Anda di halaman 1dari 20

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia yang disebabkan


oleh infeksi sistemik Salmonella typhi. Insiden, cara penyebaran, dan
konsekuensi demam tifoid sangat berbeda di negara maju dan yang sedang
berkembang. Insiden sangat menurun di negara maju.1 Di Negara yang
berkembang seperti di Papua Nugini dan Indonesia, insiden tahunannya
mencapai 120 : 100.000 populasi. Sebuah studi epidemiologi menujukkan bahwa
Asia tenggara dan Asia selatan mencatatkan insiden endemik diatas 100 :
100.000 kasus per tahun.2 Di Amerika Serikat, sekitar 400 kasus demam tifoid
dilaporkan setiap tahun, memberikan insiden tahunan kurang dari 0,2 per
100.000, yang serupa dengan insiden tahunan di Eropa Barat dan Jepang. Di
Eropa Selatan, insiden tahunan adalah 4,3-14,5 per 100.000. Di negara yang
sedang berkembang S.typhi merupakan isolat Salmonella yang paling sering,
dengan insiden yang dapat mencapai 500 per 100.000 (0,5%) dan angka
mortalitas tinggi. WHO (World Health Organization) telah memperkirakan
bahwa 12,5 juta kasus terjadi setiap tahun di seluruh dunia. Sembilan puluh satu
persen (91%) kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun kejadiannya
meningkat setelah umur 5 tahun. Pada minggu pertama sakit, demam tifoid
sangat sukar dibedakan dengan penyakit demam lainnya sehingga untuk
memastikan diagnosis diperlukan pemeriksaan bahan kuman untuk konfirmasi.3

Sembilan puluh enam persen (96%) kasus demam tifoid disebabkan oleh
S.Typhi, sisanya disebabkan oleh S.paratyphi. Masa inkubasi adalah 10-14 hari.
Kuman masuk melalui makanan/minuman, setelah melewati lambung kuman
mencapai usus halus (ileum) dan setelah menembus dinding usus kuman akan
mencapai folikel limfoid usus halus (plaque Peyeri). Kuman ikut aliran limfe
mesentrial ke dalam sirkulasi darah (bacteremia primer) mencapai jaringan RES
(hepar,lien, sum-sum tulang untuk bermultiplikasi). Setelah mengalami
bacteremia sekunder, kuman mencapai sirkulasi darah untuk menyerang organ
lain (intra dan ekstra intestinal), yang merupakan komplikasi dari demam tifoid.1

1
Ada beberapa komplikasi yang terjadi akibat demam tifoid. Komplikasi
intraintestinal adalah berupa perforasi usus atau perdarahan saluran cerna. Antara
lain gejalanya berupa suhu menurun, nyeri abdomen, muntah, nyeri tekan pada
palpasi, bising usus menurun sampai menghilang, defance musculaire positif,
dan pekak hati menghilang. Komplikasi ekstraintestinal diantaranya tifoid
ensefalopati, hepatitis tifosa, meningitis, pneumonia, syok septik, pielonefritis,
endocarditis, osteomyelitis, dan lain-lain.1

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mempelajari dan mengetahui
komplikasi dari demam tifoid.

1.3 Manfaat Penulisan

Referat ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber informasi tentang


komplikasi demam tifoid.

1.4 Metode Penulisan

Penulisan referat ini menggunakan tinjauan kepustakaan yang merujuk


kepada berbagai literature.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. PATOFISIOLOGI DEMAM TIFOID

Manusia merupakan satu-satunya sumber penularan alami Salmonella typhi,


melalui kontak langsung maupun tidak langsung dengan seorang penderita tifoid
atau karier kronis. Infeksi didapat dengan cara menelan makanan atau minuman
yang terkontaminasi, dan dapat pula dengan kontak langsung jari tangan yang
terkontaminasi tinja, urine, sekret saluran nafas, atau dengan pus penderita yang
terinfeksi. Agar dapat menimbulkan gejala klinis, diperlukan S. thypi dalam dosis
tertentu. Bagi manusia, dosis infektif rata-rata untuk menimbulkan gejala klinik
atau subklinik adalah 105-108 bakteri, tapi sumber lain juga menyebutkan dengan
jumlah bakteri 103 sudah bisa menyebabkan penyakit.4 Seseorang yang telah
terinfeksi Salmonella typhi dapat menjadi karier kronis dan mengekskresikan
bakteri selama beberapa tahun melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja.5
Port d entre S.typhi adalah di usus. Bakteri yang tertelan masuk ke dalam

