Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH MATA KULIAH

DASAR-DASAR ILMU OLAHRAGA


TES DAN PENGUKURAN
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Sumaryanto, M.Kes

Dr. Widiyanto, M.Kes

Oleh:

Defrizal
16711251076

ILMU KEOLAHRAGAAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2016
DAFTAR ISI

COVER................................................................................................... i

DAFTAR ISI......................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG................................................................ 1
B. RUMUSAN MASALAH........................................................... 2
C. TUJUAN MASALAH................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN TES DAN PENGUKURAN............................. 3


B. TES KONDISI FISIK................................................................. 5
C. KOMPONEN KONDISI FISIK................................................. 5
D. PRINSIP LATIHAN FISIK...................................................... 11
E. PRINSIP PENYUSUNAN TES............................................... 12
F. KRITERIA PEMILIHAN TES................................................ 13
G. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESALAHAN TES. 16
H. PROSEDUR PENGUKURAN JASMANI.............................. 24

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN........................................................................ 31
B. SARAN.................................................................................... .31

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pada kehidupan manusia pasti akan dihadapkan dengan beberapa masalah


yang ada, sangat kompleks sekali masalah demi masalah yang muncul. Dengan
segenap kemampuan yang dimiliki manusia, manusia akan selalu berusaha untuk
menyelesaikan semua masalah-masalah itu. Tetapi terkadang seseorang akan lupa
terhadap apa yang terjadi pada dirinya sendiri, lebih-lebih pada masalah fisik,
yaitu tentang kesegaran jasmani. Banyak dari mereka yang sibuk, akan lupa
terhadap kesehatan dan kestabilan kesegaran jasmaninya.

Kesegaran jasmani seseorang adalah kemampuan tubuh seseorang untuk


melakukan tugas pekerjaan sehari-hari tanpa menimbulkan kelelahan yang berarti,
untuk dapat mencapai kondisi kesegaran jasmani yang prima seseorang perlu
melakukan latihan fisik yang melibatkan beberapa komponen kesegaran jasmani
dengan metode latihan yang benar.

Semakin tinggi tingkat kesegaran jasmani seseorang, semakin besar


kemampuan fisiknya dan produktiitas kerjanya, khususnya dalam bidang
olahraga. Bagi guru pendidikan jasmani ataupun pelatih, sangat penting
mengadakan pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kesegaran jasmani siswa
atau atlet untuk mengembangkan prestasi. Selain itu para guru atau Pelatih akan
membutuhkan sesuatu yang dinamakan demngan evaluasi. Yang bertujuan untuk
mengoreksi dan mengetahui seberapa tingkat dan perkembangan setelah
melakukan beberapa tahap latihan. Sebagai Pelatih dan Guru olahraga, yang
bertanggung jawab atas prestasi anak asuhannya. Perlu melengkapi dirinya
dengan pengetahuan tentang cara-cara mengukur dan menilai status kondisi fisik
tersebut. Dan status kondisi fisik seseorang hanya mungkin diketahui dengan
pengukuran dan penilaian yang berbentuk beberapa tes kemampuan.

Dengan melakukan tes dan pengukuran ini kita dapat mengambil beberapa
manfaat, diantaranya kita dapat mengevaluasi tahap latihan yang telah dilakukan,
dengan hal itu kita dapat mengetahui seberapa perkembangan kondisi fisik
seseorang, selain kita bisa mengembangkan prestasi atlet, kita juga bisa
menjadikan ini sebagai bahan perbaikan dalam pemebelajaran atau pelatihan. Kita
juga dapat termotivasi oleh hasil yang diambil dalam tes dan pengukuran ini, atau
bahkan kita dapat menggunakan data ini untuk bahan sebuah penelitian.
B. Rumusan Masalah

Setelah membahas latar belakang diatas penulis menumakan beberapa


masalah dan merumuskan masalahnya. Berikut adalah rumusan masalah dalam
makalah ini:
1. Apa Pengertian Tes dan Pengukuran Olahraga ?
2. pengertian kondisi fisik ?
3. kriteria pemilihan tes ?

C. Tujuan Makalah

Makalah ini bertujuan untuk dapat menanamkan sikap yang baik dan

dijadikan budaya didalam aspek pembelajaran, sehingga memberikan maanfaat

bagi pembaca baik secara praktis maupun teoritis. Secara Teoritis, hasil makalah

ini diharapkan berguna untuk memberikan sumbangan pemikiran dan bahan

bacaan bagi seluruh teman-teman Prodi Ilmu Keolahragaan Kelas D angkatan

2016 Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Yogyakarta, dan adapun isi dari

tujuan makalah secara praktis penulis uraikan berikut dibawah ini:

1. Untuk menjelaskan Pengertian Tes dan Pengukuran Olahraga.

2. Untuk menjelaskan Komponen Kondisi Fisik.

3. Untuk menjelaskan Macam-macam tes.

4. Untuk menjelaskan Bagaimana Prosedur Masing-Masing Jenis Tes.

BAB II

PEMBAHASAN

Tes dan pengukuran merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam


berbagai kegiatan manusia, demikian pula halnya dalam kegiatan pengajaran dan
pelatihan olahraga. Karena dengan melaksanakan kedua hal tersebut kita dapat
mengetahui kelebihan dan kekurangan seorang atlet, sehingga akhirnya dapat
membuat suatu keputusan yang tepat. Pengajaran dan pelatihan olahraga
merupakan sebuah proses yang dinamis, pengajar/pelatih dan pembina
menghadapi berbagai permasalahan yang membutuhkan pemecahan. Semakin
teliti informasi yang diperoleh (melalui tes dan pengukuran) akan semakin baik
keputusan yang diambil.

A. Pengertian Tes dan Pengukuran


1. Tes
Menurut beberapa para ahli yang mengemukakan pendapatnya
mengenai tes adalah sebagai berikut :
Menurut Johnson & Nelson (1974), tes adalah suatu bentuk
pertanyaan atau pengukuran yang digunakan untuk menilai pengetahuan dan
kemampuan usaha fisik.
Menurut Cronbach (1960), menyatakan tes adalah suatu proses yang
sistematis untuk mengobservasi tingkah laku seseorang yang dideskripsikan
dengan menggunakan skala berupa angka atau sistem dengan kategori
tertentu.
Menurut Brown (1970), tes adalah suatu proses yang sistematis
untuk mengukur tingkah laku seseorang atau individu.
Jadi, tes merupakan suatu alat ukur atau instrumen yang digunakan untuk
memperoleh informasi/data tentang seseorang atau obyek tertentu. Data yang
diperoleh merupakan atribut atau sifat-sifat yang melekat pada individu atau
obyek yang bersangkutan. Data yang terhimpun meliputi ranah kognitif,
afektif, dan motorik.
1) Data yang bersifat kognitif dijaring melalui tes tulis (essay, obyektif)
dan lisan.
2) Data bersifat afektif dapat dihimpun melalui tes bentuk skala sikap,
angket, dan obeservasi secara langsung terhadap obyek yang akan diukur.
3) Data yang bersifat motorik dapat dihimpun misalnya melalui tes
kemampuan dan gerak dasar, fungsional, dan tes keterampilan cabang
olahraga.
Tes merupakan intrumen yang berfungsi untuk mengumpulkan data berupa
pengetahuan maupun keterampilan seseorang dengan menggunakan skala tertentu.
2. Pengukuran

Menurut beberapa para ahli yang mengemukakan pendapatnya


mengenai pengukuran adalah sebagai berikut :
Menurut Mathew (1979), pengukuran merupakan bagian dari
evaluasi, yang dilakukan melalui prosedur kuantitatif dengan menggunakan
instrumen tertentu.
Menurut Verducci (1980), pengukuran merupakan aspek kuantitatif
untuk menentukan informasi tentang sifat atau perlengkapan secara tepat.
Menurut Kirkendall (1980), pengukuran merupakan proses
pengumpulan informasi.
Pengukuran merupakan proses pengumpulan data/informasi tentang
individu maupun obyek tertentu, yaitu mulai dari mempersiapkan alat ukur
yang digunakan sampai diperolehnya hasil (misalnya; frekuensi, jarak,
waktu, dan satuan ukuran suhu). Hasilnya pengukuran bersifat kuantitatif.
Jadi pengertian pengukuran adalah bagian dari evaluasi yang menggunakan
alat atau teknik tertentu untuk mengumpulkan informasi, dengan satu
ukuran tertentu yang bersifat kuantitatif.

