Anda di halaman 1dari 17

JAKARTA, GRESNEWS.

COM - Pencantuman identitas agama dalam kartu tanda


penduduk elektronik, dianggap masih penting. Selain untuk fungsi pelayanan dari
pemerintah, pencatuman identitas agama juga dapat dimaksimalkan untuk mencegah
terjadinya perkawinan campuran beda agama. Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar
mengatakan pencatuman itu bukanlah bentuk diskriminasi. "Pencantuman agama dalam e-
KTP perlu dimunculkan, tetapi itu bukan dimaksudkan sebagai tindakan diskriminasi bagi
agama-agama di luar Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Buddha dan Konghucu," kata
Wamenag seperti dikutip situs setkab.go.id, Jumat (03/1)

Karena itu menurut Nasaruddin penghapusan kolom identitas agama dalam e-KTP dinilai
akan memberi lebih banyak mudharat atau kerugian ketimbang manfaat. Dari sisi undang-
undang perkawinan saja misalnya, jika seorang muslim tidak mengetahui agama yang dianut
calon isteri kemudian menikah, perkawinannya menurut fikih tidak sah. "Bahkan anak yang
lahir dari buah perkawinan itu disebut anak zina," ujarnya.

Jika dipaksakan tidak mencantumkan agama dalam e-KTP, menurut Wamenag, bisa
menabrak aturan dan undang-undang lainnya. Belum lagi terkait masalah hak perlindungan
dan hak asuh anak. Seorang anak muslim harus diasuh pula oleh keluarga yang menganut
agama yang sama.

Kontroversi menyangkut pencatuman identitas agama dalam e-KTP ini mencuat sejak
disahkannya RUU Administrasi Kependudukan (Adminduk) pada tanggal 26 November 2013
lalu. Dalam UU Adminduk ini disebutkan ,setiap warga harus memilih dan mencantumkan
agama yang diakui pemerintah. Agama yang diakui pemerintah, menurut Kementerian
Agama adalah Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghuchu.

Pasal ini dianggap sebagai bentuk diskriminasi terhadap penganut agama di luar enam agama
yang diakui. Perlu diketui di Indonesia ada juga penganut agama lokal seperti Kaharingan,
Sunda Wiwitan, Parmalim dan sebagainya serta ada juga penganut kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa. Nah, pasal itu dianggap memaksa para penganut agama-agama dan
kepercayaan ini untuk menganut agama yang diakui pemerintah.

Dalam revisi terhadap Undang-Undang Administrasi Kependudukan itu, sebelumnya sempat


diusulkan agar warga dibebaskan mencantumkan agama atau aliran kepercayaan mereka.
Namun, setelah melalui pembahasan antara pemerintah dan DPR, warga tetap diwajibkan
memilih satu di antara lima agama dalam KTP-nya.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi memastikan tak akan ada diskriminasi terhadap
agama tertentu. Ia menjelaskan, bagi pemeluk agama atau kepercayaan lain di luar yang
diakui pemerintah, isian akan dikosongkan. Gamawan mengatakan, soal dicantumkannya
agama masih dilakukan kajian di Kementerian Agama.

Terkait masalah ini Nasaruddin mengatakan, pencantuman agama dalam e-KTP jangan
dimaknai sebagai menghalangi warga untuk melaksanakan agama dan ibadahnya. "Justru jika
dihilangkan bisa menimbulkan kekacauan hukum, hak orang lain diabaikan," ujarnya.

Senada dengan itu, Sekjen Kementerian Agama Bahrul Hayat menyatakan, justru dengan
mencantumkan agama dalam e-KTP fungsi pelayanan agama dari pemerintah dapat
maksimal. Khususnya bagi umat Islam, seperti dalam mengurus perkawinan, kelahiran dan
kematian. "Termasuk pula bagi pemerintah ketika memberikan remisi bagi narapidana, yang
biasanya diberikan saat hari besar agama, seperti Idul Adha dan Natal," kata Bahrul.

Redaktur : Muhammad Agung Riyadi

[Dialog] Pro Kontra Kolom Agama di KTP

: Kolom Agama di KTP bukan hanya untuk administrasi pernikahan dan kematian
saja, tapi untuk

Bismillah

Malam itu Kyai Maksum kedatangan dua orang tamu yang merupakan tetangganya sendiri,
yaitu Mang Usil dan Abu Nadia. Mereka bertiga kemudian larut membahas isu-isu terkini.
Kemaren di tipi-tipi ada tayangan debat dengan tema Pro Kontra Kolom Agama di KTP.
Nonton gak, Kyai? kata Mang Usil mengawali pembicaraan. Yang dimaksud acara di
televisi adalah debat di TV One[1] dan JakTV[2].

Alhamdulillah, nonton. Lha menurut ente-ente pade gimane? Penting gak kolom agama
dicantumin di KTP? balas Kyai Maksum.

