Skrip Si
Skrip Si
PENDAHULUAN
kavum nasi. Sinus sinus ini membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah,
dan diberi nama sesuai dengan tulang tersebut, yaitu sinus maksilaris, sinus
Sinus maksilaris adalah sinus terbesar dari sinus paranasalis dan memiliki
bentuk yang piramidal. Sinus ini ditemukan pada badan dari maksila. Sinus ini
memiliki tiga batasan: bagian inferior tulang alveolar, yang dibatasi oleh prosesus
alveolaris rahang atas; bagian lateral zygomatik, yang dibatasi oleh tulang
maksila. Dinding medialnya terdiri dari tulang rawan. Ostia untuk drainase terletak di
atas dinding medial dan membuka ke hiatus semilunar dari rongga hidung bagian
lateral, oleh karena itu, gravitasi tidak dapat mengeluarkan isi dari sinus maksilaris
ketika kepala ditegakkan. Sinus ini dilapisi oleh mukoperiosteum yang dilengkapi
perpanjangan ridge yang baik dari atap menuju ke dinding anterior. Ridge tambahan
1
Pada dinding posterior terdapat kanal alveolaris sebagai tempat alveolar
Lantai sinus ini dibentuk oleh prosesus alveolaris rahang atas dan bila sinus
berukuran normal, sebanding dengan lantai dari hidung, namun bila ukuran sinusnya
besar maka akan berada di bawah dari lantai hidung itu sendiri.
Sinus maksilaris biasanya dianggap sebagai daerah tak bertuan oleh para
dokter gigi, dan lubang masuk ke daerah antrum seringkali keliru ditafsirkan sebagai
akibat penanganan yang kurang hati hati. Namun pada pembedahan dentoalveolar
paranasal. Patologis pada rongga mulut dapat meluas ke sinus, dan patologis dalam
sehingga penderita seringkali keliru terhadap gejala yang satu dengan yang lainnya.
Untuk mengenali dan membedakan tanda tanda klinis yang timbul, dibutuhkan
mengenai hubungan antara pembentukan gigi geligi maupun erupsi gigi dan antrum
juga merupakan persyaratan. Pemahaman tentang saraf dan suplai darah yang sama
antara sinus dan gigi geligi rahang atas di dekatnya juga membantu memberikan
dasar penjelasan yang logis untuk keadaan klinis dan gejala gejala tertentu.
Anatomi klinis dari antrum dan patologi khusus akan ditinjau kembali pada
kesempatan ini dan juga akan ditekankan perlunya menghindari keterlibatan sinus,
2
respon klinis terhadap komplikasi ini, operasi sinus maksilaris dengan prosedur
maksilaris.
4. Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana kedokteran
gigi.
BAB II
3
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Manusia memiliki sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral
kavum nasi. Sinus sinus ini membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah,
dan diberi nama sesuai dengan tulang tersebut, yaitu sinus maksilaris, sinus
sfenoidalis, sinus frontalis, dan sinus etmoidalis. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel
dan bersilia. Sekret yang dihasilkan disalurkan ke dalam kavum nasi. Pada orang
4
Gambar 2.2. Tampakan secara lateral dari sinus sinus paranasalis
Sumber : http://4.bp.blogspot.com/_zk2gqTQZzFE/S-
1Ntm_SjPI/AAAAAAAAADg/Ld546-JQb7M/s320/sinusitis.jpg
pada saat lahir. Sinus maksilaris terletak di dalam tulang maksilaris, dengan
dinding inferior orbita sebagai batas superior, dinding lateral nasal sebagai
batas medial, prosesus alveolaris maksila sebagai batas inferior, dan fossa
2.1.1 Perkembangan
Sinus maksilaris mulai terbentuk sebagai benih pada dinding lateral pars
ethmoidalis capsula nasal, pada sekitar bulan ketiga masa kehidupan fetus.
