Eksplorasi Batubara PDF
Eksplorasi Batubara PDF
EKSPLORASI BATUBARA
33
sehingga beberapa tumbuhan ini dapat digunakan untuk interpretasi
genesanya.
Iklim
Iklim pada suatu daerah banyak mempengaruhi terbentuknya
gambut pada daerah tersebut. Hal ini dikarenakan iklim suatu daerah dapat
mempengaruhi kecepatan tumbuhan untuk tumbuh, jenis tumbuhan yang
tumbuh, serta kecepatan dekomposisi tumbuhan. Di daerah beriklim
tropis, dengan melimpahnya sumber air dan sinar matahari, akan
menghasilkan lapisan gambut yang banyak dan tebal yang terbentuk dari
batang kayu besar. Peningkatan suhu suatu daerah akan mempercepat laju
pertumbuhan tanaman dan juga proses dekomposisinya. Sebagai
contohnya adalah ditemukannya rawa yang luas dipenuhi gambut dengan
ketebalan lebih dari 30 meter di daerah yang beriklim tropis (Taylor dkk.,
1998).
Geografi dan struktur daerah
Gambut dan batubara akan terbentuk di daerah dengan kondisi
kenaikan muka air yang lambat. Apabila kenaikan muka air tanah pada
suatu daerah terlalu cepat, maka endapan rawa akan berubah menjadi
limnik atau terjadi pengendapan sedimen marin. Sebaliknya,apabila terlalu
lambat, maka material tumbuhan akan membusuk dan gambut yang
terbentuk akan tererosi. Lalu adanya perlindungan rawa terhadap pantai
atau sungai juga dibutuhkan agar sedimen yang terbentuk di rawa dapat
terendapkan dan terjadi pembentukan gambut. Energi yang relatif rendah
atau tenang juga akan mempengaruhi pembentukan gambut dan batubara,
yaitu pada suplai sedimen yang ada sehingga gambut dapat terproses dan
terbentuk tanpa banyak gangguan dari sedimen lain.
34
batubara. Dalam tahap ini proses yang terpenting adalah proses pembentukan
humic substance (humification). Pembentukan humic substance (humification) ini
dikontrol oleh beberapa faktor, yaitu kenaikan temperatur, suplai oksigen, fasies,
dan lingkungan alkali.
Proses penggambutan ini merupakan proses awal dalam pembentukan
batubara, yang meliputi proses perubahan kimia (biochemical coalification) dan
mikrobial. Dalam proses ini penggambutan akan bergantung pada faktor
keberadaan air pada lingkungan pengendapan dan mikroorganisme (bakteri).
Setelah proses tersebut kemudian dilanjutkan dengan proses perubahan geokimia
(geochemical coalification), yang dalam prosesnya tidak melibatkan bakteri lagi.
Tumbuhan tersusun oleh berbagai unsur, yaitu C, H, O, dan N. Setelah
mati tumbuhan akan mengalami proses degradasi biokimia. Adanya
mikroorganisme (bakteri) menyebabkan terurainya unsur-unsur pada tumbuhan
tersebut, sehingga akan memotong ikatan kimia tumbuhan tersebut dan
menyebabkan tumbuhan akan mengalami pembusukan dan terurai menjadi
humus. Unsur H, O, dan N akan terurai dan dilepaskan dalam bentuk air (H 2O)
dan NH3. Sedangkan sebagian unsur C akan dilepaskan dalam bentuk gas CO 2,
CO, dan metana (CH4).
Semakin bertambahnya kedalaman maka suplai oksigen akan semakin
berkurang. Hal ini mengakibatkan bakteri aerob tidak dapat bertahan hidup dan
hanya terdapat bakteri anaerob. Karena jumlah bakteri hanya sedikit, pada
kedalaman lebih dari 10 meter bisa dikatakan bakteri tidak memiliki peranan
penting lagi dan yang terjadi adalah proses kimiawi (polomerisasi, kondensasi,
dan reaksi reduksi). Dengan bertambahnya kedalaman maka kandungan karbon
(C) menjadi bertambah pula.
Pada tahap geokimia, lapisan sedimen akan semakin tertekan oleh lapisan
sedimen diatasnya. Hal ini akan menyebabkan adanya kenaikan tekanan pada
lapisan sedimen sehingga kandungan air akan berkurang dengan cepat.