Penting banget, Kyai, jawab Abu Nadia.

Yaaa.. gak penting-penting amat sih, Kyai, jawab Mang Usil.

Kenape, Sil? tanya Kyai Maksum kepada Mang Usil.

Beberapa waktu lalu, kalangan penganut agama leluhur dan aliran kepercayaan menggelar
pertemuan di Jakarta, diantara yang hadir ada penganut Sunda Wiwitan, Boti dari NTT,
Bantik Sulawesi Utara, Kaharingan Kalimantan, dan lain-lain. Mereka mendesak pemerintah
mengkaji ulang UU Administrasi Kependudukan, dan meminta menghapus kolom agama
pada KTP karena dianggap sebagai bentuk diskriminasi kepada para penganut aliran
kepercayaan dalam hal mengurus hak konstitusi mereka.

Diskriminasi gimane?

Masih banyak diantara mereka yang kesulitan mengakses program pemerintah akibat
dipersulit dalam pengurusan KTP karena gak mau nulis salah satu dari 6 agama yang diakui
pemerintah. Tidak adanya KTP bikin mereka gak bisa memperoleh surat nikah, akta kelahiran
anak, mendapat layanan kesehatan dan bantuan ekonomi, serta pengurusan perizinan
pemakaman.

Trus kok KTP-nya disalahin? Kalo ntar ada juga mereka yang ngaku mendapat perlakuan
diskriminasi gara-gara jenis kelamins, trus minta kolom gender dihapus, alasannye laki ma
perempuan kan setara. Kemudian muncul lagi usulan ngehapus juga kecamatan, kodya /
kabupaten dan propinsi. Alasannye ini negara gak boleh ngotak-ngotakin rakyatnye, jadi
aman kalo ada razia suporter bola. Nah.. jadinya KTP-nye polosan aje, kayak kartu wasit
sepakbola. .. hahahaha

Yaa gak gitu-gitu juga sih, Kyai


Ape ente gak sadar kalo ini test case dari segelintiran orang? Yang kritis doong, Sil. Kalo
menurut ane diskriminasi atas nama agama bukan alasan yang kuat untuk nge-hapus kolom
agama.

Koh Ahok aja sampe ikut dukung alasan kami, beliau bilang kalo di Malaysia tuh gak ada
kolom agama di KTP [The Jakarta Post]

Ente jangan ketularan ngawur dah, Sil, di Malaysia itu ada kolom agama bagi mereka yang
beragama resmi. Ane yang sering ke sana pernah lihat tuh, kata Kyai Maksum

Abu Nadia langsung buka ipad-nya, ngeluarin jurus search google image dengan kata kunci:
kad pengenalan malaysia. Hasilnya banyak keluar foto KTP Malaysia yang ada tertulis agama
di bawah foto pemilik KTP.

Nih lihat, mang banyak contohnya, kata Abu Nadia kepada Mang Usil.

Sumber foto[3]

Naah bener khan kate ane. Di Malaysia yang gak dicatat agamanye dalam KTP itu adalah
mereka yang beragama selain agama resmi. Malaysia sangat berkepentingan mengatur
kehidupan beragama di sana. Salah satunya lokalisasi judi di Kuching. Yang beragama Islam
dilarang masuk ke sana. Sangat jelas kolom agama di sana diperlukan untuk banyak
kepentingan yang gak jauh beda dengan di negeri kite. Ane yang denger koh Ahok bilang
seperti entu sakiiiit rasanye, kata Kyai Maksum sambil memegangi dadanya.

Tapi banyak negara-negara maju yang telah menghapus kolom agama dari KTP
Itu khan urusan mereka, Sil. Negara kite tentu punya aturan yang berbeda dengan mereka,
ngapain kite mesti ikutan nyamain demi memenuhi keinginan segelintir orang yang belum
tentu cocok diterapin di sini.

Bagaimana kalo misalnya gini di tempat yang situasinya sedang konflik antar pemeluk
agama, ada upaya sweeping umat agama A oleh preman-preman yang beragama B, ngeri juga
saat ada razia KTP

Lahh penyebab konflik khan bukan soal ada ato kagak adanye kolom agama di KTP, kok
jadi KTP yang disalahin

Mang Usil merasa puyeng debat dengan Kyai Maksum yang dianggapnya kolot
pemikirannya. Kemudian Abu Nadia mencoba angkat bicara:

Gini lho, Mang Usil. Kita harus pandang urgensi keberadaan kolom agama pada KTP atas
dasar 3 hal yaitu tertib administrasi, legalitas, dan manfaat; yang semuanya saling terkait
secara erat menyangkut hak-hak seorang warga. Keberadaan kolom agama pada KTP ini
menjadi sangat penting karena memang pada dasarnya masalah agama di negara ini diatur
oleh negara. Banyak masalah yang memang memerlukan legalitas terhadap agama yang
dianut oleh warga negara di sini.

