Anda di halaman 1dari 21

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Jantung Koroner (PJK)

2. 1.1. Pengertian Penyaki Jantung Koroner (PJK)

Penyakit jantung koroner (PJK) atau yang disebut Coronary Heart Disease

(CHD) merupakan penyakit yang sangat berbahaya yag yang di sebabkan oleh

penumpukan plak arteri sehingga dapat mengakibatkan pembuluh darah tersumbat

dan menyempit. Ketika pembuluh darah tersumbat bisa menimbulkan keluhan

berupa nyeri dada, sesak nafas dan gejala serangan jantung dan bisa menyebabkan

henti jantung mendadak Jika penyakit ini dibiarkan akan berakibat fatal (Diyan

Yunanto Setyaji, dkk 2018).

Penyakit ini perlu di waspadai karena adanya kadar koletrol yang tingi atau

berlebihan yang di sebut dengan kadarr kolestrol LDL (Low Density Lipoprotein)

atau yang dikenal dengan lemak jahat yang sangat berbahaya (Winnie, N. S.,

2018).

Penyakit jantung koroner bisa juga disebabkan dari masyarakat yang

menyepelekan faktor makanan – makanan yang seimbang dan mereka lebih sering

mengkonsumsi makanan yang tinggi lemak seperti junk food. Serta tingkat

aktifitas masyarakat yang sangat kurang sehingga makanan yang di cerna tidak

bisa terbakar dengan baik dan dampaknya bisa terjadi penumpukan lemak pada

dinding arteri dan bisa menyebabkan terjadinya aterosklorosis yaitu proses

terbentuknya plak yang berdampak pada intima dari arteri (Syahrafi, 2021).
2.1.2 Etiologi pada Penyakit Jantung Koroner (PJK)

Faktor yang bisa menyebabkan terjadinya penyakit jantung koroner yaitu

dari rokok, karena tembakau yang ada di dalam kandungan rokok yaitu zat

nikotin dan karbon monokisida kandungan ini sangat berbahaya yang bisa

menyebabkan penurunan oksigen yang dialirkan oleh darah dan menyebabkan

cenderung darah menggumpal di pembuluh darah arteri, karena merokok juga

dapat meningkatkan kebutuhan oksigen oleh otot jantung dan dapat menurunkan

kemampuan darah untuk mengangkut oksigen (Lannywati, dewi & hari 2016).

2.1.3 Faktor resiko pada Penyakit Jantung Koroner (PJK)

Menurut American Heart Association’s faktor PJK di bagi menjadi dua yaitu:

a. Faktor resiko mayor (Risiko yang tidak dapat diubah)

1) Umur

Umur merupakan mempunyai hubungan yang kuat terhadap proses

terjadinya arterosklerosis atau yang disebut dengan adanya

penumpukan lemak, kolestrol pada dinding arteri. Proses terjadinya

pembentukan arterosklerosis pada laki –laki ketika umur 45 tahun

sedangkan pada perempuan pembentuikan tersebut terjadi pada usia

menginjak 50 tahun.

2) Jenis Kelamin

Mayoritas orang yang menderita PJK resiko lebih tinggi yaitu laki- laki

daripada perempuan, karena reseptor lebih banyak didapatkanoleh

wanita dibandingkan laki-laki


3) Genetik

Mayoritas orang yang menderita PJK resiko lebih tinggi yang

mempunyai riwayat keluarga penyakit tersebut .dari pada orang yang

tidak memiliki riwayat keluarga yang menderita PJK.

b. Faktor resiko minor (Resiko yang dapat di ubah)

1) Merokok

Merokok bisa menyebabkan penebalan dinding arteri. Akibatnya

arteri jadi menyempit dan aliran darah serta suplai oksigen

menuju jantung menjadi terhambat.

2) Hipertensi

Orang yang memiliki riwayat tekanan darah tinggi (hipertensi)

memicu terjadinya penumpukan plak di dinding pembuluh darah

arteri. Penderita tekanan darah tinggi berisiko dua kali lipat

menderita penyakit jantung koroner karena Arteri tmengalami

pengerasan yang disebabkan oleh endapan lemak pada dinding,

sehingga menyempitka lumen yang terdapat di dalam pembulu

darah.