Pembesaran sel sel ini berlanjut sampai lahir, di mana pada saat itu volume
sinus adalah 6 8 ml. Pada usia 4 5 bulan, sinus dapat diperlihatkan secara
tiga tahun dan kemudian melambat. Pada usia 7 tahun, pertumbuhan sinus akan
5
kembali cepat dan berlanjut sampai 4 5 tahun mendatang. Pada usia 12 tahun,
sehingga dasar sinus terletak setinggi dasar hidung. Karena perluasan sinus ke
bawah dasar hidung. Volume sinus dewasa pada usia 18 tahun adalah 15 ml,
Dari segi klinis yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maxilla adalah : 5
1. Dasar sinus maksilaris berhubungan dengan gigi P1, P2, M1, dan M2
2. Ostium sinus maksilaris lebih tinggi dari dasarnya
2.1.2 Pneumatisasi dan gigi geligi
Pneumatisasi dari sinus maksilaris berkaitan dengan erupsi gigi geligi
tetap dan berlangsung paling cepat antara usia 7 12 tahun. Sebagian besar ruang
pada corpus maxillae yang dahulunya ditempati gigi geligi yang sedang
berkembang akan diduduki oleh sinus sesudah gigi geligi tetap bererupsi. Bila
gigi geligi posterior atas tanggal, sinus akan meluas lebih jauh sehingga
menempati lingir yang tersisa. Resopsi lingir selanjutnya dan hiperacrasi antrum
akan menyisakan lereng tulang yang sangat tipis antara krista lingir dan dasar
antrum (1 2 mm). 4
2.1.3 Batas batas
Sinus maksilaris adalah sinus terbesar dari sinus paranasalis dan memiliki
bentuk yang piramidal. Sinus ini ditemukan pada badan dari maksila. Sinus ini
memiliki tiga batasan: bagian inferior tulang alveolar, yang dibatasi oleh prosesus
alveolaris rahang atas; bagian lateral zygomatik, yang dibatasi oleh tulang
maksila. Dinding medialnya terdiri dari tulang rawan. Ostia untuk drainase
terletak di atas dinding medial dan membuka ke hiatus semilunar dari rongga
6
hidung bagian lateral, oleh karena itu, gravitasi tidak dapat mengeluarkan isi dari
antrum membentuk sebagian besar dinding nasal lateral. Dinding posterior sinus
ketebalan bervariasi dari regio satu ke regio yang lainnya dan dari pasien yang
satu ke pasien lain, tetapi umumnya ketebalannya hanya setipis kulit telur (1 3
respiratori) yang kolumnar, yang dilengkapi dengan rambut halus (bersilia), dan
7
Radang oleh karena virus menimbulkan peningkatan jumlah sekresi dan
edema pada mukosa sinonasal. Bila kondisi ini berlanjut, sekresi akan mengisi
sinus karena terganggunya fungsi silia atau penyumbatan ostium sinus, atau
mukosa sinus dan mempercepat difusi virus pada lapisan mukosilia. Hal ini
menyebabkan silia menjadi kurang aktif dan sekret (lendir) yang diproduksi sinus
menjadi lebih kental. Lendir yang kental tersebut menjadi media yang baik bagi
dipengaruhi gaya gravitasi, maka drainase yang normal bukan cara perawatan
ideal. Bila drainase terganggu, akan terjadi penurunan tekanan oksigen sebagian
dalam sinus dan retensi lendir sehingga akan memberikan media yang
virus, bakteri, dan jamur. Sinusitis maksilaris dapat terjadi dalam bentuk akut /
kronis. Sinusitis maksilaris akut sering terjadi setelah rinitis alergik / infeksi virus
pada saluran pernapasan bagian atas. Alergi hidung yang kronis, adanya benda
8
asing, dan deviasi septi nasi dianggap sebagai faktor predisposisi yang paling
umum. Pasien yang terserang umumnya mengeluh mengenai demam, lemas, sakit
kepala samar samar (sakit dirasa mulai dari pipi dan menjalar ke dahi atau gigi.
Sakit bertambah saat menunduk), rasa bengkak pada wajah dan terasa penuh,
nyeri pipi yang khas : tumpul dan menusuk, serta sakit pada palpasi dan perkusi,
kadang ada batuk iritatif non-produktif, sekret mukopurulen yang dapat keluar
dari hidung dan kadang berbau busuk, penurunan atau gangguan penciuman
(decreased or altered sense of smell), dan sakit pada gigi gigi posterior atas.
hidung dan nasofaring. Terdapat nyeri palpasi dan tekan pada sinus serta gigi
9
Sumber : http://lenykarlina.student.umm.ac.id/files/2010/02/200px-
Maxilar_sinusites.jpg
polip dengan mikroabses, granulasi, dan jaringan parut. Walaupun, sinusitis akut
terjadi dalam hitungan harian, sinusitis maksilaris kronis biasanya dapat bertahan
dalam hitungan bulan ataupun tahun. Perawatan sinusitis akut atau sinusitis
permukaan epitel bersilia. Pada akhirnya, hal ini akan menyebabkan kerusakan
lebih jauh dari pembuangan sekret sinus, yang mendorong terjadinya infeksi
ulang. Penyumbatan oleh berbagai sebab seperti polip hidung, deviasi septum,
atau tumor juga berperan dalam etiologi sinusitis kronis. Gejala dari sinusitis
kornis ini biasanya agak kurang jelas, namun seringkali meliputi sakit kepala, rasa
penuh (bengkak) pada muka, rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorok,
mukopurulen. Bila telah menjadi kronik dapat juga terdapat komplikasi sinusitis
terjadi penyakit sinobronkitis. Pada kasus eksaserbasi akut, gejala yang timbul
10
bakterial, selain itu M. catarralis juga didapatkan pada sinusitis maksilaris (40%
pada anak-anak). Perluasan infeksi gigi misalnya, pada periodontal dan periapikal
dari keterlibatan gigi sebagai penyebab. Bila hal ini terjadi, maka organisme yang
organisme yang lebih banyak didapatkan pada infeksi gigi daripada bakteri gram
positif yang merupakan bakteri khas pada sinus. Penderita dengan gangguan pada
yang disebabkan oleh jamur (aspergilus), yang menimbulkan akibat yang cukup
berbahaya karena perluasan dini ke intrakranial dan orbital, misalnya pada kasus
ensefalitis. 2,4,7,11,12,15,16,17,18,19,20,21,25
2.2.5 Patologi
Kista tak bersekret, mucocele, pyocele (mucocele yang mengalami
infeksi) timbul dari lapisan antrum. Diplasia fibrus, fibroma osifikasi, dan lesi sel
11
raksasa dapat melibatkan sinus. Kista odontogenik dan tumor juga dapat meluas
ke sinus maksilaris. 4
2.2.6 Neoplasia
Penyakit seperti tumor nasal atau tumor sinus (squamous cell
mukus. 2,15,25
Biasanya bersifat jinak, tetapi kadang kadang dapat juga bersifat ganas.
