Anda di halaman 1dari 248

Bunga Rampai

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh


untuk Mitigasi Bencana Banjir
Bunga Rampai
Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Editor:
Dr. Wikanti Asriningrum
Ir. Wawan K. Harsanugraha, M.Si.
Dr. Indah Prasasti

Penerbit IPB Press


Kampus IPB Taman Kencana,
Kota Bogor - Indonesia

C.01/12.2015
Judul Buku:
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Mitigasi Bencana
Banjir
Editor:
Dr. Wikanti Asriningrum
Ir. Wawan K. Harsanugraha, M.Si.
Dr. Indah Prasasti
Desain Sampul:
Ahmad Syahrul Fakhri
Penata Isi:
Ahmad Syahrul Fakhri
Penyunting Bahasa:
Atika Mayang Sari
Korektor:
Dwi M Nastiti
Jumlah Halaman:
218 + 30 halaman romawi
Edisi/Cetakan:
Cetakan 1, Desember 2015
PT Penerbit IPB Press
Anggota IKAPI
Kampus IPB Taman Kencana
Jl. Taman Kencana No. 3, Bogor 16128
Telp. 0251 - 8355 158 E-mail: ipbpress@ymail.com

ISBN: 978-979-493-901-7

Dicetak oleh Percetakan IPB, Bogor - Indonesia


Isi di Luar Tanggung Jawab Percetakan

2015, HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh


isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit
Sambutan Penerbit

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas diselesaikannya buku
dengan judul Pemanfaatan Penginderaan Jauh untuk Mitigasi Bencana
Banjir. Buku ini mengulas tentang Pemanfaatan Penginderaan Jauh dalam
aplikasinya untuk analisis bencana banjir baik dari sisi cuaca dan lahan.
Diharapkan, buku ini memberikan pandangan mengenai kemajuan teknologi
penginderaan jauh baik dari sisi data, metode, serta analisisnya sebagai
salah satu upaya dari sisi ilmu dan pengetahuan khususnya teknologi satelit
penginderaan jauh dan sistem informasi geografis untuk meminimalkan
dampak kerugian yang ditimbulkan akibat bencana banjir.
Pada kesempatan ini, disampaikan rasa terima kasih dan penghargaan dari IPB
Press kepada seluruh pihak yang telah berupaya menuangkan pemikirannya
untuk menyusun buku ini. Semoga buku ini dapat berkontribusi terhadap
ilmu pengetahuan dan juga dapat dimanfaatkan oleh pembacanya

Bogor, Desember 2015


Penerbit
KATA PENGANTAR EDITOR

Bencana banjir merupakan bencana yang paling sering terjadi di Indonesia


berdasarkan data kejadian bencana yang dihimpun oleh Badan Nasional
Penanggulanan Bencana (BNPB). DKI Jakarta sebagai ibukota pemerintahan
kita kerap dilanda banjir setiap tahunnya pada musim hujan. Berbagai upaya
telah dilakukan oleh pemerintah dalam mengantisipasi bencana banjir. Pusat
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh-LAPAN juga telah lama melakukan
kegiatan riset bahaya banjir maupun monitoring potensi banjir berdasarkan
data satelit penginderaan jauh. Ini adalah salah satu upaya ilmu dan
pengetahuan di bidang satelit penginderaan jauh yang didedikasikan sebagai
salah satu input dalam manajemen risiko bencana agar dapat meminimalisiasi
dampak kerugian yang ditimbulkan akibat bencana banjir.
Pada kesempatan ini, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh didukung oleh
Badan Meteorologi dan Klimatologi Geofisika (BMKG), Badan Informasi
Geospasial (BIG), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan
Universitas Tohoku-Japan, mencoba merangkai hasil-hasil penelitian
pemanfaatan data penginderaan jauh dan sistem informasi geografis terkait
mitigasi bencana banjir khususnya di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya
dalam bentuk buku bunga rampai.
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Saya menyampaikan penghargaan kepada semua pihak khususnya Bidang


Lingkungan dan Mitigasi Bencana dan para penelaah, yang telah berperan
serta dan memberikan kontribusi sehingga terbit buku bunga rampai ini.
Semoga buku ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.
Wassalamualaikum wr.wb.

Jakarta, Desember 2015

Dr. M. Rokhis Khomarudin

viii
SEKAPUR SIRIH
KAJIAN FENOMENA BANJIR DI
JAKARTA

Indah Prasasti, Parwati Sofan, Nur Febrianti, Totok


Suprapto
*Peneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN

1. PENDAHULUAN
Banjir merupakan salah satu fenomena alam yang sering menyebabkan
bencana, terutama jika terjadi pada kondisi curah hujan ekstrem. Banjir
berdampak pada rusaknya sarana dan prasarana, terganggunya aktivitas
manusia, kerugian harta benda bahkan nyawa manusia, dan kerugian
ekonomi nasional akibat terganggunya aktivitas produksi dan jasa, dan lain
sebagainya.
Banjir pada umumnya disebabkan oleh curah hujan yang tinggi di atas
normal sehingga sistem pengaliran air yang terdiri dari sungai dan anak
sungai alamiah serta sistem drainase dan kanal penampung banjir buatan
yang ada tak mampu menampung akumulasi air hujan sehingga meluap.
Daya tampung sistem pengaliran air tak selamanya sama, tetapi berubah
akibat sedimentasi, penyempitan sungai, tersumbat sampah serta hambatan
lainnya. Penggundulan hutan di daerah tangkapan air hujan (catchment area)
juga menyebabkan peningkatan debit banjir sehingga debit air yang masuk
ke dalam sistem aliran menjadi tinggi, melampaui kapasitas pengaliran dan
memicu terjadinya erosi pada lahan curam yang menyebabkan sedimentasi
dalam sistem pengaliran air dan wadah air lainnya. Di samping itu
berkurangnya daerah resapan air juga berkontribusi terhadap meningkatnya
debit banjir. Daerah permukiman yang padat dengan bangunan menyebabkan
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

daerah resapan air ke dalam tanah berkurang, jika terjadi hujan dengan
curah hujan yang tinggi sebagian air akan menjadi aliran air permukaan
yang langsung masuk ke dalam sistem pengaliran air sehingga kapasitasnya
terlampaui dan mengakibatkan banjir.
Banjir merupakan bencana terbesar di Indonesia. Menurut catatan kejadian
bencana oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dalam
periode tahun 18152012, bencana banjir menempati urutan pertama di
Indonesia. Kejadian banjir yang biasa terjadi di Indonesia lebih disebabkan
karena faktor curah hujan yang lebat. Faktor lain yang menyebabkan
terjadinya banjir adalah perubahan penutup lahan di daerah hulu seperti
pembukaan lahan/hutan dan adanya perkembangan wilayah perkotaan yang
sangat pesat.
Banjir di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta telah terjadi sejak zaman
kolonial Belanda, yaitu pada tahun 1654, 1872, 1909, dan 1918. Kondisi
ini disebabkan sebanyak 40% atau sekitar 24.000 ha wilayah DKI Jakarta
berupa dataran yang letaknya lebih rendah dari permukaan laut. Dataran
yang rendah ini dialiri oleh tiga belas sungai yang bermuara di Laut Jawa.
Selain itu, Jakarta juga merupakan kota dengan jumlah penduduk tertinggi
di Indonesia dan jumlah ini diperkirakan terus bertambah karena daya tarik
kota ini sebagai pusat perekonomian Indonesia.
DKI Jakarta merupakan wilayah yang memiliki nilai sangat strategis karena
merupakan lokasi Ibukota Negara Indonesia. Oleh karena itu, banjir yang
melanda Jakarta akan sangat berdampak pada kondisi perekonomian
Indonesia dan mendapat perhatian oleh semua pihak. Upaya pencegahan
dan antisipasi dini sangat penting dikaji dan dikembangkan secara terus
menerus. Hal ini disebabkan kondisi lingkungan di sekitar wilayah Jakarta,
baik di dalam wilayah Jakarta maupun wilayah penyangganya (Depok,
Tangerang, Bogor, Bekasi), yang terus mengalami perkembangan dan
perubahan fungsi lahan akibat urbanisasi akan sangat berpengaruh terhadap
bencana banjir di Jakarta.

x
Sekapur Sirih
Kajian Fenomena Banjir Di Jakarta

Saat ini fenomena banjir dan genangan menjadi semakin meningkat


intensitas dan frekuensinya. Fenomena ini makin diperparah oleh perubahan
kondisi iklim global yang menyebabkan meningkatnya intensitas dan durasi
hujan di beberapa bagian wilayah Indonesia. Dampak dari peningkatan
intensitas dan durasi hujan tersebut dapat dilihat dari meningkatnya luas
areal yang mengalami banjir atau genangan dan meningkatnya tinggi dan
lama genangan, seperti yang terjadi di Jakarta pada awal tahun 2013 ini.
Selain faktor hujan, masalah yang makin memperparah kondisi banjir di
Jakarta adalah adanya perubahan/alih fungsi lahan, menurunnya kualitas air
akibat polusi limbah domestik dan industri, adanya erosi dan sedimentasi
sekitar kawasan DAS, dan sebagainya. Oleh karena itu, untuk mengatasi
kondisi tersebut diperlukan kajian dan pemantauan perubahan penggunaan
lahan yang terus menerus seiring dengan makin berkembangnya wilayah-
wilayah di sekitar DAS.

2. DEFINISI
Banjir
Banjir adalah aliran/genangan air yang menimbulkan kerugian ekonomi
atau bahkan menyebabkan kehilangan jiwa (Asdak, 2007). Pada Peraturan
Pemerintah No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai diuraikan bahwa banjir
adalah peristiwa meluapnya air sungai melebihi palung sungai. Aliran/
genangan air yang terjadi karena adanya luapan-luapan pada daerah di kanan
atau kiri sungai akibat alur sungai tidak memiliki kapasitas yang cukup bagi
debit aliran yang lewat (Sudjarwadi, 1987).
Menurut dinas pekerjaan umum, banjir merupakan suatu keadaan sungai,
dimana aliran air tidak tertampung oleh palung sungai, sehingga terjadi
limpasan dan atau genangan pada lahan yang semestinya kering (PU Provinsi
DKI Jakarta, 2008). Sementara menurut Badan koordinasi nasional, banjir
merupakan peristiwa terbenamnya daratan (yang biasanya kering) karena
volume air yang meningkat (Bakornas, 2007).

xi
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Daerah Genangan
Daerah genangan yaitu kawasan yang tergenang air akibat tidak berfungsinya
sistem drainase atau juga daerah genangan alamiah yang hanya tergenang
pada saat banjir (http://pustaka.pu.go.id). Biasanya genangan itu hanya
setinggi 10 cm dengan durasi 60 menit (PU, 2000). Genangan juga berarti
naiknya atau meluapnya badan air ke daratan yang kering (http://www.
thefreedictionary.com/inundation). Genangan juga dapat berarti tertutupnya
daratan oleh air akibat banjir.

Aliran Permukaan (Surface Runoff) atau Air Larian


Menurut Asdak (2002), curah hujan sebagai input dari daur hidrologi akan
didistribusikan melalui beberapa cara, yaitu air lolos (throughfall), aliran
batang (stemflow), dan air hujan langsung sampai ke permukaan tanah yang
terbagi menjadi air larian, evaporasi, dan air infiltrasi. Air larian dan air
infiltrasi akan mengalir ke sungai sebagai debit aliran (discharge). Berdasarkan
uraian di atas maka air larian yang biasa disebut surface runoff merupakan
bagian dari curah hujan yang mengalir di atas permukaan tanah akibat laju
curah hujan melampaui laju infiltrasi air ke dalam tanah, kemudian mengalir
di permukaan menuju ke sungai, danau, dan lautan.
Faktor-faktor yang memengaruhi air larian terdiri dari faktor iklim dan
faktor karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS). Faktor iklim yang
memengaruhi besaran air larian adalah curah hujan. Lama hujan, intensitas,
dan distribusi hujan memengaruhi laju dan volume air larian. Pada hujan
dengan intensitas yang sama, air larian yang terjadi akan lebih besar pada
hujan yang berlangsung dalam waktu yang lebih lama daripada hujan dalam
waktu singkat. Faktor DAS yang memengaruhi air larian adalah bentuk dan
ukuran DAS, topografi, geologi, dan tataguna lahan (jenis dan kerapatan
vegetasi). Semakin besar luas DAS, ada kecenderungan semakin besar curah
hujan yang diterima, namun beda waktu antara puncak hujan dan puncak
hidrograf aliran menjadi lebih lama. Semakin besar kemiringan lereng suatu
DAS maka semakin cepat laju air larian sehingga mempercepat respons

xii
Sekapur Sirih
Kajian Fenomena Banjir Di Jakarta

DAS oleh adanya curah hujan. Selain itu bentuk DAS yang memanjang dan
sempit cenderung menurunkan laju air larian dibandingkan DAS berbentuk
lebar meskipun luas total dari dua DAS tersebut sama. Kerapatan daerah
aliran (drainase) juga menjadi salah satu faktor penentu kecepatan air larian.
Semakin tinggi kerapatan daerah aliran, semakin besar kecepatan air larian
untuk curah hujan yang sama, dan debit puncak akan tercapai dalam waktu
yang lebih cepat. Sementara itu, pengaruh vegetasi terhadap air larian adalah
dapat memperlambat jalannya air larian dan meningkatkan jumlah air yang
tertahan di atas permukaan tanah (Asdak, 2002).
Pemodelan hidrologi yang umum digunakan untuk mengestimasi volume
limpasan adalah metode SCS (Soil Conservation Service, 1964). Model
estimasi SCS ini sifatnya sederhana, simpel, akurat, dan menggunakan data
hujan dan karakteristik DAS yang mudah didapat. Untuk mengestimasi
volume limpasan, metode SCS dapat digunakan untuk DAS berukuran kecil
sampai besar, yaitu luasan 25.000 ha (250 km2) (Johnson, 1998) sampai
dengan 259.000 ha (2.590 km2) (Singh, 1989). Sementara debit banjir dapat
diestimasi dengan menggunakan model Rasional (Chow 1964; McCuen
1989; Sosrodarsono dan Takeda 1993). Penggunaan model Rasional dapat
diterapkan pada DAS dari ukuran kecil (<15 km2 atau 1.500 ha) sampai
DAS berukuran besar (200.000 km2 atau 2 juta ha) dengan kombinasi
penggunaan lahan yang kompleks (Sukresno dan Paimin, 2007).

Pendugaan dan Analisis Risiko Banjir


Risiko secara umum merujuk pada hasil kali bahaya (hazard) dengan
kerentanan (vulnerability). Bahaya terkait dengan faktor fisik dan dampaknya,
sedangkan kerentanan merupakan kerawanan terhadap kerusakan atau
kegagalan (Alexander, 1997).
Risk atau risiko merupakan kombinasi antara kemungkinan terjadinya suatu
kejadian (hazard) yang tidak diinginkan (peluang kejadian) dan konsekuensi
(besar dampak) (vulnerability) dari kejadian tersebut (Beer dan Ziolkwoski,
1995 dan USPCC RARM, 1997 dalam Boer, 2002). Kerentanan

xiii
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

(vulnerability) terkait dengan akibat yang dapat diduga dari sebuah fenomena
alam dan ditentukan oleh intensitas risikonya. Oleh karena itu, kerentanan
dipengaruhi oleh tiga unsur, yakni risiko, kerusakan, dan usaha (pencegahan
atau pengendalian) (Hardy, 2005).
Analisis risiko (risk analysis) merupakan analisis untuk menentukan
besarnya peluang terjadinya suatu keadaan yang tidak diinginkan yang akan
menyebabkan kegagalan atau kerusakan. Terdapat dua cara pendugaan
risiko (assessing risk), yakni berdasarkan peluang (probability) kejadiannya
dan tingkat kerentanannya (vulnerability). Sementara itu, analisis bahaya
(hazard analysis) dapat digunakan untuk menentukan bahaya yang terjadi
pada sebuah fasilitas yang ada atau yang direncanakan dan mendesain
(merancang) strategi yang selanjutnya dapat dievaluasi untuk menentukan
apakah tujuan-tujuan pengamanan kebakaran dapat tercapai. Analisis
bahaya dapat dianggap sebagai sebuah komponen dari analisis risiko. Oleh
karena itu, sebuah analisis risiko merupakan sekumpulan analisis bahaya
yang diboboti berdasarkan peluang kejadiannya. Risiko total merupakan
jumlah dari semua nilai bahaya berdasarkan bobotnya. Nilai risiko pada
suatu area bahaya adalah kemampuannya untuk mengidentifikasi skenario
yang memberikan sumbangan secara signifikan terhadap risiko (Bukowski,
1996).
Terdapat dua tahap penting dalam penilaian (assessment) risiko banjir, yakni:
penilaian bahaya dan pendugaan kerentanan. Penilaian bahaya berhubungan
dengan karakteristik dari peristiwa itu sendiri dalam hal besar dan frekuensi
kejadiannya, sedangkan penilaian kerentanan memperhitungkan pengaruh
kejadian terhadap populasi, aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan
serta dampaknya pada infrastruktur transportasi. Penilaian bahaya dan
kerentanan banjir dapat dilakukan menggunakan beberapa cara. Islam dan
Sado (2002) menggunakan kedalaman banjir dan frekuensi kejadian banjir
untuk menghasilkan peta bahaya banjir di Bangladesh. Rao et al. (2005)
mengembangkan indeks kerentanan banjir di wilayah pantai timur India
menggunakan kerapatan penduduk, penutup/penggunaan lahan, jarak
terhadap pantai, kemiringan lahan, dan lokasi dengan memperhitungkan
arah (track) siklon.
xiv
Sekapur Sirih
Kajian Fenomena Banjir Di Jakarta

3. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB
BANJIR DI JAKARTA
Fenomena banjir dan genangan yang terjadi di Jakarta semakin meningkat
intensitas dan frekuensinya. Sebagai daerah paling ujung, Jakarta akan
menerima luapan air paling banyak. Kondisi ini diperburuk dengan adanya
perubahan fenomena iklim global yang mengarah pada terjadinya hujan
lebat dengan durasi lama. Dampaknya terlihat dari meningkatnya luas areal
yang mengalami banjir atau genangan dengan tinggi air dan lama genangan
yang terus meningkat. Bahkan pada beberapa daerah yang sebelumnya tidak
pernah mengalami banjir, sekarang banjir. Peningkatan risiko dan bahaya
genangan banjir ini akan menyebabkan kerugian lebih besar, bila tidak
ditangani lebih dini. Selain itu, terjadinya penurunan permukaan tanah
(subsidence) akibat ekploitasi air tanah Jakarta yang berlebihan menyebabkan
posisi Jakarta terhadap laut makin rendah. Kondisi ini diperburuk dengan
kecenderungan meningkatnya muka air laut akibat pemanasan global (global
warming). Penurunan daratan di Ancol dan meningkatnya risiko terjadinya
banjir dan genangan ini dapat dijadikan sebagai salah satu indikator potensi
banjir Jakarta semakin tinggi (Irianto, 2002).
Presentasi Rustiadi (2013) dalam diskusi pakar tentang banjir di Jakarta
menyebutkan bahwa dari tahun 2000 hingga tahun 2011 terjadi
kecenderungan peningkatan jumlah desa yang terkena banjir (Tabel 1).
Selain itu, Rustiadi juga menyebutkan bahwa faktor penyebab banjir di
Jakarta antara lain: 1) curah hujan ekstrem, 2) buruknya sistem drainase,
3) letak wilayah Jakarta yang lebih rendah dari permukaan laut, 4) polusi
terutama sampah, dan 5) penurunan permukaan tanah (land subsidence).

xv
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Tabel 1. Jumlah dan persentase desa yang terkena banjir di Jakarta


(Sumber: Rustiadi, 2013)

Banjir
Tahun
Jumlah Desa Persentase (%)
2000 102 6.00
2003 609 35.82
2006 332 19.53
2008 644 37.88
2011 338 22.61
Banjir di Kota Jakarta berkaitan erat dengan banyak faktor seperti,
pembangunan fisik di kawasan tangkapan air di hulu yang kurang tertata
baik, urbanisasi yang terus meningkat, perkembangan ekonomi, dan
perubahan iklim global. Menurut BMKG, penyebab banjir di Jakarta pada
tahun 2007 adalah curah hujan tinggi. Curah hujan memengaruhi potensi
banjir. Jika curah hujan tinggi, maka potensi banjir juga akan tinggi. Curah
hujan dikatakan tinggi apabila kisaran curah hujannya antara 402 hingga
lebih dari 500 mm, sedang antara 301400 mm, dan rendah antara 102
300 mm. Ada 3 (tiga) penyebab tingginya curah hujan pada kejadian banjir
ini yaitu 1) adanya tekanan rendah atau badai tropis di Australia bagian
utara, 2) adanya daerah pertemuan angin pada posisi di sekitar Laut Jawa
hingga Laut Banda, dan 3) kenaikan suhu permukaan laut sekitar 0.51.0
derajat Celcius di wilayah perairan Indonesia. Naiknya suhu permukaan laut
di sepanjang daerah pertemuan angin akan memperkuat pertumbuhan awan
hujan di wilayah Indonesia (http://www.detiknews.com/index.php/detik.
read/tahun/2007/bulan/02/tgl/09/).
Selain curah hujan, faktor yang banjir di Jakarta adalah adanya perubahan
fungsi lahan guna memenuhi kebutuhan lahan akan permukiman akibat
peningkatan kepadatan penduduk. Dengan meningkatnya kepadatan
penduduk dan area terbangun menyebabkan berkurangnya area RTH
(Ruang Terbuka Hijau) (pada tahun 2007, Jakarta hanya mempunyai
18,180 hektar RTH) untuk menyerap air ke dalam tanah. Kondisi ini

xvi
Sekapur Sirih
Kajian Fenomena Banjir Di Jakarta

menyebabkan pada musim penghujan air hujan tidak dapat tertampung dan
menggenangi sebagian besar daerah Jakarta, sedangkan pada musim hujan
tidak dapat menyimpan cadangan air. Sementara itu, di kawasan hulu sungai
juga telah terjadi konversi lahan yang cukup intensif.
BPLHD Provinsi Jawa Barat (2008) menyatakan ada 3 (tiga) penyebab
utama banjir di Jakarta dan sekitarnya, yakni 1) kondisi alam (posisi
geografis, topografi, karakteristik sungai), 2) dinamika kejadian alam
(seperti: curah hujan ekstrim dan penurunan permukaan tanah), dan 3)
sosial ekonomi (deforestrasi, kegiatan pembangunan, pemanfaatan bantaran
sungai, dan lemahnya penegakan hukum). BPLHD Provinsi Jawa Barat juga
menyebutkan bahwa dari tahun 1940 ke tahun 1994 telah terjadi penurunan
jumlah tubuh air (danau/situ) di wilayah Bogor, Tangerang, dan Bekasi dari
184 buah (2 120 ha) menjadi 129 buah (576.5 ha).
Banjir rob (pasang) di kawasan pesisir Jakarta tidak dipengaruhi oleh musim
karena saat musim penghujan ataupun musim kemarau tetap terjadi. Kondisi
ini semakin diperparah dengan adanya perubahan penggunaan lahan pada
pesisir pantai yang mengakibatkan perubahan garis pantai.

4. BEBERAPA METODE ANALISIS


BANJIR JAKARTA
Para peneliti telah mengembangkan beberapa metode untuk menganalisis
banjir di Jakarta. Asriningrum et al. (1998) melakukan analisis daerah rentan
banjir Jakarta dan sekitarnya menggunakan metode klasifikasi bentuk lahan
dengan acuan peta topografi, peta geologi, dan peta distribusi banjir, yang
diintegrasikan dengan klasifikasi penutup/penggunaan lahan menggunakan
maximum likelihood. Hasilnya menunjukkan bahwa identifikasi bentuk
lahan dapat dilakukan dari citra radar (JERS-1) untuk wilayah dengan
permukaan kasar atau bertopografi kasar dan lembab. Bentuk lahan rentan
banjir di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya adalah rawa, delta, lagun,
dataran aluvium bawah dan atas.

xvii
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Ibrahim et al. (2007) mengembangkan model simulasi banjir berdasarkan


hubungan antara curah hujan, aliran sungai, dan kondisi DAS di wilayah
DKI Jakarta berdasarkan analisis DEM (Digital Terrain Model), hidrologi,
hidrolika, dan SIG. Pada model hidrologi digunakan parameter slope
(kemiringan lereng) dan aspek dari data DEM, kemudian koefisien abstraksi
dan kekasaran Manning dari peta penggunaan lahan (Landuse), karakteristik
tanah dan penutupan tanaman, serta parameter peubah dinamik, yaitu
curah hujan. Selain itu, digunakan pula data non spasial yaitu curah hujan,
debit aliran, penampang memanjang dan melintang, serta fasilitas bangunan
air. Air larian dihitung berdasarkan aplikasi metode SCS, sedangkan arah
aliran air larian dianalisis berdasarkan kemiringan tanah dari data DEM.
Pada penelitian ini juga dihasilkan model penentuan genangan banjir untuk
berbagai periode ulang banjir dari masukan data DEM dan data curah
hujan.
Nugroho (2008) menganalisis banjir Jakarta yang terjadi pada tahun 2007
berdasarkan hubungan antara curah hujan dan tinggi muka air beberapa
sungai di Jakarta. Data curah hujan dianalisis dengan membandingkan
analisis frekuensi hujan maksimum untuk menentukan periode ulang
banjir daerah Jakarta dan sekitarnya melalui metode Gumbel. Hasil analisis
menunjukkan bahwa banjir yang terjadi pada tanggal 2 Februari 2007
disebabkan adanya curah hujan yang tinggi. Pada saat itu, rata-rata curah
hujan di DAS Ciliwung adalah 142.5 mm/hari dengan periode ulang 100
tahun. Curah hujan tersebut lebih tinggi dari rata-rata curah hujan yang
terjadi pada tanggal 29 Januari 2002 dimana curah hujan hanya 100 mm/
hari dengan periode ulang 200 tahun.
Pawitan (2002) dalam penelitiannya mengenai banjir di DAS Ciliwung
menggunakan analisis perubahan penggunaan lahan dan pengaruhnya
terhadap hidrologi daerah aliran sungai. Perubahan penggunaan lahan dari
tahun 1981 hingga tahun 1999 menunjukkan penurunan luas hutan di
Ciliwung Hulu seluas 2 ha, perkebunan seluas 35 ha, sawah total seluas 62
ha, dan lahan tegalan/ladang seluas 152 ha. Penurunan penggunaan lahan
serupa didapati juga pada kawasan tengah DAS Ciliwung. Peningkatan

xviii
Sekapur Sirih
Kajian Fenomena Banjir Di Jakarta

luas kawasan permukiman terjadi baik di Ciliwung Hulu maupun Tengah,


masing-masing meningkat dari 255 ha menjadi 506 ha di Ciliwung Hulu dan
dari 1 147 ha menjadi 1 961 ha di Ciliwung Tengah, atau meningkat masing-
masing sebesar 98% dan 71%, yang diperoleh terutama dari pengurangan
luas sawah dan tegalan, baik di kawasan hulu maupun tengah.
Selain itu Pawitan (2002) dalam penelitiannya mengenai hidrologi DAS
Ciliwung dan andilnya terhadap banjir Jakarta menyatakan bahwa perubahan
penggunaan lahan di kawasan Jabotabek dan Bopunjur dalam tiga darsawarsa
terakhir ini mengakibatkan berubahnya fungsi hidrologi DAS yang secara
nyata telah meningkatkan frekuensi dan intensitas banjir bagi DKI Jakarta.
Di wilayah Ciliwung Hulu didapatkan hujan harian lebih dari 50 mm dan
hujan 3-harian melebihi 100 mm, di mana dapat dikelaskan sebagai hujan
deras yang dapat menghasilkan banjir di daerah hilirnya. Frekuensi data hujan
maksimum harian di stasiun Katulampa (1972 1997) menghasilkan nilai
curah hujan maksimum harian untuk periode ulang 5 tahunan sebesar 164
mm; 10 tahunan sebesar 189 mm; 25 tahunan sebesar 220 mm; 50 tahunan
sebear 243 mm; dan 100 tahunan sebesar 266 mm. Nisbah limpasan bervariasi
antara 10% sampai 100% sedang waktu pemusatan sampai Manggarai antara
1,6 15,5 jam. Dampak perubahan penggunaan lahan periode tahun 1981
dan 1999 menggunakan model hidrologi HEC-1 menunjukkan meningkatnya
debit banjir Ciliwung Hulu (Katulampa) sebesar 68% dan untuk Ciliwung
Tengah (Depok) sebesar 24%, sedangkan peningkatan volume banjir untuk
Ciliwung Hulu sebesar 59% dan Ciliwung Tengah sebesar 15%. Perubahan
ini juga diikuti oleh terjadinya perubahan andil debit dan volume banjir di
daerah hilir DAS. Melalui model HEC-1 juga ditunjukkan bahwa pengelolaan
lahan DAS hulu yang tepat sebagai tindakan koreksi dapat mengendalikan
debit dan volume banjir di daerah hilir sampai tingkat yang diinginkan.
Burhanita (1995) membuat simulasi pengaruh perubahan penggunaan lahan
terhadap debit sungai di wilayah Ciliwung Hulu. Data yang digunakan
adalah data iklim, data debit stasiun, peta tata guna lahan, dan peta topografi
daerah Ciliwung Hulu. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa perubahan
penggunaan lahan hutan sebesar 30% tidak menyebabkan perubahan debit

xix
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

yang signifikan. Risyanto (2007) memprediksi hidrograf aliran DAS Ciliwung


Hulu menggunakan model HEC-HMS. Data masukan model adalah curah
hujan, tinggi muka air, peta penggunaan lahan, peta DEM 90 m, dan peta
tanah. Hidrograf aliran yang dihasilkan HEC-HMS memberikan nilai
yang lebih besar dari hidrograf aliran pengamatan. Sementara itu, Prihatin
(2012) memprediksi debit puncak aliran permukaan DAS Ciliwung Hulu
menggunakan Model HEC-WMS. Data masukan yang digunakan adalah
peta kontur, peta tanah, peta penggunaan lahan, curah hujan BMKG, dan
tinggi muka air Katulampa. Hasil simulasi menunjukkan debit puncak dan
hidrograf aliran permukaan keluaran model secara relatif mendekati salah
satu hasil pengukuran, sedangkan waktu puncak aliran keluaran model
sangat berbeda. Trisakti et al. (2008) melakukan simulasi debit aliran dengan
menggunakan citra SPOT 4, data jenis tanah, dan SRTM 90 m. Debit air
dihitung menggunakan metode rasional. Hasil simulasi memperlihatkan
bahwa debit sungai di pintu air Katulampa memberikan sumbangan 44%
dari total debit DAS Hulu DAS Ciliwung yang memiliki kondisi kemiringan
tinggi (curam).
Menurut Irianto (2008) yang dimuat di Harian Umum Kompas menyebutkan
bahwa pendekatan model yang menghubungkan antara curah hujan dengan
limpasan (debit) perlu dilakukan, sehingga perubahan karakteristik banjir
(debit maksimum, waktu respons) akibat perubahan input (curah hujan)
dan sistem DAS (Landuse dan jaringan hidrologi) dapat dipantau lebih
akurat. Sementara itu, model deterministik melalui pendekatan mekanisme
fisik perlu digunakan dalam antisipasi banjir karena mempunyai beberapa
keunggulan dibandingkan model lainnya. Keunggulannya antara lain: 1)
dapat menjelaskan secara kuantitatif hubungan sebab-akibat dengan proses
fisik yang berlaku secara universal, dan 2) hasilnya dapat diaplikasikan pada
DAS lain dengan melakukan adaptasi parameter. Dengan demikian, tidak
diperlukan penelitian yang detail untuk penanganan banjir dan genangan
di daerah lain. Untuk banjir dan genangan Jakarta, pendekatan sistem
dapat dilakukan dengan membagi DAS menjadi 4 tipe penggunaan lahan
utama yaitu hutan, lahan sawah, lahan kering, dan lahan permukiman.

xx
Sekapur Sirih
Kajian Fenomena Banjir Di Jakarta

Pendayagunaan lahan hutan dapat dilakukan dengan menjaga kelestariannya,


sedangkan peningkatan daya tampung air sistem lahan sawah dan lahan
kering dapat dilakukan melalui optimasi dimensi pematang sawah dan teras
lahan kering. Apabila konsep ini diadopsi, maka banjir di hilir akan dapat
ditekan, karena sebagian besar aliran permukaan ditampung di tiga tempat
yaitu lahan sawah, teras lahan kering, dan saluran hidrologi (hydrological
network) secara bertingkat sehingga kapasitas tampung air DAS dapat
ditingkatkan, dan hanya sebagian kecil saja air yang dialirkan ke hilir.
Dengan demikian, debit maksimum yang terjadi dapat diturunkan dan
waktu respons dapat diperpanjang. Pendekatan lain adalah melalui Model
reservoir linier bertingkat (reservoir in cascade) dengan input curah hujan
dan sistem DAS. Model ini sangat potensial digunakan untuk membuat
skenario antisipasi banjir dan genangan. Dengan model ini, setiap perubahan
masukan pada suatu sistem dapat dikuantifikasikan keluarannya, sehingga
perubahan debit dan waktu respons DAS sebelum dan sesudah perlakuan
dapat dibandingkan. Pendekatan ini banyak diadopsi oleh negara-negara
maju Eropa dan Amerika dalam menekan risiko banjir. Di Indonesia model
ini sudah diuji kehandalannya dan dikembangkan sesuai dengan kondisi
setempat oleh Irianto dalam mengevaluasi pengaruh teras sawah terhadap
modifikasi karakteristik debit DAS (debit maksimum dan waktu respons) di
DAS Kali Garang, Semarang (Irianto, 2008).
Untuk memantau kemungkinan perubahan magnitude banjir dan genangan
akibat fluktuasi masukan (input) curah hujan dapat dihitung dan diprediksi
dampaknya apabila: 1) hubungan antara intensitas dan lama hujan atas
magnitude banjir dan genangan (luas, tinggi, dan lama genangan) dapat
diformulasikan dan 2) perubahan magnitude banjir dan genangan (luas,
tinggi, dan lama genangan) pada skenario tahun La Nina normal dan El
Nino dapat direpresentasikan. Hubungan intensitas dan lama hujan terhadap
perubahan magnitude banjir dan genangan diperlukan untuk memprediksi
fluktuasi wilayah yang rawan banjir dan genangan. Selanjutnya, informasi
ini dapat dimanfaatkan untuk sistem peringatan dini banjir dan genangan
yang hingga saat ini belum dimiliki Indonesia. Sementara itu, prediksi

xxi
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

perubahan luas areal, tinggi genangan, dan lama genangan maksimum yang
mungkin terjadi pada skenario tahun La Nina dan El Nino dapat digunakan
sebagai masukan pengambil keputusan (decision support system) dalam
mengintegrasikan penanggulangan banjir dan genangan dalam perencanaan
jangka pendek, menengah, dan panjang untuk mereduksi risiko banjir dan
genangan (Irianto, 2002).

5. PEMANFAATAN DATA
PENGINDERAAN JAUH UNTUK
ANALISIS BANJIR
Data penginderaan jauh (inderaja) secara series diperlukan dalam pembuatan
peta wilayah rawan banjir dan genangan sehingga informasi kondisi wilayah
dari hulu hingga hilir dapat dipantau tingkat kerawanannya menurut ruang
dan waktu. Penggunaan citra inderaja untuk deliniasi awal wilayah banjir dan
genangan akan memudahkan proses validasi di lapangan. Wilayah tergenang
dan kebanjiran mempunyai respons spektral yang berbeda (umumnya
terlihat gelap) dibandingkan wilayah yang tak tergenang (terlihat terang/
merah). Hasil tumpang tindih (superimpose) antara peta wilayah rawan banjir
dan genangan dengan peta jaringan hidrologi sungai (hydrological network)
dan peta topografi tersebut dapat digunakan untuk memantau wilayah yang
berpotensi mengalami genangan berikutnya bila debit sungai atau curah
hujan terus meningkat. Selain itu, wilayah penyumbang air utama dapat
dirunut sehingga dapat dirancang strategi antisipasinya. Pendekatan dengan
menggunakan data inderaja ini selain akurat, juga menghemat tenaga, waktu,
dan biaya. Bahkan dengan citra resolusi tinggi (seperti IKONOS dengan
resolusi 1 x 1 meter) dapat dihasilkan peta wilayah banjir dan genangan
secara lebih detil. Peta wilayah rawan banjir yang disajikan menurut ruang
(spasial) dan waktu (temporal) sangat bermanfaat, antara lain untuk 1)
Pembuatan zonasi wilayah rawan/endemik banjir dan genangan secara
akurat. Zonasi wilayah banjir dan genangan ini selanjutnya dapat digunakan
untuk memberikan peringatan (warning) bagi masyarakat yang bermukim

xxii
Sekapur Sirih
Kajian Fenomena Banjir Di Jakarta

di wilayah itu tentang bahaya banjir dan genangan. Selain itu, dapat
digunakan pula dalam menyusun rencana (plan) relokasi penduduk sebagai
pedoman dalam pemberian izin mendirikan bangunan bagi pemerintah
provinsi, kabupaten, dan atau kota, serta menjadi petunjuk bagi masyarakat
dalam pengawasan pelaksanaan pembangunan. 2) Mengkaji kecenderungan
perubahan magnitude banjir dan genangan dalam DAS akibat alih fungsi
lahan, sehingga dapat dijadikan acuan perubahan daya dukung DAS
akibat alih fungsi lahan dan mengestimasi perubahan persentase dan lokasi
terjadinya alih fungsi lahan. 3) Memantau hasil tindakan penanggulangan
banjir dan genangan yang telah dilakukan. Peta wilayah rawan banjir dan
genangan yang diperbarui (update) akan dapat memantau apakah tindakan
penanggulangan banjir dan genangan yang dilakukan sudah memberi hasil
nyata atau tidak. Dengan kata lain, peta wilayah rawan banjir dan genangan
dapat dijadikan alat evaluasi implementasi program penanggulangan banjir
dan genangan yang telah dan akan dilakukan. 4) Menyusun strategi alokasi
bantuan tanggap darurat apabila terjadi banjir dan genangan. Tersedianya
peta wilayah rawan banjir dan genangan dapat meminimalkan kesalahan
alokasi dana untuk penanggulangan banjir maupun penyaluran bantuan
sosial. Dengan demikian, peluang terjadinya penumpukan bantuan sosial
yang sering terjadi selama ini dapat diantisipasi lebih dini (Irianto, 2002).
Haryani et al. (2012) menggunakan data citra inderaja Landsat tahun 2002
dan SPOT 5 tahun 2010, data DEM SRTM, Peta Land System, serta data
curah hujan TRMM 1998 2008 serta metode analisis multikriteria dengan
teknik SIG (Sistem Informasi Geografis) untuk menentukan potensi bahaya
banjir di Kabupaten Sampang.
Riyanto (2009) menggunakan data DEM dan Landsat dengan menerapkan
metode segmentasi. Dari hasil penelitiannya diketahui bahwa terdapat
perbedaan posisi antara daerah potensi banjir dengan daerah genangan
banjir 2007. Hasil prediksi luas wilayah banjir cenderung lebih tinggi (over
estimate) dibandingkan dengan data peta genangan banjir 2007. Sementara
itu, Pawitan (2002) menganalisis pengaruh perubahan penggunaan lahan

xxiii
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

di kawasan Jabotabek dan Bopunjur (DAS Ciliwung) yang diekstraksi dari


data inderaja terhadap intensitas banjir di wilayah Jakarta. Gambar 1
memperlihatkan pola penggunaan lahan di wilayah DAS Ciliwung.

