Anda di halaman 1dari 8

Nama:

Debit Bagas K.G. 1506735181


Diany Teksa Maharani 1506736032
Rizqy Fauzia Ahsani
Tubagus Dwika Yuantoko 1506735502

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Jam Kerja
Jam Kerja adalah waktu untuk melakukan pekerjaan, dapat dilaksanakan siang hari
dan/atau malam hari. Jam Kerja bagi para pekerja diatur dalam Undang-Undang No.13 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan. Peraturan tersebut mewajibkan setiap pengusaha untuk
melaksanakan ketentuan jam kerja, yaitu 40 (empat puluh) jam dalam 1 (satu) minggu. Dapat
berupa 7 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1
minggu, atau 8 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam 1 minggu untuk 5 hari kerja
dalam 1 minggu. Apabila melebihi dari ketentuan waktu kerja tersebut, maka waktu kerja biasa
dianggap masuk sebagai waktu kerja lembur sehingga pekerja/buruh berhak atas upah lembur.
Akan tetapi, ketentuan waktu kerja tersebut tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan
tertentu.
Sektor usaha atau pekerjaan tertentu dengan jenis dan sifat pekerjaan yang dijalankan
terus menerus diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep-
233/Men/2003 Tahun 2003. Sektor usaha penyediaan bahan bakar minyak dan gas bumi
termasuk dalam jenis ini. Sektor usaha tersebut membutuhkan jam kerja lebih dari 40
jam/minggu. Meskipun begitu, setiap kelebihan jam kerja yang dilakukan oleh pekerja, harus
dihitung sebagai lembur yang harus dibayarkan. Selain itu, pekerjaan ini harus dijalankan terus-
menerus, termasuk pada hari libur resmi. Sehingga dijalankan dengan pembagian waktu kerja ke
dalam shift-shift.
Industri minyak dan gas lepas pantai merupakan sektor usaha yang harus dijalankan
terus menerus. Lokasi instalasi minyak dan gas yang jauh dari memerlukan sebuah pola jam
kerja yang lebih panjang; biasanya, pekerja lepas pantai menghabiskan 2 minggu lepas pantai
diikuti dengan periode cuti pantai. Misalnya, pada instalasi Norwegia, tur lepas pantai biasanya
dibatasi maksimum dua minggu. Saat ini, pola yang paling sering bekerja adalah 2 minggu lepas
pantai, bergantian dengan 4 minggu cuti pantai (pola 2-4). Pada instalasi di sektor Laut Utara
Inggris, pola pekerjaan yang paling umum adalah 2 minggu lepas pantai bergantian dengan 2
minggu pantai cuti (pola 2-2).
Pada satu waktu, instalasi hanya dapat menampung 2 awak kapal. Dengan shift jam
kerja standar yaitu 12 jam/shift untuk mengoperasikan proses yang terus menerus seperti
pengeboran dan produksi. Maka dari itu, lama jam kerja selama tur 2 minggu lepas pantai
mempunyai minimum total 168 jam. Meskipun beberapa personel (terutama manajer dan
supervisor) dapat bekerja jam lebih lama.

2.2 Definisi Penyakit Jantung Koroner


Penyakit jantung koroner merupakan penyakit akibat plak yang terkumpul di dalam arteri
koroner di mana arteri koroner ini berfungsi sebagai penyuplai darah yang kaya oksigen menuju
otot jantung. Tumpukan endapan plak yang terbentuk di dalam arteri disebut dengan kondisi
aterosklerosis, endapan ini membutuhkan waktu yang cukup panjang yakni bertahun-tahun.
Seiring berjalannya waktu, endapan plak semakin mengeras dan dapat menyebabkan ruptur yang
mempersempit saluran arteri koroner sehingga mengurangi aliran darah yang kaya oksigen
menuju jantung. Sumbatan aliran darah ini lah yang dapat menyebabkan angina atau serangan
jantung dadakan terhadap penderitanya. Angina sendiri merupakan rasa kesakitan seperti tekanan
dan sesak di daerah sekitar dada, leher, dagu, bahu, dan punggung. Deteksi sedini mungkin
terhadap kemungkinan jantung koroner dapat mengurangi risiko terjadinya gagal jantung yang
mengakibatkan jantung tidak dapat memompa aliran darah untuk mencukupi kebutuhan tubuh
(www.nhlbi.nih.gov).