Tumor jinak glandula saliva, atau tumor ganas ini dapat berasal dari glandula
aksesori yang terdapat dalam lapisan sinus. Bila terdapat keganasan pada sinus
maksilaris, maka lesi yang paling sering adalah karsinoma, dan daerah yang
terkena atau terlibat biasanya adalah pada infrastruktur (setengah bagian bawah)
dari sinus. Perluasan lesi ini pada prosesus alveolaris menyebabkan penyebaran
dan timbulnya lesi pada gingiva (berupa ulserasi) dan kegoyangan pada gigi.
Keganasan yang timbul pada prosesus alveolaris maksila juga dapat melibatkan
karsinoma pada sinus jarang diperoleh karena gejala yang timbul biasanya
12
Gambar 2.5. Gambaran radiografi dari tumor pada sinus maksilaris
Sumber : http://www.ispub.com/ispub/ijorl/volume_10_number_1_10/primary-
mucoepidermoid-carcinoma-of-maxillary-sinus-a-rare-case-report/sinus-fig1.jpg
2.2.7 Trauma
Cedera yang mencapai sinus maksilaris terjadi pada kasus Le Fort I dan II,
mengalami fraktur atau remuk dan pelapisnya robek, sehingga sinus akan terisi
darah.4
transantral) berperan dalam terjadinya sinusitis pasca trauma. Sinus juga dapat
mengalami cedera pada pencabutan gigi rahang atas dan pada pelaksanaan
13
penanganan patologis gigi yang berdekatan. Regio molar pertama rahang atas
diikuti oleh regio molar kedua dan premolar kedua rahang atas. 4
klinis dari pasien dengan sinusitis dapat dilakukan dengan cara palpasi secara
intraoral pada maksila antara fossa kanina dengan jaringan disekitar tulang pipi.
Bila terdapat sinusitis maka akan terasa sakit apabila palpasi dilakukan. Kultur
dari sekret sinus dianggap kurang baik karena kultur yang berasal dari anterior
nasal akan menunjukkan hasil flora normal vestibulum nasi, yang seringkali
hasilnya lebih baik, tetapi secara teknis sulit dilaksanakan. Biakan bakteri spesifik
pada sinusitis dilakukan dengan mengaspirasi pus dari sinus yang terkena. Jika
irigasi antrum dilakukan dengan cara memasukkan satu jarum ke dalam sinus
melalui fossa canina, akan didapatkan kultur langsung dari pencucian. Seringkali
terkena.
2. Pada rhinoskopi anterior, mukosa konka tempak hiperemi dan edema,
2.3.2 Radiografi
14
Evaluasi radiografi dari sinus paling bagus diperoleh dengan proyeksi
modifikasi tegak. Gambaran yang sering didapat pada sinusitis akut adalah
opasifikasi sinus (berkurangnya pneumatisasi) dan batas udara atau cairan (air
fluid level) yang khas akibat akumulasi pus. Sinusitis kronis seringkali
misalnya mucocele dan kista dentigerus, juga dapat terlihat dengan jelas (radio
15
Gambar 2.8. Gambaran proyeksi Waters yang menunjukkan air fluid level
Sumber : http://www.aafp.org/afp/2004/1101/afp20041101p1685-f1.jpg
2.3.3 Tomografi / CT
paling baik akan adanya kelainan pada mukosa dan variasi antominya yang
harus diingat bahwa CT Scan menggunakan dosis radiasi yang sangat besar akan
berbahaya bagi mata. CT Scan biasa tidak digunakan sebagai skrining dalam
sinus, dasar orbita, atau lingkar orbita inferior. Bila gigi atau akar gigi bergeser ke
dengan film atau foto periapikal, yang didukung dengan foto oklusal. Tomografi
sinus akan sangat membantu dalam mendiagnosis fraktur dinding dasar orbita dan
16
komputerisasi (CT) memungkinkan penentuan luas kerusakan yang disebabkan
oleh trauma secara lebih tepat, atau perluasan lesi jinak atau keganasan. 4
2.3.4 Biopsi
Biopsi lesi sinus maksilaris dilakukan dengan cara melakukan pembukaan
pada regio fossa canina. Jika ada erosi / penembusan dinding antrum, maka
maksilaris, yang tidak mengalami penutupan dan mengalami epitelisasi, dan sering
kali merupakan komplikasi ekstraksi gigi posterior rahang atas. Fistula oroantral
kadang didefinisikan sebagai lubang sinus yang bertahan lebih dari 48 jam.
