Anda di halaman 1dari 66

Air, An-Najaasaat

Sabtu, 21 Mei 2005 13:23:08 WIB

KITAB THAHARAH (PERIHAL BERSUCI)

Oleh

Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalaf

Thaharah secara bahasa berarti suci dan bersih dari hadats. Sedangkan menurut
istilah bermakna menghilangkan hadats dan najis. [1]

Bab Air

Semua air yang turun dari langit dan keluar dari bumi adalah suci dan
menyucikan.

Dasarnya adalah frman Allah Subhanahu wa Ta'ala

Dia-lah Yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira yang dekat sebelum
kedatangan rahmat-Nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih. [Al-
Furqaan: 48]

Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang laut:

Air laut itu suci dan menyucikan serta halal bangkainya. [2]

Juga sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang sumur:

Sesungguhnya air itu suci dan menyucikan, tidak dinajiskan oleh sesuatu pun.
Air tetap dalam kesuciannya sekalipun bercampur dengan sesuatu yang suci selama tidak
keluar dari keasliannya (kemutlakn)nya. (*)

Dasarnya adalah sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para wanita yang
memandikan jenazah puteri beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :

Mandikanlah ia tiga kali, lima kali atau lebih dengan air dan bidara jika menurut kalian perlu.
Dan jadikanlah basuhan terakhir dengan kapur barus atau sedikit dengannya. [3]

Tidaklah air itu dihukumi najis meskipun terdapat najis padanya kecuali jika ia berubah
karenanya.

Dasarnya adalah hadits Abu Sa'id. Dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam ditanya: Wahai Rasulullah, bolehkah kami wudhu di sumur Budhaah? Yaitu sumur
yang di sana dibuang darah haidh, daging anjing, dan kotoran.

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

Air itu suci dan menyucikan, tidak dinajiskan oleh suatu apa pun. [4]

Bab an-Najaasaat

An-Najaasaat adalah bentuk plural dari najasah, yaitu semua yang dianggap menjijikkan
oleh orang yang bertabiat normal. Mereka menjaga diri darinya dan mencuci pakaian
mereka jika terkena olehnya, seperti kotoran dan air seni.[5]

Hukum asal segala sesuatu adalah boleh dan suci. Barangsiapa menyatakan najisnya suatu
materi, maka ia harus mendatangkan dalil. Jika sesuai, maka ia benar. Namun bila tidak
bisa, atau ia membawakan sesuatu yang tidak bisa dijadikan hujjah, maka kita wajib
mengikuti hukum asal dan al-bara-ah al-ashliyyah (yaitu se-orang hamba tidak dikenai
kewajiban hukum hingga datangnya dalil.-ed) [6]. Karena hukum najis adalah hukum
pembebanan yang terkait dengan (seharusnya diketahui) semua orang. Maka, tidak boleh
mengatakan tentang najisnya sesuatu kecuali dengan dalil. [7]

A. Hal-Hal yang Termasuk Najis

Hal-hal yang terdapat dalil atas kenajisannya adalah:

1. Air kencing dan

2. Kotoran manusia

Adapun dalil najisnya kotoran manusia adalah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

Jika salah seorang di antara kalian menginjak al-adzaa (najis) dengan sandalnya, maka
tanah adalah penyucinya.[8]

Al-Adzaa adalah segala sesuatu yang engkau merasa tersakiti olehnya, seperti najis,
kotoran, batu, duri, dan sebagainya[9]. Dan yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah
najis, sebagaimana yang tampak jelas.

Sedangkan dalil (najisnya) air kencing adalah hadits Anas Radhiyallahu anhu : Seorang
Arab Badui kencing di masjid. Lalu segolongan orang menghampirinya. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam lantas bersabda, Biarkanlah ia, jangan kalian hentikan
kencingnya. Anas melanjutkan, Tatkala ia sudah menyelesaikan kencingnya, beliau
memerintahkan agar dibawakan setimba air lalu diguyurkan di atasnya." [10]

3. Madzi, dan

4. Wadi

Madzi, yaitu cairan putih (bening), encer, dan lengket yang keluar ketika naiknya syahwat.
Dia tidak keluar dengan syahwat, tidak menyembur, dan tidak pula diikuti lemas. Terkadang
keluar tanpa terasa. Dialami pria maupun wanita.[11]
Madzi adalah najis. Oleh karena itulah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh
membasuh kemaluan darinya.

Ali Radhiyallahu anhu berkata, Aku adalah laki-laki yang sering keluar madzi. Aku malu
menanyakannya pada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam karena kedudukan puteri beliau.
Lalu kusuruh al-Miqdad bin al-Aswad untuk menanyakannya.

Beliau lantas bersabda:

Dia harus membasuh kemaluannya dan berwudhu. [12]

Sedangkan wadi adalah cairan putih (bening) dan kental yang keluar setelah kencing.[13]

Wadi adalah najis.

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu, ia berkata, Mani, wadi, dan madzi. Adapun mani,
maka wajib mandi. Sedangkan untuk wadi dan madzi, beliau (Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam) bersabda:

Basuhlah dzakar atau kemaluanmu dan wudhulah sebagaimana engkau berwudhu untuk
shalat. [14]

5. Kotoran (hewan) yang tidak (halal) dimakan dagingnya

Dari Abdullah Radhiyallahu anhu, ia berkata, Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
hendak buang hajat, beliau berkata, Bawakan aku tiga batu. Aku menemukan dua batu dan
sebuah kotoran keledai. Lalu beliau mengambil kedua batu itu dan membuang kotoran tadi
lalu berkata:

.
(Kotoran) itu najis. [15]
6. Darah haidh

Dari Asma binti Abi Bakar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, Seorang wanita datang
kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata, Baju seorang di antara kami terkena
darah haidh, apa yang harus ia lakukan?

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

Keriklah, kucek dengan air, lalu guyurlah. Kemudian shalatlah dengan (baju) itu. [16]

7. Air liur anjing

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
telah bersabda:

(Cara) menyucikan bejana salah seorang di antara kalian jika dijilat anjing adalah
membasuhnya tujuh kali. Yang pertama dengan tanah. [17]

8. Bangkai

Yaitu segala sesuatu yang mati tanpa disembelih secara syari. Dasarnya adalah sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

Jika (al-ihaaab) telah disamak, maka sucilah ia. [18]

Al-ihaaab adalah kulit hewan yang telah mati (bangkai). Dikecualikan dari hal ini:

Pertama : Bangkai ikan dan jangkrik.


Dasarnya adalah hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan bahwa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

: .

Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah. Kedua bangkai itu adalah ikan dan
jangkrik. Sedangkan kedua darah tersebut adalah hati dan limpa. [19]

Kedua : Bangkai hewan yang tidak berdarah. Seperti lalat, semut, lebah, dan sebagainya.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:

Jika seekor lalat jatuh ke dalam bejana salah seorang di antara kalian, maka benamkan
semua lalu buanglah ia. Karena pada salah satu sayapnya terdapat penyakit, sedangkan
pada sisi lainnya terdapat penawar. [20]

Ketiga : Tulang bangkai, tanduk, kuku, rambut dan bulunya.

Semuanya suci, merujuk pada keasliannya, yaitu suci. Dasarnya hadits yang diriwayatkan
al-Bukhari secara muallaq [21]. Dia mengatakan bahwa az-Zuhri berkata tentang tulang
bangkai -seperti gajah dan sebagainya-, Aku mendapati beberapa kalangan ulama
terdahulu bersisir dan berminyak dengannya. Mereka tidak mempermasalahkannya.

Hammad berkata, Tidak ada masalah dengan bulu bangkai.

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim
bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team
Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 -
September 2007M]

_______

Footnote

[1]. Al-Majmuu' Syarhul Muhadzdzab (I/79).


[2]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 309)], Muwaththa' al-Imam Malik (XXVI/ 40),
Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma'buud) (I/152 no. 83), Sunan at-Tirmidzi (I/47 no. 69), Sunan
Ibni Majah (I/136 no. 386), Sunan an-Nasa-i (I/176).

(*). Maksudnya, air tersebut masih dinamai air saja. Berbeda dengan air yang sudah dalam
bentuk lain, minuman seeperti kopi, teh, susu dan lainnya. Di mana air tersebut bercampur
dengan zat-zat yang suci namun telah keluar dari kemutlakannya. Air semacam ini suci
namun tidak mensucikan (tidak boleh dipakai untuk bersuci). Ed.

[3]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/125 no. 1253)], dan Shahiih
Muslim (II/646 no. 939).

[4]. Shahiih: [Irwaa'ul Ghaliil (no. 14)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma'buud) (I/127, 126 no. 66,
67), Sunan at-Tirmidzi (I/45 no. 66) dan Sunan an-Nasa-i (I/174). Al-Mubarakfuri berkata
dalam Tuhfatul Ahwadzi (I/204), "Ath-Thayyibi ber-kata, Makna perkataannya, Yang
dibuang di situ adalah, sumur itu dulu dari aliran beberapa lembah yang kemungkinan
didatangi penghuni padang pasir dan membawa kotoran yang ada di sekitar rumah mereka
tadi. Banjir lantas membawa dan melemparkannya ke dalam sumur. Penutur menceritakan
dengan kata-kata yang mengesankan seolah yang membuang adalah manusia, karena
minimnya agama mereka. Hal ini tidak dibenarkan oleh seorang muslim pun, maka
bagaimana mungkin dilakukan oleh umat dari kurun terbaik dan paling utama. Saya katakan
(al-Mubarakfuri), "Beberapa orang dari kalangan ahlul ilmi juga berpendapat demikian.
Pendapat inilah yang tampak kebenarannya."

[5]. Ar-Raudhah an-Nadiyyah (I/12).

[6]. As-Sailul Jarraar (I/31).

[7]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 834)], ar-Raudhah an-Nadiyyah (I/15).

[8]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 834)], dan Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma'buud)
(II/47 no. 381).

[9]. 'Aunul Ma'buud (II/44).

[10]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (I/246 no. 284)], ini adalah lafazhnya. Shahiih al-
Bukhari (Fat-hul Baari) (X/449 no. 6025), secara ringkas.

[11]. Syarh Muslim, karya an-Nawawi (III/213).

[12]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (I/247 no. 303)], ini adalah lafazhnya. Shahiih al-
Bukhari (Fat-hul Baari) (I/230 no. 132), Mukhtashar.

[13]. Fiqhus Sunnah (I/24).

[14]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 190)], dan al-Baihaqi (I/115).

[15]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 2530], dan Shahiih Ibni Khuzaimah (I/39 no.
70). Disebutkan dalam riwayat lain tanpa lafazh (keledai). Hal ini diriwayatkan dalam Shahiih
al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/256 no. 156), Sunan an-Nasa-i (I/39), Sunan at-Tirmidzi
(I/13/17), Sunan Ibni Majah (I/114 no. 314).

[16]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (I/240 no. 291)], ini adalah lafazhnya. Shahiih al-
Bukhari (Fat-hul Baari) (I/410 no. 307).
[17]. Shahih: [Shahiih al-Jaami'ush Shaghiir (no. 3933)], dan Shahiih Muslim (I/234 no. 276
(91)).

[18]. Shahih: [Shahiih al-Jaami'ush Shaghiir (no. 511)], Shahiih Muslim (I/277 no. 366), dan
Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma'buud) (XI/181 no. 4105).

[19]. Shahih: [Shahiih al-Jaami'ush Shaghiir (no. 210)], Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani I/255
no. 96), dan al-Baihaqi (I/254).

[20]. Shahih: [Shahiih al-Jaami'ush Shaghiir (no. 837)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari)
(X/250 no. 57, 82), dan Sunan Ibni Majah (II/1159 no. 3505).

[21]. (I/342)
Cara Membersihkan Najis
Minggu, 22 Agustus 2004 22:11:01 WIB

KITAB THAHARAH (PERIHAL BERSUCI)

Oleh

Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

B. Cara Membersihkan Najis

Ketahuilah, Allah-lah yang telah mengajarkan kita tentang kenajisan materi juga menunjuki
cara bersuci darinya. Kita wajib mengikuti firman dan menjalankan perintah-Nya. Apa-apa
yang disebutkan di dalamnya (kata) membasuh, hingga tidak terdapat warna, bau, dan rasa,
maka seperti itulah cara membersihkannya. Dan apa-apa yang di dalamnya terdapat (kata)
mengguyur, me-mercikkan, mengerik, menggosokkan ke tanah, atau sekedar ber-jalan di
atas tanah yang suci, maka begitulah cara bersuci darinya. Ketahuilah bahwa air adalah
hukum asal dalam membersihkan najis. Karena pembawa syariat telah menyifatkannya:

Allah telah menciptakan air dalam keadaan suci lagi menyuci-kan. [1]

Maka tidak dibenarkan bersuci dengan selain air, kecuali jika syari'at menetapkannya. Jika
tidak ada dalilnya, maka tidak boleh (dengan selain air). Karena hal ini berarti berpaling dari
sesuatu yang telah diketahui bahwa ia suci dan menyucikan kepada sesuatu yang tidak
diketahui, apakah ia suci dan mampu menyucikan. Hal ini keluar dari konsekuensi metode
syari'at.