Gambar 1. Pola penggunaan lahan di wilayah DAS Ciliwung yang diekstraksi


data penginderaan jauh (Sumber: Pawitan, 2002)

6. PENUTUP
Ada beberapa faktor penyebab makin meningkatnya intensitas banjir dan
durasi genangan yang terjadi di Jakarta, yakni curah hujan ekstrem yang
makin sering terjadi akibat perubahan iklim, buruknya sistem drainase,
polusi limbah sampah pada sistem aliran sungai, pemanfaatan bantaran

xxiv
Sekapur Sirih
Kajian Fenomena Banjir Di Jakarta

kali sebagai permukiman, alih fungsi lahan yang terjadi baik di wilayah
sepanjang DAS, penurunan permukaan tanah akibat eksploitasi air tanah,
dan lemahnya penegakan hukum.
Penerapan berbagai metode menggunakan berbagai pendekatan masih
sangat diperlukan terutama untuk memetakan zona potensi bahaya banjir di
wilayah Jakarta. Pemanfaatan data inderaja terutama citra inderaja resolusi
tinggi diharapkan mampu memetakan zona potensi bahaya banjir di Jakarta
secara lebih akurat, baik dari sisi spasial maupun waktu. Selain itu, data
citra inderaja resolusi tinggi juga diharapkan mampu memberikan informasi
perubahan penggunaan lahan secara lebih kini (up to date) guna mengestimasi
daya dukung wilayah dalam menduga pengaruh perubahan iklim terhadap
intensitas banjir di Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA
Alexander, A., Harald, V., Herbert, F., Alexander, B. 2010. A Collection
of Possible Fire Weather Indices (FWI) for Alpine Landscapes. ALP
FFIRS. Alpine Forest Fire Warning System. 31 May 2010.
Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengolahan Daerah Aliran Sungai.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Asriningrum, W., A. S. Hapip, H. Gunawan, I. Prasasti, A. Hidayat,
Sumardjo. 1998. Analisis Daerah Rentan Banjir Jakarta dan Sekitarnya
Berdasarkan Klasifikasi Bentuk Lahan dan Penutup/Penggunaan Lahan
dari Citra Jers-1. Majalah LAPAN No. 85 Tahun XXII April.
Bakornas PB. 2007. Pedoman Penanggulangan Bencana Banjir Tahun
2007/2008. Pelaksana Harian Bakornas PB. Jakarta.
BPLHD (Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah) Provinsi Jawa
Barat. 2008. Environmental Profile of Ciliwung River Basin. (http://
pemsea.org/pdf-documents/tmdl_w1_2_ciliwung_basin.pdf.) [6 Maret
2013].

xxv
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Burhanita. 1995. Simulasi Pola Penggunaan Lahan pada Sistem Hidrologi


DAS Ciliwung Hulu [Skripsi]. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas
Kehutanan, IPB.
http://pustaka.pu.go.id/new/istilah-bidang-detail.asp?id=594
Bukowski, R. W. 1996. Fire Risk or Fire Hazard as the Basis for Building Fire
Safety Performance Evaluation. Fire Safety Conference on Performance
Based Concepts, Oct. 1517, 1996. Institute of Safety and Security,
Zurich, Switzerland. [28 November 2011]
Chow, V.T. 1964. Handbook of Applied Hydrology: A Compedium of Water
Resource Technology. New York: McGraw-Hill Book Company
Hardy, C. C. 2005. Wildland fire hazard and risk: Problems, definitions,
and context. Forest Ecology and Management 211: 7382.
Haryani, N.S., A. Zubaidah, D. Dirgahayu, H.F. Yulianto, dan J. Pasaribu.
2012. Model Bahaya Banjir Menggunakan Data penginderaan Jauh di
kabupaten Sampang. Jurnal Penginderaan Jauh, 9 (1): 52 66.
Ibrahim, A. B., dan R. S. Lubis. 2007. Pengembangan Model untuk
Optimalisasi Pengelolaan DAS. Prosiding Workshop Sistem Informasi
Pengelolaan DAS: Inisiatif Pengembangan Infrastruktur Data. Bogor,
5 September 2007. IPB dan CIFOR.
Irianto, G. 2002. Peta Wilayah Rawan Banjir dan Genangan. Harian Umum
Kompas Senin, 16 Desember 2002.
Irianto, G. 2008. Pendekatan Mutakhir dalam Antisipasi Banjir. Harian
Umum Kompas Senin, 21 Januari 2008.
Islam, M. M., and Sado, K. 2002. Development priority map remote sensing
data with for flood countermeasures by geographic information system.
Journal of Hydrologic Engineering, 7(5), 346355.
Johnson, R.R. 1998. An investigation of curve number application to
watershed in excess of 25000 hectars (250 km2). Journal of Environmental
Hydrology, 6(7):110.

xxvi
Sekapur Sirih
Kajian Fenomena Banjir Di Jakarta

McCuen, R.H. 1989. Hydrologic Analysis and Design. New Jersey: Prentice
Hall, Englewood Clift.
Nugroho, S.P. 2008. Analisis curah hujan penyebab banjir besar di Jakarta
pada awal Februari 2007. JAI 4(1).
Pawitan, H. 2002. Hidrologi DAS Ciliwung dan Andilnya Terhadap Banjir
di Jakarta. Lokakarya Pendekatan DAS dalam Menanggulangi Banjir
Jakarta. Jakarta, 8 Mei 2002. Lembaga Penelitian IPB dan Andersen
Consult, Jakarta. http://bebasbanjir2025.wordpress.com/10-makalah-
tentang-banjir-2/hidayat-pawitan/
Pawitan, H. 2002. Perubahan Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap
Hidrologi Daerah Aliran Sungai. Lokakarya Pendekatan DAS dalam
Menangglangi Banjir Jakarta. Jakarta, 8 Mei 2002. Lembaga Penelitian
IPB dan Andersen Consult, Jakarta. http://bebasbanjir2025.wordpress.
com/10-makalah-tentang-banjir-2/hidayat-pawitan/
Prihatin, N. 2012. Aplikasi Model HEC WMS untuk Memprediksi Debit
Puncak Aliran Permukaan DAS Ciliwung Hulu [Skripsi]. Program
Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, IPB.
PU Provinsi DKI Jakarta. 2008. Penanganan Banjir Provinsi DKI Jakarta.
Jakarta.
PU. 2000. Surabaya Drainage Master Plan 2018. Jilid 1. PT Tricon Jaya.
Rao, P. B. S., Murty, K. S. R., and E, A. 2005. Estimation of Flood
Vulnerability Index for Delta Areas through RS&GIS. IEEE
Transactions on Geoscience and Remote Sensing.
Risyanto. 2007. Aplikasi HEC-HMS untuk Perkiraan Hidrograf Aliran
di Das Ciliwung Bagian Hulu. Skripsi. Departemen Geofisika Dan
Meteorologi, FMIPA, IPB.
Riyanto, I. 2009. Pemetaan Daerah Potensi Banjir dengan Segmentasi
Data DEM Studi Kasus DAS Ciliwung di DKI Jakarta 2007 [Tesis].
Departemen Elektro OPTO Elektronika dan Aplikasi Laser, Fakultas
Teknik, UI.

xxvii
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Rustiadi, E. 2013. Penataan Ruang Kawasan & Bencana Antropogenik


di Jabodetabek. Tim Forum Studi Jabodetabek IPB. Diskusi Pakar
Bencana Berulang di Jabodetabek: Mitigasi Banjir-Longsor Jabodetabek
Berbasis Penataan Kawasan Berkelanjutan. Kampus IPB, Dramaga,
Bogor. Bogor, 12 Februari 2013. Bahan Presentasi.
Singh,V.P. 1989. Hydrologic Systems, Vol. II: Watershed Modelling. New
Jersey: Prentice Hall, Englewood Clift, .
Soil Conservation Service. 1964. Hydrology. SCS National Engineering
Handbook, Section 4, Chapter 10. US Dept. of Agriculture. Washington
DC.
Sosrodarsono, S. dan K. Takeda. 1993. Hidrologi untuk Pengairan. Jakarta:
PT. Pradnya Paramita, Cetakan ke VII.
Sudjarwadi.1987. Teknik Sumber Daya Air. Yogyakarta: UGM-Press.
Sukresno dan Paimin. 2007. Pemanfaatan Sistem Informasi Geografi dalam
Aplikasi Model Hidrologi untuk Prediksi Debit (Q) dan Debit Puncak
(QP). Prosiding Workshop Sistem Informasi Pengelolaan DAS: Inisiatif
Pengembangan Infrastruktur Data. Bogor, 5 September 2007. IPB dan
CIFOR.
Trisakti, T. Kuncoro T., dan Susanto. 2008. Kajian distribusi spasial debit
aliran permukaan di Daerah Aliran Sungai (DAS) berbasis data satelit
penginderaan jauh. Jurnal Penginderaan Jauh, 5 hal: 4555.
Yulianto, F., M.A. Marfai, Parwati, Suwarsono. 2008. Model simulasi
luapan banjir Sungai Ciliwung di Wilayah Kampung Melayu-Bukit
Duri Jakarta, Indonesia. Jurnal Penginderaan Jauh, 6: 4353.

xxviii
DAFTAR ISI

Sambutan Penerbit.....................................................................................v
Kata Pengantar Editor..............................................................................vii
Sekapur Sirih.............................................................................................ix
BENARKAH MJO FASE AKTIF SENANTIASA MENYEBABKAN
TERJADINYA BANJIR DI JAKARTA
(Eddy Hermawan dan Lisa Evana)..............................................................1
ANALISIS KEJADIAN CUACA BURUK DI JAKARTA
STUDI KASUS BANJIR TANGGAL 13 NOVEMBER 2013)
(Rizal Hidayat).........................................................................................25
WHY THE FLOOD ALWAYS RETURN TO JAKARTA;
HISTORICAL LAND USE CHANGES AND
GEO-ENVIRONMENTAL ANALYSIS
(Fatwa Ramdania)....................................................................................45
PENENTUAN DISTRIBUSI SPASIAL DAERAH BAHAYA BANJIR
DI 6 (ENAM) SUB DAS WILAYAH DKI JAKARTA
MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH
(Indah Prasasti, Parwati Sofan, Nur Febrianti, dan Totok Suprapto)..........63
PENURUNAN MUKA TANAH DAN HUBUNGANNYA
DENGAN DAERAH RAWAN BANJIR DI JAKARTA
(Junita Monika Pasaribu, Indah Prasasti, Parwati Sofan)...........................85
PEMANFAATAN DATA LANDSAT MULTITEMPORAL
UNTUK ZONASI DAERAH RAWAN BANJIR DI JAKARTA
MENGGUNAKAN PENDEKATAN GEOMORFOLOGI
(Suwarsono, M. Priyatna, Kusumaning Ayu D.S,Wikanti Asriningrum)....101
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENILAI


DAMPAK PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP SURPLUS AIR
DI DAS CILIWUNG
(Nur Febrianti, Parwati Sofan, dan Indah Prasasti).................................115
PERAN INFORMASI GEOSPASIAL UNTUK ARAHAN UPAYA
KONSERVASI AIR DI KABUPATEN BOGOR
GUNA MITIGASI BENCANA BANJIR JAKARTA
(Kris Sunarto).........................................................................................131
AN ANALYSIS OF POTENTIAL HAZARD AND RISK
FOR FLOOD AND LANDSLIDE AREAS
(CASE STUDY IN WEST JAVA PROVINCE)
(Waluyo Yogo Utomo, Widiatmaka, dan Komarsa Gandasasmita).............175
PENGGUNAAN UAV UNTUK VALIDASI PETA RAWAN BANJIR
DI KABUPATEN KUDUS DAN PATI
(Jaka Suryanta).......................................................................................193
Lampiran...............................................................................................215

xxx
BENARKAH MJO FASE AKTIF
SENANTIASA MENYEBABKAN
TERJADINYA BANJIR DI
JAKARTA

Eddy Hermawan1) dan Lisa Evana2)


1)
Pusat Sains dan Teknologi (PSTA) LAPAN-Bandung
E-mail: eddy_lapan@yahoo.com
2)
Geofisika dan Meteorologi, IPB, Bogor
E-mail: lisa_evana@yahoo.com

ABSTRAK
Studi ini menekankan pentingnya analisis perilaku Madden-Julian Oscillation
(MJO) di saat akan melintasi kawasan barat Indonesia. Hal ini penting
dilakukan mengingat MJO terkait erat dengan pergerakan radiasi gelombang
panjang (OLR, Outgoing Longwave Radiation) di sepanjang sabuk (belt)
ekuator yang menentukan besar kecilnya intensitas curah hujan di kawasan
barat Indonesia, termasuk Jakarta. Berbasis data time-series MJO indeks yang
diwakili oleh RMM1 dan RMM2 (Real-time Multivariate MJO) selama
sepuluh tahun pengamatan terhitung sejak Januari 1979 hingga 2009 dan
juga data OLR di posisi 110BT (Bujur Timur) maka dilakukanlah analisis
seberapa jauh peran MJO terhadap peningkatan intensitas curah hujan
ekstrem di Jakarta yang menyebabkan kawasan ini mengalami banjir besar di
awal tahun 1996, 2002, dan 2007. Hasilnya menunjukkan bahwa terjadinya
banjir tidak selalu diakibatkan oleh MJO. Tahun 1996 dan 2002, memang
terjadinya banjir diakibatkan adanya peningkatan aktifitas MJO (MJO fase
aktif). Namun, sebaliknya, tahun 2007 di saat Jakarta dilanda banjir yang
lebih parah, justru disaat MJO berfase tidak aktif (lemah). Dengan demikian,
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

maka perlu dipertimbangkan adanya mekanisme lain (selain MJO tentunya)


yang juga memberi sumbangsih besar terhadap terjadinya banjir di Jakarta
di masa mendatang, seperti fenomena Seruak Dingin (Cold Sourge) dan juga
faktor lokal.
Kata Kunci: banjir Jakarta, MJO, OLR, RMM

ABSTRACT
This study emphasizes the importance of the analysis of the behavior of the
Madden-Julian Oscillation (MJO) in current going across the western part of
Indonesian region. This is important because the MJO is closely related well to
the movement of long-wave radiation (OLR, Outgoing Longwave Radiation)
along the belt of equator which determine the size of the equatorial intensity
rainfall in the western part of Indonesia region, including Jakarta. Based on
time-series of MJO index data represented by the RMM1 and RMM1 (Real-
time Multivariate MJO) during the ten observation years since January 1979 to
2009 and also the OLR data on the position of 110E, we do more analyze the
role of the MJO to the enhancement of the extreme rainfall intensity in Jakarta
in early 1996, 2002 and 2007. The results show that flooding is not always
caused by the MJO. In 1996 and 2002, it is caused an increase in flooding by
MJO activity (MJO in active phase). However, on the contrary, in 2007 when
Jakarta was flooded more severe, occurs precisely when the MJO phased in-active
(weak). Thus, it is needed to consider the existence of other mechanisms (besides
of MJO) who also made great contributions to flooding in Jakarta in the future,
such as the Seruak Dingin (Cold Sourge) as well as local factors.
Keywords: Jakartas floods, MJO, , OLR, RMM

1. PENDAHULUAN
Ada satu pokok permasalahan serius yang dihadapi Pemerintah daerah DKI
Jakarta saat ini yang sepertinya akan terus bergulir seiiring dengan datangnya
awal penghujan yang umumnya terjadi menjelang akhir atau awal tahun,

2
Benarkah Mjo Fase Aktif Senantiasa
Menyebabkan Terjadinya Banjir di Jakarta

sekitar Desember, Januari, Februari bahkan hingga Maret. Bukan hanya durasi
(lamanya), melainkan juga intensitas yang dihasilkannya juga menunjukkan
peningkatan dari tahun ke tahun. Dikenal adanya banjir besar (big floods)
sejak tahun 1996, lalu diikuti tahun 2002 dan mencapai puncaknya di awal
tahun 2007. Ada juga banjir besar di awal tahun 2013, namun dampak
yang dihasilkannya tidaklah separah di tahun 2007. Barangkali teknologi
dan model prediksi yang dihasilkan oleh pihak-pihak terkait relatif lebih
baik sehingga kita lebih sigap dan tanggap dalam mengantisipasi terjadinya
banjir yang diduga erat hadir setiap 5-6 tahunan. Tidaklah mengherankan,
jika pada akhirnya banjir akan menjadi hal yang biasa bagi warga Jakarta
dan sekitarnya, terlepas apakah ini disebabkan karena posisi geografis Jakarta
yang sangat rentan terhadap masuknya berbagai fenomena global, seperti
Monsun, El-Nino, La-Nina atau lainnya, namun yang pasti adalah kawasan
ini membutuhkan informasi dan prediksi akan datangnya curah hujan
ekstrem yang cepat, tepat, akurat, dan juga near real time sehingga antisipasi
dapat dilakukan sejak dini.
Perlu dipahami bahwa tidaklah mudah untuk membuat satu model prediksi
seperti yang diinginkan pihak pengguna (user) di atas, apalagi jika untuk
diberlakukan pada kondisi yang relatif kecil dengan resolusi tinggi (high
resolution), diperlukan satu unit super komputer yang mampu me-running
dalam kurun waktu yang relatif singkat. Terlepas dari itu, hal lain yang
relatif penting untuk dipahami adalah mengapa banjir besar itu terjadi,
fakor dominan apa saja yang memengaruhinya, adakah peran fenomena
global disana. Jika iya, apa saja faktor global tersebut sehingga dapat
dijelaskan dengan mudah dan gamplang mekanisme terjadinya banjir besar
tersebut. Dengan kata lain, pemahaman yang jauh lebih baik dan benar
tentang kondisi iklim Indonesia mutlak diperlukan. Hal ini terjadi akibat
posisi Indonesia yang unik dan specific akibat diapit oleh dua Benua Besar
(Asia dan Australia) dan dua Samudra Besar (Pasifik dan Hindia) dengan
distribusi daratan dan lautan yang relatif acak (random) dan juga kompleks.
Hampir sebagian besar model iklim atau model atmosfer yang ada saat ini
tidak dapat bekerja dengan baik ketika diterapkan di Indonesia. Apakah

3
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

akibat gaya Coriolies yang relatif kecil atau ada mekanisme lain yang belum
dipahami, itupun masih menjadi bahan perdebatan di sebagian besar ilmuan
dunia.
Indonesia merupakan satu dari tiga kawasan penting dunia yang diduga
sebagai sumber utama terjadinya perubahan iklim global. Hal ini dapat
dipahami mengingat Indonesia merupakan satu-satunya kawasan di ekuator
yang dominan di kelilingi oleh lautan dan sisanya oleh daratan yang dikenal
dengan istilah Indonesian Maritime Continent (IMC) atau Benua Maritim
Indonesia (BMI) sebagaimana digambarkan oleh Ramage (1968). Jadi, adalah
wajar jika kawasan ini dikenal sebagai penyimpan bahang (panas) terbesar di
dunia baik yang nyata atau tersembunyi (latent) yang diindikasikan dengan
banyaknya kumpulan awan-awan Cumulonimbus (Cb) yang bergerak dari
barat menuju timur di sepanjang sabuk (belt) katulistiwa, dikenal sebagai
Super Cloud Clusters (SCCs). Satu di antara indikasi kuat adanya SCCs
adalah terjadinya fenomena MJO (Madden Julian Oscillation (MJO) yang
dikenal sebagai salah satu siklus dominan yang ada di sepanjang sabuk
ekuator, selain fenomena Monsun yang memang paling dominan terjadi
hampir di seluruh kawasan Indonesia.
Sebenarnya tidak hanya MJO, masih ada fenomena lain yang tidak kalah
pentingnya, walaupun sama-sama bergerak secara zonal (barat-timur), yakni
El-Nino yang ada di Lautan Pasifik dan IOD (Indian Ocean Dipole) yang
ada di Lautan Hindia. Walaupun memiliki osilasi (embutan) yang berbeda,
namun keduanya memiliki dampak yang cukup serius, apalagi jika keduanya
bersatu dalam satu kurun waktu yang hampir bersamaan (simultan). Terkait
dengan topik diatas, fokus utama fenomena yang dibahas dalam makalah
ini adanya fenomena atau kejadian (event) MJO mengingat osilasi dominan
yang dimilikinya relatif sangat singkat yakni sekitar 45 harian, dibandingkan
dengan El-Nino ataupun IOD, masing-masing sekitar lima dan tiga setengah
tahunan.
Karena fenomena hujan esktrim yang diduga sebagai penyebab utama
terjadinya banjir terjadi dalam kurun waktu yang relatif singkat, MJO lah
yang kiranya amat sangat relevan dibahas dalam makalah ini. Walaupun

4
Benarkah Mjo Fase Aktif Senantiasa
Menyebabkan Terjadinya Banjir di Jakarta

harus dipahami bahwa tidak hanya fenomena MJO semata, sebab masih
ada satu fenomena lain yakni tidak kalah pentingnya untuk dikaji lebih
jauh, yakni hadirnya Seruak Dingin (Cold Sourge) yang dominan terjadi
di sepanjang bulan-bulan basah (DJF, Desember-Januari-Februari) sebagai
serangan massa udara dingin dari Belahan Bumi Utara (BBU) ke Belahan
Bumi Selatan (BBS) ketika pusat tekanan rendah relatif dominan ada di
BBS.
Atas dasar itulah maka makalah ini dibuat dengan tujuan utama untuk
mengetahui sejauh mana peran MJO, benarkah MJO dengan fase aktif
akan senantiasa menyebabkan terjadinya banjir di Jakarta yang yang pernah
terjadi di tahun 1996, 2002 dan 2007.

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Madden-Julian Oscillation (MJO)
Madden-Julian Oscillation (MJO) merupakan mode osilasi yang termasuk
dominan di ekuator (Madden and Julian, 1994, dalam Madani, 2012). Osilasi
ini dihasilkan dari sirkulasi sel skala besar di ekuatorial yang bergerak dari
barat menuju timur dari Samudra Hindia ke Samudra Pasifik dengan periode
antara 3060 hari. Pengamatan MJO umunya melibatkan berbagai variabel
meteorologi seperti radiasi gelombang panjang (OLR, Outgoing Longwave
Radiation), curahan (precipitation), angin zonal (barat-timur) di lapisan atas
dan bawah troposfer, tekanan muka laut (SLP, Sea Level Pressure), konvergensi
kelembaban, suhu permukaan laut (SST, Sea Surface Temperature), dan flux
panas tersembunyi (latent) pada permukaan laut. MJO sering diasosiasikan
dengan terbentuknya SCCs sehingga dapat dengan mudah diamati dari
observasi satelit melalui pantulan OLR yang dihasilkannya. Pengukuran
varians OLR pada daerah konveksi akan membaca sinyal yang lebih besar
daripada red noise sehingga dapat menunjukkan sinyal MJO yang relatif kuat
(Geerts dan Wheeler, 1998 dalam Madani, 2012).

5
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Gambar 1. Skema MJO di ekuatorial (Madden dan Julian, 1972 dalam


Madani, 2012)

Fenomena MJO terkait langsung dengan pembentukan kolam hangat


(warm pool) di Samudra Hindia bagian timur dan Samudra Pasifik bagian
barat yang dicerminkan dengan adanya pergerakan MJO dari arah barat
kenuju ke arah timur bersamaan dengan pergerakan angin baratan (westerly
wind) di sepanjang sabuk ekuator yang umumnya diikuti dengan konveksi
kumpulan awan-awan Cumulonimbus (Cb) yang relatif tebal. Kumpulan
awan-awan inilah yang diduga sebagai penyebab utama terjadinya hujan
dengan intensitas relatif tinggi yang mampu menempuh jarak hingga 100
kilometer per hari di sepanjang sabuk ekuator Samudra Hindia dan sekitar
500 kilometer per hari ketika berada di Indonesia. Pergerakan SCCs ini,
tentu saja nantinya akan berkaitan erat dengan pergerakan pusat tekanan
rendah yang akan diikuti oleh perubahan pola angin (Seto, 2002, dalam
Madani, 2012).

6
Benarkah Mjo Fase Aktif Senantiasa
Menyebabkan Terjadinya Banjir di Jakarta

Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan (Nurhayati, 2007 dalam


Madani, 2012) menggunakan data EAR (Equatorial Atmospheric Radar),
khususnya dari parameter angin zonal yang di-overlay dengan angin vertikal
dikenal dengan istilah (zonal-vertical) menunjukkan adanya pergerakan
angin baratan di lapisan permukaan dan angin timuran di lapisan atasnya.
Hal tersebut sesuai dengan teori skema pergerakan MJO di ekuator, seperti
yang ditunjukkan Gambar 1 di atas. Siklus MJO ditunjukkan dengan
adanya pergerakan kumpulan awan-awan Cb tadi dengan periode osilasi di
antara 3060 hari dan dengan cakupan daerah 10oLU10oLS (Matthews,
A.J., 2000 dalam Madani, 2012) seperti yang ditunjukan pada Gambar 2
berikut.

Gambar 2. Gambaran umum siklus MJO (Matthews, A.J., 2000, dalam


Madani, 2012)
7
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Gambar di atas menunjukan siklus MJO dengan interval selama 3 harian


atau 22.5 fase. Gambar tersebut menggunakan OLR sebagai salah satu
cara untuk menggambarkan perjalanan siklus MJO. Siklus MJO pada fase
0 atau t=0, konveksi tumbuh dan berkembang di Samudra Hindia dan
terjadi supresi (mengalami kekeringan) di Samudra Pasifik. Kedua peristiwa
ini bergerak ke timur sampai fase 180 dengan lokasi yang berkebalikan
(konveksi di Samudra Pasifik dan supresi di Samudra Hindia). Kondisi ini
terus bergerak ke timur dan kembali ke fase 0 (konveksi di Samudra Hindia
dan supresi di Samudra Pasifik). Penjalaran ini memerlukan waktu 30-60
hari dengan efek basah dan kering pada daerah-daerah yang di lewatinya.
Distribusi spasial MJO adalah antara 10oLU dan 10oLS (Madden dan Julian,
1972). Namun sekarang MJO dikenali dari 20oLU dan 20oLS (Wheeler dan
Hendon, 2004). Sementara itu distribusi temporal MJO berkisar antara
4050 hari (Madden dan Julian, 1971). Di wilayah tropis osilasi ini sedikit
melebar yaitu sekitar 3060 hari, tetapi fenomena ini dapat diperpanjang dari
2279 hari, dengan rata-rata sekitar 45 hari (Madden dan Julian 1994).
Kubota et al. (2005) menyatakan bahwa dengan data angin dapat
ditunjukkan terjadinya MJO, khususnya di saat fase aktif yang diindikasinya
dengan adanya penguatan angin baratan. Hal ini diperkuat oleh Nurhayati
(2007 dalam Madani, 2012) yang menyatakan bahwa fenomena MJO yang
diamati dari angin zonal menunjukkan bahwa fenomena MJO pada lapisan
troposfer bawah dan diduga terkait erat dengan adanya angin baratan. Hal
tersebut juga sesuai dengan skema perpotongan MJO di ekuator menurut
Matthews (2000), di mana terjadi dominasi angin baratan di lapisan bawah
troposfer.

8
Benarkah Mjo Fase Aktif Senantiasa
Menyebabkan Terjadinya Banjir di Jakarta

2.2. Pola Curah Hujan di Indonesia


Curah hujan (dalam dimensi mm) didefinisikan sebagai air hujan yang
diterima permukaan sebelum mengalami aliran permukaan, evaporasi, dan
peresapan ke dalam tanah. Ada tiga pola Indonesia dibagi menjadi tiga yaitu
pola equatorial, monsunal, dan lokal. Curah hujan yang bertipe Equatorial
umumnya ditandai dengan sifat hujan memiliki dua puncak (double peak)
maksimum dalam setahun, biasa berlangsung pada bulan Maret dan
Oktober. Untuk yang bertipe Monsunal umumnya ditandai dengan sifat
hujan yang hanya memiliki satu kali puncak musim hujan dan kemarau
dalam satu tahunnya. Sementara yang bertipe Lokal umumnya dicirikan
sebagai kebalikan tipe Monsunal.
Indonesia merupakan daerah yang dilalui oleh garis Inter Tropical
Convergence Zone (ITCZ) yang dikenal sebagai pertanda bahwa pada
tempat yang dilaluinya akan mempunyai curah hujan yang tinggi. Dengan
kata lain ITCZ akan memengaruhi distribusi curah hujan pada wilayah-
wilayah yang dilaluinya. ITCZ berkaitan dengan pergeseran posisi matahari,
dimana Indonesia yang terletak di ekuator mengalami dua kali pemanasan
maksimum, yaitu pada waktu matahari bergerak ke selatan melintasi ekuator
dan kembali ke utara melintasi ekuator. Keadaan ini menyebabkan puncak
aktivitas konveksi yang menghasilkan hujan terjadi dua kali, yang pada
umumnya dapat dilihat pada pola curah hujan bulanan yang memiliki dua
puncak. Kajian Donald et al. (2006) menunjukkan adanya variasi distribusi
kekuatan MJO juga dipengaruhi oleh posisi ITCZ. Selama perjalannya ke
arah timur, MJO dipengaruhi oleh posisi matahari. Ketika matahari berada
di garis ekuator MJO bergerak lurus ke arah timur. Sementara ketika posisi
matahari berada di sebelah selatan garis ekuator, maka perjalanan MJO agak
bergeser ke arah selatan ekuator yang dikenal dengan sebagai penjalaran
selatan-timur (south-eastern propagation). Ketika posisi matahari berada di
sebelah utara ekuator, perjalanan MJO agak bergeser ke arah utara ekuator
yang dikenal sebagai penjalaran utara-timur (north-eastern propagation) (Rui
dan Wang, 1990 dalam Madani, 2012).

9
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Gambar 3. Pola curah hujan di Indonesia (Sumber: Adrian dan Susanto,


2003)

Seto (2004 dalam Madani, 2012) menyatakan bahwa MJO dalam fase aktif
memiliki korelasi terjadinya intensitas curah hujan yang tinggi terhadap
wilayah yang dilaluinya. Evana (2009 dalam Madani, 2012) juga menyatakan
bahwa pada saat indeks MJO menguat maka terdapat kecenderungan bahwa
curah hujan hujan tinggi di daerah yang dilewatinya. Pada bulan-bulan
kering (JJA), meskipun indeks MJO menguat akan tetapi tidak selalu diikuti
dengan curah hujan yang tinggi. MJO aktif berpeluang menimbulkan
curah hujan tinggi di Indonesia ketika terjadi pada bulan basah (DJF). Hal
tersebut berkaitan dengan posisi ITCZ yang dipengaruhi oleh peredaran
gerak semu matahari. ITCZ bergerak ke utara dan selatan mengikuti gerak
semu matahari dengan lag sekitar 2 bulan (Donald, 2007).

10
Benarkah Mjo Fase Aktif Senantiasa
Menyebabkan Terjadinya Banjir di Jakarta

3. DATA DAN METODE


Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi (a). Data RMM1
dan RMM2 periode 1 Maret 1979 hingga 1 Maret 2009 selama 30 tahun
yang diperoleh dari web-site http://www.bom.gov.au/bmrc/clfor/cfstaff/
matw/ maproom/RMM//, (b). Data anomali pentad Outgoing Longwave
Radiation (OLR) periode 3 Maret 19793 Maret 2009, pada posisi 80oBT,
100oBT, 120o BT dan 140o BT yang diperoleh dari web-site http://www.
cpc.noaa.gov/products/precip/CWlink/daily_mjo_index/proj_norm_order.
ascii, (c). Data curah hujan harian wilayah Jakarta, Palembang, Lampung,
dan Kerinci tahun 20062008, (d). Data curah hujan bulanan tahun 1995-
2008 (Sta. Halim Perdanakusuma, Sta. Pondok Betung, Sta. Kemayoran,
Sta. Cengkareng, Sta. Tanjung Priok).
Sementara untuk analisis digunakan metode analisis spektral untuk
mengetahui osilasi dominan dari masing-masing data yang digunakan.
Analisis spektral merupakan modifikasi dari analisis Fourier sehingga analisis
ini sesuai untuk deret waktu yang stokastik (Chatfield, 1984). Secara definisi
jika Xt adalah proses stokastik dengan fungsi autokovarians (k) dengan k
= ..., -2, -1, 0, 1, 2, ... maka spektrum f() adalah transformasi Fourier
dari fungsi autokovarians yang dalam ekspresi matematisnya adalah sebagai
berikut:

Analisis spektral dalam penelitian ini digunakan untuk menampilkan


periode setiap gelombang yang tersembunyi dari sebuah data deret waktu.
Selain itu, juga digunakan metode analisis korelasi silang untuk mengetahui
hubungan antara dua variabel yaitu RMM1 dan RMM2 dengan OLR pada
posisi 100BT. Formula perhitungan korealsi silang (Makridakis, 1988):

11
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

dimana:
rxy (k) : korelasi silang antara deret x dan deret y pada lag ke-k

(merupakan kovarian antara deret x dan y pada lag ke-k)

(merupakan variansi silang peubah x)

(merupakan variansi silang peubah y)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


Sebelum membahas lebih lanjut tentang peran data MJO indeks, berikut
ditunjukkan data time-series MJO indeks yang masing-masing diwakili oleh
RMM1 dan RMM2, termasuk di dalamnya data OLR terutama pada posisi
100oBT terkait dengan posisi Jakarta yang berada di sekitar 106oBT selama
sepuluh tahun pengamatan terhitung sejak 3 Januari 1979 hingga 3 Januari
2009 seperti tampak pada Gambar 4. berikut.

12
Benarkah Mjo Fase Aktif Senantiasa
Menyebabkan Terjadinya Banjir di Jakarta

Gambar 4. Grafik analisis Power Spectral Density (PSD) data RMM1,


RMM2, dan OLR periode 3 Januari 19792009

Dari gambar di atas terlihat jelas adanya sinyal MJO dengan puncak
tertinggi di sekitar periode ke-9 yang bermakna adanya sembilan kali
lipatan lima atau setara dengan empat puluh lima harian akibat data OLR
memang di-setting setiap lima harian (pentad). Ini sesuai dengan konsep
dasar MJO yang berkisar di antara 3060 harian, tepatnya sekitar 45 harian
sebagaimana dikemukakan oleh Madden and Julian (1971, 1972). Walaupun
diketemukan juga adanya osilasi-osilasi lain, namun nilainya relatif kecil,
seperti gelombang Kelvin yang berperiode sekitar 20 harian. Yang menarik
adalah justru osilasi dominan tampak jelas ditunjukkan oleh data OLR yang
memang merupakan parameter utama dalam mendeteksi terjadinya MJO di
satu kawasan tertentu.
Dengan asumsi bahwa perilaku OLR yang berada di puncak (top) atmosfer
terkait erat dengan perilaku curah hujan yang ada di bawah (permukaan),
maka berikut ini ditunjukkan Berikut disajikan grafik curah hujan bulanan
di atas Jakarta periode Januari 1995 hingga Desember 2008 (Gambar 4.).

13
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Gambar tersebut menunjukkan distribusi curah hujan bulanan di wilayah


Jakarta yang masing-masing diwakili oleh Stasiun Tanjung Priok, Halim
Perdanakusuma, Kemayoran, dan Cengkareng. Dari Gambar tersebut
tampak jelas selain adanya pola Monsunal yang beraturan setiap 12 bulan,
namun juga terlihat bahwa curah hujan dengan intensitas tinggi di wilayah
Jakarta terjadi pada selama bulan Januari-Februari-Maret dengan mencapai
puncaknya di sekitar bulan Februari, dimulai tahun 1996, 2002, dan 2007
dengan intensitas di atas 600 mm/bulan. Ini sudah termasuk kelompok
curah hujan esktrim sebagaimana dinyatakan BMKG, yakni bila mencapai
di atas 400 mm/bulan.

Gambar 5. Grafik curah hujan Jakarta periode Januari 1995Desember


2008

Memang disini (analisis data curah hujan) tidak tampak adanya fenomena
MJO. Ini disebabkan analisis data curah hujan yang digunakan merupakan
rata-rata bulan (monthly). Hal yang tampak jelas adalah fenomena Monsun
yang hampir mendekati osilasi sempurna sekitar 12 bulanan. Lalu, di mana
kaitan antara Monsun dan MJO? Inilah yang menarik untuk dikaji lebih
lanjut. Semula kita menganggap bahwa antara Monsun dan MJO adalah

14
Benarkah Mjo Fase Aktif Senantiasa
Menyebabkan Terjadinya Banjir di Jakarta

dua fenomena yang berbeda, namun analisis lebih lanjut menunjukkan


bahwa ada keterkaitan yang erat antara Monsun dan MJO. Keterkaitannya
adalah bahwa Monsun tidaklah terjadi begitu saja, melainkan ada faktor
yang memicunya atau men-trigger-nya. Satu di antaranya adalah MJO.
Hal ini tampak jelas ketika membahas masalah banjir besar yang melanda
Jakarta tepatnya di bulan-bulan Januari dan Februari tahun 1996, 2002,
dan 2007. Terlihat jelas dari waktu ke waktu intensitasnya semakin naik,
mulai 700 mm di tahun 1996, 800 mm di tahun 2002, hingga di atas
1000 mm di tahun 2007. Dengan perkataan lain, aktivitas MJO semakin
mengalami peningkatan. Tidak hanya intensitasnya barangkali, namun juga
lama (durasi) terjadinya MJO di atas Jakarta. Pertanyaannya adalah, apakah
meningkatnya aktifitas MJO juga menyebabkan meningkatnya intensitas
curah hujan. Atau dengan kata lain, apakah hujan lebat dengan intensitas
jauh di atas normal (ekstrem) yang menyebabkan banjir selalu diakibatkan
oleh MJO. Jika iya, MJO yang bagaimana, MJO yang pada fase apa hal itu
bisa terjadi?
Terkait dengan hasil analisis di atas maka dipandang perlu untuk disajikan
bagaimana peran MJO indeks dalam menjelaskan adanya perbedaan yang
cukup signifikant antara banjir 1996 dengan 2002 dan 2007. Benarkah
MJO fase aktif senantiasa menyebabkan terjadinya banjir di Jakarta. Atas
dasar itulah, maka analisis ini difokuskan pada curah hujan esktrim yang
terjadi selama bulan basah, khususnya selama Januari dan Februari tahun
1996, 2002, dan 2007 sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 6 berikut.

15
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Gambar 6. Grafik curah hujan di atas Jakarta selama bulan basah terhitung
sejak 1 Desember 199531 Maret 1996 (kiri), 1 Desember
200131 Maret 2002 (tengah) dan 1 Desember 200631 Maret
2007 (kanan)

Dari gambar di atas, terlihat jelas bahwa curah hujan esktrim terjadinya di
awal tahun 2007, dibandingkan tahun 2002 ataupun 1996. Hal ini juga
tercermin dari dampak yang dihasilkannya, di mana kondisi banjir besar
tahun 2007 jauh lebih besar dibandingkan tahun 2002 dan 1996. Ini
adalah fakta di lapang yang ada, lalu bagaimana MJO menjelaskan adanya
perbedaan yang cukup signifikan ini. Benarkah MJO dianggap yang paling
bertanggung jawab terjadinya perbedaan ini. Berikut disajikan bagaimana
posisi MJO pada saat banjir itu terjadi, baik tahun 1996, 2002, ataupun
2007 seperti ditunjukkan pada Gambar 7 berikut.

16
Benarkah Mjo Fase Aktif Senantiasa
Menyebabkan Terjadinya Banjir di Jakarta

Gambar 7. Perbandingan data RMM1 dan RMM2 periode 1 Desember


1995 hingga 31 Maret 1996 saat terjadinya terjadinya MJO fase
aktif

Gambar 8. Sama dengan Gambar 6, tetapi untuk periode 1 Desember 2001


hingga 31 Maret 2002 saat terjadinya terjadinya MJO fase aktif

17
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Gambar 9. Sama dengan Gambar 6, tetapi untuk periode 1 Desember 2006


hingga 31 Maret 2007 saat terjadinya terjadinya MJO fase tidak
aktif/lemah

Berdasarkan gambar di atas terlihat jelas bahwa terjadinya benajir besar di


tahun 1996 dan 2002 terjadi di saat MJO pada posisi aktif. Ini adalah normal
dan wajar mengingat MJO senantiasa terkait erat dengan perubahan OLR
yang menyebabkan intensitas curah hujan dapat bervariasi setiap saat. Jika
teori ini benar, bagaimana dengan kejadian banjir besar yang justru lebih
parah. Namun terjadi disaat MJO berfase lemah atau tidak aktif. Untuk
menjelaskan fenomena ini, ada baiknya kita kaji kembali apa makna aktif
dan makna tidak aktif atau lemah sebagaimana tampak pada Gambar 10
berikut.

