Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia memiliki sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral

kavum nasi. Sinus sinus ini membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah,

dan diberi nama sesuai dengan tulang tersebut, yaitu sinus maksilaris, sinus

sfenoidalis, sinus frontalis, dan sinus etmoidalis.

Sinus maksilaris adalah sinus terbesar dari sinus paranasalis dan memiliki

bentuk yang piramidal. Sinus ini ditemukan pada badan dari maksila. Sinus ini

memiliki tiga batasan: bagian inferior tulang alveolar, yang dibatasi oleh prosesus

alveolaris rahang atas; bagian lateral zygomatik, yang dibatasi oleh tulang

zygomatikus; dan bagian superior infraorbitalis, yang dibatasi oleh permukaan

maksila. Dinding medialnya terdiri dari tulang rawan. Ostia untuk drainase terletak di

atas dinding medial dan membuka ke hiatus semilunar dari rongga hidung bagian

lateral, oleh karena itu, gravitasi tidak dapat mengeluarkan isi dari sinus maksilaris

ketika kepala ditegakkan. Sinus ini dilapisi oleh mukoperiosteum yang dilengkapi

dengan rambut halus.

Saluran infraorbitalis biasanya terhubung ke dalam kavitas sebagai

perpanjangan ridge yang baik dari atap menuju ke dinding anterior. Ridge tambahan

kadang kadang terlihat di dalam dinding posterior.

1
Pada dinding posterior terdapat kanal alveolaris sebagai tempat alveolar

superior posterior dan nervus untuk gigi gigi molar.

Lantai sinus ini dibentuk oleh prosesus alveolaris rahang atas dan bila sinus

berukuran normal, sebanding dengan lantai dari hidung, namun bila ukuran sinusnya

besar maka akan berada di bawah dari lantai hidung itu sendiri.

Sinus maksilaris biasanya dianggap sebagai daerah tak bertuan oleh para

dokter gigi, dan lubang masuk ke daerah antrum seringkali keliru ditafsirkan sebagai

akibat penanganan yang kurang hati hati. Namun pada pembedahan dentoalveolar

yang melibatkan maksila, peristiwa ini kadang tidak dapat dihindari.

Daerah sinus merupakan pertemuan keadaan patologis pada gigi dan

paranasal. Patologis pada rongga mulut dapat meluas ke sinus, dan patologis dalam

sinus dapat mencapai prosesus alveolaris maksila. Kedekatan anatomis dan

keterlibatan patologis dapat menyebabkan kompleks gejala yang membingungkan,

sehingga penderita seringkali keliru terhadap gejala yang satu dengan yang lainnya.

Untuk mengenali dan membedakan tanda tanda klinis yang timbul, dibutuhkan

pemahaman tentang perkembangan dan anatomi dari sinus maksilaris. Pengetahuan

mengenai hubungan antara pembentukan gigi geligi maupun erupsi gigi dan antrum

juga merupakan persyaratan. Pemahaman tentang saraf dan suplai darah yang sama

antara sinus dan gigi geligi rahang atas di dekatnya juga membantu memberikan

dasar penjelasan yang logis untuk keadaan klinis dan gejala gejala tertentu.

Anatomi klinis dari antrum dan patologi khusus akan ditinjau kembali pada

kesempatan ini dan juga akan ditekankan perlunya menghindari keterlibatan sinus,

2
respon klinis terhadap komplikasi ini, operasi sinus maksilaris dengan prosedur

Caldwell Luc, dan penutupan fistula oroantral.

1.2 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui anatomi dari sinus maksilaris itu sendiri.
2. Untuk mengetahui cara mendiagnosa penyakit sinus.
3. Untuk mengetahui penatalaksanaan dan prosedur tindakan bedah sinus

maksilaris.
4. Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana kedokteran

gigi.

BAB II

3
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
Manusia memiliki sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral

kavum nasi. Sinus sinus ini membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah,

dan diberi nama sesuai dengan tulang tersebut, yaitu sinus maksilaris, sinus

sfenoidalis, sinus frontalis, dan sinus etmoidalis. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel

saluran pernafasan yang mengalami modifikasi, yang mampu mengkasilkan mukus,

dan bersilia. Sekret yang dihasilkan disalurkan ke dalam kavum nasi. Pada orang

sehat, sinus terutama berisi udara. 1,2

Gambar 2.1. Tampakan secara frontal dari sinus sinus paranasalis


Sumber:http://3.bp.blogspot.com/_Oxpii7Jc0Gc/SooxYHbGyFI/AAAAAAAAAGo/1JS7
9O6y32I/s1600/sinus.jpg

4
Gambar 2.2. Tampakan secara lateral dari sinus sinus paranasalis
Sumber : http://4.bp.blogspot.com/_zk2gqTQZzFE/S-
1Ntm_SjPI/AAAAAAAAADg/Ld546-JQb7M/s320/sinusitis.jpg

Sinus maksilaris merupakan satu satunya sinus yang rutin ditemukan

pada saat lahir. Sinus maksilaris terletak di dalam tulang maksilaris, dengan

dinding inferior orbita sebagai batas superior, dinding lateral nasal sebagai

batas medial, prosesus alveolaris maksila sebagai batas inferior, dan fossa

canine sebagai batas anterior. 2,3

2.1.1 Perkembangan
Sinus maksilaris mulai terbentuk sebagai benih pada dinding lateral pars

ethmoidalis capsula nasal, pada sekitar bulan ketiga masa kehidupan fetus.

Pembesaran sel sel ini berlanjut sampai lahir, di mana pada saat itu volume

sinus adalah 6 8 ml. Pada usia 4 5 bulan, sinus dapat diperlihatkan secara

radiografi dengan proyeksi anteroposterior sebagai daerah segitiga di sebelah

medial foramen infraorbitale. Pertumbuhan berlanjut dengan cepat sampai usia

tiga tahun dan kemudian melambat. Pada usia 7 tahun, pertumbuhan sinus akan

5
kembali cepat dan berlanjut sampai 4 5 tahun mendatang. Pada usia 12 tahun,

pneumatisasi sudah meluas ke dataran dinding orbita lateral dan ke inferior

sehingga dasar sinus terletak setinggi dasar hidung. Karena perluasan sinus ke

prosesus alveolaris, dasar sinus pada orang dewasa akan terletak 4 5 mm di

bawah dasar hidung. Volume sinus dewasa pada usia 18 tahun adalah 15 ml,

hampir dua kali dari volume waktu lahir. 2,4,5

Dari segi klinis yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maxilla adalah : 5
1. Dasar sinus maksilaris berhubungan dengan gigi P1, P2, M1, dan M2
2. Ostium sinus maksilaris lebih tinggi dari dasarnya
2.1.2 Pneumatisasi dan gigi geligi
Pneumatisasi dari sinus maksilaris berkaitan dengan erupsi gigi geligi

tetap dan berlangsung paling cepat antara usia 7 12 tahun. Sebagian besar ruang

pada corpus maxillae yang dahulunya ditempati gigi geligi yang sedang

berkembang akan diduduki oleh sinus sesudah gigi geligi tetap bererupsi. Bila

gigi geligi posterior atas tanggal, sinus akan meluas lebih jauh sehingga

menempati lingir yang tersisa. Resopsi lingir selanjutnya dan hiperacrasi antrum

akan menyisakan lereng tulang yang sangat tipis antara krista lingir dan dasar

antrum (1 2 mm). 4
2.1.3 Batas batas
Sinus maksilaris adalah sinus terbesar dari sinus paranasalis dan memiliki

