Anda di halaman 1dari 147

UN GOVERNABILITY STATE

(Evaluasi Fungsi Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam Optimalisasi Fungsi


Terminal Tipe A Kota Tasikmalaya sebagai Basis Pelayanan Transportasi Publik)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam meraih gelar Sarjana
Ilmu Politik pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Siliwangi

Oleh:
YOSEF NURSYAMSI
NPM 123507022

JURUSAN ILMU POLITIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SILIWANGI
TASIKMALAYA
2017

1
2

UN GOVERNABILITY STATE

(Evaluasi Fungsi Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam Optimalisasi Fungsi


Terminal Tipe A Kota Tasikmalaya Sebagai Basis Pelayanan Transportasi
Publik di Kota Tasikmalaya )

Oleh

YOSEF NURSYAMSI

NPM 123507022

Tim penguji

Dosen Pembingbing I,

Akhmad Satori, S.IP., M.SI.


NIP 198107282015041001

Dosen Pembingbing II,

Subhan Agung, S.IP., M.A,


NIDN 0407118201

Dosen Penguji,

Fitriyani Yuliawati, S.IP., M.Si.


NIDN 0408078402

Mengetahui

Dekan FISIP UNSIL,

Dr. H. Iis Marwan,.M.Pd.

NIP 196408181990021001
3

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertandatangan di bawah ini :


Nama : Yosef Nursyamsi
Npm : 123507022
Jurusan : Ilmu Politik
Fakultas : Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Perguruan Tinggi : Universitas Siliwangi
Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa skripsi yang berjudul UN

GOVERNABILITY STATE (Evaluasi Fungsi Pemerintah Kota Tasikmalaya

dalam optimalisasi fungsi Terminal Tipe A Kota Tasikmalaya Sebagai Basis

Pelayanan Transportasi Publik di Kota Tasikmalaya) merupakan karya tulis

ilmiah yang dijamin keaslianya dan belum pernah diajukan oleh siapapun

dalam bentuk tulisan ilmiah. Skripsi ini bukan plagiat dari hasil karya orang

lain, Kecuali yang secara tertulis dijadikan referensi maupun dasar teori

dalam penelitian ini, yang selanjutnya identitas penulis tersebut dicantumkan

di setiap kutipan yang dijadikan referensi atau teori dan di masukan dalam

daftar pustaka.

Demikian surat pernyataan keaslian ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Tasikmalaya, Januari 2017

Yang menyatakan

Yosef Nursyamsi
NPM 123507022
4

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan tentang kemampuan


(governability) pemerintah Kota Tasikmalaya dalam optimalisasi fungsi Terminal
Tipe Indihiang A Kota Tasikmalaya. Khususnya dari dimensi pelayanan dan
regulasi. Analisis tools dalam mengkaji fungsi pelayanan menggunakan indikator
kualitas pelayanan dari Zeithaml. Dkk yang terdiri dari aspek tangibles,
responsivinnes, reliability, empathy, dan assurance. Sementara untuk mengkaji
governability menggunakan konsep governance, dan public policy.
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, dengan sifat penelitian
berupa deskriptif-kualitatif, paradigma penelitian berupa studi kasus dan positif
normativisme. Teknik pengambilan sampel bersifat non probality sampling dengan
pemilihan sampel mempertimbangkan pemahaman dan penguasaan akan informasi
tentang permasalahan yang diteliti. Teknik pengumpulan data menggunakan
dokumentasi, wawancara tak berstruktur, dan observasi tak berstruktur. Analisis data
yang digunakan adalah interaktif model dengan validitas berupa trianggulasi.
Selama penelitian didapatkan fakta bahwa telah terjadi penurunan kualitas
pelayanan. Baik dari kualitas yang berorientasi pada hasil, yaitu aspek tangibles
berupa degradasi fungsi, disfungsi bahkan berhenti atau tidak berfungsi sebagian
besar fasilitas utama dan fasilitas penunjang di terminal utama dan terminal
elf/angkot. Maupun dari kualitas pelayanan yang berotientasi hasil, yaitu aspek
reliability, responsiviness, assurance, dan empathy. Dimana pelayanan yang
menunjang terhadap penyelenggaraan terminal dari indikator yang berorientasi hasil
tersebut masih jauh dari kata optimal. Seperti sulitnya akses terutama dari pinggiran
kota, lamanya waktu tempuh dan proses transit yang panjang, tidak tegasnya
personel dalam mengarahkan armada bus tujuan Tasikmalaya untuk masuk terminal,
tidak terintegrasinya moda transportasi, minimnya stock kursi yang tersedia terutama
waktu libur panjang karena telah penuh oleh penumpang di pool dan terminal
bayangan, lamanya waktu tunggu atau ngetem armada bus dan sekelumit
permasalahan lainnya.
Sementara itu di tengah menurunnya kualitas pelayanan, terminal di tuntut
untuk berkompetisi dengan provider swasta yang lebih representatif dan prima dalam
pelayanan. Sehingga penumpang lebih memilih untuk menggunakan pool sebagai
prasarana utama dan pertama dalam jasa playanan transportasi, baik untuk
keberangkatan maupun kedatangan. Pemerintah Kota Tasikmalaya sebagai otoritas
yang berwenang dalam mengatur sistem dan jaringan angkutan transportasi di Kota
Tasikmalaya, seakan lemah dan kehilangan otoritasnya ketika behadapan dengan
pengusaha atau pasar. Melalui regulasi dan perizinan dari pemerintah pusat dalam
hal ini Kementrian Perhubungan pengusaha mampu berkelit dan menegasikan
rekomendasi Pemerintah Kota Tasikmalaya.
Dari dua variabel tersebut, kemampuan memerintah (governability)
Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam optimalisasi fungsi terminal dapat di
kategorikan lemah bahkan gagal. Selain karena penurunan kualitas pelayanan juga di
akibatkan terjadinya pembiasan dari konsep governance, dimana interaksi yang
5

terjadi tidak bersifat chek and balance, justru cenderung destruktif. Bahkan swasta
banyak mendominasi domain pemerintah dalam hal penyelenggaraan pelayanan
transportasi publik.
Kata kunci: governanability, kualitas pelayanan, public service, public policy, birokrasi,
terminal tipe-A
6

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah. Puji beserta syukur penulis panjatkan kepada Allah

SWT, yang dengan rahman dan rahim-Nya senantiasa memberikan nikmat

bagi setiap insan yang dicipta-Nya. Shallawat dan sallam senantiasa

dituturkan kepada Muhammad SAW, insan kamil yang dengan iqra Nya

mampu membawa nurullah dalam dimensi pengetahuan yang terus bergerak

dinamis sesuai peradaban zaman,

penelitian ini merupakan kajian ilmiah tentang governability dan

evaluasi mengenai tata kelola dan tata laksana pemerintahan Kota

Tasikmalaya dalam menjalankan fungsinya sebagai entitas dalam negara.

Dengan judul dan tema penelitian adalahUN GOVERNABILITY STATE

(Evaluasi Fungsi Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam optimalisasi fungsi

Terminal Tipe A Kota Tasikmalaya Sebagai Basis Pelayanan Transportasi

Publik di Kota Tasikmalaya ). penelitian ini penulis dedikasikan kepada

kedua orang tua yang selalu memahami dan mendukung apa yang menjadi

pilihan penulis. Yang di setiap doa dan perjuangan Nya penulis dapat

merasakan dalam pilihan yang berbeda sekalipun tiada yang lebih tulus dari

kasih dan tegur orang tua.

Penyusunan penelitian ini pada prosesnya tidak terlepas dari

bimbingan, saran dan diskusi dari berbagai pihak terutama pembingbing


7

dalam penelitian ini. Oleh karena itu dengan rasa hormat dan takdzims penulis

berterima kasih kepada Bapak Ahmad Satori, S.IP,. M.SI. dan Bapak Subhan

Agung, S.IP,.MA selaku pembimbing satu dan dua, yang senantiasa

meluangkan waktu untuk membimbing dan mendiskusikan penelitian.

Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis ucapkan

terima kasih kepada:

1. Dr. H. Iis Marwan,. M.Pd selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Siliwangi;

2. Ibu Fitriyani Yuliawati, S.IP,. M.Si selaku Dosen penguji sekaligus sebagai

Ketua Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Siliwangi;

3. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Siliwangi

yang telah memberikan sumbangsih keilmuan pada disiplin ilmu politik;

4. Staf Tata Usaha Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik khususnya Bapak Epi

5. Civitas akademika Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Siliwangi khususnya mahasiswa angkatan 2012

6. Manajemen Perusahaan Otobus PO. Doa Ibu Kota Tasikmalaya

7. Manajemen Perusahaan Otobus PO. Primajasa Kota Tasikmalaya

8. Kepala Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Kota Tasikmalaya

9. Staff dan steakholder UPTD Terminal Indihiang Kota Tasikmalaya

10. Seluruh keluarga besar penulis khusunya adik, Adi Taofik Hidayat yang

selalu memberikan bantuan materill selama peroses penelitian


8

11. Dan kepada adinda Yuli Yulianti terima kasih telah menjadi tempat berbagi

yang memahami sisi introvert penulis

Penulis menyadari bahwa tak ada gading yang tak retak begitu pula

dengan skripsi ini, Adalah harapan penulis kiranya penyusunan skripsi ini

dapat di koreksi dengan saran dan kritik yang membangun, demi perbaikan

dan kesesuaian sebagai sebuah karya ilmiah.

Tasikmalaya, Februari 2017

Penulis
9
10
11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia pasca Reformasi Mei 1998 merupakan satu entitas negara

yang mulai menerapkan demokrasi secara lebih substantive. Dimana pada

rezim sebelumnya demokrasi hanya dipandang sebagai demokrasi procedural

dengan pemerintahan yang sentralistik dan otoriter bahkan budaya

paternalistic (patron-klien) dan sentimen primodialisme seakan

mengkooptasi sistem birokrasi pada masa itu. Euphoria Reformasi sejatinya

tidak hanya dimaknai sebagai kemenangan kaum Reformis atas rezim yang

sentralistik, lebih dari itu Reformasi harus dijadikan entry point dalam

mengimplementasikan urgensi nilai dan substansi demokratisasi yang tidak

sebatas pada proses liberalisasi tetapi memiliki kontiunitas pada tahap

institusi dan konsolidasi.

Demokrasi pada perkembanganya tidak bisa dipisahkan dari otonomi,

dan demokrasi menghendaki adanya pelimpahan dan atau pembagian

otonomi antara pusat dan daerah melalui desentralisasi (dekonsentrasi dan

devolusi). Hal ini memungkinkan terjadinya peningkatan partisipasi dan

kontrol masyarakat terhadap terselenggaranya pemerintahan di aras regional

dan lokal, baik itu pada fungsi dan sistem pemerintahan, kebijakan publik dan
12

kinerja pelayanan publik. Meningkatnya partisipasi masyarakat di era

desentralisasi (otonomi daerah) baik dalam organisasi pressure groups

maupun interst groups memiliki implikasi terhadap lahirnya penciptaan

kembali (reinventing government) menuju pemerintahan yang lebih efisien,

akuntabel, transparan, professional, responsive, dan bersih (good

governance).

Menurut Dwiyanto (dalam Wibawa, 2014: 62) kualitas tata

pemerintahan (governance) dan keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah

diyakini memiliki hubungan yang resifrokal ataupun simetris. Pada satu sisi

dan suatu saat kualitas governance dapat berposisi sebagai variable

independen yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah.

Sedangkan pada sisi dan saat yang lain, kebijakan otonomi daerahlah yang

menjadi faktor penyebab berhasil terwujudnya tata pemerintahan yang baik

(good governance).

Faktanya kesiapan daerah dalam menjalankan desentralisasi tidak

semulus yang diharapkan. Adanya tumpang tindih regulasi antara pusat dan

daerah, lekatnya unsur nepotisme dan primodialisme dalam seleksi pegawai

dan kuatnya peranan bosisme atau local strongman menambah panjang

permasalahan pada tata pemerintahan menuju good governance. Lemahnya

regulasi dan peran pemerintah seakan mengarah pada bentuk liberal

governance yaitu governance without government dimana menurut

Wibawa (dalam Dwiyanto, 2014 : 77) pemerintah sebagai satu entitas yang
13

dalam pandangan klasik sebagai omnipotent atas wilayah dan rakyatnya

seakan tidak mengambil peran apapun bahkan kehilangan peran sama sekali.

Perspektif reinventing government terutama dalam pandangan new

management public menghendaki adanya kesetaraan peran antara pemerintah,

civil society, dan swasta (pasar), ketiga unsur tersebut saling berinteraksi

dengan pendekatan business entity dimana pemerintah sebagai regulator.

Menurut Rosidi (2013:ix) negara dilihat sebagai perusahaan jasa modern

yang dalam bidang tertentu bersaing dengan pihak swasta, tetapi dilain pihak

dalam bidang tertentu memonopoli layanan jasa, namun tetap dengan

kewajiban memberikan layanan dan kualitas yang maksimal kepada

masyarakat. Masyarakat diposisikan sebagai pelanggan (coustomer) layanan

publik, karena pajak yang dibayarkan dan memiliki hak atas layanan dalam

jumlah tertentu dan kualitas tertentu pula.

Pemenuhan akan hak dan kualitas pelayanan publik nampaknya

tengah menjadi persoalan di Kota Tasikmalaya, khususnya dibidang

pelayanan transportasi publik. Sebagai wilayah yang memiliki potensi

ekonomi pada sektor jasa dan barang, masyarakat Kota Tasikmalaya tentunya

membutuhkan mobilisasi yang tinggi dari satu wilayah ke wilayah lainya baik

di dalam kota maupun luar Kota Tasikmalaya. Mobilisasi masyarakat yang

begitu tinggi ini berimplikasi langsung terhadap revitalisasi sistem

transportasi di Kota Tasikmalaya (infrastruktur dan regulasi).

Revitalisasi infrastruktur pada sistem transportasi Kota Tasikmalaya


14

diwujudkan dengan pengalihan fungsi Terminal Cilembang yang tidak


1
memiliki standarisasi sebagai Terminal Tipe A dengan pembangunan

Terminal Tipe A Indihiang yang telah terstandarisasi. Pembangunan Terminal

Tipe A dengan luas area 7, 2 Hektar ini menjadikan Terminal Tipe A Kota

Tasikmalaya sebagai terminal terluas di Priangan dan memiliki daya

akumulasi penumpang atau barang yang tinggi, dan berpotensi pada sektor

ekonomi non formal bahkan sebagai penyumbang Pendapatan Asli Daerah

(PAD) bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota

Tasikmalaya.

Upaya revitalisasi Terminal Tipe A Kota Tasikmalaya nyatanya tidak

serta merta meningkatkan kualitas dan pemenuhan akan hak-hak masyarakat

sebagai coustomer (owner) dalam pelayanan transportasi publik, bahkan

akumulasi penumpang yang naik dan turun di dalam area terminal terus

mengalami penurunan. Hal ini semakin jelas ketika keberadaan Terminal

Tipe A hanya dijadikan tempat kontrol dan penarikan retribusi terhadap

armada bus yang akan beroperasi.

Kondisi terminal yang seperti ini mengharuskan pemerintah Kota

Tasikmalaya untuk lebih menekankan urgensi regulasi dan tata kelola

memerintah yang tegas dan jelas, mengenai tata laksana dan peran fungsi

1
Sesuai Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 31 tahun 1995 dimana luas area Terminal Tipe A
untuk di pulau Jawa dan Sumatera harus lebih dari 5 HA. Sementara luas area Terminal
Cilembang kurang dari 5 HA dan tidak memiliki area keberangkatan, kedatangan, dan ruang
tunggu yang sesuai standar. Dan sedang menjadi bagian dari sengketa aset Kota Tasikmalaya dan
Kabupaten Tasikmalaya.
15

Terminal Tipe A yang optimal dan sesuai peruntukanya. Akan tetapi regulasi
2
dan petunjuk pelaksanaan dan teknis mengenai keberadaan dan peran fungsi

Terminal Tipe A hanya bersifat semantic dan tidak lagi memiliki kekuatan

hukum yang memaksa dan mengikat masyarakat dan perusahaan otobus (PO)

terhadap fungsi utama Terminal Tipe A sebagai basis pelayanan transportasi

publik.

Lemahnya fungsi pemerintah sebagai regulator dalam memaksa dan

mengikat (mendisiplinkan) penumpang dan armada bus untuk menaikan dan

menurunkan penumpang pada tempat yang telah ditentukan, secara langsung

maupun tidak langsung telah mengurangi fungsi terminal sebagai tempat

akumulasi penumpang dan barang. Akibatnya kondisi dan aktifitas di dalam

area terminal terus menurun (sepi). Berkurangya fungsi utama terminal

sebagai tempat akumulasi penumpang dan barang menjadi faktor utama yang

menimbulkan efek domino terhadap sejumlah aktifitas di area terminal.

Efek domino dari menurunya aktifitas penumpang di dalam area

terminal dapat diamati dari matinya sebagian besar perekonomian di dalam

terminal. Seperti tutupnya kantin atau kios-kios souvenir dan makanan di area

tunggu maupun area kedatangan, serta sepinya jasa-jasa penjualan tiket

perjalanan terutama trayek lintas pulau di area tunggu penumpang. Efek

2
Regulasi mengenai terminal diantaranya adalah, Perda Kota Tasikmalaya Nomor 10 Tahun 2003,
Perwalkot Kota Tasikmalaya Nomor 9 Tahun 2007, Perda Kota Tasikmalaya Nomor, yang ganti
oleh Perda Kota Tasikmalaya Nomor 15 Tahun 2015, Ketentuan menteri Perhubungan Darat
Nomor 35 Tahun 2003, dan Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 132
Tahun 2015. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
16

lainya adalah berkurangnya retribusi dari jasa toilet umum dan jasa parkiran

dan semakin hilangya fungsi integrasi Terminal Tipe A dan sub terminal elf

di area belakang terminal karena sama-sama sepi penumpang, bahkan pada

sektor ekonomi non formal (kuli panggul, penjual asongan, jasa kondektur).

Menurunya akumulasi penumpang juga berpengaruh terhadap

pengelolaan fasilitas terminal, begitu juga sebaliknya pengelolaan fasilitas

terminal secara tidak langsung berpengaruh terhadap tingkat kenyamanan

bagi penumpang. Hal ini dapat dilihat dari terbengkalainya fasilitas parkir

yang tidak terawat sehingga pengguna jasa parkiran hanya sedikit bahkan

hanya di pakai oleh petugas terminal dan pedagang di area terminal, hal

lainya nampak pada tidak berfungsinya pusat informasi (jadwal

keberangkatan lewat pengeras suara), ruang kesehatan, dan fasilitas

penunjang terutama konter-konter informasi dan sebagian besar tempat

pemesanan tiket lintas provinsi di area barat terminal bahkan area

pengendapan ( tempat istirahat awak kendaraan, pengendapan kendaraan,

ramp cek, bengkel, tempat cuci dan BBM bagi oprasional bus) sudah jarang

beroperasi.

Faktor ekternal yang berpengaruh terhadap penurunan akumulasi

penumpang di dalam area terminal diantaranya tidak adanya komitmen

bersama antara pengusaha otobus, masyarakat dan pemerintah dalam

mengoptimalkan fungsi utama terminal. Dimana para penumpang lebih

banyak naik dan turun di luar area terminal, bahkan armada bus yang menuju
17

Kota Tasikmalaya (dari JABODETABEK dan wilayah sekitarnya ) kerap kali

tidak masuk ke dalam area terminal dan berhenti di pool untuk menurunkan

penumpang. Faktor lainya adalah makin maraknya terminal bayangan yang

menjadi titik-titik baru akumulasi penumpang seperti di depan area terminal,

Rancabango, Jati, dan Cisumur, hal ini seakan menegasikan peranan

pemerintah dalam upaya development serta pelayanan transportasi publik

yang jauh dari harapan masyarakat yang ideal (good governance).

Lemahnya fungsi pemerintah dalam tata kelola transportasi publik,

baik dari hilangnya kontrol pemerintah terhadap regulasi sistem transportasi,

maupun dari berkurangya fungsi servis pemerintah dalam memberikan

pelayanan prima, bahkan tergantikanya fungsi pemerintah sebagai

penyelenggara pelayanan transportasi publik (terminal) seakan mengarah

pada bentuk bad governance. Dimana pihak swasta atau pengusaha memiliki

peran yang dominan terhadap domain-domain pemerintah sehingga peran

serta fungsi pemerintah terus mengalami pembiasan dari tata kelola good

governance.

Ketidakmampuan (un governability) pemerintah Kota Tasikmalaya

dalam mengoptimalkan dan merevitalisasi Terminal Tipe A sebagai basis

pelayanan transportasi publik lambat laun memunculkan orang-orang kuat

(bosisme dan local strongman) di bisnis jasa transportasi. Orang-orang kuat

di aras lokal seakan mengkooptasi jasa transportasi di Kota Tasikmalaya

dengan cara pembangunan dan pengembangan pool dan garasi perusahaan


18

otobus yang beralih fungsi sebagai tempat agen kontrol dan tempat transit

naik turun penumpang atau barang sebelum masuk terminal.

Hadir dan berkembangnya pool perusahaan otobus dengan fungsi


3
tambahan diluar rekomendasi Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informasi

Kota Tasikmalaya nyatanya telah berhasil menggeser peran dan fungsi

Terminal Tipe A sebagai basis pelayanan transportasi publik di Kota

Tasikmalaya. Hal ini secara langsung maupun tidak langsung telah meletakan

pemerintah pada posisi yang ambivalen, disatu sisi pemerintah sebagai

regulator dan fasilitator penyedia jasa pada sistem transportasi publik harus

mengambil sikap tegas dan jelas dalam mengimplementasikan Peraturan Wali

Kota Kota Tasikmalaya Nomor 9 Tahun 2007 tentang fasilitas umum dan

fungsi terminal, dimana kegiatan naik dan turun penumpang hanya dilakukan

di dalam area terminal sehingga tidak akan terjadi exoduce penumpang dari

terminal beralih ke pool perusahaan otobus.

Di lain pihak kehadiran pool dengan fungsi tambahan dan segala

bentuk pengembangan yang dilakukan pihak swasta nyatanya memiliki legal

standing yang jelas, yaitu Keputusan Direktorat Jendral Perhubungan Darat

Nomor Sk.75/Aj/DRJD/2003 di tambah Keputusan Menteri Nomor 35 Tahun

2003 tentang penyelenggaraan pool dan perusahaan otobus. Regulasi ini

digunakan pihak swasta untuk mengembangkan dan menjalankan jasa

3
hanya untuk menyimpan, merawat dan mengelola kendaraan bukan untuk menaikkan atau
menurunkan penumpang. Selain itu tidak diperkenankan ada jalur pemberangkatan dari pool
karena dalam rekomendasi tersebut jalur pemberangkatan hanya boleh dari terminal .
19

pelayanan yang aman, nyaman, dan prima dalam memberikan kualitas

pelayanan transportasi publik terhadap masyarakat sebagai costumer dan

owner (good corporate governance).

Lebih dari itu adanya ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2014 tentang pembagian kewenangan lintas sektoral antara pusat dan daerah

seakan mengurangi kinerja pemerintah Kota Tasikmalaya dalam

mengoptimalkan fungsi terminal. Khusunya setelah diadakanya serah terima

kewenangan hak mengelola dan hak penganggaran Terminal Tipe A Kota

Tasikmalaya terhadap pemerintah pusat pada tanggal 24 Agustus 2016 dan

mulai dilaksanakan pada 1 Januari 2017. Pemerintah Kota Tasikmalaya hanya

menargetkan pendapatan asli daerah dari keberadaan terminal tanpa

memberdayakan fungsi terminal dan faktor penunjang lainya.

Berkurangnya peran dan fungsi pemerintah sebagai regulator, dan

service, sekaligus fasilitator dalam memberikan pelayanan transportasi publik

yang optimal. Dan terjadinya pembiasan dari tata kelola memerintah yang

baik (good governance) bahkan mengarah pada praktek bad governance baik

itu dari regulasi yang tumpang tindih antara pusat dan daerah, kuatnya

peranan bosisme, dan kurang urusnya pemerintah terhadap fasilitas terminal

sangat layak untuk dikaji dari dimensi ilmiah.

Dari fakta yang telah diuraikan dalam latar belakang di atas. Maka

penulis menyusun penelitian dengan fokus Un Governability state

(Evaluasi Fungsi Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam optimalisasi Fungsi


20

Terminal Tipe A Kota Tasikmalaya Sebagai Basis Pelayanan Transportasi

Publik di Kota Tasikmalaya ) .

1.2. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan

diteliti adalah bagaimana governability pemerintah Kota Tasikmalaya dalam

optimalisasi fungsi Terminal Tipe A Kota Tasikmalaya sebagai basis

pelayanan transportasi publik khusunya dari dimensi fungsi service dan

regulasi ?

1.3. Batasan Masalah

Dari uraian latar belakang dan rumusan diatas, permasalahan

mengenai tata kelola pelayanan transportasi publik di Kota Tasikmalaya

memiliki kompleksitas yang luas. Baik dari faktor penyebab terjadinya

penurunan akumulasi penumpang maupun dampak yang dihasilkan dari

penurunan akumulasi penumpang di dalam area terminal. Dan untuk dapat

memfokuskan penelitian ini penulis membatasi pada permasalahan

governability pemerintah Kota Tasikmalaya dalam mengimplementasikan

fungsi Terminal Tipe A Kota Tasikmalaya sebagai basis pelayanan

transportasi publik, dengan kajian pada fungsi pelayanan dan regulasi.

Locus dan waktu penelitian ini, penulis batasi dari tahun peresmian
21

Terminal Tipe A Kota Tasikmalaya yaitu tahun 2007 sampai akhir tahun

2016. Hal ini dimungkinkan dengan diterbitkanya Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 tentang pembagian wewenang lintas sektoral dan wilayah yang

menghendaki adanya pengambilan wewenang oleh pusat terhadap

sektor-sektor atau wilayah yang mencangkup lintas provinsi.

Regulasi ini juga di perkuat dengan Surat Edaran Menteri

Perhubungan Nomor SE 29 Tahun 2015 tanggal 5 Agustus 2015 tentang

pelaksanaan standar pelayanan penyelenggaraan terminal penumpang

angkutan jalan. Dimana hal-hal yang terkait dengan fungsi teknis dan

administrasi terminal termasuk di dalamnya adalah personel, penganggaran,

sarana, prasarana, dan dokumen di ambil alih dan diserah terimakan dari

pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, paling lambat tanggal 2 Oktober

2016.

