Anda di halaman 1dari 6

KONTROL POSISI AKTUATOR PNEUMATIK

DENGAN KATUP ON/OFF SECARA PWM


Roche Alimin
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri
Universitas Kristen Petra
Jl. Siwalankerto 142-144, 60236
ralimin@peter.petra.ac.id
Abstrak
Gerakan pada aktuator pneumatik pada umumnya hanya dapat berhenti pada kedua ujung terminalnya. Dengan
tujuan melebarkan aplikasi dari sistem pneumatik maka pada penelitian ini dikembangkan sistem kontrol yang memampukan
sebuah aktuator pneumatik untuk dapat berhenti pada setiap posisi sepanjang langkahnya.
Katup solenoid on-off 3/2 dengan sinyal PWM diuji coba untuk digunakan menggantikan katup servo proporsional
dengan pertimbangan lebih ekonomis. Sedangkan algoritma kontrol yang diujicoba adalah Kontrol Konvensional dan
Kontrol Fuzzy.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa periode PWM yang terjadi masih cukup besar dan efek pegas udara
bertekanan pada sistem pneumatik menghalangi penerapan Kontrol Konvensional (PID) untuk dapat bekerja dengan baik.
Sedangkan penggunaan Kontrol Fuzzy menghasilkan nilai steady state error yang cukup baik (dengan angka maksimal 1
quanta level pembacaan encoder).
Keywords: Kontrol pneumatik, kontrol posisi, PWM

1. PENDAHULUAN
Aktuator pneumatik menawarkan beberapa
keuntungan untuk aplikasi-aplikasi di industri
manufaktur, antara lain karena gerakannya yang
cepat dan murah jika dibandingkan dengan jenis
lainnya, seperti hidraulik atau motor listrik. Secara
umum, untuk gerak linier, aktuator dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
aktuator linier pneumatik, aktuator linier hidraulik
dan motor listrik linier. Masing-masing jenis aktuator
linier tersebut mempunyai kekurangan dan kelebihan.
Sayangnya kelebihan aktuator linier pneumatik yang
cukup menonjol, yaitu kemampuan gerak liniernya
yang cepat, tidak diimbangi dengan kemampuan
untuk berhenti pada setiap posisi geraknya. Aktuator
linier pneumatik hanya dapat berhenti pada kedua
ujung (endpoint)-nya. Sehingga sistem kontrol yang
umum digunakan adalah Bang-bang. Sedangkan
untuk dapat berhenti pada setiap posisi gerakannya
dibutuhkan sistem kontrol yang lebih ekstra, yaitu
sistem kontrol umpan balik dengan menggunakan
katup proporsional (Maeda, 1999; Situm, 2001; Shu
Ning, 2002; Khayati, 2004, Parnichkun, 2001).
Tetapi karena desain dari katup ini sendiri sangat
komplek maka harganya sangat mahal, dan sebagai
alternatif lain yang lebih murah adalah dengan
mengfungsikan dua buah katup on/off sebagai ganti
katup servo proporsional. Harga satu buah katup
tersebut hanya sekitar 15% dari katup proporsional.
[sumber: Festo]
Penggunaan dua buah katup on/off 3/2
dimungkinkan apabila sinyal input untuk katup
tersebut berupa sinyal PWM (Pulse Width

Modulation), serta kedua katup tersebut diatur


dengan fase saling berlawanan.
Akibat sulitnya memodelkan sistem pneumatik
maka untuk algoritma kontrolnya, penggunaan
kontrol fuzzy logic masih merupakan solusi yang
diunggulkan dalam penelitian ini. Hal ini disebabkan
kontrol fuzzy logic tidak bergantung pada model
matematika sistem tetapi lebih didasarkan pada
logika pengalaman, seperti penentuan jumlah input
membership function, bentuk membership function
dan rule base yang akan dipakai.
2. METODOLOGI PENELITIAN
2.1 Gambaran Sistem Percobaan
Kontrol posisi aktuator pneumatik sedikitnya
membutuhkan beberapa komponen inti, seperti unit
sensor, unit penguat dan unit kontroler. Pada gambar
berikut ini adalah skema rangkaian dari komponenkomponen inti tersebut.
Posisi
Target

