Anda di halaman 1dari 6

Sumber dan Solusi

Ketimpangan Sosial
GIANIE
16 Desember 2015 14:20 WIB 2668 dibaca 0 komentar

Bank Dunia pada 8 Desember lalu melansir laporan berjudul Indonesia's Rising
Divide yang memaparkan ketimpangan kesejahteraan di Indonesia semakin
melebar dan bergerak cepat. Pertumbuhan ekonomi yang rata-rata mencapai 6
persen per tahun setelah pulih dari krisis ekonomi 1998 dan turunnya angka
kemiskinan tak juga mendekatkan jarak antara si kaya dan si miskin.

KOMPAS/PRIYOMBODOPermukiman kumuh di bantaran saluran Sunter dengan latar


belakang pembangunan hunian vertikal, Jakarta Utara, beberapa waktu lalu.
Pertumbuhan hunian mewah dan apartemen yang berimpitan dengan permukiman
padat dapat memicu kesenjangan sosial.
Dalam 15 tahun terakhir, koefisien gini yang menggambarkan ketimpangan
meningkat tajam dari angka 30 pada tahun 2000 menjadi 41 di saat sekarang.
Dalam skala nol sampai 100, angka nol berarti setara sepenuhnya dan angka 100
berarti timpang sepenuhnya. Angka tersebut sama dengan 0,30 (2000) dan 0,41
(2014) dalam skala 0 sampai 1.

Ketimpangan akan lebih mudah dibayangkan melalui perbandingan konsumsi dan


kekayaan. Dari segi konsumsi, di tahun 2002, konsumsi 10 persen orang terkaya di
Indonesia setara dengan total konsumsi 42 persen penduduk termiskin.
Ketimpangan meningkat pada 2014 di mana konsumsi 10 persen orang terkaya
menjadi setara dengan total konsumsi 54 persen penduduk termiskin.

Dari segi kekayaan, 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai sekitar 77


persen kekayaan di negeri ini. Lebih kontras lagi, 1 persen orang terkaya tersebut
menguasai 50,3 persen kekayaan bangsa ini. Sisa kekayaan yang 50 persen lagi
diperebutkan oleh 99 persen penduduk alias 247,5 juta jiwa.

Konsentrasi kekayaan yang besar pada segelintir orang ini menempatkan Indonesia
bersama Thailand pada urutan kedua tertinggi dari 38 negara yang diteliti. Urutan
pertama ditempati oleh Rusia di mana 1 persen orang terkaya di sana menguasai
66,2 persen kekayaan di negara tersebut.

Konsentrasi kekayaan yang timpang ini menunjukkan pendapatan dari


aset fisik dan finansial yang dimiliki oleh segelintir orang memberikan
lebih banyakbenefit dibandingkan pendapatan hanya dari upah yang
dimiliki oleh banyak orang. Segelintir orang tersebut tentu saja hidupnya
tidak lagi mengandalkan upah/gaji bulanan.
Dalam ilmu ekonomi, rumah tangga menerima pendapatan tidak semata
dari upah lewat bekerja, tetapi juga dari aset fisik (properti) dan finansial
(surat berharga) yang dikelolanya. Di masa sekarang, porsi pendapatan
dari upah cenderung turun. Sementara porsi pendapatan dari kapital atau
aset finansial dan properti terus meningkat. Hal ini terjadi di seluruh
belahan dunia, bukan hanya di Indonesia. Perbedaan kepemilikan kapital
dan upah ini ikut mendorong ketimpangan yang semakin melebar.

Ketimpangan itu pun disumbang oleh meningkatnya populasi kelas


menengah, yang di Indonesia rata-rata bertambah 10 persen per tahun
sejak 2002. Saat ini (2014), terdapat 45 juta orang yang merupakan kelas
menengah Indonesia yang secara ekonomi sangat mapan dan menikmati
hidup yang lebih berkualitas. Jumlah tersebut setara dengan 18 persen
orang terkaya Indonesia dari total penduduk. Padahal, pada tahun 2002
jumlahnya baru sekitar 7 persen. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi
ditengarai telah menciptakan kelas ekonomi yang semakin kuat
dibandingkan sebelumnya.

Penyebab ketimpangan
,,

Sebetulnya apa yang membuat ketimpangan kesejahteraan semakin


melebar? Pertanyaan ini yang sering dijadikan dasar analisis untuk
memahami kepentingan. Penjelasannya pun beragam. Namun, jika dilihat
dalam kerangka yang sempit dengan materi sebagai ukuran, ketimpangan
ekonomi/kesejahteraan dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu aset,
pendapatan, konsumsi, dan investasi.