lambung untuk mencapai usus halus. Bakteri yang tidak dimusnahkan oleh asam
lambung dapat langsung mencapai usus halus dan dengan cepat menginvasi sel
epitel dan tinggal di lamina propria. Di lamina propria bakteri mengalami
fagositosis. Bakteri yang sudah berada di dalam sel mononuklear masuk ke folikel
limfoid intestin atau plak Peyeri dan bermultiplikasi. Selanjutnya masuk ke sistem
sirkulasi sistemik melalui nodus limfe intestinal regional dan duktus thorasikus.
Pada saat inilah terjadi bakterimia primer. Kemudian bakteri menyebar serta
menginfeksi sistem retikuloendotelial terutama di hati, limpa, dan sumsum tulang.
Disini S. typhi segera difagosit oleh sel-sel fagosit mononukleus yang ada di organ
tersebut, sedangkan bakteri yang tidak difagosit akan berkembang biak. Setelah
multiplikasi intraseluler pada organ-organ tersebut, bakteri akan dilepaskan
kembali ke darah sehingga terjadi bakterimia sekunder.5 Vesika felea merupakan
salah satu organ yang rentan untuk terinfeksi. Pada dinding vesika felea Salmonella
bermultiplikasi dan keluar ke usus melalui empedu.6
Kelainan patologis paling penting pada demam tifoid disebabkan karena

3
proliferasi sel endotel yang berasal dari sel RES. Akumulasi sel-sel tersebut
menyumbat pembuluh darah di daerah tersebut menyebabkan nekrosis lokal dan
kerusakan jaringan. Secara patologis didapatkan infiltrasi sel mononuklear,
hiperplasia dan nekrosis lokal di hepar, limpa, sumsum tulang, plak Peyeri ileum
terminal dan yeyunum, dan kelenjar limfe mesenterik.7
Adanya perubahan pada plak Peyeri menyebabkan penderita mengalami
gejala intestinal yaitu nyeri perut, diare, perdarahan dan perforasi. Didalam plak
Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S. Thypi
intramakrofag akan menimbulkan reaki hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasi
organ, serta nekrosis organ).7 Respon inflamasi terhadap proses ini dengan paparan
yang terus-menerus menyebabkan terjadinya nekrosis. Perdarahan saluran cerna
dapat terjadi akibat nekrosis yang sudah mengenai lapisan mukosa dan submukosa
sehingga terjadi erosi pada pembuluh darah. Proses patologi jaringan limfoid ini
dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan
perforasi.8

Gambar.1 Patofisiologi demam tifoid (1)6

4
Gambar.2 Patofisiologi demam tifoid (2)6

II. KOMPLIKASI DEMAM TIFOID

A. Komplikasi Intestinal
1. Perdarahan Usus
Sekitar 25 % penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan
minor yang tidak membutuhkan transfuse darah. Perdarahan hebat juga
dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Perdarahan saluran cerna
dapat terjadi karena akibat erosi pembuluh darah sekitar plak peyeri yang
sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel
mononuclear di dinding usus. Selain faktor luka perdarahan juga dapat
terjadi karena gangguan koagulasi darah (DIC) atau gabungan kedua faktor
tersebut.7

2. Perforasi Usus
Perforasi usus terjadi pada sekitar 3% pasien yang dirawat. Perforasi
ini dapat terjadi karena roses patologi jaringan limfoid plak peyeri dapat
berkembang hingga ke lapisan otot, hingga ke serosa usus. 7 Perforasi ini
menyebabkan iritasi dan peradangan pada rongga abdomen yang sering
kita kenal dengan istilah peritonitis. Peritonitis ini sering menjadi fatal.
Komplikasi didahului dengan penurunan suhu, tekanan darah, dan
peningkatan frekuensi nadi. Perforasi usus ditandai oleh nyeri abdomen,

5
kemudian diikuti muntah, defans muskular, bising usus yang menurun, dan
tanda-tanda peritonitis lain.9
Sebagian besar pasien demam tifoid yang sampai perforasi terjadi
dalam 2 minggu pertama penyakit. Hal ini disebabkan, karena pasien
dengan perforasi memiliki patogenesis penyakit yang lebih fulminan.
Mekanisme perforasi usus pada demam tifoid adalah hiperplasia dan
nekrosis plak Peyeri dari terminal ileum. Agregat limfoid plak Peyeri
memperpanjang dari lamina propria ke submukosa, sehingga dengan
adanya hiperplasia dari epitel luminal ke serosa dijembatani oleh jaringan
limfoid. Selama demam tifoid, S. Typhi ditemukan dalam fagosit
mononuklear plak Peyeri, dan dalam kasus dengan perforasi usus, kedua
jaringan ini dan jaringan sekitarnya menunjukkan daerah-daerah
hemoragik, paling sering pada minggu ketiga dari penyakit. Kerusakan
jaringan di plak Peyeri terjadi, sehingga ulserasi, perdarahan, nekrosis, dan,
dalam kasus yang ekstrim, sampai perforasi. Proses menuju kerusakan
jaringan mungkin multifaktorial, melibatkan kedua faktor bakteri dan
respon inflamasi dari pasien.9
Leukopenia juga ditemukan menjadi faktor risiko independen untuk
perforasi usus. Hal ini berbeda dengan laporan lain, di mana leukositosis
telah mendominasi pada pasien dengan perforasi usus. Di antara pasien
dengan demam tifoid yang tidak mengalami perforasi usus, leukopenia
dikenal sangat umum. Misalnya, jumlah sel darah putih kurang dari 4,5
109 / liter ditemukan pada 18 persen dari semua anak dalam suatu studi.
Dalam seri kasus lain pasien dengan demam tifoid, jumlah sel darah putih
yang normal pada 12 pasien dan meningkat pada dua pasien, dan
leukopenia (4.000 sel darah putih / ml) tercatat dalam tujuh pasien . Dalam
studi lain, dimana lima dari 21 pasien mengalami perforasi usus, tingkat
leukopenia lebih tinggi di antara pasien tanpa komplikasi.9
Studi lain menunjukkan bahwa jenis kelamin laki-laki merupakan
faktor risiko independen untuk perforasi usus. Khan et al, melaporkan
bahwa perforasi usus terjadi secara signifikan lebih sering pada laki-laki
daripada perempuan. Laki-laki: perempuan rasio ditemukan menjadi 2,5
dalam satu studi dan 4 di negara lain. Alasan yang tepat untuk terjadi
perforasi usus pada laki-laki tidak jelas.9