B. Pengertian Kondisi Fisik

Dalam hampir semua kegiatan manusia sehari-hari, baik dalam


kegiatan fisik maupun non fisik, kondisi fisik sesorang sangat berpengaruh.
Dalam konteks yang lebih khusus yaitu dalam kegiatan olahraga, maka
kondisi seseorang sangat mempengaruhi bahkan menentukan gerak
penampilannya. Kondisi fisik itu sendiri adalah satu kesatuan utuh dari
komponen-komponen yang tidak dapat dipisahkan begitu saja, baik
peningkatan maupun pemeliharaannya. Artinya bahwa di dalam usaha
peningkatan kondisi fisik maka seluruh komponen tersebut harus
dikembangkan (Sajoto. 1990: 16).

Atlet yang memiliki kondisi fisik yang bagus akan dapat lebih cepat
menguasai teknik-teknik dalam olahraga yang ditekuninya, karena latihan
taktik, teknik, serta keterampilan akan mampu dilakukan secara maksimal,
artinya meskipun harus mengulang teknik atau taktik berulang kali dia tidak
akan cepat lelah. Oleh karena itu maka program latihan kondisi fisik harus
ditata, dirancang dan dilakukan dengan baik agar mampu meningkatkan
kondisi kebugaran jasmani dan kemampuan biomotorik yang dibutuhkan.

C. Komponen Kondisi Fisik

Kondisi fisik adalah kapasitas seseorang untuk melakukan kerja fisik


dengan kemampuan bertingkat. Kondisi fisik dapat diukur secara kuantitatif
dan kualitatif. Mengembangkan atau meningkatkan kondisi fisik berarti
mengembangkan dan meningkatkan kemampuan fisik (physical abilities)
atlet. Kemampuan fisik mencakup dua komponen, yaitu komponen kesegaran
jasmani (physical fitness) dan komponen kesegaran gerak (motor fitness).

Kemampuan biomotorik atau unsur biomotorik merupakan


kemampuan dasar gerak fisik atau aktifitas fisik dari tubuh manusia (Nala,
2011). Status kebugaran fisik seseorang dijadikan dasar untuk menentukan
tingkat beban kinerja yang boleh dilakukan sehingga dapat mencegah hal
yang tidak diinginkan (Adiatmaja, 2002). Menurut Depertemen Kesehatan RI
(Anonim, 1994), kebugaran fisik (physical fitnes) terdiri atas 10 komponen
yaitu :

1. Daya tahan kardiovaskuler (cardiovasculer Endurance)


2. Daya tahan otot (Muscular Endurace)
3. Kekuatan otot (Muscular Streength)
4. Kelentukan (Flexibility)
5. Komposisi tubuh ( Body Composition)
6. Kecepatan (Speed)
7. Kelincahan (Agility)
8. Keseimbangan (Balance)
9. Kecepatan reaksi (Reaction time)
10. Koordinasi (coordination)

1. Daya Tahan Kardiovaskular (cardiovasculer Endurance)


Daya tahan kardiovaskular adalah kesanggupan sistem jantung,
paru dan pembuluh darah untuk berfungsi secara optimal pada keadaan
istirahat dan kerja dalam mengambil oksigen dan menyalurkannya ke
jaringan yang aktif sehingga dapat digunakan pada proses metabolisme
tubuh (Boreham dkk., 2006. perry, 2008) Saat beraktivitas kenaikan
frekuensi denyut jantung lebih lama. Setelah beraktifitas fisik, denyut
jantung, pernapasan dan pembuluh darah akan lebih cepat kembali ke
keadaan normal dari pada orang yang tidak terlatih (Boreham dkk., 2006).
Efek akibat terciptanya peningkatan kebugaran fisik pada daya tahan
kardiovaskuler yaitu terjadinya pembesaran otot jantung sehingga ukuran
jantung meningkat, isi darah sekuncup perdenyut jantung bertambah
sehingga volume yang dipompakan keseluruh tubuh lebih banyak, (denyut
jantung orang yang terlatih 6-8 kali lebih sedikit dari yang tidak terlatih)
dan peningkatan tekanan darah lebih sedikit (Boreham, 2006 ).

2. Daya tahan otot (Muscular Endurace)


Daya tahan otot adalah kemampuan seseorang dalam
mempergunakan ototnya untuk berkontraksi secara terus menerus, dalam
waktu yang relatif lama dengan beban tertentu (Borcham, 2006). Jika otot
tidak kuat dan daya tahannya kurang baik maka tidak akan tercapai tujuan
pelatihan (Chander dan Brown, 2008). Seseorang dengan keterampilan
yang tinggi sekalipun tidak ada artinya tanpa dukungan oleh daya tahan
yang baik (Nala, 2011). Faktor penentu daya tahan otot meliputi : jenis
fibril otot, kualitas pernapasan dan peredaran darah, proses metabolisme
dalam otot dan kerja hormon, pengaturan sistem saraf pusat maupun
sistem saraf perifer, kekuatan maksimal ledak dan power endurance,
koordinasi gerakan otot, irama gerakan, susunan serat otot, dan jenis
kelamin (Tozeren, 2000 )

3. Kekuatan otot (Muscle Streength)


Kekuatan merupakan komponen yang paling penting pada setiap
pelatihan olahraga. Boreham dkk., (2006 ) menjelaskan bahwa : Strength
training aims to increase the athletes competition performanced by : (a)
meningkatkan komponen saraf otot, dan (b) menambah ukuran serat otot,
latihan menyebabkan akumulasi metabolit yang secara khusus
menginduksi sintesis adektif protein struktural dan enzin mengakibatkan
otot yang lebih besar dan lebi efisien.
Maksud dari penjelasan tersebut adalah pelatihan kekuatan
bertujuan untuk meningkatkan komponen saraf dan kontraksi otot,
menambah serat otot, menyebabkan akumulakasi metabolik yang secara
khusus menginduksi sintesis protein dan enzim dalam menghasilkan otot
yang besar dan efisien. Kekuatan otot melukiskan kontraksi maksimal
yang di hasilkan oleh otototot dan kemampuannya di titik beratkan pada
otot tangan, kaki, bahu, dada, perut, tungkai kaki, dan punggung agar
dapat memegang, mengangkat, mengayun, menarik, melempar,
mendorong, dan menolak ( Juliantine, dkk., 2007).Bompa (2009) kekuatan
otot secara psikologis dapat di artikan sebagai kemampuan berdasarkan
kemudahan bergerak proses sistem saraf dan perangkat otot untuk
melakukan gerakan dalam waktu tertentu.
4. Kelentukan (Flexibility)
Kelentukan adalah kemampuan tubuh mengulur dari seluas-luasnya
yang di tunjang oleh luasnya gerakan pada sendi. Kemampuan untuk
menggerakkan tubuh dan anggota tubuh seluas-luasnya, berhubungan erat
dengan kemampuan 15 gerakan kelompok otot besar dan kapasitas
kinerjanya ( Chandler dan Brown, 2008 ). Semakin tua usia seseorang
kelentukan akan semakin menurun yang di sebabkan karena elastik otot
semakin berkurang (Nala, 2011).
Ketentuan membuat sendi-sendi dapat digerakkan dengan baik dan
sepenuhnya ke segala arah yang diinginkan (Chandler dan Brown, 2008).
Kehilangan kelentukan berarti mengurangi efisiensi gerakan dan
kemungkinan terjadi cidera sangat besar (Nala, 2011). Menurut Parks dan
Beverly (1990) pelatihan-pelatihan kelenukan sangat penting dan perlu
dilaksanakan karena dapat memperbaiki keluwesan dan kekenyalan,
mengembangkan aliran darah yang lebih efisien dalam jaringan kapiler
untuk mengurangi cidera. Pelatihan senam adalah pelatihan yang cocok
untuk meningkatkan ketentuan bergerak (Anonim, 2009).
5. Komposisi tubuh ( Body Composition)
Komposisi tubuh adalah komponen yang menggambarkan
perbandingan bagian tubuh yang secara metabolisme aktif terutama otot di
bandingkan dengan bagian yang kurang aktif yaitu lemak (Tozeren, 2000).
Komponen tubuh dihitung dengan menggunakan perhitungan IMT atau
Indeks Massa Tubuh (Sudarssono, 2008; Tozeren, 2000). Komposisi tubuh
digambarkan dengan berat badan tanpa lemak dan berat lemak. Makin
kecil persentase lemak makin baik kinerja seseorang (Berger, 1982,
Tozeren, 2000) membuktikan bahwa jumlah porsi muscle mass dan
lemak yang rapat akan menambah kekuatan.
Tubuh yang mempunyai berat jenis yang tinggi berarti massa
ototnya banyak sedangkan kadar lemak relatif lebih kecil. Secara garis
besar indeks massa 16 tubuh di pengaruhi oleh usia, jenis kelamin,
kebugaran tubuh, ras, asupan nutrisi serta rasio pinggang atlit yang sesuai
dengan kesehatan estimasi tingkat minimum dari lemak tubuh adalah 5%
untuk pria dan 12% untuk wanita (Anonim, 2012).