bentuk yang piramidal. Sinus ini ditemukan pada badan dari maksila. Sinus ini

memiliki tiga batasan: bagian inferior tulang alveolar, yang dibatasi oleh prosesus

alveolaris rahang atas; bagian lateral zygomatik, yang dibatasi oleh tulang

zygomatikus; dan bagian superior infraorbitalis, yang dibatasi oleh permukaan

maksila. Dinding medialnya terdiri dari tulang rawan. Ostia untuk drainase

terletak di atas dinding medial dan membuka ke hiatus semilunar dari rongga

6
hidung bagian lateral, oleh karena itu, gravitasi tidak dapat mengeluarkan isi dari

sinus maksilaris ketika kepala ditegakkan. 2,6


Atap antrum membentuk sebagian besar dasar orbita, dan dinding medial

antrum membentuk sebagian besar dinding nasal lateral. Dinding posterior sinus

memisahkannya dari fossa infratemporalis, sedangkan dinding anterior

membentuk pars facialis maxillae (fossa canina). Dinding tulang mempunyai

ketebalan bervariasi dari regio satu ke regio yang lainnya dan dari pasien yang

satu ke pasien lain, tetapi umumnya ketebalannya hanya setipis kulit telur (1 3

mm). Sinus berdrainase melalui ostium ke meatus nasi medius. 4

2.1.4 Batas mukosa

Sinus yang sehat dikelilingi dengan mukoperiosteum (epitelium

respiratori) yang kolumnar, yang dilengkapi dengan rambut halus (bersilia), dan

pseudo stratifikasi. Epitelium ini melekat erat terhadap periosteum, misalnya

mukoperiosteum. Glandula mukus dan serus tambahan terdapat dalam submukosa

dan memberikan selimut mukus yang melapisi epitelium. 4,6

2.1.5 Persarafan dan suplai darah

Pada dinding posterior terdapat kanal alveolaris sebagai tempat alveolar

superior posterior dan nervus untuk gigi gigi molar. 6

Sinus dipersarafi oleh cabang kedua n.trigeminus; n.palatinus mayor,

nasalis posterolateral, dan semua n.alveolaris superior cabang n.infraorbitalis.

Suplai darah diperoleh dari a.maksilaris melalui a.infraorbitalis, a.palatina mayor

dan a.alveolaris posterosuperior dan anterosuperior. 4


2.2 Patofisiologi
2.2.1 Radang

7
Radang oleh karena virus menimbulkan peningkatan jumlah sekresi dan

edema pada mukosa sinonasal. Bila kondisi ini berlanjut, sekresi akan mengisi

sinus karena terganggunya fungsi silia atau penyumbatan ostium sinus, atau

keduanya, dan berpengaruh pada mekanisme drainase di dalam sinus. Virus

tersebut juga memproduksi enzim dan neuraminidase yang mengendurkan

mukosa sinus dan mempercepat difusi virus pada lapisan mukosilia. Hal ini

menyebabkan silia menjadi kurang aktif dan sekret (lendir) yang diproduksi sinus

menjadi lebih kental. Lendir yang kental tersebut menjadi media yang baik bagi

pertumbuhan bakteri patogen. Karena letak ostium sinus maksilaris tidak

dipengaruhi gaya gravitasi, maka drainase yang normal bukan cara perawatan

ideal. Bila drainase terganggu, akan terjadi penurunan tekanan oksigen sebagian

dan proliferasi bakteri patogen. 4,5,7,8,9,15,23,24,25


Adanya bakteri dan lapisan mukosilia yang abnormal meningkatkan

kemungkinan terjadinya reinfeksi atau reinokulasi dari virus. 5


Konsumsi oksigen oleh bakteri akan menyebabkan keadaan hipoksia di

dalam sinus dan retensi lendir sehingga akan memberikan media yang

menguntungkan untuk berkembangnya bakteri anaerob. Penurunan jumlah

oksigen juga akan mempengaruhi pergerakan silia dan aktivitas leukosit.


5,8,9,10,15,23,25

2.2.2 Sinusitis akut


Infeksi sinusitis akut dapat disebabkan berbagai organisme, termasuk

virus, bakteri, dan jamur. Sinusitis maksilaris dapat terjadi dalam bentuk akut /

kronis. Sinusitis maksilaris akut sering terjadi setelah rinitis alergik / infeksi virus

pada saluran pernapasan bagian atas. Alergi hidung yang kronis, adanya benda

8
asing, dan deviasi septi nasi dianggap sebagai faktor predisposisi yang paling

umum. Pasien yang terserang umumnya mengeluh mengenai demam, lemas, sakit

kepala samar samar (sakit dirasa mulai dari pipi dan menjalar ke dahi atau gigi.

Sakit bertambah saat menunduk), rasa bengkak pada wajah dan terasa penuh,

nyeri pipi yang khas : tumpul dan menusuk, serta sakit pada palpasi dan perkusi,

kadang ada batuk iritatif non-produktif, sekret mukopurulen yang dapat keluar

dari hidung dan kadang berbau busuk, penurunan atau gangguan penciuman

(decreased or altered sense of smell), dan sakit pada gigi gigi posterior atas.

Perubahan posisi dapat mengurangi atau menambah rasa tidak enak.

Membungkukkan kepala biasanya akan memperhebat rasa sakit, sedangkan

mendongakkan kepala, mengurangi rasa sakit tersebut dan melancarkan drainase

unilateral. Dari pemeriksaan sering terlihat adanya sekresi mukopurulen di dalam

hidung dan nasofaring. Terdapat nyeri palpasi dan tekan pada sinus serta gigi

gigi yang berkaitan dengannya. Pemeriksaan roentgen mulanya memperlihatkan

penebalan mukosa sinus, yang sering digantikan dengan opasifikasi karena

meningkatnya pembengkakan mukosa atau adanya timbunan cairan di dalam

sinus, atau keduanya. 2,4,5,12,15,22,25

Gambar 2.3. Gambaran radiografi penderita sinusitis

9
Sumber : http://lenykarlina.student.umm.ac.id/files/2010/02/200px-
Maxilar_sinusites.jpg

2.2.3 Sinusitis kronis


Perubahan perubahan patologis pada sinusitis kronis biasanya bersifat

irreversibel, yang ditandai dengan penebalan mukosa dan pembentukan pseudo

polip dengan mikroabses, granulasi, dan jaringan parut. Walaupun, sinusitis akut

terjadi dalam hitungan harian, sinusitis maksilaris kronis biasanya dapat bertahan

dalam hitungan bulan ataupun tahun. Perawatan sinusitis akut atau sinusitis

kambuhan yang tidak memadai dapat menyebabkan kegagalan regenerasi

permukaan epitel bersilia. Pada akhirnya, hal ini akan menyebabkan kerusakan

lebih jauh dari pembuangan sekret sinus, yang mendorong terjadinya infeksi

ulang. Penyumbatan oleh berbagai sebab seperti polip hidung, deviasi septum,

atau tumor juga berperan dalam etiologi sinusitis kronis. Gejala dari sinusitis

kornis ini biasanya agak kurang jelas, namun seringkali meliputi sakit kepala, rasa

penuh (bengkak) pada muka, rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorok,

pendengaran terganggu karena oklusi tuba eustachii, dan hipersekresi

mukopurulen. Bila telah menjadi kronik dapat juga terdapat komplikasi sinusitis

di paru-paru berupa bronchitis atau bronkiektasis atau asma bronkiale sehingga

terjadi penyakit sinobronkitis. Pada kasus eksaserbasi akut, gejala yang timbul

menyerupai sinusitis akut. 2,4,5,9


2.2.4 Mikrobiologi
Bakteri yang paling sering terlibat dalam infeksi sinus adalah

Streptococcus pneumoniae, S.pyrogenes, Staphylococcuc aureus, Hemophilus

influenzae, Moraxella catarralis dan Klebsiella. Streptococcus pneumoniae dan

Haemophilus influenzae telah disepakati sebagai patogen primer pada sinusitis

10
bakterial, selain itu M. catarralis juga didapatkan pada sinusitis maksilaris (40%

pada anak-anak). Perluasan infeksi gigi misalnya, pada periodontal dan periapikal

abses, mencapai 10 15 % dari kasus sinusitis.

