Anda di halaman 1dari 14

?????

Meily
dengan terapi sederhana, antibiotik serta operasi khusus
sinusitis.
Kata Kunci : Sinusitis Maksilaris, Penyebab, Gejala,
Pemeriksaan, Penatalaksaan
Pendahuluan
Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan
metabolik ditandai dengan kegagalan system sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang
adekuat ke organ-organ vital tubuh. Hal ini muncul akibat kejadian pada hemostasis tubuh
yang serius seperti, perdarahan yang masif, trauma atau luka bakar yang berat (syok
hipovolemik), infark miokard luas atau emboli paru (syok kardiogenik), sepsis akibat bakteri
yang tak terkontrol (syok septik), tonus vasomotor yang tidak adekuat (syok neurogenic) atau
akibat respons imun.
Etiologi
Syok hipovolemik dapat disebabkan oleh kehilangan volume massive yang
disebabkan oleh: perdarahan gastro intestinal, internal dan eksternal hemoragi, atau kondisi
yang menurunkan volume sirkulasi intravascular atau cairan tubuh lain, intestinal obstruction,
peritonitis, acute pancreatitis, ascites, dehidrasi dari excessive perspiration, diare berat atau
muntah, diabetes insipidus, diuresis, atau intake cairan yang tidak adekuat. Kemungkinan
besar yang dapat mengancam nyawa pada syok hipovolemik berasal dari penurunan volume
darah intravascular, yang menyebabkan penurunan cardiac output dan tidak adekuatnya
perfusi jaringan. Kemudian jaringan yang anoxia mendorong perubahan metabolisme dalam
sel berubah dari aerob menjadi anaerob. Hal ini menyebabkan akumulasi asam laktat yang
menyebabkan asidosis metabolik.

Patofisiologi
Adanya iritasi mukosa usus dan peningkatan volume cairan dirongga usus
menyebabkan klien mengeluh abdomen terasa sakit. Selain karena 2 hal itu, nyeri abdomen
atau kram timbul karena metabolisme karbohidrat oleh bakteri diusus yang menghasilkan gas
H2 dan CO2 yang menimbulkan kembung dan flatus berlebihan. Biasanya pada keadaan ini
klien akan merasa mual bahkan muntah serta nafsu makannya menurun. Karena terjadi
ketidakseimbangan asam-basa dan elektrolit. Bila keadaan ini terus berlanjut dan klien tidak
mau makan maka, akan menimbulkan gangguan nutrisi sehingga klien lemas.
1

Kehilangan cairan dan elektrolit yang berlebihan akan menyebabkan klien terjatuh
dalam keadaan dehidrasi. Yang ditandai dengan berat badan menurun, turgor kulit berkurang,
mata dan ubun-ubun bisa jadi cekung (pada bayi), selaput lendir bibir dan mulut serta kulit
tampak kering. Tubuh yang kehilangan cairan dan elektrolit yang berlebihan membuat cairan
ekstraseluler dan intraseluler menurun. Dimana selain air, tubuh juga kehilangan Na, K dan
Ion Karbonat. Bila keadaan ini berlanjut terus, maka volume darah juga berkurang. Tubuh
mengalami gangguan sirkulasi, perfusi jaringan terganggu dan akhirnya dapat menyebabkan
syok hipovolemik dengan gejala denyut jantung meningkat, nadi cepat tapi kecil, tekanan
darah menurun klien sangat lemah kesadaran menurun.
Akibat lain dari kehilangancairan ekstrasel dan intrasel yang berlebihan, tubuh akan
mengalami asidosis metabolik dimana klien akan tampak pucat dengan pernapasan yang cepat
dan dalam (pernapasan kussamul)
Anamnesa
Informasi riwayat klinis harus diperoleh dari orang yang mengantar pasien ke rumah
sakit, anggota keluarga serta pasoen itu sendiri. Anamnesis dapat mengarahkan pada jenis
syok atau proses patologis tertentu. namun, beberapa temuan seperti perubahan jenis syok
atau proses patologis tertentu. Namun, beberapa temuan seperti perubahan status mental dan
nyeri dada, dapat semata-mata timbul akibat perfusi jaringan yang tidak adekuat dan bukan
merupakan kunci untuk menentukan penyebabnya. Identifikasi jenis syok yang dijumpai akan
membantu menuntun resusitasi awal. Sebagai contoh, riwayat perdarahan, muntah, diare, atau
trauma akan segera segera membuat dokter waspada akan kemungkinan terjadinya syok
hipovolemik dan pentingnya pemberian cairan penambah volume secara cepat. Riwayat
penyakit jantung, terutama dengan gejala dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea, sangat
mengindikasikan adanya syok kardiogenik. Riwayat infeksi, demam atau penggunaan obat
baru dapat mengindikasikan adanya syok distributif.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan umum

Observasi warna pasien.


