Daerah Rampai Banjir PDF
Daerah Rampai Banjir PDF
Editor:
Dr. Wikanti Asriningrum
Ir. Wawan K. Harsanugraha, M.Si.
Dr. Indah Prasasti
C.01/12.2015
Judul Buku:
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Mitigasi Bencana
Banjir
Editor:
Dr. Wikanti Asriningrum
Ir. Wawan K. Harsanugraha, M.Si.
Dr. Indah Prasasti
Desain Sampul:
Ahmad Syahrul Fakhri
Penata Isi:
Ahmad Syahrul Fakhri
Penyunting Bahasa:
Atika Mayang Sari
Korektor:
Dwi M Nastiti
Jumlah Halaman:
218 + 30 halaman romawi
Edisi/Cetakan:
Cetakan 1, Desember 2015
PT Penerbit IPB Press
Anggota IKAPI
Kampus IPB Taman Kencana
Jl. Taman Kencana No. 3, Bogor 16128
Telp. 0251 - 8355 158 E-mail: ipbpress@ymail.com
ISBN: 978-979-493-901-7
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas diselesaikannya buku
dengan judul Pemanfaatan Penginderaan Jauh untuk Mitigasi Bencana
Banjir. Buku ini mengulas tentang Pemanfaatan Penginderaan Jauh dalam
aplikasinya untuk analisis bencana banjir baik dari sisi cuaca dan lahan.
Diharapkan, buku ini memberikan pandangan mengenai kemajuan teknologi
penginderaan jauh baik dari sisi data, metode, serta analisisnya sebagai
salah satu upaya dari sisi ilmu dan pengetahuan khususnya teknologi satelit
penginderaan jauh dan sistem informasi geografis untuk meminimalkan
dampak kerugian yang ditimbulkan akibat bencana banjir.
Pada kesempatan ini, disampaikan rasa terima kasih dan penghargaan dari IPB
Press kepada seluruh pihak yang telah berupaya menuangkan pemikirannya
untuk menyusun buku ini. Semoga buku ini dapat berkontribusi terhadap
ilmu pengetahuan dan juga dapat dimanfaatkan oleh pembacanya
viii
SEKAPUR SIRIH
KAJIAN FENOMENA BANJIR DI
JAKARTA
1. PENDAHULUAN
Banjir merupakan salah satu fenomena alam yang sering menyebabkan
bencana, terutama jika terjadi pada kondisi curah hujan ekstrem. Banjir
berdampak pada rusaknya sarana dan prasarana, terganggunya aktivitas
manusia, kerugian harta benda bahkan nyawa manusia, dan kerugian
ekonomi nasional akibat terganggunya aktivitas produksi dan jasa, dan lain
sebagainya.
Banjir pada umumnya disebabkan oleh curah hujan yang tinggi di atas
normal sehingga sistem pengaliran air yang terdiri dari sungai dan anak
sungai alamiah serta sistem drainase dan kanal penampung banjir buatan
yang ada tak mampu menampung akumulasi air hujan sehingga meluap.
Daya tampung sistem pengaliran air tak selamanya sama, tetapi berubah
akibat sedimentasi, penyempitan sungai, tersumbat sampah serta hambatan
lainnya. Penggundulan hutan di daerah tangkapan air hujan (catchment area)
juga menyebabkan peningkatan debit banjir sehingga debit air yang masuk
ke dalam sistem aliran menjadi tinggi, melampaui kapasitas pengaliran dan
memicu terjadinya erosi pada lahan curam yang menyebabkan sedimentasi
dalam sistem pengaliran air dan wadah air lainnya. Di samping itu
berkurangnya daerah resapan air juga berkontribusi terhadap meningkatnya
debit banjir. Daerah permukiman yang padat dengan bangunan menyebabkan
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
daerah resapan air ke dalam tanah berkurang, jika terjadi hujan dengan
curah hujan yang tinggi sebagian air akan menjadi aliran air permukaan
yang langsung masuk ke dalam sistem pengaliran air sehingga kapasitasnya
terlampaui dan mengakibatkan banjir.
Banjir merupakan bencana terbesar di Indonesia. Menurut catatan kejadian
bencana oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dalam
periode tahun 18152012, bencana banjir menempati urutan pertama di
Indonesia. Kejadian banjir yang biasa terjadi di Indonesia lebih disebabkan
karena faktor curah hujan yang lebat. Faktor lain yang menyebabkan
terjadinya banjir adalah perubahan penutup lahan di daerah hulu seperti
pembukaan lahan/hutan dan adanya perkembangan wilayah perkotaan yang
sangat pesat.
Banjir di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta telah terjadi sejak zaman
kolonial Belanda, yaitu pada tahun 1654, 1872, 1909, dan 1918. Kondisi
ini disebabkan sebanyak 40% atau sekitar 24.000 ha wilayah DKI Jakarta
berupa dataran yang letaknya lebih rendah dari permukaan laut. Dataran
yang rendah ini dialiri oleh tiga belas sungai yang bermuara di Laut Jawa.
Selain itu, Jakarta juga merupakan kota dengan jumlah penduduk tertinggi
di Indonesia dan jumlah ini diperkirakan terus bertambah karena daya tarik
kota ini sebagai pusat perekonomian Indonesia.
DKI Jakarta merupakan wilayah yang memiliki nilai sangat strategis karena
merupakan lokasi Ibukota Negara Indonesia. Oleh karena itu, banjir yang
melanda Jakarta akan sangat berdampak pada kondisi perekonomian
Indonesia dan mendapat perhatian oleh semua pihak. Upaya pencegahan
dan antisipasi dini sangat penting dikaji dan dikembangkan secara terus
menerus. Hal ini disebabkan kondisi lingkungan di sekitar wilayah Jakarta,
baik di dalam wilayah Jakarta maupun wilayah penyangganya (Depok,
Tangerang, Bogor, Bekasi), yang terus mengalami perkembangan dan
perubahan fungsi lahan akibat urbanisasi akan sangat berpengaruh terhadap
bencana banjir di Jakarta.
x
Sekapur Sirih
Kajian Fenomena Banjir Di Jakarta
2. DEFINISI
Banjir
Banjir adalah aliran/genangan air yang menimbulkan kerugian ekonomi
atau bahkan menyebabkan kehilangan jiwa (Asdak, 2007). Pada Peraturan
Pemerintah No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai diuraikan bahwa banjir
adalah peristiwa meluapnya air sungai melebihi palung sungai. Aliran/
genangan air yang terjadi karena adanya luapan-luapan pada daerah di kanan
atau kiri sungai akibat alur sungai tidak memiliki kapasitas yang cukup bagi
debit aliran yang lewat (Sudjarwadi, 1987).
Menurut dinas pekerjaan umum, banjir merupakan suatu keadaan sungai,
dimana aliran air tidak tertampung oleh palung sungai, sehingga terjadi
limpasan dan atau genangan pada lahan yang semestinya kering (PU Provinsi
DKI Jakarta, 2008). Sementara menurut Badan koordinasi nasional, banjir
merupakan peristiwa terbenamnya daratan (yang biasanya kering) karena
volume air yang meningkat (Bakornas, 2007).
xi
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
Daerah Genangan
Daerah genangan yaitu kawasan yang tergenang air akibat tidak berfungsinya
sistem drainase atau juga daerah genangan alamiah yang hanya tergenang
pada saat banjir (http://pustaka.pu.go.id). Biasanya genangan itu hanya
setinggi 10 cm dengan durasi 60 menit (PU, 2000). Genangan juga berarti
naiknya atau meluapnya badan air ke daratan yang kering (http://www.
thefreedictionary.com/inundation). Genangan juga dapat berarti tertutupnya
daratan oleh air akibat banjir.
xii
Sekapur Sirih
Kajian Fenomena Banjir Di Jakarta
DAS oleh adanya curah hujan. Selain itu bentuk DAS yang memanjang dan
sempit cenderung menurunkan laju air larian dibandingkan DAS berbentuk
lebar meskipun luas total dari dua DAS tersebut sama. Kerapatan daerah
aliran (drainase) juga menjadi salah satu faktor penentu kecepatan air larian.
Semakin tinggi kerapatan daerah aliran, semakin besar kecepatan air larian
untuk curah hujan yang sama, dan debit puncak akan tercapai dalam waktu
yang lebih cepat. Sementara itu, pengaruh vegetasi terhadap air larian adalah
dapat memperlambat jalannya air larian dan meningkatkan jumlah air yang
tertahan di atas permukaan tanah (Asdak, 2002).
Pemodelan hidrologi yang umum digunakan untuk mengestimasi volume
limpasan adalah metode SCS (Soil Conservation Service, 1964). Model
estimasi SCS ini sifatnya sederhana, simpel, akurat, dan menggunakan data
hujan dan karakteristik DAS yang mudah didapat. Untuk mengestimasi
volume limpasan, metode SCS dapat digunakan untuk DAS berukuran kecil
sampai besar, yaitu luasan 25.000 ha (250 km2) (Johnson, 1998) sampai
dengan 259.000 ha (2.590 km2) (Singh, 1989). Sementara debit banjir dapat
diestimasi dengan menggunakan model Rasional (Chow 1964; McCuen
1989; Sosrodarsono dan Takeda 1993). Penggunaan model Rasional dapat
diterapkan pada DAS dari ukuran kecil (<15 km2 atau 1.500 ha) sampai
DAS berukuran besar (200.000 km2 atau 2 juta ha) dengan kombinasi
penggunaan lahan yang kompleks (Sukresno dan Paimin, 2007).
xiii
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
(vulnerability) terkait dengan akibat yang dapat diduga dari sebuah fenomena
alam dan ditentukan oleh intensitas risikonya. Oleh karena itu, kerentanan
dipengaruhi oleh tiga unsur, yakni risiko, kerusakan, dan usaha (pencegahan
atau pengendalian) (Hardy, 2005).
Analisis risiko (risk analysis) merupakan analisis untuk menentukan
besarnya peluang terjadinya suatu keadaan yang tidak diinginkan yang akan
menyebabkan kegagalan atau kerusakan. Terdapat dua cara pendugaan
risiko (assessing risk), yakni berdasarkan peluang (probability) kejadiannya
dan tingkat kerentanannya (vulnerability). Sementara itu, analisis bahaya
(hazard analysis) dapat digunakan untuk menentukan bahaya yang terjadi
pada sebuah fasilitas yang ada atau yang direncanakan dan mendesain
(merancang) strategi yang selanjutnya dapat dievaluasi untuk menentukan
apakah tujuan-tujuan pengamanan kebakaran dapat tercapai. Analisis
bahaya dapat dianggap sebagai sebuah komponen dari analisis risiko. Oleh
karena itu, sebuah analisis risiko merupakan sekumpulan analisis bahaya
yang diboboti berdasarkan peluang kejadiannya. Risiko total merupakan
jumlah dari semua nilai bahaya berdasarkan bobotnya. Nilai risiko pada
suatu area bahaya adalah kemampuannya untuk mengidentifikasi skenario
yang memberikan sumbangan secara signifikan terhadap risiko (Bukowski,
1996).
Terdapat dua tahap penting dalam penilaian (assessment) risiko banjir, yakni:
penilaian bahaya dan pendugaan kerentanan. Penilaian bahaya berhubungan
dengan karakteristik dari peristiwa itu sendiri dalam hal besar dan frekuensi
kejadiannya, sedangkan penilaian kerentanan memperhitungkan pengaruh
kejadian terhadap populasi, aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan
serta dampaknya pada infrastruktur transportasi. Penilaian bahaya dan
kerentanan banjir dapat dilakukan menggunakan beberapa cara. Islam dan
Sado (2002) menggunakan kedalaman banjir dan frekuensi kejadian banjir
untuk menghasilkan peta bahaya banjir di Bangladesh. Rao et al. (2005)
mengembangkan indeks kerentanan banjir di wilayah pantai timur India
menggunakan kerapatan penduduk, penutup/penggunaan lahan, jarak
terhadap pantai, kemiringan lahan, dan lokasi dengan memperhitungkan
arah (track) siklon.
xiv
Sekapur Sirih
Kajian Fenomena Banjir Di Jakarta
3. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB
BANJIR DI JAKARTA
Fenomena banjir dan genangan yang terjadi di Jakarta semakin meningkat
intensitas dan frekuensinya. Sebagai daerah paling ujung, Jakarta akan
menerima luapan air paling banyak. Kondisi ini diperburuk dengan adanya
perubahan fenomena iklim global yang mengarah pada terjadinya hujan
lebat dengan durasi lama. Dampaknya terlihat dari meningkatnya luas areal
yang mengalami banjir atau genangan dengan tinggi air dan lama genangan
yang terus meningkat. Bahkan pada beberapa daerah yang sebelumnya tidak
pernah mengalami banjir, sekarang banjir. Peningkatan risiko dan bahaya
genangan banjir ini akan menyebabkan kerugian lebih besar, bila tidak
ditangani lebih dini. Selain itu, terjadinya penurunan permukaan tanah
(subsidence) akibat ekploitasi air tanah Jakarta yang berlebihan menyebabkan
posisi Jakarta terhadap laut makin rendah. Kondisi ini diperburuk dengan
kecenderungan meningkatnya muka air laut akibat pemanasan global (global
warming). Penurunan daratan di Ancol dan meningkatnya risiko terjadinya
banjir dan genangan ini dapat dijadikan sebagai salah satu indikator potensi
banjir Jakarta semakin tinggi (Irianto, 2002).
Presentasi Rustiadi (2013) dalam diskusi pakar tentang banjir di Jakarta
menyebutkan bahwa dari tahun 2000 hingga tahun 2011 terjadi
kecenderungan peningkatan jumlah desa yang terkena banjir (Tabel 1).
Selain itu, Rustiadi juga menyebutkan bahwa faktor penyebab banjir di
Jakarta antara lain: 1) curah hujan ekstrem, 2) buruknya sistem drainase,
3) letak wilayah Jakarta yang lebih rendah dari permukaan laut, 4) polusi
terutama sampah, dan 5) penurunan permukaan tanah (land subsidence).
xv
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
Banjir
Tahun
Jumlah Desa Persentase (%)
2000 102 6.00
2003 609 35.82
2006 332 19.53
2008 644 37.88
2011 338 22.61
Banjir di Kota Jakarta berkaitan erat dengan banyak faktor seperti,
pembangunan fisik di kawasan tangkapan air di hulu yang kurang tertata
baik, urbanisasi yang terus meningkat, perkembangan ekonomi, dan
perubahan iklim global. Menurut BMKG, penyebab banjir di Jakarta pada
tahun 2007 adalah curah hujan tinggi. Curah hujan memengaruhi potensi
banjir. Jika curah hujan tinggi, maka potensi banjir juga akan tinggi. Curah
hujan dikatakan tinggi apabila kisaran curah hujannya antara 402 hingga
lebih dari 500 mm, sedang antara 301400 mm, dan rendah antara 102
300 mm. Ada 3 (tiga) penyebab tingginya curah hujan pada kejadian banjir
ini yaitu 1) adanya tekanan rendah atau badai tropis di Australia bagian
utara, 2) adanya daerah pertemuan angin pada posisi di sekitar Laut Jawa
hingga Laut Banda, dan 3) kenaikan suhu permukaan laut sekitar 0.51.0
derajat Celcius di wilayah perairan Indonesia. Naiknya suhu permukaan laut
di sepanjang daerah pertemuan angin akan memperkuat pertumbuhan awan
hujan di wilayah Indonesia (http://www.detiknews.com/index.php/detik.
read/tahun/2007/bulan/02/tgl/09/).
Selain curah hujan, faktor yang banjir di Jakarta adalah adanya perubahan
fungsi lahan guna memenuhi kebutuhan lahan akan permukiman akibat
peningkatan kepadatan penduduk. Dengan meningkatnya kepadatan
penduduk dan area terbangun menyebabkan berkurangnya area RTH
(Ruang Terbuka Hijau) (pada tahun 2007, Jakarta hanya mempunyai
18,180 hektar RTH) untuk menyerap air ke dalam tanah. Kondisi ini
xvi
Sekapur Sirih
Kajian Fenomena Banjir Di Jakarta
menyebabkan pada musim penghujan air hujan tidak dapat tertampung dan
menggenangi sebagian besar daerah Jakarta, sedangkan pada musim hujan
tidak dapat menyimpan cadangan air. Sementara itu, di kawasan hulu sungai
juga telah terjadi konversi lahan yang cukup intensif.
BPLHD Provinsi Jawa Barat (2008) menyatakan ada 3 (tiga) penyebab
utama banjir di Jakarta dan sekitarnya, yakni 1) kondisi alam (posisi
geografis, topografi, karakteristik sungai), 2) dinamika kejadian alam
(seperti: curah hujan ekstrim dan penurunan permukaan tanah), dan 3)
sosial ekonomi (deforestrasi, kegiatan pembangunan, pemanfaatan bantaran
sungai, dan lemahnya penegakan hukum). BPLHD Provinsi Jawa Barat juga
menyebutkan bahwa dari tahun 1940 ke tahun 1994 telah terjadi penurunan
jumlah tubuh air (danau/situ) di wilayah Bogor, Tangerang, dan Bekasi dari
184 buah (2 120 ha) menjadi 129 buah (576.5 ha).
Banjir rob (pasang) di kawasan pesisir Jakarta tidak dipengaruhi oleh musim
karena saat musim penghujan ataupun musim kemarau tetap terjadi. Kondisi
ini semakin diperparah dengan adanya perubahan penggunaan lahan pada
pesisir pantai yang mengakibatkan perubahan garis pantai.
xvii
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
xviii
Sekapur Sirih
Kajian Fenomena Banjir Di Jakarta
xix
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
xx
Sekapur Sirih
Kajian Fenomena Banjir Di Jakarta
xxi
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
perubahan luas areal, tinggi genangan, dan lama genangan maksimum yang
mungkin terjadi pada skenario tahun La Nina dan El Nino dapat digunakan
sebagai masukan pengambil keputusan (decision support system) dalam
mengintegrasikan penanggulangan banjir dan genangan dalam perencanaan
jangka pendek, menengah, dan panjang untuk mereduksi risiko banjir dan
genangan (Irianto, 2002).
5. PEMANFAATAN DATA
PENGINDERAAN JAUH UNTUK
ANALISIS BANJIR
Data penginderaan jauh (inderaja) secara series diperlukan dalam pembuatan
peta wilayah rawan banjir dan genangan sehingga informasi kondisi wilayah
dari hulu hingga hilir dapat dipantau tingkat kerawanannya menurut ruang
dan waktu. Penggunaan citra inderaja untuk deliniasi awal wilayah banjir dan
genangan akan memudahkan proses validasi di lapangan. Wilayah tergenang
dan kebanjiran mempunyai respons spektral yang berbeda (umumnya
terlihat gelap) dibandingkan wilayah yang tak tergenang (terlihat terang/
merah). Hasil tumpang tindih (superimpose) antara peta wilayah rawan banjir
dan genangan dengan peta jaringan hidrologi sungai (hydrological network)
dan peta topografi tersebut dapat digunakan untuk memantau wilayah yang
berpotensi mengalami genangan berikutnya bila debit sungai atau curah
hujan terus meningkat. Selain itu, wilayah penyumbang air utama dapat
dirunut sehingga dapat dirancang strategi antisipasinya. Pendekatan dengan
menggunakan data inderaja ini selain akurat, juga menghemat tenaga, waktu,
dan biaya. Bahkan dengan citra resolusi tinggi (seperti IKONOS dengan
resolusi 1 x 1 meter) dapat dihasilkan peta wilayah banjir dan genangan
secara lebih detil. Peta wilayah rawan banjir yang disajikan menurut ruang
(spasial) dan waktu (temporal) sangat bermanfaat, antara lain untuk 1)
Pembuatan zonasi wilayah rawan/endemik banjir dan genangan secara
akurat. Zonasi wilayah banjir dan genangan ini selanjutnya dapat digunakan
untuk memberikan peringatan (warning) bagi masyarakat yang bermukim
xxii
Sekapur Sirih
Kajian Fenomena Banjir Di Jakarta
di wilayah itu tentang bahaya banjir dan genangan. Selain itu, dapat
digunakan pula dalam menyusun rencana (plan) relokasi penduduk sebagai
pedoman dalam pemberian izin mendirikan bangunan bagi pemerintah
provinsi, kabupaten, dan atau kota, serta menjadi petunjuk bagi masyarakat
dalam pengawasan pelaksanaan pembangunan. 2) Mengkaji kecenderungan
perubahan magnitude banjir dan genangan dalam DAS akibat alih fungsi
lahan, sehingga dapat dijadikan acuan perubahan daya dukung DAS
akibat alih fungsi lahan dan mengestimasi perubahan persentase dan lokasi
terjadinya alih fungsi lahan. 3) Memantau hasil tindakan penanggulangan
banjir dan genangan yang telah dilakukan. Peta wilayah rawan banjir dan
genangan yang diperbarui (update) akan dapat memantau apakah tindakan
penanggulangan banjir dan genangan yang dilakukan sudah memberi hasil
nyata atau tidak. Dengan kata lain, peta wilayah rawan banjir dan genangan
dapat dijadikan alat evaluasi implementasi program penanggulangan banjir
dan genangan yang telah dan akan dilakukan. 4) Menyusun strategi alokasi
bantuan tanggap darurat apabila terjadi banjir dan genangan. Tersedianya
peta wilayah rawan banjir dan genangan dapat meminimalkan kesalahan
alokasi dana untuk penanggulangan banjir maupun penyaluran bantuan
sosial. Dengan demikian, peluang terjadinya penumpukan bantuan sosial
yang sering terjadi selama ini dapat diantisipasi lebih dini (Irianto, 2002).
Haryani et al. (2012) menggunakan data citra inderaja Landsat tahun 2002
dan SPOT 5 tahun 2010, data DEM SRTM, Peta Land System, serta data
curah hujan TRMM 1998 2008 serta metode analisis multikriteria dengan
teknik SIG (Sistem Informasi Geografis) untuk menentukan potensi bahaya
banjir di Kabupaten Sampang.
