Anda di halaman 1dari 14

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ubi Jalar Ungu

Tanaman ubi jalar ungu dalam sistematika tumbuhan diklasifikasikan

sebagai berikut.

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Convolvulales

Famili : Convulvulaceae

Genus : Ipomea

Spesies : Ipomoea batatas L.

(Rukmana, 1997; Milind and Monika, 2015).

Ubi ungu (Ipomea batatas L.) diduga merupakan tanaman yang berasal dari

benua Amerika. Beberapa varietas ubi jalar ungu yang ditemukan di Indonesia

adalah Antin 1, Antin 2, dan Antin 3 (Balitkabi, 2015). Selain itu, varietas ubi

ungu lain yang terdapat di Jepang adalah Chiran murasaki, Tanegashima

murasaki, Naka murasaki, dan Purple Sweet (Montilla et al., 2011). Tanaman Ubi

ungu merupakan tumbuhan merambat yang dapat tumbuh di segala macam tanah,

tetapi yang paling cocok pada tanah dengan pH 5,6-6,6 dan suhu 24-25oC

(Koeswara, 2008). Ubi jalar ungu merupakan tanaman umbi-umbian yang

tumbuh baik di daerah berikilim panas dan lembab, dengan suhu optimum 27o C.

Bentuk umbi ubi jalar ungu biasanya bulat sampai lonjong dengan permukaan rata

8
9

hingga tidak rata. Kulit ubi jalar ungu berwarna ungu kemerahan, dan daging

umbinya berwarna keunguan (Rukmana, 1997).

Gambar 2.1. Umbi ubi jalar ungu (Montilla et al., 2011).

Ubi jalar ungu memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi, dan juga

mengandung beberapa vitamin seperti vitamin A, B1, B2, B6, C dan E. Ubi jalar

ungu juga mengandung mineral yang baik bagi tubuh diantara fosfor, kalsium,

mangan dan zat besi (Cardenas et al., 1993; Koeswara, 2008). Berdasarkan

penelitian yang dilakukan oleh Masuda et al. (2017), ekstrak etanol ubi ungu

dapat menghambat aktivitas enzim tyrosinase sebesar 5,4%. Kandungan fitokimia

dalam Ipomoea batatas adalah triterpen atau steroid, alkaloid, saponin, tanin,

asam fenolat, dan flavonoid (Pochapski, 2011).

Tabel 2.1. Kandungan Fitokimia Ubi Jalar Ungu (Milind and Monika, 2015).
No Golongan Senyawa Nama Senyawa

1. Alkaloid Calystegine B1

2. Flavonoid Antosianin

3. Terpenoid 6-myoporol

4. Vitamin Vitamin A, vitamin C

9
10

Antosianin merupakan golongan flavonoid yang memberikan pigmen warna

ungu pada umbi Ipomoea batatas (Montilla et al., 2011). Kandungan antosianin

dari ubi jalar ungu berkisar antara 51,50 sampai dengan 174,70 mg/100 gram

(Steed dan Truong, 2008). Penelitian lain juga menyebutkan bahwa kandungan

antosianin pada ubi ungu berkisar antara 110,51 mg/100g. Semakin tinggi kadar

antosianinnya, semakin pekat intensitas warna tersebut (Ginting et al., 2011).

Antosianin telah banyak digunakan sebagai pewarna alami pada minuman,

karena diketahui banyak pewarna sintetis bersifat toksik dan karsinogenik. Joint

Expert Committee on Food Additives (JECFA) telah menyatakan bahwa ekstrak

yang mengandung antosianin memiliki efek toksik yang rendah.. Efektivitas dari

antosianin tergantung pada proses absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi

yang terjadi di dalam tubuh. Semua jenis antosianin merupakan turunan dari

sianidin dengan penambahan atau pengurangan gugus hidroksil, metilasi, atau

glikosilasi maka jenis antosianin lain terbentuk. Ubi ungu sendiri mengandung 10

jenis antosianin, seperti pada tabel 2.2 (Montilla et al., 2011). Antosianin

membawa muatan positif yang terdapat pada struktur cincin pusat (cincin C)