Hubungan yang sangat erat antara ujung akar akar gigi molar dan premolar rahang
atas terhadap dasar sinus maksilaris, yang terbatas tulang berkisar antara 1 7 mm,
bahkan kadang kadang tanpa pemisah tulang sama sekali, merupakan faktor penting
maupun tidak) dan akibatnya adalah trauma pada sinus, dan jarang disebabkan oleh
cacat perkembangan / akibat infeksi. Tidak semua jalan masuk atau lubang ke arah
terbentuk bila lubang yang terjadi lebih besar (lebih dari 3 4 mm), dan melibatkan
lantai, adanya sinusitis, serta apabila perawatan yang dilakukan tidak memadai.
jaringan ikat penghubung, dan timbul drainase purulen. Jika lubang tersebut bukan
17
didahului oleh adanya sinusitis kronis, maka adanya fistula yang persisten akan
dalam hidung, keluarnya udara ke dalam mulut, dan rasa tidak enak dari drainase.
Rasa sakit jarang dikeluhkan, kecuali bila ada infeksi akut. 2,4,26,27
Sebagian kecil OAF yang kecil dapat sembuh secara spontan, apabila bekuan
darah pada soket gigi menetap dan tidak mengalami infeksi, serta penjahitan mukosa
cavum nasi, sambil menekan hidung pasien tersebut. Apabila terdapat OAF,
18
maka akan terjadi hembusan udara, dan atau percikan darah / nanah / sekret
melalui OAF.
2. Dengan memasukkan silver probe atau sonde perak secara hati hati, melalui
OAF ke dalam rongga sinus maksilaris. Tidak jarang nanah mengalir keluar
kedua atau molar rahang atas secara tidak disadari kemungkinan mengalami
khususnya bila sinus dalam keadaan sehat dan membran sinus tidak mengalami
perforasi, seringkali tidak diketahui oleh penderita maupun operator. Untuk itu
dibutuhkan pemeriksaan / probing secara cermat pada daerah pencabutan rahang atas
dengan suction, lampu, penglihatan langsung yang mencukupi, dan bila dibutuhkan
irigari dengan larutan saline steril. Pada kasus lubang yang lebih besar, di mana
diindikasikan. Penderita diperingatkan untuk berhati hati saat bersin, batuk, ataupun
meniup hidung. Penutupan yang diperlama pada daerah operasi dengan menggunakan
19
purulen, maka kemungkinan penutupan lubang secara spontan akan berkurang. Bila
terdapat sinusitis (ostium yang rentan), maka saluran penghubung yang terbentuk
akibat trauma antara sinus dan alveolus menjadi daerah pilihan untuk drainase sekret
Bila gigi atau ujung akar atau frakmen mengalami pergeseran ke arah sinus,
maka tindakan yang dilakukan dokter gigi adalah melakukan pengambilan foto
roentgen untuk memperjelas keadaan tersebut (dengan foto periapikal dapat terlihat
adanya saluran dan gigi atau akar yang bergeser / berpindah tempat akan terlihat pada
foto oklusal atau periapikal), memberitahu penderita akan komplikasi yang timbul,
dan memberikan antibiotik yang tepat, dekongestan sistemik, tetes hidung, dan
analgesik. Perlu tidaknya daerah tersebut dijahit, tergantung pada adanya flap atau
20
luka, dan lama waktu yang diperkirakan sebelum dapat diberikan perawatan definitif.
Usaha untuk mengeluarkan gigi sebagai benda asing melalui lubang alveolar biasanya
kurang berhasil. Packing alveolus dengan Gelfoam atau bahan aloplastik lainnya
tulang yang melapisi dinding / dasar sinus harus dilakukan secara hati hati
apabila diperkirakan ada resiko penembusan sinus yang tinggi atau pada keadaan di
21
BAB III
PEMBAHASAN
Tidak sedikit orang yang memiliki masalah dengan sinus maksilaris sekarang
ini. Mulai dari masalah radang pada sinus, sinusitis (baik akut maupun kronik),
adanya prognosis keganasan seperti tumor dan kista pada sinus, hingga masalah
fistula oro antral. Orang orang dengan masalah seperti ini akan sangat terganggu
kualitas dari hidup mereka. Oleh karena itu, perlu segera dilakukan tindakan untuk
mengatasi masalah masalah ini.
Membahas mengenai sinus maksilaris, sinus ini merupakan sinus terbesar dari
sinus paranasalis dan memiliki bentuk yang piramidal dan sinus ini terletak di dalam
tulang maksilaris, dengan dinding inferior orbita sebagai batas superior, dinding
lateral nasal sebagai batas medial, prosesus alveolaris maksila sebagai batas
inferior, dan fossa canine sebagai batas anterior. Sinus ini pun memiliki
volume 15ml pada orang dewasa, dimana volume ini dua kali dari volume
pada waktu lahir.
Penyakit infeksi yang sering muncul dalam masyarakat adalah sinusitis.
Sinusitis maksilaris adalah peradangan atau inflamasi yang terjadi pada mukosa sinus
maksilaris. Sinusitis maksilaris dapat terjadi dalam bentuk akut / sub akut / kronis.