Lha paling-paling alasannya karena buat administrasi kematian dan pernikahan doang, ya
cuman itu-itu aja alasannya, kata Mang Usil.

Melihat Mang Usil makin ngawur bicaranya, Kyai Maksum jadi tidak tahan untuk segera
menanggapinya.

Ente mikirnya jangan dangkal doong, Sil, yang tahunye cuman buat entu doang. Tiap taon
ente terima THR, gak? Nah, itu dasar validnya darimane? Ente tahu pentingnya remisi khusus
bagi napi di hari besar keagamaan? Nah, itu dasar validnya darimane? Selain soal urusan
administrasi pernikahan dan prosesi kematian; juga penting buat sumpah jabatan, sumpah
dalam sebuah sidang pidana / perdata, dan lain-lain yang itu semua butuh dokumen sah.
Hmm trus ada lagi tuh, kolom agama di KTP itu perlu buat bukti valid kalo ada yang mau
adopsi anak di panti asuhan atau posko korban bencana alam, contohnye jika anak muslim
maka orangtua yang mau mengadopsi juga kudu muslim. Masih banyak contoh laen, Sil, kalo
ente minta dijabanin.
Betul, kyai. Kebutuhan-kebutuhan tersebut terutama yang menyangkut hak perdata sangat
penting dibuat dalam sebuah dokumen administrasi yang legalitasnya diperlukan. Apalagi
dari perspektif hukum baik pidana/perdata, kepastian hukum itu salah satunya harus dicatat
secara tertulis (lex scripta) berdasarkan bukti tertulis yaitu KTP. Jadi, keberadaan kolom
agama pada KTP ini menjadi sangat penting, kata Abu Nadia.

Kemudian lanjut Abu Nadia


Gini, mang Undang-Undang Administrasi Kependudukan 2013 Pasal 64 ayat 1 berbunyi
setiap warga negara harus memilih satu di antara enam agama yang ia akui sebagai identitas
dirinya. Dalam revisi terhadap UU Administrasi Kependudukan sebelumnya sempat
diusulkan agar warga dibebaskan mencantumkan atau tidak agama di KTP. Perdebatan soal
kolom agama di KTP sudah selesai dengan disetujuinya UU Administrasi Kependudukan di
paripurna DPR 26 November 2013. DPR telah mengesahkan UU Administrasi
Kependudukan yang mana kolom agama di KTP Wajib di-isi kecuali diluar 6 Agama.
Pemerintah mempersilakan penganut kepercayaan untuk mengosongkan kolom agama
apabila tidak sesuai dengan keyakinannya. Kalo yang beragama resmi itu gak ngisi kolom
Agama maka resiko ditanggung sendiri kala berbenturan dengan urusan administrasi yang
mempersyaratkan validitas agamanya.

Lantas gimana solusinya bagi mereka yang masih nerima perlakuan diskriminatif saat
ngurus administrasi?

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebenarnya


sudah berupaya mencegah diskriminasi bagi warga negara Indonesia yang penganut
kepercayaan. Pasal 61 undang-undang itu mengatur penduduk yang agamanya belum diakui
atau bagi penghayat kepercayaan, tetap dilayani kok, meski kolom agama dalam KTP-nya
dikosongi. Pasal 28E dan pasal 29 UUD 1945 mengatur kemerdekaan beragama dan
berkeyakinan. Kemudian pasal 28I ayat 3 UUD 1945 tentang identitas budaya dan
masyarakat adat, serta Pasal 28I ayat 2 UUD 1945 tentang bebas dari diskriminasi. Semua
aturannya sudah benar dan jelas bagaimana menciptakan masyarakat yang harmonis dan
nyaman tanpa diskriminasi. Naah, kalo kenyataannya ada yang masih mendapat perlakuan
diskriminatif ya oknum tersebut laporin ke pihak yang berwenang dong jangan
nyalahin KTP-nya, kata Abu Nadia.
Melihat Mang Usil diam saja dan sepertinya masih belum terima dengan penjelasan yang
disampaikan Abu Nadia, akhirnya Kyai Maksum terpaksa mengeluarkan jurus pamungkas:
jurus jail-nya.

Sil, taon depan jadi ente nikah?

Pangestunya, kyai, insya Allah tahun depan saya jadi nikah

Ente Islam khan? Ape ente kagak kasihan ame petugas KUA yang punya tanggung jawab
kudu nikahin orang Islam dengan orang Islam? Kalo nikahin pasangan yang beda agama,
entu petugas KUA takut ikut nanggung akibatnya ntar di akherat.

Maksudnya kasihan gimana, kyai?