3) Diabetes Mellitus

Resiko terjadinya PJK pada orang yang memiliki riwayat

penyakit DM karena kadar gula darah yang tinggi dapat memicu

kerusakan pada dinding pembuluh darah, termasuk pembuluh

darah pada jantung.
2.1.4 Manifestasi Penyakit Jantung Koroner (PJK)

Adapun menurut Pedoman Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler

Indonesia Tahun 2017 Gejala klini PJK yakni :

a. Merasakan nyeri dan tidak naman bagian dada, substernal, dada kiri hingga

menjalar ke leher, bahu kiri serta tangan dan punggung.

b. Merasakan ada tekanan, remasan, terbakar hingga tertusuk.

c. Merasakan keringat dingin, mual, muntah, lemas pusing hingga pingsan.

d. Merasakan secara tiba-tiba dengan kecepatan tinggi dan waktu bervariasi.

2.1.5 Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner (PJK)

Patofisiologi dari penyakit jantung koroner (PJK) bermula dari awal

terjadinya pembentukan arteroklorosis. Yaitu pembentukan plak ( lemak ) pada

dinding pembuluh darah arteri sehingga menyebabkan terjadinya penyumbatan

aliran darah keseluruh tubuh dan bisa menurunkan elastisisas pada pembuluh

darah. Telah dilakukan oleh berbagai para penelitian bahwa lesi awal yang

terjadi pada arterosklerosis membentuk lapisan lemak. Gangguan metabolisme,

Gangguan yang terjadi pada metabolisme lipid yang ditandai dengan

peningkatan dan penurunan fraksi lipid dalam plasma atau disebut dengan

dislipidemia (Ariyanti & Besral, 2019).

Banyak faktor penyebab yang terlibat dalam menentukan terjadinya

penyakit CVD dan PJK, terutama faktor biologis, psikososial dan perilaku.

Kelompok pertama terdiri dari faktor risiko CVD biologis tradisional, seperti

kolesterol HLD tinggi, tekanan darah tinggi atau diabetes, yang telah
diidentifikasi dalam studi prospektif epidemiologi besar. Selain itu, ada bukti

kuat bahwa orang yang merokok, aktivitas fisik, obesitas, diet tidak sehat, dan

memiliki kepatuhan yang buruk terhadap obat akan meningkatkan risiko

terjadinya penyakit CVD dan berkontribusi pada peningkatan faktor risiko

kardiovaskular seperti hipertensi. Kematian akibat penyakit kardiovaskular dapat

dicegah dengan menghilangkan kebiasaan merokok, menajaga pola makan yang

baik, menghindari asupan alkohol, dan melakukan aktifitas seperti olahraga

supaya bisa membuang lemak di dalam tubuh (Alesio dkk, 2021).

2.1.6 Mekanisme pada PJK

2.1.6.1 Aterosklerosis

Aterosklerosis merupakan perubahan patofisiologi utama pada PJK, yang

diprakarsai oleh disfungsi endotel dan diperparah oleh peradangan.

Sebuah studi menggunakan dilatasi aliran arteri untuk mengukur

pelepasan oksida nitrat endotel menyarankan peran disfungsi endotel

dalam patogenesis AF. Selain itu, orang yang menderita penyakit jantung

koroener menunjukkan peningkatan kadar faktor von Willebrand (vWf)

dalam plasma, yang menyiratkan gangguan endotel. Sel-sel endotel yang

bersirkulasi (CEC), Di sisi lain, Atrial febrilisasi (gangguan irama

jantung) dan komorbiditas dapat disertai dengan peradangan sistemik,

yang memperburuk progresi PJK. Selain itu, beberapa penelitian telah

menyiratkan hubungan antara sistem koagulasi dan penyakit inflamasi.


2.1.6.2 Trombosis

Trombosis adalah penyebab utama ACS, yang diprakarsai oleh aktivitas

trombosit dan aktivasi sistem koagulasi. Pada pasien dengan AF dan

DM, aktivitas platelet persisten telah dilaporkann, yang dapat

menjelaskan insiden yang lebih tinggi dari ACS pada pasien dengan AF.

Mekanisme molekuler dikaitkan dengan perubahan reseptor pada

permukaan trombosit.

2.1.7 Pencegahan terjadinya PJK

Proses terjadinya PJK yang cukup panjang sesungguhnya tersedia cukup waktu

untuk mencegah dan mengendalikannya. Beberapa langkah pencegahan penyakit

jantung koroner adalah:

a. Pencegahan primer

Adalah suatu upaya untuk pencegahan yang dilakukan sebelum seseorang

menderita PJK. Tujuan dari pencegahan primer adalah untuk menghambat

berkembangnya dan meluasnya faktor-faktor risiko PJK. Upaya pencegahan

ini berupa ;

1) Peningkatan kesadaran pola hidup sehat

Upaya ini lebih baik dilakukan sejak bayi, dengan tidak membiarkan bayi

jadi gemuk dan merubah kriteria bayi gemuk sebagai seimbang gizi,

enyahkan rokok, hindari Stres, awasi tekanan darah, dan teratur

berolahraga.