6
Pada pasien dengan demam tifoid, pengobatan antimikroba harus
dimulai sejak dini dan dapat digunakan untuk waktu yang cukup. Penyebab
organisme, S. Typhi, sangat sensitif terhadap agen antimikroba. Waktu
terapi antimikroba bisa menjadi penting dalam mencegah komplikasi serius
seperti perforasi. Perforasi usus pada pasien dengan demam tifoid tersebut
sangat jarang terjadi di negara maju selama era penggunaan antibiotik.
Pengamatan ini mendukung penggunaan awal antibiotik yang efektif pada
pasien dengan demam tifoid.9
Tingkat kelangsungan hidup terbaik setelah perforasi ileum pada
demam tifoid dapat ditemukan pada pasien yang menjalani operasi dalam
waktu 24 jam. Terapi konservatif dengan penggunaan kloramfenikol pada
perforasi tifoid apat meningkatkan angka kematian dibandingkan dengan
operasi. Klinis, radiologi dan pemeriksaan USG membantu dalam
diagnosis perforasi. Kloramfenikol saja tidak memadai pada pasien dengan
perforasi dan harus dilengkapi dengan antimikroba lain yang efektif
terhadap bakteri gam negative dan positif.10

B. Komplikasi Ekstraintestinal
Tabel.1 Komplikasi demam tifoid ekstraintestinal yang disebabkan oleh
Salmonella enteric Serotype Typhi11
Sistem organ
Prevalensi Faktor Resiko Komplikasi
yang terlibat

7
Sistem saraf 3-35% Penduduk di kawasan Ensefalopati, udem
pusat endemik, malignansi, serebral, subdural
endokarditis, penyakit empyema, abses
jantung bawaan, infeksi serebri, meningitis,
sinus paranasal, ventrikulitis,
meningitis,trauma, parkinsonisme transien,
pembedahan, osteomielitis kelainan motor neuron,
pada tengkorak ataxia, Sindrom Gullian
Barre, psikosis
Sistem 1-5% Abnormalitas jantung- Endokarditis,
kardio- kelainan katup, penyakit miokarditis,
vaskular jantung rematik, penyakit pericarditis, arteritis,
jantung kongenital gagal jantung kongestif
Sistem 1-6% Penduduk di kawasan Pneumonia, empiema,
pulmonari endemik, riwayat infeksi fistula bronkopleura
paru, anemia sel sabit,
penyalahgunaan alkohol,
diabetes, infeksi HIV
Tulang dan <1% Anemia sel sabit, diabetes, Osteomielitis, septik
sendi SLE, limfoma,penyakit hati, artritis
riwayat trauma atau
pembedahan, umur lanjut,
penggunaan steroid
Sistem 1-26% Penduduk kawasan Kolesistitis, hepatitis,
hepatobiliari endemik, infeksi piogenik, abses hepar, abses
narkoba, trauma limpa, HIV, limpa, peritonitis, ileus
hemoglobinopati paralitik
Sistem <1% Traktus urinarius, kelainan Infeksi saluran kemih,
genitourinari pelvis, kelainan sistemik abses renal, infeksi
pelvis, abses testikular,
prostatitis, epididimitis
Jaringan 17 kasus diabetes Abses psoas, abses
lunak dilaporkan gluteal, vaskulitis kutan
pada
penelitian
Inggris
hematologi 5 kasus Sindrom
dilaporkan hemofagositosis
pada
penelitian
Inggris

