Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Penurunan Kapasitas Adaptif Intrakranial


1. Definisi
NANDA (2015-2017) menyebutkan bahwa stres neurobehavioral
merupakan respons, perilaku yang merefleksikan fungsi saraf dan otak.
Sedangkan penurunan kapasitas adaptif intrakranial adalah mekanisme
dinamika cairan intrakranial yang normalnya melakukan kompensasi
untuk meningkatkan volume intrakranial, mengalami gangguan yang
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (TIK) secara tidak
proporsional dalam berespons terhadap berbagai stimuli yang berbahaya
dan tidak berbahaya.
2. Cairan Serebrospinal
CSS adalah cairan jernih tidak berwarna yang mengalir dalam
ventrikel otak dan ruang subaraknoid otak serta medula spinalis. CSS
berfungsi sebagai penyerap syok cairan, yang melindungi jaringan SSP
yang mudah rusak dari cedera mekanis dengan mengelilingi strukturnya.
Selain itu, CSS berperan dalam pertukaran nutrisi antara plasma dan
kompartemen seluler (Morton, Fontaine, Hudak, & Gallo, 2011).
CSS disekresi oleh pleksus koroideus. CSS terdiri dari air,
elektrolit, gas, oksigen dan karbondioksida yang terlarut, glukosa,
beberapa leukosit (terutama limfosit), dan sedikit protein. CSS akan
bersirkulasi di sekitar otak dan medula spinalis, lalu keluar menuju
sistem vaskuler. Sebagian besar CSS direabsorpsi ke dalam darah melalui
vili araknoidalis. CSS diproduksi dan direabsorpsi terus-menerus dalam
SSP. Volume total CSS diseluruh rongga serebrospinal sekitar 125 ml,
sedangkan kecepatan sekresi pleksus koroideus sekitar 500 sampai 750
ml per hari. Tekanan CSS 130 mmH20 atau 13 mmHg (Muttaqin, 2008).

3. Sirkulasi Serebral
Sirkulasi serebral menerima kira-kira 20% dari curah jantung atau
750 ml/menit. Sirkulasi ini dibutuhkan karena otak tidak menyimpan
makanan sementara kebutuhan metabolismenya tinggi (Batticaca, 2012).
SSP seperti juga jaringan tubuh lainnya sangat bergantung pada
keadekuatan

aliran

darah

untuk

nutrisi

dan

pembuangan

sisa

metabolismenya. Suplai darah arteria ke otak merupakan suatu jalinan


pembuluh darah yang bercabang, berhubungan erat satu dengan yang lain
sehingga dapat menjamin suplai darah yang adekuat untuk sel. Suplai
darah ini dijamin oleh arteria vertebralis dan arteria karotis interna, yang
memiliki cabang yang beranastomosis membentuk sirkulus arteriousus
serebri Willisi.

B. Konsep Cedera Kepala


1. Pengertian Cedera Kepala
Cedera kepala adalah suatu cedera akut pada susunan saraf pusat,
selaput otak, saraf kranial, termasuk fraktur tulang kepala, kerusakan
jaringan lunak pada kepala dan wajah, baik yang langsung (kerusakan
primer)

maupun

tidak

langsung

(kerusakan

sekunder),

yang

menyebabkan gangguan fungsi neurologis berupa gangguan fisik,


kognitif dan fungsi psikososial baik yang bersifat sementara maupun
menetap (Setiawan & Maulida, 2010).
Menurut Brain Injury Assosiation of America (2014), cedera
kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari
luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.