2) Pemeriksaan kesehatan secara berkala


Banyak orang yang sudah menginjak usia senja (usia diatas 40 tahun) tidak

mengetahui bahwa dirinya mengidap penyakit tekanan darah tinggi,

kencing manis ataupun dislipidemia (kelebihan kolesterol), karena mereka

enggan memeriksakan diri ke dokter atau mungkin pula penyakit tersebut

tidak memberikan suatu keluhan. Tidak jarang diantara mereka ini

kemudian meninggal mendadak karena serangan jantung. Maka dari itu

pentingnya untuk selalu melakukan pemeriksaan kesehatan berkala

b. Pencegahan Sekunder

Adalah upaya yang dilakukan oleh seseorang yang sudah menderita PJK.

Tujuan Pencegahan Sekunder adalah supaya:

1) tidak terjadi komplikasi lebih lanjut,

2) tidak merasa invalid (cacat di masyarakat), dan

3) status psikologis penderita menjadi cukup mantap.

Secara Umum Upaya Pencegahan yang dilakukan pada penderita PJK

yaitu pada orang yang sehat, orang yang berisiko, maupun oleh orang

yang pernah menderita penyakit jantung adalah :

a. Berolah raga secara teratur, untuk membantu pembakaran lemak dan

menjaga agar peredaran darah tetap lancar.

b. Mengurangi konsumsi makanan berlemak/ berkolesterol tinggi dan

meningkatkan konsumsi makanan tinggi serat, seperti sayur-sayuran

dan buah-buahan.

c. Menjaga berat badan ideal.


d. Cukup istirahat dan kurangi stress, sehingga jumlah radikal bebas

yang terbentuk dalam tubuh tidak terlalu banyak.

e. Hindari rokok, kopi, dan minuman beralkohol.

f. Melakukan pemeriksaan laboratorium secara berkala untuk

memantau kadar kolesterol dalam darah.

g. Menjaga lingkungan tetap bersih

2.2 Konsep Penanganan

2.2.1 Pengertian Penanganan

Penanganan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Yaitu

memiliki satu arti yaitu penanganan dan berasal dari kata dasar tangan.

Penanganan memiliki arti yang menyatakan sebuah tindakan yang dilakukan

dalam melakukan sesuatu dan juga dapat berarti proses, cara, perbuatan

menangani sesuatu yang sedang dialami.

Penanganan merupakan suatu proses yang dilakukan oleh seseorang untuk

melakukan sesuata masalah sehingga masalah atau perkara yang dihadapi

tersebut bisa ditanganai dan diselesaikan dengan baik.

2.2.2 Peran masyarakat

Masyarakat merupakan seseorang yang sangat penting ketika menemukan

pasien yang menderita penyakit jantung koroner (PJK) mengalami henti jantung

mendadak di luar rumah sakit (OHCA) untuk mencegah terjadinya kecatatan

atau keamtian yang lebih tinggi maka dari itu masyarakat harus bisa mengetahui

bagaiman teknik untu melakukan petolongan pertama pada korban yang

mengalami henti jantung, karena masyarakat awam lah yang sering kali
menemukan kasus tersebut di luar rumah sakit. Penurunan risiko kematian

pada korban yang mengalami henti jantung tergantung pada penanganan

segera yang dilakukan oleh masyarakat. Pasien yang mengalami OHCA akan

mengandalkan masyarakat untuk memberikan keberlangsungan hidup pada

korban. Penolong tidak terlatih harus mengenali serangan, dan harus meminta

bantuan untuk memulai RJP/CPR, serta memberikan defibrilasi (misalnya,

PAD/public accessdefibrilation) hingga tim pelayanan kesehatan medis darurat

(EMS) yang terlatih secara profesional mengambil alih tanggung jawab, setelah

itu pasien dipindahkan ke unit gawat darurat atau laboratorium kateterisasi

jantung. Pada akhirnya, pasien dipindahkan ke unit perawatan kritis untuk

perawatan lebih lanjut (Sentana, 2017).