1.4. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah yang telah

diuraikan diatas, penelitian ini dimaksudkan untuk mendeskrifsikan

governability state mengenai evaluasi fungsi pemerintah Kota Tasikmalaya

dalam mengimplemntasikan fungsi Terminal Tipe A Kota Tasikmalaya

sebagai basis pelayanan transportasi publik.

1.5. Manfaat Penelitian


22

Penyusunan penelitian mengenai governability state dalam tata kelola

transportasi publik ini, diharapkan dapat memberikan informasi mengenai

tata kelola pemerintah Kota Tasikmalaya khususnya fungsi service dan

regulasi dalam mengimplementasikan fungsi Terminal Tipe A Kota

Tasikmalaya sebagai basis pelayanan transportasi publik.

Dari dimensi teoritis dan praktis penelitian ini diharapkan dapat

memberikan manfaat sebagai berikut :

1) Manfaat teoritis

Dari dimensi teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah

khasanah keilmuan dan data-data ilmiah yang relevan dengan realitas dan

kondisi sosial sehingga terbentuk pembendaharaan dalam teori dan fakta

emperis mengenai governability state dan fungsi pemerintah khususnya

dalam regulasi dan service

2) Manfaat Praktis

Dari dimensi praktis penelitian ini diharapkan dapat di jadikan

rujukan dan referensi mengenai praktik governability state bagi pihak

terkait dalam mengkaji, mengidentifikasi, dan solutive mengenai tata

kelola pemerintahan dalam menjalankan fungsi service dan regulasi.

Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi, dan

pengetahuan kepada akademisi, praktisi, dan kepada pihak-pihak yang

tertarik dan membutuhkan informasi dan data mengenai penelitian ini.


23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Governance, Good Governance dan Governability

Governance menurut Osborn dan Gaebler (1992:4) adalah sebagai

proses dimana kita memecahkan masalah kita bersama-sama dan memenuhi

kebutuhan masyarakat. Sedangkan Meuthia Ganie dan Rahman (Jakarta Post

26 Oktober 1999: 2) memberikan pengertian governance sebagai pengelolaan

sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan negara dan sektor non

pemerintahan dalam suatu usaha kolektif. (Rosidi, 2013: 2).

Sementara Gerry Stoker (1998:19) mengungkapkan bahwa

governance merupakan sebuah proses yang didalamnya outcome

pemerintahan bergantung pada interaksi sekumpulan institusi, aktor

pemerintah dan non pemerintah (Agung, 2012: 616-617). Menurut Agung

(2012) pernyataan di atas memberikan penjelasan bahwa adanya keterbukaan

dan pengelolaan yang serius dalam proses tata pemerintahan yang baik. Dan

tidak hanya negara yang bermain, tetapi juga pihak swasta (pasar) dalam

pengelolaan pemerintahan. Konsekuensi utama dari hal ini adalah negara

komplek, padat (congested state). Sehingga negara harus mampu

mendistribusikan kewenangannya terhadap lembaga-lembaga dibawahnya

(desentralisasi) dan bermitra dengan lembaga-lembaga non-pemerintahan.

Saat ini dispersasi kelembagaan menjadi ciri di lembaga pemerintahan dan

non-pemerintahan.
24

Dari segi fungsional governance dapat ditinjau dari sejauhmana

pemerintah berfungsi secara efektif dan efisien dalam upaya mencapai tujuan

yang telah digariskan atau sebaliknya. Menurut United National

Development Program (UNDP) definisi governance memiliki tiga kaki (three

legs) yaitu economy, political and administrative. Economy governance

meliputi proses-proses pembuatan keputusan (decision making processes)

yang memfasilitasi aktivitas ekonomi di dalam negeri dan interaksi diantara

penyelenggara ekonomi. Economy governance memiliki implikasi terhadap

equity, poverty, dan quality of life. Political governance adalah proses-proses

pembuatan keputusan untuk formulasi kebijakan. Administrasi governance

adalah sistem implementasi proses kebijakan. Oleh karena itu institusi dari

governance meliputi tiga domain, yaitu state (negara atau pemerintahan),

private sector (sektor swasta dan dunia usaha), society (masyarakat) yang

saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya maisng-masing. Institusi

pemerintahan berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang

kondusif, sektor usaha menciptakan pekerjaan dan pendapatan, sedangkan

society berperan positif dalam interkasi sosial, ekonomi dan politik (Ali,

2012: 61)

Pemerintah dalam kontek good governance ditempatkan sebagai

fasilitator atau katalisator. Sementara tugas untuk memajukan dan mengawal

proses pelaksanaan pembangunan terletak pada semua komponen Negara,

meliputi kelompok private (dunia usaha) dan masyarakat madani yang


25

meliputi kelompok-kelompok infrastruktur politik seperti Lembaga Swadaya

Masyarakat / LSM, kelompok penekan, partai politik, perguruan tinggi, dan

organisasi kemasyarakatan lainnya. Atas dasar tersebut, untuk mewujudkan

tata pemerintahan yang baik sesungguhnya adalah bagaimana membangun

kemitraan dan komunikasi yang baik antara ketiga aktor tersebut (Rosidi,

2013: 11-12)

Gambar. 2.1. Pola Hubungan Antara Ketiga Unsur g overnance

Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab baru

tercapai bila dalam penerapan otoritas politik, ekonomi, dan administrasi

ketiga unsur di atas memiliki jaringan dan interkasi yang setara dan sinergi.

Interaksi seperti itu baru dapat berkembang bila ada kepercayaan (trust),

Transparansi, partisipasi, serta tata aturan yang jelas dan pasti (Rosidi, 2013:

10).

Arti good dalam good governance sendiri mengandung dua

pengertian. Pertama, nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/ kehendak

rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat yang

(nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial;

kedua, aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien


26

dalam pelaksanaan tugasnya untuk berdasarkan pengertian ini. Good:

pertama, orientasi ideal negara yang nasional; kedua, pemerintahan yang

berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif dan efisein dalam melakukan

upaya mencapai tujuan nasional. Orientasi pertama mengacu pada

demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen-elemen dalam

pencapaian tujuan mencapai tujuan-tujuan tersebut.

Governance berorientasi pada, yaitu diarahkan pada pencapaian

tujuan konstituennya seperti: legitimasi (apakah pemerintah dipilih dan

mendapat kepercayaan dari rakyatnya), accountability (akuntabilitas),

securing of human right, authonomy and devolution of power,dan assurance

of civilian control. Sedangkan orientasi kedua, tergantung pada sejauh mana

pemerintahan mempunyai kompetisi, dan sejauh mana struktur serta

mekanisme politik serta administrasi berfungsi secara efektif dan efisien. (Ali,

2012: 62)

Meskipun perspektif governance mengimplikasikan terjadinya

pengurangan peran pemerintah, pemerintah sebagai institusi tidak bisa

ditinggalkan begitu saja. Setidaknya ada enam prinsip menurut Bambang

Yudhoyono yang bisa ditawarkan ( Wibawa dalam Dwiyanto, 2014: 78-79)

yaitu :

a) Dalam kolaborasi yang dibangun, Negara (baca: pemerintah) tetap

bermain sebagai figur kunci namun tidak mendominasi, serta memiliki

kapasitas mengkoordinasi (bukan memobilisasi) aktor-aktor pada


27

institusi-institusi semi dan non-pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan

publik.

b) Kekuasaan yang dimiliki negara harus ditransformasikan, dari yang

semula difahami sebagai kekuasaan atas menjadi kekuasaan untuk

menyelenggarakan kepentingan, memenuhi kebutuhan, dan

menyelesaikan masalah publik.

c) Negara, Non Government Organitation (NGO), swasta, dan masyarakat

lokal merupakan aktor-aktor yang memiliki posisi dan peran yang saling

menyeimbangkan, untuk tidak menyebut setara.

d) Negara harus mampu mendesain ulang struktur dan kultur organisasinya

agar siap dan mampu menjadi katalisator bagi institusi lainya untuk

menjalin sebuah kemitraan yang kokoh, otonom, dan dinamis.

e) Negara harus melibatkan semua pilar masyarakat dalam proses kebijakan

mulai dari formulasi, implementasi, dan evaluasi kebijakan, serta

penyelenggaraan layanan publik.

f) Negara harus mampu meningkatkan kualitas responsivitas, adaptasi, dan

akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan kepentingan, pemenuhan

kebutuhan, dan penyelesaian masalah publik.

Jika dilihat dari ketiga domain (unsur utama) dalam governance

menurut Ali dan Alam (2012: 64) domain state menjadi domain yang

paling memegang peranan penting dalam mewujudkan good governance

karena fungsi pengaturan yang memfasilitasi domain sektor dunia usaha


28

swasta dan masyarakat (society) secara fungsi administatif dalam

penyelenggaraan pemerintahan melekat pada domain ini. Peran

pemerintah melalui kebijakan publiknya sangat penting dalam

memfasilitasi terjadinya mekanisme pasar yang benar sehingga

penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di dalam pasar dapat dihindari.

Dari uraian mengenai governance dan good governance paling

tidak konsep mengenai governability state, dapat di fahami sebagai

kemampuan pemerintah dalam menjalankan fungsi atau tata kelola

memerintah baik secara politik (kebijakan, legitimasi, authonomy and

devolution of power, dll) ekonomi (equity, poverty, quality of life dll) dan

administrasi (sistem dan implementasi kebijakan).

Menurut Larry (2003) suatu pemerintahan yang kuat dan utama

adalah legitimasi. Secara formal legitimasi pemerintahan memiliki

keabsahan yang bisa dipertanggungjawabkan, sedangkan secara politik

rakyat menyetujuinya dan secara sosial rakyat loyal, seta secara ekonomi

pemerintah mampu melakukan kinerja yang baik. Sedangkan menurut

Albert Hirschman (1971) pemerintahan yang legitimate jika rakyatnya

loyal pada pemerintah dan pemerintah mampu menanggapi voice, berupa

suara, aspirasi, tuntutan dari rakyatnya. Jika keduanya gagal maka akan

terjadi krisis legitimasi, dimana rakyat sudah tidak menaruh kepercayaan

pada pemerintahnya. (Agung, 2012: 616)

2.2. Konsep dan Fungsi Pemerintahan


29

Konsep pemerintahan (negara) menurut Montesquieu (dalam

Wahidin, 2007: 17) di dasarkan atas perspektif pembagian kekuasaan

(separation of power). Perspektif tersebut di kenal dengan istilah trias

politika, yang tidak semata-mata membagi-bagi kekuasaan di dalam negara

(distribution of power), akan tetapi lebih tegas yaitu memisahkan kekuasaan

secara rill menjadi tiga bagian dengan otoritas masing-masing. Ketiga

kekuasaan tersebut berkesetaraan, dalam arti tidak ada kekuasaan yang

subordinat antara kekuasaan yang satu dengan kekuasaan yang lainya.

Kekuasaan yang dimaksud adalah:

a) Kekuasaan legislatif, sebagai pembuat Undang-Undang yang nantinya

dijadikan sebagai patokan untuk berinteraksi baik secara kelembagaan

maupun individu di dalam negara.

b) kekuasaan eksekutif, sebagai pelaksana Undang-Undang yang

mempunyai kekuasaan untuk memaksakan penerapan Undang-Undang

tersebut kepada pihak-pihak yang harus melaksanakan.

c) Kekuasaan yudikatif, sebagai lembaga peradilan yang menjadi pilar untuk

menegakan Undang-Undang serta mengadili pelanggaran

Undang-Undang dengan segala konsekuensinya.

Menurut Rasyid (1997: 48) terdapat tiga ringkasan fungsi

pemerintahan yang hakiki, yaitu pelayanan (service), pemberdayaan

(empowerment), dan pembangunan (development). Pelayanan akan

membuahkan keadilan dalam masyarakat, pemberdayaan akan mendorong


30

kemandirian masyarakat, dan pembangunan akan menciptakan kemakmuran

dalam masyarakat.

Dari semua fungsi pemerintahan di atas fungsi pemerintahan sebagai

pelayanan publik (public service) menjadi titik strategis dan di yakini dapat

membawa pemerintahan menuju praktik good governance. Menurut

Dwiyanto (2014: 20-24) ada beberapa pertimbangan mengapa pelayanan

publik menjadi titik strategis untuk memulai pengembangan good governance

di Indonesia. Pertama pelayanan publik selama ini menjadi ranah dimana

negara yang diwakili oleh pemerintah berinterksi dengan lembaga-lembaga

non-pemerintahan. Keberhasilan dalam mewujudkan praktik good

governance dalam ranah pelayanan publik mampu membangkitakan

kepercayaan dari masyarakat luas bahwa membangun good governance

bukan hanya sebuah mitos tetapi dapat menjadi sebuah kenyataan.

Kedua, berbagai aspek good governance dapat diartikulasikan secara

relatif lebih mudah dalam ranah pelayanan publik. Mewujudkan nilai-nilai

yang selama ini mencirikan praktik good governance seperti efisien,

non-diskriminatif, dan berkeadilan, berdaya tanggap tinggi, dan memiliki

akuntabilitas tinggi dapat dengan mudah parameternya dikembangkan dalam

pelayanan publik.

Ketiga pelayanan publik melibatkan kepentingan semua unsur good

governance. Pemerintah sebagai representasi negara, masyarakat sipil, dan

mekanisme pasar memiliki kepentingan dan keterlibatan yang tinggi dalam


31

ranah ini.

2.3. Konsep Pelayanan Publik

konsep pelayanan menurut Ndraha (2005: 68) mengandung

bermacam-macam arti yaitu, administering dalam administration dan

servicing dalam service (public service dan civil service). Konsep

administration lebih menunjukan sistem (struktur) dan proses ketimbang

substansi kebutuhan manusia dan publik, sedangkan konsep service (servis)

sebaliknya.

Disamping itu layanan sebagai out put pelayanan mengandung dua

arti: sebagai jasa (komoditi dalam arti luas) dan sebagai seni (cara). Komoditi

dalam arti luas meliputi komoditi yang dijual (layanan publik dengan tarif

semurah mungkin dan dapat diprivatisasikan) maupun yang tidak dijual

belikan (layanan civil, layanan no price). Sebagai seni, layanan itu terbentuk

sebagai upaya aktor atau aktris pemerintah untuk mengefektifkan kegiatan

atau pelayanan sesuai dengan kondisi orang, mahluk, atau lingkungan yang

dilayani.

Pelayanan menurut (Moenir dalam Mukarom, 2016: 15) adalah

sebagai kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang

dengan landasan tertentu yang tingkat pemuasanya hanya dapat dirasakan

oleh orang yang melayani atau yang dilayani, bergantung pada kemampuan

penyedia jasa dalam memenuhi harapan pengguna. Dengan kata lain

pelayanan adalah kegiatan yang bertujuan untuk membantu menyiapkan atau


32

mengurus segala hal yang diperlukan orang lain.

Sementara itu pelayanan publik adalah pelayanan atau pemberian

terhadap masyarakat berupa penggunaan fasilitas umum, baik jasa atau

non-jasa yang dilakukan oleh organisasi publik yaitu pemerintah. Sedangkan

penerima pelayanan publik adalah individu atau kelompok orang dan badan

hukum yang memiliki hak dan kewajiban terhadap suatu pelayanan publik

(Ahmad dalam Mukarom, 2016: 41)

Berdasarkan organisasi yang menyelenggarakan pelayanan publik

atau pelayanan umum, dapat dibedakan menjadi dua (Mukarom, 2016: 93)

yaitu:

a) Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh privat, yaitu semua

penyediaan barang dan jasa publik yang diselenggarakan oleh swasta.

b) Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah dan bersifat

primer, yaitu semua penyediaan barang dan jasa publik yang

diselenggarakan oleh pemerintah, dan pemerintah merupakan

satu-satunya penyelenggara sehingga pengguna atau klien harus

memanfaatkanya.

c) Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah dan bersifat

sekunder, yaitu semua penyediaan barang dan jasa publik yang

diselenggarakan oleh pemerintah, tetapi pengguna atau klien tidak harus

mempergunakanya karena ada beberapa penyelenggara pelayanan swasta.

Tabel 2.1
33

Karakteristik Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Karakteristik Penyelenggara pelayanan publik


Publik
Privat
Sekunder Primer
Adaptabilitas Sangat tinggi Rendah Sangat rendah
Posisi tawar
Sangat tinggi Rendah Sangat rendah
klien
Bentuk tipe
Kompetisi Oligopoly Monopoli
pasar
Locus control Klien Provider Pemerintah
Dikendalikan Dikendalikan Dikendalikan
Sifat pelayanan
oleh klien oleh provider oleh pemerintah
Sumber: Ratminto dalam Mukarom (2016: 94)

Menurut perspektif teoritik (Subarsono dalam Dwiyanto, 2014: 138)

telah terjadi pergeseran paradigma pelayanan publik dari model administrasi

publik tradisional (old private administration) ke manajemen publik baru

(new public management) dan akhirnya menuju model pelayanan publik baru

(new public service). Konsep pelayanan publik baru pada dasarnya memiliki

model normatif yang bisa dibedakan dari konsep-konsep lainya yaitu,

teoridemocratic citizenship, model komunitas dan civil society, organisasi

humanisme, dan postmodern ilmu administrasi publik (Thoha, 2011: 84).

Tabel.2.2

Pergeseran Paradigma Model Pelayanan Publik

Aspek Old public New publik New public


administration administration service
Dasar Teori
Teori politik Teori ekonomis
teoritik demokrasi
34

Kepentingan publik
Kepentingan Kepentingan
Konsep adalah sesuatu yang
publik mewakili publik adalah
didefinisikan secara
kepentingan agregasi dari hasil dan
politis dan yang
publik kepentingan dialog
tercantum dalam
individu berbagai nilai
aturan

Kepada
siapa
birokrasi Klien (client) dan Pelanggan Warga negara
publik harus pemilih (coustumer) (citizen)
bertanggung
jawab
Menegosiasikan
dan
mengelaborasi
Peran Mengarahkan berbagai
Pengayuh (rowling)
pemerintah (steering) kepentingan
warga negara
dan kelompok
komunitas

Pergeseran Paradigma Model Pelayanan Publik

Multi aspek:
akuntabel
pada hukum,
Kehendak pasar nilai,
Menurut hirarki yang merupakan komunitas,
Akuntabilitas
administrative hasil keinginan norma
pelanggan politik,standar
professional,
kepentingan
warga negara
sumber: Daiadopsi dari Denhardt dan Denhardt dalam Subarsono, 2014: 139

Dalam pandangan Albrecht dan Zemke (Subarsono dalam Dwiyanto,

2014: 140-141) kualitas pelayanan publik merupakan hasil interaksi dari


35

berbagai aspek, yaitu sistem pelayanan, sumber daya manusia (SDM)

pemberi layanan, strategi, dan pelanggan (customer). Sistem pelayanan publik

yang baik akan menghasilkan kualitas pelayanan publik yang baik pula. Suatu

sistem yang baik memiliki dan menerapkan prosedur pelayanan yang jelas

dan pasti, serta mekanisme kontrol di dalam dirinya (built in control)

sehingga segala bentuk penyimpangan yang terjadi secara mudah dapat

diketahui.

strategi pelayanan
SDM
sistem
costumer

Gambar. 2. 2. Segitiga pelayanan publik

Sumber: Albercht dan Zemke (Subarsono dalam Dwiyanto, 2014: 141)

Kualitas suatu produk pelayanan publik di negara demokrasi menurut

Lenvine (Subarsono dalam Dwiyanto, 2014: 145) setidaknya harus memenuhi

tiga indicator, yaitu responsiviness, responsibility, accountability.

a) Responsiviness adalah daya tanggap penyedia layanan terhadap harapan,


36

keinginan, aspirasi, maupun tuntutan pengguna layanan.

b) Responbility adalah suatu ukuran yang menunjukan seberapa jauh proses

pemberian pelayanan publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip

atau ketentuan-ketentuan administrasi dan organisasi yang benar dan telah

ditetapkan.

c) Accountability adalah suatu ukuran yang menunjukan seberapa besar

proses penyelenggaraan pelayanan sesuai dengan kepentingan stakeholder

dan norma-norma yang berkembang dalam masyarakat.

Menurut Zeithaml, Parasuraman dan Berry (dalam Mukarom dan

Laksana, 2016: 56-57) kualitas pelayanan publik harus memiliki indikator

sebagai berikut:

a) Tangibles atau penampakan fisik, artinya penampakan fisik dari gedung,

peralatan, pegawai dan fasilitas-fasilitas lainnya yang dimiliki oleh

providers

b) Reliability atau realibilitas adalah kemampuan untuk menyelenggarakan

pelayanan yang dijanjikan secara akurat

c) Responsiviness atau responsivitas adalah kerelaan untuk menolong

masyarakat dan menyelenggarakan pelayanan secara ikhlas

d) Assurance atau kepastian adalah pengetahuaan dan kesopanan para

pekerja dan kemampuan mereka dalam memberikan kepercayaan kepada

pelanggan

e) Empathy adalah perlakuan atau perhatian pribadi yang diberikan oleh


37

pemerintah kepada masyarakat.

Sementara dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur

Negara Nomor 63 Tahun 2014 tentang Hakikat Pelayanan Publik ( dalam

Mukarom dan Laksana, 2016: 57-58) mengisyaratkan bahwa:

a) Asas pelayanan publik meliputi: transparansi, akuntabilitas, kondisional,

partisipatif, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban.

b) Prinsip pelayanan publik meliputi: kesederhanaan, kejelasan, kepastian

waktu, akurasi, keamanan, tanggung jawab, kelengkapan sarana dan

prasarana, kemudahan akses, kedisiplinan-kesopanan-dan keramahan,

kenyamanan.

c) Standar pelayanan publik meliputi: prosedur pelayanan, waktu

penyelesaian, biaya pelayanan, produk pelayanan, sarana dan prasarana,

kompetisi petugas pemberi layanan.

2.4. Konsep Birokrasi dan Kebijakan Publik

Birokrasi menurut Tjokroamidjojo (dalam Rosidi, 2013: 43)

dimaksudkan untuk mengorganisasi secara teratur suatu pekerjaan yang harus

dikerjakan oleh banyak orang. Dengan demikian tujuan birokrasi adalah agar

pekerjaan dapat diselesaikan secara cepat dan terorganisasi.

Berdasarkan tugas pokok dan fungsi birokrasi dapat dibedakan

menjadi tiga, yaitu birokrasi yang memiliki tugas pokok dan fungsinya

membuat kebijakan atau regulasi, menyelenggarakan pelayanan, dan

memaksakan adanya kepatuhan terhadap peraturan perundangan dan norma


38

yang berlaku. Pembedaan tugas pokok dan fungsi tersebut seringkali tidak

diterpakan secara ketat melainkan agak longgar, sehingga satu birokrasi

pemerintah sering menjalankan lebih dari satu tugas pokok dan fungsi.

Pembedaan tugas pokok dan fungsi birokrasi sangat penting untuk dilakukan

karena dapat menicptakan peluang dan kendala dalam mengembangkan

strategi dan kebijakan reformasi birokrasi (Dwiyanto, 2014: 338).

Dari tugas pokok dan fungsi birokrasi diatas, maka pada dasarnya

birokrasi tidak bisa dipisahkan dari kebijakan publik. Menurut Thoha (2008:

111-112) di dalam masyarakat yang sudah berkembang, penguasa-penguasa

politik mendelegasikan urusan-urusan perencanaan dan pelaksanaan policy

pada birokrasi, sedangkan penguasa memusatkan perhatian pada urusan

pemilahan kebijakan. Jika policy telah ditetapkan persoalan berikutnya adalah

bagaimana policy tersebut dilaksanakan. Dengan kata lain jika suatu

kebijakan telah diputuskan, maka di butuhkan sistem untuk melaksanakan

kebijakan tersebut. Sistem tersebut menurut Victor Thompson dinamakan

birokrasi.

Birokrasi menurut Thoha (2008) banyak mendominasi public policy

dalam mengatasi masalah yang multidimensi dan yang menyangkut

bidang-bidang teknis yang menjadi tugas pokoknya. Walaupun public policy

dibuat dalam arena politik tetapi hampir semua perencanaan dan

pelaksanaanya dalam arena birokrasi, maka peranan birokrasi dalam public

policy sangat menentukan.


39

Policy sendiri menurut Thoha (2008: 106) dalam arti yang luas

merupakan praktika sosial, dan bukan event yang tunggal dan terisolir,

sesuatu yang dihasilkan pemerintah berasal dari segala kejadian dalam

masyarakat dan dipergunakan untuk kepentingan masyarakat. Policy juga

suatu peristiwa yang ditimbulkan baik oleh untuk mendamaikan claim dari

pihak-pihak yang berkonflik atau untuk incentive bagi tindakan bersama bagi

pihak-pihak yang ikut menetapkan tujuan akan tetapi mendapatkan perlakuan

tidak rasional.

Secara konseptual, kebijakan publik menurut (Hogerweft dalam Ali,

2012: 15) adalah usaha untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, dengan

sarana-sarana tertentu dan dalam urutan waktu tertentu. Sementara Richard

Rose ( Dunn dalam Ali, 2012: 13) menyarankan bahwa suatu kebijakan

dianggap sebagai rangakian yang panjang dari kegiatan yang lebih kurang

saling berhubungan dan berakibat untuk sesuatu yang perlu diperhatikan dari

sekedar sebagai suatu keputusan tertentu. Definisi ini menurut Ali (2012)

memperkuat bahwa kebijakan adalah arah dan pola dari kegiatan dan bukan

sekedar keputusan untuk melakukan sesuatu.

2.5. Definisi dan Konsep Terminal

Terminal merupakan pangkalan kendaraan bermotor umum yang

digunakan untuk mengatur kedatangan dan keberangkatan, menaikan dan

menurunkan orang dan/barang, serta perpindahan moda angkutan. (Peraturan

Menteri Perhubungan Nomor 132 Tahun 2015). Dan lebih tegasnya pada
40

pasal 38 di amanatkan bahwa setiap bus wajib melakukan pemberangkatan

penumpang dari terminal sesuai dengan kartu pengawasan.