Kandungan air yang terdapat pada lapisan sedimen gambut dapat digunakan
sebagai parameter tingkat diagenesa gambut yang baik. Kemunculan selulosa
bebas, yaitu selulosa yang tidak bercampur dengan lignin juga dapat dijadikan
parameter tingkat diagenesa gambut.
35
Dalam kenyataannya tidak seluruh bagian tumbuhan mengalami
pembusukan. Akumulasi dari sisa-sisa bagian tumbuhan yang tidak mengalami
pembusukan inilah yang akan menjadi gambut. Gambut akan terbentuk apabila
tumbuhan terendam air dengan cepat dan terhindar dari proses pembusukan yang
diakibatkan oleh bakteri.
Setelah menjadi gambut, maka proses yang akan bekerja selanjutnya
adalah proses pembatubaraan. Proses ini meliputi proses geologi dan perubahan
geokimia (geochemical coalification).
36
Batubara autochtone, merupakan batubara yang gambutnya berasal
dari tumbuhan-tumbuhan yang tumbang di tempat tumbuhnya dan
tidak mengalami transportasi ke tempat lain. Jenis batubara
autochtone memiliki penyebaran yang luas dan merata serta memiliki
kualitas yang lebih baik karena kadar abunya relatif lebih rendah.
Batubara allochtone, merupakan batubara yang gambutnya berasal
dari bagian tumbuhan yang terbawa aliran sungai dan terendapkan di
daerah hilir sungai tersebut. Jenis batubara allochtone ini memiliki
penyebaran tidak luas dan dijumpai pada beberapa tempat dan tidak
merata. Kualitas batubara yang terbentuk dengan cara ini memiliki
kualitas yang kurang baik karena banyak mengandung material
pengotor yang terangkut bersama pada saat tumbuhan tertransportasi
dari tempat asalnya. Endapan batubara allochtone relatif lebih banyak
mengandung mineral dibandingkan endapan authochtone.
Kenaikan temperatur dan waktu merupakan dua faktor utama penyebab
proses pembatubaraan. Biasanya batubara dengan tingkat tinggi (anthracite)
ditemukan berdekatan dengan intrusi-intrusi batuan beku. Terjadinya kontak
metamorfisme intrusi batuan beku terhadap lapisan batubara ini membuat
peringkat batubara semakin tinggi. Selain itu, peringkat batubara akan semakin
tinggi akibat naiknya temperatur karena bertambahnya kedalaman lapisan
batubara. Sedangkan semakin bertambahnya waktu apabila temperatur
pembatubaraan tinggi, maka pada daerah yang terkena struktur geologi, seperti
daerah patahan atau lipatan, proses pembatubaraan akan semakin cepat karena
adanya tekanan dan temperatur yang tinggi pada daerah tersebut.
37
Lingkungan pengendapan rawa dapat dibagi menjadi dua jenis,yaitu:
Rawa paralis, merupakan rawa yang terdapat di lingkungan tepi laut.
Contohnya seperti rawa pinggir laut, laguna, dan delta.
Rawa limnik, merupakan rawa yang terdapat di lingkungan tepi
danau. Contohnya seperti rawa meadow dan tepi danau.
Batubara sendiri umumnya banyak ditemukan pada lingkungan
pengendapan rawa paralis, terutama lingkungan pengendapan delta. Lingkungan
pengendapan batubara di daerah delta (Gambar 30) dapat dibagi menjadi empat
bagian (Horne dkk, 1978), yaitu:
1. Lingkungan back barrier, memiliki ciri-ciri endapan batubara
dengan lapisan yang tipis, penyebaran lateral tidak menerus, dan
memiliki kandungan sulfur yang tinggi.
2. Lingkungan lower delta plain, memiliki ciri-ciri endapan batubara
dengan lapisan yang tipis, penyebaran luas, dan distribusi
kandungan sulfur bervariasi.
3. Lingkungan transisi antara lower dan upper delta plain, memiliki
ciri-ciri endapan batubara dengan lapisan tebal, penyebaran lateral
luas, serta rendah sulfur.