(Chirinos et al., 2006)

Gambar 2.2. Struktur dari antosianin mayor dalam ubi ungu

10
11

Tabel 2.2. Jenis-jenis antosianin dalam ubi ungu (Montilla et al., 2011).
No. Senyawa Antosianin R1 R2 R3

1. Cyanidin-3-sophoroside-5-glucoside OH H H

2. Peonidin-3-sophoroside-5-glucoside OCH3 H H

3. Cyanidin-3-(6”,6”’- OH Caffeoyl Caffeoyl

dicaffeolsophoroside)-5-glucoside

4. Cyanidin-3-(6”-caffeoyl-6”’-p- OH Caffeoyl p-

hydroxybenzoylsophoroside)-5- hydroxybe

glucoside nzoyl

5. Cyanidin-3-(6”- OH Caffeoyl H

caffeoylsophoroside)-5-glucoside

6. Cyanidin-3-(6”-caffeoyl-6”’- OH Caffeoyl Feruloyl

feruloylsophoroside)-5-glucoside

7. Peonidin-3-(6”,6”’- OCH3 Caffeoyl Caffeoyl

dicaffeoylsophoroside)-5-glucoside

8. Peonidin-3-(6”- OCH3 Caffeoyl H

caffeoylsophoroside)-5-glucoside

9. Peonidin-3-(6”-caffeoyl-6”’-p- OCH3 Caffeoyl p-

hydroxybenzoylsophoroside)-5- hydroxybe

glucoside nzoyl

10. Peonidin-3-(6”-caffeoyl-6”’- OCH3 Caffeoyl Feruloyl

feruloylsophoroside)-5-glucoside

11
12

2.2. Antosianidin Ubi Ungu

Antosianin yang terdapat di alam umumnya terikat dengan gugus glikonnya.

Akan tetapi, ketika antosianin sudah masuk ke dalam tubuh, antosianin akan

mengalami hidrolisis oleh enzim glikosidase. Aglikon antosianin memiliki sifat

lebih hidrofobik dan ukuran molekulnya lebih kecil daripada bentuk glikosida,

sehingga lebih mudah melewati membran lipid double layer melalui mekanisme

difusi pasif (Harada et al., 2004). Hal tersebut menyebabkan bioavailabilitas

aglikon antosianin lebih baik daripada antosianin dengan glikonnya sehingga

potensi efek yang dihasilkan juga lebih besar (Speciale et al., 2014). Aglikon

antosianin juga disebut dengan antosianidin. Antosianidin yang sering ditemukan

dalam tanaman termasuk dalam ubi ungu adalah pelargonidin, sianidin,

delvinidin, peonidin, petunidin, dan malvidin yang mempunyai struktur hampir

mirip seperti gambar 2.3 (Hou et al., 2003).

Antosianidin yang paling banyak terkandung dalam ubi ungu yaitu sianidin

(C15H11O6+) dan peonidin (C16H13O6+) (Mohanraj and Sivasankar, 2014; Jiao et

al., 2012). Struktur kedua antosianidin mayor ini sama-sama tersusun dari 2-

phenylbenzopyrilium (flavylium) terhidroksilasi pada posisi 3, 5, dan 7. Sedangkan

yang membedakan struktur kedua antosianidin ini terletak pada posisi gugus

hidroksil dan metoksil (cincin B).

Pada tumbuhan, sianidin dan peonidin lebih sering dijumpai dalam bentuk

senyawa glikosida yang menempel atau terikat pada gula (Montilla et al., 2011).

Sianidin dan peonidin yang memiliki aktivitas antioksidan dan antiinflamasi saat

dikonsumsi melalui sistem pencernaan (Mohanraj and Sivasankar, 2014).

