog Crowl
Posisi pasien merangkak, punggung dicekungkan
h. Basic Crunch
Posisi pasien tidur terlentang, lutut ditekuk, tangan dibelakang kepala, dan
angkat kepala sampai punggung kearah lutut
i. Oblique crunch
1) Posisi tiduran, ankle kanan diletakkan pada lutut kiri
2) Gerakkan bahu kiri mendekat ke arah lutut kanan, bahu kanan tetap
berada pada alas
3) Lakukan pada sisi yang berlawanan

j. Straigh leg raise

25
1) Tidur telentang dengan kedua lutut fleksi
2) Kontraksikan otot2 perut, angkat kedua tungkai dalam posisi lurus
sehingga membentuk sudut 45 derajad dengan lantai
3) Satu tungkai tetap di atas, tungkai yang lain diturunkan pelan2
semaksimal mungkin sampai punggung mulai ada gerakan
4) Angkat tungkai yang dibawah dan lakukan pada tungkai yang lainnya
k. Lying windowscreen wipers
1) Tidur telentang dengan kedua tangan berada di depan dada
2) Kontraksikan otot perut dan angkat kedua tungkai hingga 90 derajad
3) Putar tungkai ke salah satu sisi dengan upper body dan bahu tetap
menempel pada alas
4) Angkat kembali tungkai dan gerakkan ke arah berlawanan
l. Pelvic Tilting
Posisi pasien tidur terlentang dengan kedua knee flexy dan kedua kaki datar
diatas bed atau lantai. Datarkan punggung bawah melawan bed tanpa kedua
tungkai mendorong kebawah. Kemudian perthankan 5-10 detik.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

26
A. Kesimpulan
Lumbal Spinal Stenosis (LSS) adalah salah satu penyebab Low Back Pain yang
paling

umum

karena

perubahan

degeneratif.

Penyebab

utama

dari

LSS

diklasifiskasikan menjadi 2 sebagai primer, yang disebabkan oleh kelainan bawaan


atau gangguan perkembangan postnatal. Dan sebagai sekunder yanh dihasilkan dari
perubahan degeneratif atau sebagai konsekuensi dari infeksi lokal, trauma atau
operasi. Degeneratif LSS dapat melibatkan saluran pusat , istirahat laterail, foramen
atau kombinasi dari lokasi tersebut. Stenosis kanal mungkin akibat dari penurunan
antero posterior, transversal atau gabungan diameter sekunder untuk kehilangan tinggi
disc dengan atau tanpa menggembung dari disc intervertebralis, dan hipertrofi sendi
facet dan ligament falvum. Tanda dan gejala yang biasayna terjadi pada LSS adalah
klaudikasio neurogenik mengacu gejala kaki yang meliputi pantat, paha, dan paha
anterior serta radiasi bawah bagian posteriordari kaki ke kaki.
Pada kasus LSS area L4-L5 dan L5-S1 setelah mendapat pelayanan fisioterapi
berupa TENS, Traksi Lumbal, dan Core Stability Exercise terjadi pengurangan nyeri
dan peningkatan Lingkup Gerak Sendi.
Jadi dengan pemberian modalitas fisioterapi berupa TENS, Traksi Lumbal, Core
Stability Exercise, serta pemberian edukasi dapat mengurangi permasalahan pada
kondisi Lumbal Spinal Stenosis (LSS) area L4-L5 dan L5-S1 dengan mengurangi
nyeri serta keterbatasan lingkup gerak sendi.

B. Saran
Sebagai salah satu tim medis fisioterapi ikut bertanggung jawab terhadap
pelayanan kesehatan, hendaknya selalu melakukan pemeriksaan yang lebih teliti dan

27
lebih cermat serta bekerja sama dengan tim medis yang lain untuk mendukung dan
memperkuat diagnosis yang dibuat dan akhir terapi yang membawa manfaat yang
berarti.
Diharapkan kepada masyarakat apabila menjumpai kasus yang seperti ini untuk
segera diperiksakan sehingga mendapat penanganan dan prognosisnya akan lebih
baik. Untuk menunjang keberhasilan terapi yang diberikan, pada penderita hendaknya
melakukan apa yang disarankan oleh terapis dan menghindari hal hal yang dilarang
oleh terapis seperti dalam edukasi untuk kesembuhan.

DAFTAR PUSTAKA
Brunner&Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah; Edisi 8 Volume 1.
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

28
Brunner&Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah; Edisi 8 Volume 3.
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Genevey,S.2010. Best Pract Res Clin Rheumatol.http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/P
MC2841052 (Diakses tanggal 13 Desember 2015 pukul 17.00)
Jason,C.2015. Lumbar Spinal Stenosis Treatment And Prognosis.http://www.emedicinehealth.
com/spinal_stenosis/page13_em.htm (Diakses tanggal 13 Desember 2015 pukul 17.30)

Anda mungkin juga menyukai