4. Lingkungan upper delta plain - fluvial, memiliki ciri-ciri endapan
batubara dengan lapisan cukup tebal, setempat dan umumnya
penyebaran lateral tidak merata dengan kandungan sulfur yang
rendah.
38
Gambar 30. Lingkungan pengendapan batubara pada daerah delta
(Horne dkk., 1978)
39
dengan nilai GI (Gelification Index) rendah dan warna batubara yang
kusam menunjukkan bahwa permukaan gambut mengalami kekeringan
dan proses oksidasi secara berkala.
2. Alluvial Valley dan Upper Delta Plain
Kedua lingkungan ini memiliki kesamaan litofasies dan juga
kondisi pembentukan batubaranya. Lingkungan ini merupakan transisi
dari lembah dan dataran aluvial dengan dataran delta. Umumnya
melewati daerah sungai meander (meandering river). Lapisan
batubaranya memiliki tebal bervariasi dan profil sedimennya
umumnya berupa perselingan batupasir dan lanau atau lempung.
Gambut yang terbentuk di lingkungan ini dapat terakumulasi
pada beberapa morfologi, seperti pada rawa, dataran banjir, bagian luar
dari saluran sungai, dan lain-lain. Batubara yang terbentuk memiliki
kandungan abu dan sulfur yang rendah serta didominasi oleh maseral
televitrinit atau humotellinit. Permukaan gambut relatif hampir selalu
basah setiap musimnya dan jarang mengalami periode kekeringan
karena kemarau, sehingga endapan batubara yang dihasilkan memiliki
nilai TPI dan GI relatif tinggi dan warna yang mengkilap.
3. Lower Delta Plain
Lingkungan lower delta plain dapat dibedakan dengan upper
delta plain berdasarkan besarnya pengaruh pasang air laut terhadap
proses sedimentasi. Batas keduanya yaitu daerah batas tertinggi dari air
pasang. Endapan pada lingkungan ini terdiri dari batulanau,
batulempung, dan serpih dengan sisipan batupasir halus.
Ketika air laut pasang maka akan membawa berbagai nutrisi ke
dalam rawa gambut, sehingga menyebabkan banyaknya pertumbuhan
tanaman di daerah ini. Akibat pasang air laut ini juga akan membawa
material sedimen klastik halus yang kemudian akan terendapkan pada
rawa gambut dan menjadi pengotor dalam batubara.
Kandungan batubara yang terbentuk pada lingkungan ini
umumnya akan memiliki kandungan pirit yang berasal dari reduksi
sulfat pada air laut yang terbawa ke lingkungan ini. Menurut Horne
40
dan Ferm (1987) dalam Diessel (1992), batubara yang terendapkan
pada lingkungan ini memiliki penyebaran lateral yang luas tetapi
ketebalannya relatif tipis. Kandungan inertinit dalam batubaranya
rendah dengan nilai GI yang tinggi. Kandungan vitrinit atau
huminitnya didominasi oleh detrovitrinit atau humotellinit, yang
menyebabkan nilai TPI-nya relatif rendah. Hal tersebut menunjukkan
adanya biodegradasi pada pH tinggi dan melimpahnya tumbuhan
berjaringan lunak (soft-tissued plant).
4. Barrier Beach
Morfologi garis pantai pada lingkungan ini dikontrol oleh rasio
suplai sedimen dengan energi pantai, yaitu gelombang dan arus.
Apabila nilai rasionya tinggi maka akan terbentuk lingkungan delta.
Sedangkan apabila nilai rasionya rendah maka sedimentasi akan
terdistribusi di sepanjang pantai.
Permukaan rawa gambut di lingkungan ini lebih rendah dari
muka air laut, sehingga daerah ini akan sering mengalami kebanjiran
dan ditumbuhi alang-alang. Rawa gambut pada lingkungan ini sangat
dipengaruhi oleh peristiwa transgresi dan regresi.
41
4.1.3. Analisis Kualitas Batubara
Kualitas batubara berperan penting dalam menentukan kelas batubara.