Gambar 2.4. Gambaran dari Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae


Sumber : http://www.pathology.med.ohio-state.edu/paxit/deptbase/Paxit/
Images/10444/PAXIT021.JPG

Keterlibatan antrum unilateral (satu sisi) seringkali merupakan indikasi

dari keterlibatan gigi sebagai penyebab. Bila hal ini terjadi, maka organisme yang

bertanggung jawab kemungkinan adalah jenis gram negatif, yang merupakan

organisme yang lebih banyak didapatkan pada infeksi gigi daripada bakteri gram

positif yang merupakan bakteri khas pada sinus. Penderita dengan gangguan pada

sistem immunologinya (imunokompromi) umumnya rentan terhadap sinusitis

yang disebabkan oleh jamur (aspergilus), yang menimbulkan akibat yang cukup

berbahaya karena perluasan dini ke intrakranial dan orbital, misalnya pada kasus

ensefalitis. 2,4,7,11,12,15,16,17,18,19,20,21,25

2.2.5 Patologi
Kista tak bersekret, mucocele, pyocele (mucocele yang mengalami

infeksi) timbul dari lapisan antrum. Diplasia fibrus, fibroma osifikasi, dan lesi sel

11
raksasa dapat melibatkan sinus. Kista odontogenik dan tumor juga dapat meluas

ke sinus maksilaris. 4

2.2.6 Neoplasia
Penyakit seperti tumor nasal atau tumor sinus (squamous cell

carcinoma), dan juga penyakit granulomatus (Wegeners granulomatosis atau

rhinoskleroma) juga dapat menyebabkan obstruksi ostia sinus, sedangkan

kondisi yang menyebabkan perubahan kandungan sekret mukus (fibrosis

kistik) dapat menyebabkan sinusitis dengan mengganggu pengeluaran

mukus. 2,15,25
Biasanya bersifat jinak, tetapi kadang kadang dapat juga bersifat ganas.

Tumor jinak glandula saliva, atau tumor ganas ini dapat berasal dari glandula

aksesori yang terdapat dalam lapisan sinus. Bila terdapat keganasan pada sinus

maksilaris, maka lesi yang paling sering adalah karsinoma, dan daerah yang

terkena atau terlibat biasanya adalah pada infrastruktur (setengah bagian bawah)

dari sinus. Perluasan lesi ini pada prosesus alveolaris menyebabkan penyebaran

dan timbulnya lesi pada gingiva (berupa ulserasi) dan kegoyangan pada gigi.

Keganasan yang timbul pada prosesus alveolaris maksila juga dapat melibatkan

antrum. Keganasan sinus maksilaris yang mengenai orbita atau fossa

infratemporalis merupakan keadaan yang sering ditemukan. Diagnosis dini dari

karsinoma pada sinus jarang diperoleh karena gejala yang timbul biasanya

dianggap sebagai keadaan patologis yang jinak seperti sinusitis kronis. 4

12
Gambar 2.5. Gambaran radiografi dari tumor pada sinus maksilaris
Sumber : http://www.ispub.com/ispub/ijorl/volume_10_number_1_10/primary-
mucoepidermoid-carcinoma-of-maxillary-sinus-a-rare-case-report/sinus-fig1.jpg

2.2.7 Trauma
Cedera yang mencapai sinus maksilaris terjadi pada kasus Le Fort I dan II,

fraktur kompleks zygomaticomaksilaris, blow out orbita, dan fraktur prosesus

alveolaris maksila bagian posterior. Dengan adanya trauma, dinding antrum

mengalami fraktur atau remuk dan pelapisnya robek, sehingga sinus akan terisi

darah.4

Gambar 2.6. Contoh cedera yang mencapai sinus maksilaris


Sumber : http://lifeinthefastlane.com/wp -content/uploads/2010/08/blowout-diagr
am.gif

Baik trauma langsung maupun cedera tidak langsung yang diakibatkan

oleh penanganan fraktur muka yang berhubungan (biasanya pendekatan

transantral) berperan dalam terjadinya sinusitis pasca trauma. Sinus juga dapat

mengalami cedera pada pencabutan gigi rahang atas dan pada pelaksanaan

13
penanganan patologis gigi yang berdekatan. Regio molar pertama rahang atas

merupakan daerah yang paling sering berhubungan dengan keterlibatan sinus,

diikuti oleh regio molar kedua dan premolar kedua rahang atas. 4

2.3 Diagnosis penyakit sinus dan trauma


2.3.1 Evaluasi klinis
Kasus sinusitis maksilaris kronis maupun akut biasanya dapat langsung

didiagnosis melalui pemeriksaan klinis dan riwayat penyakitnya. Pemeriksaan

klinis dari pasien dengan sinusitis dapat dilakukan dengan cara palpasi secara

intraoral pada maksila antara fossa kanina dengan jaringan disekitar tulang pipi.

Bila terdapat sinusitis maka akan terasa sakit apabila palpasi dilakukan. Kultur

dari sekret sinus dianggap kurang baik karena kultur yang berasal dari anterior

nasal akan menunjukkan hasil flora normal vestibulum nasi, yang seringkali

memiliki habitan Staphylococcus. Kultur nasofaringeal atau nasal posterior

hasilnya lebih baik, tetapi secara teknis sulit dilaksanakan. Biakan bakteri spesifik

pada sinusitis dilakukan dengan mengaspirasi pus dari sinus yang terkena. Jika

irigasi antrum dilakukan dengan cara memasukkan satu jarum ke dalam sinus

melalui fossa canina, akan didapatkan kultur langsung dari pencucian. Seringkali

diberikan suatu antibiotik yang sesuai untuk membasmi mikroorganisme yang

lebih umum untuk penyakit ini. 2,4,5,9,12,13,15,25


Pemeriksaan fisik 12
1. Tampak pembengkakan di daerah pipi dan kelopak mata bawah sisi yang

terkena.
2. Pada rhinoskopi anterior, mukosa konka tempak hiperemi dan edema,

selain itu tampak mukopus atau nanah di meatus media.


