2014/2015
PENDAHULUAN: PENJABARAN IDEALITA TEORITIK
PENDIDIKAN KARAKTER DAN ORGANISASI KEMAHASISWAAN
Berkaca pada kondisi yang telah dipaparkan di atas terkait kondisi sistem pendidikan yang
telah dijalankan, maka aspek pengembangan karakter adalah salah satu hal yang perlu
diperhatikan untuk dilengkapi pada sistem pendidikan di Indonesia tidak terkecuali di jenjang
perguruan tinggi. Kemahasiswaan sebagai salah satu aspek pelengkap pelaksanaan pendidikan
bagi mahasiswa di perguruan tinggi tentu sudah semestinya melaksanakan analisis yang lebih
jauh untuk cita-cita pewujudan sarjana yang cakap dengan diawali dari pendidikan yang utuh.
Namun berbicara tentang pendidikan karakter tidaklah semudah yang dibayangkan walaupun
kian banyak menjamur lembaga-lembaga yang menjanjikan pendidikan, pengembangan,
ataupun modifikasi karakter lainnya. Menurut salah satu ahli psikologi pendidikan Lee J.
Cronbach dalam bukunya menyatakan bahwa karakter adalah kesatuan akumulasi antara
kepercayaan, perasaan, dan tindakan yang saling terintegrasi dan terstruktur sehingga untuk
melakukan perubahan pada karakter berarti melakukan upaya melakukan pengaturan kembali
seluruh aspek yang telah terintegrasi sebelumnya.
Akumulasi dari seluruh kepercayaan, perasaan, dan tindakan inilah yang kemudian diperjelas
pada sebuah penelitian terkait pengembangan karakter dimana dinyatakan bahwa karakter
seseorang setidaknya dipengaruhi dari beberapa aspek antara lain:
1. Internal yakni aspek yang berasal dari genetis dimana pengaruh faktor keturunan dapat
mempengaruhi karakter dari seseorang.
2. Eksternal yakni aspek yang berasal dari luar personal seseorang yang kemudian
mempengaruhi karakter seperti norma, peraturan, dan kepercayaan setempat.
3. Interaksi yakni aspek yang mempengaruhi karakter seseorang akibar internaksinya
dengan sosial masyarakat dan lingkungan pribadinya
4. Personalitas yakni aspek akumulasi dari aspek-aspek sebelumnya yakni aspek yang
terkait dengan bagaimana seseorang kemudian memberikan respon atas informasi yang
diterima dan kemudian mempengaruhi sikap serta berujung pada karakter.
Seperti halnya karakter itu sendiri, aspek-aspek yang mempengaruhi bagaimana terbentuknya
karakter juga kemudian saling terintegrasi dan mempengaruhi yang kemudian terakumulasi
seiring berjalannya waktu dan membentuk karakter seseorang.
Pengembangan karakter yang baik tentu saja belum cukup untuk menunjang pembangunan
bangsa. Skill atau kemampuan juga merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan dalam
pendidikan seorang kader sebagai investasi menuju pembangunan bangsa. Sebuah penelitian di
Amerika Serikat menyatakan bahwa pendidikan yang didominasi oleh aspek kognitif
merupakan pendidikan yang ternyata hanya sesuai untuk mereka dengan kualifikasi potensi
akademik tinggi (IQ>120) dan ternyata hanya berjumlah kurang dari 15% dari populasi
penduduk. Sistem pendidikan ini adalah sistem yang kemudian akan mencetak ilmuan dan para
pemikir namun kurang di kemampuan aplikasi yang lebih kongkrit.
Pendidikan aplikasi dan beberapa kemampuan penunjang kemampuan kognitif yang dirasa
kurang tentu juga harus dilengkapi oleh sistem pendidikan di Indonesia demi menghasilkan
generasi yang cakap dan terampil serta memiliki kemampuan kerja yang mumpuni. Aspek ini
juga tentunya masih belum optimal dikembangkan di kehidupan pendidikan salah satunya
perguruan tinggi. Berdasarkan hal tersebut, sudah tentu pengembangan kemahasiswaan harus
juga kemudian meninjau aspek ini selain sebelumnya telah meninjau aspek pengembangan
karakter mengingat mimpi kemahasiswaan sebagai media yang turut serta mengusahakan
pendidikan mahasiswa menuju penciptaan sarjana yang utuh.
Mengingat penjabaran konstitusional yang diacu sebagai landasan gerak misi yang diemban
oleh kemahasiswaan yang kemudian dibenturkan dengan kebutuhan yang juga telah dijabarkan
pada subbab sebelumnya tentu menghadirkan suatu fokus tersendiri untuk pergerakan
kemahasiswaan dalam rangka pendidikan mahasiswa. Peningkatan skill dan penjaminan
karakter adalah dua aspek besar cita-cita pendidikan yang sangat mendasar untuk ditanamkan
pada seorang kader. Pemenuhan kebutuhan ini tentu kemudian membutuhkan sinergi dari
seluruh elemen pendidikan yang salah satu diataranya untuk perguruan tinggi adalah aspek
kemahasiswaan. Berdasarkan sistem pendidikan yang berkembang di Indonesia, kebutuhan
optimalisasi pendidikan karakter, pengembangan kemampuan aplikasi, dan penanaman skill
penunjang kognitif adalah pekerjaan rumah yang menjadi peluang untuk dipenuhi melalui
bantuan rangkaian kegiatan kemahasiswaan yang terstrutur dan terintegrasi.