Sinusitis maksilaris akut sering terjadi setelah rinitis alergik / infeksi virus pada
saluran pernapasan bagian atas. Sinusitis akut bila gejalanya berlangsung beberapa
hari sampai 4 minggu, sinusitis sub akut bila berlangsung dari 4 minggu sampai 3
bulan, dan sinusitis kronis bila berlangsung lebih dari 3 bulan. Dalam menentukan
secara pasti apakah sinusitis tersebut akut, sub akut atau kronis, harus melakukan
pemeriksaan histopatologis. Sinusitis akut bila terdapat tanda-tanda radang akut,
22
sinusitis sub akut bila tanda-tanda radang akut sudah reda, dan sinusitis kronik bila
terjadi perubahan histologis mukosa sinus yang irreversible.
Penyebab tersering dari sinusitis maksilaris adalah infeksi saluran nafas atas
karena mikrobiologi. Hanya 10% saja yang diakibatkan oleh radang pada gigi molar
atau premolar. Penyebab lain yang jarang adalah karena fraktur tulang maksila dan
tulang frontal.
Bila terdapat radang / infeksi pada sinus yang diakibatkan oleh virus,
akan menimbulkan peningkatan sekresi dan edema pada mukosa sinonasal.
Dan bila dibiarkan, virus tersebut akan memproduksi enzim yang
mengendurkan mukosa sinus dan mempercepat difusi virus pada lapisan
mukosilia. Hal ini menyebabkan silia menjadi kurang aktif dan sekret sinus menjadi
lebih kental (sekret yang lebih kental ini menjadi media yang sangat baik untuk
pertumbuhan bakteri patogen). Karena fungsi silia atau penyumbatan ostium
sinus terganggu maka sekresi ini akan mengisi sinus dan mempengaruhi
mekanisme drainase dalam sinus. Bila drainase terganggu, akan terjadi penurunan
tekanan oksigen sebagian dan proliferasi bakteri patogen.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mendiagnosa penyakit
penyakit sinus ini. Pertama, dapat dilakukan pemeriksaan klinis dari sinus.
Pemeriksaan klinis dari pasien dengan sinusitis dapat dilakukan dengan cara palpasi
secara intraoral pada maksila antara fossa kanina dengan jaringan disekitar tulang
pipi. Bila terdapat sinusitis maka akan terasa sakit apabila palpasi dilakukan. Kultur
dari sekret sinus dianggap kurang baik karena kultur yang berasal dari anterior nasal
akan menunjukkan hasil flora normal vestibulum nasi.
antibiotik spektrum luas seperti ampisilin atau sefaleksin. Bahan yang dipilih
harus efektif terhadap organisme gram positif maupun gram negatif, khususnya
23
apabila tidak didapatkan hasil kultur yang baik. Jika diketahui terdapat aspergilus
sinusitis, maka harus diberikan terapi antimikotik yang tepat, biasanya dengan
dan tetes hidung seperti phenypeprine akan sangat berguna pada fase dini dari
perawatan. Jika terdapat keadaan alergi yang mendasari kondisi tersebut, maka
menyembuhkan gejala yang timbul, dapat diberikan kompres panas pada muka
kemungkinan dibutuhkan irigasi antrum melalui fossa canina. Selain terapi yang
pembedahan untuk mendapatkan ostium (lubang) sinus yang baru. Hal ini dapat
2x100mg/hari.
Vasokonstriktor lokal dan dekongestan lokal untuk memperlancar drainase
sinus sepeti Solusio efedrin 1-2% tetes hidung, Solusio Oksimetasolin HCl 0,05%
3x60mg (dewasa).
Analgetika untuk menghilangkan rasa nyeri seperti Parasetamol 3x500mg
24
Bila penyebab dari sinusitis adalah infeksi gigi, maka penatalaksanaannya
meliputi perawatan pada sumber absesnya. Perawatan ini terdiri atas terapi
antibiotik yang disertai dengan insisi dan drainase bila diindikasikan, dan terapi
lanjutan yang meliputi perawatan endodontik atau pencabutan gigi penyebab. 2,4
3.1.3 Prosedur Caldwell Luc
Prosedur Caldwel Luc juga dikenal sebagai operasi antrum yang radikal
dimana prosedur ini dilakukan untuk perawatan dari sinusitis maksilaris yang
kronis yaitu suatu kondisi dimana terdapat obstruksi dan inflamasi dari sinus
dari gigi (odontogen) atau penyebab lainnya, dieksisi atau dienukleasi melalui
jalur ini. Untuk mengambil benda asing ataupun untuk pemeriksaan dan
25
digunakan jalur yang sama. Operasi pada sinus dapat dilakukan dengan anestesi
umum ataupun anestesi lokal (yang ideal adalah dengan blok maksila pada nervus
Selanjutnya dibuat lubang dengan bur, sebagai pembukaan awal yang terletak
sedikitnya 4 5 mm di atas apeks akar yang terdekat. Besar lubang masuk ini
dapat dibuat pembukaan yang relatif lebar dengan tanpa merusakkan struktur di