Riyanto (2009) menggunakan data DEM dan Landsat dengan menerapkan
metode segmentasi. Dari hasil penelitiannya diketahui bahwa terdapat
perbedaan posisi antara daerah potensi banjir dengan daerah genangan
banjir 2007. Hasil prediksi luas wilayah banjir cenderung lebih tinggi (over
estimate) dibandingkan dengan data peta genangan banjir 2007. Sementara
itu, Pawitan (2002) menganalisis pengaruh perubahan penggunaan lahan
xxiii
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
6. PENUTUP
Ada beberapa faktor penyebab makin meningkatnya intensitas banjir dan
durasi genangan yang terjadi di Jakarta, yakni curah hujan ekstrem yang
makin sering terjadi akibat perubahan iklim, buruknya sistem drainase,
polusi limbah sampah pada sistem aliran sungai, pemanfaatan bantaran
xxiv
Sekapur Sirih
Kajian Fenomena Banjir Di Jakarta
kali sebagai permukiman, alih fungsi lahan yang terjadi baik di wilayah
sepanjang DAS, penurunan permukaan tanah akibat eksploitasi air tanah,
dan lemahnya penegakan hukum.
Penerapan berbagai metode menggunakan berbagai pendekatan masih
sangat diperlukan terutama untuk memetakan zona potensi bahaya banjir di
wilayah Jakarta. Pemanfaatan data inderaja terutama citra inderaja resolusi
tinggi diharapkan mampu memetakan zona potensi bahaya banjir di Jakarta
secara lebih akurat, baik dari sisi spasial maupun waktu. Selain itu, data
citra inderaja resolusi tinggi juga diharapkan mampu memberikan informasi
perubahan penggunaan lahan secara lebih kini (up to date) guna mengestimasi
daya dukung wilayah dalam menduga pengaruh perubahan iklim terhadap
intensitas banjir di Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, A., Harald, V., Herbert, F., Alexander, B. 2010. A Collection
of Possible Fire Weather Indices (FWI) for Alpine Landscapes. ALP
FFIRS. Alpine Forest Fire Warning System. 31 May 2010.
Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengolahan Daerah Aliran Sungai.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Asriningrum, W., A. S. Hapip, H. Gunawan, I. Prasasti, A. Hidayat,
Sumardjo. 1998. Analisis Daerah Rentan Banjir Jakarta dan Sekitarnya
Berdasarkan Klasifikasi Bentuk Lahan dan Penutup/Penggunaan Lahan
dari Citra Jers-1. Majalah LAPAN No. 85 Tahun XXII April.
Bakornas PB. 2007. Pedoman Penanggulangan Bencana Banjir Tahun
2007/2008. Pelaksana Harian Bakornas PB. Jakarta.
BPLHD (Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah) Provinsi Jawa
Barat. 2008. Environmental Profile of Ciliwung River Basin. (http://
pemsea.org/pdf-documents/tmdl_w1_2_ciliwung_basin.pdf.) [6 Maret
2013].
xxv
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
xxvi
Sekapur Sirih
Kajian Fenomena Banjir Di Jakarta
McCuen, R.H. 1989. Hydrologic Analysis and Design. New Jersey: Prentice
Hall, Englewood Clift.
Nugroho, S.P. 2008. Analisis curah hujan penyebab banjir besar di Jakarta
pada awal Februari 2007. JAI 4(1).
Pawitan, H. 2002. Hidrologi DAS Ciliwung dan Andilnya Terhadap Banjir
di Jakarta. Lokakarya Pendekatan DAS dalam Menanggulangi Banjir
Jakarta. Jakarta, 8 Mei 2002. Lembaga Penelitian IPB dan Andersen
Consult, Jakarta. http://bebasbanjir2025.wordpress.com/10-makalah-
tentang-banjir-2/hidayat-pawitan/
Pawitan, H. 2002. Perubahan Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap
Hidrologi Daerah Aliran Sungai. Lokakarya Pendekatan DAS dalam
Menangglangi Banjir Jakarta. Jakarta, 8 Mei 2002. Lembaga Penelitian
IPB dan Andersen Consult, Jakarta. http://bebasbanjir2025.wordpress.
com/10-makalah-tentang-banjir-2/hidayat-pawitan/
Prihatin, N. 2012. Aplikasi Model HEC WMS untuk Memprediksi Debit
Puncak Aliran Permukaan DAS Ciliwung Hulu [Skripsi]. Program
Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, IPB.
PU Provinsi DKI Jakarta. 2008. Penanganan Banjir Provinsi DKI Jakarta.
Jakarta.
PU. 2000. Surabaya Drainage Master Plan 2018. Jilid 1. PT Tricon Jaya.
Rao, P. B. S., Murty, K. S. R., and E, A. 2005. Estimation of Flood
Vulnerability Index for Delta Areas through RS&GIS. IEEE
Transactions on Geoscience and Remote Sensing.
Risyanto. 2007. Aplikasi HEC-HMS untuk Perkiraan Hidrograf Aliran
di Das Ciliwung Bagian Hulu. Skripsi. Departemen Geofisika Dan
Meteorologi, FMIPA, IPB.
Riyanto, I. 2009. Pemetaan Daerah Potensi Banjir dengan Segmentasi
Data DEM Studi Kasus DAS Ciliwung di DKI Jakarta 2007 [Tesis].
Departemen Elektro OPTO Elektronika dan Aplikasi Laser, Fakultas
Teknik, UI.
xxvii
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
xxviii
DAFTAR ISI
Sambutan Penerbit.....................................................................................v
Kata Pengantar Editor..............................................................................vii
Sekapur Sirih.............................................................................................ix
BENARKAH MJO FASE AKTIF SENANTIASA MENYEBABKAN
TERJADINYA BANJIR DI JAKARTA
(Eddy Hermawan dan Lisa Evana)..............................................................1
ANALISIS KEJADIAN CUACA BURUK DI JAKARTA
STUDI KASUS BANJIR TANGGAL 13 NOVEMBER 2013)
(Rizal Hidayat).........................................................................................25
WHY THE FLOOD ALWAYS RETURN TO JAKARTA;
HISTORICAL LAND USE CHANGES AND
GEO-ENVIRONMENTAL ANALYSIS
(Fatwa Ramdania)....................................................................................45
PENENTUAN DISTRIBUSI SPASIAL DAERAH BAHAYA BANJIR
DI 6 (ENAM) SUB DAS WILAYAH DKI JAKARTA
MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH
(Indah Prasasti, Parwati Sofan, Nur Febrianti, dan Totok Suprapto)..........63
PENURUNAN MUKA TANAH DAN HUBUNGANNYA
DENGAN DAERAH RAWAN BANJIR DI JAKARTA
(Junita Monika Pasaribu, Indah Prasasti, Parwati Sofan)...........................85
PEMANFAATAN DATA LANDSAT MULTITEMPORAL
UNTUK ZONASI DAERAH RAWAN BANJIR DI JAKARTA
MENGGUNAKAN PENDEKATAN GEOMORFOLOGI
(Suwarsono, M. Priyatna, Kusumaning Ayu D.S,Wikanti Asriningrum)....101
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
xxx
BENARKAH MJO FASE AKTIF
SENANTIASA MENYEBABKAN
TERJADINYA BANJIR DI
JAKARTA
ABSTRAK
Studi ini menekankan pentingnya analisis perilaku Madden-Julian Oscillation
(MJO) di saat akan melintasi kawasan barat Indonesia. Hal ini penting
dilakukan mengingat MJO terkait erat dengan pergerakan radiasi gelombang
panjang (OLR, Outgoing Longwave Radiation) di sepanjang sabuk (belt)
ekuator yang menentukan besar kecilnya intensitas curah hujan di kawasan
barat Indonesia, termasuk Jakarta. Berbasis data time-series MJO indeks yang
diwakili oleh RMM1 dan RMM2 (Real-time Multivariate MJO) selama
sepuluh tahun pengamatan terhitung sejak Januari 1979 hingga 2009 dan
juga data OLR di posisi 110BT (Bujur Timur) maka dilakukanlah analisis
seberapa jauh peran MJO terhadap peningkatan intensitas curah hujan
ekstrem di Jakarta yang menyebabkan kawasan ini mengalami banjir besar di
awal tahun 1996, 2002, dan 2007. Hasilnya menunjukkan bahwa terjadinya
banjir tidak selalu diakibatkan oleh MJO. Tahun 1996 dan 2002, memang
terjadinya banjir diakibatkan adanya peningkatan aktifitas MJO (MJO fase
aktif). Namun, sebaliknya, tahun 2007 di saat Jakarta dilanda banjir yang
lebih parah, justru disaat MJO berfase tidak aktif (lemah). Dengan demikian,
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
ABSTRACT
This study emphasizes the importance of the analysis of the behavior of the
Madden-Julian Oscillation (MJO) in current going across the western part of
Indonesian region. This is important because the MJO is closely related well to
the movement of long-wave radiation (OLR, Outgoing Longwave Radiation)
along the belt of equator which determine the size of the equatorial intensity
rainfall in the western part of Indonesia region, including Jakarta. Based on
time-series of MJO index data represented by the RMM1 and RMM1 (Real-
time Multivariate MJO) during the ten observation years since January 1979 to
2009 and also the OLR data on the position of 110E, we do more analyze the
role of the MJO to the enhancement of the extreme rainfall intensity in Jakarta
in early 1996, 2002 and 2007. The results show that flooding is not always
caused by the MJO. In 1996 and 2002, it is caused an increase in flooding by
MJO activity (MJO in active phase). However, on the contrary, in 2007 when
Jakarta was flooded more severe, occurs precisely when the MJO phased in-active
(weak). Thus, it is needed to consider the existence of other mechanisms (besides
of MJO) who also made great contributions to flooding in Jakarta in the future,
such as the Seruak Dingin (Cold Sourge) as well as local factors.
Keywords: Jakartas floods, MJO, , OLR, RMM
1. PENDAHULUAN
Ada satu pokok permasalahan serius yang dihadapi Pemerintah daerah DKI
Jakarta saat ini yang sepertinya akan terus bergulir seiiring dengan datangnya
awal penghujan yang umumnya terjadi menjelang akhir atau awal tahun,
2
Benarkah Mjo Fase Aktif Senantiasa
Menyebabkan Terjadinya Banjir di Jakarta
sekitar Desember, Januari, Februari bahkan hingga Maret. Bukan hanya durasi
(lamanya), melainkan juga intensitas yang dihasilkannya juga menunjukkan
peningkatan dari tahun ke tahun. Dikenal adanya banjir besar (big floods)
sejak tahun 1996, lalu diikuti tahun 2002 dan mencapai puncaknya di awal
tahun 2007. Ada juga banjir besar di awal tahun 2013, namun dampak
yang dihasilkannya tidaklah separah di tahun 2007. Barangkali teknologi
dan model prediksi yang dihasilkan oleh pihak-pihak terkait relatif lebih
baik sehingga kita lebih sigap dan tanggap dalam mengantisipasi terjadinya
banjir yang diduga erat hadir setiap 5-6 tahunan. Tidaklah mengherankan,
jika pada akhirnya banjir akan menjadi hal yang biasa bagi warga Jakarta
dan sekitarnya, terlepas apakah ini disebabkan karena posisi geografis Jakarta
yang sangat rentan terhadap masuknya berbagai fenomena global, seperti
Monsun, El-Nino, La-Nina atau lainnya, namun yang pasti adalah kawasan
ini membutuhkan informasi dan prediksi akan datangnya curah hujan
ekstrem yang cepat, tepat, akurat, dan juga near real time sehingga antisipasi
dapat dilakukan sejak dini.
Perlu dipahami bahwa tidaklah mudah untuk membuat satu model prediksi
seperti yang diinginkan pihak pengguna (user) di atas, apalagi jika untuk
diberlakukan pada kondisi yang relatif kecil dengan resolusi tinggi (high
resolution), diperlukan satu unit super komputer yang mampu me-running
dalam kurun waktu yang relatif singkat. Terlepas dari itu, hal lain yang
relatif penting untuk dipahami adalah mengapa banjir besar itu terjadi,
fakor dominan apa saja yang memengaruhinya, adakah peran fenomena
global disana. Jika iya, apa saja faktor global tersebut sehingga dapat
dijelaskan dengan mudah dan gamplang mekanisme terjadinya banjir besar
tersebut. Dengan kata lain, pemahaman yang jauh lebih baik dan benar
tentang kondisi iklim Indonesia mutlak diperlukan. Hal ini terjadi akibat
posisi Indonesia yang unik dan specific akibat diapit oleh dua Benua Besar
(Asia dan Australia) dan dua Samudra Besar (Pasifik dan Hindia) dengan
distribusi daratan dan lautan yang relatif acak (random) dan juga kompleks.
Hampir sebagian besar model iklim atau model atmosfer yang ada saat ini
tidak dapat bekerja dengan baik ketika diterapkan di Indonesia. Apakah
3
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
akibat gaya Coriolies yang relatif kecil atau ada mekanisme lain yang belum
dipahami, itupun masih menjadi bahan perdebatan di sebagian besar ilmuan
dunia.
Indonesia merupakan satu dari tiga kawasan penting dunia yang diduga
sebagai sumber utama terjadinya perubahan iklim global. Hal ini dapat
dipahami mengingat Indonesia merupakan satu-satunya kawasan di ekuator
yang dominan di kelilingi oleh lautan dan sisanya oleh daratan yang dikenal
dengan istilah Indonesian Maritime Continent (IMC) atau Benua Maritim
Indonesia (BMI) sebagaimana digambarkan oleh Ramage (1968). Jadi, adalah
wajar jika kawasan ini dikenal sebagai penyimpan bahang (panas) terbesar di
dunia baik yang nyata atau tersembunyi (latent) yang diindikasikan dengan
banyaknya kumpulan awan-awan Cumulonimbus (Cb) yang bergerak dari
barat menuju timur di sepanjang sabuk (belt) katulistiwa, dikenal sebagai
Super Cloud Clusters (SCCs). Satu di antara indikasi kuat adanya SCCs
adalah terjadinya fenomena MJO (Madden Julian Oscillation (MJO) yang
dikenal sebagai salah satu siklus dominan yang ada di sepanjang sabuk
ekuator, selain fenomena Monsun yang memang paling dominan terjadi
hampir di seluruh kawasan Indonesia.
Sebenarnya tidak hanya MJO, masih ada fenomena lain yang tidak kalah
pentingnya, walaupun sama-sama bergerak secara zonal (barat-timur), yakni
El-Nino yang ada di Lautan Pasifik dan IOD (Indian Ocean Dipole) yang
ada di Lautan Hindia. Walaupun memiliki osilasi (embutan) yang berbeda,
namun keduanya memiliki dampak yang cukup serius, apalagi jika keduanya
bersatu dalam satu kurun waktu yang hampir bersamaan (simultan). Terkait
dengan topik diatas, fokus utama fenomena yang dibahas dalam makalah
ini adanya fenomena atau kejadian (event) MJO mengingat osilasi dominan
yang dimilikinya relatif sangat singkat yakni sekitar 45 harian, dibandingkan
dengan El-Nino ataupun IOD, masing-masing sekitar lima dan tiga setengah
tahunan.
Karena fenomena hujan esktrim yang diduga sebagai penyebab utama
terjadinya banjir terjadi dalam kurun waktu yang relatif singkat, MJO lah
yang kiranya amat sangat relevan dibahas dalam makalah ini. Walaupun
4
Benarkah Mjo Fase Aktif Senantiasa
Menyebabkan Terjadinya Banjir di Jakarta
harus dipahami bahwa tidak hanya fenomena MJO semata, sebab masih
ada satu fenomena lain yakni tidak kalah pentingnya untuk dikaji lebih
jauh, yakni hadirnya Seruak Dingin (Cold Sourge) yang dominan terjadi
di sepanjang bulan-bulan basah (DJF, Desember-Januari-Februari) sebagai
serangan massa udara dingin dari Belahan Bumi Utara (BBU) ke Belahan
Bumi Selatan (BBS) ketika pusat tekanan rendah relatif dominan ada di
BBS.
Atas dasar itulah maka makalah ini dibuat dengan tujuan utama untuk
mengetahui sejauh mana peran MJO, benarkah MJO dengan fase aktif
akan senantiasa menyebabkan terjadinya banjir di Jakarta yang yang pernah
terjadi di tahun 1996, 2002 dan 2007.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Madden-Julian Oscillation (MJO)
Madden-Julian Oscillation (MJO) merupakan mode osilasi yang termasuk
dominan di ekuator (Madden and Julian, 1994, dalam Madani, 2012). Osilasi
ini dihasilkan dari sirkulasi sel skala besar di ekuatorial yang bergerak dari
barat menuju timur dari Samudra Hindia ke Samudra Pasifik dengan periode
antara 3060 hari. Pengamatan MJO umunya melibatkan berbagai variabel
meteorologi seperti radiasi gelombang panjang (OLR, Outgoing Longwave
Radiation), curahan (precipitation), angin zonal (barat-timur) di lapisan atas
dan bawah troposfer, tekanan muka laut (SLP, Sea Level Pressure), konvergensi
kelembaban, suhu permukaan laut (SST, Sea Surface Temperature), dan flux
panas tersembunyi (latent) pada permukaan laut. MJO sering diasosiasikan
dengan terbentuknya SCCs sehingga dapat dengan mudah diamati dari
observasi satelit melalui pantulan OLR yang dihasilkannya. Pengukuran
varians OLR pada daerah konveksi akan membaca sinyal yang lebih besar
daripada red noise sehingga dapat menunjukkan sinyal MJO yang relatif kuat
(Geerts dan Wheeler, 1998 dalam Madani, 2012).
5
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
6
Benarkah Mjo Fase Aktif Senantiasa
Menyebabkan Terjadinya Banjir di Jakarta
8
Benarkah Mjo Fase Aktif Senantiasa
Menyebabkan Terjadinya Banjir di Jakarta
9
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
Seto (2004 dalam Madani, 2012) menyatakan bahwa MJO dalam fase aktif
memiliki korelasi terjadinya intensitas curah hujan yang tinggi terhadap
wilayah yang dilaluinya. Evana (2009 dalam Madani, 2012) juga menyatakan
bahwa pada saat indeks MJO menguat maka terdapat kecenderungan bahwa
curah hujan hujan tinggi di daerah yang dilewatinya. Pada bulan-bulan
kering (JJA), meskipun indeks MJO menguat akan tetapi tidak selalu diikuti
dengan curah hujan yang tinggi. MJO aktif berpeluang menimbulkan
curah hujan tinggi di Indonesia ketika terjadi pada bulan basah (DJF). Hal
tersebut berkaitan dengan posisi ITCZ yang dipengaruhi oleh peredaran
gerak semu matahari. ITCZ bergerak ke utara dan selatan mengikuti gerak
semu matahari dengan lag sekitar 2 bulan (Donald, 2007).
10
Benarkah Mjo Fase Aktif Senantiasa
Menyebabkan Terjadinya Banjir di Jakarta
11
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
dimana:
rxy (k) : korelasi silang antara deret x dan deret y pada lag ke-k
12
Benarkah Mjo Fase Aktif Senantiasa
Menyebabkan Terjadinya Banjir di Jakarta
Dari gambar di atas terlihat jelas adanya sinyal MJO dengan puncak
tertinggi di sekitar periode ke-9 yang bermakna adanya sembilan kali
lipatan lima atau setara dengan empat puluh lima harian akibat data OLR
memang di-setting setiap lima harian (pentad). Ini sesuai dengan konsep
dasar MJO yang berkisar di antara 3060 harian, tepatnya sekitar 45 harian
sebagaimana dikemukakan oleh Madden and Julian (1971, 1972). Walaupun
diketemukan juga adanya osilasi-osilasi lain, namun nilainya relatif kecil,
seperti gelombang Kelvin yang berperiode sekitar 20 harian. Yang menarik
adalah justru osilasi dominan tampak jelas ditunjukkan oleh data OLR yang
memang merupakan parameter utama dalam mendeteksi terjadinya MJO di
satu kawasan tertentu.
Dengan asumsi bahwa perilaku OLR yang berada di puncak (top) atmosfer
terkait erat dengan perilaku curah hujan yang ada di bawah (permukaan),
maka berikut ini ditunjukkan Berikut disajikan grafik curah hujan bulanan
di atas Jakarta periode Januari 1995 hingga Desember 2008 (Gambar 4.).
13
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
Memang disini (analisis data curah hujan) tidak tampak adanya fenomena
MJO. Ini disebabkan analisis data curah hujan yang digunakan merupakan
rata-rata bulan (monthly). Hal yang tampak jelas adalah fenomena Monsun
yang hampir mendekati osilasi sempurna sekitar 12 bulanan. Lalu, di mana
kaitan antara Monsun dan MJO? Inilah yang menarik untuk dikaji lebih
lanjut. Semula kita menganggap bahwa antara Monsun dan MJO adalah
14
Benarkah Mjo Fase Aktif Senantiasa
Menyebabkan Terjadinya Banjir di Jakarta
15
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
Gambar 6. Grafik curah hujan di atas Jakarta selama bulan basah terhitung
sejak 1 Desember 199531 Maret 1996 (kiri), 1 Desember
200131 Maret 2002 (tengah) dan 1 Desember 200631 Maret
2007 (kanan)
Dari gambar di atas, terlihat jelas bahwa curah hujan esktrim terjadinya di
awal tahun 2007, dibandingkan tahun 2002 ataupun 1996. Hal ini juga
tercermin dari dampak yang dihasilkannya, di mana kondisi banjir besar
tahun 2007 jauh lebih besar dibandingkan tahun 2002 dan 1996. Ini
adalah fakta di lapang yang ada, lalu bagaimana MJO menjelaskan adanya
perbedaan yang cukup signifikan ini. Benarkah MJO dianggap yang paling
bertanggung jawab terjadinya perbedaan ini. Berikut disajikan bagaimana
posisi MJO pada saat banjir itu terjadi, baik tahun 1996, 2002, ataupun
2007 seperti ditunjukkan pada Gambar 7 berikut.
