Anda di halaman 1dari 9

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA RINGAN MENGENAI

DISKRIMINASI MINORITAS TERHADAP


KELUARGA SLAMET DI BANTUL

Oleh :
Ayu Wulandari 362055401036
Moch Surya Diva Nurkhoir 362055401041
Bagus Aris Pradana 362055401052
Risa Irmawati 362055401054
Dzaki Ahmad Fajrianto 362055401056

PROGRAM STUDI DIPLOMA III


TEKNIK INFORMATIKA
POLITEKNIK NEGERI BANYUWANGI
2022
DISKRIMINASI MINORITAS

Akar ketatanegaraan suatu negara bisa dilihat dari sejarah bangsa itu
sendiri. Karakteristik dan identitas suatu bangsa sangat menentukan dasar-dasar
kebangsaan dan kenegaraan di dalam konstitusi. Hal itu dapat dilihat dari salah
satu konsesus dasar yang termuat dalam konstitusi, yaitu kesepakatan tentang
tujuan atau cita-cita bersama (Andrews, 1968: 12-13). Setiap bangsa dan
peradaban memiliki karakter masing-masing yang unik. Karakter ini terbentuk
berdasarkan sejarah dan perkembangan budaya masyarakatnya. Bahkan setiap
bangsa memiliki karakter dan kualitas tersendiri yang secara intrinsik tidak ada
yang bersifat superior satu sama lainnya. Hal yang sama terjadi dalam
pembentukan sistem hukum yang memiliki kaitan erat dengan budaya
masyarakatnya (Maladi, 2010: 452).

Indonesia merupakan negara yang khas,karena karakteristik dari Indonesia


adalah ‘kekeluargaan dan gotong-royong’. Nilai ‘kekeluargaan dan gotong-
royong’ ini sangat berbeda dengan model individualistis-liberal Barat. Pemikiran
gaya Barat yang rasional,linear, mengkotak-kotakan, dan diskriminatif mulai
tergeser dengan pikiran intuitif, holistik, dan tidak-linier Timur. Suatu kebudyaan
memang benar yang mengasah sebuah negara. Dominasi pemikiran gaya Barat
sudah berlalu, karena Barat mengidap ‘budaya pembodohan jiwa/rasa’. Nilai luhur
suatu bangsa memang harus dipertahankan. Indonesia boleh saja mengikuti arus
perubahan dunia, tapi Indonesia tidak boleh hanyut secaratotal dalam perubahan
tersebut (Raharjdo, 2009:98-99).

Pancasila sebagai dasar ideologi negara Indonesia, sekiranya tepat untuk


konsep negara hukum yang memiliki berbagai macam ras, kultur, etnis, agama,
dan daerah yang sangat luas. Untuk emncapai cita-cita dan tujuan dengan
landasan negara yang beragam maka system hukum nasional yang harus dibangun
adalah system hukum Pancasila. Sistem hukum Pancasila merupakan system
hukum yang sesuai dengan kepentingan nilai sosial dan konsep keadilan ke dalam
satu ikatan hukum prismatic dengan mengambil unsur-unsur baiknya.

Sebagai konsepsi prismatik, Pancasila mengandung unsur-unsur yang baik


dan cocok dengan nilai khas budaya Indonesia yang sudah hidup di kalangan
masyarakat selama berabad abad. Konsepsi prismatik ini minimal dapat dilihat
dari empat hal; Pertama, Pancasila memuat unsur yang baik dari pandangan
individualisme dan kolektivisme. Diakui bahwa manusia sebagai pribadi
mempunyai hak dan kebebasan asasi namun sekaligus melekat padanya kewajiban
asasi sebagai makhluk Tuhan dan sebagai makhluk sosial. Kedua, Pancasila
mengintegrasikan konsep negara hukum “Rechtstaats” yang menekankan pada
civil law dan kepastian hukum dan konsepsi negara hukum “the Rule of Law”
yang menekankan pada common law dan rasa keadilan. Ketiga, Pancasila
menerima hukum sebagai alat pembaruan masyarakat (law as tool of social
engineering) sekaligus sebagai cermin rasa keadilan yang hidup di masyarakat
(living law). Keempat, Pancasila menganut paham religious nation state, bukan
negara agama, tetapi juga tidak hampa agama (negara sekuler). Negara harus
melindungi dan membina semua pemeluk agama (Mahfud MD., 2007: 11).