Terdapat lima unsur utama pembentuk batubara, yaitu Karbon (C), Hidrogen (H),
Sulfur (S), Nitrogen (N), Oksigen (O2), dan fosfor. Penentuan kualitas batubara
dapat diperoleh dengan cara mengetahui parameter kualitas pada batubara. Hal ini
dapat diketahui menggunakan analisis kimia dan pengujian laboratorium terhadap
sampel batubara. Analisis kualitas batubara terdiri dari dua jenis, yaitu analisis
ultimat dan analisis proksimat.
Analisis ultimat adalah analisis sederhana yang digunakan untuk
mengetahui unsur-unsur pembentuk batubara dengan hanya memperhatikan unsur
kimia pembentuk yang penting dan mengabaikan keberadaan senyawa kompleks
yang ada di dalam batubara.
Salah satu senyawa yang umum dijumpai pada endapan batubara adalah
sulfur. Beberapa jenis sulfur yang umum dijumpai pada batubara, yaitu:
Pirit (FeS2), dijumpai berupa bentukan makrodeposit, seperti lensa,
urat, dan rekahan (joint).
Sulfur organik, secara kimia terikat dalam endapan batubara dengan
jumlah antara 20 80%.
Sulfur sulfat, umumnya dijumpai berupa kalsium sulfat dan besi sulfat
dengan jumlah relatif kecil.
Analisis proksimat digunakan untuk menentukan kelas (rank) batubara.
Analisis ini memiliki empat parameter utama yang digunakan, yaitu:
1. Kadar air (moisture), yaitu kandungan air yang terdapat pada
batubara. Kadar air sendiri dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:
Kadar air bebas (free surface moisture), yaitu air yang
menempel pada permukaan batubara yang berasal dari air
hujan dan juga air semprotan yang mana akan mudah
menguap dalam kondisi laboratorium.
Kadar air bawaan (inherent moisture), yaitu air yang terdapat
pada rongga (pori) dan mineral yang terdapat dalam batubara.
Air ini dapat dihilangkan dengan suhu pemanasan 1050-1100C.
42
Kadar air total (total moisture), merupakan jumlah dari kadar
air bebas ditambah dengan kadar air bawaan.
2. Kadar abu (ash), yaitu kandungan bahan inorganik yang tertinggal
atau tidak terbakar sewaktu batubara dibakar pada suhu 8150C.
3. Zat terbang (volatile matter), yaitu komponen-komponen dalam
batubara yang dapat lepas atau menguap pada saat dipanaskan di
ruang hampa udara pada suhu 9000C. Zat terbang ini meliputi zat
terbang mineral (volatile mineral matter) dan zat terbang organik
(volatile organic matter).
4. Karbon tertambat (fixed carbon), merupakan jumlah karbon yang
tertambat pada batubara setelah kandungan-kandungan air, abu, dan
zat terbangnya dihilangkan.
43
Tabel 1. Klasifikasi Peringkat Batubara oleh ASTM
(ASTM, 1981, dalam Wood dkk, 1983)
Fixed Volatile
carbon matter
percentage percentage Calorivic value (moist, mineral
matter free basis) Agglomerating
Rank Group (dry, (dry,
character
mineral mineral Megajoules
Brithish thermal
matter free matter free per
units per pound
basis) basis) kilogram
Anthracitic
Meta-anthracitie >98 <2
non
Anthracite 92-98 2-8 agglomerating
44
4.1.5. Metode Perhitungan Sumberdaya Batubara
Perhitungan sumberdaya batubara dilakukan dengan tujuan mengetahui
berapa banyak endapan batubara yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
pertambangan. Menurut Koesoemadinata (2000), sumberdaya adalah kuantitas
dari suatu cebakan berdasarkan atas penafsiran geologi saja, dengan penafsiran
pertambangan belum dimasukkan. Sedangkan cadangan adalah kuantitas dari
suatu cebakan yang telah memasukkan semua dampak dan aspek pertambangan,
sehingga ukuran, bentuk kedalaman, dan kadar dari sumberdaya dapat diketahui
dengan baik.
Sumber daya batubara adalah bagian dari endapan batubara yang
diharapkan dapat dimanfaatkan. Sumber daya batubara ini dibagi dalam kelas-
kelas sumber daya berdasarkan tingkat keyakinan geologi yang ditentukan secara
kualitatif oleh kondisi geologi atau tingkat kompleksitas dan secara kuantitatif
oleh jarak titik informasi. Sumberdaya ini dapat meningkat menjadi cadangan
apabila setelah dilakukan kajian kelayakan dinyatakan layak (BSN,1998).