Jika engkau mengetahui yang demikian ini, maka didatangkan keterangan syariat mengenai
sifat menyucikan benda-benda najis atau benda yang berubah menjadi najis, yaitu:

1. Menyucikan kulit bangkai dengan samak

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan bahwa ia mendengar Rasulullah


Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

Kulit bangkai apa saja jika disamak, maka ia suci. [2]


2. Menyucikan bejana yang dijilat anjing

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

(Cara) menyucikan bejana seorang di antara kalian jika dijilat anjing adalah membasuhnya
tujuh kali. Yang pertama dengan tanah. [3]

3. Menyucikan baju yang terkena darah haidh

Dari Asma binti Abi Bakar Radhiyallahu anhu, ia berkata, Seorang wanita datang kepada
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata, Baju salah seorang di antara kami terkena
darah haid. Apakah yang harus dia lakukan?

Beliau bersabda:

"Keriklah, kucek dengan air, lalu guyurlah. Kemudian shalatlah dengan (baju) itu." [4]

Jika setelah itu masih ada bekasnya, maka tidak masalah.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Khaulah binti Yasar berkata, "Wahai Rasulullah, saya
hanya mempunyai satu baju. Saya memakainya ketika haidh." Beliau bersabda, "Jika
engkau telah suci, cucilah tempat yang terkena darah itu, lalu shalatlah dengannya." Dia
berkata, "Wahai Rasulullah, jika bekasnya tidak hilang?" Beliau bersabda:

"Air telah mencukupimu dan bekasnya tidak masalah bagimu." [5]

4. Menyucikan bagian bawah pakaian wanita

Dari Ummu Walad (budak wanita yang melahirkan anak majikannya) milik Ibrahim bin
Abdurrahman bin Auf. Dia berkata kepada Ummu Salamah, isteri Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam, "Saya adalah wanita yang berpakaian panjang dan saya berjalan di tempat
kotor." Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma mengatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:

(Ujung pakaian yang terkena kotoran tadi) disucikan oleh (tanah) yang berikutnya. [6]

5. Menyucikan pakaian yang terkena kencing bayi laki-laki yang masih menyusu

Dari Abu as-Samh, pembantu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dia mengatakan bahwa
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Air kencing bayi perempuan dicuci. Sedangkan air kencing bayi laki-laki diperciki."[7]

6. Menyucikan pakaian yang terkena madzi

Dari Sahl bin Hunaif, dia berkata, "Aku mengalami kesulitan karena madzi. Aku sering mandi
karenanya. Kuadukan masalahku ini kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau
bersabda, "Cukuplah bagimu wudhu." Aku berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimana dengan
yang mengenai pakaian saya?" Beliau bersabda:

.
"Cukup ambil segenggam air lalu guyurkan (percikkan) pada pakaianmu yang terkena
olehnya." [8]

7. Menyucikan bagian bawah sandal

Dari Abu Sa'id Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

.

"Jika salah seorang di antara kalian datang ke masjid, hendaklah ia membalik sandal dan
melihatnya. Jika melihat kotoran padanya, hendaklah ia gosokkan ke tanah, lalu shalat
dengannya." [9]
8. Menyucikan tanah

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Seorang Arab Badui berdiri lalu kencing
di masjid. Orang-orang lantas menghardiknya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata
pada mereka:

- -
.

"Biarkan dia. Guyurkan setimba atau seember air pada kencingnya. Sesungguhnya kalian
diutus untuk memudahkan, bukan menyusahkan." [10]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan hal tersebut agar kesucian tanah segera
terealisir. Jika dibiarkan hingga kering dan bekas najis hilang, maka tanah itupun suci
kembali.

Berdasarkan hadits Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, "Pada zaman Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, banyak anjing yang kencing dan berlalu-lalang dalam masjid.
Mereka tidak mengguyurkan air sedikit pun di atasnya."[11]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim
bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team
Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 -
September 2007M]

_______

Footnote

[1]. As-Sailul Jarraar (I/42,48) dengan pengubahan. Tentang perkataan beliau, "Allah
menciptakan air dalam keadaan suci dan menyucikan." Al-Hafizh berkata dalam at-Talkhiish
(I/14), "Aku tidak mendapati yang seperti ini." Dan telah disebutkan dalam hadits Abu Sa'id
dengan lafazh:

Sesungguhnya air itu suci dan menyucikan, dan tidak menjadi najis oleh apa pun.

[2]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 2907)], Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani) (I/230 no.
49), Sunan at-Tirmidzi (III/135 no. 1782), Sunan Ibni Majah (II/ 1193 no. 3609), Sunan an-
Nasa-i (VII/173).
[3]. Telah disebutkan takhrijnya.

[4]. Telah disebutkan takhrijnya.

[5]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 351)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma'buud) (II/26
no. 361), dan al-Baihaqi (II/408).

[6]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 430)], Muwaththa' al-Imam Malik (XXVII/44),
Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma'buud) (II/44 no. 379), Sunan at-Tirmidzi (I/95 no. 143), dan
Sunan Ibni Majah (I/177 no. 531).

[7]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 293)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma'buud) (II/36
no. 372), Sunan an-Nasa-i (I/158).

[8]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 409)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma'buud) (I/358
no. 207), Sunan at-Tirmidzi (I/76 no. 115), Sunan Ibni Majah (I/169 no. 506).

[9]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 605)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud)
(II/353 no. 636).

[10]. Muttafaq 'alaihi: [Irwaa'ul Ghaliil (no. 171)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/323 no.
220), Sunan an-Nasa-i (I/49, 48), diriwayatkan dengan panjang. Sunan Abi Dawud ('Aunul
Mabuud) (II/39 no. 376), dan Sunan at-Tirmidzi (I/99 no. 147).

[11]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 368)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) secara
muallaq. (I/278 no. 174), dan Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (II/42 no. 378).
Perkara- Perkara Fithrah
Kamis, 22 Juli 2004 08:40:08 WIB

KITAB THAHARAH (PERIHAL BERSUCI)

Oleh

Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

C. Perkara-Perkara Fithrah

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shalallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:


:
.
"Lima (perilaku) fithrah: mencukur bulu kemaluan, khitan, mencukur kumis, mencabut bulu
ketiak, dan memotong kuku."[1]

Dari Zakaria bin Abi Za-idah, dari Mush'ab bin Syaibah, dari Thalq bin Habib, dari Ibnu az-
Zubair, dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:


:
- -

.

"Sepuluh (perilaku) fithrah: mencukur kumis, memanjangkan jenggot, bersiwak, menghirup


air ke hidung (istinsyaq), memotong kuku, membasuh sela-sela jari, mencabut bulu ketiak,
mencukur bulu kemaluan, dan bersuci dengan air -cebok- Zakaria mengatakan bahwa
Mush'ab berkata, "Aku lupa yang kesepuluh, mungkin berkumur-kumur." [2]

1. Khitan

Khitan wajib bagi pria dan wanita. Karena ia merupakan ciri

ke-Islaman. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada seorang laki-laki yang baru
memeluk Islam:

.
"Campakkanlah rambut kekufuran [3] darimu dan berkhitanlah." [4]

Perbuatan ini termasuk ajaran Nabi Ibrahim Alaihissallam.


Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

.
"Ibrahim, Khalilurrahman (kekasih Allah) berkhitan setelah berumur delapan puluh tahun." [5]

Allah berfirman kepada Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam :


Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), Ikutilah agama Ibrahim seorang yang
hanif (lurus). Dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb. [An-
Nahl: 123]

Disukai bila khitan dilakukan pada hari ketujuh dari kelahiran.

Berdasarkan hadits Jabir Radhiyallahu anhu:


.
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengaqikahi serta mengkhitan Hasan dan Husain
pada hari ketujuh." [6]

Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata:

: .
"Tujuh dari perkara-perkara sunnah untuk bayi pada hari ketujuh adalah memberi nama dan
mengkhitan." [7]

Kedua hadits dia atas meskipun terdapat kelemahan pada keduanya, namun masing-
masing saling menguatkan. Karena sumber keduanya berbeda dan tidak ada (perawi) yang
tertuduh pada keduanya.[8]

2. Memanjangkan jenggot
Memanjangkan jenggot hukumnya wajib dan mencukurnya hukumnya haram. Karena
(termasuk) merubah ciptaan Allah dan termasuk perbuatan syaitan, di mana Allah
mengabarkan tentang perkataan syaitan:




Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan
kosong pada mereka dan akan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang
ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (merubah
ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya. Barangsiapa yang menjadikan syaitan
menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.
[An-Nisaa': 119]

Mencukurnya (termasuk) menyerupai wanita.


.
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita."[9]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan memanjangkan jenggot. Sedangkan


perintah menunjukkan wajib, sebagaimana diketahui.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:

"Pangkaslah kumis dan panjangkan jenggot. Selisihilah orang-orang majusi."[10]

Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau
bersabda:

.
"Selisihilah orang-orang musyrik. Panjangkan jenggot dan potonglah kumis."[11]
3. Siwak

Bersiwak disukai pada semua keadaan. Lebih disukai pada saat-saat berikut:

a. Ketika wudhu

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:

.
"Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya aku suruh mereka bersiwak setiap
wudhu." [12]

b. Ketika shalat

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau
bersabda:

"Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya aku suruh mereka bersiwak setiap akan
shalat."[13]

c. Ketika membaca al-Qur-an

Dari Ali Radhiyallahu anhu, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintah kami bersiwak
dan bersabda:



.
"Sesungguhnya seorang hamba ketika hendak melakukan shalat, datanglah Malaikat
padanya. Lalu ia berdiri di belakangnya untuk mendengarkan al-Qur-an. Ia mendekat dan
tetap mendengarkan serta mendekat hingga ia letakkan mulutnya ke mulut hamba tadi.
Tidaklah ia membaca ayat melainkan ayat tersebut sampai ke perut Malaikat itu." [14]

d. Ketika memasuki rumah

Dari al-Miqdam bin Syuraih dari ayahnya. Dia berkata, aku bertanya kepada Aisyah:

.
:
"Dengan apa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengawali masuk rumah beliau?" Dia
berkata, "Dengan bersiwak." [15]
e. Ketika shalat malam

Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, dia berkata:


.
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam apabila hendak shalat, beliau membersihkan
mulutnya dengan siwak." [16]

Dimakruhkan Mencabut Uban

Dari 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya. Dia mengatakan bahwa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

.

"Janganlah kalian mencabut uban. Karena tidaklah seorang muslim beruban dalam Islam
walaupun sehelai, melainkan ia akan menjadi cahaya baginya di hari Kiamat." [17]

Dibolehkan menyemir uban dengan pacar, inai, atau sejenisnya dan diharamkan
menggunakan warna hitam

Dari Abu Dzarr Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:

.
"Bahan terbaik yang kalian gunakan untuk menyemir uban adalah pacar dan inai." [18]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:

.
"Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak menyemir rambut mereka, maka
selisihilah mereka." [19]
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Pada hari penaklukan Makkah, Abu Quhafah
didatangkan. Rambut dan jenggotnya telah memutih. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam lalu bersabda:

.
"Rubahlah (rambut) ini dengan sesuatu, tapi hindarilah warna hitam." [20]

Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:

.
"Pada akhir masa kelak akan ada kaum yang bersemir dengan warna hitam seperti
tembolok merpati. Mereka tidak mencium aroma Surga."[21]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim
bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team
Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 -
September 2007M]

_______

Footnote

[1]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (X/334 no. 5889)], Shahiih Muslim
(I/221 no. 257), Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (XI/ 252 no. 4180), Sunan at-Tirmidzi
(IV/184 no. 2905), Sunan an-Nasa-i (I/14), dan Sunan Ibni Majah (I/107 no. 292).

[2]. Hasan: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 182)], Shahiih Muslim (I/223 no. 261), Sunan
Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (I/79 no. 52), Sunan at-Tirmidzi (IV/184/ no. 2906), Sunan an-
Nasa-i (VIII/126), dan Sunan Ibni Majah (I/108 no. 293).

[3]. Yang dimaksud rambut kekufuran adalah model rambut yang menjadi ciri khas orang-
orang kafir. Lihat 'Aunul Ma'buud dan Tuhfatul Ahwadzi.-Pent.

[4]. Hasan: [Shahiih al-Jaami'ush Shaghiir (no. 1251)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud)
(II/20 no. 352), dan al-Baihaqi (I/172).

[5]. Muttafaq alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (XI/88 no. 6298)], dan Shahiih Muslim
(IV/1839 no. 370).

[6]. Ath-Thabrani dalam ash-Shaghiir (II/122 no. 891). Lihat [Tamaamul Minnah hal. 68].

[7]. Ath-Thabrani dalam al-Ausath (I/334 no. 562). Lihat [Tamaamul Minnah hal. 68].

[8]. Tamaamul Minnah hal. 68.


[9]. Shahih: [Shahiih al-Jaami'ush Shaghiir (no. 5100)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari)
(X/332 no. 5885), dan Sunan at-Tirmidzi (VI/194 no. 2935).

[10]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim. (no. 181)], dan Shahiih Muslim (I/222 no. 260).

[11]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (X/349 no. 5892)], dan Shahiih
Muslim (I/222 no. 259 (54)).

[12]. Shahih: [Shahiih al-Jaami'ush Shaghiir (no. 5316)], Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani) (I/294
no. 171).

[13]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (I/220 no. 252)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari)
(II/374 no. 887), Sunan at-Tirmidzi (I/18 no. 22), Sunan an-Nasa-i (I/12), hanya saja dalam

lafazh al-Bukhari tertulis .

[14]. Shahiih lighairihi: [Ash-Shahiihah (no. 1213)], al-Baihaqi (I/38).