Dengan demikian, Pancasila sebagai dasar negara memuat unsur prismatic


yang mengakui bahwa manusia sebagai pribadi mempunyai hak dan kebebasan
asasi namun sekaligus melekat padanya kewajiban asasi sebagai makhluk Tuhan
dan sebagai makhluk sosial. Hal ini membuktikan bahwa Pancasila menjunjung
tinggi nilai Hak Asasi Manusia. Hak asasi manusia adalah hak moral universal,
sesuatu yang harus dimiliki oleh manusia, di mana pun, setiap saat, sesuatu yang
tidak boleh dirampas oleh siapa pun tanpa penghinaan berat terhadap keadilan,
serta sesuatu yang harus dimiliki setiap manusia karena dia adalah manusia.
(Cranston, 1973 : 36) Dari definisi tentang HAM tersebut, serta berbagai definisi
lain yang diberikan dalam menelaah HAM, pemahaman atas HAM kemudian
disebut sebagai bersifat universal (bagi semua orang, waktu, dan tempat), dimiliki
oleh semua manusia (Chan, 1995: 28), dan harus dilakukan serta dijaga oleh
semua manusia. (Prajarto, 2004: 317)

Secara pasti, tugas negara Indonesia yang memiliki dasar negara Pancasila
adalah melindungi HAM setiap orang dari penyalahgunaan kekuasaan negara,
menjamin keberadaan HAM pada setiap individu dalam ketentuan hukum maupun
di dalam pelaksanaannya dan memenuhi HAM setiap individu. Sebagai contoh
setiap indivdu memiliki hak untuk tidak disiksa, hak untuk menyampaikan
pendapat, hak untuk memilih dan dipilih, hak memeluk agama dan mas banyak
lagi. Namun, sayangnya masih banyak pelanggaran HAM yang terjadi di negara
kita.

Salah satunya adalah kasus diskriminasi terhadap minoritas yang terjadi


pada keluarga Slamet di Bantul. Peristiwa ini terjadi pada 31 Mei 2019 yang
bermula saat Slamet Jumiarto, seoarang ayah dengan dua anak yang tak menduga
keputusannya pindah ke Padukuhan (Dusun) Karet RT 8, Desa Pleret, Kabupaten
Bantul, akan berujung panjang. Slamet dan keluarga ditolak tinggal di daerah
tersebut lantaran bukan pemeluk agama Islam. Penolakan tersebut didasarkan
pada surat keputusan daerah Bantul dengan Nomor: 03/POKGIAT/Krt/Plt/X/2015
tentang persyaratan pendatang baru di Pedukuhan (Dusun) Karet. Dalam surat itu
disebut pendatang baru yang hendak tinggal di Dusun Karet harus memeluk
agama Islam.
Dilihat dari kasus di atas yang melarang warga non-muslim menempati
wilayah tersebut merupakan sebuah aturan yang melanggar Hak Asasi Manusia
sebagai individu dalam hal hak kebebasan memeluk agama dan hak mendapatkan
tempat tinggal. Kita tinggal di Indonesia yang sangat beragam akan ras, suku,
budaya, dan juga agama. Seharusnya tidak ada pembeda antar agama satu dengan
agama lainnya. Seharusnya tidak ada larangan bagi setiap warga negara tidak
untuk tinggal dimanapun. Peristiwa ini juga sangat melanggar nilai-nilai Pancasil
sebagai dasar negara. Pertama, diskriminatif yang mengatas namakan agama ini
merupakan kasus yang sangat melanggar sila ketuhanan Yang Maha Esa.
Kedua melanggar sila kemanusiaan yang adil dan beradab, terkait kasus
diskriminatif minoritas, yang melakukan diskriminatif terutama
mengatasnamakan agama ini adalah seseorang yang tidak beradab, ia tidak mau
menghargai perbedaan terutama perbedaan dalam kategori agama. Manusia yang
beradab adalah manusia yang memberlakukan sesamanya sesuai harkat dan
martabat yang sama derajatnya, hak dan kewajiban. Tetapi dalam kasus keluarga
Slamet ini hanya karena agama mereka berbeda dari mayoritas yang ada mereka
diperlakukan tidak sama sampai tidak boleh tinggal di daerah tersebut.

Ketiga melanggar sila persatuan Indonesia, sila ketiga mengajarkan kepada


seluruh rakyat indonesia untuk menumbuhkan rasa nasionalime dengan membina
kerukunan terhadap segala perbedaan dan  menghargai dengan sepenuh hati
terhadap segala keragaman yang ada dibangsa indonesia ini. 

Sikap diskriminatif terhadap orang lain terutama didasari karena


perbedaan agama akan mengancam lemahnya persatuan bangsa ini terutama
dalam hal toleransi antar umat beragama dan terkait kasus ini pasti akan ada lagi
konflik yang mengatasnamakan agama. Bisa saja agama yang didiskriminatif
tersebut tidak terima maka akan menyerang kaum yang melakukan diskriminatif
tersebut tentunya kaum mayoritas. Karena segala konflik yang mengatasnamakan
perbedaan akan berujung terjadi diskriminatif terhadap kaum minoritas.