Cadangan batubara adalah bagian dari sumber daya batubara yang telah
diketahui dimensi, sebaran kuantitas, dan kualitasnya, yang pada saat pengkajian
kelayakan dinyatakan layak untuk ditambang (BSN, 1998).
45
Metode yang digunakan untuk menghitung sumberdaya batubara
bermacam-macam, seperti Metode Circular USGS, Metode Penampang, Metode
Blok, dan Metode Poligon. Penentuan penggunaan metode perhitungan
sumberdaya batubara didasarkan atas kualitas dan jenis data yang diperoleh di
lapangan dan metode penambangan yang akan digunakan.
Data yang diperoleh selama penelitian di lapangan adalah data singkapan,
sehingga dalam perhitungan sumberdaya batubara daerah penelitian metode yang
cocok digunakan adalah Metode Circular USGS.
Untuk menghitung besarnya sumberdaya batubara dengan menggunakan
Metode Circular USGS (Wood dkk, 1983), terdapat beberapa langkah kerja yang
harus diikuti, yaitu:
1. Pembuatan peta sebaran batubara daerah penelitian
2. Pembuatan lingkaran (circular) pada tiap titik singkapan batubara yang
ditemui, dengan mengacu pada tabel 2 berikut ini:
Tabel 2. Jenis sumberdaya batubara mengacu pada jarak radius dari titik
singkapannya (Wood dkk, 1983)
Radius (meter) Jenis Sumberdaya Batubara
0-400 Sumberdaya Terukur (Measured Resource)
400-1200 Sumberdaya Tertunjuk (Indicated Resource)
1200-4800 Sumberdaya Terkira (Inferred Resource)
46
Gambar 32. Perhitungan sumberdaya batubara menggunakan Metode Circular dan
koreksi kemiringan pada lapisan batubara (Wood dkk, 1983)
47
Rumus yang digunakan dalam Metode Circular USGS (Wood dkk, 1983)
untuk menghitung sumberdaya batubara adalah sebagai berikut:
Untuk kemiringan lapisan () < 300,
Sumberdaya = Luas area (m2) x Tebal batubara (m) x Berat Jenis (ton/m3)
Untuk kemiringan lapisan () > 300,
Sumberdaya = Luas area (m2) x Tebal batubara (m) x Berat Jenis (ton/m3)
cos
Tabel 3. Jenis sumberdaya batubara mengacu pada jarak titik informasi menurut
kondisi geologi (BSN, 1998)
Kondisi Sumberdaya
Kriteria
Geologi Hipotetik Terkira Tertunjuk Terukur
Jarak titik
Tidak
Sederhana informasi 1000<x=1500 500<v=1000 x=500
terbatas
(m)
Jarak titik
Tidak
Moderat informasi 500<x=1000 250<x=500 x=250
terbatas
(m)
Jarak titik
Tidak
Komplek informasi 200<x=400 100<x=200 x=100
terbatas
(m)
48
4.2. Endapan Batubara Daerah Penelitian
Berdasarkan hasil pemetaan geologi di daerah penelitian, singkapan
batubara ditemui pada 20 lokasi singkapan, yaitu pada titik PT-78, PT-82, PT-93,
PP-1, PP-2, PP-3, PP-4, PP-15, PP-16, PP-17, PP-39, PP-42, PP-43, PP-51,
PP-53, PP-57, PP-61, PP-62, PP-70, dan PP-71. Ciri endapan batubara di daerah
penelitian yaitu terdiri dari lapisan batubara yang berlapis-lapis dengan
kenampakan fisiknya yaitu berwarna hitam, getas, gores cokelat, kilap kaca-
kusam, pecahan conchoidal - sub-conchoidal, resinous, dan terdapat struktur
kayu.
Pada daerah penelitian memiliki pola jurus umum lapisan batubara yang
sama, yaitu berarah timurlaut-baratdaya dengan kemiringan sekitar 300 ke arah
tenggara. Ketebalan lapisan batubara yang ditemui antara 0,3-34 meter dengan
sisipan batupasir dan batulempung.
