Anda di halaman 1dari 9

1.

Definisi

Terapi fibrinolitik (terapi trombolitik) digunakan untuk melisiskan bekuan


darah akut dengan mengaktifkan plasminogen. Hal ini menyebabkan
pembentukan plasmin yang mampu membelah fibrin tautan silang
menyebabkan trombus memecah.

Terapi trombolitik adalah terapi yang diindikasikan pada pasien dengan bukti
ST-segmen elevasi MI (STEMI) atau bundle branch block kiri diperkirakan baru
(LBBB) yang terjadi dalam waktu 12 jam dari munculnya gejalajika tidak ada
kontraindikasi untuk fibrinolisis..

2. Indikasi

Terapi fibrinolitik digunakan dalam pengobatan ST infark segmen elevasi


miokard (STEMI), stroke akut dan indikasi kurang umum lainnya seperti
emboli paru dan trombosis vena dalam akut.

Selama STEMI, terapi fibrinolitik harus menerapkan dalam waktu 24 jam


untuk onset gejala. Setelah jangka waktu ini, terapi fibrinolitik merupakan
kontraindikasi dan kemungkinan tidak akan efektif. Perhatikan bahwa terapi
fibrinolitik selalu diberikan bersamaan dengan antikoagulan menggunakan
heparin yang tidak terpisah atau heparin berat molekul rendah.

3. Kontraindikasi

Ketika keputusan untuk mengobati pasien STEMI dengan terapi fibrinolitik


dibuat (sejak PCI primer tidak tersedia secara tepat waktu), kontraindikasi
untuk terapi fibrinolitik harus dipertimbangkan. Dugaan diseksi aorta,
perdarahan aktif (tidak termasuk menstruasi) atau diatesis pendarahan
kontraindikasi untuk terapi fibrinolitik. Secara umum, jika ada risiko tinggi
perdarahan intrakranial (ICH) didefinisikan sebagai> 4%, maka terapi
fibrinolitik merupakan kontraindikasi juga dan PCI primer lebih dipilih (kelas I).

Berikut akan menempatkan pasien dalam kategori risiko ICH tinggi:

1. perdarahan intrakranial sebelumnya


2. stroke iskemik dalam waktu 3 bulan
3. Diketahui kelainan serebrovaskular seperti aneurisma atau malformasi
arteriovenous
4. Diketahui tumor intrakranial ganas
5. Signifikan trauma kepala tertutup atau trauma wajah dalam waktu 3
bulan

Kontraindikasi relatif (tidak bersifat mutlak) untuk terapi fibrinolitik meliputi:

1. Hipertensi tidak terkontrol (tekanan darah> 180/110) baik saat ini atau di
masa lalu
2. kelainan intrakranial tidak tercantum sebagai yang kontraindikasi absolut
(yaitu jinak tumor intrakranial).
3. stroke iskemik> 3 bulan sebelumnya
4. Pendarahan dalam waktu 2-4 minggu (menstruasi dikecualikan)
5. Traumatik atau berkepanjangan resusitasi cardiopulmonary (CPR)
6. operasi besar dalam waktu 3 minggu
7. kehamilan
8. penggunaan antikoagulan saat ini
9. Dimensia

Fibrinolitik digunakan sebagai terapi pada IMA STE pertama kali dilaporkan
oleh Fletcher dan kawan-kawan pada tahun 1958. Pada awal 1960 dan 1970,
ada 24 percobaan yang dilakukan untuk mengevaluasi penggunaan
streptokinase secara intra vena. Terapi fibrinolitik dianjurkan dalam waktu 12
jam dari onset gejala pada pasien tanpa kontra indikasi jika primer IKP tidak
dapat dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit dari kontak
pertama dengan medis (Suares) . Seperti penelitian-penelitian sebelumnya
juga menyatakan bahwa waktu juga memegang peranan yang penting dalam
angka keberhasilan trombolitik. Namun, didapati angka kematian yang masih
tinggi pada pasien-pasien yang mendapatkan terapi fibrinolitik dipengaruhi
beberapa faktor pemberatnya antara lain usia, diabetes melitus, onset infark
serta lokasi infarknya.