penglihatan, dapat diperoleh dengan menggunakan head lamp (lampu kepala) atau
probe fiberoptik. Setelah pengambilan lesi, sinus diirigari dengan larutan saline
26
Jika packing diindikasikan, digunakan plester kasa bedah dengan lebar -
melalui jendela nasoantral yang dibuat di bagian meatus nasalis inferior dengan
suatu trochal nasal. Flap ditutup dengan jahitan kontinu menggunakan benang
chromic 3-0. Jika digunakan benang yang tidak dapat diabsorbsi, maka benang
tersebut harus dilepas setelah 5 7 hari. Jika packing Caldwell Luc digunakan
10 hari. Pack yang dipasang untuk menahan perdarahan ke dalam sinus biasanya
dikeluarkan pada hari keempat atau hari kelima. Terkadang pack sinus ini
bagi pasien bila dilakukan di bawah anestesi lokal atau sedasi (penenang), atau
lubang hidung. 4
3.1.4 Hemimaksilektomi
Lesi jinak yang merusak maupun lesi ganas yang invasif, yang melibatkan
yang telah dimodifikasi. Jika lesi yang dieksisi bersifat jinak namun meluas, maka
dilakukan perbaikan secara langsung dengan cara graft tulang autologus dan flap
transfer mukosa atau fraft kulit. Pada kasus keganasan dengan nodus cervicalis
melibatkan orbita, sinus ethmoidalis, atau fossa pterygoidea, maka prosedur yang
27
paling radikal pun biasanya tidak dapat mengatasinya. Lesi ganas pada sinus
dasar otak dengan sinus ini, membatasi penggunaan teknik radioterapi. Baik
adalah terjadinya kekambuhan lokal dari tumor, dalam jangka waktu 2 tahun. 4
3.1.6 Trauma
Cedera yang mengenai sinus maksilaris merupakan keadaan yang sangat
sering didapatkan pada fraktur wajah bagian tengah. Tanda tanda radiograf yang
umum didapatkan adalah opasifikasi akibat perdarahan ke dalam sinus dan fraktur
(cacat bertingkat) dinding lateral. Tanda tanda ini bila berdiri sendiri bukan
merupakan tanda tanda atau indikasi keterlibatan sinus. Sebaliknya, bila tidak
ada tanda tanda keterlibatan sinus lainnya, seperti fraktur dasar orbita atau
pada pengontrolan infeksi sinus, pengambilan jaringan sinus yang berpenyakit, dan
drainase nasal yang memadai. Terlepas dari teknik penutupan yang digunakan,
prosedur atau usaha ini akan gagal apabila persyaratan yang dibutuhkan tidak
28
dipenuhi. Infeksi sinus harus dikontrol sebelum pembedahan melalui pemberian
antibiotik spektrum luas (ampicilin), dekongestan sistemik, dan tetes hidung. Jaringan
mukoperiosteal bukal ke arah oklusal atau palatal melalui daerah operasi dan
menjahitnya pada mukosa palatal yang mengalami deepitelisasi ataupun mukosa yang
diangkat. Pada daerah tak bergigi, desain flap dimodifikasi untuk mengurangi
lebih dari 90%. Biasanya metode ini dipakai untuk penutupan OAF yang
relatif kecil.
Dibuat suatu flap mukoperiosteal bukal dengan insisi pembebas
arah sagital tepat di bawah perlekatan tertinggi. Insisi periosteal arah postero
dengan desain sampul (envelope) yang tidak dibebaskan. Tepi lubang pada
menutupi lubang dan dijahit ke mukosa palatal dengan jahitan secara kontinu
yang luas. 4
29
Gambar 3.3. Prosedur penutupan fistula oroantral menggunakan flap bukal
Sumber : http://www.exodontia.info/files/Closure_of_OAF_with_buccal_pedi
cled_flap1.jpg
ditutupkan pada daerah resipien yang tak berepitel pada mukosa palatal atau
tepi flap yang tak berepitel dapat disisipkan di bawah flap palatal. Insisi
30
tekanan atau kompres dingin. Jika digunakan packing Caldwell Luc, maka
2. Metode palatal flap, yang pertama kali diperkenalkan oleh Ashley pada tahun
1939. Suatu flap palatal yang relatif besar dan panjang, dan mengandung A.
Palatinus Mayor, digeser ke arah lateral untuk menutup OAF. Biasanya teknik
ini untuk menutup OAF yang diameternya lebih besar dari 1 cm.
Alternatif lain untuk penanganan dari bukal adalah pembuatan flap
banyak. Flap ini kemudian dibalik atau diputar ke arah bukal untuk menutup
cacat. Pada teknik palatal ini, vestibulum tidak dilibatkan kecuali apabila
bukal. 4,29
A. Diagram palatal dengan fistula dan outline dari arteri palatal anterior
B. Insisi untuk membuat flap palatal. Tandai dengan irisan kecil dari jaringan
yang dikeluarkan pada sisi distolingual dari fistula untuk dapat melakukan
rotasi flap.
C. Flap dirotasi dan dijahit pada posisinya. Terdapat sedikit masalah pada
tonjolan distal.
D. Kerusakan bagian palatal diisi dengan cement pack untuk dapat sembuh
tanpa merasa kesakitan.