Proses pendidikan yang dijalankan oleh kemahasiswaan yang merupakan upaya mandiri
kemudian akan lebih berujung kepada proses kaderisasi. Banyak khalayak menyatakan bahwa
proses kaderisasi adalah proses pendidikan itu sendiri. Namun nampaknya pengaitan secara
utuh kaderisasi dan pendidikan dirasa terlalu luas dari segi ruang lingkup. Dalam KBBI
dinyatakan bahwa secara umum kaderisasi adalah proses pembentukan seorang kader, dan
kader adalah seseorang yang diharapkan memegang tanggungjawab. Sehingga secara tekstual
kaderisasi diartikan sebagai proses pendidikan yang dilakukan dalam rangka regenerasi. Hal ini
tentu sesuai dengan proses pendidikan di keluarga, sekolah, kampus, dan juga kemahasiswaan
ataupun organisasi lain adalah sebuah kaderisasi mengingat adanya maksud untuk terjadinya
regenerasi.
Kaderisasi sebagai proses pendidikan dalam aspek kemahasiswaan apabila ditinjau sebagai
metode pemenuhan kebutuhan pendidikan pada dasarnya hanya dapat melakukan intervensi
pada beberapa aspek sebagai berikut:
1. Aspek pengembangan karakter melalui aspek eksternal dengan mengembangkan kultur
kehidupan berkemahasiswaan dalam rangka pembentukan karakter
2. Aspek pengembangan karakter melalui aspek interakasi dengan memastikan pola
hubungan antar anggota dalam kegiatan kemahasiswaan
3. Aspek pendidikan kemampuan aplikasi melalui pendalaman terapan baik ilmu yang
bekaitan langsung dengan keprofesian ataupun penunjang keilmuan
4. Aspek pendidikan softskill dan bakat melalui pembiasaan ataupun pendidikan langsung
terkait kemampuan personal yang dapat membantu penerapan ilmu kognitif
Berdasarkan empat hal yang secara umum adalah aspek yang paling memungkinkan untuk
dilakukan intervensi pada seorang kader, tentu diperlukan suatu mekanisme terstruktur untuk
menjawab implementasi intervensi yang bisa dilakukan. Mengingat salah satu quotes John
Dewey bahwa pendidikan adalah kehidupan, maka konsistensi proses pendidikan juga harus
berjalan seumur hidup. Menimbang kaderisasi dalam kemahasiswaan sebagai pendidikan
mandiri oleh dari dan untuk mahasiswa, maka turunlah sebuah proses kaderisasi yang cukup
ideal untuk dilakukan pada kemahasiswaan yang menuntut peran dari setiap jenjang yakni
dengan melibatkan proses sebagai berikut:
1. Proses memberi contoh dimana pengkader seutuhnya menunjukkan suatu
nilai/kemampuan/cara kepada peserta kader untuk diamati dan diterima oleh peserta.
2. Proses membimbing dimana pengkader dan peserta kader melaksanakan
nilai/kemampuan/cara secara bersama-sama melalui interaksi intensif
3. Proses melibatkan langsung dimana pengkader mulai melepas peserta untuk
menerapkan nilai/kemampuan/cara secara mandiri
Ketiga proses di atas adalah suatu proses yang saling berkesinambungan dan haruslah berjalan
terintegrasi dengan baik sehingga menghasilkan output yang utuh. Namun kembali lagi perlu
kita ingat bahwa pendidikan karakter adalah upaya yang tidak mudah untuk dilakukan,
sehingga dapat dikatakan bahwa kaderisasi di kemahasiswaan hanya ibarat melakukan
modifikasi penyesuaian dan penambahan nilai pada seorang kader yang bahkan
keberterimaannya sangat bergantung kepada bagaimana karakter dasar kader yang telah
terbentuk sebelumnya. Ibarat menulis di atas kertas, sangat mudah menulis di kertas yang
kosong dibandingkan dengan menambah bahkan satu kata dalam rangkaian kalimat yang sudah
tertulis di atas kertas.
Tentunya dalam menjalankan fungsi pembantu dalam melaksanakan pendidikan yang efektif,
efisien, dan optimal, pendidikan itu sendiri tidak dapat diwujudkan sebagai hal tunggal,
Diperlukan pemenuhan kebutuhan dasar sebagai prasyarat sebelum kader akhirnya dapat
terdidik serta ditambah dengan percobaan implementasi ilmu sebagai media pendalaman
pendidikan yang telah diperoleh. Maka dari hal tersebut, setidaknya dapat dirumuskan
beberapa tujuan utama dari organisasi kemahasiswaan yaitu:
1. Turut serta membantu memenuhi kebutuhan dasar mahasiswa sebagai prasyarat
dalam pelaksanaan pendidikan
2. Turut serta berperan dalam mewujudkan tujuan pendidikan yang diamanahkan oleh
konstitusi kepada lembaga pendidikan
3. Turut serta mewujudkan aktualisasi mahasiswa secara mandiri dalam peran menata
kehidupan bermasyarakat
Berdasarkan ketiga hal tersebutlah diharapkan organisasi kemahasiswaan kemudian dapat
menjadi instrumen utuh yang dapat dimanfaatkan sesuai porsinya untuk mahasiswa
mengembangkan diri. Melalui pendidikan yang akan menjawab kebutuhan pengembangan
karakter dan kemampuan penunjang kognitif melalui proses kaderisasi juga diharapkan cita-
cita untuk melengkapi kemampuan seorang kader sebelum menjadi sarjana yang utuh juga
dapat diwujudkan secara bersama.