Peonidin diteliti dapat menginduksi enzim glutation peroksidase (GPX) dan

12
13

Superoxide dismutase (SOD) yang berperan dalam pemecahan ROS (Reactive

Oxygen Species) secara molecular dengan molecular docking (Laksmiani et al.,

2016)

Antosianidin R1 R2 Warna

Pelargonidin H H Jingga

Delvinidin OH OH Merah kebiruan

Sianidin OH H Jingga-merah

Peonidin OCH3 H Jingga-merah

Petunidin OH OCH3 Merah kebiruan

Malvidin OCH3 OCH3 Merah kebiruan

Gambar 2.3. Struktur molekul antosianidin yang umum ditemukan di setiap


tanaman termasuk dalam ubi ungu (Cooke et al., 2005; Hou et al.,
2003).

(a) (b)
Gambar 2.4. Struktur Kimia Sianidin (a) dan Peonidin (b) (Martin et al., 2017).

13
14

2.3. Kulit

Kulit merupakan selimut yang menutupi permukaan tubuh dan memiliki

fungsi utama sebagai pelindung dari berbagai macam gangguan dan rangsangan

dari luar. Fungsi perlindungan terjadi melalui sejumlah mekanisme biologis,

seperti pembentukan lapisan tanduk secara terus-menerus, respirasi dan

pengaturan suhu tubuh, produksi sebum dan keringat, dan pembentukan melanin

untuk melindungi kulit dari bahaya sinar ultraviolet matahari, sebagai peraba dan

perasa, serta pertahanan terhadap tekanan dan infeksi dari luar (Tranggono dan

Latifah, 2007). Kulit manusia terdiri atas tiga lapisan, yaitu lapisan epidermis,

lapisan dermis dan lapisan subkutan. Epidermis merupakan jaringan epitel yang

berasal dari ektoderm, sedangkan dermis berupa jaringan ikat agak padat yang

berasal dari mesoderm. Lapisan subkutan merupakan lapisan paling dalam dari

kulit. Merupakan kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel

lemak di dalamnya (Kalangi, 2013)

Kulit memiliki fungsi yang cukup vital bagi tubuh kita, beberapa fungsi

kulit yaitu, fungsi proteksi atau perlindungan dan fungsi pembentukaan pigmen.

Kulit melindungi bagian dalam tubuh manusia terhadap gangguan fisik maupun

mekanik, misalnya tekanan, gesekan, tarikan, gangguan kimiawi, gangguan panas

atau dingin, gangguan sinar radiasi atau sinar ultraviolet, gangguan kuman, jamur,

bakteri, atau virus. Gangguan sinar ultra violet diatasi dengan sel melanin yang

menyerap sebagian sinar tersebut. Dalam fungsi pembentukan pigmen

(melanogenesis), sel pembentuk pigmen kulit (melanosit) terletak di lapisan basal

epidermis. Sel ini berasal dari rigi saraf, jumlahnya 1:10 dari sel basal. Jumlah

melanosit serta jumlah dan besarnya melanin yang terbentuk menentukan warna

14
15

kulit. Paparan sinar matahari mempengaruhi produksi melanin. Bila paparan

bertambah, produksi melanin akan meningkat (Wasitaatmadja, 1997).

2.4. Hiperpigmentasi

Hiperpigmentasi merupakan suatu gangguan pada kulit yang umum terjadi

karena adanya peningkatan proses melanogenesis yang dapat menyebabkan

penggelapan warna kulit. Hiperpigmentasi ini merupakan keluhan kulit yang

paling umum dialami oleh orang-orang di Asia (Kurita et al., 2009). Selain itu

peningkatan sintesis melanin secara lokal atau tidak merata dapat menyebabkan

pigmentasi lokal atau noda hitam pada bagian tertentu dari kulit (Cayce et al.,

2004). Hiperpigmentasi disebabkan oleh berbagai macam faktor, termasuk faktor

endokrin, hormon, kontrasepsi oral, dan kehamilan, paparan UV, inflamasi

(prostaglandin E1, D2), penggunaan kosmetik, genetik, dan faktor rasial.