2.2.1 Faktor-Faktor Penyebab Jantung Koroner

Kejadian penyakit jantung koroner sangat ditentukan oleh faktor risiko yang
berpengaruh, dikategorikan menjadi dua faktor risiko yakni faktor yang dapat diubah dan tidak
dapat diubah. Faktor risiko yang tidak dapat diubah meliputi usia, genetik, jenis kelamin, ras,
sedangkan faktor risiko yang dapat diubah meliputi sosial-ekonomi, kebiasaan merokok, diabetes
melitus, asupan gizi makanan, obesitas. Berikut merupakan penjabaran singkat masing-masing
faktor risiko (www.cdc.gov):
1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah:
1.1 Usia
Pertambahan usia yang terjadi setiap tahun berdampak terhadap berkurangnya
performa kinerja organ-organ tubuh manusia terutama pembuluh darah. Hal ini
menyebabkan disfungsi pada sebagian sistem sirkulasi darah yang seharusnya
memompa darah kaya akan oksigen ke seluruh tubuh menjadi berkurang. Flexibilitas
semakin melemah sehingga menghambat aliran peredaran darah dan mengakibatkan
deposit lemak berlebih pada pembuluh darah, hal ini jika berlangsung dalam jangka
waktu yang lama akan menyebabkan seseorang menjadi kekurangan nutrisi yang
seharusnya diperlukan untuk fungsi kerja organ tubuh lainnya. Ditambah pula
aktivitas fisik yang semakin berkurang dan faktor lain yang mendukung seperti
tekanan darah tinggi, kebiasaan merokok, serta diabetes meningkatkan risiko
penyakit jantung koroner berlipat ganda (Bhatnagar, 2009).
1.2 Genetik
Peran genetik mempengaruhi kondisi respons fisik seseorang terhadap tinggi
rendahnya risiko kejadian penyakit jantung koroner, hal ini meliputi kepadatan kadar
lipopropotein pada diri seseorang, struktur dan elastisitas pembulu darah, riwayat
tekanan darah tinggi, serta diabetes melitus (Smerdlow, 2012).
1.3 Jenis Kelamin

Pria memiliki risiko kejadian penyakit jauh lebih tinggi dibandingkan wanita, hal ini
disebabkan pria lebih banyak ditemukan mengkonsumsi rokok dan minuman
beralkohol dibandingkan dengan wanita meskipun kadar lemak jauh lebih banyak
ditemukan pada wanita. Selain itu, wanita akan cenderung mengontrol pola asupan
makan dengan mengurangi asupan alkohol maupun makanan dengan gizi tidak sehat
ketika sedang mengandung calon bakal bayi sehingga menurunkan risiko kejadian
penyakit jantung koroner yang berdampak terhadap tahun-tahun berikutnya
(Bhatnagar, 2009).

1.4 Ras
Populasi Asia Tenggara memiliki risiko kejadian jantung koroner lebih rendah
dibandingkan dengan masyarakat Eropa, kemungkinan ini disebabkan oleh oleh
peningkatan kadar resistansi insulin dan faktor yang berhubungan seperti adanya
inflamasi maupun disfungsi endhotelial. Begitu pula dengan penduduk Afrika
Karibia yang memiliki risiko terjadi penyakit jantung koroner lebih rendah
dibandingkan dengan populasi penduduk Eropa, hal ini disebabkan perbedaan pada
kadar lemak dan protein yang berimbas terhadap perlindungan kejadian penyakit
jantung koroner (Nish, 2003).

2. Faktor risiko yang dapat diubah:


2.1 Sosial-ekonomi
Semakin tinggi status ekonomi seseorang maka dirinya akan memiliki kemampuan
lebih untuk membeli makanan yang bergizi lebih baik dan rutin memeriksakan
kesehatan untuk mengecek risiko kejadian penyakit jantung. Selain itu lingkungan
sangat berpengaruh terhadap terbentuknya perilaku kebiasaan merokok yang
meningkatkan seseorang menjadi lebih berisiko terhadap kejadian penyakit jantung
koroner (Smerdlow, 2012).
2.2 Kebiasaan merokok
Merokok dapat merusak dinding pembuluh arteri secara perlahan-lahan yang
menyebabkan mudah terjadinya penumpukan lemak. Karbon monoksida yang
terkandung dalam rokok mengurangi kemampuan tubuh menyerap oksigen karena
Hb lebih peka terhadap karbon monoksida. Kandungan nikotin menstimulasi tubuh
untuk memproduksi hormon adrenalin berlebihan yang membuat detak jantung
berdebar lebih cepat sehingga meningkatkan tekanan darah dan memaksa jantung
untuk bekerja lebih keras (Sonia, et al. 2015).

