Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Buah Naga

Buah naga atau Dragon Fruit (Hylocereus undatus) saat ini banyak

dikembangkan di Indonesia. Terdapat empat jenis buah naga yakni buah naga

daging putih (Hylocereus undatus), buah naga daging merah (Hylocereus

polyrhizus), buah naga daging super merah (Hylocereus costaricencis) dan

buah naga kuning daging putih (Selenicerius megalanthus) (Ashari, 2011).

Gambar 2.1 Buah naga

Buah naga (Dragon Fruit) merupakan buah pendatang yang banyak

digemari oleh masyarakat karena memiliki khasiat dan manfaat serta nilai gizi

cukup tinggi. Bagian dari buah naga 30-35% merupakan kulit buah namun

seringkali hanya dibuang sebagai sampah. Kulit buah naga mengandung zat
warna alami antosianin cukup tinggi. Antosianin merupakan zat warna yang

berperan memberikan warna merah berpotensi menjadi pewarna alami untuk

pangan dan dapat dijadikan alternatif pengganti pewarna sintetis yang lebih

aman bagi kesehatan (Citramukti, 2008).

Pada umumnya buah naga dikonsumsi dalam bentuk segar sebagai

penghilang dahaga. Selain itu, buah naga juga sebagai salah satu jenis buah-

buahan yang berkhasiat menurunkan kadar kolesterol darah yang tinggi,

pencegah penyakit tumor, kanker, melindungi kesehatan mulut, pencegah

pendarahan, pencegahan dan mengobati keputihan, meningkatkan daya tahan

tubuh, menormalkan sistem peredaran darah, menurunkan tekanan emosi,

menetralkan toksin (racun) dalam tubuh, menurunkan kadar lemak,

menguatkan fungsi otak, melancarkan proses pencernaan, menyehatkan mata,

menguatkan tulang dan pertumbuhan badan, menjaga kesehatan jantung,

memperhalus kulit wajah, dan mengobati sembelit (Cahyono, 2009).

Selain daging buah, kulit buah naga juga tidak kalah pentingnya sebab

kulit buah naga mengandung pigmen antosianin yang bersifat antioksidan.

Antosianin merupakan zat warna yang berperan memberikan warna ungu,

berpotensi menjadi pewarna alami untuk pangan dan dapat dijadikan

alternatif pengganti pewarna sintetis yang lebih aman bagi kesehatan

(Citramukti, 2008). Handayani dan Rahmawati (2012) menyatakan bahwa

kulit buah naga dapat diaplikasikan sebagai pewarna alami bahan makanan

pengganti pewarna sintetik.


Antosianin adalah kelompok pigmen yang berwarna merah sampai biru

yang tersebar dalam tanaman (Abbas, 2003). Pada beberapa buah-buahan dan

sayuran serta bunga memperlihatkan warna-warna yang menarik yang mereka

miliki termasuk komponen warna yang bersifat larut dalam air dan terdapat

dalam cairan sel tumbuhan (Fennema, 1976). Antosianin adalah suatu kelas

dari senyawa fl avonoid yang secara luas terbagi dalam polifenol tumbuhan.

Flavonol, flavon-3-ol, flavon, flavanon, dan flavanol adalah kelas tambahan fl

avonoid yang berada dalam oksidasi dari antosianin. Larutan pada senyawa fl

avonoid adalah tak berwarna atau kuning pucat (Harborne, 1987). Antosianin

stabil pada pH 3,5 dan suhu 50oC, mempunyai berat molekul 207,08 g/mol

dan rumus molekul C15H11O (Fennema, 1996).

Antosianin merupakan pigmen golongan flavonoid yang larut dalam air.

Menurut Winarno (1997) warna-warna merah, biru, ungu dalam buah dan

tanaman biasanya disebabkan oleh warna pigmen antosianin (flavonoid) yang

terdiri atas tiga gugusan penting:

1. Cincin dasar yang terdiri dari gugusan aglikon (tanpa gula).

2. Gugusan aglikon atau gula.

3. Asam organik asli misalnya koumarat, kofeat atau ferulat (Winarno, 1997).

Menurut Markakis (1982), molekul antosianin disusun dari sebuah

aglikon (antosianidin) yang teresterifikasi dengan satu atau lebih gula

(glikon). Menurut Timberlake dan Bridle (1980), gula yang menyusun

antosianin terdiri dari:

1. Monosakarida, biasanya glukosa, galaktosa, ramnosa, dan arabinosa.


2. Disakarida yang merupakan dua buah monosakarida dengan kombinasi

dari empat monosakarida di atas xilosa, seperti rutinosa.