Unit Kontroler

Unit Penguat

Aktuator
Pneumatik

Posisi
Aktual

Unit Sensor

Gambar 1. Skema Rangkaian Dasar Sistem


Kontrol Umpan Balik Aktuator
Pneumatik
Sistem kontrol umpan balik mutlak diperlukan
untuk keperluan ini. Sinyal umpan balik dari unit
sensor akan dibandingkan dengan sinyal target oleh
unit kontroler. Seterusnya sinyal tersebut akan
dikondisikan dan dikuatkan sebelum akhirnya sampai

227

pada katup pneumatik untuk mengatur gerakan


aktuator pneumatik.
Berdasarkan rangkaian pneumatik umpan balik
seperti pada gambar di atas, maka untuk tujuan
pengontrolan posisi aktuator pneumatik linier dengan
penggunaan katup solenoid on/off 3/2, dapat
dirangkai sistem pneumatik seperti pada gambar
berikut ini.

serta interface
konvensional.
2.2

Cara Kerja
Percobaan

konstanta-konstanta
dan

Spesifikasi

kontrol
Sistem

Secara ringkas cara kerja dan spesifikasi sistem


pneumatik yang dirancang (seperti pada gambar di
atas) adalah sebagai berikut: Sebuah silinder aksi
ganda jenis rodless (1), dengan panjang 500 mm,
digunakan sebagai aktuator pneumatik yang akan
diatur pergerakaannya (posisi). Gambar dari silinder
tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 3. Tipe Silinder Pneuamtik Aksi Ganda yang


Digunakan, Rodless
Sumber :
http://www.festo.com/INetDomino/31171c.htm
Gambar 2. Skema Rangkaian Sistem Pneumatik
Umpan Balik
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Keterangan nomor:
Silinder pneumatik aksi ganda rodless
Katup kontrol aliran satu arah
Katup on/off solenoid 3/2
Sumber dan pengatur udara bertekanan
Potensiometer linier
Unit sensor
Unit kontroler dan unit penguat
Alat ukur tekanan

Beberapa kondisi dan kerja yang harus dilakukan


agar sistem pneumatik umpan balik seperti pada
gambar di atas dapat berjalan adalah sebagai berikut:

Terdapat sensor posisi yang dilengkapi dengan


unit antar muka (interface) yang berguna untuk
mendapatkan informasi posisi dari piston dan
mengubahnya menjadi sinyal yang dimengerti
oleh unit kontroler.
Perancangan sebuah algoritma kontrol bukatutup katup yang mengatur pergerakan posisi
dan kecepatan dari piston seperti yang
diinginkan.
Implementasi dari algoritma kontrol dengan
pemrograman mikrokontroler (unit kontrol)
untuk sistim pneumatik yang telah dibuat.
Disain sebuah unit penggerak untuk menguatkan
sinyal output yang berasal dari mikrokontroler,
untuk menggerakkan piston.
Untuk mengontrol pergerakan piston pneumatik,
mikrokontroler membutuhkan input eksternal
informasi posisi yang diinginkan operator, yaitu
interface dari setting point posisi dan kecepatan,

Silinder pneumatik tersebut dikopel secara


langsung dengan sebuah potensiometer linier (5)
yang difungsikan sebagai unit sensor (displacement
encoder) dari pergerakan silinder tersebut. Panjang
potensiometer tersebut disamakan dengan panjang
silinder pneumatik, yaitu 500 mm dan mempunyai
tingkat resolusi 10 m dan nilai tahanan maksimum
5K. Nilai resistansi dari potensiometer tersebut
akan berubah-ubah sesuai dengan gerakan silinder
pneumatik. Dengan memberikan catu daya pada
potensiometer tersebut maka nilai-nilai resistansi tadi
akan dikonversi menjadi nilai-nilai tegangan. Sinyal
berupa tegangan ini adalah sinyal analog dan harus
diubah terlebih dahulu menjadi sinyal digital, dengan
cara mengumpankannya ke sebuah Analag to Digital
Converter (ADC) (6), sebelum akhirnya masuk ke
unit kontroler (7) (mikrokontroler Basic Stamp 2P).
Integrated Circuit (IC) ADC yang dipakai adalah IC
0831, yang merupakan 8 bit ADC. Sehingga
pergerakan full range silinder pneumatik akan
menghasilkan kesensitifan pembacaan sebesar
500/256, yaitu kurang lebih 1,96 mm per pembacaan
sinyal data (quanta level). Dua gambar di bawah ini
adalah gambar potensimeter linier tersebut beserta
dengan gambar rangkaian ADC-nya.