Cium napas pasien : halitosis dijumpai pada pasien yang sedang sakit.
Lihat dan raba kulit pasien : periksa turgor kulit untuk membuktikan adanya dehidrasi.
Catat temperatur : hipotermia yang dengan mudah terlewatkan, dapat disebabkan
banyak penyakit akut, termasuk overdosis. Jika hipotermia dicurigai, penggunaan
termometer dengan pembacaan suhu terendah sangat diperlukan.

Fungsi sistem kardiovaskular


2

Lesi kardiovaskular yang dapat timbul sebagai keadaan darurat pada pasien sakit
berat yang tidak mungkin memberikan keterangan yang berguna.

Denyut nadi perifer yang tidak teraba atau lambat, atau asimetris menunjukan adanya

hambatan sirkulasi arteri akut atu kronik atau tekanan darah rendah.
Pada denyut nadi yang asimetris pengukuran tekanan darah kedua lengan dan kadang

kala pada kedua kaki perlu dilakukan. Curigai suatu robekan aneurisma.
Volume nadi yang kecil menunjukan obstruksi sirkulasi yang disebabkan oleh

hipotensi.
Perkiraan keadekuatan sirkulasi
Perhatikan frekuensi denyut nadi, tekanan darah, dan perfusi perifer. Pedoman
untuk menentukan perfusi perifer adalah dengan memperhatikan suhu dan warna
ekstremitas yang tidak terpajan dan jyga dengan mengobservasi kecepatan pengisian
kapiler setelah dilakukan penekanan pada ekstermitas sampai pucat dengan satu jari.
Kegagalan srikulasi perifer dapat terjadi baik pada keadaan noemovolemik
(seperti pada syok bakteremi) atau hipovolemik akibat kehilangan atau perembesan
darah, serum, atau cairan tubuh lainnya. Ketidak adekuatan sirkulasi yang akut secara
menyeluruh biasanya menimbulkan tanda-tanda klinis syok antara lain konstriksi
vena, peningkatan frekuensi denyut nadi, pengurangan volume nadi, pucat sianosis,
hipotensi, berkeringat (syok sistemik mungkin disertai kulit kering yang terasa
hangat), sesak napas, haus, dilatasi pupil, disorientasi, koma.
Syok yang membuat pasien tidak mampu memberikan keterangan tentang riwayat
penyakitnya biasanya menimbulkan manifestasi kardiovaskuler utama dan hasil akhir
syok apapun penyebabnya adalah penurunan curah jantung dan/atau aliran darah
perifer yang menyebabkan ketidakadekuatan sirkulasi.

Dengarkan bunyi jantung, bunyi tambahan, dan murmur.


Parameter klinis pada diagnosis syok

Frekuensi denyut jantung : takikardia (FDJ >100 pada orang tidak hamil) terjadi pada

sebagian passien dengan syok


Tekanan darah : hipotensi (TD sistolik sewaktu <90) adalah tanda syok yang timbul
belakangan. Pada syok tahap dini, TD dapat meningkat sementara. Pemeriksaan,
khususnya dengan manset TD standar, menjadi kurang akurat pada keadaan syok.

Jarak antara sistolik dan diastolik yang sempit dapat terjadi pada syok hipovolemik.
Indeks syok : frekuensi denyut jantung/tekanan darah sistolik. Suatu indeks sebesar
>0,9 adalah suatu indikator yang lebih sensitif ketimbang tekanan darah atau frekuensi
denyut jantung saja.
3

Pulsus paradoksus : selisih yang besar pada tekanan darah saat bernapas (>10 mmHg)

dapat menunjukkan adanya syok obstruktif (misal, tamponade jantung)


Pernapasan frekuensi napas yang tinggi (>24/menit) maupun rendah (<12/menit) dapat

menunjukkan keadaan syok, sepertihalnya pernapasan yang dangkal atau dalam.