Warna kulit seseorang terutama ditentukan oleh jumlah melanin. Fungsi

utama melanin yaitu proteksi terhadap radiasi UV. Peningkatan sintesis melanin

atau distribusi melanin yang tidak merata dapat menyebabkan kelainan

hiperpigmentasi. Melanogenesis terjadi didalam melanosit. Penatalaksanaan

hiperpigmentasi harus meliputi upaya menyeluruh terdiri dari penanggulangan

faktor penyebab, pemberian agen depigmentasi yang efektif, perlindungan total

terhadap paparan ultraviolet dan pertimbangan letak melanin abnormal di kulit.

Berdasarkan letak melanin abnormal dikulit, hiperpigmentasi dibagi menjadi

hiperpigmentasi epidermal (efelid, lentigo, melasma tipe epidermal),

hiperpigmentasi dermal (nevus Ota, Melasma dermal, nevus Hori), dan

hiperpigmentasi campuran (Hiperpigmentasi pascaradang, melasma tipe

15
16

campuran). Salah satu terapi yang dilakukan untuk hiperpigmentasi adalah

penggunaan agen depigmentasi (Sudharmono, 2005)

2.5. Pigmentasi Kulit

Proses pembentukan pigmen melanin terjadi pada butir-butir melanosom

yang dihasilkan oleh sel-sel melanosit yang terdapat di antara sel-sel basal

keratinosit di dalam lapisan basal (stratum germinativum). Melanosom yang

terdapat di dalam keratinosit dan berbentuk partikel-partikel padat atau merupakan

gabungan dari 3-4 buah partikel lebih kecil yang mempunyai membran disebut

dengan melanosom kompleks (Tranggono dan Latifah, 2007). Melanin terbentuk

melalui rangkaian oksidasi dari asam amino tirosin dengan melibatkan tirosinase.

Tirosinase berperan sebagai katalis pada dua reaksi yang berbeda yaitu proses

hidroksilasi tirosin menjadi dihidroksi-fenilalanin (L-DOPA) dan oksidasi L-

DOPA menjadi dopaquinon (Fais et al., 2009). Dengan adanya dopakuinon ini

akan terdapat dua jalur pembentukan melanin yakni jalur eumelanin dan jalur

feomelanin.

Pada jalur eumelanin, dopakuinon diubah menjadi dopakrom melalui

autooksidasi. Dengan katalis enzim D-Dopachrome tauomerase, dopakrom

kemudian diubah menjadi 5,6 dihidroxyi indole-2-carboxy acid (DHICA). D-

Dopachrome tauomerase juga sering dikenal sebagai tyrosinase related protein 2.

DHICA kemudian diubah menjadi Indole-5,6-quinone carboxylic acid oleh

tyrosinase related protein 1 untuk membentuk eumelanin (pigmen berwarna

coklat) (Gillbro dan Alsson, 2010). Sedangkan pada jalur feomelanin, adanya

sistein atau glutation akan bereaksi dengan dopakuinon menjadi sisteinil dopa,

16
17

kemudian akan diubah menjadi derivate benzotiazine dan membentuk feomelanin

(pigmen berwarna kuning) (Parvez et al., 2006; Ebanks et al., 2009). Mekanisme

pembentukan pigmen kulit ini sesuai dengan gambar 2.5.

Proporsi jumlah eumelanin dan feomelanin ini akan menentukan warna pada

kulit yang bermacam-macam sehingga kulit manusia tidak hanya hitam atau putih

saja. Selain hal tersebut warna kulit seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor,

baik dari dalam tubuh maupun luar tubuh. Dari dalam tubuh misalnya faktor

genetik dan hormonal, faktor genetik ini paling berpengaruh bukan karena jumlah

sel melanosit yang berbeda, melainkan bergantung pada jumlah dan bentuk

melanosom. Sedangkan faktor dari luar tubuh seperti sinar matahari, makanan,

ataupun obat. Perpaduan faktor ini akan menghasilkan warna kulit tertentu.