Gambar 4. Potensiometer Linier


Sumber:
http://www.festo.com/INetDomino/31171c.htm

228

Gambar 7. Mikrokontroler DT-Basic Mini System


Sumber : http://www.innovativecreative.com
Gambar 5. Skema Unit Sensor (Potensimeter Linier
dan ADC)
Sinyal digital dari unit sensor ini adalah sinyal
umpan balik yang akan diterima oleh unit kontroler
untuk dibandingkan dengan sinyal setting dari
operator. Nilai error dari kedua sinyal inilah yang
akan dipakai sebagai dasar bagi unit kontroler untuk
memberikan sinyal keluaran berupa Pulse Witdh
Modulation (PWM) bagi katup pneumatik solenoid
on/off 3/2 (2). Ada 2 buah katup pneumatik solenoid
on/off 3/2 yang dipasang pada masing-masing port
silinder pneumatik. Keduanya diberi sinyal PWM
yang mempunyai fase berlawanan. Sehingga dengan
mengatur duty cycle dari kedua katup tersebut maka
pergerakan
dari
silinder
pneumatik
dapat
dikendalikan. Berikut ini adalah gambar katup
solenoid on/off 3/2 beserta dengan gambar
simbolnya.

Gambar 6. Kiri: Katup Solenoid 3/2.


Kanan: Simbolnya
Oleh karena sinyal digital PWM dari unit
kontroler masih lemah, maka sinyal ini hanya
difungsikan sebagai sinyal masukan dari rangkaian
transistor yang berfungsi sebagai penguat dan relay.
Sebagai unit kontroler, yang mana tempat
diimplementasikannya algoritma kontrol yang
diusulkan, digunakan DT-Basic Mini System dengan
Basic Stamp 2P sebagai prosesornya. Sebagai
kontroler, DT-Basic Mini System mempunyai tugas
sebagai berikut:
penentu besaran error
pengeksekusi algoritma kontrol
generator sinyal PWM bagi katup solenoid
3/2.
Gambar mikrokontroler DT-Basic Mini System
diperlihatkan pada gambar di bawah ini.

Berikut ini adalah gambar fisik sistem kontrol


posisi aktuator linier pneumatik yang berhasil
dirancang untuk tujuan percobaan ini.

Gambar 8. Perangkat Keras Sistem Percobaan


Keterangan nomor:
1. Silinder pneumatik rodless 500 mm
2. Potensiometer linier 5 K 500 mm
3. Katup solenoid on/off 3/2
4. Relay board
5. Mikrokontroler Basic Stamp 2P
6. Rangkaian ADC 0831
7. Power supply/adaptor 12 volt
8. Adaptor 5 volt dan 24 volt
9. T divider
Pada sistem percobaan di atas tidak digunakan
sistem pengakusisian data untuk posisi maupun
kecepatan gerak dari piston silinder. Dengan
demikian untuk pengamatan hanya dilakukan secara
kasat mata saja.
2.3 Aliran Data/Sinyal Sistem Percobaan
Aliran data/sinyal dari sistem percobaan dapat
dilihat pada gambar berikut.
DT-Basic Mini
System
Posisi
set +