Tanda di kulit : kulit yang dingin dan lembab sering menjadi suatu indikator keadaan
syok meskipun pada keadaan syok distributif tertentu tertentu, kulit dapat terasa
hangat dan kering (syok neurogenik dan septik awal). Keterlambatan pengisian kapiler

(>2 detik) adalah tanda lain syok.


Keluaran urine : sering kali berkurang (<30 ml/jam) pada keadaan syok.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium awal yang sebaiknya dilakukan antara lain: analisis
Complete Blood Count (CBC), kadar elektrolit (Na, K, Cl, HCO3, BUN, kreatinin, kadar
glukosa), PT, APTT, AGD, urinalisis (pada pasien yang mengalami trauma), dan tes
kehamilan. Darah sebaiknya ditentukan tipenya dan dilakukan pencocokan.
Pasien dengan hipotensi dan/atau kondisi tidak stabil harus pertama kali diresusitasi
secara adekuat. Penanganan ini lebih utama daripada pemeriksaan radiologi dan menjadi
intervensi segera dan membawa pasien cepat ke ruang operasi. Langkah diagnosis pasien
dengan trauma, dan tanda serta gejala hipovolemia langsung dapat ditemukan kehilangan
darah pada sumber perdarahan.

Diagnosis Kerja
Syok Hipovolemik ec GED
Syok hipovolemik disebabkan oleh volume darah yang rendah (volume sekuncup
turun) yang disebabkan oleh perdarahan atau dehidrasi.
Diagnosis Banding
Syok Kardiogenik??
Syok kardiogenik disebabkan oleh penurunan kontraktilitas miokardium (MI) masif.
Gangguan irama juga dapat menyebabkan syok. Dengan menurun frekuensi jantung,
bradikardia langsung menurunkan cardiac output dan kemungkinan juga tekanan darah.
Meskipun takikardia adalah frekuensi jantung yang meninggi, efek ini mungkin lebih kecil
daripada akan dikalahkan oleh penurunan volume sekuncup yang cukup besar untuk
menurunkan volume sekuncup sehingga menyebabkan hipotensi. Takikardi mungkin tidak
4

memberi cukup waktu untuk pengisian distolik atau perfusi miokardium. Dengan demikian,
disaritmia dapat menyebabkan syok, tetapi istilah kardiogenik biasanya menyatakan
kegagalan pompa akibat MI masif.
Pasien MI akut datang dengan keluhan tipikal nyeri dada yang akut, dan kemungkinan
sudah mempunyai riwayat penyakit jantung koroner sebelumnya.
Pada pemeriksaan awal hemodinamik akan ditemukan tekanan darah sistolik yang
menurun sampai < 90 mmHg, bahkan turun sampai < 80 mmHgpada pasien yang tidak
memperoleh pengobatan adekuat. Frekuensi pernafasan biasanya meningkat. Pada
pemeriksaan dada akan menunjukan adanya ronki. Terdapat vene-vena di leher meningkat
distensinya. Sianosis dan ekstremitas yang teraba dingin.
Pada pemeriksaan elektrokardiografi menunjukkan elevasi ST; foto rontgen
menunjukkan kardiomegali dan tanda kongesti paru atau edema paru pada gagal ventrikel kiri
yang berat; pada pemantauan hemodinamik pasien syok kardiogenik akibat gagal ventrikel
kiri yang berat, akan terjadi peningkatan tekanan baji paru begitu sebaliknya apabila gagal
pada ventrikel kanan maka tekanan baji paru normal atau rendah;
Penatalaksanaannya adalah : ????
Syok Septik
Syok sepsis termasuk dalam syok distributif. Syok distributif disebabkan oleh
hilangnya tonus arteri yang normal (resistensi pembuluh arteri perifer atau PVR) sehingga
darah tidak dapat terdistribusi ke seluruh tubuh.
Syok septik merupakan keadaan dimana terjadi penurunan tekanan darah (tekanan
darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 40
mmHg) disertai tanda kegagalan sirkulasi, meskipun telah dilakukan resusitasi cairan secara
adekuat atau memerlukan vasepresor untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ.
Syok septik merupakan kegawatdaruratan yang memerlukan penanganansegera oleh karena
semakin cepat syok dapat teratasi, akan meningkatkan keberhasilan pengobatan dan
menurunkan risiko kegagalan organ dan kematian.