31
Catatan : Ketika flap palatal dibuat maka arteri palatina akan berada di dalam
flap pedikel, sehingga dapat menjamin suplai darah yang baik dari dasar flap.
Gambar 3.6. Beberapa tipe dari flap palatal. (A) Palatal mucosal flap. (B) Palatal
mucosal island flap. (C) Palatal submucosal flap. (D) Palatal submucosal island flap.
Sumber : P.J.Leopard. The British Journal Of Oral And Maxillofacial Surgery. Vol. 23,
No.4. 1985. p.259.
Modifikasi lain yang dapat digunakan untuk daerah tak bergigi adalah
penutupan dengan cara membuat satu bridge flap. Pada teknik ini, dibuat satu
flap pedikel ganda dengan lebar secukupnya (1 1,5 cm) dengan dasar pada
palatal atau bukal, yang kemudian diangkat dan dipindahkan ke arah posterior
/ anterior untuk menutupi cacat. Walaupun bridge flap ini tidak terlalu
mengubah sulkus bukal, namun daerah donor dibiarkan terbuka agak terjadi
kembali. 4,29
BAB IV
KESIMPULAN
32
Sinus maksilaris merupakan satu satunya sinus yang rutin ditemukan pada
saat lahir. Sinus maksilaris terletak di dalam tulang maksilaris, dengan dinding
inferior orbita sebagai batas superior, dinding lateral nasal sebagai batas
medial, prosesus alveolaris maksila sebagai batas inferior, dan fossa canine
sebagai batas anterior. Volume sinus dewasa pada usia 18 tahun adalah 15 ml,
hampir dua kali dari volume waktu lahir.
Pemeriksaan klinis dari pasien dengan sinusitis dapat dilakukan dengan cara
palpasi secara intraoral pada maksila antara fossa kanina dengan jaringan disekitar
tulang pipi. Bila terdapat sinusitis maka akan terasa sakit apabila palpasi dilakukan.
Evaluasi radiografi dari sinus paling bagus diperoleh dengan proyeksi Waters
dengan muka menghadap ke bawah dan proyeksi Waters dengan modifikasi tegak.
Gambaran yang sering didapat pada sinusitis akut adalah opasifikasi sinus
(berkurangnya pneumatisasi) dan batas udara atau cairan (air fluid level) yang
khas akibat akumulasi pus. Sinusitis kronis seringkali digambarkan dengan adanya
penebalan membran pelapis. Dalam mendiagnosis trauma pada sinus, penggunaan
foto panoramik, Waters, oklusal, dan periapikal maupun tomografi konvensional,
serta penelitian dengan CT sangat membantu.
Penatalaksanaan penyakit sinus terbagi atas beberapa, yaitu dengan
menggunakan obat obatan, perawatan sinus akibat infeksi gigi, prosedur Caldwell
Luc, hemimaksilektomi, perawatan trauma sinus, dan penutupan fistula oroantral.
Untuk perawatan sinus maksilaris akut, obat obatan yang sesuai adalah antibiotik
spektrum luas seperti ampisilin atau sefaleksin. Bila penyebab dari sinusitis adalah
infeksi gigi, maka penatalaksanaannya meliputi perawatan pada sumber absesnya.
Prosedur Caldwel Luc juga dikenal sebagai operasi antrum yang radikal dimana
prosedur ini dilakukan untuk perawatan dari sinusitis maksilaris yang kronis yaitu
suatu kondisi dimana terdapat obstruksi dan inflamasi dari sinus maksilaris.
Prosedur Caldwell Luc (sinusitomi) digunakan untuk membuat jalan masuk
peroral ke sinus maksilaris melalui fossa canina. Operasi penutupan fistula
oroantral umumnya menggunakan dua macam teknik pembedahan, yaitu metode
buccal flap dan metode palatal flap.
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Higler PA. Nose: Applied Anatomy dan Physiology. In: Adams GL,
Boies LR, Higler PA, editors. Boies Fundamentals of
Otolaryngology. 6 th ed.
34
2. Larry J.Peterson. Contemporary Oral And Maxillofacial Surgery. 4 th
ed. Mosby. St Louis. 2003. p.417 433.
3. Patel AM, Vaughan WC. Chronic Maxillary Sinusitis Surgical
Treatment. May 19, 2005. Available from:
http://www.emedicine.com . Accessed 10 November 2010
4. Gordon W Pedersen. Oral Surgery. 1st ed. W.B.Saunders Company.
Philadelphia. 1996. p. 265 277.
5. Sinusitis. Available from : http://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:Wp3jifZZp6sJ:www.geocities.ws/koskap3sakti/referat/RSUPFat
mawati/referat-tht-RSUP-
Fatmawati.doc+sinus+maxillaris+merupakan&cd=12&hl=en&ct=clnk.
Accessed on 10 November 2010.
6. Sinus Maksilaris. Available from : www.wikipedia.co.id. Accessed on : 10
November 2010.
7. Johnson Jonas T, Ferguson Berylin J. Paranasal Sinuses. in: Cummings CW,
Frederickson JM, Harker LA, Krause CJ, Richardson M, editors.