2. Mekanisme Cedera Kepala


1) Cedera akselerasi terjadi jika objek bergerak menghantam kepala
yang tidak bergerak (misal alat pemukul menghantam kepala atau
peluru yang ditembakkan ke kepala).
2) Cedera deselarasi terjadi jika kepala yang bergerak membentur objek
diam, seperti pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala
membentur kaca depan mobil. Cedera akselerasi-deselerasi sering
kali terjadi dalam kasus kecelakaan kendaraan bermotor dan episode
kekerasan karena fisik.
3) Cedera coupcontre coup terjadi jika kepala terbentur, yang
menyebabkan otak bergerak dalam ruang kranial dan dengan kuat
mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan serta area kepala
yang pertama kali terbentur. Cedera tersebut disebut juga cedera
translasional karena benturan dapat berpindah ke area otak yang
berlawanan. Sebagai contoh, apabila seorang pasien dipukul dengan
objek tumpul pada bagian belakang kepalanya, penting untuk
mengkaji apakah terdapat cedera pada lobus frontalis dan lobus
oksipitalis serta serebelum.
4) Cedera rotasional terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak
berputar dalam rongga tengkorak, yang mengakibatkan peregangan
atau robeknya neuron dalam substansia alba serta robeknya
pembuluh darah yang memfiksasi otak dengan bagian dalam rongga
tengkorak (Morton, Fontaine, Hudak, & Gallo, 2011).
3. Klasifikasi Cedera Kepala
Menurut American College of Surgeon Commite on Trauma (2004)
klasifikasi cedera kepala meliputi :
1. Mekanisme
1) Cedera kepala tumpul berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas dan
benturan benda tumpul.
2) Cedera kepala tembus disebabkan luka tembak atau bacok

2. Morfologi
1) Tulang cranial
a. Lesi kulit kepala, umumnya

kulit dan subkutis mampu

meneruskan dan meredam impact yang mengenainya tanpa


menyebabkan kerusakan pada struktur di bawahnya, namun
bila impact terlalu besar dapat menyebabkan SCALP
hematom.
b. Fraktur Tulang Kepala
a) Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis
tunggal atau stellata pada tulang tengkorak yang mengenai
seluruh ketebalan tulang kepala.
b) Fraktur diastesis merupakan fraktur yang terjadi pada
sutura tulang tengkorak yang menyebabkan pelebaran
sutura-sutura tulang kepala.
c) Fraktur kominutif merupakan fraktur tulang kepala yang
memiliki lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur.
d) Fraktur impresi terjadi akibat benturan dengan tenaga
besar yang langsung mengenai tulang kepala sehingga
terjadi penekanan pada duramater.
e) Fraktur basis cranii suatu fraktur yang terjadi pada dasar
tulang yang ditandai dengan ekimosis periorbital (racoon
eyes), ekimosis retro aurikuler (battle sign), kebocoran
cairan serebrospinalis (rhinorea, ortorea) (Hernanta,
2013).
2) Intra cranial
a. Lesi fokal
a) EDH (epidural hematom) adalah hematoma yang terletak
antara duramater dan tulang, biasanya sumber perdarahan
adalah robeknya arteri meningika media, vena diploica,
sinus venosus duralis.

b) SDH (subdural hematom) adalah terkumpulnya darah


antara duramater dan jaringan otak. Terjadi akibat
pecahnya pembuluh darah vena yang terdapat di antara
duramater, perdarahan lambat dan sedikit.
c) ICH (intraserebral hematom) adanya perdarahan yang
terjadi pada jaringan otak biasanya akibat robekan
pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak.
d) SAH (sub araknoid hematom) merupakan pecahnya
pembuluh darah kortikal baik arteri maupun vena dalam
jumlah tertentu akibat trauma yang memasuki ruang
subaraknoid (Muttaqin, 2008).
b. Lesi difus
a) DAI (Diffuse Axonal Injury) ditandai dengan sobeknya
atau terpotongnya akson secara langsung yang memburuk
selama 12 sampai 24 jam pertama karena adanya edema
difus dan lokal.
b) Kontusio serebri adalah gangguan fungsi neurologik
disertai kerusakan jaringan otak tetapi kontinuitas otak
masih utuh, hilangnya kesadaran lebih dari 10 menit.
c) Edema serebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat
trauma kepala.
d) Iskemia serebri terjadi akibat suplai aliran darah ke bagian
otak berkurang atau berhenti.
3. Keparahan
Menurut Rosjidi dan Nurhidayat (2009) pada klasifikasi ini
digunakan skor glasgow coma scale (GCS) untuk menilai deskripsi
beratnya cedera kepala secara kuantitatif.
a. Cedera Kepala Ringan (CKR)
GCS : 13-15, dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia
namun kurang dari 30 menit, tidak ada fraktur tengkorak, tidak
ada kontusio serebral, dan tidak ada hematom.

