Anda di halaman 1dari 7

LEGENDA DESA BAKULAN

Assalamualaikum Wr. Wb
Para pembaca yang budiman dan berbahagia, untuk legenda Desa Bakulan, kami awali
dari kerajaan Pajang (Kartosuro), walaupun dari sisi lain bisa cerita ini dimuat atau diceritakan.
Penulis mengambil rentetan ini sebagai dasar untuk memudahkan penulis dan
khususnya pembaca agar lebih paham akan alur ceritanya.
Kala itu kerajaan Pajang banyak punggawa dan prajurit yang keluar dari keraton dengan
berbagai alasan, salah satunya karena adanya beda pendapat antara satu sama lain dan masih
dalam kekuasaan Belanda. Kekuasaan Belanda ini semakin meresahkan,rakyat dibuat menderita
karena tidak suka adanya persatuan dan kesatuan orang pribumi, yang ditakutkan akan
mengancam keberadaan bangsa Belanda yang berniat ingin selalu menguasai nusantara.
Berbagai upaya dilakukan oleh Belanda untuk memuluskan niatnya, salah satunya yaitu dengan
mengadu domba dan rakyat jelata tidak boleh sekolah (bodoh). Belanda ingin mengeruk atau
mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dari hasil bumi tercinta ini, yang kaya akan sumber
daya alam. Banyak sarana dan prasarana dibangun yang sekiranya dapat menunjang kesuksesan
untuk mengambil hasil alam nusantara dan membawa atau mengalihkannya ke negara Belanda,
semua itu tentu dengan maksud agar bisa tetap berkuasa di Indonesia. Rakyat tidak dihiraukan,
apakah dengan adanya pembangunan sarana dan prasarana ini rakyat akan menderita atau tidak,
sampai-sampai terjadi kesengsaraan dan kelaparan dimana-mana dan lain sebagainya.
Para punggawa mulai terfikir dari banyak kejadian ini, dan berniat ingin keluar melihat
secara langsung keadaan dan penderitaan yang dialami rakyat Pajang. Ada yang berfikir buat
apa hidup enak dan nyaman, tetapi di luar sana rakyat sangat menderita. Lama-kelamaan terjadi
keresahan, persatuan mulai goyah, adanya ketidakharmonisan dan perbedaan pendapat di dalam
Keraton, karena ada yang setuju dan tidak setuju dengan usulan supaya Keraton bergabung
dengan Belanda.
Mereka secara sembunyi-sembunyi mulai keluar dari Keraton dan menyamar agar dapat
membaur dengan rakyat, khususnya agar tidak dicurigai dan tidak diketahui Belanda yang dapat
membahayakan jiwa mereka sendiri. Di luar sana mereka mulai mencari kehidupan mereka
sendiri-sendiri. Orang yang pertama keluar adalah Singakerti, kemudian disusul oleh punggawa/
tumenggung, yang salah satunya yaitu Singayuda yang masih keluarga Keraton, dan Mbah Bakul
(Dewi Sundari) yang masih dirahasiakan keberadaanya.
Ketiga punggawa kerabat Keraton ini keluar ke wilayah nusantara yaitu wilayah
Kemangkon. Disana mereka bertemu dengan tokoh dari kerajaan lainnya yaitu Joko Tole dan
Syeh Solahudin (tokoh agama). Pertemuan tersebut kemudian membuat mereka bergabung dan
mengadakan perang gerilya didaerah Kemangkon. Tentara gabungan yang terbentuk disebut
dengan istilah Gelar Cupit Urang (situs di desa Karangkemiri). Sekitar tahun 675M ada
perundingan yang mendapatkan kesepakatan yaitu cara kerja dalam aksi perang gerilya ini
disesuaikan dengan keahliannya di bidangnya masing-masing.
Beberapa tahun berlalu, Mbah Bakul (Dewi Sundari) yang merupakan salah satu
keluarga keraton Pajang mulai mencari saudara-saudaranya. Awalnya bertemu tumenggung
Karangkemiri ( Raden Mas Pangeran Midjil / mbh Ngarpi ) yang merupakan pemimpin prajurit,
kemudian bertemu para saudara laki-lakinya yang sekian lama dicari, yaitu Singakerti (di desa
Pelemutan) dan Singayuda (di Pengadengan).
Kesemuanya ini masih masuk dalam wilayah pemerintahan Adipati Wirasaba
(Wargotomo I) dan beliau ini yang diperjaya (dibunuh) oleh salah satu gandek karena adanya
kesalahpahaman kedua gandek yang diceritakan pada Babad Wirasaba. Sepeninggal Adipati
Wirasaba, kedudukan digantikan oleh menantunya, yaitu Raden Katuhu yang merupakan
keturunan Syeh Baribin.
Raden Katuhu diangkat dengan gelar Wargo Utomo mengadakan pertemuan
selapaman (seresehan) setiap 35 hari sekali, dan waktu itu bantuan logistik di percayakan
kepada Dewi Sundari. Wakul (tempat nasi) adalah alat yang digunakan untuk membawa bantuan