1. Komplikasi Kardiovaskular

8
Miokarditis terjadi pada 1-5 % penderita demam tifoid sedangkan
kelainan elektrokardiografi dapat terjadi pada 10-15% penderita. Pasien
dengan miokarditis biasanya tanpa gejala kardiovaskular atau dapat berupa
keluhan sakit dada, gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik.
Sedangkan perikarditis sangat jarang terjadi. Perubahan elektrokardiografi
yang menetap disertai aritmia mempunyai prognosis yang buruk. Kelainan
ini disebabkan kerusakan miokardium oleh kuman S.typhi dan miokarditis
sering sebagai penyebab kematian. Biasanya dijumpai pada pasien yang
sakit berat, keadaan akut dan fulminan.7
Gambaran patologis dari myokarditis karena demam tifoid adalah
peradangan pembuluh darah, gangguan aliran mikrosirkulasi, edema,
limfositik, infiltrasi makrofag pada stroma, dan kadang-kadang dapat
terjadi distrofi ataupun nekrosis dari otot jantung, perubahan degenerative
dan infiltrasi lemak.7,12 Dengan menggunakan Eleltrokardiography (EKG)
dapat diberikan gambaran bagaimana tingkat keparahan penyakit dan
bagaimana prognosisnya. Gambaran EKG yang paling umum pada
miokarditis typhoid ini adalah perpanjangan pada segmen Q-T, perubahan
pada segmen ST-T, bundle branch blok, blok aliran A-V dan aritmia.
Semua perubahan gambaran pada EKG tersebut biasanya hanya
berlangsung sementara, kecuali bundle branch blok yang dapat muncul
untuk waktu yang lama. Gambaran pada EKG ini sangat jelas pada pasien-
pasien miokarditis typhoid. RBBB (Right Bundle Branch Block) bahkan
tetap ada setelah resolusi perpanjangan dari segmen PR. Oleh karena itu
disarankan pada kasus-kasus demam typhoid dilakukan juga pemeriksaan
rekaman EKG untuk menyingkirkan komplikasi miokarditis ini. Untuk
pengobatan, penggunaan deksametason diindikasikan pada kasus ini untuk
mengurangi angka kematian.12
2. Komplikasi Hematologik
Komplikasi hematologik berupa trombositopenia, hipofibrio-genemia,
peningkatan waktu prothrombin, peningkatan waktu thromboplastin
parsial, peningkatan produk degradasi fibrin sampai koagulasi
intravaskular diseminata (KID) dapat ditemukan pada kebanyakan pasien
demam tifoid.
Penyebab KID pada demam typhoid belumlah jelas. Hal-hal yang
sering dikemukakan adalah endotoksin mengaktifkan beberapa sistem

9
biologik, koagulasi, dan fibrinolisis. Pelepasan kinin, prostaglandin dan
histamine menyebabkan vasokonstriksi dan kerusakan endotel pembuluh
darah dan selanjutnya mengakibatkan perangsangan mekanisme koagulasi;
baik KID kompensata maupun dekompensata.7
Anemia dapat terjadi pada penderita demam tifoid dan disebabkan
antara lain karena pengaruh berbagai sitokon dan mediator sehingga
terjadinya depresi sumsum tulang dan penghentian tahap pematangan
eritrosit maupun kerusakan langsung pada eritrosit yang tampak sebagai
hemolisis ringan. Selain itu anemia bisa disebabkan karena perdarahan
pada usus halus. Pengaruh depresi sumsum tulang yang lain adalah
leukopeni dan trombositopeni. Trombositopeni juga bisa terjadi karena
meningkatnya destruksi trombosit di sistem retikuloendotelial.7

3. Komplikasi Pulmonal
Osler menjelaskan pneumonia tifoid dengan astenik atau pneumonia
toksik, yang menyatakan bahwa lesi lokal mungkin kecil dan terbatas dan
fenomena subjektif dari penyakit tifoid tidak ada. 13 Pada paru-paru tampak
perubahan granulomatus yang memberi gambaran bronkitis dan
pneumoni.7 Gejala saraf lebih mendominasi dimana dijelaskan sebagai
delirium, dan kelemahan. Terdapat juga penyakit kuning dan diare dan juga
meterorisme disertai dengan nyeri abdomen.13
Ada kesulitan untuk membedakan antara pneumonia toksik dengan
astenik dan demam tifoid dimana terjadi lokalisasi awal bakteri tifoid
dalam paru hanya dapat dibedakan melalui pemeriksaan Widal dan kultur
darah. Pneumonia lobar dapat ditemukan pada stadium awal atau apabila
penyakitnya telah lama berlanjut.13
4. Komplikasi Hepatobilier
Pada saat terjadi bakterimia primer, bakteri menyebar menginfeksi
sistem retikuloendotelial terutama di hati, limpa, dan sumsum tulang. Di
hati S. typhi segera difagosit oleh sel-sel fagosit mononukleus yang ada di
organ tersebut, sedangkan bakteri yang tidak difagosit akan berkembang
biak. Vesika felea juga merupakan salah satu organ yang rentan untuk
terinfeksi. Pada dinding vesika felea Salmonella bermultiplikasi dan keluar
ke usus melalui empedu.7
Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus
dengan demam tifoid dan lebih banyak dijumpai karena S.typhi daripada

10
S.paratyphi. Untuk membedakan apakah hepatitis disebabkan oleh tifoid,
virus, malaria, atau amuba maka perlu diperhatikan kelainan fisik,
parameter laboratorium, dan bila perlu histopatologik hati. Hepatitis tifosa
dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan sistem imun yang kurang.
Meskipun sangat jarang, komplikasi hepatoensefalopati dapat terjadi.7