18
Benarkah Mjo Fase Aktif Senantiasa
Menyebabkan Terjadinya Banjir di Jakarta

Gambar 10. Diagram posisi fase (phase) RMM1 dan RMM1 mulai dari fase 1
hingga 8, di mana Indonesia termasuk pada fase 4 dan 5 (http://
www.bom.gov.au/.../RMM/composites/phasediag)

Gambar ini menunjukkan RMM (Real-time Multivariate MJO) yang


didasarkan kepada pada dua fungsi ortogonal empiris (EOFs) dari gabungan
rata-rata angin zonal 850 hPa, angin zonal 200 hPa, dan data keluaran satelit
dari radiasi gelombang panjang (OLR=Outgoing Longwave Radiation).
Bagaimana posisi RMM1 dan RMM2 di awal tahun 2007? Inilah yang
kiranya perlu dikaji lebih lanjut sebagaimana tampak pada Gambar 11.

19
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Gambar 11. Sama dengan Gambar 10, hanya menunjukkan diagram posisi
fase (phase) RMM1 dan RMM1 mulai dari fase 1 hingga 8,
periode 1 Desember 2006 hingga 31 Maret 2007 (http://www.
bom.gov.au/.../RMM/composites/phasediag)

Dari gambar di atas terlihat jelas memang posisi MJO saat ini yang ada di
atas Indonesia, khususnya berada pada posisi di dalam lingkatan kecil yang
ada di dalam. Sesuai dengan defini di atas (Gambar 10), maka benar adanya
jika saat ini posisi MJO adalah lemah atau tidak aktif, walaupun terletak di
atas Indonesia. Mengapa masih terjadi banjir pada saat itu?. Kami menduga
bahwa ada mekanisme lain yang masih perlu dikaji lagi atau ada fenomena lain
yang dalam penelitian ini kami anggap tidak terlalu signifikan berpengaruh,
yakni serangan massa udara dingin (dikenal dengan istilah Seruak Dingin
atau Cold Sourge). Gambar 12 berikut barangkali dapat dijadikan pemikiran
bagaimana distribusi data OLR di awal tahun 2002 dan 2007. Jelas terlihat
bahwa sebaran OLR di tahun 2002 relatif jauh lebih banyak dibandingkan
tahun 2007, namun sekali lagi mengapa justru tahun 2007 banjir di Jakarta
relatif jauh lebih dahsyat atau parah dibandingkan tahun 2002.

20
Benarkah Mjo Fase Aktif Senantiasa
Menyebabkan Terjadinya Banjir di Jakarta

Gambar 12. Perbandingan distribusi OLR global di awal tahun 2002 dan
2007 (http://.www.bmrc.climate forecasting)

5. KESIMPULAN
MJO dalam fase aktif tidak selalu diikuti dengan hujan deras di Indonesia.
MJO aktif berpeluang menimbulkan hujan deras di wilayah Indonesia
ketika terjadi pada bulan basah (DJFM). Pada tahun 1996 dan 2002 MJO
menjadi salah satu penyebab hujan deras (mencapai di atas 100 mm/hari)
yang menyebabkan banjir (studi kasus: Jakarta). Namun kejadian hujan
deras yang menyebabkan banjir pada Februari 2007 terjadi ketika MJO
dalam fase lemah sehingga diduga ada fenomena lain yang menyebabkan
hujan deras tersebut. Andaikan terjadi sebaliknya, tidak terjadi banjir, tetapi
MJO pada posisi aktif, maka harus dikakji kembali pada saat itu MJO pada
posisi fase ke berapa.

21
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Ucapan Terima Kasih


Terima kasih diucapkan kepada Pusat Sains dan Teknologi (PSTA) LAPAN-
Bandung dan Geofisika dan Meteorologi, IPB, Bogor.

DAFTAR PUSTAKA
Aldrian E., Susanto R.D. 2003. Identification of three dominant rainfall
regions within indonesia and their relationship to sea surface temperature.
International Journal of Climatology 23:14351452.
Donald A., Meinke H., Power B., Maia A. H. N., Wheeler M. C., White
N., Stone R. C., Ribbe J. 2006. Near-global impact of the Madden-
Julian Oscillation on rainfall. Geophy. Res. Lett., 33, L09704, doi:
10.1029/2005GL025155.
Kubota H., Shiroka R., Ushiyama T., Chen J., Chuda T., Takeuchi K.,
Yoneyama K., Katsumata M. 2006. Observations of the structures of
deep convections and their environment during the active phase of
an Madden-Julian Oscillation event over Equatorial Western Pacific.
Jurnal Of The Meteorology Society Of Japan, 84(1):115.
Madani, N., 2012: Pengembangan Model Prediksi Madden-Julian
Oscillation (MJO) Berbasis Hasil Analisis Data Wind Profiler Radar
(WPR) [Skripsi] Departement Geofisika dan Meteorologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor
(IPB), 41 hal.
Madden R. A., Julian P. 1971. Detection of a 4050 day oscillation in the
zonal wind in the tropical Pacific. J Atmos Sci 28: 702708.
Madden R. A., Julian P. 1972. Description of global-scale circulation cells in
tropics with a 4050 day period. Journal Atmospheric Sciences 29:1109
1123.
Madden R. A., Julian P. 1994. Observations of the 4050 day tropical
oscillation. Month Weather Rev 122:814837.

22
Benarkah Mjo Fase Aktif Senantiasa
Menyebabkan Terjadinya Banjir di Jakarta

Matthews A. J. 2000. Propagation mechanisms for the Madden-Julian


Oscillation. Quart J Roy Meteor Soc 126: 26372652.
Ramage, C. S. 1968: Role of tropical Maritime Continent in the
atmospheric circulation. Mon. Wea. Rev, 96: 365370.
Wheeler M, Hendon H. H. 2004. An all-season real-time multivariate MJO
index: Development of an index for monitoring and prediction. Month
Weather Rev 132:19171932.

23
ANALISIS KEJADIAN CUACA
BURUK DI JAKARTA
(STUDI KASUS BANJIR
TANGGAL 13 NOVEMBER 2013)

Rizal Hidayat
Stasiun Meteorologi Nanga Pinoh, Kalimantan Barat
E-mail: asus9924@gmail.com

ABSTRAK
Cuaca buruk adalah kejadian cuaca yang tidak normal, tidak lazim yang dapat
mengakibatkan kerugian jiwa dan harta. Untuk dapat mengetahui penyebab
terjadinya cuaca buruk tersebut dengan melakukan kegiatan analisis cuaca
yaitu merupakan kegiatan menganalisis fenomena-fenomena cuaca yang ada
di atmosfer sehingga dapat mengenali perubahan cuaca dengan tujuan agar
kita dapat mengetahui kondisi cuaca yang sedang terjadi sampai keadaan
cuaca mendatang. Cuaca dapat berubah berdasarkan ruang dan waktu
karena adanya dinamika atmosfer. Faktor cuaca yang sangat mempengaruhi
yaitu hujan. Hujan dalam intensitas yang besar dapat menyebabkan banjir
pada suatu daerah karena kondisinya berada di ambang batas normalnya.
Namun pada hakekatnya kejadian banjir dapat terjadi karena beberapa
faktor, di antaranya yaitu faktor meteorologi dan non meteorologi. Hal yang
merupakan faktor meteolorogi yaitu hujan, rob dan tsunami, sedangkan
faktor non meteorologi yaitu meluapnya air sungai, kurangnya daerah
resapan air akibat penyalahgunaan lahan, dan lain-lain.
Kata Kunci: banjir, cuaca buruk, curah hujan, dinamika atmosfer.
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

ABSTRACT
Bad weather is not normal weather events, it is not uncommon that could result in
the loss of lives and property. To be able to determine the cause of the bad weather
by conducting analysis of weather is an activity to analyze the phenomenon -
weather phenomena in the atmosphere, so it can recognize changes in the weather
in order that we may know the weather conditions, the weather is going to come.
The weather can change based on time and space because of the dynamics of the
atmosphere. Weather factors that affect that rain. Rain in great intensity may
cause flooding in an area, because the condition is in its normal threshold. But
in fact the incidence of flooding can occur due to several factors, among which the
meteorological and non-meteorological factors. Which is a factor meteolorogi ie
rain, floods and tsunamis, while the non-meteorological factors that overflowing
river, the lack of water catchment areas due to misuse of land, and others.
Keywords: Atmospheric Dynamics, Bad Weather, flooding, rainfall

1. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan wilayah tropis yang memiliki karakteristik cuaca yang
unik dibandingkan wilayah yang lainnya di permukaan bumi. Wilayah
tropis terletak antara 23,5LU23,5LS, yang merupakan wilayah dengan
kondisi atmosfer yang relatif homogen yaitu unsur tekanan, geopotensial dan
temperatur yang relatif serba sama (homogen). Cuaca di wilayah Indonesia
itu sendiri sangat mudah berubah karena letak Indonesia yang berada di
garis khatulistiwa, berada di antara dua benua dan dua samudra sehingga
secara umum kondisi cuaca di wilayah Indonesia disebabkan oleh beberapa
faktor di antaranya yaitu pola angin musiman yang bertiup serta ditentukan
oleh kondisi dinamika atmosfer yang dipengaruhi oleh fenomena alam skala
global yaitu El Nino dan La Nina serta MJO, skala regional yaitu sirkulasi
Monsun dan gangguan tropis serta skala lokal yaitu kondisi topografi dan
stabilitas atmosfer.

26
Analisa Kejadian Cuaca Buruk di Jakarta
(Studi Kasus Banjir Tanggal 13 November 2013)

Pada tanggal 13 November 2013 sekitar pukul 14.30 WIB telah terjadi
hujan di Jakarta dengan intensitas yang cukup tinggi bahkan diikuti dengan
kejadian banjir (jakarta.okezone.com). Dengan memperhatikan kondisi
tersebut maka diperlukan suatu metode analisis untuk mengkaji berbagai
faktor yang memengaruhi kondisi cuaca buruk tersebut. Ada berbagai
macam fenomena yang mendorong terjadinya kondisi cuaca buruk, di
antaranya disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kondisi global,
regional ataupun efek lokal dari wilayah itu sendiri. Skala global dan regional
dilihat sebagai latar belakang yang mendukung terjadinya gangguan cuaca.
Adapun fenomena lokal yang menjadi penyebab utama yang dianalisis adalah
keadaan udara atas dari data sounding serta nilai vortisitas dan divergensi.
Dimulai dengan menganalisis yang sudah terjadi, terutama pada saat analisis
yang berkaitan dengan banjir. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui kondisi fisis/dinamis pada saat terjadi cuaca buruk sebagai acuan
untuk mendukung prakiraan cuaca ke depan.

2. KAJIAN TEORI
2.1. Pola Hujan
Ditinjau dari pola distribusinya, curah hujan di Indonesia memiliki 3 pola
distribusi, yakni pola monsun, pola ekuatorial, dan pola lokal. Dari ketiga
pola tersebut, masing-masing memiliki karakteristik tertentu (Kurniawan,
2003). Pola monsun terjadi akibat proses sirkulasi udara yang berganti udara
yang berganti arah setiap 6 bulan sekali yang melintas di wilayah Indonesia,
yang dikenal dengan monsun barat dan monsun timur. Monsun barat
umumnya menimbulkan banyak curah hujan (musim hujan), sedangkan
monsun timur umumnya menyebabkan kondisi kurang hujan (musim
kemarau). Pada daerah/wilayah yang memiliki pola monsun terlihat jelas
perbedaan antara periode musim hujan dan musim kemarau. Selain itu jika
diperhatikan berdasarkan grafik rata-rata tahunannya, pola hujan monsun
memiliki satu puncak curah hujan musiman. Pola ekuatorial terjadi berkaitan
dengan pergerakan matahari yang melintas garis ekuator sebanyak dua kali

27
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

dalam setahun. Oleh karena itu pola ekuatorial umumnya terdapat di


sebagian besar daerah yang terletak di sekitar ekuator yang ditandai dengan
dua kali puncak hujan (curah hujan maksimum) dalam setahun.

2.2. Pengertian Analisis Cuaca


Analisis adalah suatu proses untuk mencari perilaku keadaan atmosfer yang
sudah terjadi sehingga hasilnya dapat digunakan untuk membuat perkiraan-
perkiraan pola atmosfer yang akan terjadi. Beberapa hal penting yang perlu
dipersiapkan dalam analisis (Zakir, 2009) adalah:
1. Data klimatologi setempat.
2. Data unsur cuaca yang sudah terjadi.
3. Memperhatikan skala atau pola cuaca yang sudah maupun sedang
terjadi.
4. Memeperhatikan faktor dominan yang memepengaruhi cuaca
setempat.
5. Pola gangguan tropis seperti keberadaan daerah konvergensi, divergensi,
badai tropis, dan sebagainya.

2.3. Teori Labilitas Udara


Perubahan cuaca dari cerah tanpa awan menjadi berawan atau hujan terjadi
bila terdapat gangguan. Udara yang stabil bila mendapat gangguan akan
kembali ke kondisi semula, artinya tidak ada perubahan yang signifikan.
Sebaliknya bila kondisi udara tidak stabil (labil), adanya gangguan
akan mengakibatkan perubahan yang cukup berarti. Udara yang labil
memungkinkan terbentuknya awan, khususnya awan yang mempunyai
ukuran vertikal yang mencolok yang biasanya menimbulkan cuaca buruk
(Prawirowardoyo, 1996).

28
Analisa Kejadian Cuaca Buruk di Jakarta
(Studi Kasus Banjir Tanggal 13 November 2013)

2.4. Vortisitas
Vortisitas merupakan medan vektor kerutan (curl) kecepatan dari rotasi
fluida dalam ukuran mikroskopis. Komponen vertikal dari vortisitas dominan
dalam aplikasi meteorologi. Vortisitas mempunyai dimensi vektor. Untuk
gerakan udara di belahan bumi Utara (BBU), jika vortisitas relatif lebih dari
nol ( > 0), maka udara akan cenderung bergerak ke atas dan sebaliknya bila
vortisitas relatif kurang dari nol ( < 0) maka udara cenderung bergerak ke
bawah. Untuk gerakan udara di belahan bumi selatan (BBS) jika vortisitas
relatif lebih dari nol (>0), maka udara akan cenderung bergerak ke bawah,
sebaliknya jika vortisitas relatif kurang dari nol (<0) maka udara akan
cenderung bergerak ke atas.

2.5. Divergensi
Divergensi merupakan model untuk mendeteksi kecenderungan udara
tersebut terpumpun atau sebaliknya yang dilihat dari komponen
horizontalnya.

3. METODOLOGI PENELITIAN
Data yang digunakan adalah data pengukuran curah hujan menggunakan
penakar hujan obs yang tersebar di wilayah Jakarta berupa stasiun BMKG
dan pos hujan kerjasama pada tanggal 1013 November 2013. Selain
itu, digunakan data synop pada tanggal 13 November 2013 dari Stasiun
Meteorologi Kemayoran, Tanjung Priok, dan Cengkareng. Untuk
mengetahui pola angin, divergensi, dan vortisitas digunakan data GSM
yang diolah dengan software GRADS. Kemudian untuk mengetahui daerah
liputan awan digunakan citra satelit OCAI. Sementara kondisi udara atas
dapat diketahui dari profil sounding yang diolah dengan software RAOB.
Sebagai tambahan juga dianalisis anomali SST.

29
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Langkah-langkah dan metode yang dilakukan penulis, antara lain :


1. Menganalisis data curah hujan sebelum dan pada saat kejadian
Data yang dianalisis dari tanggal 1013 November 2013, untuk dapat
mengetahui intensitas hujan yang terjadi sebelum dan saat kejadian.
2. Menganalisis pola streamline, vortisitas, dan divergensi
Menganalisis pola streamline, vortisitas, dan divergensi pada tanggal 13
November 2013 jam 06.00 UTC untuk mengetahui perubahan yang
terjadi. Data yang dianalisis adalah lapisan 925 mb, 850 mb, 700 mb,
dan 500 mb.
3. Menganalisis data synop
Data synop yang digunakan yaitu data synop Stasiun Meteorologi
Kemayoran, Tanjung Priok dan Cengkareng. Data yang dianalisis pada
tanggal 13 November 2013 dengan parameter cuaca yaitu keadaan
cuaca (WW), arah dan kecepatan angin, suhu, jumlah awan, jumlah
curah hujan serta jenis awan.
4. Menganalisis kondisi udara atas
Dalam menganalisis kondisi udara atas yaitu dengan menggunakan data
sounding Stasiun Meteorologi Cengkareng untuk mendapatkan indeks-
indeks stabilitas atmosfer agar mengetahui kondisi stabilitas atmosfer.
5. Menganalisis citra satelit OCAI
Data citra satelit digunakan untuk mengetahui tutupan awan yang
terdapat di wilayah Jakarta pada tanggal 13 November 2013.
6. Menganalisis anomali SST

30
Analisa Kejadian Cuaca Buruk di Jakarta
(Studi Kasus Banjir Tanggal 13 November 2013)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1. Analisis Curah Hujan 3 Hari Sebelum dan
Pada Saat Kejadian
Berdasarkan pengukuran curah hujan menggunakan penakar hujan obs yang
tersebar di wilayah Jakarta berupa stasiun BMKG dan pos hujan kerjasama
dapat terlihat dalam Tabel 1, sebagai berikut :

Tabel 1. Data curah hujan DKI Jakarta tanggal 1013 November 2013
(dalam mm)

31
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Berdasarkan data diatas maka curah hujan yang terukur mulai tanggal 10
November 2013 masih berada <20 mm/hari, kemudian pada tanggal 11
November ada beberapa titik seperti Angke Hulu, Katulampa, Manggarai
nilainya antara 2035 mm/hari, puncaknya terjadi pada tanggal 12 dan 13
November data hujan yang terukur meningkat menjadi 5070 mm/hari
seperti yang terjadi di titik Krukut Hulu, Sunter Hulu, Istana, Manggarai,
Setiabudi, dan Teluk Gong. Kemudian distribusi curah hujan pada tanggal
13 November 2013 yang tersebar di wilayah Jakarta dengan hujan lebat
(50100 mm/hari) hampir mendominasi seluruh wilayah Jakarta.

Gambar 1. Peta distribusi curah hujan wilayah Jakarta 13 November 2013


(Sumber: Staklim Pondok Betung)

4.2. Analisis Pola Streamline, Vortisitas, dan


Divergensi
Berdasarkan data dari website BMKG, BOM, dan data GSM pada tanggal
13 November 2013 jam 06.00 UTC yang diolah menggunakan software
GRADS, maka dapat terlihat pola streamline, divergensi, dan, vortisitas,
dalam gambar sebagai berikut.

32
Analisa Kejadian Cuaca Buruk di Jakarta
(Studi Kasus Banjir Tanggal 13 November 2013)

Gambar 2. Streamline angin lapisan 3000 Feet (Sumber: BOM dan BMKG)

Gambar 3. Streamline Lapisan 925mb500mb

33
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Berdasarkan analisis streamline baik dari website BMKG, BOM, maupun


yang diolah dengan GRADS, pada umumnya massa udara dari BBU dan
BBS bergerak menuju Indonesia yang disebabkan adanya tekanan rendah
di Laut Cina Selatan dan Samudra Hindia sehingga banyaknya massa udara
yang menuju Indonesia sehingga mengakibatkan banyaknya gangguan-
gangguan cuaca di Indonesia. Dari analisis streamline, penyebab hujan
dengan intensitas tinggi di wilayah Jakarta pada tanggal 13 November 2013
yaitu karena adanya konvergen akibat dari pergeseran Monsun yaitu dari
Monsun Timur yang menyebabkan musim kemarau ke Monsun Barat
yang menyebabkan musim hujan di Indonesia sehingga mengakibatkan
banyaknya belokan-belokan angin di Indonesia.

Gambar 4. Vortisitas lapisan 925mb500mb


34
Analisa Kejadian Cuaca Buruk di Jakarta
(Studi Kasus Banjir Tanggal 13 November 2013)

Dari perhitungan vortisitas di atas, dapat diperoleh bahwa nilai vortisitas


dengan satuan s-1 s-1 yang dihitung dari tanggal 13 November 2013 yaitu
bernilai minus (-) yang artinya dimana pada tanggal 13 November 2013
massa udara di daerah sekitar Jakarta bergerak ke atas yang menyebabkan
atmosfer yang tidak stabil sehingga banyaknya gangguan cuaca yang terjadi
pada daerah sekitar Jakarta. Keadaan ini menunjukkan bahwa atmosfer pada
tanggal 13 November 2013 tidak stabil.

Gambar 5. Divergensi lapisan 925mb500mb

35
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Sementara nilai divergensi dengan satuan s-1 s-1 pada tanggal 13 November
2013 yaitu bernilai minus (-) yang artinya pergerakan massa udara terpumpun
atau mengumpul. Di mana nilai divergensi minus dapat menyebabkan
berbagai gangguan cuaca seperti shearline, konvergensi, tekanan rendah, dan
lain-lain yang menyebabkan curah hujan ringan hingga cukup tinggi yang
dapat mengakibatkan banjir.

4.3. Analisis Data Synop


Dalam menganalisis data synop, digunakan data Stasiun Meteorologi
Kemayoran (96745), Tanjung Priok (96741), dan Cengkareng (96749).
Data yang dianalisis setiap 3 jam dari jam 0012 UTC.

Tabel 2. Data synop tanggal 13 November 2013


Waktu (UTC)
Stasiun Kondisi
00 03 06 09 12
Prec in Sl RA
WW - - ReRA
Sight 14 Re TS
Suhu
26,8 30,4 31,5 23,6 24,4
Permukaan
Sc Cu Cu Cb, Sc Sc
Jenis Awan
As As As As As
96745
Jumlah
7 Oktas 8 Oktas 6 Oktas 8 Oktas 8 Oktas
Awan
Arah Angin 140 Calm 040 200 190
Kecepatan
05 Calm 03 06 05
Angin
RRR - - - 36,0 6,0

36
Analisa Kejadian Cuaca Buruk di Jakarta
(Studi Kasus Banjir Tanggal 13 November 2013)

Tabel 2. Data synop tanggal 13 November 2013 (lanjutan)


Waktu (UTC)
Stasiun Kondisi
00 03 06 09 12
Sl/Mod TS
WW - - - ReRA
no HA+RA
Suhu
27,4 31,0 32,6 25,4 25,2
Permukaan
Sc Cu, Sc Cb, Sc Sc
Jenis Awan Sc
As Ac As As
96741
Jumlah
8 Oktas 8 Oktas 6 Oktas 8 Oktas 7 Oktas
Awan
Arah Angin 170 360 020 230 170
Kecepatan
03 04 06 05 03
Angin
RRR - - - 2,0 7,0
Prec in Sl/Mod TS
WW - Sight - ReRA
no HA+RA
16
Suhu
25,6 29,4 30,4 24,0 24,5
Permukaan
Cb, Sc Sc Cu Cb, Sc Sc
Jenis Awan
96749 Ac As As As As
Jumlah
7 Oktas 7 Oktas 7 Oktas 8 Oktas 7 Oktas
Awan
Arah Angin 190 360 330 120 170
Kecepatan
06 02 10 09 02
Angin
RRR - TTU - 1,0 32,0

Dari data synop di atas, keadaan angin permukaan pada tanggal 13


November 2013 dengan kisaran kecepatan antara calm10 knot serta arah
angin yang bervariasi antara TenggaraBarat Laut. Sebagian besar langit
tertutupi oleh awan antara 58 oktas. Gradien suhu yang tinggi antara jam
00 UTC dengan jam 03 UTC yaitu sekitar kurang lebih 4C menandakan
konvektivitas yang kuat.

37
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

4.4. Analisis Data Sounding dan Indeks Labilitas


Atmosfer
Untuk mengetahui kondisi stabilitas atmosfer pada tanggal 13 November
2013 yaitu dengan menganalisis indeks stabilitas atmosfer yang diperoleh dari
data sounding Stasiun Meteorologi Cengkareng yang diolah menggunakan
RAOB.

Gambar 6. Profil udara atas wilayah Jakarta Tanggal 13 November 2013

Dari tabel nilai indeks labilitas atmosfer, dapat dilakukan analisis terhadap
nilai-nilai indeks labilitas dengan membaca nilai index labilitas tersebut
untuk mengetahui labilitas suatu atmosfer yang merupakan penyebab
terjadinya banjir pada tanggal 13 November 2011 di Jakarta. Selain itu
dapat diketahui juga ketinggian dasar awan (CCL), puncak awan (EL), dan
lapisan beku (FL).

38
Analisa Kejadian Cuaca Buruk di Jakarta
(Studi Kasus Banjir Tanggal 13 November 2013)

Tabel 3. Indeks labilitas atmosfer dan ketinggian CCl, EL, FL


di Jakarta Tanggal 13 November 2013
Indeks Ketinggian
KI LI SI SWEAT CCL EL FL
(K (Lifted (Showalter
Indeks (meter) (meter) (meter)
Indeks) Indeks) Indeks)
35,5 -3,6 -1,9 220,0 1225 14552 4728

Data sounding yang digunakan yaitu tanggal 13 November 2013 pada jam
00 UTC. Nilai SI -1,9 menandakan kemungkinan terjadi TS di wilayah
Jakarta. Nilai LI -3.6 menandakan atmosfer yang labil dan kemungkinan
terjadi TS. Nilai KI 35,5 menandakan adanya konvektif sedang. Nilai
SWEAT Indeks 220,0 menandakan pertumbuhan awan-awan konvektif.

4.5. Analisis Citra Satelit OCAI


Berdasarkan gambar satelit cuaca pada tanggal 13 November 2013 yang
diambil mulai 14.00 sampai 17.00 WIB memperlihatkan banyaknya awan-
awan konvektif di sekitar Pulau Jawa bagian barat, khususnya wilayah selatan
Jakarta. Awan-awan hujan di wilayah Jakarta pada tanggal tersebut pada
umumnya memiliki sebaran merata di wilayah Jakarta Selatan, Depok dan
Bogor pada pukul 14.00 WIB. Jenis dari awan-awan tersebut terlihat dari
gradasi warna dan persentase sebaran awan konvektif yang memperlihatkan
pertumbuhan awan Cumulonimbus di seluruh wilayah Jakarta.

39
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Gambar 7. Citra satelit jenis awan OCAI (Sumber: BMKG)

Gambar 8. Citra satelit cakupan awan konvektif OCAI (Sumber: BMKG)

40
Analisa Kejadian Cuaca Buruk di Jakarta
(Studi Kasus Banjir Tanggal 13 November 2013)

4.6. Analisis Suhu Muka Laut (SST)


Nilai anomali SST di sekitar wilayah Jawa bagian barat bernilai +0.1 s.d
+1.0 C. Nilai positif ini menunjukkan kondisi laut yang lebih hangat
dibandingkan nilai klimatologisnya dan menambah peluang terbentuknya
awan di sekitar Jakarta.

Gambar 9. Anomali suhu muka laut (Sumber: NOAA dan UNISYS)

5. KESIMPULAN
Dari analisis yang telah dilakukan, fenomena yang memicu terjadinya
intensitas hujan yang tinggi hingga mengakibatkan banjir pada tanggal
13 November 2013 yaitu (1) Berdasarkan data sounding dan dengan
menganalisis indeks-indeks labilitas atmosfer pada tanggal 13 November
2013, dapat dilihat bahwa labilitas atmosfer cukup tinggi di mana menandakan
tingginya frekuensi terjadinya gangguan cuaca yang mengakibatkan curah
hujan yang cukup tinggi sehingga dapat menyebabkan terjadinya banjir. (2)
Pada tanggal 13 November 2013, vortisitas dan divergensi bernilai minus
(-) yaitu menandakan bahwa pada tanggal tersebut massa udara bergerak
ke atas yang menimbulkan adanya pertumbuhan awan-awan konvektif
yang juga dapat dilihat dari data synop, streamline, anomali SST, dan citra
satelit. Adanya pergerakan massa udara yang mengumpul yang disebut
konvergensi sebagai penyebab terjadinya gangguan-gangguan cuaca yang
mengakibatkan hujan dengan intensitas tinggi. (3) Kejadian banjir pada

41
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

tanggal 13 November 2013 di Jakarta bukan hanya diakibatkan oleh hujan


dengan intensitas tinggi pada tanggal 13 November 2013 saja, tetapi diikuti
oleh intensitas hujan yang terjadi sejak hari sebelumnya.

Ucapan Terima Kasih


Terima kasih diucapkan kepada Stasiun Meteorologi Nanga Pinoh,
Kalimantan Barat yang telah mendukung penulisan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Bayong. 2006. Meteorologi Indonesia Vol. 2. Jakarta: BMG.
http://www.esrl.noaa.gov/psd/data/gridded/data.ncep.reanalysis.surface.
html, diakses tanggal 20 November 2013.
http://jakarta.okezone.com/read/2013/11/13/500/896502/waspada-banjir-
ini-baru-awal-hujan-di-jakarta, diakses tanggal 20 November 2013.
http://meteo.bmkg.go.id/prakiraan/streamline, diakses tanggal 22 November
2013.
http://www.ogimet.com/index.phtml.en, diakses tanggal 21 November
2013.
http://reg.bom.gov.au/reguser
http://satelit.bmkg.go.id/satelit/, diakses tanggal 21 November 2013.
http://weather.unisys.com/archive/sst/, diakses tanggal 22 November 2013.
http://weather.uwyo.edu/upperair/sounding.html, diakses tanggal 21
November 2013.
Kurniawan, 2003. Jurnal Meteorologi dan Geofisika 4(33): 2427. Juli
September 2003. BMG. Jakarta.
Kurniawan, Edison. 2005. Jurnal Meteorologi dan Geofisika, 6(1): 7581
Maret 2005. BMG. Jakarta.

42
Analisa Kejadian Cuaca Buruk di Jakarta
(Studi Kasus Banjir Tanggal 13 November 2013)

Prawirowardoyo, Susilo. 1996. Meteorologi. Bandung: Penerbit ITB.


Stasiun Klimatologi Pondok Betung. 2013. Analisis Kejadian Banjir DKI
Jakarta 13 November 2013. Jakarta: BMKG.
Zakir. 2009. Perspektif Operasional Cuaca Tropis. Jakarta: BMG.

43
WHY THE FLOOD ALWAYS
RETURN TO JAKARTA;
HISTORICAL LAND USE
CHANGES AND GEO-
ENVIRONMENTAL ANALYSIS

Fatwa Ramdania
Geoenvironment, Institute of Geography, Department of Earth Science,
Graduate School of Science, Tohoku University, Sendai,
Japan, 980-8578. Tel.: +8122-795-4782
E-mail: fatwa@s.tohoku.ac.jp

ABSTRACT
Flooding always return to Jakarta when the rainy seasons is coming. Many efforts
have been done by the Provincial Government to overcome the issue. This study
attempts to describe the reasons why the flood always returns through the historical
land use changes and geo-environmental analysis of Jakarta Megapolitan. We
employed remotely-sensed data; optical sensor for urban land use extraction
information and radar sensor for geo-hydrology extraction variables. GRASS
GIS open source software was used for the imagery processing. It is concluded
that the poor management of land use transformation, lack management of
streamsand basins, were lead to severe flood. Basins and streams extraction also
shown that Jakarta is river`s city, where the water will always flow into the city.
Revitalization of streams buffer, minor streams, and basin management are
priorities to avoid more suffered from floods.
Keywords: Flood, Land Use Changes, Remote Sensing, GIS, Jakarta
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

ABSTRAK
Banjir selalu kembali ke Jakarta ketika musim hujan datang. Banyak upaya
telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi untuk mengatasi masalah ini.
Penelitian ini mencoba untuk menggambarkan alasan mengapa banjir selalu
kembali melalui perubahan penggunaan lahan historis dan analisis geo-
lingkungan dari Jakarta Megapolitan. Kami menggunakan data penginderaan
jauh; sensor optik untuk informasi ekstraksi penggunaan lahan perkotaan
dan sensor radar untuk variabel ekstraksi geo-hidrologi. GRASS GIS
perangkat lunak open source yang digunakan untuk pengolahan citra. Dapat
disimpulkan bahwa buruknya pengelolaan penggunaan lahan transformasi,
manajemen kurangnya cekungan streamsand, yang menyebabkan banjir
parah. Baskom dan ekstraksi sungai juga menunjukkan bahwa Jakarta
adalah kota river`s, di mana air akan selalu mengalir ke kota. Revitalisasi
penyangga sungai ini, sungai kecil, dan pengelolaan DAS yang prioritas
untuk menghindari lebih menderita banjir.
Kata kunci: Banjir, Penggunaan Lahan Perubahan, Remote Sensing, GIS,
Jakarta

1. BACKGROUND
Jakarta is Indonesia capital city which is always suffered from floods during
rainy season throughout its history. The floods of 1996, 2002 and 2007
were the greatest and most destructive ever recorded in Jakarta. The 2007
flood as much as 4,370 km2 of the city was affected, displacing a recorded
500,000 people from their homes with an estimated economic cost of roads
damages was US$ 15.4 million. Floods history in Jakarta is summarized in
the Table 1.
Many efforts have been done by the government to overcome the floods. For
example the Jakarta East Flood Canal development, that was completed in
2011. Construction of the 23.5-kilometer East Flood Canal was begun in

46
Why The Flood Always Return To Jakarta;
Historical Land Use Changes and Geo-Environmental Analysis

2003. The canal started to operate in late 2009 after it reached the Java Sea,
linking five major waterways in East Jakarta: the Cipinang, Sunter, Buaran,
JatiKramat and Cakung rivers.
In the year 2013, the city allocated Rp2.5 trillion (US$205 million) city
budget to fund flood mitigation projects, including dredging projects and
the construction of around 2,000 absorption pits. [2]
The other effort is supported by international financial institution, such
as from World Bank. World Bank supports the development of canals
and technical assistant for managements with the commitment amount
is US$139.64 million. The name of the project is Jakarta Urgent Flood
Mitigation Project. The development objective of this project is to contribute
to the improvement of the operation and maintenance of priority sections
of Jakartas flood management system. There two components to the project
(period 20122017). The first component is dredging and rehabilitation of
selected key floodways, canals and retention basins. This component will
support the dredging and rehabilitation of 11 floodways or canals and four
retention basins which have been identified as priority sections of the Jakarta
flood management system in need of urgent rehabilitation and improvement
in flow capacities. The dredge material will be transported and disposed
into proper disposal sites. The second component is technical assistance
for project management, social safeguards, and capacity building. This
component will support contracts management, engineering design reviews,
construction supervision engineers for the dredging and rehabilitation works
and technical assistance for implementation of the project, including the
resettlement policy framework, resettlement plans and the grievance redress
system. [3]

Table 1. Floods history event in Jakarta


Periods Rivers Main cause Displaced Affected Notes (casualties and
area (km2) damages)
1621, 1654, Main river Heavy rain No data No data No information
1918, 1942,
1976

47
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Table 1. Floods history event in Jakarta (continue)


Periods Rivers Main cause Displaced Affected Notes (casualties and
area (km2) damages)
69 January Ciliwung Heavy rain 28,000 1,175 Floodwaters up to 7
1996 meters

9-13 Ciliwung Heavy rain 30,000 1,190 Rainfall 5 times the


February normal levels, worst
1996 flooding since 1942.
Tens of thousands of
people left homeless,
565,000 people affected.
31 January Ciliwung, Heavy rain 500,000 4,370 Worst floods in Jakarta
22 February Pesangrahan in living memory. Water
2007 and Krukut up to 4 meters deep in
parts of city. Jakarta 75%
Cisadane flooded (255 square
miles under water).
340,000 homeless. Worst
floods on Ciliwung river
in 10 years. Damages
to roads in Jakarta cost
US$15.4 million. Total
flood damages estimated
at 8.8 trillion rupiah.
1522 Ciliwung, Heavy rain >37,0001 No data 95,000 people affected2
January 2013 Pesangrahan 23 people killed, 26,426
and Krukut people minor injured

Cisadane
1329 Ciliwung, Heavy rain >62,0004 No data Approximately 134,662
January 2014 Pesangrahan persons or 38,672
and Krukut households in 100 urban
villages are directly
Cisadane affected by floods, with
12 casualties4
Source: [4]
1
http://reliefweb.int/disaster/fl-2013-000006-idn
2
http://edition.cnn.com/2013/01/18/world/asia/indonesia-jakarta-floods/
3
http://www.who.int/hac/crises/idn/sitreps/indonesia_floods_sitrep_
jakarta_23january2013.pdf
4
http://reliefweb.int/map/indonesia/indonesia-update-jakarta-floods-21-january-2014

Furthermore, the other factor that makes floods more severe is the population
development of Jakarta. In year 2002 population of Jakarta approximately

48
Why The Flood Always Return To Jakarta;
Historical Land Use Changes and Geo-Environmental Analysis

8.5 million people, in year 2006 increased to 8.96 million people, and in the
next five years is estimated as 9.1 million people. Population density in 2002
reached 12,664 inhabitants per km2, in 2006 reaching 13 545 inhabitants
per km2 and estimated that in five years reached 13, 756 inhabitants per km2.
The rate of population growth in the period 19801990 was 2.42 percent
per year, decreased in the 19902000 period at a rate of 0.16 percent. In
the period 20002005, the population growth rate at 1.06 percent per year.
[5]
The population development and population rate of Jakarta is shown the
Figure 1.

Figure 1. Population development and population growth rate of Jakarta


Source: SP 19612010 and Population Projection of year 2012, Statistical Bureau of Jakarta

In the year 2012 based on the population projections of Jakarta, the


population was 9,932,063 people, when compared with the total population
in 2011, the population of Jakarta was 9,761,992 people, and there has been
an increase of 170,071 inhabitants or an increase of 0.98 percent. In the
period of 19611990 the total population grew rapidly from 2.9 million
in 1961 to 4.6 million in 1971, or 4.58 percent per year of population
growth rate. Then the next ten years, the population increased again to 6.5
million people, with a growth rate was 4.02 percent per year. In 1990, the

49
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

population of Jakarta increased by about 1.7 million people, bringing the


total number to 8.3 million inhabitants. During the period 19801990 the
population growth rate was 2.41 percent per year. In the period 19902000,
the population growth of Jakarta was about 0.14 percent. And in the period
20002012, the population growth rate rose to 1.67 percent per year. [6]
From the population pyramid (Figure 2), the population of Jakarta has led
to an aging population, means that the proportion of young population (i.e.
aged 014 years) has begun to decline. When in 1990, the proportion of
young population is still at 31.9 percent, and then in 2006 this proportion
dropped to 23.8 percent. Throughout the years 20022006, the proportion
of young age population is relatively stable, which is about 23.8 percent.
Conversely the proportion of elderly population (65 years and over) rose
from 1.5 percent in 1990, to 2.2 percent in 2000. In 2006, the proportion
of elderly population has increased to 3.23 percent.

Figure 2. Population pyramid of Jakarta. Source: [7]

Flood impact on socio-economic such as damage in house and small business


enterprises are countless. However, there is no preliminary research that has
been conducted to get clearer figure regarding the issue.

50
Why The Flood Always Return To Jakarta;
Historical Land Use Changes and Geo-Environmental Analysis

The purposes of this study are to documentes the land use changes and geo-
environmental condition of Jakarta and explain why the flood always returns.
We hope this study could contribute in order to help the government efforts
to overcome the floods.

Objectives
The objectives of this study are: (1) To produce urban land use changes
detection from year 1982 and year 2013 of Jakarta and it`s satellite cities. (2)
To extract the basins and streams map for hydrological background analysis.
(3) To create elevation profile where was the flood event happened. These
maps are valuable treasures to improve our understanding whythe flood
always return to Jakarta every rainy season comes.

2. STUDY AREA
Study area is Jakarta Megapolitan Area, we subset the study area into
158,000 ha enclosed area. Located on the northwest coast of Java, Jakarta is
the countrys economic, cultural and political center, and with a population
of 9,932,063 people in year 2012, it is the most populous city in Indonesia.
The official megapolitan area, known as Jabodetabek (a name formed by
combining the initial syllables of Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang and
Bekasi), is the second largest in the world, yet the megapolis`s suburbs still
continue growing beyond it (ie. Depok City). This megapolitan has population
of over ~30 million, making it one of the worlds largest conurbations in
terms of number of inhabitants. Jakarta has grown more rapidly than Kuala
Lumpur, Beijing and Bangkok. Shinjyuku of Jakarta is new extended area
of Central Business District in southern Jakarta (Figure 3)

51
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Figure 3. Transformation of Jakarta Megapolitan. Landsat 4 MMS for year


1982 and Landsat 8 OLI for year 2013

3. DATA AND METHOD


In this study we employed satellite images from Landsat family. Data used
in this study is shown in the Table 2. Landsat Multispectral Scanner (MSS)
images consist of four spectral bands with 60 meter spatial resolution.
Approximate scene size is 170 km north-south by 185 km east-west (106 mi
by 115 mi). Landsat 8 Operational Land Imager (OLI) and Thermal Infrared
Sensor (TIRS) images consist of nine spectral bands with a spatial resolution
of 30 meters for Bands 1 to 7 and 9. Landsat images were downloaded from
http://earthexplorer.usgs.gov/.