[15]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 235)], Shahiih Muslim (I/220 no. 253), Sunan
Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (I/86 no. 58), Sunan Ibni Majah (I/106/ no. 290), dan Sunan an-
Nasa-i (I/13).

[16]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (I/220 no. 255)], lafazh ini milik al-Bukhari. Shahiih al-
Bukhari (Fat-hul Baari) (I/356 no. 245), Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (I/83 no. 54),
dan Sunan an-Nasa-i (I/8). Lafazh mereka bertiga: "( jika bangun malam hari)."

[17]. Shahih: [Shahiih al-Jaami'ush Shaghiir (no. 7463)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud)
(XI/256 no. 4184), dan Sunan an-Nasa-i (VIII/136).

[18]. Shahih: [Shahiih al-Jaami'ush Shaghiir (no. 1546)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud)
(XI/259 no. 4187), Sunan at-Tirmidzi (III/145 no. 1806), Sunan Ibni Majah (II/1196 no. 3622),
dengan lafazh miliknya. Sunan an-Nasa-i (VIII/ 139).

[19]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (X/354 no. 5899)], Shahiih Muslim
(III/1663 no. 2103), Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (XI/257/ no. 4185), dan Sunan an-
Nasa-i (VIII/137).

[20]. Shahih: [Shahiih al-Jaami'ush Shaghiir (no. 4170), Shahiih Muslim (III/1663 no. 2102
(69)), Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (XI/258 no. 4186), Sunan an-Nasa-i (VIII/138),
Sunan Ibni Majah (II/1197 no. 3624) dengan (lafazh) semisalnya.

[21]. Shahih: [Shahiih al-Jaamiush Shaghiir (no. 8153)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud)
(XI/266 no. 4194), Sunan an-Nasa-i (VIII/138).

Adab- Adab Buang Hajat


Rabu, 9 Juni 2004 10:06:40 WIB

KITAB THAHARAH (PERIHAL BERSUCI)

Oleh

Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

D. Adab-Adab Buang Hajat

1.Disunnahkan bagi orang yang hendak memasuki al-khalaa' (kamar kecil/WC) agar
membaca:


.
"Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari syaitan laki-laki
dan syaitan perempuan."

Doa ini berdasarkan hadits Ali Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:

:
.
"Penghalang antara jin dan aurat anak Adam jika salah seorang dari kalian memasuki al
khalaa' adalah ia mengucapkan, "Bismillah"."[1]

Juga hadits Anas Radhiyallahu anhu, dia berkata:

:

.
"Jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hendak masuk ke kamar kecil, beliau
mengucapkan, "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari syaitan laki-laki dan syaitan
perempuan".[2]

2. Disunnahkan jika keluar darinya mengucapkan:

.
"(Ya Allah, aku mengharap) ampunan-Mu."

Berdasarkan hadits 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata:



: .
"Jika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar dari kamar kecil, beliau mengucapkan, (Ya
Allah, aku mengharap) ampunan-Mu." [3]

3. Disunnahkan mendahulukan kaki kiri ketika masuk, dan kaki kanan ketika keluar

Karena adanya sunnah yang memerintah agar mendahulukan yang kanan untuk hal mulia,
dan mendahulukan yang kiri untuk hal yang tidak mulia. Banyak riwayat yang menunjukkan
hal tersebut secara global. [4]

4. Jika di tempat terbuka, maka disunnahkan menjauh hingga tidak terlihat

Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia berkata:





. .
"Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam satu perjalanan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak buang hajat di lapangan terbuka melainkan
bersembunyi hingga tidak terlihat." [5]

5. Disunnahkan tidak mengangkat pakaian kecuali setelah dekat dengan tanah

Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma :



.
"Jika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam hendak buang hajat, beliau tidak mengangkat
pakaiannya kecuali setelah dekat dengan tanah." [6]

Tidak boleh menghadap dan membelakangi kiblat, baik di lapangan terbuka maupun dalam
bangunan.

Dari Abu Ayyub al-Anshari Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau
bersabda:

.

"Jika kalian hendak buang hajat, janganlah menghadap dan membelakangi kiblat. Tapi,
menghadaplah ke timur atau ke barat." [7]

Abu Ayyub berkata, "Kami datang ke Syam, kami dapati banyak WC yang dibangun
menghadap Kiblat. Kami pun miring darinya dan beristighfar kepada Allah Ta'ala." [8]

6. Dilarang buang hajat di jalan yang dilalui manusia dan tempat berteduh mereka.

Dari Abu Hurairah Raddhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

:
: .
.
"Jauhilah dua perkara yang mengundang laknat. Mereka bertanya, Apakah dua perkara
yang mengundang laknat itu, ya Rasulullah?." Beliau berkata, "Orang yang buang hajat di
jalan orang-orang atau di tempat berteduh mereka." [9]

7. Dimakruhkan jika seseorang kencing di tempat mandinya.

Dari Humaid al-Himyari, dia berkata, "Aku menjumpai seorang yang telah menyertai
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana Abu Hurairah menyertai beliau. Dia
berkata:


.
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang salah seorang dari kami bersisir setiap
hari dan kencing di tempat mandinya." [10]

8. Dilarang kencing di air yang tidak mengalir

Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

.
"Beliau melarang kencing di air yang menggenang." [11]

9. Diperbolehkan kencing sambil berdiri, tapi duduk (jongkok) lebih utama

Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu :


:
.
"Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di tempat pembuangan sampah sebuah kaum lalu
kencing sambil berdiri, dan aku pun menjauh. Beliau lantas berkata, Mendekatlah. Lalu aku
mendekat hingga aku berdiri dekat kaki beliau. Beliau kemudian berwudhu dan membasuh
bagian atas kedua khuf (sepatu panjang) beliau." [12]
Kita katakan bahwa duduk lebih utama karena begitulah kebanyakan perbuatan beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sampai-sampai Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata:


.


"Barangsiapa mengatakan kepada kalian bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
kencing sambil berdiri, maka janganlah kalian mempercayainya. Beliau tidak pernah kencing
melainkan dengan duduk." [13]

Perkataan Aisyah tidak menafikan apa yang dibawakan oleh Khudzaifah. Karena Aisyah
hanya mengabarkan apa yang dia lihat. Dan Khudzaifah juga mengabarkan apa yang dia
lihat. Sebagaimana diketahui (dalam kaidah) bahwa yang menetapkan lebih diutamakan
daripada yang menafikan. Karena pada yang menetapkan itu terdapat ilmu yang lebih.

10. Diwajibkan bersuci dari kencing

Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melalui
dua kubur, lalu bersabda:



.
"Sesungguhnya mereka berdua diadzab. Mereka tidak diadzab karena dosa besar. Salah
seorang di antara mereka diadzab karena tidak bersuci dari kencingnya. Sedang yang lain
karena suka menggunjing di antara manusia." [14]

11. Tidak boleh menyentuh kemaluan dengan tangan kanan ketika kencing. Dan tidak
menggunakannya saat bercebok dengan air

Dari Abu Qatadah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:

.


"Jika salah seorang di antara kalian kencing, janganlah ia menyentuh kemaluannya dengan
tangan kanannya. Dan jangan pula ia cebok dengan tangan kanannya." [15]

12. Diperbolehkan bersuci dengan air, dan batu, atau yang serupa dengan batu, namun air
lebih utama.

Dari Anas Radhiyallahu anhu, dia berkata:





.
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memasuki WC. Lalu aku dan anak lain yang
seusia denganku membawakan beliau setimba air dan sebuah tombak kecil. Beliau lantas
bersuci dengan air." [16]

Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


.
"Jika salah seorang di antara kalian hendak buang hajat, maka hendaklah membawa tiga
buah batu. Dan hendaklah ia bersuci dengannya, karena itu mencukupinya." [17]

13. Tidak boleh menggunakan kurang dari tiga batu

Dari Salman al-Farisi Radhiyallahu anhu, dikatakan kepadanya, "Nabi kalian telah mengajari
kalian segala hal hingga masalah buang air besar?" Dia menjawab:



.
"Benar. Beliau melarang kami menghadap kiblat ketika kencing atau buang hajat, bersuci
dengan tangan kanan, bersuci dengan kurang dari tiga buah batu, dan bersuci dengan
kotoran atau tulang." [18]

14. Tidak boleh bersuci dengan tulang atau kotoran

Dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia berkata:


.
"Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang bersuci dengan tulang atau kotoran." [19]

Bab Bejana
Boleh menggunakan semua bejana selain bejana emas dan perak. Diharamkan
menggunakan keduanya untuk makan dan minum. Namun tidak diharamkan menggunakan
keduanya selain untuk makan dan minum.

Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Janganlah kalian minum dari bejana emas dan perak. Dan jangan pula mengenakan
sutera. Karena semua itu bagi mereka di dunia dan bagi kalian di akhirat." [20]

Dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam


bersabda:

"Orang yang minum dari bejana perak, sesungguhnya api Jahannam bergejolak dalam
perutnya." Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. [21]

Dalam riwayat Muslim disebutkan:

...

"Sesungguhnya orang yang makan atau minum dari bejana perak dan emas"

Muslim berkata, "Tidak seorang pun pada sebuah hadits menyebutkan lafazh: "makan dan
emas" kecuali dalam hadits Ibnu Mushir."

Al-Albani berkata, "Dari segi ilmu riwayat, tambahan ini syadz sekalipun maknanya benar
dari segi ilmu diraayah. Karena "makan dan emas" lebih berat dan berbahaya daripada
"minum dan perak" sebagaimana yang tampak jelas." [22]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim
bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team
Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 -
September 2007M]

_______

Footnote

[1]. Shahih: [Shahiih al-Jaamiush Shaghiir (no. 3611)], Sunan at-Tirmidzi (II/59/ no. 603) ini
adalah lafazhnya. Sunan Ibni Majah (I/109 no. 297), dengan lafazh: . Jika
memasuki al kaniif

Sebagai ganti dari "jika memasuki al-khalaa'."

[2]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/242 no. 142)], Shahiih Muslim
(I/283 no. 375), Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (I/21 no. 4), Sunan Ibni Majah (I/109 no.
298), Sunan at-Tirmidzi (I/7 no. 6), dan Sunan an-Nasa-i (I/20).

[3]. Shahih: [Shahiih al-Jaamiush Shaghiir (no. 4714)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud)
(I/52 no. 30), Sunan at-Tirmidzi (I/7 no. 7), Sunan Ibni Majah (I/ 110 no. 300).

[4]. As-Sailul Jarraar (I/64).

[5]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 268)], Sunan Ibni Majah (I/121 no. 335), dan
Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (I/19 no. 2), dengan lafazh yang semisalnya.

[6]. Shahih: [Shahiih al-Jaamiush Shaghiir (no. 4652)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud)
(I/31 no. 14), dan Sunan at-Tirmidzi (I/11 no. 14), dari hadits Anas Radhiyallahu anhu.

[7]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 109)], dan Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 7).

[8]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/498 no. 394)], Shahiih Muslim
(I/224 no. 264), Sunan at-Tirmidzi (I/8 no. 8).

[9]. Shahih: [Shahiih al-Jaamiush Shaghiir (no. 110)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud)
(I/47 no. 25), dan Shahiih Muslim (I/226 no. 269), dengan lafazh darinya: :

[10]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 232)], Sunan an-Nasa-i (I/130), dan Sunan Abi
Dawud ('Aunul Mabuud) (I/50 no. 28).

[11]. Shahih: [Shahiih al-Jaamiush Shaghiir (no. 6814)], Shahiih Muslim (I/235 no. 281), dan
Sunan an-Nasa-i (I/34).

[12]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (I/228 no. 273)], Sunan at-Tirmidzi (I/11 no. 13),
Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/329 no. 225), Sunan an-Nasa-i (I/19), Sunan Abi Dawud
('Aunul Mabuud) (I/44 no. 23), dan Sunan Ibni Majah (I/ 111 no. 305).

[13]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 29)], Sunan an-Nasa-i (I/26), dan Sunan at-
Tirmidzi (I/10 no. 12) dengan lafazh darinya: .

[14]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/317 no. 216), Shahiih Muslim
(I/240 no. 292), Sunan at-Tirmidzi (I/47 no. 70), Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (I/40 no.
20), dan Sunan an-Nasa-i (I/28).
[15]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 250)], Sunan Ibni Majah (I/113 no. 310), ini
adalah lafazh darinya. Diriwayatkan pula dalam Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/254 no.
154), Shahiih Muslim (I/225 no. 267), Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (I/53 no. 31),
Sunan at-Tirmidzi (I/12 no. 15), Sunan an-Nasa-i (I/25) secara ringkas maupun panjang.

[16]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/252 no. 152)], Shahiih Muslim
(I/227 no. 271), Sunan an-Nasa-i (I/42), di dalam riwayatnya tidak disebutkan kata
"Anazah".

[17]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 43)], Sunan an-Nasa-i (I/42), dan Sunan Abi
Dawud ('Aunul Mabuud) (I/61 no. 40).

[18]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 255)], Shahiih Muslim (I/223 no. 262), Sunan
at-Tirmidzi (I/13 no. 16), Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (I/24/7), Sunan Ibni Majah
(I/115/316), dan Sunan an-Nasa-i (I/38).

[19]. Shahih: [Shahiih al-Jaamiush Shaghiir (no. 6827)], Shahiih Muslim (I/224 no. 263),
Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (I/60 no. 38).