Mengingat kembali kepada kemahasiswaan yang diwujudkan adalah suatu bentuk kemandirian
dari, oleh, dan untuk mahasiswa, maka partisipasi mahasiswa tentu adalah hal yang lebih
mendasar untuk dipenuhi, Secara sederhana tantangan dan peluang justru ada pada partisipasi
anggota mengingat kemahasiswaan kita adalah kemahasiswaan yang berkegiatan. Tanpa
adanya aktivitas, tidak akan ada proses kaderisasi, yang berujung kepada tidak adanya
pendidikan karena hilangnya transfer nilai, Maka dari itu, analisis dalam optimalisasi partisipasi
massa sangat mendesak untuk dilakukan demi menjadikan pendidikan yang diidamkan dapat
berjalan dengan efektif, efisien, dan optimal,
REALITA: PENJABARAN ANALISIS KONDISI KEMAHASISWAAN
PELUANG DAN TANTANGAN DALAM IMPLEMENTASI SISTEM KEMAHASISWAAN
Setelah melakukan penjabaran mendalam terkait analisis kondisi sistem pendidikan yang
dikembangkan di Indonesia, beberapa kebutuhan untuk pelengkapan kualitas kader mulai
bermunculan. Analisis tersebut berujung kepada diperlukan mekanisme khusus yang
dilaksanakan secara mandiri oleh mahasiswa untuk menjawab sendiri kebutuhan pendidikan
melalui sistem terstruktur yang kemudian kita sebut sebagai kemahasiswaan. Kemahasiswaan
kemudian diimplementasikan dalam rangkaian kegiatan yang dikemas dalam mekanisme
proses kaderisasi dan dilembagakan dalam organisasi kemahasiswaan.
Pembatasan masa studi yang didesain dengan rentang yang kian menyempit ini dan
dalam beban kuliah yang masih sama dan cenderung meningkat tentunya akan
mengurangi keleluasaan seorang kader dalam menjalani pendidikannya. Masa toleransi
yang diberikan hanya tambahan 1 tahun tentu adalah suatu tantangan tinggi yang
dikhawatirkan berujung kepada keengganan seorang kader untuk mengambil resiko
aktivitas di luar kehidupan akademik. Hal ini juga menjadi isu yang makin beresiko
mengingat ITB menerapkan masa TPB selama 1 tahun yang pada akhirnya akan
meningkatkan beban kerja seorang mahasiswa dalam menjalani pendidikan sarjana.
Peningkatan beban kerja akademik yang tinggi akan semakin memperkuat keengganan
mahasiswa dalam mengambil aktivitas ataupun mencoba kegiatan lain di luar kegiatan
akademik utama yang tentu akan salah satunya juga mengurangi partisipasi kader
dalam kegiatan kemahasiswaan. Tanpa adanya ataupun berkurangnya partisipasi dalam
kegiatan kemahasiswaan tentu akan mengurangi efektivitas pendidikan yang dicita-
citakan diterima oleh kader mahasiswa ITB termasuk kematian peran dan aktualisasi
kemandirian yang dapat dilakukan mahasiswa ITB diluar kehidupan akademik.
Berdasarkan gambaran yang dijabarkan oleh rencana pengembangan kampus ITB dan
kemudian dilengkapi oleh program-program strategis rektorat ITB, dapat disimpulkan
bahwa arah pengembangan ITB adalah sebagai kampus yang mengedepankan riset
untuk dioptimalkan dalam pengabdian masyarakat dalam rangka peran serta
membangun bangsa. Arah pergerakan pengembangan kampus ini apabila ditinjau dari
rancangan program yang belakangan ini diterjemahkan pada pemilihan rektor ITB
periode 2015-2020 secara teknis berfokus pada pengembangan ITB di aspek lingkungan
akademik dan perbaikan manajemen organisasi ITB. Mahasiswa ITB akan cenderung
diarahkan untuk kemudian menjalankan peningkatan layanan akademik demi kemudian
salah satunya dapat turut serta mengembangkan jumlah riset pengembangan teknologi
yang juga ditargetkan meningkat secara jumlah.
Pengembangan kampus berbasis riset pada akhirnya tentu juga akan difokuskan kepada
pemanfaatan hasil riset dalam peningkatan martabat bangsa melalui peningkatan
kualitas hidup masyarakat. Sehingga dapat disimpulkan secara umum pendidikan ITB
masa depan akan digerakkan kepada pengembangan keilmuan untuk terapan praktis
sesuai sektor masing-masing dalam rangka pengabdian masyarakat. Arah kebijakan dan
gerakan ITB ini kemudian harus ditanggapi bijak seutuhnya oleh penggerak
kemahasiswaan baik sebagai tantangan ataupun peluang untuk optimalisasi kegiatan
yang sinergis dan konstruktif dengan pihak regulator kampus.