Table 2. Data used in the study


Satellite Index Acquisition Band used Wavelengths
image (micrometres)
Landsat 4MSS P131 / R64 October 3rd, Band 4, 5, & 6 0.50.8
1982
Landsat 8OLI P122 / R64 August 25th, Band 4, 5, & 7 0.642.29
2013

52
Why The Flood Always Return To Jakarta;
Historical Land Use Changes and Geo-Environmental Analysis

The Advanced Space borne Thermal Emission and Reflection Radiometer


(ASTER) Global Digital Elevation Model (GDEM) was developed jointly
by the METI (Ministry of Economy, Trade, and Industry) of Japan and the
NASA (National Aeronautics and Space Administration) of United States.
The ASTER sensor was launched onboard NASAs Terra spacecraft in
December 1999. The spatial resolution of generated DEM is 30 m. It covers
land surfaces between 83N and 83S (ASTER GDEM Readme Handbook).
The absolute vertical accuracy of ASTER GDEM version-1 is 20 m at
95% confidence level. The improved vertical accuracy of ASTER GDEM
version-2, released on October 17, 2011, is 8.86 m (ASTER GDEM V2
validation report). For this study, ASTER GDEM version-2 was downloaded
from http://gdem.ersdac.jspacesystems.or.jp/index.jsp
Methodology of this study shows in Figure 3. We used open source software,
GRASS GIS and Quantum GIS for imagery processing and DEM processing
for basins and streams extraction.
Pre-processing, such as radiometric and atmospheric corrections, which are
necessary for analysis of land use/land cover parameters, was conducted. The
Landsat 3 MSS and 8 OLI sensors store information as digital numbers
(DNs) in the range of 0 to 255. We convert these DNs to ToA reflectance.
We chose the spectral value method of classification to extract a land use
map from color composite images. We employed 465 band combination for
Landsat 3 MSS and 754 band combination for Landsat 8 OLI. We defined
two classes for the urban land use map (Fig. 1): urban (man-made structures
including builds, roads, and all impervious objects) is represented in red and
another land use area (including dense and sparse vegetation, water bodies,
and agricultural fields) is represented in white.
GRASS GIS software is open source software that has been equipped with the
command console and watershed module to extract the basins and streams.
The land use classification was done by supervised classification maximum
likelihood module. The basic element for deriving basins and streams map is
the digital elevation model (DEM). It can be derived from ASTER GDEM

53
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

with 30m of ground resolution. For final cartography design we employed


Quantum GIS open source software which has been integrated with the
GRASS GIS.

Figure 4. Methodology

Classification technique was employed using thegi.maxlikh module in


GRASS GIS. To generate statistics from training area, the gi.gensigh
module is being used. In the classification method, we need to make group
that contain the raster imageries. The gi.grouph module then used to select
all relevant bands of the raster imageries. The final result of urban land use
than converted into vector format by the r.to.vect module.

54
Why The Flood Always Return To Jakarta;
Historical Land Use Changes and Geo-Environmental Analysis

Before we extracted the basins and streams, we performed a neighborhood


filter using the mean operator to smooth the ASTER GDEM image. This
method was done using the r.neighbors module. The r.watershed module
then employed to extract basins and streams. We used 10,000 threshold and
700 threshold to extract main basins, streams basin, sub-basins, and sub
streams respectively.To calculate the basin coverage area we employed the
v.db.addtable, v.db.addcol and v.to.db module. The basic concepts
in calculation feature area (polygon) in GRASS GIS are; build the database,
create a new table, and column, and input the information.
The Point Sampling Tool plugin in Quantum GIS was used to extract
elevation values from a raster layer of ASTER GDEM image based on a
vector point of floods event year 2013.

4. RESULT AND DISCUSSIONS


For year 1982, the urban development concentrated in the northern and
center part of Jakarta (Figure 4), while in the northwest, northeast, and
southern part was dominated by agricultural fields.

Figure 5. Urban land use map of Jakarta for year 1982

55
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Agricultural fields and green space play a main role in order to catch the water
when the rainy season comes. Sub streams also play a role as a place for water
flow from the higher elevation to the lower elevation and send the water to
the main streams. Upper-streams region in year 1982 was dominated by
agricultural fields and dense to sparse vegetation cover.

Figure 6. Urban land use map of Jakarta for year 2013

For year 2013, Jakarta lost most of its sub streams because of population
increase that influence the higher demand of settlements. Unfortunately,
migrants chose the river-side environment as their settlements. Agricultural
fields in the upper-streams region in the southern part than transform
into impervious surfaces. The place for water was occupied by man-made
structures then lead to heavy floods when rainy seasons come.
In Jakarta, river-side environments are in bad condition. From the assessment
using remotely-sensed image we can see that there is no buffer zone available
(Figure 6). Uncontrolled development can be seen from the density of man-
made objects along river-side.
Uncontrolled development and transformation within inner city and
satellite cities was identified from satellite images. Especially the river-side
environment, there are no reservation of precious waterside areas along river-
side (Figure 6). There are no improvement and development of minor rivers
to protect Jakarta from suffered serious damage of floods.

56
Why The Flood Always Return To Jakarta;
Historical Land Use Changes and Geo-Environmental Analysis

From the basins and streams extraction we can understand that Jakarta is
the rivers-city. There are many main streams consists of many sub streams
flow through the city. Miss management of main streams, sub streams, and
great basin surrounding megaurban leads to huge amount of surface run-off
those cause heavy floods. At least there are six basins covered Jakarta and
it`s satellite cities. These six basins play main role to create the floods. The
coverage areas of every six basins in Jakarta are shows in Figure 7.

Figure 7. There is no buffer zone along river-side

Figure 8. Coverage areas of six basins in Jakarta extracted from ASTER


GDEM

57
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Figure 9. Flood event distributions for year 2013


Source of floods event:http://www.google.org/crisismap/2013-jakarta-flood-en?no_redirect=true

From Figure 8 we have more understanding that floods event was associated
with lower elevation physical environment (552 meter above sea level) and
floods happened near the main and sub streams. Furthermore, Figure 9 gives
us deeper analysis in floods event distribution based on elevation profile.

58
Why The Flood Always Return To Jakarta;
Historical Land Use Changes and Geo-Environmental Analysis

Figure 10. Floods event distribution based on elevation. Floods event year
2013 used as based to extract elevation values from ASTER
GDEM image

From the Figure 9 above, floods was happened mostly in elevation between
8 meter to 20 meter above sea level. The streams characteristic also inform
us that the geomorphology of Jakarta is alluvial lowland plan. A dendritic
drainage pattern was identified from the streams extraction of ASTER
GDEM. A dendritic drainage pattern is the most common form and looks
like the branching pattern of tree roots. It develops in regions underlain
by homogeneous material, in the Jakarta case is alluvial soil forms. Jakarta
alluvial lowland plan was created by the deposition of sediment over long
period that coming from highland regions. The source of the alluvial material
is from upper streams in the southern part of Jakarta.

5. CONCLUSIONS
Dramatically land use changes from 1982 to 2013 were identified and river-
side suffered from impervious surface developments. Urban transformation

59
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

in the inner city and the development in the satellite cities which is also play a
role as the upper streams region of Jakartas basins, have a direct relationship
with the water flows that leads to flooding.
From basins and streams extraction it can be understood that Jakarta is
river`s city. There are many main streams and sub streams flow through the
city and there are six main basins covered the city and satellite cities. The
geomorphology of Jakarta is alluvial lowland plan, which is means the water
will always flow into the city.
Flooding will always return to Jakarta since the basins and streams
management is poor. Land use changes should be appropriate with the
spatial plan, and it is needed law enforcement. Urban green space and river-
side management need to get more attention.

Recommendations
Revitalization of streams buffer, minor streams, and basin management are
priorities to avoid more suffered from floods. Law enforcement in spatial
planning implementation is needed. More effort in northern part is needed
since the rise of sea level will leads to flood. The UNEP Intergovernmental
Panel on Climate Change concludes that sea rise from global warming will
permanently inundate large areas of major urbanized regions of Asia, and
heavy precipitation events will continue to become more frequent over of
the world throughout the 21st century. [8]
Furthermore, the most difficult part is how to re-settle thousands of urban
inhabitants from river-side environment? Education is the keyword. Urban
inhabitants need to be educated about the importance of buffer area along
the river-side. It will take long years, but it can begin now. Provincial
government has to buy the lands that occupied by impervious surface and
then returning the function into the urban green space.
Coordination between Jakarta`s government and the governments of
its satellite cities need to optimized based on the basins that covered the
administration areas.

60
Why The Flood Always Return To Jakarta;
Historical Land Use Changes and Geo-Environmental Analysis

REFERENCES
Bates, Bryson, Zbigniew W. Kundzewicz, Jean Palutikof and Shaohong Wu.
2008. Climate change and water. Intergovernmental Panel on Climate
Change. London: IPCC Working Group II Technical Support Unit
http://bplhd.jakarta.go.id/slhd2012/Docs/pdf/Buku%20I/Buku%20I%20
Bab%203A.pdf
http://www.dartmouth.edu/~floods/Archives/
http://www.jakarta.go.id/web/news/2008/01/Demografi-Jakarta
http://waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article
&id=159647:minister-jakarta-east-flood-canal-accomplished-in-
2011&catid=30:english-news&Itemid=101
http://sp2010.bps.go.id/index.php/site?id=31&wilayah=DKI-Jakarta
http://www.thejakartapost.com/news/2014/01/09/widespread-flooding-
disrupts-road-rail-traffic.html
http://www.worldbank.org/projects/P111034/jakarta-urgent-flood-
mitigation-project?lang=en

61
PENENTUAN DISTRIBUSI
SPASIAL DAERAH BAHAYA
BANJIR DI 6 (ENAM) SUB
DAS WILAYAH DKI JAKARTA
MENGGUNAKAN DATA
PENGINDERAAN JAUH

Indah Prasasti, Parwati Sofan, Nur Febrianti, Totok


Suprapto
Peneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN
E-mail: indah.prasasti@lapan.go.id, septian_5990@yahoo.com

ABSTRAK
Banjir di wilayah DKI Jakarta sudah menjadi fenomena alam tahunan,
bahkan sudah terjadi sejak zaman Belanda. Keberadaan 6 sub DAS yang
mengalir di wilayah DKI Jakarta yang kondisinya semakin buruk akibat
perkembangan dan pembangunan perkotaan merupakan salah satu penyebab
makin parahnya dampak banjir yang terjadi saat ini. Salah satu pilihan
solusi penanganan banjir di DKI Jakarta adalah dengan mengembangkan
instrumen analisis bahaya dan penyediaan informasi distribusi spasial daerah
bahaya banjir dengan memanfaatkan data penginderaan jauh. Tulisan ini
menyajikan hasil analisis penilaian guna memetakan distribusi spasial daerah
bahaya banjir dengan memanfaatkan data inderaja. Data yang digunakan
adalah data Landsat TM tahun 2012, data DEM SRTM 90 m, peta land
system dan topografi. Analisis zona bahaya dilakukan dengan menggunakan
teknologi sistem informasi geografis (GIS) berdasarkan parameter penutup/
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

penggunaan lahan, kemiringan lereng, jarak dari sungai. Hasil analisis


menunjukkan bahwa lebih dari 99% (dari keseluruhan luas wilayah sub
DAS) di wilayah sub DAS Angke/Pesanggrahan (99.52%), Kali Cakung
(99.87%), Kali Buaran (99.62%), Kali Sunter (99.41%) dan Kali Krukut
(99.40%) merupakan kategori daerah bahaya banjir sedang hingga tinggi,
kecuali sub DAS Ciliwung yang hanya 79.03%. Dari hasil survei lapangan
menunjukkan bahwa semua titik lokasi banjir yang terjadi pada tahun 2013
dan 2014 berada di daerah yang terklasifikasi sebagai daerah kelas bahaya
sedang (8.14%) dan tinggi (91.86%).
Kata Kunci: bahaya banjir, DKI Jakarta, Landsat TM.

ABSTRACT
Flood has become an annual natural phenomenon in Jakarta, even have occurred
since the Dutch era. The existence of six sub-watersheds that flow in Jakarta is
getting worse due to the urban development that cause of severe flood impacts
in this time. One of the solution options of flood mitigation in Jakarta is to
develop instruments hazard analysis and provision of information on the spatial
distribution of the flood hazard areas by using remote sensing data. This paper
presents the spatial distribution of the flood hazard areas by utilizing the remote
sensing data. The data used was Landsat TM in 2012, SRTM DEM data, land
system map and topographic data. Analysis of the hazard zone is done based GIS
method using parameters land use/Landcover, slope, and distance from the river.
The result showed that more than 99% (of the total area of sub water catchment)
in Angke Pesanggrahan (99.52%), Cakung (99.87%), Kali Buaran (99.62%),
Kali Sunter (99.41%) and Kali Krukut (99.40%) are in moderate to high
prone area, except sub Ciliwung that only 79.03%. According to the ground
survey it was indicated that all locations of the floods that occurred in 2013 and
2014 were in moderate prone area (8.14%) and high prone area (91.86%).
Keywords: DKI Jakarta, Flood Hazard, Landsat TM

64
Penentuan Distribusi Spasial Daerah Bahaya Banjir di 6 (Enam)
Sub Das Wilayah DKI Jakarta Menggunakan Data Penginderaan Jauh

1. PENDAHULUAN
Banjir di wilayah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta seakan sudah
menjadi langganan tahunan. Bahkan di wilayah Jakarta, kejadian banjir telah
terjadi sejak zaman Belanda. Meskipun Belanda telah membangun Kanal
Banjir Barat, namun hingga kini banjir tetap menjadi fenomena tahunan
yang masih sulit diatasi.
Banyak faktor yang menjadi penyebab banjir yang melanda wilayah DKI
Jakarta, antara lain keberadaan 13 sungai yang mengalir dan bermuara di
Teluk Jakarta dan hampir 40% luas area yang lebih rendah dari permukaan
laut, dan indikasi makin terdegradasinya wilayah Daerah Aliran Sungai
(DAS) bagian hulu, khususnya DAS Ciliwung sebagai penyumbang terbesar
banjir di DKI Jakarta. Kondisi tersebut makin diperparah oleh kondisi makin
luasnya daerah terbangun akibat perkembangan perkotaan, buruknya sistem
drainase, rendahnya tingkat kesadaran penduduk terhadap lingkungan,
makin menyempitnya badan air akibat pemanfaatan bantaran sungai sebagai
permukiman, sedimentasi yang mengakibatkan pendangkalan sungai,
adanya penurunan permukaan tanah (land subsidence) akibat eksploitasi air
tanah, dan indikasi adanya perubahan iklim.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah setempat, tetapi
upaya tersebut dirasa masih kurang optimal. Pada forum diskusi pakar
mengenai banjir Jakarta pada tanggal 12 Februari 2013 di IPB Bogor
direkomendasikan bahwa penanganan banjir harus dilakukan secara
terintegrasi dan menyeluruh (integrated flood management), yakni kombinasi
antara upaya yang bersifat infrastruktur dan nonstruktur guna menekan
besarnya kerugian yang diakibatkan oleh banjir (flood damage mitigation).
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui penelitian dan
pengembangan teknologi mitigasi yang tepat, efektif, dan efisien. Untuk
tujuan ini, pemanfaatan teknologi penginderaan jauh (inderaja) sangat
diperlukan. Horritt et al. (2001) menunjukkan bahwa data inderaja
mempunyai potensi yang sangat baik untuk pemetaan distribusi banjir.

65
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Pemanfaatan data inderaja dalam pemetaan daerah rentan banjir di wilayah


DKI Jakarta pernah dilakukan oleh Asriningrum et al. (1998) melalui
pendekatan interpretasi geomorfologi dan klasifikasi penggunaan lahan.
Kelemahan dari pendekatan yang dilakukan oleh Asriningrum et al. (1998)
adalah analisis hanya memperhatikan faktor lahan dan belum memasukkan
faktor iklim. Sementara itu, Hariyadi (1999) menentukan besar limpasan
air permukaan (run-off) DAS Ciliwung untuk memprediksi banjir di DKI
Jakarta berdasarkan model HEC-1 yang merupakan interface perangkat
lunak Watershed Modelling System (WMS) dan penutup penggunaan lahan
diekstraksi dari data Landsat TM. Pawitan (2002) memanfaatkan data
Landsat untuk menganalisis perubahan lahan dan hubungannya dengan
prediksi debit banjir berdasarkan model HEC-1 di wilayah DAS Ciliwung.
Ibrahim et al. (2007) menggunakan data DEM, Landsat, dan curah hujan
untuk menentukan daerah distribusi banjir di DKI Jakarta berdasarkan air
larian dan mensimulasikan daerah genangan banjir dari data DEM dan
curah hujan melalui pendekatan hidrologi dan teknik SIG. Trisakti et al.
(2008) menganalisis luas DAS dari DEM-SRTM dan menganalisis distribusi
spasial debit aliran permukaan dengan menerapkan metode SCS di DAS
Ciliwung.
Salah satu pilihan solusi penanganan banjir di DKI Jakarta adalah dengan
mengembangkan instrumen analisis bahaya dan penyediaan informasi
distribusi spasial daerah bahaya banjir di beberapa wilayah sub DAS di
DKI Jakarta yang hingga kini belum dipunyai oleh Pemerintah Daerah
DKI Jakarta. Terdapat 6 (enam) sub DAS yang mengalir di wilayah DKI
Jakarta dan bermuara di Teluk Jakarta yang sering menyebabkan banjir.
Analisis bahaya merupakan komponen dari analisis risiko. Ada dua tahap
penilaian (assessment) risiko banjir, yakni penilaian bahaya dan pendugaan
kerentanan. Menurut Alexander (1997), risiko (risk) merujuk pada hasil kali
bahaya (hazard) dengan kerentanan (vulnerability). Bahaya terkait dengan
faktor fisik dan dampaknya, sedangkan kerentanan merupakan kerawanan
terhadap kerusakan atau kegagalan.

66
Penentuan Distribusi Spasial Daerah Bahaya Banjir di 6 (Enam)
Sub Das Wilayah DKI Jakarta Menggunakan Data Penginderaan Jauh

Tulisan ini merupakan hasil perbaikan metode dan analisis dari tulisan
sebelumnya yang diterbitkan pada Prosiding Seminar Nasional Penginderaan
Jauh 2014: Penguatan kemandirian melalui peningkatan kualitas
penyelenggaraan penginderaan jauh untuk mendukung Pembangunan
Nasional dengan judul Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk
Analisis Pengaruh Perubahan Lahan terhadap Distribusi Spasial Daerah
Bahaya banjir di DKI Jakarta dan Koefisien Aliran Permukaan. Prosiding
tersebut merupakan salah satu paper yang disajikan dalam Seminar Nasional
Penginderaan Jauh yang diadakan pada tanggal 21 April 2014 di IPB
Convention Center, Bogor.
Tulisan ini menyajikan hasil analisis penilaian guna memetakan distribusi
spasial daerah bahaya banjir dengan memanfaatkan data inderaja.

2. DATA DAN METODE


Data dan Lokasi Penelitian
Data yang digunakan dalam analisis ini adalah: data Landsat TM tahun 2012,
data DEM SRTM 90 m, peta land system dari Badan Informasi Geospasial
(BIG) skala 1 : 250.000, Data titik tinggi dari BIG, dan peta tekstur tanah.
Lokasi yang dianalisis adalah 6 (enam) Sub DAS yang mengalir di wilayah
DKI Jakarta, yakni: 1. DAS Ciliwung, 2. DAS Kali Angke Pesanggrahan, 3.
DAS Kali Cakung, 4. DAS Kali Buaran, 5. DAS Kali Sunter, dan 6. DAS
Kali Krukut.

Metode
Kegiatan analisis ini dilakukan melalui beberapa tahapan pekerjaan, yakni: a.
Ekstraksi informasi penutup/penggunaan lahan dari data Landsat TM tahun
2012. b. Koreksi data DEM SRTM (90 m) terhadap data titik tinggi dari
BIG, c. Ekstraksi informasi elevasi, kemiringan lereng, dan jaringan sungai
dari data DEM SRTM, d. Pembagian kelas dataran banjir dan non banjir
dari data Land System, e. Penentuan jarak (buffering) dari aliran sungai, f.

67
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Pembagian kriteria dan nilai scoring masing-masing parameter penentu


bahaya banjir, g. Kroping untuk wilayah yang meliputi 6 (enam) sub DAS
di DKI Jakarta, dan h. Pemetaan distribusi spasial bahaya banjir.
Secara keseluruhan proses penilaian dan penentuan distribusi spasial daerah
bahaya banjir digambarkan dalam bagan alir pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram alir penentuan distribusi spasial daerah bahaya banjir

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Untuk menentukan daerah bahaya banjir diperlukan beberapa parameter
yang diekstraksi dari data inderaja, antara lain penutup penggunaan lahan
dari data Landsat TM dan informasi kemiringan lereng, elevasi lahan, dan
jaringan sungai dari data SRTM. Sementara itu, parameter dataran banjir
dan non banjir diekstraksi dari peta land system, dan parameter infiltrasi
tanah diperoleh dari data sifat fisik tanah.

68
Penentuan Distribusi Spasial Daerah Bahaya Banjir di 6 (Enam)
Sub Das Wilayah DKI Jakarta Menggunakan Data Penginderaan Jauh

Dalam analisis ini penentuan distribusi daerah bahaya banjir didasarkan


pada kondisi penutup lahan tahun 2012. Oleh karena itu, ekstraksi informasi
penutup/penggunaan lahan dilakukan untuk tahun 2012. Ekstraksi informasi
penutup penggunaan lahan dilakukan berdasarkan teknik klasifikasi tidak
terbimbing (unsupervised) menggunakan metode Isodata. Selanjutnya,
penutup/penggunaan lahan dikelaskan menjadi 12 kelas, yakni: 1. Hutan, 2.
Belukar, 3. Rumput, 4. Lahan terbuka, 5. Kebun campur, 6. Permukiman,
7. Perkebunan, 8. Industri, 9. Tegalan, 10. Sawah, 11. Tambang, dan 12.
Badan air. Selanjutnya, untuk kepentingan penentuan distribusi spasial
daerah bahaya banjir dikelompokkan lagi menjadi 5 kelas seperti yang
disajikan pada Tabel 1.
Berdasarkan hasil ekstraksi informasi penutup penggunaan lahan tahun 2012
di 6 sub DAS di wilayah DKI Jakarta tampak bahwa area permukiman paling
luas mendominasi wilayah sub DAS dibandingkan dengan kelas lainnya.
Kelas hutan hanya terlihat pada wilayah hulu sungai sub DAS Ciliwung
(Gambar 2). Luas kelas penutup/penggunaan lahan disajikan pada Gambar
3. Wilayah DAS Kali Angke/Pesanggrahan merupakan wilayah dengan area
permukiman yang paling luas.

Tabel 1. Pengkelasan dan nilai skoring untuk masing-masing parameter


penentu bahaya banjir
Parameter Kelas Skor
Sangat curam (>65%) 1
Curam (4565%) 1
Agak curam (3045 %) 2
Kelerengan Miring/berbukit (1530 %) 2
Agak miring/bergelombang (815 %) 3
Landai/berombak (38 %) 3
Datar (03 %) 4

69
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Tabel 1. Pengkelasan dan nilai skoring untuk masing-masing parameter


penentu bahaya banjir (lanjutan)
Parameter Kelas Skor
Dataran banjir/dataran aluvial pantai 4
Dataran aluvial 3
Geomorfologi
Perbukitan 2
Pegunungan 1
Hutan 1
Belukar, rumput,tanah kosong, tambang 2
Penggunaan/penutup
lahan Perkebunan, kebun campur 2
Sawah,tegalan 3
Permukiman, industri, air 4
0100 m 4
100500 m 3
Jarak dari Sungai
5001000 m 2
>1000 m 1
812 mm/jam 1
Kemampuan Infiltrasi 48 mm/jam 2
14 mm/jam 3
01 mm/jam 4
Luasnya permukiman akan berpengaruh terhadap kapasitas infiltrasi air
ke dalam tanah. Jika jumlah infiltrasi ke dalam tanah sedikit, hujan yang
jatuh di wilayah permukiman akan berpotensi menjadi aliran permukaan
dan pada daerah cekungan akan berpotensi menjadi genangan air atau
banjir. Sebaliknya pada wilayah yang tertutup oleh vegetasi tanaman, seperti
rumput atau hutan, maka jumlah air hujan yang terinfiltrasi ke dalam tanah
akan tinggi. Oleh karena itu, dalam penentuan distribusi daerah bahaya
banjir, parameter penutup/penggunaan lahan menjadi penting untuk
dipertimbangkan.

70
Penentuan Distribusi Spasial Daerah Bahaya Banjir di 6 (Enam)
Sub Das Wilayah DKI Jakarta Menggunakan Data Penginderaan Jauh

Gambar 2. Hasil ekstraksi penutup/penggunaan lahan di 6 sub DAS di


wilayah DKI Jakarta tahun 2012

Gambar 3. Luas masing-masing kelas penutup/penggunaan lahan di 6


wilayah sub DAS di DKI Jakarta

71
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Parameter penentu lain yang diekstraksi dari data inderaja adalah kemiringan
lereng (Gambar 4). Parameter ini diekstraksi dari data SRTM 90 m.
Selanjutnya, parameter ini dikelaskan menjadi 7 kelas dan diberi skor seperti
yang disajikan secara ringkas pada Tabel1.
Parameter kemiringan lereng atau kelerengan juga berpengaruh terhadap
besarnya aliran permukaan. Pada lahan dengan kelerengan curam, kecepatan
aliran akan meningkat sehingga yang terinfiltrasi akan berkurang. Kondisi
ini menyebabkan sebagian besar curah hujan yang jatuh menjadi aliran
permukaan, terutama apabila permukaan tanah juga kedap terhadap air
karena tertutup oleh aspal dan bangunan. Dengan demikian, parameter
kelerengan juga sangat penting dipertimbangkan dalam penentuan distribusi
daerah bahaya banjir.
Berdasarkan kelas kemiringan lereng terlihat bahwa sebagian besar wilayah
di 6 sub DAS DKI Jakarta berada pada permukaan yang datar dan landai,
khususnya pada wilayah tengah dan hilir. Sementara itu, sebagian permukaan
dengan kondisi curam dan agak curam/bergelombang terdapat di hulu sub
DAS Ciliwung (Gambar 4).

72
Penentuan Distribusi Spasial Daerah Bahaya Banjir di 6 (Enam)
Sub Das Wilayah DKI Jakarta Menggunakan Data Penginderaan Jauh

Gambar 4. Hasil klasifikasi kemiringan lereng di 6 sub DAS di wilayah DKI


Jakarta tahun 2012

Parameter jarak dari sungai juga penting dipertimbangkan dalam


menentukan tingkat bahaya terhadap luapan air sungai. Hal ini dikarenakan
semakin dekat dengan sungai maka potensi terdampak oleh luapan sungai
semakin tinggi sehingga potensi bahaya terhadap banjir semakin besar. Hasil
klasifikasi jarak dari sungai di 6 sub DAS di wilayah DKI Jakarta disajikan
pada Gambar 5.
Selain itu, di beberapa sungai di wilayah DKI Jakarta telah terjadi
pendangkalan sungai akibat erosi dari hulu DAS maupun buangan sampah
yang menyebabkan potensi bahaya terdampak banjir semakin tinggi.
Pemanfaatan bantaran sungai sebagai permukiman juga telah meningkatkan

73
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

potensi bahaya banjir di wilayah sekitar sungai. Dengan demikian, parameter


jarak dari sungai menjadi perlu dipertimbangkan dalam penentuan distribusi
daerah bahaya banjir.
Terkait dengan penentuan distribusi daerah bahaya banjir, parameter jarak
dari sungai dibagi menjadi 4 kelas. Nilai skor untuk masing-masing kelas
parameter ini disajikan pada Tabel 1.

Gambar 5. Hasil klasifikasi jarak dari sungai di 6 sub DAS di wilayah DKI
Jakarta tahun 2012

Parameter yang penting pula dipertimbangkan dalam penentuan distribusi


daerah bahaya banjir adalah bentuk lahan. Menurut Dibyosaputro (1984),
daerah rawan banjir dapat diidentifikasi melalui pendekatan geomorfologi
berdasarkan aspek morfogenesisnya. Secara umum, kenampakan seperti:

74
Penentuan Distribusi Spasial Daerah Bahaya Banjir di 6 (Enam)
Sub Das Wilayah DKI Jakarta Menggunakan Data Penginderaan Jauh

teras sungai, tanggul alam, dataran banjir, rawa belakang, kipas aluvial, dan
delta merupakan bentuk lahan yang rawan banjir dan mempunyai topografi
yang datar. Sementara itu menurut Isnugroho (2006) dalam Pratomo
(2008), ada 4 tipologi yang dikategorikan sebagai daerah rawan banjir, yakni:
daerah pantai, daerah dataran banjir (floodplain area), daerah sempadan
sungai, dan daerah cekungan. Daerah pantai merupakan dataran rendah
yang elevasi permukaan tanahnya lebih rendah atau sama dengan elevasi air
laut pasang rata-rata dan tempat bermuaranya sungai. Daerah dataran banjir
adalah daerah yang berada di kanan-kiri sungai yang permukaan tanahnya
landai dan relatif datar. Pada kondisi permukaan tanah tersebut aliran air
menuju sungai akan sangat lambat sehingga daerah tersebut rawan terhadap
banjir, baik karena luapan air sungai ataupun karena hujan lokal. Daerah
dataran banjir ini umumnya terbentuk dari endapan lumpur yang subur.
Dalam perkembangannya, biasanya daerah ini banyak dimanfaatkan untuk
pertanian (sawah), permukiman, perkotaan, pusat kegiatan bisnis, dan
sebagainya. Pengembangan pertanian dan perkotaan pada daerah dataran
banjir ini akan mengurangi kemampuannya dalam menampung debit
aliran permukaan yang tinggi. Sempadan sungai merupakan daerah rawan
banjir. Akan tetapi, di wilayah perkotaan daerah sempadan sungai seringkali
dimanfaatkan sebagai permukiman dan kegiatan usaha sehingga apabila
terjadi luapan sungai akan menyebabkan bencana bagi daerah tersebut yang
dapat menimbulkan kerugian harta dan jiwa. Daerah cekungan terdapat baik
di dataran rendah maupun di dataran tinggi. Daerah ini berpotensi menjadi
daerah rawan banjir terutama apabila penataan kawasan tidak terkendali dan
sistem drainasenya kurang baik. Hasil klasifikasi bentuk lahan di wilayah 6
Sub DAS yang ada di wilayah Jakarta, wilayah yang termasuk dalam kelas
dataran banjir dan aluvial berada di bagian utara wilayah Jakarta (Gambar
6). Wilayah ini merupakan daerah yang memiliki potensi bahaya banjir yang
paling tinggi. Untuk kepentingan penentuan distribusi daerah bahaya banjir,
parameter bentuk lahan diklasifikasi menjadi 4 kelas. Pembagian masing-
masing kelas dan nilai skornya seperti yang disajikan pada Tabel 1.

75
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Gambar 6. Hasil klasifikasi bentuk lahan di 6 sub DAS di wilayah DKI


Jakarta tahun 2012

Infiltrasi adalah aliran air ke dalam tanah melalui permukaan tanah.


Menurut Morgan (2005), laju infiltrasi yang lambat akan berdampak
pada peningkatan aliran permukaan. Peningkatan aliran permukaan akan
meningkatkan debit sungai yang apabila meluap melebihi daya tampung
sungai akan menyebabkan banjir. Meijerink (1970) mengkelaskan tingkat
infiltrasi menjadi 4 kelas, yakni 1. Sangat lambat (01 mm/jam), 2. Lambat
(14 mm/jam), 3. Sedang (48 mm/jam), dan 4. Cepat (812 mm/jam).
Nilai skor masing-masing kelas tingkat infiltrasi disajikan pada Tabel 1.
Berdasarkan hasil klasifikasi tingkat infiltrasi di 6 sub DAS di wilayah DKI
Jakarta menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah DKI Jakarta memiliki

76
Penentuan Distribusi Spasial Daerah Bahaya Banjir di 6 (Enam)
Sub Das Wilayah DKI Jakarta Menggunakan Data Penginderaan Jauh

tingkat infiltrasi lambat hingga sangat lambat. Hal ini dikarenakan pada
wilayah tersebut, sebagian besar tertutup oleh permukiman. Kondisi ini
berdampak pada meningkatnya jumlah aliran permukaan yang berpotensi
menggenangi wilayah tersebut (Gambar 7).
Berdasarkan parameter-parameter yang disajikan di atas dan proses skoring
masing-masing parameter (Tabel 1) serta integrasi semua parameter melalui
Sistem Informasi Geografis (SIG) diperoleh peta distribusi spasial bahaya
banjir di 6 Sub DAS di wilayah DKI Jakarta (Gambar 8). Distribusi spasial
bahaya banjir dikategorikan menjadi 4 (empat) kelas, yakni 1. aman, 2.
rendah, 3. sedang, dan 4. tinggi. Sementara itu, luas masing-masing kelas
bahaya banjir untuk masing-masing sub DAS disajikan pada Gambar 9.

Gambar 7. Hasil klasifikasi tingkat infiltrasi lahan di 6 sub DAS di wilayah


DKI Jakarta tahun 2012

77
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Berdasarkan Gambar 8 tampak bahwa wilayah DKI Jakarta berada pada


daerah yang terkategorikan sebagai daerah bahaya banjir sedang hingga
tinggi. Khusus untuk sub DAS Ciliwung, wilayah yang termasuk bahaya
banjir sedang hingga tinggi umumnya berada pada wilayah tengah dan
hilir, sedangkan wilayah yang berkategori aman dan sedang berada pada
wilayah hulu bagian atas. Lebih dari 99% (dari keseluruhan luas wilayah
sub DAS) di wilayah sub DAS Angke/Pesanggrahan (99.52%), Kali Cakung
(99.87%), Kali Buaran (99.62%), Kali Sunter (99.41%) dan Kali Krukut
(99.40%) merupakan daerah kategori daerah bahaya banjir sedang hingga
tinggi, kecuali sub DAS Ciliwung yang hanya 79.03% (Gambar 9). Apabila
dibandingkan dengan peta daerah rawan banjir Jakarta pada bulan November
2011 yang dipublikasikan oleh BMKG (Gambar 10) tampak bahwa daerah
yang teridentifikasi sebagai daerah rawan banjir seluruhnya berada di wilayah
dengan kategori bahaya banjir sedang hingga tinggi. Daerah rawan banjir
tersebut di Jakarta Barat berada di Cengkareng, Grogol Petamburan, Kebon
Jeruk, Taman Sari, dan Kalideres. Sementara itu, wilayah rawan banjir d
Jakarta Selatan berada di Cilandak, Kebayoran Baru, Mampang Prapatan,
Pancoran, Pasar Minggu, Pesanggrahan, dan Tebet. Untuk wilayah Jakarta
Timur terdapat di Cakung, Cipayung, Ciracas, Jatinegara, Kramat Jati,
Makasar, dan Pulo Gadung. Di Jakarta Utara terdapat di Koja, Kelapa
Gading, Cilincing, Pademangan, Penjaringan, dan Tanjung Priok. Di
Jakarta Pusat terdapat di Cempaka Putih, Gambir, kamayoran, Menteng,
Sawah Besar, Senen, dan Tanah Abang. Pada kejadian curah hujan bulan
Desember 2011, status daerah rawan banjir tersebut berada pada kategori
rendah (Gambar 10). Namun, pada kondisi intensitas curah hujan yang
tinggi hingga ekstrem pada bulan Januari dan Februari, status daerah rawan
banjir tersebut dapat meningkat menjadi menengah hingga tinggi. Sementara
itu, dari hasil identifikasi yang dilakukan oleh BPBD DKI Jakarta yang
dikutip oleh Harian Republika Online pada tanggal 14 November 2013
menyebutkan terdapat 62 kawasan rawan banjir di wilayah DKI Jakarta,
yakni: 8 kawasan di Jakarta Timur, 17 kawasan di Jakarta Barat, 9 kawasan
di Jakarta Pusat, 12 kawasan di Jakarta Selatan, dan 19 kawasan di Jakarta
Utara.

78
Penentuan Distribusi Spasial Daerah Bahaya Banjir di 6 (Enam)
Sub Das Wilayah DKI Jakarta Menggunakan Data Penginderaan Jauh

Gambar 8. Distribusi Spasial Daerah Bahaya Banjir di 6 Sub DAS di wilayah


DKI Jakarta tahun 2012

Gambar 9. Luas masing-masing kelas kategori bahaya banjir di wilayah 6


sub DAS di DKI Jakarta tahun 2012
79
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Gambar 10. Peta daerah rawan banjir Jakarta pada bulan November 2011/
BMKG (Sumber: Pangestu, 2011).

Hasil survei pada daerah kejadian banjir pada tahun 2013 dan 2014 di 86
titik lokasi di wilayah Jakarta, Bekasi, dan Tangerang yang diplotkan pada
peta distribusi daerah bahaya banjir menunjukkan bahwa lokasi kejadian
banjir berada pada daerah yang terpetakan termasuk kelas bahaya sedang
sebanyak 5 titik (8.14%) dan kelas bahaya tinggi sebanyak 79 titik (91.86%)
(Gambar 11). Hal ini memperlihatkan bahwa pemetaan daerah bahaya
banjir menggunakan data inderaja yang dilakukan dalam analisis ini sangat
baik dan akurat.

80
Penentuan Distribusi Spasial Daerah Bahaya Banjir di 6 (Enam)
Sub Das Wilayah DKI Jakarta Menggunakan Data Penginderaan Jauh

Gambar 11. Hasil validasi peta distribusi daerah bahaya banjir dengan titik-
titik lokasi kejadian banjir tahun 2013 dan 2014

Ada beberapa faktor yang menjadikan banjir di DKI Jakarta makin parah,
antara lain: terjadinya penyempitan sungai/kali yang menyebabkan makin
berkurangnya area tangkapan air (catchment area), khususnya di Jakarta
Timur, Jakarta Selatan, dan Jakarta Barat. Sebagai contoh: lebar Kali
Krukut yang saat ini rata-rata hanya 5 meter dari yang seharusnya 10 meter.
Untuk dapat berfungsi secara normal sebagai daerah tangkapan air, minimal
dibutuhkan lebar sekitar 20 meter. Penyebab penyempitan sungai antara
lain: makin banyaknya bangunan permukiman di kiri kanan sungai, sampah,
pendangkalan sungai akibat sedimentasi, dan sebagainya. Kondisi ini yang
menjadikan kali atau sungai mudah meluap, meski intensitas curah hujan
tidak terlalu tinggi. Sudah dapat dipastikan, jika luapan sungai ini akan

81
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

menyebabkan banjir pada daerah di sekitarnya. Faktor lain adalah makin


terdegradasinya hutan akibat perkembangan penduduk dan pertumbuhan
wilayah perkotaan di wilayah tengah dan hulu sungai. Selain itu, secara
geomorfologis Jakarta terletak pada dataran banjir (Nugroho, 2002).
Pemetaan daerah bahaya banjir menggunakan data inderaja ini penting
artinya bagi upaya penanggulangan dan antisipasi dini banjir di wilayah
DKI Jakarta. Integrasinya dengan hasil pemantauan dan analisis kondisi
curah hujan akan sangat membantu masyarakat dalam memberikan
peringatan dini akan ancaman banjir sehingga dapat mengurangi kerugian
yang diakibatkannya.