Gambar 2.5. Mekanime pigmentasi kulit (Gillbro dan Alsson, 2010)

Enzim melanogenesis yakni tirosinase, tyrosinase related protein 1, dan D-

Dopachrome tauomerase memiliki peranan penting dalam pembentukan pigmen

kulit. Ketiga enzim tersebut berfungsi dalam mengkatalis reaksi dalam

melanogenesis hingga terbentuknya melanin. Penghambatan pada aktivitas ketiga

17
18

enzim melanogenesis ini dapat mencerahkan kulit dengan mengurangi efek

penggelapan kulit (depigmentasi) (Ebanks et al., 2009).

Tirosinase yang merupakan salah enzim melanogenesis memiliki inti Cu2+

(Ismaya et al., 2011). Fraksi antosianin dari ekstrak etanol ubi ungu (Ipomoea

batatas L.) yang mengandung antosianidin sianidin dan peonidin mempunyai

aktivitas antioksidan yang kuat melalui mekanisme ion chelating secara in vitro

terhadap ion Fe2+ yang merupakan logam berat (Laksmiani et al., 2016). Cu2+ ini

juga merupakan salah satu jenis logam berat, sehingga kemungkinan sianidin dan

peonidin dari ubi ungu juga mampu mengkelating Cu2+ tersebut dan dapat

menyebabkan enzim tirosinase menjadi tidak aktif. Hal ini akan dapat mengurangi

proses melanogenesis dalam tubuh dan menyebabkan kulit menjadi cerah

2.6. Metode Molecular Docking

Molecular Docking digunakan dalam bidang biologi molekuler dan desain

obat dengan menggunakan komputer. Molecular docking (penambatan molekuler)

merupakan suatu teknik yang bisa digunakan untuk mempelajari interaksi yang

terjadi dari suatu kompleks molekul antara biomolekul dengan molekul kecil atau

ligand. Interaksi kompleks molekul tersebut berorientasi untuk mencapai

kestabilan. Prinsip docking adalah teknik penempatan ligand ke dalam sisi aktif

reseptor yang dilanjutkan dengan evaluasi molekul berdasarkan konformasi

struktur dan sifat elektrostatik (Kroemer, 2007). Tujuan dari molecular docking

adalah pemodelan struktural secara akurat dan memprediksi aktivitasnya secara

tepat (Kitchen et al., 2004), serta untuk memperkirakan konformasi ikatan yang

18
19

paling baik antara ligan dengan protein dalam struktur 3 dimensi (Morris and

Marguerita, 2008).

Metode molecular docking secara in silico dapat digunakan untuk skrining

atau uji pendahuluan senyawa-senyawa yang diperkirakan memiliki aktivitas

farmakologi, sehingga dapat diketahui struktur senyawa yang paling baik untuk

dapat berikatan dengan reseptor. Metode ini juga dapat digunakan untuk

mempelajari interaksi yang terjadi antara senyawa dengan reseptor atau protein

target dengan mengidentifikasi situs aktif yang cocok pada protein, serta

menghitung energi interaksi untuk setiap senyawa yang di-docking-kan dengan

protein target sehingga dapat dijadikan dasar dalam merancang ligan atau

senyawa yang lebih efektif sebelum disintesis sebagai bahan obat. Metode

molecular docking secara in silico ini juga juga dapat menggambarkan proses

simulasi secara fisik yang lebih mendekati kondisi sebenarnya (farmakodinamik).

Adanya grid mode docking dapat mempersingkat eksplorasi koordinat saat

validasi dan optimasi antara protein dengan ligan dalam mengevaluasi posisi

optimal ikatan saat mengeksplorasi koordinat (Mukesh dan Rakesh, 2011).