Kontrol er

PWM
generator

Valve

ADC

Sensor Posisi
Linier

Actuator
Posisi
Aktual

Gambar 9. Aliran Data/Sinyal Dari Sistem


Percobaan

229

Keberadaan posisi aktual dibaca oleh potensiometer


linier (sebagai sensor) untuk dibandingkan dengan
posisi setting baru yang diinginkan. Oleh sebab
proses
pembandingannya
dilakukan
di
mikrokontroler maka sinyal dari sensor yang berupa
sinyal analog diubah terlebih dahulu oleh unit ADC.
Hasil dari proses pembandingan tersebut adalah
error antara posisi setting dan posisi aktual yang
terjadi. Sinyal error ini akan menjadi inputan baik
bagi kontroler. Sinyal error ini juga diturunkan
menjadi sinyal error kecepatan (melalui algoritma
program) untuk diumpankan sebagai inputan kedua
bagi kontroler. Kontroler sekaligus menerjemahkan
outputnya menjadi sinyal PWM.
2.4 Langkah Percobaan
Untuk mengetahui unjuk kerja dari sistem
kontrol maka pertama-tama akan dilakukan
percobaan untuk mengetahui range daripada duty
cycle PWM yang dapat diterima oleh sistem
pneumatik yang dibangun. Idealnya range duty cycle
berkisar antara 0100%, tetapi oleh karena
keterbatasan dari katup solenoid on/off 3/2 yang
dipergunakan (mungkin juga komponen sistem yang
lain) maka besar duty cycle yang akan digunakan
dibatasi sampai dengan range tertentu (akan
diketahui dari percobaan). Langkah selanjutnya
adalah menentukan periode minimal PWM yang
dapat dilakukan oleh sistem pneumatik tersebut.
Setelah itu baru dilakukan pencarian metode-metode
pengontrolan yang lebih baik untuk tujuan
pengontrolan posisi silinder pneumatik tersebut dan
pengambilan datanya.

mengharuskan periode minimal untuk bergerak onoff adalah 13 ms (8,5 + 4,5 ms). Dengan
mempertimbangkan faktor keamanan maka diambil
angka 14 ms. Batasan yang kedua adalah beda besar
duty-cycle minimal dimana masih mampu untuk
menggerakkan piston. Dari percobaan didapatkan
bahwa beda duty-cycle minimal yang diperlukan di
antara kedua katup yang digunakan adalah sekitar 11
s/d 12 ms (data didapatkan dari beberapa kali
percobaan). Untuk itu diambil angka yang paling
tinggi, yaitu 12 ms. Dengan kata lain, bila piston
dalam keadaan diam, idealnya besar duty-cycle di
antara kedua katupnya adalah 50%-50%, dengan fase
yang berlawanan di antara kedua katup tersebut.
Dengan angka 12 ms (15% dari 80 ms) tersebut
berarti untuk dapat mulai bergerak maka beda dutycycle di antara kedua katup minimal harus 65%-35%
(gerak ke kanan) atau 35%-65% (gerak ke kiri) untuk
besar periode PWM 80 ms. Berdasarkan dengan nilai
beda minimal ini dan juga pertimbangan besar
periode PWM maka dapat dirancang besar variasi
duty-cycle
yang
ingin
digunakan
untuk
menggerakkan piston, dipilih range 14 ms. Besar
variasi ini akan menentukan variasi kecepatan
daripada piston. Dengan demikian besar periode
minimal PWM yang dapat digunakan agar piston
dapat bergerak adalah: Setengah periode PWM =
Gerak minimal katup(14 ms) + Beda minimal dutycycle untuk piston mulai bergerak(12 ms) + Besar
variasi duty-cycle(14 ms). Sehingga didapatkan besar
periode PWM sebesar 80 ms.
1
On

Off

On

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Akusisi data dilakukan oleh PC lewat program
editor Basic Stamp 2P, dimana monitor PC juga
difungsikan sebagai HMI (Human Machine
Interface)-nya. Dengan demikian pembacaan steady
state error dapat dilakukan dengan cara
membandingkan data setting dan data aktualnya.
3.1 Periode PWM yang Didapatkan
Pada pengujian pertama kali didapatkan bahwa
range dari duty-cycle PWM berkisar antara 30% s/d
65% dengan periode 100 ms. Hal ini berkaitan
dengan kemampuan kecepatan relay dan katup
solenoid on/off 3/2 yang digunakan, khususnya
kecepatan relay yang hanya mampu minimal 100 ms.
Dengan mengganti relay dengan transistor untuk
proses switching-nya maka periode PWM-nya dapat
dikecilkan lagi sampai menjadi 80 ms. Ada 2 hal
yang membatasi nilai minimal periode PWM ini.
Yang pertama adalah batasan dari kecepatan gerak
dari katup solenoid on/off 3/2 yang digunakan. Katup
tersebut mempunyai kecepatan 8,5 ms untuk
bergerak dari keadaan off ke on dan 4,5 ms untuk
bergerak dari keadaan on ke off. Dari batasan ini