3. Pada rhinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring.

2.3.2 Radiografi

14
Evaluasi radiografi dari sinus paling bagus diperoleh dengan proyeksi

Waters dengan muka menghadap ke bawah dan proyeksi Waters dengan

modifikasi tegak. Gambaran yang sering didapat pada sinusitis akut adalah

opasifikasi sinus (berkurangnya pneumatisasi) dan batas udara atau cairan (air

fluid level) yang khas akibat akumulasi pus. Sinusitis kronis seringkali

digambarkan dengan adanya penebalan membran pelapis. Lesi jinak lainnya,

misalnya mucocele dan kista dentigerus, juga dapat terlihat dengan jelas (radio

opak). Bagaimanapun juga, harus diingat bahwa radiografi ini memiliki

kekurangan dimana kadang kadang bayangan bibir dapat dikacaukan dengan

penebalan mukosa sinus. Dalam mendiagnosis trauma, penggunaan foto

panoramik, Waters, oklusal, dan periapikal maupun tomografi konvensional,

serta penelitian dengan CT sangat membantu. 2,4,5,9,12,13

Gambar 2.7. Evaluasi sinus dengan menggunakan proyeksi Waters


Sumber : http://3.bp.blogspot.com/9dHjDVjD1d4/S1cyALRFdtI/AAAAA
AAAAIY/XQdhPhXTDPw/s320/PP+waters.jpg

15
Gambar 2.8. Gambaran proyeksi Waters yang menunjukkan air fluid level
Sumber : http://www.aafp.org/afp/2004/1101/afp20041101p1685-f1.jpg

2.3.3 Tomografi / CT

CT Scan adalah pemeriksaan yang dapat memberikan gambaran yang

paling baik akan adanya kelainan pada mukosa dan variasi antominya yang

relevan untuk mendiagnosis sinusitis kronis maupun akut. Walaupun demikian,

harus diingat bahwa CT Scan menggunakan dosis radiasi yang sangat besar akan

berbahaya bagi mata. CT Scan biasa tidak digunakan sebagai skrining dalam

mendiagnosis sinus karena biaya yang mahal. 5,12,14,15,25

Pada trauma yang relatif luas, opasifikasi timbul sebagai akibat

perdarahan dalam sinus. Fraktur terlihat berupa memutusnya kontinuitas dinding

sinus, dasar orbita, atau lingkar orbita inferior. Bila gigi atau akar gigi bergeser ke

arah antrum, maka keberadaannya dapat dipastikan dan ditentukan lokasinya

dengan film atau foto periapikal, yang didukung dengan foto oklusal. Tomografi

sinus akan sangat membantu dalam mendiagnosis fraktur dinding dasar orbita dan

dalam penggambaran luas lesi ganas / jinak. Penggambaran dengan tomografi

16
komputerisasi (CT) memungkinkan penentuan luas kerusakan yang disebabkan

oleh trauma secara lebih tepat, atau perluasan lesi jinak atau keganasan. 4
2.3.4 Biopsi
Biopsi lesi sinus maksilaris dilakukan dengan cara melakukan pembukaan

pada regio fossa canina. Jika ada erosi / penembusan dinding antrum, maka

daerah tersebut merupakan alternatif untuk melakukan biopsi. 4

2.4 Fistula oroantral

Fistula oroantral merupakan lubang antara prosesus alveolaris dan sinus

maksilaris, yang tidak mengalami penutupan dan mengalami epitelisasi, dan sering

kali merupakan komplikasi ekstraksi gigi posterior rahang atas. Fistula oroantral

kadang didefinisikan sebagai lubang sinus yang bertahan lebih dari 48 jam.

Hubungan yang sangat erat antara ujung akar akar gigi molar dan premolar rahang

atas terhadap dasar sinus maksilaris, yang terbatas tulang berkisar antara 1 7 mm,

bahkan kadang kadang tanpa pemisah tulang sama sekali, merupakan faktor penting

yang mempengaruhi terjadinya OAF. Lubang terbentuk setelah pembedahan (sengaja

maupun tidak) dan akibatnya adalah trauma pada sinus, dan jarang disebabkan oleh

cacat perkembangan / akibat infeksi. Tidak semua jalan masuk atau lubang ke arah

antrum akan menyebabkan timbulnya fistula. Persentase terbentuknya fistula setelah

penembusan sinus, apapun penyebabnya, kemungkinan kecil. Fistula lebih mungkin

terbentuk bila lubang yang terjadi lebih besar (lebih dari 3 4 mm), dan melibatkan

lantai, adanya sinusitis, serta apabila perawatan yang dilakukan tidak memadai.

Dengan bertahannya lubang oroantral tersebut, maka traktus akan mengalami

epitelisasi daerah rongga mulut seringkali mengalami proliferasi jaringan granulasi /

jaringan ikat penghubung, dan timbul drainase purulen. Jika lubang tersebut bukan

17
didahului oleh adanya sinusitis kronis, maka adanya fistula yang persisten akan

memastikan keberadaannya. Pasien mengeluhkan masuknya isi rongga mulut ke

dalam hidung, keluarnya udara ke dalam mulut, dan rasa tidak enak dari drainase.

Rasa sakit jarang dikeluhkan, kecuali bila ada infeksi akut. 2,4,26,27

Gambar 2.9. Gambaran CT Scan dari fistula oroantral


Sumber : http://www.exodontia.info/OroAntralCommunication.html

Gambar 2.10. Fistula oroantral


Sumber : www.rvc.ac.uk/.../complications/oronasal.html

Sebagian kecil OAF yang kecil dapat sembuh secara spontan, apabila bekuan

darah pada soket gigi menetap dan tidak mengalami infeksi, serta penjahitan mukosa

pada luka ekstraksi dikerjakan dengan baik. 28

Diagnosa OAF ditegakkan dengan dua cara : 28


1. Nose Blowing Test, yaitu dengan menyuruh pasien untuk berusaha

mengeluarkan udara melalui nares atau meninggikan tekanan udara pada

cavum nasi, sambil menekan hidung pasien tersebut. Apabila terdapat OAF,

18
maka akan terjadi hembusan udara, dan atau percikan darah / nanah / sekret

melalui OAF.
2. Dengan memasukkan silver probe atau sonde perak secara hati hati, melalui

OAF ke dalam rongga sinus maksilaris. Tidak jarang nanah mengalir keluar

setelah probe / sonde mencapai rongga sinus.

2.5 Sinus pada bedah dentoalveolar

Integritas atau keutuhan dinding antrum selama masa pencabutan premolar

kedua atau molar rahang atas secara tidak disadari kemungkinan mengalami

kerusakan lebih besar daripada yang diperkirakan. Lubang kecil (1 2 mm),

khususnya bila sinus dalam keadaan sehat dan membran sinus tidak mengalami

perforasi, seringkali tidak diketahui oleh penderita maupun operator. Untuk itu

dibutuhkan pemeriksaan / probing secara cermat pada daerah pencabutan rahang atas

dengan suction, lampu, penglihatan langsung yang mencukupi, dan bila dibutuhkan

irigari dengan larutan saline steril. Pada kasus lubang yang lebih besar, di mana

membran jelas mengalami kerusakan, pemberian antibiotik spektrum luas disertai

dengan dekongestan antihistamin secara sistemik dan tetes hidung, sangat

diindikasikan. Penderita diperingatkan untuk berhati hati saat bersin, batuk, ataupun

meniup hidung. Penutupan yang diperlama pada daerah operasi dengan menggunakan

tampon bedah (selama 8 12 jam), dapat meningkatkan pembentukan bekuan dan

meningkatkan kemungkinan penutupan lubang secara spontan. Jika menurut riwayat

terdapat sinusitis, ataupun berdasarkan penemuan radiograf atau adanya eksudat

19
purulen, maka kemungkinan penutupan lubang secara spontan akan berkurang. Bila

terdapat sinusitis (ostium yang rentan), maka saluran penghubung yang terbentuk

akibat trauma antara sinus dan alveolus menjadi daerah pilihan untuk drainase sekret

dibandingkan dengan ostium normal. 4

Gambar 2.11. Drainase sinus maksilaris


Sumber : http://media.tanyadokteranda.c om/images//2010/07/sinus_drainage.jpg

Bila gigi atau ujung akar atau frakmen mengalami pergeseran ke arah sinus,

maka tindakan yang dilakukan dokter gigi adalah melakukan pengambilan foto

roentgen untuk memperjelas keadaan tersebut (dengan foto periapikal dapat terlihat

adanya saluran dan gigi atau akar yang bergeser / berpindah tempat akan terlihat pada

foto oklusal atau periapikal), memberitahu penderita akan komplikasi yang timbul,

dan memberikan antibiotik yang tepat, dekongestan sistemik, tetes hidung, dan

analgesik. Perlu tidaknya daerah tersebut dijahit, tergantung pada adanya flap atau

20
luka, dan lama waktu yang diperkirakan sebelum dapat diberikan perawatan definitif.