16
Benarkah Mjo Fase Aktif Senantiasa
Menyebabkan Terjadinya Banjir di Jakarta
17
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
18
Benarkah Mjo Fase Aktif Senantiasa
Menyebabkan Terjadinya Banjir di Jakarta
Gambar 10. Diagram posisi fase (phase) RMM1 dan RMM1 mulai dari fase 1
hingga 8, di mana Indonesia termasuk pada fase 4 dan 5 (http://
www.bom.gov.au/.../RMM/composites/phasediag)
19
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
Gambar 11. Sama dengan Gambar 10, hanya menunjukkan diagram posisi
fase (phase) RMM1 dan RMM1 mulai dari fase 1 hingga 8,
periode 1 Desember 2006 hingga 31 Maret 2007 (http://www.
bom.gov.au/.../RMM/composites/phasediag)
Dari gambar di atas terlihat jelas memang posisi MJO saat ini yang ada di
atas Indonesia, khususnya berada pada posisi di dalam lingkatan kecil yang
ada di dalam. Sesuai dengan defini di atas (Gambar 10), maka benar adanya
jika saat ini posisi MJO adalah lemah atau tidak aktif, walaupun terletak di
atas Indonesia. Mengapa masih terjadi banjir pada saat itu?. Kami menduga
bahwa ada mekanisme lain yang masih perlu dikaji lagi atau ada fenomena lain
yang dalam penelitian ini kami anggap tidak terlalu signifikan berpengaruh,
yakni serangan massa udara dingin (dikenal dengan istilah Seruak Dingin
atau Cold Sourge). Gambar 12 berikut barangkali dapat dijadikan pemikiran
bagaimana distribusi data OLR di awal tahun 2002 dan 2007. Jelas terlihat
bahwa sebaran OLR di tahun 2002 relatif jauh lebih banyak dibandingkan
tahun 2007, namun sekali lagi mengapa justru tahun 2007 banjir di Jakarta
relatif jauh lebih dahsyat atau parah dibandingkan tahun 2002.
20
Benarkah Mjo Fase Aktif Senantiasa
Menyebabkan Terjadinya Banjir di Jakarta
Gambar 12. Perbandingan distribusi OLR global di awal tahun 2002 dan
2007 (http://.www.bmrc.climate forecasting)
5. KESIMPULAN
MJO dalam fase aktif tidak selalu diikuti dengan hujan deras di Indonesia.
MJO aktif berpeluang menimbulkan hujan deras di wilayah Indonesia
ketika terjadi pada bulan basah (DJFM). Pada tahun 1996 dan 2002 MJO
menjadi salah satu penyebab hujan deras (mencapai di atas 100 mm/hari)
yang menyebabkan banjir (studi kasus: Jakarta). Namun kejadian hujan
deras yang menyebabkan banjir pada Februari 2007 terjadi ketika MJO
dalam fase lemah sehingga diduga ada fenomena lain yang menyebabkan
hujan deras tersebut. Andaikan terjadi sebaliknya, tidak terjadi banjir, tetapi
MJO pada posisi aktif, maka harus dikakji kembali pada saat itu MJO pada
posisi fase ke berapa.
21
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
DAFTAR PUSTAKA
Aldrian E., Susanto R.D. 2003. Identification of three dominant rainfall
regions within indonesia and their relationship to sea surface temperature.
International Journal of Climatology 23:14351452.
Donald A., Meinke H., Power B., Maia A. H. N., Wheeler M. C., White
N., Stone R. C., Ribbe J. 2006. Near-global impact of the Madden-
Julian Oscillation on rainfall. Geophy. Res. Lett., 33, L09704, doi:
10.1029/2005GL025155.
Kubota H., Shiroka R., Ushiyama T., Chen J., Chuda T., Takeuchi K.,
Yoneyama K., Katsumata M. 2006. Observations of the structures of
deep convections and their environment during the active phase of
an Madden-Julian Oscillation event over Equatorial Western Pacific.
Jurnal Of The Meteorology Society Of Japan, 84(1):115.
Madani, N., 2012: Pengembangan Model Prediksi Madden-Julian
Oscillation (MJO) Berbasis Hasil Analisis Data Wind Profiler Radar
(WPR) [Skripsi] Departement Geofisika dan Meteorologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor
(IPB), 41 hal.
Madden R. A., Julian P. 1971. Detection of a 4050 day oscillation in the
zonal wind in the tropical Pacific. J Atmos Sci 28: 702708.
Madden R. A., Julian P. 1972. Description of global-scale circulation cells in
tropics with a 4050 day period. Journal Atmospheric Sciences 29:1109
1123.
Madden R. A., Julian P. 1994. Observations of the 4050 day tropical
oscillation. Month Weather Rev 122:814837.
22
Benarkah Mjo Fase Aktif Senantiasa
Menyebabkan Terjadinya Banjir di Jakarta
23
ANALISIS KEJADIAN CUACA
BURUK DI JAKARTA
(STUDI KASUS BANJIR
TANGGAL 13 NOVEMBER 2013)
Rizal Hidayat
Stasiun Meteorologi Nanga Pinoh, Kalimantan Barat
E-mail: asus9924@gmail.com
ABSTRAK
Cuaca buruk adalah kejadian cuaca yang tidak normal, tidak lazim yang dapat
mengakibatkan kerugian jiwa dan harta. Untuk dapat mengetahui penyebab
terjadinya cuaca buruk tersebut dengan melakukan kegiatan analisis cuaca
yaitu merupakan kegiatan menganalisis fenomena-fenomena cuaca yang ada
di atmosfer sehingga dapat mengenali perubahan cuaca dengan tujuan agar
kita dapat mengetahui kondisi cuaca yang sedang terjadi sampai keadaan
cuaca mendatang. Cuaca dapat berubah berdasarkan ruang dan waktu
karena adanya dinamika atmosfer. Faktor cuaca yang sangat mempengaruhi
yaitu hujan. Hujan dalam intensitas yang besar dapat menyebabkan banjir
pada suatu daerah karena kondisinya berada di ambang batas normalnya.
Namun pada hakekatnya kejadian banjir dapat terjadi karena beberapa
faktor, di antaranya yaitu faktor meteorologi dan non meteorologi. Hal yang
merupakan faktor meteolorogi yaitu hujan, rob dan tsunami, sedangkan
faktor non meteorologi yaitu meluapnya air sungai, kurangnya daerah
resapan air akibat penyalahgunaan lahan, dan lain-lain.
Kata Kunci: banjir, cuaca buruk, curah hujan, dinamika atmosfer.
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
ABSTRACT
Bad weather is not normal weather events, it is not uncommon that could result in
the loss of lives and property. To be able to determine the cause of the bad weather
by conducting analysis of weather is an activity to analyze the phenomenon -
weather phenomena in the atmosphere, so it can recognize changes in the weather
in order that we may know the weather conditions, the weather is going to come.
The weather can change based on time and space because of the dynamics of the
atmosphere. Weather factors that affect that rain. Rain in great intensity may
cause flooding in an area, because the condition is in its normal threshold. But
in fact the incidence of flooding can occur due to several factors, among which the
meteorological and non-meteorological factors. Which is a factor meteolorogi ie
rain, floods and tsunamis, while the non-meteorological factors that overflowing
river, the lack of water catchment areas due to misuse of land, and others.
Keywords: Atmospheric Dynamics, Bad Weather, flooding, rainfall
1. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan wilayah tropis yang memiliki karakteristik cuaca yang
unik dibandingkan wilayah yang lainnya di permukaan bumi. Wilayah
tropis terletak antara 23,5LU23,5LS, yang merupakan wilayah dengan
kondisi atmosfer yang relatif homogen yaitu unsur tekanan, geopotensial dan
temperatur yang relatif serba sama (homogen). Cuaca di wilayah Indonesia
itu sendiri sangat mudah berubah karena letak Indonesia yang berada di
garis khatulistiwa, berada di antara dua benua dan dua samudra sehingga
secara umum kondisi cuaca di wilayah Indonesia disebabkan oleh beberapa
faktor di antaranya yaitu pola angin musiman yang bertiup serta ditentukan
oleh kondisi dinamika atmosfer yang dipengaruhi oleh fenomena alam skala
global yaitu El Nino dan La Nina serta MJO, skala regional yaitu sirkulasi
Monsun dan gangguan tropis serta skala lokal yaitu kondisi topografi dan
stabilitas atmosfer.
26
Analisa Kejadian Cuaca Buruk di Jakarta
(Studi Kasus Banjir Tanggal 13 November 2013)
Pada tanggal 13 November 2013 sekitar pukul 14.30 WIB telah terjadi
hujan di Jakarta dengan intensitas yang cukup tinggi bahkan diikuti dengan
kejadian banjir (jakarta.okezone.com). Dengan memperhatikan kondisi
tersebut maka diperlukan suatu metode analisis untuk mengkaji berbagai
faktor yang memengaruhi kondisi cuaca buruk tersebut. Ada berbagai
macam fenomena yang mendorong terjadinya kondisi cuaca buruk, di
antaranya disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kondisi global,
regional ataupun efek lokal dari wilayah itu sendiri. Skala global dan regional
dilihat sebagai latar belakang yang mendukung terjadinya gangguan cuaca.
Adapun fenomena lokal yang menjadi penyebab utama yang dianalisis adalah
keadaan udara atas dari data sounding serta nilai vortisitas dan divergensi.
Dimulai dengan menganalisis yang sudah terjadi, terutama pada saat analisis
yang berkaitan dengan banjir. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui kondisi fisis/dinamis pada saat terjadi cuaca buruk sebagai acuan
untuk mendukung prakiraan cuaca ke depan.
2. KAJIAN TEORI
2.1. Pola Hujan
Ditinjau dari pola distribusinya, curah hujan di Indonesia memiliki 3 pola
distribusi, yakni pola monsun, pola ekuatorial, dan pola lokal. Dari ketiga
pola tersebut, masing-masing memiliki karakteristik tertentu (Kurniawan,
2003). Pola monsun terjadi akibat proses sirkulasi udara yang berganti udara
yang berganti arah setiap 6 bulan sekali yang melintas di wilayah Indonesia,
yang dikenal dengan monsun barat dan monsun timur. Monsun barat
umumnya menimbulkan banyak curah hujan (musim hujan), sedangkan
monsun timur umumnya menyebabkan kondisi kurang hujan (musim
kemarau). Pada daerah/wilayah yang memiliki pola monsun terlihat jelas
perbedaan antara periode musim hujan dan musim kemarau. Selain itu jika
diperhatikan berdasarkan grafik rata-rata tahunannya, pola hujan monsun
memiliki satu puncak curah hujan musiman. Pola ekuatorial terjadi berkaitan
dengan pergerakan matahari yang melintas garis ekuator sebanyak dua kali
27
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
28
Analisa Kejadian Cuaca Buruk di Jakarta
(Studi Kasus Banjir Tanggal 13 November 2013)
2.4. Vortisitas
Vortisitas merupakan medan vektor kerutan (curl) kecepatan dari rotasi
fluida dalam ukuran mikroskopis. Komponen vertikal dari vortisitas dominan
dalam aplikasi meteorologi. Vortisitas mempunyai dimensi vektor. Untuk
gerakan udara di belahan bumi Utara (BBU), jika vortisitas relatif lebih dari
nol ( > 0), maka udara akan cenderung bergerak ke atas dan sebaliknya bila
vortisitas relatif kurang dari nol ( < 0) maka udara cenderung bergerak ke
bawah. Untuk gerakan udara di belahan bumi selatan (BBS) jika vortisitas
relatif lebih dari nol (>0), maka udara akan cenderung bergerak ke bawah,
sebaliknya jika vortisitas relatif kurang dari nol (<0) maka udara akan
cenderung bergerak ke atas.
2.5. Divergensi
Divergensi merupakan model untuk mendeteksi kecenderungan udara
tersebut terpumpun atau sebaliknya yang dilihat dari komponen
horizontalnya.
3. METODOLOGI PENELITIAN
Data yang digunakan adalah data pengukuran curah hujan menggunakan
penakar hujan obs yang tersebar di wilayah Jakarta berupa stasiun BMKG
dan pos hujan kerjasama pada tanggal 1013 November 2013. Selain
itu, digunakan data synop pada tanggal 13 November 2013 dari Stasiun
Meteorologi Kemayoran, Tanjung Priok, dan Cengkareng. Untuk
mengetahui pola angin, divergensi, dan vortisitas digunakan data GSM
yang diolah dengan software GRADS. Kemudian untuk mengetahui daerah
liputan awan digunakan citra satelit OCAI. Sementara kondisi udara atas
dapat diketahui dari profil sounding yang diolah dengan software RAOB.
Sebagai tambahan juga dianalisis anomali SST.
29
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
30
Analisa Kejadian Cuaca Buruk di Jakarta
(Studi Kasus Banjir Tanggal 13 November 2013)
Tabel 1. Data curah hujan DKI Jakarta tanggal 1013 November 2013
(dalam mm)
31
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
Berdasarkan data diatas maka curah hujan yang terukur mulai tanggal 10
November 2013 masih berada <20 mm/hari, kemudian pada tanggal 11
November ada beberapa titik seperti Angke Hulu, Katulampa, Manggarai
nilainya antara 2035 mm/hari, puncaknya terjadi pada tanggal 12 dan 13
November data hujan yang terukur meningkat menjadi 5070 mm/hari
seperti yang terjadi di titik Krukut Hulu, Sunter Hulu, Istana, Manggarai,
Setiabudi, dan Teluk Gong. Kemudian distribusi curah hujan pada tanggal
13 November 2013 yang tersebar di wilayah Jakarta dengan hujan lebat
(50100 mm/hari) hampir mendominasi seluruh wilayah Jakarta.
32
Analisa Kejadian Cuaca Buruk di Jakarta
(Studi Kasus Banjir Tanggal 13 November 2013)
Gambar 2. Streamline angin lapisan 3000 Feet (Sumber: BOM dan BMKG)
33
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
35
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
Sementara nilai divergensi dengan satuan s-1 s-1 pada tanggal 13 November
2013 yaitu bernilai minus (-) yang artinya pergerakan massa udara terpumpun
atau mengumpul. Di mana nilai divergensi minus dapat menyebabkan
berbagai gangguan cuaca seperti shearline, konvergensi, tekanan rendah, dan
lain-lain yang menyebabkan curah hujan ringan hingga cukup tinggi yang
dapat mengakibatkan banjir.
36
Analisa Kejadian Cuaca Buruk di Jakarta
(Studi Kasus Banjir Tanggal 13 November 2013)
37
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
Dari tabel nilai indeks labilitas atmosfer, dapat dilakukan analisis terhadap
nilai-nilai indeks labilitas dengan membaca nilai index labilitas tersebut
untuk mengetahui labilitas suatu atmosfer yang merupakan penyebab
terjadinya banjir pada tanggal 13 November 2011 di Jakarta. Selain itu
dapat diketahui juga ketinggian dasar awan (CCL), puncak awan (EL), dan
lapisan beku (FL).
38
Analisa Kejadian Cuaca Buruk di Jakarta
(Studi Kasus Banjir Tanggal 13 November 2013)
Data sounding yang digunakan yaitu tanggal 13 November 2013 pada jam
00 UTC. Nilai SI -1,9 menandakan kemungkinan terjadi TS di wilayah
Jakarta. Nilai LI -3.6 menandakan atmosfer yang labil dan kemungkinan
terjadi TS. Nilai KI 35,5 menandakan adanya konvektif sedang. Nilai
SWEAT Indeks 220,0 menandakan pertumbuhan awan-awan konvektif.
39
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
40
Analisa Kejadian Cuaca Buruk di Jakarta
(Studi Kasus Banjir Tanggal 13 November 2013)
5. KESIMPULAN
Dari analisis yang telah dilakukan, fenomena yang memicu terjadinya
intensitas hujan yang tinggi hingga mengakibatkan banjir pada tanggal
13 November 2013 yaitu (1) Berdasarkan data sounding dan dengan
menganalisis indeks-indeks labilitas atmosfer pada tanggal 13 November
2013, dapat dilihat bahwa labilitas atmosfer cukup tinggi di mana menandakan
tingginya frekuensi terjadinya gangguan cuaca yang mengakibatkan curah
hujan yang cukup tinggi sehingga dapat menyebabkan terjadinya banjir. (2)
Pada tanggal 13 November 2013, vortisitas dan divergensi bernilai minus
(-) yaitu menandakan bahwa pada tanggal tersebut massa udara bergerak
ke atas yang menimbulkan adanya pertumbuhan awan-awan konvektif
yang juga dapat dilihat dari data synop, streamline, anomali SST, dan citra
satelit. Adanya pergerakan massa udara yang mengumpul yang disebut
konvergensi sebagai penyebab terjadinya gangguan-gangguan cuaca yang
mengakibatkan hujan dengan intensitas tinggi. (3) Kejadian banjir pada
41
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
DAFTAR PUSTAKA
Bayong. 2006. Meteorologi Indonesia Vol. 2. Jakarta: BMG.
http://www.esrl.noaa.gov/psd/data/gridded/data.ncep.reanalysis.surface.
html, diakses tanggal 20 November 2013.
http://jakarta.okezone.com/read/2013/11/13/500/896502/waspada-banjir-
ini-baru-awal-hujan-di-jakarta, diakses tanggal 20 November 2013.
http://meteo.bmkg.go.id/prakiraan/streamline, diakses tanggal 22 November
2013.
http://www.ogimet.com/index.phtml.en, diakses tanggal 21 November
2013.
http://reg.bom.gov.au/reguser
http://satelit.bmkg.go.id/satelit/, diakses tanggal 21 November 2013.
http://weather.unisys.com/archive/sst/, diakses tanggal 22 November 2013.
http://weather.uwyo.edu/upperair/sounding.html, diakses tanggal 21
November 2013.
Kurniawan, 2003. Jurnal Meteorologi dan Geofisika 4(33): 2427. Juli
September 2003. BMG. Jakarta.
Kurniawan, Edison. 2005. Jurnal Meteorologi dan Geofisika, 6(1): 7581
Maret 2005. BMG. Jakarta.
42
Analisa Kejadian Cuaca Buruk di Jakarta
(Studi Kasus Banjir Tanggal 13 November 2013)
43
WHY THE FLOOD ALWAYS
RETURN TO JAKARTA;
HISTORICAL LAND USE
CHANGES AND GEO-
ENVIRONMENTAL ANALYSIS
Fatwa Ramdania
Geoenvironment, Institute of Geography, Department of Earth Science,
Graduate School of Science, Tohoku University, Sendai,
Japan, 980-8578. Tel.: +8122-795-4782
E-mail: fatwa@s.tohoku.ac.jp
ABSTRACT
Flooding always return to Jakarta when the rainy seasons is coming. Many efforts
have been done by the Provincial Government to overcome the issue. This study
attempts to describe the reasons why the flood always returns through the historical
land use changes and geo-environmental analysis of Jakarta Megapolitan. We
employed remotely-sensed data; optical sensor for urban land use extraction
information and radar sensor for geo-hydrology extraction variables. GRASS
GIS open source software was used for the imagery processing. It is concluded
that the poor management of land use transformation, lack management of
streamsand basins, were lead to severe flood. Basins and streams extraction also
shown that Jakarta is river`s city, where the water will always flow into the city.
Revitalization of streams buffer, minor streams, and basin management are
priorities to avoid more suffered from floods.
Keywords: Flood, Land Use Changes, Remote Sensing, GIS, Jakarta
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
ABSTRAK
Banjir selalu kembali ke Jakarta ketika musim hujan datang. Banyak upaya
telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi untuk mengatasi masalah ini.
Penelitian ini mencoba untuk menggambarkan alasan mengapa banjir selalu
kembali melalui perubahan penggunaan lahan historis dan analisis geo-
lingkungan dari Jakarta Megapolitan. Kami menggunakan data penginderaan
jauh; sensor optik untuk informasi ekstraksi penggunaan lahan perkotaan
dan sensor radar untuk variabel ekstraksi geo-hidrologi. GRASS GIS
perangkat lunak open source yang digunakan untuk pengolahan citra. Dapat
disimpulkan bahwa buruknya pengelolaan penggunaan lahan transformasi,
manajemen kurangnya cekungan streamsand, yang menyebabkan banjir
parah. Baskom dan ekstraksi sungai juga menunjukkan bahwa Jakarta
adalah kota river`s, di mana air akan selalu mengalir ke kota. Revitalisasi
penyangga sungai ini, sungai kecil, dan pengelolaan DAS yang prioritas
untuk menghindari lebih menderita banjir.
Kata kunci: Banjir, Penggunaan Lahan Perubahan, Remote Sensing, GIS,
Jakarta
1. BACKGROUND
Jakarta is Indonesia capital city which is always suffered from floods during
rainy season throughout its history. The floods of 1996, 2002 and 2007
were the greatest and most destructive ever recorded in Jakarta. The 2007
flood as much as 4,370 km2 of the city was affected, displacing a recorded
500,000 people from their homes with an estimated economic cost of roads
damages was US$ 15.4 million. Floods history in Jakarta is summarized in
the Table 1.
Many efforts have been done by the government to overcome the floods. For
example the Jakarta East Flood Canal development, that was completed in
2011. Construction of the 23.5-kilometer East Flood Canal was begun in
46
Why The Flood Always Return To Jakarta;
Historical Land Use Changes and Geo-Environmental Analysis
2003. The canal started to operate in late 2009 after it reached the Java Sea,
linking five major waterways in East Jakarta: the Cipinang, Sunter, Buaran,
JatiKramat and Cakung rivers.
In the year 2013, the city allocated Rp2.5 trillion (US$205 million) city
budget to fund flood mitigation projects, including dredging projects and
the construction of around 2,000 absorption pits. [2]
The other effort is supported by international financial institution, such
as from World Bank. World Bank supports the development of canals
and technical assistant for managements with the commitment amount
is US$139.64 million. The name of the project is Jakarta Urgent Flood
Mitigation Project. The development objective of this project is to contribute
to the improvement of the operation and maintenance of priority sections
of Jakartas flood management system. There two components to the project
(period 20122017). The first component is dredging and rehabilitation of
selected key floodways, canals and retention basins. This component will
support the dredging and rehabilitation of 11 floodways or canals and four
retention basins which have been identified as priority sections of the Jakarta
flood management system in need of urgent rehabilitation and improvement
in flow capacities. The dredge material will be transported and disposed
into proper disposal sites. The second component is technical assistance
for project management, social safeguards, and capacity building. This
component will support contracts management, engineering design reviews,
construction supervision engineers for the dredging and rehabilitation works
and technical assistance for implementation of the project, including the
resettlement policy framework, resettlement plans and the grievance redress
system. [3]
47
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
Cisadane
1329 Ciliwung, Heavy rain >62,0004 No data Approximately 134,662
January 2014 Pesangrahan persons or 38,672
and Krukut households in 100 urban
villages are directly
Cisadane affected by floods, with
12 casualties4
Source: [4]
1
http://reliefweb.int/disaster/fl-2013-000006-idn
2
http://edition.cnn.com/2013/01/18/world/asia/indonesia-jakarta-floods/
3
http://www.who.int/hac/crises/idn/sitreps/indonesia_floods_sitrep_
jakarta_23january2013.pdf
4
http://reliefweb.int/map/indonesia/indonesia-update-jakarta-floods-21-january-2014
Furthermore, the other factor that makes floods more severe is the population
development of Jakarta. In year 2002 population of Jakarta approximately
48
Why The Flood Always Return To Jakarta;
Historical Land Use Changes and Geo-Environmental Analysis
8.5 million people, in year 2006 increased to 8.96 million people, and in the
next five years is estimated as 9.1 million people. Population density in 2002
reached 12,664 inhabitants per km2, in 2006 reaching 13 545 inhabitants
per km2 and estimated that in five years reached 13, 756 inhabitants per km2.