Manifestasi klinis
Ketika mekanisme kompensasi gagal, syok hipovolemik terjadi pada rangkaian
keadaan antara lain penurunan volume cairan intravascular, pengurangan venous return yang
menyebabkan penurunan preload dan stroke volume, penurunan cardiac output, penurunan
5

Mean Arterial Pressure (MAP), kerusakan perfusi jaringan, penurunan oksigen dan
pengiriman nutrisi ke sel, kegagalan multisistem organ
Secara khas, riwayat pasien meliputi kondisi-kondisi yang menyebabkan penurunan
volume darah, seperti gastrointestinal hemoragi, trauma, diare berat dan muntah. Pengkajian
yang didapatkan meliputi: kulit pucat, penurunan sensori, pernafasan cepat dan dangkal, urin
output kkurang dari 25ml/jam, kulit teraba dingin, clammy skin, MAP dibawah 60 mm Hg
dan nadi melemah, penurunan CVP, penurunan tekanan atrial kanan, penurunan PAWP, dan
penurunan cardiac output. Indikasi parameter pada pemeriksaan/ pengkajian dalam
mengestimasi kehilangan volume cairan:

Gambar 1. Manifestasi Klinis Syok??

Penatalaksanaan
Survei primer
Ketika survei dilakukan upaya terapeutik penting resusitasi dimulai. Pada saat yang sama,
tanda berbagai keadaan syok diungkap dan petunjuk untuk diagnosis penyakit yang mendasari
dapat diperoleh. Meskipun diagnosis deefinitifseringkali tidak dibuat di awaql, upaya
resusitasi hampir selalu dapat diarahkan pada suatu golongan syok tertentu. Jika masalah
dijumpai pada survei primer, hal tersebut harus ditangani secepatnya.
o Airway ( jalan napas)
Dokter mengamati tingkat kesadaran, adanya ngiler atau sekresi, benda asing,
luka bakar di wajah, karbon dalam septum, mempalpasi adanya deformitas di wajah
atau leher dan memeriksaadanya refleks muntah (gag refleks), dan mendengarkan
adanya suara serak atau stridor.
6

Penanganan jalan napas pada survei primer dapat dilakukan hanya dengan
memposisikan jalan napas dengan manuever pengangkatan dagu atau mendorong
rahang. Penangabab tersebut juga mencakup penempatan alat bantu jalan napas oral
atau nasofaring dan pemberian okeisgen tambahan.
o Breathing (pernapasan)
Untuk menilai keadekuatan sistem pernapasan, dokter mengamati tanda-tanda
deviasi trakea, pembesaran vena jugularis, tanda kussmaul (keningkatan JVD pada
inspirasi), kesulitan napas. Mempalpasi adanya krepitasi tulang, udara subkutan atau
nyeri tekan. Mengauskultasi untuk mengetahui adanya udara yang masuk,
kesimetrisan, bunyi napas tambahan (rongki, mengi, atau gesekan). Melakukan
perkusi, jika perlu, untuk mengetahui adanya hiperresonasi atau bunyi pekak pada
kedua sisi. Intervensi yang mungkin dilakukan saat fase pernapasan survei primer
adalah ventilasi dengan bag-valve-mask.
o Circulation (sirkulasi)
Untuk menilai sirkulasi, dokter mempalpasi frekuen, keteraturan irama, kontur
dan kekuatan denyut nadi harus diperiksa di keempat ekstremitas dan jika tidak teraba,
palpasi denyut nadi sentral.mempalpasi suhu tubuh dan kelembapan kulit serta
pengisian kapiler di ekstremitas. Mengamati tanda-tanda perdarahan. Mengukur
tekanan darah, jarak antara sistol dan diastol. Mengauskultasi perikardium untuk lebih
jelas mendengar bunyi jantung. Takikardi sinus, hipotensi, ekstremitas dingin dan
pucat merupakan implikasi diagnostik syok hipovolemik.
Intervensi saat fase sirkulasi pada survei primer mencakup pemasangan monitor
oksimeter untuk denyut jantung serta pemasangan infus ke pembuluh darah.
o Disability (disabilitas)
Disabilitas menggambarkan penilaian status neurologis pada survey primer.

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Menilai tingkat kesadaran dengan menggunakan skala koma Glasgow.