Klasifikasi terminal dalam peraturan di atas dibagi menjadi tiga

klasifikasi atau tipe, yaitu Terminal Tipe A, Terminal Tipe B, Dan Terminal

Tipe C. Terminal Tipe A sendiri merupakan terminal yang peran utamanya

adalah melayani kendaraan umum untuk angkutan lintas batas negara dan/

atau angkutan antar kota antar provinsi yang dipadukan dengan pelayanan

antar kota dalam provinsi angkutan perkotaan dan/ atau angkutan pedesaan.

Menurut Morlok (1995) fungsi terminal penumpang diantaranya

adalah sebagai berikut:

a) Memuat penumpang keatas kendaraan transportasi dan menurunkannya

b) Memindahkan penumpang dari satu kendaraan ke kendaraan lainnya

c) Menampung penumpang dari waktu tiba dan sampai waktu berangkat,

seperti memberikan kenyamanan bagi penumang

d) Menyapkan dokumentasi perjalanan, seperti menjual tiket penumpang,

memeriksa pesanan tempat penumpang

e) Menyiapkan kendaraan dan komponen lainnya, memelihara dan

menentukan tugas selanjutnya

f) Mengumpulkan penumpang di dalam ukuran ekonomis untuk dapat

diangkut dan menurunkannya sesudah tiba di tempat tujuan.

Sementara itu indikator terminal penumpang harus meliputi beberapa

aspek sebagai berikut:


41

a) Keamanan

b) Pemeliharaan

c) Manajemen

d) Aksesbilitas

e) Sistem keterhubungan

f) realibilitas

Menurut Peraturan Menteri perhubungan Nomor 132 Tahun 2015

Penyelenggaraan terminal penumpang diwajibkan memenuhi standar

pelayanan minimum (SPM) yaitu,

a) Kinerja dan kompetensi sumber daya manusia

b) Pemanfaatan dan kebersihan fasiltas utama dan fasilitas penunjang

c) Pelaksanaan oprasional prosedural terminal

d) Pemanfaatan teknologi informasi

e) Keselamatan, keamanan dan kelancaran lalu lintas.

2.6. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu merupakan penelitian yang telah ada dan menjadi

salah satu referensi dalam mengkaji dan menganalisa penelitian yang

memiliki fokus dan kajian hampir sama dengan yang akan diteliti. Penelitian

terdahulu yang dijadikan referensi dalam penelitian ini diantaranya adalah

penelitian yang dilakukan Meiliati (2016) dengan judul Analisis Pengelolaan

Terminal Bandar Laksmana Indragiri oleh Dinas Perhubungan Kabupaten

Indragiri Hilir.
42

Penelitian tersebut membahas mengenai upaya yang dilakukan oleh

Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Kabupaten Indragiri Hilir

untuk memfungsikan kembali Terminal Bandar Laksamana Indragiri.

Analisis yang digunakan ada empat indicator yaitu, perencanaan,

pelaksanaan, pengawasan oprasional terminal dan pengendalian. Dari hasil

penelitian di temukan bahwa upaya yang di lakukan oleh dinas perhubungan

komunikasi dan informatika kabupaten Indragiri hilir dalam memfungsikan

kembali terminal tersebut belum berjalan semestinya dan belum efektif.

Penelitian selanjutnya adalah penelitian dari Saputra dan Kartika

dengan judul Analisa Dan Tingkat Kepuasan Pengguna Jasa Terhadap

Kinerja Pelayanan Terminal Makassar Metro Kota Makassar. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui tingkat kepuasan pengguna jasa terhadap

pelayanan di terminal, atribut yang paling berpengaruh dan korelasi antara

karakteristik pengguna jasa penilaian atribut pelayanan di Terminal Metro

Makassar. Hasil penelitian menunjukan bahwa 63,33% penumpang di dalam

terminal cukup puas, 49.62% penumpang di luar terminal merasa kurang

puas, dan 65,31% kru angkutan merasa puas dengan kinerja atau pelayanan di

terminal.

Dari penelitian terdahulu tersebut, peneliti mencoba menjadikan

penelitian tersebut sebagai referensi dan langkah awal dalam melakukan

penelitian mengenai governability state. Khususnya dalam menganalisis

fungsi pemerintah Kota Tasikmalaya dalam mengimplementasikan fungsi


43

terminal Tipe A Kota Tasikmalaya sebagai basis pelayanan transportasi

publik di Kota Tasikmalaya.

Hal tersebut dimungkinkan karena penelitian yang akan penulis

lakukan memiliki kesamaan dengan penelitian sebelumnya. Yaitu meneliti

mengenai konsep-konsep fungsi terminal terutama dari fungsi pelayanan

publik. Dan pada penelitian yang dilakukan di Terminal Metro memiliki

kesamaan dalam menetapkan indikator kualitas pelayanan,, yaitu tangibles,

responsivinees, realibity, empathy, assurance.

Di samping persamaan tersebut, penelitian yang penulis lakukan juga

memiliki perbedaan dengan penelitian terdahulu yaitu, metode penelitian

yang digunakan bersifat deskriptif-kualitatif , fokus dan lokus yang menjadi

kajian penelitian penulis adalah di bidang sistem transportasi publik di Kota

Tasikmalaya dan indicator yang digunakan penulis lebih pada fungsi dan

kualitas pelayanan. Dengan menganalisis bagaimana tata kelola pemerintah

Kota Tasikmalaya dalam menjalankan fungsi service dan regulasi untuk

mengimplementasikan fungsi Terminal Tipe A Kota Tasikmalaya sebagai

basis pelayanan transportasi publik.

2.7. Kerangka Pemikiran

governability state dapat di fahami sebagai kemampuan pemerintah

dalam menjalankan fungsi atau tata kelola memerintah baik secara politik

(kebijakan, legitimasi, authonomy and devolution of power, dll) ekonomi

(equity, poverty, quality of life dll) dan administrasi (sistem dan implementasi
44

kebijakan). Konsep governability setidaknya harus mengacu pada konsep

governance dan good governance yang memungkinkan terjadinya legitimasi

dari masyarakat.

Fungsi pemerintah sendiri menurut Rasyid (1997: 48) terdiri dari tiga

ringkasan fungsi pemerintahan yang hakiki, yaitu pelayanan (service),

pemberdayaan (empowerment), dan pembangunan (development). Fungsi

pelayanan menjadi titik strategis dalam mengimplementasikan konsep-konsep

governability baik itu mengenai hakekat governance, dan good governance

hal ini sangat mungkin terjadi karena fungsi pelayanan mengharuskan

interaksi langsung dan bersifat simbiosis antar ketiga domain dalam

governance yang di kontrol dan di koordinasi oleh fungsi regulasi

pemerintahan.

Fungsi pemerintah (service dan regulasi) Kota Tasikmalaya

diantaranya adalah mengimplementasikan fungsi terminal sebagai basis

pelayanan publik transportasi sesuai dengan peruntukannya dan sebagai objek

vital dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD). Fungsi service dan regulasi

pemerintah Kota Tasikmalaya dalam mengimplementasikan fungsi Terminal

Tipe A faktanya tidak sesuai yang di targetkan dalam regulasi dan banyak

mengalami permasalahan yang menghambat optimalisasi dalam implementasi

fungsi Termina Tipe A Kota Tasikmalaya.

Permasalahan yang terjadi diantaranya adalah dari faktor internal

seperti, adanya tumpang tindih regulasi antara pusat dan daerah, lokasi
45

terminal yang jauh dari pusat kota dan kurang terintegrasinya angkutan

perkotaan menuju terminal, tidak terawatnya fasilitas terminal seperti area

parkir, area pengendapan terminal, tidak beroperasinya ruang kesehatan,

informasi dan konter-konter penjualan tiket, kurangnya fasilitas penerangan

di malam hari bahkan terminal nampak tidak beroperasi pada jam malam.

Permasalahan lainnya adalah dari segi ekternal yaitu, kurang

disiplinnya pengemudi dan penumpang bus, maraknya terminal bayangan,

dan hadirnya pool perusahaan otobus yang menjadi pilihan utama para

pengguna jasa transportasi. Dan permasalahan-permasalahan di atas

berimplikasi langsung terhadap degradasi fungsi terminal.

Dari berbagai permasalahan yang terjadi khusunya yang berimplikasi

terhadap degradasi fungsi terminal di atas, penulis tertarik untuk

mendeskrifsikan governability pemerintah Kota Tasikmalaya dalam

mengimplementasikan fungsi Terminal Tipe A Kota Tasikmalaya sebagai

basis pelayanan transportasi publik khusunya dari dimensi fungsi service dan

regulasi.

Pendekatan dalam mendeskrifsikan governability pemerintah Kota

Tasikmalaya diatas menggunakan konsep governance dan konsep pelayanan

dari Lenvine seperti, responsiviness, responsibility, accountability. Dan dari

Zeithaml, Parasuraman dan Berry seperti, tangibles, realibility,

responsiviness, assurance, emphaty. Selain itu juga di gunakan konsep

Standar Pelayanan Minimum (SPM) menurut Peraturan Menteri Perhubungan


46

Republik Indonesia Nomor PM 135 Tahun 2015.


47

BAB III

METODE PENELITIAN DAN ANALISIS

3.1. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

metode penelitian kualitatif, yaitu metode penelitian yang berlandaskan pada

filsafat post positivisme. Digunakan untuk meneliti pada kondisi objek

alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik

pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analisis data

bersifat induktif atau kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih

menekankan makna dari pada generalisasi (Sugiyono, 2012: 9).

3.2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan

pendekatan studi kasus yaitu, menurut K. Yin (2011) suatu penelitian yang

fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) di dalam

kehidupan nyata. Dimana peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk

mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidikinya.

Penelitian ini juga mengacu pada pendekatan positif normativisme

dimana kebijakan dari institusi publik dan negara dianggap sebagai salah satu

faktor yang menentukan terhadap hubungan kausalitas suatu kualitas dan

kuantitas penyelenggaraan publik. Keberadaan institusi menjadi kunci utama


48

yang membentuk prilaku, nilai dan persepsi dalam masyarakat.

3.3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Tasikmalaya, dengan locus penelitian

memperhatikan aktivitas dan, mobilisasi masyarakat pengguna jasa

transportasi di dalam area Terminal Tipe A dan sub terminal elf Indihiang,

pool budiman dan primajasa, serta lokasi yang sering dijadikan terminal

bayangan.

3.4. Sasaran Penelitian

Sasaran dalam penelitian ini adalah pihak-pihak yang memiliki

interaksi terhadap permasalahan yang terjadi yaitu, Kepala Dinas

Perhubungan Komunikasi dan Informasi Kota Tasikmalaya, Kepala Unit

Pengelolaan Tingkat Dasar (UPTD) Terminal Tipe A, Organisasi Angkutan

Darat (ORGANDA) Kota Tasikmalaya, pengamat transportasi, dan pengguna

jasa transportasi.

3.5. Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini adalah menganalisis governability state

khususnya mengenai fungsi pemerintahan Kota Tasikmalaya dalam

mengimplementasikan fungsi Terminal Tipe A Kota Tasikmalaya dalam

bidang pelayanan publik dan regulasi.

3.6. Teknik Pengambilan Sampel

Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sample yang bersifat


49

nonprobality sampling yaitu, teknik pengambilan sample yang tidak

memberikan peluang atau kesempatan yang sama bagi setiap unsur atau

anggota populasi untuk dipilih menjadi sample. Teknik ini meliputi sampling

sistematis, kuota, purfosive, jenuh, snowball, (Sugiyono, 2012: 218)

Sample atau informan pertama dipilih secara purfosive dengan

mempertimbangkan pemahamannya terhadap permasalahan yang terjadi, dan

penguasaan akan informasi dan data yang menunjang terhadap penelitian.

Selanjutnya dari informan ini peneliti gunakan teknik snowball sampling

(serial selection of sampling) sesuai dengan kebutuhan penelitian dan

samapai menemukan titik jenuh.

3.7. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

menggunakan tiga teknik yaitu :

1) Wawancara tak tersruktur (unstructured interview)

Menurut Sugiyono (2012: 233) wawamcara tidak tersrtuktur adalah

wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman

wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk

pengumpulan data. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa

garis-garis besar permasalahan yang ditanyakan.

Wawancara ini juga bersifat arbiter dan kurang di interupsi, wawancara

berjalan lama dan sering dilanjutkan pada kesempatan berikutnya

(Moleong, 2011: 190-191) sehingga data, informasi, dan hal yang


50

berkaitan dengan permasalahan akan terungkap secara mendalam dan

sampai titik jenuh.


51

2) Studi Dokumentasi

Pengumulan data dengan dokumentasi ini berupa telaah dan kajian

terhadap pernyataan dan atau bahan-bahan yang tertulis mengenai

permasalahan yang terjadi, baik dokumen internal yaitu: memo,

pengumuman, instruksi, keputusan pemimpin kantor, risalah/ laporan

rapat. Dan dokumen ekternal yaitu: surat kabar, proposal dan laporan

studi mengenai permasalahan yang sama.

3) Observasi tak berstruktur

Observasi yang tidak disiapkan secara sistematis tentang apa yang akan di

observasi. Hal ini dilakukan karena peneliti tidak tahu secara pasti tentang

apa yang akan diamati, dalam melakukan pengamatan peneliti tidak

menggunakan instrument yang telah baku, tetapi hanya rambu-rambu

pengamatan (Sugiyono, 2012: 218).

3.8. Sumber Data dan Jenis Data

3.8.1 .Sumber Data

Sumber data menurut Lofland dan Loflan (dalam Moleong,

2011: 157) adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data

tambahan seperti document dan lain-lain. Sumber data dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut:

1) Informan

Informan dalam peneltian ini dipilih secara purposive dengan

mempertimbangkan pemahaman tentang permasalahan yang akan


52

diteliti diantaranya, Kepala Dinas Perhubungan Komunikasi dan

Informasi Kota Tasikmalaya, Kepala Unit Pengelolaan Tingkat

Dasar (UPTD) Terminal Tipe A, Organisasi Angkutan Darat

(ORGANDA) Kota Tasikmalaya, pengamat transportasi, dan

pengguna jasa transportasi.

2) Dokumentasi

Data data yang bersumber dari tulisan baik dikalangan internal

maupun ekternal instansi yang bersangkutan, yang relevan dengan

permasalahan yang akan diteliti.

3.8.2 .Jenis Data

Jenis data pada penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder yaitu:

1) Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh dari melalui interaksi

langsung terhadap permasalahan yang akan diteliti, baik dengan

cara wawancara atau Tanya jawab mauoun dengan cara observasi.

Data primer ini dapat berasal dari sumber data terutama informan.

2) Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari telaah dan kajian terhadap sumber data

berupa dokumen dan arsip tertulis lainya yang relevan dengan

permasalahan penelitian untuk tujuan melengkapi dan memperkuat

data primer.
53
54

3.9. Teknik Analisis Data

Analisis data kualitatif menurut Bogdan dan Biken (dalam Moleong,

2011: 248) adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,

mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat

dikelola, mensintesiskanya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa

yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang akan

diceritakan pada orang lain.

Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2012: 246) mengemukakan

bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan

berlangsung secara terus menerus sampai tuntas. Sehingga datanya sudah

jenuh. Aktivitas dalam analisis data yaitu; data reduction, data display, dan

conclusion drawing/ verification

Data reduction
Data collection
Data dsplay
Conclucion: drawing/veryfing
55

Gambar.3.1. komponen dalam analisis data (interactive model)

Sumber: Milles dan Hubermas dalam Sugiyono, 2012: 247


56

1) Pengumpulan Data (data collection)

Tahap pertama untuk dapat menjawab mengenai rumusan permasalahan

dalam penelitian kualitatif dilakukan selama proses pengumpulan data

berlangsung. Sehingga proses pengumpulan data menjadi aktivitas

pertama dan utama dalam menggali informasi, data dan hal yang berkaitan

dengan permasalahan yang diteliti. Sumber data dan informasi dalam

penelitian kualitatif bisa berupa naratif, wawancara, pelakum prilaku

keseharian, dan sumber data tertulis atau dokumen.

2) Reduksi Data (data reduction)

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,

memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari temadan polanya. Dengan

demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang

lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk mengumpulkan data

selanjutnya, dan mencari bila diperlukan (Sugiyono. 2012: 247).

3) Penyajian Data

Dalam penelitian kualitatif penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk

uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchat, dan sejenisnya.

Dalam hal ini Milles dan Hubermas (1984) menyatakan yang paling

sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah

dengan teks yang bersifat naratif. Dengan menyajikankan data, maka akan

memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja

selanjutnya berdasarkan apa yang telah difahami tersebut (Sugiyono,


57

2012: 249).

4) Penarikan Kesimpulan (conclusion/ drawing)

Kesimpulan dalam penelitian kualitatif adalah merupakan temuan baru

yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau

gambaran suatu objek yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap

sehingga setelah diteliti menjadi jelas, dapat berupa hubungan kausal, atau

interaktif, hipotesisi, atau teori. Data display bila telah didukung oleh

data-data yang mantap, maka dapat dijadikan kesimpulan yang kredibel

(Sugiyono, 2012: 256)

3.10. Validitas Data

Validitas yang digunakan untuk menguji keabsahan data dalam

penelitian ini adalah teknik trianggulasi yaitu, teknik pemeriksaan

keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk

keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleond,

2011: 330).

Denzin (dalam Moleong, 2011: 330) membedakan empat macam

trianggulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan

sumber, metode, penyidik, dan teori.

1) Trianggulasi dengan sumber

Menurut Patton (dalam Moleong, 2011: 330) trianggulasi dengan

sumber yaitu, membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan

suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda
58

dalam penelitian kualitatif. Hal ini dapat dicapai dengan jalan:

a) Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara.

b) Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan

apa yang dikatakan secara pribadi.

c) Membandingkan apa kata orang-orang tentang situasi penelitian

dengan apa yang dikatakan secara pribadi.

d) Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai

pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang

berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang

pemerintahan.

e) Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang

berkaitan.

2) Trianggulasi dengan metode

Menurut Patton (dalam Moleong, 2011: 331) trianggulasi dengan

metode terdapat dua strategi yaitu, pertama pengecekan derajat

kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan

data. Kedua pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data

dengan metode yang sama.

3) Trianggulasi dengan peneliti atau pengamat lain

Trianggulasi ini memanfaatkan peneliti atau pengamat lainya untuk

keperluan pengecekan kembali derajat kepercayaan data.

4) Trianggulasi dengan teori


59

Teknik ini menurut Lincolin dan Guba (dalam Moleong, 2011:331)

berdasarkan anggapan bahwa fakta tidak dapat diperiksa derajat

kepercayaannya dengan satu atau lebih teori.

Teknik validitas data yang digunakan dalam penelitian ini

difokuskan pada teknik trianggulasi berdasarkan sumber, dengan metode

atau langkah yang digunakan pada dua perbandingan yaitu:

a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.

b. Membandingkan data hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang

berkaitan.

Kedua langkah ini diambil dengan mempertimbangkan keterbatasan

pada aspek biaya, waktu, dan tenaga sehingga tidak memungkinkan semua

tahapan dari trianggulasi sumber ini dapat dipergunakan.


60

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi Kota Tasikmalaya


4
4.1.1. Letak Geografis dan Demografi Kota Tasikmalaya

Secara geografis Kota Tasikmalaya berada pada 108o0838-108o2402

bujur timur dan 701000-7o2632 lintang selatan, dengan batas-batas

wilayah sebagai berikut:

Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya, yaitu

Kecamatan Cisayong, Kecamatan Sukaratu. Dan dengan Kabupaten

Ciamis yaitu Kecamatan Cihaurbeuti, Kecamatan Sindangkasih,

Kecamatan Cikoneng, dan Kecamatan Ciamis dengan batas fisik

berupa Sungai Citanduy.

Sebalah selatan berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya, yaitu

Kecamatan Jatiwaras, dan Kecamatan Sukaraja

Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya, yaitu

Kecamatan Sukaratu, Kecamatan Leuwisari, Kecamatan Singaparna,

dan Kecamatan Sukaraja dengan batas fisik berupa Sungai Ciwulan

Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya, yaitu

Kecamatan Manonjaya dan Kecamatan Gunung tanjung dengan batas

4
Sumber data diambil dari Kota Tasikmalaya dalam angka Tahun 2015. Tersedia di
www.Tasikmalayakota.bps.go.id diakses tanggal 15 Desember 2016 pukul 15.10 WIB.
61

fisik berupa Sungai irigasi Cikunten II dan Sungai Cileuwimunding

Kota Tasikmalaya merupakan wilayah strategis di Provinsi Jawa Barat

karena menjadi wilayah penghubung dan sekaligus menjadi pusat wilayah

atau daerah di Priangan Timur. Kedudukan atau lokasi Kota Tasikmalaya dari

Ibu Kota Provinsi jawa barat atau Bandung sekitar 105 KM dan jarak menuju

Ibu Kota negara atau Jakarta sekitar 255 KM.

Jumlah penduduk Kota Tasikmalaya pada tahun 2014 mencapai 654.799 jiwa,

dengan rincian 329.821 jiwa penduduk berjenis kelamin laki-laki, dan

324.973 jiwa penduduk dengan jenis kelamin perempuan. Sehingga sex ratio

penduduk Kota Tasikmalaya adalah 101,49 artinya dari 100 jiwa penduduk

Kota Tasikmalaya berjenis kelamin perempuan terdapat 101 jiwa penduduk

berjenis kelamin laki-laki.

Lajur pertumbuhan penduduk (LPP) Kota Tasikmalaya sendiri berada pada

kisaran 0.48%. Dengan distribusi persebaran penduduk paling banyak atau

padat berada di Kecamatan Mangkubumi dan distribusi persebaran penduduk

paling sedikit berada di Kecamatan Purbaratu.

Tabel 4.1

Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Kota

Tasikmalaya

Kecamatan Luas wilayah Jumlah Kepadatan


(KM2) penduduk penduduk
( jiwa/KM2)
Kawalu 42.77 87.607 2.048
62

Tamansari 35.99 65.303 1.814

Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Kota

Tasikmalaya

Cibeureum 19.04 62.959 3.307

Purbaratu 12.01 39.134 3.528

Tawang 7.07 64.764 9.160

Cihideung 5.49 73.631 13.412

Mangkubumi 24.53 87.995 3.587

Indihiang 11.09 49.034 4.421

Bungursari 16.9 47.217 2.794

Cipedes 8.96 77.150 8.610

Jumlah 183.85 654.794 3.561

2013 183.85 654.676 3.545

Sumber: BPS Kota Tasikmalaya 2015

4.1.2. Administratif dan Kondisi Pemerintahan Kota Tasikmalaya

Kota Tasikmalaya merupakan salah satu daerah otonom yang berada di

wilayah Provinsi Jawa Barat. Semenjak berdiri pada tahun 2001 telah terjadi

beberapa perkembangan atau perubahan wilayah administratif dan luas


63

wilayah.

Pada tahun 2001, luas wilayah Kota Tasikmalaya yang telah disahkan dalam

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pemerintah

Kota Tasikmalaya adalah seluas 171.56 KM2 yang terbagi kedalam 8

kecamatan yang memiliki 15 kelurahan dan 54 desa.

Pada tahun 2003 telah terjadi perubahan status pada 54 desa menjadi

kelurahan melalui Perda Kota Tasikmalaya Nomor 30 Tahun 2003 tentang

Status Perubahan Desa Menjadi Kelurahan. Dan pada tahun 2008 telah

dilakukan pemekaran kecamatan, yang semula terdiri dari delapan kecamatan

menjadi sepuluh kecamatan. Hal tersebut sesuai dengan Perda Kota

Tasikmalaya Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kecamatan

Bungursari Dan Kecamatan Purbaratu. Dan pada tahun 2014, Kota

Tasikmalaya terdiri dari sepuluh kecamatan dengan jumlah kelurahan

sebanyak 69 yang terbagi menjadi 800 Rukun Warga (RW) dan 3354 Rukun

Tetangga (RT).

Tabel 4.2.
Nama Ibu Kota Kecamatan, Banyaknya Kelurahan, RW dan RT di Kota
Tasikmalaya

Kecamatan Ibu Kota Kelurahan RW RT

Kawalu Talagasari 10 118 436

Tamansari Tamanjaya 8 99 357

Cibeureum Ciherang 9 88 346


64

Purbaratu Purbaratu 6 57 238

Tawang Kahuripan 5 64 314

Cihideung Argasari 6 68 354

Mangkubumi Mangkubumi 8 98 423

Indihiang Sukamaju kidul 6 65 280

Bungursari Bungursari 7 69 254

Nama Ibu Kota Kecamatan, Banyaknya Kelurahan, RW dan RT di Kota


Tasikmalaya

Cipedes Nagarasari 4 74 352

Jumlah 10 69 800 3354

2013 10 69 790 3307

Sumber: BPS Kota Tasikmalaya 2015

Pada tahun 2010, luas Kota Tasikmalaya berdasarkan Keputusan Menteri

Dalam Negeri Republik Indonesia Tahun 2010 tentang Batas Daerah Kota

Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat adalah seluas 183,85 KM2. Dan hal tersebut

telah ditetapkan dalam Perda Kota Tasikmalaya Nomor 4 Tahun 2012 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tasikmalaya tahun 2011-2031.


5
4.2.
Profile Singkat Terminal Tipe A Indihiang Kota Tasikmalaya

5
Diolah dari buku pedoman tentang panduan lalu lintas dan angkutan jalan di Kota Tasikmalaya
halaman 16 22.
65

Terminal Indihiang Kota Tasikmalaya merupakan salah satu terminal Tipe A

yang berada di daerah Priangan Timur. Terminal ini berada di wilayah lingkar

luar Kota Tasikmalaya lebih tepatnya berlokasi di jalan Letnan Harun

Kecamatan Indihiang Kota Tasikmalaya. Dengan luas area lahan terminal

sekitar 71.409 m2 atau sekitar 7 hektar.

Secara aspek legalitas Terminal Tipe A Indihiang ini mengacu pada beberapa

regulasi dan nomenklatur diantaranya, yaitu:

a) Surat Dirjen Perhubungan Darat Nomor: AJ. 106/1/15/DRJD/2003

tanggal 27 Maret 2003 perihal terminal penumpang Tipe A Kota

Tasikmalaya yang menjelaskan tentang persyaratan dan ketentuan

mengenai penetapan lokasi Terminal Tipe A, rancangan bangunan

terminal, pembangunan terminal, dan penyelenggaraan terminal.

b) Penyusunan studi kelayakan pembangunan Terminal Tipe A Kota

Tasikmalaya oleh BAPEDA Kota Tasikmalaya yang menyatakan

bahwa lokasi terminal yang direncanakan memang layak untuk

digunakan.

c) PERDA Nomor 8 Tahun 2004 tentang RTRW Kota Tasikmalaya.

d) Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Darat SK. 198/AJ.