Beda Duty-Cycle
Minimal 12 ms

Variasi Duty-Cycle

Kec.On/off Katup
Minimal 14 ms

Periode PWM

Gambar 10. Variasi Duty-Cycle PWM yang Dapat


Digunakan
Dari hasil percobaan untuk mendapatkan periode
PWM ini dapat dianalisa sebagai berikut. Ada 2 hal
yang saling kontradiksi yang terjadi yaitu besar
variasi duty-cycle dan besar periode PWM. Di satu
pihak, periode PWM ingin dibuat sekecil mungkin
untuk mencegah gerakan piston yang tersendatsendat. Tetapi hal ini dibatasi oleh beda duty-cycle
minimum dan kecepatan maksimum dari gerak katup
on/off, yang memang mempunyai harga pasti untuk
rangkaian percobaan yang dibuat. Satu faktor yang
masih bisa diatur adalah besar variasi duty-cycle
PWM.
Memperkecil
besar
periode
PWM
menyebabkan besar variasi duty-cycle yang kecil
pula. Padahal besar variasi duty-cycle ini akan
menentukan variasi kecepatan dari gerakan piston.
Dengan variasi kecepatan yang kecil maka
pengimplementasian berbagai algoritma kontrol akan
tidak berpengaruh terhadap hasil akhir. Di lain pihak,
bila besar periode PWM yang terlalu besar maka

230

akan mengakibatkan steady state error karena adanya


efek pegas dari udara bertekanan terhadap piston
yang digerakkannya.
Variasi duty-cycle yang digunakan di dalam
percobaan mempunyai range hanya 14 ms, dengan
periode PWM 80 ms. Dengan pertimbangan ini maka
algoritma kontrol yang masih cukup relevan untuk
diujicobakan adalah kontrol P, PI dan single input
fuzzy logic.
Berikut ini adalah hasil pengujian kontrol posisi
dengan kontroler P. Peningkatan dan penurunan set
point dilakukan secara inkremental sebesar 50 ql dan
25 ql.
Tabel 1. Kontrol posisi dengan kontroler P
No

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Posisi
Aktual
(ql)
Inkremental 50 ql
100
101
150
153
200
201
250
250
200
197
150
150
100
97
50
44
5
5
50
53
100
103
150
152
200
202
250
250
200
197
150
149
100
96
50
46
10
8
Inkremental 25 ql
50
55
75
81
100
103
125
126
150
151
175
176
200
202
225
227
250
250
225
222
200
198
175
175
150
148
125
124
100
97
75
74

Posisi
Set (ql)

Error
(ql)
1
3
1
0
3
0
3
6
0
3
3
2
2
0
3
1
4
4
2
5
6
3
1
1
1
2
2
0
3
2
0
2
1
3
1

17

50

46

Pada tabel di atas terlihat bahwa steady state


error dari kontroler P cukup besar dan mempunyai
keberulangan yang jelek. Hal ini ditenggarai akibat
variasi kecepatan yang terlalu kecil (kecepatan terlalu
konstan), sehingga efeknya kurang mewakili perilaku
kontroler P dan cenderung berperilaku sebagai
kontroler umpan balik biasa. Dengan hasil seperti ini,
tidaklah memungkinkan pula menerapkan kontroler
jenis lain seperti kontroler PI atau PD atau bahkan
PID. Sebagai solusi lain yang masih memungkinkan
untuk diterapkan adalah kontroler fuzzy-logic dengan
single input. Inputnya hanya berupa error posisi saja,
tidak seperti pada kontroler yang diusulkan pada
penelitian ini yang mana juga mempertimbangkan
input error kecepatan.
Berikut ini adalah hasil dari pengimplementasian
kontroler fuzzy-logic dengan single-input-singleoutput ke dalam sistem kontrol pneumatik yang diuji.
Prosesnya dilakukan dengan posisi awal 50 quanta
level ke arah 250 quanta level, dan digerakkan dalam
dua arah. Hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut
ini.