Misal nih ya taon depan kolom agama jadi diilangin di KTP lha karena gak cukup
yakin ama omongan ente yang ngaku Islam saat daftar nikah di KUA, entu petugas terpaksa
ngeliatin burung ente, mastiin ente udeh disunat ape belon, buat ngebuktiin ente muslim ape
kagak.[4]

Gubrak!!

Salam hangat tetap semangat,


Iwan Yuliyanto
15.12.2013

Catatan kaki:

1. Program TVOne: Pro Kontra Kolom Agama di KTP


Menghadirkan narasumber: Dewi Kanti (Penganut Sunda Wiwitan), Ulil Abshar
Abdalla (Freedom Institute dan Jaringan Islam Liberal/JIL), Irman (Dirjen
Kependudukan dan Catatan Sipil), dan Jazuli Juwaini (Anggota Komisi II DPR Fraksi
PKS) yang dipandu oleh Alfito Deannova Gintings.

2. Program JakTV: Pro Kontra Penghapusan Kolom Agama di KTP


Menghadirkan narasumber: Azwi Warman Adam (Sejarawan LIPI), Romo Benny
(SETARA Institut), Jazuli Juwaini (Anggota Komisi II DPR Fraksi PKS) dan Fahmi
Salim (Litbang MUI) yang dipandu oleh Adam Lubis.

3. ID Kad: koding-kn.blogspot.com/2011/10/evolusi-kad-pengenalan-kepada-
mykad.html

4. Soal jurus jail-nya Kyai Maksum, ia memandang dari sisi syariat bahwa sunat bagi
umat Muslim laki-laki adalah WAJIB hukumnya. Petugas KUA akan kesulitan
membuktikan kalau tidak ada bukti tertulis (azas lex scripta) bahwa calon
pengantinnya itu Islam.
Sedangkan bagi non-muslim adalah tidak ada kewajiban secara tertulis dalam kitab
sucinya untuk bersunat, kecuali contoh yang dilakukan nabi-nya yang sunat. Bersunat
bagi non-muslim bersifat anjuran bahwa sunat adalah baik bila ditinjau dari segi
kesehatan. Sehingga banyak sekali yang ber-sunat setelah melihat sisi positifnya.

Kenapa Kolom Agama di KTP Mau Dihapus?


Posted on 16 Desember 2013 by rinaldimunir

Saya heran ada wacana untuk menghapus kolom agama dari kartu tanda penduduk (KTP).
Alasan yang dikemukakan adalah kolom agama di KTP dapat menyebabkan timbulnya
diskriminasi, terutama bagi penganut agama minoritas di suatu daerah, atau bagi orang
penganut kepercayaan atau agama di luar enam agama rsmi yang diakui negara (Islam,
Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu). Contoh diskriminasi yang
terjadi misalnya seperti dikutip dari sini Dari temuan dan laporan sebagian anggota
Komisi II, warga pemeluk agama minoritas di wilayah tertentu di Indonesia, kerap dipersulit
ketika sedang mengakses pelayanan publik begitu diketahui oleh petugas tersebut agamanya
berbeda.

Bahkan, Wagub Jakarta, Ahok, pun ikut-ikutan mendukung penghapusan kolom agama di
KTP, dengan mengambil contoh di Malaysia saja tidak ada pencantuman agama di dalam
KTP warga (meskipun pernyataan Ahok ini dibantah oleh warga Malaysia, Pemerintah
Malaysia masih mencantumkan kolom agama dalam kartu tanda penduduk mereka (baca:
Ahok Salah, KTP Malaysia Masih Cantumkan Kolom Agama).

Hmmmmpadahal di dalam Undang-Undang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006


tentang Administrasi Kependudukan tdiak ada penghapusan kolom agama. Dikutip dari sini,
UU baru tersebut menyatakan, masyarakat tak lagi wajib mengisi kolom agama di Kartu
Tanda Penduduk (KTP) apabila dia beragama di luar 6 agama yang diakui resmi pemerintah
RI saat ini, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu.

Bagi kelompok sekuler (dan liberal) yang ingin menjauhkan agama dari kehidupan bernegara
dan berbangsa, pasti mereka sepemahaman dengan usulan penghapusan kolom agama. Begitu
pula bagi orang-orang yang sentimen dengan masalah agama, mereka cenderung melihat
agama itu dari sudut negatif saja. Agama seolah-olah tidak penting untuk dibahas, agama itu
urusan pribadi, toh beragama atau tidak beragama sama saja kelakuannya. Justifikasinya
sering dikaitkan dengan kasus-kasus hukum seseorang. Misalnya, mengaku taat beragama
tapi kok mencuri, mengaku sudah pergi haji tapi kok suka korupsi. Ayat suci dibaca, tetapi
maknanya tidak diamalkan. Akhirnya beginilah yang terjadi pada bangsa ini yang mengaku
bangsa paling relijius: korupsi, suap, nyontek, perkosaan, dan perilaku buruk lainnya menjadi
berita sehari-hari. Menurut saya yang salah itu bukan karena agamanya, tetapi emang dasar
orang tersebut tidak mempraktekkan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari, tidak me-
match-kan apa yang dibaca dengan yang tindakan yang dilakukan.