109/DRJD/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang penetapan

lokasi terminal penumpang Tipe A Indihiang Kota Tasikmalaya

Provinsi Jawa Barat.

e) Persetujuan rancangan bangunan Terminal Tipe A Kota


66

Tasikmalaya dari Kadit. LLAJ Direktorat Jenderal Perhubungan

Darat tanggal 5 Mei 2004.

f) Dokumen analisis dampak lalu lintas yang disusun oleh PT. Trie

Mukty Pertama Putra.

Fasilitas Terminal Tipe A Indihiang sendiri terdiri dari beberapa fasilitas,

yang dapat dikategorikan pada dua fasilitas, yaitu fasilitas utama terminal dan

fasilitas penunjang terminal.

Fasilitas utama terminal meliputi area sebagai berikut, yaitu :

a) Area keberangkatan, dengan luas jalur keberangkatan sekitar

10.480 m2. Terdiri dari: 17 SRP jalur keberangkatan bus AKAP.

16 SRP jalur keberangkatan bus AKDP. Dan koridor penumpang

dengan panjang 129 meter, dan lebar 5 meter.

b) Area kedatangan, dengan luas jalur kedatangan sekitar 2.140 m2.

Dan koridor penumpang dengan panjang 95 meter dan lebar 5

meter.

c) Area bus lintasan, dengan luas jalur kedatangan sekitar 1116 m2,

dan koridor penumpang dengan panjang 50 meter dan lebar 5

meter.

d) Area istirahat atau parkir kendaraan umum, dengan jalur istirahat

atau parkir bus sekitar 43 SRP dan luas jalur istirahat sekitar
67

11,820 m2.

e) Kantor pengelola terminal, terdiri dari kantor utama sekitar 680.26

m2, dan kantor penunjang sekitar 121 m2.

f) Ruang tunggu penumpang, terdiri dari ruang tunggu utama dengan

panjang 9 meter dan lebar 8 meter, dan ruang tunggu terminal

angkot dengan panjang 6 meter dan lebar 6 meter.

g) Loket penjual karcis

h) Area parkir umum dengan kapasitas parkir mobil sekitar 23 SRP

dan motor 32 SRP.

Sementara fasilitas penunjang terminal meliputi area sebagai berikut:

a) Toilet atau MCK umum yang terdiri dari 14 unit toilet berlokasi di

terminal utama, dan 4 unit toilet berlokasi di terminal angkot.

b) Mushola dan masjid

c) Gerai, resto dan kios dengan rincian 12 unit resto/ kios dan 9 unit

gerai terbuka berlokasi di terminal utama. Dan 12 unit resto/kios

dan 18 unit gerai terbuka berlokasi di terminal angkot.

d) Ruang informasi dan pengaduan.

e) Ruang petugas pengawasan keberangaktan dan ruang kendali

sistem CCTV dan pengaturan kendaraan.

f) Ruang kesehatan.

6
Kondisi terminal beberapa tahun setelah peresmian banyak mengalami

6
Menurut staf UPTD Terminal Indihiang dan mayoritas pedagang, dan sopir, terminal mengalami
68

perubahan, mulai dari disfungsi fasilitas terminal, terbengkalai bahkan tidak

lagi beroperasi. Kondisi tersebut mencapai titik akumulasi khususnya setelah

diamanatkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah, yaitu pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan daerah

mengenai sektor-sektor lintas wilayah, yang di pertegas dengan Surat Edaran

Menteri Perhubungan Nomor SE 29 tanggal 5 Agustus Tahun 2015 tentang

pelaksanaan Standar Pelayanan Angkutan Jalan dimana hal-hal yang terkait

dengan fungsi teknik dan administrasi terminal Tipe A di ambil alih

pemerintah pusat.

Kondisi fasilitas terminal yang mengalami disfungsi, terbengkalai dan tidak

lagi beroperasi tersebut hampir terjadi disebagian besar fasilitas terminal baik

itu fasilitas utama maupun fasilitas penunjang terminal yang berada di

terminal utama dan terminal Angkot. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada

tabel 4.4 di sub bab berikutnya.

4.3. Karakterisitk informan

Informasi dan data yang memiliki hubungan dengan permasalahan penelitian,

penulis himpun dari beberapa informan yang secara kredibelitas dapat

dipertanggungjawabkan sesuai dengan kapasitas dan kapabelitas baik secara

organisasi, maupun jabatan. Karakteristik dari informan dalam penelitian ini

dapat di lihat pada tabel berikut.

Tabel 4.3

penurunan akmulasi penumpang (sepi) kurang lebih dua tahun setelah terminal resmi beroperasi.
69

Karakteristik informan

No Nama Informan Jabatan dalam Organisasi

Sekertasis /kepala tata usaha UPTD Terminal Indihiang


1 Jeni
Kota Tasikmalaya

Staff KEMENHUB bidang penelitian dan


2 Felix
pengembangan

3 Asep sutarman Sekertaris DPC ORGANDA Kota Tasikmalaya

4 Helmi Kasubag Umum Primajasa

5 A. Imron Staff UPTD Terminal Indihiang

6 Iwan Kepala DPO. Doa Ibu

7 Anoname Perwakilan PO. BSI di Terminal Indihiang

8 Aay Zaini Dahlan KADIS DISHUBKOMINFO Kota Tasikmalaya

4.4. Terminal dan Kualitas Pelayanan

Terminal dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 132 Tahun 2015

didefinisikan sebagai pangkalan kendaraan bermotor umum yang digunakan

untuk mengatur kedatangan dan keberangkatan, menaikan dan menurunkan

orang dan/barang, serta perpindahan moda angkutan. Dari definisi tersebut

setidaknya ada empat sub utama yang mendukung terselenggaranya kegiatan

di terminal, yaitu
70

A. Terminal sebagai pangkalan

Terminal dalam hal ini dimaksudkan sebagai lokasi yang berfungsi sebagai

tempat terjadinya list (titik simpul pertemuan), akumulasi intra dan antar

armada atau moda transportasi yang terintegrasi satu dengan yang lainnya,

sesuai trayek dan lintasan yang telah ditetapkan. Sebagai pangkalan, terminal

juga harus memiliki fasilitas-fasilitas yang menopang terhadap

terselenggaranya aktivitas di area terminal, baik untuk pengguna pelayanan

jasa transportasi atau penumpang/barang, maupun untuk pengusaha atau

operator moda transportasi. Fasilitas tersebut terdiri dari fasilitas utama dan

fasilitas penunjang lainnya.

B. Regulasi

Regulasi atau managemen di dalam area terminal sangatlah penting untuk

menciptakan kegiatan yang efektif dan efisien. Khususnya mengenai

ketepatan waktu, jadwal keberangkatan, informasi, tarif serta proses naik atau

turun penumpang intra dan antra moda transportasi. Regulasi juga

diperuntukan untuk pengawasan, pengaturan dan pengoperasian lalu lintas di

dalam maupun di luar area terminal.

C. Kedatangan dan keberangkatan

Proses kedatangan dan keberangkatan menjadi faktor penting dalam kegiatan

penyelenggaraan terminal, mengingat aspek utama yang mendukung

keberhasilan atau kelangsungan terminal adalah terciptanya akumulasi


71

penumpang yang datang dan berangkat atau yang naik dan turun di dalam

area terminal. Dan untuk menciptakan hal tersebut dibutuhkan dua aspek

utama. Pertama aspek tangibles yaitu kondisi terminal dari perspektif fisik,

fasilitas, peralatan dan pegawai yang optimal. Kedua aspek intangibles (tak

berwujud, dapat dirasakan setelah digunakan) yaitu kualitas pelayanan yang

prima dan bersifat reliability sesuai dengan regulasi dan pelayanan yang telah

dijanjikan.

D. Moda transportasi (angkutan umum)

Moda transportasi atau angkutan umum merupakan salah satu objek vital

dalam penyelenggaraan pelayanan jasa transportasi. Mengingat moda

transportasi tersebut menjadi sarana dalam mengatur perpindahan atau

pergerakan masyarakat pengguna jasa transportasi, dari satu wilayah ke

wilayah lainnya sesuai dengan tujuan dan trayek yang telah ditentukan. Untuk

memperlancar arus perpindahan sarana moda transportasi tersebut,

dibutuhkan prasarana berupa terminal yang optimal dan prima. Baik dari segi

regulasi, maupun pelayanan yang berkualitas terhadap pengguna pelayanan

transportasi (penumpang/barang) dan co-produser atau operator pengusaha

otobus.

keempat sub atau aspek utama yang mendukung terselenggaranya terminal di

atas, secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap

kualitas pelayanan dan pemenuhan hak-hak masyarakat sebagai pengguna

layanan transportasi. Pelayanan sendiri menurut Moenir (dalam Mukarom,


72

15: 2016) merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seseorang

atau sekelompok orang dengan landasan tertentu yang tingkat pemuasannya

hanya dapat dirasakan oleh orang yang melayani atau dilayani, bergantung

pada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pengguna.

Lebih lanjutnya Mukarom (2016: 15) menyimpulkan bahwa pelayanan adalah

aktivitas yang dapat dirasakan melalui hubungan antara penerima dan

pemberi pelayanan yang menggunakan peralatan berupa organisasi atau

lembaga perusahaan. Sedangkan pelayanan publik menurut Ahmad dkk

(dalam Mukarom, 2016: 41) adalah pelayanan atau pemberian terhadap

masyarakat berupa penggunaan fasilitas umum, baik jasa, maupun non jasa

yang dilakukan oleh organisasi publik, yaitu pemerintah. Dan penerima

pelayanan publik adalah individu atau kelompok orang dan atau badan hukum

yang memiliki hak dan kewajiban terhadap suatu pelayanan publik.

Salah satu pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah sebagai

organisasi publik adalah pelayanan di bidang jasa transportasi. Pelayanan

tersebut meliputi fasilitas umum berupa fasilitas Terminal Tipe A Indihiang

Kota Tasikmalaya, yang manfaat pelayananan tersebut di terima dan

dirasakan oleh masyarakat sebagai individu dan pengusaha otobus sebagai

co-produser atau operator jasa transportasi publik.

Terminal Tipe A Indihiang sebagai salah satu fasilitas umum yang

diselenggarakan oleh pemerintah Kota Tasikmalaya. Sejatinya secara

penyelenggaraan organisasi publik, menjadi pelayanan publik yang bersifat


73

primer. Dimana fungsi-fungsi terminal secara integral dapat

diimplementasikan oleh pemerintah, baik fungsi terminal bagi penumpang,

pengusaha dan bagi pemerintah sendiri, semua itu harus diselenggarakan atau

di kontrol oleh pemerintah. Dan pemerintah menjadi satu-satunya

penyelenggara pelayanan tersebut sehingga pengguna pelayanan jasa

transportasi harus menggunakannya tanpa ada pilihan pelayanan dari pihak

swasta.

Faktanya penyelenggaraan pelayanan publik transportasi di Terminal Tipe A

Indihiang tidak lagi bersifat primer, hadirnya beberapa terminal bayangan

dan pool perusahaan otobus secara perlahan telah mengurangi fungsi terminal

sebagai tempat akumulasi penumpang. Di samping itu kondisi dan pelayanan

di dalam area terminal juga sangat berpengaruh terhadap kualitas

penyelenggaraan pelayanan transportasi publik.

Oleh karena itu untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi hal

tersebut. Harus dilakukan sebuah evaluasi terhadap fungsi pemerintah Kota

Tasikmalaya khususnya fungsi pelayanan (service) dalam optimalisasi fungsi

Terminal Indihiang sebagai basis pelayanan transportasi publik.

Evaluasi fungsi pelayanan tersebut meliputi beberapa kajian mengenai

indikator dan kualitas suatu pelayanan yang di ambil dari gabungan teori yang

dikembangkan oleh Lenvine maupun Zeithaml, Parasuraman dan Berry yang

secara rinci akan di bahas pada sub bab berikutnya.


74

4.5. Evaluasi Fungsi Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam Optimalisasi

Terminal sebagai Basis Pelayanan Transportasi Publik

4.5.1 Fungsi Pelayanan (Service) Pemerintah Kota Tasikmalaya

Konsep pelayanan menurut Ndraha (2005: 68) mengandung

bermacam-macam arti yaitu, administering dan servicing. Dimana konsep

administrasi lebih menunjukan sistem (struktur) dan proses ketimbang

substansi kebutuhan manusia dan publik, sedangkan konsep service

sebaliknya.

Dari definisi tersebut, pemerintah sebagai otoritas yang memiliki fungsi

pelayanan terhadap masyarakat harus menetapkan sistem atau struktur yang

jelas, sederhana dan menghindari sistem pelayanan yang birokratis. Dengan

demikian masyarakat yang membutuhkan pelayanan publik akan

mendapatkan hasil pelayanan yang efektip dan efisien.

Sebagai sebuah sistem yang memiliki orientasi pada hasil dan substansi atau

pokok-pokok dasar dari kebutuhan masyarakat, pelayanan juga menurut

Albrecht dan Zemke (Subarsono dalam Dwiyanto, 2014: 140) harus

menerapkan sistem yang baik yaitu memiliki dan menerapkan prosedur

pelayanan yang jelas, pasti dan memiliki mekanisme kontrol di dalam dirinya

(built in control) sehingga segala bentuk penyimpangan yang terjadi secara

mudah dapat diketahui.

Sistem pelayanan yang baik tersebut akan berinterkasi dengan berbagai

aspek, baik sumber daya manusia, strategi dan pelanggan (pengguna


75

pelayanan) sehingga akan menciptakan kualitas dari sebuah pelayanan publik.

Lebih jelasnya interaksi antar aspek dalam pelayanan publik dapat di lihat

pada gambar dibawah ini.

Gambara 4.1 Segitiga Pelayanan Publik

Pelayanan publik di dalam terminal pada dasarnya adalah untuk menampung

masyarakat pengguna layanan transportasi (costumer) yang akan melakukan

mobilisasi dari satu wilayah ke wilayah tujuan lainnya. Dalam pelayanan

tersebut provider jasa transportasi publik di tuntut untuk dapat berinteraksi

dengan pelanggan, dimana pelanggan diposisikan sebagai pusat dari model

interaktif service triangle. Model tersebut menurut Albrecht dan Zemke

terdiri dari tiga unsur, seperti nampak pada gambar 4.1 di atas yaitu:

A. Sistem pelayanan

Sistem pelayanan merupakan prosedur yang digunakan oleh provider dalam

memberikan layanan kepada pelanggan dengan melibatkan semua sumber

daya yang ada, baik fasilitas fisik maupun pegawai. Prosedur atau regulasi

tersebut harus jelas dan pasti sehingga akan memberikan kemudahan bagi
76

pelanggan atau masyarakat pengguna layanan transportasi publik.

Sistem atau prosedur pelayanan di terminal sendiri telah di atur dalam

Perwalkot Kota Tasikmalaya Nomor 9 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan

Pelayanan Terminal Bus di Kota Tasikmalaya. Yang disebutkan pada pasal 7

ayat 1 butir b bahwa kendaraan angkutan AKAP dan AKDP serta angkutan

perbatasan dengan jenis bus sedang dan besar untuk memperlancar arus lalu

lintas masuk dan keluar kendaraan di dalam terminal, di atur sebagai berikut:

a) memasuki terminal melalui gerbang masuk ke area kedatangan,

b) setelah menurunkan penumpang langsung memasuki tempat

tunggu atau parkir kendaraan umum,

c) masuk ke tempat keberangkatan sesuai dengan jadwal waktu yang

telah ditetapkan,

d) keluar komplek terminal menggunakan jalur keberangkatan.

Selama proses penelitian didapatkan fakta bahwa prosedur keberangkatan dan

kedatangan armada bus di Terminal Indihiang sudah tidak sesuai dengan

standar yang ditentukan. Dimana armada bus yang masuk ke dalam terminal

khususnya bus besar AKDP/AKAP untuk proses keberangkatan, tidak

terlebih dahulu menunggu di plataran parkiran kendaraan umum, justru

langsung masuk plataran keberangkatan (karena hampir semua armada bus

yang memiliki fasilitas pool-seatle lebih memilih parkir atau menunggu di

pool).

Bahkan armada-armada bus tersebut kerapkali langsung berangkat tanpa


77

singgah atau menunggu penumpang di plataran keberangkatan terminal.

Begitu pula dengan proses kedatangan armada bus dari arah barat Kota

Tasikmalaya, selama proses penelitian ditemukan fakta bahwa, sangat jarang

sekali armada tersebut masuk ke terminal untuk menurunkan penumpang.

Akibatnya masyarakat sebagai pengguna layanan transportasi lebih memilih

naik dan turun di terminal bayangan atau poll.


7
Hal tersebut senada dengan pengakuan dari Nana yang dapat disimpulkan

bahwa alasan utama naik di pool (tidak naik di terminal) diantaranya adalah

karena apabila naik di terminal kesempatan untuk mendapatkan kursi duduk

sangat susah terlebih bila hari libur panjang, bus hanya lewat karena telah

terisi penuh oleh penumpang di pool dan terminal bayangan.


8
Kondisi tersebut, menurut salah satu staf UPTD Terminal Indihiang

dikarenakan adanya ketentuan yang membolehkan pool untuk menaikan dan

menurunkan penumpang (KM 35 tahun 2003) sehingga fasilitas parkir

kendaraan umum sama sekali tidak digunakan oleh perusahaan otobus.

Pengusaha menurutnya lebih memilih mengembangkan fasilitas pelayanan di

pool dari pada ikut mengoptimalkan fungsi terminal.


9
Sementara itu berdasarkan wawancara dengan Helmi dapat disimpulkan

bahwa selama ini proses keberangkatan armada bus telah sesuai kartu

7
Salah satu penumpang yang naik di pool Budiman tujuan Kampung Rambutan, Jakarta
wawancara di lakukan tanggal 5 Januari 2017 pukul 20.00 WIB
8
Informasi tersebut didapatkan dari Jeni sekertaris/ kepala tata usaha UPTD Terminal Indihiang
9
Kasubag Umum PO. Primajasa wawancara dilakukan di Kantor Perwakilan Primajasa Kota
Tasikmalaya tanggal 31 Januari 2017 pukul 10. 27 WIB
78

pengawasan, dan alasan penumpang tidak naik di terminal (lebih memilih

pool) lebih karena tidak ada jaminan keamanan, kenyamanan, dan jarak

tempuh yang jauh menuju terminal.

Interaksi antar aspek yang berpengaruh terhadap menurunnya kualitas

pelayanan publik di Terminal Indihiang, secara sederhana dapat dilihat dari

sistem pelayanan di dalam terminal itu sendiri. Tidak adanya prosedur yang

jelas dan pasti mengenai manajemen dan regulasi aktivitas atau fungsi

terminal, baik bagi penumpang maupun perusahaan secara nyata telah

membiaskan fungsi terminal tersebut.

Pembiasan fungsi terminal yang diakibatkan dari lemahnya kejelasan dan

kepastian prosedur manajemen maupun regulasi, nampak pada kurangnya

informasi mengenai jadwal keberangkatan, ketepatan waktu terutama

lamanya waktu ngejam ngetem bus kecil dan sedang AKDP, dan

berlakunya standar ganda keberangkatan penumpang. Dimana akumulasi

penumpang yang naik dan turun lebih banyak terjadi di pool-pool perusahaan

otobus, sedangkan terminal hanya di jadikan tempat transit, bayar retribusi

dan kontrol agen.

B. Strategi pelayanan

Strategi pelayanan merupakan kebijakan yang diterapkan oleh

provider dalam memberikan mutu pelayanan terbaik bagi masyarakat

pengguna layanan. Strategi juga diharuskan mampu menjadi arahan dan


79

acuan dalam menjalankan suatu pelayanan sekaligus mengatasi permasalahan

yang dimungkinkan akan timbul di masa depan.


10
Menurut Asep Sutarman permasalahan yang menyebabkan terminal

sepi penumpang adalah pemilihan lokasi pembangunan terminal yang kurang

strategis dan jauh dari pusat kota. Lokasi yang jauh tersebut tidak di tunjang

dengan sarana atau akses transportasi menuju terminal, terlebih dari segi

fasilitas terminal yang kurang representatif jika dibandingkan pool seperti

ATM centre, menyebabkan masyarakat lebih memilih naik dan turun di pool

dibandingkan di terminal.

Hal senada diungkapkan oleh Nana dari pernyataanya dapat

disimpulkan bahwa alasan utama naik di pool (tidak naik di terminal), karena

selain lokasi terminal yang jauh juga dikarenakan akses Angkot dari

cilembang yaitu 08 menuju terminal sangat jarang, dan apabila berangkat

pada jam malam akses Angkot menuju terminal sangat sulit ditemukan karena

Angkot 08 pada malam hari hanya sampai di pool Budiman. Terlebih trayek

Angkot 08 tersebut lebih dulu melewati pool, sehingga lebih cepat

mendapatkan bus di pool dari pada di terminal.

Hal tersebut ditanggapi oleh Helmi yang dari pernyataannya dapat

disimpulkan bahwa selain lokasi terminal yang jauh, sulitnya akses menuju

terminal menyebabkan penumpang lebih memilih naik di pool. Sementara

10
Diolah dari hasil wawancara dengan Asep Sutarman Sekertaris DPC ORGANDA Kota
Tasikmalaya, sekaligus pengelola dan pemilik perusahaan otobus TKM. Wawancara dilakukan
tanggal 21 Desember 2016 di kantor ORGANDA Kota Tasikmalaya.
80

akses menuju pool Primajasa yaitu 05 beroperasi hampir 24 jam, sehingga

untuk memudahkan penumpang, pengusaha otobus menyediakan alternatif

keagenan atau kantor yang dapat menampung dan menaikan atau menurunkan

penumpang (pool-seatle) yang dari segi fasilitas lebih nyaman, aman dan

ekonomis.

Hal tersebut dibenarkan oleh Jeni bahwa salah-satu faktor sepinya

terminal adalah dari aksesbililitas transportasi penunjang, seperti Angkot

yang menuju terminal sangat jarang dibandingkan yang lewat ke pool. Faktor

lainnya adalah sikap tidak disiplin penumpang dan pengemudi yang naik atau

turun di tempat yang tidak ditentukan.

Disamping lemahnya sistem pelayanan, aspek yang berpengaruh terhadap

menurunnya kualitas pelayanan terminal adalah dari penerapan strategi

terhadap pelanggan atau pengguna pelayanan transportasi publik. Kurangnya

akses transportasi angkutan perkotaan yang menuju terminal, tidak

tersedianya ATM center di area terminal, dan letak terminal yang jauh dari

pusat kota dibandingkan pool. Di tambah banyaknya list atau pertemuan antar

moda transportasi khususnya AKAP/AKDP dengan Angkot seperti di

Rancabango, Jati, Parakanhonje dan Juanda atau pool, berdampak pada

pilihan penumpang untuk menggunakan area list atau pertemuan tersebut

menjadi tempat naik atau turun bus AKAP/AKDP dibandingkan harus naik

atau turun di terminal.

C. Sumber Daya Manusia


81

Aspek lainnya dalam segitiga pelayanan adalah sumber daya manusia,

sumber daya manusia atau personel terbagi atas personel yang berinteraksi

langsung dengan masyarakat pengguna layanan, personel yang jarang

berinteraksi langsung dengan masyarakat pengguna layanan, dan personel

yang bertugas sebagai penyedia kebutuhan masyarakat pengguna layanan.

Selama proses penelitian personel yang berinteraksi langsung dengan

penumpang hampir sulit ditemukan. Karena secara pembagian tugas, tidak

terdapat personel yang secara khusus melayani penumpang. Tugas personel

terminal sendiri di bagi menjadi tiga bagian yaitu personel oprasional,

administratif dan pemeliharaan.

Secara umum personel administrasi dan oprasional berjalan sesuai dengan

tugasnya masing-masing. Mulai dari pencatatan kendaraan yang masuk

terminal, penarikan retribusi (TPR) angkutan umum, dan tugas administrasi

lainnya.

Keluhan masyarakat pengguna transportasi tentang sumber daya manusia atau

personel terminal adalah mengenai keamanan, kenyamanan dan kebersihan di

dalam terminal. Hal tersebut sesuai dengan keluhan yang diutarakan oleh
11
Lastri yang secara singkat dapat disimpulkan bahwa segi kenyamanan dan

kebersihan di dalam terminal kurang terawat dan kumuh, terutama sering

tercium bau menyengat ketika melewati area tunggu keberangkatan bus

AKDP.

11
Penumpang asal Cikalong tujuan Ciciaheum Bandung, wawancara di lakukan tanggal 4 Januari
2017
82

Hal serupa juga diungkapkan oleh Nana, yang dapat disimpulkan bahwa

alasan naik di pool (tidak naik di terminal) adalah karena tidak adanya

jaminan keamanan (security) dari personel terminal, terutama di malam hari

kondisi terminal gelap dan sepi dari aktivitas penumpang kecuali sopir dan

kondektur.
12
Setelah di konfirmasi kepada pihak UPTD kondisi terminal yang kurang

terawat tersebut dikarenakan tidak adanya personel kebersihan dan keamanan

di dalam struktur kepegawaian UPTD terminal. Adapun untuk mengantisipasi

hal tersebut pihak UPTD sering mendatangkan petugas kebersihan dari pihak

luar dan di bayar atas inisiatif bersama pegawai UPTD.

Personel terminal sendiri menurut A. Imron berjumlah 48 personel yang

terdiri dari 34 PNS dan 14 non PNS. Jumlah tersebut menurutnya masih

minim karena personel terminal harus kerja dua shift, siang dan malam.

Sehingga untuk petugas keamanan dan kebersihan belum terpetakan, sampai

saat ini menurutnya belum ada penambahan personil untuk keamanan dan

kebersihan.