Membuka mata
motorik
verbal
Tidak ada
tidak bergerak
tidak bersuara
Dengan rangsang nyeri
postur desebrasi
mengerang
Dengan perintah
postur dekortikasi
berupa kata-kata
Spontan
usaha menghindar rangsang nyeri
kebingungan
mempu melokalisasi nyeri
terorientasi
bergerak dengan perintah
Skor minimum : 3 (koma berat); skor maksimum : 15
Mengamati ukuran dan kesimetrisan pupil serta reaksinya terhadap cahaya, dan
mengamati keempat ekstermitas untuk melihat pergerakan kasarnya. Intervensi saat
fase disabilitas pada survey primer seriong kali terbatas pada jalan napas, pernapasan

sirkulasi, karena semua hal tersebut mempengaruhi fungsi neurologis.


o Exposure (pajanan)
7

Dokter harus memajankan seluruh area permukaan tubuh pasien. Melakukan


inspeksi dan mempalpasi punggung untuk melihat adanya kelainan. Perhatikan adanya
bau

tertentu

pada

tubuh

pasien,

mengukur

suhu

rektum.

Temuan

hipertermia/hipotermia kemungkiann arti diagnostik hipovolemik (dehidrasi berat).


Intervensi terpenting saat fase pemajanan pada survey primer sering kali berupa
pengukuran suhu dan pemeliharaan suhu tubuh normal (eutermia).
Fase resusitasi
o Anamnesis
o Evaluasi diagnostik di tempat
Survei sekunder
Seiring dengan bertambahnya keparahan keadaan dan gambaran klinis pasien,
kepentingan relatif pemeriksaan fisik juga menjadi bertambah. Oleh karena itu, baik survey
primer maupun sekunder pada resusitasi terutama diarahkan pada temuan fisik. Terdapat
sejumlah hal yang tumpah tindih pada pemeriksaan tersebut selama survey primer dan
sekunder, tetapi survei sekunder cenderung mengungkapkan temuan-temuan yang mungkin
terlewatkan kecuali jika hal tersebut dengan sengaja dicari.
Secara singkat, survei sekunder adalah suatu pemeriksaan fisik yang lengkap dan
harus dilakukan. Begitu upaya resusitasi mulai berjalan, setiap pasien yang sakit kritis harus
menjalani pemeriksaan tersebut.
Fase perawatan definitif
Fase perawatan definitif pasien yang diresusitasi dapat dimulai di IGD dan berlanjut
pada berbagai bentuk rawat inap lainnya. mungkin dibutuhkan pemindahan pasien ke fasilitas
lain untuk perawatan khusus.
Arti penting keluarga pasien yang sakit kritis tidak boleh dilupakan. Sejumlah besar
pasien yang memerlukan resusitasi ekstensif di IGD mungkin sebelumnya berada dalam
keadaan sehat. Dokter gawat darurat dan anggota lain dari tim resusitasi primer (perawat,
layanan sosial) bertanggungjawab meluangkan waktu mereka untuk keluarga pasien secepat
mungkin.
Penatalaksanaan Terapi cairan
Pemberian cairan merupakan pengobatan utama pada penderita dengan kekurangan
cairan tubuh, karena dengan pemberian cairan dapat mecegah dan menghindari keadaan syok
hipovolemik dan asidosis bahkan kematian.
Diperlukan perhitungan dan pemikiran secara cermat agar cairan yang diberikan
sesuai dengan kebutuhan. Untuk itu perlu dipikirkan : 1) Tingkat dehidrasi, 2) Macam cairan
yang perlukan, 3) Cara-cara pemberian, 4) Monitoring dalam pemberian cairan.
8

Tingkat Dehidrasi
Untuk menilai derajat Dehidrasi (kekurangan cairan) dapat digunakan skor WHO
dibawah ini:
Tabel 1. Derajat Dehidrasi???
SKOR
Dehidrasi

Dehidrasi

Dehidrasi

Ringan (5%)

Sedang (5-10%)

Berat (> 10%)

Yang dinilai

Keadaan umum

Baik, kompos mentis

Gelisah, rewel, lesu

Letargi, tak sadar

Mata cekung, kering

Normal

Cekung

Sangat cekung

Air mata

Ada

Kering

Kering sekali

Kering

Sangat kering, pecahpecah

Mulut
kering

atau

lidah Lembab

Haus

Minum normal

Haus

Tak bisa minum

Turgor

Baik

Jelek

Sangat jelek

Nadi

Normal

Cepat

Cepat sekali

Tekanan darah

Normal

Turun

Turun sekali

Air kemih

Normal

Kurang, oliguri

Kurang sekali

Skor: 6

: tanpa dehidrasi

7 12

: dehidrasi ringan-sedang

13

: dehidrasi berat

Dengan dasar pemeriksaan di atas maka estimasi jumlah cairan yang hilang dapat dihitung
berdasarkan prosentase berat badan. Sedangkan cara pengukuran tingkat dehidrasi seseorang
berdasarkan Berat Jenis Plasma adalah sebagai berikut :
Berat jenis plasma 1,025
x berat badan x 4 cc
0,001
Dehidrasi berat : BJ plasma 1,032-1,040
9