Usaha untuk mengeluarkan gigi sebagai benda asing melalui lubang alveolar biasanya

kurang berhasil. Packing alveolus dengan Gelfoam atau bahan aloplastik lainnya

seringkali menyebabkan masuknya bahan ke dalam sinus dan dapat meningkatkan

kemungkinan gangguan infeksi. Biasanya diindikasikan untuk merujuk penderita

dengan kemungkinan komplikasi sinus pada spesialis yang berpengalaman dalam

menangani permasalahan tersebut. 4

Gambar 2.12. Gigi yang mengalami pergeseran ke dalam sinus maksilaris


Sumber : http://www.teethremoval.com/imagess/wisdom_tooth_maxillary_sinus.jpg

Pencegahannya dapat dilakukan pemeriksaan radiografis dan klinis yang

menyeluruh, pemotongan gigi yang menonjol mendekati sinus yang terkontrol,

menggunakan kekuatan yang terkontrol saat melakukan pencabutan, pengambilan

tulang yang melapisi dinding / dasar sinus harus dilakukan secara hati hati

(misalnya pada pengurangan tuberositas), dan mempertimbangkan merujuk pasien

apabila diperkirakan ada resiko penembusan sinus yang tinggi atau pada keadaan di

mana penembusan tidak terhindarkan. 4

21
BAB III

PEMBAHASAN

Tidak sedikit orang yang memiliki masalah dengan sinus maksilaris sekarang
ini. Mulai dari masalah radang pada sinus, sinusitis (baik akut maupun kronik),
adanya prognosis keganasan seperti tumor dan kista pada sinus, hingga masalah
fistula oro antral. Orang orang dengan masalah seperti ini akan sangat terganggu
kualitas dari hidup mereka. Oleh karena itu, perlu segera dilakukan tindakan untuk
mengatasi masalah masalah ini.
Membahas mengenai sinus maksilaris, sinus ini merupakan sinus terbesar dari
sinus paranasalis dan memiliki bentuk yang piramidal dan sinus ini terletak di dalam
tulang maksilaris, dengan dinding inferior orbita sebagai batas superior, dinding
lateral nasal sebagai batas medial, prosesus alveolaris maksila sebagai batas
inferior, dan fossa canine sebagai batas anterior. Sinus ini pun memiliki
volume 15ml pada orang dewasa, dimana volume ini dua kali dari volume
pada waktu lahir.
Penyakit infeksi yang sering muncul dalam masyarakat adalah sinusitis.
Sinusitis maksilaris adalah peradangan atau inflamasi yang terjadi pada mukosa sinus
maksilaris. Sinusitis maksilaris dapat terjadi dalam bentuk akut / sub akut / kronis.
Sinusitis maksilaris akut sering terjadi setelah rinitis alergik / infeksi virus pada
saluran pernapasan bagian atas. Sinusitis akut bila gejalanya berlangsung beberapa
hari sampai 4 minggu, sinusitis sub akut bila berlangsung dari 4 minggu sampai 3
bulan, dan sinusitis kronis bila berlangsung lebih dari 3 bulan. Dalam menentukan
secara pasti apakah sinusitis tersebut akut, sub akut atau kronis, harus melakukan
pemeriksaan histopatologis. Sinusitis akut bila terdapat tanda-tanda radang akut,

22
sinusitis sub akut bila tanda-tanda radang akut sudah reda, dan sinusitis kronik bila
terjadi perubahan histologis mukosa sinus yang irreversible.

Penyebab tersering dari sinusitis maksilaris adalah infeksi saluran nafas atas
karena mikrobiologi. Hanya 10% saja yang diakibatkan oleh radang pada gigi molar
atau premolar. Penyebab lain yang jarang adalah karena fraktur tulang maksila dan
tulang frontal.
Bila terdapat radang / infeksi pada sinus yang diakibatkan oleh virus,
akan menimbulkan peningkatan sekresi dan edema pada mukosa sinonasal.
Dan bila dibiarkan, virus tersebut akan memproduksi enzim yang
mengendurkan mukosa sinus dan mempercepat difusi virus pada lapisan
mukosilia. Hal ini menyebabkan silia menjadi kurang aktif dan sekret sinus menjadi
lebih kental (sekret yang lebih kental ini menjadi media yang sangat baik untuk
pertumbuhan bakteri patogen). Karena fungsi silia atau penyumbatan ostium
sinus terganggu maka sekresi ini akan mengisi sinus dan mempengaruhi
mekanisme drainase dalam sinus. Bila drainase terganggu, akan terjadi penurunan
tekanan oksigen sebagian dan proliferasi bakteri patogen.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mendiagnosa penyakit
penyakit sinus ini. Pertama, dapat dilakukan pemeriksaan klinis dari sinus.
Pemeriksaan klinis dari pasien dengan sinusitis dapat dilakukan dengan cara palpasi
secara intraoral pada maksila antara fossa kanina dengan jaringan disekitar tulang
pipi. Bila terdapat sinusitis maka akan terasa sakit apabila palpasi dilakukan. Kultur
dari sekret sinus dianggap kurang baik karena kultur yang berasal dari anterior nasal
akan menunjukkan hasil flora normal vestibulum nasi.

3.1 Penatalaksanaan penyakit sinus


3.1.1 Obat obatan
Untuk perawatan sinus maksilaris akut, obat obatan yang sesuai adalah

antibiotik spektrum luas seperti ampisilin atau sefaleksin. Bahan yang dipilih

harus efektif terhadap organisme gram positif maupun gram negatif, khususnya

23
apabila tidak didapatkan hasil kultur yang baik. Jika diketahui terdapat aspergilus

sinusitis, maka harus diberikan terapi antimikotik yang tepat, biasanya dengan

ampotericin B. Dekongestan antihistamin sistemik misalnya pseudoepinephrine,

dan tetes hidung seperti phenypeprine akan sangat berguna pada fase dini dari

perawatan. Jika terdapat keadaan alergi yang mendasari kondisi tersebut, maka

pemberian bahan antialergi kadang sangat membantu. Untuk menghilangkan atau

menyembuhkan gejala yang timbul, dapat diberikan kompres panas pada muka

dan analgesik. Bila penyembuhannya lambat, lebih dari sepuluh hari,

kemungkinan dibutuhkan irigasi antrum melalui fossa canina. Selain terapi yang

tepat untuk kondisi akut, sinusitis kronis kemungkinan membutuhkan

pembedahan untuk mendapatkan ostium (lubang) sinus yang baru. Hal ini dapat

diperoleh melalui prosedur nasoantrostomi yang bertujuan untuk membuat

jendela nasoantral pada meatus nasalis inferior. 2,4


Medikamentosa 12,15
Antibiotika golongan penisilin seperti Ampisilin 4x500mg, Amoksisilin

3x500mg, Eritromisin 4x500mg, Kotrimoksasol 2x1tablet, dan Doksisiklin

2x100mg/hari.
Vasokonstriktor lokal dan dekongestan lokal untuk memperlancar drainase

sinus sepeti Solusio efedrin 1-2% tetes hidung, Solusio Oksimetasolin HCl 0,05%

semprot hidung (untuk anak-anak memakai 0,025%), dan Tablet pseudoefedrin

3x60mg (dewasa).
Analgetika untuk menghilangkan rasa nyeri seperti Parasetamol 3x500mg

dan Metampiron 3x500mg.