Dari pernyataan-pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek

pelayanan dari segi Sumber Daya Manusia atau personel masih belum

optimal. Meskipun personel administrasi dan oprasional telah berjalan sesuai

tugasnya masing-masing, akan tetapi karena tidak adanya personel yang

bertugas sebagai pemelihara kebersihan fasilitas dan keamanan berdampak

12
Informasi didapatkan dari Jeni sekertaris/ kepala tata usaha UPTD Terminal Indihiang
83

pada kondisi dan situasi terminal yang tidak terawat, terbengkalai, kumuh dan

cenderung tidak tercipta rasa aman bagi masyarakat pengguna layanan

terutama di malam hari.

Menurut Ndraha (2005) layanan sebagai out put pelayanan mengandung dua

arti, yaitu sebagai jasa (komoditi) dan sebagai seni (cara). Terminal Indihiang

sebagai penyelenggara jasa atau pelayanan transportasi kurang

memperhatikan fasilitas-fasilitas di dalam area terminal, baik fasilitas utama

maupun fasilitas penunjang. Tidak beroperasinya beberapa fasilitas seperti,

kantor perwakilan bus, loket penjualan tiket, area parkir bus, dan tidak

terawatnya area parkir umum, ruang kesehatan, ruang informasi dan fasilitas

lainnya. Hal berbeda terlihat pada beberapa fasilitas penunjang seperti toilet

umum, kondisi yang cukup bersih dan nyaman tersebut terjadi karena toilet

umum di kelola oleh swasta selaku pihak ketiga.

Terminal berdasarkan seni atau cara penyelenggaran pelayanan, dimaksudkan

untuk mengepektifkan pelayanan pada sistem transportasi. Dengan adanya

terminal, sejumlah orang atau barang yang akan melakukan perpindahan atau

mobilisasi dari satu wilayah ke wilayah tujuan lainnya secara efektif dan

ekonomis akan dikumpulkan pada satu simpul yang terintegrasi antar atau

intra moda transportasi. Akan tetapi epektifitas dari cara penyelenggaraan

fungsi terminal masih jauh dari yang diharapkan, tidak terintegrasinya moda

transportasi di dalam area terminal terutama bus AKDP, elf dan Angkot yang

lebih memilih menaikan penumpang di luar area terminal. Di tambah tidak


84

adanya ketegasan pengelola terminal terhadap armada bus besar

AKDP/AKAP yang mengarah atau dengan tujuan akhir Kota Tasikmalaya

dari berbagai wilayah untuk masuk dan menurunkan penumpang di dalam

terminal.

Lemahnya sistem dan strategi pelayanan yang diterapkan oleh manajemen

terminal maupun pemerintah Kota Tasikmalaya dalam hal ini

DISHUBKOMINFO Kota Tasikmalaya berpengaruh terhadap kualitas

pelayanan di dalam area terminal. Menurut Zeithaml, Parasuman dan Berry

(dalam Mukarom, 2016: 54) setidaknya ada lima indikator yang digunakan

untuk mengukur kualitas pelayanan publik, yaitu tangibles, reliability,

responsiviness, assurance, dan empathy.

4.5.1.1 Tangibles

Kualitas pelayanan dari dimensi tangibles dinilai berdasarkan wujud yang

dapat dilihat dan dicermati oleh panca indra, terutama dari fasilitas fisik,

peralatan, pegawai, sarana informasi dan fasilitas lainnya yang dimiliki oleh

penyedia layanan atau provider. Kondisi fasilitas fisik maupun pegawai

tersebut akan sangat berpengaruh terhadap tingkat kenyamanan bagi

masyarakat yang dilayani.

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa, kondisi terminal di lihat dari

fasilitas-fasilitas fisik yang dimiliki oleh terminal sangat tidak terawat dan

mengalami degradasi fungsi. Bahkan sebagian fasilitas baik fasilitas utama

maupun fasilitas penunjang di area terminal utama dan terminal elf atau
85

Angkot telah berhenti beroperasi. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada

tabel 4. 4 berikut ini.

Tabel 4.4

13
Kondisi Fasilitas Terminal Terakhir

NAMA FASILITAS JUMLAH BEROPERASI

A. Area Tunggu Keberangkatan

Utama

a. Toilet 3 2

b. Kios 5 3

c. Grai terbuka 4 4

d. Loket penjualan tiket 7 Sepi

e. Restaurant 1 -

B. Area Tunggu Keberangkatan

Koridor AKDP/AKAP

a. Toilet 1 1

13
Observasi di lakukan tanggal 12 Desember 2016
86

b. Mushola 1 1

c. Kojengkang/ etalase

C. Area Tunggu kedatangan Utama

a. Toilet 3 -

b. Mushola 1 -

c. Kios 7 2

d. Grai terbuka 5 3

B. Area Exit Utama

a. Ruko 2 1

D. Area Endapan

Kondisi Fasilitas Terminal Terakhir

E. Area Endapan

a. Perwakilan PO (pemesanan 9 2
tiket)

b. Bengkel 3 -

c. Pencucian 1 1

d. Toilet 1 lokasi Tidak terawatt

C. Ruang Informasi 1 Jarang operasi


87

D. Ruang Kesehatan 1 -

E. Area Smoking 1 -

F. Ruang Pengawasan 1 Jarang operasi

G. Ruang Interograsi 1 -

H. Ruang Area Exit/Entri

a. Front office
1 -

b. Ruang tanpa identitas 2 -

I. Kantor Utama UPTD 1 1

J. KantorPenunjang UPTD 1 -

K. Area Parkir Bus 43 SRP - SRP

L. Menara Pengumuman 1 -

23 SRP mobil Tidak terawat


M. Area Parkir Pengunjung
32 SRP motor Tidak terawat

Kondisi Fasilitas Terminal Terakhir

N.Area Terminal Angkot/Elf

a. Kios 33 11

b. Grai koridor/terowongan 0 -

c. Toilet 2 lokasi 2
88

d. Mushola 2 lokasi Tidak terawatt

e. Grai area tunggu 1 1

Dari tabel di atas nampak bahwa sebagian besar fasilitas di dalam terminal

banyak yang berhenti beroperasi, secara fungsi fasilitas-fasilitas tersebut

sangat menunjang terhadap penyelenggaraan pelayanan bagi masyarakat.

Diantara fasilitas yang mengalami penurunan fungsi karena jarang beroperasi

atau digunakan adalah ruang informasi dan pengawasan terminal. Padahal

secara fungsi pelayanan, informasi dan pengawasan menjadi hal utama dan

pertama yang harus dipenuhi oleh penyelenggara pelayanan terhadap

masyarakat pengguna jasa transportasi. Tidak adanya informasi resmi dari

pihak penyelenggara, baik pengumuman jadwal keberangkatan, info tarif,

maupun informasi lainnya mengharuskan penumpang untuk bertanya lebih

pada pedagang, calo dan orang-orang disekitarnya.

Fasilitas terminal yang terbengkalai juga dapat di lihat dari tidak

beroperasinya ruang kesehatan, sebagian besar kios/grai, beberapa ruang di

area exit terminal dan area parkir kendaraan umum (bus), hal tersebut
14
menurut pengelola terminal terjadi karena kurangnnya jumlah

penumpang/operator yang memanfaatkan fasilitas tersebut. Selain itu

kebersihan, keasrian dan kenyamanan lingkungan area terminal juga sangat

14
Keterangan tersebut di dapatkan dari Jeni staff UPTD Terminal Indihiang bagian sekertaris/
kepala tata usaha.
89

memprihatinkan, terlebih banyaknya rumput liar dan ilalang yang tumbuh

tidak beraturan di area terminal, khususnya di bagian selatan terminal dan

area parkir umum.

15
Setelah dikonfirmasikan kepada pihak pengelola terminal . Hal tersebut

terjadi pada sebagian fasilitas terminal dikarenakan minimnya jumlah

personel kebersihan, yang hanya berjumlah dua orang dan tidak stand bye

atau menetap di terminal karena bukan personel terminal.

Di lihat dari indikator kualitas pelayanan yang bersifat tangibles atau

berwujud, khususnya dari segi fasilitas di dalam area terminal, terminal masih

jauh dari standar kelayakan. Terutama bila mengacu pada Peraturan Menteri

Perhubungan Republik Indonesia Nomor 135 Tahun 2015, masih banyak

fasilitas utama dan penunjang terminal yang belum terpetakan baik di zona

bertiket, zona belum bertiket, zona pengendapan dan zona perpindahan. Hal
16
tersebut sangat dipengaruhi oleh alokasi anggaran yang minim . Dengan

alokasi dana yang sangat minim tersebut, perencanaan, perawatan dan

pengembangan fasilitas terminal akan sulit dilakukan.

Indikator tangibles dari segi kepegawaian relatif berjalan sesuai dengan

kinerja pelayanan, dimana terjadi diferensiasi dan spesialisasi tugas personel.

15
Ibid,
16
Informasi ini didapat dari Tanya jawab dengan felix staf Kementerian Perhubungan Darat
bidang penelitian dan pengembangan sekaligus dosen STTD disela kunjungannya dalam sidak ke
pool dan kesiapan Terminal Indihiang untuk dikelola oleh pemerintah pusat, menurutnya fasilitas
terminal yang terbengkalai dikarenakan minimnya alokasi dana dari APBD Kota Tasikmalaya.
yang hanya berkisar Rp.100 juta. Tanya jawab dilakukan pada tanggal 21 Desember 2016
90

Jumlah personel sendiri adalah 34 PNS dan 14 non PNS, yang terbagi atas

petugas administrasi dan oprasional. Sementara petugas keamanana dan

kebersihan atau pemeliharaan fasilitas masih kekurangan dan masih bersifat

diperbantukan dari SKPD lain.

Tidak adanya personel keamanan dan kebersihan menurut staf UPTD


17
Terminal Indihiang dikarenakan terbatasnya personel terminal itu sendiri

dengan jumlah personel yang ada sekarang harus di bagi dua shift jaga atau

piket kerja siang dan malam. Sehingga masih banyak posisi pekerjaan yang

belum terisi dan harus diperbantukan dari SKPD atau alternatif lainnya.

4.5.1.2 Reliability

Reliability merupakan kemampuan organisasi pelayanan publik untuk

memberikan dan mengaktualisasikan pelayanan yang dijanjikan secara tepat,

cepat dan akurat. Dengan kata lain reliabilitas merupakan suatu aspek

keandalan yang dimiliki oleh provider atau penyelenggara pelayanan publik

untuk mentransformasikan, dan mengimplementasikan harapan masyarakat

baik itu berupa aspirasi, tuntutan dan hal-hal lainnya yang telah dijanjikan

oleh pemerintah.

Penyelenggaraan pelayanan dari dimensi reliability dapat di lihat dari

keberhasilan pemberi layanan dalam mengimplementasikan aspek-aspek

perencanaan di dalam terminal yang telah dijanjikan atau di atur dalam

regulasi dan manajemen penyelenggaraan pelayanan terminal. Aspek-aspek

17
Wawancara dilakukan dengan A. Imron staf kepegawaian UPTD Terminal Indihiang
91

tersebut meliputi, lokasi terminal, akses menuju terminal, pengaturan

lalulintas, integritas moda transportasi, ketepatan waktu atau jadwal

menunggu armada, dan proses keberangkatan maupun kedatangan. Dalam arti

yang luas aspek reliabilitas ini dimaknai sebagai kemampuan untuk

menyelenggarakan pelayanan terminal sesuai dengan fungsi yang telah

ditentukan.

Penentuan lokasi terminal pada dasarnya mengikuti Rencana Tata Ruang


18
Wilayah (RTRW) Kota Tasikmalaya yang menghendaki adanya

pengembangan wilayah Kota Tasikmalaya di wilayah Kecamatan Indihiang,

akan tetapi lokasi tersebut menurut sebagian orang kurang strategis karena

berada di lingkar luar dan jauh dari pusat keramaian kota.

19
Hal tersebut senada dengan tanggapan dari Asep Sutarman yang

menyatakan bahwa penentuan lokasi Terminal Indihiang kurang tepat dan

kurang strategis. Selain letak terminal yang berada di ujung kota dan jauh dari

pusat kota, juga karena kurangnya akses angkutan perkotaan yang menuju

terminal. Sehingga mayarakat perkotaan lebih memilih pool perusahaan

otobus, yang dipandang dari fasilitas, lokasi, akses dan jadwal lebih

representatif dibandingkan dengan terminal.

18
Lihat Perda Kota Tasikmalaya Nomor 4 Tahun 2012 tentang RTRW Kota Tasikmalaya tahun
2011-2031 pasal 18 ayat 2 butir a dimana pengembangan angkutan penumpang di lakukan melalui
optimalisasi Terminal Tipe A Indihiang di kelurahan sukamaju kidul.
19
Sekertaris DPC ORGANDA Kota Tasikmalaya, sekaligus pengelola dan pemilik perusahaan
otobus TKM. Wawancara dilakukan tanggal 21 Desember 2016 di kantor ORGANDA Kota
Tasikmalaya.
92

Akses transportasi Angkot menuju terminal selama penelitian sangatlah

jarang, adapun Angkot yang memiliki trayek Terminal Indihiang adalah

Angkot 06,018, 010, 05, 08, 015 dan glebeg. Itu pun sangat terbatas pada

jumlah armada dan jam oprasional yang hanya sampai jam 18.00 kecuali

yang menuju pool, dan dari Angkot-Angkot tersebut yang secara rutin masuk

terminal hanya Angkot 06 dan glebeg, sementara yang lainnya jarang lewat

kedepan terminal .

Adanya list atau pertemuan antara Angkot dan bus AKDP/AKAP, khususnya

Angkot 018/08 di wilayah Juanda (pool budiman) dan Rancabango, Angkot

05 di Jati dan Mitrabatik (pool primajasa), dan 010 di wilayah Cisumur,

maupun Rancabango mengakibatkan penumpang atau pengguna jasa

transportasi lebih menggunakan pool dan terminal bayangan sebagai tempat

akumulasi naik dan turun moda transportasi bus AKAP/AKDP.

20
Hal tersebut sesuai dengan hasil wawancara yang dilakukan dengan Rani

yang dapat disimpulkan bahwa alasannya naik bus di Rancabango (tidak naik

di terminal) karena lokasi terminal terlalu jauh dan enakan naik di

Rancabango karena akses menuju Rancabango sangat banyak, baik Angkot

010, maupun bus (AKDP kecil Cineam) terlebih jaraknya yang lebih dekat

dan biasanya kursi bus masih tersedia.

20
Penumpang asal Gobras, Tamansari tujuan Bekasi yang naik di Rancabango. Wawancara
dilakukan tanggal 8 Januari 2017.
93

21
Permasalahan aksesbilitas menurut Iwan sudah lama menjadi permasalahan

yang mengakibatkan akumulasi penumpang yang naik dan turun di terminal

menjadi sepi. Hal tersebut dikarenakan tidakadanya akses transportasi Angkot

dari wilayah pinggiran Kota Tasikmalaya khusunya daerah Mangkubumi

yang langsung menuju ke Terminal Indihiang. Penumpang justru harus

beberapa kali melakukan perpindahan moda transportasi, yang berpengaruh

terhadap tidak efektifnya waktu menuju terminal (lebih lama) terlebih

penumpang harus membayar ongkos 2 sampai 3 kali lipat lebih besar

dibandingkan menuju Terminal Singaparna.

Kondisi tersebut secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap

pilihan penumpang, untuk lebih memanfaatkan Terminal Singaparna yang

secara akses lebih mudah dan murah. Beralihnya pilihan penumpang dari

terminal Kota Tasikmalaya ke terminal Singaparna menurut Iwan dapat

dilihat dari peningkatan jumlah armada bus Karunia Bakti yang tadinya hanya

4-6 armada bus menjadi 30 armada per hari.

Menurut Aay Zaini Dahlan upaya untuk meraimaikan terminal khususnya


22
dari segi akses transportasi menuju terminal sudah dilakukan yaitu dengan

membuka akses dari belakang terminal yang disiapkan untuk trayek angkutan

Mangin atau Mangkubumi-Indihiang, dan dengan cara memasukan semua

21
Selaku KDPO Doa Ibu Wawancara dilakukan tanggal 13 Januari 2017 bertempat di pool atau
kantor PO.Doa Ibu.
22
Lihat
https://www.radartasikmalaya.com/prev/index.php/kota-tasik/2015/optimalisasi-terminal-jalan-di-t
empat.html diakses tanggal 10 Januari pukul 09.16 WIB
94

Angkot dan elf ke dalam terminal yang memiliki trayek ke Terminal

Indihiang. Akan tetapi sampai sekarang setelah akses jalan Mangin sudah

siap, kondisi dan aktivitas di dalam terminal masih sepi penumpang dan

Angkot pun yang masuk ke dalam terminal baru Angkot 06 dan glebeg,

sementara Angkot lainnya masih belum masuk ke dalam terminal bahkan

jarang lewat ke depan terminal.

Masih dalam aspek aksesbilitas, pintu masuk terminal yang letaknya jauh dari

pinggir jalan juga turut menyulitkan penumpang yang membawa

barangbawaan atau bagasi terlalu banyak, sehingga hal tersebut di

manfaatkan oleh keberadaan kuli panggul untuk menawarkan jasa dengan

tarif yang cukup tinggi sehingga penumpang atau masyarakat pengguna

layanan transportasi lebih memilih naik di depan terminal. Ditambah adanya

pemisahan jalur kedatangan Angkot, elf dengan bus AKAP/AKDP yang

cukup jauh turut mengurangi efektivitas pergerakan orang di dalam terminal.

23
Hal tersebut sesuai dengan pengakuan Surya yang dari pengakuannya dapat

disimpulkan bahwa alasannya naik di depan terminal (tidak masuk ke dalam

terminal) karena dengan banyaknya barang yang di bawa tidak

memungkinkan untuk masuk ke dalam terminal yang lokasinya jauh dari

jalan raya, dan lebih memilih menunggu bus di depan terminal daripada harus

memakai jasa kuli panggul.

23
Penumpang asal bungursari tujuan cikarang, berprofesi sebagai pedagang (tukang kredit)
wawancara dilakukan tanggal 29 Januari 2017
95

24
Hal serupa juga di ungkapkan Jeje yang dari pernyataannya dapat

disimpulkan alasan kenapa tidak turun di dalam terminal (turun di depan

terminal) karena bus yang ditumpanginya tidak masuk ke dalam terminal, dan

lebih cepat menunggu bus (bus kecil AKDP jurusan Cineam) di depan

terminal karena bus yang baru keluar dari terminal selalu ngetem lagi di

depan terminal. Biasanya dia lebih memilih naik di Rancabango karena bus

tersebut tidak akan ngetem disana.

Indikator reliabilitas lainnya adalah sistem integrasi antar atau intra moda

transportasi. Dari hasil penelitian didapatkan dua perspektif dalam

memetakan sistem integrasi tersebut.

pertama sistem integrasi antar atau intra moda transportasi baru akan terjadi

antara bus kecil dan transportasi lainnya yang berasal dari daerah selatan

Tasikmalaya, seperti Cikalong, Cikatomas, Cipatujah dan wilayah selatan

lainnya dengan bus AKAP/AKDP keberangkatan Terminal Indihiang.

Integrasi ini terjadi karena armada bus dari wilayah selatan tasikmalaya selalu

masuk ke dalam terminal untuk menurunkan penumpang, istirahat dan parkir


25
kendaraan . Sehingga frekuensi dari mobilitas dan akumulasi penumpang di
26
dalam terminal lebih banyak dari dan menuju daerah selatan Tasikmalaya.

24
Penumpang asal Jakarta tujuan Manonjaya yang naik bus di depan terminal, wawancara di
lakukan tanggal 29 Januari 2017
25
Berdasarkan observasi yang dilakukan di terminal saat arus balik libur panjang tanggal 2-4
Januari rata-rata penumpang yang terakumulasi di terminal adalah penumpang yang turun dari bus
wilayah selatan Tasikmalaya, seperti Salopa, Cikatomas, Cikalong, dan Karangnunggal, Cipatujah,
Ciheras
26
Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan Asep Sutarman bahwa mobilisasi penumpang di
96

Kedua sistem integrasi antar moda transportasi sulit terjadi bahkan tidak akan

terjadi di dalam area terminal terhadap armada bus AKAP/AKDP tujuan

Tasikmalaya asal/dari arah Bandung, JABODETABEK dan wilayah lainnya

dari arah barat dengan moda transportasi seperti elf, bus kecil dan bus sedang

tujuan timur dan selatan Tasikmalaya dikarenakan sebagian besar armada bus

AKAP/AKDP tersebut tidak masuk kedalam terminal untuk menurunkan

penumpang. Sehingga angkutan elf dan bus kecil lebih memilih ngetem dan
27
menaikan penumpang di luar terminal . Hal tersebut mengakibatkan tidak

terintegrasinya terminal bus utama dengan terminal angkot/elf di area


28
belakang terminal utama.

Di lihat dari jadwal keberangkatan, kedatangan dan menunggu di dalam area

terminal relatif tidak menentu. Hal tersebut dikarenakan pengaturan

keberangkatan armada bus yang akan beroperasi khusunya bus besar

AKAP/AKDP tidak langsung terjadi di dalam terminal, proses keberangkatan

armada justru di atur terlebih dulu di pool. Sehingga ketersediaan armada

yang akan beroperasi harus menunggu dan disesuaikan dengan keberangkatan

dari pool.

terminal paling banyak adalah ke wilayah selatan Tasikmalaya.


27
Menurut Asep Sutarman hal tersebut selain dari sikap kurang tegas DISHUB atau Dalop juga
dikarenakan adanya kecemburuan sosial dari bus-bus kecil AKDP/elf terhadap bus besar
AKAP/AKDP tujuan akhir Tasikmalaya yang tidak masuk terminal dan justru menurunkan
penumpang di depan terminal, atau terminal bayangan lainnya.
28
Menurut jeni tidak terintegrasinya armada bus di dalam terminal dikarenakan pengemudi bus
lebih patuh pada peraturan perusahaan bus daripada peraturan UPTD Terminal Indihiang, untuk
menaikan dan menurunkan penumpang terakhir di pool.
97

Meskipun keberangaktan tersebut menurut Helmi dan Iwan di klaim telah

sesuai dangan kartu pengawasan. Akan tetapi sangat berdampak pada

terbengkalainya fasilitas area parkir kendaraan umum, sebagai tempat tunggu

atau istirahat kendaraan dan awak kendaraan, yang menunggu jadwal untuk

masuk kepelataran keberangkatan.

Dampak lainnya adalah pada penurunan kualitas pelayanan bagi pengguna

jasa transportasi di dalam terminal. Dimana penumpang yang naik di dalam

terminal tidak dapat memilih kursi secara leluasa karena telah terisi di pool,

bahkan di hari-hari libur panjang stock kursi bagi penumpang di dalam

terminal sangat minim atau nyaris tidak tersedia.

29
Hal tersebut secara nyata dirasakan oleh Lastri yang dari pengakuannya

didapatkan kesimpulan bahwa dirinya telah menunggu kedatangan bus tujuan

Bandung selama hampir 3 Jam lebih (dari jam 10.00-13.43), akan tetapi

bus-bus tersebut selalu penuh dan hanya lewat kedalam terminal tanpa

singgah untuk menaikan penumpang (dikarenakan telah terisi penuh oleh

penumpang dari pool). Menurutnya hal tersebut sering terjadi ketika libur

panjang terlebih lebaran, meskipun demikian dirinya tidak pernah naik di

pool karena bus Dirgahayu selalu masuk ke terminal. Dan merasa ribet

apabila naik di pool karena harus naik Angkot lagi yang rutenya mengelilingi

daerah perkotaan sehingga perjalanannya akan lebih lama lagi.

29
Penumpang asal Cikalong tujuan Cicaheum Bandung, wawancara dilakukan tanggal 4 Januari
2017
98

Fakta-fakta diatas menggambarkan bahwa kualitas pelayanan di lihat dari

perspektif reliabilitas kurang efektif. Keandalan terminal sebagai prasarana

sistem transportasi yang menjadi titik simpul jaringan transportasi, baik untuk

pengawasan-pengendalian dan pengaturan lalulintas yang digunakan sebagai

pelayanan untuk menaikan dan menurunkan penumpang tidak berfungsi

secara optimal dan prima.

4.5.1.3 Responsivinees

Menurut Zeithaml dkk dalam Mukarom (2016) Responsivinees atau

responsivitas adalah kerelaan untuk menolong masyarakat dan

menyelenggarakan pelayanan secara ihklas. Lebih lanjutnya Zeithaml

mengungkapakan bahwa dari dimensi pelayanan publik responsivitas

dimaknai sebagai kemauan untuk membantu masyarakat bertanggungjawab

terhadap kualitas pelayanan yang diberikan.

Singkatnya responsivitas tersebut dapat difahami sebagai kemampuan

penyelenggara pelayanan dalam merespon, mengartikulasikan dan

mengaktualisasikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat selaku pengguna

layanan. Salah satu kebutuhan masyarakat sebagai pengguna layanan di

terminal, khususnya bagi masyarakat yang baru pertama kali menggunakan

terminal sebagai prasarana pelayanan transportasi adalah sistem informasi.

Baik informasi di front office maupun informasi lewat pengeras suara

(speaker) atau informasi konvensional berupa papan informasi. Selain itu

penyelenggara pelayanan juga harus dapat merespon keingintahuan pengguna


99

layanan tentang tarif, rute, peta, rambu dan jam opersional terminal.

Selama proses penelitian, didapatkan data dan fakta di lapangan tentang

penurunan kualitas pelayanan dari aspek responsivitas. Aspek-aspek tersebut

terlihat dari tidak tersedianya sistem informasi terpadu yang memudahkan

masyarakat pengguna layanan dalam mendapatkan informasi resmi dan

pengaduan tentang pelayanan. Padahal sistem informasi yang terpadu akan

sangat membantu masyarakat dalam melakukan mobilitas dan menentukan

langkah selanjutnya di dalam terminal.

Tidak beroperasinya fasilitas front office sebagai pusat informasi,

mengharuskan masyarakat untuk mendapatkan informasi dari pihak lain.

Dimana secara oprasional dan administrasi, validitas dari informasi tersebut

sangat diragukan karena bersifat duga-duga atau perkiraan bukan dari kartu

pengawasan yang resmi.