Otolaryngology-Head and Neck Surgery. Mosby, St Luois-Missouri, 1998,
p 1059-1118.
8. Handley John G, Tobin Evan, Tagge bryan. The Nose and Paranasal Sinuses.
in: Rakel Robert E, editors. Textbook of family practice 6th editions. WB
Saunders Company, Philadelphia, 2001, p 446-453.
9. Mangunkusumo Endang, Rifki nusjirwan. Sinusitis. in: Soepardi Efiaty A,
Iskandar Nurbaiti, editor. Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok edisi 4. Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2000, p 121-125.
10. Shames Richard S, Kishiyama Jeffrey L. Disorders of The Immune System.
in: McPhee Stephen J, Lingappa Vishwanath R, Ganong William F,
editors. Pathophysiology of Disease: An Introduction to Clinical Medicine
4th editions. Mc Graw Hill, Philadelphia, 2003, p 31-57.
11. Soetjipto Damayanti. Patogenesis, Diagnosis dan Penatalaksanaan Medik
Sinusitis. disampaikan dalam: Simposium Penatalaksanaan Otitis Media
Supuratifa Kronik, Sinusitis, dan Demo Operasi timpanoplasti 22-23
Maret 2003, Denpasar, Bali.
12. Andik Sunaryanto. Sinusitis Maksilaris. Available from :
http://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:byZdaVkdJT0J:andikunud.files.wordpress.com/2010/08/sinusitis
-maksilaris.docx+sinus+maksilaris+pendahuluan&cd=1&hl=en&ct=clnk.
Accessed on : 12 November 2010.
13. Suardana W, et al. Rhinologi. in: Suardana W, Bakta M, editor. Pedoman
Diagnosis dan Terapi. Komite Medik RSUP Sanglah, Denpasar, 2000.
14. Van David C. ENT Emergencies Disorders of The Ear, Nose, Sinuses,
Oropharynx, & Mouth. in: Stone C, Humprhries R, editors. Current
Emergency diagnosis and treatment 4th editions (Lange current series). Mc
Graw Hill, Philadelphia, 2004, p 348-350.
15. Rubin MA, Gonzales R, Sande MA. Infections of the Upper
Respiratory Tract. In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser
35
SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrisons Principle of
Internal Medicine. 16th ed. New York, NY: McGraw Hill; 2005. p.
185-93
16. Bajracharya H, Hinthorn D. Sinusitis. January 16, 2003. Available
from: http://www.emedicine.com . Accessed 10 November 2010
17. Daum RS. Haemophilus Influenzae. In: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, editors. Nelson Textbook of Pediatrics. 17th ed.
Philadelphia, PA: Saunders; 2004. p. 904-8
18. Pappas DE, Hendley JO. Sinusitis. In: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, editors. Nelson Textbook of Pediatrics. 17th ed.
Philadelphia, PA: Saunders; 2004. p. 1391-3
19. Musher DM. Pneumococcal Infection. In: Kasper DL, Braunwald E,
Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrisons
Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York, NY: McGraw
Hill; 2005. p. 806-14
20. Musher DM. Moraxella Catarrhalis and Other Moraxella Species.. In:
Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL,
Jameson JL, editors. Harrisons Principle of Internal Medicine.
16th ed. New York, NY: McGraw Hill; 2005. p. 862-3
21. Murphy TF. Haemophilus infection. In: Kasper DL, Braunwald E,
Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrisons
Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York, NY: McGraw
Hill; 2005. p. 185-93
22. American Academy Of Pediatrics Subcommittee on Management of
Sinusitis and Committee on Quality Improvement. Clinical Practice
Guideline: Management of Sinusitis. Pediatrics 2001 Sep;
108(3):798-808
23. Sobol SE, Schloss MD, Tewfik TL. Acute Sinusitis Medical
Treatment. August 8, 2005. Available from:
http://www.emedicine.com . Accessed 10 November, 2010
24. Higler PA. Paranasal Sinuses Diseases. In: Adams GL, Boies LR,
Higler PA, editors. Boies Fundamentals of Otolaryngology. 6th ed.
Philadelphia, PA: WB Saunders Company; 1989. p.240-62
25. Dandy Chandra. Sinusitis Maksilaris. Available from :
http://www.scribd.com/doc/38951685/Sinusitis-Maksilaris2 .
Accessed on : 15 November 2010.
26. Killey, H.C. & Kay L.W. : The maxillary sinus and its dental implications.
John Wright & Sons Ltd. Bristol. 1975. p 40 70, 143 148.
27. Skoglund, L.A. et al. : Surgical management of 85 perforations to the
maxillary sinus. Int. J. Oral Surg. 12 : 1 5. 1983.
28. Soedarmadi, Nurdin Taim, Soelistiono, dkk. Majalah PABMI (Journal of the
Indonesian Oral Surgeon Association) NO.2. Jakarta. 1997. hal : 66 69.
29. P.J.Leopard. The British Journal Of Oral And Maxillofacial Surgery.
Vol. 23, No.4. 1985. p.260-61.
36
30. What Is The Caldwell Luc Procedure. Available from :
http://www.wisegeek.com/what-is-the-caldwell-luc-procedure.htm .
Accessed on 1 December 2010.
37