Metode molecular docking memiliki banyak keuntungan yakni dapat

mengkaji hal yang tidak dapat dijangkau dalam skala laboratorium, seperti

menentukan asam-asam amino yang terlibat dalam reaksi enzimatik, melihat

kondisi folding dan unfolding suatu protein/enzim, melihat panjang ikatan dan

jenis ikatan kimia yang terlibat dalam reaksi pada desain molekul obat, dan

melakukan simulasi molekuler pada suhu dan waktu tertentu. Keuntungan lainnya

adalah desain molekul obat dengan metode molecular docking dapat menekan

biaya dan meminimalisasi waktu yang diperlukan dalam proses penemuan

19
20

kandidat molekul obat (Arwansyah dkk., 2014; Sawitri dkk., 2014; Syahputra,

2015). Namun terdapat pula kelemahan dari metode molecular docking ini adalah

tidak dapat memprediksi dan menggambarka sepenuhnya bagaimana proses obat

di tubuh, hanya dapat memprediksi berkaitan dengan proses farmakodinamik atau

interaksi suatu senyawa atau molekul obat dengan reseptor (Mukesh dan Rakesh,

2011). Metode molecular docking ini hanya dapat digunakan untuk memprediksi

afinitas dan mekanisme molekuler dari senyawa uji terhadap protein target,

sehingga pengujian biologis tetap harus dilakukan.

Validasi dari metode molecular docking dilihat dari nilai RMSD (Root

Mean Square Deviation) yag dihasilkan pada proses validasi. RMSD merupakan

pengukuran dua pose dengan membandingkan posisi atom antara struktur

eksperimental dengan struktur yang diprediksi atau merupakan nilai

penyimpangan antara satu konformasi ligan yang tertambat pada protein

dibandingkan dengan situs yang berikatan native ligand pada protein. Semakin

besar nilai RMSD, maka semakin besar penyimpangan yang menunjukkan

semakin besar kesalahan prediksi interaksi ligan dengan protein, sedangkan

semakin kecil nilai RMSD menunjukkan bahwa pose ligan yang diprediksi

semakin baik karena semakin mendekati konformasi native (Nauli, 2014). Nilai

RMSD ≤3,0 Å umumnya digunakan sebagai kriteria kesuksesan metode docking

(Jain dan Nicholls, 2008).

Terdapat dua aspek dalam molecular docking, yaitu fungsi scoring dan

penggunaan algoritma. Scoring berfungsi untuk mengevaluasi bentuk dengan

memperhitungkan kekuatan ikatan atau afinitas antara ligan dengan protein dan

kemudian mengarahkan eksplorasi bentuk ligan dengan afinitas lebih kuat,

20
21

dimana semakin kecil score docking yang dihasilkan maka afinitas dari senyawa

terhadap protein target semakin besar. Kemudian algoritma docking berfungsi

untuk mengeksplorasi konformasi ruang pada ligan atau senyawa uji dan protein

target (Mukesh dan Rakesh, 2011).

Terdapat beberapa aplikasi yang umum digunakan dalam metode molecular

docking, yaitu Protein-Ligand ANT System (PLANTS), Molegro Virtual Docking

(MVD), dan AutoDock (Korb et al., 2006). Autodock merupakan aplikasi docking

otomatis yang dirancang untuk memprediksi ikatan molekul berukuran kecil,

seperti substrat atau obat (ligand) dengan struktur 3D biomolekuler. Autodock

terdiri dari dua program utama, yaitu autodock dan autodock grid. Autodock untuk

melakukan penambatan molekuler ligan dan protein target degan set grid yang

telah terdeskripsi. Dalam pencarian konformasi, autodock membutuhkan ruang

pencarian dalam sistem kordinat dimana posisi ligan dianggap akan terikat yang

disebut dengan grid box. Pendeskripsian grid dan pengaturan grid box dilakukan

dengan autodock grid (autogrid) (Morris et al, 2012).

21

Anda mungkin juga menyukai