Tinjauan pada kondisi kader terutama mahasiswa ITB akan lebih baik apabila dimulai
dari kondisi kehidupan akademik yang berlaku di ITB. Sebuah penelitiaan yang
dilakukan oleh University of Oulu di Finlandia menjelaskan terkait relasi antar beban
akademik dan pola kebiasaan peserta didik. Dalam dokumen yang dipublikasikan untuk
mendukung sistem pendidikan di negara tersebut dinyatakan bahwa, terdapat korelasi
antara beban pendidikan dengan beberapa aspek dalam pendidikan sebagai berikut:
a. Peningkatan beban akademik secara simultan akan menurunkan tingkat
pemahaman dan kedalaman materi yang diterima oleh peserta didik. Dalam hal
ini, untuk beban pendidikan yang berlebih, peserta didik akan cenderung belajar
dalam ranah permukaan saja dalam rangka agar dapat melewati ujian.
b. Beban akademik yang terlalu tinggi akhirnya menyebabkan peserta didik tidak
mampu membedakan sesuatu yang relevan dan irrelevant yang terdapat dalam
pendidikan sehingga pemaknaan tidak dapat dilakukan dan akhirnya muncul
ketidakmampuan untuk mengkaitkan manfaat kuliah dengan kehidupan nyata
serta keterkaitan antar kuliah. Hal ini juga cenderung akan menyebabkan pola
belajar hanya menghafal tanpa pemaknaan.
Kedua aspek ini kemudian diterjemahkan dalam beberapa penelitian lanjutan yang
kemudian mengkorelasikan beban akademik ini kepada psikologi peserta didik dengan
beberapa keseimpulan utama yaitu:
a. Peningkatan beban akademik secara linear ternyata akan mempengaruhi
motivasi berprestasi dari seorang peserta kader. Pada beban tertentu,
peningkatan beban akademik akan meningkatkan motivasi, namun ketika beban
ini berlebih, peningkatan motivasi akan mencapai puncak dan kemudian turun
secara drastis yang salah satunya diindikasikan dengan pola belajar hanya demi
melewati ujian.
b. Peningkatan beban akademi yang secara tidak langsung mempengaruhi motivasi
berprestasi dari peserta didik kemudian akhirnya berpengaruh kepada tingkat
stress yang diterima peserta didik. Tingkat stress ini kemudian makin meningkat
secara eksponensial setelah melewati peak maksimum motivasi berprestasi
bukan hanya karena pengaruh beban akademik namun juga pengaruh
ekspektasi masa depan.
Berdasarkan penjabaran yang diberikan dari beberapa hasil penelitian, mari kita lihat
kondisi kader ITB. Hal yang paling mudah kita lakukan berdasarkan data lapangan
adalah berkembangnya indikasi bahwa kader ITB yang hidup di lingkungan akademik
kini secara umum belajar hanya demi melewati ujian dengan baik dan tidak jarang
memiliki motivasi yang tidak memadai untuk melakukan upaya pencapaian akademik
yang tinggi. Hal ini tentu kemudian dapat menjadi indikator bahwa beban akademik
yang diterima di ITB tergolong sangat tinggi. Beban akademik yang tinggi ini juga dapat
kita lihat secara eksplisit dari sistem kurikulum yang digunakan yakni konsep
perkuliahan untuk lulus menjadi sarjana di ITB secara umum kita habiskan dalam waktu
3 tahun (kurang setahun dari normal) karena 1 tahun TPB. Hal ini tentu meningkatkan
work rate mahasiswa ITB sesuai dengan rumus fisika sederhana yakni daya (work rate)
sebanding dengan usaha persatuan waktu. Ketika waktu yang disediakan semakin
sempit, dengan beban yang sama, work rate mahasiswa ITB sudah sangat tinggi.
Pilihan metode dan kondisi yang berkembang dalam kehidupan mahasiswa ITB tentu
akan menjawab sebab dari persoalan yang berkembang di kehidupan kemahasiswaan
antara lain di antaranya:
a. Tingkat stress mahasiswa ITB menyebabkan mahasiswa ITB cenderung
menggunakan waktu kosongnya untuk kembali ke zona nyamannya sebagai
metode dalam melepas stress. Hal ini juga dapat disimpulkan bahwa semua
orang sedang berkegiatan di zona nyamannya, termasuk mereka yang
berkemahasiswaan dengan aktif bisa jadi merupakan orang yang menjadikan
interaksi sosial adalah zona nyaman,
b. Beban akademik yang sangat tinggi menyebabkan mahasiswa ITB memiliki
waktu senggang yang sangat terbatas menyebabkan mahasiswa ITB akan
cenderung memilih kegiatan yang bervariasi namun tidak berani menjamin
komitmen dan tidak menginginkan adanya ikatan yang terlalu besar. Hal ini
diakibatkan keinginan untuk mencoba hal baru dan menjalankan hobby serta
menerima manfaat secara efisien merupakan cara yang mereka ambil dalam
menanggulangi stress yang diterima.
c. Beban akademik yang tinggi kemudian menyebabkan terjadinya kejenuhan atas
hal yang berhubungan dengan akademik sehingga terjadi penurunan motivasi
dalam menjalankan pengembangan keilmuan dan produksi karya dalam hal
keilmuan.