The rate of population growth in the period 19801990 was 2.42 percent
per year, decreased in the 19902000 period at a rate of 0.16 percent. In
the period 20002005, the population growth rate at 1.06 percent per year.
[5]
The population development and population rate of Jakarta is shown the
Figure 1.
49
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
50
Why The Flood Always Return To Jakarta;
Historical Land Use Changes and Geo-Environmental Analysis
The purposes of this study are to documentes the land use changes and geo-
environmental condition of Jakarta and explain why the flood always returns.
We hope this study could contribute in order to help the government efforts
to overcome the floods.
Objectives
The objectives of this study are: (1) To produce urban land use changes
detection from year 1982 and year 2013 of Jakarta and it`s satellite cities. (2)
To extract the basins and streams map for hydrological background analysis.
(3) To create elevation profile where was the flood event happened. These
maps are valuable treasures to improve our understanding whythe flood
always return to Jakarta every rainy season comes.
2. STUDY AREA
Study area is Jakarta Megapolitan Area, we subset the study area into
158,000 ha enclosed area. Located on the northwest coast of Java, Jakarta is
the countrys economic, cultural and political center, and with a population
of 9,932,063 people in year 2012, it is the most populous city in Indonesia.
The official megapolitan area, known as Jabodetabek (a name formed by
combining the initial syllables of Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang and
Bekasi), is the second largest in the world, yet the megapolis`s suburbs still
continue growing beyond it (ie. Depok City). This megapolitan has population
of over ~30 million, making it one of the worlds largest conurbations in
terms of number of inhabitants. Jakarta has grown more rapidly than Kuala
Lumpur, Beijing and Bangkok. Shinjyuku of Jakarta is new extended area
of Central Business District in southern Jakarta (Figure 3)
51
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
52
Why The Flood Always Return To Jakarta;
Historical Land Use Changes and Geo-Environmental Analysis
53
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
Figure 4. Methodology
54
Why The Flood Always Return To Jakarta;
Historical Land Use Changes and Geo-Environmental Analysis
55
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
Agricultural fields and green space play a main role in order to catch the water
when the rainy season comes. Sub streams also play a role as a place for water
flow from the higher elevation to the lower elevation and send the water to
the main streams. Upper-streams region in year 1982 was dominated by
agricultural fields and dense to sparse vegetation cover.
For year 2013, Jakarta lost most of its sub streams because of population
increase that influence the higher demand of settlements. Unfortunately,
migrants chose the river-side environment as their settlements. Agricultural
fields in the upper-streams region in the southern part than transform
into impervious surfaces. The place for water was occupied by man-made
structures then lead to heavy floods when rainy seasons come.
In Jakarta, river-side environments are in bad condition. From the assessment
using remotely-sensed image we can see that there is no buffer zone available
(Figure 6). Uncontrolled development can be seen from the density of man-
made objects along river-side.
Uncontrolled development and transformation within inner city and
satellite cities was identified from satellite images. Especially the river-side
environment, there are no reservation of precious waterside areas along river-
side (Figure 6). There are no improvement and development of minor rivers
to protect Jakarta from suffered serious damage of floods.
56
Why The Flood Always Return To Jakarta;
Historical Land Use Changes and Geo-Environmental Analysis
From the basins and streams extraction we can understand that Jakarta is
the rivers-city. There are many main streams consists of many sub streams
flow through the city. Miss management of main streams, sub streams, and
great basin surrounding megaurban leads to huge amount of surface run-off
those cause heavy floods. At least there are six basins covered Jakarta and
it`s satellite cities. These six basins play main role to create the floods. The
coverage areas of every six basins in Jakarta are shows in Figure 7.
57
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
From Figure 8 we have more understanding that floods event was associated
with lower elevation physical environment (552 meter above sea level) and
floods happened near the main and sub streams. Furthermore, Figure 9 gives
us deeper analysis in floods event distribution based on elevation profile.
58
Why The Flood Always Return To Jakarta;
Historical Land Use Changes and Geo-Environmental Analysis
Figure 10. Floods event distribution based on elevation. Floods event year
2013 used as based to extract elevation values from ASTER
GDEM image
From the Figure 9 above, floods was happened mostly in elevation between
8 meter to 20 meter above sea level. The streams characteristic also inform
us that the geomorphology of Jakarta is alluvial lowland plan. A dendritic
drainage pattern was identified from the streams extraction of ASTER
GDEM. A dendritic drainage pattern is the most common form and looks
like the branching pattern of tree roots. It develops in regions underlain
by homogeneous material, in the Jakarta case is alluvial soil forms. Jakarta
alluvial lowland plan was created by the deposition of sediment over long
period that coming from highland regions. The source of the alluvial material
is from upper streams in the southern part of Jakarta.
5. CONCLUSIONS
Dramatically land use changes from 1982 to 2013 were identified and river-
side suffered from impervious surface developments. Urban transformation
59
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
in the inner city and the development in the satellite cities which is also play a
role as the upper streams region of Jakartas basins, have a direct relationship
with the water flows that leads to flooding.
From basins and streams extraction it can be understood that Jakarta is
river`s city. There are many main streams and sub streams flow through the
city and there are six main basins covered the city and satellite cities. The
geomorphology of Jakarta is alluvial lowland plan, which is means the water
will always flow into the city.
Flooding will always return to Jakarta since the basins and streams
management is poor. Land use changes should be appropriate with the
spatial plan, and it is needed law enforcement. Urban green space and river-
side management need to get more attention.
Recommendations
Revitalization of streams buffer, minor streams, and basin management are
priorities to avoid more suffered from floods. Law enforcement in spatial
planning implementation is needed. More effort in northern part is needed
since the rise of sea level will leads to flood. The UNEP Intergovernmental
Panel on Climate Change concludes that sea rise from global warming will
permanently inundate large areas of major urbanized regions of Asia, and
heavy precipitation events will continue to become more frequent over of
the world throughout the 21st century. [8]
Furthermore, the most difficult part is how to re-settle thousands of urban
inhabitants from river-side environment? Education is the keyword. Urban
inhabitants need to be educated about the importance of buffer area along
the river-side. It will take long years, but it can begin now. Provincial
government has to buy the lands that occupied by impervious surface and
then returning the function into the urban green space.
Coordination between Jakarta`s government and the governments of
its satellite cities need to optimized based on the basins that covered the
administration areas.
60
Why The Flood Always Return To Jakarta;
Historical Land Use Changes and Geo-Environmental Analysis
REFERENCES
Bates, Bryson, Zbigniew W. Kundzewicz, Jean Palutikof and Shaohong Wu.
2008. Climate change and water. Intergovernmental Panel on Climate
Change. London: IPCC Working Group II Technical Support Unit
http://bplhd.jakarta.go.id/slhd2012/Docs/pdf/Buku%20I/Buku%20I%20
Bab%203A.pdf
http://www.dartmouth.edu/~floods/Archives/
http://www.jakarta.go.id/web/news/2008/01/Demografi-Jakarta
http://waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article
&id=159647:minister-jakarta-east-flood-canal-accomplished-in-
2011&catid=30:english-news&Itemid=101
http://sp2010.bps.go.id/index.php/site?id=31&wilayah=DKI-Jakarta
http://www.thejakartapost.com/news/2014/01/09/widespread-flooding-
disrupts-road-rail-traffic.html
http://www.worldbank.org/projects/P111034/jakarta-urgent-flood-
mitigation-project?lang=en
61
PENENTUAN DISTRIBUSI
SPASIAL DAERAH BAHAYA
BANJIR DI 6 (ENAM) SUB
DAS WILAYAH DKI JAKARTA
MENGGUNAKAN DATA
PENGINDERAAN JAUH
ABSTRAK
Banjir di wilayah DKI Jakarta sudah menjadi fenomena alam tahunan,
bahkan sudah terjadi sejak zaman Belanda. Keberadaan 6 sub DAS yang
mengalir di wilayah DKI Jakarta yang kondisinya semakin buruk akibat
perkembangan dan pembangunan perkotaan merupakan salah satu penyebab
makin parahnya dampak banjir yang terjadi saat ini. Salah satu pilihan
solusi penanganan banjir di DKI Jakarta adalah dengan mengembangkan
instrumen analisis bahaya dan penyediaan informasi distribusi spasial daerah
bahaya banjir dengan memanfaatkan data penginderaan jauh. Tulisan ini
menyajikan hasil analisis penilaian guna memetakan distribusi spasial daerah
bahaya banjir dengan memanfaatkan data inderaja. Data yang digunakan
adalah data Landsat TM tahun 2012, data DEM SRTM 90 m, peta land
system dan topografi. Analisis zona bahaya dilakukan dengan menggunakan
teknologi sistem informasi geografis (GIS) berdasarkan parameter penutup/
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
ABSTRACT
Flood has become an annual natural phenomenon in Jakarta, even have occurred
since the Dutch era. The existence of six sub-watersheds that flow in Jakarta is
getting worse due to the urban development that cause of severe flood impacts
in this time. One of the solution options of flood mitigation in Jakarta is to
develop instruments hazard analysis and provision of information on the spatial
distribution of the flood hazard areas by using remote sensing data. This paper
presents the spatial distribution of the flood hazard areas by utilizing the remote
sensing data. The data used was Landsat TM in 2012, SRTM DEM data, land
system map and topographic data. Analysis of the hazard zone is done based GIS
method using parameters land use/Landcover, slope, and distance from the river.
The result showed that more than 99% (of the total area of sub water catchment)
in Angke Pesanggrahan (99.52%), Cakung (99.87%), Kali Buaran (99.62%),
Kali Sunter (99.41%) and Kali Krukut (99.40%) are in moderate to high
prone area, except sub Ciliwung that only 79.03%. According to the ground
survey it was indicated that all locations of the floods that occurred in 2013 and
2014 were in moderate prone area (8.14%) and high prone area (91.86%).
Keywords: DKI Jakarta, Flood Hazard, Landsat TM
64
Penentuan Distribusi Spasial Daerah Bahaya Banjir di 6 (Enam)
Sub Das Wilayah DKI Jakarta Menggunakan Data Penginderaan Jauh
1. PENDAHULUAN
Banjir di wilayah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta seakan sudah
menjadi langganan tahunan. Bahkan di wilayah Jakarta, kejadian banjir telah
terjadi sejak zaman Belanda. Meskipun Belanda telah membangun Kanal
Banjir Barat, namun hingga kini banjir tetap menjadi fenomena tahunan
yang masih sulit diatasi.
Banyak faktor yang menjadi penyebab banjir yang melanda wilayah DKI
Jakarta, antara lain keberadaan 13 sungai yang mengalir dan bermuara di
Teluk Jakarta dan hampir 40% luas area yang lebih rendah dari permukaan
laut, dan indikasi makin terdegradasinya wilayah Daerah Aliran Sungai
(DAS) bagian hulu, khususnya DAS Ciliwung sebagai penyumbang terbesar
banjir di DKI Jakarta. Kondisi tersebut makin diperparah oleh kondisi makin
luasnya daerah terbangun akibat perkembangan perkotaan, buruknya sistem
drainase, rendahnya tingkat kesadaran penduduk terhadap lingkungan,
makin menyempitnya badan air akibat pemanfaatan bantaran sungai sebagai
permukiman, sedimentasi yang mengakibatkan pendangkalan sungai,
adanya penurunan permukaan tanah (land subsidence) akibat eksploitasi air
tanah, dan indikasi adanya perubahan iklim.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah setempat, tetapi
upaya tersebut dirasa masih kurang optimal. Pada forum diskusi pakar
mengenai banjir Jakarta pada tanggal 12 Februari 2013 di IPB Bogor
direkomendasikan bahwa penanganan banjir harus dilakukan secara
terintegrasi dan menyeluruh (integrated flood management), yakni kombinasi
antara upaya yang bersifat infrastruktur dan nonstruktur guna menekan
besarnya kerugian yang diakibatkan oleh banjir (flood damage mitigation).
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui penelitian dan
pengembangan teknologi mitigasi yang tepat, efektif, dan efisien. Untuk
tujuan ini, pemanfaatan teknologi penginderaan jauh (inderaja) sangat
diperlukan. Horritt et al. (2001) menunjukkan bahwa data inderaja
mempunyai potensi yang sangat baik untuk pemetaan distribusi banjir.
65
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
66
Penentuan Distribusi Spasial Daerah Bahaya Banjir di 6 (Enam)
Sub Das Wilayah DKI Jakarta Menggunakan Data Penginderaan Jauh
Tulisan ini merupakan hasil perbaikan metode dan analisis dari tulisan
sebelumnya yang diterbitkan pada Prosiding Seminar Nasional Penginderaan
Jauh 2014: Penguatan kemandirian melalui peningkatan kualitas
penyelenggaraan penginderaan jauh untuk mendukung Pembangunan
Nasional dengan judul Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk
Analisis Pengaruh Perubahan Lahan terhadap Distribusi Spasial Daerah
Bahaya banjir di DKI Jakarta dan Koefisien Aliran Permukaan. Prosiding
tersebut merupakan salah satu paper yang disajikan dalam Seminar Nasional
Penginderaan Jauh yang diadakan pada tanggal 21 April 2014 di IPB
Convention Center, Bogor.
Tulisan ini menyajikan hasil analisis penilaian guna memetakan distribusi
spasial daerah bahaya banjir dengan memanfaatkan data inderaja.
Metode
Kegiatan analisis ini dilakukan melalui beberapa tahapan pekerjaan, yakni: a.
Ekstraksi informasi penutup/penggunaan lahan dari data Landsat TM tahun
2012. b. Koreksi data DEM SRTM (90 m) terhadap data titik tinggi dari
BIG, c. Ekstraksi informasi elevasi, kemiringan lereng, dan jaringan sungai
dari data DEM SRTM, d. Pembagian kelas dataran banjir dan non banjir
dari data Land System, e. Penentuan jarak (buffering) dari aliran sungai, f.
67
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
68
Penentuan Distribusi Spasial Daerah Bahaya Banjir di 6 (Enam)
Sub Das Wilayah DKI Jakarta Menggunakan Data Penginderaan Jauh
69
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
70
Penentuan Distribusi Spasial Daerah Bahaya Banjir di 6 (Enam)
Sub Das Wilayah DKI Jakarta Menggunakan Data Penginderaan Jauh
71
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
Parameter penentu lain yang diekstraksi dari data inderaja adalah kemiringan
lereng (Gambar 4). Parameter ini diekstraksi dari data SRTM 90 m.
Selanjutnya, parameter ini dikelaskan menjadi 7 kelas dan diberi skor seperti
yang disajikan secara ringkas pada Tabel1.
Parameter kemiringan lereng atau kelerengan juga berpengaruh terhadap
besarnya aliran permukaan. Pada lahan dengan kelerengan curam, kecepatan
aliran akan meningkat sehingga yang terinfiltrasi akan berkurang. Kondisi
ini menyebabkan sebagian besar curah hujan yang jatuh menjadi aliran
permukaan, terutama apabila permukaan tanah juga kedap terhadap air
karena tertutup oleh aspal dan bangunan. Dengan demikian, parameter
kelerengan juga sangat penting dipertimbangkan dalam penentuan distribusi
daerah bahaya banjir.
Berdasarkan kelas kemiringan lereng terlihat bahwa sebagian besar wilayah
di 6 sub DAS DKI Jakarta berada pada permukaan yang datar dan landai,
khususnya pada wilayah tengah dan hilir. Sementara itu, sebagian permukaan
dengan kondisi curam dan agak curam/bergelombang terdapat di hulu sub
DAS Ciliwung (Gambar 4).
72
Penentuan Distribusi Spasial Daerah Bahaya Banjir di 6 (Enam)
Sub Das Wilayah DKI Jakarta Menggunakan Data Penginderaan Jauh
73
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
Gambar 5. Hasil klasifikasi jarak dari sungai di 6 sub DAS di wilayah DKI
Jakarta tahun 2012
74
Penentuan Distribusi Spasial Daerah Bahaya Banjir di 6 (Enam)
Sub Das Wilayah DKI Jakarta Menggunakan Data Penginderaan Jauh
teras sungai, tanggul alam, dataran banjir, rawa belakang, kipas aluvial, dan
delta merupakan bentuk lahan yang rawan banjir dan mempunyai topografi
yang datar. Sementara itu menurut Isnugroho (2006) dalam Pratomo
(2008), ada 4 tipologi yang dikategorikan sebagai daerah rawan banjir, yakni:
daerah pantai, daerah dataran banjir (floodplain area), daerah sempadan
sungai, dan daerah cekungan. Daerah pantai merupakan dataran rendah
yang elevasi permukaan tanahnya lebih rendah atau sama dengan elevasi air
laut pasang rata-rata dan tempat bermuaranya sungai. Daerah dataran banjir
adalah daerah yang berada di kanan-kiri sungai yang permukaan tanahnya
landai dan relatif datar. Pada kondisi permukaan tanah tersebut aliran air
menuju sungai akan sangat lambat sehingga daerah tersebut rawan terhadap
banjir, baik karena luapan air sungai ataupun karena hujan lokal. Daerah
dataran banjir ini umumnya terbentuk dari endapan lumpur yang subur.
Dalam perkembangannya, biasanya daerah ini banyak dimanfaatkan untuk
pertanian (sawah), permukiman, perkotaan, pusat kegiatan bisnis, dan
sebagainya. Pengembangan pertanian dan perkotaan pada daerah dataran
banjir ini akan mengurangi kemampuannya dalam menampung debit
aliran permukaan yang tinggi. Sempadan sungai merupakan daerah rawan
banjir. Akan tetapi, di wilayah perkotaan daerah sempadan sungai seringkali
dimanfaatkan sebagai permukiman dan kegiatan usaha sehingga apabila
terjadi luapan sungai akan menyebabkan bencana bagi daerah tersebut yang
dapat menimbulkan kerugian harta dan jiwa. Daerah cekungan terdapat baik
di dataran rendah maupun di dataran tinggi. Daerah ini berpotensi menjadi
daerah rawan banjir terutama apabila penataan kawasan tidak terkendali dan
sistem drainasenya kurang baik. Hasil klasifikasi bentuk lahan di wilayah 6
Sub DAS yang ada di wilayah Jakarta, wilayah yang termasuk dalam kelas
dataran banjir dan aluvial berada di bagian utara wilayah Jakarta (Gambar
6). Wilayah ini merupakan daerah yang memiliki potensi bahaya banjir yang
paling tinggi. Untuk kepentingan penentuan distribusi daerah bahaya banjir,
parameter bentuk lahan diklasifikasi menjadi 4 kelas. Pembagian masing-
masing kelas dan nilai skornya seperti yang disajikan pada Tabel 1.
75
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
76
Penentuan Distribusi Spasial Daerah Bahaya Banjir di 6 (Enam)
Sub Das Wilayah DKI Jakarta Menggunakan Data Penginderaan Jauh
tingkat infiltrasi lambat hingga sangat lambat. Hal ini dikarenakan pada
wilayah tersebut, sebagian besar tertutup oleh permukiman. Kondisi ini
berdampak pada meningkatnya jumlah aliran permukaan yang berpotensi
menggenangi wilayah tersebut (Gambar 7).
Berdasarkan parameter-parameter yang disajikan di atas dan proses skoring
masing-masing parameter (Tabel 1) serta integrasi semua parameter melalui
Sistem Informasi Geografis (SIG) diperoleh peta distribusi spasial bahaya
banjir di 6 Sub DAS di wilayah DKI Jakarta (Gambar 8). Distribusi spasial
bahaya banjir dikategorikan menjadi 4 (empat) kelas, yakni 1. aman, 2.
rendah, 3. sedang, dan 4. tinggi. Sementara itu, luas masing-masing kelas
bahaya banjir untuk masing-masing sub DAS disajikan pada Gambar 9.
77
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
78
Penentuan Distribusi Spasial Daerah Bahaya Banjir di 6 (Enam)
Sub Das Wilayah DKI Jakarta Menggunakan Data Penginderaan Jauh
Gambar 10. Peta daerah rawan banjir Jakarta pada bulan November 2011/
BMKG (Sumber: Pangestu, 2011).
Hasil survei pada daerah kejadian banjir pada tahun 2013 dan 2014 di 86
titik lokasi di wilayah Jakarta, Bekasi, dan Tangerang yang diplotkan pada
peta distribusi daerah bahaya banjir menunjukkan bahwa lokasi kejadian
banjir berada pada daerah yang terpetakan termasuk kelas bahaya sedang
sebanyak 5 titik (8.14%) dan kelas bahaya tinggi sebanyak 79 titik (91.86%)
(Gambar 11). Hal ini memperlihatkan bahwa pemetaan daerah bahaya
banjir menggunakan data inderaja yang dilakukan dalam analisis ini sangat
baik dan akurat.
80
Penentuan Distribusi Spasial Daerah Bahaya Banjir di 6 (Enam)
Sub Das Wilayah DKI Jakarta Menggunakan Data Penginderaan Jauh
Gambar 11. Hasil validasi peta distribusi daerah bahaya banjir dengan titik-
titik lokasi kejadian banjir tahun 2013 dan 2014
Ada beberapa faktor yang menjadikan banjir di DKI Jakarta makin parah,
antara lain: terjadinya penyempitan sungai/kali yang menyebabkan makin
berkurangnya area tangkapan air (catchment area), khususnya di Jakarta
Timur, Jakarta Selatan, dan Jakarta Barat. Sebagai contoh: lebar Kali
Krukut yang saat ini rata-rata hanya 5 meter dari yang seharusnya 10 meter.