Pada Kasus PJK orang yang mengalami kejadian henti jantung atau

cardiac arrest di luar rumah sakit (OHCA) merupakan kejadian gawat darurat

pre-hospital di mana korban belum dibawa sampai ke rumah sakit. Upaya

pelayanan gawat darurat yang dilaksanakan di tingkat pra rumah sakit meliputi

diketahuinya adanya penderita gawat darurat oleh masyarakat, Dalam

memberikan pertolongan pertama, masyarakat perlu memiliki pengetahuan

tentang kegawatdaruratan, misalnya tentang bantuan hidup dasar. Selain

pengetahuan, kesiapan dan perilaku dari masyarakat sangat mempengaruhi

kecepatan dan ketepatan dalam melakukan pertolongan. Kesiapan menolong

diharapkan akan menghasilkan keuntungan terhadap pihak lain. Kegiatan

pertolongan medis dan perawatan.


2.3 Penanangana Penyakit Jantung Koroner (PJK)

Menurut (Oktariana,2018) sebagian besra orang yang menderita PJK mengalami

henti jantung (cardiact arrest) dimana kasus tersebut harus ditangani dengan cepat dan

tepat. Berikut penanganan yang harus dilakukan pada kasus henti jantung (cardiact

arrest):

2.3.1 Bantuan hidup dasar (BHD)

BHD yaitu salah satu tindakan untuk mempertahankan keberlangsungan

hidup korban ketika dalam situasi mengancam nyawa seperti kasus henti jantung

mendadak. Keterlambatan pemberian tindakan BHD pada korban prehospital bisa

menyebabkan kematian secara klinis maupun biologis (Lut et al, 2017)

Basic life support (BLS) atau bantuan hidup dasar yaitu usaha pertama

yang dilakukan pada korban yang mengalami henti jantung guna Untuk

mempertahankan kelangsungan hidup (D prasetyo, 2019).

Kesimpulannya BHD (bantuan hidup dasar) yaitu serangkaian upaya

pertolongan awal yang dilakukan untuk menolong korban henti nafas maupun

henti jantung yaitu dengan cara memompa kerja jantung untuk dapat mengaliri

darah yang kaya oksigen keseluruh tubuh agar mencegah terjadinya kecacatan

atau kematian organ pada korban .


Pengetahuan dan keterampilan Bantuan Hidup Dasar (BLS), termasuk

mengenali kejadian henti jantung, teknik Resusitasi Jantung Paru (RJP) yang

tepat, menerapkan Automated External Defibrillator (AED), dan memanggil

EMS, adalah faktor kunci yang terkait dengan kelangsungan hidup pasien. Tidak

hanya faktor pra-rumah sakit yang disebutkan di atas tetapi sistem EMS, termasuk

waktu respons, perawatan awal di tempat kejadian, evaluasi pasien, bersama

dengan transportasi ke rumah sakit juga berpotensi meningkatkan tingkat

kelangsungan hidup dan hasil neurologis Pengembangan sistem EMS merupakan

faktor penting untuk meningkatkan perawatan pra-rumah sakit dan meningkatkan

kelangsungan hidup pada korban henti jantung diluar rumah sakit (OHCA)

(Srikul,2022).

Pendidikan kesehatan tentang bantuan hidup dasar (basic cardiac life

support) yang terdiri dari proses kegiatan RJP (resusitasi jantung paru) bagi

penolong non-profesional menjadi langkah utama untuk meningkatkan

kompetensi menolong korban yang mengarah pada kematian dan memahami

penatalaksanaan korban tidak sadarkan diri diluar rumah sakit yang dapat

menimbulkan terjadinya henti jantung.

Menurut AHA 2015 bahwa teknik BHD dapat disingkat ABC dalam

prosedur CPR (Cardio Pulmonary Resuscitation) atau RJP (Resustasi Jantung

Paru) yaitu:

1. (Airway): Pemeriksaan saluran pernafasan, dengan tujuan untuk

membebaskan dan membuka jalan nafas.


2. (Breathing): pemeriksaan nafas bertujuan untuk memeriksa ada tidaknya

nafas , dengan cara menggunakan teknik look,listen, feel look : melihat

bagaimana pergerakan dada Listen : dengarkan apakah ada suara nafas Feel :

rasakan apakah ada hembusan nafas

3. (ACirculation): jalankan aliran buatan dengan kompresi cardiopulmonary.