6. Kecapatan (Speed)
Menurut torzern (2000) kecepatan adalah kemampuan untuk
berpindah atau bergerak dari tubuh atau anggota tubuh dari satu titik ke
titik lainnya atau untuk mengerjakan suatu aktivitas berulang yang sama
serta berkesinambungan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Harsono (2003) mengatakan kecepatan adalah kemampuan untuk
melakukan gerakan-gerakan yanng sejenisnya secara berturut-turut dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya. Kecepatan merupakan komponen fisik
yang erat kaitannya dengan komponen biomotorik lain terutama kekuatan,
kelincahan, koordinasi, waktu reaksi dan daya tahan. (Nala, 2011).

7. Kelincahan (Agility)
Kelincahan (Agility) adalah kemampuan untuk mengubah posisi
tubuh atau arah gerakan tubuh dengan cepat ketika sedang bergerak cepat
tanpa kehilangan keseimbangan atau kesadaran orientasi terhadap posisi
tubuh. Komponen kelincahan ini erat sekali kaitannya dengan komponen
kecepatan (gerakan dan reaksi), keseimbangan dan koordinasi (Nala,
2011). Untuk dapat meningkatkan kelincahan dibutuhkan kualitas dan
latihan khusus terhadap tiga komponen penting yaitu kelentukan
(fleksibility), kecepatan gerak (speed), dan ketepatan gerak (accuracy)
dimana latihan yang dapat di berikan mencakup luas pergerakan
persendian untuk meningkatkan kelentukan, kekuatan otot, untuk 17
meningkatkan kecepatan gerak dan koordinasi fungsi otot untuk
meningkatkan ketepatan gerak dan memelihara keseimbangan (Giriwijoyo
dan Zidik, 2010; McGinnis, 2005).

8. Keseimbangan (Balance)
Keseimbangan adalah kemampuan tubuh untuk melakukan reaksi
atas setiap perubahan posisi tubuh, sehingga tubuh tetap stabil terkendali
(Nala, 2011; McGinnis,2005). Keseimbangan adalah suatu kemampuan
mempertahankan posisi tubuh dalam keseimbangan pada situasi gerakan
statis maupun dinamis dan juga merupakan kemampuan statis atau
mengontrol sistem neuromuskular dalam kondisi statis maupun dinamis
(Harson,2003).

9. Kecepaan reaksi (Reaction time)


Kecepatan reaksi adalah kemampuan tubuh atau anggota tubuh
untuk bereaksi secepat mungkin ketika ada rangsangan yang diterima oleh
reseptor somatik, kinestatik, atau vestibular atau kemampuan tubuh untuk
melakukan aktifitas kinatis secepatnya akibat suatu rangsangan yang
diterima oleh reseptor (Nala, 2011).
Rangsangan muncul dan diterima reseptor dan kemudian dialihkan
melalui saraf aferen sensoris menuju ke sistem saraf pusat dan
menghasilkan pesan yang akan dihantarkan kepada efektor (otot skeletal)
melalui saraf eferenmotorik sehingga munculah kontraksi, gerakan,
aktifitas fisik atau kerja. Komponen waktu reaksi ini sangat erat kaitannya
dengan waktu bergerak atau waktu berpindah (Nala, 2011: McGinnis
2005).

10. Koordinasi (coordination)


Koordinasi adalah kemampuan untuk menggabungkan sistem
motor dan sensori menjadi suatu pola gerak yang lebih efisien. Koordinasi
merupakan gabungan berbagai gerakan yang dilakukan secara harmonis
(Nala,2011). Kontraksi dan relaksasi otot berjalan secara mulus bila terjadi
koordinasi yang tinggi keseimbangan tidak terganggu sasaran yang
diinginkan tepat terjangkau, tidak cepat lelah dan mengurangi
kemungkinan cidera.
Bompa (2009) faktor yang berpengaruh terhadap koordinaasi
adalah intelegensia, semakin tinggi intelegensia akan semakin baik
pengembangan komponen koordinasinya, kepekaan organ sensoris yang
tinggi terutama dibutuhkan pada sensor analisis motorik dan kinestetik
(Bompa, 2009).

D. Prinsip Latihan Fisik


Latihan untuk meningkatkan kemampuan motorik terbagi menjadi tiga
fase. Fase pertama adalah secara alamiah didapat dan fase pengenalan
terhadap tugas yang diberikan. Fase kedua berpusat pada asosiasi dan latihan.
Sedangkan fase ketiga adalah fase dimana tubuh secara otomatis sudah
mengenali gerakan yang sudah dikuasai.
Prinsip-prinsip latihan fisik adalah
1) Prinsip progresif dan beban berlebih (overload).
Program latihan fisik dilakukan dengan pembebanan yang ditingkatkan
secara progresif sampai batas kemampuan atlet. Sistem atau jaringan tubuh
akan beradaptasi dengan pembebanan ini, sampai pada suatu titik tubuh
sudah tidak dapat beradaptasi lagi. Perkembangan otot hanya terjadi bila
otot-otot tersebut dibebani dengan tahanan yang semakin bertambah berat.
2) Prinsip reversibilitas.
Bila seorang atlet berhenti berlatih, efek dari latihan yang sudah dicapai
dapat dengan mudah hilang. Oleh karena itu latihan fisik harus dilakukan
secara teratur dan kontinyu.
3) Prinsip adaptasi.
Istirahat dibutuhkan agar tubuh dapat pulih dari latihan dan adaptasi
fisiologis dapat terjadi. Adaptasi terjadi karena tubuh akan bereaksi pada
beban latihan dengan meningkatkan kemampuannya untuk mengatasi
beban tersebut. Adaptasi terjadi saat periode pemulihan setelah satu sesi
latihan.

4) Prinsip pemulihan (recovery).