Fasilitas informasi lainnya yang jarang beroperasi adalah pengeras suara

(speaker) operator informasi dan komunikasi. Selama proses penelitian

fasilitas tersebut jarang sekali digunakan untuk menginformasikan tentang

jadwal keberangkatan, kedatangan, maupun informasi lainnya. Tercatat

selama penelitian berlangsung, fasilitas pengeras suara (speaker) hanya di

gunakan dua kali yaitu informasi panggilan terhadap personel terminal dan

berita duka calo terminal. Dari kasus tersebut dapat di ambil kesimpulan

bahwa fasilitas pengeras suara (speaker) masih baik dan dapat digunakan

akan tetapi tidak dimanfaatkan sesuai fungsinya untuk memberikan informasi


100

kepada pengguna layanan.

Papan informasi dan pengumuman tentang tarif, trayek dan rute bus sama

sekali tidak terdapat di dalam area terminal, selain itu peta lokasi dan area

terminal juga tidak terletak di posisi yang strategis, justru di letakan di lantai

atas yang tidak dilewati penumpang.

Tidak beroperasinya beberapa fasilitas di atas, setelah dilakukan konfirmasi

terhadap staf UPTD didapatkan kesimpulan bahwa disamping kurangnya

personel oprasional, juga dikarenakan kurangnya masyarakat yang

menggunakan layanan jasa transportasi di terminal, terlebih armada bus yang

singgah untuk menunggu dan menaikan penumpang di terminal sangat jarang.

Sehingga penggunaan speaker sebagai informasi keberangkatan di anggap

masih belum diperlukan.


30
Sulitnya informasi di terminal secara langsung dirasakan oleh Saprol dari

pernyataannya dapat disimpulkan bahwa, dirinya kesulitan mencari informasi

mengenai jadwal keberangkatan bus tujuan Tangerang. Padahal sudah

menunggu selama tiga jam lebih dari pukul 13. 00 Sampai jam 16. 20 WIB.

Dan dia juga mengeluhkan informasi yang didapatkan dari pedagang karena

kurang akurat yang menyatakan bus tersebut biasanya berangkat jam 4 sore

tetapi kenyataannya belum juga datang.

Satu-satunya alat kelengkapan yang membantu masyarakat dalam mobilisasi

di area terminal adalah rambu dan petunjuk terminal. Penamaan atau

30
Penumpang asal Tangerang sebagai mahasiswa UIN Syarief Hidayatulloh, Tangerang yang
liburan ke Kota Tasikmalaya, wawancara dilakukan di terminal tanggal 18 Desember 2016
101

pengkodean fasilitas terminal, dan adanya petunjuk arah menuju fasilitas

terminal lainnya, sangat membantu masyarakat yang kurang memahami area

terminal. Fasilitas lainnya yang membantu masyarakat pengguna layanan

adalah jalan atau lantai timbul berwarna kuning bagi masyarakat

berkebutuhan khusus (diffabel) meskipun aksesnya sebagian terpotong oleh

kursi di area tunggu keberangkatan AKDP.

Aspek lainnya yang membantu masyarakat dalam pelayanan di dalam

terminal adalah jam operasional terminal, dan ketersediaan armada

transportasi. Dari hasil penelitian tanggal 18 Desember 2016, terminal masih

beroperasi sampai jam 23.30 WIB. Adapun ketersediaan armada transportasi

untuk bus kecil AKDP jurusan selatan Tasikmalaya seperti Cikalong,

beroperasi sampai jam 17.00 WIB. Dan bus kecil AKDP asal Tasik selatan

dengan tujuan akhir Terminal Indihiang sampai jam 19.40 WIB masih ada

yang masuk. Sedangkan ketersediaan bus besar AKDP/AKAP jurusan barat

Tasikmalaya seperti Bandung, JABODETABEK khususnya Jakarta masih

beroperasi sampai jam 23.00 WIB meskipun sebagian besar bus hanya

sekedar lewat untuk bayar retribusi.


31
Ketersediaan armada bus di dalam terminal turut dirasakan oleh yayat dari

hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa, dirinya sudah terbiasa naik bus di

dalam terminal pada waktu malam hari. Hal ini dikarenakan armada bus yang

menuju Tangerang (balaraja dan serang) hanya sedikit sekitar 2 armada yaitu

31
Penumpang asal Cikalong tujuan Tangerang, wawancara dilakukan tanggal 18 desember 2016
pukul 19.47 WIB
102

sekitar jam empat sore lebih dan jam delapan malam. Oleh karena itu dia

berangkat dari Cikalong sekitar jam tiga sore dan sampai terminal sekitar jam

tujuh malam. Meskipun demikian saat ditanya perihal kondisi terminal dia

menuturkan bahwa kondisi terminal pada malam hari sangat gelap terlebih

sepi dari aktivitas sesama penumpang.

Responsibility atau responsibilitas menurut Lenvine dalam Dwiyanto (2014:

144) adalah suatu ukuran yang menunjukan seberapa jauh proses pemberian

pelayanan publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip dan ketentuan yang

benar dan telah ditetapkan. Dari indikator kualitas pelayanan yang bersifat

responsivitas di atas, baik dari daya tanggap atau respon pemberi layanan

terhadap tuntutan dan kebutuhan dasar masyarakat pengguna layanan,

faktanya kurang memenuhi aspek responsibilitas. Terlebih bila di lihat dari

kualitas pelayanan secara keseluruhan, baik dari standar pelayanan minimal

maupun prinsip pelayanan publik.

Fakta lainnya adalah pemerintah selaku pemberi layanan jasa transportasi,

belum mampu merespon keinginan dan tuntutan masyarakat pengguna jasa

transportasi, terutama yang naik atau turun di luar terminal. mayoritas

masyarakat yang naik dan turun di luar terminal mengeluhkan akses Angkot

menuju terminal (penumpang di terminal bayangan), jam oprasional

Angkot yang menuju terminal, lamanya waktu ngetem bus kecil AKDP di

dalam terminal di tambah ngetem lagi di depan terminal, integrasi moda

transportasi di dalam terminal, keamanan dan penerangan terminal di malam


103

hari.

4.5.1.4 Assurance

Assurance atau kepastian adalah pengetahuan, kemampuan dan kesopanan

petugas penyelenggara pelayanan dalam memberikan kepercayaan terhadap

masyarakat selaku pengguna layanan. Dengan kata lain asuransi merupakan

jaminan yang diberikan provider terhadap pengguna layanan dari aspek

sumber daya manusia/ petugas, teknis, dan regulasi.

Dari aspek sumber daya manusia atau pegawai, indikator assurance dapat di

lihat dari sikap dan ketegasannya dalam melayani masyarakat pengguna

layanan. Selama proses penelitian interaksi petugas dengan masyarakat jarang

sekali ditemukan, hal tersebut dikarenakan secara oprasional tidak adanya

petugas front office, keamanan, maupun petugas informasi yang vis a vis

dengan masyarakat. Akan tetapi ketika ada masyarakat yang bertanya secara

personal, personel terminal nampak hangat sopan.

Satu-satunya indikator yang dapat di ukur dari sikap dan ketegasan personel

terminal adalah pelayanan penarikan retribusi bus yang masuk terminal dan

retribusi parkir umum. Penarikan retribusi bus nampak beroperasi sesuai

dengan semestinya, setiap bus yang masuk dikenakan retribusi sesuai trayek,

dan jenis bus tersebut.

Hal berbeda justru terjadi pada penarikan retribusi parkir kendaraan umum,

sikap kurang tegas personel terhadap pengguna jasa parkiran sangat jelas

terlihat. Dimana petugas parkiran secara teknis tidak mengoperasikan palang


104

pintu parkiran sesuai fungsinya, palang pintu masuk dibiarkan terus terbuka

sehingga pengguna jasa parkiran dengan leluasa keluar dan masuk lewat

palang pintu masuk parkiran. Penarikan retribusi jasa parkiran sebenarnya

dilakukan, akan tetapi karena kurangnya ketegasan personel sehingga hanya

terbatas pada pengguna jasa yang sadar dan keluar lewat palang pintu keluar

parkiran.

Menurut hasil wawancara dengan salah satu personel parkiran hal tersebut

dapat disimpulkan karena kebanyakan pengguna jasa parkiran adalah para

pedagang di terminal dan orang-orang yang sudah kenal dekat terutama yang

sering keluar masuk parkiran sehingga penarikan jasa parkiran jarang

dilakukan. Sedangkan untuk mobil dan pengguna parkiran yang baru atau

hanya menjemput biasanya dilakukan penarikan retribusi jasa parkir.

Kurang tegasnya personel terminal, juga dapat dilihat dari pengaturan

lalulintas di area terminal, seperti yang telah diuraikan pada sub indikator

kualitas pelayanan sebelumnya. Banyaknya armada bus kecil/sedang AKDP

dan elf yang ngetem di depan terminal setelah keluar dari teminal, secara

tidak langsung akan menurunkan kualitas pelayanan dan akumulasi

penumpang di dalam terminal.

Tidak adanya jaminan dan kepastian mengenai kasus tersebut menyebabkan

penumpang lebih memilih naik di depan terminal yang secara durasi dan

oprasional akan lebih singkat karena tidak dua kali ngetem. Kondisi

tersebut seperti yang diungkapkan oleh Jeje di atas yang dari pernyataannya
105

dapat disimpulkan alasan kenapa tidak turun di dalam terminal (turun di

depan terminal) karena bus yang ditumpanginya tidak masuk ke dalam

terminal, dan lebih cepat menunggu bus (bus kecil AKDP jurusan Cineam) di

depan terminal karena bus yang baru keluar dari terminal selalu ngetem lagi

di depan terminal.

Hal tersebut terjadi karena selain ketidakdisiplinan pengemudi dan


32
penumpang bus . Juga secara tidak langsung diakibatkan karena jarangnya

penertiban yang dilakukan personel terminal atau Dalop terhadap pengemudi

bus yang tidak disiplin.

Hal lainnya nampak jelas pada ketidakmampuan personel terminal atau Dalop

dalam mengarahkan armada bus AKAP/AKDP tujuan Tasikmalaya masuk

kedalam terminal, untuk menurunkan penumpang dengan tujuan akhir

Tasikmalaya yaitu Terminal Indihiang.


33
Menurut Aay Zaini pihaknya telah beberapa kali melakukan penilangan

terhadap beberapa armada bus yang tidak masuk ke dalam terminal. Akan

tetapi hal tersebut tidak berpengaruh, karena ijin operasional bus tersebut dari

awal juga (sebelum di ambil alih pusat) dikeluarkan oleh pusat, sehingga

pihaknya (DISHUB) tidak dapat memberikan sanksi tegas berupa pencabutan

ijin opersional terhadap bus yang melanggar.

32
Menurut jeni sekertasis UPTD Terminal Indihiang salah satu faktor yang menyebabkan terminal
sepi adalah sikap tidak disiplin pengemudi dan penumpang armada bus yang naik dan turun di
tempat yang tidak semestinya seperti depan terminal, Rancabango, dan tempat lainnya yang sering
dijadikan tempat atau titik-titik menaikan dan menurunkan terminal.
33
Wawancara dilakukan di Kantor DISHUBKOMINFO Kota Tasikmalaya, tanggal 3 Februari
2017
106

Terlepas dari adanya Ketentuan Menteri Perhubungan Darat Nomor 35 Tahun

2003 Bab IX Pasal 92 dan 93 tentang penyelenggaraan dan aturan pool untuk

menaikan dan menurunkan penumpang. Terminal tetap berfungsi sebagai titik

simpul dan prasarana sistem maupun jaringan transortasi yang berfungsi

sebagai pelayanan umum, pengawasan, pengendalian dan pengoperasian

lalulintas.

Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Aay Zaini yang dapat disimpulkan

bahwa meskipun dalam ketentuannya (Km 35 Tahun 2003) armada bus

diijinkan berangkat dan menaikan atau menurunkan penumpang di pool.

Akan tetapi hal tersebut tidak menggugurkan kewajiban setiap armada bus

untuk masuk ke dalam terminal baik untuk keberangkatan maupun

kedatangan, dikarenakan fungsi terminal dalam aturannya adalah sebagai

simpul jaringan transportasi.

Akan tetapi karena perusahaan otobus menganggap KM 35 Tahun 2003

sebagai landasan oprasionalnya di tambah tidak ada aturan yang mewajibkan

kedatangan harus ke terminal mengakibatkan armada bus terus mengulangi

kebiasaannya dalam proses kedatangan yaitu tidak masuk ke dalam terminal.

4.5.1.5 Empathy

Empathy merupakan perlakuan atau kemampuan provider penyelenggara

pelayanan dalam memberikan perhatian kepada pengguna layanan secara

personal atau pribadi. Perhatian personel terhadap masyarakat pengguna

layanan di dalam terminal sulit di identifikasi, karena secara pembagian tugas


107

personel di Terminal Indihiang tidak ada yang secara langsung berinteraksi

dengan pengguna layanan transportasi. Perhatian provider pelayanan

transportasi di terminal hanya dapat dilihat dari fasilitas yang diperuntukan

dalam memberikan perhatian khusus maupun interaksi secara personal.

Secara pribadi perhatian provider terhadap masyarakat pengguna layanan jasa

transportasi di terminal dapat di lihat dari beberapa indikator diantaranya,

tersedianya ruang kesehatan bagi masyarakat yang membutuhkan, keberadaan

ATM center, dan perhatian penyelenggara pelayanan terhadap keluhan dan

aduan masyarakat baik secara personal ataupun lewat kotak saran dan

pengaduan.

Perhatian penyelenggara pelayanan, di lihat dari fasilitas yang tersedia dan

beroperasi di dalam terminal memberikan sedikit gambaran tentang lemahnya

perhatian pemerintah. Tidak berfungsinya fasilitas kesehatan yang merupakan

sense of care pemerintah, memperlihatkan bahwa pemerintah tidak memiliki

perhatian dan kepedulian terhadap keselamatan, kenyamanan dan keamanan

masyarakat selaku pengguna pelayanan transportasi.

Secara fungsi, fasilitas kesehatan sangat menunjang terhadap keselamatan dan

rasa aman bagi masyarakat, meskipun pengguna layanan tersebut sangat

jarang tetapi paling tidak ruang kesehatan secara periodik harus/dapat

digunakan untuk cek kesehatan fisik dan kesiapan pengemudi bus sebelum

beropersi, sehingga rasa aman dan keselamatan dapat dirasakan oleh

masyarakat.
108

Tidak tersedianya fasilitas ATM centre juga dapat dikategorikan dalam sikap

kurang peduli penyelenggara pelayanan terhadap pengguna layanan secara

personal. Hal ini dikarenakan fasilitas ATM merupakan fasilitas yang

digunakan hanya oleh sebagian orang tertentu saja yang membutuhkan uang

tunai dan dilakukan secara individu. Keberadaan ATM juga menjadi daya

tarik bagi masyarakat, sekaligus sebagai ciri yang menyatakan bahwa tempat

tersebut berada di pusat keramaian, yang memberikan perhatian pada akses

dan kemudahan bagi pengguna layanan secara personal.

Banyaknya keluhan yang dirasakan oleh pengguna layanan, yang secara

umum dapat di lihat dari penurunan kualitas pelayanan. Khusunya seperti

yang telah diuraikan pada sub indikator kualitas pelayanan diatas.

Keberadaan kotak saran atau ruang pengaduan sebenarnya menjadi

instrument yang memiliki urgensi terhadap terjadinya proses feed back dalam

kelangsungan pelayanan di dalam terminal. Sehingga akan didapatkan suatu

informasi yang menurut masyarakat sangat diperlukan, baik untuk perbaikan

pelayanan, penindakan, maupun perhatian lainnya.

Selama penelitan berlangsung tidak nampak fasilitas pengaduan ataupun

kotak saran di area terminal. Hal tersebut setidaknya membuktikan bahwa

kualitas pelayanan secara aspek emphaty sangat minim diberikan oleh

pemerintah dan menutup kemungkinan terjadinya interaksi personal antara

personel dan masyarakat dalam menyampaikan keluhan, pengaduan dan

masukan lainnya.
109

Menurut Dessler (2000) dalam Mukarom (2016: 54) penilaian kinerja adalah

upaya sisematis untuk membandingkan hasil yang dicapai seseorang

dibandingkan dengan standar yang ada. Tujuannya adalah untuk mendorong

kinerja seseorang agar dapat di atas rata-rata. Dalam birokrasi, pelayanan

kinerja berarti evaluasi keberhasilan atau kegagalan dalam menjalankan

tugasnya sebagai pelayan masyarakat.

Dari hasil evaluasi mengenai fungsi pemerintah Kota Tasikmalaya dalam

optimalisasi fungsi terminal Tipe A Indihiang sebagai basis pelayanan

transportasi publik. Baik yang berorientasi pada hasil seperti aspek kualitas

pelayanan yang bersifat tangibles, maupun yang berorientasi pada proses

seperti kualitas pelayanan dari aspek reliability, responsiveness, assurance,

dan empathy yang telah di uraikan di atas. Kinerja pemerintah dalam

mengelola terminal sebagai basis pelayanan publik di bidang transportasi

masih jauh dari standar yang ada. Pemerintah juga kurang kompetitif dari segi

pelayanan dibandingkan dengan provider swasta, bahkan pelayanan

transportasi terkesan didominasi satu provider sehingga menimbulkan


34
monopoli di bidang transportasi publik.

Lebih lanjutnya seperti yang didefinisikan Dessler, dalam Mukarom (2016)

pelayanan kinerja birokrasi yang demikian tersebut, dikatakan tidak berhasil

34
Menurut salah satu perwakilan PO.BSI di terminal, salah satu faktor yang menyebabkan
terminal sepi penumpang adalah adanya dominasi salah satu armada bus terlebih dengan
beroperasinya pool, dengan jumlah armada yang banyak mampu menguasai trayek dan jadwal
keberangakatan. Sehingga secara perlahan mampu memonopoli jasa transportasi dengan trayek
yang banyak dan lengkap hampir ke semua kota besar di Jawa. Dan melalui jadwal keberangkatan
yang cepat dan tepat masyarakat lebih memilih naik dan turun di pool karena lebih representatif,
baik dari akses maupun fasilitas.
110

atau dalam pengertian kasarnya pemerintah telah gagal dalam menjalankan

tugasnya sebagai pelayan masyarakat. Hal tersebut bahkan secara jelas dapat

di lihat tidak hanya dari penurunan kualitas pelayanan di dalam terminal,

tetapi juga dapat di lihat dari sepinya penumpang yang naik dan turun di

dalam terminal bahkan jika dibandingkan dengan akumulasi penumpang dari

beberapa pool dan terminal bayangan terminal masih kalah ramai.

4.5.2 Negara dan Lemahnya Governability

Governability atau kemampuan tata kelola memerintah merupakan suatu

hubungan kausalitas antar entitas dalam suprastruktur negara dengan

elemen-elemen dalam infrastruktur negara, yang didalamnya juga termasuk

sektor private (pasar, baik swasta maupun BUMN/BUMD) yang memiliki

peran saling mengontrol dan menyeimbangkan (chek and balance). Selain itu

hubungan yang terjalin antar entitas tersebut jika di lihat dari konsep

governance adalah seimbang (untuk tidak menyebut setara) sesuai dengan

fungsinya dan saling membangun jaringan interkasi yang konstruktif dan

sinergi. Sehingga apabila tidak terjadi chek and balance terhadap peran dan

fungsi antar ketiga entitas tersebut, maka akan terjadi pembiasan dari

kemampuan tata kelola memerintah, bahkan Akan menimbulkan dominasi

atau monopoli satu entitas terhadap domain-domain entitas lainnya.

Kondisi terminal yang kurang terawat dan hampir terbengkalai tersebut, jika

di lihat dari penurunan kualitas pelayanan, sebagaimana yang telah di uraikan

pada sub bab 4.5 di atas. Secara perlahan telah mengurangi peran dan fungsi
111

terminal sebagai basis pelayanan transportasi publik. Sementara itu beberapa

pool perusahaan otobus terus melakukan pengembangan baik dari aspek

fasilitas, maupun pelayanan yang lebih representatif. Sehingga akumulasi

penumpang yang naik dan turun untuk keberangkatan dan kedatangan lebih

ramai di poll maupun di terminal bayangan daripada di terminal.

Dari dua kondisi tersebut setidaknya memberikan gambaran sederhana

tentang permasalahan yang terjadi mengenai governability pemerintah Kota

Tasikmalaya dalam optimalisasi fungsi terminal. Khususnya mengenai posisi

pemerintah ketika vis a vis dengan sektor private atau swasta dalam

pengelolaan jasa transportasi.

Menurut Aay Zaini dalam wawancara mengenai penurunan fungsi terminal

yang kurang optimal, didapatkan kesimpulan bahwa tidak optimalnya fungsi

terminal hanya pada aspek kepantasan saja, selama masyarakat terlayani oleh

angkutan transportasi semuanya tidak ada masalah. Lebih lanjutnya

diungkapkan bahwa untuk menindaklanjuti optimalisasi terminal tersebut

harus dilakukan review terhadap perencanaan dan kebijakan terminal. Bahkan

bila perlu serahkan saja ke swasta kalau swasta lebih siap membangun

terminal.

Dari pernyataan tersebut mengungkapkan bahwa posisi pemerintah ketika vis

a vis dengan pengusaha otobus cenderung lemah. Dimana selama ini

penurunan fungsi pemerintah dalam pelayanan transportasi publik, yaitu

penyelenggaraan prasarana sistem dan jaringan transportasi terminal yang


112

kurang optimal sebagai titik simpul dari integrasi moda transportasi, dan

akumulasi penumpang di anggap sebagai hal yang wajar. Karena meskipun

kondisi terminal kurang optimal dan sepi, pemerintah menganggap

masyarakat yang membutuhkan pelayanan trasnsportasi masih dapat terlayani

oleh angkutan transportasi baik itu yang naik di pool maupun di titik-titik

yang dijadikan terminal bayangan

Pada sub bab ini, akan lebih membahas mengenai governability pemerintah

Kota Tasikmalaya dalam tata kelola sistem transportasi publik di terminal.

Baik yang berhubungan dengan sektor private atau pengusaha otobus maupun

dengan masyarakat sebagai pengguna jasa transportasi publik.

35
Lokus penelitian ini penulis batasi sampai akhir bulan Desember 2016 ,

dengan pertimbangan terhadap Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor SE

29 tanggal 5 Agustus 2015 tentang Pelaksanaan Standar Pelayanan

Penyelenggaraan Terminal Penumpang Angkutan Jalan. Dimana hal-hal yang

terkait dengan fungsi teknis dan administrasi terminal termasuk di dalamnya

adalah personel, penganggaran, sarana, prasarana, dan dokumen di ambil alih

dan diserahterimakan dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat.

Terminal selama hampir satu dekade terakhir, apabila di lihat dari pola

hubungan antar elemen dalam governance. Khususnya dalam interaksi

jaringan antara pemerintah dengan pengusaha otobus cenderung tidak

35
Hal ini dikarenakan per satu Januari tata kelola Terminal Indihiang telah resmi di ambil alih oleh
pemerintah pusat. Sehingga manajemen dan aturan-aturan dalam terminal disesuaikan dengan
aturan KEMENHUB. Salah satu contoh kongkretnya adalah pencatatan dan inspeksi terhadap bus
yang akan beroperasi dimana sebelumnya belum pernah dilakukan.
113

seimbang dan bersifat monopilistik. Dimana fungsi dan peran pemerintah

dalam memberikan layanan di bidang jasa transportasi seakan di kooptasi

oleh pengusaha otobus melalui keberadaan pool yang lebih representatif. Baik

dari segi fasilitas, akses menuju pool, maupun pelayanan yang diberikan,

terutama dalam waktu keberangkatan dan ketersediaan sheat bagi

penumpang. Sehingga penyelenggaraan pelayanan jasa transportasi di dalam

terminal tidak lagi bersifat primer, melainkan sekunder bahkan provider

swasta lebih dominan dibandingkan pemerintah, dalam hal akumulasi dan

kualitas pelayanan jasa transportasi publik.

Bergesernya penyelenggaraan pelayanan terminal dari primer menjadi

sekunder menurut Aay Zaini dikarenakan dalam setiap pelayanan penumpang

dibutuhkan infrastruktur baik pelayanan di udara maupun di darat. Akan

tetapi pelayanan penumpang darat tidak bisa independent. Karena

karakteristik transportasi darat berhenti dimana saja, jangankan di jalanan di

depan terminal saja penumpang dapat menunggu karena armada bus lewat

kesana.

Dari pernyataan tersebut dapat di tarik kesimpulan bahwa penyelenggaraan

pelayanan transportasi publik tidak dapat dipisahkan (dependensi) dari pihak

lain di luar pemerintah, karena pelayanan transportasi akan selalu menjalin

interaksi sistem dan jaringan dengan pihak lain (swasta). Pengusaha atau

swasta bertindak sebagai co-produser dalam pelayanan transportasi, yang

berfungsi menyelenggarakan sarana transportasi (armada) tetapi bukan untuk


114

menyelenggarakan prasarana transportasi (terminal/pool). Akan tetapi karena

karakteristik transportasi darat yang dapat berhenti di mana saja, justru

menimbulkan masalah baru baik dari ketidakdisiplinan penumpang maupun

pengemudi untuk naik dan turun di tempat yang tidak ditentukan. Sehingga

secara tidak langsung mengurangi fungsi terminal sebagai titik simpul

jaringan transportasi dan akumulasi penumpang. Terlebih dengan adanya

provider swasta yang menyelenggarakan fasilitas prasarana transportasi

(pool)

Disamping itu interaksi yang terjadi kurang bersifat konstruktif dan sinergi,

justru cenderung destruktif, hal tersebut terjadi karena terminal dan pool

memiliki regulasi masing-masing yang secara teknis maupun oprasional dapat

melemahkan fungsi terminal, bahkan beberapa perusahaan otobus seakan

menerapkan kebijakan sendiri terhadap personelnya untuk tidak ngetem lebih


36
dari 5 menit . Hal tersebut terlihat jika kursi penumpang bus telah terisi

penuh dari pool dan terminal bayangan, armada bus hanya lewat saja ke

dalam terminal untuk bayar retribusi di TPR.

Konfirmasi mengenai hal tersebut menurut Helmi dalam wawancaranya dapat

disimpulkan bahwa, armada bus yang hanya lewat ke dalam terminal dan

tidak singgah tersebut, tidak menyalahi aturan karena telah sesuai dengan

jadwal keberangkatan. Pihaknya (armada bus) tidak singgah di terminal

karena di dalam terminal jarang ada penumpang, jadi untuk alasan epektifitas

36
Informasi mengenai ketentuan tersebut, di terima dari Wiki personel PO.Budiman, sekaligus
calo tasik-jakarta dan sebagai teman dekat H.Shaleh Budiman.
115

proses atau jadwal keberangkatan di terminal disesuaikan dengan jadwal di

pool, sehingga armada bus tidak perlu lagi singgah di terminal karena dalam

jadwal keberangkatan sudah waktunya untuk berangkat.