3. Trisakarida, merupakan tiga buah monosakarida yang mengandung

kombinasi dari gula-gula di atas dalam posisi linier maupun rantai cabang.

Adanya gugusan gula yang meliputi monosakarida, disakarida, dan

trisakarida akan mempengaruhi stabilitas antosianin. Apabila gugusan gula

lepas, antosianin menjadi labil. Ketika pemanasan dalam asam pekat,

antosianin pecah menjadi antosianidin dan gula. Berbagai jenis struktur

antosianin disajikan pada gambar 4.

Gambar 2.2. Berbagai jenis struktur antosianin

Antosianin diyakini mempunyai efek antioksidan yang sangat baik.

Sebuah penelitian yang dilakukan di Universitas Michigan Amerika

menunjukkan bahwa antosianin dapat menghancurkan radikal bebas, lebih

efektif daripada vitamin E yang selama ini telah dikenal sebagai antioksidan

kuat (Winarno,1997). Penelitian lain di Amerika Serikat membuktikan bahwa


antosianin merupakan antioksidan paling kuat diantara kelas flavonoid

lainnya. Kandungan antosianin diyakini dapat menghambat berbagai radikal

bebas seperti radikal superoksida dan hydrogen peroksida. Antosianin dan

berbagai bentuk turunannya dapat menghambat berbagai reaksi oksidasi

dengan berbagai mekanisme (Astawan dan Kasih,2008). Faktor yang

mempengaruhi kekuatan antioksidan pada buah-buahan berwarna ungu antara

lain tingkat kematangan buah. Pada buah yang hijau hanya terdiri dari

malvidin-3-acetylglucoside dan pigmen polymeric sedangkan pada buah yang

masak terdiri dari cyanidin-3-rutinoside (>75%), cyanidin-3-glucoside

(<17%), dan malvidin-3-acetylglucoside (<9%) (Rivera dkk, 1998). Selama

proses pematangan, buah banyak terjadi perubahan kimia, termasuk

perubahan komposisi pigmen dan perubahan warna yang melibatkan proses

biosintesis dan katabolisme. Selama proses pematangan ini, kloroplas secara

berangsur-angsur akan digantikan oleh kromoplas yang hanya mengandung

karotenoid. Proses pematangan pada berbagai buah juga melibatkan

biosintesis antosianin yang larut dalam air yang terakumulasi dalam vakuola

sentral dalam sel mesofil. Proses pembentukan antosianin ini diawali oleh

malonil-CoA yang berasal dari 3 asetilCoA dan p-koumaroil-CoA fenilalanin

(MacDougall 2002). Ketika tingkat kematangan semakin tinggi maka

aktivitas antioksidannya semakin tinggi, antosianin meningkat pada buah

yang semakin matang.

Faktor yang juga mempengaruhi stabilitas antosianin adalah struktur

antosianin dan komponen-komponen lain yang terdapat pada bahan pangan


tersebut. Antosianin dapat membentuk kompleks dengan komponen

polifenolik lainnya. Komponen flavonol dan flavon yang biasanya selalu

berkonjugasi dengan antosianin juga memiliki kontribusi dalam menjaga

stabilitas antosianin (Gomez, 2006).

Proses pemanasan juga merupakan faktor terbesar yang menyebabkan

kerusakan antosianin. Proses pemanasan terbaik untuk mencegah kerusakan

antosianin adalah pengolahan pada suhu tinggi, tetapi dalam jangka waktu

yang sangat pendek (High Temperature Short Time (HTST)). Cabrita dan

Andersen (1999) menyatakan bahwa peningkatan suhu penyimpanan dari

10C menjadi 23C, masing-masing selama 60 hari, akan menyebabkan

peningkatan kerusakan antosianin dari 30 persen menjadi 60 persen.

Sebaliknya, stabilitas antosianin dapat meningkat sebanyak 6-9 kali ketika

suhu penyimpanan diturunkan dari 20C menjadi 4C. Antosianin yang

disimpan di dalam ruang vakum akan lebih stabil dibandingkan dengan

disimpan di ruang terbuka.