[20]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (X/96/5633), Shahiih Muslim
(III/1637 no. 2067)], Sunan at-Tirmidzi (III/199 no. 1939), Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud)
(X/189 no. 3705), Sunan Ibni Majah (II/1130 no. 3414), tanpa mencantumkan larangan
memakai sutera, dan Sunan an-Nasa-i (VIII/198).

[21]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (X/96 no. 5634)], Shahiih Muslim
(III/1634 no. 2065), dan Sunan Ibni Majah (II/1130 no. 3413).

[22]. Irwaa'ul Ghaliil (I/69).


Wudhu
Rabu, 26 Mei 2004 09:23:37 WIB

KITAB THAHARAH (PERIHAL BERSUCI)

Oleh

Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

A. Thaharah dengan Air, yaitu Wudhu dan Mandi

1. Wudhu

a. Tata caranya:

Dari Humran bekas budak 'Utsman bin 'Affan Radhiyallahu anhu :

:

:
:
.

"'Utsman bin 'Affan Radhiyallahu anhu minta diambilkan air wudhu lalu berwudhu. Dia basuh
kedua telapak tangannya tiga kali. Kemudian berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung
lalu mengeluarkannya. Lalu membasuh wajahnya tiga kali, kemudian membasuh tangan
kanannya hingga ke siku tiga kali, begitupula dengan tangan kirinya. Setelah itu, ia usap
kepalanya lantas membasuh kaki kanannya hingga ke mata kaki tiga kali, begitupula
dengan kaki kirinya. Dia kemudian berkata, Aku pernah melihat Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam berwudhu sebagaimana wudhuku ini, kemudian Rasulullah bersabda,
Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian shalat dua raka'at dan tidak berkata-
kata dalam hati [1] dalam kedua raka'at tadi, maka diampunilah dosa-dosanya yang telah
lalu."

Ibnu Syihab mengatakan bahwa ulama-ulama kita berkata, "Wudhu ini adalah wudhu paling
sempurna yang dilakukan seseorang untuk shalat." [2]
b. Syarat sahnya:

1. Niat

Berdasarkan sabda beliau Shallallahu alaihi wa sallam :

.
"Sesungguhnya perbuatan itu tergantung pada niat." [3]

Tidak disyari'atkan mengucapkannya, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah
mengerjakannya.

2. Mengucap basmalah

Berdasarkan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :


.
"Tidak sah shalat seseorang tanpa wudhu. Dan tidak ada wudhu untuk seseorang yang tidak
menyebut nama Allah." [4]

3. Berkesinambungan (tidak terputus)

Berdasarkan hadits Khalid bin Ma'dan:

"Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki sedang melakukan shalat,
sedangkan pada punggung telapak kakinya ada bagian sebesar uang dirham yang tidak
terkena air. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lantas menyuruhnya mengulang wudhu dan
shalatnya." [5]

c. Rukun-rukunnya:

1, 2. Membasuh wajah, termasuk berkumur dan menghirup air melalui hidung.

3. Membasuh kedua tangan hingga siku.[6]

4, 5. Mengusap seluruh kepala. Dan telinga termasuk kepala.


6. Membasuh kedua kaki hingga mata kaki.

Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:



Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki... [Al-Maa-idah: 6]

Adapun berkumur dan menghirup air ke dalam hidung, maka disebabkan keduanya masih
termasuk wajah, hingga wajiblah keduanya. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
memerintahkan membasuhnya dalam Kitab-Nya yang mulia. Dan telah valid bahwa Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukannya dalam wudhu secara terus-menerus. Semua
yang meriwayatkan serta menjelaskan tata cara wudhu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
juga menyebutkannya. Itu semua menunjukkan bahwa membasuh wajah yang
diperintahkan dalam al-Qur-an adalah dengan berkumur dan menghirup air ke dalam
hidung. [7]

Juga terdapat perintah mengerjakan keduanya dari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :

.
"Jika salah seorang di antara kalian berwudhu, jadikanlah (hiruplah) air ke dalam hidungnya,
lalu semburkanlah." [8]

Dan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :

.
"Hiruplah air ke hidung dengan sangat, kecuali jika kau sedang berpuasa."[9]

Juga sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :

"Jika engkau berwudhu, maka berkumurlah." [10]


Wajib mengusap kepala secara merata, karena perintah mengusap dalam al-Qur-an masih
global. Maka penjelasannya dikembalikan ke Sunnah. Disebutkan dalam ash-Shahihain dan
yang lainnya bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengusap kepala beliau secara
merata. Di sini terdapat dalil atas wajibnya mengusap kepala secara sempurna.

Jika ada yang berkata, "Dalam hadits al-Mughirah disebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam mengusap ubun-ubun dan bagian atas sorban beliau?"

Jawabannya, "Beliau mencukupkan mengusap ubun-ubun saja karena membasuh sisa


kepala telah sempurna dengan mengusap bagian atas sorban. Inilah pendapat kami. Bukan
berarti ini adalah dalil atas bolehnya mencukupkan mengusap ubun-ubun atau sebagian
kepala tanpa menyempurnakannya dengan mengusap bagian atas sorban." [11]

Kesimpulannya, wajib mengusap kepala secara merata. Dan orang yang mengusap, jika
suka, dia boleh mengusap kepala saja, atau bagian atas sorban saja, atau boleh juga
kepala dan bagian atas sorban. Semuanya benar dan ada dalilnya.

Kedua telinga adalah bagian dari kepala. Maka wajib mengusap keduanya. Dasarnya
adalah sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :

"Kedua telinga adalah bagian dari kepala." [12]

7. Menyela-nyela jenggot

Berdasarkan hadits Anas bin Malik Radhiyallahu anhu : "Jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam berwudhu, beliau ambil segenggam air lalu memasukkannya ke bawah dagunya.
Dengan air itu beliau sela-selai jenggotnya. Beliau lantas bersabda:

.
"Begitulah Rabb-ku Azza wa Jalla memerintahku." [13]

8. Menyela-nyelai jari-jemari kedua tangan dan kaki

Berdasarkan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :

.
"Sempurnakanlah wudhu, sela-selai jari-jemari, dan hiruplah air ke dalam hidung dengan
kuat, kecuali jika engkau sedang berpuasa."
d. Sunnah-Sunnah Wudhu

1. Bersiwak

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:

.
"Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya kuperintahkan mereka bersiwak tiap kali
berwudhu."

2. Membasuh kedua telapak tangan tiga kali pada awal wudhu

Dasarnya adalah riwayat dari 'Utsman Radhiyallahu anhu dalam ceritanya tentang tata cara
wudhu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Beliau membasuh kedua telapak tangannya tiga
kali."

3. Menggabungkan berkumur dan menghirup air ke dalam hidung dengan segenggam air
sebanyak tiga kali.

Dasarnya adalah hadits 'Abdullah bin Zaid saat dia mengajarkan wudhu Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa salla : "Beliau berkumur dan menghirup air ke dalam hidung dari satu
genggam tangan. Dan beliau melakukannya sebanyak tiga kali." [14]

4. Melakukan keduanya dengan sangat bagi yang tidak puasa

Dasarnya adalah sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :

.
"Hiruplah air ke dalam hidung dengan kuat, kecuali jika engkau sedang puasa."

5. Mendahulukan yang kanan daripada yang kiri

Berdasarkan hadits 'Aisyah Radhiyallahu anhuma :


.
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam suka mendahulukan bagian kanan saat memakai
sandal, menyisir rambut, bersuci, dan dalam semua hal." [15]
Juga dalam kisah 'Utsman saat menceritakan tata cara wudhu Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam : "Beliau membasuh bagian kanan kemudian bagian kiri."

6. Menggosok

Berdasarkan hadits 'Abdullah bin Zaid: "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diberi tiga mudd
air. Beliau lalu berwudhu dan menggosok kedua tangannya."[16]

7. Membasuh tiga kali

Berdasarkan hadits 'Utsman Radhiyallahu anhu : "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam wudhu
dengan membasuh tiga kali."

Ada juga dalil shahih yang menyatakan bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
wudhu dengan membasuh sekali atau dua kali. [17]

Disunnahkan mengulang usapan kepala secara kadang-kadang.

Berdasarkan riwayat shahih dari 'Utsman. Bahwa dia berwudhu lalu mengusap kepala tiga
kali. Dia kemudian berkata: "Aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu
seperti ini." [18]

8. Berurutan

Karena begitulah kebanyakan wudhu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebagaimana


dikisahkan orang yang menceritakan tata cara wudhu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Namun terdapat riwayat shahih dari al-Miqdam bin Ma'dikarib: "Dia membawakan air wudhu
untuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau lantas berwudhu dan membasuh
kedua telapak tangannya tiga kali. Membasuh wajahnya tiga kali, lalu membasuh kedua
tangannya tiga kali. Beliau kemudian berkumur dan (menghirup air ke dalam hidung lalu)
menyemburkannya. Setelah itu mengusap kepala dan kedua telinganya..." [19]

9. Berdoa setelah selesai

Berdasarkan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Tidaklah seorang di antara kalian
berwudhu, lalu menyempurnakan wudhunya, kemudian berdoa:

.

"Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak dibadahi dengan benar kecuali Allah. Tidak
ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya."
Melainkan dibukakan baginya delapan pintu Surga. Dia memasukinya dari arah mana saja
yang ia kehendaki." [20]
At-Tirmidzi menambahkan:

.
"Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat. Dan jadikanlah aku
termasuk orang-orang yang bersuci." [21]

Dari Abu Sa'id, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa berwudhu lalu
mengucap:

"Mahasuci dan Terpuji Engkau ya Allah. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak
diibadahi dengan benar kecuali Engkau. Aku memohon ampunan dan bertaubat kepada-
Mu." Niscaya ditulislah dalam lembaran putih, lalu dicap dengan sebuah stempel yang tidak
akan rusak hingga hari Kiamat." [22]

10. Shalat dua raka'at setelahnya

Berdasarkan hadits 'Utsman Radhiyallahu anhu setelah mengajari mereka tata cara wudhu
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Aku melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
berwudhu sebagaimana wudhuku ini. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Barangsiapa berwudhu sebagaimana wudhuku ini, lalu shalat dua raka'at, sedang dia tidak
berkata-kata dalam hati (tentang urusan dunia) ketika melakukannya, maka diampunilah
dosa-dosanya yang telah lalu."

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada
Bilal ketika hendak shalat Shubuh, "Wahai Bilal, beritahulah aku amalan yang paling engkau
harapkan (pahalanya) yang engkau kerjakan dalam Islam. Karena sesungguhnya aku
mendengar suara kedua sandalmu di hadapanku di Surga." Dia menjawab, "Tidaklah aku
melakukan amalan yang paling aku harapkan (pahalanya). Hanya saja, aku tidaklah bersuci,
baik saat petang maupun siang, melainkan aku shalat (sunnah) dengannya apa-apa yang
sudah dituliskan (ditakdir-kan) tentang shalatku." [23]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim
bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team
Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 -
September 2007M]

_______

Footnote

[1]. Tentang urusan-urusan dunia, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Syarh
Muslim.-ed.

[2]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (I/204 no. 226)], ini adalah lafazhnya, Shahiih al-
Bukhari (Fat-hul Baari) (I/266 no. 164), Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (I/180 no. 106),
dan Sunan an-Nasa-i (I/64).

[3]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/9 no. 1)], Shahiih Muslim (III/1515
no. 1907), Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (VI/284 no. 2186), Sunan at-Tirmidzi (III/100
no. 1698), Sunan Ibni Majah (II/1413 no. 4227), dan Sunan an-Nasa-i (I/59).

[4]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 320)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (I/174
no. 101), dan Sunan Ibni Majah (I/140 no. 399).

[5]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 161)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (I/296
no. 173).

[6]. Imam asy-Syafi'i berkata dalam al-Umm (I/25), "Membasuh kedua tangan tidaklah cukup
kecuali dengan membasuh antara ujung-ujung jemari hingga siku. Dan tidaklah cukup
kecuali dengan membasuh sisi luar, dalam, dan samping kedua tangan, hingga
sempurnalah membasuh keduanya. Jika meninggalkan sedikit saja dari bagian ini, maka
tidak boleh."

[7]. As-Sailuul Jarraar [(I/81)].

[8]. Shahih [Shahiih al-Jaamiush Shaghiir (no. 443)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud)
(I/234 no. 140), dan Sunan an-Nasa-i (I/66).

[9]. Shahih [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 129, 131)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud)
(I/236 no. 142, 144).

[10]. Ibid.

[11]. Tafsiir Ibni Katsiir [(II/24)], dengan pengubahan.

[12]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 357)] dan Sunan Ibni Majah (I/152 no. 443).

[13]. Shahih: [Irwaa' al-Ghaliil (no. 92)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (I/243/ no. 145),
dan al-Baihaqi (I/54).

[14]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 125)] dan Shahiih Muslim (I/210 no. 235).

[15]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/269/168)], Shahiih Muslim (I/226
no. 268), (XI/199 no. 4122), dan Sunan an-Nasa-i (I/78).

[16]. Sanadnya shahih: [Shahiih Ibni Khuzaimah (I/62 no. 118)].


[17]. Hasan Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 124)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari)
(I/258 no. 158), dari hadits 'Abdullah bin Zaid. Diriwayatkan juga dalam Sunan Abi Dawud
('Aunul Mabuud) (I/230 no. 136), Sunan at-Tirmidzi (I/31 no. 43), dari hadits Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu.