Penjelasan yang telah disampaikan di atas kemudian tentu akan memberikan gambaran
awal terkait penurunan partisipasi dari mahasiswa ITB dalam kegiatan kemahasiswaan
yang bisa jadi merupakan tantangan dan juga peluang bagi penggerakan kemahasiswaan
kini. Ketidakmampuan kemahasiswaan untuk bergerak secara progresif mengikuti
perkembangan zaman bisa jadi salah satu alasan dalam degradasi yang terjadi dalam
kegiatan kemahasiswaan.
b. Konstitusi KM-ITB
Pemaknaan dalam beberapa konstitusi tertulis dalam KM-ITB secara tidak
langsung ternyata memberikan tantangan dan peluang tersendiri dalam
keberjalan KM-ITB. Penciptaan konpetensi kader yang sesuai dengan kebutuhan
keberjalanan sistem tentu tidak akan tercipta dari pemahaman sistem yang
kurang memadai. Hal ini yang kemudian menjadikan keberadaan dan
implementasi dokumen tertulis dalam KM-ITB serta perannya dalam
keberjalanan KM-ITB perlu ditinjau kembali untuk mengoptimalkan pergerakan
kemahasiswaan. Berikut beberapa dokumen yang memerlukan tinjauan:
i. Konsepsi dan AD/ART KM-ITB
Konsepsi dan AD/ART KM-ITB adalah landasan regulasi yang mendasari
mekanisme dalam implementasi kegiatan kemahasiswaan di ITB. Secara
sistem, penjalanan KM-ITB memerlukan pemahaman mendalam sebelum
akhirnya dapat melaksanakan sistem dengan baik. Pemahaman yang
mendalam diperlukan mengingat kompleksitas elemen yang terlibat
dalam keberjalan sistem sehingga untuk menuju kepada sinergisasi dan
integrasi yang ideal, pemahaman terkait konsep adalah prasyarat yang
harus dipenuhi. Namun kondisi terkini, keberjalan KM-ITB seolah tidak
dipahami dengan cukup mendalam sehingga kritik hanya di tataran
metode yang justru seolah memiliki mobil namun tidak bisa mengemudi
tetapi menyalahkan mobilnya. Hal ini tentu menjadi kendala tersendiri
apakah sistem ini tidak sesuai karena kader kita belum mencapai
kapabilitas yang diisyaratkan, atau justru kita tidak pernah
mengupayakan pemahaman yang baik terkait sistem yang berlaku.
ii. RUK KM-ITB
Rancangan umum kaderisasai KM-ITB adalah suatu dokumen yang
hingga kini terkadang masih memunculkan perdebatan dalam
implementasinya. Sebagai dokumen yang dimaksudkan menjadi acuan
terutama dalam proses pendidikan untuk melahirkan kader mahasiswa
ITB, penerapan RUK kadang masih belum setara. Berdasarkan hasil
survey yang dilakukan di akhir tahun 2014 terdapat beberapa jenis
penerapan RUK di lembaga KM-ITB yakni:
1. Penerapan adopsi langsung baik menyeluruh atau sebagian
2. Penerapan adaptasi baik menyeluruh atau sebagian
3. Tidak meninjau RUK dalam penerapan kaderisasi
Perbedaan penerapan ini tentunya menjadikan cita cita integrasi
kaderisasi menjadi sesuatu yang masih perlu diperhatikan bersama
sama mengingat arah pergerakan pendidikan yang kian melibatkan
banyak pihak. Perbedaan penerapan ini juga yang harusnya ditinjau
kembali oleh penggerak kemahasiswaan untuk analisis pengembangan
yang lebih baik. Selain penerapan, konten dalam RUK juga mungkin telah
mencapai masanya untuk dinilai bersama sebelum benar benar
diupayakan dalam pelaksanaan proses kaderisasi.
Secara umum adapun beberapa permasalahan utama yang perlu dicermati yakni yang pertama
adalah terkait sinergisasi baik internal maupun eksternal untuk perwujudan integrasi serta
sinergisasi yang konstruktif dalam kemahasiswaan. Permasalah kedua muncul dari mahasiswa
itu sendiri dalam hal ini keterlibatan mahasiswa perwujudan kemahasiswaan. Partisipasi
sebagai kunci utama hidupnya kemahasiswaan tentu menjadikan perumusan metode dalam
menjawab tantangan zaman demi peningkatan partisipasi adalah pekerjaan rumah yang sangat
mendesak. Sedangkan tantangan terakhir ada pada produktivitas dan keberadaan regulasi yang
memerlukan tingkat pemahaman yang proporsional dalam melihat perkembagan analisis
kondisi serta penetuan prioritas untuk pemenuhan ekspektasi mahasiswa sehingga
keberjalanan cita cita kemahasiswaan dapat berjalan lebih efektif dan efisien.