4. KESIMPULAN DAN SARAN


Pemetaan distribusi spasial daerah bahaya banjir menggunakan data inderaja
memberikan hasil yang sangat baik dan akurat untuk menggambarkan
kondisi bahaya banjir di wilayah 6 sub DAS yang mengalir di wilayah DKI
Jakarta.
Untuk hasil yang lebih baik, penggunaan data resolusi tinggi seperti SPOT 6
untuk ekstraksi penutup/penggunaan lahan yang lebih rinci dan penggunaan
data DEM yang diekstraksi dari SPOT 6 stereo sangat disarankan. Selain itu,
data DEM SPOT 6 juga dapat dimanfaatkan dalam pengembangan model
simulasi daerah genangan banjir.

Ucapan Terima Kasih


Terima kasih diucapkan kepada Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh.
Paper ini merupakan bagian penelitian yang didanai oleh DIPA Pusfatja
tahun anggaran 2013.

82
Penentuan Distribusi Spasial Daerah Bahaya Banjir di 6 (Enam)
Sub Das Wilayah DKI Jakarta Menggunakan Data Penginderaan Jauh

DAFTAR PUSTAKA
Alexander, D. 1997. The study of natural disasters, 19771997: Some
reflections on a changing field of knowledge. Disasters 21(4): 284304.
Asriningrum, W., A.S. Hapip, H. Gunawan, I. Prasasti, A. Hidayat,
Sumardjo. 1998. Analisis daerah rentan banjir Jakarta dan sekitarnya
berdasarkan klasifikasi bentuk lahan dan penutup/penggunaan lahan
dari citra Jers-1. Majalah LAPAN. No. 85. Th XXII April 1998.
Dibyosaputro, S. 1984. Flood Susceptibility and Hazard Survey of The
Kudus Prawata Welahan Area, Central Java. Indonesia [Thesis]. ITC,
Enschende, Netherlands.
Hariyadi. 1999. Penentuan Besar Limpasan Air Permukaan (Run-off)
Daerah Aliran Sungai Ciliwung Menggunakan Data Spasial HEC-1
untuk Pendugaan banjir Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Laporan
Penelitian. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas
Diponegoro, Semarang. P: 87. [Diakses tanggal 20 Mei 2014].
Horritt, M.S., D.C. Mason, A.J. Luckman. 2001. Flood boundary
delineation from synthetic aperture radar imagery using a statistical
active contour model. International Journal of Remote Sensing 22 (13):
24892507. [Diakses tanggal 20 Mei 2014].
Ibrahim, A. B., dan R. S. Lubis. 2007. Pengembangan Model untuk
Optimalisasi Pengelolaan DAS. Prosiding Workshop Sistem Informasi
Pengelolaan DAS: Inisiatif Pengembangan Infrastruktur Data, Bogor,
Meijerink, A.M.J. 1970. Photo Interpretation in Hidrology. A Geomor-
phologycalApproach. UTC.Delfs.
Morgan, R.P.C. 2005. Soil Erorion and Conservation, 3rd edition. New York:
John Wiley.
Nugroho, S.P. 2002. Evaluasi dan analisis curah hujan sebagai faktor
penyebab bencana banjir Jakarta. Jurnal Sains dan Teknologi Modifikasi
Cuaca. 3(2): 9197. [Diakses Tanggal 25 Agustus 2014].

83
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Pawitan, H. 2002. Hidrologi DAS Ciliwung dan Andilnya terhadap Banjir


di Jakarta. Lokakarya Pendekatan DAS dalam Menanggulangi Banjir
Jakarta. 8 Mei 2002. Jakarta
Pratomo, A. J. 2008. Analisis Kerentanan Banjir Di Daerah Aliran Sungai
Sengkarang Kabupaten Pekalongan Provinsi Jawa Tengah Dengan
Bantuan Sistem Informasi Geografi. [Skripsi] Fakultas Geografi
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta. [Diakses tanggal 7
Juli 2014]
Trisakti B, K. Teguh, Susanto. 2008. Kajian distribusi spasial debit aliran
permukaan di Daerah Aliran Sungai (DAS) berbasis data satelit
penginderaan jauh. Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan Data
Citra Digital, 5: 4555. LAPAN.

84
PENURUNAN MUKA TANAH
DAN HUBUNGANNYA
DENGAN DAERAH RAWAN
BANJIR DI JAKARTA

Junita Monika Pasaribu, Indah Prasasti, Parwati Sofan


Peneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN
E-mail: junita.monika@lapan.go.id

ABSTRAK
Penurunan muka tanah telah terjadi dibeberapa lokasi di wilayah DKI Jakarta
yang diduga sebagai penyebab makin meluasnya dan tinggi daerah genangan
banjir. Penurunan muka tanah dapat diestimasi dengan memanfaatkan data
penginderaan jauh, seperti ALOS/PALSAR (Advanced Land Observation
Sattelite/Phased Array Type L-band Synthetic Aperture Radar). Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengestimasi penurunan muka tanah di Jakarta
dan hubungannya dengan daerah rawan banjir. Estimasi penurunan muka
tanah menggunakan data ALOS/PALSAR tahun 20072008 dengan
mengaplikasikan teknik Interferometric Synthetic Aperture Radar (InSAR),
sedangkan informasi distribusi spasial daerah rawan banjir diekstraksi dari
data penginderaan jauh hasil penelitian Pengembangan Model Pemanfaatan
Penginderaan Jauh untuk Penentuan Zona Bahaya dan Analisis Risiko
BanjirLembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)tahun
2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa data ALOS/PALSAR dengan
teknik InSAR dapat digunakan untuk mengestimasi penurunan muka
tanah dengan cukup baik, yakni daerah Kecamatan Cakung, Kecamatan
Cilincing, Kecamatan Cengkareng, dan Kecamatan Penjaringan merupakan
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

daerah dengan tingkat penurunan muka tanah tertinggi dengan nilai


penurunan 2027cm. Berdasarkan peta distribusi spasial daerah rawan
banjir, keempat kecamatan yang mengalami penurunan muka tanah yang
paling tinggi ini berada pada kategori kelas kerawanan tinggi dan sangat
tinggi. Dengan demikian, penurunan muka tanah yang terjadi diprediksi
dapat meningkatkan luas area dan ketinggian genangan banjir.
Kata Kunci: ALOS/PALSAR, daerah rawan banjir, InSAR, penurunan
muka tanah

ABSTRACT
Land subsidence occurred in several location in Jakarta which was expected as
the cause of the increasing of the extent and height of inundated area. Land
subsidence can be estimated by utilize remote sensing data, such as ALOS/
PALSAR (Advanced Land Observation Sattelite/Phased Array Type L-band
Synthetic Aperture Radar). The purpose of this research is to estimate land
subsidence in Jakarta and its relation with flood prone area. Land subsidence
estimation using ALOS/PALSAR data from 20072008 using Interferometric
Synthetic Aperture Radar (InSAR), whereas the spatial distribution information
of flood prone area was extracted from remote sensing data from the research
of Remote Sensing Model Development for Flood Hazard Zone Determination
and Flood Risk Analysis- National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN)
2013. Research shows that ALOS/PALSAR data with InSAR technique can
be used to estimate land subsidence with good result. Kamal Muara, Cakung,
Cilincing, Cengkareng, and Penjaringandistrict have highest subsidence rate
around 2027 cm. Based on spatial distribution of flood prone area, these four
districtswere experienced the highest subsidenceis located on the high and highest
class of flood prone. Thus, the increasing of the extent and height of inundation
area is predicted caused by land subsidence.
Keywords: ALOS/PALSAR, flood prone area, InSAR, land subsidence

86
Penurunan Muka Tanah dan Hubungannya
dengan Daerah Rawan Banjir di Jakarta

1. PENDAHULUAN
Jakarta adalah ibukota negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang
paling tinggi di Indonesia. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik(BPS) tahun
2010 jumlah penduduk di Jakarta mencapai 9.607.787 jiwa dengan tingkat
kepadatan 14.469 jiwa/km2 (BPS, 2010). Secara geomorfologi dataran
Jakarta digolongkan ke dalam dataran alluvial pantai dan sungai. Dataran
ini mempunyai bentang alam datar, sungai bermeander yang sebelumnya
dataran rawa, baik rawa pantai, laguna, maupun rawa belakang akibat
limpasan yang melampaui tanggul alam. Dilihat dari karakteristik geologi,
formasi geologi Jakarta berumur holosen, dicirikan dengan batu endapan
permukaan dengan jenis batuan sedimen, batuan endapan permukaan,
batuan gunung api, dan batuan intrusi. Wilayah fisiografi Jakarta terletak
pada dataran rendah berupa paparan banjir yang berasal dari gunung Gede
Pangrango, Salak, dan Halimun membentang mulai dari daerah Serang
sampai Cirebon yang mengalami proses pelipatan (BPS, 2010).
Tingginya populasi penduduk di kota ini mengakibatkan pesatnya
pembangunan area permukiman. Perkembangan kota yang sangat pesat
juga terjadi untuk sektor industri, transportasi dan sektor lainnya sehingga
memberikan beban yang sangat besar terhadap permukaan tanah dan
penggunaan air tanah dalam skala besar. Kondisi geomorfologi dan fisiologi
seperti ini, didukung dengan pesatnya pembangunan perkotaan Jakarta,
secara alami akan rawan terhadap banjir dan penggenangan, disertai
penurunan muka tanah. Penurunan muka tanah merupakan suatu proses
gerakan permukaan tanah yang didasarkan pada suatu datum geodesi yang
terdapat berbagai macam variabel penyebabnya (Marfai and King, 2007).
Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya, penyebab penurunan muka
tanah di Jakarta disebabkan oleh pengambilan air tanah secara berlebihan,
kosolidasi alamiah lapisan tanah dan penurunan akibat beban bangunan
(Abidin et al. 2009; Chaussard et al. 2013;Ng et al. 2012).Penurunan tanah
suatu wilayah dapat dipantau dengan menggunakan beberapa metode, baik
metode-metode hidrogeologi (misalnya pengamatan level muka air tanah
serta pengamatan dengan ekstensometer dan piezometer), geoteknik, maupun

87
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

metode geodetik seperti survei sipat datar (levelling), survei gayaberat mikro,
survei GPS (Global Positioning System), dan InSAR (Interferometric Synthetic
Aperture Radar). Umumnya penurunan muka tanah terjadi pada periode
waktu yang lama dan dalam ukuran perubahan yang kecil sampai hitungan
sentimeter sehingga dibutuhkan metode yang mampu memetakan perubahan
permukaan sampai pada level tersebut. Oleh karena itu, teknik InSAR yang
digunakan dalam pemetaan penurunan muka tanah dalam penelitian ini
diharapkan mampu menghitung perubahan sampai skala kecil. Hal ini
dikarenakan, InSAR merupakan teknik pencitraan yang memanfaatkan
perbedaan fasa gelombang elektromagnetik untuk mendapatkan informasi
tinggi di suatu daerah (Ismullah, 2004; Ferretti et al. 2007)
Penurunan muka tanah dapat diestimasi menggunakan data penginderaan
jauh, seperti dengan data ALOS/PALSAR (Advanced Land Observation
Sattelite/Phased Array Type L-band Synthetic Aperture Radar).ALOS/PALSAR
merupakansalah satu jenis data penginderaan jauh SAR yang diluncurkan
oleh JAXA (Japan Aerospace Exploration Agency) pada 24 Januari 2006
melalui roket H-IIA. Data Synthetic Aperture Radar (SAR) dipilih karena
kemampuannya untuk merekam citra pada waktu siang dan malam hari
serta dapat menembus awan, kabut, dan asap sehingga informasi keadaan
permukaan dapat diperoleh untuk semua daerah dalam scene citra tersebut.
Tujuan penelitian ini adalah mengestimasi penurunan muka tanah
dengan memanfaatkan data penginderaan jauh ALOS/PALSAR dengan
menggunakan teknik InSAR dan hubungannya dengan daerah rawan banjir
di Jakarta.

2. METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini digunakan data ALOS/PALSAR dengan lokasi kajian
daerah Jakarta. Pengolahan data menggunakan 3 citra ascending ALOS/
PALSAR dari tanggal 3 Agustus 20072 Juni 2008 menggunakan metode
InSAR. Citra tanggal 3 Agustus 2007 dijadikan sebagai acuan nilai awal
kombinasi citra untuk menghitung perubahan ketinggian permukaan
tanah.

88
Penurunan Muka Tanah dan Hubungannya
dengan Daerah Rawan Banjir di Jakarta

Metode InSAR ini telah dipergunakan pada beberapa penelitian untuk


pemetaan penurunan muka tanah(Abidin et al. 2009; Chaussard et al.
2013; Cigna et al. 2012; Lazecky et al. 2010) Metode InSAR dipilih karena
kemampuannya menghitung perubahan ketinggian muka tanah dalam
hitungan sentimeter. Mekanisme yang digunakan dalam metode ini adalah
melihat perubahan pada dua citra satelit pada daerah yang sama dan pada
waktu berbeda untuk mengukur perubahan yang terjadi dimana hal yang
diperhatikan adalah perbedaan fasa sinyal balik (backscatter) dari dua akuisisi
data. Hal yang penting diperhatikan dalam pemilihan kombinasi citra
adalah kombinasi citra yang memiliki temporal baseline dan perpendicular
baseline yang kecil untuk meminimalisasi dekorelasi spasial dan temporal
dari interferogram kombinasi citra.
InSAR menghitung perubahan muka tanah dari total fasa perubahan
permukaan yang merupakan penjumlahan dari perubahan
fasatopografi ( ), baseline ( ), deformasi ( ) untuk
aktivitas seismik ataupun bukan aktivitas seismik dan juga untuk aktivitas
penggunaan air tanah, perubahan akibat dari efek atmosfer ( )
dan fasa noise ( ). Total perubahan tersebut dapat ditulis dengan
Formula 1 sebagai berikut ini14.

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software SARScape11melalui


beberapa tahap yakni 1. Focusing untuk mengonversi raw data ALOS/
PALSAR level 1.0 menjadi Single Look Complex (SLC). Dengan demikian
setiap piksel pada citra SAR menyatakan amplitudo dan fasa dari sinyal balik
yang berasal dari sinyal yang dipancarkan sensor, 2. Pembentukan citra
interferogram yang dihasilkan dari dua citra pada daerah perekaman yang
sama namun pada waktu yang berbeda. Perbedaan fasa kedua citra dapat
diperhatikan dari citra interferogram tersebut. 3. Pembentukancoherenceuntuk
menentukan kualitas pengukuran. Fasa yang memiliki nilai koherensi lebih
rendah dari 0.3 tidak diperhitungkan pada proses berikutnya. Pada tahap
ini juga dilakukan filter data interferometri, yang menghasilkan informasi

89
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

tematik dari objek permukaan bumi dikombinasi dengan koefisien sinyal


balik. Oleh karena fasa citra interferogram adalah 2,maka fasa perubahan
menjadi sangat besar dikarenakan pengulangan nilai fasa tersebut. Dalam
tahap ini dilakukan phase unwrapping untuk menghilangkan ambiguitas
nilai fasa dan mendapatkan nilai fasa yang absolut. 4. Setelah dilakukan
pengolahan phase unwrapping, maka dilakukankoreksi untuk memperbaiki
orbit sehingga doperoleh estimasi orbit dan baseline yang lebih akurat. 5/.
Konversi nilai fasamenjadi nilai ketinggian, dan dilakukan proses geocode
ke dalam proyeksi peta. Secara keseluruhan tahapan pengolahan data untuk
estimasi penurunan muka tanah dan hubungannya dengan daerah rawan
banjir disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Bagan alir penelitian

90
Penurunan Muka Tanah dan Hubungannya
dengan Daerah Rawan Banjir di Jakarta

Selanjutnya, dari hasil pengolahan data penurunan muka tanah tersebut


dianalisis hubungannya dengan daerah rawan banjir dan dampak terhadap
lingkungan. Data daerah rawan banjir ini diperoleh dari hasil pengolahan
data kegiatan penelitian Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan
Jauh untuk Penentuan Zona Bahaya dan Analisis Risiko Banjir-LAPAN
tahun 2013. Penentuan daerah rawan banjir tersebut diperoleh dari integrasi
beberapa parameter data penginderaan jauh, yaitu penutup penggunaan
lahan dari data Landsat Tematik Mapper dan informasi kemiringan lereng,
elevasi lahan, dan jaringan sungai dari data Digital Elevation Model Shuttle
Radar Topography Mission (DEMSRTM).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil estimasi penurunan muka tanah di wilayah Jakarta menggunakan
data ALOS/PALSAR dengan teknik InSAR disajikan dalam Gambar 2a dan
Gambar 2b. Gambar 2a memberikan gambaran penurunan muka tanah
yang terjadi selama periode 3 Agustus 2007 hingga 18 September 2007,
sedangkan Gambar 2b yang terjadi selama periode 3 Agustus 2007 hingga
2 Juni 2008. Nilai penurunan muka tanah yang makin tinggi ditunjukkan
dengan warna makin mengarah kekuning hingga kemerahan. Berdasarkan
Gambar 2 tersebut terlihat bahwa penurunan muka tanah di Jakarta dalam
periode 3 Agustus 20072 Juni 2008yang tertinggi mencapai 27 cm, yakni
yang terjadi di Kamal Muara (Gambar 2b). Daerah dengan nilai penurunan
muka tanah yang tinggi terjadi di bagiantimur Jakarta yaitu daerah Cakung
dengan tingkat penurunan muka tanah sebesar 24 cm. Sementara itu,
penurunan muka tanah di bagian utara Jakarta,yaitu di daerah Penjaringan
sebesar 20 cm dan Cilincing sebesar 23 cm dan penurunan muka tanah yang
terjadi di daerah barat Jakarta yaitu Cengkareng sebesar 22 cm.

91
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

a b

cm-27 8
Gambar 2. Distribusi spasial penurunan muka tanah yang diestimasi
menggunakan ALOS/PALSAR dengan teknik InSAR di
Jakarta periode a. 3 Agustus 200718 September 2007 dan
b. 3 Agustus 20072 Juni 2008. Daerah yang mengalami
penurunan tanah yang tinggi ditunjukkan oleh tanda panah
merah.

Apabila dibandingkan dengan pertambahan nilai penurunan muka tanah


yang disajikan dalam Gambar 2a, maka penurunan muka tanah dalam
periode 3 Agustus 200718 September 2007 adalah kecil. Hal ini disebabkan
oleh perbedaan waktu akuisisi data yang singkat yaitu 1 bulan dibandingkan
dengan yang terjadi dalam periode 3 Agustus 20072 Juni 2008 yaitu sekitar
11 bulan (Gambar 2b).Jika dihubungkan dengan Gambar 3, tampak bahwa
kelima daerah dengan tingkat penurunan muka tanah diatas 20 cm tersebut
berada pada daerah dengan kategori tingkat kerawanan banjir yang tinggi
(Penjaringan, Cengkareng, Cakung, dan Cilincing) hingga sangat tinggi
(Kamal Muara).

92
Penurunan Muka Tanah dan Hubungannya
dengan Daerah Rawan Banjir di Jakarta

Gambar 3. Distribusi spasial daerah rawan banjir di Jakarta tahun 2012


Sumber : Kegiatan Penelitian Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh untuk
Penentuan Zona Bahaya dan Analisis Risiko Banjir-LAPAN tahun 2013

Informasi daerah-daerah yang mengalami penurunana muka tanah secara


rinci disajikan dalam Tabel 1. Informasi ini diperoleh dari ekstraksi nilai
penurunan muka tanah pada periode 3 Agustus 20072 Juni 2008 dan
ekstraksi tingkat kerawanan banjir tahun 2012 untuk setiap kecamatan.
Tingkat kerawanan banjir dominan diperoleh dengan menghitung jumlah
piksel tingkat kerawanan yang paling dominan pada setiap kecamatan. Selain
memperhatikan daerah yang mengalami penurunan muka tanah diatas 20
cm, daerah lain juga perlu mendapat perhatian misalnya daerah dengan nilai
penurunan muka tanah dibawah 20 cm tetapi berada pada tingkat kerawanan

93
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

banjir yang tinggi (Grogol Petamburan, Kali Deres, Pademangan, Sawah


Besar, Taman Sari, Kelapa Gading, Gambir, Kemayoran, Tabora, Tanjung
Priok, Menteng, dan Senen). Jika diperhatikan dari lokasinya, sebagian
besar tersebut berada di DAS Ciliwung yang memiliki potensi besar untuk
terjadinya banjir limpasan dari hulu sungai. Perubahan tata guna lahan kota
Jakarta yang sangat pesat dengan luas permukiman yang besar merupakan
salah satu penyebab terjadinya penurunan muka tanah tersebut. Konsolidasi
terjadi pada lapisan tanah pada wilayah ini yang merupakan daerah sedimen
disebabkan oleh beban bangunan, disamping itu wilayah ini juga mengalami
kompaksi akibat ekstraksi air tanah. Kondisi penurunan muka tanah ini
yang diperkirakan sebagai penyebabmakin luasnya daerah terdampak banjir
dewasa ini.

Tabel 1. Estimasi penurunan muka tanah periode 3 Agustus 20072 Juni


2008 dan tingkat kerawanan tahun 2012 untuk masing-masing
kecamatan
Nilai Maksimum Penurunan Tingkat Kerawanan
No. Kecamatan
Muka Tanah (cm) Banjir Dominan
1 Penjaringan 27 Tinggi
2 Cakung 24 Tinggi
3 Cilincing 23 Tinggi
4 Cengkareng 22 Tinggi
5 Grogol Petamburan 15 Tinggi
6 Kali Deres 15 Tinggi
7 Pademangan 13 Tinggi
8 Kembangan 13 Sedang
9 Tanah Abang 12 Sedang
10 Sawah Besar 11 Tinggi
11 Makasar 11 Rendah
12 Taman Sari 11 Tinggi
13 Kebon Jeruk 9 Sedang

94
Penurunan Muka Tanah dan Hubungannya
dengan Daerah Rawan Banjir di Jakarta

Tabel 1. Estimasi penurunan muka tanah periode 3 Agustus 20072 Juni


2008 dan tingkat kerawanan tahun 2012 untuk masing-masing
kecamatan (lanjutan)
Nilai Maksimum Penurunan Tingkat Kerawanan
No. Kecamatan
Muka Tanah (cm) Banjir Dominan
14 Setia Budi 9 Sedang
15 Cipayung 9 Rendah
16 Pesanggrahan 9 Sedang
17 Kebayoran Baru 9 Sedang
18 Kelapa Gading 8 Tinggi
19 Gambir 8 Tinggi
20 Mampang Prapatan 8 Sedang
21 Kemayoran 7 Tinggi
24 Tambora 6 Tinggi
25 Kebayoran Lama 6 Sedang
26 Tanjung Priok 6 Tinggi
27 Palmerah 6 Sedang
28 Menteng 5 Tinggi
30 Pasar Minggu 5 Sedang
31 Cilandak 4 Sedang
32 Tebet 4 Sedang
33 Senen 4 Tinggi
34 Pancoran 3 Sedang
Secara umum daerah Jakarta merupakan daerah padat penduduk dan
industri, laju infiltrasi yang sangat rendah disebabkan kurangnya daerah
resapan air dan lapisan tanah yang telah mengalami kompaksi, dan sistem
drainase yang buruk juga menyebabkan semakin luasnya daerah dan
tingginya genangan banjir. Perlu diketahui juga bahwa wilayah pesisir pantai
Jakarta yang relatif sangat dipengaruhi oleh kondisi pasang surut air laut yang
sering menyebabkan terjadinya banjir rob. Di sisi lain, adanya fenomena
kenaikan muka air laut juga turut memperburuk situasi. Kondisi ini telah

95
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

menyebabkan wilayah tergenang banjir makin luas, ketinggian genangan


makin tinggi, dan durasi genangan makin lama. Tinggi muka air laut dalam
skala regional saat ini meningkat sebesar 1.54.4 mm/tahun(Mimura dan
Yoki, 2004), dan kemungkinan akan meningkat dua kali lipat dalam 12
dekade ke depan (IPCC, 2007).
Beberapa penelitian penurunan muka tanah di daerah DKI Jakarta dengan
menggunakan teknik interferometri telah dilakukan sebelumnya dan
memberikan hasil yang baik. Pemetaan penurunan muka tanah di Jakarta
oleh Abidin dengan menggunakan teknik InSAR pada untuk data ALOS/
PALSAR periode 20062007 menunjukkan bahwa penurunan muka
tanah memiliki variasi nilai baik secara spasial maupun temporal. Namun
diperoleh rata-rata penurunan muka tanah secara umum adalah sebesar
115 cm/tahun dan pada beberapa daerah penurunan muka tanah mencapai
20 cm/tahun. Hasil pengamatan tersebut telah divalidasi dengan data yang
diperoleh dari survei leveling dan GPS. Disimpulkan dalam penelitiannya
bahwa penurunan muka tanah tersebut disebabkan oleh ekstraksi air tanah
pada lapisan akifer menengah dan lapisan akifer dalam, beban bangunan,
dan konsolidasi lapisan tanah sedimen secara alami (Abidin et al. 2009)
Chaussard juga melakukan penelitian untuk pemetaan penurunan muka
tanah dengan teknik InSAR terhadap citra time-series menggunakan 900
citra ALOS PALSAR tahun 20072008 untuk memetakan penurunan muka
tanah di beberapa wilayah bagian barat Indonesia yaitu Sumatera, Jawa, dan
Bali.Hasil yang diperoleh untuk penurunan muka tanah di Jakarta mencapai
21.8 cm/tahun. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa penurunan muka
tanah ini disebabkan oleh beban bangunan dan ekstraksi air tanah secara
intensif (Chaussard et al. 2013). Selain itu penelitian penurunan muka
tanah lainnya untuk daerah Jakarta oleh Ng et al. dengan mengaplikasikan
teknik Persistent Scatterer Interferometric Synthetic Aperture Radar (PSInSAR)
terhadap 17 citra ALOS/PALSAR periode 20072010, diperoleh variasi nilai
penurunan muka tanah sebesar 29.6 mm/tahun. Hasil pengolahan telah
divalidasi dengan menggunakan data lapangan GPS dan hasilnya memiliki
korelasi yang baik.

96
Penurunan Muka Tanah dan Hubungannya
dengan Daerah Rawan Banjir di Jakarta

Penelitian serupa juga telah dilakukan untuk memetakan penurunan


muka tanah daerah Semarang dengan mengaplikasikan teknik InSAR
menggunakan 22 citra ascending ALOS/PALSAR dari Januari 2007Januari
2009. Rata-rata penurunan muka tanah di wilayah Semarang adalah sebesar
8 cm/tahun, dan hasil penelitian tersebut memiliki konsistensi antara hasil
pengolahan data dan hasil pengukuran lapangan. Berdasarkan hasil observasi
penurunan muka tanah tersebut disebabkan oleh penggunakan air tanah
secara intensif untuk keperluan industri, permukiman, dan pertanian. Kota
Semarang yang berada pada daerah pantai memiliki kompresibilitas tanah
yang tinggi (lempung dan pasir Holocene dengan ketebalan 80 m) turut
memperburuk penurunan muka tanah (Lubis et al. 2011). Dampak dari
penurunan muka tanah tersebut mengakibatkan semakin luasnya genangan
banjir akibat pasang air laut (Abidin et al. 2010)
Jika membandingkan hasil pengolahan data dengan menggunakan ALOS/
PALSAR pada periode 20072008 dengan nilai maksimum estimasi
penurunan muka tanah sebesar 27 cm dengan penelitian lainnya dengan
menggunakan data dan teknik yang sama memiliki kisaran nilai yang tidak
jauh berbeda. Dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan data ALOS/PALSAR
dengan menggunakan teknik InSAR memiliki potensi yang baik dalam
melakukan estimasi penurunan muka tanah. Jika dibandingkan dengan
penurunan muka tanah yang terjadi di Semarang ditinjau dari kondisi
lingkungannya memiliki kondisi yang sama, yaitu berada pada lapisan tanah
sedimen yang mengalami konsolidasi akibat perkembangan kota yang pesat
dan penggunaan air tanah secara intensif untuk berbagai keperluan menjadi
pemicu terjadinya penurunan muka tanah. Lokasi-lokasi dengan keadaan
yang sama perlu mendapat perhatian untuk antasipasi semakin meluasnya
penurunan muka tanah dan yang akan memicu semakin luasnya daerah
rawan banjir.
Integrasi hasil penelitian ini dengan hasil pemetaan daerah rawan banjir
diharapkan dapat membuktikan semakin luasnya daerah terdampak banjir
yang terjadi di wilayah Jakarta dewasa ini.

97
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

4. KESIMPULAN
Data ALOS/PALSAR dengan teknik InSAR cukup baik digunakan untuk
estimasi penurunan muka tanah sehingga menjadi alternatif yang baik
untuk dikembangkan lebih lanjut. Tingginya penurunan muka tanah
di sebagian besar daerah Jakarta Utara yang memiliki tingkat kerawanan
banjir yang tinggi dan sangat tinggi akan semakin meningkatkan peluang
terjadinya banjir dengan semakin dalam dan luasnya permukaan tanah yang
rendah. Akan tetapi, lokasi lainnya juga perlu mendapat perhatian karena
sekitar 37% daerah Jakarta merupakan daerah dengan tingkat kerawanan
banjir yang tinggi dan sangat tinggi sehingga perlu dilakukan antisipasi
untuk memperkecil peluang terjadinya banjir di daerah yang mengalami
penurunan muka tanah. Namun daerah dengan tingkat kerawanan banjir
yang rendah dan sedang yang berada di bantaran sungai perlu diperhatikan
karena adanya peluang banjir dari limpasan sungai.

Ucapan Terima Kasih


Penulis mengucapkan terima kasih kepada LAPAN atas fasilitas yang diberikan
dalam penyediaan data penelitian ini, dan tim Penelitian Pengembangan
Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh untuk Penentuan Zona Bahaya
dan Analisis Risiko Banjir-LAPAN tahun 2013. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada Prof. Rochadi Abdulhadi atas bimbingannya dalam
penyusunan karya tulis ilmiah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Abidin, H.Z., H. Andreas, I. Gumilar, M. Gamal, Y. Fukuda, and T.
Deguchi. 2009. Land subsidence and urban development in Jakarta
(Indonesia).TS 6F Mapping, Aerial Survey and Remote Sensing I.
Abidin, H. Z., H. Andreas, I. Gumilar, T. P. Sidiq, M. Gamal, D.
Murdohardono, Supriyadi, and Y. Fukuda.2010. Studying land
subsidence in Semarang (Indonesia) using geodetic methods. FIG
Congress, Australia.
98
Penurunan Muka Tanah dan Hubungannya
dengan Daerah Rawan Banjir di Jakarta

Chaussard, E., F. Amelung, H. Abidin, and S.H. Hong. 2013. sinking cities in
Indonesia: ALOS PALSAR detects rapid subsidence due to groundwater
and gas extraction. Remote Sensing of Environment 128:150161.
Cigna F., B. Osmanolu, E. Cabral-Cano, T. H. Dixon, J. A. Avila-Olivera,
V. H. Garduo-Monroy, C. DeMet, S. Wdowinski. 2012. Monitoring
land subsidence and its induced geological hazard with synthetic
aperture radar interferometry: A case study in Morelia, Mexico. Remote
Sensing of Environment, 117:146161.
Ferretti A., A. M. Guarnieri, C. Prati, and F. Rocca.2007. InSAR Principles:
Guidelines for SAR Interferometry Processing and Interpretation.
European Space Agency.
Gambaran Umum Wilayah Jakarta (http://ppejawa.com/12_dki_jakarta.
html, diakses 30 November 2014).
IPCC.2007. IPCC: Synthesis report. Contribution of working groups I - Fourth
assessment report of the Intergovernmental Panel on Climate Change.
Cambridge. UK: Cambridge Univ Press.
Ismullah, I. H. 2004. Pengolahan fasa untuk mendapatkan Model Tinggi
Permukaan Dijital (DEM) pada Radar Apertur Sintetik Interferometri
(InSAR) data satelit. PROC. ITB Sains & Tek, 36A(1):1132.
Jumlah penduduk Provinsi DKI Jakarta per Kab/Kota tahun 2010 (http://
jakarta.bps.go.id/index.php?bWVudT0yMzA0JnBhZ2U9ZGF0YSZzdW
I9MDQmaWQ9MTE=, diakses 30 November 2014)
Lazecky, M., E. Jirankova, and D. Bohmova. 2010. Usage of InSAR
techniques to detect and monitor terrain subsidence due to mining
activities, Geoscience Engineering, LVI(4):3249. ISSN 1802-5420.
Lubis, A. M., T. Sato, N. Tomiyama, N. Isezaki, and T. Yamanokuchi.
2011. Ground subsidence in Semarang-Indonesia investigated by
ALOS-PALSAR satellite SAR interferometry. Journal of Asian Earth
Sciences, 40:10791088.

99
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Marfai, M.A and L. King. 2007. Monitoring land subsidence in Semarang,


Indonesia. Springer Journal of Environmental Geology, 53:651659.
Mimura, N., and H. Yokoki. 2004. Sea Level Changes and Vulnerability
of The Coastal Region of East Asia in Response to Global Warming.
SCOPE/START Monsoon Asia Rapid Assessment Report.
Ng, A. H., L. Ge, X. Li, H. Z. Abidin, H. Andreas, K. Zhang. 2012.
Mapping land subsidence in Jakarta, Indonesia using persistent scatterer
interferometry (PSI) technique with ALOS PALSAR. International
Journal of Applied Earth Observation and Geoinformation, 18:232242.
SARScape Software, http://www.sarmap.ch

100
PEMANFAATAN DATA
LANDSAT MULTITEMPORAL
UNTUK ZONASI DAERAH
RAWAN BANJIR DI
JAKARTA MENGGUNAKAN
PENDEKATAN
GEOMORFOLOGI

Suwarsono, M. Priyatna, Kusumaning Ayu DS,


Wikanti Asriningrum
Peneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN
E-mail: suwarsono@lapan.go.id; landsono@yahoo.com

ABSTRAK
Banjir merupakan fenomena rutin yang terjadi di Jakarta pada musim hujan
dan menjadi permasalahan sangat serius yang menganggu jalannya aktivitas
penduduk. Banjir di Jakarta merupakan permasalahan yang cukup pelik
dan memerlukan upaya yang komprehensif dalam pengelolaannya dengan
melibatkan berbagai aspek. Zonasi daerah rawan banjir perlu dilakukan
guna memberikan informasi wilayah-wilayah mana yang berpotensi terkena
banjir. Informasi ini sangat diperlukan sebagai salah satu masukan dalam
pengelolaan banjir Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan
zonasi daerah rawan banjir di Jakarta menggunakan data citra penginderaan
jauh multitemporal dengan pendekatan geomorfologi. Dalam kajian ini
dipergunakan seri data Landsat multitemporal tahun 1970-an, 1980-an,
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

1990-an, 2000-an, dan 2010-an. Hasil kajian menunjukkan bahwa daerah-


daerah yang sering terlanda banjir pada saat ini merupakan daerah-daerah
yang pada masa sebelumnya merupakan daerah yang secara geomorfologi
sering tergenang air, seperti dataran banjir, rawa belakang, dataran aluvial
pantai, maupun daerah antar beting gisik.
Kata Kunci: banjir, geomorfologi, Jakarta, Landsat,

ABSTRACT
Floods is a routine phenomenon that occurs in Jakarta in the rainy season and
become very serious problems that disrupt the course of peoples activities. Floods
in Jakarta is a problem that is quite complicated and requires a comprehensive
approach in its management by involving various aspects. The zonation of flood
prone areas need to be done in order to provide information which areas are
potentially affected by the floods. This information is needed as one of the main
input in the management of Jakartas flood. This study aims to do zonation
of the flood prone areas in Jakarta using multitemporal remote sensing image
data with geomorphological approach. In this study used multitemporal Landsat
data series in the 1970s, 1980s, 1990s, 2000s, and 2010s. The results showed
that the areas that are often flooded at this time are areas that in the past are
geomorphologically often flooded, such as flood plains, backswamps, coastal
alluvial plain, and swales .
Keywords: floods, geomorphology, Jakarta, Landsat

1. PENDAHULUAN
Banjir merupakan fenomena rutin yang terjadi di Jakarta pada musim
hujan dan menjadi permasalahan sangat serius yang menganggu jalannya
aktivitas penduduk. Pada dua dasawarsa terakhir ini, puncak banjir di
Jakarta terjadi pada sekitar bulan Januari-Maret. Banjir di Jakarta merupakan
permasalahan yang cukup pelik dan memerlukan upaya yang terpadu dan
komprehensif dalam pengelolaannya dengan melibatkan berbagai aspek.

102
Pemanfaatan Data Landsat Multitemporal untuk
Zonasi Daerah Rawan Banjir di Jakarta Menggunakan Pendekatan Geomorfologi

Pengelolaan banjir terpadu adalah proses keterpaduan pengelolaan banjir


melalui pendekatan pengelolaan tanah dan sumberdaya air, daerah pantai
pesisir, dan pengelolaan daerah bencana pada suatu DAS dengan tujuan
memaksimumkan keuntungan daerah bantaran banjir dan meminimumkan
kehilangan nyawa dan kerusakan harta benda dari banjir (Green et al.,
2004). Menurut Richard (1955), banjir dapat diartikan ke dalam dua
pengertian, yaitu 1) meluapnya air sungai yang disebabkan oleh debit sungai
yang melebihi daya tampung sungai pada keadaan curah hujan tinggi, dan
2) genangan pada daerah dataran rendah yang datar yang biasanya tidak
tergenang (Richard, 1955). Banjir merupakan suatu kondisi di suatu wilayah
di mana terjadi peningkatan jumlah air yang tidak tertampung pada saluran-
saluran air atau tempat-tempat penampungan air sehingga meluap dan
menggenangi daerah di luar saluran, lembah sungai, ataupun penampungan
air tersebut (Sudaryoko, 1987). Faktor penyebab banjir dibedakan menjadi
persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam serta
persoalan banjir yang disebabkan oleh aktivitas penduduk (Sutopo, 1999).
Pengelolaan banjir secara terpadu memerlukan informasi daerah rawan
banjir yang mampu memberikan gambaran wilayah-wilayah mana saja
yang berpotensi terkena banjir. Dalam memetakan wilayah rawan banjir
tersebut, data penginderaan jauh memainkan peranan penting. Penelitian
ini ditujukan untuk melakukan zonasi daerah rawan banjir di Jakarta
menggunakan data citra penginderaan jauh. Pendekatan yang dipergunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan geomorfologi. Dalam pendekatan
ini, daerah rawan banjir diketahui berdasarkan tipe dan karakteristik dari
bentuk lahan penyusunnya. Penelitian sebelumnya terkait pemanfaatan
data Landsat untuk identifikasi bentuk lahan di Jakarta dan sekitarnya oleh
peneliti LAPAN pernah dilakukan oleh Asriningrum (2002). Kebaruan dari
penelitian ini adalah penggunaan data penginderaan jauh multitemporal
dengan rentang sekitar 40 tahun dalam memahami daerah-daerah mana
saja yang berpotensi banjir.

103
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

2. METODOLOGI
Data
Data citra yang dipergunakan adalah Landsat multitemporal tahun 1970-
an, 1980-an, 1990-an, 2000-an, dan 2010-an. Seri data Landsat yang
dipergunakan tersebut meliputi Landsat-1 MSS, Landsat-2 MSS, Landsat-3
MSS, Landsat-5 TM, Landsat-7 ETM+, dan Landsat-8 OLI. Tabel 1 berikut
menyajikan seri data citra Landsat yang dipergunakan dalam penelitian ini.