10

b. Cedera Kepala Sedang (CKS)


GCS : 9-12, terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari
30 menit tetapi kurang dari 24 jam, dapat mengalami fraktur
tengkorak.
c. Cedera Kepala Berat (CKB)
GCS : 3-8, terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari
24 jam, dapat mengalami cedera meliputi kontusio serebral,
laserasi, atau hematom kranial.
4. Patofisiologi Peningkatan Tekanan Intrakranial pada Cedera Kepala
Cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak yang
memicu pelepasan mediator seluler, meliputi sitokin proinflamasi,
prostaglandin, dan komplemen (Ida, 2013). Salah satu mediator seluler
komplemen yaitu anafilatoksin (C3a dan C5a) yang menginduksi
degranulasi sel mast untuk melepaskan histamin. Proses ini juga diikuti
dengan pelepasan sitokin (IL-1, IL-6, dan TNF-) yang bereaksi segera
terhadap respon inflamasi akut. Adanya mediator seluler berupa C3a dan
C5a,

sitokin

dan

prostaglandin

menimbulkan

vasodilatasi

dan

peningkatan permeabilitas vaskuler (Baratawidjaja & Rengganis, 2009).


Perubahan

vaskuler

berupa

meningkatnya

permeabilitas

disebabkan adanya vasodilatasi arteriol dan aliran darah yang bertambah


meningkatkan tekanan hidrostatik intravaskuler dan pergerakan cairan
dari kapiler. Pergerakan cairan ini berasal akibat adanya leukosit
(terutama neutrofil) yang keluar dari aliran darah dan berakumulasi di
sepanjang permukaan endotel pembuluh darah. Setelah menempel pada
endotel, leukosit menyelip diantara sel endotel dan bermigrasi melewati
dinding pembuluh darah menuju jaringan interstisial. Meningkatnya
permeabilitas vaskuler memungkinkan pergerakan cairan kaya protein ke
dalam interstisium. Hilangnya cairan kaya protein ke dalam ruang
perivaskuler menurunkan tekanan osmotik cairan interstisial sehingga
berakibat mengalirnya air dan ion ke dalam jaringan ekstravaskuler dan

11

akumulasi cairan ini disebut dengan edema (Robbins, Cotran, & Kumar,
2007).
Edema otak merupakan akumulasi kelebihan cairan di
intraseluler

atau

ekstraseluler

ruang

otak

yang

mengakibatkan

meningkatnya tekanan intrakranial. Tekanan intrakranial adalah tekanan


dalam ruang tengkorak terdiri atas darah dan pembuluh darah (2-10%),
cairan serebrospinalis (9-11%) dan jaringan otak (s.d 88%) (Tarwoto,
2013). Volume dan tekanan pada ketiga komponen ini selalu
berhubungan dengan keadaan keseimbangan. Hipotesa Monro-Kellie
menyatakan bahwa karena keterbatasan ruang untuk ekspansi di dalam
tengkorak,

adanya

peningkatan

salah

satu

dari

komponen

ini

menyebabkan perubahan pada volume yang lain, dengan mengubah


posisi atau menggeser CSS, meningkatkan absorpsi CSS, atau
menurunkan volume darah serebral. Tanpa adanya perubahan, tekanan
intrakranial akan naik (Smeltzer & Barre, 2001).
Terjadinya peningkatan TIK diikuti dengan respon serebral yaitu
keadaan penyesuaian diri terhadap peningkatan TIK berupa kompensasi
dan dekompensasi. Selama fase kompensasi, otak dan komponennya
dapat mengubah volumenya untuk memungkinkan pengembangan
volume jaringan otak. Selama TIK kurang dari tekanan arteri rerata
(MAP) yang normalnya 60-150 mmHg, maka tekanan perfusi otak (CPP)
yang berkisar 60-100 mmHg dapat dipertahankan. Sedangkan pada fase
dekompensasi

akan

terjadi

bila

otak

sudah

tidak

mampu

mengkompensasi peningkatan tekanan sehingga terjadi perubahan status


mental dan tanda vital bahkan dapat mengakibatkan herniasi (Smeltzer &
Barre, 2001). Herniasi terjadi akibat bergesernya struktur serebral di
dalam kranium karena tekanan yang tinggi dengan ditandai adanya triad
cushing yaitu peningkatan tekanan darah sistolik, penurunan frekuensi
jantung, dan pola napas tidak teratur (Morton, Fontaine, Hudak, & Gallo,
2011).