Untuk dapat berfungsi secara normal sebagai daerah tangkapan air, minimal
dibutuhkan lebar sekitar 20 meter. Penyebab penyempitan sungai antara
lain: makin banyaknya bangunan permukiman di kiri kanan sungai, sampah,
pendangkalan sungai akibat sedimentasi, dan sebagainya. Kondisi ini yang
menjadikan kali atau sungai mudah meluap, meski intensitas curah hujan
tidak terlalu tinggi. Sudah dapat dipastikan, jika luapan sungai ini akan
81
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
82
Penentuan Distribusi Spasial Daerah Bahaya Banjir di 6 (Enam)
Sub Das Wilayah DKI Jakarta Menggunakan Data Penginderaan Jauh
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, D. 1997. The study of natural disasters, 19771997: Some
reflections on a changing field of knowledge. Disasters 21(4): 284304.
Asriningrum, W., A.S. Hapip, H. Gunawan, I. Prasasti, A. Hidayat,
Sumardjo. 1998. Analisis daerah rentan banjir Jakarta dan sekitarnya
berdasarkan klasifikasi bentuk lahan dan penutup/penggunaan lahan
dari citra Jers-1. Majalah LAPAN. No. 85. Th XXII April 1998.
Dibyosaputro, S. 1984. Flood Susceptibility and Hazard Survey of The
Kudus Prawata Welahan Area, Central Java. Indonesia [Thesis]. ITC,
Enschende, Netherlands.
Hariyadi. 1999. Penentuan Besar Limpasan Air Permukaan (Run-off)
Daerah Aliran Sungai Ciliwung Menggunakan Data Spasial HEC-1
untuk Pendugaan banjir Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Laporan
Penelitian. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas
Diponegoro, Semarang. P: 87. [Diakses tanggal 20 Mei 2014].
Horritt, M.S., D.C. Mason, A.J. Luckman. 2001. Flood boundary
delineation from synthetic aperture radar imagery using a statistical
active contour model. International Journal of Remote Sensing 22 (13):
24892507. [Diakses tanggal 20 Mei 2014].
Ibrahim, A. B., dan R. S. Lubis. 2007. Pengembangan Model untuk
Optimalisasi Pengelolaan DAS. Prosiding Workshop Sistem Informasi
Pengelolaan DAS: Inisiatif Pengembangan Infrastruktur Data, Bogor,
Meijerink, A.M.J. 1970. Photo Interpretation in Hidrology. A Geomor-
phologycalApproach. UTC.Delfs.
Morgan, R.P.C. 2005. Soil Erorion and Conservation, 3rd edition. New York:
John Wiley.
Nugroho, S.P. 2002. Evaluasi dan analisis curah hujan sebagai faktor
penyebab bencana banjir Jakarta. Jurnal Sains dan Teknologi Modifikasi
Cuaca. 3(2): 9197. [Diakses Tanggal 25 Agustus 2014].
83
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
84
PENURUNAN MUKA TANAH
DAN HUBUNGANNYA
DENGAN DAERAH RAWAN
BANJIR DI JAKARTA
ABSTRAK
Penurunan muka tanah telah terjadi dibeberapa lokasi di wilayah DKI Jakarta
yang diduga sebagai penyebab makin meluasnya dan tinggi daerah genangan
banjir. Penurunan muka tanah dapat diestimasi dengan memanfaatkan data
penginderaan jauh, seperti ALOS/PALSAR (Advanced Land Observation
Sattelite/Phased Array Type L-band Synthetic Aperture Radar). Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengestimasi penurunan muka tanah di Jakarta
dan hubungannya dengan daerah rawan banjir. Estimasi penurunan muka
tanah menggunakan data ALOS/PALSAR tahun 20072008 dengan
mengaplikasikan teknik Interferometric Synthetic Aperture Radar (InSAR),
sedangkan informasi distribusi spasial daerah rawan banjir diekstraksi dari
data penginderaan jauh hasil penelitian Pengembangan Model Pemanfaatan
Penginderaan Jauh untuk Penentuan Zona Bahaya dan Analisis Risiko
BanjirLembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)tahun
2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa data ALOS/PALSAR dengan
teknik InSAR dapat digunakan untuk mengestimasi penurunan muka
tanah dengan cukup baik, yakni daerah Kecamatan Cakung, Kecamatan
Cilincing, Kecamatan Cengkareng, dan Kecamatan Penjaringan merupakan
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
ABSTRACT
Land subsidence occurred in several location in Jakarta which was expected as
the cause of the increasing of the extent and height of inundated area. Land
subsidence can be estimated by utilize remote sensing data, such as ALOS/
PALSAR (Advanced Land Observation Sattelite/Phased Array Type L-band
Synthetic Aperture Radar). The purpose of this research is to estimate land
subsidence in Jakarta and its relation with flood prone area. Land subsidence
estimation using ALOS/PALSAR data from 20072008 using Interferometric
Synthetic Aperture Radar (InSAR), whereas the spatial distribution information
of flood prone area was extracted from remote sensing data from the research
of Remote Sensing Model Development for Flood Hazard Zone Determination
and Flood Risk Analysis- National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN)
2013. Research shows that ALOS/PALSAR data with InSAR technique can
be used to estimate land subsidence with good result. Kamal Muara, Cakung,
Cilincing, Cengkareng, and Penjaringandistrict have highest subsidence rate
around 2027 cm. Based on spatial distribution of flood prone area, these four
districtswere experienced the highest subsidenceis located on the high and highest
class of flood prone. Thus, the increasing of the extent and height of inundation
area is predicted caused by land subsidence.
Keywords: ALOS/PALSAR, flood prone area, InSAR, land subsidence
86
Penurunan Muka Tanah dan Hubungannya
dengan Daerah Rawan Banjir di Jakarta
1. PENDAHULUAN
Jakarta adalah ibukota negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang
paling tinggi di Indonesia. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik(BPS) tahun
2010 jumlah penduduk di Jakarta mencapai 9.607.787 jiwa dengan tingkat
kepadatan 14.469 jiwa/km2 (BPS, 2010). Secara geomorfologi dataran
Jakarta digolongkan ke dalam dataran alluvial pantai dan sungai. Dataran
ini mempunyai bentang alam datar, sungai bermeander yang sebelumnya
dataran rawa, baik rawa pantai, laguna, maupun rawa belakang akibat
limpasan yang melampaui tanggul alam. Dilihat dari karakteristik geologi,
formasi geologi Jakarta berumur holosen, dicirikan dengan batu endapan
permukaan dengan jenis batuan sedimen, batuan endapan permukaan,
batuan gunung api, dan batuan intrusi. Wilayah fisiografi Jakarta terletak
pada dataran rendah berupa paparan banjir yang berasal dari gunung Gede
Pangrango, Salak, dan Halimun membentang mulai dari daerah Serang
sampai Cirebon yang mengalami proses pelipatan (BPS, 2010).
Tingginya populasi penduduk di kota ini mengakibatkan pesatnya
pembangunan area permukiman. Perkembangan kota yang sangat pesat
juga terjadi untuk sektor industri, transportasi dan sektor lainnya sehingga
memberikan beban yang sangat besar terhadap permukaan tanah dan
penggunaan air tanah dalam skala besar. Kondisi geomorfologi dan fisiologi
seperti ini, didukung dengan pesatnya pembangunan perkotaan Jakarta,
secara alami akan rawan terhadap banjir dan penggenangan, disertai
penurunan muka tanah. Penurunan muka tanah merupakan suatu proses
gerakan permukaan tanah yang didasarkan pada suatu datum geodesi yang
terdapat berbagai macam variabel penyebabnya (Marfai and King, 2007).
Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya, penyebab penurunan muka
tanah di Jakarta disebabkan oleh pengambilan air tanah secara berlebihan,
kosolidasi alamiah lapisan tanah dan penurunan akibat beban bangunan
(Abidin et al. 2009; Chaussard et al. 2013;Ng et al. 2012).Penurunan tanah
suatu wilayah dapat dipantau dengan menggunakan beberapa metode, baik
metode-metode hidrogeologi (misalnya pengamatan level muka air tanah
serta pengamatan dengan ekstensometer dan piezometer), geoteknik, maupun
87
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
metode geodetik seperti survei sipat datar (levelling), survei gayaberat mikro,
survei GPS (Global Positioning System), dan InSAR (Interferometric Synthetic
Aperture Radar). Umumnya penurunan muka tanah terjadi pada periode
waktu yang lama dan dalam ukuran perubahan yang kecil sampai hitungan
sentimeter sehingga dibutuhkan metode yang mampu memetakan perubahan
permukaan sampai pada level tersebut. Oleh karena itu, teknik InSAR yang
digunakan dalam pemetaan penurunan muka tanah dalam penelitian ini
diharapkan mampu menghitung perubahan sampai skala kecil. Hal ini
dikarenakan, InSAR merupakan teknik pencitraan yang memanfaatkan
perbedaan fasa gelombang elektromagnetik untuk mendapatkan informasi
tinggi di suatu daerah (Ismullah, 2004; Ferretti et al. 2007)
Penurunan muka tanah dapat diestimasi menggunakan data penginderaan
jauh, seperti dengan data ALOS/PALSAR (Advanced Land Observation
Sattelite/Phased Array Type L-band Synthetic Aperture Radar).ALOS/PALSAR
merupakansalah satu jenis data penginderaan jauh SAR yang diluncurkan
oleh JAXA (Japan Aerospace Exploration Agency) pada 24 Januari 2006
melalui roket H-IIA. Data Synthetic Aperture Radar (SAR) dipilih karena
kemampuannya untuk merekam citra pada waktu siang dan malam hari
serta dapat menembus awan, kabut, dan asap sehingga informasi keadaan
permukaan dapat diperoleh untuk semua daerah dalam scene citra tersebut.
Tujuan penelitian ini adalah mengestimasi penurunan muka tanah
dengan memanfaatkan data penginderaan jauh ALOS/PALSAR dengan
menggunakan teknik InSAR dan hubungannya dengan daerah rawan banjir
di Jakarta.
2. METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini digunakan data ALOS/PALSAR dengan lokasi kajian
daerah Jakarta. Pengolahan data menggunakan 3 citra ascending ALOS/
PALSAR dari tanggal 3 Agustus 20072 Juni 2008 menggunakan metode
InSAR. Citra tanggal 3 Agustus 2007 dijadikan sebagai acuan nilai awal
kombinasi citra untuk menghitung perubahan ketinggian permukaan
tanah.
88
Penurunan Muka Tanah dan Hubungannya
dengan Daerah Rawan Banjir di Jakarta
89
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
90
Penurunan Muka Tanah dan Hubungannya
dengan Daerah Rawan Banjir di Jakarta
91
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
a b
cm-27 8
Gambar 2. Distribusi spasial penurunan muka tanah yang diestimasi
menggunakan ALOS/PALSAR dengan teknik InSAR di
Jakarta periode a. 3 Agustus 200718 September 2007 dan
b. 3 Agustus 20072 Juni 2008. Daerah yang mengalami
penurunan tanah yang tinggi ditunjukkan oleh tanda panah
merah.
92
Penurunan Muka Tanah dan Hubungannya
dengan Daerah Rawan Banjir di Jakarta
93
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
94
Penurunan Muka Tanah dan Hubungannya
dengan Daerah Rawan Banjir di Jakarta
95
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
96
Penurunan Muka Tanah dan Hubungannya
dengan Daerah Rawan Banjir di Jakarta
97
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
4. KESIMPULAN
Data ALOS/PALSAR dengan teknik InSAR cukup baik digunakan untuk
estimasi penurunan muka tanah sehingga menjadi alternatif yang baik
untuk dikembangkan lebih lanjut. Tingginya penurunan muka tanah
di sebagian besar daerah Jakarta Utara yang memiliki tingkat kerawanan
banjir yang tinggi dan sangat tinggi akan semakin meningkatkan peluang
terjadinya banjir dengan semakin dalam dan luasnya permukaan tanah yang
rendah. Akan tetapi, lokasi lainnya juga perlu mendapat perhatian karena
sekitar 37% daerah Jakarta merupakan daerah dengan tingkat kerawanan
banjir yang tinggi dan sangat tinggi sehingga perlu dilakukan antisipasi
untuk memperkecil peluang terjadinya banjir di daerah yang mengalami
penurunan muka tanah. Namun daerah dengan tingkat kerawanan banjir
yang rendah dan sedang yang berada di bantaran sungai perlu diperhatikan
karena adanya peluang banjir dari limpasan sungai.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, H.Z., H. Andreas, I. Gumilar, M. Gamal, Y. Fukuda, and T.
Deguchi. 2009. Land subsidence and urban development in Jakarta
(Indonesia).TS 6F Mapping, Aerial Survey and Remote Sensing I.
Abidin, H. Z., H. Andreas, I. Gumilar, T. P. Sidiq, M. Gamal, D.
Murdohardono, Supriyadi, and Y. Fukuda.2010. Studying land
subsidence in Semarang (Indonesia) using geodetic methods. FIG
Congress, Australia.
98
Penurunan Muka Tanah dan Hubungannya
dengan Daerah Rawan Banjir di Jakarta
Chaussard, E., F. Amelung, H. Abidin, and S.H. Hong. 2013. sinking cities in
Indonesia: ALOS PALSAR detects rapid subsidence due to groundwater
and gas extraction. Remote Sensing of Environment 128:150161.
Cigna F., B. Osmanolu, E. Cabral-Cano, T. H. Dixon, J. A. Avila-Olivera,
V. H. Garduo-Monroy, C. DeMet, S. Wdowinski. 2012. Monitoring
land subsidence and its induced geological hazard with synthetic
aperture radar interferometry: A case study in Morelia, Mexico. Remote
Sensing of Environment, 117:146161.
Ferretti A., A. M. Guarnieri, C. Prati, and F. Rocca.2007. InSAR Principles:
Guidelines for SAR Interferometry Processing and Interpretation.
European Space Agency.
Gambaran Umum Wilayah Jakarta (http://ppejawa.com/12_dki_jakarta.
html, diakses 30 November 2014).
IPCC.2007. IPCC: Synthesis report. Contribution of working groups I - Fourth
assessment report of the Intergovernmental Panel on Climate Change.
Cambridge. UK: Cambridge Univ Press.
Ismullah, I. H. 2004. Pengolahan fasa untuk mendapatkan Model Tinggi
Permukaan Dijital (DEM) pada Radar Apertur Sintetik Interferometri
(InSAR) data satelit. PROC. ITB Sains & Tek, 36A(1):1132.
Jumlah penduduk Provinsi DKI Jakarta per Kab/Kota tahun 2010 (http://
jakarta.bps.go.id/index.php?bWVudT0yMzA0JnBhZ2U9ZGF0YSZzdW
I9MDQmaWQ9MTE=, diakses 30 November 2014)
Lazecky, M., E. Jirankova, and D. Bohmova. 2010. Usage of InSAR
techniques to detect and monitor terrain subsidence due to mining
activities, Geoscience Engineering, LVI(4):3249. ISSN 1802-5420.
Lubis, A. M., T. Sato, N. Tomiyama, N. Isezaki, and T. Yamanokuchi.
2011. Ground subsidence in Semarang-Indonesia investigated by
ALOS-PALSAR satellite SAR interferometry. Journal of Asian Earth
Sciences, 40:10791088.
99
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
100
PEMANFAATAN DATA
LANDSAT MULTITEMPORAL
UNTUK ZONASI DAERAH
RAWAN BANJIR DI
JAKARTA MENGGUNAKAN
PENDEKATAN
GEOMORFOLOGI
ABSTRAK
Banjir merupakan fenomena rutin yang terjadi di Jakarta pada musim hujan
dan menjadi permasalahan sangat serius yang menganggu jalannya aktivitas
penduduk. Banjir di Jakarta merupakan permasalahan yang cukup pelik
dan memerlukan upaya yang komprehensif dalam pengelolaannya dengan
melibatkan berbagai aspek. Zonasi daerah rawan banjir perlu dilakukan
guna memberikan informasi wilayah-wilayah mana yang berpotensi terkena
banjir. Informasi ini sangat diperlukan sebagai salah satu masukan dalam
pengelolaan banjir Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan
zonasi daerah rawan banjir di Jakarta menggunakan data citra penginderaan
jauh multitemporal dengan pendekatan geomorfologi. Dalam kajian ini
dipergunakan seri data Landsat multitemporal tahun 1970-an, 1980-an,
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
ABSTRACT
Floods is a routine phenomenon that occurs in Jakarta in the rainy season and
become very serious problems that disrupt the course of peoples activities. Floods
in Jakarta is a problem that is quite complicated and requires a comprehensive
approach in its management by involving various aspects. The zonation of flood
prone areas need to be done in order to provide information which areas are
potentially affected by the floods. This information is needed as one of the main
input in the management of Jakartas flood. This study aims to do zonation
of the flood prone areas in Jakarta using multitemporal remote sensing image
data with geomorphological approach. In this study used multitemporal Landsat
data series in the 1970s, 1980s, 1990s, 2000s, and 2010s. The results showed
that the areas that are often flooded at this time are areas that in the past are
geomorphologically often flooded, such as flood plains, backswamps, coastal
alluvial plain, and swales .
Keywords: floods, geomorphology, Jakarta, Landsat
1. PENDAHULUAN
Banjir merupakan fenomena rutin yang terjadi di Jakarta pada musim
hujan dan menjadi permasalahan sangat serius yang menganggu jalannya
aktivitas penduduk. Pada dua dasawarsa terakhir ini, puncak banjir di
Jakarta terjadi pada sekitar bulan Januari-Maret. Banjir di Jakarta merupakan
permasalahan yang cukup pelik dan memerlukan upaya yang terpadu dan
komprehensif dalam pengelolaannya dengan melibatkan berbagai aspek.
102
Pemanfaatan Data Landsat Multitemporal untuk
Zonasi Daerah Rawan Banjir di Jakarta Menggunakan Pendekatan Geomorfologi
103
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
2. METODOLOGI
Data
Data citra yang dipergunakan adalah Landsat multitemporal tahun 1970-
an, 1980-an, 1990-an, 2000-an, dan 2010-an. Seri data Landsat yang
dipergunakan tersebut meliputi Landsat-1 MSS, Landsat-2 MSS, Landsat-3
MSS, Landsat-5 TM, Landsat-7 ETM+, dan Landsat-8 OLI. Tabel 1 berikut
menyajikan seri data citra Landsat yang dipergunakan dalam penelitian ini.
104
Pemanfaatan Data Landsat Multitemporal untuk
Zonasi Daerah Rawan Banjir di Jakarta Menggunakan Pendekatan Geomorfologi
105
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
107
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
untuk lahan sawah, di tahun 2014 sudah banyak berubah menjadi lahan
permukiman. Bentuk 10 lahan tersebut pada periode banyak air (musim
hujan) akan banyak yang tergenang air (rawan banjir), namun pada musim
kemarau, air cenderung berkurang dan menyusut.
108
Pemanfaatan Data Landsat Multitemporal untuk
Zonasi Daerah Rawan Banjir di Jakarta Menggunakan Pendekatan Geomorfologi
109
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
c a
b
Gambar 2. Bentuk lahan dataran aluvial pantai (a), beting gisik (b), dan
daerah antara beting gisik (c)
d
e
110
Pemanfaatan Data Landsat Multitemporal untuk
Zonasi Daerah Rawan Banjir di Jakarta Menggunakan Pendekatan Geomorfologi
Berdasarkan seri data Landsat dari tahun 1973 hingga 2014, tampak konversi
lahan secara besar-besaran menjadi lahan terbangun. Lahan terbangun di
tahun 2014 ini banyak yang menempati daerah yang sebelumnya merupakan
bentuk lahan yang masuk zona rawan banjir dataran alluvial pantai, daerah
antara beting gisik, dataran banjir, rawa belakang, daerah sempadan sungai
(Gambar 5).
c a
b
4. KESIMPULAN
Data Landsat multitemporal dapat dipergunakan untuk menyusun zonasi
daerah rawan banjir di Jakarta. Data Landsat MSS mampu memperlihatkan
kondisi geomorfologi daerah Jakarta yang memberikan gambaran daerah-
111
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
daerah mana saja yang pada masa lalu rawan terkena banjir. Penelitian ini
telah memberikan pemahaman bahwa daerah-daerah yang sering terlanda
banjir pada saat ini merupakan daerah-daerah yang pada masa sebelumnya
merupakan daerah yang secara geomorfologi sering tergenang air, seperti
dataran banjir, rawa belakang, dataran aluvial pantai, maupun daerah antar
beting gisik.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, H.Z., H. Andreas, I. Gumilar, M. Gamal, Y. Fukuda, and T. Deguchi.
2009. Land Subsidence and Urban Development in Jakarta (Indonesia).TS
6F Mapping, Aerial Survey and Remote Sensing I.
Asriningrum, W., 2002. Studi Kemampuan Landsat ETM+ untuk Identifikasi
Bentuk lahan (Landforms) di daerah Jakarta-Bogor [Tesis]. Program
Pasca Sarjana IPB, Bogor.
Asriningrum, W., A.S. Hapip, H. Gunawan, I. Prasasti, A. Hidayat,
Sumardjo. 1998. Analisis daerah rentan banjir Jakarta dan sekitarnya
berdasarkan klasifikasi bentuk lahan dan penutup/penggunaan lahan
dari citra Jers-1. Majalah LAPAN. No. 85. Th XXII April 1998.
Horritt, M.S., D.C. Mason, A.J. Luckman. 2001. Flood boundary
delineation from synthetic aperture radar imagery using a statistical
active contour model. International Journal of Remote Sensing 22 (13):
24892507. [Diakses tanggal 20 Mei 2014].
Mathew, J., Jha, VK, dan Rawat, GS. 2007. Weights of Evidence Modelling
for Landslide Hazard Zonation Mapping in Part of Bhagirathi Valley,
Uttarakhand. Research Articles. Current Science, 628. 92(5). March
2007
112
Pemanfaatan Data Landsat Multitemporal untuk
Zonasi Daerah Rawan Banjir di Jakarta Menggunakan Pendekatan Geomorfologi
Richard, B.D. 1955. Flood Estimation and Control, Ed-3. London: Chapman
& Hall Ltd
Ritter, F. D. 1979. Process Geomorphology. Southern Illnuois Universityat
Carbondale. Iowa: Brown Co. Publishers Duque.