3.1.2 Infeksi gigi

24
Bila penyebab dari sinusitis adalah infeksi gigi, maka penatalaksanaannya

meliputi perawatan pada sumber absesnya. Perawatan ini terdiri atas terapi

antibiotik yang disertai dengan insisi dan drainase bila diindikasikan, dan terapi

lanjutan yang meliputi perawatan endodontik atau pencabutan gigi penyebab. 2,4
3.1.3 Prosedur Caldwell Luc
Prosedur Caldwel Luc juga dikenal sebagai operasi antrum yang radikal

dimana prosedur ini dilakukan untuk perawatan dari sinusitis maksilaris yang

kronis yaitu suatu kondisi dimana terdapat obstruksi dan inflamasi dari sinus

maksilaris. Prosedur Caldwell Luc (sinusitomi) digunakan untuk membuat jalan

masuk peroral ke sinus maksilaris melalui fossa canina.4,30

Gambar 3.1. Gambaran hasil prosedur Caldwell Luc


Sumber : http://www.exodontia.info/files/ Caldwell-Luc_Approaches_to_the_Maxillary_
Sinus.jpg
Lesi jinak pada antrum yang berasal dari epitel pelapis atau yang berasal

dari gigi (odontogen) atau penyebab lainnya, dieksisi atau dienukleasi melalui

jalur ini. Untuk mengambil benda asing ataupun untuk pemeriksaan dan

perawatan dinding orbita dan fraktur tertentu pada zygomaticomaksilaris juga

25
digunakan jalur yang sama. Operasi pada sinus dapat dilakukan dengan anestesi

umum ataupun anestesi lokal (yang ideal adalah dengan blok maksila pada nervus

V2 divisi kedua). 4,30


Prosedur diawali dengan membuat insisi bulan sabit 2 3 mm di atas

pertemuan mukosa bergerak dan tidak bergerak. Kemudian flap mukoperiosteal

diangkat ke arah postero superior hingga terlihat foramen infraorbitale.

Selanjutnya dibuat lubang dengan bur, sebagai pembukaan awal yang terletak

sedikitnya 4 5 mm di atas apeks akar yang terdekat. Besar lubang masuk ini

diperbesar dengan menggunakan reverse biting bone forceps. Bila diperlukan,

dapat dibuat pembukaan yang relatif lebar dengan tanpa merusakkan struktur di

dekatnnya (diameter 1 cm). Penerangan yang sangat penting artinya untuk

penglihatan, dapat diperoleh dengan menggunakan head lamp (lampu kepala) atau

probe fiberoptik. Setelah pengambilan lesi, sinus diirigari dengan larutan saline

steril dan kemudian diperiksa. 4,30

Gambar 3.2. Prosedur Caldwell Luc


Sumber : http://img.medscape.com/fullsize/migrated/405/713/nf1005.03.fig2.gif

26
Jika packing diindikasikan, digunakan plester kasa bedah dengan lebar -

inci yang diisi dengan salep antibiotik (bacitracin). Packing dimasukkan

melalui jendela nasoantral yang dibuat di bagian meatus nasalis inferior dengan

suatu trochal nasal. Flap ditutup dengan jahitan kontinu menggunakan benang

chromic 3-0. Jika digunakan benang yang tidak dapat diabsorbsi, maka benang

tersebut harus dilepas setelah 5 7 hari. Jika packing Caldwell Luc digunakan

untuk menyangga fraktur dasar orbita, maka pengambilannya ditunda hingga 7

10 hari. Pack yang dipasang untuk menahan perdarahan ke dalam sinus biasanya

dikeluarkan pada hari keempat atau hari kelima. Terkadang pack sinus ini

dikeluarkan melalui lubang hidung. Pengeluarannya akan lebih menyenangkan

bagi pasien bila dilakukan di bawah anestesi lokal atau sedasi (penenang), atau

keduanya. Irigasi sinus setelah pengambilan packing dapat dilakukan melalui

lubang hidung. 4

3.1.4 Hemimaksilektomi
Lesi jinak yang merusak maupun lesi ganas yang invasif, yang melibatkan

sinus maksilaris dan struktur yang berdekatan di atasi dengan hemimaksilotomi

yang telah dimodifikasi. Jika lesi yang dieksisi bersifat jinak namun meluas, maka

dilakukan perbaikan secara langsung dengan cara graft tulang autologus dan flap

transfer mukosa atau fraft kulit. Pada kasus keganasan dengan nodus cervicalis

masih teraba, dilakukan pemotongan radikal dari limfonodus leher bersama

sama dengan pembedahan maksila. 4

3.1.5 Prognosis keganasan


Bila perluasan karsinoma yang utamanya ke arah sinus maksilaris juga

melibatkan orbita, sinus ethmoidalis, atau fossa pterygoidea, maka prosedur yang

27
paling radikal pun biasanya tidak dapat mengatasinya. Lesi ganas pada sinus

maksilaris cenderung bersifat radiosensitif, sehingga biasanya sering digunakan

radiasi (penyinaran) eksternal atau interstisial, yang sering dikombinasikan

dengan pembedahan. Walaupun demikian, sangat dekatnya letak mata denga

dasar otak dengan sinus ini, membatasi penggunaan teknik radioterapi. Baik

apakah dilakukan pengobatan dengan pembedahan, radioterapi, ataupun

kombinasi antara keduanya, penyebab utama dari kegagalan pengobatan tersebut

adalah terjadinya kekambuhan lokal dari tumor, dalam jangka waktu 2 tahun. 4
3.1.6 Trauma
Cedera yang mengenai sinus maksilaris merupakan keadaan yang sangat

sering didapatkan pada fraktur wajah bagian tengah. Tanda tanda radiograf yang

umum didapatkan adalah opasifikasi akibat perdarahan ke dalam sinus dan fraktur

(cacat bertingkat) dinding lateral. Tanda tanda ini bila berdiri sendiri bukan

merupakan tanda tanda atau indikasi keterlibatan sinus. Sebaliknya, bila tidak

ada tanda tanda keterlibatan sinus lainnya, seperti fraktur dasar orbita atau

keduanya, maka lapisan sinus biasanya tidak terganggu. Penatalaksanaan secara

konservatif dengan menggunakan dekongestan sistemik, tetes hidung, dan

antibiotik, bila diindikasikan, akan meningkatkan pembersihan sinus secara

normal, yang biasanya berlangsung antara 10 14 hari. 4

3.2 Penutupan fistula oroantral secara bedah


Keberhasilan penutupan lubang oroantral dengan cara pembedahan tergantung

pada pengontrolan infeksi sinus, pengambilan jaringan sinus yang berpenyakit, dan

drainase nasal yang memadai. Terlepas dari teknik penutupan yang digunakan,

prosedur atau usaha ini akan gagal apabila persyaratan yang dibutuhkan tidak

28
dipenuhi. Infeksi sinus harus dikontrol sebelum pembedahan melalui pemberian

antibiotik spektrum luas (ampicilin), dekongestan sistemik, dan tetes hidung. Jaringan