REKOMENDASI: PENJABARAN PENGEMBANGAN SISTEM KEMAHASISWAAN
TAWARAN MEKANISME KEBERJALANAN KADERISASI DAN KEMAHASISWAAN
Berdasarkan ketiga basis yang telah disampaikan di atas, tentunya kembali lagi
bahwa partisipasi adalah kunci dalam penjaminan terlaksanannya basis
manapun. Mengingat hal tersebut, maka diperlukan beberapa mekanisme yang
dapat melakukan optimalisasi partisipasi anggota. Menurut analisis teoritik pada
bagian sebelumnya, partisipasi ini dapat kita optimalkan dengan beberapa
tahapan:
i. Penjaminan Kualitas dan Konsistensi Masa Orientasi adalah prasyarat
yang perlu diperhatikan bahwa persepsi yang diterima oleh peserta
kader akan menentukan sikap dan pola kegiatan peserta dalam
kemahasiswaan. Konsistensi nilai dalam terapan di kehidupan
berlembaga juga menjadi penentu dalam penyikapan peserta kader
dalam berkegiatan di suatu lembaga
ii. Penjaminan Pemenuhan Kebutuhan Dasar adalah prasyarat berikutnya
yang perlu dipenuhi. Tanpa pemenuhan kebutuhan dasar, pendidikan
ataupun proses serta aktivitas lain akan terkendala untuk
dilangsungkan dengan optimal
iii. Penjaminan Kualitas Atmosfer yang Kondusif adalah prasyarat tentang
interaksi sosial dan pembangunan atmosfer berkegiatan. Jaminan
atmosfer ini adalah hal yang paling mendukung untuk peserta keder
mau ikut serta melangkah dari zona nyamannya. Dukungan lingkungan
sosial dan atmosfer yang kondusif untuk berkembang adalah faktor
yang perlu disiapkan sebelum memberikan tuntutan partisipasi.
Pemanfaatan potensi awal kader juga dapt dilakukan dalam tahapan
ini demi meningkatkan self esteem kader untuk lebih dihargai sehingga
makin siap dalam berkegiatan di lembaga.
Menurut hasil analisis yang dilakukan, ketiga tahapan di atas adalah hal yang
secara teoritik harus diperhatikan dalam peningkatan partisipasi massa. Apabila
ketiga proses ini telah dipastikan berjalan secara optimal namun tidak terjadi
peningkatan partisipasi massa, maka dapat dikatakan personal kader yang
memang seutuhnya tidak ingin untuk berkegiatan. Selain aspek partisipasi ini,
pemerataan kesempatan belajar juga memerlukan beberapa prasyarat yang
harus dipenuhi. Mengingat keinginan kader yang sangat beragam dan aktivitas
yang spesifik, maka diperlukan bahwa setiap ragam kegiatan harus efektif dan
efisien dalam melaksanakan pemenuhan kebutuhan dan optimal dalam
menyampaikan nilai. Kemudian setelah itu diperlukan juga kerapian dokumen
data kader sehingga dasar dalam pemerataan kesempatan menjadi lebih jelas.
Kunci utama dalam pelaksanaan integrasi dan sinergisasi ini tentunya harus
didasari oleh standar yang sama, koordinasi yang baik, dan yang paling pentiing
adalah pembagian peran yang spesifik dan jelas. Ketiga aspek ini yang kemudian
akan mendukung penerapan kegiatan kemahasiswaan apabila dilihat lebih utuh
akan menunjukkan suatu kelengkapan pendidikan yang terintegrasi, utuh, dan
konstruktif dalam kesatuan sistem yang terkoordinir dengan apik. Ketiga faktor
ini kemudian dapat kita detailkan dalam penjabaran sebagai berikut:
i. Koordinasi intensif adalah prasyarat utama yang perlu dipenuhi oleh
setiap lembaga dalam kesatuan sistem. Koordinasi ini yang kemudian
menjadikan terjalinnya komunikasi intensif dan pembangunan saling
percaya pada penjalannya tugas masing masing pada seorang kader.
ii. Kepemilikan standar bersama juga perlu diperhatikan mengingat kader
akan menjalani proses yang melibatkan beberapa lembaga. Demi
kelangsungan pendidikan yang terintegrasi, dokumentasi dan adanya
standar yang sama mutlak diperlukan demi efisiensi pendidikan.
iii. Kejelasan pembagian wewenang adalah prasyarat yang harus dipenuhi
untuk menjamin efisiensi pendidikan dan minimalisir konflik
sumberdaya. Pembagian basis dalam pemenuhan kebutuhan,
pendidikan, dan aktualisasi harus dirumuskan tidak hanya secara
kultural namun sedapat mungkin diatur secara sistem yang
diterjemahkan dalam aturan tertulis untuk disepakati bersama.