logistik tersebut. Selain kegiatan Dewi Sundari tersebut, Beliau juga mencari saudaranya dengan
menyamar menjadi Bakul (Pedagang), sehingga Dewi Sundari diberi julukan Mbah Bakul.
Pada saat itu, mencari beras sangatlah sulit, untuk memenuhi kebutuhan pangan, Beliau
berinisiatif membuka lahan pertanian. Dibantu kepala keluarganya Wiradipa, mereka bersama
membentuk dua wilayah lahan, yaitu sebelah utara Santanangga dan timur Jaya Manggala
(Jaya Manggalih). Alat transportasi yang digunakan untuk mengantar logistik adalah jaran (kuda)
dan Jaya Manggala sebagai kusirnya. Tidak hanya warga sekitar, orang luar daerah juga banyak
yang ikut membantu saat trukah (babad) untuk pengadaan lahan pertanian dan tempat tinggal.
Setelah itu,terbentuklah petak-petak sawah dan grumbul, tidak ketinggalan Dipa Karya (adik
Wira Dipa) juga ikut andil di dalamnya, yang dulu merupakan sekertaris keraton.
Setelah ketemu kakaknya, Dipa Karya membuka grumbul kedua (2) di sebelah selatan.
Tahun demi tahun banyak masyarakat berdatangan,dan para tokoh berunding untuk membentuk
pemerintahan desa, dan sebagai hasil musyawarahnya, kemudian diberilah nama desa tersebut
dengan nama Desa Bakulan.
Pada awalnya, desa membentuk pemerintahan hanya dengan kesepakatan antara tokoh-
tokoh masyarakat. Saat itu Eyang Danuredja yang merupakan cucu Eyang Bakul, memegang
jabatan kepala pemerintahan di Bakulan Utara sampai umur 147 tahun karena dahulu jabatan
masih seumur hidup. Setelah Eyang Danuredja meninggal, terjadi kekosongan pemerintahan.
Para tokoh masyarakat berunding dan membentuk kepanitiaan, dan hasil perundingannya adalah
telah tersepakati bahwa kepala desa berikutnya yaitu Wirya Semita yang bertempat di Bakulan
Selatan. Setelah adanya hasil kesepakatan tersebut, terjadi perbedaan pendapat, ada yang setuju
dan tidak setuju mengenai kepemimpinan Wirya Semita. Upaya perdamaian terjadi setelah Mbah
Simpen yang menjadi penengah antara kedua kubu yang berselisih. Mbah Simpen merupakan
nama samaran dari Syeh Sebrang yang merupakan seorang tokoh agama, dan tempatnya
dijadikan tempat peyimpanan barang-barang, Jabatan Wirya Semita sampai seumur hidup
(sampai selesai), setelah itu jabatan digantikan oleh Nirjan.
Kepemimpinan Nirjan hanya selama 2.5 tahun, kemudian turun jabatan dikarenakan
adanya demo warga yang dipicu permasalahan ketidaksesuaian prosedur proyek jeruk, dan
kemudian dikenal dengan julukan Lurah Jeruk. Setelah Nirjan lengser, kedudukan diambil alih
oleh Tirtadimedja dan menjadi Lurah yang ke 4, Beliau menjabat selama 23 tahun dan meninggal
karena kecelakaan kereta api. Kejadian ini menimpa 1 keluarga dan hanya ada satu orang yang
selamat, yaitu istri Tirtadimedja. Meskipun selamat, namun istri Beliau menderita luka dan jari
tangannya putus (prithil) yang kemudian dikenal dengan nama Dongkol Prithil.
Setelah pemerintahan Tirtadimedja selesai, pemerintahan berikutnya dipilih melalui
pilihan bithing dan terpilihlah lurah yang ke 5 yaitu Mangun Wihardjo. Saat itu terjadi masa
peralihan jabatan untuk sementara waktu. Hal ini dikarenakan saat itu Mangun Wihardjo pergi
bersembunyi untuk menghindar dari pencarian Belanda. Sanmunadilah orang yang saat itu
memberanikan diri mengaku menjadi lurah untuk menyelamatkan desanya dalam agresi Belanda
II. Setelah keadaan aman, Mangun Wihardjo kembali ke kedudukannya menjadi lurah 33 tahun.
Ringkas cerita, penulis mencoba mengurutkan kepala desa/ lurah Bakulan :
1 Danuredjo (jabatan seumur hidup)
2 Wirya Semita (jabatan seumur hidup)
3 Nirjan (1917 1920)
4 Tirtadimedja (1920 1943)
5 Mangun Wihardjo (1943 1947 )
6 Samunadi (Lurah sementara pada tahun 1947 1949)
7 Mangun Wihardjo (kembali memegang jabatannya setelah pergi bersembunyi pada tahun
1949 1980)
8 Soekirno periode I (1981 1989)
9 Idung Pujiono (1990 1998)
10 Soekirno periode II(1999 2007)
11 Suwarno periode I (2007 2013)
12 Suwarno periode II (2013 2019)
Di bawah ini beberapa gambar dari situs yang tidak kalah penting dalam upaya
perjuangan melawan penjajah dan termasuk ke dalam runtutan cerita ini.
1. Petilasan Mbah Bakul (Dewi Sundari)
Petilasan ini berada di kompleks pemakaman Desa Bakulan utara
Direnofasi 31 5 2013