Meskipun keberangkatan armada bus telah sesuai jadwal keberangkatan, hal

tersebut menurut A. Imron tetap saja menyalahi aturan karena armada bus

yang akan berangkat harus berada di plataran keberangkatan minimal 15

menit sebelum berangkat.

Selama proses penelitian di temukan banyak sekali armada bus pada saat libur
37
panjang yang hanya lewat ke dalam terminal karena sheat bus telah terisi

penuh oleh penumpang. Sehingga penumpang yang menunggu keberangkatan

dari terminal tidak terangkut karena bus telah terisi penuh oleh penumpang

dari pool dan terminal bayangan.

Hal tersebut menstimulus masyarakat sebagai pengguna jasa transportasi

(terutama masyarakat Kota Tasikmalaya) untuk naik dan turun di pool atau

terminal bayangan daripada di dalam terminal. Bahkan pada hari biasa

banyak armada bus yang hanya lewat apabila di dalam terminal tidak terdapat

sewa penumpang, padahal menurut salah satu staf UPTD Terminal Indihiang
38
armada bus diharuskan berada di area keberangkatan 10-15 menit sebelum

jadwal keberangkatan.

Kondisi tersebut secara perlahan telah melemahkan governability Pemkot

37
Observasi dilakukan tanggal 2 & 3 Januari 2017 saat terjadi arus balik penumpang.
38
Wawancara dilakukan dengan staf UPTD Terminal Indihiang A.Imron tanggal 12 Desember
2016 di area Terminal Indihiang
116

Tasikmalaya khususnya dari segi fungsional. Baik dari efektifitas fungsi

terminal yang kurang optimal sebagai prasarana sistem/jaringan transportasi

yang terintegral antar atau intra moda transportasi. Maupun dari efisiensi

implementasi fungsi terminal sebagai titik simpul pergerakan masyarakat

pengguna jasa transportasi.

Di lihat dari political governance maupun administrative governance,

pemerintah kurang tegas dalam menyusun dan mengimplementasikan regulasi

yang berhubungan dengan terminal dan pool. Dalam prosesnya regulasi

mengenai terminal sebenarnya telah diamanatkan dalam konstitusi daerah

Kota Tasikmalaya berupa Perda maupun Perwalkot. Diantaranya Perda Kota

Tasikmalaya Nomor 10 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Lalulintas dan

Angkutan Jalan, dimana pada pasal 45 butir a dan b disebutkan bahwa jasa

pelayanan terminal meliputi jasa naik/turun penumpang, bongkar muat barang

dan fasilitas parkir kendaraan umum untuk menunggu waktu keberangkatan,

yang semua layanan tersebut dinikmati oleh pengusaha angkutan.

Perda tersebut di pertegas dengan Perwalkot Kota Tasikmalaya Nomor 9

Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terminal Bus di Kota

Tasikmalaya yang disebutkan pada pasal 7 ayat 1 butir b bahwa kendaraan

angkutan AKAP dan AKDP serta angkutan perbatasan dengan jenis bis

sedang dan besar untuk memperlancar arus lalu lintas masuk dan keluar

kendaraan di dalam terminal, di atur sebagai berikut:

e) memasuki terminal melalui gerbang masuk ke area kedatangan,


117

f) setelah menurunkan penumpang langsung memasuki tempat

tunggu atau parkir kendaraan umum,

g) masuk ke tempat keberangkatan sesuai dengan jadwal waktu yang

telah ditetapkan,

h) keluar komplek terminal menggunakan jalur keberangkatan.

Dari kedua regulasi tersebut, tidak di singgung sedikit pun tentang

keberadaan pool sebagai tempat untuk menaikan dan menurunkan

penumpang atau barang. Satu-satunya tempat yang dijadikan prasarana dalam

sistem transportasi untuk naik/turun penumpang atau barang adalah terminal.

Bahkan jelas disebutkan bahwa arus lalulintas di dalam terminal

menghendaki bus yang selesai beroperasi (datang) dan akan beroperasi

(berangkat) menunggu di plataran parkir kendaraan umum untuk menunggu

jadwal masuk plataran keberangkatan sesuai jadwal yang telah ditentukan.

Faktanya regulasi tersebut hanya bersifat semantik dan tidak mampu

mengikat atau memaksa armada bus maupun penumpang untuk menggunakan

terminal sebagai prasarana naik dan turun moda transportasi. Hampir semua

armada bus yang memiliki pool lebih memilih untuk beristirahat, menunggu

jadwal keberangkatan, bahkan menaikan dan menurunkan penumpang atau

barang di pool masing-masing, akibatnya area parkir kendaraan umum yang

berkapasitas 43 SRP yang artinya mampu menampung 43 bus besar tidak lagi

beroperasi.

Lebih jauhnya kondisi tersebut menstimulus penumpang untuk naik dan turun
118

di pool atau terminal bayangan yang secara aksesbilitas dan pelayanan lebih

representatif. Kondisi tersebut juga menimbulkan stereotif tentang buruknya

manajemen pelayanan di dalam terminal terutama dari segi integrasi moda

transportasi, jadwal keberangkatan dan jaminan ketersediaan sheat bagi

penumpang di terminal.

Hal tersebut turut dirasakan oleh Ihsan, dirinya mengaku bahwa selama ini

belum pernah naik atau turun di terminal, karena tidak ada kepastian

mengenai jadwal keberangkatan. Terlebih sebagai karyawan pabrik yang

pulangnya hanya pada saat libur panjang mrngharuskannya untuk naik di

pool supaya dapat tempat duduk di dalam bus.

Pengembangan pool sendiri menurut Asep Sutarman dan Iwan sudah sesuai

dengan ketentuan Menteri Perhubungan Darat Nomor 35 Tahun 2003 Bab IX

Pasal 92 dan 93 tentang penyelenggaraan dan aturan yang membolehkan

menaikan dan menurunkan penumpang di pool. Regulasi ini juga dijadikan

landasan bagi perusahaan otobus untuk menyelenggarakan dan

mengembangkan pelayanan yang prima.

Regulasi tersebut juga berdampak pada ternegasikannya rekomendasi yang

diberikan oleh pihak DISHUBKOMINFO Kota Tasikmalaya. Dimana

rekomendasi yang diberikan terbatas hanya untuk menyimpan, merawat dan

mengelola kendaraan bukan untuk menaikkan atau menurunkan penumpang.

Selain itu tidak diperkenankan ada jalur pemberangkatan dari pool karena
119

39
dalam rekomendasi tersebut jalur pemberangkatan hanya boleh dari terminal

Adanya tumpang tindih regulasi antara Pemda Kota Tasikmalaya dengan

Kementrian Perhubungan, setidaknya menjelaskan tentang kurang sinerginya

peran dan fungsi negara dalam proses formulasi kebijakan. Dimana

pemerintah pusat kurang memperhatikan interaksi antar berbagai varian yang

saling berhubungan dan menimbulkan kausalitas terhadap varian lainnya.

Menurut Ali (2012) kebijakan harus lebih dipandang sebagai arah dan pola

dari serangkaian kegiatan dan bukan sekedar keputusan untuk melakukan

sesuatu.

Ketentuan Menteri Perhubungan Darat Nomor 35 Tahun 2003 Bab IX Pasal

92 dan 93, di lihat dari arah dan pola kebijakan tersebut, mengindikasikan

adanya perluasan kewenangan pasar atau swasta dalam mengelola bisnis

transportasi melalui keberadaan dan pengembangan pool. Hal tersebut jelas

terlihat pada pola interaksi antar pool dan terminal, dimana simbiosis yang

terjadi kurang memihak pada optimalisasi terminal. Justru di tengah

menurunnya kualitas pelayanan dan sekelumit permasalahan, terminal

dituntut berkompetisi dengan pihak swasta yang terus melakukan

pengembangan menuju pelayanan yang prima. Akibatnya penyelenggaraan

pelayanan jasa transportasi lebih terkonsentrasi dan terakumulasi di pool

39
Lihat wali kota tak punya taring menertibkan pool
http://www.tasikplus.com/sosial/item/920-walikota-tak-punya-taring-menertibkan-pool-bus
diakses tanggal 10 Januari 2017 pukul 08.00 WIB
120

ataupun terminal bayangan lainnya dari pada di Terminal Indihiang yang

kurang kompetitif dan representatif dalam memberikan pelayanan yang

prima.

Menanggapi hal tersebut menurut Felix dalam wawancara singkatnya dapat

disimpulkan bahwa terminal tidak dapat bersaing karena minimnya alokasi

anggaran dari Pemkot untuk pengembangan dan perawatan fasilitas terminal.

Lebih lanjutnya dia menegaskan bahwa kedepannya akan dilakukan

peninjauan kembali tentang KM 35 tahun 2003 pasal 92 dan 93, dan bila

perlu akan dilakukan revisi dan pencabutan regulasi tersebut dengan regulasi

yang baru. Yang bersifat win win solution antara pemerintah pusat dan

pengusaha otobus.

Kompetisi dalam penyelenggaraan pelayanan transportasi publik, justru

terjadi antar perusahaan otobus, khususnya antara pool Primajasa dan

Budiman. Dengan dalih Ketentuan Menteri Perhubungan Darat Nomor 35

Tahun 2003 kedua perusahaan tersebut terus melakukan pengembangan dan

perluasaan pool. Bahkan pool Budiman telah melakukan reduplikasi fungsi

dan fasilitas terminal dengan menerapkan sistem text line lengkap dengan
40
tujuan dan jadwal keberangkatan , sehingga memberikan kemudahan bagi

pengguna layanan transportasi.

40
Menurut Felix hal tersebut lebih tepat disebut sebagai terminal swasta (terminal Budiman)
ketimbang disebut sebagai pool. Karena dari segi fasilitas, dan fungsinya menyerupai fungsi
terminal, khususnya dari segi pemberangkatan yang dilengkapi dengan text line jadwal dan tujuan
pemberangkatan.
121

Hal tersebut sesuai dengan ungkapan H. Shaleh pemilik PO. HSB (Haji

Shaleh Budiman) yang menyatakan bahwa renovasi dan pengembangan

fasilitas ruang tunggu penumpang di pool telah sesuai dengan instruksi

Kementerian Perhubungan, untuk memberikan pelayanan yang nyaman dan

prima. Lebih lanjutnya dia mengungkapkan bahwa terminal punya aturan,

pool juga punya aturan, masyarakat ada yang naik dari terminal maupun dari

pool, kondisi tersebut menurutnya tidak akan berpengaruh terhadap kondisi


41
terminal .

Sementara itu menurut salah satu staf UPTD Terminal Indihiang42 ,

keberadaan pool justru menjadi salah satu faktor sepinya penumpang.

Terlebih adanya peraturan yang ambigu mengenai jarak minimal antara pool

dan terminal dalam KM 35 tahun 2003.

Penyelenggaraan pool sendiri dari sudut pandang pengusaha otobus menurut

Iwan harus di pandang dari dua perspektif. Pertama sebagai kompetisi antar

provider dalam bisnis jasa transportasi dan kedua sebagai strategi pelayanan

yang ditawarkan oleh provider untuk meraih segmentasi pasar dalam bisnis

jasa transportasi. Dari kedua perspektif tersebut keberadaan dan

pengembangan pool menjadi suatu keharusan bagi pengusaha otobus, karena

selain persaingan dalam pelayanan tarif dan armada bus, keberadaan pool

41
Lihat wali kota tak punya taring menertibkan pool
http://www.tasikplus.com/sosial/item/920-walikota-tak-punya-taring-menertibkan-pool-bus
diakses tanggal 10 Januari 2017 pukul 08.00 WIB
42
Wawancara dilakukan dengan A. Imron
122

yang aman, nyaman, dan prima dalam pelayanan juga menjadi strategi yang

tidak dapat dipisahkan dari upaya untuk meraih segmentasi pasar dan

pelanggan.

Salah satu bentuk kompetisi dan strategi pelayanan tersebut dapat di lihat dari

bagaimana provider yang berkompetisi melakukan berbagai upaya

pengembangan dan pembangunan pool yang lebih representatif dalam

memberikan layanan yang prima. Seperti layanan dan fasilitas yang terus

dikembangkan oleh PO. Budiman dimana untuk meraih segmentasi pasar jasa

transportasi publik dilakukan pengembangan fasilitas-fasilitas pool, seperti

pembangunan gedung baru berlantai tiga, text line jadwal dan tujuan

pemberangkatan, vip lounge, tiket online, mini market, dan yang masih

menjadi fasilitas ekslusif diantara provider lainnya adalah fasilitas ATM

centre, caf/restro, booking taksi dan shuttle bus atau travel dalam satu area

pool, dan fasilitas integrasi khusus super eksekutif online. Dimana dengan

tarif Rp.125.000 penumpang asal Jakarta khusus Tujuan Tasikmalaya Kota,

penumpangnya sudah di cover oleh pelayanan taksi tanpa dikenai charge lagi.

Keunggulan pelayanan yang prima ini tentunya menjadi strategi dan lock

factor dalam meraih segmentasi pasar jasa transportasi. Sehingga pool

Budiman manjadi pool andalan dan pilihan utama bagi pengguna layanan

transportasi publik di Kota Tasikmalaya dibandingkan pool Primajasa bahkan

Terminal Indihiang yang seharusnya menjadi basis pelayanan transportasi

publik.
123

Menanggapi hal tersebut Aay Zaini Dahlan mengungkapkan bahwa kalau

masyarakat ingin mengembangkan pelayanan transportasi buat apa ada

pemerintah. Terlebih dia (pengusaha) sudah mampu melayani sendiri malah

melayani orang banyak, justru peran pemerintah jadi ringan. Lebih lanjutnya

peran arogansi pengusaha justru membantu pemerintah dalam memberikan

pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah tinggal mengontrol tarif dan

penarikan retribusi.

Dari ungkapan tersebut, mengidentifikasikan bahwa selama ini peran

pemerintah dalam penyelenggaraan prasarana transportasi semakin

ternegasikan oleh keberadaan provider swasta, yang lebih representatif dan

menjadi andalan masyarakat Kota Tasikmalaya dalam jasa transportasi.

Bahkan pada eskalasi ketidakmampuan Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam

menyelenggarakan jasa transportasi publik, pemerintah justru seakan

membiarkan dan menyerahkan penyelenggaraan jasa transportasi publik

kepada swasta, yang dianggap membantu dalam memberikan pelayanan

angkutan transportasi kepada masyarakat.

Dengan dalih tumpang tindih regulasi, pemerintah Kota Tasikmalaya sama

sekali tidak mampu mengoptimalkan fungsi terminal yang sepi dan hampir

terbengkalai. Selama ini pemerintah mengungkapkan bahwa meskipun

akumulasi penumpang di terminal sepi tetapi dari aspek TPR atau retribusi

untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) tetap tercapai setiap tahunnya.


124

Persaingan dalam jasa angkutan umum sendiri telah diatur dalam

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 pasal 198. Dimana jasa angkutan

umum diberikan ruang untuk berkembang menjadi industri jasa yang

memenuhi standar pelayanan sekaligus untuk mendorong persaingan yang


43
sehat antar provider. Akan tetapi menurut Iwan pemerintah selama ini

kurang peduli terhadap beberapa armada bus yang masih konsisten menaikan

atau menurunkan penumpang di dalam terminal. Dimana pemerintah kurang

memberikan ruang yang sama kepada pengusaha untuk melakukan usaha,

karena selama ini hanya perusahaan bus besar yang dapat membangun dan

mengembangkan pool yang pool-seatle (dilengkapi dengan fasilitas

pelayanan untuk menaikan dan menurunkan penumpang) sehingga

penumpang dapat terakumulasi di pool pengusaha otobus tersebut. Sementara

perusahaan bus yang tidak memiliki fasilitas pelayanan pool-seatle justru

mengandalkan akumulasi penumpang di dalam terminal yang tidak kunjung

ramai.

Kurangnya kepedulian tersebut tercermin dari bagaimana pemkot Kota

Tasikmalaya (Wali Kota) selama ini tidak mampu berperan dalam

mengaktifkan kembali atau mengoptimalisasi fungsi terminal sesuai dengan

tugas pokok dan fungsinya. Peran Pemkot Kota Tasikmalaya sebagai daerah

otonom, yang memiliki regulasi dan kebijakan dalam mengatur pemerintahan

di aras lokal. Khususnya perihal optimalisasi terminal sama sekali

43
Diolah Dari data dan informasi yang didapatkan selama proses wawancara dengan Iwan.
125

terbenamkan oleh Ketentuan Menteri Nomor 35 Tahun 2003 dan


44
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 .

Pemerintah selama ini tidak mampu memberikan funishment terhadap

keberadaan pool yang nyata-nyata menyelenggarakan pelayanan di luar

rekomendasi Dinas Perhubungan Kota Tasikmalaya. Hal tersebut menurut

Aay Zaini Dahlan dikarenakan selama ini penyelenggaraan pool merupakan

hak pengusaha dan telah di atur bahkan diwajibkan oleh ketentuan Menteri

Perhubungan (KM 35 Tahun 2003). Selama penyelenggaraan pool tersebut

telah mendapatkan ijin maka tidak ada yang bisa melarang. Masalah perijinan

sendiri menurutnya di bagi-bagi, dimana untuk pelayanan taksi dikeluarkan

oleh Pemerintah Kota, bus 3/4 (AKDP) dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi

dan bus besar (AKAP) dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat.

Di lain sisi pemerintah juga tidak mampu memberikan insentif bagi

pengusaha otobus yang tidak mampu bersaing karena tidak memiliki

pelayanan pool-seatle. Baik dari segi aksesbilitas menuju terminal untuk

meramaikan penumpang di dalam terminal, maupun dari penertiban terhadap

bus-bus kelas bisnis yang kerap kali menaikan dan menurunkan penumpang

di luar keagenan (terminal dan pool) yaitu di Rancabango, Balekota, Jati,

Parakanhonje, dan depan terminal. Karena hal tersebut seharusnya menjadi

sewa atau jatah bus-bus kelas ekonomi yang dapat menaikan penumpang di

sembarang tempat.

44
Ibid,
126

Padahal apabila pengusaha otobus selama ini berlindung di balik

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, pemerintah sebagai katalisator

diberikan kewenangan dalam pasal 198 ayat 2 khususnya butir a, yaitu untuk

menetapkan segmentasi atau klasifikasi pasar. Dan butir e yaitu untuk

mengendalikan dan mengawasi pengembangan industri jasa angkutan umum.

Dari problematika dan realitas yang terjadi di lapangan, pemerintah bukan

hanya tidak mampu mengoptimalikan fungsi terminal dari segi aksesbilitas,

fasilitas, dan kualitas pelayanan. Akan tetapi pemerintah juga tidak mampu

memberikan ruang yang sama untuk berkompetisi secara sehat dalam

menentukan segmentasi dan klasifikasi pasar jasa transportasi.

Dimana selama ini tidak terjadi disinsentive dari pemerintah terhadap

perusahaan bus yang telah memiliki dan mengembangkan pelayanan di pool,

khususnya bus kelas bisnis untuk tidak menaikan penumpang selain di

terminal dan keagenan atau pool. Seharusnya pemerintah memberikan

segmentasi penumpang yang naik di terminal bayangan atau sembarang

tempat kepada perusahaan bus yang tidak memiliki fasilitas pool-seatle


45
khususnya bus kelas ekonomi, sebagai insentif dari ketidakmampuan

pemerintah dalam mengoptimalkan fungsi terminal sebagai basis pelayanan

45
Insentif di sini dimaksudkan sebagai pemberian kemudahan karena mendapatkan perlakuan
tidak rasional. Dimana perusahaan otobus yang tidak memiliki fasilitas pool-seatle selama ini
menggantungkan sewa penumpang di terminal dan di pinggir jalanan khususnya buat bus
ekonomi. Akan tetapi pada kenyataannya kondisi terminal dari waktu ke waktu semakin sepi
sementara kondisi berbeda terlihat di pool yang semakin rame, bahkan bus-bus kelas bisnis turut
menaikana penumpang di sembarang tempat bukan di keagenan sesuai ketentuan. Dua hal tersebut
secara tidak langsung akan berdampak pada monopoli persaingan dan mengurangi sewa
penumpang di dalam terminal.
127

transportasi publik.

Peran pemerintah sebagai katalisator dalam mengendalikan dan mengawasi

jasa industri angkutan umum juga masih kurang optimal, bahkan pemerintah

selama ini seakan membiarkan lemahnya sistem pengawasan dan cenderung

memfasilitasi perusahaan otobus untuk berbagai kemudahan. Hal tersebut

dapat di lihat dari ketidakmampuan pemerintah (terjadi pembiaran) dalam

melakukan rekayasa lalulintas untuk mengoptimalkan fungsi terminal.

Dimana armada bus yang berasal dari arah barat Kota Tasikmalaya dengan

tujuan akhir Kota Tasikmalaya, selama ini hampir semua yang memiliki

fasilitas pool-seatle tidak diarahkan untuk memasuki terminal. Apalagi

armada bus dari dan tujuan kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur kerap kali
46
berangkat langsung dari pool tanpa masuk dulu ke terminal karena letak

pool yang berada di sebelah timur terminal, terlebih penumpangnya jarang

yang naik di terminal.

Lebih lanjutnya, lemahnya pengawasan dan pengendalian pemerintah

terhadap pengembangan industri jasa transportasi juga terlihat dari bagaimana

sikap pemerintah terhadap pengusaha otobus selama ini. Pada awalnya semua

pihak baik pemerintah, DISHUB dan pedagang sama-sama menolak

keberadaan pool Budiman sebelum ada pool Primajasa, akan tetapi dalam

prosesnya pembangunan dan pengembangan pool tidak dapat di hindarkan,

46
Informasi tersebut didapatkan dari salah satu perwakilan PO. BSI di terminal dan dari staff
UPTD Terminal Indihiang.
128

47
bahkan ada petugas TPR yang menarik retribusi langsung di pool . Hal

tersebut secara langsung telah memberikan kemudahan bagi bus untuk

langsung melewati terminal karena tidak perlu lagi memanfaatkan fasilitas

TPR di dalam terminal.

Menurut Aay Zaini pihaknya tidak bisa melarang pembangunan pool karena

izin pembangunan sendiri bukan dari DISHUB melainkan dari pusat. Bahkan

pihaknya telah melarang pengembangan pool-seatle dan hanya

merekomendasikan sebagai tempat menyimpan, merawat dan mengelola

kendaraan bukan sebagai tempat pemberangkatan naik dan turun penumpang.

Justru sebaliknya pemerintah pusat mewajibkan setiap pengusaha otobus

untuk memiliki pool, dan membolehkannya dijadikan tempat naik atau turun

penumpang.

Hal serupa juga pernah terjadi pada angkutan elf trayek akhir Terminal

Indihiang, dengan dalih toleransi terhadap sopir karena kehabisan sewa

penumpang yang menuju Terminal Indihiang. DISHUB memberikan

kebijakan penarikan TPR di pasar Padayungan tanpa harus masuk ke dalam


48
Terminal Indihiang . Akibatnya secara langsung maupun tidak langsung

akan mengurangi integrasi moda transportasi angkutan bus AKAP/AKDP

dengan angkutan elf tujuan tertentu, sehingga menyulitkan mobilisasi

47
Informasi tersebut didapatkan dari hasil wawancara dengan Iwan KDPO Doa Ibu, tangal 13
Januari 2017
Lihat toleransi DISHUBKOMINFO Kota Tasikmalaya berujung penolakan sopir, tersedia dalam
48

http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/16/10/22/ofg9vd359-toleransi-dishubkominfo-k
ota-tasik-berujung-penolakan-sopir diakses tanggal 10 Januari 2017 pukul 08.00 WIB
129

penumpang dalam melakukan pergerakan ke tujuan selanjutnya.

Lemahnya posisi pemerintah ketika vis a vis dengan pengusaha otobus

terutama dalam upaya optimalisasi fungsi Terminal Indihiang. Baik dari

faktor intern yang menyebabkan degradasi fungsi dan kualitas pelayanan di

dalam terminal. Maupun dari faktor ekstern seperti berkembangnya beberapa

pool yang lebih representatif. Secara perlahan akan menstimulus masyarakat

pengguna jasa transportasi untuk lebih memilih provider pelayanan

transportasi yang lebih representatif dan prima, seperti pool Budiman dan

Primajasa dibandingkan dengan Terminal Indihiang sebagai terminal resmi

pemerintah. Sehingga optimalisasi terminal sebagai basis pelayanan

transportasi publik akan sangat sulit tercapai.

49
Lemahnya posisi pemerintah ketika vis a vis dengan pengusaha otobus, pada

kenyataannya berlangsung secara terus menerus dan berulang tanpa ada

upaya serius dari Pemkot Kota Tasikmalaya untuk mengoptimalkan fungsi

terminal. Kondisi tersebut tentunya akan menimbulkan repetisi sikap

masyarakat pengguna jasa transportasi untuk lebih memilih pool sebagai

pilihan utama dibandingkan dengan Terminal Indihiang dalam layanan jasa

transportasi.

Dari repetisi tersebut dengan sendirinya akan membentuk permisive di

kalangan masyarakat pengguna jasa transportasi, bahwa untuk melakukan

49
Vis a vis disini dimaksudkan sebagai perbandingan Terminal Indihiang dengan pool dari segi
fasilitas dan fungsi dan regulasi masing-masing.
130

mobilisasi dari satu wilayah ke wilayah tujuan lainnya tidak perlu

memanfaatkan Terminal Indihiang, karena provider jasa transportasi yang

utama adalah pool atau terminal bayangan. Hal tersebut di anggap sangat

wajar dan tidak melanggar atau berpengaruh terhadap kondisi terminal,

karena selama ini pemerintah tidak pernah melakukan tindakan dan

penertiban terhadap pool.

Hal demikian tentunya akan melemahkan kedudukan negara di tengah

masyarakat. Dimana menurut Larry Diamond (dalam Agung, 2012: 616)

suatu pemerintahan yang kuat dan utama adalah legitimasi. Pemerintah yang

legitimate sendiri menurut Albert Hirschman (dalam Agung, 2012: 616)

adalah kondisi dimana rakyatnya loyal pada pemerintah dan pemerintah

mampu menanggapi voice, berupa suara, aspirasi, tuntutan dari rakyatnya.