Seperti penelitian-penelitian sebelumnya juga menyatakan bahwa waktu juga


memegang peranan yang penting dalam angka keberhasilan trombolitik.
Namun, didapati angka kematian yang masih tinggi pada pasien-pasien yang
mendapatkan terapi fibrinolitik dipengaruhi beberapa faktor pemberatnya
antara lain usia, diabetes melitus, onset infark serta lokasi infarknya.
Dikatakan bahwa pada onset dibawah 3 jam, tidak ada perbedaan antara
pemberian fibrinolitik atau dilakukannya primer IKP. Namun, jika onset lebih
dari 3 jam, pedoman ini lebih menyarankan primer IKP dibandingkan dengan
pemberian terapi fibrinolitik, asalkan primer IKP dapat dilakukan secara tepat
waktu (chobanian). Disebutkan juga, usia yang tua berhubungan dengan
peningkatan angka mortalitas dan perdarahan intra serebral setelah
fibrinolitik . Pada kenyataannya, usia diatas 65 tahun berhubungan dengan
perdarahan intrakranial ( Odds ratio 2,2 dengan 95% CI 1,4-3,5)
dibandingkan pada usia lebih muda . Dan persentase komplikasi perdarahan
pada wanita lebih tinggi dibandingkan pada pria usia tua . Usia lanjut juga
diketahui sebagai prediktor bebas angka mortalitas pada infark miokard
akut . Manfaat trombolisis dini ditunjukkan pada studi GISSI1. Trombolisis
dalam 1 jam pertama sejak gejala muncul menghasilkan penurunan angka
mortalitas sebesar 50% (Thygensen). Beberapa penelitian besar juga
menyatakan bahwa pemberian streptokinase dapat menurunkan angka
kematian sebesar 23 - 50 % dengan risiko perdarahan dan stroke yang
minimal jika diberikan dalam 6 jam pertama sehingga dikenal istilah
thrombolytic window Dikatakan juga, setelah 40 menit terjadinya oklusi,
maka akan terjadi 38% jaringan miokard yang nekrosis, setelah 3 jam 57%
dan setelah 6 jam terjadi 71% jaringan miokard yang nekrosis .

Disebutkan juga, usia yang tua berhubungan dengan peningkatan angka


mortalitas dan perdarahan intra serebral setelah fibrinolitik . Pada
kenyataannya, usia diatas 65 tahun berhubungan dengan perdarahan
intrakranial ( Odds ratio 2,2 dengan 95% CI 1,4-3,5) dibandingkan pada usia
lebih muda . Dan persentase komplikasi perdarahan pada wanita lebih tinggi
dibandingkan pada pria usia tua . Usia lanjut juga diketahui sebagai prediktor
bebas angka mortalitas pada infark miokard akut .

Diabetes Melitus (DM) juga merupakan faktor prediktor terhadap kejadian


angka kematian pada pasien-pasien dengan infark miokard. Beberapa studi
menunjukkan angka kematian rata-rata di rumah sakit pada pasien dengan
diabetes yang terkena infark miokard 1,5 2 kali lebih tinggi dari pasien-
pasien yang tanpa diabetes . Dan pada pasien wanita dengan diabetes
umumnya memiliki prognosa yang jelek dengan angka kematian rata-rata 2
kali dibandingkan pasien laki-laki yang menderita diabetes (taki) . Pemberian
streptokinase bermakna dalam mengurangi angka kematian pada pasien-
pasien tanpa diabetes dibandingkan pada pasien-pasien dengan
diabetes(WHO Monika) . Dilaporkan juga, pemulihan setelah pemberian
intravena fibrinolitik lebih sedikit pada pasien-pasien dengan diabetes
dibandingkan diabetes.

Pada literatur dikatakan juga, indikator klinis risiko tinggi pada pasien-pasien
yang dalam fase akut infark miokard antara lain adalah usia tua, denyut
jantung yang cepat, peningkatan serum kreatinin, infark anterior, riwayat
gagal jantung (taki). Dari penelitian ini didapati infark anterior septal
mempunyai angka mortalitas yang tinggi ( 55,6%) dibandingkan infark
dilokasi lainnya walaupun telah diberikan terapi fibrinolitik.

4. Proses koagulasi

Jika terdapat kerusakan pada lapisan endotel, maka akan terjadi aktivasi dari
berbagai zat trombogenik seperti kolagen yang dapat mengaktivasi platelet
dan faktor jaringan serta memulai kaskade koagulasi. Proses koagulasi darah
terjadi melalui serangkaian konversi dari protein tidak aktif menjadi protease
aktif. Kompleks faktor jaringan dan faktor VII plasma dihasilkan sel ketika
darah berkontak dengan sel endotel yang rusak, mengkonversi faktor X
menjadi faktor Xa (aktif). Selanjutnya, faktor Xa bersama dengan faktor Va
dan fosfolipid (biasanya platelet yang teraktivasi), mengubah protrombin
menjadi trombin. Trombin mengeluarkan peptida kecil dari fibrinogen dan
mengubahnya menjadi fibrin monomer dan secara spontan membentuk
bekuan darah. Fibrin distabilkan faktor XIII yang memasukkan ikatan kovalen
ke dalam molekul fibrin. Pada kejadian IMA STE, maka semua proses itu
terjadi sehingga diperlukan berbagai obat-obatan.
Obat fibrinolitik bekerja untuk mempercepat lisis trombus yang membuat
oklusi total di intrakoroner, sehingga memperbaiki flow darah dan mencegah
terjadinya kerusakan miokard . Saat ini obat-obat yang sering digunakan
sebagai terapi fibrinolitic termasuk rekombinan jaringan -jenis aktivator
plasminogen ( alteplase , TPA ) , reteplase ( RPA ) , dan tenecteplase ( TNK -
TPA ) , streptokinase . Setiap fungsi obat dengan merangsang sistem
fibrinolitik alami , mengubah prekursor plasminogen aktif menjadi protease
plasmin aktif, yang lisis gumpalan-gumpalan fibrin . Pemberian obat
fibrinolitik pada IMA STE akut secara dini dapat mengembalikan aliran darah
sebesar 70% sampai 80% pada koroner yang mengalami oklusi dan secara
signifikan dapat mengurangi kerusakan jaringan (ISIS).