Selain sinergisasi secara internal, pengaruh dari pihak eksternal juga harus
diperhatikan terutama pihak yang secara langsung berpengaruh. Pihak utama
yang dimaksud tentu adalah pihak regulator kampus yang merupakan otoritas
tertinggi yang sah dalam ruang tempat kita beraktivitas. Perlu dipahami bahwa
keberjalan kemahasiswaan bukan lagi dapat digolongkan sebagai kepentingan
mahasiswa saja tanpa memerlukan intervensi ataupun memperhitungkan
intervensi langsung regulator. Aspek pendidikan kader adalah kepentingan
bersama sehingga komunikasi berkala harus dilakukan dengan syarat dan
ketentuan yang dikedepankan demi kelangsungan kehidupan kamahasiswaan.
Berikut adalah pola komunikasi dengan pihak regulator yang dapat didefinisikan
dalam beberapa golongan:
i. Komunikasi satu arah yaitu bentuk komunikasi dimana hanya
mahasiswa yang menyesuaikan dengan kebijakan regulator di tiap
tingkatan otonom. Hal ini sesungguhnya wajar terjadi mengingat
penyesuaian adalah esensi dasar dari kehidupan kemahasiswaan
ii. Komunikasi dua arah yaitu duduk bersama dalam suatu dialog
penentuan peran dan wewenang masing masing untuk membentuk
sinergi dalam pendidikan kader. Pola ini adalah pola ideal yang harus
dilakukan sehingga pendidikan kader dapat berjalan optimal.
Namun apapun kondisi yang terjadi, komunikasi berkala dan keterbukaan pada
standar tertentu perlu dilakukan antar lembaga kemahasiswaan baik di tingkat
mahasiswa dan regulator di tiap tingkatan otonom, Dukungan yang sinergis
antara kedua pihak ini akan memperluas jangkauan pendidikan dan optimalisasi
fasilitas yang lebih menyeluruh sehingga keberjalanan kemahasiswaan dapat
dilaksanakan lebih efisien.
Pendekatan kekeluargaan ini juga sering terkait kepada hubungan senior dan
junior yang terdapat di organisasi kemahasiswaan. Pola hubungan ini juga tidak
jarang menghasilkan konflik yang kontraproduktif. Walaupun perubahan dan
perbaikan dalam suatu organsasi tidak mungkin untuk dilakukan secara radikal,
namun pada batas batas tertentu, pelaku regenerasi dan juga proses
regenerasi itu sendiri akan berpengaruh besar dalam keberjalanan organisasi
terutama dalam penciptaan atmosfer berkegiatan yang kondusif. Pemaknaan
pola pikir senior junior dalam keberjalanan organisasi kadang tertukar dimana
dalam kondisi ini senior berpikir dalam pendekatan junior dan begitu
sebaliknya. Secara sederhana penjelasan hal ini dapat diterjemahkan dengan
analogi tamu dan tuan rumah sebagai berikut:
Tuan rumah dengan sudut pandangnya harus berpikir tentang melayani tamu
bukan justru berpikir pada sudut pandang tamu yang tidak berharap dilayani
begitu juga sebaliknya si tamu.
Hal ini apabila diterjemahkan dalam pendekatan senior junior akan menjadi
pendekatan yang lebih ideal. Senior harusnya fokus dalam menjalankan
perannya sebagai pembimbing dan pemberi contoh bukan melakukan tuntutan
berlebih terhadap junior dalam beraktivitas. Hal sebaliknya juga berlaku pada
junior harusnya fokus melihat tantangan dan peluang dalam lembaga dan
memberikan perbaikan serta pengembagan bukan justru melihat senior dan
menjadikan kesalahan senior sebagai izin untuk tidak melakukan perbaikan
ataupun pengembangan di organisasi.
Pemaknaan terkait berbagi manfaat ini harus terus ditekankan pada generasasi
yang fokus dalam mencari manfaat langsung. Penekanan nilai penunjang seperti
loyalitas dan rela berkorban juga harus dikedepankan untuk menjamin
kelangsungan proses ini. Hal ini juga yang membedakan kemahasiswaan dengan
organisasi lain, termasuk organisasi profit ataupun pergerakan. Kemahasiswaan
fokus kepada tiga aspek yaitu pemenuhan kebutuhan, pendidikan, dan
aktualisasi. Berbeda dengan organisasi profit yang memenuhi pendidikan
ataupun organisasi pergerakan yang dominan aktualisasi. Hal in menyebabkan
kemahasiswaan perlu berbagi manfaat bukan semata menerima manfaat.
c. Pemaknaan Identitas Mahasiswa
Dalam rangka perluasan peluang dalam optimalisasi pendidikan di
kemahasiswaan ITB, pemaknaan akan identitas mahasiswa pun harus menjadi
perhatian mengingat tidak jarang awal doktrinasi tentang aspek ini berpengaruh
dalam sikap seorang kader ITB dalam berkegiatan. Berikut adalah perumusan
kembali terkait identitas mahasiswa yang diterjemahkan dalam posisi, potensi
dan peran mahasiswa yakni:
i. Posisi Mahasiswa
Pada dasarnya, mahasiswa sendiri adalah posisi dimana dalam statusnya
sebagai mahasiswa berbaur dalam kehidupan masyarakat sebagai
anggota masyarakat biasa yang sedang menuntut ilmu memberikan
identitas tersendiri di kehidupan masyarakat. Sesungguhnya tidak ada
posisi spesifik yang menjelaskan letak mahasiswa di tatanan sosial
masyarakat, justru peran dan potensi yang kemudian dioptimalkan akan
memberi konsekuensi posisi khusus untuk mahasiswa dalam
masyarakat pada umumnya.
