Anda di halaman 1dari 34

ASUHAN KEPERAWATAN SYNDROME OF INAPPROPRIATE

ANTIDIURETIC HORMONE SECRETION (SIADH)

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL

oleh:

KELOMPOK 6

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER

2016

i
MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL

disusun sebagai pemenuhan tugas Keperawatan Medikal dengan dosen pengampu:

Ns. Rondhianto M.Kep

oleh:

Kelompok 6

Nanda Khoiril M.S. 142310101048


Handita Diani Ratri 142310101073
Puput Dwi Puspitasari 142310101110

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER

2016

KATA PENGANTAR

i
Puji syukur kehadirat Allah SWT. atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah yang berjudul Asuhan
Keperawatan Syndrome Of Inappropriate Antidiuretic Hormone Secretion
(SIADH). Karya tulis ilmiah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Keperawatan Medikal.

Penulis menerima segala kritik dan saran dari semua pihak demi
kesempurnaan karya tulis ilmiah ini. Akhirnya penulis berharap semoga karya
tulis ilmiah ini dapat bermanfaat.

Jember, Oktober 2016

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB 1. PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................1
1.3 Tujuan.............................................................................................................2
1.4 Implikasi Keperawatan...................................................................................2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................4
2.1 Definisi...........................................................................................................4
2.2 Epidemiologi..................................................................................................5
2.3 Etiologi...........................................................................................................6
2.4 Klasifikasi.......................................................................................................7
2.5 Patofisiologi....................................................................................................8
2.6 Manifestasi Klinis.........................................................................................10
2.7 Pemeriksaan Penunjang................................................................................12
2.8 Penatalaksanaan Medis.................................................................................13
BAB 3. PATHWAY................................................................................................16
BAB 4. ASUHAN KEPERAWATAN KASUS......................................................17
4.1 Pengkajian....................................................................................................17
4.2 Diagnosa.......................................................................................................20
4.3 Intervensi......................................................................................................21
4.4 Implementasi dan Evaluasi...........................................................................25
BAB 5. PENUTUP................................................................................................30
5.1 Kesimpulan...................................................................................................30
5.2 Saran.............................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................31
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keseimbangan cairan tubuh sangat tergantung dari asupan air melalui


rangsang haus dan pengeluarannya melalui urin secara hormonal hal ini di atur
oleh arginin vasopresin (AVP) sebagai hormon anti diuretik. SIADH (Syndrome
Of Inapropiate Secretion Of Anti Diuretic Hormon) adalah sindrom yang
mekanismenya berlawanan dengan hal tersebut, karena gagalnya keluaran dari air
bebas melalui urin, kepekatan urin terganggu, hiponatremia, hipomolalitas dan
natriuresis. Dari pengertian tersebut maka dapat di ambil kesimpulan bahwa
SIADH adalah suatu keadaan dimana kadar natrium serum yang kurang dari 135
mEq/L.
Sindrom ini sangat jarang menurut hasil survei dari NIH, Amerika Serikat
yang berarti SIADH dan penyakit sejenisnya hanya berefek pada kurang dari
200.000 penduduk AS. Walau pada pasien dewasa sangat jarang, namun pada
anak sering menyertai pada kondisi pasien dengan hipotonik normovolemia dan
hiponatremia. Angka kejadian yang pasti dari SIADH ini sulit diketahui karena
penyakit ini bersifat sementara atau kronis. Pada kondisi lain berhubungan dengan
gejala efek samping obat atau lesi pada paru atau sistem saraf.
Pasien usia lanjut dengan hiponatremia yang sedang direhabilitasi
cenderung memiliki gejala SIADH. Hal ini dapat di buktikan pada studi di
kelompok usia lanjut dengan hiponatremi idiomatik kronik yang mendasari
hubungan antara SIADH dan usia. Walau bagaimanapun risiko dari kejadian
SIADH meningkat bila pasien menderita hiponatremi. Insiden dari kejadian
SIADH sendiri pada anak-anak mencapai 1/3 pada anak dengan pneumonia yang
berkorelasi dengan perburukan penyakit serta kesembuhannya. Mungkin restriksi
cairan pada pasien ini sangat diperlukan uh tuk meningkatkan kesembuhannya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana definisi SIADH?


2. Bagaimana epidemiologi dari SIADH
3. Bagaimana etiologi dari SIADH
4. Bagaimana patofisiologi dari SIADH
5. Bagaimana manifestasi klinis dari SIADH
6. Bagaimana Pemeriksaan penunjang dari SIADH
7. Bagaimana Penatalaksanaan medis dari SIADH
8. Bagaimana pathway dari SIADH
9. Bagaimana asuhan keperawatan pada SIADH

1.3 Tujuan

1. untuk mengetahui definisi dari SIADH


2. untuk mengetahui epidemiologi dari SIADH
3. untuk mengetahui etiologi dari SIADH
4. untuk mengetahui patofisiologi dari SIADH
5. untuk mengetahui manifestasi klinis dari SIADH
6. untuk mengetahui Pemeriksaan penunjang dari SIADH
7. untuk mengetahui Penatalaksanaan medis dari SIADH
8. untuk mengetahui pathway dari SIADH
9. untuk mengetahui asuhan keperawatan pada SIADH

1.4 Implikasi Keperawatan

Peran perawat sangatlah berperan dalam penyakit SIADH ini. Bagaimana


tidak, di jaman yang sudah bisa di bilang lumayan modern sebagian masyarakat
masih banyak yang kurang memahami apa itu yang di maksud dengan penyakit
Kehamilan SIADH bahkan banyak yang belum paham tentang penyakit ini karena
penyakit ini sendiri sangat jarang terjadi. Dari hal tersebut peran perawat sangat
di butuhkan untuk membantu masyarakat agar lebih memahami tentang SIADH
baik pengobatan dan pencegahannya. Peran perawat sebagai care giver perawat
dapat memberikan pelayanan keperawatan secara langsung dan tidak langsung
kepada klien menggunakan pendekatan proses keperawatan yang meliputi:
melakukan pengkajian dalam upaya mengumpulkan data dan informasi yang
benar, menegakkan diagnosa berdasarkan hasil analisis data, merencanakan
intervensi keperawatan sebagai upaya mengatasi masalah klien.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone Secretion (SIADH)


didefinisikan sebagai suatu keadaan hiponatremia dan hipo-osmolalitas yang
disebabkan oleh adanya suatu kondisi yang tidak tepat, sekresi yang terus menerus
atau kinerja hormon yang tidak normal, atau terjadinya peningkatan volume
plasma yang menyebabkan terganggunya ekskresi air (Thomas et al, 2016).