Namun dibalik kelebihan dari obat-obatan fibrinolitik tersebut, ada juga


kelemahan dari obat-obatan tersebut, antara lain : reperfusi dengan obat-
obat tidak dapat mencapai reperfusi komplit, hanya sekitar 60 80 %, re-
oklusi koroner dan reinfark dapat terjadi dalam 3 bulan berikutnya setelah
pemberian fibrinolitik pada 20- 30 % kasus, pemberian terapi streptokinase
juga dapat menyebabkan berbagai type hipersensitivitas, termasuk syok
anafilaktik yang fatal sehingga pemberian berulang pada pasien yang sama
harus benar-benar berhati-hati, perdarahan juga merupakan komplikasi yang
sering didapati pada pasie-pasien yang mendapatkan terapi fibrinolitik.

5. Obat-obatan antikoagulan

Selain obat-obatan fibrinolitik, dalam menangani pasien-pasien dengan IMA


STE juga diperlukan obat-obatan antikoagulan par enteral , yang bermanfaat
untuk mencegah terjadinya proses koagulasi yang baru. Ada beberapa obat
obatan antikoagulan yang sering digunakan pada pasien-pasien dengan IMA
yaitu low molekular weigh heparin (fondaparinux, enoxaparin), unfracional
heparin (heparin) .

1. Unfractional heparin
Heparin yang berasal dari hewan dan merupakan polisakarida linear
dengan residu glukosamin atau asam glukuronik. Heparin berikatan
dengan antithrombin yang menghambat enzim ini dengan membentuk
kompleks molar stabil terhadap residu yang spesifik. Heparin berikatan
dengan antitrombin pada tempat yang kaya lisin, sehingga meningkatkan
daya hambat, terutama pada faktor Xa dan trombin, tetapi juga IX dan
XIIa dan trombin. Heparin tidak dapat diserap usus, keluar ke sistem
sirkulasi oleh sistem retikuloendotelial dan diekskresikan melalui ginjal
dan hati. Efek samping yang serius yang sering terjadi adalah
perdarahan. Tipe I HIT ( heparin Induced thrombocytopenia) biasanya
ringan dan bersifar reversibel dalam 4 hari meskipun pengobatan
dilanjutkan. Hal ini disebabkan interaksi direk antara heparin dengan
platelet yang menimbulkan agregasi platelet. HIT tipe II jauh lebih jarang
tetapi lebih serius, disebabkan oleh inaktivasi platelet yang dimediasi
imunoglobin dengan komplikasi trombotik dan mortalitas tinggi. Heparin
harus dihentikan jika terjadi HIT tipe II. Efek antikoagulasi unfractional
heparin dapat dihentikan cepat dengan protamin sulfat.
2. Low Molecular Weight Heparin
Faktor Xa memegang peranan penting dalam pembentukan trombin dan
merupakan target dalam pengobatan trombosis arteri. Pada pemberian
low molecular weight heparin, tidak diperlukan monitor aPTT, karena
aktivitas antikoagulan Low Molecular Weight Heparin lebih dapat
diprediksi dari pada unfractional heparin.
3. Anti platelet
Platelet bekerja pada endotel vaskuler yang rusak melalui hubungan
dengan glikoprotein Ia reseptor dengan kolagen terekspos dan melalui
hubungan Ib reseptor dengan faktor von Willenbrand, suatu faktor dalam
sirkulasi yang mirip dengan faktor pembekuan VIII. Perlekatan platelet
terhadap endotel vaskuler mengaktivasi platelet, menyebabkan sintesis
dan pelepasan (degranulasi) berbagai mediator agregasi platelet.
Termasuk thromboxan A2 (TxA2), adenosin diphosphate (ADP), dan 5-
hydroxytryptamine (5HT, atau serotonin). Aspirin dan ticlopidine
menghambat sintesis dan aktivitas mediator spesifik agregasi platelet,
sedangkan abciximab menghambat glycoprotein IIb/IIIa reseptor.
4. Aspirin
Aspirin adalah non steroid anti-inlfamatory drug ( NSAID) yang
mempunyai efek analgesk, antipiretik dan anti-inflamasi. Juga
menghambat agregasi platelet dan mencegah terjadinya tromboemboli.
Aspirin dan NSADI lain menghambat sintesis prostaglandin dari asam
arakidonat. Prostaglandin yang paling berpengaruh terhadap agregasi
platelet adalah prostasiklin dan TxA2. Dalam keadaan normal, prostasiklin
mencegah agregasi platelet dan trombosis, sedangkan TxA2 menjadi
dominan pada pembentukan trombosis (Rhii JW).
5. Dipiridamol
Sebagai antiplatelet, dipiridamol bekerja terutama menghambat adhesi
platelet pada dinding pembuluh darah. Juga bekerja meningkatkan
pembentukan cyclic adenosine monophosphat (cAMP) dan menurunkan
kadar kalsium platelet.
6. Ticlopidin
Menghambat agregasi platelet yang bergantung pada ADP. Mula kerja
lambat, butuh 3-7 hari mencapai efek maksimal dan bekerja melalui
metabolit aktif. Efikasi dalam mengurangi kejadian stroke sama dengan
aspirin tetapi mempunyai efek idosikratik seperti diskrasi darah (terutama
neutropenia), yang membatasi penggunaan jangka panjang.
7. Clopidogrel
Secara struktural berhubungan dengan ticlopidin dan juga menghambat
agregasi yang diinduksi ADP melalui metabolit aktifnya. Ticlopidin dan
clopidogrel adalah prodrug, yang memerlukan metabolisme di hati untuk
menjadi metabolit aktif sebelum bekerja menghambat reseptor P2Y12
secara ireversibel pada agregasi platelet yang diinduksi ADP. P2Y12
adalah G-protein coupled reseptor pada membrane.