5. Komplikasi Ginjal
Masalah diagnostik yang serius muncul ketika basil tifoid menyerang
organ vital, salah satunya ginjal, terutama jika gejala intestinal cenderung
minimal atau tidak ada. Pada kasus infeksi tifoid pada ginjal, diagnosis
etiologi seringkali terlupakan kecuali jika uji bakteriologis dilakukan.
Karena Basil di kolon seringkali mirip dengan basil tifoid, yang mana
merupakan penyebab paling umum dari pyelitis atau pyelonefritis, basil
gram negative yang ditemukan pada urin pasien sering disalahkan sebagai
basil colon, jika tidak dilakukan pemeriksaan selanjutnya.14
Ada berbagai komplikasi ginjal dari typoid seperti Sistitis,
pielonefritis, dan pyelitis. Ginjal tampak membengkak dan mengalami
degenerasi pada epitel tubular bagian proksimal, serta gambaran
pielonefritis dan pielitis dengan kerusakan struktur yang menetap, dapat
pula terlihat gambaran gromenulonefritis dan sindroma nefrotik.7 Dehidrasi
jika tidak dikelola dengan benardapat menyebabkan nekrosis tubular akut.
Henke dan Lubarch menggambarkan temuan patologis dalam ginjal pasien
tifoid dengan adanya nekrosis akibat kerusakan difus yang toksik yang
mempengaruhi tubulus dan lengkung Henle, dengan lokal infiltrasi sel
kecil interstitium. Glomerulus umumnya tidak mengalami kerusakan.
Huckstep, et al, menemukan bahwa tifoid nefritis tidak berbeda secara
klinis dari PSGN (Post Streptococcus Glomerulonefritis). Namun
penelitian dari Scragg et al. menyatakan tidak yakin bahwa tifoid
menyebabkan nefritis dan menyarankan patologi ganda. Penelitian yang
dilakukan dengan mengadakan biopsi ginjal pada orang dewasa,
menemukan bukti bahwa terdapat komplek imun antigen Salmonella Vi
pada kapiler dinding glomerulus.15 Onset dari infeksi renal dapat terjadi
selama serangan tifoid, selama masa penyembuhan atau beberapa hari
bahkan tahun setelah serangan tifoid.14

6. Komplikasi Tulang

11
Osteomielitis jarang terjadi di tahap akut demam tifoid tetapi sering
mempersulit pemulihan, atau berkembang dalam berbulan-bulan atau
bahkan bertahun-tahun setelah infeksi. Hal ini dapat mempengaruhi hampir
semua tulang, tetapi biasanya terlokalisir.16
Komplikasi ke jaringan tulang dari tifoid memang langka. Setiap
bagian dari sistem kerangka dapat terkena, tetapi predileksinya yang paling
sering adalah pada tulang panjang atau tulang belakang (spondilitis tifus)
dan kadang-kadang tulang rusuk dan tulang dada, dan juga dapat menjadi
kronis. Lesi pada sendi biasanya non-supuratif tapi pyoarthrosis mungkin
akan terjadi. Dalam kedua tifoid dan paratifoid infeksi osteomielitis
biasanya dimulai di diaphysis, tidak pada metafisis. Dalam tifus
osteomyelitis lesi biasanya tunggal dan cukup terlokalisir dan menjalankan
kursus kronis. Dalam paratifoid penyakit menyebar melalui seluruh batang,
biasanya beberapa, dan lebih akut dalam karakter. Diagnosis tergantung
pada studi bakteriologis nanah atau cairan dihapus dari lesi tulang. Tes
serologi tidak dapat diandalkan.16
Pengobatan arthritis adalah aspirasi sederhana atau evakuasi bedah
cairan dari sendi dengan penutupan primer. Perlakuan terhadap tifoid
osteomielitis terdiri dari penghapusan jaringan yang sakit tulang,
penutupan primer luka, dan terapi vaksin autogenous. Buka drainase
biasanya diperlukan dalam paratifoid osteomielitis karena luasnya
penyakit. Vaksin autogenous drainase berikut harus digunakan.16
7. Komplikasi Neuropsikiatri
Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau tanpa
kejang, semi-koma atau koma. Parkinson rigidity/ transient parkinsonism,
sindrom otak akut, mioklonus generalisata, meningismus, skizofrenia
sitotoksik, mania akut, hipomania, ensefalomielitis, meningitis, polineuritis
perifer, sindrom Guillain-Barre, dan psikosis.7
Komplikasi neurologis pada demam tifoid yang tidak biasa terjadi dan
hanya berkisar 5 sampai 35% dalam berbagai penelitian. ensefalopati tifoid
adalah yang paling umum (9,6-57%) diikuti oleh meningismus (5 sampai
17%). 1,2 kejang (1,7-40%), kelenturan (3,1%), defisit neurologis fokal
(0,5%) dan Meningitis (0,2%) yang sering digambarkan. komplikasi
lainnya yang jarang terjadi seperti sindrom Parkinson, penyakit motor
neuron-, amnesia transien, simetris neuropati sensori-motor,