Sudaryoko, Y. 1987. Pedoman Penanggulangan Banjir. Jakarta: Badan
Penerbit Pekerjaan Umum.
Thornbury,W.D. 1954. Principles of Geomorphology, 2nd ed. New York: John
Wiley & Sons, Inc.
USGS, http://landsat.usgs.gov/Landsat8_Using_Product.php, diakses pada
2013-06-01 jam 03:48 pm
Xu, H., Huang, S., Zhang, T. 2013. Built-up land mapping capabilities of
the ASTER and Landsat ETM+ sensors in coastal areas of southeastern
China. Advances in Space Research, 52:14371449.
Zha, Y., Gao, J., Ni, S. 2003. Use of normalized difference built-up index
in automatically mapping urban areas from TM imagery. International
Journal of Remote Sensing, 24(3): 583594.
Zuidam, R.A van. 1985. Aerial Photo-Interpretation in Terrain Analysis and
Geomorphologic Mapping. The Netherlands: ITC Enschede.
113
APLIKASI PENGINDERAAN
JAUH UNTUK MENILAI
DAMPAK PENGGUNAAN
LAHAN TERHADAP SURPLUS
AIR DI DAS CILIWUNG
ABSTRAK
Analisis kondisi surplus air berdasarkan parameter dari data penginderaan
jauh dan korelasi dengan perubahan penggunaan lahan di DAS Ciliwung.
Data yang digunakan untuk memperoleh parameter neraca air hujan dari
TRMM periode 3 jam, evapotranspirasi dari MODIS periode data 8 hari,
sementara penggunaan lahan perubahan Landsat 7 ETM + antara 2004
dan 2007. Data sekunder adalah sistem tanah dari Departemen Pertanian
dan data elevasi tanah serta kemiringan SRTM 30 meter. Metode yang
digunakan untuk perhitungan neraca air adalah metode Thornthwaite dan
Mather yang telah dimodifikasi. Metode ini cukup representatif untuk
digunakan dalam perhitungan neraca air. Dari hasil penelitian terlihat
bahwa terjadi perubahan curah hujan dimana pada tahun 2007 curah hujan
relatif jauh lebih tinggi dari kejadian hujan 2004 dimana selisih perubahan
tertinggi yang terjadi pada periode 033 (0209 Feb) mencapai lebih dari
200 mm. Perubahan juga terjadi pada kondisi luas daerah tutupan hutan
dan sawah tahun 2007 yang telah mengalami penurunan dari tahun 2004,
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
namun pemukiman terus meningkat sehingga surplus air pada periode 033
tahun 2007 jauh lebih besar dari 2004 yaitu meningkat 50 hingga 100 mm.
Disimpulkan, bila tutupan lahan Jakarta hingga saat ini masih sama dengan
kondisi 2007 maka curah hujan sesaat namun lebih dari 20 mm sudah dapat
menimbulkan genangan dibeberapa kawasan.
Kata Kunci: kelebihan air, MODIS, penginderaan jauh, TRMM
ABSTRACT
This study is about analyzing water surplus conditions based on parameters from
remote sensing data and correlation with land cover changes in the Ciliwung
watershed. Rainfall was estimated by TRMM 3 hour period, the evapotranspiration
was from 8-day MODIS satellite data, and Landsat 7 ETM+ satellite imageries
between 2004 and 2007 were used for land use changes analysis. Others data
is the soil type map issued by the Ministry of Agriculture and SRTM with the
spatial resolution of 30 m. The water balance calculation used the modified
Thornthwaite and Mather method. This method is representative enough to be
used in the calculation of the water balance. From the research it appears that
there is a change of rainfall in 2007 where rainfall is relatively much higher
than 2004 rain events where the highest difference in the changes that occurred
during the period 033 (February 2 to 9) reaches more than 200 mm. Changes
also occurred in the conditions of the area of forest cover and rice fields in 2007
which has declined from 2004, but the settlement continued to increase. So the
surplus water in period 033 2007 is much greater than 2004 that is an increase
of 50 to 100 mm. Changes in vegetation cover can be lowered value of rainfall
becomes runoff, while the condition of land cover changes into a settlement does
not occur difference in rainfall with water surpluses occur.
Key word: MODIS, remote sensing, TRMM, water surplus
116
Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Menilai Dampak Penggunaan Lahan
Terhadap Surplus Air di Das Ciliwung
1. PENDAHULUAN
Hujan deras dalam waktu singkat yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya
sangat sering menyebabkan terbentuknya genangan bahkan banjir di
beberapa tempat. Kelebihan air ini dapat dipantau dari informasi neraca
air. Neraca air merupakan neraca air yang masuk dan keluar disuatu tempat
pada periode tertentu.
Model neraca air cukup banyak, namun yang biasa dikenal terdiri dari tiga
model yang dibedakan berdasarkan objeknya, yaitu model neraca air umum,
model neraca air lahan, dan model neraca air tanaman (Nasir dan Effenddy,
1999). Perhitungan neraca air Doorenbos dan Pruitt (1977), merupakan
perhitungan nilai rata-rata curah hujan selama beberapa tahun pengamatan.
Curah hujan di permukaan tanah akan ditentukan oleh karakteristik
permukaan sifat fisik tanah penutup, tutupan vegetasi dan karakteristik
permukaan air di badan air seperti sungai dan cekungan yang menahan air.
Akhirnya, sebagai output adalah limpasan dan evapotranspirasi.
Evapotranspirasi perlu dibedakan menjadi evapotranspirasi potensial (ET)
dan evapotranspirasi aktual (AE). ET lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor
meteorologi (radiasi panas matahari dan suhu, kelembaban atmosfer, serta
angin). Sementara, AE lebih dipengaruhi oleh faktor fisiologi tanaman dan
unsur tanah.
Surplus air telah didefinisikan sebagai bagian dari curah hujan yang tidak
menguap sehingga berpengaruh terhadap sumber daya air (permukaan dan
aliran air tanah). Berdasarkan neraca air tanah (vertikal), gagasan surplus
merupakan kontribusi dari semua area dasar hingga sumber daya air secara
keseluruhan diproduksi dalam DAS diberikan. Surplus baik infiltrat air
untuk mengisi ulang akuifer atau lari ke sungai. Begitu air mulai mengalir,
itu tunduk pada kerugian penguapan, menghasilkan penurunan sumber
daya air yang tersedia.
117
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
118
Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Menilai Dampak Penggunaan Lahan
Terhadap Surplus Air di Das Ciliwung
119
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
120
Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Menilai Dampak Penggunaan Lahan
Terhadap Surplus Air di Das Ciliwung
Gambar 2. Contoh rata-rata komponen neraca air tahunan (CP Komar, 2012)
Diagram alir penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 3. Konsep neraca air
lahan dirumuskan sebagai berikut (Thornwaite and Mather, 1957):
Input = Output, maka kelebihan air (WS) terjadi saat Masuk > Keluar.
Kelebihan air, adalah volume air yang akan masuk kepermukaan tanah,
maka:
WS = (PEt) SS, dan 0 jika (PEt) < SS.............................. (1)
Curah hujan (P), adalah curah hujan yang terjadi pada saat itu. Penyimpanan
tanah (SS), adalah perubahan volume air yang ditahan oleh tanah yang
besarnya tergantung pada (PEt), soil storage 8 harian sebelumnya.
Kelembaban tanah (SM) adalah volume air untuk melembabkan tanah yang
besarnya tergantung (PEt). Kondisi penyimpanan tanah dan kelembaban
tanah menggunakan data 8 harian sebelumnya.
121
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
122
Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Menilai Dampak Penggunaan Lahan
Terhadap Surplus Air di Das Ciliwung
Gambar 4. Rata-rata curah hujan DAS Citarum pada 2004 dan 2007
123
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
2004 2007
Gambar 5. Penggunaan lahan di DAS Ciliwung pada tahun 2004 dan 2007
124
Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Menilai Dampak Penggunaan Lahan
Terhadap Surplus Air di Das Ciliwung
Curah hujan, tutupan lahan, dan jenis tanah akan membantu menentukan
kondisi kapasitas menahan air di dalam tanah. Pada Gambar 6 menunjukkan
bahwa wilayah tersebut memiliki kapasitas menahan air besar lebih dari 300
mm hanya di hulu Ciliwung. Secara umum, daerah perumahan memiliki
kemampuan menyerap air sangat kecil yang kurang dari 10 mm. Hal ini
dikarenakan permukaan tanah memiliki banyak tertutup semen dan aspal
sehingga tidak ada yang dapat menyerap air.
2007
2004 2007
Gambar 6. Kapasitas menahan air di DAS Ciliwung pada tahun 2004 dan 2007
125
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
126
Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Menilai Dampak Penggunaan Lahan
Terhadap Surplus Air di Das Ciliwung
25 Jan 01 Feb 2004 02 09 Feb 2004 25 Jan 01 Feb 2007 02 09 Feb 2007
Kondisi terakhir dari perubahan (Gambar 8 dan Tabel 1) terlihat bahwa LU/
LC (2007) berupa hutan, rumput, dan tegalan (vegetasi) walaupun perubahan
curah hujan yang terjadi cukup besar namun tetap dapat menghasilkan
surplus air yang lebih kecil dari curah hujannya. Sementara untuk LU/LC
berupa pemukiman surplus air yang terjadi hampir sama besar dengan curah
hujannya. Dengan kata lain di lokasi pemukiman hampir seluruh curah
hujan yang terjadi akan menjadi surplus.
127
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
Gambar 8. Perubahan pada periode 033 (29 Feb) kondisi 2007 dari kondisi 2004
Tabel 1. Perubahan tutupan lahan, curah hujan, dan perubahan surplus air
pada periode 033 (29 Feb) kondisi 2007 dari kondisi 2004
LU/ LC Curah hujan Surplus air
Tetap Hutan 127 113
Menjadi Rumput 127 85
Menjadi Tegalan 116 65
Menjadi Pemukiman 22 22
Tetap Pemukiman 22 22
Selain itu dari penelitian ini terlihat bahwa banjir yang terjadi di Jakarta
tidak benar secara keseluruhan akibat hujan di Bogor karena penelitian ini
masih belum memasukkan unsur aliran permukaan sehingga banjir yang
terjadi akibat dari curah hujan dan tutupan lahan di wilayah tersebut saja.
128
Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Menilai Dampak Penggunaan Lahan
Terhadap Surplus Air di Das Ciliwung
4. KESIMPULAN
Surplus air (kelebihan air) pada suatu daerah sangat dipengaruhi oleh kondisi
curah hujan dan tutupan lahan di suatu daerah. Dari hasil penelitian terlihat
bahwa terjadi perubahan curah hujan dimana pada tahun 2007 curah hujan
relatif jauh lebih tinggi dari kejadian hujan 2004 dimana selisih perubahan
tertinggi yang terjadi pada periode 033 (29 Feb) mencapai lebih dari 127
mm/jam. Perubahan juga terjadi pada kondisi luas daerah tutupan hutan
dan sawah tahun 2007 yang telah mengalami penurunan dari tahun 2004,
namun pemukiman terus meningkat sehingga surplus air pada periode
033 tahun 2007 jauh lebih besar dari 2004 yaitu meningkat 50 hingga
100 mm. Tutupan lahan yang berubah menjadi vegetasi masih akan dapat
menurunkan nilai surplus air dari curah hujan yang terjadi, sedangkan pada
tutupan pemukiman hampir seluruh curah hujan menjadi surplus air.
Saran
Penelitian ini akan lebih baik bila dilakukan perhitungan periode curah
hujan harian karena periode curah hujan 8 harian terlalu panjang sehingga
tidak terlalu akurat. Selain itu model ini hanya menduga surplus air yang
berpotensi menjadi limpasan akibat kelebihan curah hujan tanpa ada proses
aliran permukaan.
DAFTAR PUSTAKA
Domiri, D. D. 2012. Model Spasial Kerentanan Produksi Beras Menggunakan
Teknologi Inderaja dan SIG, Studi Kasus di Kabupaten Indramayu,
Jawa Barat [Disertasi] IPB.
129
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
Doorenbos J. and Pruitt WO. 1977. Guidelines for predicting crop water
requirements, FAO irrigation and drainage paper,No. 24, Food and
Agriculture Organization, Rome, Italia.
Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. Jakarta: Pustaka Jaya.
http://www.fao.org/nr/water/aquastat/watresafrica/index4.stm, (accessed
on 1st July 2013).
Kementrian Lingkungan Hidup. 2013. Pelatihan pemantauan kesehatan
DAS Ciliwung dengan metode Biotilik. http://www.menlh.go.id/
pelatihan-pemantauan-kesehatan-das-ciliwung-dengan-metode-
biotilik/, (accessed on 1st July 2013).
Komar CP. 2012. Water Balance Analysis. Persentation.
Nasir AA., dan Effenddy S.. 1999. Analisis neraca air dan pola tanam.
Pelatihan Dosen-Dosen PTN Indonesia bagian barat dalam bidang
agroklimatologi, (2) Bogor.
Suwargana, Nana. 2010. Model Kajian Sebaran Run-Off untuk Mendukung
Pengelolaan Sistem DAS Menggunakan Data Penginderaan Jauh (Studi
Kasus DAS Ciliwung). Seminar Nasional Limnologi V tahun 2010.
Thornwaite CW. and Mather JR. 1957. Instruction and tabels for
computing potential evapotranspiration and water balance. Publication
in Climatology 10(3).
Wang, Q.J, McConachy, F.L.N, and Chiew, F.H.S. 2001. Maps of
evapotranspiration. 14.
Westernbroek, S.M, V.A. Kelson, W.R Dripps, R.J Hunt, and K.R Bradbury.
2010. SWB A Modified Thornthwaite Mather Soil Water Balance Code
for Estimating Groundwater Recharge. USGS Groundwater resource
program Techniques and Methode 6-A31.
130
PERAN INFORMASI
GEOSPASIAL UNTUK ARAHAN
UPAYA KONSERVASI AIR DI
KABUPATEN BOGOR GUNA
MITIGASI BENCANA BANJIR
JAKARTA
Kris Sunarto
Badan Informasi Geospasial
E-mail: sunarto02@yahoo.com
ABSTRAK
Konservasi air merupakan upaya pengelolaan keseimbangan ketersediaan
air tanah untuk kebutuhan kelestarian lingkungan hidup. Setiap satuan
kawasan mempunyai ciri khas kondisi geografik yang mencerminkan
karakter kesesuaian jenis konservasi air. Karakter kesesuaian tersebut dapat
diketahui sebarannya dan baik untuk dilakukan. Konservasi di daerah hulu
sangat diperlukan dan harus diupayakan guna menekan bencana hidrologis
di daerah setempat maupun wilayah hilir yang terlanda lebih berat. Bencana
hidrologis dapat berupa banjir, kekeringan, ataupun rusaknya kualitas air
permukaan maupun air tanah dalam aquifer. Aplikasi konservasi yang salah
dapat menimbulkan bencana yang lebih besar dan sulit ditanggulangi. Agar
upaya konservasi berhasil, maka perlu diketahui kawasan yang sesuai untuk
suatu jenis resapan dalam upaya konservasi. Dengan analisis data dan informasi
geospasial dengan cara atau metode Sistem Informasi Geografik (SIG),
peta arahan upaya konservasi dapat diketahui dan diungkapkan. Dengan
menggunakan data dan informasi yang berperan sebagai pengarah kemudian
dilakukan upaya konservasi yang serius serta ditopang dengan program
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
132
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta
1. PENDAHULUAN
Banjir besar kota Jakarta sering diasumsikan sebagai banjir kiriman atau
pasokan dari daerah Bogor. Banjir besar Jakarta dapat terjadi oleh banyak
faktor, baik hujan lokal yang sangat lebat dan lama, dapat juga menderita
banjir genangan dampak pasang surut yang tinggi dan disertai hujan lebat,
dapat juga terjadi dengan kombinasi tambahan, yaitu kiriman dari daerah
hulu yaitu dari wilayah Bogor. Kejadian banjir paling fatal jika ketiganya
terjadi bersamaan adalah jika masing-masing pada posisi puncak antara
banjir rob, hujan lebat setempat, dan menerima pasokan dari Bogor. Untuk
itu, konservasi air di wilayah hulu maupun hilir merupakan salah satu upaya
mitigasi yaitu memperingan bencana banjir besar wilayah hilir. Banjir wilayah
hilir tidak mungkin ditiadakan sama sekali, namun dapat diperingan melalui
keberhasilan upaya konservasi. Banjir tidak mungkin ditiadakan, namun
diperingan dari keparahan alias dilakukan mitigasi. Tidak ada seorang pun
yang dapat dan mampu mengeliminasi banjir dalam kapasitas besar tanpa
kebersamaan dalam pelaksanaan konservasi secara bersama, terencana, dan
berkelanjutan. Konservasi air hujan berhasil jika terbukti dengan kasat mata
minimnya limpasan permukaan, kecilnya material berupa lumpur dan
berbagai benda terangkut pada saat banjir, dan kecilnya amplitudo tingginya
permukaan atau genangan aliran sungai pada musim kemarau dengan musim
penghujan. Pada sisi lain keberhasilan konservasi jika ketersediaan air tanah
menjadi lebih tersedia hingga musim kemarau panjang atau musim kering.
Ada sebagian masyarakat yang berfikir dan berpendapat bahwa konservasi
adalah perihal yang paradox
ks, yaitu bahwa konservasi dilakukan di wilayah hulu dan yang menikmati
wilayah hilir. Pendapat tersebut tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak
benar. Mengapa demikian, karena konservasi memang perlu dan bahkan wajib
dilakukan di hampir segala tempat, namun berbeda jenis maupun caranya.
Bagaimanapun konservasi air merupakan upaya pengelolaan kecukupan
dan keseimbangan kebutuhan air tanah pada suatu kawasan yang beraneka
ragam kondisinya. Bencana hidrologis dapat terjadi pada suatu wilayah yang
133
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
134
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta
Siklus Hidrologi
Pemahaman tentang siklus hidrologi perlu dipunyai dan bahkan didalami
bersama sehingga dalam upaya konservasi mempunyai cara berpikir dan
bertindak pada titik pijakan yang sama, tahapan seimbang, hingga bentangan
lokasi keberhasilan yang luasnya mencakup berbagai hal untuk dinikmati
bersama. Gambar berikut ini menjelaskan bahwa pada mulanya awan
mengalami kondensasi sehingga menurunkan hujan. Hujan yang jatuh di
atas pohon maupun yang menguap kembali ke langit yang disebut sebagai
evavorasi dan evapotranspirasi telah mengurangi air hujan yang jatuh ke
tanah. Air yang pada umumnya jatuh ke permukaan tanah sebagian meresap
secara alami, meresap melalui upaya konservasi antara lain sumur resapan,
sebagian mengalir melalui aliran permukaan dan sebagian terbuang ke parit,
masuk bendungan maupun ke sungai besar, sebagian masuk danau, saluran
irigasi dan sebagian mengalir sampai muara dan laut. Semua air dimanapun
dapat menguap kembali menjadi awan dan menjadi hujan, demikian
seterusnya air berputar dengan siklus yang demikian sepanjang zaman.
135
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
136
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta
137
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
2. METODE
Metode yang digunakan dalam penyusunan tulisan bagian dari buku ini
meliputi kajian pustaka atas pengertian tema konservasi, hasil kajian
sebelumnya. Selanjutnya melakukan koleksi peraturan dan perundangan
yang berlaku, pengumpulan data spasial dasar maupun tematik. Selain
data spasial berupa peta dan citra penginderaan jauh, diperlukan juga data
statistik terkait. Citra penginderaan jauh yang digunakan dalam kajian
ini pertama dan utama adalah Citra SRTM yang dalam kepentingan ini
dibuat menjadi peta lereng. Sedangkan yang kedua adalah citra skala besar
Ikonos dan QuickBird untuk revisi dan kajian penggunaan lahan. Setelah
data terkumpul dilakukan analisis geospasial dengan menggunakan Sistem
Informasi Geografik (SIG) dengan melakukan overlay dua peta utama yaitu
peta Penggunaan lahan dan Peta lereng. Hasil analisis dikompilasi menjadi
peta Sebaran Tipe Resapan Air di Kabupaten Bogor Jawa Barat. Peta tersebut
merupakan peta utama yang menyatakan sebaran jenis resapan. Dari peta
ini pula dapat dihitung luasan masing-masng jenis resapan dan diwujudkan
ke dalam bentuk tabel luas dalam satuan hektare. Hasil yang diharapkan
dapat digunakan untuk arahan lokasi yang sesuai berbagai jenis konservasi,
khususnya model resapan. Data dan informasi hasil kajian di wilayah Bogor
sebagai hulu beberapa sungai yang mengalir ke Jakarta masih berupa skala
tinjau, yaitu skala 1:250.000. Untuk peta skala operasional diperlukan
data peta dasar berskala 1:10.000 dengan tambah data kemampuan tanah,
peta iklim, peta unit lahan yang skalanya besar. Dengan demikian, faktor
data rinci dan skala besar menjadi penting untuk menghasilkan peta skala
operasional. Peta operasional merupakan data dan informasi geospasial yang
sangat baik untuk perencanaan matang hingga pelaksanaan upaya konservasi
jenis resapan yang paling sesuai dengan kondisi medannya. Namun demikian
kendala besar yang dihadapi untuk mendapatkan skala operasional adalah
biaya, tenaga, waktu, kesadaran, program, dan upaya yang serius oleh semua
pihak. Deskripsi peta yang dihasilkan sangat penting untuk diungkapkan
agar para pembaca memahami secara sungguh-sungguh. Berdasarkan data
dan informasi geospasial dalam bentuk tulisan bagian dari sebuah buku
138
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta
KONSERVASI
Pengertian dan batasan tentang konservasi
Ada beberapa pengertian maupun batasan tentang konservasi sebagai
berikut:
139
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
140
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta
kepentingan dan penggunaan secara baik dan efisien dengan makna utama
agar dapat memenuhi kebutuhan kelestarian lingkungan hidup serta
ekosistemnya.