2.3.2 Tujuan BHD ( bantuan hidup dasar )

Tindakan BHD memiliki tujuan :

a. Mempertahankan dan mengembalikan fungdi oksigenasi organ – organ vital

(otak, jantung, dan paru).

b. Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi

c. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari korban

yang mengalami henti jantung atau henti napas melalui RJP

2.3.3 Indikasi dan kontraindikasi BHD

a. Indikasi pemberian BHD

Bantuan hidup dasar harus segera dilakukan pada setiap orang yang

mengalami henti jantung atau memiliki ciri – ciri mengancam nyawa tidak

sadarkan diri, nadi tidak teraba dan tidak bernafas

b. Indikasi pemberian BHD dihentikan

1) Sirkulasi dan ventilasi spontan secara efektif telah membaik


2) Korban sudah sampai dipelayanan tenaga medis atau rujukan yang standar

nya lebih tinggi seperti ICU

3) Penolong sudah tidak bisa meneruskan tindakan karena sudah lelah

4) Terdapat keadaan lingkungan yang membahayakan penolong, pasien dan

orang lain atau meneruskan tindakan resusitasi akan menyebabkan cedera

pada pasien.

5) Pasien menunjukkan tidak adanya manfaat fisiologis yang dapat

diharapkan karena fungsi vital telah menurun walaupun telah diberikan

terapi yang maksimal.

c. Kontraindikasi pemberian BHD

1) Pada pasien yang telah dinyatakan secara klinis meninggal lebih dari 5

menit

2) Pada pasien yang sudah menunjukan kematian

3) Pasien yang berada di stadium terminal suatu penyakit

4) Pasien dengan keterangan DNAR (Do Not Attempt Resucitation)

DNAR (Do Not Attempt Resucitation) merupakan permintaan yang

diajukan oleh pasien, wali atau keluarga pasien yang megalami penyakit

terminal kepada dokter untuk tidak memberikan tindakan memberikan

resusitasi meluiputi pemberian CPR, kejut jantung, dan pengobatan

apabila pasien berada dalam keadaan mengancam nyawa.

2.3.4 Prosedur pelaksanaan BHD

Langkah-langkah dari bantuan hidup dasar merupakan serangkaian dari penilaian

dan tindakan yang bertahap yang digambarkan pada alogaritma resusitasi jantung
paru (RJP). Tujuan dari gambar alogaritma dalah untuk mengetahui langkah-

langkah atau tahapan secara logika dan mudah untuk dilakukan. Menurut (Sentan

2017) Prosedur Pelaksanaan Resusitasi jantung Paru (RJP) secara rinci adalah

sebagai berikut :

a. Pastikan 3A aman diri, korban dan lokasi

Sebelum melakukan tindakan, pertama penolong harus mengamankan

lingkungan sekitar, korban dan diri sendiri serta memperkenalkan diri pada

orang sekitar jika ada.

b. Periksa kesadaan korban

Periksa kesadaran korban dengan cara menepuk bahu atau menggoyangkan

bahu korban dan katakan “apakah bapak/ibu baik saja ?”. Pastikan menepuk

dan menggoyangkan bahu koban cukup kuat agar dapat mengetahui

kesadaran korban. Bersamaan dengan itu, penolong juga perlu memeriksa

pernapasan korban, jika korban tidak sadarkan diri dan bernapas secara

abnormal (terengah-engah), penolong harus mengkomsumsikan korban

mengalami henti jantung.


Gambar 3.1 cek kesadaran

c. Aktifkan SPGDT (EMS)

Apabila korban tidak berespon setelah bahunya ditepuk maka teriaklah untuk

mendapatkan pertolongan tedekat segera aktifkan sistem tanggap darurat

(SPGDT) atau minta orang lain untuk menelpon petugas kesehatan terdekat.

Ketika mengaktifkan SPGDT penolong harus siap dengan jawaban mengenai

lokasi kejadian,kejadian yang sedang terjadi, jumlah korban dan bantuan yang

dibutuhkan. Rangkaian tindakan tersebut dapat dilakukan secara bersamaan

apabila pada lokasi kejadian terdapat lebih dari satu penolong, misalnya,

penolong pertama memeriksa respons korban kemudian melanjutkan tindakan

BHD sedangkan penolong kedua mengaktifkan SPGDT dengan menelepon

ambulans terdekat.
Gambar 3.2 meminta bantuan

d. Membuka jalan nafas (Airway) dan memeriksa pernafasan (Breathing)

Sebelum melakukan tindakan RJP kita harus melihat posisi korban terlebih

dahulu, jika posisi korban keadaan tengkurap maka kita harus megubah

posisii korban dengan keaddan terlentang. Setelah itu kita membuka jalan

nafas dengan cara Head Tilt dan Chin Lift apabila tidak ada patah tulang leher

pada korban.