12
schizophreniform psikosis dan keterlibatan cerebellar juga dijelaskan.
Afasia sebagai komplikasi demam tifoid digambarkan dalam 2 sampai
7,4% dalam berbagai penelitian.17
Sebagian besar komplikasi neurologis dijelaskan terlihat selama
perjalanan penyakit, pada demam tinggi atau selama penurunan suhu tubuh
sampai yg normal. Beberapa terjadi selama masa pemulihan seperti
neuropati, amnesia dan psikosis. Yang lain seperti penyakit motor neuron,
kerusakan skolastik terjadi setelah pemulihan.17
Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa
gangguan atau penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis,
delirium, somnolen, sopor, atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan
neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam batas
normal. Sindrom klinis seperti ini oleh beberapa peneliti disebut sebagai
tifoid toksik, sedangkan penulis lainnya menyebutnya dengan demam
tifoid berat, demam tifoid ensefalopati, atau demam tifoid dengan
toksemia. Diduga faktor-faktor social ekonomi yang buruk, tingkat
pendidikan yang rendah, ras, kebangsaan, iklim, nutrisi, kebudayaan, dan
kepercayaan (adat) yang masih terbelakang ikut mempermudah terjadinya
hal tersebut dan akibatnya meningkatkan angka kematian.7
Semua kasus tifoid toksik, atas pertimbangan klinis sebagai demam
tifoid berat, langsung diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol
4x400 mg ditambah ampisilin 4x1 gram dan deksametason 3x5 mg.7
Prognosis defisit neurologis pada demam enterik biasanya baik.
Dalam sebagian besar kasus pemulihan lambat dan lengkap, tetapi dalam
beberapa kasus defisit dapat bertahan lama.17
a) Ensefalopati Tifoid
Tifoid ensefalopati diperkirakan terjadi pada minggu ketiga penyakit.
Meskipun sekarang jarang bagi individu untuk tetap tidak diobati selama
jangka waktu tersebut. Dalam sebuah penelitian, rata-rata durasi demam
tidak berbeda secara signifikan antara pasien dengan atau tanpa
ensefalopati. Temuan ini konsisten dengan laporan sebelumnya dari
Indonesia yang menunjukkan bahwa pasien dengan ensefalopati didapati
setelah 7-9 hari dari gejala. Namun, ini hanya pada pasien dengan biakan-
positif.18
Ensefalopati tifoid diduga terjadi karena endotoksin dari Salmonella
Thypii. Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler akan

13
mengakibatkan timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya. Peran endotoksin
dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui
pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini
menstimulasi makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan
kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain.5
b) Meningitis Tifoid
Salah satu komplikasi dari demam tifoid adalah meningitis.
Meningitis karena Salmonella typhi terutama menyerang bayi dan anak.
Walaupun banyak spesies dari Salmonella yang telah diisolasi dari cairan
serebrospinal seperti S. Paratyphi, S. Typhimurium, S. panama,
Salmonella typhi merupakan satu-satunya bakteri yang sangat jarang
ditemukan dan diduga kuat sebagai penyebab meningitis purulenta. Dalam
banyak kasus bakteremia karena Salmonella typhi terjadi sebagai
komplikasi selama menderita demam tifoid, di mana demam dan gejala-
gejala gastrointestinal merupakan gambaran utama.19
Di dunia, telah diperkirakan bahwa sekitar 35 juta kasus dan 500.000
kematian terjadi setiap tahunnya karena infeksi Salmonella typhi. Suatu
kejadian yang amat tinggi dari bakteremia, Sepsis dan Infeksi Meningitis
Salmonella typhi terjadi pada bayi yang lebih muda dari usia satu tahun.20
Meningitis Salmonella jarang terjadi di negara maju, tetapi merupakan
penyebab yang relatif umum terjadi di negara berkembang. Salmonella
typhi menyumbang 5,9% dari semua kasus meningitis bakteri. Meningitis
salmonella terkait dengan morbiditas dan mortalitas, terutama pada
neonatus. Komplikasi Akut neurologis meningitis salmonella adalah
ventriculitis, subdural empiema, hidrosefalus dan kelainan kronik
neurologis sebanyak 43% kasus, tingkat kekambuhan meningitis
salmonella 64%. Namun, fokus infeksi intrakranial fokal karena
Salmonella jarang.20
Meningitis Salmonella typhi, terutama pada masa bayi, tetap penyakit
yang merusak dengan kematian yang tinggi dan prevalensi tinggi
kerusakan neurologis. Di negara berkembang, di mana Salmonella
typhi terhitung infeksi untuk persentase yang signifikan dari meningitis