Kembali ke masalah diskriminasi karena agama. Diskriminasi terjadi bukan karena


agamanya, tetapi lebih pada perilaku orangnya. Orang yang melakukan diskriminasi karena
agama sebenarnya telah berlaku tidak adil, dan ketidakadilan itu bisa diseret ke ranah hukum
karena melanggar Pasal 27 UU 1045 ayat 1: Segala warga negara bersamaan kedudukannya
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.

Ketidakadilan karena menganut suatu agama tidak hanya terjadi di negara kita. Di luar
negeri, di negara-negara yang mengaku demokratis sekalipun, sering juga kita dengar
diskriminasi hanya karena dia beragama berbeda. Misalnya ada wanita muslimah yang susah
mendapat pekerjaan hanya karena dia memakai hijab atau kerudung. Di Perancis yang
menganut paham liberte malah ada larangan menggunakan jilbab di sekolah-sekolah.

Jika pencantuman agama di KTP dianggap menimbulkan diskriminasi, maka seharusnya


semua kolom data di KTP dapat menimbulkan diskriminasi juga lho. Tidak percaya? Coba
perhatikan dialog berikut yang saya peroleh dari Fesbuk, anekdot lucu tetapi sebenarnya
mengandung nada satire:
Perlukah Kolom Agama di KTP Dihapus?
A : Bro, tahu belum? Ada wacana kolom agama di KTP mau dihilangkan lho.

B : Emang kenapa? Katanya negara berketuhanan, kok malah hilangkan agama?

A: Katanya sih, kolom agama itu bisa mengakibatkan diskriminasi. Lagian agama juga
urusan pribadi. Nggak usahlah dicantumkan di KTP.

B : Nah, ntar ada juga orang yang ngaku mendapat perlakuan diskriminasi gara-gara jenis
kelamin ditulis. Berarti kolom jenis kelamin juga harus dihapus dong. Laki-laki dan
perempuan kan setara. Lagian, para bencong atau banci pasti protes mau dimasukkan ke
jenis kelamina apa.

C : Eh, jangan lupa. Bisa juga lho perlakuan diskriminasi terjadi karena usia. Jadi hapus
juga kolom tanggal lahir.

D : Eit, ingat juga. Bangsa Indonesia ini juga sering fanatisme daerahnya muncul, terlebih
kalau ada laga sepak bola. Jadi mestinya, kolom tempat lahir dan alamat juga dihapus.

B : Ada juga lho, perlakuan diskriminasi itu gara-gara nama. Misal nih, ada orang dengan
nama khas agama tertentu misalnya Abdullah, tapi tinggal di daerah yang mayoritas
agamanya lain. Bisa tuh ntar dapat perlakuan diskriminasi. Jadi kolom nama juga wajib
dihapus.

B: Kalau status pernikahan gimana? Perlu gak dicantumkan?

A : Itu harus dihapus. Nikah atau tidak nikah itu kan urusan pribadi masing-masing. Saya
mau nikah kek, mau pacaran kek, itu kan urusan pribadi saya. Jadi kalau ada perempuan
hamil besar mau melahirkan di rumah sakit, nggak usah ditanya KTP-nya, nggak usah
ditanya sudah nikah belum, nggak usah ditanya mana suaminya. Langsung saja ditolong
oleh dokter.

D : Sebenarnya, kolom pekerjaan juga berpotensi diskriminasi. Coba bayangkan. Ketika di


KTP ditulis pekerjaan adalah petani/buruh, kalau orang tersebut datang ke kantor
pemerintahan, kira-kira pelayanannya apakah sama ramahnya jika di kolom pekerjaan
ditulis TNI? Nggak kan? Buruh biasa dilecehkan. Jadi kolom pekerjaan juga harus
dihapus.

C: Kalau golongan darah gimana? Berpotensi diskriminasi nggak?

A : Bisa juga. Namanya orang sensitif, apa-apa bisa jadi bahan diskriminasi.

E : Lha terus, isi KTP apa dong?


Nama : dihapus
Tempat tanggal lahir : dihapus
Alamat tinggal : dihapus
Agama : dihapus
Status perkawinan : dihapus
Golongan darah : dihapus
Berarti, KTP isinya kertas kosong doang.