[18]. Hasan Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 101)] dan Sunan Abi Dawud ('Aunul
Mabuud) (I/188 no. 110).

[19]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 112)] dan Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud)
(I/211 no. 121).

[20]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 143)] dan Shahiih Muslim (I/209 no. 234).

[21]. Shahih: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 48)] dan Sunan at-Tirmidzi (I/38 no. 55).

[22]. Shahih: [At-Targhiib (no. 220)], Mustadrak al-Hakim (I/564). Tidak ada riwayat yang
shahih tentang berdo'a ketika wudhu (pada saat membasuh tiap-tiap anggota wudhu.'-pent.)

[23]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/34 no. 1149)] dan Shahiih
Muslim (IV/1910 no. 2458).
Pembatal- Pembatal Wudhu
Sabtu, 15 Mei 2004 07:56:16 WIB

KITAB THAHARAH (PERIHAL BERSUCI)

Oleh

Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

e. Pembatal-Pembatal Wudhu

1. Semua yang keluar dari dua jalan "qubul dan dubur (kemaluan dan anus)". Baik air seni,
kotoran (tinja), atau angin.

Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:


... atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air (kakus)... [Al-Maa-idah: 6].

Al-Ghaa-ith Yaitu kiasan dari buang hajat.

Juga sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

.

"Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kalian jika ia berhadats hingga dia
berwudhu"

Seorang laki-laki dari Hadhramaut berkata, "Apakah hadats itu, wahai Abu Hurairah?" Dia
menjawab, "Kentut, baik yang bersuara ataupun tidak." [1]

Keluarnya madzi dan mani juga membatalkan wudhu:

Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma,, dia berkata, "Mani, wadi, dan madzi. Adapun mani,
maka ia mewajibkan mandi. Sedangkan wadi dan madzi, beliau berkata:
.

Basuhlah alat kelamin atau kemaluanmu dan berwudhulah sebagaimana wudhumu untuk
shalat'."

2. Tidur nyenyak

Yaitu, tidur yang menghilangkan kesadaran. Baik dalam keadaan duduk di atas lantai
ataupun tidak.

Dasarnya adalah hadits Shafwan bin 'Assal Radhiyallahu anhu. Dia berkata, "Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami jika kami dalam keadaan safar agar tidak
melepas sepatu kami selama tiga hari tiga malam. Kecuali dalam keadaan junub. Bahkan
ketika buang hajat, kencing, dan tidur."

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyamakan antara tidur, kencing, dan buang hajat. [2]

Dari 'Ali Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:

.
"Mata adalah wikaa'nya sah. Barangsiapa tertidur hendaklah berwudhu'."[3]

Al-Wikaa,' dengan wawu dikasrah, yaitu benang pengikat tempat air minum dari kulit.

As-Sah, dengan siin tidak bertitik yang difat-hah dan ha yang dikasrahkan serta tidak
bertasydid, yaitu dubur.

Artinya, keadaan jaga adalah wikaa'-nya dubur. Yaitu, menjaga apa yang di dalamnya agar
tidak keluar. Karena selama dia terjaga dia bisa merasakan apa yang keluar darinya. [4]

3. Hilangnya kesadaran karena mabuk atau sakit

Karena hilangnya kesadaran oleh sebab-sebab ini lebih parah daripada tidur.

4. Menyentuh kemaluan tanpa penghalang dengan syahwat. Berdasarkan sabda beliau


Shallallahu 'alaihi wa salalm :

.
"Barangsiapa menyentuh kemaluannya, maka hendaklah berwudhu." [5]

Juga sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :

"Ia tidak lebih dari salah satu anggota tubuhmu." [6]

Ia adalah salah satu bagian tubuh Anda jika tidak disertai syahwat saat menyentuhnya.
Karena dalam keadaan ini, dapat disamakan antara menyentuhkan satu bagian tubuh
dengan bagian tubuh yang lain. Lain halnya jika menyentuhnya disertai syahwat. Maka
dalam keadaan seperti itu tidak diserupakan antara menyentuh satu bagian tubuh dengan
menyentuh bagian tubuh lain yang biasanya tidak disertai dengan syahwat. Ini adalah
perkara yang jelas, sebagaimana Anda lihat. [7]

5. Makan daging unta

Berdasarkan hadits al-Barra' bin 'Azib Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

.
"Berwudhulah karena (makan) daging unta. Dan janganlah berwudhu karena (makan)
daging kambing." [8]

Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu anhu, seorang laki-laki bertanya kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Haruskah aku berwudhu karena (makan) daging kambing?"
Beliau menjawab, "Kalau kau suka berwudhulah. Jika tidak, maka janganlah berwudhu." Dia
berkata lagi: "Haruskah aku berwudhu karena (makan) daging unta?" Beliau menjawab: "Ya,
berwudhulah karena (makan) daging unta."[9]
f. Hal-hal yang mewajibkan wudhu (hal-hal yang diharamkan atas orang yang berhadats):

1. Shalat

Berdasarkan firman Allah:


Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerja-kan shalat, maka basuhlah
mukamu... [Al-Maa-idah: 6]

Dan sabda Nabi Shalalllahu 'alaihi wa sallam :

" ."

"Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci (wudhu)".

2. Thawaf di Baitullah

Berdasarkan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :


.
"Thawaf di Baitullah adalah shalat. Hanya saja Allah menghalalkan bicara di dalamnya." [10]

g. Hal-hal yang disunnahkan wudhu di dalamnya:

1. Berdzikir kepada Allah

Berdasarkan hadits al-Muhajir bin Qunfudz. Dia mengucapkan salam kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang sedang berwudhu. Beliau tidak menjawab salamnya
hingga menuntaskan wudhunya. Beliau lalu menjawabnya dan berkata:

.

"Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku untuk menjawabmu. Hanya saja aku tidak
suka menyebut nama Allah kecuali dalam keadaan suci." [11]

2. Ketika hendak tidur


Dasarnya adalah apa yang diriwayatkan al-Barra' bin 'Azib Radhiyallahu anhu. Dia
mengatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, Jika engkau mendatangi
tempat tidurmu, maka berwudhulah sebagaimana engkau berwudhu untuk shalat. Kemudian
tidurlah di atas sisi kananmu, lalu ucapkan:


.
"Ya Allah, kuserahkan jiwaku pada-Mu, dan kuhadapkan wajahku pada-Mu. Kupasrahkan
urusanku pada-Mu, dan ku-sandarkan punggungku pada-Mu, dengan harap dan cemas
kapada-Mu. Tidak ada tempat bersandar dan berlindung dari-Mu kecuali kepada-Mu. Ya
Allah, aku beriman kepada kitab-Mu yang Engkau turunkan. Dan Nabi-Mu yang Engkau
utus."

Jika engkau meninggal pada malam itu, maka engkau meninggal dalam keadaan fithrah.
Jadikanlah ia akhir pembicaraanmu."[12]

3. Junub

Disunnahkan ketika hendak makan, minum, tidur, atau mengulang jima'.

Dari Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, Jika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam junub
dan ingin makan, minum, atau tidur, beliau berwudhu sebagaimana berwudhu untuk shalat."
[13]

Dan dari Ammar bin Yasir Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberi
keringanan bagi orang yang sedang junub jika ingin makan, minum, atau tidur untuk
berwudhu sebagaimana berwudhu untuk shalat." [14]

Juga dari Abu Sa'id Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau
bersabda:

.
Jika salah seorang di antara kalian telah mendatangi isterinya (berjima) dan ingin
mengulangi, maka hendaklah ia berwudhu." [15]

4. Sebelum mandi, baik mandi wajib maupun sunnah


Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, Jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
mandi junub, beliau memulainya dengan membasuh kedua tangannya. Kemudian beliau
kucurkan air dari tangan kanan ke tangan kirinya, lantas membasuh kemaluannya, lalu
berwudhu sebagaimana berwudhu untuk shalat. [16]

5. Makan makanan yang tersentuh api

Berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, Aku mendengar
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

.
"Berwudhulah karena memakan makanan yang tersentuh api'." [17]

Perintah ini mengandung makna sunnah. Berdasarkan hadits 'Amr bin Umayyah adh-
Dhamri, dia berkata, Aku melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengiris paha kambing.
Beliau kemudian makan sebagian darinya lalu mengumandangkan seruan untuk shalat.
Beliau berdiri dan meletakkan pisau lantas shalat dan tidak berwudhu." [18]

6. Setiap shalat

Berdasarkan hadits Buraidah Radhiyallahu anhu, ia berkata, Dulu Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam berwudhu pada tiap shalat. Ketika hari penaklukan (Makkah) beliau berwudhu
dan mengusap sepatunya lalu melakukan semua shalat dengan satu wudhu. Umar berkata
padanya, Wahai Rasulullah, engkau melakukan sesuatu yang tidak pernah engkau
lakukan. Beliau berkata, Aku sengaja melakukannya, hai Umar. [19]

7. Tiap kali berhadats

Berdasarkan hadits Buraidah Radhiyallahu anhu, ia berkata, Pada suatu pagi hari
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memanggil Bilal dan berkata, 'Wahai Bilal, dengan
apa engkau mendahuluiku ke Surga? Kemarin malam aku masuk Surga dan kudengar
suara gerakanmu di depanku'. Bilal berkata, "Wahai Rasulullah, tidaklah aku adzan kecuali
aku shalat dua raka'at. Tidaklah aku berhadats melainkan aku berwudhu saat itu juga.'
Rasulullah j berkata, 'Karena inilah'."[20]

8. Muntah

Berdasarkan hadits Ma'dan bin Abi Thalhah dari Abu Darda', dia menceritakan bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah muntah, kemudian berbuka dan berwudhu.
Lalu kutemui Tsauban di masjid Damaskus dan kuceritakan hal ini kepadanya. Dia lalu
berkata, Benar. Akulah yang menuangkan air wudhu beliau'." [21]
9. Membawa mayit

berdasarkan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam:

.
"Barangsiapa memandikan mayat, maka hendaklah ia mandi. Dan barangsiapa
membawanya, maka hendaklah berwudhu." [22]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim
bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team
Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 -
September 2007M]

_______

Footnote

[1]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/234 no. 135)], al-Baihaqi (I/117),
Ahmad (al-Fat-hur Rabbanii) (II/75 no. 352), lafazh hadits pada perawi lain tanpa tambahan,
Shahiih Muslim (I/204 no. 225), Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (I/87 no. 60), dan Sunan
at-Tirmidzi (I/150 no. 76).

[2]. Hasan: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 123)], Sunan at-Tirmidzi (I/65 no. 69), dan Sunan
an-Nasa-i (I/84).

[3]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 386)], Sunan Ibni Majah (I/161 no. 477), Sunan
Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (I/347 no. 200) dengan lafazh serupa.

[4]. Nailuul Authaar (I/242).

[5]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 388)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (I/307
no. 179), Sunan Ibni Majah (I/161 no. 479), Sunan an-Nasa-i (I/100), dan Sunan at-Tirmidzi
(I/55 no. 82), dengan tambahan: ( maka janganlah ia shalat...)

[6]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 392)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (I/312
no. 180), Sunan Ibni Majah (I/163 no. 483), Sunan an-Nasa-i (I/101), dan Sunan at-Tirmidzi
(I/56 no. 85)

[7]. Tamaamul Minnah (103).

[8]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 401)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (I/315
no. 182), Sunan at-Tirmidzi (I/54 no. 81), dan Sunan Ibni Majah (I/166 no. 494), secara
ringkas.

[9]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 146)] dan Shahiih Muslim (I/275 no. 360).

[10]. Shahih: [Shahiih al-Jaamiush Shaghiir (no. 3954)] dan Sunan at-Tirmidzi (II/ 217 no.
967).
[11]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 280)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (I/34
no. 17), Sunan Ibni Majah (I/126 no. 350), dan Sunan an-Nasa-i (I/37), dengan riwayat yang
tidak marfu'.

[12]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (XI/109 no. 6311)] dan Shahiih
Muslim (IV/2081 no. 2710).

[13]. Shahih: [Mukhtasahar Shahiih Muslim (no. 162)], Shahiih Muslim (I/248 no. 305 (22)),
Sunan an-Nasa-i (I/138), dan Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (I/374 no. 221).

[14]. Shahih: [Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (I/375 no. 222).

[15]. Shahih: [Shahiih al-Jaamiush Shaghiir (no. 263)], Shahiih Muslim (I/249 no. 308),
Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (I/371 no. 217), Sunan at-Tirmidzi (I/94 no. 141), Sunan
an-Nasa-i (I/142), dan Sunan Ibni Majah (I/193 no. 587).

[16]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 155)] dan Shahiih Muslim (I/253 no. 316).

[17]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 147)], Shahiih Muslim (I/272 no. 352), Sunan
an-Nasa-i (I/105).

[18]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 148)], Shahiih Muslim (I/274 no. 355 (93)), ini
adalah lafazh darinya, Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/311 no. 208).

[19]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 142)], Shahiih Muslim (I/232 no. 277), Sunan
Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (I/292 no. 171), Sunan at-Tirmidzi (I/42 no. 61), dan Sunan an-
Nasa-i (I/86).

[20]. Shahih: [Shahiih al-Jaamiush Shaghiir (no. 7894)] dan Sunan at-Tirmidzi (V/ 282 no.
3772).