Masa istirahat dibutuhkan agar tubuh mampu pulih dari latihan dan
adaptasi fisiologis dapat terjadi.
5) Prinsip spesifik.
Program latihan yang dipilih juga harus spesifik untuk melatih otot-otot
tubuh tertentu. Pengembangan kondisi fisik dari hasil latihan fisik
tergantung pada tipe beban yang diberikan serta tergantung dari kekhususan
latihan. Dalam melakukan latihan fisik juga harus mengenal sumber energi
utama yang digunakan untuk aktivitas tertentu (aerobik atau anaerobik).
Suatu jenis olahraga menggunakan sistem pembentukan ATP tertentu yang
lebih daripada yang lain. Sehingga program latihan yang dipilih haruslah
menggunakan sistem pembentukan ATP yang sesuai dengan jenis
olahraganya. Sistem energi yang digunakan dalam cabang olahraga atau
latihan dapat diperkirakan dengan mempertimbangkan aktivitas yang
dilakukan dan lamanya olahraga tersebut. Hal ini mengacu pada prinsip
spesifik.
E. Prinsip Penyusunan Tes

Tes adalah instrumen atau alat yang digunakan untuk memperoleh informasi
tentang individu atau objek ( Ismaryati, ;2006 ) tes tersebut memiliki tujuan untuk
memperoleh data, nilai atau kemampuan dari sebuah testi melalui intrumen yang
sudah dibuat oleh testor.

a. Prinsip-prinsip dasar penyusunan Tes

Ada 6 prinsip dasar yang perlu dicermati di dalam menyusun tes hasil belajar.

1) Tes hasil belajar harus dapat mengukur secara jelas hasil belajar (learning
outcomes) yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan instruksional.
2) Butir-butir soal tes hasil belajar harus merupakan sampel yang
representatif dari
populasi bahan pelajaran yang telah diajarkan, sehingga dapat dianggap
mewakili seluruh performance yang telah diperoleh selama peserta didik
mengikuti suatu unit pengajaran.
3) Bentuk soal yang dikeluarkan dalam tes hasil belajar harus dibuat
bervariasi, sehingga
betul betul cocok untuk mengukur hasil belajar yang diinginkan sesuai
dengan tujuan tes itu sendiri.
4) Tes hasil belajar harus didesain sesuai dengan kegunaannya untuk
memperoleh hasil
yang diinginkan.

5) Tes hasil belajar harus memiliki reliabilitas yang dapat diandalkan.


6) Tes hasil belajar disamping harus dapat dijadikan alat pengukur
keberhasilan belajar siswa, juga harus dapat dijadikan alat untuk mencari
informasi yang berguna untuk memperbaiki cara belajar siswa dan cara
mengajar guru itu sendiri.

F. Kriteria Pemilihan Tes

Pengertian kriteria menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah


ukuran yang menjadi penilaian atau penetapan sesuatu. Untuk lebih
mudahnya, kriteria dalam hal ini diartikan syarat-syarat yang perlu dipenuhi
dalam memilih suatu tes atau alat ukur. Para ahli sepakat ada lima kriteria
utama yang harus dipenuhi dalam pengetesan atau pengukuran, yang
mencakup : a) kesahihan (validitas), b) keterandalan (reliabilitas), c)
obyektivitas, d) norma, dan e) tuntunan pelaksanaan baku.
a) Kesahihan (Validitas)
Suatu syarat yang sangat penting dalam memilih suatu tes atau alat
ukur ialah, bahwa tes atau alat ukur tersebut harus sahih (valid). Suatu tes
dikatakan sahih, apabila tes tersebut mengukur sesuai dengan tujuannya.
Misalnya, bila kita ingin mengukur kecepatan lari seseorang atlet, maka
alat ukurnya kecepatan lari 50 meter. Karena untuk lari 50 meter, faktor
utama yang mempengaruhi dan berperan ialah faktor kecepatan.
Dapat pula dikatakan, suatu tes adalah sahih, apabila tes atau alat
ukur tersebut mengukur sesuai dengan tuntutan yang harus diukur.
Tuntutan dimaksudkan hal-hal penting yang perlu dipenuhi. Dengan
demikian penerapannya sama seperti unsur-unsur penting yang lalu.
Karena suatu tuntutan semestinya merupakan kebutuhan mutlak yang perlu
dipenuhi. Misalkan tuntutan setiap orang untuk dapat hidup layak ialah
pemenuhan akan kebutuhan utama termasuk sandang, papan atau
perumahan, dan pangan atau makanan.
Cara yang dapat ditempuh dalam mencari atau menghitung kesahihan atau
kevaliditasan suatu tes, antara lain dengan cara :
1) Melalui penilaian para ahli di bidangnya. Misalkan kita ingin
menyusun suatu rangkaian tes. Lebih dahulu ditentukan unsur-unsur
penting yang mencakup kemampuan fisik dalam cabang olahraga.
Kemampuan fisik tersebut diukur, hasilnya dinyatakan dalam bentuk
penjumlahan/kuantitas. Selanjutnya sampel atau para atlet diukur
kemampuan fisik pada saat mereka bertanding sesungguhnya. Para ahli
yang dipilih, yaitu para pelatih dan menilai kemampuan setiap atlet. Hasil
dari setiap ahli dijumlahkan dan merupakan kemampuan bertanding bagi
setiap atlet. Hasil pengukuran kemampuan fisik dan teknik para pemain
dikorelasikan dengan hasil penilaian para ahli. Apabila hasil penghitungan
statistik berkorelasi tinggi, dapat dikatakan tes atau alat ukur tersebut
adalah sahih.
2) Hasil pengukuran atau tes yang akan disusun dikorelasikan dengan
tes yang sejenis dan yang sudah diakui kesahihannya/kevaliditasnya.
Kembali kita ingin menyusun suatu rangkaian tes seperti di atas. Hasil
pengukuran kemampuan fisik dan teknik-teknik telah dilakukan.
Berikutnya sampel yang dites tersebut di tes suatu rangkaian tes yang
sudah diakui kesahihannya. Dalam hal ini, hasil tes yang akan disusun,
dikorelasikan dengan hasil pengukuran tes yang sudah ada dan yang
sahih.

b) Keterandalan (Reliabilitas)
Keterandalan atau reliabilitas suatu alat ukur diartikan, sampai berapa
jauh alat ukur tersebut memperoleh hasil pengukuran secara sama atau
konsisten sewaktu pengukuran pertama dengan pengukuran kedua. Suatu
alat ukur adalah andal/reliabel, apabila alat tersebut memperoleh hasil
pengukuran yang sama antara pengukuran pertama dan kedua. Pengertian
sama atau konsisten ini tidak harus persis sama, yaitu hasil pengukurannya
sedikit di atas atau di bawahnya.
Salah satu cara yang dapat ditempuh dalam menghitung atau mencari
keterandalan (reliabilitas) suatu alat ukur misalkan dengan teknik "tes dan
tes ulang" atau sering disebut "test retest". Hasil pengukuran/tes pertama
dikorelasikan dengan tes kedua atau ulangannya. Bilamana koefisien
korelasinya tinggi, dikatakan bahwa tes tersebut andal atau terandalkan.
c) Obyektivitas
Obyektivitas suatu alat ukur diartikan, keajegan hasil suatu tes yang
diperoleh dari dua atau lebih pengetes atau tester. Pengertian keajegan
dalam hal ini setara dengan kata keseragaman. Jadi bila seorang atlet
melakukan suatu lompat jauh, dan hasil lompatannya diukur oleh dua atau
lebih tester dan hasil pengukurannya ada keseragaman antara tester satu dan
lainnya, maka hasil pengukuran itu dikatakan obyektif.
Baik reliabilitas maupun obyektivitas prinsipnya mempunyai
pengertian adanya keajegan atau keseragaman hasil pengukuran.
Perbedaannya, untuk realibilitas keseragaman hasil diperoleh bila
pengukuran dilakukan oleh atlet yang sama, pelatih yang sama, dengan
waktu pengukuran yang lain. Sedangkan obyektivitas diperoleh, bila
pengukuran hasilnya seragam, dilakukan oleh atlet-atlet yang sama, waktu
pengukuran yang sama, tetapi diukur oleh pelatih yang berlainan.