12

Terdapat empat sindrom penyimpangan posisi yang umum


meliputi herniasi unkal, tonsilar, sentral (transtentorial), dan herniasi
serebral ke atas. Herniasi unkal sering kali menyebabkan dilatasi pupil
unilateral akibat kompresi saraf kranial ketiga, disertai hemiplegia
kontralateral atau posturing. Herniasi unkal mungkin tidak menyebabkan
perubahan tanda-tanda vital sampai isi otak bergeser lebih lanjut ke
bawah dan menekan batang otak, yang mengakibatkan batang otak
mengalami herniasi melalui foramen magnum. Herniasi tonsilar adalah
kondisi penyimpangan posisi ke bawah dari tonsil serebral melalui
foramen magnum, yang menyebabkan kompresi taut servikomedular.
Tanda klinis meliputi kehilangan kesadaran dini selama proses,
perubahan pernapasan dan henti napas, paralisis flaksid, dan nyeri leher.
Herniasi sentral dapat disebabkan oleh kompresi dan gangguan aliran
darah ke batang otak, peningkatan TIK kronis, dan tumor pada lobus
frontalis, parietalis, oksipitalis dengan tanda klinis seperti tanda henti
napas sejenak, mendesah, menguap, pupil kecil, posturing dekortikasi
atau deserebrasi (Morton, Fontaine, Hudak, & Gallo, 2011)

13

Gambar 2.1
Cedera kepala

Kerusakan
jaringan otak

Respon
inflamasi
Pengeluaran
histamin
Vasodilatasi &
permeabilitas
vaskuler
meningkat
Cairan kaya
protein, air & ion
berpindah ke
interstisium

Resiko
ketidakefektifan
perfusi jaringan
otak

Edema serebri

Kompensasi
keseimbangan
TIK

Penurunan
kapasitas adaptif
intrakranial
Peningkatan
TIK
Perubahan
status mental
& TTV
Herniasi

Respon biologis

Sumber : (Baratawidjaja & Rengganis, 2009; Robbins, Cotran, & Kumar, 2007;
Smeltzer & Barre, 2001; Morton, Fontaine, Hudak, & Gallo, 2011)

14

C. Asuhan Keperawatan Penurunan Kapasitas Adaptif Intrakranial pada Pasien


dengan Cedera Kepala
1. Pengkajian
Tarwoto (2013) menyebutkan pengkajian yang dilakukan pada
pasien dengan cedera kepala meliputi :
1) Data biografi
Identitas pasien seperti nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama,
penanggungjawab pasien, status perkawinan.
2) Riwayat Keperawatan
a. Riwayat medis dan kejadian yang lalu
b. Riwayat kejadian cedera kepala
c. Penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang
3) Pemeriksaan Fisik
Menurut Muttaqin (2008) pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan
secara per sistem (B1-B6) dengan fokus pada B3 (Brain).
Keadaan umum
Pada keadaan cedera kepala umumnya mengalami penurunan
kesadaran dan terjadi perubahan tanda-tanda vital.
B1 (Breathing)
Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradasi dari
perubahan jaringan serebral akibat trauma kepala.
a. Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum,
sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan
frekuensi pernapasan. Ekspansi dada : dinilai penuh/tidak penuh
dan kesimetrisannya, retraksi dari otot-otot interkostal, substernal,
pernapasan abdomen, dan respirasi paradoks (retraksi abdomen
saat inspirasi). Pola napas paradoksal dapat terjadi jika otot-otot
interkostal tidak mampu menggerakkan dinding dada.
b. Palpasi, fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain
akan didapatkan jika melibatkan trauma pada rongga torak.