[21]. Sanadnya Shahih: [Tamaamul Minnah, hal. 111], Sunan at-Tirmidzi (I/58 no. 87), dan
Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (VII/8 no. 2364), tanpa lafazh:
( maka
berwudhulah)."

[22]. Shahih: [Ahkaamul Janaa-iz (hal. 53)], Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani) (II/145 no. 486),
Shahiih Ibni Hibban (191/751), al-Baihaqi (I/300), dan Sunan at-Tirmidzi (II/231 no. 998),
dengan maknanya.

Secara sepintas, perintah tersebut mengandung arti wajib. Hanya saja, kita tidak
mengatakannya demikian karena adanya hadits Ibnu Abbas, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda, "Jika kalian memandikan mayit kalian, maka tidak wajib bagi kalian
untuk mandi. Karena mayit kalian tidaklah najis. Cukuplah kalian mem-basuh kedua tangan
kalian." Diriwayatkan dalam kitab Mustadrak al-Hakim (I/386), al-Baihaqi (III/398). Dinukil
dengan pengubahan dari Ahkaamul Janaa-iz karya Syaikh al-Albani, hal. 53.

.
Mengusap Khuff (Sepatu Yang Menutup Mata Kaki)
Kamis, 13 Mei 2004 08:28:51 WIB

KITAB THAHARAH (PERIHAL BERSUCI)

Oleh

Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

2. Mengusap Khuff (Sepatu Yang Menutup Mata Kaki)

Al-Imam an-Nawawi rahimahulla berkata dalam Syarah Muslim (III/ 164), Ulama yang
diperhitungkan dalam ijma' (mutabar) telah sepakat tentang bolehnya mengusap khuff
dalam safar maupun menetap. Baik untuk suatu kebutuhan ataupun tidak. Bahkan boleh
bagi perempuan yang senantiasa berada dalam rumahnya. Demikian pula orang lumpuh
yang tidak bisa berjalan. Hanya orang-orang syi'ah dan khawarij yang mengingkari hal ini.
Dan penyesilihan mereka itu tidak dianggap.

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, 'Aku diberitahu oleh tujuh puluh Sahabat
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
pernah mengusap kedua khuff '."

Dalil yang paling bagus untuk dijadikan sandaran tentang mengusap khuff adalah apa yang
diriwayatkan Muslim dari al-A'masy dari Ibrahim dari Hammam, dia berkata, Jarir kencing,
kemudian berwudhu dan mengusap kedua khuffnya. Dia lalu ditanya, "Kau melakukan ini?"
Dia menjawab, "Ya. Aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kencing kemudian
berwudhu dan mengusap kedua khuffnya." Al-A'masy mengatakan bahwa Ibrahim berkata,
"Hadits ini mem-buat mereka senang. Karena ke-Islaman Jarir terjadi setelah turunnya surat
al-Maa-idah." [1]

An-Nawawi berkata [2], "Artinya, Allah Ta'ala berfirman dalam surat al-Maa-idah: (Maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh)
kakimu sampai dengan kedua mata kaki.) Jika ke-Islaman Jarir lebih dulu daripada turunnya
surat al-Maa-idah, maka haditsnya tentang mengusap khuff bisa jadi mansukh oleh ayat
dalam surat al-Maa-idah tadi. Namun, ketika ternyata ke-Islaman Jarir lebih akhir, maka kita
ketahui bahwa haditsnya bisa diamalkan. Karena dia berfungsi sebagai penjelas bahwa
maksud ayat tersebut bukanlah bagi pemakai khuff. Maka sunnah menjadi pengkhusus bagi
keumuman ayat tersebut. Wallahu alam.
a. Syarat-syaratnya

Disyaratkan bagi bolehnya mengusap khuff agar pelaku mengenakannya dalam keadaan
memiliki wudhu.

Dari al-Mughirah bin Syu'bah Radhiyallahu anhu, ia berkata, Pada suatu malam aku pernah
bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sebuah perjalanan. Kutuangkan timba
padanya. Lantas beliau membasuh wajah dan kedua tangannya lalu mengusap kepalanya.
Kemudian aku merendah untuk melepas kedua khuff beliau. Beliau lantas berkata:

.
Biarkan dia, karena sesungguhnya aku memasukkan keduanya dalam keadaan suci.
Beliau lalu mengusap keduanya. [3]

b. Masa berlakunya

Dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam menentukan tiga hari tiga malam bagi musafir, dan sehari semalam bagi yang
menetap. [4]

c. Bagian yang diusap dan tata caranya

Bagian yang disyari'atkan untuk diusap adalah bagian atas khuff.

Berdasarkan hadits 'Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu :




.
Jika memang agama adalah akal, maka bagian bawah khuff tentu lebih layak untuk diusap
daripada bagian atasnya. Sungguh, aku pernah melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam mengusap bagian atas kedua khuff beliau." [5]

Yang wajib tentang cara mengusap adalah melakukan apa yang dinamakan "mengusap"
(secara umum).

d. Mengusap kaos kaki dan sandal

Sebagaimana diperbolehkan mengusap khuff, diperbolehkan pula mengusap kaos kaki dan
sandal.
Berdasarkan hadits al-Mughirah bin Syu'bah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu
dan mengusap kaos kaki dan sandal." [6]

Dari 'Ubaid bin Juraij, dikatakan pada Ibnu 'Umar, Kami melihatmu melakukan sesuatu yang
tidak pernah seorang pun kami lihat melakukannya kecuali engkau. Dia berkata, Apakah
itu? Mereka berkata, Kami melihatmu mengenakan sandal kulit. Dia berkata,
Sesungguhnya aku pernah melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
mengenakannya, berwudhu dengannya dan mengusapnya.

e. Hal-hal yang membatalkan mengusap.

Mengusap bisa batal dengan salah satu dari tiga hal berikut ini:

1. Habis masa berlakunya

Karena mengusap memiliki masa tertentu, sebagaimana Anda ketahui. Maka tidak boleh
memperpanjang waktu yang telah ditentukan.

2. Junub

Berdasarkan hadits Shafwan Radhiyallahu anhu: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam


pernah menyuruh kami, jika kami dalam keadaan safar agar tidak melepas khuff kami
selama tiga hari tiga malam kecuali jika junub. Bahkan ketika buang hajat, kencing, dan
tidur. [7]

3. Menanggalkannya dari kaki

Karena jika ia menanggalkannya kemudian mengenakannya kembali, maka ia tidak


memasukkan kedua kakinya dalam keadaan suci.

Catatan:

Habisnya masa dan menanggalkan kedua khuff membatalkan hukum ini dengan sendirinya.
Tidak boleh mengusap khuff hingga berwudhu dan membasuh kedua kakinya lalu
mengenakannya. Namun, jika dia dalam keadaan memiliki wudhu ketika menanggalkannya
atau habis masanya, maka dia tetap dalam wudhunya. Dia boleh shalat dengan khuff
selama dia suka sampai dia berhadats.

Catatan:

Barangsiapa mengenakan sepasang kaos kaki dalam keadaan suci, kemudian


mengusapnya dan melepas bagian atasnya setelah mengusap, maka boleh meneruskan
masa berlakunya dengan mengusap bagian bawahnya. Karena bisa dikatakan bahwa dia
memasukkan kedua kakinya dalam keadaan suci. Adapun jika mengenakan sebelah kaos
kaki dan mengusapnya, kemudian mengenakan kaos kaki sebelahnya yang belum diusap,
maka tidak boleh. Karena tidak bisa dikatakan bahwa dia memasukkan keduanya dalam
keadaan suci. [8]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim
bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team
Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 -
September 2007M]

_______

Footnote

[1]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 136)], Shahiih Muslim (I/227 no. 272), dan
Sunan at-Tirmidzi (I/63 no. 93).

[2]. Syarh Muslim (III/164).

[3]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (I/230 274 (79))], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari)
(I/309 no. 206), secara ringkas, dan Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (I/256 no. 151).

[4]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 139)], Shahiih Muslim (I/232 no. 276), dan
Sunan an-Nasa-i (I/84).

[5]. Shahih: [Irwaa' al-Ghaliil (no. 103)] dan Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (I/278 no.
162).

[6]. Shahih: [Irwaa' al-Ghaliil (no. 101)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (I/269 no. 159),
Sunan at-Tirmidzi (I/67 no. 99), dan Sunan Ibni Majah (I/ 185 no. 559).

[7]. Hasan: [Irwaa'ul Ghaliil (no. 104)], Sunan at-Tirmidzi (I/65 no. 96), dan Sunan an-Nasa-i
(I/84).

[8]. Begitulah al-'Allamah al-Albani memberitahu saya.


Mandi
Sabtu, 1 Mei 2004 11:59:36 WIB

KITAB THAHARAH (PERIHAL BERSUCI)

Oleh

Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

3. Mandi

a. Hal-Hal Yang Mewajibkannya:

1. Keluar mani, baik saat terjaga ataupun tidur

Berdasarkan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :

.
Sesungguhnya air (mandi) itu disebabkan air (keluarnya mani) [1]

Dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, Ummu Sulaim Radhiyallahu anhuma, berkata,
Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran. Apakah seorang
wanita wajib mandi jika mimpi bersetubuh? Beliau berkata, Ya, jika dia melihat air. [2]

Khusus dalam keadaan terjaga disyaratkan adanya syahwat, sedangkan pada tidur tidak
disyaratkan.

Berdasarkan sabda beliau:

, .

Jika engkau memancarkan air (mani), maka mandilah karena junub. Jika tidak
memancarkannya, maka engkau tidak wajib mandi.[3]

Asy-Syaukani berkata, [4] "Memancarkan adalah melontarkan. Hal ini tidak mungkin terjadi
kecuali disebabkan syahwat. Karena itulah penulis berkata, "Di sini terdapat peringatan
terhadap apa yang keluar dengan tidak disertai syahwat. Mungkin karena sakit atau hawa
dingin, yang semua itu tidak mewajibkan mandi."
Barangsiapa mimpi bersetubuh dan tidak melihat adanya air mani, maka dia tidak wajib
mandi. Dan barangsiapa melihat air mani, sedangkan dia tidak ingat apakah dia mimpi
bersetubuh, maka dia tetap wajib mandi.

Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam


ditanya tentang seorang laki-laki yang mendapati basah (bekas air mani) sedangkan dia
tidak ingat apakah ia mimpi bersetubuh. Beliau menjawab, 'Dia wajib mandi.' Dan tentang
seorang laki-laki yang mimpi bersetubuh namun tidak mendapati basah (bekas air mani).
Beliau menjawab, 'Dia tidak wajib mandi'." [5]

2. Jima, walaupun tidak keluar air mani

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau
bersabda:


.
Jika ia telah duduk di antara keempat cabang istrinya, kemudian ia membuatnya
kepayahan (kiasan untuk bersetubuh), maka ia wajib mandi. Meskipun tidak keluar air
mani." [6]

3. Masuk Islamnya orang kafir

Dari Qais bin 'Ashim, ia menceritakan bahwa ketika masuk Islam, Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam menyuruhnya mandi dengan air dan bidara. [7]

4. Terputusnya haidh dan nifas

Berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu anhuma. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata
kepada Fathimah binti Abi Khubaisy:

.

Jika datang haidh, maka tinggalkanlah shalat. Dan jika telah lewat, maka mandi dan
shalatlah. [8]

Nifas dan haidh dihukumi sama secara ijma'.


5. Hari Jum'at

Dari Abu Sa'id al-Khudri, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

.
Mandi hari Jum'at wajib bagi setiap orang yang telah baligh. [9]

b. Rukun-Rukunnya:

1. Niat

Berdasarkan hadits:

.
Sesungguhnya perbuatan itu tergantung pada niatnya.

2. Meratakan air pada sekujur badan.

c. Tata Cara Yang Disunnahkan Ketika Mandi

Dari Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, Dahulu, jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam hendak mandi janabah (junub), beliau memulainya dengan membasuh kedua
tangannya. Kemudian menuangkan air dari tangan kanan ke tangan kirinya lalu membasuh
kemaluannya. Lantas berwudhu sebagaimana berwudhu untuk shalat. Lalau beliau
mengambil air dan memasukkan jari-jemarinya ke pangkal rambut. Hingga jika beliau
menganggap telah cukup, beliau tuangkan ke atas kepalanya sebanyak tiga kali tuangan.
Setelah itu beliau guyur seluruh badannya. Kemudian beliau basuh kedua kakinya." [10]

Catatan:

Tidak wajib bagi seorang wanita mengurai rambutnya ketika mandi janabah (junub). Namun
wajib dilakukan ketika mandi sehabis haidh.

Dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, Aku berkata, Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku adalah wanita berkepang dengan kepangan yang sulit diurai. Apakah
aku harus mengurainya ketika mandi janabah? Beliau berkata:

.

Tidak, cukuplah engkau tuangkan air ke atas kepalamu sebanyak tiga kali. Kemudian
guyurkan air ke seluruh tubuhmu. Maka, sucilah engkau. [11]
Dari Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwasanya Asma bertanya kepada Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam tentang mandi setelah selesai haidh. Beliau lalu bersabda, Hendaklah
salah seorang dari kalian mengambil air dan bidaranya lalu bersuci (yaitu berwudhu menurut
penafsiran sejumlah ulama, sebagaimana tata cara mandi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
-ed.) dengan sebaik-baiknya. Kemudian mengucurkannya ke atas kepala dan menguceknya
kuat-kuat hingga ke pangkal kepalanya. Lantas mengguyur seluruh badannya dengan air.
Setelah itu hendaklah ia mengambil secarik kapas yang diberi minyak misk, lalu bersuci
dengannya." Asma' berkata, "Bagaimana cara dia bersuci dengannya?" Beliau berkata:
"Subhaanallaah, bersucilah dengannya." 'Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata sambil
seolah berbisik, "Ikutilah bekas-bekas darah itu dengannya."