141
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
1. UUD 45 pasal 33
2. Undang-undang no. 7 tahun 2004
3. Undang-undang Lingkungan Hidup,
4. Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta no. 68 Th
2005 tentang Sumur resapan
Setelah mengetahui jenis konservasi yang dicanangkan dan mengetahui
naskah peraturan dan perudang-undangan yang berlaku dan mendukung,
maka perlu diketahui pula berbagai keunggulan dan kelemahan jenis resapan
tersebut sebagai berikut ini.
1. Suksesi Alam atau Pelestarian Hutan Lindung, mempunyai unggulan
sebagai hutan alami berupa semak belukar dan hutan primer yang jauh
dari jamahan para perambah hutan, lokasi pada wilayah yang curam,
pada umumnya berbatu sulit ditempuh, dan sifat serta kodisi hutannya
lebih stabil. Kelemahan jika semakin menjadi gersang ataupun terbakar
sulit untuk dilakukan reboisasi. Tipe resapan sepenuhnya bersifat
alamiah.
2. Penghutanan kembali, mempunyai keunggulan penanaman tanaman
kayu ataupun tumbuh-tumbuhan sejenis, baik kayu bernilai ekonomi
rendah maupun tinggi atau bahkan sekedar tumbuhan pionir jenis
mudah tumbuh sehingga cepat pulih menjadi hutan yang berfungsi
sebagai fungsi konservasi.
3. Pembuatan tanaman murni maupun tanaman sela adalah upaya
penanaman tumbuhan sejenis, baik kayu maupun setingkat perdu,
namun sifatnya murni dengan maksud dan tujuan konservasi. Kadang-
kadang ada jenis tanaman yang sengaja ditanam dengan maksud sebagai
tanaman sela yang menghasilkan bahan pangan ataupun pakan ternak.
4. Pembangunan hutan budi daya (Agroforestry), merupakan pembudidayaan
kayu jenis tertentu untuk menghasilkan kayu, getah secara besar-besaran
dan diselenggarakan oleh Perhutani. Contoh tanaman adalah kayu pinus,
kayu jabon, dan kelapa sawit. Untuk wilayah bogor ada hamparan luas
142
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta
143
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
144
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta
145
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
Risiko Bencana
Menurut Ronny Kountur dalam buku Manajemen Risiko, arti Risiko
adalah kemungkinan kejadian yang merugikan. Ketiga kata penting tersebut
menjadi satu keterkaitan bahwa risiko akan menjadi nyata apabila ada
kejadian, ada faktor pendorong yaitu kemungkinan, dan akibat yang terjadi
adalah kerugian. Besar-kecilnya resiko ada hubungannya dengan kedahsyatan
bencana, kepadatan penduduk yang menghuni kawasan rawan bencana,
keramaian aktivitas pada saat kejadian, maupun tingkat kepentingan atau
146
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta
potensi lahan atas aset dan infrastruktur yang ada. Banyak bencana terjadi di
kawasan bisnis aktif seperti halnya di pusat perbelanjaan, pusat wisata, dan
di gedung aset pemerintah maupun swasta. Dalam kondisi yang demikian
maka pendekatannya dapat secara wilayah administratif maupun wilayah
non administratif.
Jenis-jenis risiko bencana alam adalah : degradasi lingkungan, berkurang
makna dan potensi sumber daya alam, pembangunan yang asal-asalan dan
salah kebijakan, merosotnya kualitas sumber daya manusia, semakin tidak
diindahkannya peraturan dan perundangan yang sah, kelaparan lahan,
rusaknya penutup lahan, menurunnya nilai aset lahan, dan komoditas
pertanian. Tidak tegaknya hukum sehingga banyak kekacauan yang
memperparah situasi dampak bencana.
Banjir dapat merusak bentang lahan yang dilalui dan digenangi serta merusak
tanaman dan mengancam gagal panen. Berkurangnya air tanah aquifer
berakibat kekurangan air untuk kebutuhan sumur masyarakat maupun
terhadap tanaman. Kekeringan menyebabkan gagal panen maupun mati
hingga punahnya bibit tanaman maupun ikan.
Kita sadari bersama bahwa air merupakan sumber kehidupan utama bagi
semua makhluk hidup. Kebutuhan manusia akan air berawal hanya untuk
memenuhi kebutuhan yang sederhana seperti untuk minum dan memasak,
namun dengan semakin berkembangnya kebutuhan maka pemanfaatan air
ini semakin beragam dalam kegiatan kehidupan dan terus meningkat seiring
dengan bertambahnya jumlah penduduk. Saat ini air selain digunakan
sebagai keperluan rumah tangga juga digunakan untuk kebutuhan pertanian,
peternakan, industri, fasilitas umum ataupun kebutuhan pariwisata. Sumber
air melimpah pada umumnya pada daerah iklim basah dan tutupan vegetasi
masih tergolong lebat, ataupun pada kawasan yang penggunaan lahannya
masih memerhatikan asas resapan air hujan. Untuk wilayah yang sebaliknya,
yaitu yang dasar curah hujannya relatif rendah, porositas tanah tinggi, dan
tutupan vegetasi jarang hingga terbuka, maka akan berwujud lahan gersang.
Lahan tersebut secara pertanian sulit diupayakan karena kondisinya serba
147
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
krisis sehingga disebut sebagai lahan marginal. Sekitar 2 atau tiga dekade
terakhir ini di Pulau Jawa pada umumnya telah terjadi krisis air karena sudah
sangat tipisnya lahan hutan dan semakin terbukanya lahan untuk pertanian
dan pemukiman serta untuk bangunan industri dan perkotaan. Semakin
banyaknya para pengguna air tanah akan semakin berdampak pada proses
pemanfaatan air permukaan seperti halnya sungai, sumur, embong, dan
danau di kawasan pedesaan. Untuk kawasan perkampungan, perkampungan
padat, dan perkotaan penurapan air dari dalam tanah, baik air tanah dangkal
maupun air tanah dalam yang semakin terkuras. Untuk kawasan pemukiman
tertentu yang juga padat industri, air tanah paling banyak diperebutkan
dengan cara dikuras dengan pompa besar khusus untuk sumur air dalam.
Penurapan yang lebih besar dari pada pemasukan air hujan ke dalam tanah
yang menjadi aquifer akan semakin berdampak pada bencana hidrologik
kekeringan (Sunarto, 1994), baik terhadap kekeringan permukaan tanah
maupun kekurangan air untuk kehidupan berbagai biota darat maupun
biota air, turunnya muka tanah, dan terancamnya kestabilan bangunan.
Menurut Sitanala Arsyad, metode Konservasi Tanah dan air ada 5 yaitu
metode vegetatif, mekanik, kimia, konservasi air, dan kualitas air. (Arsyad,
S.,2010 halaman 167, 243257). Dalam kajian ini penulis memberikan
arah pada empat tipe atau jenis resapan pada program konservasi air, yaitu
optimalisasi resapan dengan teknik:
1. vegetatif konservasi alami
2. rorak atau parit buntu yang pada umumnya berbarengan dengan
terasering
3. sumur resapan
4. biopori
Keempat teknik atau jenis resapan tersebut mempunyai semacam persyaratan
yang berbeda walaupun ada beberapa persamaan.
Dari empat jenis utama resapan tersebut, di wilayah kabupaten Bogor sudah
pernah digiatkan, namun kelanjutan dan pemeliharaannya mengalami
148
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta
Sebanyak 197 dari 32.623 sumur yang direncanakan adalah 0.60 %, berarti
luar biasa sangat kecilnya persentase pencapaian target, dengan kata lain
sukar ditargetkan. Dari kecilnya target tersebut maka perlu terobosan yang
harus dicari untuk mempercepat pelaksanaan kontribusi, baik pemerintah,
swasta, masyarakat, dan para peneliti serta mahasiswa yang berjiwa kuat serta
membangun untuk ambil bagian.
149
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
150
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta
152
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta
153
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
154
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta
155
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
PETA HASIL
Peta berikut merupakan hasil overlay antara peta penggunaan lahan dan peta
lereng. Ada 4 jenis resapan yang dapat diterapkan secara optimal. Masing
masing jenis atau tipe resapan digambarkan dengan 4 jenis warna berbeda.
156
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta
Ada beberapa wilayah Kabupaten Bogor sebagai wilayah kajian yang tidak
berwarna atau tetap tergambar dasar putih. Hal ini dapat dikategorikan
sebagai ada kemungkinan dapat dilakukan teknis resapan tertentu namun
tidak optimal atau memang tidak disarankan untuk dilakukan suatu jenis
resapan dengan alasan tidak masuk ke dalam syarat kriteria maupun jenis
penggunaan lahan tertentu seperti halnya sawah, rawa, danau, situ maupun
penggunaan lahan non kriteria. Gambar 4 berikut merupakan gambaran
sebaran secara spasial kawasan yang baik untuk dilakukan konservasi secara
opimal.
Keterangan gambar:
1. Warna ungu adalah wilayah hutan alam, puncak gunung, hutan lindung,
hutan bambu, dan lahan berlereng diatas 40% yang paling cocok adalah
konservasi vegetasi alami.
2. Warna kuning adalah simbol pada wilayah yang sesuai untuk konservasi
tanah dengan cara terasering sehingga konservasi airnya dengan model
resapan pembuatan rorak atau parit buntu. Penggunaan lahan yang
mengindikasikannya adalah hutan rakyat, hutan produksi, perkebunan,
tanaman campuran, lading, dan tegal.
3. Warna biru adalah simbol bagi wilayah yang paling cocok jika
dilakukan biopori. Biopori merupakan upaya konservasi paling aman
dan mudah serta murah dibandingkan dengan cara lainnya serta dapat
juga dikombinasikan dengan sistem lainnya. Namun demikian biasanya
pada penggunaan lahan yang lebih produktif atau pengelolaan lahan
yang lebih intensif.
4. Warna merah oranye adalah wilayah pemukiman sehingga paling sesuai
adalah jenis sumur resapan. Cucuran dari atap alias air hujan murni
langsung disalurkan ke dalam sumur resapan. Sumur resapan sangat
bervariasi ukuran dan bentuk walaupun fungsinya sama. Pembuatan
sumur resapan tergolong mahal, oleh karenanya diperlukan aturan
perundang-undangan maupun Perda agar dibuat sesuai aturan yang
berlaku.
157
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
3. DESKRIPSI HASIL
Dari gambar hasil kajian tersebut dapat diketahui jenis konservasi dan
sebarannya, serta dapat dihitung luasannya sebagai tabel berikut ini. Angka
luasan ada kemungkinan berbeda dengan data yang sudah ada karena
penghitungan menggunakan peta yang berbeda skala ataupun adanya
perubahan batas wilayah kabupaten yang tidak diikuti informasi luasan yang
baru. Data yang dihitung dan tertera berikut ini dilakukan dari data dan
informasi tersedia pada proses SIG.
158
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta
Tabel 4. Data luas jenis atau tipe resapan di wilayah Kabupaten Bogor.
No Tipe Resapan Luas (Ha) Luas (km2)
1 Biopori 103.076 1030,76
2 Rorak dan Terasiring 32.000 320,00
3 Sumur Resapan 27.553 275.53
4 Konservasi Alami 65.781 657,81
5 Lain-lain 68.938 689,38
Total luas 297.348 2.973,48
Dalam bagian buku ini ada 4 jenis resapan yang diungkapkan sebagai berikut
ini.
1. Resapan alami dan vegetatif, pada umumnya berada pada kemiringan
lereng di atas 40% atau kemiringan sedang, sangat miring, hingga terjal.
Pada umumnya berupa lahan hutan sebagian lahan pertanian terbatas.
2. Rorak atau parit buntu pada umumnya dapat diterapkan pada lahan
kemiringan rendah, sedang, hinggga sedikit di atas sedang. Penggunaan
lahan pada umumnya lading tegal, tanaman campuran, dan sawah tadah
hujan. Model pengolahan lahan cara terasesing dan guludan biasanya
bersamaan pada lokasi yang sama, kemiringan 1540 %..
3. Biopori, sebaran lokasinya ada di wilayah tanaman campuran, hutan
rakyat, pekarangan, dan lahan terbuka seperti halnya tepi lapangan dan
halaman rumah 325 %..
4. Sumur resapan, pada umumnya berlokasi sesuai di lingkungan
perumahan khususnya perumahan teratur, pengguna talang air hujan,
dan berkemiringan lahan agak miring hingga kemiringan sedang antara
825 %.
Di manakah sebaran jenis konservasi dilakukan?
Gambar 4 dan penjelasannya merupakan jawaban dimanakah data wilayah
sebaran jenis konservasi tersebut dapat dilakukan serta Tabel 4 merupakan
informasi luasannya. Sebagai gambaran penanggung jawab utama atau
pelaksana utama juga dapat diketahui sebagi berikut ini.
159
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
160
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta
161
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
tropis basah yang alamiahnya lebih murni pada umumnya lebih tercukupi
persediaan airnya, sebaliknya wilayah yang banyak terbuka ataupun wilayah
yang heterogenitas penggunaan lahannya sangat tinggi. Jika konservasi air
tidak diperhatikan, maka akan sangat berdampak pada kondisi timpang
antara kondisi surplus dan minus. Dampak keganjilan atau gap yang sangat
tinggi dapat menimbulkan bencana hidrologis. Bencana hidrologis dapat
ditandai, yaitu pada musim hujan kelebihan stok air hingga banjir dan musim
kemarau sangat kering, berdampak pada timbulnya bencana hidrologi,
wilayah praktik konservasi maupun lokasi sekitar. Situasi demikian yang
semakin ekstrem , khususnya yang lebih hilir pada umumnya lebih cukup
air. Posisi Jakarta lebih hilir dari pada wilayah Bogor, maka untuk mengatasi
bencana hidrologi khususnya wilayah Jakarta yang berupa kekurangan air
tanah dan banjir dapat direda dengan praktik konservasi wilayah Bogor yang
lebih optimal. Semakin berkurangnya penutupan vegetatif dan semakin
banyaknya bangunan, berdampak pada semakin kurang resapan air ke
dalam tanah. Masuknya air hujan ke dalam tanah akan mengisi aquifer yang
berfungsi sebagai cadangan kecukupan air tanah serta stabilitas kecukupan
air dalam tanah. Jika curah hujan pada musim penghujan tidak teresapkan
secara optimal, maka akan terjadi bencana hidrologik. Bencana hidrologik
yang dimaksud dalam kajian ini adalah banjir pada musim hujan dan
kurangnya air tanah dan kekeringan pada musim kemarau. Permasalahan
yang muncul adalah dengan cara apa dan dimanakan agar pemasukan air
atau infiltrasi sebagai recharge di daerah tangkapan dapat terwujud.
Strategi pelaksanaan
1. Jaga hutan yang ada, tingkatkan kualitas dan perannya
2. Perbanyak dan tingkatkan beberapa model resapan, kapasitas, jenis serta
jumlahnya
3. Perdalam kapasitas tampungan air situ, danau, waduk, embung, maupun
rawa
4. Tingkatkan peran lahan basah termasuk sawah
162
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta
163
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
164
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta
165
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
hutan alam semakin habis. Dengan habisnya kayu hutan, maka kayu dari
hutan rakyat merupakan cadangan stok kebutuhan akan kayu menjadi
utama. Sebagai contoh penanaman kayu jati di daerah Cariu, masuk
wilayah Kabupaten Bekasi yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten
Bogor. Lokasi tersebut milik sekitar 20 orang dengan luasan lebih dari
20 hektare dengan keragaman usia pada tahun 2014 usia tanaman antara
12 hingga 17 tahun. Kayu akasia, jongjing, dan mahoni atau mahagoni,
contoh di beberapa kawasan di daerah Jonggol Kabupaten Bogor.
166
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta
kayuan, dan lading tegal tanaman palawija. Tekstur tanah kasar dan
permeabilitas tinggi atau cepat. Berikut ini contoh membangun teras
sekalian bangun rorak serta pemanfaatan mulsa untuk menekan erosi
serta melindungi bibit.
167
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
168
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta
169
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
170
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta
4. KESIMPULAN
Konservasi air di wilayah Bogor sebagai wilayah hulu sebaran tata air
yang mengarah ke kawasan hilir daerah Ibu kota Jakarta perlu dan wajib
dilaksanakan secara bertahap dan semakin serempak. Koordinasi antar pihak
mulai dari pemerintah tingkat Propinsi DKI dengan tingkat kabupaten
sekitar dan bahkan wilayah hilir khususnya Bogor juga diperlukan.
Konservasi yang diterapkan meliputi berbagai jenis konservasi dengan
peningkatan jenis atau tipe resapan. Selain peningkatan kapasitas, diperlukan
pula pengawasan secara serius. Data dan informasi geospasial sangat penting
diungkapkan khususnya masalah kesesuaian lokasi atau wilayah untuk jenis
konservasi maupun kapasitas resapan yang diterapkan. Kesesuai lokasi dan
kapasitas resapan bermaksud untuk optimasi upaya konservasi. Dengan
pelaksanaan konservasi yang optimal berarti akan memitigasi bencana banjir,
meningkatkan stok air tanah yang bermakna menekan bencana kekeringan
maupun untuk menghindari bencana yag justru timbul oleh kesalahan
171
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
Saran
Kriteria yang lebih rinci perlu dibuat untuk praktik konservasi yang lebih
berkualitas. Dengan skala besar yaitu skala 1:10.000 model aplikasi konservasi
akan lebih bersifat operasional. Untuk mencapai skala operasional terkendala
biaya, tenaga, waktu, kesadaran, program, dan upaya.
DAFTAR PUSTAKA
Amhar F. 2013. Pemaknaan & Pemanfaatan Informasi Geospasial Dasar &
Tematik untuk Solusi Berbagai Persoalan Bangsa, Seminar FKK, Bogor
24 September 2013.
Arsyad, S.2010. Konservasi Tanah dan Air, Edisi Kedua. Bogor(ID): IPB
Press.ISBN 979-423-003-2.
Anonim. Ensiklopedia Iptek Jilid 5. Bab10 hal. 433. ISBN 979-3535-05-9.
Clark M.J et al. 1988. Horizons In Physical Geography, Chapter 4.3. Natural
Hazards Adjustment and Mitigation.
Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah. 1989. Laporan Rencana dan
Realisasi Program Resapan Wilayah Kabupaten Dati II Bogor.
Dinas Pertanian dan Kehutanan Pemerintah Kabupaten Bogor. 2006.
Rancangan Pembuatan Sumur Resapan.
172
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta
173
AN ANALYSIS OF POTENTIAL
HAZARD AND RISK FOR
FLOOD AND LANDSLIDE
AREAS (CASE STUDY IN WEST
JAVA PROVINCE)
ABSTRACT
West Java is one of the regim in the high potential occurrence of floods
and landslides. This is due to the characteristics of its topography, as well
as high population density which increase every year, causing pressure on
the ecosystem. The purpose of this study was to build methodology in
determining floods and landslides criteria, mapping of potential hazards and
the risk of flooding, and landslides. Models of potential hazard and risk of
flooding and landslides built through spatial analysis system with weighted
and scoring of the 7 parameters used landuse, rainfall, slope, elevation,
landform, soils and geology while the risk model to floods and landslides
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
1. INTRODUCTION
Trends disaster in Indonesia has increased from year to year.
Hydrometeorological disasters such as floods, droughts, landslides,
cyclones, and tidal waves are the dominant type of disaster in Indonesia.
Hydrometeorological disasters occurred on average almost 70% of total
disaster in Indonesia. Global climate change, land use change, and increasing
population magnify the threat of further risk reduction in Indonesia (BNPB,
2011). Flooding is the inundation in the event of a flat area around the
river as a result of the overflow of river water flow of the river can not be
176
An Analysis of Potential Hazard and Risk For Flood and Landslide Areas
(Case Study In West Java Province)
177
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
The objectives of this research are (1) determine the criteria and parameters
forming floods and landslides, (2) determine hazard and risk potential areas
of floods and landslides in West Java Province.
178
An Analysis of Potential Hazard and Risk For Flood and Landslide Areas
(Case Study In West Java Province)
Table 1. Research design matrix of hazard and risk potential for floods and
landslides analysis
Objective Types and Data Collection Data Analysis Output
Sources of Techniques Techniques
Data
Determining Landuse, - Study of - Analytical The criteria
the criteria Landform, Literature Hierarchy Process weights
and Elevation, - Questionnaire (AHP) and scores
parameters Slope, - Expert - Software Expert of each
forming Rainfall, Judgement Choice parameter
floods and Geology, - Descriptive forming
landslides Type of floods and
Soil landslides
Knowing Landuse, Extraction from Spatial Analysis Map of the
the potential Landform, satellite imagery, (Scoring and potentially
areas of Elevation, topographic Weighting) area of
hazard and Slope, maps, soil maps, hazard
risk for Rainfall, rainfall data, and risk
floods and Geology, geological and floods and
landslides Type of landsystems data landslides
Soil
179
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
180
An Analysis of Potential Hazard and Risk For Flood and Landslide Areas
(Case Study In West Java Province)
the parameters indicated by the range of values 0100. AHP analysis result
for the weight of each parameter forming floods and landslides are shown in
Table 2, while the weight and score of each parameter and variable-forming
floods and landslides are shown in Appendix 1 and Appendix 2.
181
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
3. RESULT
Biophysical Condition of West Java Province
Geographically located in the West Java province at 5o50-7o50 latitude and
104048 -108048 BT where north is bordered by Java Sea and Jakarta, east
to Central Java Province, south of the Indonesian Ocean, and west by the
province of Banten. Extensive land area is 3,680,951 hectares with a coastline
of 724.85 km. The population in 2011 are 46,497,175 million people,
spread over 26 regencies/cities, 625 districts and 5,899 Village. Based on
the Koppen classification system that bases the relationship between climate
and vegetation growth, West Java Province including Afa into climate types
(where: A is the tropical rainy climate with the coldest month temperature
>18C; f is always wet with rain every month >60 mm, and a is the average
temperature of the warmest month >22.2C).