Keempat melanggar sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


Terkait kasus diskriminasi terjadi keluarga Slamet adalah bentuk ketidakadilan.
Indonesia adalah negara yang beradasarkan pada pancasila seharusnya tidak ada
diskriminasi terhadap siapapun karana semua manusia hidup dalam perbedaan
yang salah satunya adalah perbedan agama. 

Perbedaan agama memang masih menjadi tolak ukur diskriminasi di


Indonesia terutama diskriminasi minoritas yang mengatasnamakan agama, artinya
seseorang itu didiskriminasi karena berbeda agama dari sebagian besar orang-
orang yang terdapat di wilayah tersebut. Hal tersebut adalah tindakan yang tidak
adil dalam memperlakukan sesama dalam konteks warga Indonesia.
Di indonesia tidak ada tercetus menempati suatu tempat harus berdasarkan
agama. Terkait peraturatan  kasus ini adalah penyimpangan terhadap sila keadilan
terhadap sesama mahluk sosial. Disila ini dikatakan keadilan bagi seluruh rakyat
artinya tidak ada perbedaan atas dasar apapun. Semua warga negara indonesia
berhak mendapat keadilan yang sama dimata sesamanya. 

Ketidakadilan sangat nampak pada keluarga Slamet yang ditolak tinggal di


daerah tersebut hanya karena beragama non muslim,  kesenjangan akan sila
keadilan terjadi disini. Karena seharusnya seluruh warga indonesia berhak dan
memiliki hak yang sama untuk tinggal di daerah tersebut tanpa adanya halangan
karena perbedaan agama. Dari kasus keluarga Pak Slamet yang ditolak tinggal di
daerah tersebut karena berbeda agama merupakan adalah potret diskriminatif
terhadap agama minoritas. Potret diskriminasi terhadap minoritas seharusnya
sangat dihindari karena kasus-kasus seperti ini bisa menimbulkan perpecahan
apalagi indonesia merupakan negara yang memiliki keberagaman suku,budaya,
dan agama.

Dari kasus diskriminasi pada keluarga Slamet, yang masih menjadi


wewenang pemerintah DIY, Gubernur telah mengeluarkan instruksi Nomor
1/INSTR/2019 tentang pencegahan Potensi Konflik Sosial: Dalam rangka
menjaga situasi keamanan, ketentraman, ketertiban dan kedamaian di wilayah
Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai wujud tanggung jawab Pemerintah Daerah
dalam memenuhi hak-hak asasi Masyarakat. Gubernur memiliki kewenangan
untuk memberikan teguran kepada Bupati/Walikota yang tidak memnuhi instruksi
Nomor 1/INSTR/2019. Bahkan Bupati/walikota bisa saja mendapatkan sanksi.
Sanksinya secara penyelenggaraan pemerintahan, bisa sanksi personal, dan
sebagainya

Dari uraian tersebut kemudian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:


pertama, secara regulasi mengenai penanganan/pencegahan intoleransi perlu
diperkuat melalui Peraturan Daerah DIY. Kedua, dalam Peraturan Daerah perlu
dibentuk lembaga khusus yang berwenang menangani tindakan intoleransi.
Ketiga, sosialisasi terhadap masyarakat mengenai larangan intoleransi perlu
diperkuat. Keempat, perlu diatur mekanisme komplein untuk mempermudah
masyarakat dalam mengadu. Dengan adanya empat kesimpulan dari hasil uraian
tersebut maka, dalam suatu perkembangan yang terjadi daerah perlu membuat
suatu konsep agar tindakan-tindakan intoleransi tidak lagi terjadi di Yogyakarta.

DAFTAR PUSTAKA

Rusdi, Muhammad (2021). Penanganan Intoleransi Oleh Pemerintah


Istimewa Yogyakarta. Jurnal Widya Pranata Hukum, Vol. 3 No. 1, 144.

Wibowo, Wahyu & Setyadi, Yusuf (2021). Penegakan Hukum Hak Asasi
Manusia Di Indonesia Dalam Kasus Pelanggaran Ham Berat: Studi Kasus
Tanjung Priok, Timor Timor, Dan Abepura. Journal of Islamic and Law Studies,
Vol. 5 No. 1, 108-109.
Lestari, Eka Lilis (2019). Penegakan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia
di Indonesia dalam Konteks Implementasi Sila Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab. Legal Aid Center, Vol. 5 No. 2, 16-21.

https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2018/12/21/510/960243/10-
kasus-intoleransibertebaran-di-jogja-sepanjang-2018.diakses 03/10/2022

https://regional.kompas.com/read/2015/01/19/16311881/
Kasus.Intoleransi.DI.Yogyakarta.Diminta.Waspada.diakses 05/10/2022

https://www.voaindonesia.com/a/karena-beda-agama-slamet-jumiarto-
ditolak-tinggal-di-desa-pleret-bantul/4860378.html.diakses 09/10/2022

Anda mungkin juga menyukai