Tabel 1. Seri data Landsat yang dipergunakan


Seri Data Landsat Tanggal Akusisi
Landsat-1 MSS 21 Agustus 1973
Landsat-2 MSS 29 Juni 1978
Landsat-3 MSS 13 Agustus 1978
Landsat-3 MSS 28 Agustus 1982
Landsat-5 TM 25 Juli 1996
Landsat-5 TM 14 September 1997
Landsat-5 TM 19 Juni 2006
Landsat-5 TM 7 September 2006
Landsat-7 ETM+ 17 September 2001
Landsat-8 OLI 13 September 2014
Landsat-1, 2, dan 3 disamping membawa sensor RBV juga membawa sensor
Multispectral Scanner (MSS) yang merekam panjang gelombang visibel (merah
dan hijau) dan inframerah dekat. Landsat-1 diluncurkan pada 23 Juli 1972.
Disusul kemudian oleh Landsat-2 yang diluncurkan pada 22 Januari 1975.
Landsat-3 sendiri diluncurkan pada 5 Maret 1978. Sensor MSS terdiri dari
empat band, masing-masing band 4 (hijau: 0.50.6 m), band 5 (merah:
0.60.7 m), band 6 (inframerah dekat: 0.70.8 m), dan band 7 (hijau:
0.81.6 m). Pada Landsat-3 disertakan juga band 8 (thermal: 10.412.6
m). Resolusi spasial data MSS adalah 60 meter. Landsat-5 diluncurkan
pada 1 Maret 1984. Landsat-5 membawa sensor Thematic Mapper (TM),

104
Pemanfaatan Data Landsat Multitemporal untuk
Zonasi Daerah Rawan Banjir di Jakarta Menggunakan Pendekatan Geomorfologi

disamping sensor MSS. Sensor TM membawa 7 band, masing-masing band


1 biru (0.450.52 m) 30 m, band 2 hijau (0.520.60 m) 30 m, band 3
merah (0.630.69 m) 30 m, band 4 Near-Infrared (0.760.90 m) 30 m,
band 5 Near-Infrared (1.551.75 m) 30 m, band 6 Thermal (10.4012.50
m) 120 m, dan band 7 Mid-Infrared (2.082.35 m) 30 m. Landsat-7
ETM+ membawa sensor ETM+ diluncurkan pada 15 April 1999 masing-
masing band 1 biru (0.450.52 m) 30 m, band 2 hijau (0.520.60 m) 30
m, band 3 merah (0.630.69 m) 30 m, band 4 Near-Infrared (0.770.90
m) 30 m, band 5 Near-Infrared (1.551.75 m) 30 m, band 6 Thermal
(10.4012.50 m) 60 m Low Gain/High Gain, band 7 Mid-Infrared
(2.082.35 m) 30 m, dan band 8 Panchromatic (PAN) (0.520.90 m)
15 m. Landsat-8 sebagai generasi terkini seri Landsat membawa sensor OLI
(Operational Land Imager) dan TIRS (Thermal Infrared Sensor). Sensor OLI
terdiri dari 9 band, yaitu: band 1 biru (0.430.45 m) 30 m, band 2 biru
(0.4500.51 m) 30 m, band 3 hijau (0.530.59 m) 30 m, band 4 Near-
Infrared (0.640.67 m) 30 m, band 5 Near-Infrared (0.850.88 m) 30 m,
band 6 SWIR 1(1.571.65 m) 30 m, band 7 SWIR 2 (2.112.29 m) 30
m, band 8 Panchromatic (PAN) (0.500.68 m) 15 m, dan band 9/Cirrus
band (1.361.38 m) 30 m. Sensor TIRS terdiri dari 2 band thermal, yaitu
band 10 TIRS 1 (10.611.19 m) 100 m, dan band 11 TIRS 2 (11.512.51
m) 100 m.
Sebagai pendukung dipergunakan data DEM SRTM resolusi 30 meter
dan Peta Batas Administrasi dari BIG tahun 2008. Data DEM SRTM
dipergunakan untuk memperkuat kesan topografi, sedangkan data Peta
Batas Administrasi dari BIG tahun 2008 dipergunakan sebagai peta acuan.

Metode Pengolahan dan Interpretasi Citra


Pengolahan citra meliputi fusi kanal, pembuatan citra komposit warna, dan
penajaman citra. Untuk data Landsat MSS dibuat komposit RGB 765 dan
754. Landsat TM dan ETM+ dibuat komposit RGB 543 dan 453, untuk
Landsat OLI dibuat komposit 654 dan 564. Penajaman citra dilakukan

105
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

dengan teknik perentangan kontras secara linier (linear contrast stretching)


dengan nilai default 1%.
Interpretasi geomorfologi dilakukan secara visual dengan mempergunakan
mulai dari data citra Landsat-1 yang kemudian dikomparasikan dengan
data sericitra
Pengolahan Landsat dengan
meliputi tanggal
fusi kanal, lebih baru.
pembuatan Interpretasi
citra komposit visual
warna, dandilakukan
penajaman citra. Untuk data L
berdasarkan
MSS dibuat kompositkunci-kunci
RGB 765 dan interpretasi, terutama
754. Landsat TM dan warna,
ETM+ bentuk,
dibuat pola, ukuran,
komposit RGB 543 dan 453, dan
Landsat letak,
OLI dibuat komposit 654 dan 564. Penajaman citra dilakukan dengan teknik perentangan kontras secar
dan asosiasi.
(linear contrast stretching) dengan nilai default 1%.
Interpretasi
Interpretasi land cover
geomorfologi dilakukan
dilakukan secarakhusus
visual untuk
denganwilayah lahan terbangun
mempergunakan mulai pada
dari data citra Landsat-1
kemudian kondisi terkini. Untuk
dikomparasikan denganpemisahan
data seri Landsat lahandengan
terbangun dari
tanggal jenis
lebih penutup
baru. lahanvisual dilakukan berda
Interpretasi
lainnya
kunci-kunci dipergunakan
interpretasi, terutama parameter
warna, bentuk, NDBI pola, (Normalized Difference
ukuran, letak, dan asosiasi. Build-up
Interpretasi
Index) dari data Landsat-8. Untuk membuat citra NDBI dari datakondisi
landcover dilakukan khusus untuk wilayah lahan terbangun pada terkini. Untuk pemisahan
Landsat-8
terbangun dari jenis penutup lahan lainnya dipergunakan parameter
dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (modifikasi dari NDBI (Normalized Difference Build-up Inde
data Landsat-8. Untuk membuat citra NDBI dari data Landsat-8 dilakukan dengan menggunakan persamaan
Zha et al. 2003):
berikut (modifikasi dari Zha et al. 2003):
b6 b5
NDBI = ........................ (1)
b6 + b5
Dimana b6 dan b5 berturut-turut adalah digital number kanal 6 dan kanal
5 Landsat-8 OLI.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Seri data Landsat mampu memperlihatkan dinamika permukaan lahan di Jakarta dari tahun 1973 hingga
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
(Gambar 1). Dari aspek penutup lahan, tampak peningkatan luas wilayah lahan terbangun, terutama permu
Sedangkan dari aspek bentuk lahan, terlihat perubahan bentuklahan di wilayah pesisir (bentuklahan marin).
Seri datadari
Hasil interpretasi Landsat mampu
citra, secara memperlihatkan
umum dinamika
tipe-tipe bentuklahan permukaan
di daerah lahan
Jakarta, dari di ke arah daratan melip
pantai
Jakarta
Datarandari tahunpantai
aluvial 1973 (Fluvio-marin
hingga 2014 (Gambar
plain), 1). Dari aspek penutup lahan,
tampak peningkatan
Beting gisik luas wilayah lahan terbangun, terutama permukiman.
(Beach ridge)
Sedangkan dari aspek
Daerah antar beting gisikbentuk lahan, terlihat perubahan bentuk lahan di
(Swale),
wilayah pesisir (bentuk lahan marin).
Rawa belakang (Backswamp),
Hasil interpretasi
Dataran dari citra, secara umum tipe-tipe bentuk lahan di daerah
banjir (Floodplain),
Jakarta, dari pantai ke arahplain),
Dataran aluvial (Alluvial daratan meliputi:
Kipas
Dataran
aluvialaluvial pantai
(Alluvial fan),(Fluvio-marin plain),
Saluran sungai
Beting gisik(River
(Beachcourse).
ridge)
Daerah antar beting gisik (Swale),
Proses geomorfologi yang dominan mempengaruhi daerah Jakarta adalah proses fluvial dan proses marin.
marin dominan berpengaruh di wilayah Utara (pesisir), sedangkan proses fluvial dominan berpengaruh di wilayah
dan Selatan.
Pada106citra Landsat-1 MSS RGB 754, dataran aluvial pantai berwarna abu-abu gelap (menunjukkan
kandungan air) dan berdekatan atau berbatasan dengan laut. Relief datar dan luas. Bentukla rentan tergen
dan termasuk zona rawan banjir kategori tinggi (Gambar 2). Berasosiasi dengan dataran banjir, di wilayah pesisir
pada tahun 1973 masih dijumpai adanya kompleks bentuklahan beting gisik (beach ridge) dan daerah antar betin
Pemanfaatan Data Landsat Multitemporal untuk
Zonasi Daerah Rawan Banjir di Jakarta Menggunakan Pendekatan Geomorfologi

Rawa belakang (Backswamp),


Dataran banjir (Floodplain),
Dataran aluvial (Alluvial plain),
Kipas aluvial (Alluvial fan),
Saluran sungai (River course).
Proses geomorfologi yang dominan mempengaruhi daerah Jakarta adalah
proses fluvial dan proses marin. Proses marin dominan berpengaruh di
wilayah utara (pesisir), sedangkan proses fluvial dominan berpengaruh di
wilayah tengah dan selatan.
Pada citra Landsat-1 MSS RGB 754, dataran aluvial pantai berwarna abu-abu
gelap (menunjukkan adanya kandungan air) dan berdekatan atau berbatasan
dengan laut. Relief datar dan luas. Bentuk lahan ini rentan tergenang air dan
termasuk zona rawan banjir kategori tinggi (Gambar 2). Berasosiasi dengan
dataran banjir, di wilayah pesisir Jakarta pada tahun 1973 masih dijumpai
adanya kompleks bentuk lahan beting gisik (beach ridge) dan daerah
antar beting gisik (swale). Beting gisik berbentuk punggungan (berbentuk
cembung) memanjang, berwarna kemerahan-terang (mengindikasikan
vegetasi dan drainase yang baik). Sedangkan swale berbentuk cekungan-
dangkal memanjang dan berwarna abu-abu gelap (indikasi air atau drainase
yang buruk), terletak di antara (diapit) beach ridge. Secara geomorfologi,
swale rentang tergenang air dan termasuk zona rawan banjir kategori tinggi,
sedangkan beting gisik jarang/tidak pernah tergenang air dan termasuk zona
tidak rawan banjir (Gambar 3).
Tipe bentuk lahan lainnya di Jakarta yang rentang tergenang air dan
termasuk zona rawan banjir kategori tinggi adalah dataran banjir (flood
plain) dan rawa belakang (backswamp). Dataran aluvial (alluvial plain) yang
sebarannya di Jakarta cukup luas masuk kategori sedang. Sedangkan kipas
alluvial (alluvial fan) jarang/tidak pernah tergenang air dan termasuk zona
tidak rawan banjir. Bentuk lahan yang cukup unik di Jakarta adalah wilayah
sempadan sungai (river course) yang pada tahun 1973 banyak dimanfaatkan

107
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

untuk lahan sawah, di tahun 2014 sudah banyak berubah menjadi lahan
permukiman. Bentuk 10 lahan tersebut pada periode banyak air (musim
hujan) akan banyak yang tergenang air (rawan banjir), namun pada musim
kemarau, air cenderung berkurang dan menyusut.

Landsat-1 MSS / 21 Agustus 1973 Landsat-2 MSS / 26 Juni 1978

Landsat-3 MSS / 28 Agustus 1982 Landsat-5 TM / 14 September 1997


Landsat-3 MSS / 28 Agustus 1982 Landsat-5 TM / 14 September 1997

108
Pemanfaatan Data Landsat Multitemporal untuk
Zonasi Daerah Rawan Banjir di Jakarta Menggunakan Pendekatan Geomorfologi

Landsat-7 ETM+ / 14 September 2001 Landsat-8 OLI / 13 September 2014

Gambar 1. Dinamika permukaan lahan di Jakarta dari 1973 hingga 2014


dari seri data Landsat

Tabel 2. Bentuk lahan penyusun daerah Jakarta dan pengenalannya dari


citra Landsat-1 MSS
BENTUKLAHAN KUNCI INTERPRETASI ZONA BANJIR
Fluvio-marin plain Warna gelap, dekat/berbatasan Tinggi
dengan laut
Beach ridge Warna merah, bentuk memanjang Rendah
searah garis pantai.
Swale Warna gelap, bentuk memanjang Tinggi
searah garis pantai, berasosiasi
dengan beach ridge
Backswamp Warna gelap, bentuk membulat, Tinggi
berasosiasi dengan beach ridge
Floodplain Warna gelap, bentuk membulat Tinggi
panjang, dekat sungai, berasosiasi
dengan sungai
Alluvial plain Warna merah-terang, bentuk Sedang
membulat panjang, berasosiasi,
relief datar

109
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Tabel 2. Bentuklahan penyusun daerah Jakarta dan pengenalannya dari citra


Landsat-1 MSS (lanjutan)
BENTUKLAHAN KUNCI INTERPRETASI ZONA BANJIR
Alluvial fan Warna merah-terang, bentuk Rendah
membulat panjang, seperti kipas.
River course Warna abu-abu gelap, pola sungai Tinggi
Keterangan: Warna pada citra Landsat-1 MSS RGB 754

c a
b

Tahun 1973 Tahun 2014

Gambar 2. Bentuk lahan dataran aluvial pantai (a), beting gisik (b), dan
daerah antara beting gisik (c)

d
e

Tahun 1973 Tahun 2014


Gambar 3. Bentuklahan rawa belakang (d) dan dataran aluvial (e)

110
Pemanfaatan Data Landsat Multitemporal untuk
Zonasi Daerah Rawan Banjir di Jakarta Menggunakan Pendekatan Geomorfologi

Tahun 1973 Tahun 2014


Gambar 4. Bentuk lahan kipas aluvial (f) dan saluran sungai (g)

Berdasarkan seri data Landsat dari tahun 1973 hingga 2014, tampak konversi
lahan secara besar-besaran menjadi lahan terbangun. Lahan terbangun di
tahun 2014 ini banyak yang menempati daerah yang sebelumnya merupakan
bentuk lahan yang masuk zona rawan banjir dataran alluvial pantai, daerah
antara beting gisik, dataran banjir, rawa belakang, daerah sempadan sungai
(Gambar 5).

c a
b

Tahun 1973 Sebaran permukiman tahun 2014


Gambar 5. Sebaran permukiman (coklat kemerahan) dikompilasi dengan
data daerah rawan banjir dataran aluvial pantai (a), beting gisik
(b), dan daerah antara beting gisik (c).

4. KESIMPULAN
Data Landsat multitemporal dapat dipergunakan untuk menyusun zonasi
daerah rawan banjir di Jakarta. Data Landsat MSS mampu memperlihatkan
kondisi geomorfologi daerah Jakarta yang memberikan gambaran daerah-

111
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

daerah mana saja yang pada masa lalu rawan terkena banjir. Penelitian ini
telah memberikan pemahaman bahwa daerah-daerah yang sering terlanda
banjir pada saat ini merupakan daerah-daerah yang pada masa sebelumnya
merupakan daerah yang secara geomorfologi sering tergenang air, seperti
dataran banjir, rawa belakang, dataran aluvial pantai, maupun daerah antar
beting gisik.

Ucapan Terima Kasih


Terima kasih diucapkan kepada Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh-
LAPAN.

DAFTAR PUSTAKA
Abidin, H.Z., H. Andreas, I. Gumilar, M. Gamal, Y. Fukuda, and T. Deguchi.
2009. Land Subsidence and Urban Development in Jakarta (Indonesia).TS
6F Mapping, Aerial Survey and Remote Sensing I.
Asriningrum, W., 2002. Studi Kemampuan Landsat ETM+ untuk Identifikasi
Bentuk lahan (Landforms) di daerah Jakarta-Bogor [Tesis]. Program
Pasca Sarjana IPB, Bogor.
Asriningrum, W., A.S. Hapip, H. Gunawan, I. Prasasti, A. Hidayat,
Sumardjo. 1998. Analisis daerah rentan banjir Jakarta dan sekitarnya
berdasarkan klasifikasi bentuk lahan dan penutup/penggunaan lahan
dari citra Jers-1. Majalah LAPAN. No. 85. Th XXII April 1998.
Horritt, M.S., D.C. Mason, A.J. Luckman. 2001. Flood boundary
delineation from synthetic aperture radar imagery using a statistical
active contour model. International Journal of Remote Sensing 22 (13):
24892507. [Diakses tanggal 20 Mei 2014].
Mathew, J., Jha, VK, dan Rawat, GS. 2007. Weights of Evidence Modelling
for Landslide Hazard Zonation Mapping in Part of Bhagirathi Valley,
Uttarakhand. Research Articles. Current Science, 628. 92(5). March
2007

112
Pemanfaatan Data Landsat Multitemporal untuk
Zonasi Daerah Rawan Banjir di Jakarta Menggunakan Pendekatan Geomorfologi

Richard, B.D. 1955. Flood Estimation and Control, Ed-3. London: Chapman
& Hall Ltd
Ritter, F. D. 1979. Process Geomorphology. Southern Illnuois Universityat
Carbondale. Iowa: Brown Co. Publishers Duque.
Sudaryoko, Y. 1987. Pedoman Penanggulangan Banjir. Jakarta: Badan
Penerbit Pekerjaan Umum.
Thornbury,W.D. 1954. Principles of Geomorphology, 2nd ed. New York: John
Wiley & Sons, Inc.
USGS, http://landsat.usgs.gov/Landsat8_Using_Product.php, diakses pada
2013-06-01 jam 03:48 pm
Xu, H., Huang, S., Zhang, T. 2013. Built-up land mapping capabilities of
the ASTER and Landsat ETM+ sensors in coastal areas of southeastern
China. Advances in Space Research, 52:14371449.
Zha, Y., Gao, J., Ni, S. 2003. Use of normalized difference built-up index
in automatically mapping urban areas from TM imagery. International
Journal of Remote Sensing, 24(3): 583594.
Zuidam, R.A van. 1985. Aerial Photo-Interpretation in Terrain Analysis and
Geomorphologic Mapping. The Netherlands: ITC Enschede.

113
APLIKASI PENGINDERAAN
JAUH UNTUK MENILAI
DAMPAK PENGGUNAAN
LAHAN TERHADAP SURPLUS
AIR DI DAS CILIWUNG

Nur Febrianti, Parwati Sofan, dan Indah Prasasti


Peneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN
E-mail: nfebrianti@lapan.go.id; nfebrianti@gmail.com

ABSTRAK
Analisis kondisi surplus air berdasarkan parameter dari data penginderaan
jauh dan korelasi dengan perubahan penggunaan lahan di DAS Ciliwung.
Data yang digunakan untuk memperoleh parameter neraca air hujan dari
TRMM periode 3 jam, evapotranspirasi dari MODIS periode data 8 hari,
sementara penggunaan lahan perubahan Landsat 7 ETM + antara 2004
dan 2007. Data sekunder adalah sistem tanah dari Departemen Pertanian
dan data elevasi tanah serta kemiringan SRTM 30 meter. Metode yang
digunakan untuk perhitungan neraca air adalah metode Thornthwaite dan
Mather yang telah dimodifikasi. Metode ini cukup representatif untuk
digunakan dalam perhitungan neraca air. Dari hasil penelitian terlihat
bahwa terjadi perubahan curah hujan dimana pada tahun 2007 curah hujan
relatif jauh lebih tinggi dari kejadian hujan 2004 dimana selisih perubahan
tertinggi yang terjadi pada periode 033 (0209 Feb) mencapai lebih dari
200 mm. Perubahan juga terjadi pada kondisi luas daerah tutupan hutan
dan sawah tahun 2007 yang telah mengalami penurunan dari tahun 2004,
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

namun pemukiman terus meningkat sehingga surplus air pada periode 033
tahun 2007 jauh lebih besar dari 2004 yaitu meningkat 50 hingga 100 mm.
Disimpulkan, bila tutupan lahan Jakarta hingga saat ini masih sama dengan
kondisi 2007 maka curah hujan sesaat namun lebih dari 20 mm sudah dapat
menimbulkan genangan dibeberapa kawasan.
Kata Kunci: kelebihan air, MODIS, penginderaan jauh, TRMM

ABSTRACT
This study is about analyzing water surplus conditions based on parameters from
remote sensing data and correlation with land cover changes in the Ciliwung
watershed. Rainfall was estimated by TRMM 3 hour period, the evapotranspiration
was from 8-day MODIS satellite data, and Landsat 7 ETM+ satellite imageries
between 2004 and 2007 were used for land use changes analysis. Others data
is the soil type map issued by the Ministry of Agriculture and SRTM with the
spatial resolution of 30 m. The water balance calculation used the modified
Thornthwaite and Mather method. This method is representative enough to be
used in the calculation of the water balance. From the research it appears that
there is a change of rainfall in 2007 where rainfall is relatively much higher
than 2004 rain events where the highest difference in the changes that occurred
during the period 033 (February 2 to 9) reaches more than 200 mm. Changes
also occurred in the conditions of the area of forest cover and rice fields in 2007
which has declined from 2004, but the settlement continued to increase. So the
surplus water in period 033 2007 is much greater than 2004 that is an increase
of 50 to 100 mm. Changes in vegetation cover can be lowered value of rainfall
becomes runoff, while the condition of land cover changes into a settlement does
not occur difference in rainfall with water surpluses occur.
Key word: MODIS, remote sensing, TRMM, water surplus

116
Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Menilai Dampak Penggunaan Lahan
Terhadap Surplus Air di Das Ciliwung

1. PENDAHULUAN
Hujan deras dalam waktu singkat yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya
sangat sering menyebabkan terbentuknya genangan bahkan banjir di
beberapa tempat. Kelebihan air ini dapat dipantau dari informasi neraca
air. Neraca air merupakan neraca air yang masuk dan keluar disuatu tempat
pada periode tertentu.
Model neraca air cukup banyak, namun yang biasa dikenal terdiri dari tiga
model yang dibedakan berdasarkan objeknya, yaitu model neraca air umum,
model neraca air lahan, dan model neraca air tanaman (Nasir dan Effenddy,
1999). Perhitungan neraca air Doorenbos dan Pruitt (1977), merupakan
perhitungan nilai rata-rata curah hujan selama beberapa tahun pengamatan.
Curah hujan di permukaan tanah akan ditentukan oleh karakteristik
permukaan sifat fisik tanah penutup, tutupan vegetasi dan karakteristik
permukaan air di badan air seperti sungai dan cekungan yang menahan air.
Akhirnya, sebagai output adalah limpasan dan evapotranspirasi.
Evapotranspirasi perlu dibedakan menjadi evapotranspirasi potensial (ET)
dan evapotranspirasi aktual (AE). ET lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor
meteorologi (radiasi panas matahari dan suhu, kelembaban atmosfer, serta
angin). Sementara, AE lebih dipengaruhi oleh faktor fisiologi tanaman dan
unsur tanah.
Surplus air telah didefinisikan sebagai bagian dari curah hujan yang tidak
menguap sehingga berpengaruh terhadap sumber daya air (permukaan dan
aliran air tanah). Berdasarkan neraca air tanah (vertikal), gagasan surplus
merupakan kontribusi dari semua area dasar hingga sumber daya air secara
keseluruhan diproduksi dalam DAS diberikan. Surplus baik infiltrat air
untuk mengisi ulang akuifer atau lari ke sungai. Begitu air mulai mengalir,
itu tunduk pada kerugian penguapan, menghasilkan penurunan sumber
daya air yang tersedia.

117
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Kerugian ini tergantung pada sejumlah faktor, terutama ukuran dan


kegersangan wilayah sungai: lebih kecil dan lebih lembab cekungan adalah
semakin dekat surplus akan ke sumber daya air yang sebenarnya. Hasil neraca
air karena itu merupakan indikator yang cukup baik dari sumber daya air
yang dianggap sebagai jumlah dari surplus semua jaringan sungai.
Distribusi waktu dari data yang digunakan untuk model dapat juga
menyebabkan penurunan jumlah kelebihan air sebenarnya yang tersedia
di permukaan dan air tanah. Ketika curah hujan ditandai dengan beberapa
peristiwa tersebar di musim hujan model dibuat secara bulanan tidak dapat
mereproduksi surplus yang dikeluarkan dari hujan deras. Di daerah lembab,
di mana curah hujan lebih merata, perubahan surplus kurang signifikan.
Hujan di kawasan Puncak, Bogor, dan Depok bannyak memberikan
sumbangan air ke wilayah Jakarta, maka perlu diperhatikan kemampuan
penyimpanan air di daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung tersebut. Perubahan
sistem penggunaan lahan di DAS Ciliwung akan sangat mempengaruhi
besarnya air yang dilimpaskan.
DAS Ciliwung merupakan DAS yang paling berpengaruh terhadap kondisi
sistem hidrologi di wilayah Jakarta. Daerah permukiman di DAS Ciliwung
diyakini telah berkembang pesat seiring dengan meningkatnya jumlah
penduduk di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Adanya ketidakseimbangan
antara kebutuhan dan ketersediaan air tanah menyebabkan minimnya
ketersediaan air pada musim kering dan melimpahnya air bahkan menjadi
banjir pada musim hujan.
Oleh karena itu diperlukan suatu sistem yang dapat memberikan informasi
kondisi surplus air di wilayah DAS Ciliwung untuk mengantisipasi dampak
kerugian yang dapat ditimbulkannya. Sejauh ini penelitian mengenai kondisi
neraca air di kawasan DAS Ciliwung menggunakan remote sensing belum
banyak dilakukan karena kebanyakan pengolahan hanya menggunakan
data stasiun. Untuk itu, pada penelitian ini akan dilakukan analisis kondisi
neraca air dari data penginderaan jauh, serta kaitannya dengan perubahan
lahan di DAS Ciliwung.

118
Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Menilai Dampak Penggunaan Lahan
Terhadap Surplus Air di Das Ciliwung

2. BAHAN DAN METODOLOGI


Lokasi penelitian ini adalah DAS Ciliwung (60 10 60 50 LS dan 1060 49
10702 BT). Itu melewati Jawa Barat ke Jakarta. DAS Ciliwung merupakan
salah satu sungai di wilayah Jakarta. Menurut Departemen Lingkungan
(2013), DAS Ciliwung telah menjadi DAS kritis, di mana dari luas 37.472
ha dengan panjang sungai utama 117 km karena hanya memiliki hutan
seluas 3.709 ha atau 9.8% dari luas DAS.
Data curah hujan adalah dari satelit Tropical Rainfall Measuring Mission
(TRMM) 3B42 dengan resolusi temporal 3 jam-an yang memiliki resolusi
spasial 0.250 ( 27.75 km) pada tahun 2004 dan 2007. Data TRMM ini di
interpolasi menjadi ukuran 1 km x 1 km, dan di akumulasi menjadi data 8
harian.
Reflektansi dari satelit Terra / Aqua Moderate Resolution Imaging Spectro-
radiometer (MODIS) digunakan untuk mengukur suhu permukaan tanah
(lst) dan Enhanced Vegetation Index (EVI), yang memiliki resolusi spasial
250 meter dengan jangka waktu 8 setiap hari pada tahun 2004 dan 2007.
Peta jenis tutupan lahan/penggunaan lahan diperoleh dari hasil pengolahan
data Landsat ETM+. Data ini memiliki resolusi spasial 30 meter dan resolusi
temporal 16 harian, pada tahun 2004 dan 2007. Data sekunder yang
digunakan antara lain adalah data jenis tanah (Gambar 1) dari Kementerian
Pertanian dan data elevasi tanah dari SRTM dengan resolusi spasial 30 m.

119
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Gambar 1. Jenis tanah di DAS Ciliwung

Metode yang digunakan untuk perhitungan neraca air menggunakan


metode Thornthwaite dan Mather yang telah dimodifikasi. Perbandingan
plot untuk input presipitasi (PERCIP) dan output evapotranspirasi potensial
(Potet) menentukan kondisi lingkungan kelembaban tanah. Pola khas musim
semi surplus, pemanfaatan kelembaban tanah musim panas, musim panas
defisit kecil, musim gugur mengisi ulang kelembaban tanah, dan berakhir
kelebihan (Gambar 2).

120
Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Menilai Dampak Penggunaan Lahan
Terhadap Surplus Air di Das Ciliwung

Gambar 2. Contoh rata-rata komponen neraca air tahunan (CP Komar, 2012)

Diagram alir penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 3. Konsep neraca air
lahan dirumuskan sebagai berikut (Thornwaite and Mather, 1957):
Input = Output, maka kelebihan air (WS) terjadi saat Masuk > Keluar.
Kelebihan air, adalah volume air yang akan masuk kepermukaan tanah,
maka:
WS = (PEt) SS, dan 0 jika (PEt) < SS.............................. (1)
Curah hujan (P), adalah curah hujan yang terjadi pada saat itu. Penyimpanan
tanah (SS), adalah perubahan volume air yang ditahan oleh tanah yang
besarnya tergantung pada (PEt), soil storage 8 harian sebelumnya.
Kelembaban tanah (SM) adalah volume air untuk melembabkan tanah yang
besarnya tergantung (PEt). Kondisi penyimpanan tanah dan kelembaban
tanah menggunakan data 8 harian sebelumnya.

121
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Informasi spasial evapotranspirasi potensial diduga dengan menggunakan


data EVI dan suhu permukaan tanah (Ts). Perubahan suhu udata (dT)
diduga menggunakan EVI dan Ts dengan persamaan regresi (Domiri,
2012).
dT = -22.79 + 1.6032 EVI + 0.8296 Ts.................................. (2)
dimana: dT = TsTu; maka Tu = TsdT
Tu : suhu udara; Ts = Suhu Permukaan
RH : Kelembaban udara = ea/es = 1/(1.21 + 0.0202 dT + 0.00191 dT2)..(3)
ea : tekanan uap aktual
es : tekanan uap jenuh dapat dihitung dengan formula (Handoko, 1994):
es = 6.108 exp((17.27 * Tu)/(Tu + 237.3))............................. (4)
Defisit tekanan uap (De) = es (1-RH)...................................... (5)
Et = 10.398 De(0.639)........................................................... (6)

Gambar 3. Diagram alir penelitian

122
Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Menilai Dampak Penggunaan Lahan
Terhadap Surplus Air di Das Ciliwung

3. HASIL DAN ANALISIS


Dari hasil pengolahan diperoleh rata-rata curah hujan (Gambar 4) sepanjang
tahun 2004 kisarannya tidak terlalu jauh yaitu 296 mm per 8 harian di
mana puncak hujan tersebut terjadi di periode 321 (1623 November 2004).
Sementara kondisi curah hujan sepanjang tahun 2007 sangan berfluktuasi
dimana maksimum mencapai 315 mm per 8 harian yang terjadi pada
periode 337345 (217 Desember 2007). Tingginya curah hujan rata-rata
di 2007 berpotensi menghasilkan surplus air yang tinggi terutama pada lahan
terbuka dan pemukiman. Dengan demikian, selain curah hujan surplus air
juga sangat dipengaruhi oleh kondisi penggunaan tutupan lahan/tanah.

Gambar 4. Rata-rata curah hujan DAS Citarum pada 2004 dan 2007

123
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

2004 2007

Gambar 5. Penggunaan lahan di DAS Ciliwung pada tahun 2004 dan 2007

Kondisi tutupan lahan DAS Ciliwung dapat dilihat pada Gambar 5.


Tutupan hutan hanya terdapat di wilayah hulu DAS Ciliwung yang
mengalami penurunan pada 2007 dari kondisi tahun 2004. Kondisi tersebut
berbanding terbalik dengan daerah perkotaan (tutupan pemukiman) di
mana pada tahun 2007 mengalami peningkatan dari kondisi tahun 2004.
Pertumbuhan daerah perkotaan yang paling menonjol terjadi di hilir DAS
Ciliwung meskipun pertumbuhan di tengah Ciliwung juga cukup cepat.
Pengurangan penggunaan lahan hutan dan sawah, sedangkan penambahan
terjadi pada penggunaan lahan sebagai pemukiman dan perkebunan. Kawasan
hutan telah menurun dan lahan berubah menjadi daerah pemukiman ini
adalah berita buruk karena akan membuat lebih banyak curah hujan berubah
menjadi kelebihan air dan memiliki potensi untuk limpasan dan akhirnya
banjir.

124
Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Menilai Dampak Penggunaan Lahan
Terhadap Surplus Air di Das Ciliwung

Curah hujan, tutupan lahan, dan jenis tanah akan membantu menentukan
kondisi kapasitas menahan air di dalam tanah. Pada Gambar 6 menunjukkan
bahwa wilayah tersebut memiliki kapasitas menahan air besar lebih dari 300
mm hanya di hulu Ciliwung. Secara umum, daerah perumahan memiliki
kemampuan menyerap air sangat kecil yang kurang dari 10 mm. Hal ini
dikarenakan permukaan tanah memiliki banyak tertutup semen dan aspal
sehingga tidak ada yang dapat menyerap air.

2007

2004 2007

Gambar 6. Kapasitas menahan air di DAS Ciliwung pada tahun 2004 dan 2007

125
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Dari hasil analisis diketahui bahwa terjadi penurunan kemampuan menahan


air 50 hingga 300 mm, di mana penurunan terbesar terjadi di kawasan hutan
(hulu DAS Ciliwung). Hal ini disebabkan perubahan tutupan lahan hutan
menjadi semak belukar dan perkebunan. Selain terjadi penurunan, ternyata
terjadi juga peningkatan simpanan air tanah berkisar antara 10 hingga lebih
dari 275 mm. Peningkatan tertinggi terjadi dari tutupan lahan terbuka yang
berubah menjadi semak belukar. Namun, perubahan terbanyak terjadi pada
kelas tutupan lahan terbuka yang berubah menjadi kebun campur.
Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa surplus air pada tahun 2004 masih
dalam kondisi normal tidak seperti yang terjadi pada tahun 2007. Surplus
air pada periode 25 Januari1 Februari 2007 bagian Ciliwung hulu, tengah,
dan hilir Ciliwung sudah cukup tinggi mencapai lebih dari 20 mm/8 hari.
Kondisi ini diperburuk oleh hujan lebat pada periode berikutnya sehingga
air surplus periode 29 Februari 2007 mencapai lebih dari 40 mm/8 hari
karena itu selama periode ini, Jakarta mengalami banjir besar (13 Februari
2007).
Dari hasil penelitian terlihat bahwa terjadi perubahan curah hujan dimana
pada tahun 2007 curah hujan relatif jauh lebih tinggi dari kejadian hujan
2004 dimana selisih perubahan tertinggi yang terjadi pada periode 033 (29
Feb) mencapai lebih dari 127 mm/jam. Perubahan juga terjadi pada kondisi
luas daerah tutupan hutan dan sawah tahun 2007 yang telah mengalami
penurunan dari tahun 2004, namun pemukiman terus meningkat sehingga
surplus air pada periode 033 tahun 2007 jauh lebih besar dari 2004 yaitu
meningkat 50 hingga 100 mm.

126
Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Menilai Dampak Penggunaan Lahan
Terhadap Surplus Air di Das Ciliwung

25 Jan 01 Feb 2004 02 09 Feb 2004 25 Jan 01 Feb 2007 02 09 Feb 2007

Gambar 7. Surplus air di DAS Ciliwung

Kondisi terakhir dari perubahan (Gambar 8 dan Tabel 1) terlihat bahwa LU/
LC (2007) berupa hutan, rumput, dan tegalan (vegetasi) walaupun perubahan
curah hujan yang terjadi cukup besar namun tetap dapat menghasilkan
surplus air yang lebih kecil dari curah hujannya. Sementara untuk LU/LC
berupa pemukiman surplus air yang terjadi hampir sama besar dengan curah
hujannya. Dengan kata lain di lokasi pemukiman hampir seluruh curah
hujan yang terjadi akan menjadi surplus.

127
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Gambar 8. Perubahan pada periode 033 (29 Feb) kondisi 2007 dari kondisi 2004

Tabel 1. Perubahan tutupan lahan, curah hujan, dan perubahan surplus air
pada periode 033 (29 Feb) kondisi 2007 dari kondisi 2004
LU/ LC Curah hujan Surplus air
Tetap Hutan 127 113
Menjadi Rumput 127 85
Menjadi Tegalan 116 65
Menjadi Pemukiman 22 22
Tetap Pemukiman 22 22
Selain itu dari penelitian ini terlihat bahwa banjir yang terjadi di Jakarta
tidak benar secara keseluruhan akibat hujan di Bogor karena penelitian ini
masih belum memasukkan unsur aliran permukaan sehingga banjir yang
terjadi akibat dari curah hujan dan tutupan lahan di wilayah tersebut saja.

128
Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Menilai Dampak Penggunaan Lahan
Terhadap Surplus Air di Das Ciliwung

4. KESIMPULAN
Surplus air (kelebihan air) pada suatu daerah sangat dipengaruhi oleh kondisi
curah hujan dan tutupan lahan di suatu daerah. Dari hasil penelitian terlihat
bahwa terjadi perubahan curah hujan dimana pada tahun 2007 curah hujan
relatif jauh lebih tinggi dari kejadian hujan 2004 dimana selisih perubahan
tertinggi yang terjadi pada periode 033 (29 Feb) mencapai lebih dari 127
mm/jam. Perubahan juga terjadi pada kondisi luas daerah tutupan hutan
dan sawah tahun 2007 yang telah mengalami penurunan dari tahun 2004,
namun pemukiman terus meningkat sehingga surplus air pada periode
033 tahun 2007 jauh lebih besar dari 2004 yaitu meningkat 50 hingga
100 mm. Tutupan lahan yang berubah menjadi vegetasi masih akan dapat
menurunkan nilai surplus air dari curah hujan yang terjadi, sedangkan pada
tutupan pemukiman hampir seluruh curah hujan menjadi surplus air.

Saran
Penelitian ini akan lebih baik bila dilakukan perhitungan periode curah
hujan harian karena periode curah hujan 8 harian terlalu panjang sehingga
tidak terlalu akurat. Selain itu model ini hanya menduga surplus air yang
berpotensi menjadi limpasan akibat kelebihan curah hujan tanpa ada proses
aliran permukaan.

Ucapan Terima Kasih


Terima kasih diucapkan kepada Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh
LAPAN. Paper ini merupakan bagian penelitian inhouse yang didanai oleh
DIPA Pusfatja tahun anggaran 2013.

DAFTAR PUSTAKA
Domiri, D. D. 2012. Model Spasial Kerentanan Produksi Beras Menggunakan
Teknologi Inderaja dan SIG, Studi Kasus di Kabupaten Indramayu,
Jawa Barat [Disertasi] IPB.

129
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Doorenbos J. and Pruitt WO. 1977. Guidelines for predicting crop water
requirements, FAO irrigation and drainage paper,No. 24, Food and
Agriculture Organization, Rome, Italia.
Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. Jakarta: Pustaka Jaya.
http://www.fao.org/nr/water/aquastat/watresafrica/index4.stm, (accessed
on 1st July 2013).
Kementrian Lingkungan Hidup. 2013. Pelatihan pemantauan kesehatan
DAS Ciliwung dengan metode Biotilik. http://www.menlh.go.id/
pelatihan-pemantauan-kesehatan-das-ciliwung-dengan-metode-
biotilik/, (accessed on 1st July 2013).
Komar CP. 2012. Water Balance Analysis. Persentation.
Nasir AA., dan Effenddy S.. 1999. Analisis neraca air dan pola tanam.
Pelatihan Dosen-Dosen PTN Indonesia bagian barat dalam bidang
agroklimatologi, (2) Bogor.
Suwargana, Nana. 2010. Model Kajian Sebaran Run-Off untuk Mendukung
Pengelolaan Sistem DAS Menggunakan Data Penginderaan Jauh (Studi
Kasus DAS Ciliwung). Seminar Nasional Limnologi V tahun 2010.
Thornwaite CW. and Mather JR. 1957. Instruction and tabels for
computing potential evapotranspiration and water balance. Publication
in Climatology 10(3).
Wang, Q.J, McConachy, F.L.N, and Chiew, F.H.S. 2001. Maps of
evapotranspiration. 14.
Westernbroek, S.M, V.A. Kelson, W.R Dripps, R.J Hunt, and K.R Bradbury.
2010. SWB A Modified Thornthwaite Mather Soil Water Balance Code
for Estimating Groundwater Recharge. USGS Groundwater resource
program Techniques and Methode 6-A31.