sinus yang berpenyakit dihilangkan melalui pembuatan jendela nasoantral pada

meatus nasalis inferior. Penutupan lubang dilakukan dengan pemindahan flap

mukoperiosteal bukal ke arah oklusal atau palatal melalui daerah operasi dan

menjahitnya pada mukosa palatal yang mengalami deepitelisasi ataupun mukosa yang

diangkat. Pada daerah tak bergigi, desain flap dimodifikasi untuk mengurangi

hilangnya kedalaman vestibulum dengan cara mengeksisi perlekatan otot. 2,4

Umumnya dikenal dua macam teknik pembedahan untuk OAF : 28


1. Metode buccal flap, yaitu relatif mudah dan mempunyai angka keberhasilan

lebih dari 90%. Biasanya metode ini dipakai untuk penutupan OAF yang

relatif kecil.
Dibuat suatu flap mukoperiosteal bukal dengan insisi pembebas

anterior dan posterior berbentuk miring. Flap dibuka ke superior, seringkali

mencapai lekukan maksila (dasar zygoma), dan periosteum diinsisi dengan

arah sagital tepat di bawah perlekatan tertinggi. Insisi periosteal arah postero

anterior ini memungkinkan perpindahan flap secara langsung. Saluran fistula

dieksisi menyeluruh. Dilakukan pembuatan flap mukoperiosteal lingual

dengan desain sampul (envelope) yang tidak dibebaskan. Tepi lubang pada

tulang dihaluskan dan kadang dikurangi ketinggiannya. Flap bukal ditarik

menutupi lubang dan dijahit ke mukosa palatal dengan jahitan secara kontinu

atau terputus, untuk menghasilkan tonjolan keluar dan penutupan jaringan

yang luas. 4

29
Gambar 3.3. Prosedur penutupan fistula oroantral menggunakan flap bukal
Sumber : http://www.exodontia.info/files/Closure_of_OAF_with_buccal_pedi
cled_flap1.jpg

Alternatif lain, jika mobilisasi sudah cukup, flap bukal dapat

ditutupkan pada daerah resipien yang tak berepitel pada mukosa palatal atau

tepi flap yang tak berepitel dapat disisipkan di bawah flap palatal. Insisi

pembebas ditutup dengan jahitan bersambung dan seluruh daerah operasi

diperiksa. Tarikan atau tegangan jaringan dan penjahitan yang berlebihan

harus dihindari, karena dapat menyebabkan nekrosis jaringan akibat

terganggunya atau berkurangnya suplai darah pada daerah tersebut. Untuk

mengontrol perdarahan dan edema pasca bedah dapat diberikan pembalut

30
tekanan atau kompres dingin. Jika digunakan packing Caldwell Luc, maka

cara pemakaiannya sama seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. 4

Gambar 3.4. Pengaplikasian flap bukal pada penutupan fistula oroantral


Sumber : http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:R6ZjPszrF
ZcJ:www.ghorayeb.com/OroantralFistula.html+penutupan+fistula+oroantral&cd=2&
hl=en&ct=clnk

2. Metode palatal flap, yang pertama kali diperkenalkan oleh Ashley pada tahun

1939. Suatu flap palatal yang relatif besar dan panjang, dan mengandung A.

Palatinus Mayor, digeser ke arah lateral untuk menutup OAF. Biasanya teknik

ini untuk menutup OAF yang diameternya lebih besar dari 1 cm.
Alternatif lain untuk penanganan dari bukal adalah pembuatan flap

palatal dengan dasar pada posterior sehingga mengandung a.palatina lebih

banyak. Flap ini kemudian dibalik atau diputar ke arah bukal untuk menutup

cacat. Pada teknik palatal ini, vestibulum tidak dilibatkan kecuali apabila

memang dibutuhkan untuk melakukan prosedur Caldwell Luc pada saat

yang bersamaan, di mana dalam prosedur ini dibutuhkan pembuatan flap

bukal. 4,29
A. Diagram palatal dengan fistula dan outline dari arteri palatal anterior
B. Insisi untuk membuat flap palatal. Tandai dengan irisan kecil dari jaringan
yang dikeluarkan pada sisi distolingual dari fistula untuk dapat melakukan
rotasi flap.
C. Flap dirotasi dan dijahit pada posisinya. Terdapat sedikit masalah pada
tonjolan distal.
D. Kerusakan bagian palatal diisi dengan cement pack untuk dapat sembuh
tanpa merasa kesakitan.

31
Catatan : Ketika flap palatal dibuat maka arteri palatina akan berada di dalam
flap pedikel, sehingga dapat menjamin suplai darah yang baik dari dasar flap.

Gambar 3.5. Prosedur penutupan fistula oroantral menggunakan flap palatal


Sumber : http://www.exodontia.info/files/Closure_of_OAF_with_palatal_ flap.jpg

Gambar 3.6. Beberapa tipe dari flap palatal. (A) Palatal mucosal flap. (B) Palatal
mucosal island flap. (C) Palatal submucosal flap. (D) Palatal submucosal island flap.
Sumber : P.J.Leopard. The British Journal Of Oral And Maxillofacial Surgery. Vol. 23,
No.4. 1985. p.259.

Modifikasi lain yang dapat digunakan untuk daerah tak bergigi adalah

penutupan dengan cara membuat satu bridge flap. Pada teknik ini, dibuat satu

flap pedikel ganda dengan lebar secukupnya (1 1,5 cm) dengan dasar pada

palatal atau bukal, yang kemudian diangkat dan dipindahkan ke arah posterior

/ anterior untuk menutupi cacat. Walaupun bridge flap ini tidak terlalu

mengubah sulkus bukal, namun daerah donor dibiarkan terbuka agak terjadi

penyembuhan melalui pembentukan jaringan granulasi dan epitelisasi

kembali. 4,29

BAB IV

KESIMPULAN

32
Sinus maksilaris merupakan satu satunya sinus yang rutin ditemukan pada
saat lahir. Sinus maksilaris terletak di dalam tulang maksilaris, dengan dinding
inferior orbita sebagai batas superior, dinding lateral nasal sebagai batas
medial, prosesus alveolaris maksila sebagai batas inferior, dan fossa canine
sebagai batas anterior. Volume sinus dewasa pada usia 18 tahun adalah 15 ml,
hampir dua kali dari volume waktu lahir.
Pemeriksaan klinis dari pasien dengan sinusitis dapat dilakukan dengan cara
palpasi secara intraoral pada maksila antara fossa kanina dengan jaringan disekitar
tulang pipi. Bila terdapat sinusitis maka akan terasa sakit apabila palpasi dilakukan.
Evaluasi radiografi dari sinus paling bagus diperoleh dengan proyeksi Waters
dengan muka menghadap ke bawah dan proyeksi Waters dengan modifikasi tegak.
Gambaran yang sering didapat pada sinusitis akut adalah opasifikasi sinus
(berkurangnya pneumatisasi) dan batas udara atau cairan (air fluid level) yang
khas akibat akumulasi pus. Sinusitis kronis seringkali digambarkan dengan adanya
penebalan membran pelapis. Dalam mendiagnosis trauma pada sinus, penggunaan
foto panoramik, Waters, oklusal, dan periapikal maupun tomografi konvensional,
serta penelitian dengan CT sangat membantu.
Penatalaksanaan penyakit sinus terbagi atas beberapa, yaitu dengan
menggunakan obat obatan, perawatan sinus akibat infeksi gigi, prosedur Caldwell
Luc, hemimaksilektomi, perawatan trauma sinus, dan penutupan fistula oroantral.
Untuk perawatan sinus maksilaris akut, obat obatan yang sesuai adalah antibiotik
spektrum luas seperti ampisilin atau sefaleksin. Bila penyebab dari sinusitis adalah
infeksi gigi, maka penatalaksanaannya meliputi perawatan pada sumber absesnya.
Prosedur Caldwel Luc juga dikenal sebagai operasi antrum yang radikal dimana
prosedur ini dilakukan untuk perawatan dari sinusitis maksilaris yang kronis yaitu
suatu kondisi dimana terdapat obstruksi dan inflamasi dari sinus maksilaris.
Prosedur Caldwell Luc (sinusitomi) digunakan untuk membuat jalan masuk
peroral ke sinus maksilaris melalui fossa canina. Operasi penutupan fistula
oroantral umumnya menggunakan dua macam teknik pembedahan, yaitu metode
buccal flap dan metode palatal flap.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Higler PA. Nose: Applied Anatomy dan Physiology. In: Adams GL,
Boies LR, Higler PA, editors. Boies Fundamentals of
Otolaryngology. 6 th ed.