Tabel 2. Hasil Percobaan Kontroler Fuzzylogic (1 input)


No

Posisi
Set (ql)

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

250
50
250
50
250
50
250
50
250
50
250
50
250
50
250
50
250
50
250
50

Posisi
Aktual
(ql)
250
49
250
51
250
51
250
51
250
50
250
51
250
51
250
50
251
50
250
50

Error
(ql)
0
1
0
1
0
1
0
1
0
0
0
1
0
1
0
0
1
0
0
0

231

Dari hasil percobaan di atas, meskipun hasilnya


sudah lebih baik dari percobaan yang pertama kali
(kontroler P), tetapi masih seringkali terjadi error
(steady state error) pada arah kembalinya (dari 250
ql ke 50 ql). Sedangkan dari arah 50 ql ke 250 ql
tidak terjadi error. Karena error hanya terjadi pada
satu arah saja maka dapat dianalisa bahwa error lebih
disebabkan oleh konstruksi dari peralatan
pneumatiknya. Ada dua hal yang ditenggarai menjadi
penyebabnya,
yaitu
kekurang-balance-nya
penyetelan flow control valve yang digunakan pada
kedua ujung silinder, atau konstruksi panjang saluran
udara di dalam silinder yang berbeda cukup
siknifikan panjangnya. Penyebab yang terakhir ini
lebih cenderung untuk dicurigai mengingat sifat fisik
udara yang mampu mampat itu. Kebetulan meskipun
silinder yang digunakan adalah jenis aksi ganda
tetapi terminalnya hanya terdapat pada salah satu
ujungnya. Dengan demikian untuk dapat mencapai
piston terdapat ketidak-samaan jarak tempuh di
antara kedua ujungnya.
Besar steady state error yang terjadi lebih
dipandang sebagai error 1 ql ketimbang sebagai
error sebesar 1,96 mm. Sebab dengan memakai ADC
yang lebih tinggi bit-nya, maka besar error akan
berkurang. Semisal apabila digunakan ADC 16 bit
maka besar error 1 ql ekuivalen dengan besar error
sekitar 8 m. Tetapi pencapaian error yang kecil
tersebut sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor lain,
seperti faktor pegas udara, jenis kontroler yang
digunakan dan sebagainya.

1.

S. Maeda, Y. Kawakami, K. Nakano. Position


Control of Pneumatic Lifters. Trans. of Japan
Hydraulic and Pneumatic Society, Japan, 1999.

2.

Z. Situm. Pneumatic Servosystem Control


Using Fuzzy Logic Controller. Ph.D. Thesis,
University of Zagreb, Croatia, 2001.

3.

Shu Ning and G. M. Bone. Method for Higher


Accuracy Pneumatic Servo Position Control.
Research report of McMaster Manufacturing
Research Institute, McMaster University,
Hamilton, Ontario, Canada. 2002.

4.

K. Khayati, P. Bigras, L. A. Dessaint. A Robust


Feedback Linearization Force Control of a
Pneumatic Actuator Systems. Man and
Cybernetics,
2004
IEEE
International
Conference on Volume 7, 10-13 Oct. 2004
Page(s): 6113 - 6119 vol.7.

5.

M. Parnichkun, C. Ngaecharoenkul. Kinematics


Control of A Pneumatic System by Hybrid
Fuzzy-PID. Mechatronics. Elsevier Science Ltd.
2001.

4. KESIMPULAN DAN SARAN


Pada penelitian ini, yang mengusulkan
penggunaan katup solenoid on/off 3/2 untuk
menggantikan fungsi katup servo proporsional untuk
mengontrol posisi piston silinder pneumatik, masih
belum menunjukkan unjuk kerja yang diharapkan.
Penerapan kontroler P mengalami kegagalan akibat
variasi duty-cycle dari PWM yang terbatas, yaitu
dalam range 14 ms. Hanya kontroler tunggal fuzzy
logic saja yang terlihat menghasilkan angka steady
state error yang cukup baik (maksimal 1 quanta
level) meskipun tidak mencapai nol (dalam skala
0,01 mm-8 bit).
Periode PWM yang cukup besar (80 ms) telah
menyebabkan piston silinder kurang dapat bergerak
mulus dan menyebabkan adanya steady state error
pada saat piston akan berhenti. Penggunaan kontroler
PI belum dapat membantu mengatasi keadaan ini
selama periode PWM tidak dapat diperkecil.
Untuk tujuan pencapaian steady state error nol
(dengan tingkat ketelitian 0,01 m) penelitian ini
dapat dilanjutkan dengan memakai algoritma hibrida
fuzzy logic-PID untuk katup proporsional.
Penggunaan katup on/off 3/2 tidak dimungkinkan
untuk pencapaian tujuan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

232

Anda mungkin juga menyukai