A, B, C, D : (melongo)

Tjahyo Kumolo: Agama Boleh Kosong di KTP

OPINI | 07 November 2014 | 06:29 Dibaca: 226 Komentar: 16 1

Tjahyo Kumolo kader PDIP yang anak emasnya Megawati SP dan baru saja menjabat
Menteri Dalam Negeri, mengatakan : Warga negara Indonesia (WNI) penganut
Kepercayaan yang belum diakui secara reami oleh Pemerintah boleh sementara
mengosongkan kolom Agama di Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP)

Tjahyo Kumolo sesumbar mengatakan itu, padahal dia sendiri akan segera bertemu dengan
Menteri Agama untuk membahas masalah kolom agama bagi aliran kepercayaan ini. Artinya
disaat dia mengatakan pengosongan kolom agama itu, dia sendiri belum membuat
kesepakatan bersama bertemu dengan Menteri Agama.
Ada apa Mendagri Tjahyo Kumolo ? Apakah jabatan ini yang digunakan untuk menyalurkan
rencana lama PDIP untuk menghilangkan kolom agama ? Atau Mendagri Tjahyo Kumolo
sedang melaksanakan agenda terselubung apa dibalik jabatannya ini ? Seluruh rakyat
Indonesia sudah lama mengetahui bahwa memang ada agenda dari pengaruh pihak tertentu
yang selama ini beropini memanfaatkan PDIP untuk menghilangkan kolom agama dalam
KTP dan agenda tersebut sangat banyak yang menentangnya. Mengapa Tjahyo Kumolo
begitu heroik ingin menghilangkan kolom agama ini ?

Rupanya Mendagri Tjahyo Kumolo disaat ada wartawan yang menanyakan tentang
pengosongan kolom agama di e-KTP, sang Menteri berani lancang mengatakan anjuran yang
tidak berdasar kuat sesuai ketetapan dan kesepakatan yang ada. Bahkan Mendagri Tjahyo
Kumolo belum bertemu dengan Menteri Agama. Mengapa Mendagri Tjahyo Kumolo berani
selancang itu, karena sang Menteri Dalam Negeri yang dari PDIP ini berpolitik opini untuk
mendeteksi reaksi dari masyarakat tentang kolom agama ini.

Adalah sebuah keterbelakangan berpikir, jika ada pihak yang mengatakan bahwa
pencantuman kolom agama merupakan sebuah diskriminasi. Tidakkah kita ketahui bahwa ada
beberapa agama resmi yang diakui Negara berdasarkan UU No.24 Tahun 2013.

Bagi ummat beragama, kolom agama didalam e-KTP, adalah sangat penting, karena didasari
dengan sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa artinya setiap manusia
yang mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa, maka manusia itu pasti mengakui adanya
agama dan dia beragama. Negara mencantumkan kolom agama didalam e-KTP adalah untuk
menjaga ketertiban umum, agar berbagai budaya aneh diluar agama resmi yang telah diakui
Negara bisa dihindari. Jika di Indonesia ada pihak yang sangat minoritas dan agamanya tidak
berdasarkan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, jelas tidak akan diakui oleh Negara.
Maksud Negara adalah agar Indonesia kedepan tidak tumbuh berbagai aliran sesat dan
menyesatkan sehingga bisa mengganggu ketertiban umum, serta mengganggu budaya ke-
Indonesiaan di masa depan bagi keturunan warga Negara Indonesia. Negara berkehendak
agar ada konsistensi budaya bangsa Indonesia yang masih tetap dipertahankan kedepan.

Bagi ummat ber-agama, agama adalah sangat penting dan bersatu dengan kehidupan sehari-
hari. Kalau kita lihat agama Islam ada ritual ibadah sholat lima waktu dalam sehari, bagi
ummat Kristiani ada doa sepanjang hari dan dalam sekali tujuh hari ada ritual ke Gereja.
Begitu juga bagi ummat Hindu, Budha dan Kong Hu Chu ada ritual keseharian dalam doa
yang dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Adanya upaya kuat untuk menghilangkan kolom agama di e-KTP adalah merupakan upaya
sekelompok orang yang anti dengan agama dan anti dengan keberadaan agama didalam
kehidupan masyarakat Indonesia. Justru kehendak yang anti agama inilah yang kita saksikan
selama ini disalurkan melalui PDIP dan bahkan para petinggi PDIP menyetujui penghapusan
kolom agama di KTP. Ada apa didalam PDIP ? Lalu agenda apa yang sedang dimainkan oleh
PDIP melalui para kader mereka yang menjabat Menteri untuk memuluskan upaya kotor ini
didalam Kabinet Kerja ? Tidakkah penghapusan kolom agama ini adalah upaya awal untuk
menghilangkan agama dari muka bumi tanah air Indonesia ? Untuk percepatan kehancuran
Indonesia (NKRI) kedepan. (Francius Matu)

Home Vox Populi Tolak Penghapusan Kolom Agama di KTP

Tolak Penghapusan Kolom Agama di KTP


Published on Nov 17 2014 // Vox Populi

Kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) sempat menjadi polemik. Lantaran Menteri
Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumulo melempar wacana pengosongan kolom tersebut.
Namun, kolom agama di KTP boleh dikosongkan ini hanya berlaku bagi warga yang
memiliki keyakinan selain enam agama yang diakui Pemerintah Republik Indonesia.