Tao dan Kendall (2014) menebutkan bahwa SIADH adalah suatu kondisi
dimana terjadi overproduksi ADH yang paling sering terjadi karena produksi
ektopik ADH oleh suatu neoplasma (misalnya kanker paru small cell).
Overproduksi ADH dapat menimbulkan terjadinya retensi air dan hiponatremia.
Gambaran klinis dari SIADH adalah munculnya keluhan dan geja hiponatremia
berupa perubahan status mental dan ketidak mampuan mengencerkan urine.

SIADH adalah penyakit yang disertai dengan adanya kadar ADH dalam
plasma dengan jumlah yang cukup tinggi namun tidak sesuai untuk osmolaritas
plasma pada keadaan tersebut. Retesnsi cairan yang disertai dengan adanya
asupan cairan yang normal, menyebabkan hiponatremia dan hipo-osmolaritas.
Pada pasien SIADH, urin biasanya lebih pekat dibandingkan plasma.
Keseimbangan natrium tetap normal (Greenspan & Baxter, 1998).

Sindrom ketidaktetapan ADH ditandai dengan adanya peningkatan


terhadap pelepasan ADH dari hipofisis posterior tanpa adanya stimulus normal
untuk pelepasan ADH. Peningkatan pelepasan ADH biasanya terjadi sebagai
repons terhadap peningkatkan osmolalitas plsma atau penurunan tekanan darah
dalam tingkat yang lebih rendah. Pada kondisi SIADH, kadar ADH berada dalam
jumlah yang tinggi walaupun osmolalitas plasma rendah. Osmolalitas plasma
terus berkurang karena ADH menstimulasi reabsorbsi air oleh ginjal. Pelepasan
ADH berlanjut tanpa kontrol umpan balik walupun osmolalitas plasma rendah dan
volume darah meningkat (Corwin, 2009).
2.2 Epidemiologi

Hiponatremia (serum Na <135 mmol / L atau <135 mEq / L) merupakan


temuan yang biasa ditemui di rumah sakit pada pasien SIADH. Hiponatremia
telah dilaporkan terjadi pada 15% sampai 22% dari pasien rawat inap dan 7% dari
pasien rawat jalan. Hiponatremia sedang sampai dengan berat (serum Na <130
mmol / L atau <130 mEq / L) ditemukan dalam 2,5% dari pasien rawat inap, dua
pertiga di antaranya menunjukkan adanya perkengembangkan gangguan selama
menjalani rawat inap. Salah satu studi prospektif menemukan bahwa SIADH
sering teridentifikasi pada pasien rawat inap dengan hiponatremia (serum Na <130
mmol / L atau <130 mEq / L).

Sebuah studi kelompok pada lebih dari 120.000 pasien yang berada pada
IGD dan ruang rawat inap menemukan bahwa 42,6% dari pasien rawat jalan
memiliki serum Na <136 mmol / L (<136 mEq / L), 6,2% <126 mmol / L (<126
mEq / L), dan 1,2% <116 mmol / L (<116 mEq / L). Insiden hiponatremia juga
ditemukan berada pada kisaran yang tinggi (18%) di antara pasien panti jompo.
Sebuah laporan dari 184 kejadian hiponatremia berat (dilaporkan sebagai 120
mmol / L [120 mEq / L]) di rumah sakit di Amerika Serikat dan Inggris
menemukan bahwa 21% dari pasien tersebut mengalami hiponatremia akut dan
79% lainnya mengalami hiponatremia kronis. Hidrasi yang berlebihan (21%),
terutama iatrogenik, adalah penyebab utama dari hiponatremia, sementara SIADH
menyumbang sebanyak 8% pada insidensi hidrasi (BMJ, 2016).

Bertambahnya usia (> 30 tahun) merupakan faktor risiko untuk terjadinya


hiponatremia pada pasien dirawat di rumah sakit. Pria tampaknya lebih mungkin
untuk mengalami hiponatremia ringan atau sedang, namun tidak sampai pada
keadaan parah. Berat badan rendah juga merupakan faktor risiko untuk
hiponatremia. Perempuan tampaknya lebih rentan terhadap hiponatremia yang
diakibatkan oleh induksi obat dan aktifitas yang dapat menyebabkan
hiponatremia seperti berlari maraton (Thomas, 2016).
2.3 Etiologi

SIADH paling sering disebabkan oleh gangguan yang berupa adanya


hipersekresi ADH dari sumber hipotalamus normal atau dengan produksi ektopik.
Penyebab SIADH dapat dibagi menjadi empat kategori yaitu: gangguan sistem
saraf, neoplasia, penyakit paru, dan obat yang diinduksi (termasuk obat yang
dapat merangsang pelepasan AVP, mempotensiasi efek dari AVP, atau obat yang
memiliki mekanisme tidak pasti) (Thomas et al, 2016).

Gangguan sistem saraf meliputi:


1. Abses otak
2. Kecelakaan serebrovaskular
3. Lupus
4. Tremens delirium
5. Ensefalitis
6. Epilepsi
7. Sindrom guillain-barr
8. Trauma kepala
9. Herpes zoster
10. Hidrosefalus
11. Hipoksia ensefalopati iskemik
12. Meningitis
13. Multiple sclerosis
14. Hipoksia perinatal
15. Rocky mountain spotted fever
16. Skizofrenia
17. Perdarahan subarachnoid
18. Hematoma subdural
19. Obstruksi shunt ventriculoatrial
Gangguan neoplasia meliputi:
1. Paru: karsinoma paru dan mesothelioma
2. Gastrointestinal: karsinoma pada duodenum, pankreas, dan usus besar
3. Genetalia dan urinaria: karsinoma adrenocortical, karsinoma serviks,
ureter/kandung kemih, dan prostat, tumor ovarium
4. Lainnya: tumor otak, tumor karsinoid, Ewing sarcoma, leukemia, limfoma,
karsinoma nasofaring, neuroblastoma (pada indra penciuman), dan thymoma.
Penyakit paru meliputi:
1. Bronkitis akut / bronchiolitis
2. Kegagalan pernafasan akut
3. Asma
4. Atelektasis
5. Pneumonia
6. Penyakit paru obstruktif kronis
7. Empisema
8. Empiema
9. Pneumotoraks
10. Tuberkulosis
Obat-obatan yang dapat menyebabkan SIADH seperti:
1. Cholorpropamid (obat yang menurunkan gula darah).
2. Carbamazepine (obat anti kejang)
3. Tricilyc (antidepresan)
4. Vasopressin dan oxytocin (hormone anti diuretic buatan)
5. Obat yang merangsang atau melepaskan vasopressin: vinuristin, cisplatin, dan
ocytocin

2.4 Klasifikasi

SIADH dapat dibagi sesuai dengan pola sekresi arginine vasopressin


(AVP) di berbagai osmolalitas plasma (Hannon & Thompson, 2010).

1. Type A
Bentuk yang paling umum dari SIADH. Pengeluaran AVP tidak
teratur. Terjadi pada sekitar 30% pasien. Peningkatan tingkat level
plasma AVP yang berubah-ubah tidak berhubungan dengan perubahan
osmolaritas plasma selama pemberian infus saline hipertonik. Terlihat
pada pasien dengan kanker paru-paru dan tumor nasofaring.
2. Tipe B
Bentuk umum dari SIADH. Kebocoran AVP secara lambat. Terjadi
pada sekitar 30% pasien. Peningkatan ringan pada plasma AVP
dibandingkan dengan mengetik A. Plasma AVP tetap stabil selama
infus saline hipertonik dan hanya naik ketika kadar natrium serum
mencapai kisaran normal.
3. Tipe C
Terjadi osmostat berulang. Terjadi pada sekitar 30% pasien. Tingkat
AVP rendah selama keadaan hyponatraemic. Namun, tingkat AVP
meningkat secara tidak wajar selama pemberian infus saline
hipertonik sebelum hiponatremia dikoreksi.
4. Tipe D
Pseudo-SIADH. Sekitar 10% terjadi pada pasien. AVP daam keadaan
rendah atau tidak terdeteksi. Rendahnya tingkat AVP selama keadaan
hyponatraemic dengan osmoregulasi yang normal pada pengeluaran
AVP. Antidiuresis terjadi melalui mekanisme alternatif, salah satunya
adalah sindrom nefrogenik dari diuresis yang tidak pantas (Syndrome
of Inappropriate Diuresis, SIAD), kelainan genetik yang ditandai
dengan peningkatan fungsi mutasi reseptor vasopressin 2 (V2).

2.5 Patofisiologi

Terdapat beberapa keadaan yang dapat mengganggu regulasi cairan tubuh


dan dapat menyebabkan sekresi ADH yang tidak normal. Tiga mekanisme
patofisiologi yang bertanggung jawab akan SIADH, meliputi:
1. Sekresi ADH yang abnormal dari sistem hipofisis. Adanya sekresi
ADH yang abnormal disebabkan oleh kelainan sistem saraf pusat
seperti trauma kepala, stroke, meningitis, tumor, ensafalitis, sindrom
guillain Barre. Pasien yang mengalami syok, status asmatikus, nyeri
hebat atau stress tingkat tinggi, atau tidak adanya tekanan positif
pernafasan juga akan mengalami SIADH.
2. ADH atau substansi ADH dihasilkan oleh sel-sel diluar system
supraoptik-hipofisis, yang disebut sebagai sekresi ektopik (misalnya
pada infeksi).
3. Kerja ADH pada tubulus ginjal bagian distal mengalami pemacuan.
Bermacam-macam obat menstimulasi atau mempotensiasi pelepasan
ADH. Obat-obat tersebut termasuk nikotin, transquilizer, barbiturate,
anestesi umum, suplemen kalium, diuretik tiazid, obat-obat
hipoglikemia, asetominofen, isoproterenol dan empat anti neoplastic:
sisplatin, siklofosfamid, vinblastine dan vinkristin. (Otto, 2003).
Terjadinya SIADH ditandai dengan adanya peningkatan pelepasan ADH
dari kelenjar hipofisis posterior tanpa adanya rangsangan normal untuk
melepaskan ADH. Pengeluaran ADH yang berlanjut menyebabkan retensi air dari
tubulus ginjal dan duktus. Volume cairan ekstra seluler meningkat dengan ditandai
hiponatremi. Kondisi hiponatremi dapat menekan renin dan sekresi aldosteron
yang menyebabkan penurunan kadar Na diabsorbsi tubulus proximal. Hal ini
menyebabkan penurunan konsentrasi air dalam urin sedangkan kandungan
natrium dalam urin tetap, akibatnya urin menjadi pekat.
Dalam keadaan normal ADH mengatur osmolalitas plasma, bila
osmolalitas menurun mekanisme feed back akan menyebabkan inhibisi ADH. Hal
ini akan mengembalikan dan meningkatkan ekskresi cairan oleh ginjal untuk
meningkatkan osmolalitas plasma menjadi normal. Pada SIADH osmolalitas
plasma terus berkurang akibat ADH merangsang reabsoprbsi air oleh ginjal
(Copstead dan Banasik, 2013).
Hormon Antidiuretik (ADH) bekerja pada sel-sel duktus koligentes ginjal
untuk meningkatkan permeabilitas terhadap air. Ini mengakibatkan peningkatan
reabsorbsi air tanpa disertai reabsorbsi elektrolit. Air yang direabsorbsi ini
meningkatkan volume dan menurunkan osmolaritas cairan ekstraseluler (CES).
Pada saat yang sama keadaan ini menurunkan volume dan meningkatkan
konsentrasi urine yang diekskresi.