B. Pigmen Warna

Pigmen adalah zat pewarna alami yang merupakan golongan senyawa

yang berasal dari hewan atau tumbuhan. Pewarna alami dapat dipakai sebagai

tambahan makanan, tetapi beberapa pewarna sintetis, terutama karotenoid,

dianggap sama dengan pewarna alam sehingga tidak perlu pemeriksaan

toksikologi secara ketat seperti bahan pengisi lain (Dziezak,1988).


Pigmen zat pewarna yang diperoleh dari bahan alami antara lain (Hidayat,

N., & Saati,E.A., 2006) :

1. Karoten, menghasilkan warna jingga sampai merah, dapat diperoleh dari

wortel, pepaya, dll.

2. Biksin, menghasilkan warna kuning, diperoleh dari biji pohon Bixa

orellana

3. Karamel, menghasilkan warna coklat gelap merupakan hasil dari hidrolisis

karbohidrat, gula pasir, laktosa, dll.

4. Klorofil, menghasilkan warna hijau, diperoleh dari daun suji, pandan, dll.

5. Antosianin, menghasilkan warna merah, oranye, ungu, biru, kuning,

banyak terdapat pada bunga dan buah-buahan seperti buah anggur,

strawberry, duwet, bunga mawar, kana, rosella, pacar air, kulit manggis,

kulit rambutan, ubi jalar ungu, daun bayam merah, dll

6. Tanin, menghasilkan warna coklat, terdapat dalam getah.

Salah satu jenis dari pigmen adalah antosianin. Antosianin berasal dari

bahasa Yunani, anthos yang berarti bunga dan kyanos yang berarti biru

gelap. Antosianin merupakan pigmen yang larut dalam air, tersebar luas

dalam bunga dan daun, serta menghasilkan warna dari merah sampai biru. Zat

pewarna alami antosianin merupakan senyawa flavonoid yang tergolong ke

dalam turunan benzopiran. Struktur utama turunan benzopiran ditandai

dengan adanya dua cincin aromatik benzena (C6H6) yang dihubungkan

dengan tiga atom karbon yang membentuk cincin (Moss, 2002).


Gambar 2.3. Struktur dasar benzopiran (Moss, 2002).

Antosianin akan berubah warna seiring dengan perubahan nilai pH. Pada

pH tinggi antosianin cenderung bewarna biru atau tidak berwarna, sedangkan

untuk pH rendah berwarna merah. Kebanyakan antosianin menghasilkan

warna merah keunguan pada pH kurang dari 4. Jumlah gugus 6 hidroksi atau

metoksi pada struktur antosianidin, akan mempengaruhi warna antosianin.

Adanya gugus hidroksi yang dominan menyebabkan warna cenderung biru

dan relatif tidak stabil, sedangkan jika gugus metoksi yang dominan pada

struktur antosianidin, akan menyebabkan warna cenderung merah dan

relatif stabil (Deman, 1997).

Gambar 2.4. Struktur antosianidin

C. Zat Pewarna Tekstil

Zat warna tekstil tekstil itu digolongkan menjadi dua yaitu: yang
pertama adalah zat pewarna alam (ZPA) yaitu zat warna yang berasal dari

bahan bahan alam pada umumnya dari hewan ataupun tumbuhan dapat

berasal (akar, batang, daun, kulit, dan bunga ). Sedangkan yang kedua

adalah zat pewarna sintesis (ZPS) yaitu zat warna buatan atau sintesis

dibuat dengan reaksi kimia. (Noor Fitrihana., 2007)

Sebagian besar warna dapat diperoleh dari produk tumbuhan. Di

dalam tumbuhan terdapat pigmen tumbuhan penimbul warna yang berbeda

tergantung menurut struktur kimianya yaitu: klorofil, karotenoid, tanin, dan

antosianin. Sifat dari pigmen pigmen ini umumnya tidak stabil terhadap

panas, cahaya, dan pH tertentu.

Khlorofil (chlorophil) adalah kelompok pigmen fotosintesis yang

terdapat dalam tumbuhan, menyerap cahaya merah, biru dan ungu, serta

merefleksikan cahaya hijau yang menyebabkan tumbuhan memperoleh ciri

warnanya. Terdapat dalam kloroplas dan memanfaatkan cahaya yang

diserap sebagai energi untuk reaksi-reaksi cahaya dalam proses fotosintesis.