8. Antagonis glikoprotein IIb/IIIa


Jalur akhir agregasi platelet adalah cross-linking platelet oleh fibrinogen
yang mengaktivasi komplek glikoprotein IIb/IIIa (GP IIb/IIIa) terhadap
permukaan platelet. Komplek GP IIb/IIIa adalah suatu tipe integrin, suatu
glikoprotein transmembrane berfungsi sebagai reseptor adhesi
menghubungkan permukaan sel ke sitoskleton. Antagonis GP IIb/IIIa
menghambat jalur akhir agregasi platelet melalui hambatan GP IIb/IIIa
9. Alteplase
Alteplase dapat diberikan dalam infus yang dipercepat (1,5 jam)
menggunakan 50 mg dan 100 botol mg dilarutkan dengan air steril untuk
1 mg / mL. infus dipercepat untuk alteplase untuk AMI terdiri dari bolus IV
15-mg diikuti dengan 0,75 mg / kg (sampai 50 mg) IV lebih dari 30 menit
dan kemudian 0,5 mg / kg (sampai 35 mg) IV lebih dari 60 menit. Dosis
total maksimum adalah 100 mg untuk pasien dengan berat lebih dari 67
kg. Ini adalah parameter alteplase infus yang paling umum digunakan
untuk AMI.
6. Komplikasi
a. Komplikasi terapi trombolitik termasuk, namun tidak terbatas pada,
sebagai berikut:
1. Pendarahan
2. Reaksi alergi
3. Emboli
4. Stroke
5. Aritmia reperfusi
b. Komplikasi yang paling ditakutkan untuk fibrinolisis adalah perdarahan
intrakranial (ICH), tetapi komplikasi hemoragik yang serius dapat terjadi
dari pendarahan di setiap lokasi dalam tubuh. faktor risiko komplikasi
hemoragik meliputi berikut ini:
1. Peningkatan usia
2. Berat badan rendah
3. Peningkatan tekanan nadi
4. Hipertensi yang tidak terkontrol
5. Kehadiran diatesis perdarahan
6. Gagal jantung kongestif berat
DAFTAR PUSTAKA

Sinnaeve P, Alexander J, Belmans A, et al. One-year follow-up of the ASSENT-2 trial:


a double-blind, randomized comparison of single-bolus tenecteplase and front-
loaded alteplase in 16,949 patients with ST-elevation acute myocardial
infarction. Am Heart J. July 2003. 146(1):27-32.

Writing Group Members, Mozaffarian D, Benjamin EJ, Go AS, et al, American Heart
Association Statistics Committee., et al. Heart Disease and Stroke Statistics-2016
Update: A Report From the American Heart Association. Circulation. 2016 Jan 26.
133 (4):e38-360.

Juach, E. Cucchiara, B. 2010 American Heart Association Guidelines for


Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation.
2010.

Anda mungkin juga menyukai