Dan aku (Asma) bertanya lagi kepada beliau tentang mandi (junub) janabah. Beliau lalu
bersabda:


.
Hendaklah salah seorang dari kalian mengambil air lalu bersuci (yaitu berwudhu menurut
penafsiran sejumlah ulama-ed.) dengan sebaik-baiknya atau menyempurnakannya.
Kemudian menuangkan air ke atas kepala dan menguceknya sampai ke dasar kepala.
Setelah itu mengguyurkan air ke seluruh badannya." [12]

Dalam hadits ini terdapat perbedaan jelas antara mandinya wanita karena haidh dan karena
(junub) janabah. Yaitu ditekankannya pada wanita yang haidh agar bersuci dan mengucek
dengan kuat dan sungguh-sungguh. Sedangkan pada mandi janabah tidak ditekankan hal
tersebut. Dan hadits Ummu Salamah adalah dalil bagi tidak wajibnya mengurai rambut saat
mandi janabah. [13]

Tujuan mengurai rambut adalah untuk meyakinkan sampainya air hingga ke dasar rambut.
Hanya saja pada mandi (junub) janabah masih ditolerir. Karena seringnya dilakukan serta
adanya kesulitan yang sangat ketika mengurainya. Lain halnya dengan mandi haidh yang
hanya terjadi setiap sebulan sekali.

Catatan:

Diperbolehkan bagi suami isteri untuk mandi bersama dalam satu tempat. Diperbolehkan
juga bagi masing-masing untuk melihat aurat pasangannya.

Berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu anhuma :


.
Aku dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mandi dari satu bejana. Kami
berdua dalam keadaan junub. [14]
d. Mandi-Mandi Yang Disunnahkan:

1. Mandi pada setiap selesai jima'

Berdasarkan hadits Abu Rafi': Pada suatu malam Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
menggilir isteri-isterinya. Beliau mandi setiap selesai dari fulanah dan dari si fulanah. Dia
berkata, "Wahai Rasulullah, kenapa Anda tidak mandi sekali saja?" Beliau berkata, "Yang
seperti ini lebih suci, lebih baik, dan lebih bersih." [15]

2. Mandinya wanita mustahadhah (yang sedang haidh) setiap akan shalat

Atau sekali mandi untuk shalat Zhuhur dan Ashar. Juga sekali mandi untuk shalat Maghrib
dan Isya'. Serta untuk Shubuh sekali mandi.

Berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, Sesungguhnya Ummu


Habibah istihadhah pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. lalu Beliau
menyuruhnya mandi pada setiap akan shalat... [16]

Dan dalam satu riwayat lain dari Aisyah, ia berkata, Seorang wanita istihadhah pada
zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Lalu ia disuruh memajukan Ashar dan
mengakhirkan Zhuhur, serta mandi satu kali untuk keduanya. Juga mengakhirkan Maghrib
dan memajukan Isya', serta mandi satu kali untuk keduanya. Dan mandi satu kali untuk
shalat Shubuh. [17]

3. Mandi setelah pingsan

Berdasarkan hadits 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi


wa sallam sakit parah. Beliau lalu berkata, 'Apakah orang-orang sudah shalat?' Kami
berkata, 'Belum, mereka menunggu Anda, wahai Rasulullah.' Beliau berkata, 'Letakkanlah
air di bejana untukku.' Kami pun melakukannya. Beliau lalu mandi lantas bangkit dengan
semangat. Namun beliau pingsan lagi, lalu tersadar dan berkata, 'Apakah orang-orang
sudah shalat?' Kami berkata, 'Belum. Mereka menunggu Anda, wahai Rasulullah.'" Aisyah
lalu menyebutkan penisbatan hadits ini ke Abu Bakar dan kelanjutannya. [18]

4. Mandi setelah menguburkan orang musyrik

Berdasarkan hadits 'Ali bin Thalib Radhiyallahu anhu. Dia mendatangi Nabi Shallallahu
'alaihi wa salalm dan berkata, Sesungguhnya Abu Thalib telah meninggal dunia. Beliau
berkata, Pergi dan kuburkan dia. Ketika aku telah menguburkannya, aku kembali kepada
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau bersabda, Mandilah. [19]
5. Mandi pada dua hari raya dan hari 'Arafah

Berdasarkan riwayat al-Baihaqi dari jalur asy-Syafi'i dari Zadzan. Dia mengatakan bahwa
seorang laki-laki bertanya kepada Ali Radhiyallahu anhu tentang mandi. Ali menjawab,
Mandilah tiap hari jika kau suka. Dia berkata, Bukan, maksud saya mandi yang benar-
benar mandi (yang disyari'atkan dalam agama-pent). Dia berkata, (Mandi) hari jum'at, hari
'Arafah, hari raya Qurban, dan hari Idul Fithri.

6. Mandi setelah memandikan mayat

Berdasarkan sabda beliau:

.
Barangsiapa memandikan mayat, maka hendaklah ia mandi. [20]

7. Mandi untuk ihram umrah atau haji

Berdasarkan hadits Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu, Dia melihat Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam melepas pakaian berjahit dan mengenakan pakaian ihram) serta mandi untuk
ihram. [21]

8. Mandi ketika memasuki kota Makkah

Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa dia tidak mendatangi Makkah kecuali
bermalam di Dzu Thuwa hingga datang pagi dan dia pun mandi. Kemudian dia memasuki
Makkah pada siang hari. Dia menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
melakukannya. [22]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim
bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team
Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 -
September 2007M]

_______

Footnote

[1]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/228 no. 130)], Shahiih Muslim
(I/251 no. 313), dan Sunan at-Tirmidzi (I/80 no. 122).

[2]. Sanadnya hasan shahih: [Irwaa'ul Ghaliil (I/162)] dan Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani)
(I/247 no. 82).

[3]. Nailul Authaar (I/275).

[4]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 216)], Sunan at-Tirmidzi (I/74 no. 113), dan
Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (I/399 no. 233).
[5]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 152)] dan Shahiih Muslim (I/271 no. 348).

[6]. Shahih: [Irwaa' al-Ghaliil (no. 128)], Sunan an-Nasa-i (I/109), Sunan at-Tirmidzi (II/58 no.
602), dan Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (II/19 no. 351).

[7]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/420 no. 320)], Shahiih Muslim
(I/262 no. 333), Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (I/466 no. 279), dan Sunan at-Tirmidzi
(I/82 no. 125), Sunan an-Nasa-i (I/186), lafazh mereka selain al-Bukhari adalah: "Maka
cucilah darah itu darimu."

[8]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (357/2 no. 879)], Shahiih Muslim
(II/580 no. 346), Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (II/4, 5 no. 337), Sunan an-Nasa-i
(III/93), dan Sunan Ibni Majah (I/346 no. 1089).

[9]. Muttafaq 'alaihi.

[10]. hahih: [Irwaa' al-Ghaliil (no. 136)], Shahiih Muslim (I/259 no. 330), Sunan Abi Dawud
('Aunul Mabuud) (I/426 no. 248), Sunan an-Nasa-i (I/131), Sunan at-Tirmidzi (I/71 no. 105),
dan Sunan Ibni Majah (I/198 no. 603).

[11]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 172)] dan Shahiih Muslim (I/261 no. 332
(61)).

[12]. Tahdziib Sunan Abi Dawud, karya Ibnul Qayyim (I/167 no. 166) dengan pengubahan.

[13]. Tahdziib Sunan Abi Dawud, karya Ibnul Qayyim (I/167 no. 166) dengan pengubahan.

[14]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (I/256 no. 321)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari)
(I/374 no. 263), dan Sunan an-Nasa-i (I/129).

[15]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 480)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud)
(1370 no. 216), dan Sunan Ibni Majah (I/194 no. 590).

[16]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 269)] dan Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud)
(I/483 no. 289).

[17]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 273)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud)
(I/487 no. 291), dan Sunan an-Nasa-i (I/184).

[18]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (I/311 no. 418)] dan Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari)
(I/172 no. 687).

[19]. Sanadnya Shahih: [Ahkaamul Janaa-iz (134)], Sunan an-Nasa-i (I/110), dan Sunan Abi
Dawud ('Aunul Mabuud) (IX/32 no. 3198).

[20]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1195)] dan Sunan Ibni Majah (I/470 no. 1463).

[21]. Hasan: [Irwaa' al-Ghaliil (no. 149)] dan Sunan at-Tirmidzi (II/163 no. 831).

[22]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (II/919 no. 1259 (227))], ini adalah lafazh darinya,
Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/435 no. 1573), Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud)
(V/318 no. 1848), dan Sunan at-Tirmidzi (II/172 no. 854). .
Bersuci Dengan Tanah (Tayammum)
Sabtu, 1 Mei 2004 11:24:11 WIB

KITAB THAHARAH (PERIHAL BERSUCI)

Oleh

Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

B. Bersuci Dengan Tanah (Tayammum)

1. Landasan Pensyari'atannya

Allah Ta'ala berfirman:



... dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air (kakus) atau
menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan
tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu... [Al-Maa-idah:
6]

Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

.
Sesungguhnya tanah yang suci adalah sarana bersuci bagi seorang muslim. Meskipun ia
tidak menemukan air selama sepuluh tahun. [1]

2. Sebab-sebab yang memperbolehkan Tayammum

Tayammum diperbolehkan ketika tidak mampu menggunakan air, baik disebabkan


ketiadaannya atau karena dikhawatirkan parahnya penyakit yang di derita, atau dingin yang
menggigit.

Dari 'Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu, ia berkata: Kami bersama Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sebuah perjalanan. Beliau lalu shalat mengimami kami.
Tiba-tiba terlihat ada seorang pria yang menyendiri. Lalu beliau bertanya, 'Apa yang
menghalangimu untuk shalat?' Dia menjawab, 'Saya sedang junub dan tidak mendapatkan
air.' Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
.
Gunakanlah tanah. Sesungguhnya itu mencukupimu. [2]

Dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia berkata, Kami keluar dalam sebuah perjalanan. Salah
seorang di antara kami terkena batu hingga kepalanya terluka parah. Dia kemudian mimpi
basah. Lalu dia bertanya kepada para sahabatnya, 'Apakah kalian melihat adanya
keringanan bagiku untuk bertayammum?' Mereka menjawab, 'Kami tidak mendapatkan
keringanan bagimu, sedang kau mampu menggunakan air.' Kemudian dia mandi lalu wafat.
Ketika kami menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, hal itu diadukan kepada
beliau. Lalu beliau bersabda, 'Mereka telah membunuhnya. Semoga Allah membunuh
mereka. Kenapa mereka tidak bertanya jika memang tidak tahu?! Sesungguhnya obat
kebodohan adalah bertanya. Sesungguhnya cukuplah baginya untuk bertayammum. [3]

Dari 'Amr bin al-Ash Radhiyallahu anhu, bahwasanya ketika dia diutus dalam perang
Dzaatus Salaasil dia berkata, "Pada suatu malam yang sangat dingin, aku mimpi basah. Aku
merasa jika aku mandi maka aku akan celaka. Aku lalu bertayammum kemudian menjadi
imam shalat shubuh bagi para sahabatku. Ketika kami menemui Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, mereka menceritakan hal itu kepadanya. Beliau berkata, 'Wahai 'Amr, kau
mengimami para sahabatmu dalam keadaan junub?' Aku berkata, "Saya teringat firman
Allah Ta'ala:


Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh) ku dan
dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni Neraka, dan yang demikian itulah
pembalasan bagi orang-orang yang zhalim. [Al-Maa-idah: 29]

Kemudian aku bertayammum dan shalat. Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
tertawa dan tidak mengkritik sedikit pun." [4]

( ash-Sha'iid)?
3. Apakah yang dimaksud dengan

Dalam Lisaanul 'Arab disebutkan: Ash-Sha'iid artinya tanah. Ada yang menyatakan: tanah
yang suci. Ada pula yang mengatakan: semua debu yang suci. Dalam al-Qur-an:


... Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih)... [Al-Maa-idah: 6]
Abu Ishaq berkata, Ash-Sha'iid adalah permukaan bumi. Diwajibkan bagi seseorang yang
bertayammum untuk menepukkan kedua tangannya pada permukaan bumi. Tidak perlu
dipedulikan apakah pada tempat itu terdapat debu atau tidak. Karena ash-Sha'iid bukanlah
debu. Ia adalah permukaan bumi. Baik debu atau selainnya. Dia melanjutkan, "Seandainya
seluruh permukaan tanah adalah batu yang tidak ada debu di atasnya. Lalu orang yang
hendak bertayammum menepukkan tangannya ke atas batu itu, maka hal itu sudah menjadi
penyuci baginya jika ia mengusapkan pada wajahnya."

4. Tata Cara Tayammum

Dari 'Ammar bin Yasir Radhiyallahu anhu, ia berkata, Aku junub dan tidak memiliki air. Aku
lantas berguling-guling di atas tanah lalu shalat. Kuceritakan hal itu kepada Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam. Lalu beliau berkata:

.