15

c. Perkusi, adanya suara redup sampai pekak pada keadaan


melibatkan trauma torak/hematorak.
d. Auskultasi, bunyi napas tambahan seperti stridor, ronkhi pada
klien dengan peningkatan produksi sekret, dan kemampuan batuk
yang menurun yang sering didapatkan pada klien cedera kepala
dengan penurunan kesadaran koma.
e. Pada klien cedera kepala berat dan sudah terjadi disfungsi pusat
pernapasan, klien biasanya terpasang ETT dengan ventilator.
B2 (Blood)
Pada

sistem

kardiovaskuler

didapatkan

renjatan

(syok

hipovolemik) yang sering terjadi pada klien cedera kepala sedang dan
berat. Hasil pemeriksaan kardiovaskuler klien cedera kepala pada
beberapa keadaan dapat ditemukan tekanan darah normal atau
berubah, nadi bradikardi, takikardia, dan aritmia. Frekuensi nadi cepat
dan lemah berhubungan dengan homeostasis tubuh dalam upaya
menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer. Nadi bradikardia
merupakan tanda dari perubahan perfusi jaringan otak. Hipotensi
menandakana adanya perubahan perfusi jaringan dan tanda awal syok.
Trauma kepala juga dapat merangsang pelepasan antidiuretik hormon
yang berdampak pada kompensasi tubuh untuk melakukan retensi atau
pengeluaran garam dan air oleh tubulus. Mekanisme ini akan
meningkatkan konsentrasi elektrolit sehingga memberikan resiko
terjadinya gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada sistem
kardiovaskuler.
B3 (Brain)
Cedera kepala menyebabkan defisit neurologis akibat pengaruh
peningkatan tekanan intrakranial yang disebabkan adanya perdarahan
baik bersifat hematom intraserebral, subdural, dan epidural.

16

Pengkajian Tingkat Kesadaran (GCS)


Tabel 2.1 Glasgow Coma Scale
Eye/Mata (E)
Membuka mata spontan

Membuka mata dengan stimulus verbal

Membuka mata dengan rangsang nyeri

Tidak membuka mata

Motorik (M)
Dapat mengikuti perintah

Dapat melokalisasi nyeri

Tidak dapat melokalisasi rangsang nyeri, fleksi menjauhi 4


rangsang nyeri
Dekortikasi (fleksi abnormal)

Deserebrasi (ekstensi abnormal)

Tidak ada respon motoric

Verbal (V)
Orientasi tempat, waktu, dan orang baik

Disorientasi, confuse, tetapi masih dapat berbicara dalam 4


bentuk kalimat
Kata-kata yang tidak nyambung (inappropriate words)

Mengeluarkan suara yang tidak membentuk kata, merintih

Tidak ada respon verbal

Sumber : Glasgow Coma Scale (Muttaqin, 2008)

Pengkajian Fungsi Serebral


a. Status Mental. Observasi penampilan, tingkah laku klien, nilai
gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Klien
cedera kepala tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami
perubahan.

17

b. Fungsi Intelektual. Klien cedera kepala didapatkan penurunan


dalam memori, baik jangka pendek maupun panjang.
c. Lobus Frontal. Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis
didapatkan jika trauma kepala mengakibatkan adanya kerusakan
pada lobus frontal kapasitas, memori, atau kerusakan fungsi
intelektual kortikal yang lebih tinggi. Disfungsi ini dapat
ditunjukkan dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam
pemahaman, lupa dan kurang motivasi, yang menyebabkan klien
menghadapi masalah psikologis.
d. Hemisfer. Cedera kepala hemisfer kanan didapatkan hemiparese
sebelah kiri tubuh, penilaian buruk, dan mempunyai kerentanan
terhadap sisi kolateral sehingga kemungkinan terjatuh ke sisi yang
berlawanan. Cedera kepala hemisfer kiri, mengalami hemiparese
kanan, perilaku lambat dan sangat hati-hati, kelainan bidang
pandang sebelah kanan, disfagia global, afasia dan mudah frustasi.
Pengkajian Saraf Kranial.
a. Saraf

I.