Belum saja rencana tersebut terealisasi, malah muncul wacana yang lebih ekstrem, yakni
menghapus kolom agama di KTP. Artinya, agama seseorang tidak lagi bisa diketahui dengan
melihat KTP-nya. Celakanya, ternyata usulan ini mendapat dukungan dari segelintir orang
ataupun kelompok. Beberapa di antaranya menyatakan dukungannya di hadapan publik.

Bisa dilihat di www.tempo.co/read/news/2014/11/10/078620849/Kontras-Mendukung-


Kolom-Agama-di-KTP-Dihapus Kemudian di
http://nasional.sindonews.com/read/921464/15/pgi-dukung-kolom-agama-ktp-dihapus-
1415403832 http://politik.rmol.co/read/2014/06/18/160080/Tim-Jokowi-Dukung-
Penghapusan-Kolom-Agama-di-KTP- dan di http://m.liputan6.com/news/read/2131820/ Jelas
saja, wacana ini semakin menimbulkan polemik di tanah air. Lantaran Indonesia merupakan
negara berlandaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga agama menjadi bagian dari
identitas setiap Warga Negara Indonesia.

Bagi kelompok yang mendukung penghapusan, menggangap kolom agama menimbulkan


diskriminasi bagi para penganut aliran kepercayaan atau keyakinan yang tidak diakui di
Indonesia. Alasannya, pemerintah Indonesia hanya mengakui enam agama, yaitu Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Sehingga, kalau tidak mencantumkan
salah satu dari enam agama tersebut, seseorang tidak bisa memperoleh KTP.

Walau pun ada segelintir kelompok yang mendukung, tetapi lebih banyak yang menolak
usulan penghapusan kolom agama di KTP. Bila alasannya agar tidak diskriminatif terhadap
kepercayaan atau keyakinan lainnya, bukan berarti kolom agama di KTP harus dihapus.
Masih banyak cara agar kolom agama bisa dipertahankan, sambil tetap mengakomodir
keyakinan lain, yang tidak diakui oleh pemerintah Indonesia.

Keberadaan kolom agama patut dipertahankan, sebab identitas agama seseorang sangat
penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pada kondisi tertentu, hanya dengan
melihat KTP kita bisa tahu agama seseorang. Sehingga dapat mengambil tindakan yang
bersifat keagamaan kepada seseorang.

Misalnya saja ketika akan mengurus kematian seseorang yang tidak dikenal. Ketika melihat
KTP yang bersangkutan, ternyata tempat tinggal atau alamatnya sangat jauh, misalnya
antarpulau. Terutama di hukum Islam, saat mengurus jenazah harus jelas dan sifatnya segera.
Dengan mengetahui agama si mayat, sejak awal bisa mengurus jenazahnya.
Hal ini tentu berlaku juga bagi umat agama lain, pasti memiliki cara sendiri-sendiri dalam
penanganan jenazah. Ini hanya salah satu contoh persoalan yang muncul bila tidak ada kolom
agama di KTP. Belum lagi persoalan lainnya yang lebih besar. Masih banyak lagi manfaat
keberadaan kolom agama, sehingga patut dipertahankan. Minimal, dengan telah tercantum di
KTP, seseorang tidak bisa berbohong dengan agama yang dianutnya.

Saya sangat mendukung dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menolak wacana
penghapusan kolom agama. Termasuk solusi MUI bahwa penganut keyakinan lain di luar
yang diakui pemerintah boleh mengosongkan kolom agama. Ini merupakan bentuk jalan
keluar, sehingga penganut kepercayaan lain tidak perlu harus mengaku sebagai umat salah
satu dari enam agama yang diakui pemerintah.

Sehingga, walaupun ia mengosongkan kolom agama masih tetap bisa memperoleh KTP.
Hanya saja, orang tersebut harus mencantumkan aliran kepercayaan yang dianutnya pada
daftar database administrasi kependudukan pada instansi terkait. Bahkan, MUI juga menolak
ada penambahan agama selain yang telah diakui pemerintah dalam kolom agama KTP.
Termasuk kolom aliran kepercayaan.

Sikap MUI ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 24/2013 tentang Administrasi
Kependudukan yang menegaskan bahwa aliran kepercayaan bukanlah agama. Sehingga tidak
boleh ditulis pada kolom agama di KTP. Menurut MUI, gagasan penghapusan atau
penambahan agama lain pada KTP ini menciptakan polemik berkepanjangan. Sehingga
diyakini berpotensi merugikan bangsa dan negara. Masih banyak persoalan bangsa yang perlu
dibenahi.