Klorofil A merupakan salah satu bentuk klorofil yang terdapat pada semua

tumbuhan autotrof. Klorofil B terdapat pada ganggang hijau chlorophyta

dan tumbuhan darat. Klorofil C terdapat pada ganggang coklat Phaeophyta

serta diatome Bacillariophyta. Klorofil D terdapat pada ganggang merah

Rhadophyta. Akibat adanya klorofil, tumbuhan dapat menyusun

makanannya sendiri dengan bantuan cahaya matahari. (Arthazone., 2007)

Karotenoid adalah pigmen yang larut dalam lemak tetapi tidak

larut dalam air yaitu pigmen zat warna kuning orange sampai merah.
Karotenoid dikenal dalam 2 bentuk : (Made Astawan., 2005)

a. Alfa karotenoid ( karotena)

b. Beta karotenoid ( karotena)

Antosianin yaitu pigmen yang larut dalam air , yang dapat

memberikan warna merah, biru, atau keunguan. Antosianin bagi kesehatan

berfungsi sebagai antioksidan.(S. D, Indisari., 2006)

Tanin ialah pigmen pembentuk warna gelap. Tanin merupakan

senyawa kompleks biasanya campuran polifenol tidak mengkristal (tannin

extracts). Tanin disebut juga sebagai asam tanat dan asam galatanat.

Efin dan Endah., (2007) melakukan percobaan tentang adanya

pengaruh waktu dan konsentrasi setimbang yang diperoleh terhadap

banyaknya hasil ekstrak dalam pembuatan zat warna alami dari biji

kesumba dengan menggunakan ekstraktor berpengaduk dan soxhlet yaitu

diketahui bahwa semakin banyak waktu ekstraksi maka konsentrasi zat

warna dalam pelarut semakin besar hingga dicapai konsentrasi konstan.

Hal ini dipengaruhi oleh waktu kontak antara padatan dengan pelarut, dan

adanya perbedaan konsentrasi antara zat warna yang ada didalam biji

kesumba dan zat warna dalam pelarut. Hasil dari ekstrak 20 gr biji

kesumba dengan 200 ml pelarut, konsentrasi zat warna setimbang dalam

70 menit, sedangkan dari 60 gr biji dengan 200 ml pelarut, konsentrasi

setimbang dalam 100 menit. Pada waktu tersebut zat warna yang

terekstark sangat kecil sehingga sudah tidak dapat di amati ( konsentrasi

sudah konstan). (Efin dan Endah., 2007).


Proses pengambilan zat warna dari kulit buah manggis yang

dilakukan oleh Adi dan Agus.,(2008) menggunakan 2 cara yaitu : ekstraksi

soxhlet dan ekstraktor berpengaduk. Dengan ekstraksi soxhlet yang

dilakukan dengan adanya variasi suhu, menunjukkan bahwa semakin

tinggi suhu operasi maka zat warna yang diperoleh semakin banyak,

o o
yaitu pada rentang suhu antara 30 C 70 C. Dengan adanya kenaikan

suhu maka kelarutan zat warna juga meningkat. Dari beberapa suhu yang

o
di coba di dapat suhu optimalnya 70 C. Percobaan kedua

menggunakan ekstraktor berpengaduk yang dijalankan 2 jam dengan

suhu 343K dengan rasio berat bahan dan berat pelarut 1:10 dengan

kecepatan pengadukan 500rpm. Ekstrak zat warna didestilasi dan

dikeringkan dalam oven sampai suhu konstan. Zat warna yang diperoleh

2,63 gr atau 13,15 % dari berat bahan kering biji kesumba 20 gr. (Adi dan

Agus., 2008).

Dari percobaan yang dilakukan oleh Fitria dan Lia., (2009) yaitu

pembuatan ekstrak zat warna alami dari buah mahkotadewa. Proses

ekstrasi ini dilakukan dengan menggunakan metode ekstraksi secara

batch dan soxhlet dengan pelarut air. Ekstraksi secara batch dilakukan

dengan cara merebus dan memekatkan ekstrak sampai 1/3 dari volume

awal. Selanjutnya pada pengambilan ekstrak zat warna yang dilakukan

dengan soxhlet memerlukan 13 15 kali sirkulasi untuk mencapai warna

pelarut pada kolom menjadi bening. Yield dari proses pengambilan dengan
ekstraksi batch 4,28 %, sedangkan ekstraksi menggunakan soxhlet di dapat

yield 3,625 %. (Fitria dan Lia., 2009)