2.6 Manifestasi Klinis

Gambaran klinis pada pasien SIADH biasanya adalah:


1. Mengalami retensi air dan kenaikan berat badan
2. Mual dan muntah yang memburuk sejalan dengan derajat intoksikasi
air
3. Hiponatremi (penurunan kadar natrium )
4. Takhipnea
5. Letargi
6. Penurunan kesadaran sanpai koma
7. Osmolalitas urine melebihi osmolalitas plasma, menyebabkan
produksi urine yang kurang terlarut
8. Ekskresi natrium melalui urine yang berkelanjutan
9. Penurunan osmolalitas serum dan cairan ekstraselular
Menurut Price dan Lorraine (2005), tanda dan gejala yang dialami oleh
pasien dengan SIADH tergantung pada derajat lamanya retensi air dan
hiponatremia. Perlu untuk dilakukan pemeriksaan tingka osmolalitas serum, kadar
BUN, kreatinin, Natrium, Kalium, Cl dan tes kapasitas pengisian cairan:

1. Na serum >125 mEq/L


Pasien akan mengalami: anoreksia, gangguan penyerapan, dan kram
otot.
2. Na serum = 115 120 mEq/L
Pasien akan mengalami: sakit kepala, perubahan kepribadian,
kelemahan dan letargia, mual dan muntah, kram abdomen.
3. Na serum < 1115 mEq/L
Pasien akan mengalami: kejang dan koma, reflek tidak ada atau
terbatas, tanda babinski, papiledema, edema diatas sternum.

Penentuanan diagnosa SIADH yang paling baik adalah dengan


menggunakan kriteria klasik Bartter-Schwartz, yang dapat diringkas sebagai
berikut:

1. Hiponatremia yang berhubungan dengan hipo-osmolalita;


2. Sekskresi ginjal secara terus menerus terhadap natrium;
3. Keenceran urine kurang dari batas maksimal;
4. Tidak ditemukan bukti klinis mengenai penurunan volume;
5. Tidak ditemukan penyebab lain dari hiponatremia;
6. Koreksi hiponatremia dengan restriksi cairan.

Sedangkan dalam Greenspan dan Baxter (1998) dan Davey (2002) disebutkan
bahwa kriteria diagnostik SIADH termasuk:

1. Hiponatremia berhubungan dengan hipoosmolalitas plasma (< 280


mosm/kg HO) ;
2. Urine tidak maksimal di dilusi, contoh pemekatan tidak sesuai ( > 100
mosm/kg HO);
3. Euvolemia, termasuk tidak adanya gagal jantung kongestif, sirosis,
dan sindroma nefrotik;
4. Peningkatan kadar Na urin;
5. Tidak ada insufisiensi kelenjar adrenal, tiroid, ginjal, atau penggunaan
diuretik.

Tergantung pada perkembangan penyakit, hiponatremia mungkin saja


dapat atau mungkin saja tidak menimbulkan gejala pada pasien dengan SIADH.
Sejarah dari kasus SIADH memperhitungkan pertimbangan sebagai berikut:

1. Secara umum, hiponatremia yang berkembang secara lambat


merupakan gejala yang lebih sedikit ditemukan daripada gejala
penurunan natrium serum secara cepat dengan nilai yang sama.
2. Tanda dan gejala dari hiponatremia akut tidak berhubungan dengan
keparahan
3. Pasien mungkin memiliki gejala yang menunjukkan adanya
peningkatan sekresi ADH seperti nyeri kronis dan gejala yang timbul
pada individu yang memiliki gangguan sistem saraf pusat, tumor paru,
cedera kepala, dan penggunaan narkoba
4. Sumber dari adanya intake cairan yang berlebihan harus dievaluasi
5. Keparahan kondisi harus dipertimbangkan (Thomas, 2016).

Setelah mengidentifikasi adanya hiponatremia, pendekatan yang dilakukan


kepada pasien tergantung pada status klinis yang telah dinilai. Temuan fisik yang
menonjol dapat dilihat hanya pada keadaan hiponatremia akut atau hiponatremia
dengan onset yang cepat yang meliputi:

1. Kebingungan, disorientasi, mengigau


2. Kelemahan otot secara general, mioklonus, tremor, asterixis,
hiporefleksia, ataksia, disartria, pernafasan cheyne-stokes, refleks
patologis
3. Kejang menyeluruh, koma

2.7 Pemeriksaan Penunjang

Tes laboratorium mungkin dapat membantu penegakan diagnosis SIADH.


Tes laboratorium tersebut meliputi:

1. Serum natrium, kalium, klorida, dan bikarbonat


2. Osmolalitas plasma
3. Kreatinin serum
4. Nitrogen urea darah
5. Gula darah
6. Osmolalitas urin
7. Serum asam urat
8. Serum kortisol
9. Hormon perangsang kelenjar tiroid

Volume pasien harus dinilai secara klinis untuk mengesampingkan adanya


hipovolemia. Pemeriksaan pencitraan yang dapat membantu meliputi:

1. Radiografi dada, untuk mendeteksi penyebab masalah paru yang


mendasari munculnya SIADH.
2. Computed tomography atau pencitraan resonansi magnetik kepala,
untuk mendeteksi edema serebral yang terjadi sebagai komplikasi dari
SIADH, untuk identifikasi gangguan sistem saraf pusat yang memiliki
keterkaitan dengan SIADH, atau untuk membantu menyingkirkan
penyebab potensial lain dari perubahan status neurologis.

2.8 Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan SIADH terbagi menjadi 3 kategori yaitu:


a. Pengobatan penyakit yang mendasari, yaitu pengobatan yang
ditunjukkan untuk mengatasi penyakit yang menyebabkan SIADH,
misalnya berasal dari tumor ektopik, maka terapi yang ditunjukkan
adalah untuk mengatasi tumor tersebut.
b. Mengurangi retensi cairan yang berlebihan. Pada kasus ringan retensi
cairan dapat dikurangi dengan membatasi masukan cairan. Pedoman
umum penanganan SIADH adalah bahwa sampai konsenntrasi
natrium serum dapat dinormalkan dan gejala-gejala dapatdiatasi.Pada
kasus yang berat, pemberian larutan normal cairan hipertonik dan
furosemid adalah terapi pilihan.
c. Semua asuhan yang diperlukan saat pasien mengalami penurunan
tingkat kesadaran (kejang, koma, dan kematian) seperti pemantauan
yang cermat masukan dan haluaran urine. Kebutuhan nutrisi terpenuhi
dan dukungan emosional.
Pengobatan SIADH dan kecepatan koreksi hiponatremia tergantung pada
faktor berikut ini:

1. Tingkat hiponatremia
2. Apakah pasien menunjukkan gejala terhadap SIADH
3. Apakah pasien mengalami sindrom akut (<48 jam) atau kronis
4. Osmolalitas urin dan kreatinin

Jika durasi hiponatremia tidak diketahui dan pasien asimtomatik, maka


pasien dianggap mengalami SIADH kronis. Dalam kondisi darurat, resiko
terhadap Central Pontine Myelinolysis (CMP) selalu menjadi pertimbangan dalam
melakukan pengobatan secara cepat terhadap hiponatremia. Pengobatan tersebut
dibenarkan sebagai berikut:
1. Diindikasikan pada pasien yang memiliki gejala yang parah
(misalnya: kejang, pingsan, koma, dan terjadi henti nafas), terlepas
dari tingkat hiponatremia
2. Sangat dipertimbangkan untuk pasien dengan hiponatremia sedang
sampai berat dengan durasi dokumentasi kurang dari 48 jam

Tindakan yang bertujuan untuk memperbaiki hiponatremia pada tingkat


yang tidak menyebabkan komplikasi neurologis adalah sebagai berikut:

1. Meningkatkan natrium serum dengan 0,5-1 mEq / jam, dan tidak lebih
dari 10-12 mEq pada 24 jam pertama
2. Mengarahkan natrium serum maksimum 125-130 mEq / L

Dalam pengaturan akut (<48 jam sejak onset) di mana gejala sedang
diamati, pilihan pengobatan untuk hiponatremia adalah sebagai berikut:

1. 3% hipertonik saline (513 mEq / L)


2. Diuretik loop dengan saline
3. Pemberian vasopressin-2 receptor antagonists (aquaretics, seperti
conivaptan)
4. Pembatasan cairan

Dalam keadaan asimtomatik kronis, pilihan utama pengobatan adalah sebagai


berikut:

1. Pembatasan cairan
2. Pemberian vasopressin-2 receptor antagonists
3. Jika vasopresin-2 antagonis reseptor tidak tersedia atau jika
pengalaman terhadap vasopressin-2 receptor antagonists terbatas, agen
lain yang harus dipertimbangkan termasuk diuretik loop dengan
asupan meningkat garam, urea, manitol, dan demeclocycline.

Terapi SIADH tergantung dari sebab yang mendasarinya. Pasien dengan


SIADH yang diinduksi oleh obat-obatan diterapi dengan menghentikan
pemakaian terhadap obat-obatan tersebut. Pada pasien dengan karsinoma
bronkogenik, terapi SIADH menjadi lebih sukar dengan prognosis yang buruk.
Terpai pada pasien SIADH ditujukan untuk mengembalikan osmolalitas plasma
menjadi normal tanpa menyebabkan ekspansi lebih lanjut dari komponen cairan
ekstraselular, yang dapat terjadi pada pemberian infus cairan hiporosmotik
(Greenspan & Baxter, 1998)

1. Restriksi Cairan
Bentuk terapi paling sederhana adalah dengan melakukan pembatasan
asupan cairan, walaupun pada masa yang paling panjang, haus hebat
yang menyertai cara terapi ini sulit untuk dikelola.
2. Diuretik
Bila osmolalitas plasma rendah, dibutuhkan koreksi dengan cepat,
diuretik seperti furosemid dengan dosis 1 mg/kg 1 jam dapat
dipergunakan. Agen-agen ini mencegah gradien konsentrasi pada
medula dari peningkatan sehingga menurunkan efektivitas ADH.
Karena diuresis disertai dengan hilangnya kalium, kalsium, dan
magnesium secara signifikan melalui urin, maka elektrolit-elektrolit
ini harus diberikan pada pasien dengan cara infus intravena.
3. Metode-metode terapi lain
Pada keadaan darurat bila terjadi hiponatremia yang berat, salin
hipertonis, misalnya natrium klorida 3% yang diberikan sendiri atau
bersama furosemid. Ratio infus 20-40 ml akan meningkatkan natrium
serum 1-2 meg/L perjam pada kebanyakan pasien.

17
Neoplasia
Ca paru, Ca serviks, Ca
nasofaring, dll

BAB 3. PATHWAY

Kelenjar hipofisis
terganggu Gangguan Sistem Syaraf Penyakit Pada Paru Efek Obat
Epilepsi, lupus, trauma Bronkitis, pneumonia, Cholorpropamid,
kepala, dll empisema, dll Carbamazepine, Tricilyc, dll

Peningkatan pelepasan SIADH Inhibisi ADH tidak Stimulasi sekresi ADH Peningkatan osmolaritas plasma
ADH terkontrol

Ketidak Efektifan Perfusi Aliran darah lambat


Resiko Retensi cairan Edema
Ketidakseimbangan Jaringan
Elektrolit
Supply darah ke organ tubuh
Hiponatremia

Aktivasi saraf simpatis


Menerkan renin dan Anorexia
sekresi aldosteron
Gerakan peristaltik

Perut terasa penuh


Penurunan kadar natrium
Gangguan Eliminasi Urine
Retensi makanan di lambung

Nausea
Penurunan konsentrasi air
di urine Urine lebih pekat
BAB 4. ASUHAN KEPERAWATAN BERDASARKAN KASUS

Tn. A berusia 41 tahun seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di sebuah


kantor imigrasi. Tn. A tinggal bersama seorang istri dan dua orang anak. Tn. A
datang ke UGD RS. Jember Nursing Center diantar oleh keluarganya dengan
kondisi tubuh yang lemah lunglai. Klien mengeluh sakit kepala sejak 3 hari yang
lalu disertai dengan mual dan muntah, sehingga klien tidak nafsu makan.
Meskipun demikian, dilaporkan pula berat badan klien meningkat dan tampak
adanya edema di ekstremitas bawah. Klien juga melaporkan bahwa urin yang
keluar ketika BAK sedikit dan pekat, tidak seperti biasanya. Selain itu, klien juga
menyampaikan bahwa sering mengalami kram pada tangan dan kakinya, serta
perutmya. Klien juga mengalami kebingungan tentang sesuatu, dan sempat
mengalami kejang. Pada pemeriksaan fisik didapat keadaan umum pasien TD:
90/60 mmHg RR: 22x/menit Nadi: 80x/menit suhu: 36.80C. Pemeriksaan
penunjang didapatkan hasilnya natrium serum menurun <15 M Eq/L, natrium urin
>20 M Eq/L, berat jenis urin meningkat (<1.020).