130
PERAN INFORMASI
GEOSPASIAL UNTUK ARAHAN
UPAYA KONSERVASI AIR DI
KABUPATEN BOGOR GUNA
MITIGASI BENCANA BANJIR
JAKARTA
Kris Sunarto
Badan Informasi Geospasial
E-mail: sunarto02@yahoo.com

ABSTRAK
Konservasi air merupakan upaya pengelolaan keseimbangan ketersediaan
air tanah untuk kebutuhan kelestarian lingkungan hidup. Setiap satuan
kawasan mempunyai ciri khas kondisi geografik yang mencerminkan
karakter kesesuaian jenis konservasi air. Karakter kesesuaian tersebut dapat
diketahui sebarannya dan baik untuk dilakukan. Konservasi di daerah hulu
sangat diperlukan dan harus diupayakan guna menekan bencana hidrologis
di daerah setempat maupun wilayah hilir yang terlanda lebih berat. Bencana
hidrologis dapat berupa banjir, kekeringan, ataupun rusaknya kualitas air
permukaan maupun air tanah dalam aquifer. Aplikasi konservasi yang salah
dapat menimbulkan bencana yang lebih besar dan sulit ditanggulangi. Agar
upaya konservasi berhasil, maka perlu diketahui kawasan yang sesuai untuk
suatu jenis resapan dalam upaya konservasi. Dengan analisis data dan informasi
geospasial dengan cara atau metode Sistem Informasi Geografik (SIG),
peta arahan upaya konservasi dapat diketahui dan diungkapkan. Dengan
menggunakan data dan informasi yang berperan sebagai pengarah kemudian
dilakukan upaya konservasi yang serius serta ditopang dengan program
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

dan sosialisasi terus menerus maka akan tercapai keberhasilan konservasi


yang lestari. Langkah pertama adalah memahami apa saja konservasi yang
sudah dilakukan dan akan selalu diupayakan, di mana sebaiknya dilakukan,
mengapa dilakukan, kapan dilakukan, siapa saja yang melakukan, dan
bagaimana konservasi sebaiknya dilakukan. Indikasi keberhasilan konservasi
berupa berkurangnya banjir pada musim hujan maupun kecukupan air pada
musim kemarau. Kajian kondisi bentang geografis dan informasi geospasial
sangat membantu mengungkapkan masalah konservasi air, tanah, ataupun
vegetasi termasuk hutan, serta terhindar dari proses gurunisasi. Koordinasi
lintas daerah administratif dan variasi kesadaran berkonservasi memerlukan
sosialisasi, koordinasi, dan perencanaan yang semakin baik. Mulai dari
perencanaan hingga pelaksanaan konservasi upaya pemeliharaan sangat
diperlukan di segala waktu dan tempat. Keberhasilan konservasi memerlukan
penanganan yang terencana, konsisten, dan dilaksanakan secara bersama
oleh pemerintah, swasta, dan berbagai lapisan masyarakat. Untuk itu dalam
penyusunan bagian dari buku ini diawali dengan koleksi data dan informasi
geospasial dari beberapa kajian sebelumnya serta berbagai jenis konservasi
yang sudah dilakukan. Dalam tulisan ini juga berbagai pengertian tentang
jenis resapan diungkapkan agar menumbuhkan pengetahuan, minat, dan
semangat dalam keterlibatan serta kesadaran berupaya melakukan konservasi.
Konservasi air, lahan, dan vegetasi atau tumbuh-tumbuhan merupakan
suatu langkah yang perlu disinergikan. Cakupan wilayah konservasi air di
Kabupaten Bogor bermakna sebagai upaya mitigasi banjir untuk wilayah
Ibu Kota Jakarta yang posisinya ada di wilayah hilir hingga wilayah pesisir.
Sebaran wilayah kesesuaian jenis konservasi air dan tipe resapan dalam bentuk
peta dapat digunakan sebagai arahan penerapan upaya konservasi. Melalui
tulisan ini dapat diharapkan keberhasilan konservasi yang memerlukan
pengorbanan biaya, tenaga, dan waktu melalui upaya yang serius. Kegunaan
tulisan ini adalah sebagai masukan bagi para pihak, baik pemerintah, swasta,
masyarakat hingga kesadaran perorangan untuk ambil bagian sebagai
pelaksana konservasi.
Kata Kunci: Data dan Informasi Geospasial, Jakarta, Konservasi Air, Mitigasi
Banjir

132
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

1. PENDAHULUAN
Banjir besar kota Jakarta sering diasumsikan sebagai banjir kiriman atau
pasokan dari daerah Bogor. Banjir besar Jakarta dapat terjadi oleh banyak
faktor, baik hujan lokal yang sangat lebat dan lama, dapat juga menderita
banjir genangan dampak pasang surut yang tinggi dan disertai hujan lebat,
dapat juga terjadi dengan kombinasi tambahan, yaitu kiriman dari daerah
hulu yaitu dari wilayah Bogor. Kejadian banjir paling fatal jika ketiganya
terjadi bersamaan adalah jika masing-masing pada posisi puncak antara
banjir rob, hujan lebat setempat, dan menerima pasokan dari Bogor. Untuk
itu, konservasi air di wilayah hulu maupun hilir merupakan salah satu upaya
mitigasi yaitu memperingan bencana banjir besar wilayah hilir. Banjir wilayah
hilir tidak mungkin ditiadakan sama sekali, namun dapat diperingan melalui
keberhasilan upaya konservasi. Banjir tidak mungkin ditiadakan, namun
diperingan dari keparahan alias dilakukan mitigasi. Tidak ada seorang pun
yang dapat dan mampu mengeliminasi banjir dalam kapasitas besar tanpa
kebersamaan dalam pelaksanaan konservasi secara bersama, terencana, dan
berkelanjutan. Konservasi air hujan berhasil jika terbukti dengan kasat mata
minimnya limpasan permukaan, kecilnya material berupa lumpur dan
berbagai benda terangkut pada saat banjir, dan kecilnya amplitudo tingginya
permukaan atau genangan aliran sungai pada musim kemarau dengan musim
penghujan. Pada sisi lain keberhasilan konservasi jika ketersediaan air tanah
menjadi lebih tersedia hingga musim kemarau panjang atau musim kering.
Ada sebagian masyarakat yang berfikir dan berpendapat bahwa konservasi
adalah perihal yang paradox
ks, yaitu bahwa konservasi dilakukan di wilayah hulu dan yang menikmati
wilayah hilir. Pendapat tersebut tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak
benar. Mengapa demikian, karena konservasi memang perlu dan bahkan wajib
dilakukan di hampir segala tempat, namun berbeda jenis maupun caranya.
Bagaimanapun konservasi air merupakan upaya pengelolaan kecukupan
dan keseimbangan kebutuhan air tanah pada suatu kawasan yang beraneka
ragam kondisinya. Bencana hidrologis dapat terjadi pada suatu wilayah yang

133
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

sering mengalami kelebihan maupun kekurangan air. Banjir merupakan


salah satu dampak kelebihan air pada suatu saat, baik bersifat menggenang
maupun aliran cepat sehingga disebut sebagai banjir bandang. Selain itu,
ada pula banjir rob dampak pasang air laut yang bersifat periodik, namun
dapat juga terjadi genangan sangat besar jika terjadi kasus penumpukan
masa air oleh tenaga angin maupun proses alam lainnya yang luar biasa.
Sebaliknya kekeringan merupakan kekurangan air bagi tumbuhan, hewan,
maupun manusia dalam jumlah besar atau waktu lama sehingga berdampak
layu, mati, dan kepunahan. Kondisi ekstrem dari kekurangan air yang besar
dan jangka waktu yang lama dapat mengarah kepada proses gurunisasi atau
proses perubahan dari lahan subur, rindang, dan segar menjadi terbuka,
kering, dan menjadi gurun. Salah satu solusi tersebut perlu perencanaan dan
penerapan yang melibatkan berbagai jenis konservasi, melibatkan berbagai
pihak, serta harus diupayakan pemeliharaan dan peningkatan kapasitas
resapan. Pada bab ini penulis membatasi diri pada upaya konservasi air yang
telah diterapkan dengan beberapa tambahan gagasan baru.
Untuk menjabarkan pengertian tentang apa dan apa saja konservasi, konservasi
yang sudah dan akan diupayakan, di mana sebaiknya dilakukan, mengapa,
kapan, siapa saja dan bagaimana konservasi dilakukan, maka pokok maupun
sub tema ini akan selalu didukung dengan data dan informasi geospasial.
Data dan infromasi geospasial yang perlu diungkapkan mulai dari jenis data
yang digunakan, analisis yang dilakukan, serta wilayah mana yang dapat
diaplikasikan konservasi berdasarkan jenisnya serta beberapa contoh aplikasi
yang sudah ada. Dengan segala keterbatasan dan kekurangan, buku ini tetap
akan mengungkapkan seoptimal mungkin model kajian maupun pandangan
hingga kesimpulan dan saran demi keberhasilan aplikasi konservasi yang
mendukung tujuan yaitu mitigasi bencana banjir sebagian wilayah Ibu Kota
Jakarta.
Untuk mengantar pengertian dan menumbuhkan kesadaran akan konservasi,
maka pada awal tulisan ini akan disampaikan beberapa pengertian tentang
siklus hidrologi, konservasi dan prinsipnya, kontribusi data dan informasi
geografi untuk perencanaan wilayah, serta dampak kegagalan konservasi.

134
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

Siklus Hidrologi
Pemahaman tentang siklus hidrologi perlu dipunyai dan bahkan didalami
bersama sehingga dalam upaya konservasi mempunyai cara berpikir dan
bertindak pada titik pijakan yang sama, tahapan seimbang, hingga bentangan
lokasi keberhasilan yang luasnya mencakup berbagai hal untuk dinikmati
bersama. Gambar berikut ini menjelaskan bahwa pada mulanya awan
mengalami kondensasi sehingga menurunkan hujan. Hujan yang jatuh di
atas pohon maupun yang menguap kembali ke langit yang disebut sebagai
evavorasi dan evapotranspirasi telah mengurangi air hujan yang jatuh ke
tanah. Air yang pada umumnya jatuh ke permukaan tanah sebagian meresap
secara alami, meresap melalui upaya konservasi antara lain sumur resapan,
sebagian mengalir melalui aliran permukaan dan sebagian terbuang ke parit,
masuk bendungan maupun ke sungai besar, sebagian masuk danau, saluran
irigasi dan sebagian mengalir sampai muara dan laut. Semua air dimanapun
dapat menguap kembali menjadi awan dan menjadi hujan, demikian
seterusnya air berputar dengan siklus yang demikian sepanjang zaman.

135
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Prinsip konservasi air


Pada prinsipnya konservasi air merupakan upaya menjaga keseimbangan
antara pemasukan/peresapan air ke dalam tanah maupun media resapan
lainnya dengan pengeluaran dari dalam tanah maupun laju limpasan
permukaan. Konservasi bermaksud memperingan ancaman bencana banjir
pada musim hujan dan mempertahankan ketersediaan dan kecukupan
kandungan air tanah agar pada musim kemarau persediaannya masih relatif
cukup atau menekan bencana kekeringan. Dengan demikian, konservasi
bermaksud meredam timbulnya bencana hidrologis baik pada musim limpah
air maupun musim terbatasnya stok air permukaan dan air tanah.

Kontribusi data dan Informasi Geospasial dalam


upaya konservasi
Besar kecilnya kontribusi data dan Informasi Geospasial tergantung
bagaimana data digunakan, oleh siapa, bagaimana menggunakan, dimana
digunakan, mengapa perlu digunakan serta apa saja gunanya. Identifikasi
kebutuhan data dan informasi geospasial merupakan jembatan kesulitan
antara kebutuhan data dengan ketersediaan data yang pada umumnya
terbatas ketersediaannya maupun kualitas serta belum standarnya data.
Untuk kajian Sistem Informasi Geografik, data yang standar merupakan
pokok perhatian. Data yang standar akan mempermudah pekerjaan analisis.
Demikian juga dalam hal kecepatan dan akurasi data.
Konservasi air wajib dilakukan karena kondisi penutup lahan dan media
resap mengalami degradasi yang semakin parah. Upaya konservasi yang
benar dapat menjaga keseimbangan kebutuhan air tanah. Sebaliknya jika
salah konservasi atau tidak dilakukan konservasi, maka akan berdampak
pada bencana hidrologik, baik berupa banjir, kekeringan, degradasi lahan,
dan bahaya kepekatan limbah dan pencemaran, baik pencemaran permukaan
maupun pencemaran air tanah.

136
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

Maksud dan Tujuan


Maksud tulisan ini adalah menyampaikan gambaran secara spasial sebaran
wilayah yang cocok atau sesuai untuk dilakukan beberapa jenis konservasi air
melalui proses resapan. Melalui data dan informasi spasial, timbul gagasan
dan upaya tentang berbagai jenis konservasi air yang dapat diprogramkan
dan laksanakan di wilayah kajian (Bogor, bagian hulu beberapa sungai yang
mengalir ke Jakarta).
Tujuan atau sasarannya agar masalah konservasi air dipahami oleh semua
pihak, disosialisasikan, diprogramkan, dan dilaksanakan secara bersama
hingga berdampak positif yaitu keberhasilan mitigasi bencana hidrologis,
baik berupa banjir, kekeringan, dan pencemaran, khususnya daerah DKI
Jakarta.
Penelitian tentang konservasi yang meliputi beberapa jenis resapan sangat
penting untuk mengoptimalkan masuknya air hujan ke dalam tanah, agar
mengurangi limpasan permukaan, meredam banjir, menambah stok air
tanah, melindungi dan meredam laju erosi yang berarti pula melakukan
konservasi tanah atau lahan. Untuk dapat mengungkapkan di mana sebaran
wilayah konservasi dapat dan baik untuk dilakukan, maka diperlukan
data pokok maupun data pendukung untuk dilakukan analisis maupun
pendiskripsiannya sehingga memudahkan para pembaca memahami
maknanya.
Menurut Tika (2005), penelitian perlu mengetahui jenis data apa saja yang
diperlukan dan bagaimana mengidentifikasi, mengumpulkan, dan informasi
ilmiah, serta mengolahnya. Berdasarkan sifatnya dibedakan antara data
yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. Berdasarkan sumbernya, data dapat
dibedakan antara data primer dan data sekunder.
Berdasarkan maksud pernyataan di atas, maka dalam buku ini secara rinci
perlu menyampaikan beberapa langkah teknik pengumpulan, pengolahan
atau analisis, dan pengungkapan hasil dalam suatu metode kajian maupun
penulisan.

137
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

2. METODE
Metode yang digunakan dalam penyusunan tulisan bagian dari buku ini
meliputi kajian pustaka atas pengertian tema konservasi, hasil kajian
sebelumnya. Selanjutnya melakukan koleksi peraturan dan perundangan
yang berlaku, pengumpulan data spasial dasar maupun tematik. Selain
data spasial berupa peta dan citra penginderaan jauh, diperlukan juga data
statistik terkait. Citra penginderaan jauh yang digunakan dalam kajian
ini pertama dan utama adalah Citra SRTM yang dalam kepentingan ini
dibuat menjadi peta lereng. Sedangkan yang kedua adalah citra skala besar
Ikonos dan QuickBird untuk revisi dan kajian penggunaan lahan. Setelah
data terkumpul dilakukan analisis geospasial dengan menggunakan Sistem
Informasi Geografik (SIG) dengan melakukan overlay dua peta utama yaitu
peta Penggunaan lahan dan Peta lereng. Hasil analisis dikompilasi menjadi
peta Sebaran Tipe Resapan Air di Kabupaten Bogor Jawa Barat. Peta tersebut
merupakan peta utama yang menyatakan sebaran jenis resapan. Dari peta
ini pula dapat dihitung luasan masing-masng jenis resapan dan diwujudkan
ke dalam bentuk tabel luas dalam satuan hektare. Hasil yang diharapkan
dapat digunakan untuk arahan lokasi yang sesuai berbagai jenis konservasi,
khususnya model resapan. Data dan informasi hasil kajian di wilayah Bogor
sebagai hulu beberapa sungai yang mengalir ke Jakarta masih berupa skala
tinjau, yaitu skala 1:250.000. Untuk peta skala operasional diperlukan
data peta dasar berskala 1:10.000 dengan tambah data kemampuan tanah,
peta iklim, peta unit lahan yang skalanya besar. Dengan demikian, faktor
data rinci dan skala besar menjadi penting untuk menghasilkan peta skala
operasional. Peta operasional merupakan data dan informasi geospasial yang
sangat baik untuk perencanaan matang hingga pelaksanaan upaya konservasi
jenis resapan yang paling sesuai dengan kondisi medannya. Namun demikian
kendala besar yang dihadapi untuk mendapatkan skala operasional adalah
biaya, tenaga, waktu, kesadaran, program, dan upaya yang serius oleh semua
pihak. Deskripsi peta yang dihasilkan sangat penting untuk diungkapkan
agar para pembaca memahami secara sungguh-sungguh. Berdasarkan data
dan informasi geospasial dalam bentuk tulisan bagian dari sebuah buku

138
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

tentang pentingnya upaya konservasi air ini diharapkan menjadi panduan


upaya serius untuk mitigasi bencana banjir wilayah Jakarta.
Ungkapan metode dalam kalimat tersebut diatas akan menjadi lebih jelas
dengan membaca diagram alir pada Gambar 1 berikut ini.

Gambar 1. Diagram alir penyiapan informasi geospasial wilayah konservasi air

KONSERVASI
Pengertian dan batasan tentang konservasi
Ada beberapa pengertian maupun batasan tentang konservasi sebagai
berikut:

139
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

1. Pengertian umum konservasi, meliputi konservasi sumber alam,


berdasarkan buku Ensiklopedia Iptek Jilid 5 Bab10 hal. 433, melestarikan
sumber daya alam atau konservasi sumber daya alam berarti membuat
sesuatu aman dan terjaga. Pelestarian lingkungan mencakup mejaga
tempat, aneka tumbuh-tumbuhan, hewan liar dan segala gangguan
dunia serta merawat objek peninggalan tua dan bersejarah. Sumber daya
alam mencakup segala yang menopang kelangsungan hidup manusia
yang meliputi tanah, air, sinar matahari, udara, minyak, dan bahan
tambang serta tumbuh-tumbuhan dan hewan.
2. Pengertian konservasi tanah dan air menurut Sarief E. S.(1986) hal
1, bahwa pengawetan tanah dan air adalah usaha untuk menjaga dan
meningkatkan produktivitas tanah, kualitas, dan kuantitas air.
3. Pengertian yang lebih khusus tentang konservasi tanah dan air menurut
Arsyad (2010) bahwa konservasi air pada prinsipnya adalah penggunaan
air hujan yang jatuh ke tanah untuk keperluan pertanian seefektif
mungkin dan mengatasi waktu aliran agar tidak terjadi banjir yang
merusak dan terdapat cukup air pada waktu musim kemarau.
4. Arsyad menegaskan bahwa konservasi tanah dan air merupakan paket
kebersamaan dan tidak terpisahkan karena konservasi tanah yang
bertujuan untuk mencegah erosi, memperbaiki kondisi tanah yang
rusak, dan meningkatkan produktivitas tanah agar bermanfaat secara
berkelanjutan atau lestari, konservasi air pun secara bersamaan dapat
dilakukan.
5. Dari sisi penulis bahkan konservasi secara lengkap, baik konservasi
tanah, air, vegetasi, dan kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang, dan
organisme lainnya merupakan paket yang wajib diupayakan secara
bersama, serius, dan terus-menerus diupayakan demi kehidupan manusia
yang lebih baik dan lestari.
Akhirnya penulis mengambil sari pengertian konservasi air merupakan
upaya pengelolaan sumber daya air mulai dari upaya menjaga keseimbangan
ketersediaan air tanah, keberadaan, hingga manfaat untuk berbagai

140
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

kepentingan dan penggunaan secara baik dan efisien dengan makna utama
agar dapat memenuhi kebutuhan kelestarian lingkungan hidup serta
ekosistemnya.

Keterkaitan dengan tema


Keterkaitan dengan tema konservasi sebagai upaya mitigasi bencana
banjir, pengertian tentang konservasi tersebut di atas pada bagian berikut
ini akan dibahas tentang apa saja konservasi yang dicanangkan dan telah
diaplikasikan, apa saja peraturan yag mendukung, apa saja keuntungan serta
apa saja dampak kerugian jika mengalami kegagalan dalam upaya konservasi.
Dalam tema konservasi air untuk mitigasi bencana banjir, pada bagian buku
ini penulis akan lebih menekankan pada model resapan. Apa sajakah model
resapan yang dicanangkan oleh pemerintah? Berbagai jenis atau tipe resapan
yang dicanangkan sebagai program nasional mulai tahun 1995 ada 16
macam atau jenis sebagai berikut:
1. Suksesi alam / pelestarian hutan 9. Lobang tampungan air hujan
lindung
2. Penghutanan kembali (reboisasi) 10. Pengolahan lahan & terasering
3. Pembuatan tanaman murni 11. Pembuatan kebun rakyat
maupun tanaman sela
4. Pembangunan hutan budi daya 12. Rehabilitasi teras dan tanaman
(Agroforestry)
5. Penanaman kayu-kayuan, hutan 13. Pembuatan UPSA
masyarakat
6. Pembuatan parit buntu 14. Karang kitri
7. Pembuatan dam pengendali 15. Sumur resapan
8. Pembuatan dam penahan 16. Penanganan tebing sungai
Sumber: Project Plan I, 1995

Peraturan dan perundang-undangan apa yang mendukung?


Peraturan dan perundang-undangan yang mendukung program konservasi
sumber daya alam, khususnya air adalah sebagai berikut ini.

141
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

1. UUD 45 pasal 33
2. Undang-undang no. 7 tahun 2004
3. Undang-undang Lingkungan Hidup,
4. Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta no. 68 Th
2005 tentang Sumur resapan
Setelah mengetahui jenis konservasi yang dicanangkan dan mengetahui
naskah peraturan dan perudang-undangan yang berlaku dan mendukung,
maka perlu diketahui pula berbagai keunggulan dan kelemahan jenis resapan
tersebut sebagai berikut ini.
1. Suksesi Alam atau Pelestarian Hutan Lindung, mempunyai unggulan
sebagai hutan alami berupa semak belukar dan hutan primer yang jauh
dari jamahan para perambah hutan, lokasi pada wilayah yang curam,
pada umumnya berbatu sulit ditempuh, dan sifat serta kodisi hutannya
lebih stabil. Kelemahan jika semakin menjadi gersang ataupun terbakar
sulit untuk dilakukan reboisasi. Tipe resapan sepenuhnya bersifat
alamiah.
2. Penghutanan kembali, mempunyai keunggulan penanaman tanaman
kayu ataupun tumbuh-tumbuhan sejenis, baik kayu bernilai ekonomi
rendah maupun tinggi atau bahkan sekedar tumbuhan pionir jenis
mudah tumbuh sehingga cepat pulih menjadi hutan yang berfungsi
sebagai fungsi konservasi.
3. Pembuatan tanaman murni maupun tanaman sela adalah upaya
penanaman tumbuhan sejenis, baik kayu maupun setingkat perdu,
namun sifatnya murni dengan maksud dan tujuan konservasi. Kadang-
kadang ada jenis tanaman yang sengaja ditanam dengan maksud sebagai
tanaman sela yang menghasilkan bahan pangan ataupun pakan ternak.
4. Pembangunan hutan budi daya (Agroforestry), merupakan pembudidayaan
kayu jenis tertentu untuk menghasilkan kayu, getah secara besar-besaran
dan diselenggarakan oleh Perhutani. Contoh tanaman adalah kayu pinus,
kayu jabon, dan kelapa sawit. Untuk wilayah bogor ada hamparan luas

142
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

di daerah Cigudeg hingga daerah Leuwiliang. Fungsi hutan minimalnya


ada dua, yaitu fungsi produksi dan fungsi konservasi.
5. Penanaman kayu-kayuan hutan masyarakat merupakan gerakan
bersama untuk menanam kayu dengan maksud kebersamaan ataupun
ikut-ikutan tetapi dalam luasan hingga beberapa puluh hektare. Sebagai
contoh penanaman kayu jati di daerah Cariu masuk wilayah Kabupaten
Bekasi yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bogor. Lokasi
tersebut milik sekitar 20 orang, dengan luasan lebih dari 20 hektare
dengan keragaman usia pada tahun 2014 usia tanaman antara 12 hingga
17 tahun. Kayu akasia, jongjing, dan mahoni atau mahagoni, contoh di
beberapa kawasan di daerah Jonggol Kabupaten Bogor.
6. Pembuatan parit buntu atau rorak merupakan upaya konservasi yang
dilaksanakan oleh perorangan atau petani dan dikerjakan bersamaan
mengolah lahan. Kesadaran pembuatan parit buntu ini lebih murni dari
pemilik lahan maupun petani. Kelemahannya tingkat pelaksanaan skala
terkecil dalam praktek perorangan, kecuali ada anjuran khusus dari
pejabat desa atupun manajer perusahaan.
7. Pembuatan dam pengendali umumnya dibuat dan diupayakan oleh
pihak pemerintah dalam hal ini oleh Dinas Pekerjaan Umum tingkat
kabupaten. Tujuan utamanya adalah konservasi. Tantangan dam
pengendali adalah pelumpuran atau sedimentasi yang sangat tinggi
sehingga cepat penuh. Biaya perawatan dam pengendali sangatlah mahal
melalui cara pengerukan.
8. Pembuatan dam penahan hampir sama dengan dam pengendali.
Perbedaannya, dam penahan lebih menekankan mengatasi laju erosi
di daerah hulu yang banyak parit-parit. Karena sifat cuaca yang sering
ekstrem di daerah Jawa Barat dan beberapa daerah bercurah hujan tinggi,
maka dam penahan lebih cepat penuh dan bahkan cepat rusak.
9. Lubang tampungan air hujan, sekarang nama istilah yang banyak
digunakan adalah biopori. Melalui biopori, maka banyak air hujan yang
langsung masuk ke dalam tanah sesuai kedalaman tiap lubang biopori.

143
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Besarnya lubang biopori sangat bervariasi tergantung pada besarnya alat


bor tanah maupun sistem pembuatan lubang, jumlah dan banyaknya
lubang, jenis porositas tanah, dan tingkat kecepatan tertutupnya lubang.
Pembuatan biopori juga bersifat kesadaran perorangan kecuali ada
kesadaran dan gerakan bersama. Aplikasi konservasi ini paling mudah,
murah, dan aman.
10. Pengolahan lahan terasering untuk daerah Jawa Barat banyak
diterapkan baik untuk daerah sawah tadah hujan, ladang, dan tegal
tanaman semusim, tanaman sayuran. Pengolahan lahan secara berteras
merupakan praktek konservasi yang sudah membudaya karena petani
akan rugi sendiri jika mengolah lahan miring tanpa terasering.
11. Pembuatan kebun rakyat, sifatnya masih sangat heterogen atau sangat
bervariasi tergantung pada selera dan kemampuan biaya pengelola
lahan atau kebun. Keunggulan kebun rakyat adalah pengembangan
atau pembudidayaan suatu jenis tanaman yang bersifat peningkatan
nilai ekonomi baik hasil kayu maupun buah dan jenis nilai ekonomi
lainnya.
12. Rehabilitasi teras dan tanaman sealiran dengan pengolahan terasering
yang betul-betul diupayakan berdasarkan kebutuhan pengamanan
lahan serta kemampuan melaksanakannya. Terasering yang bagus jika
diimbangi dengan pengelolaan tanaman, baik tanaman bernilai ekonomi
maupun yang hanya sekedar untuk pengaman teras alias peredam laju
erosi.
13. Program UPSA, UPSA adalah Usaha Pelestarian Sumber daya Alam. Jenis
konservasi ini lebih menekankan konservasi lahan. Konservasi lahan dan
konservasi air dapat berjalan bersama ataupun sinergi. Praktik konservasi
ini sudah diterapkan secara serempak untuk berbagai wilayah Daerah
Aliran Sungai (DAS) di Indonesia, diprakarsai oleh saat itu bernama
Departemen Kehutanan, yang kini adalah Kementrian Kehutanan,
khususnya DitJend. PHPA, bekerja sama dengan Bakosurtanal pada
saat itu tahun 1985 hingga tahun 1989.

144
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

14. Karang Kitri, pada umumnya dipraktikkan pada wilayah pekarangan


dengan pengelolaan tanaman yang lebih cenderung pada tanaman buah-
buahan. Selain tujuan konservasi, ada tujuan peningkatan penghasilan
maupun kebutuhan lumbung pangan, tanaman sayuran, palawija,
termasuk tanaman obat yang sering disebut sebagai apotek hidup, kolam
ikan di pekarangan, peternakan terbatas, tanaman hias, serta tanaman
fungsi lindung.
15. Sumur resapan merupakan tabungan air hujan yang kapasitas daya
tampungnya paling banyak. Banyaknya air yang terserap sesuai besaran
sumur dan daya resap tanah serta teknik pembuatan maupun bahannya.
Keunggulan sumur resapan berkapasitas besar dan jauh lebih awet dari
pada jenis konservasi atau metode resapan lainnya. Namun demikian
karena untuk membuat sumur resapan lebih banyak modal, maka
kelemahannya adalah masalah membuat oleh faktor modal. Tentang
pembuatan sumur resapan untuk antisipasi peringanan dampak bencana
banjir Jakarta, Mantan Gubernur DKI Wiyogo Purwodarminto pernah
mengeluarkan Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta No. 115 Th 2001 Tentang Pembuatan Sumur Resapan yang kini
diubah dengan Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta No. 68 Th 2005. Penulis mempraktikkan membuat sumur
resapan dengan biaya patungan dengan tetangga pada tahun 2002
dengan kapasitas 3 meter kubik untuk sekali hujan lebat. Pembuatan
terebut berdasar himbauan Gubernur Jakarta melalui massmedia dan
dasar kesadaran pentingnya sumur resapan.
16. Penanganan tebing sungai belum tertangani dengan baik karena tebing
sungai merupakan medan yang sulit dan perlu sangat kehati-hatian
dalam pemanfaatan sebagai pengamanan penggunaan air pada musim
penghujan khususnya. Penanganan tebing sungai lebih memerlukan
modal besar sehingga harus dikerjakan dengan penuh kecermatan,
teknik pembangunan, dan modal yang pasti hanya dapat dilakukan
oleh pemerintah maupun swasta jika ada kepentingan yang lebih
menguntungkan. Penampungan air pada musim hujan dan bahkan

145
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

berdampak potensi banjir akan lebih memungkinkan dilakukan di


tebing sungai yang tipe aliran relatif stabil, dasar sungai yang rata, dan
kondisi tebing maupun tanahnya sangat memungkinkan.

Kegunaan teknik resapan


Ada beberapa kegunaan atau manfaat secara langsung maupun tidak
langsung atas keberhasilan penerapan teknik resapan (Sunarto, K., 2006)
yaitu meliputi beberapa hal sebagai berikut ini.
-- peningkatan daya resap melalui infiltrasi dan perkolasi sebagai proses
penyediaan air tanah secara alami
-- penghambat aliran permukaan yang berarti menekan laju erosi
-- pengendali banjir pada musim penghujan khususnya wilayah yang lebih
ke arah hilir.
-- peningkatan kelembapan tanah permukaan
-- pemenuhan kebutuhan air tanah bagi manusia, hewan, tumbuh-
tumbuhan, dan biota lainnya
-- pelestarian ekosistem alam khususnya di permukaan tanah
-- pengencer bahan limbah di musim kurang hujan/kemarau/musim
kering
-- penggelontor bahan limbah di suatu lokasi maupun sepanjang aliran
akumulasi bahan limbah.

Risiko Bencana
Menurut Ronny Kountur dalam buku Manajemen Risiko, arti Risiko
adalah kemungkinan kejadian yang merugikan. Ketiga kata penting tersebut
menjadi satu keterkaitan bahwa risiko akan menjadi nyata apabila ada
kejadian, ada faktor pendorong yaitu kemungkinan, dan akibat yang terjadi
adalah kerugian. Besar-kecilnya resiko ada hubungannya dengan kedahsyatan
bencana, kepadatan penduduk yang menghuni kawasan rawan bencana,
keramaian aktivitas pada saat kejadian, maupun tingkat kepentingan atau

146
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

potensi lahan atas aset dan infrastruktur yang ada. Banyak bencana terjadi di
kawasan bisnis aktif seperti halnya di pusat perbelanjaan, pusat wisata, dan
di gedung aset pemerintah maupun swasta. Dalam kondisi yang demikian
maka pendekatannya dapat secara wilayah administratif maupun wilayah
non administratif.
Jenis-jenis risiko bencana alam adalah : degradasi lingkungan, berkurang
makna dan potensi sumber daya alam, pembangunan yang asal-asalan dan
salah kebijakan, merosotnya kualitas sumber daya manusia, semakin tidak
diindahkannya peraturan dan perundangan yang sah, kelaparan lahan,
rusaknya penutup lahan, menurunnya nilai aset lahan, dan komoditas
pertanian. Tidak tegaknya hukum sehingga banyak kekacauan yang
memperparah situasi dampak bencana.
Banjir dapat merusak bentang lahan yang dilalui dan digenangi serta merusak
tanaman dan mengancam gagal panen. Berkurangnya air tanah aquifer
berakibat kekurangan air untuk kebutuhan sumur masyarakat maupun
terhadap tanaman. Kekeringan menyebabkan gagal panen maupun mati
hingga punahnya bibit tanaman maupun ikan.
Kita sadari bersama bahwa air merupakan sumber kehidupan utama bagi
semua makhluk hidup. Kebutuhan manusia akan air berawal hanya untuk
memenuhi kebutuhan yang sederhana seperti untuk minum dan memasak,
namun dengan semakin berkembangnya kebutuhan maka pemanfaatan air
ini semakin beragam dalam kegiatan kehidupan dan terus meningkat seiring
dengan bertambahnya jumlah penduduk. Saat ini air selain digunakan
sebagai keperluan rumah tangga juga digunakan untuk kebutuhan pertanian,
peternakan, industri, fasilitas umum ataupun kebutuhan pariwisata. Sumber
air melimpah pada umumnya pada daerah iklim basah dan tutupan vegetasi
masih tergolong lebat, ataupun pada kawasan yang penggunaan lahannya
masih memerhatikan asas resapan air hujan. Untuk wilayah yang sebaliknya,
yaitu yang dasar curah hujannya relatif rendah, porositas tanah tinggi, dan
tutupan vegetasi jarang hingga terbuka, maka akan berwujud lahan gersang.
Lahan tersebut secara pertanian sulit diupayakan karena kondisinya serba

147
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

krisis sehingga disebut sebagai lahan marginal. Sekitar 2 atau tiga dekade
terakhir ini di Pulau Jawa pada umumnya telah terjadi krisis air karena sudah
sangat tipisnya lahan hutan dan semakin terbukanya lahan untuk pertanian
dan pemukiman serta untuk bangunan industri dan perkotaan. Semakin
banyaknya para pengguna air tanah akan semakin berdampak pada proses
pemanfaatan air permukaan seperti halnya sungai, sumur, embong, dan
danau di kawasan pedesaan. Untuk kawasan perkampungan, perkampungan
padat, dan perkotaan penurapan air dari dalam tanah, baik air tanah dangkal
maupun air tanah dalam yang semakin terkuras. Untuk kawasan pemukiman
tertentu yang juga padat industri, air tanah paling banyak diperebutkan
dengan cara dikuras dengan pompa besar khusus untuk sumur air dalam.
Penurapan yang lebih besar dari pada pemasukan air hujan ke dalam tanah
yang menjadi aquifer akan semakin berdampak pada bencana hidrologik
kekeringan (Sunarto, 1994), baik terhadap kekeringan permukaan tanah
maupun kekurangan air untuk kehidupan berbagai biota darat maupun
biota air, turunnya muka tanah, dan terancamnya kestabilan bangunan.
Menurut Sitanala Arsyad, metode Konservasi Tanah dan air ada 5 yaitu
metode vegetatif, mekanik, kimia, konservasi air, dan kualitas air. (Arsyad,
S.,2010 halaman 167, 243257). Dalam kajian ini penulis memberikan
arah pada empat tipe atau jenis resapan pada program konservasi air, yaitu
optimalisasi resapan dengan teknik:
1. vegetatif konservasi alami
2. rorak atau parit buntu yang pada umumnya berbarengan dengan
terasering
3. sumur resapan
4. biopori
Keempat teknik atau jenis resapan tersebut mempunyai semacam persyaratan
yang berbeda walaupun ada beberapa persamaan.
Dari empat jenis utama resapan tersebut, di wilayah kabupaten Bogor sudah
pernah digiatkan, namun kelanjutan dan pemeliharaannya mengalami

148
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

berbagai hambatan. Baru sebagian yang diprogramkan oleh Pemerintah


Daerah Kabupaten Bogor yaitu Pembuatan Dam Pengendali, Dam
Penahan, Teras Bangku, dan Sumur Resapan. Beberapa tahun terakhir ini
IPB mempelopori program biopori.
Tentang sumur resapan, hingga 1989 masih sangat terbatas dan hingga kini
tahun 2014 jumlah unit yang dibangun juga masih sangat terbatas. Sebagai
contoh dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Perbandingan antara rencana dengan realisasi program sumur


resapan di Kecamatan Cisarua, Kawasan Puncak, Bogor.
Jumlah sumur yang ideal dibuat Realisasi sumur
No. Nama Desa dan ditargetkan resapan yang
D1 D2 Jumlah dibuat
1. Citeko 1.923 585 2.508 0
2. Kopo 1.524 464 1.988 52
3. Cisarua 4.453 1.354 5.807 17
4. Leuwimalang 2.103 639 2.742 0
5. Sukagalih 1.617 492 2.109 0
6. Cibeureum 1.998 633 2.631 34
7. Batulayang 1.881 596 2.477 0
8. Jogjogan 1.284 407 1.691 0
9. Tugu Selatan 2.923 926 3.849 45
10. Tugu Utara 3.148 997 4.145 49
11. Cilember 2.032 644 2.676 0
24.886 7.737 32.623 197
Sumber: Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah, Sub DAS Cibogo/Cisarua, Kab.
Bogor,1989.

Sebanyak 197 dari 32.623 sumur yang direncanakan adalah 0.60 %, berarti
luar biasa sangat kecilnya persentase pencapaian target, dengan kata lain
sukar ditargetkan. Dari kecilnya target tersebut maka perlu terobosan yang
harus dicari untuk mempercepat pelaksanaan kontribusi, baik pemerintah,
swasta, masyarakat, dan para peneliti serta mahasiswa yang berjiwa kuat serta
membangun untuk ambil bagian.

149
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Menurut Sumarwoto, O., 1994 hal. 186, bahwa pengelolaan proyek


pembangunan janganlah sektoral semata namun secara kebersamaan dan
keberlanjutan. Sebagai contoh cepatnya pendangkalan bendungan dan
rusaknya proyek-proyek konservasi tanah dan air. Hingga sekarang banyak
diantara masalah itu tidak diidentifikasi dan dibiarkan saja.

Tabel 2. Kriteria untuk beberapa jenis resapan pada skala tinjau


Jenis resapan Penutup lahan/ Penggunaan lahan Kemiringan( % )
Sumur resapan Pemukiman, kawasan industry dan 38
perkantoran
815
Rorak atau Parit Ladang, tegal, kebun campuran, hutan 815 dan 1525
buntu rakyat
biopori Pekarangan, Tanaman campuran 325
Vagetatif Kawasan hutan alam, hutan industry, 15>100
hutan rakyat

Kegagalan upaya konservasi air berdampak pada bencana


hidrologis
Berbagai bencana yang mungkin timbul jika program resapan gagal adalah:
1. Banjir bandang maupun banjir genangan pada musim penghujan
2. Kekeringan dan kekurangan air tanah yang berdampak langsung
terhadap manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan serta biota lainnya
3. Wabah penyakit yang beraneka ragam berarti ancaman bagi kesehatan
manusia
4. Terjadi konsentrasi limbah di tubuh air permukaan maupun di tubuh
air tanah
5. Intrusi air laut dan subsiden, penurunan posisi bangunan bertingkat
6. serta punahnya beberapa sub sistem dari suatu ekosistem oleh dampak
kekeringan maupun dampak terendam.

150
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

PENYIAPAN DAN KETERSEDIAAN DATA


Data utama yang dapat menghasilkan sebaran jenis resapan dalam upaya
konservasi, yang pertama adalah Peta Penggunaan Lahan terbaru yang
memuat data dan informasi tentang berbagai jenis penggunaan lahan.
Kemudian yang kedua adalah Peta Lereng yang dihasilkan dari proses data
citra SRTM. Dengan proses overlay menggunakan kedua peta tersebut di
atas dan dengan menggunakan tabel kriteria, maka akan menghasilkan peta
utama yang disebut sebagai Peta Sebaran Tipe Resapan Air di Kabupaten
Bogor. Karena skala yang digunakan dan dihasilkan 1:250.000, maka disebut
sebagai skala tinjau. Peta skala tinjau sifatnya hanya untuk arahan kesesuaian
untuk program konservasi.