Dehidrasi sedang : BJ plasma 1,028-1,032


Dehidrasi ringan : BJ plasma 1,025-1,028
Pemeriksaan lain yang dapat membantu adalah pemeriksaan Berat Jenis Urine,
Hematokrit dan pemeriksaan elektrolit darah. Dalam keadaan dehidrasi Berat Jenis urine dan
Hematokrit akan mengalami kenaikan.
Selain dilakukan pengukuran-pengukuran di atas, diperlukan pula anamnese terhadap
penderita atau keluarga penderita untuk mengetahui beberapa lama penderita telah sakit,
berapa banyak muntah-muntah, berak-berak dan pendarahan yang terjadi.
Macam Cairan Rehidrasi
Cairan Rehidrasi Oral
Cairan rehidrasi ini secara umum dikenal dengan nama oralit atau larutan garam gula.
Cairan ini dapat diberikan dengan cara diminum atau melalui pipa nasogastrik, selama
penderita masih sadar dan mampu untuk melakukan cara ini. Kesadaran di sini diperlukan
untuk menghindari terjadinya aspirasi. Selain itu diperlukan pula bebasnya tractus digetivus
tanpa adanya sumbatan. Cairan ini mudah didapat dan diberikan, tidak perlu steril. Cairan ini
diberikan dalam keadaan hangat dengan jumlah 1,5 kali jumlah defisit cairan penderita.
Cairan Rehidrasi Infus
Cairan ini diberikan secara intravena untuk menanggulangi secara cepat defisit cairan
tubuh. Sekarang sudah banyak macam cairan yang dihasilkan, akan tetapi hanya beberapa
macam cairan saja yang dapat digunakan untuk menanggulangi keadaan darurat. Macam
cairan yang banyak digunakan antara lain : a. Cairan non koloid / cairan kristaloid b. Cairan
koloid seperti Plasma Expander c. Darah
Sedangkan cairan Dextrose sedikit atau bahkan jarang digunakan untuk rehidrasi
secara cepat pada keadaan darurat, sebab cairan yang ada dalam larutan D5% atau D 10%
akan cepat keluar dari ruang intravasculer setelah kandungan Dextrosenya hilang
dimetabolisir oleh tubuh. Sehingga volume intravasculer tidak dapat dipertahankan stabil
dalam waktu yang agak lama. Dan juga cairan Dextrose ini tidak mengandung elektrolit
sehingga tidak dapat mensubstitusi kekurangan elektrolit yang menyertai dehidrasi tersebut.
Cairan Non Koloidal / Kristaloid seperti Ringer Laktat, Ringer Asetat (Asering)dan
NaCl komposisinya mirip dengan cairan extraseluler, sehingga cairan ini yang paling baik
untuk menanggulangi dehidrasi secara cepat terutama dehidrasi oleh karena pendarahan,
10