Berdasarkan korelasi yang dilakukan antar singkapan batubara yang
ditemui, dengan melihat ciri fisik dan posisi titik singkapan sebagai dasar
penentuan korelasi, maka di daerah penelitian terdapat 13 lapisan batubara yang
dapat dilihat pada Peta Penyebaran Batubara (Lampiran C4) dan dibagi menjadi
tiga kelompok umum, yaitu kelompok batubara A, kelompok batubara B, dan
kelompok batubara C.
49
Gambar 33. Kontak
batupasir-batubara pada
lokasi PT-82
Batupasir
Batubara
Mineral pirit
Batubara
Batulempung
50
4.2.2. Kelompok Batubara B
Kelompok ini memiliki tiga lapisan utama batubara. Singkapan yang
didapat berada pada titik PT-78, PP-51, dan PP-53. Lapisan batubara pada
kelompok ini memiliki ketebalan antara 0,5-3 meter dengan jurus berarah
timurlaut-baratdaya dan kemiringan lapisan 280-330 ke arah tenggara.
Batubara pada kelompok B ini memiliki ciri-ciri berupa warna hitam,
getas, gores cokelat, kilap kusam, pecahan sub-conchoidal, resinous, dan terdapat
struktur kayu (Gambar 36 dan 37).
Batubara
Batubara
51
4.2.3. Kelompok Batubara C
Pada kelompok batubara C ditemui 8 lapisan utama batubara. Lapisan-
lapisan tersebut tersingkap di 15 lokasi, yaitu pada titik PP-1, PP-2, PP-3, PP-4,
PP-15, PP-16, PP-17, PP-39, PP-42, PP-43, PP-57, PP-61, PP-62, PP-70, dan PP-
71. Batubara pada kelompok ini memliki ketebalan yang bervariasi antara 0,3-34
meter. Batubara pada kelompok ini memiliki khas yaitu berlapis-lapis (Gambar
38). Lapisan batubara pada kelompok ini memiliki jurus berarah timurlaut-
baratdaya dan kemiringan lapisan 250-350 ke arah tenggara.
Ciri-ciri batubara pada kelompok C yaitu warna hitam, getas, gores
cokelat, kilap kusam, pecahan sub-conchoidal, resinous, dan terdapat struktur
kayu (Gambar 39). Secara fisik adanya struktur kayu ini menandakan bahwa
batubara tersebut masih berumur muda dengan kalori yang tidak terlalu tinggi.
Gambar 38. Singkapan batubara PP-15, menunjukkan lapisan batubara yang tebal
dan berlapis-lapis
52
Gambar 39. Struktur
kayu pada batubara
kelompok C
Struktur kayu
53
Tabel 4. Hasil analisis kualitas batubara di daerah penelitian
Umum Minimum Maximum
TOTAL MOISTURE, % as received basis 36 32 42
HGI 60 50 70
55
Sehingga, menurut perhitungan sumberdaya batubara menggunakan metode
circular USGS (Wood dkk, 1983) pada daerah penelitian terdapat total sumberdaya
terukur sebesar 44.110.154 ton dan total sumberdaya tertunjuk sebesar 150.018.745
ton (Tabel 6).
56
Berdasarkan perhitungan sumberdaya batubara dengan menggunakan dua
metode yang berbeda, yaitu metode Circular USGS (Wood dkk, 1983) dan metode
SNI (BSN,1998), didapatkan hasil sumberdaya batubara yang berbeda. Pada
perhitungan menggunakan metode SNI (BSN, 1998) menghasilkan sumberdaya
batubara yang lebih kecil daripada metode Circular USGS (Wood dkk, 1983).
Adanya perbedaan ini dikarenakan pada perhitungan sumberdaya batubara
menggunakan metode SNI (BSN,1998) memperhitungkan faktor kondisi geologi
suatu daerah, sedangkan pada metode Circular USGS (Wood dkk, 1983) tidak
memperhatikan parameter kondisi geologinya dan menganggap kondisi geologi
pada tiap daerah adalah sama. Sehingga untuk perhitungan sumberdaya batubara,
metode SNI lebih akurat dibandingkan dengan metode Circular USGS karena
kondisi geologi pada tiap daerah berbeda-beda.
57