d) Norma
Norma ialah petunjuk atau pedoman untuk membandingkan hasil
suatu pengukuran. Dengan adanya norma, maka seorang atlet yang
melakukan tes, hasilnya dapat diketahui berdasarkan norma yang berlaku.
Dan atlet tersebut dapat dinyatakan apakah dia termasuk golongan yang
sangat baik, baik, atau kurang. Suatu norma dapat digolongkan menjadi lima
tingkat: misalkan dengan tingkatan sangat baik, baik, sedang, kurang, dan
sangat kurang. Untuk menyusun suatu norma harus mengikuti ketentuan
yang berlaku dan berdasarkan sampel tertentu. Misalkan norma yang
berlaku untuk atlet jenis kelamin wanita, junior, tingkat provinsi.

e) Tuntunan Pelaksanaan Baku


Dalam setiap tes atau alat ukur harus ada tuntutan yang baku, tentang
bagaimana tes itu harus dilakukan. Tuntutan atau petunjuk tersebut berlaku
bagi atlet yang dites maupun pelatih yang mengetes. Untuk tes lari cepat 50
meter, tuntutan yang harus ada misalkan : start berdiri, setelah ada aba-aba
"siaap-ya" atlet lari secepat-cepatnya, menempuh jarak 50 meter dan
melewati garis finish. Kecepatan lari dihitung sejak dari aba- aba "ya"
sampai atlet melewati garis finish dan dicatat sampai dengan per seratus
detik.
Dari lima kriteria utama tersebut di atas yang paling utama ialah validitas.
Selain itu kriteria tambahan atau persyaratan lain yang perlu dipertimbangkan
ialah faktor ekonomis. Baik ekonomis ditinjau dari segi biaya, tenaga, peralatan
yang diperlukan, lama waktu pengetes dan kegunaan alat ukur.

G. Faktor yang Mengakibatkan Kesalahan pada saat Pengambilan

Kesalahan dalam Pengukuran


Dalam proses pengukuran paling tidak ada tiga faktor yang terlibat yaitu
alat ukur, benda ukur dan orang yang melakukan pengukuran. Hasil pengukuran
tidak mungkin mencapai kebenaran yang absolut karena keterbatasan dari
bermacam faktor. Yang diperoleh dari pengukuran adanya hasil yang dianggap
paling mendekati dengan harga geometris obyek ukur. Meskipun hasil pengukuran
itu merupakan hasil yang dianggap benar, masih juga terjadi penyimpangan hasil
pengukuran. Masih ada faktor lain lagi yang juga sering menimbulkan
penyimpangan pengukuran yaitu lingkungan. Lingkungan yang kurang tepat akan
mengganggu jalannya proses pengukuran.

1. Kesalahan pengukuran karena alat ukur


Di postingan sebelumnya telah disinggung adanya bermacam-macam sifat
alat ukur. Kalau sifat-sifat yang merugikan ini tidak diperhatikan tentu akan
menimbulkan banyak kesalahan dalam pengukuran. Oleh karena itu, untuk
mengurangi terjadinya penyimpangan pengukuran sampai seminimal mungkin
maka alat ukur yang akan dipakai harus dikalibrasi terlebih dahulu. Kalibrasi ini
diperlukan disamping untuk mengecek kebenaran skala ukurnya juga untuk
menghindari sifat-sifat yang merugikan dari alat ukur, seperti kestabilan nol,
kepasifan, pengambangan, dan sebagainya.
2. Kesalahan pengukuan karena benda ukur
Tidak semua benda ukur berbentuk pejal yang terbuat dari besi, seperti rol
atau bola baja, balok dan sebagainya. Kadang-kadang benda ukur terbuat dari
bahan alumunium, misalnya kotak-kotak kecil, silinder, dan sebagainya. Benda
ukur seperti ini mempunyai sifat elastis, artinya bila ada beban atau tekanan
dikenakan pada benda tersebut maka akan terjadi perubahan bentuk. Bila tidak
hati-hati dalam mengukur benda-benda ukur yang bersifat elastis maka
penyimpangan hasil pengukuran pasti akan terjadi. Oleh karena itu, tekanan
kontak dari sensor alat ukur harus diperkirakan besarnya.

Di samping benda ukur yang elastis, benda ukur tidak elastis pun tidak
menimbulkan penyimpangan pengukuran misalnya batang besi yang mempunyai
penampang memanjang dalam ukuran yang sama, seperti pelat besi, poros-poros
yang relatif panjang dan sebagainya. Batang-batang seperti ini bila diletakkan di
atas dua tumpuan akan terjadi lenturan akibat berat batang sendiri. Untuk
mengatasi hal itu biasanya jarak tumpuan ditentukan sedemikian rupa sehingga
diperoleh kedua ujungnya tetap sejajar. Jarak tumpuan yang terbaik adalah 0.577
kali panjang batang dan juga yang jaraknya 0.544 kali panjang batang.

Kadang-kadang diperlukan juga penjepit untuk memegang benda ukur


agar posisinya mudah untuk diukur. Pemasangan penjepit ini pun harus
diperhatikan betul-betul agar pengaruhnya terhadap benda kerja tidak
menimbulkan perubahan bentuk sehingga bisa menimbulkan penyimpangan
pengukuran.

3. Kesalahan pengukuran karena faktor si pengukur


Bagaimanapun presisinya alat ukur yang digunakan tetapi masih juga
didapatkan adanya penyimpangan pengukuran, walaupun perubahan bentuk dari
benda ukur sudah dihindari. Hal ini kebanyakan disebabkan oleh faktor manusia
yang melakukan pengukuran. Manusia memang mempunyai sifat-sifat tersendiri
dan juga mempunyai keterbatasan. Sulit diperoleh hasil yang sama dari dua
orang yang melakukan pengukuran walaupun kondisi alat ukur, benda ukur dan
situasi pengukurannya dianggap sama. Kesalahan pengukuran dari faktor
manusia ini dapat dibedakan antara lain sebagai berikut: kesalahan karena
kondisi manusia, kesalahan karena metode yang digunakan, kesalahan karena
pembacaan skala ukur yang digunakan.

a. Kesalahan Karena Kondisi Manusia

Kondisi badan yang kurang sehat dapat mempengaruhi proses


pengukuran yang akibatnya hasil pengukuran juga kurang tepat. Contoh yang
sederhana, misalnya pengukur diameter poros dengan jangka sorong. Bila
kondisi badan kurang sehat, sewaktu mengukur mungkin badan sedikit gemetar,
maka posisis alat ukur terhadap benda ukur sedikit mengalami perubahan.
Akibatnya, kalau tidak terkontrol tentu hasil pengukurannya juga ada
penyimpangan. Atau mungkin juga penglihatan yang sudah kurang jelas walau
pakai kaca mata sehingga hasil pembacaan skala ukur juga tidak tepat. Jadi,
kondisi yang sehat memang diperlukan sekali untuk melakukan pengukuran,
apalagi untuk pengukuran dengan ketelitian tinggi.

b. Kesalahan Karena Metode Pengukuran yang Digunakan


Alat ukur dalam keadaan baik, badan sehat untuk melakukan
pengukuran, tetapi masih juga terjadi penyimpangan pengukuran. Hal ini tentu
disebabkan metode pengukuran yang kurang tepat. Kekurangtepatan metode
yang digunakan ini berkaitan dengan cara memilih alat ukur dan cara
menggunakan atau memegang alat ukur. Misalnya benda yang akan diukur
diameter poros dengan ketelitian 0,1 milimeter. Alat ukur yang digunakan
adalah mistar baja dengan ketelitian 0,1 milimeter. Tentu saja hasil
pengukurannya tidak mendapatkan dimensi ukuran sampai 0,01 milimeter.
Kesalahan ini timbul karena tidak tepatnya memilih alat ukur.
Cara memegang dan meletakkan alat ukur pada benda kerja juga akan
mempengaruhi ketepatan hasil pengukuran. Misalnya posisi ujung sensor jam
ukur, posisi mistar baja, posisi kedua rahang ukur jangka sorong, posisi kedua
ujung ukur dari mikrometer, dan sebagainya. Bila posisi alat ukur ini kurang
diperhatikan letaknya oleh si pengukur maka tidak bisa dihindari terjadinya
penyimpangan dalam pengukuran.

c. Kesalahan Karena Pembacaan Skala Ukur


Kurang terampilnya seseorang dalam membaca skala ukur dari alat ukur
yang sedang digunakan akan mengakibatkan banyak terjadi penyimpangan hasil
pengukuran. Kebanyakan yang terjadi karena kesalahan posisi waktu membaca
skala ukur. Kesalahan ini sering disebut, dengan istilah paralaks. Paralaks sering
kali terjadi pada si pengukur yang kurang memperhatikan bagaimana seharusnya
dia melihat skala ukur pada waktu alat ukur sedang digunakan. Di samping itu,
si pengukur yang kurang memahami pembagian divisi dari skala ukur dan
kurang mengerti membaca skala ukur yang ketelitiannya lebih kecil
daripada yang biasanya digunakannya juga akan berpengaruh terhadap ketelitian
hasil pengukurannya.