4. 1 Pengkajian
4.1.1 Anamnesa
1. Identitas Klien
Nama : Tn. A
Umur : 41 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Pekerjaan : PNS
Alamat : Jalan Kenanga No. 17
2. Keluhan Utama
Klien mengeluh urin yang keluar ketika BAK sedikit dan pekat.

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Klien mengeluh pusing disertai mual dan muntah sehingga klien tidak
memiliki nafsu makan. Kondisi ini diperberat dengan adanya kram pada
perut klien yang frekuensinya semakin sering.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Tn. A pernah MRS karena mual dan muntah yang berkepanjangan.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Tn. A tidak mempunyai riwayat penyakit keluarga yang menular dan
menurun.

4.1.2 Pola Pengkajian Gordon


1. Pola Persepsi dan Pemeliharaan Kesehatan
Pasien mengatakan bahwa sehat adalah kondisi jika jasmani dan rohaninya
tidak ada gangguan atau hambatan dalam sehari-hari. Di dalam
pemeliharaan kesehatannya, pasien menjalankan apa yang tenaga kesehatan
instruksikan seperti minum obat dengan teratur, istirahat cukup, dan
mengkonsumsi banyak sayuran dan buah-buahan serta makanan yang
bergizi.
2. Pola Nutrisi
Pasien tidak nafsu makan dan mengalami mual dan muntah.
3. Pola Eliminasi
Urin yang dikeluarkan ketika BAK sedikit dan pekat tidak seperti biasanya.
4. Pola Aktivitas dan Latihan
Di dalam kesehariannya, pasien bekerja dari pagi hingga sore di Kantor
Imigrasi dan aktivitas ringan di rumah. Tetapi saat ini pasien terbaring
dengan kondisi tubuh yang lemah sehingga tidak dapat beraktivitas seperti
sedia kala.
5. Pola Tidur dan Istirahat
Pasien saat ini mengalami kesulitan tidur kurang lebih sejak 3 hari yang lalu
karena sakit kepala yang dirasakannya.
6. Pola Kognitif dan Perceptual
Tidak ada gangguan pada 112 tulang cranial.
7. Pola Persepsi Diri
Pasien memiliki harga diri yang tinggi. Hal ini didukung dengan
pekerjaannya sebagai seorang PNS di sebuah kantor imigrasi.
8. Pola Seksualitas dan Reproduksi
Dengan kondisinya saat ini, pola seksualitas dan reproduksi pasien
menurun. Pasien saat ini hanya menginginkan dirinya dapat sembuh terlebih
dahulu.
9. Pola Peran dan Hubungan
Di dalam keluarganya, Tn.A sebagai kepala keluarga dengan seorang istri
dan 3 orang anak. Hubungan antara pasien dengan masing-masing anggota
keluarganya sangat baik. beliau mampu mengayomi istri dan anak-anaknya.
10. Pola Manajemen Koping Stres
Keluarga mengatakan pasien merupakan sosok yang kuat, sabar, dan
penyayang. Ketika ada suatu permasalahan, pasien lebih senang untuk
bermusyawarah dalam penyelesaian masalah supaya tidak berlarut-larut.
11. Sistem Nilai dan Keyakinan
Pasien merupakan seorang muslim yang taat. Pasien menjalankan ibadah
sholat 5 waktu sesuai dengan keyakinannya (Agama Islam). Pasien juga
menjadi salah satu pengurus masjid di lingkungan rumahnya dan termasuk
orang yang disegani.
4.1.3 Riview Of System (ROS)
B1 (Breathing) : -
B2 (Blood) :-
B3 (Brain) :
Sakit kepala
Kejang
Kebingungan
B4 (Bladder) :
Penurunan volume urin dan pekat
Penurunan frekuensi berkemih
B5 (Bowel) :
Anorexia
Mual dan muntah
Kram perut
B6 (Bone) :
kelemahan
4.1.4 Pemeriksaan Diagnostik

1. Natrium urin kurang dari 15 M Eq/L(menandakan konservasi ginjal


terhadap Na)
2. Berat urine meningkat ( <1,020 )
3. Osmolalitas plasma dan hiponatremia ( penurunan konsentrasi natrium,
natrium serum menurun sampai 170 M Eq/L
4. Prosedur khusus : tes fungsi ginjal adrenal, dan tiroid normal.

4.2 Diagnosa
1. Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan retensi cairan.
2. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan penurunan konsentrasi air
dalam urine.
3. Ketidak efektifan perfusi jaringan berhubungan dengan edema.
4. Nausea berhubungan dengan retensi makanan di lambung.
4.3 Intervensi

No Diagnosa Keperawatan NOC NIC

1 Resiko ketidakseimbangan Setelah dilakukan tindakan keperawatan, Electrolyte management


elektrolit berhubungan dengan resiko ketidakseimbangan elektrolit dapat
1. Monitor terhadap elektrolit serum yang
retensi cairan berkurang dengan kriteria hasil:
abnormal
2. Monitor manifestasi ketidak seimbangan
Electrolyte Balance
elektrolit
1. Sodium serum dalam batas normal (135- 3. Catat intake dan output dengan akurat
4. Memberikan suplemen elektrolit yang telah
145 mEq/L)
2. Potasium serum dalam batas normal (3,5- diresepkan
5. Monitor terhadap kelihangan cairan
5,1 mEq/L) 6. Sediakan diet yang sesuai dengan pasien
3. Klorida serum dalam batas normal (96-
dengan ketidakseimbangan elektrolit
106 mEq/L)
4. Magnesium serum dalam batas normal Fluid management
(1,3-2,1 mg/dL)
1. Monitor status hidrasi
5. Kalsium serum dalam batas normal (8,4-
2. Monitor TTV
10,6 mg/dL) 3. Menilai lokasi dan luasnya edema
6. Fosfor serum dalam batas normal (2,5- 4. Monitor status nutrisi
5. Monitor respon pasien terhadap terapi
4,5 mg/dL)
elektrolit yang telah diresepkan
Fluid monitoring