Flat to gentle slope dominates the vast percentage of 24.3% in the form of
land with a flat slope (<2%), and 23.9% in the form of land with gentle
slopes (2-8%). Landform is dominated by Plains (30.4%), Hills (19.8%),
Mountains (19.4%) and Alluvial Plains (15.6%) of the total area of West
Java Province. Landuse in 2012 was dominated by vast paddy fields with
1,323,822 ha (35.7%), mixed garden covering 972,747 ha (26.2%),
settlement area of 453 044 ha (12.2%) and dryland agriculture area of 313
026 ha (8.4 %) of the total area of West Java Province.
182
An Analysis of Potential Hazard and Risk For Flood and Landslide Areas
(Case Study In West Java Province)
183
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
Bekasi City (44.1%), Bogor City (24.4%), Cimahi City (19.2%), Cirebon
City (28.2%), and Depok City (24.9%). While the risk potential distribution
area of the landslide by district/city with high landslide-risk class, only in
Bandung Distric (0.2%) and Garut Distric (0.5%). Distribution of flood
and landslide risk potential areas by district/city, and map of floods and
landslides risk potential areas shown in Figure 4 and Figure 5.
Table 3. Range value and flood-prone and landslide-prone areas in West Java
Province
Flood-Prone Potential Landslide-Prone Potential
Prone
No. Areas Areas
Classes Range Value Range Value
Ha % Ha %
1 Safety Area 4,82 - 8,69 653.871 17,8 3,34 - 7,39 1.164.444 31,6
2 Low-Prone 8,69 - 12,56 1.393.211 37,8 7,39 - 11,44 1.564.541 42,5
Moderate-
12,56 - 16,43 11,44 - 15,49
3 Prone 666.389 18,1 795.215 21,6
4 High-Prone 16,43 - 20,30 460.204 12,5 15,49 - 19,54 141.855 3,9
Very High-
20,30 - 24,17 19,54 - 23,62
5 Prone 507.274 13,8 14.895 0,4
Total 3.680.951 100,0 3.680.951 100,0
Source : result of analysis, 2013
184
An Analysis of Potential Hazard and Risk For Flood and Landslide Areas
(Case Study In West Java Province)
Figure 3. Map of flood and landslide hazard potential areas in West Java
Province
Table 4. Risk potential of flood and landslide areas in West Java Province
Landslide-Risk Potential
Flood-Risk Potential Areas
No. Risk Potential Areas
Ha % Ha %
1 Rendah 3.422.677 93,0 3.616.460 98,2
2 Sedang 190.671 5,2 61.836 1,7
3 Tinggi 67.603 1,8 2.655 0,1
Total 3.680.951 100,0 3.680.951 100,0
Source : Result of analysis, 2013
185
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
Figure 5. Map of flood and landslide risk potential areas in West Java
Province
186
An Analysis of Potential Hazard and Risk For Flood and Landslide Areas
(Case Study In West Java Province)
The frequency of floods in the field occurs 88 times as much as the class of
potential flood-prone moderate to very high with a total of 115 times of flood
events, or by 76.5% of the total flood. While the frequency of landslides in
the field occurs as much as 86 times in a class of potential landslide prone
moderate to very high with a total of 113 times the occurrence of landslides,
or 76.1% of total landslides (Table 5 and Figure 6).
187
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
4. CONCLUSIONS AND
RECOMMENDATIONS
Conclusions
The main parameters and weight values that contribute to flood-prone is
rainfall (0.324), slope (0.212), elevation (0,158), landform (0,146), geology
(0,056), land use (0.055), and the type of soil (0,049). While the main
parameters and the weights that contribute to landslide-prone is rainfall
(0.274), elevation (0,254), landform (0.135), land use (0,095), geology
(0,094), the type of soil (0.091), and slope (0.057 ).
West Java Province is dominated by the low potential flood-prone at 37.8%,
while the high and very high potential of flood-prone only 12.5% and
13.8% with a wide distribution area per district/city with high and very high
flood-prone class are in Bekasi (25.8% and 57.2%), Cirebon (38.8% and
36.6%), Indramayu (32.7% and 62.4%), Karawang (12.4% and 67.8%),
Majalengka (31.3% and 10.1%), Subang (22.8% and 31.6%), Bandung City
(58.3% and 0.0%), Banjar City (15.4% and 30.4%), Bekasi City (57.4%
and 22.8%), Bogor City (50.7% and 16.9%), Cirebon City (50.2% and
28.4%) and Depok City (56.5% and 19.0%). Landslide-prone potential is
dominated by low-prone class by 42.5% and 31.6% safety areas whereas the
high and very high landslide-prone potential only by 3.9% and 0.4% of the
total area of West Java Province with a wide distribution area per district/
city with high and very high landslide-prone classes are in Bandung District
(21.8% and 2.7%) and Garut District (12.5% and 1.0%).
Based on the results of field validation and summary incidence data of floods
and landslides in the field from National Disaster Management Agency
(BNPB) on 20102012, shows the degree of accuracy of maps results and
an analysis of potential flood-prone and landslide-prone are quite high,
amounting to 76.5% of total flood and 76.1% of the total landslide in West
Java Province.
188
An Analysis of Potential Hazard and Risk For Flood and Landslide Areas
(Case Study In West Java Province)
Recommendations
It is recommended in further studies, to be able to enter the parameters of
economic values in the stages of disaster vulnerability analysis environment
(floods and landslides), so it can be calculated how much potential losses.
REFERENCES
Acar, M. 2010. Determination of Strain Accumulation in Landslide Areas with
GPS Measurements. Scientific Research and Essays. 5(8):763768. 18
April 2010. ISSN 1992-2248 2010 Academic Journals. Http://www.
academicjournals.org/SRE
[BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). 2011. Indeks
Rawan Bencana Indonesia Tahun 2011. Jakarta
Directorate of Volcanology and Geological Hazard Mitigation. 2002. Brief
Examination Results Disasters Land Movement in West Java Province,
19852005. Directorate General of Geology and the Environment,
Directorate of Volcanology and Geological Hazard Mitigation.
Bandung
Gupta, AK. dan Nair, SS. 2010. Flood risk and context of land-uses: chennai
city case. Journal of Geography and Regional Planning 3(12): 365372.
December 2010. ISSN 2070-1845 2010 Academic Journals. Http://
www.academicjournals.org/JGRP
Kabir, A., Mahdavi, M., Bahremand, A. dan Noora, N. 2011. Application
of a geographical information system (GIS) based hydrological model
for flow prediction in Gorganrood river basin, Iran. African Journal of
Agricultural Research. 6(1): 3545. 4 Januari 2011. ISSN 1991-637X
2011 Academic Journals.Http://www.academicjournals.org/AJAR
Maantay, J. dan Maroko, A. 2009. Mapping urban risk: flood hazards, race
and environmental justice in New York. Elsevier. Applied Geography 29:
111124. http://www.elsevier.com/locate/apgeog
189
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
190
An Analysis of Potential Hazard and Risk For Flood and Landslide Areas
(Case Study In West Java Province)
191
PENGGUNAAN UAV UNTUK
VALIDASI PETA RAWAN BANJIR
DI KABUPATEN KUDUS DAN
PATI
Jaka Suryanta
Badan Informasi Geospasial
Jl. Raya Jakarta Bogor Km 46 Cibinong
Telp: 87906041, fax: 87906041
ABSTRAK
Banjir terjadi karena hujan lebat, sebaran merata dan dalam durasi relatif lama
pada suatu wilayah cekungan atau dataran. Menurut tempat kejadiannya
banjir dikelompokkan menjadi empat jenis banjir yaitu banjir bandang,
banjir kota, banjir pesisir, dan banjir sungai. Wilayah ini dapat dipetakan
dengan bantuan citra satelit, foto udara, kemudian diintegrasikan dengan
data SRTM, landskap, ditambah historis kejadian banjir. Data historis
kejadian banjir sangat jarang didokumentasikan dalam bentuk poligon
atau suatu area yang menggambarkan sebaran genangan melainkan secara
umum berupa titik-titik yang pernah tergenang. Seberapa luas genangan
akan berubah tergantung pada besarnya intensitas dan lamanya hujan,
dengan demikian validasi sangat ideal dilakukan ketika terjadi banjir besar
yang akan menunjukkan batas-batas genangan. Penelitian ini bertujuan
melakukan validasi peta rawan banjir daerah Pati dan Kudus yang sudah
dipetakan tahun 2008, kemudian di lakukan validasi kembali saat terjadi
banjir bulan Februari tahun 2014. Peralatan yang digunakan adalah GPS
untuk melakukan pengamatan titik-titik batas tergenang dan pesawat UAV
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
untuk pengambilan foto udara pada wilayah tergenang. Dari foto UAV bisa
di tunjukkan batas genangan banjir, sawah, dan permukiman yang terendam
banjir. Berdasar pengamatan di lima stasiun hujan ditunjukkan bahwa
curah hujan tahun 2008 intensitasnya hampir sama dengan yang terjadi
pada tahun 2014 dengan pola sebaran banjir juga hampir sama. Setelah
dilakukan pengamatan di beberapa titik dengan GPS dan foto UAV, peta
masih menunjukkan ketelitian yang cukup baik.
Kata Kunci: Peta Rawan Banjir, Rawan Banjir, UAV
ABTRACT
Flooding occurs due to heavy rain, spread evenly and in a relatively long duration
at a basin or plateau. According to a flood of events are grouped into four types,
namely floods flash floods, flooding the city, coastal flooding, and river flooding.
These areas can be mapped with the help of satellite images, aerial photographs
and then integrated with SRTM data, landscape, plus historical flood events.
Historical data is very rare flood events documented in the form of a polygon or
an area that illustrates the distribution of inundation, but is generally in the form
of dots are never stagnant. How widespread inundation will change depending
on the magnitude of the intensity and duration of rainfall, so validation is ideal
to do when a big flood that would show the limits of inundation. This study
aimed to validate maps of flood-prone Pati and Kudus areas starch that has been
mapped in 2008, then in doing validation back during floods in February 2014.
The equipment used is the GPS to make observations points stagnant boundary
and UAV aircraft for aerial photography on stagnant region. From the photos
show the UAV can limit the floodwaters, fields and settlements are flooded. Based
on observations in five rainfall stations indicated that the rainfall intensity in
2008 is almost equal to what happened in 2014 with the distribution pattern of
flooding is also almost the same. After observation at some point with GPS and
photos UAV, the map still shows good accuracy.
Keywords: Flood Prone map, Prone to Flood, UAV
194
Penggunaan UAV Untuk Validasi Peta Rawan Banjir
di Kabupaten Kudus dan Pati
1. PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara tropis memiliki iklim kering dan basah. Pada
musim basah terutama saat intensitas hujan tinggi kejadian banjir banyak
terjadi di wilayah cekungan, dataran yang menyebabkan kerugian materi
bahkan kehilangan jiwa. Penggunan lahan wilayah ini umumnya sebagai
daerah urban yang padat permukiman dan banyak infrastruktur penting.
Peta rawan banjir memberikan informasi di mana wilayah rawan tinggi,
sedang, dan rendah. Dengan dasar peta ini dapat dilakukan mitigasi rawan
banjir dan lebih jauh untuk manajemen bencana alam agar risiko dan
dampak dapat diminimalisasi.
Analisis rawan banjir yang banyak dilakukan selama ini bersifat kuantitatif
atau hitungan hidrologis. Cara ini memerlukan tenaga dan waktu dalam
usahanya inventarisasi data hidrologi misalnya data debit time series cukup
panjang, data hujan, pengukuran penampang sungai, nilai kekasaran material
dasar, perhitungan luapan, dan penyajian peta rawan banjir. Data spasial lain
yang diperlukan yaitu peta topografi, peta lereng, jaringan drainase dan peta
tanah, serta peta administrasi. Metode ini biasa digunakan dalam merancang
bangunan air misalnya jembatan yang memerlukan perhitungan matematis
rumit terutama dalam mengonversi luapan ke dalam luas genangan dan
sering terkendala data yang tidak lengkap.
Badan Informasi Geospasial bekerja sama dengan Badan Meteorologi
Geofisika dan Kementrian Pekerjaan Umum menyusun metode yang
sederhana untuk melakukan pemetaan rawan banjir atau sebaran banjir.
Metode ini menggunakan indikator data dari peta geomorfologi, peta
penggunaan lahan, peta isohyets, dan histori kejadian banjir. Pada masing-
masing layer peta terdapat indikator yang diberikan skor, kemudian dari
keempat layer diinterseksikan hasil akir diklasifikasikan ke dalam tiga kelas
dari tinggi sampai kelas rendah. Pemetaan rawan banjir sudah dilakukan
dari tahun 2007 sampai 2013 pada 105 wilayah kabupaten/kota di
Indonesia dengan tiga sebaran kelas kerawanan banjir yaitu tinggi, sedang,
dan rendah.
195
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
Peta yang sudah dibuat harus divalidasi atau direvisi kembali, karena dengan
berubahnya waktu akan terjadi perubahan kondisi lahan yang memengaruhi
sebaran genangannya. Peta rawan banjir di Pantura Jawa misalnya wilayah
Bekasi, Subang, Pati, Kudus, Jepara, Pekalongan telah dipetakan tahun
2008 sehingga peta ini perlu ditinjau kembali sebaran banjirnya. Gambar
berikut merupakan indeks wilayah yang sudah dipetakan dari tahun 2006
sampai 2013 untuk seluruh Indonesia. Ada beberapa cara untuk melakukan
validasi, diantaranya dengan GPS langsung pengukuran dilapangan saat
kejadian banjir, citra satelit, dan dengan foto udara. Masing-masing ada
kelebihan maupun kekurangan sehingga penggunaan alatnya menyesuaikan
kondisi lapangan dan tujuan yang akan diinginkan.
Gambar 1. Indek wilayah pemetaan rawan banjir tahun 2006 hingga 2013
196
Penggunaan UAV Untuk Validasi Peta Rawan Banjir
di Kabupaten Kudus dan Pati
1. Wilayah penelitian
Pemilihan wilayah menyesuaikan dimana kejadian berlangsung dalam
hal ini mengambil sampel Kabupaten Kudus dan Kabupaten Pati
yang terjadi banjir pada akhir bulan Januari 2014 hingga pertengahan
Februari belum sepenuhnya kering.
197
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
3. Jadwal pelaksanaan
Survei validasi dilakukan selama lima hari termasuk pengukuran titik
koordinat GCP maupun pengambilan foto udara dengan pesawat
UAV saat terjadi banjir di Pati dan Kudus tanggal 3 Februari sampai 8
Februari 2014.
2. METODE PENELITIAN
Wilayah rawan banjir meliputi 4 daerah rawan diantaranya banjir longsor,
banjir sungai karena air meluap, banjir perkotaan karena drainase kurang
baik, dan banjir di pesisir yang sangat dipengaruhi pasang dan surut (Junun
S, 2013). Dari keempat jenis ini hanya banjir longsor yang cara pemetaannya
berbeda, sedangkan tiga lainnya hampir sama dan kejadiannya saling terkait
satu sama yang lainnya. Data yang diperlukan diantaranya data sistem lahan,
SRTM/DTM, peta topografi, peta liputan lahan, data hujan, dan histori
kejadian banjir. Dari hasil analisis yang sudah dilakukan diperoleh peta
rawan banjir atau potensi banjir di wilayah Kudus dan Pati. Selanjutnya
dilakukan validasi saat terjadi kejadian banjir dengan tahapan seperti diagram
alir sebagai berikut.
198
Penggunaan UAV Untuk Validasi Peta Rawan Banjir
di Kabupaten Kudus dan Pati
Koreksi Geometrik
Foto Udara
Penyusunan Laporan
Peta rawan banjir yang akan divalidasi adalah wilayah Pati dan Kudus dengan
dasarian hujan bulan Februari tahun 2008, sedangkan kejadian hujan deras
dan ekstrem terjadi pada akhir bulan Januari tahun 2014 dan menyebabkan
banjir tanggal 29 sampai pertengahan Februari 2014.
199
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
200
Penggunaan UAV Untuk Validasi Peta Rawan Banjir
di Kabupaten Kudus dan Pati
201
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
202
Penggunaan UAV Untuk Validasi Peta Rawan Banjir
di Kabupaten Kudus dan Pati
Foto saat kejadian banjir ini jaringan irigasi dan petak-petak sawah tidak
kelihatan karena penuh dengan genangan air, bisa dibandingkan pada citra
saat tidak terjadi banjir petak sawah kelihatan jelas dan saluran irigasi juga
terlihat sangat jelas. Jalan kecil juga banyak tertutup air, sedangkan jalan
utama karena tinggi tidak tergenang air.
203
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
204
Penggunaan UAV Untuk Validasi Peta Rawan Banjir
di Kabupaten Kudus dan Pati
Dua wilayah sampel area hasil pemotretan dengan UAV digunakan untuk
memvalidasi batas genangan, yaitu di Desa Tanjunggemuk (sampel 1) dan
Desa Bancak (sampel 2). Gambar 7 foto sangat jelas bisa ditunjukkan bahwa
wilayah tersebut tergenang air, petak-petak sawah tidak kelihatan, saluran
irigasi penuh air, jalan-jalan kecil tidak kelihatan karena tergenang air, jalan
ring road tetap jelas karena tidak tergenang, batas wilayah tergenang dan
tidak tergenang secara visual bisa dibedakan. Gambar berikut (perbesaran
sampel 2) adalah perbandingan citra tidak ada banjir dan foto udara UAV
saat terjadi banjir.
205
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
Gambar 8. Perbandingan antara citra tidak banjir dan foto UAV saat banjir
206
Penggunaan UAV Untuk Validasi Peta Rawan Banjir
di Kabupaten Kudus dan Pati
207
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
208
Penggunaan UAV Untuk Validasi Peta Rawan Banjir
di Kabupaten Kudus dan Pati
209
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
Kejadian banjir yang hampir sama terjadi pada tahun 2008, akibat dari
tanggal 13, 14, dan 15 Februari terjadi hujan dengan intensitas sangat lebat
sebesar 324 mm di R72 Sta. Kedung Gupit, 324 mm/ R72 Sta. Tanjungrejo
dan 377 mm/R72 Sta. Karang Gayam. Kejadian ini menyebabkan pola
genangan banjir yang hampir sama, namun luasannya lebih kecil dibanding
kejadian tahun 2014 seperti Gambar 10 berikut.
Gambar 10. Wilayah tergenang banjir tahun 2008 di sws Seluna (sumber
BBWS Jratun seluna)
Kejadian tahun 2014 lebih luas karena curah hujan lebih merata dengan
intensitas sangat lebat yaitu diatas 300 mm/hari dengan genangan yang
lebih lama, waktunya bisa mencapai 10 sampai 15 hari di bagian hilir Juana.
Menurut data pengamatan pasang surut di stasiun terdekat yaitu di Stasiun
Jepara saat terjadi banjir berbarengan dengan terjadinya pasang air laut naik
rata rata 1,5 m antara tanggal 27 Januari sampai 6 Februari ditunjukkan
pada Gambar 11 berikut.
210
Penggunaan UAV Untuk Validasi Peta Rawan Banjir
di Kabupaten Kudus dan Pati
Gambar 11. Grafik pasang surut di Stasiun Jepara bulan Januari dan Februari
tahun 2014 (Sumber: BIG)
Dari model lamanya tergenang bisa diperkirakan bahwa banjir di muara Kali
Juana sangat dipengaruhi pasang dan surut laut sehingga pengelolaan muara
sungai harus mempertimbangkan hal ini. Dengan kejadian banjir di Pati dan
Kudus ini semua tipe banjir telah terjadi, yaitu dari longsor karena banjir
bandang, banjir kota, banjir luapan sungai, dan banjir pesisir. Namun yang
saling terkait di daerah ini adalah banjir kota, luapan sungai, dan pesisir.
KESIMPULAN
1. Pesawat UAV medium bisa dimanfaatkan dalam menginventori wilayah
banjir maupun kondisi lingkungan suatu daerah pada skala 1:5000
sampai skala 1:2.000,
2. Foto udara hasil pemotretan bisa untuk memilah wilayah yang tergenang
dan tidak tergenang namun supaya tepat sasarannya harus direncanakan
dengan baik sebelum dilakukan penerbangan
3. Foto udara juga bisa untuk menginventarisasi adanya saluran irigasi yang
tertutup air penuh dan membedakan petakan sawah yang tergenang dan
tidak tergenang.
4. Dengan foto ini bisa diketahui dengan jelas jalan yang tergenang air
dan jalan yang tidak tergenang air.
211
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir
5. Banjir yang terjadi pada tahun 2014 memiliki pola yang hampir sama
dengan kejadian tahun 2008 sehingga ada kemungkinan berulang pada
masa yang akan datang.
6. Dapat diperkirakan penyebab banjir adalah sebagai berikut:
Curah hujan tinggi bahkan ekstrem yaitu diatas 300 mm/hari dan
merata
Kapasitas sungai dan saluran drainase terlampaui (diamati saat
orientasi di lapangan)
Perubahan penggunaan lahan tanpa diimbangi pengganti fungsi
resapan
Terjadi erosi dan sedimentasi yang menyebabkan pendangkalan
sungai secara cepat
Pemanfaatan bantaran sungai yg kurang sesuai peruntukan
Prasarana pengendali banjir yang belum dioptimalkan
Genganan banjir Sungai Juana dipengaruhi pasang surut laut,
sehingga penurunan genangan cukup lama terkait pasang laut
setinggi 1,5 m dari tanggal 28 Januari sampai tanggal 7 Februari
2014.
DAFTAR PUSTAKA
Suryanta, J. 2008. Pemetaan Multirawan Bencana Alam. Bakosurtanal,
Bogor, Indonesia.
Sartohadi, J. 2012. Pemetaan Wialayah Rawan Banjir Dengan Pendekatan
Bentang Lahan. UGM Yogjakarta.
Leopold, LB., Wolman, M.G. and Miller, J.P. 1964. Fluvial Processes in
Geomorphology. San Francisco, California: W.H. Freeman
Moore, O.K. and North, G.W. 1974. Flood inundation in the Southeastern
United States from aircraft and satellite imagery. Water Resources
Bulletin, 10, (5): 10821096.
212
Penggunaan UAV Untuk Validasi Peta Rawan Banjir
di Kabupaten Kudus dan Pati
213
LAMPIRAN : Foto Kejadian Banjir Tahun 2014
Gambar 5. Posko bencana utama di Kab. Kudus (kiri), salah satu tempat
posko bencana banjir di Kec. Mejobo
216
Lampiran
217
Lampiran
218