2.3 Diabetes melitus


Diabetes diakibatkan oleh tingginya kadar glukosa dalam darah, hal ini berpengaruh
terhadap hormone pada pankreas yang memproduksi insulin. Insulin berperan
terhadap perpindahan glukosa dalam aliran darah menuju sel tubuh yang kemudian
dikonversi menjadi energi. Apabila produksi insulin berkurang, maka tubuh akan
menjadi resistan terhadap insulin sehingga glukosa akan cenderung menetap di aliran
darah. Penumpukan glukosa dalam darah dapat menyebabkan kerusakan dinding
arteri sehingga aliran oksigen yang seharusnya disalurkan ke tubuh menjadi
terhambat (McKeigue, 2010).
2.4 Asupan gizi makanan
Konsumsi pangan tinggi lemak, gula, garam, makanan yang diproses secara tidak
sehat dan penuh dengan berbagai macam pengawet namun rendah akan gizi yang
diperlukan oleh tubuh seperti serat, vitamin, lemak tidak jenuh dapat menyebabkan
ketidaknormalan fungsi pada sebagian organ-organ tubuh juga organ jantung yang
meningkatkan risiko jantung koroner (Sonia, et al. 2015)

2.5 Obesitas
Glukosa berlebih pada aliran pembuluh darah menyebabkan kecenderungan deposit
lemak dalam tubuh. Hal ini menghambat alur transportasi oksigen, meningkatkan
kinerja jantung berkali lipat, juga menyebabkan kerusakan dinding arteri yang
berpotensi besar terhadap kejadian serangan jantung dadakan (McKeigue, 2010).

2.2.2 Gejala Klinis Penyakit Jantung Koroner


Penderita penyakit jantung coroner umumnya merasakan gejala klinis yaitu nyeri dada
angina. Nyeri dada angina harus dapat dibedakan dengan nyeri dada pada umumnya. Ciri-ciri
dari nyeri dada angina yaitu lokasi nyeri pada susternal, retrosternal dan precordial; seperti ada
rasa tertekan atau berat, rasa terbakar, dan ditusuk; penjalaran rasa nyeri kea rah lengan kiri
bagian ulnar, leher, mandibula, gigi, dan punggung interskapula; berlangsung lebih dari 20
menit; rasa nyeri dapat reda jika beristirahat; gejala lain yang menyertai yaitu rasa mual, sulit
bernafas, berkeringan dingin dan lemas.
2.3 Definisi Asupan Zat Gizi

Asupan zat gizi adalah jumlah zat gizi yang ada pada makanan yang dikonsumsi sehari-hari yang
berguna sebagai energi untuk melakukan aktivitas fisik sehari-hari (Suhardjo, 1989). Penting
bagi pekerja untuk memperhatikan asupan zat gizi yang mereka dapat. Asupan zat gizi pekerja
diperoleh dari makanan-makanan yang dikonsumsi oleh pekerja sehari-hari. Setiap individu
memiliki kebutuhan gizi yang berbeda-beda tergantung dari jenis kelamin, usia, tinggi badan,
dan berat badan. Individu yang memiliki asupan gizi yang tidak optimal dapat menyebabkan
berbagai macam masalah kesehatan. Asupan gizi yang buruk merupakan faktor risiko untuk
terjadinya penyakit tidak menular (PTM) (Kemenkes RI, 2014).

2.3.1 Faktor-Faktor Status Gizi


Asupan zat gizi adalah gizi yang diperoleh melalui kegiatan mengkonsumsi makanan
yang bertujuan untuk memperoleh energi untuk melakukan aktivitas sehari-hari (Suharjo, 1999).
Kekurangan zat gizi pada pekerja dapat mengakibatkan dampak buruk yaitu ketahanan tubuh
terhadap penyakit menurun, kemampuan melakukan aktivitas fisik berkurang, berat badan
berkurang, badan menjadi kurus, wajah menjadi pucat, mudah lelah, dan lain-lain (Wisnoe,
2005).
Kebutuhan zat gizi berbeda-beda bergantung pada usia, ukuran tubuh, dan jenis kelamin.
Factor penentu lainnya adalah jenis pekerjaan atau aktivitas sehari-hari, dan keadaan fisiologis.
Factor-faktor tersebut menjadi dasar dalam menentukan besaran energi, komposisi zat gizi dan
menu untuk konsumsi sehari-hari pekerja (Rahmawati, 2011). Menurut Karyadi dan Muhilal
(1996) kebutuhan pangan hanya diperlukan secukupnya, jika kekurangan ataupun berlebih dari
angka kecukupan gizi maka dapat berdampak buruk bagi kesehatan.
Menurut Irianto (2007) menyatakan proporsi makanan sehat seimbang terdiri dari 60%-
65% karbohidrat, 20% lemak, dan 15-20% protein dari total kebutuhan energi per hari. Menurut
WHO, kebutuhan karbohidrat, lemak, dan protein yaitu sebanyak 60%-75% karbohidrat, 10%-
25% lemak, dan 10%-15% protein (Almatsier, 2008). Kebutuhan energi sebaiknya diimbangi
dengan asupan energi dengan jumlah yang sama (Karsin, 2004). Berat aktivitas yang dilakukan
mempengaruhi banyak energi yang diperlukan untuk melakukan aktivitas tersebut (Khumaidi,
1989). Sehingga pekerjaan yang memerlukan aktivitas fisik akan membutuhkan energi yang
lebih besar (Wardani, 2008).
Menafsirkan kebutuhan energi berdasarkan aktivitas fisik dapat dihitung dengan:
Kebutuhan Energi = Angka Metabolisme Basal x Faktor Aktivitas
AMB (kkal/hari)
Kelompok Umur Laki-laki Perempuan
03 60,9 B 54 61,0 B 51
3 10 22,7 B + 495 22,5 B + 499
10 18 17,5 B + 651 12,2 B + 746
18 30 15,3 B + 679 14,7 B + 496
30 60 11,6 B + 879 8,7 B + 829
60 13,5 B + 487 10,5 B + 596