1. Monitor berat badan pasien


2. Monitor intake dan output
3. Monitor tekanan darah, denyut jantung, dan
status respirasi
4. Catat intake dan output dengan akurat
2 Gangguan eliminasi urin Setelah dilakukan tindakan keperawatan, Urinary elimination management
berhubungan dengan penurunan gangguan eliminasi urine dapat berkurang
1. Monitor eliminasi urine meliputi frekuensi,
konsentrasi air dalam urine dengan kriteria hasil:
konsistensi, bau, volume, warna
2. Monitor tanda dan gejala terjadinya retensi
Urinary Elimination
urine
1. Jumlah urine dalam batas normal (800- 3. Catat waktu terakhie pasien berkemih
4. Ajarkan pasien dan keluarga untuk mencatat
2.000 ml)
2. Warna urine kekuningan banyaknya urine yang dikeluarkan
3. Bau urine khas 5. Batasi cairan
4. Pasien tidak merasa nyeri sealam
berkemih
5. Frekuensi berkemih normal
6. Intake cairan dalam batas normal
3 Ketidak efektifan perfusi jaringan Setelah dilakukan tindakan keperawatan, Fluid/electrolyte management
perifer berhubungan dengan ketidakefektifan perfusi jaringan dapat
1. Monitor tingkat elektrolit serum yang
edema
berkurang dengan kriteria hasil: abnormal
2. Monitor perubahan pada status pulomer dan
Tissue perfusion: peripheral cardio yang menunjukkan terjadinya
kelebihan cairan
1. CRT < 2 detik
3. Mencatat intake dan output pasien dengan
2. Temperatur ekstremitas bawah teraba
akurat
hangat
4. Monitor tanda dan gajala renensi urine
3. Tekanan darah sistol dalam batas normal
5. Monitor tanda-tanda vital
(100-140 mmHg) 6. Berikansuplemen elektrolit yang telah
4. Tekanan darah diastole dalam batas
diresepkan
normal (< 85 mmHg) 7. Monitor efek samping suplemen elektrolit
5. Edema teratasi 8. Monitor terhadap kelingan cairan (muntah,
6. Tidak terjadi nekrosis
diare, pendarahan, dan takipnea)
7. Tidak terjadi kelemahan otot
8. Tidak terjadi kelumpuhan
4 Nausea berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan keperawatan, Nausea management
adanya retensi makanan di nausea dapat berkurang dengan kriteria hasil:
1. Lakukan pengkajian secara lengkap
lambung
Appettite terhadap mual yang meliputi frekuansi,
durasi, keparahan,dan faktor presipitasi
1. Pasien memiliki keinginan untuk 2. Evaluasi dampak dari mual terhadap
makan kualitas hidup
2. Pasien menikmati makanannya 3. Ajarkan teknik nonfarmalogiks seperti
3. Intake makanan, nutrisi, dan cairan
distraksi dan relaksasi
adekuat 4. Dorong pasien untuk istirahat dan tidur
Nausea and vomiting control secara adekuat untuk mengurangi mual
5. Sediakan informasi mengenai mual yang
1. Pasien dialami pasien seperti penyebab mual dan
mengetahui kapan mual muncul berapa lama pasien akan mengalami mual
2. Pasien dapat
Nutritional monitoring
mendeskripsikan faktor yang dapat
menyebabkan mual 1. Tentukan status nutrisi pasien dan
3. Pasien
kemampuan pasien utnuk mencapai
melaporkan dapat mengontrol mual dan
kebutuhan nutrisi
muntah 2. Monitor intake kalori dan diet
3. Monitor penuruan dan kenaikan berat badan

4.4 Implementasi dan Evaluasi

NO DIAGNOSA KEPERAWATAN IMPLEMENTASI EVALUASI


1 Resiko ketidakseimbangan Electrolyte management S: pasien mengatakan keadaan saya masih
elektrolit berhubungan dengan seperti kemarin, tidak ada perubahan
1. Memonitor terhadap elektrolit serum yang
retensi cairan O: pasien tampak masih mengalami udem, kadar
abnormal
2. Memonitor manifestasi ketidak Na serum > 125 mEq/L
seimbangan elektrolit A: masalah belum teratasi
3. Mencatat intake dan output dengan P: lanjutkan intervensi manajemen elektrolit,
akurat manajemen carian, dan monitoring cairan
4. Memberikan suplemen elektrolit yang
telah diresepkan
5. Memonitor terhadap kelihangan cairan
6. Menyediakan diet yang sesuai dengan
pasien dengan ketidakseimbangan
elektrolit
Fluid management

1. Memonitor status hidrasi


2. Memonitor TTV. Melakukan pengukuran
tekanan darah, suhu, nadi, dan menghitung
respiratory rate pasien
3. Menilai lokasi dan luasnya edema
4. Memonitor status nutrisi
5. Memonitor respon pasien terhadap terapi
elektrolit yang telah diresepkan
Fluid monitoring