ii. Potensi Mahasiswa
Potensi mahasiswa kini sesungguhnya sangat beragam dan menunggu
untuk dioptimalkan lebih jauh. Setidaknya untu merangkum seluruh
potensi yang dimiliki mahasiswa, potensi potensi ini dapat digolongkan
menjadi 3 yaitu:
a. Potensinya sebagai manusia muda merupakan potensi yang
muncul dari statusnya sebagai manusia muda dengan karakter
muda dan sifat kemanusiaanya.
b. Potensinya sebagai mahasiswa terdidik merupakan potensi yang
muncul akibat latar belakangan tambahan kapabilitas pendidikan
spesifik yang diterima.
c. Potensinya sebagai anggota lingkungan akademik merupakan
potensi yang dapat dioptimalkan akibat akses mahasiswa
terhadap kampus dan asset pendukung kehidupan akademik
seperti dosen dan relasi informasi global dan ragam stakeholder.
iii. Peran Mahasiswa
Peran mahasiswa adalah konsekuaensi yang muncul atas potensi yang
dimiki dan harus dioptimalkan dengan pada batas batas tertentu
menjadi tanggungjawab moral atas kelebihan yang dimiliki ketika
menjadi seorang mahasiswa. Menimbang perluasan peran dan
pemaknaan kemahasiswaan yang lebih umum dan relevan, maka berikut
peran mahasiswa antara lain:
i. Regenerasi Bangsa sebagai perannya sebagai insan terdidik
untuk kemudian dapat melanjutkan roda keberjalanan
kehidupan berbangsa dan bermasyarakat
ii. Kontrol Sosial sebagai agen mandiri dan independen yang
memberikan pihak penyeimbang yang idealis dalam peranan
turut serta menata kehidupan masyarakat
iii. Pengembangan Masyarakat sebagai agen yang dapat
mengotimalkan potensi dalam rangka memberikan bantuan di
permasalahan kehidupan dan respon terhadap realita yang
berkembang di masyarakat
iv. Penerapan Riset sebagai agen akademik yang mengoptimalkan
potensinya dan peluang untuk mengembangkan keilmuan dan
sebagai sumberdaya pendukung terapan riset praktis sebagai
solusi permasalahan
Salah satu hal yang menjadi fungsi penentu keseragaman isu yang terbahas
hingga ke ranah dinamika keberjalanan suatu organisasi tentu adalah
pengondisian masa periodisasi. Masa periodisasi adalah masa dimana
kepenguruasan satu akan digantikan oleh kepengurusan berikutnya. Perbedaan
masa periodisasi tentu akan memberi perbedaan yang besar di kondisi
kepengurusan untuk waktu yang sama. Kondisi yang berkembang di lapangan
adalah terjadi perbedaan periode yang cukup signifikan antar kepengurusan
dalam hal ini masa periodisasi antar elemen di KM-ITB. Hal ini kadang menjadi
tantangan tersendiri dalam menjalankan sistem secara ideal mengingat tak
jarang isu internal menjadi kendala awal sebelum terjadi pergerakan yang lebih
besar.
Setiap pendekatan pada dasarnya memiliki kelebihan dan selalu ada solusi
terkait pengembangan dalam menanggapi kekurangan dari setiap pendekatan.
Namun pembahasan pendekatan ini perlu dilakukan lebih mendalam dan
melibatkan seluruh pihak yang mewakili tiap kepentingan untuk seutuhnya
menghasilkan kesepakatan yang bukan hanya disetujui bersama namun siap
digerakkan serentak.
Meningat RUK masih dalam kondisi yang cukup revan untuk penerapan, tahapan
penarikan makna dari setiap profil diharapkan dapat menuntun perumusan
dokumen standar baru dalam aspek kaderisasi. Penjaminan esensi harus tetap
dilakukan demi kelestarian nilai yang berkembang di kemahasiswaan. Kritis
terhadap metode harus berkembang namun penggantian metode dengan
mengesampingkan esensi mungkin adalah sikap yang kurang bijak untuk
dilakukan di kemahasiswaan.
Pertimbangan rekomendasi di atas beberapa hanya merupakan pemicu awal permukaan untuk
kemudian dapat diperinci lebih jauh demi menunjang penerapan yang akan dilangsungkan di
lembaga masing masing. Penjelasan dan penerjemahan metode bersifat umum ditujukan demi
peluang untuk diadopsi dalam kegiatan yang beragam di lapisan elemen kemahasiswaan yang
sangat variatif. Berdasarkan dokumen yang disusun, partisipasi dan kesadaran bersama untuk
menjalin koordinasi yang intensif adalah kunci utama dalam keberlangsungan organisasi.
Dengan pertimbangan yang matang mulai dari aspek konsep yang berkembang dari masa ke
masa, pendekatan teroritik, dan data lapangan yang terjadi, diharapkan mampu menghasilkan
rumusan rekomendasi keberjalanan kemahasiswaan yang lebih efektif, efisien, dan optimal
melalui integrasi dan sinergisasi dalam kesatuan sistem.