14
pada bayi, terapi antibiotik empiris awal harus dirancang untuk
melindungi dari organisme ini.20

c) Ataksia Serebellar Akut Reversibel


Tanda serebellar kemungkinan besar terjadi pada minggu kedua onset
demam tifoid dan mungkin terjadi lebih cepat. Sawhney et all (1988)
meneliti fungsi serebellar pada tiga pasien pada hari kedua dan ketiga
demam tifoid. Gejala progresif selama 1 - 2 hari, setelah itu tidak ada
perubahan pada simptom untuk 1 2 minggu ke depan. Pasien mulai
sembuh secara berangsur-angsur dalam 1 2 minggu. Gejala mayor
serebellar adalah ataxic gait dengan ataksia ekstremitas. Serebellitis viral
akut mungkin memiliki gejala klinis yang sama.21
Patogenesis ataksia serebellar pada demam tifoid masih belum
diketahui. Gangguan metabolik, toksemia, hiperpireksia, perubahan
serebral non-spesifik seperti edema dan pendarahan ditemukan sebagai
penyebab ataksia serebellar. Ukadgoankar et al (1981) menyatakan bahwa
gangguan serebellar mungkin berhubungan dengan terapi kloramfenikol.
Mereka membuktikan bahwa kloramfenikol dan Salmonella bergabung
membentuk produk yang bersifat toksik pada serebellum atau
menyebabkan reaksi hipersensitivitas. Namun hipotesis Ukadgoankar et al
tidak dapat menjelaskan manifestasi serebellar pada pasian yang belum
diterapi dengan kloramfenikol.21
III. TATALAKSANA
Mayoritas dari anak-anak dengan demam tifoid boleh ditatalaksana
dirumah dengan pembeiran antibiotik oral dan dirawat jika ada tanda tanda
komplikasi atau tidak berespon dengan pengobatan antibiotik oral. Terapi antibiotik
adalah sangat penting terutama dalam pencegahan berlakunya komplikasi dari
demam tifoid.11

Tabel.2 Tatalaksana Demam Tifoid pada Anak11


Tabel.2a Terapi Optimal demam Tifoid Tanpa Komplikasi
SENSITIVTAS ANTIBIOTIK DOSIS mg/kg/hari HARI

Kloramfenikol 50-75 14-21


SENSITIF
Amoksisilin 75-100 14
MULTIDRUG Flourokuinolone 15 5-7

15
RESISTAN Cefixim 15-20 7-14
RESISTEN Azitromicin 8-10 7
QUINOLONE Ceftriaxone 75 10-14

Tabel.2b Terapi Alternatif Demam Tifoid Tanpa Komplikasi

SENSITIVTAS ANTIBIOTIK DOSIS mg/kg/hari HARI


Florokuinolone
SENSITIF (ofloksasin atau 15 5-7
ciprofloksasin)
MULTIDRUG Azitromicin 8-10 7
RESISTAN Cefixime 15-20 7-14
RESISTEN
Cefixime 20 7-14
QUINOLONE

Tabel.2c Terapi Optimal demam Tifoid Berat

SENSITIVTAS ANTIBIOTIK DOSIS mg/kg/hari HARI


Ampisilin 100 14
SENSITIF
Ceftriaxone 60-75 10-14
MULTIDRUG
Flourokuinolone 15 10-14
RESISTAN
RESISTEN
Ceftriaxone 60-75 10-14
QUINOLONE

Tabel.2d Terapi Alternatif Demam Tifoid Berat

SENSITIVITAS ANTIBIOTIK DOSIS mg/kg/hari HARI


SENSITIF Florokuinolone sperti 15 10-14

16
ofloksasin atau
ciprofloksasin

MULTIDRUG Ceftriaxone 60 10-14


RESISTAN Cefotaxime 80
RESISTEN
Flouroquinolone 20-30 14
QUINOLONE

Walaupun telah disarankan seperti pada dewasa, pengobatan demama tifoid


pada anak dengan pemberian flourokuinolone, ada permasalahan yang timbul karena
kemumgkinan terjadinya resistensi pada flourokuinolone dan pemberiannya masih
belum dilakukan penggunaan luas pada anak anak. Pembahasan dari Cochrene
tentang pengobatan demam tifoid mengindikaskan terdapat bukti yang sangat sedikit
untuk menyokong pemberian flourokuinolone pada semua kasus tifoid. Relaps
dengan penggunaan semua jenis antibiotik bisa terjadi pada 15% pasien yang pernah
berobat.11

17
BAB III

KESIMPULAN

Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia yang


disebabkan oleh infeksi sistemik Salmonella typhi. Insiden, cara penyebaran, dan
konsekuensi demam tifoid sangat berbeda di negara maju dan yang sedang
berkembang. Di Indonesia angka kejadiannya mencapai 120 : 100.000 populasi tiap
tahun. Sembilan puluh enam persen (96%) kasus demam tifoid disebabkan oleh
S.Typhi, sisanya disebabkan oleh S.paratyphi. Masa inkubasi adalah 10-14 hari.
Kuman masuk melalui makanan/minuman, setelah melewati lambung kuman
mencapai usus halus (ileum) dan setelah menembus dinding usus kuman akan
mencapai folikel limfoid usus halus (plak Peyeri). Kuman ikut aliran limfe
mesentrial ke dalam sirkulasi darah (bacteremia primer) mencapai jaringan RES
(hepar, lien, sum-sum tulang untuk bermultiplikasi). Setelah mengalami bakteremia
sekunder, kuman mencapai sirkulasi darah untuk menyerang organ lain (intra dan
ekstra intestinal), yang merupakan komplikasi dari demam tifoid.