.
Sesungguhnya, cukuplah kau lakukan begini. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
menepukkan kedua telapak tangannya ke atas tanah lalu meniupnya. Kemudian beliau usap
dengannya wajah dan kedua telapak tangan beliau. [5]

Catatan:

Hukum asal tayammum adalah sebagai pengganti wudhu. Perkara-perkara yang boleh
dilakukan dengan wudhu juga boleh dilakukan dengan tayammum. Diperbolehkan
tayammum sebelum masuk waktu shalat sebagaimana wudhu juga dibolehkan. Juga
dibolehkan shalat sesuka hati dengan (sekali) tayammum (selama tidak batal) sebagaimana
shalat dengan wudhu.

5. Hal-Hal yang Membatalkan Tayammum

Tayammum batal dengan perkara yang membatalkan wudhu. Ia juga batal dengan adanya
air bagi yang sebelumnya tidak mendapatkan air. Dikatakan juga dengan adanya
kemampuan untuk menggunakan air bagi yang sebelumnya tidak mampu. Adapun shalat
yang telah dikerjakan, maka tetap sah dan tidak wajib diulang.

Dari Abu Said al-Khudri Radhiyallahu anhu, ia berkata, Dua orang laki-laki berada dalam
sebuah perjalanan. Lalu tibalah waktu shalat, sedangkan mereka tidak memiliki air.
Kemudian bertayammum dengan tanah yang suci lalu shalat. Beberapa saat kemudian,
mereka menemukan air. Lalu salah seorang dari mereka berwudhu dan mengulangi shalat,
sedangkan yang satunya tidak. Kemudian mereka mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam dan menceritakan hal tersebut. Lalu beliau berkata kepada orang yang tidak
mengulang, 'Engkau telah melakukan sunnah dan shalatmu sudah mencukupi'. Dan berkata
kepada orang yang berwudhu dan mengulang shalatnya, Engkau mendapatkan dua kali."
[6]

Catatan:

Barangsiapa mempunyai luka yang telah dibalut, atau patah tulang yang telah digips, maka
gugurlah kewajiban membasuh tempat itu. Dia tidak wajib mengusap dan tidak pula
bertayammum untuk cedera tersebut.

Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :



Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia
mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan)
yang dikerjakannya... [Al-Baqarah: 286]

Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

.
"Jika kuperintah kalian terhadap suatu perkara, maka lakukanlah semampu kalian." [7]

Maka dengan al-Qur-an dan Sunnah, gugurlah semua kewajiban yang seseorang merasa
tidak mampu melakukannya. Kewajiban pengganti termasuk syariat. Sedangkan syariat
tidak mewajibkan sesuatu melainkan dengan al-Qur-an dan Sunnah. Dan al-Qur-an dan
Sunnah tidak menyebutkan bahwa mengusap gips atau pengobatan sejenisnya adalah
pengganti dari membasuh anggota tubuh yang (secara medis) tidak bisa dibasuh. Maka
gugurlah pendapat tersebut. [8]

6. Dibolehkan Bertayammum dengan Tembok

Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhu, ia berkata, Aku dan 'Abdullah bin Yasar, mantan
budak Maimunah, isteri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam datang menemui Abu Juhaim bin
al-Harits bin ash-Shimmah al-Anshari. Lalu berkatalah Abul Juhaim, 'Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam datang dari arah sumur Jamal [9]. Kemudian seorang laki-laki berjumpa
dengannya dan mengucap salam pada beliau. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak
menjawab salamnya hingga mendatangi sebuah tembok dan mengusap wajah dan kedua
tangannya. Setelah itu beliau menjawab salamnya'." [10]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim
bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team
Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 -
September 2007M]

_______

Footnote

[1]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 322)], Sunan at-Tirmidzi (I/81 no. 124), Sunan
Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (I/528 no. 329), dan Sunan an-Nasa-i (I/171), dengan lafazh
yang hampir serupa.

[2]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/477 no. 344)], Shahiih Muslim
(I/474 no. 682), dan Sunan an-Nasa-i (I/171).

[3]. Hasan: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 326)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (I/532
no. 332), di dalamnya terdapat tambahan yang munkar, yaitu: "... dia lalu membalut atau
memperban lukanya dengan secarik kain kemudian mengusapnya dan membasuh seluruh
tubuhnya." Syamsul Haqq berkata dalam 'Aunul Mabuud (I/535), "Riwayat yang
menggabungkan antara tayam-mum dan mandi, yaitu yang diriwayatkan selain Zubair bin
Khuraiq, maka tidak kuat secara ilmu hadits, juga telah menyelisihi semua yang
meriwayatkan dari 'Atha' bin Abi Rabah. Jadi, riwayat yang menggabungkan antara mandi
dan tayammum adalah riwayat dha'if yang tidak bisa digunakan untuk me-netapkan hukum."
Perhatikanlah catatan yang akan disebutkan pada halaman berikut ini.

[4]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 323)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (I/530
no. 330), Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani) (II/191 no. 16), dan Mustadrak al-Hakim (I/177).

[5]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/455 no. 347)], Shahiih Muslim
(I/280 no. 368), Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (I/514 no. 317), dan Sunan an-Nasa-i
(I/166).

[6]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 327)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (I/536
no. 334), dan Sunan an-Nasa-i (I/213).

[7]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 639)], Shahiih Muslim (II/975 no. 1337), dan
Sunan an-Nasa-i (V/110).

[8]. Al-Muhallaa (II/74).

[9]. Sebuah tempat dekat Madinah.

[10]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/441 no. 337)], Shahiih Muslim
(I/281 no. 369), secara muallaq, Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (I/521 no. 325), dan
Sunan an-Nasa-i (I/165).
Hukum Haidh Dan Nifas
Kamis, 29 April 2004 07:27:49 WIB

KITAB THAHARAH (PERIHAL BERSUCI)

Oleh

Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Hukum Haidh Dan Nifas

Haidh adalah darah yang dikenal para wanita. Tidak ada ba-tasan tentang waktu maksimal
dan minimalnya dalam syariat. Itu semua berpulang pada kebiasaan masing-masing.

Sedangkan nifas adalah darah yang keluar karena melahirkan. Batasan maksimal adalah
empat puluh hari.

Dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, ia berkata:


.

Dulu para wanita yang nifas pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menahan
diri selama empat puluh hari. [1]

Jika ia melihat dirinya telah suci (dengan terhentinya darah-pent.) sebelum empat puluh
hari, maka dia harus mandi dan saat itu ia telah suci. Namun, jika darahnya terus mengalir
setelah empat puluh hari, maka dia harus mandi pada hari keempat puluh dan ia suci ketika
itu.

A. Hal-Hal Yang Dilarang Bagi Wanita Yang Sedang Haidh Dan Nifas

Wanita yang sedang haidh dan nifas dilarang melakukan hal yang dilarang bagi orang yang
berhadats. Selain itu juga dilarang:

1. Puasa

Dia harus mengqadha'nya jika telah selesai.


Dari Mu'adzah, dia berkata, Aku bertanya kepada Aisyah, 'Kenapa para wanita yang haidh
(diwajibkan) mengqadha puasa dan tidak mengqadha shalat?' Dia berkata, 'Ketika kami haid
dalam masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kami disuruh mengqadha puasa dan
tidak disuruh mengqadha shalat.'"[2]

2. Bersetubuh pada kemaluan (penetrasi kemaluan/coitus).

Berdasarkan firman Allah Ta'ala:

Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, Haidh itu adalah suatu kotoran.
Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah
kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. [Al-
Baqarah: 222].

Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

.
"Berbuatlah sesuka hatimu, kecuali bersetubuh." [3]

B. Hukum Suami Yang Menyetubuhi Isterinya Yang Sedang Haidh

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata dalam kitab Syarah Muslim (III/204), Jika
seorang muslim meyakini halalnya menyetubuhi wanita haidh pada kemaluannya, maka dia
telah kafir dan murtad. Namun seseorang melakukannya tanpa meyakini kehalalannya,
maka jika dia melakukannya karena lupa atau tidak tahu adanya darah haidh. Atau dia tidak
tahu keharamannya atau dia dipaksa, maka dia tidak berdosa dan tidak pula wajib
membayar kaffarat. Jika dia sengaja menyetubuhinya dan mengetahui adanya darah haidh
serta haramnya perbuatan ini tanpa ada paksaan, maka dia telah melakukan dosa besar.
Asy-Syafi'i menetapkannya sebagai dosa besar dan wajib baginya untuk bertaubat. Tentang
wajibnya kaffarat, terdapat dua pendapat.

Saya katakan, Pendapat yang rajih adalah wajib membayar kaffarat.


Berdasarkan hadits Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam tentang seseorang yang menyetubuhi isterinya yang sedang haidh. Beliau bersabda:

.
Dia wajib bersedekah sebanyak satu dinar atau setengah dinar. [4]

Diperbolehkannya memilih dalam hadits tersebut kembali pada pembedaan antara


permulaan keluarnya darah dan akhirnya.

Berdasarkan riwayat dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma secara mauquf : Jika dia
melakukannya pada permulaan keluarnya darah, maka dia harus bersedekah dengan satu
dinar. Dan jika pada akhir keluarnya, maka setengah dinar. [5]

C. Istihadhah

Yaitu, darah yang keluar pada selain waktu haidh dan nifas, atau yang bersambung dengan
keduanya (tetapi bukan termasuk keduanya, ed). Jika darah tersebut keluar selain waktu
haidh dan nifas, maka perkaranya jelas. Namun jika bersambung dengan haidh dan nifas,
maka ketentuannya sebagai berikut:

Jika seorang wanita memiliki kebiasaan, maka apa yang melebihi kebiasaannya adalah
darah istihadhah.

Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada Ummu Habibah:

.
Berdiamlah selama waktu haidh yang biasa engkau jalani, kemudian mandi dan shalatlah.
[6]

Jika dia bisa membedakan kedua darah tersebut, maka darah haidh adalah yang berwarna
hitam sebagaimana dikenal. Sedangkan yang selain itu adalah istihadhah.

Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada Fathimah binti Abi Hubaisy:



.
Jika memang itu darah haidh, maka ia berwarna hitam sebagaimana dikenal. Maka
tinggalkanlah shalat. Jika tidak seperti itu, maka berwudhulah. Karena ia adalah penyakit."
[7]
Jika ada seorang wanita yang baru baligh lalu mengalami istihadhah sedangkan dia tidak
bisa membedakan, maka dikembalikan pada kebiasaan para wanita pada umumnya.

Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada Hamnah binti Jahsyi:

Ini adalah salah satu dorongan syaitan. Maka jalanilah haidhmu selama enam atau tujuh
hari menurut ilmu Allah kemudian mandilah. Hingga jika kamu menganggap dirimu telah suci
dan bersih, maka shalatlah selama dua puluh empat malam atau dua puluh tiga hari. Dan
berpuasalah, karena itu sudah mencukupimu. Lakukanlah seperti itu setiap bulan.
Sebagaimana para wanita menjalani haidh dan suci berdasarkan waktu haid dan suci
mereka. [8]

D. Hukum Wanita Istihadhah

Tidak diharamkan bagi wanita yang istihadhah hal-hal yang diharamkan pada wanita haidh.
Hanya saja, dia wajib wudhu setiap akan shalat.

Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Fathimah binti Abi Hubaisy:

"Kemudian berwudhulah pada setiap akan shalat." [9]

Disunnahkan baginya untuk mandi setiap akan shalat sebagaimana disebutkan dalam
pembahasan mandi-mandi yang disunnahkan.

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim
bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team
Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 -
September 2007M]

_______
Footnote

[1]. Hasan Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 530)], Sunan Abi Dawud ('Aunul
Mabuud) (I/501 no. 307), Sunan at-Tirmidzi (I/92 no. 139), dan Sunan Ibni Majah (I/213 no.
648).

[2]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (I/265 no. 335)], ini adalah lafazh darinya, Shahiih al-
Bukhari (Fat-hul Baari) (I/421 no. 321), Sunan at-Tirmidzi (I/87 no. 130), Sunan Abi Dawud
('Aunul Mabuud) (I/444 no. 259), dan Sunan Ibni Majah (I/207 no. 631).

[3]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 527)], Shahiih Muslim (I/246 no. 302), Sunan Abi
Dawud ('Aunul Mabuud) (I/439 no. 255), Sunan at-Tirmidzi (IV/ 282 no. 4060), Sunan Ibni
Majah (I/211 no. 644), dan Sunan an-Nasa-i (I/152).

[4]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 523)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (I/445
no. 261), Sunan an-Nasa-i (I/153), Sunan Ibni Majah (I/210 no. 640).

[5]. Shahih Mauquuf: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 238)], Sunan Abi Dawud ('Aunul
Mabuud) (I/249 no. 262).

[6]. Shahih: [Irwaa'ul Ghaliil (no. 202)] dan Shahiih Muslim (I/264 no. 334 (65)).

[7]. Shahih: [Irwaa'ul Ghaliil (no. 204)], Sunan an-Nasa-i (I/185), dan Sunan Abi Dawud
('Aunul Mabuud) (I/470 no. 283).

[8]. Hasan: [Irwaa'ul Ghaliil (no. 205)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (I/ 475 no. 284),
Sunan at-Tirmidzi (I/83 no. 128), dan Sunan Ibni Majah (I/205/ no. 627), secara makna yang
sama.

[9]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 507)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Mabuud) (I/490
no. 195), dan Sunan Ibni Majah (I/204 no. 624).

Anda mungkin juga menyukai