Jadi, faktor manusia memang sangat menentukan sekali dalam proses


pengukuran. Sebagai orang yang melakukan pengukuran harus menetukan alat
ukur yang tepat sesuai dengan bentuk dan dimensi yang akan diukur. Untuk
memperoleh hasil pengukuran yang betul-betul dianggap presisi tidak hanya
diperlukan asal bisa membaca skala ukur saja, tetapi juga diperlukan
pengalaman dan ketrampilan dalam menggunakan alat ukur. Ada beberapa faktor
yang harus dimiliki oleh seseorang yang akan melakukan pengukuran yaitu:

1. Memiliki pengetahuan teori tentang alat ukur yang memadai dan memiliki
ketrampilan atau pengalaman dalam praktik-praktik pengukuran.
2. Memiliki pengetahuan tentang sumber-sumber yang dapat menimbulkan
penyimpangan dalam pengukuran dan sekaligus tahu bagaimana cara
mengatasinya.
3. Memiliki kemampuan dalam persoalan pengukuran yang meliputi
bagaimana menggunakannya, bagaimana, mengalibrasi dan bagaimana
memeliharanya.

4. Kesalahan karena faktor lingkungan


Ruang laboratorium pengukuran atau ruang-ruang lainnya yang
digunakan untuk pengukuran harus bersih, terang dan teratur rapi letak
peralatan ukurnya. Ruang pengukuran yang banyak debu atau kotoran lainnya
sudah tentu dapat menganggu jalannya proses pengukuran. Disamping si
pengukur sendiri merasa tidak nyaman juga peralatan ukur
bisa tidak normal bekerjanya karena ada debu atau kotoran yang menempel
pada muka sensor mekanis dan benda kerja yang kadang-kadang tidak
terkontrol oleh si pengukur. Ruang pengukuran juga harus terang, karena ruang
yang kurang terang atau remang-remang dapat mengganggu dalam membaca
skala ukur yang hal ini juga bisa menimbulkan penyimpangan hasil
pengukuran.

Akan tetapi, untuk penerangan ini ruang pengukuran sebaiknya tidak


banyak diberi lampu penerangan. Sebeb terlalu banyak lampu yang digunakan
tentu sedikit banyak akan mengakibatkan suhu ruangan menjadi lebih panas.
Padahal, menurut standar internasional bahwa suhu atau temperatur ruangan
pengukur yang terbaik adalah 20C apabila temperatur ruangan pengukur
sudah mencapai 20C, lalu ditambah lampu-lampu penerang yang terlalu
banyak, maka temperatur ruangan akan berubah. Seperti kita ketahui bahwa
benda padat akan berubah dimensi ukurannya bila terjadi perubahan panas.
Oleh karena itu, pengaruh dari temperatur lingkungan tempat pengukuran harus
diperhatikan.

Kesalahan dalam pengukuran dapat juga digolongkan menjadi kesalahan


umum, kesalahan sistematis, kesalahan acak dan kesalahan serius. Berikut akan
kita bahas macam-macam kesalahan tersebut.

a. Kesalahan Umum
Kesalahan yang dilakukan oleh seseorang ketika mengukur termasuk
dalam kesalahan umum. Kesalahan umum yaitu kesalahan yang disebabkan
oleh pengamat. Kesalahan ini dapat disebabkan karena pengamat kurang
terampil dalam menggunakan instrumen, posisi mata saat membaca skala yang
tidak benar, dan kekeliruan dalam membaca skala.

b. Kesalahan Sistematis
Kesalahan yang disebabkan oleh kesalahan alat ukur atau instrumen
disebut kesalahan sistematis. Kesalahan sistematis menyebabkan semua hasil
data salah dengan suatu kemiripan. Kesalahan sistematis dapat terjadi karena:

1) Kesalahan titik nol yang telah bergeser dari titik yang sebenarnya.
2) Kesalahan kalibrasi yaitu kesalahan yang terjadi akibat adanya
penyesuaian pembubuhan nilai pada garis skala saat pembuatan alat.
3) Kesalahan alat lainnya. Misalnya, melemahnya pegas yang digunakan
pada neraca pegas sehingga dapat memengaruhi gerak jarum penunjuk.

Hal ini dapat diatasi dengan:

1. Standardisasi prosedur
2. Standardisasi bahan
3. Kalibrasi instrumen

c. Kesalahan Acak
Selain kesalahan pengamat dan alat ukur, kondisi lingkungan yang tidak
menentu bisa menyebabkan kesalahan pengukuran. Kesalahan pengukuran
yang disebabkan oleh kondisi lingkungan disebut kesalahan acak. Misalnya,
fluktuasi-fluktuasi kecil pada saat pengukuran e/m (perbandingan muatan dan
massa elektron). Fluktuasi (naik turun) kecil ini bisa disebabkan oleh adanya
gerak Brown molekul udara, fluktuasi tegangan baterai, dan kebisingan (noise)
elektronik yang besifat acak dan sukar dikendalikan.

d. Kesalahan serius (Gross error)


Tipe kesalahan ini sangat fatal, sehingga konsekuensinya pengukuran harus
diulangi. Contoh dari kesalahan ini adalah kontaminasi reagen yang digunakan,
peralatan yang memang rusak total, sampel yang terbuang, dan lain lain. Indikasi
dari kesalahan ini cukup jelas dari gambaran data yang sangat menyimpang, data
tidak dapat memberikan pola hasil yang jelas, tingkat mampu ulang yang sangat
rendah dan lain lain.

Ketidakpastian Pengukuran

Kesalahan-kesalahan dalam pengukuran menyebabkan hasil pengukuran tidak


bisa dipastikan sempurna. Dengan kata lain, terdapat suatu ketidakpastian dalam
pengukuran. Hasil pengukuran harus dituliskan sebagai:

x = x0 + x

Keterangan:
x = hasil pengamatan
x0 = pendekatan terhadap nilai benar.
x = nilai ketidakpastian.

Arti dari penulisan tersebut adalah hasil pengukuran (x) yang benar berada di
antara x x dan x + x. Penentuan x0 dan x tergantung pada pengukuran
tunggal atau pengukuran ganda atau berulang.

a. Ketidakpastian dalam Pengukuran Tunggal

Pengukuran tunggal adalah pengukuran yang hanya dilakukan satu kali saja.
Dalam pengukuran tunggal, pengganti nilai benar (x0) adalah nilai pengukuran itu
sendiri. Setiap alat ukur atau instrumen mempunyai skala yang berdekatan yang
disebut skala terkecil. Nilai ketidakpastian (x) pada pengukuran tunggal
diperhitungkan dari skala terkecil alat ukur yang dipakai. Nilai dari ketidakpastian
pada pengukuran tunggal adalah setengah dari skala terkecil pada alat ukur.

x = skala terkecil

b. Ketidakpastian dalam Pengukuran Berulang

Terkadang pengukuran besaran tidak cukup jika hanya dilakukan satu kali. Ada
kalanya kita mengukur besaran secara berulang-ulang. Ini dilakukan untuk
mendapatkan nilai terbaik dari pengukuran tersebut. Pengukuran berulang adalah
pengukuran yang dilakukan beberapa kali atau berulang-ulang. Dalam pengukuran
berulang, pengganti nilai benar adalah nilai rata-rata dari hasil pengukuran. Jika
suatu besaran fisis diukur sebanyak N kali, maka nilai rata-rata dari pengukuran
tersebut dicari dengan rumus sebagai berikut.

x = xi/N

Keterangan:
x = nilai rata-rata
xi = jumlah keseluruhan hasil pengukuran
N = jumlah pengukuran
Nilai ketidakpastian dalam pengukuran berulang dinyatakan sebagai simpangan
baku, yang dapat dicari dengan rumus:

s = N-1((nxi2) (xi)2) (N-1)-1

Keterangan:
s = simpangan baku.