gastroenteritis / kholera dan sebagainya. Apabila diberikan dalam waktu singkat sebagian
cairan kristaloid tersebut akan keluar dari ruang intravaskuler. Sebagian yang tinggal dalam
ruang intravaskuler cukup untuk memperbaiki haemodinamik dalam waktu relatif lama.
Meskipun pemberian cairan elektrolit secara infus diikuti perembesan cairan dari
ruang intravasculer ke ruang interstitiel, namun pada akhirnya perembesan akan berhenti
setelah tercapai keseimbangan dengan kejenuhan interstitiel fluid.
Cairan koloid mengandung molekul-molekul yang besar yang berfungsi seperti
albumin dalam plasma. Sebagian besar volume koloid yang diberikan akan tinggal dalam
waktu yang cukup lama dalam ruang intravasculer dan sebagian kecil mengadakan expansi
keluar dari ruang intravasculer mengisi ruang interstitiel. Pemakaian cairan koloid seperti
plasma expander harus hati-hati, sebab dapat menyebabkan gangguan proses pembekuan pada
dosis lebih dari 10 15 ml/kg Berat Badan.
Cara Pemberian Cairan
Pada metode Pierce berdasarkan klinis :
Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan = 5% x berat badan (kg)
Dehidrasi sedang, kebutuhan cairan = 8% x berat badan (kg)
Dehidrasi berat, kebutuhan cairan = 10% x berat badan (kg)
Penambahan cairan dari luar akan didistribusikan merata ke seluruh bagian tubuh baik
ekstraseluler maupun intraseluler tergantung macam cairan yang diberikan. Pemberian cairan
ini harus tepat benar atau mendekati dalam keseimbangan, sehingga dalam tubuh tidak terjadi
kekurangan maupun kelebihan cairan. Kelebihan cairan pada tingkat sekuler juga dapat
membahayakan dengan gejala-gejala keracunan air atau pembengkakan pada bagian-bagian
tubuh tertentu.
Berdasarkan derajat dehidrasi dapat ditentukan besarnya cairan tubuh yang hilang.
Misalnya pada penderita dengan berat badan 50 kg dan defisit cairan 8%, maka jumlah cairan
yang hilang = 8% X 50L = 4L. sehingga jumlah cairan yang diberikan dapat seluruh defisit
atau hanya 2/3 bagian saja berdasarkan keadaan penderita.
Kecepatan infus tergantung keadaan klinis penderita, termasuk tingkat dehidrasi dan
keadaan jantung penderita. Misalnya pada penderita dehidrasi dengan gangguan fungsi
jantung, tetesan infus tidak boleh terlalu cepat dan juga diperlukan pengawasan dengan
menggunakan pengukuran tekanan vena sentral.

11

Pada keadaan dehidrasi ringan atau sedang, sejumlah cairan defisit dapat diberikan
secara dibagi rata dalam waktu 24 jam pertama sambil diawasi perubahan gejala klinis yang
terjadi, perubahan haematokrit, plasma elektrolit dan perubahan tekanan vena sentral.
Selain sejumlah cairan defisit yang diberikan, diperlukan pula cairan tambahan
kebutuhan dasar tubuh (maintenance/rumatan) untuk mengatasi cairan yang hilang selama
dilakukan terapi, yaitu 2 cc/KgBB/jam. Dan juga elektrolit-elektrolit yang dibutuhkan sesuai
dengan hasil pemeriksaan laboratorium.(Kebutuhan K 1 Meq/Kg BB/HR, Na 2 Meq/Kg
BB/HR) Sedangkan pemberian cairan pada penderita dengan perdarahan, harus ditentukan
lebih dahulu perkiraan jumlah darah keluar. Perkiraan ini dapat ditentukan berdasarkan
Trauma Status dari Giesecke.
Estimated Blood Volume (perkiraan Jumlah darah) = 6570 ml/KgBB Prinsip-prinsip
pemberian cairan pada perdarahan : Perdarahan kurang dari 10% EBV tidak diperlukan cairan
secara parenteral. Perdarahan antara 10% - 15% volume darah diganti dengan cairan kristaloid
(Ringer Laktat, Ringer Asetat /Asering, dan NaCl) dengan volume 2,54 kali jumlah darah
yang hilang. Perdarahan antara 15% - 20% volume darah diganti dengan cairan koloid
sejumlah darah yang hilang. Perdarahan lebih dari 20% volume darah diganti dengan darah
sesuai dengan darah yang hilang. Setiap pemberian cairan pengganti perdarahan, pertama kali
yang diberikan adalah Kristaloid lebih dahulu baru kemudian sisa perdarahan diganti dengan
koloid dan darah sesuai procentase darah yang hilang
Pa CO2 menurun Sangat rendah Blood Loss % E B V Sampai 10% Sampai 30 %
Lebih 50% Estimated Blood Volume (perkiraan Jumlah darah) = 6570 ml/KgBB Prinsipprinsip pemberian cairan pada perdarahan : Perdarahan kurang dari 10% EBV tidak
diperlukan cairan secara parenteral. Perdarahan antara 10% - 15% volume darah diganti
dengan cairan kristaloid (Ringer Laktat, Ringer Asetat /Asering, dan NaCl) dengan volume
2,54 kali jumlah darah yang hilang. Perdarahan antara 15% - 20% volume darah diganti
dengan cairan koloid sejumlah darah yang hilang. Perdarahan lebih dari 20% volume darah
diganti dengan darah sesuai dengan darah yang hilang. Setiap pemberian cairan pengganti
perdarahan, pertama kali yang diberikan adalah Kristaloid lebih dahulu baru kemudian sisa
perdarahan diganti dengan koloid dan darah sesuai procentase darah yang hilang. Misal
penderita dengan perdarahan sebanyak 25% dari perkiraan jumlah darah, maka penggantinya
adalah sebagai berikut : Perdarahan yang 15% dari perkiraan jumlah darah diganti dengan
cairan kristaloid sebanyak 2,5 4 kali dari jumlah perdarahan