Jika keduanya gagal, maka akan terjadi krisis legitimasi, dimana rakyat sudah

tidak menaruh kepercayaan pada pemerintahnya.

Governability pemerintah Kota Tasikmalaya dalam optimalisasi fungsi

terminal selama ini cenderung stagnan, bahkan terus terjadi exoduce

penumpang dari terminal beralih menggunakan fasilitas pool dan terminal

bayangan yang lebih representatif dan prima. Kondisi tersebut seolah

menggambarkan bahwa telah terjadi krisis legitimasi dalam pelayanan

transportasi publik. Dimana masyarakat tidak lagi loyal dan menaruh

kepercayaan pada pemerintah yang dinilai dari kualitas dan fasilitas

penyelenggaraan pelayanan transportasi kalah bersaing dengan provider


131

swasta. Terutama dari akses Angkot menuju terminal, jam oprasional Angkot

yang menuju terminal, lamanya waktu ngetem bus kecil AKDP di dalam

terminal di tambah ngetem lagi di depan terminal, integrasi moda transportasi

di dalam terminal, keamanan, kenyamanan dan penerangan terminal di malam

hari. .

Jika dilihat dari ketiga domain (unsur utama) dalam governance menurut Ali

dan Alam (2012: 64) domain state menjadi domain yang paling memegang

peranan penting dalam mewujudkan good governance. Karena fungsi

pengaturan yang memfasilitasi domain sektor dunia usaha swasta dan

masyarakat (society) secara fungsi administatif dalam penyelenggaraan

pemerintahan melekat pada domain ini. Peran pemerintah melalui kebijakan

publiknya sangat penting dalam memfasilitasi terjadinya mekanisme pasar

yang benar, sehingga penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di dalam

pasar dapat dihindari.

Peran pemerintah sebagai fasilitator yang memiliki otoritas untuk

mengkoordinasi setiap elemen agar dalam koridor dan mekanisme yang

benar. Terutama dalam mewujudkan optimalisasi fungsi terminal melalui

kebijakan yang di buat, sama sekali kurang optimal bahkan terkesan ambigu.

Kembali lagi regulasi yang di buat oleh pemerintah memiliki tendensi

terhadap kemudahan dan perluasan wewenang pasar dalam mengembangkan

bisnis jasa transportasi, sehingga upaya optimalisasi terminal sebagai basis

pelayanan jasa transportasi yang bersifat primer sulit tercapai, karena ada
132

kompetitor swasta yang lebih representatif dan prima.

Beberapa regulasi yang memiliki makna ambigu, dan melemahkan fungsi

terminal tersebut dapat di lihat dari beberapa pasal sebagai berikut:

a) Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 15 Tahun 2015 tentang

Penyelenggaraan Lalulintas dan Angkutan Jalan di Kota Tasikmalaya.

Pada pasal 27 berbunyi bahwa setiap kendaraan bermotor dalam

trayek wajib singgah di terminal yang sudah ditentukan, kecuali

ditetapkan lain dalam izin trayek.

Kurangnya ketegasan pemerintah dalam upaya optimalisasi

Terminal Indihiang tercermin pada Perda ini, sebagai regulasi

pengganti Perda Kota Tasikmalaya Nomor 10 Tahun 2003 yang

secara normatif tidak mampu mengikat perusahaan otobus dan

penumpang untuk mengoptimalkan fungsi terminal. Seharusnya

regulasi yang baru tersebut lebih tegas mengatur mengenai fungsi dan

kedudukan terminal.

Faktanya regulasi ini justru semakin ambigu dan

menyempitkan fungsi terminal, yang hanya dijadikan tempat

persinggahan angkutan umum. Karena tidak diatur secara tegas dan

nyata mengenai fungsi terminal, sebagai prasarana keberangkatan dan

kedatangan angkutan dalam sistem atau jaringan transportasi.

b) Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 132

Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Terminal Penumpang Angkutan


133

Jalan. Dalam regulasi ini juga tidak secara nyata dan tegas

menempatkan terminal sebagai prasarana keberangkatan dan

kedatangan moda transportasi.

Satu-satunya pasal yang secara tegas menyebutkan fungsi

terminal terdapat pada pasal 38 dimana setiap bus wajib melakukan

pemberangkatan dari terminal sesuai dengan kartu pengawasan.

Proses keberangkatan sendiri masih ambigu karena tidak diatur secara

jelas tentang prosedur keberangkatan di dalam terminal.

Instrumen yang membantu aturan keberangkatan hanya pada

kartu pengawasan, sehingga masih memungkinkan armada bus hanya

sekedar lewat seperti yang terjadi selama ini karena proses

keberangkatan sudah di atur dan disesuaikan antara di pool dan

terminal. Bahkan proses kedatangan sama sekali tidak di wajibkan,

dan hanya disebutkan pada pasal 37 ayat 1 butir c yang sebatas untuk

mengatur keberangkatan dan kedatangan kendaaraan bermotor umum.

c) Ketentuan Menteri Perhubungan Darat Nomor 35 Tahun 2003. Bab

IX Pasal 92 setiap pengusaha angkutan wajib menguasai fasilitas

penyimpanan atau pool kendaraan bermotor yang berfungsi sebagai

tempat beristirahat kendaraan dan pemeliharaan kendaraan. Sekaligus

dapat digunakan sebagai tempat untuk menaikan dan menurunkan

penumpang/ barang sesuai dengan pasal 93 ayat 1.

Pasal tersebut secara tidak langsung akan berpengaruh


134

terhadap optimalisasi fungsi terminal sebagai basis pelayanan

transportasi publik. Ketentuan yang paling ambigu dalam regulasi

tersebut adalah tidak adanya aturan yang secara pasti dan nyata

mengenai jarak minimal lokasi pool dengan terminal, dan hanya di

sebutkan pada pasal 92 ayat 3 butir b bahwa jarak pool ke terminal

cukup jauh.

Sehingga secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap

optimalisasi fungsi terminal dalam akumulasi penumpang, seperti

contoh kasus di Kota Tasikmalaya. Dimana lokasi pool yang tidak

terlalu jauh dari terminal dan dekat dengan pusat kota, ditambah dari

segi aksesbilllitas dan fasilitas lebih representatif dari pada terminal.

Sehingga secara tidak langsung menstimulus penumpang untuk lebih

memilih dan memanfaatkan pool dibandingkan dengan terminal.

d) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, pasal 36 yang berbunyi

bahwa setiap kendaraan bermotor dalam trayek wajib singgah di

terminal yang sudah ditentukan, kecuali ditetapkan lain dalam izin

trayek. Terutama pada pasal 198 yang berbunyi bahwa, jasa angkutan

umum harus dikembangkan menjadi industri jasa yang memenuhi

standar pelayanan dan mendorong persaingan yang sehat.

Dari kedua pasal tersebut memberikan wewenang yang lebih

luas pada pengusaha otobus untuk berkompetisi dan mengembangkan

jasa transportasi menjadi industri jasa transportasi. Dengan dalih


135

meningkatkan pelayanan yang lebih prima industri jasa transportasi

terus memfasilitasi pool layaknya reduplikasi fungsi dan fasilitas

terminal. Sehingga di saat terminal terus mengalami penurunan

kualitas pelayanan dan fasilitas, terminal justru di tuntut berkompetisi

dengan provider swasta yang lebih representatif. Akibatnya

masyarakat lebih memilih pool yang lebih representatif, ketimbang

mengoptimalkan fungsi Terminal Indihiang.

Lemahnya posisi dan kemampuan pemerintah ketika vis a vis dengan

pengusaha otobus. khususnya dalam optimalisasi fungsi terminal sebagai

basis pelayanan transportasi. Berdasarkan uraian di atas setidaknya dapat di

ambil dua kesimpulan mendasar.

Pertama pemerintah tidak mampu bersaing dengan provider swasta dalam

menyelenggarakan pelayanan transportsasi publik yang berkualitas dan

prima. Dimana dengan alokasi anggaran yang sangat minim, pemerintah tidak

bisa mengembangkan fasilitas di dalam terminal, bahkan untuk perawatan

dan biaya oprasional kebersihan alokasi dana tersebut sangat tidak

memungkinkan dalam satu tahun anggaran. Sehingga kualitas pelayanan dari

aspek tangibles atau fisik terus mengalami penurunan bahkan sebagian

fasilitas beralih fungsi dan berhenti beroperasi.

Sementara itu di pihak swasta terus melakukan pengembangan terhadap

keberadaan pool baik dari segi fasilitas fisik maupun dari fungsi pelayanan.

Melalui reduplikasi fasilitas dan fungsi terminal yang secara kualitas


136

pelayanan lebih representatif dan prima pool mampu menggeser fungsi

terminal sebagai basis pelayanan transportasi publik di Kota Tasikmalaya.

Kedua, lemahnya posisi atau kemampuan pemerintah dalam optimalisasi

fungsi terminal tercermin dari regulasi yang ambigu dan secara implisit tidak

di singgung tentang fungsi utama terminal. Justru regulasi tersebut memiliki

tendensi untuk memperluas wewenang pasar, dan memberikan kemudahan

bagi pasar untuk terus berkembang menjadi industri jasa yang menyaingi

pemerintah. Bahkan di satu kasus mendominasi dan menggantikan fungsi

pemerintah dalam menyelenggarakan fasilitas prasarana pelayanan

transportasi publik.

Lemahnya kemampuan pemerintah dalam optimalisasi fungsi terminal,


50
khususnya dari aspek regulasi. Dapat dilihat dari pernyataan Dede . Menurut

Dede selama ini pengusaha telah menempuh segala izin dari pemerintah, dan

keberadaan pool-pool yang ada di Tasikmalaya tidak ilegal karena telah

berizin. Adapun fakta di lapangan terminal menjadi sepi dikarenakan

penumpang lebih memilih pool daripada terminal itu sendiri. Dan lebih

lanjutnya menurut Dede apabila ada pihak yang harus disalahkan, pihak

tersebut bukan pengusaha tetapi pemerintah (Wali Kota) karena perusahaan


51
telah menempuh segala perizinan .

50
Wakil Wali Kota Tasikmalaya non aktip karena ikut dalam PILKADA Kota Tasikmalaya tahun
2017
51
Pernyataan tersebut didapatkan pada debat politik calon Wali Kota Tasikmalaya tahun
2017-2022.

Lihat-https://kabarpriangan.co.id/isu-lotte-sken-tandatangan-klaim-pembangunan-terminal-bayang
137

Dari pernyataan tersebut, menegaskan bahwa selama ini yang menjadi faktor

ketidakmampuan pemerintah dalam optimalisasi fungsi terminal, tidak

semata-mata karena berkembangnya pool perusahaan otobus. Lebih jauhnya

faktor tesebut dikarenakan tidak tegasnya pemerintah dalam mengatur dan

mengawasi pengembangan industri jasa angkutan umum khususnya fasilitas

pool-seatle. Di tambah regulasi yang di buat tidak mampu memaksa

elemen-elemen dalam governance untuk mengoptimalkan fungsi terminal,

justru sebaliknya regulasi tersebut ambigu dan memberikan luang atau

kemudahan bagi perusahaan otobus untuk mengembangkan bisnis di bidang

jasa transportasi.

an-dan-mundur-dari-wabup-materi-serang-antar-paslon/ diakses tanggal 10 Januari Pukul 08.00


WIB.
138

BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai Governability pemerintah Kota

Tasikmalaya dalam optimalisasi fungsi Terminal Indihiang, yang telah di

analisis dan di bahas pada bab sebelumnya. Di peroleh beberapa kesimpulan

yang mendasar mengenai dua poin penting, yaitu mengenai evaluasi fungsi

(service) pemerintah Kota Tasikmalaya dalam optimalisasi fungsi terminal

Indihiang sebagai basis pelayanan transportasi publik. Dan mengenai

kemampuan pemerintah Kota Tasikmalaya ketika vis a vis dengan perusahaan

otoubus yang dibandingkan dari fasilitas dan fungsi masing-masing.

Dari dua poin penting tersebut, dapat diketahui bahwa fungsi service

pemerintah Kota Tasikmalaya dalam optimalisasi fungsi terminal mengalami

penurunan kualitas. Penurunan kualitas tersebut didasarkan pada indikator

kualitas pelayanan yang di kembangkan oleh Zeithaml, Parasuraman dan

Berry. Bahkan bila mengacu pada teori Gary Dessler tentang penilaian kinerja

birokrasi, negara telah gagal dalam memberikan pelayanan pada masyarakat.

Begitu juga dengan kemampuan atau governability pemerintah Kota

Tasikmalaya ketika berhadapan dengan pengusaha otobus dinilai lemah dan

cenderung memberikan berbagai kemudahan, terutama dari dimensi regulasi.


139

Adanya tumpang tindih regulasi antara pemerintah Kota Tasikmalaya dengan

pemerintah pusat secara administratif dimanfaatkan pengusaha otobus untuk

mengembangkan pool-seatle yang secara teknis dan oprasional berpengaruh

terhadap stagnasi optimalisasi terminal. Sehingga Pemkot sama sekali tidak

mampu (membiarkan) mengambil tindakan tegas terhadap pengembangan

bahkan reduplikasi fasilitas dan fungsi terminal oleh pengusaha otobus.

Evaluasi mengenai fungsi pemerintah Kota Tasikmalaya dalam

optimalisasi Terminal Indihiang sebagai basis pelayanan transportasi publik,


52
dapat dilihat dari indikator kualitas pelayanan sebagai berikut:

a. Tangibles

Berdasarkan hasil penelitian, kualitas pelayanan dari dimensi

tangibles sangat buruk, dimana fasilitas di dalam terminal baik fasilitas utama

maupun penunjang sebagian besar mengalami degradasi fungsi, disfungsi,

bahkan beralih fungsi dan tidak beroperasi.

b. reliability

Berdasarkan indikator ini, terminal cenderung kurang reliabilitas, hasil

penelitian mengungkapkan bahwa kurangnya penumpang di dalam terminal

dikarenakan beberapa pertimbangan seperti, lokasi terminal yang jauh dari

pusat kota, sulitnya akses menuju terminal, waktu tempuh dan transit yang

panjang bagi penumpang dari pinggiran kota, pemisahan akses Angkot, elf

dan bus AKAP/AKDP di dalam terminal, tidak terintegrasi moda transportasi,

52
Indikator mengenai kualitas pelayanan ini berdasarkan terori dari Zeithaml, Parasuraman dan
Berry dalam Mukarom, 2016: 56-57
140

lamanya waktu menunggu armada, keberangkatan dan kedatangan yang lebih

terfokus di pool daripada di terminal, minimnya ketersediaan seat bagi

penumpang di terminal bahkan nyaris tidak tersedia di hari libur panjang,

c. responsivinnes

Kualitas pelayanan dari dimensi responsivinnes mengalami

penurunan, hal tersebut dapat dilihat dari tidak tersedianya sistem informasi

terpadu, baik front office, informasi konvensional seperti peta, papan

informasi mengenai tarif, rute dan jadwal keberangkatan, maupun pengeras

suara yang jarang digunakan untuk jadwal keberangkatan armada bus.

Pemerintah juga kurang merespon tuntutan masyarakat terutama dari akses

dan jam oprasional Angkot menuju terminal, lamanya waktu ngetem,

integrasi moda transportasi, keamanan dan penerangan di malam hari.

Fasilitas yang dianggap membantu penumpang di dalam terminal

hanya berupa rambu atau petunjuk fasilitas terminal dan lantai kuning khusus

diffabel, dan jam operasi terminal yang masih beroperasi sampai jam 23.00

WIB meskipun hanya sebatas lewat karena tidak ada sewa penumpang

d. Assurance

Penurunan kualitas dari indikator ini terlihat dari kurang tegasnya

personel terminal dalam penarikan retribusi jasa parkiran kendaraan pribadi,

penertiban bus-bus yang ngetem di depan terminal (jadi dua kali ngetem yaitu

di dalam terminal dan di luar terminal sehingga penumpang lebih memilih

naik di luar terminal). Dan kurang tegasnya personel dalam mengarahkan


141

armada bus AKAP/AKDP dari arah barat supaya masuk ke dalam terminal

untuk menurunkan penumpang. Sehingga tidak ada jaminan integrasi moda

transportasi dan ketersediaan seat bagi penumang yang berangkat di terminal.

e. Empathy

. Kualitas pelayanan dari indikator ini masih jauh dari yang

diharapkan karena fasilitas dan perhatian pemerintah secara personal masih

minim, diantaranya adalah tidak beroperasinya fasilitas kesehatan, tidak

adanya ruang atau media pengaduan bagi keluhan masyarakat pengguna

layanan, dan tidak tersedianya fasilitas ATM centre .

Dari indikator-indikator di atas dapat disimpulkan bahwa telah terjadi

penurunan kualitas pelayanan pemerintah dalam optimalisasi fungsi terminal.

Lebih lanjutnya menurunnya kualitas pelayanan tersebut secara langsung

maupun tidak langsung sangat berpengaruh terhadap sepinya penumpang di

dalam terminal. Bahkan jika dibandingkan dengan keberadaan pool,

penumpang justru terkonsentrasi dan terakumulasi di pool yang dari segi

pelayanan, lokasi, akses, fasilitas, jaminan ketersediaan seat, jadwal dan

keamanan lebih representatif di bandingkan dengan Terminal Indihiang.

Kemampuan pemerintah (governability) Kota Tasikmalaya ketika vis

a vis dengan pengusaha otobus di nilai sangat lemah. Otoritas yang di miliki

seakan ternegasikan oleh pengusaha otobus, melalui regulasi-regulasi yang

selama ini dijadikan landasan untuk mengembangkan pelayanan pool-seatle.

Seperti ketentuan Menteri Perhubungan Darat Nomor 35 Tahun 2003 Bab IX


142

Pasal 92 dan 93 tentang penyelenggaraan dan aturan yang membolehkan

menaikan dan menurunkan penumpang di pool, dan Undang-Undang Nomor

22 Tahun 2009 Pasal 198 yang menghendaki adanya pengembangan jasa

angkutan menjadi industri jasa angkutan yang akan mendorong persaingan

sehat antar provider.

Kedua regulasi ini, dijadikan pengusaha otobus sebagai landasan

untuk mengembangkan fasilitas pool-seatle (dilengkapi fasilitas untuk naik

dan turun penumpang). Dengan dalih memberikan pelayanan yang prima

pada masyarakat pengguna layanan transportasi publik, pengusaha otobus

terus mengembangkan fasilitas pool yang representatif bahkan terjadi

reduplikasi fasilitas dan fungsi terminal.

Di lihat dari pola interaksi antar elemen dalam konsep governance,

telah terjadi pembiasan dari tata kelola memerintah yang baik. Dimana

interkasi yang terjadi tidak memungkinkan terciptanya chek and balance, dan

cenderung destruktif. Akibatnya terjadi dominasi pasar terhadap

domain-domain pemerintah dalam penyelenggaraan jasa transportasi publik.

Di tengah menurunnya kualitas pelayanan dan sekelumit

permasalahan, terminal di tuntut untuk berkompetisi dengan provider swasta

yang di nilai masyarakat lebih representatif. Sehingga penumpang lebih

terakumulasi dan terkonsentrasi di pool dibandingkan terminal.

5.2. Saran
143

Mengacu pada hasil penelitian ini, penulis mencoba

mengidentifikasikan permasalahan yang terjadi dan menguraikannya melalui

beberapa saran. Dengan harapan dapat dijadikan masukan yang bermanfaat

khususnya mengenai kualitas pelayanan dan kemampuan pemerintah dalam

tata kelola sistem transportasi di terminal.

a. Revitalisasi Terminal Indihiang melalui percepatan pembangunan pusat

kegiatan atau fasilitas di wilayah terdampak sekitar terminal. Sesuai

dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tasikmalaya yang

menghendaki pengembangan pusat kegiatan perkantoran berada di

wilayah Indihiang sehingga mobilisasi masyarakat tidak hanya

terkonsentrasi di perkotaan. Peningkatan akses dan jam oprasional

transportasi menuju terminal, dan mengurangi waktu tempuh dan transit

yang panjang bagi penumpang di pinggiran kota dengan akses angkutan

langsung ke terminal. mengarahkan setiap Angkot dan elf dengan trayek

Terminal Indihiang untuk masuk ke dalam terminal.

b. Optimalisasi fungsi terminal baik dari kualitas pelayanan, kualitas fisik

maupun kualitas pegawai dan manajemen. Merubah paradigma

penyelenggara dari sekedar penarikan retribusi atau Pendapatan Asli

Daerah (PAD) menjadi penyelenggara yang berorientasi pelayanan.

Sehingga armada bus yang masuk tidak langsung dibiarkan lewat setelah

bayar retribusi melainkan dipersilahkan untuk menunggu jadwal

keberangkatan beberapa menit untuk melayani penumpang yang naik di


144

terminal. Penertiban armada bus besar AKAP/AKDP asal dan tujuan atau

trayek Kota Tasikmalaya untuk masuk kedalam terminal melalui rekayasa

lalulintas sehingga integrasi antar atau intra moda transportasi akan

terjadi.

c. Peninjauan kembali terhadap beberapa regulasi yang terindikasi

mengurangi fungsi terminal, dan regulasi yang memperluas wewenang

pasar dalam pengembangan jasa transportasi

d. Pengkajian ulang terhadap izin penyelenggaraan beberapa pool pengusaha

otobus, yang selama ini menjadi titik akumulasi penumpang. Selama

proses keberangkatan dan kedatangan armada bus diwajibkan untuk

masuk dan berawal/ berakhir di terminal. Penertiban secara periodik

terhadap terminal bayangan melalui peningkatan disiplin pengemudi

untuk menaikan dan menurunkan penumpang di tempat yang di tentukan.


145

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Faried dan Syamsul Alam. 2012. Studi Kebijakan Pemerintah. PT.
Refika Aditama. Bandung.
Dwiyanto, Agus (ed). Dkk. 2014. Mewujudkan Good Governance Melalui
Pelayanan Publik. Gajah mada university press: Yogyakarta.
Moleong, Lexy. 2011. Metode Penelitian Kualitatif (Rev). PT Remaja Rosda
Karya: Bandung.
Morlok. Ek. 1984. Pengantar Teknik & Perencanaan Transportasi. Erlangga.
Jakarta.
Mukarom, Zaenal dan Muhobudin Wijaya. 2016. Membangun Kinerja
Pelayanan Publik (Menuju Clean Governance And Good
Governance). CV Pustaka Setia: Yogyakarta.
Ndraha, Taliziduhu. 2005. Kybernologi. Rineka Cipta: Jakarta.
Rosidi, Abidardi dan Anggraeni Fajriani. 2013. Reinventing Government
(Demokrasi Dan Reformasi Pelayanan Publik) CV Andi Offset:
Yogyakarta.
Rasyid, Ryaas. 1997. Makna Pemerintahan Tinjauan Dari Segi Etika Dan
Kepemimpinan. PT Yarsif Watampone: Jakarta.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D.
Alfabeta: Bandung.
Suryono, Hasan. 2015. Konsep Dasar Hukum Kenegaraan dan
Pemerintahan. Penerbit Ombak. Yogyakarta.
Thoha, Miftah. 2011. Ilmu Administrasi Publik Kontemporer. Prenada Media
Group: Jakarta.
Wahidin, Samsul. 2007. Dimensi kekuasaan negara indonesia. Pustaka
pelajar: Yogyakarta.
Yin, R.K. 2011. Studi kasus desain & metode. PT Raja Grafindo: Jakarta.

Penelitian:
Agung, Subhan. 2012. Negara dan Lemahnya Governability: Study
Eksploitasi Pasir Galunggung di Kecamatan Sukaratu Tasikmalaya. Aliansi
146

Jurnal Politik dan Pemerintahan. Volume 4 Nomor 1: 608-621


Meiliati, Dina. 2016. A nalisis Pengelolaan TerminalBandar Laksmana
Indragiri oleh Dinas Perhubungan Kabupaten Indragiri Hilir. Skripsi.
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
Sibagariang, Hermanto dan Pandia Jaya. Kinerja Dan Teknik Pelayanan
Terminal Angkutan Umum Kota Sibolga
Saputra, Y Taufiq dan Kartika Agung. Analisa Tingkat Kepuasan Pengguna
Jasa Terhadap Kinerja Pelayanan Terminal Makassar Metro Kota
Makassar.

Undang-undang:
- Buku Pedoman Panduan Lalulintas dan Angkutan Jalan Di Kota
Tasikmalaya
- Keputusan Menteri Perhubungan Darat Nomor 31 Tahun 1995
- Keputusan Menteri Perhubungan Darat Nomor 35 Tahun 2003
- Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 10 Tahun 2003
- Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 4 Tahun 2012
- Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 15 Tahun 2015
- Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 132
Tahun 2015
- Peraturan Wali Kota Tasikmalaya Nomor 9 Tahun 2007
- Peraturan Wali Kota Nomor 64 Tahun 2011
- Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor 11 Tahun 2000
- Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014
Internet :
https://kabarpriangan.co.id/isu-lotte-sken-tandatangan-klaim-pembangunan-te
rminal- bayangan-dan-mundur-dari-wabup-materi-serang-antar-paslon/.
Diakses Tanggal 10 Januari 2017 Pukul 08.47 Wib.
http://www.wartapriangan.com/sarana-penunjang-terminal-indihiang-gulung-
tikar/659/. Diakses Tanggal 10 Januari 2017 Pukul 08.13 WIB
http://www.Tasikmalayakota.Bps.Go.Id. Diakses Tanggal 15 Desember 2016
Pukul 15.10 WIB.
http://www.tasikplus.com/sosial/item/920-walikota-tasik-tak-punya-taring- _
menertibkan-pool-bus . Di Akses Tanggal 10 Januari 2017 Pukul 08.40 WIB
http://www.tasikzone.com/lottemart-sampai-terminal-ikut-dibahas-didebat-pu
blike. Diakses tanggal 10 januari 2017 pukul 09.20 WIB
http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/16/10/22/ofg9vd359-tolera
nsi- dishubkominfo-kota-tasik-berujung-penolakan-sopir . Diakses
Tanggal 10 Januari 2017 Pukul 09.00 Wib
147

Anda mungkin juga menyukai