Komplikasi yang paling sering terjadi adalah komplikasi perdarahan


intestinal, dimana terjadi sekitar 25% pada penderita demam tifoid yang kemudian
dapat berlanjut menjadi perforasi usus yang dapat menyebabkan peritonitis yang
berakibat fatal.

Komplikasi ekstraintestinal yang paling sering adalah komplikasi pada


system saraf pusat (3-35%) dan komplikasi system hepatobiliar (1-26%). Komplikasi
yang jarang terjadi adalah keterlibatan tulang dan sendi serta keterlibatan system
genitourinaria, dimana angka kejadiannya hanya kurang dari 1%.

18
Untuk tatalaksana, mayoritas dari anak-anak dengan demam tifoid dapat
ditatalaksana di rumah dengan pembeiran antibiotik oral seperti pemberian
flourokuinolne dan dirawat jika ada tanda tanda komplikasi atau tidak berespon
dengan pengobatan antibiotik oral. Terapi antibiotik sangat penting terutama dalam
pencegahan terjadinya komplikasi demam tifoid.

DAFTAR PUSTAKA

1. Pudjiadi, Antonius H, dkk. 2010. Deman Tifoid dalam Pedoman Pelayanan


Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Dokter
Anak Indonesia. 47-9
2. Crump JA, et al. 2004. The global burden of typhoid disease. Bulletin of the
World Health Organization; 82: 346 - 53
3. Behrnman, et al. 2000. Infeksi Salmonella dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson
Vol. 2 Edisi 15.
4. Soegeng S. 2006. Ilmu Penyakit Anak Diagnosa dan Penatalaksanaan. Jakarta:
Salemba Medika.
5. Sumarmo S, et al. 2008. Demam Tifoid dalam Buku Ajar Infeksi dan Pediatri
Tropis Edisi Kedua. Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia.
338 - 46
6. Shetty PB, et al. 1998. Sonographic analysis of gallbladder findings in
Salmonella enteric fever. Journal of Ultrasound in Medicine; 17(4): 231-7.
7. Widodo, Djoko. 2009. Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi V jilid III. Jakarta: Internal Publishing. 2797-805.
8. Everest P, et al. The molecular mechanisms of severe typhoid fever. Trends in
Microbiology 2001; 9(7): 316-20
9. Salih H, et al. 2004. Risk Factors for Enteric Perforation in Patients with
Typhoid Fever. American Journal of Epidemiologi. Dicle University Hospital,
Diyarbakir, Turkey and McMaster University, Hamilton, Ontario, Canada.
10. Richens J. 2000. Management of bowel perforation in typhoid fever. London
School of Hygiene & Tropical Medicine, UK
11. Zulfiqar AB, Chapter 195- infectious disease-gram negative bacteria-
salmonella infections, Kliegman: Nelson Textbook of Pediatrics, !8th Edition
12. Partha P, et al. 2009. Jurnal Of Complicated Typhoid Fever. Department of
Medicine Medical College Kolkata.

19
13. Webster WB M.D. 2000. Radiology: A case report of typhoid pneumonia.
Department of Roentgenology New York Hospital, New York City.
14. Hobart AR MD. 2002. Typhoid pielonephritis, Renal typhoid fever. Journal of
American Medical association. Philadelphia.
15. Buka And Coovadia HM. 2009. Typhoid Glomerulonephritis. Department of
Paediatrics and Child Health, University of Natal, Durban. National Center for
Biotechnology Information . US.
16. Huckstep RL. 2000. Typhoid Fever and Other Salmonella Infections.
Edinburg, E & S Livingtone.
17. S. Vidyasagar, S. et al. 2005. Unusual Neurological Complication Of Typhoid
Fever. The Internet Journal of Infectious Diseases. DOI: 10.5580/25eb
18. Daniel TL, et al. 2012. Factors Associated with Encephalopathy in Patients
with Salmonella enterica Serotype Typhi Bacteremia Presenting to a Diarrheal
Hospital in Dhaka, Bangladesh. American Society of Tropical Medicine and
Hygiene.
19. Chanmugam D, et al. 1978. Primary Salmonella typhi meningitis in adult.
British Medical Journal, 152.
20. Abuekteish, F, et al. 1996. Salmonella typhi meningitis in infants. Indian
Pediatrics Journal, 33, 1037-39.
21. Kalra OP. 2002. Acute Reversible Cerebellar Ataxia in Typhoid Fever. Journal
Indian of Clinical Medicine. Departement of Medicine, University College of
Medical Sciences and GTB Hospital, Shahdara, Delhi.

20

Anda mungkin juga menyukai