12

Perdarahan yang 5% dari perkiraan jumlah darah diganti dengan cairan koloid
sebanyak jumlah perdarahan yang terjadi. Perdarahan yang 5% dari perkiraan jumlah darah
diganti dengan sejumlah perdarahan yang terjadi.
Cara pemberian berurutan dimulai dengan kristaloid dan terakhir darah, apabila diperlukan
dapat diberikan bersamaan dengan jalur infus lebih dari satu.
Monitoring dalam Pemberian Cairan
Untuk menjaga agar supaya pemberian cairan ini tidak mengalami kelebihan atau
masih kekurangan cairan diperlukan monitoring yang ketat, meliputi : a. Perubahan gejala
klinis yang mencerminkan fungsi susunan saraf pusat, misalnya : Kesadaran, Aktivitas, Reflek
tendon.
Perubahan sistem kardiovasculer, meliputi : Nadi Tekanan darah : Systole, diastole dan
Mean Arterial Pressure (MAP = Diastole + 1/3 (systolediastole)). MAP di sini dihubungkan
dengan dilakukannya Tilt Test yaitu dengan melihat perbedaan MAP pada posisi terlentang
dengan posisi antitrendelenberg. Apabila perbedaan ini lebih dari 10 mmHg menunjukkan
masih adanya defisit sekitar 1000 ml. Hilangnya kolaps vena perifer. c. Perubahan turgor,
mucosa lidah dan sebagainya. d. Perubahan produksi urine dan berat jenis urine. e. Perubahan
hasil pengukuran tekanan vena sentral. f. Perubahan-perubahan haematokrit, elektrolit dan
lain sebagainya.

Dehidrasi adalah keadaan dimana tubuh kekurangan cairan atau elektrolit dan dapat
membahayakan atau dapat mengganggu fungsi organ, sehingga diperlukan sejumlah cairan
untuk mengatasinya.
Dehidrasi menurut Golongan:
1. Dehidrasi ringan : kehilangan cairan 5% dari penurunan BB
2. Dehidrasi sedang : kehilangan cairan 5% - 10% dari penurunan BB
Dehidrasi berat : kehilangan cairan >10% dari penurunan BB
Dehidrasi menurut Tipe:
1. Dehidrasi isotonik :kekurangan air lebih dominan dibanding kekurangan elektrolit.

13

2. Dehidrasi hipertonik :kekurangan elektrolit lebih dominan dibanding kekurangan.


3. Dehidrasi hipotonik :kehilangan sejumlah elektrolit melebihi kehilangan cairan.

Prognosis1,6

Penutupan
Daftar pustaka
1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajak ilmu kesehatan telinga
hidung tenggorok kepala dan leher. Ed 6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2009. h. 3-5, 145-151.
2. Lindbakc M, Hickner JM. Ear nose and throat problems. In; Jones R, britten N, Culpepper
L, Grol R, Mant D, Silagy C, et al, editors. Oxford textbook of primary medical care. 2nd
volume. New York; Oxford University, 2005; p.724-7.
3. Beach J. Sinusitis. In: Buttaro TM, Trybulski J. Bailey PP, Cook JS, editors. Primary care:
a collaborative practice (Third Edition)
4. HTA Indonesia. Functional endoscopic sinus surgery di Indonesia [homepage on the
Internet]. 2006 [cited 16 Maret 2014]. Available from: http://buk.depkes.go.id/index.php.
5. Carlton RR, Adler AM. Workbook for Carlton/Adlers Principles of Radiographic Imaging.
5th Ed. Delmar Cengage Learning. 2012. P. 215-22
6. Adams GL. Boies: buku ajar penyakit THT. Ed 6. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. 2013.h.
240-257.

14

Anda mungkin juga menyukai