Klien

akan

mengalami

kelainan

pada

fungsi

penciuman/anosmia unilateral atau bilateral akibat rusaknya


anatomis dan fisiologis saraf tersebut.
b. Saraf II. Hematom palpebra pada klien cedera kepala akan
menurunkan lapang pandang dan mengganggu fungsi saraf
optikus. Perdarahan di ruang intrakranial, terutama hemoragia
subaraknoidal, dapat disertai dengan perdarahan di retina.
c. Saraf III, IV, dan VI. Gangguan mengangkat kelopak mata
terutama pada klien dengan trauma yang merusak rongga orbita.
Trauma kepala juga dapat dijumpai anisokoria. Gejala ini harus
dianggap sebagai tanda serius jika midriasis itu tidak bereaksi
pada penyinaran. Paralisis otot okuler akan menyusul pada tahap
berikutnya. Jika pada trauma kepala terdapat anisokoria, bukan
midriasis, melainkan miosis yang bergandengan dengan pupil

18

yang normal pada sisi yang lain, maka pupil yang miotik adalah
abnormal. Miosis ini disebabkan oleh lesi di lobus frontalis
ipsilateral yang mengelola pusat siliospinal sehingga pupil tidak
berdilatasi melainkan berkonstriksi.
d. Saraf V. Cedera kepala menyebabkan paralisis saraf trigeminus,
didapatkan

penurunan

kemampuan

koordinasi

gerakan

mengunyah.
e. Saraf VII. Persepsi pengecapan mengalami perubahan.
f. Saraf VIII. Perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera
kepala ringan biasanya tidak didapatkan apabila trauma yang
terjadi tidak melibatkan saraf vestibulotroklearis.
g. Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan
membuka mulut.
h. Saraf XI. Bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobilitas klien
cukup baik serta tidak ada atrofi otot sternokledomastoideus dan
trapezius.
i. Saraf XII. Indra pengecapan mengalami perubahan.
Pengkajian refleks
Pemeriksaan

refleks

profunda,

pengetukan

pada

tendon,

ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respon normal.


Pemeriksaan refleks patologis, pada fase akut refleks fisiologis sisi
yang lumpuh akan mengilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis
akan muncul kembali didahului dengan refleks patologis.
B4 (Bladder)
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah, dan karakteristik
urine, termasuk berat jenis urin. Penurunan jumlah urin dan
peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi
pada ginjal. Setelah cedera kepala, klien mungkin mengalami
inkontinensia

urin

mengkomunikasikan

karena
kebutuhan,

konfusi,
dan

ketidakmampuan

ketidakmampuan

untuk

19

menggunakan sistem perkemihan karena kerusakan kontrol motorik


dan postural. Kadang kontrol sfingter urinarius eksternal hilang atau
berkurang. Selama periode ini, dilakukan katerisasi intermitten dengan
teknik steril. Inkontinensia urine yang berlanjut menunjukkan
kerusakan neurologis luas.
B5 (Bowel)
Adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual
dan muntah pada fase akut. Mual sampai muntah dihubungkan dengan
peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah
pemenuhan nutrisi.
B6 (Bone)
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada seluruh
ekstremitas. Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan,
kehilangan sensori atau paralise/hemiplegi, mudah lelah menyebabkan
masalah pada pola aktivitas dan istirahat.
4) Pemeriksaan Diagnostik
a. CT-scan. Gambaran cisterna ambiens menghilang merupakan
tanda peningkatan tekanan intrakranial. Pada keadaan akut tanpa
gambaran lesi lain, merupakan suatu brain swelling, tetapi
gambaran yang timbul setelah 24-48 jam merupakan edema otak.
b. MRI.

T1

hipointens

dan

T2

hiperintens,

menunjukkan

peningkatan kandungan air. Peningkatan kandungan air tersebut


paling nyata pada 12-24 jam setelah trauma.
c. Laboratorium seperti hematokrit, trombosit, hemoglobin, masa
protombin, elektrolit (natrium) serta AGD (Japardi, 2004).