Memang negara lain ada yang tidak menampilkan kolom agama di KTP. Tetapi, kita jangan
mudah membanding-bandingkan Republik Indonesia dengan negara lain di dunia ini. Apalagi
terhadap negara-negara yang menganut paham liberal atau pun sekuler.

Negara Indonesia menganut paham Pancasila. Pada sila pertama sangat tegas dikatakan
bahwa negara kita berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini membuktikan nilai-nilai
keagamaan sangat dijunjung tinggi. Begitu pula dengan kehidupan masyarakatnya, tidak
lepas dari kultur yang memiliki nilai-nilai budaya dan agama. Karena itulah, bangsa kita
memiliki karakter khas, sehingga tidak bisa disamakan dengan negara lain.
Patut dipertanyakan motif yang mendukung penghapusan kolom agama di KTP. Apalagi yang
mendukung tersebut sebenarnya menganut salah satu agama yang diakui pemerintah. Apakah
mereka tidak bangga dengan agama yang dianutnya? Atau mereka merasa malu dengan
agamanya sendiri? (Arman Hairiadi)

Ide Penghapusan Kolom Agama dari KTP Itu Sungguh Konyol!

Ide yang sebenarnya sudah muncul sejak beberapa tahun lalu, kini disampaikan lagi oleh
wagub DKI, Ahok.

Banyak masyarakat yang mendukung ide ini, dengan berbagai macam alasan tentu saja.

Menurut saya, alasan-alasan tersebut lucu semua. Bikin ketawa. Berikut analisisnya.

I. "Apakah dengan mencantumkan agama di KTP, itu menjamin orangnya sudah punya moral
yang baik?"

Duhai! Sejak dulu tujuan pencantuman agama di KTP bukan untuk menunjukkan seseorang
itu bermoral atau tidak. Itu hanya sekadar menunjukkan identitas keagamaan seseorang. Tak
lebih tak kurang. Ngapain sih, diperbincangkan terlalu lebar, sampai ke urusan moral segala?

Jika di kolom jenis kelamin tertulis LAKI-LAKI, apakah orangnya benar2 laki-laki sejati,
bukan homo atau waria? Tentu tak perlu dibahas sampai sejauh itu, kan?

Jika di kolom pekerjaan tertulis KARYAWAN, tentu tak perlu dibahas apakah dia karyawan
yang baik, karyawan yang suka korupsi, dan sebagainya, kan?

II. "Agama itu urusan pribadi. Agama itu seperti underwear. Harus disembunyikan. Agama
bukan untuk dipajang-pajang."

Ini argumen yang lebih lucu lagi. Kalau agama harus disembunyikan, kita harus beribadah
secara sembunyi-sembunyi juga dong. Rumah ibadah seperti masjid, gereja dan seterusnya
harus disembunyikan pula. Kita datang shalat berjamaah ke masjid secara sembunyi-
sembunyi, agar tak ada yang tahu bahwa kita Islam. Lonceng gereja juga tak boleh
dibunyikan, agar tak ada yang tahu bahwa di daerah tersebut ada orang beragama kristen.

Begitukah?
III. "Agama itu urusan pribadi, jadi tak perlu dicantumkan di KTP."

Status pernikahan juga urusan pribadi. Alamat rumah juga urusan pribadi. Jenis kelamin juga
urusan pribadi. Semua urusan pribadi. Jadi semua tak perlu dicantumkan di KTP, dong?

IV. "Pencantuman kolom agama bisa menimbulkan masalah diskriminasi"

Apapun itu, bisa kok jadi masalah diskriminasi. Pekerjaan misalnya. Jika di KTP si A tertulis
pekerjaan buruh, lalu di KTP si B tertulis pekerjaan TNI, yakin nih.. mereka akan
diperlakukan sama di dalam pelayanan publik?

***

PERTANYAAN PENTING:
Sebenarnya, SECARA RIIL apakah pencantuman kolom agama di KTP memang TELAH
TERBUKTI berbahaya dan merugikan? Coba sebutkan data, bukti dan faktanya. Bukan
sekadar argumen yang belum terbukti.

Bisa membuktikan? Saya yakin, belum pernah ada satu bukti pun yang menunjukkan bahwa
pencantuman kolom agama di KTP itu merugikan atau berbahaya.

Kalau belum ada bukti, ngapain sih pakai dihapus segala?

Justru, kalau kolom agama dihapus, kerugiannya akan banyak. Seperti... hm... silahkan deh
disebutkan sendiri. Nanti kalau saya sebutkan, kita malah sibuk memperdebatkan contohnya.
Padahal bukan di situ inti pembahasan artikel ini.

Anda mungkin juga menyukai