Pembuatan ekstrak zat warna yang dilakukan oleh Ari dan Nasfi.,

(2009) dengan bahan baku biji buah mangsi menghasilkan warna coklat

tua. Percobaan ini dilakukan dengan 2 cara perebusan (ekstraksi secara

batch) dan ekstraksi dengan soxhlet. Perebusan dilakukan untuk

mendapatkan ekstrak zat warnanya, kemudian memekatkannya dengan

cara diuapkan. Sedangkan untuk soxhlet waktu yang dibutuhkan untuk

sekali sirkulasi dalam ekstraksi ini membutuhkan waktu lama karena

pelarut yang digunakan mempunyai titik didih yang tinggi. Proses

ekstraksi ini dilakukan 7x sirkulasi untuk mencapai warna tetesan yang di

embunkan berwarna bening, menunjukkan zat warna alami telah

terekstrak seluruhnya. (Ari dan Nasfi., 2009).

D. Ekstraksi

Ekstraksi merupakan proses pemisahan suatu komponen dari

suatu bahan yang terdiri dari dua atau lebih komponen dengan jalan

melarutkan salah satu komponen dengan pelarut yang sesuai.

Sebagai bahan dapat digunakan berbagai macam pelarut

anorganik, karena apabila digunakan pelarut organik maka yang

terekstrak bukan hanya zat warna melainkan semua zat yang

terkandung didalamnya terlebih lagi kandungan minyaknya.

Senyawa anorganik yang sering digunakan adalah air.

Salah satu alat ekstraksi yang sering digunakan adalah soxhlet.


Dengan alat ini maka ekstraksi dapat dilakukan berulang kali, yang

tentunya lebih menguntungkan. Pada proses ekstraksi, kadar solute

dalam solvent dipengaruhi oleh lamanya ekstraksi, jumlah sirkulasi,

suhu, dan, jenis pelarut, pada keadaan setimbang kadar solute dalam

solvent relatif tetap.

Teknik ekstraksi digolongkan menjadi dua kategori :

1. Ekstraksi Zat Cair

Ekstraksi zat cair digunakan untuk memisahkan dua zat

cair yang saling bercampur, dengan menggunakan suatu pelarut

melarutkan salah satu komponen dalam campuran itu .

(Mc Cabe, dkk, 1993)

2. Ekstraksi Zat Padat ( Leaching )

Pada ekstraksi padat-cair,satu atau beberapa komponen

yang dapat larut dipisahkan dari bahan padat dengan bantuan

pelarut. Jenis pelarut menentukan kecepatan ekstraksi. Selain

jenis pelarut, kecepatan ekstraksi juga ditentukan oleh :

a) Bahan

Bahan harus memiliki permukaan yang seluas mungkin

karena perpindahan massa berlangsung pada bidang kontak

antara fase padat dan fase cair. Ini dapat dicapai dengan

memperkecil ukuran bahan ekstraksi.

b) Rasio bahan padatan dan pelarut


Perbandingan jumlah bahan padatan dan pelarut harus tepat.

c) Suhu

Suhu yang lebih tinggi, viskositas pelarut yang lebih

rendah, kelarutan ekstrak lebih besar.

(Bernasconi, 1995)

Pelarut sangat mempengaruhi proses ekstraksi. Pemilihan

pelarut pada umumnya dipengaruhi faktor faktor, yaitu

selektivitas pelarut dalam melarutkan zat yang akan diekstrak

sehingga dapat cepat dan sempurna. Pelarut harus mempunyai

titik didih yang cukup rendah agar pelarut mudah diuapkan

tanpa mengunakan suhu tinggi. Selain itu pelarut juga harus

bersifat inert sehingga tidak bereaksi dengan komponen lain

(Guenter, 1987)

Macam - macam pelarut yang biasa digunakan dalam

ekstraksi zat warna alami:

a) Aquadest

Merupakan pelarut yang paling mudah didapat dan

murah. Pelarut ini bersifat netral dan tidak berbahaya. Lebih

baik untuk digunakan kerena aquades atau air yang telah

disuling memiliki kadar mineral sangat minim.

Kelemahannya hanya pada proses evaporasi ( penguapan )

yang lebih lama karena titik didihnya lebih tinggi

dibandingkan dengan pelarut lainnya.


b) Etanol

Sering digunakan sebagai pelarut dalam praktikum

karena mempunyai kelarutan yang relatif tinggi dan bersifat

inert sehingga tidak bereaksi dengan komponen lainnya.

Kelemahannya harganya mahal.

(Guenter, 1987).

Anda mungkin juga menyukai