Dengan adannya ketidakpastian dalam pengukuran , maka tingkat ketelitian hasil


pengukuran dapat diligat dari ketidakpastian relatif diperoleh dari hasil bagi antara
nilai ketidakpastian (x) dengan nilai benar dikalikan dengan rumus 100%.

Ketidakpastian relatif =[ (x)/x] . 100%

Ketidakpastian relatif dapat digunakan untuk mengetahui tingkat ketelitian


pengukuran. Semakin kecil nilai ketidakpastian relatif makin tinggi ketelitian
pengukuran.

H. Prosedur pengukuran kebugaran jasmani


Kebugaran Jasmani adalah suatu kondisi seseorang untuk melakukan
kegiatan sehari- hari atau latihan ringan tanpa mengalami kelelahan yang
berarti. Kebugaran jasmani mencakup aspek kesehatan dan performa. unsur-
unsur kebugaran jasmani meliputi kekuatan otot, daya tahan otot, daya tahan
jantung, dan paru-paru, fleksibilitas, koordinasi, agilitas, kecepatan dan
keseimbangan.

Cara mengukur Kebugaran Jasmani dapat dilakukan dengan tes. Tes yang
dilakukan untuk mengukur kebugaran jasmani seseorang meliputi:
- Kecepatan (speed)
- Kekuatan (strenght)
-Daya Tahan (endurance)
-Daya ledak (power)
Cara mengukur kebugaran jasmani menggunakan Tes kecepatan (speed).
Untuk mengukur kebugaran jasmani seseorang melalui tes kecepatan dapat
dilakukan dengan lari sprint 60 meter. Parameter yang dapat digunakan dengan
kategori usia dan waktu yang ditempuh sebagai berikut:

Usia12-14tahun
waktu tempuh 5 - 7 detik dikategorikan kondisi kebugaran jasmani seseorang
BAIK
waktu tempuh 8 - 9 detik dikategorikan kondisi kebugaran jasmani seseorang
CUKUP
waktu tempuh 10 detik dikategrikan kondisi kebugaran jasmani seseorang
KURANG
Cara mengukur kebugaran jasmani menggunakan tes kekuatan (strenght)

Untuk mengukur kebugaran jasmani seseorang melalui tes kekuatan dapat


dilakukan dengan push - up selama 2 menit
Parameter yang dapat digunakan dengan banyaknya push - up yang dilakukan
selama 2 menit
Jika dapat melakukan push-up sebanyak 40 keatas maka dikategorikan kebugaran
jasmani BAIK
Jika dapat melakukan push-up sebanyak 30-39 maka dikategorikan kebugaran
jasmani CUKUP
Jika dapat melakukan push-up kurang dari 29 maka dikategorikan kebugaran
jasmani KURANG
Cara mengukur kebugaran jasmani menggunakan tes daya tahan (endurance)
Untuk mengukur kebugaran jasmani seseorang melalui tes daya tahan dapat
dilakukan dengan lari jogging selama 12 menit.
Parameter yang dapat dilakukan dengan jarak yang ditempuh selama 12 menit
tersebut
Jika dapat menempuh jarak 2000 meter lebih maka dikategorikan kebugaran
jasmani BAIK
Jika dapat menempuh jarak 2000 meter-1000 meter dikategorikan kebugaran
jasmani CUKUP
Jika jarak tempuh kurang dari 1000 meter maka dikategorikan kebugaran jasmani
KURANG.

a. Tes power Vertikal Jump


Power merupakan kombinasi antara kekuatan dan kecepatan dan
merupakan dasar dalam setiap bentuk aktifitas. Atau juga di sebut daya ledak yang
mempunyai makna kemampuan untuk mengeluarkan kekuatan maksimal dalam
waktu relatif singkat.

Power (Daya Ledak) ada 2 bagian yaitu :

1. Kekuatan Daya Ledak


Kekuatan ini digunakan untuk mengatasi resistensi yang lebih rendah, tetapi
dengan percepatan daya ledak maksimal. Power ini sering digunakan untuk
melakukan satu gerakan atau satu ulangan (Lompat jauh, Lempar cakram).

2. Kekuatan Gerak Cepat


Gerakan ini dilakukan terhadap resitensi dengan percepatan di bawah maksimal,
jenis ini digunakan untuk melakukan gerakan yang berulangulang (berlari,
mengayuh).

Pengukuran Power menggunakan Vertikal Jump


Tujuan Vertikal Jump mengetahui elastis kekuatan tungkai atau kemampuan otot-
otot tungkai untuk menggunakan kekuatan maksimal power yang di miliki.

Alat dan fasilitas yang digunakan :

1. Papan Meter Jump


2. Kapur halus
3. Pembersih
4. Dinding dan lantai rata

Gambar Papan Verctical Jump ( Sumber: Google)

Pelaksanaan
Posisi 1 : Tungai menekuk dengan sudut pada lutut kira-kira110 Derajat, berdiri
dengan ujung kaki, tegak lurus dan tegakkan tangan lurus ke atas (Bisa satu
tangan) dimana ujung tangan diberi kapur untuk penanda hasil raihan. Ukur tinggi
taihan pada posisi satu ini

Posisi 2 : Berdiri tungkai, tegak dan tngan lurus ke atas, alas dengan ujung kaki
(jinjit) ukur hasil raihan. Ukuran tinggi raihan sebagai posisi 2.

Posisi 3 : Dari posisi 1 meraihkan tangan pada dinding/papan setelah meloncat


dengan power penuh, ukur hasil raihan. Tinggi raihan sebagai posisi 3

h1 adalah raihan posisi 2 dikurangi raihan posisi 1

h2 adalah raihan posisi 3 dikurangi raihan posisi 2

Normal Power untuk laki-laki antara 22,5 HP, untuk perempuan 1,52HP
b. Pengukuran kekuatan Otot Tungkai menggunakan Leg Dynamometer
Prosedur Pengukuran
1. Orang coba memegang tangkai dgn kedua tangan di tengah dgn telapak
tangan diletakkan pd hubungan antara paha & tubuh.
2. Cara memegang tangkai, telapak tangan kiri menghadap ke depan
sedangkan telapak tangan kanan mengahadap ke kebelakang / sebaliknya.
3. Perlu diperhatikan utk tetap pd posisi tersebut diatas setelah sabuk
diletakkan & pada saat akan melakukan penarikan.
4. Akhir putaran dari sabuk dipasang pada satu ujung dari tangkai pemegang
(handle) & ujung sabuk yg bebas diputar pada ujung tangkai pemegang
yang lainnya, dililitkan sedemikian rupa sehingga terletak pada tubuh.
posisi ini akan memegang tangkai pemegang dengan erat. Sabuk
sebaiknya diletakkan serendah mungkin melalui pinggul.
5. Orang coba harus berdiri dengan posisi kedua kaki sama pada back test.
0
Lutut harus agak membengkok dengan sudut 120 , akan didapatkan

tarikan maksimal bila kedua kak orang coba hampir lurus pada akhir dari
tarikan.
6. Sebelum orang coba diberi instruksi untuk menarik, testor harus yakin
bahwa tangan dan punggung lurus kepala tegak & dada tegap. Bila rantai
alat terlalu panjang, dapat dipendekkan dengan cara dililitkan.
7. Setelah teste itu meluruskan kedua tungkainya dengan maksimum, lalu
kita lihat jarum alatalat tersebut menunjukkan angka berapa.
8. Angka tersebut menyatakan besarnya kekuatan otot tungkai teste.
9. Pencatatan diambil satu skor dari 3 test yang tertinggi dicatat sebagai skor
dalam satuan kg, dengan tingkat ketelitian 0,5 kg.