2. Pesarean Mbah Danurejo


Kepala Desa Bakulan yang pertama yaitu cucu Mbah Bakul (berada di belakang Masjid
Nurul Huda)
3. Petilasan Mbah Syeh Sholehudin
Petilasan ini berupa sebuah makam panjang (Setana Dawa) yang dulu konon tempat
untuk menyimpan alat dakwah berupa gamelan (alat musik jawa) dan seperangkat alat
untuk hajatan (bahasa Jawa = gerabah). Petilasan ini berada di utara pondok pesantren
Bakulan utara..

4. Belik Simpen (Sendang)


Air belik ini dipercaya masyarakat untuk pengobatan berbagai penyakit dan obat
pertanian.
Petilasan Mbah Simpen (Syeh Sebrang) berada disatu kawasan di sebelah utara lapangan
Desa Bakulan dan direnofasi pada tanggal 31122015
5. Petilasan Joko Thole (Adipati Aryo Wiraraja/ Adipati Sumenep)
Petilasan ini berada di selatan sungai Srodan/ BCW dan direnofasi pada tanggal 221
2017

6. Petilasan Cupit Urang


Petilasan ini konon adalah pemimpin prajurit dengan gelar Cupit Urang sewaktu
melawan Belanda saat perang gerilya. Petilasan ini berada di Timur Desa Karangkemiri.
7. Belik Mangun (Sendang)
Belik Mangun dibangun pada masa pemerintahan Mangun Wihardjo. Pada waktu itu
terjadi kemarau panjang, khususnya Desa Bakulan bagian Selatan yang sampai
kekurangan air. Saat ini, keberadaannya kurang terawat. Belik Mangun berada di sebelah
barat lapangan Desa Bakulan.

Demikian cerita legenda tentang Desa Bakulan ini penulis buat, semoga para pembaca
dapat mengambil nilai sejarah perjuangan nenek moyang kita dahulu yang ada dalam legenda
sehingga sampai sekarang kita dapat menikmati hasilnya. Penulis mengharapkan semoga dengan
adanya artikel ini, kita bisa bersama-sama menjaga dan merawat situs peninggalan sejarah yang
ada di sekitar kita, khususnya yang berhubungan dengan legenda Desa Bakulan sehingga kelak
dikemudian hari para keturunan kita juga dapat mengetahui dan menyaksikannya. Sekian dan
terimakasih ..
Wassalamualaikum Wr. Wb

Bakulan, 17 Maret 2017

Sukarsim

Anda mungkin juga menyukai