Keempat variabel ini saling berhubungan. Suatu rumah tangga memiliki


sumber-sumber yang berbeda untuk mendapatkan materi (penghasilan).
Ada yang memperoleh materi dengan bekerja dan mendapatkan upah.
Ada yang memperoleh pendapatan dari mengelola aset finansial dan fisik
(properti) yang dimiliki.

Dengan pendapatan yang dimiliki lalu bagaimana menggunakannya untuk


konsumsi. Hal ini juga menentukan, apakah pendapatan habis semua atau
masih bisa ditabung dan diinvestasikan di berbagai sektor untuk
mengakumulasi kekayaan.

Namun, keempat variabel ini sangat rentan dipengaruhi oleh kondisi krisis
(shocks). Pendapatan baik dari upah/gaji atau pengembangan aset bisa
berkurang, bahkan hilang. Konsumsi bisa membengkak karena kenaikan
harga-harga sehingga pendapatan tidak mencukupi. Tabungan atau
investasi juga bisa terhenti.
Dalam kondisi krisis, kelompok yang ekonominya lebih mapan lebih bisa
bertahan dan tetap mampu melihat peluang untuk mengakumulasi
kekayaan. Sementara kelompok yang berada sedikit di atas garis
kemiskinan bisa jatuh dan terperosok ke kelas yang lebih bawah.

Namun, ketimpangan dalam kerangka yang lebih luas tidak hanya


berbicara dari segi materi. Bank Dunia setidaknya menyebutkan ada
empat hal yang membuat ketimpangan semakin melebar di Indonesia.
Pertama, ketidaksetaraan kesempatan dalam mendapatkan keterampilan
dan pendidikan yang membuat seseorang bisa mendapatkan pekerjaan
dengan upah/gaji yang baik.

Kedua, adanya kesenjangan upah antara pekerja terampil/profesional


yang upah/gajinya terus meningkat dengan pekerja yang tidak dapat
mengembangkan keterampilannya dan terperangkap dalam produktivitas
rendah. Akibatnya, upah/gajinya selalu rendah.

Ketiga, tentu saja karena adanya segelintir orang yang diuntungkan dari
penguasaan aset finansial yang besar yang biasanya terus berkembang
sepanjang waktu. Jumlah ini pun kian membesar dan melahirkan generasi
yang mapan sejak lahir sehingga kesenjangan tetap terjadi. Walaupun
terkadang penguasaan dan akumulasi aset segelintir orang tersebut
diduga didapat dan berkembang karena praktik korupsi.

KOMPAS/AGUS SUSANTOHunian warga beragam mulai yang berimpitan, rumah


besar, hingga apartemen di Cawang, Jakarta Timur, beberapa waktu lalu.
Keempat, terjadinya krisis (shocks) akan memperbesar ketimpangan
karena memengaruhi kemampuan rumah tangga dalam hal
mempertahankan pendapatan, tabungan, dan berinvestasi terutama
untuk kesehatan dan pendidikan.
Mengatasi ketimpangan

Upaya untuk mengatasi ketimpangan kesejahteraan ini sudah banyak


diwacanakan, bahkan sejak dulu. Kunci utamanya adalah perbaikan
kinerja pemerintah baik pusat maupun daerah karena kesenjangan juga
terjadi antardaerah.

Ada empat hal pula yang harus dilakukan untuk mengatasi ketimpangan.
Pertama, akses terhadap pendidikan dan kesehatan harus diperbaiki dan
diperluas karena ini faktor untuk memperbaiki kesejahteraan. Ia menjadi
syarat untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang layak dan menuju
kepemilikan aset yang lebih baik.

Kedua, menyediakan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan dan


pengetahuan tenaga kerja agar tidak terjebak dalam produktivitas yang
rendah. Hal ini bisa mengurangi kesenjangan upah/gaji.
Ketiga, menyediakan perlindungan atau pengamanan bagi masyarakat
saat terjadinya krisis/guncangan. Bentuk bantuan langsung tunai (cash
transfer) akan efektif asal penyalurannya tepat sasaran. Keempat, alokasi
anggaran APBN yang fokus pada perbaikan infrastruktur, kesehatan, dan
pendidikan.
Untuk itu, perlu revolusi kinerja pemerintah agar masyarakat tidak
terbelah antara yang berpunya (the haves) dengan yang tidak (the haves
not), dan tidak terjadi konsentrasi kekayaan hanya pada 1 persen
penduduk. Akan menjadi pemandangan yang ironis jika di saat sebagian
anak-anak terlahir sehat dan memperoleh pendidikan yang bagus, tetapi
sebagian lainnya (yang lebih besar) tidak.
(LITBANG KOMPAS)

Source: http://print.kompas.com/baca/2015/12/16/Sumber-dan-Solusi-
Ketimpangan-Sosial

Anda mungkin juga menyukai