c. Prosedur Pengukuran Lari Jarak Pendek/Sprint


Tes ini bertujuan untuk mengukur kecepatan lari seseorang.
Alat dan Perlengkapan
Stopwatch sesuai kebutuhan, bendera start 1 buah, lintasan yang lurus dan
rata dengan jarak 50 m dari garis strat dan garis finish
Petugas
1. Starter
2. 1 orang Pengambil waktu menurut keperluan
3. Pengawas 1 orang
4. Pencatat 1 orang
Pelaksanaan
1. Start dilakukan dengan start berdiri.
2. Pada aba-aba bersedia, murid (testee) berdiri dengan salah satu ujung
jari kakinya sedekat mungkin dengan garis start.
3. Pada aba-aba siap, murid (testee) siap untuk berlari.
4. Pada aba-aba ya, murid (testee) berlari secepatcepatnya menempuh jarak
50 meter sampai melewati garis finish.
5. Bersamaan dengan aba-aba ya, stopwatch di jalankan dan di hentikan
pada saat testee mencapai garis finish.
6. Setiap testee diberi kesempatan 2 kali.

Pencatatan Hasil
1. Hasil yang dicatat adalah waktu yang dicapai untuk menempuh jarak
tersebut
2. Kedua hasil tes dicatat Waktu yang dicapai dihitung sampai persepuluh
detik Faktor kesalahan
3. Antara pemberi aba-aba dan pengambil waktu tidak bersamaan.
4. Keadaan lintasan.
5. Siswa berlari sebelum aba-aba ya .

d. Prosedur Pengkuran Dodging Run / Zigzag


Tujuan :
tes zigzag ini bertujuan untuk mengukur kelincahan seseorang untuk bergerak
memindahkan tubuhnya dari satu tempat ketempat lainnya atau bergerak melewati
rintangan dengan waktu yang secepat mungkin.

Perlengkapan yang diperlukan diantaranya adalah :


1. Peluit
2. Stop
3. watch
4. Kun/pancang
5. Garis
6. start dan finish
Penguji :
1. Starter
2. Pengawas
3. Pengawas/pengambil waktu
4. Pencatat hasil/waktu

Pelaksanaan
1. Peserta bersiap dibelakang garis start.
2. Peserta konsentrasi pada bunyi peluit atau abaaba.
3. Saat peluit dibunyikan peserta sesegera mungkin berlari melewati
rintangan sampai melewati garis finish.
4. Stopwatch dijalankan ketika aba-aba/bunyi peluit dibunyikan dan
dihentikan ketika peserta masuk garis finish.
5. Setiap peserta diberikan kesempatan untuk melakukan 2 kali dan diambil
waktu yang tercepat.

Pencatatan hasil
1. Pengambilan waktu diambil dua kali dan diambil yang tercepat.

Faktor kesalahan
1. Starter dan pemegang stopwatch kurang kompak.
2. Kekeliruan dalam membaca waktu ataupun saat pencatatan waktu.
3. Lintasan atau area untuk lari zigzag licin.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Tes kesegaran jasmani Indonesia digunakan untuk mengukur dan
menentukan tingkat kesegaran jasmani remaja (sesuai kelompok usia
masingmasing). Sehingga dapat digunakan untuk seleksi atlit dan selanjutnya
dapat digunakan untuk acuan peningkatan kebugaran siswa dengan memberikan
peningkatan latihan fisik yang sesuai dengan tingkat kebugarannya.

B. SARAN
Begitu banyak manfaat yang bisa kita ambila dari melakukan tes dan
pengukuran. Jadi sebaiknya, bagi setiap Guru olahraga atau Pelatih mengisi
pengetahuannya tentang beberapa komponen dan hal-hal yang berkaitan dengan
tes dan pengukuran olahraga. Karena dengan itu kita akan bisa mengambil
banyak manfaat, diantaranya seperti :
Untuk pelaksanaan evaluasi dan Sebagai bahan motivasi
Sebagai bahan perbaikan mengajar / melatih dan Sebagai dasar penelitian
Penentuan status atlet dan pembagian kelompok sesuai dengan ketentuan yang
telah ada
DAFTAR PUSTAKA

Adriyanto, Agung. 2012. Kebugaran Jasmani,[online],(http://agungpenjasorkes.


blogspot.com/2011/04/kebugaranjasmani. html, diakses 29 Maret 2013

Anonimous. Moeslim. Tes dan Pengukuran Jilid I.

Atmojo Biyakto Mulyono. 2007. Tes dan Pengukuran dalam Pendidikan


Jasmani/ Olahraga. Surakarta : LPP dan UNS Press.

Giriwijoyo, S. dan Sidik, D.Z.(2012). Ilmu Kesehatan Olahraga. Bandung : PT.


Remaja

http://anekakimia.blogspot.com/2011/06/sumber-kesalahan-dalam
pengukuran.html
http://kartiniix2.blogspot.com/2013/03/kesalahan-pengukuran.html
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/MATERI%20PERKULIAHAN
%20%20METROLOGI%20INDUSTRI.pdf

Ismaryanti dan Sarwono, Pengukuran dan Evaluasi . Surakarta:UNS

Ismaryati.2006.[online],(
http://olahragaindonesia.blogspot.com/2012/04/10komponenkondis
Tes dan Pengukuran Olahraga. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Ambarkati, Arum Yuli. 2012. 10 Komponen Kondisi Fisik,[online fisik.
html, Diakses 29 Maret 2013)

Iskandar Z. Adisapoetra. (1999). Panduan Teknis Tes & Latihan Kesegaran


Jasmani Untuk Anak Sekolah. Jakarta

Kirkendall. R.A. 1980. Measurement And Evaluations For Physical Education.


IOWA

Matthew, G.G. (2007). Neurobiology Molecules, Cells, and Systems. diakses dari
http://www.sanger.ac.uk/Mm_Acetylcholine_Synthesis pada tanggal 9 Mei
2013
M. Sajoto. (1990). Peningkatan Dan Pembinaan Kondisi Fisik Dalam Olahraga.
Semarang: Dahara Press
Staf Personil, Pembinaan Manusia Dan Pendidikan Hankam. (1975). Buku
Petunjuk Lapangan Dan Buku Petunjuk Tehnik Latihan Binjas Abri Untuk
Satuan Lapangan Abri. Cetakan Kedua..Jakarta: Departemen Pertahanan
Keamanan.

Sudjadi, dr.1996. Ketahuilah Tingkat Kesegaran Jasmani Anda. Jakarta : PusaT


Kesegaran Jasmani dan Rekreasi, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. http://ch1ples.wordpress.com

Staf Personil, Pembinaan Manusia Dan Pendidikan Hankam. (1975). Buku


Petunjuk Lapangan Dan Buku Petunjuk Tehnik Latihan Binjas Abri Untuk
Satuan Lapangan Abri. Cetakan Kedua..Jakarta: Departemen Pertahanan
Keamanan.

Tim Lab Fisiologi. (2006) Petunjuk Praktikum Fisiologi Manusia. Yogyakarta.


Laboratorium Fisiologi FIK UNY
The Nelson Hand Reaction Test: Buku kesehatan, tes pengukuran dan evaluasi
halaman 88.

The Nelson Foot Reaction Test: Buku kesehatan, tes pengukuran dan evaluasi
halaman 88.

www.google.com/bompa book Johnson B.L. & Nelson J.K. Practical


Measurements for Evaluation in PE 4th Ed. 1986

Anda mungkin juga menyukai