2.3.2 Definisi Gizi Seimbang

Gizi seimbang merupakan konsumsi makanan sehari-hari yang mengandung zat gizi baik dalam
jenis dan jumlah yang cukup dan sesuai dengan kebutuhan tubuh. (Kemenkes RI, 2014). Adanya
persaingan maupun tuntutan pekerjaan, tersedianya berbagai makanan siap saji dan siap olah,
dan ketidak-tahuan mengenai gizi dapat menyebabkan konsumsi gizi seimbang pada pekerja
menjadi terganggu. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan perilaku konsumsi makanan,
kegiatan fisik yang memadai, dan pola hidup sehat pada pekerja.

Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, terdapat empat pilar prinsip gizi seimbang
antara lain:

1. Mengonsumsi makanan beragam.


2. Membiasakan perilaku hidup bersih.
3. Melakukan aktivitas fisik.
4. Memperhatikan dan memantau berat badan normal.

Referensi

Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : Kep.
233Men/2003 Tentang Jenis Dan Sifat Pekerjaan Yang Dijalankan Secara Terus Menerus
Mikkelsen A, Ringstad AJ, Steineke JM. Working Time Arrangements and Safety for Offshore
Workers in The North Sea. Safety Science 2004;42(3):167-184.
Parkes , KR., Working hours in the offshore petroleum industry. United Kingdom : University of
Oxford : Department of Experimental Psychology
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
https://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/cad

Cathurvedi, Nish. 2003. Ethnic Difference in Cardiovascular Diseases. US: National Health
Institute.

McKeigue PM, Shah B, Marmot MG. Relation of central obesity and insulin resistance with
high diabetes prevalence and cardiovascular risk in South Asians. Lancet 2010;337:3826.

Bhatnagar D, Anand IS, Durrington PN, et al. Coronary risk factors in people from the Indian
subcontinent living in West London and their siblings in India. Lancet 2009;345:4059.

https://www.cdc.gov/heartdisease/family_history.htm
Daniel I. Swerdlow, Michael V. Holmes, Seamus Harrison, Steve E. Humphries.The genetics of
coronary heart diseases. Br Med Bull (2012) 102 (1): 59-77

Sonia S. Anand, Corinna Hawkes, Russell J. de Souza, Andrew Mente, et al. Food Consumption
and its impact on Cardiovascular Disease: Importance of Solutions focused on the globalized
food system. J Am Coll Cardiol. 2015 Oct 6; 66(14): 15901614.

Suhardjo., 1989. Sosio Budaya Gizi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Pendidikan
Tinggi. Bogor : Pusat Antar Universitas dan Gizi, IPB, Bogor.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Pedoman Gizi Seimbang. Jakara: Departemen
Kesehatan RI
Anwar, T.B. 2004. Dislipidemia sebagai Faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner. EUSU
Repository: Universitas Sumatera Utara : 1-10
Ayada, K., Yokota, K., Kobayashi, K., Shoenfeld, Y., Matsumura, E., and Oguma, K.
2007. Chronic Infection and Atherosclerosis. Ann.N.Y.Acad.Sci., 1108 : 594-
602
Ayada, K., Yokota, K., Kobayashi, K., Shoenfeld, Y., Matsuura, E., and Oguma, K.
2009. Chronic Infections and Atherosclerosis. Clinic Rev Allerg Immunol, 37 : 44 8

Anda mungkin juga menyukai