Gambar 3.3 Teknik untuk membebaskan jalan nafas

Teknik Jaw Thrust digunakan apabila ada kecurigaan patah

tulang leher atau kepala. teknik tersebut untuk menjaga jalan nafas

paten dan memberikan ventilasi yang kuat merupakan prioritas


dalam pelaksanaan Resusitasi jantung paru (RJP).

e. Pemeriksaan pernafasan (Breathing)

Untuk mempertahakan sirkulasi pernafasan tetap terbuka. Kita harus

melakukan look.listen and feel (Lihat, dengarkan, dan rasakan) adanya

pernafasan korban. Bila penolong memeriksa korban selama 10 detik lalu

mendapati korban tidak bernafas dan tidak teraba nadi karotis segera lakukan

RJP dengan diwali kompresi dada. Jika nadi teraba dan nafas tidak normal

(<12x/menit) maka berikan nafas tiap 5-6 detik dengan tidal volum hingga

muncul pengembangan dada lalu periksa 2 menit sekali.

f. Pemeriksaan nadi

Melakukan pemeriksaan nadi dengan cara Letakkan jari telunjuk dan jari

tengah pada sisi leher tepatnya pada bagian sisi bawah rahang, turunkan

sedikit sampai denyut nadi teraba oleh jari-jari. Pemeriksaan tidak boleh lebih

dari 10 detik. Apabila saat pemeriksaan nadi tidak teraba (bila penolong ragu

nadi ada atau tidak maka nadi dianggap tidak ada) mulai lakukan penekanan

(kompresi) pada dada sebanyak 30 kali dan napas 2 kali selama 2 menit atau 5

siklus.
Gambar 3.4 cek nadi karotis

g. Melakukan kompresi dada

1) Kompresi dengan kecepatan minimal 100 x / menit dan tidak boleh lebih

dari 120 x / menit

2) Kedalaman kompesi minimal 5 cm dan tidak boleh lebih dari 6 cm

3) Beri kesempatan dada mengembang penuh dengan sendirinya

4) Kompresi tidak boleh terputus kecuali untuk memberi nafas buatan atau

memindahkan pasien (tidak boleh berhenti >10 detik)


Gambar 3.5 Kompresi Dada

Kompresi dada terdiri dari kegiatan penekanan dada (kompresi

dada) dibagian bawah pada pertengan sternum secara teratur (rhythmic).

Rasio kompresi dan ventilasi 30:2 artinya sesudah melakukan kompresi

dada 30 kali hitungan, berikan nafas buatan sebanyak 2 kali.

h. Bantuan pernafasan

Setelah memberikan kompresi dada sebanyak 30 kali berikan 2 kali napas

bantuan. Jepit hidung korban lalu berikan napas bantuan 2 kali masing

masing sekitar 1 detik melalui mulut ke mulut atau menggunakan pelindung

wajah. Napas bantuan diberikan dari mulut ke mulut atau menggunakan

pelindung wajah yang diletakkan diwajah korban. Lihat dada korban saat

memberikan napas bantuan, apakah dadanya mengembang, kemudian tunggu

hingga kembali turun untuk memberikan napas bantuan berikutnya.


Gambar 3.5 pemberian pernafasan

Untuk penolong yang tidak terlatih melakukan RJP/CPR, disarankan untuk

melakukan kompresi/penekanan dinding dada saja, tanpa memberikan

bantuan nafas. Setelah memberikan kompesi dan napas buatan 5 siklus atau 2

menit. Periksa kembali napas dan nadi korban, perhatikan apakah nadi sudah

teraba dan napas sudah ada . Pemeriksaan tidak boleh lebih dai 10 detik.

i. Memberikan posisi pemulihan

Posisi ini dilakukan jika korban sudah bernapas dengan normal.Posisi ini

dilakukan untuk menjaga jalan napas tetap terbuka dan mengurangi risiko

tersumbatnya jalan napas dan tersedak.Tidak ada standard baku untuk

melakukanposisi pemulihan, yangterpenting adalah korban dimiringkan agar

tidak ada tekanan pada dada korban yang bisa mengganggu pernapasan.
Gambar 3.6 Posisi Pemulihan Korban

Namun rekomendasi posisi pemulihan adalah meletakkan tangan kanan

korban ke atas, tekuk kaki kiri korban, kemudian tarik korban sehingga

korban miring kearah kanan dengan lengan dibawah kepala korban.

Anda mungkin juga menyukai