34
2. Larry J.Peterson. Contemporary Oral And Maxillofacial Surgery. 4 th
ed. Mosby. St Louis. 2003. p.417 433.
3. Patel AM, Vaughan WC. Chronic Maxillary Sinusitis Surgical
Treatment. May 19, 2005. Available from:
http://www.emedicine.com . Accessed 10 November 2010
4. Gordon W Pedersen. Oral Surgery. 1st ed. W.B.Saunders Company.
Philadelphia. 1996. p. 265 277.
5. Sinusitis. Available from : http://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:Wp3jifZZp6sJ:www.geocities.ws/koskap3sakti/referat/RSUPFat
mawati/referat-tht-RSUP-
Fatmawati.doc+sinus+maxillaris+merupakan&cd=12&hl=en&ct=clnk.
Accessed on 10 November 2010.
6. Sinus Maksilaris. Available from : www.wikipedia.co.id. Accessed on : 10
November 2010.
7. Johnson Jonas T, Ferguson Berylin J. Paranasal Sinuses. in: Cummings CW,
Frederickson JM, Harker LA, Krause CJ, Richardson M, editors.
Otolaryngology-Head and Neck Surgery. Mosby, St Luois-Missouri, 1998,
p 1059-1118.
8. Handley John G, Tobin Evan, Tagge bryan. The Nose and Paranasal Sinuses.
in: Rakel Robert E, editors. Textbook of family practice 6th editions. WB
Saunders Company, Philadelphia, 2001, p 446-453.
9. Mangunkusumo Endang, Rifki nusjirwan. Sinusitis. in: Soepardi Efiaty A,
Iskandar Nurbaiti, editor. Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok edisi 4. Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2000, p 121-125.
10. Shames Richard S, Kishiyama Jeffrey L. Disorders of The Immune System.
in: McPhee Stephen J, Lingappa Vishwanath R, Ganong William F,
editors. Pathophysiology of Disease: An Introduction to Clinical Medicine
4th editions. Mc Graw Hill, Philadelphia, 2003, p 31-57.
11. Soetjipto Damayanti. Patogenesis, Diagnosis dan Penatalaksanaan Medik
Sinusitis. disampaikan dalam: Simposium Penatalaksanaan Otitis Media
Supuratifa Kronik, Sinusitis, dan Demo Operasi timpanoplasti 22-23
Maret 2003, Denpasar, Bali.
12. Andik Sunaryanto. Sinusitis Maksilaris. Available from :
http://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:byZdaVkdJT0J:andikunud.files.wordpress.com/2010/08/sinusitis
-maksilaris.docx+sinus+maksilaris+pendahuluan&cd=1&hl=en&ct=clnk.
Accessed on : 12 November 2010.
13. Suardana W, et al. Rhinologi. in: Suardana W, Bakta M, editor. Pedoman
Diagnosis dan Terapi. Komite Medik RSUP Sanglah, Denpasar, 2000.
14. Van David C. ENT Emergencies Disorders of The Ear, Nose, Sinuses,
Oropharynx, & Mouth. in: Stone C, Humprhries R, editors. Current
Emergency diagnosis and treatment 4th editions (Lange current series). Mc
Graw Hill, Philadelphia, 2004, p 348-350.
15. Rubin MA, Gonzales R, Sande MA. Infections of the Upper
Respiratory Tract. In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser

35
SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrisons Principle of
Internal Medicine. 16th ed. New York, NY: McGraw Hill; 2005. p.
185-93
16. Bajracharya H, Hinthorn D. Sinusitis. January 16, 2003. Available
from: http://www.emedicine.com . Accessed 10 November 2010
17. Daum RS. Haemophilus Influenzae. In: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, editors. Nelson Textbook of Pediatrics. 17th ed.
Philadelphia, PA: Saunders; 2004. p. 904-8
18. Pappas DE, Hendley JO. Sinusitis. In: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, editors. Nelson Textbook of Pediatrics. 17th ed.
Philadelphia, PA: Saunders; 2004. p. 1391-3
19. Musher DM. Pneumococcal Infection. In: Kasper DL, Braunwald E,
Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrisons
Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York, NY: McGraw
Hill; 2005. p. 806-14
20. Musher DM. Moraxella Catarrhalis and Other Moraxella Species.. In:
Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL,
Jameson JL, editors. Harrisons Principle of Internal Medicine.
16th ed. New York, NY: McGraw Hill; 2005. p. 862-3
21. Murphy TF. Haemophilus infection. In: Kasper DL, Braunwald E,
Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrisons
Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York, NY: McGraw
Hill; 2005. p. 185-93
22. American Academy Of Pediatrics Subcommittee on Management of
Sinusitis and Committee on Quality Improvement. Clinical Practice
Guideline: Management of Sinusitis. Pediatrics 2001 Sep;
108(3):798-808
23. Sobol SE, Schloss MD, Tewfik TL. Acute Sinusitis Medical
Treatment. August 8, 2005. Available from:
http://www.emedicine.com . Accessed 10 November, 2010
24. Higler PA. Paranasal Sinuses Diseases. In: Adams GL, Boies LR,
Higler PA, editors. Boies Fundamentals of Otolaryngology. 6th ed.
Philadelphia, PA: WB Saunders Company; 1989. p.240-62
25. Dandy Chandra. Sinusitis Maksilaris. Available from :
http://www.scribd.com/doc/38951685/Sinusitis-Maksilaris2 .
Accessed on : 15 November 2010.
26. Killey, H.C. & Kay L.W. : The maxillary sinus and its dental implications.
John Wright & Sons Ltd. Bristol. 1975. p 40 70, 143 148.
27. Skoglund, L.A. et al. : Surgical management of 85 perforations to the
maxillary sinus. Int. J. Oral Surg. 12 : 1 5. 1983.
28. Soedarmadi, Nurdin Taim, Soelistiono, dkk. Majalah PABMI (Journal of the
Indonesian Oral Surgeon Association) NO.2. Jakarta. 1997. hal : 66 69.
29. P.J.Leopard. The British Journal Of Oral And Maxillofacial Surgery.
Vol. 23, No.4. 1985. p.260-61.

36
30. What Is The Caldwell Luc Procedure. Available from :
http://www.wisegeek.com/what-is-the-caldwell-luc-procedure.htm .
Accessed on 1 December 2010.

37

Anda mungkin juga menyukai