1. Memonitor berat badan pasien


2. Memonitor intake dan output
3. Memonitor tekanan darah, denyut jantung,
dan status respirasi
4. Mencatat intake dan output dengan akurat
2 Gangguan eliminasi urin Urinary elimination management S: pasien mengatakan kencing saya masih
berhubungan dengan penurunan sedikit sus
1. Memonitor eliminasi urine meliputi
konsentrasi air dalam urine O: volume urine dalam kantung kateter sedikit
frekuensi, konsistensi, bau, volume, warna
2. Memonitor tanda dan gejala terjadinya 200 ml
retensi urine A: masalah belum teratasi
3. Mencatat waktu terakhie pasien berkemih P: lanjutkan intervensi manajemen eliminasu
4. Mengajarkan pasien dan keluarga untuk
urine
mencatat banyaknya urine yang
dikeluarkan
5. Membatasi cairan
3 Ketidak efektifan perfusi jaringan Fluid/electrolyte management S: pasien mengatakan bengkak di kaki saya
perifer berhubungan dengan sepertinya mengecil sedikit sus
1. Memoni
edema O: edema di ekstremitas bawah tampak sedikit
tor tingkat elektrolit serum yang abnormal
2. Memoni berkurang, TD 110/60 mmHg, RR 20 kali/menit,
tor perubahan pada status pulomer dan CRT > 2 detik, suhu 35C
cardio yang menunjukkan terjadinya A: masalah teratasi sebagian
kelebihan cairan P: lanjutkan intervensi manajemen
3. Mencata cairan/elektrolit
t intake dan output pasien dengan akurat
4. Memoni
tor tanda dan gajala renensi urine
5. Memoni
tor tanda-tanda vital
6. Member
ikansuplemen elektrolit yang telah
diresepkan
7. Memonitor efek samping suplemen
elektrolit
8. Memonitor terhadap kelingan cairan
(muntah, diare, pendarahan, dan takipnea)
4 Nausea berhubungan dengan Nausea management S: pasien mengatakan saya sudah tidak mual
adanya retensi makanan di lagi sus
1. Melakukan pengkajian secara lengkap
lambung O: pasien mengalami peningkatan nafsu makan,
terhadap mual yang meliputi frekuansi,
intake makanan, nutrisi, dan cairan adekuat,
durasi, keparahan,dan faktor presipitasi
2. Mengevaluasi dampak dari mual terhadap A:masalah teratasi
kualitas hidup P: hentikan intervensi
3. Mengajarkan teknik nonfarmalogiks
seperti distraksi dan relaksasi
4. Mendorong pasien untuk istirahat dan
tidur secara adekuat untuk mengurangi
mual
5. Menyediakan informasi mengenai mual
yang dialami pasien seperti penyebab mual
dan berapa lama pasien akan mengalami
mual
Nutritional monitoring

1. Menentukan status nutrisi pasien dan


kemampuan pasien utnuk mencapai
kebutuhan nutrisi
2. Memonitor intake kalori dan diet
3. Memonitor penuruan dan kenaikan berat
badan
BAB 5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone Secretion (SIADH)
didefinisikan sebagai suatu keadaan hiponatremia dan hipo-osmolalitas yang
disebabkan oleh adanya suatu kondisi yang tidak tepat, sekresi yang terus menerus
atau kinerja hormon yang tidak normal, atau terjadinya peningkatan volume
plasma yang menyebabkan terganggunya ekskresi air. SIADH paling sering
disebabkan oleh gangguan yang berupa adanya hipersekresi ADH dari sumber
hipotalamus normal atau dengan produksi ektopik. Orang dengan penyakit
SIADH biasanya menunjukkan gambaran klinis seperti; mual dan muntah yang
memburuk sejalan dengan derajat intoksikasi air, hiponatremi, takhipnea, letargi,
penurunan kesadaran sampai koma dan lain sebagainya. Agar dapat dipastikan
untuk melakukan penegakan diagnosis SIADH maka ada beberapa tes
laboratorium yang dapat membantu yakni; serum natrium,kalium,klorida dan
bikarbonat, lalu tes laboratorium osmolitas plasma, tes kretinin serum, tes
nitrogen urea darah, tes gula darah dan tes osmolitas urin, tes serum asam urat, tes
serum kortisol, dan tes hormon perangsang kelenjar tiroid. Penatalaksanaan dari
SIADH terbagi menjadi 3 kategori yaitu; pengobatan penyakit yang mendasari,
mengurangi retensi cairan yang berlebihan, dan Semua asuhan yang diperlukan
saat pasien mengalami penurunan tingkat kesadaran (kejang, koma, dan kematian)
seperti pemantauan yang cermat masukan dan haluaran urine. Kebutuhan nutrisi
terpenuhi dan dukungan emosional.

5.2 Saran
Di harapkan para tenaga kesehatan lebih memfokuskan lagi untuk mengatasi
terjadinya SIADH agar tidak sering terjadi ataupun meningkat. Tenaga kesehatan
seharusnya mensosialisasikan bagaimana cara-cara untuk mencegah terjadinya
SIADH dan bagaimana cara mengatasi SIADH.
DAFTAR PUSTAKA

BMJ Best Practice. 2016. Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone


[Serial Online]. http://bestpractice.bmj.com/best-
practice/monograph/196/basics/epidemiology.html [15 Oktober 2016].

Bulechek, (et al). 2013. Nursing Interventions Classifications (NIC) 6th Edition.
Missouri: Mosby Elsevier.

Copstead, L.E.C. dan Banasik, J.L. 2013. Pathophysiology. Missouri: Elsevier.

Corwin, E.J. 2001. Patofisiologi:Sistem Endokrin. Jakarta : EGC.

Corwin, E.J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Davey, P. 2002. At a Glance Medicine. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Greenspan, F.S. dan Baxter, J.D. 1998. Endokrinologi Dasar dan Klinik. Jakarta:
EGC.

Hannon, M.J. dan Thompson, C.J. 2010. The Syndrome Of Inappropriate


Antidiuretic Hormone: Prevalence, Causes And Consequences [Serial
Online]. http://www.eje-online.org/content/162/Suppl1/S5.long [15
Oktober 2016].

Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (Eds). 2014. NANDA International Nursing


Diagnoses: Definition and Classification, 2015-2017. Oxford: Wiley
Blackwell.

Moorhed, (et al). 2013. Nursing Outcomes Classifications (NOC) 5th Edition.
Missouri: Mosby Elsevier.

Otto, S.E. 2003. Buku Saku Keperawatan Onkologi. Jakarta: EGC.

Price, S.A. dan Lorraine, M.W. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, Volume 2. Jakarta: EGC.
Tao, L dan Kendall, K. 2014. Sinopsis Organ System: Endokrinologi. Tangerang
Selatan: Karisma Publishing Group.

Thomas et al. 2016. Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone Secretion


[Serial Online]. http://emedicine.medscape.com/article/246650-overview
[06 Oktober 2016].

Tisdale, James & Miller, Douglas. 2010. Drug-Induced Diseases: Prevention,


Detection, and Management, page 892. U.S : heartside publishing.

35

Anda mungkin juga menyukai