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan adalah penilaian klinis tentang respons
manusia terhadap gangguan kesehatan/ proses kehidupan atau kerentanan
respons dari seorang individu. Berdasarkan NANDA (2015) masalah yang

20

muncul pada gangguan koping/toleransi stress neurobehavioral pada


pasien cedera kepala adalah :
1. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial berhubungan dengan
kerusakan serebrovaskuler sekunder adanya trauma atau cedera otak.
2.

Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan


dengan gangguan serebrovaskuler sekunder adanya cedera kepala.

3. Rencana Keperawatan
Menurut Nursing Outcome Classification (NOC) 2015, kriteria
hasil yang sesuai dengan kasus gangguan koping/toleransi stres
neurobehavioral

pada

pasien

cedera

kepala

dengan

diagnosa

keperawatan:
a. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial berhubungan dengan
kerusakan serebrovaskuler sekunder adanya trauma atau cedera otak.
b. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan
dengan gangguan serebrovaskuler sekunder adanya cedera kepala
adalah
a) Status sirkulasi yang membaik ditandai dengan tekanan sistol
dan diastol dalam rentang yang diharapkan 120/80 mmHg, tidak
ada hipertensi ortostatik, tidak ada tanda-tanda peningkatan
tekanan intrakranial <15 mmHg.
b) Kemampuan
berkomunikasi

kognitif
dengan

yang
jelas

membaik
dan

ditandai

sesuai

dengan

kemampuan,

menunjukkan perhatian dan orientasi.


c) Kemampuan sensori dan motorik kranial yang utuh ditandai
dengan tingkat kesadaran yang membaik dan tidak ada gerakan
involunter.
Nursing Interventions Classification (NIC) 2015 menyebutkan
bahwa intervensi yang dapat diberikan pada pasien ialah :
1) Kaji tingkat kesadaran dengan GCS.

21

2) Monitor tekanan intrakranial dan respon neurologi terhadap aktivitas.


3) Pertahankan kepala pada tempat tidur 30-450 dengan posisi leher
tidak menekuk. Sebab pada posisi kepala yang dielevasi akan
mengoptimalkan venous return (aliran balik vena) dari kepala
sehingga akan membantu mengurangi peningkatan TIK.
4) Anjurkan pasien untuk tidak menekuk lututnya/ fleksi, batuk, bersin,
dan mengedan saat BAB.
5) Monitor

peningkatan tekanan intrakranial, seperti nyeri kepala,

muntah proyektil dan papil edema.


6) Monitor tanda-tanda vital.
7) Monitor status respirasi irama, kedalaman pernapasan, PaO2, PaCO2,
dan pH karena dapat menyebabkan vasodilatasi vaskuler dan
menambah TIK.
8) Monitor jumlah drainase CSS.
9) Monitor adanya kejang
10) Lakukan aktivitas keperawatan dan aktivitas pasien seminimal
mungkin.
11) Kolaborasi pemberian diuretik osmotik (manitol) dengan tujuan
menurunkan tekanan intrakranial dengan cara memindahkan cairan
intraseluler ke ruang intravaskuler.
12) Monitor intake dan output cairan dengan foley kateter untuk
mengukur diuresis agar tercapai keseimbangan.
13) Pertahankan suhu tubuh normal.
14) Monitor hasil laboratorium, elektrolit, hematokrit.
15) Monitor status hidrasi : turgor kulit, membran mukosa
16) Restriksi cairan

4. Implementasi
Implementasi merupakan komponen dari proses keperawatan yang
merupakan kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang

22

diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan
keperawatan dilakukan dan diselesaikan (Potter & Perry, 2005).
5. Evaluasi
Evaluasi dari hasil tindakan keperawatan pada pasien cedera kepala
dengan gangguan koping/toleransi stres neurobehavioral berdasarkan
Nursing Outcome Classification (NOC) 2015 adalah menunjukkan
peningkatan kesadaran, kognitif dan fungsi motorik, menunjukkan status
sirkulasi yang baik dan tidak ada peningkatan TIK.

Anda mungkin juga menyukai