Citra SRTM sebagai sumber data untuk Peta kelas lereng


pembuatan peta kelas lereng

Peta Penggunaan Lahan wilayah Kabupaten Bogor


Gambar 2. Data citra dan peta utama untuk dianalisis dengan teknik
overlay
151
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Untuk mendapatkan peta berskala operasional diperlukan peta dasar skala


besar yaitu skala 1:10.000 yaitu peta rupa bumi ditambah data dan informasi
geospasial seperti halnya peta lereng, kemampuan tanah, penggunaan lahan
terbaru dan peta iklim khususnya curah hujan, serta Peta Tata Ruang. Maka
peta operasional dapat tercapai.

Peta Kemampuan Tanah Peta Tata ruang wilayah Kabupaten Bogor

Peta curah hujan wilayah Kabupaten Peta sistem lahan


Bogor
Gambar 3. Beberapa peta pelengkap untuk penyiapan skala operasional

Ada beberapa parameter geospasial penting yang perlu diperhatikan dalam


program peresapan terutama yang berkaitan dengan resapan buatan. Adapun
jenis parameter tersebut adalah sebagai berikut:
1. Jenis, kedalaman, dan tekstur tanah khususnya tingkat porositasnya.
Data dan informasi tersebut terkandung pada peta kemampuan tanah.
2. Tingkat kemiringan lereng, menyajikan rambu-rambu kelerengan yang
mengandung petuk tingkat kebolehan maupu jenis konservasi yang
boleh dan yang tidak boleh untuk dilakukan.

152
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

3. Tinggi rendahnya posisi air tanah dapat dicerminkan oleh peta


penggunaan lahan.
4. Tipe topografik yang dapat ditampilkan dalam peta satuan sistem dan
bentuk lahan.
5. Tipe vegetasi dan kualitas penutup lahan dapat dilihat pada peta
penggunaan lahan.
6. Data iklim terutama presipitasi dan rata-rata curah hujan ada pada peta
sebaran curah hujan.
7. Pola pemukiman dan kepadatan bangunan untuk prediksi jumlah dan
sebaran sumur resapan tersedia pada peta penggunaan lahan dan citra
penginderaan jauh. Dengan demikian peta citra penginderaan jauh
sangat penting, khususnya yang berskala besar.
Peta Penggunaan Lahan, mengandung data dan informasi geospasial
sebagai peta pokok untuk menyumbangkan perannya pada peta arahan
konservasi.
Peta Tata Ruang, sesuai perannya dapat digunakan sebagai acuan bagi
daerah yang sesuai untuk penerapan sistem resapan buatan maupun yang
alami.
Peta Kemampuan Tanah berbeda dengan peta jenis tanah. Untuk
kepentingan kajian resapan air, peta kemampuan tanah lebih baik dan lebih
informatif. Perlu diketahui bahwa peta kemampuan tanah sangat jarang dan
sangat terbatas ketersediaannya. Untuk peta jenis tanah hampir tersedia di
seluruh wilayah NKRI, namun menggunakan data dan informasi pada peta
jenis tanah ini masih banyak kesulitan untuk diketahui tingkat resapannya.
Peta satuan sistem dan bentuk lahan adalah peta yang mengandung data
dan informasi tentang proses pembentukan permukaan lahan, jenis batuan
induk sebagai bahan utama material formasi tata hidrologis. Oleh karenanya
peta ini sangat berguna untuk bahan pertimbangan dalam kontribusinya
terhadap kepentingan konservasi tanah dan air. Peta satuan sistem dan
bentuk lahan dapat dilihat pada Gambar 5 berikut ini.

153
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Peta curah hujan menunjukkan informasi curah hujan rata-rata tahunan,


dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan jenis
maupun tipe resapan yang sesuai. Peta tersebut menunjukkan beberapa
daerah yang banyak hujan maupun sedikit hujan. Besaran curah hujan juga
berguna dalam pertimbangan jenis resapan yang dibuat dan diusahakan.
Peta kelas kemiringan lereng menunjukkan data dan informasi yang
membedakan antara daerah yang sangat landai, landai, miring sedang,
sangat miring, berlereng curam, sangat curam hingga terjal. Kelerengan
dinyatakan dalam % berarti bahwa 100% sama dengan 450. Masing-masing
kelas lereng dinyatakan dalam jenis warna yang berbeda. Berdasarkan
keselarasan maupun aturan bahwa identifikasi kesesuaian resapan buatan
tidak dianjurkan bahkan dilarang untuk kawasan yang berlereng curam.
Untuk informasi rincinya sebagai berikut.
1. Wilayah yang sangat landai ( 02%), jenis konservasinya sangat terbatas
dan sangat selektif karena air tanah pada umumnya sangat dangkal.
2. Wilayah landai (28%) jenis konservasi yang sesuai adalah biopori dan
sumur resapan.
3. Wilayah miring sedang (815%) paling banyak jenis konservasi yag
dapat diaplikasikan, antara lain sumur resapan, rorak, biopori, dan
teras
4. Wilayah miring agak berat (1525%) tipe resapan biopori, sumur
resapan, rorak, dan terasering.
5. Wilayah sangat miring (2540%) jenis terasering dan rorak serta
vegetasi.
6. Wilayah berlereng curam (40100%) teras dan vegetasi serta jenis
konservasi tertentu
7. Wilayah yang berlereng di atas 100% hinga terjal, jenis resapan
alamiah dan vegetatif mutlak diperlukan dan sebagai wilayah lindung
sepenuhnya.

154
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

Beberapa tingkatan kriteria kesesuaian untuk beberapa jenis konservasi pada


skala operasional.

Tabel 3. Kriteria kesesuaian sistem resapan untuk skala operasional


Sistem Tipe Lereng Tanah Bentuk
dan enggunaan Lahan
Media Lahan
Resapan
Vegetatif Hutan, semak Miring, berbatu, pasir, Gunung,
belukar, sangat cadas. Tanah pegunungan,
rumput, lahan miring, lempung, solum perbukitan,
terbuka berbatu curam tipis hingga sedang lahan
hingga terjal marginal
>40%
Rorak Ladang dan 840% Gembur hingga Lahan
tegal serta agak liat, solum bergelombang
tanaman tebal hingga sedang atau
campuran berombak
maupun hutan
produksi,
hutan rakyat
Sumur Perumahan 825 % Debu dan pasir, Dataran
resapan solum tebal, sangat yang punya
tebal kemiringan
cukup
Biopori Halaman dan 325% Debu dan pasir, Dataran
lapangan, solum sedang yang punya
kebun hingga tebal kemiringan
campuran cukup
dan tanaman
campuran

Sebaran kesesuaian lahan untuk aplikasi teknis resapan


Untuk aplikasi konservasi air hampir setiap lokasi berbeda jenis maupun
tipe resapannya dalam suatu praktik konservasi yang aman. Oleh karena
faktor keamanan agar tidak terjadi bencana dampak upaya konservasi,

155
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

maka perlu diketahui kesesuaian yang optimal maupun kemungkinan jenis


resapan yang boleh atau tidak boleh diaplikasikan. Dari dasar pengertian
tersebut, maka perlu dibuat atau dinyatakan kriteria kesesuaiannya.
Sebaran kesesuaian praktik beberapa jenis resapan pada skala tinjau, cukup
dengan mengombinasi atau melakukan overlay dua macam peta, yaitu peta
penggunaan lahan dengan peta lereng. Dengan menggunakan cara tersebut
dapat diketahui gambaran sebaran di wilayah mana saja masing-masing dari
empat jenis resapan secara optimal boleh dilakukan. Untuk skala yang lebih
besar atau skala rinci dan alangkah baiknya jika kriterianya menggunakan
yang lebih lengkap, syukur ada peta skala besar pula.
Dengan menggunakan kriteria tersedia, maka dapat dihasilkan sebaran
wilayah yang paling optimal jika akan dilakukan program konservasi
berdasarkan jenis resapan yang paling baik dan aman. Baik dalam arti
memiliki potensi resapan yang optimal, sedangkan arti aman adalah bahwa
dengan menerapkan jenis resapan tertentu sesuai arahan tersebut tidak
menimbulkan bencana hidrologik termasuk dampak longsor lahan dan
kejenuhan lahan.
1. Jika lereng lebih dari 40%, penggunaan lahan apapun, khususnya hutan
konservasi, hutan lindung dan hutan penyangga, maka jenis resapan
yang paling baik adalah vegetatif alami.
2. Jika dalam skala tinjau tergolong datar padahal pada skala besarnya
merupakan tepi sungai yang punya kemiringan terjal namun tidak
terpetakan, maka kondisi kenyataan lapangan menjadi acuan utama.
Untuk menghasilkan skala tinjau, dengan melakukan overlay peta penggunaan
lahan dan peta lereng masing-masing berskala 1:250.000

PETA HASIL
Peta berikut merupakan hasil overlay antara peta penggunaan lahan dan peta
lereng. Ada 4 jenis resapan yang dapat diterapkan secara optimal. Masing
masing jenis atau tipe resapan digambarkan dengan 4 jenis warna berbeda.

156
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

Ada beberapa wilayah Kabupaten Bogor sebagai wilayah kajian yang tidak
berwarna atau tetap tergambar dasar putih. Hal ini dapat dikategorikan
sebagai ada kemungkinan dapat dilakukan teknis resapan tertentu namun
tidak optimal atau memang tidak disarankan untuk dilakukan suatu jenis
resapan dengan alasan tidak masuk ke dalam syarat kriteria maupun jenis
penggunaan lahan tertentu seperti halnya sawah, rawa, danau, situ maupun
penggunaan lahan non kriteria. Gambar 4 berikut merupakan gambaran
sebaran secara spasial kawasan yang baik untuk dilakukan konservasi secara
opimal.
Keterangan gambar:
1. Warna ungu adalah wilayah hutan alam, puncak gunung, hutan lindung,
hutan bambu, dan lahan berlereng diatas 40% yang paling cocok adalah
konservasi vegetasi alami.
2. Warna kuning adalah simbol pada wilayah yang sesuai untuk konservasi
tanah dengan cara terasering sehingga konservasi airnya dengan model
resapan pembuatan rorak atau parit buntu. Penggunaan lahan yang
mengindikasikannya adalah hutan rakyat, hutan produksi, perkebunan,
tanaman campuran, lading, dan tegal.
3. Warna biru adalah simbol bagi wilayah yang paling cocok jika
dilakukan biopori. Biopori merupakan upaya konservasi paling aman
dan mudah serta murah dibandingkan dengan cara lainnya serta dapat
juga dikombinasikan dengan sistem lainnya. Namun demikian biasanya
pada penggunaan lahan yang lebih produktif atau pengelolaan lahan
yang lebih intensif.
4. Warna merah oranye adalah wilayah pemukiman sehingga paling sesuai
adalah jenis sumur resapan. Cucuran dari atap alias air hujan murni
langsung disalurkan ke dalam sumur resapan. Sumur resapan sangat
bervariasi ukuran dan bentuk walaupun fungsinya sama. Pembuatan
sumur resapan tergolong mahal, oleh karenanya diperlukan aturan
perundang-undangan maupun Perda agar dibuat sesuai aturan yang
berlaku.

157
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Gambar 4. Sebaran wilayah kesesuaian jenis resapan air dalam upaya


konservasi

3. DESKRIPSI HASIL
Dari gambar hasil kajian tersebut dapat diketahui jenis konservasi dan
sebarannya, serta dapat dihitung luasannya sebagai tabel berikut ini. Angka
luasan ada kemungkinan berbeda dengan data yang sudah ada karena
penghitungan menggunakan peta yang berbeda skala ataupun adanya
perubahan batas wilayah kabupaten yang tidak diikuti informasi luasan yang
baru. Data yang dihitung dan tertera berikut ini dilakukan dari data dan
informasi tersedia pada proses SIG.

158
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

Tabel 4. Data luas jenis atau tipe resapan di wilayah Kabupaten Bogor.
No Tipe Resapan Luas (Ha) Luas (km2)
1 Biopori 103.076 1030,76
2 Rorak dan Terasiring 32.000 320,00
3 Sumur Resapan 27.553 275.53
4 Konservasi Alami 65.781 657,81
5 Lain-lain 68.938 689,38
Total luas 297.348 2.973,48

Dalam bagian buku ini ada 4 jenis resapan yang diungkapkan sebagai berikut
ini.
1. Resapan alami dan vegetatif, pada umumnya berada pada kemiringan
lereng di atas 40% atau kemiringan sedang, sangat miring, hingga terjal.
Pada umumnya berupa lahan hutan sebagian lahan pertanian terbatas.
2. Rorak atau parit buntu pada umumnya dapat diterapkan pada lahan
kemiringan rendah, sedang, hinggga sedikit di atas sedang. Penggunaan
lahan pada umumnya lading tegal, tanaman campuran, dan sawah tadah
hujan. Model pengolahan lahan cara terasesing dan guludan biasanya
bersamaan pada lokasi yang sama, kemiringan 1540 %..
3. Biopori, sebaran lokasinya ada di wilayah tanaman campuran, hutan
rakyat, pekarangan, dan lahan terbuka seperti halnya tepi lapangan dan
halaman rumah 325 %..
4. Sumur resapan, pada umumnya berlokasi sesuai di lingkungan
perumahan khususnya perumahan teratur, pengguna talang air hujan,
dan berkemiringan lahan agak miring hingga kemiringan sedang antara
825 %.
Di manakah sebaran jenis konservasi dilakukan?
Gambar 4 dan penjelasannya merupakan jawaban dimanakah data wilayah
sebaran jenis konservasi tersebut dapat dilakukan serta Tabel 4 merupakan
informasi luasannya. Sebagai gambaran penanggung jawab utama atau
pelaksana utama juga dapat diketahui sebagi berikut ini.

159
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

1. Konservasi yang berifat vegetatif dan alami sudah dikembangkan di


kawasan hutan, baik hutan konservasi, hutan lindung, maupun hutan
penyangga. Kegiatan ini sepenuhnya program pemerintah, khususnya
Kementerian Kehutanan maupun lembaga konservasi Daerah Aliran
Sungai dan sebagainya.
2. Rorak diaplikasikan di kawasan hutan produksi, hutan rakyat, maupun
ladang dan tegal yang lakukan oleh masyarakat petani. Kesadaran
pembuatan rorak masih sangat terbatas. Praktik pembuatan rorak atau
parit buntu biasanya merupakan satu paket dengan terasering. Praktik
konservasi lahan berupa terasering telah banyak dilakukan di lahan
miring seperti halnya sawah, ladang dan tegal, lahan basah maupun
lahan kering. Kegiatan dan perawatan terasering ini pada umumnya
sudah bersifat umum dilakukan oleh para petani maupun penggarap
dengan kesadaran pribadi untuk mempertahankan keamanan bahaya
longsor maupun kegersangan.
3. Sumur resapan diaplikasikan di kawasan pemukiman, walaupun
jumlahnya masih sangat terbatas. Penanggung jawab utama adalah para
pengembang pemukiman maupun kesadaran masyarakat.
4. Program biopori hampir mirip fungsinya dengan sumur resapan, hanya
skala ukurannya yang relatif kecil dan dapat dilakukan dengan mudah
dan murah. Oleh karena itu, para pelaksana akan lebih cenderung
bersifat perorangan serta secara swakarsa. Dapat juga program biopori
diatur dengan Perda sehingga lebih serentak dalam kebersamaan.
Faktor pendukung dalam perencanaan pembangunan beberapa jenis resapan
adalah berdasarkan kondisi geografi bentang lahan sebagai berikut ini:
1. Kondisi lereng lahan sangat memengaruhi kecepatan aliran permukaan
maupun laju infiltrasi dan perkolasi yang berkaitan dengan pola
vegetasi penutup. Dengan demikian untuk lereng yang lebih miring
penekanannya adalah untuk terasering, lahan yang bergelombang relatif
bagus untuk pembuatan lubang-lubang air maupun parit-parit buntu.
Untuk kondisi lereng landai paling bagus untuk dibuat sumur resapan,

160
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

untuk tebing sungai sebaiknya ditanami tanaman-tanaman penahan


longsor yang sekaligus penahan kelembapan. Untuk lereng terjal tidak
baik dibuat artificial recharge yang bagus adalah pemeliharaan vegetasi
penutup yang alami.
2. Penggunaan lahan ada fungsi peresapan air yang terpengaruh langsung
terhadap teknik pengolahan lahan maupun pola vegetasi penutup
lahan.
3. Jenis tanah dan tekstur serta sifat fisik terhadap air sangat menentukan
tingkat laju infiltrasi dan perkolasi serta sifat permeabilitas tanah yang
mampu mengatur kandungan air tanah pada suatu lapisan secara
luas. Daerah yang demikian water holding capasity-nya tinggi. Oleh
karenanya, ada jenis tanah yang sangat bagus, kurang bagus, agak jelek
hingga kurang bagus untuk dibuat suatu tipe resapan.
4. Kondisi geologi, bahwa sifat litologi dan formasi geologi dapat berfungsi
aquifer dan fungsi kontrol bagi siklus hidrologi air tanah.
5. Curah hujan juga memengaruhi jumlah yang diresapkan, kurang lebih
berbanding lurus antara volume curah hujan dengan jumlah yang
teresapkan ke dalam tanah, baik dengan cara perkolasi, infiltrasi, dll.
6. Pola tata air juga sangat menentukan jenis-jenis resapan.
Daerah yang drainasenya bagus pada umumnya sumur resapan juga akan
bagus serta berkualitas. Untuk daerah cekungan sudah tidak perlu sumur
resapan. Beberapa hal yang dilarang membuat resapan pada lereng curam,
dekat tebing sungai, daerah berair tanah dangkal, daerah labil, atau tanah
merayap, serta mudah longsor.
Dari wilayah kajian yaitu wilayah Kabupaten Bogor sebagai wilayah hulu
hingga hilir merupakan sumber bencana bagi Kota Jakarta, baik dimusim
hujan sebagai sumber limpahan air, maupun kekeringan dimusim kemarau.
Hal ini menjadi semakin parah dan menjurus kepada bencana hidrologis
jika konservasi air gagal. Ketebalan lapisan tanah pada masing-masing satuan
lahan mempunyai kapasitas serap dan ketersediaan air yang berbeda. Wilayah

161
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

tropis basah yang alamiahnya lebih murni pada umumnya lebih tercukupi
persediaan airnya, sebaliknya wilayah yang banyak terbuka ataupun wilayah
yang heterogenitas penggunaan lahannya sangat tinggi. Jika konservasi air
tidak diperhatikan, maka akan sangat berdampak pada kondisi timpang
antara kondisi surplus dan minus. Dampak keganjilan atau gap yang sangat
tinggi dapat menimbulkan bencana hidrologis. Bencana hidrologis dapat
ditandai, yaitu pada musim hujan kelebihan stok air hingga banjir dan musim
kemarau sangat kering, berdampak pada timbulnya bencana hidrologi,
wilayah praktik konservasi maupun lokasi sekitar. Situasi demikian yang
semakin ekstrem , khususnya yang lebih hilir pada umumnya lebih cukup
air. Posisi Jakarta lebih hilir dari pada wilayah Bogor, maka untuk mengatasi
bencana hidrologi khususnya wilayah Jakarta yang berupa kekurangan air
tanah dan banjir dapat direda dengan praktik konservasi wilayah Bogor yang
lebih optimal. Semakin berkurangnya penutupan vegetatif dan semakin
banyaknya bangunan, berdampak pada semakin kurang resapan air ke
dalam tanah. Masuknya air hujan ke dalam tanah akan mengisi aquifer yang
berfungsi sebagai cadangan kecukupan air tanah serta stabilitas kecukupan
air dalam tanah. Jika curah hujan pada musim penghujan tidak teresapkan
secara optimal, maka akan terjadi bencana hidrologik. Bencana hidrologik
yang dimaksud dalam kajian ini adalah banjir pada musim hujan dan
kurangnya air tanah dan kekeringan pada musim kemarau. Permasalahan
yang muncul adalah dengan cara apa dan dimanakan agar pemasukan air
atau infiltrasi sebagai recharge di daerah tangkapan dapat terwujud.

Strategi pelaksanaan
1. Jaga hutan yang ada, tingkatkan kualitas dan perannya
2. Perbanyak dan tingkatkan beberapa model resapan, kapasitas, jenis serta
jumlahnya
3. Perdalam kapasitas tampungan air situ, danau, waduk, embung, maupun
rawa
4. Tingkatkan peran lahan basah termasuk sawah

162
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

5. Pembangunan, perbaikan, dan perawatan teras-teras serta parit buntu


atau rorak
6. Patuhi aturan konservasi, peraturan, dan undang-undang yang berlaku
7. Perbanyak, perluas tanaman, hutan industri, dan karang kitri
8. Tingkatkan perawatan berbagai bentuk/macam bangunan konservasi
9. Bangun lahan gundul dan lahan tidur dengan program penghijauan.

Siapa Sajakah Pelaksana Konservasi?


Banyak pihak perlu dan wajib menjaga kelestarian lingkungan hidup,
demi kelangsungan hidup dan kehidupan bersama. Khususnya perhatian
terhadap kepentingan hidup masyarakat berpenduduk padat yang kondisi
lingkungannya sangat terkait dengan kenyamanan dan kesehatan di wilayah
yang sarat kesemrawutan dan kekumuhan. Mitigasi bencana hidrologis
berupa banjir dan kekeringan air sumur wilayah hilir sangat mengharapkan
keberhasilan program konservasi. Untuk mengamankan wilayah hilir yaitu
Ibu Kota Jakarta perlu dan bahkan wajib dilaksanakan secara seksama
melalui perencanaan yang baik, pelaksanaan yang serius secara serempak
bagi para pelaku kepentingan. Dari sisi kewenangan dapat dimulai dari
kerjasama pemerintah antar wilayah administratif sewilayah Jabodetabek
kemudian secara komunitas masyarakat yaitu kesadaran warga masyarakat
secara bersama maupun secara individu atau pribadi. Jika ditinjau dari sisi
kesadaran dan rasa tanggung jawab yang mengemban amanat Tuhan Sang
Pencipta Alam Semesta, maka konservasi dilakukan oleh para pemerhati
lingkungan melalui penjiwaan, kesadaran, dan upaya swakarsa terlebih
dahulu kemudian mengajak kebersamaan masyarakat setempat atau sekitar
yang juga harus ditopang sepenuhnya melalaui program yang jelas dari
pemerintah.

163
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Kapan Dilakukan Perawatan Sarana Konservasi?


Untuk mengamankan Kota Jakarta dari ancaman banjir besar telah lama
dilakukan konservasi oleh penjajah Belanda, namun kurang perawatan,
terbukti oleh dibangunnya saluran Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal
Timur serta beberapa dam pengendali, bendungan Katulampa dan beberapa
bendungan lainnya serta banyak pemeliharaan situ. Konservasi air dan
tanah di wilayah Bogor dan sekitarnya yang sudah lama terbangun tidak
diimbangi dengan pemeliharaan dan peningkatan kapasitas konservasinya.
Saluran dibenahi, waduk atau situ dikeruk diperdalam, dam-dam pengendali
dibenahi, parit buntu atau rorak diperdalam, sumur resapan diperbanyak,
gerakan biopori dilaksanakan bersama, penyuluhan pengolahan lahan
yang bermuatan konservasi digalakkan dan jenis koservasi baru diciptakan,
minimalnya untuk mengimbangi recharge yang semakin menyempit dan
terbatas, sementara discharge-nya semakin gencar dan banyak.

Berbagai Model Pemeliharaan dan Peremajaan Teknik


Konservasi Air.
1. Suksesi Alam atau Pelestarian Hutan Lindung, perlu ditegaskan oleh
pihak Kementerian Kehutanan agar hutan alami baik berupa semak
belukar maupun hutan primer atau hutan belantara yang jauh dari
jamahan para perambah hutan, lokasi pada wilayah yang curam, berbatu
sulit ditempuh, dan sifat serta kodisi hutannya lebih stabil. Hutan
tersebut perlu diawasi terhadap para perambah hutan maupun bahaya
kebakaran. Keberadaan hutan didukung pelaksanaan undang-undang
dan peraturan yang berlaku wajib dipasang rambu dan peringatan secara
jelas, bukan ancaman dan merata diberbagai penjuru dengan kalimat
larangan dasar undang-undang, himbauan, dan bahkan sanjungan
antara lain barbahagialah kalian para pelindung satwa dan hutan
lindung. Perlu disadari bahwa jika terjadi kerusakan, proses reboisasi
akan memerlukan biaya, tenaga, dan waktu yang sangat besar serta
mahal. Tipe resapan alamiah yang terjadi di kawasan ini berlangsung
secara alami penuh.

164
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

2. Penghutanan kembali, pada umumnya akan dilakukan oleh pihak


pemerintah dan swasta, perlu modal besar dan serius diperkuat dengan
peraturan dan perundangan berlaku serta rambu-rambu daerah atau
kawasan reboisasi. Pengembangan terhadap vegetasi pelindung maupun
tumbuh-tumbuhan atau kayu-kayuan bernilai ekonomi tinggi lebih
disarankan. Peran Perum Perhutani sangat penting dan dapat bekerja
sama dengan masyarakat yang tinggal disekitarnya.
3. Pembuatan tanaman murni maupun tanaman sela merupakan konservasi
vegetatif. Upaya perbaikan dan pemeliharaan mulai dari penanaman
tumbuhan setingkat rumput dan perdu, bambu, dan kayu, baik kayu-
kayuan berupa kayu hutan maupun hasil lainnya asalkan sifatnya murni
dengan maksud dan tujuan konservasi. Ciri khas tanaman ini adalah
menahan erosi, longsoran, maupun rayapan lapisan lahan.
4. Pembangunan hutan budi daya (Agroforestry), merupakan pembudidayaan
kayu jenis tertentu untuk menghasilkan kayu, getah secara besar-
besaran dan diselenggarakan oleh Perum Perhutani. Contoh tanaman
adalah kayu pinus, kayu jabon, kelapa sawit. Untuk Wilayah Bogor ada
hamparan luas di daerah Cigudeg hingga daerah Leuwiliang. Fungsi
hutan minimalnya ada dua yaitu fungsi produksi dan fungsi konservasi.
(lihat gambar)
5. Penanaman kayu-kayuan hutan masyarakat, memerlukan dua hal
penting dalam konservasi. Pertama teknis penanaman dan yang kedua
adalah peningkatan penanaman. Tentang teknis penanaman menjadi
sangat penting terkait dampak aliran permukaan atau limpasan (run
off) di waktu hujan merupakan model konservasi yang positif sekaligus
meningkatkan potensi lahan selain mengikuti kontur boleh juga lurus
sehingga bentuk lahan diupayakan sebagai bentangan yang mampu
menahan air hujan agar tidak terjadi limpasan berat. Dalam hal rumput
semak dan jenis gulma, sebaiknya tetap berfungsi sebagai penutup
lahan, asalkan tidak membelit dan mengganggu pertumbuhan pohon
sebagai tanaman utama. Berkurangnya hasil hutan alami oleh besarnya
eksploitasi dan penebangan yang salah, maka di masa depan kayu hasil

165
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

hutan alam semakin habis. Dengan habisnya kayu hutan, maka kayu dari
hutan rakyat merupakan cadangan stok kebutuhan akan kayu menjadi
utama. Sebagai contoh penanaman kayu jati di daerah Cariu, masuk
wilayah Kabupaten Bekasi yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten
Bogor. Lokasi tersebut milik sekitar 20 orang dengan luasan lebih dari
20 hektare dengan keragaman usia pada tahun 2014 usia tanaman antara
12 hingga 17 tahun. Kayu akasia, jongjing, dan mahoni atau mahagoni,
contoh di beberapa kawasan di daerah Jonggol Kabupaten Bogor.

Lahan gundul/ tidur Bibit kayu kayuan Hutan masyarakat

Sengon/Albasiah/Jongjing Jabon Hutan jati


Gambar 5. Model konservasi dengan tanaman kayu-kayuan

1. Pembuatan parit buntu atau rorak merupakan upaya konservasi yang


dilaksanakan oleh perorangan atau petani dan dikerjakan bersamaan
mengolah lahan. Kesadaran pembuatan parit buntu ini lebih murni
dari pemilik lahan maupun petani. Kelemahannya tingkat pelaksanaan
skala terkecil dalam praktek perorangan, kecuali ada anjuran khusus
dari pejabat desa atupun manajer perusahaan. Persyaratan parit buntu
atau rorak adalah: lereng antara 310%, kedalaman tanah lebih dari 30
cm, erosi permukaan kecil, penggunaan lahan tanaman budi daya kayu-

166
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

kayuan, dan lading tegal tanaman palawija. Tekstur tanah kasar dan
permeabilitas tinggi atau cepat. Berikut ini contoh membangun teras
sekalian bangun rorak serta pemanfaatan mulsa untuk menekan erosi
serta melindungi bibit.

Terasering dan parit buntu Mulsa dan parit buntu

Pembaruan rorak 6 tahun sekali Keberhasilan


Gambar 6. Model resapan rorak atau parit buntu

1. Pembuatan Dam Pengendali, pada umumnya dibuat dan diupayakan


oleh pihak pemerintah dalam hal ini oleh Dinas Pekerjaan Umum
tingkat kabupaten. Tujuan utamanya adalah untuk konservasi.
Tantangan dam pengendali adalah pelumpuran atau sedimentasi yang
sangat tinggi sehingga cepat penuh. Biaya perawatan dam pengendali
sangatlah mahal melalui cara pengerukan.
2. Pembuatan dam penahan hampir sama dengan dam pengendali,
perbedaannya untuk dam penahan lebih menekankan mengatasi laju
erosi di daerah hulu yang banyak parit-parit. Karena sifat cuaca yang
sering ekstrem di daerah Jawa Barat dan beberapa daerah bercurah hujan
tinggi, maka dam penahan lebih cepat penuh dan bahkan cepat rusak.

167
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

3. Lubang tampungan air hujan, sekarang nama istilah yang banyak


digunakan adalah Biopori. Penggagas biopori adalah Institut Pertanian
Bogor (IPB) yang kini telah banyak diterapkan untuk wilayah pekarangan,
kebun campuran, dan pinggiran lapangan. Melalui biopori banyak air
hujan yang langsung masuk ke dalam tanah sesuai kedalaman tiap
lubang biopori. Besarnya lubang biopori sangat bervariasi, tergantung
pada besarnya alat dan mata bor tanah maupun sistem pembuatan
lubang. Jumlah dan banyaknya lubang, tingkat porositas tanah. Lubang
biopori harus ditutup agar tidak membahayakan maupun tujuan
utama tidak kemasukan berbagai jenis benda keras yang mempercepat
pendangkalan. Pembuatan biopori juga bersifat kesadaran perorangan,
kemudian berkembang pada kesadaran secara kolektif hingga menjadi
gerakan bersama. Aplikasi konservasi ini paling mudah, murah, dan
aman. Berikut ini adalah gambar alat bor dan penutup lubang biopori.

Alat biopori Mata bor

Penutup lubang biopori Lokasi konservasi resapan yang bagusnya


bergabung terasering
Gambar 7. Model resapan parit buntu

168
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

1. Pengolahan lahan terasering untuk daerah Jawa Barat banyak


diterapkan baik untuk daerah sawah tadah hujan, ladang, dan tegal
tanaman semusim, tanaman sayuran. Pengolahan lahan secara berteras
merupakan praktik konservasi yang sudah membudaya karena petani
akan rugi sendiri jika mengolah lahan miring tanpa terasering.
2. Pembuatan kebun rakyat sifatnya masih sangat heterogen atau sangat
bervariasi tergantung pada selera dan kemampuan biaya pengelola lahan
atau kebun.
3. Rehabilitasi teras dan tanaman sealiran dengan pengolahan terasering,
yang betul-betul diupayakan berdasarkan kebutuhan pengamanan
lahan serta kemampuan melaksanakannya. Terasering yang bagus jika
diimbangi dengan pengelolaan tanaman, baik tanaman bernilai ekonomi
maupun yang hanya sekedar untuk pengaman teras alias peredam laju
erosi.

Rehabilitasi teras dan rorak


Gambar 8. Rehabilitasi teras

1. Usaha Pelestarian Sumaber daya Alam (UPSA), jenis konservasi ini


lebih menekankan konservasi lahan. Konservasi lahan dan konservasi
air dapat berjalan bersama ataupun senergi. Praktik konservasi ini sudah
diterapkan secara serempak untuk berbagai wilayah Daerah Aliran
Sungai (DAS) di Indonesia, diprakarsai oleh Departemen Kehutanan,
khususnya pada saat itu disebut sebagai DitJend. PHPA, bekerja sama
dengan Bakosurtanal pada saat itu tahun 1985 hingga tahun 1989.

169
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

2. Karang Kitri, pada umumnya dipraktikkan pada wilayah pekarangan


dengan pengelolaan tanaman yang lebih cenderung pada tanaman buah-
buahan. Selain tujuan konservasi, ada tujuan peningkatan penghasilan
maupun kebutuhan lumbung pangan, tanaman sayuran, palawija,
termasuk tanaman obat yang sering disebut sebagai apotek hidup, kolam
ikan di pekarangan, peternakan terbatas, tanaman hias, serta tanaman
fungsi lindung.
3. Sumur Resapan merupakan tabungan air hujan yang kapasitas daya
tampungnya paling banyak. Banyaknya air yang terserap sesuai
besaran sumur dan daya resap tanah serta teknik pembuatan maupun
bahannya. Keunggulan sumur resapan berkapasitas besar dan jauh lebih
awet dari pada jenis konservasi atau metode resapan lainnya. Namun
demikian karena membuat sumur resapan lebih banyak modal, maka
kelemahannya adalah masalah malas membuat faktor modal. Tentang
pembuatan sumur resapan untuk antisipasi peringanan dampak bencana
banjir Jakarta, Mantan Gubernur DKI Wiyogo Purwodarminto pernah
mengeluarkan Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta No. 115 Th 2001 Tentang Pembuatan Sumur Resapan yang
kini diubah dengan Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta No. 68 Th 2005. Penulis mempraktikkan membuat
sumur resapan dengan biaya patungan dengan tetangga pada tahun 2002
dengan kapasitas 3 meter kubik untuk sekali hujan lebat. Pembuatan
terebut berdasar himbauan massmedia dan dasar.

Penampang posisi Sumur resapan Penampang posisi Sumur resapan,


Gambar 9. Sumur resapan

170
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

1. Penanganan Tebing Sungai


Pada umumnya tebing sungai belum tertangani dengan baik sehingga
dalam hal konservasi bukannya memperingan dampak bencana banjir,
melainkan sebaliknya dapat memperparah keadaan khususnya masalah
banjir dengan membawa bahan hanyutan. Jika tebing sungai dikelola
dan dimanfaatkan dengan baik, maka setidaknya ada tiga hal terjawab
pertama berkurangnya material longsoran tebing sungai dan tingkat
deras aliran yang sulit dipantau. Kepentingan kedua adalah penyimpan
air untuk mengurangi dampak banjir di wilayah hilir yang pada
umumnya datar.
2. Mengusahakan tampungan air hujan untuk daerah surplus air dapat
digunakan menahan air terhadap bencana banjir, sebaliknya untuk
daerah minus air yaitu kawasan gersang, upaya membuat tampungan air
bertujuan utama adalah menyiapkan stok air pada saat musim kemarau
atau saat kekurangan

4. KESIMPULAN
Konservasi air di wilayah Bogor sebagai wilayah hulu sebaran tata air
yang mengarah ke kawasan hilir daerah Ibu kota Jakarta perlu dan wajib
dilaksanakan secara bertahap dan semakin serempak. Koordinasi antar pihak
mulai dari pemerintah tingkat Propinsi DKI dengan tingkat kabupaten
sekitar dan bahkan wilayah hilir khususnya Bogor juga diperlukan.
Konservasi yang diterapkan meliputi berbagai jenis konservasi dengan
peningkatan jenis atau tipe resapan. Selain peningkatan kapasitas, diperlukan
pula pengawasan secara serius. Data dan informasi geospasial sangat penting
diungkapkan khususnya masalah kesesuaian lokasi atau wilayah untuk jenis
konservasi maupun kapasitas resapan yang diterapkan. Kesesuai lokasi dan
kapasitas resapan bermaksud untuk optimasi upaya konservasi. Dengan
pelaksanaan konservasi yang optimal berarti akan memitigasi bencana banjir,
meningkatkan stok air tanah yang bermakna menekan bencana kekeringan
maupun untuk menghindari bencana yag justru timbul oleh kesalahan

171
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

konservasi misalnya bencana longsoran. Pengetahuan yang lebih mendalam


akan tema kajian sangat perlu dan membantu proses pelaksanaan konservasi
oleh masyarakat serta perorangan atas kesadaran dan upaya swakarsa.
Khusus untuk konservasi air, tanah, dan hutan diperlukan perencanaan
matang, perencanaan konservasi wilayah, kajian geografik yang berskala
besar, serta mengetahui jenis konservasi yang paling sesuai agar tidak
menimbulkan bencana hidrologis yang baru. Sosialisasi dari pemerintah
kepada para pengembang, masyarakat umum, dan masyarakat ilmiah juga
sangat diperlukan. Besaran volume air hujan yang masuk ke dalam tanah
berarti memperingan tingkat keparahan banjir

Saran
Kriteria yang lebih rinci perlu dibuat untuk praktik konservasi yang lebih
berkualitas. Dengan skala besar yaitu skala 1:10.000 model aplikasi konservasi
akan lebih bersifat operasional. Untuk mencapai skala operasional terkendala
biaya, tenaga, waktu, kesadaran, program, dan upaya.

DAFTAR PUSTAKA
Amhar F. 2013. Pemaknaan & Pemanfaatan Informasi Geospasial Dasar &
Tematik untuk Solusi Berbagai Persoalan Bangsa, Seminar FKK, Bogor
24 September 2013.
Arsyad, S.2010. Konservasi Tanah dan Air, Edisi Kedua. Bogor(ID): IPB
Press.ISBN 979-423-003-2.
Anonim. Ensiklopedia Iptek Jilid 5. Bab10 hal. 433. ISBN 979-3535-05-9.
Clark M.J et al. 1988. Horizons In Physical Geography, Chapter 4.3. Natural
Hazards Adjustment and Mitigation.
Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah. 1989. Laporan Rencana dan
Realisasi Program Resapan Wilayah Kabupaten Dati II Bogor.
Dinas Pertanian dan Kehutanan Pemerintah Kabupaten Bogor. 2006.
Rancangan Pembuatan Sumur Resapan.

172
Peran Informasi Geospasial untuk Arahan Upaya Konservasi Air
di Kabupaten Bogor Guna Mitigasi Bencana Banjir Jakarta

Dollah Purba. 1990. Sumur Resapan untuk Kawasan UGM Yogyakarta,


[Tesis]. Universitas Gajah Mada.
Kountur, R. 2006. Manajemen risiko
Saputro, G. B. 2013. Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang. Seminar FKK,
Bogor, 24 September 2013.
Sarief E.S.1986. Konservasi Tanah dan Air, Cetakan kedua. Bandung (ID):
Penerbit Pustaka buana.
Sumartoyo. 2010. Estimasi Potensi Air Tanah Melalui Pendekatan Tipologi
Bentuklahan Wilayah Bogor, Provinsi Jawa Barat. Majalah Ilmiah
terakreditasi, GLOBE 12(1): 5767. ISSN 1411-0512,
Sumarwoto, O. 1994. Ekologi, Lingkungan Hidup, dan Pembangunan.
Penerbit Djambatan
Sunarto, K. 1987. Pemetaan Tingkat Bahaya Erosi DAS Ciliwung dan
Cisadane, Kerjasama Dep. Kehutanan dengan Bakosurtanal.
Sunarto, K. 1994. Peran Sumur Resapan untuk Mitigasi Bencana Hidrologi.
Simposium Nasinal Mitigasi Bencana Alam, UGM Yogyakarta 1617
Sept 1994.
Sunarto, K. 2006. Antispasi Bencana Hidrologis. Prosiding Forum Riset
Geomatika 2006, Multi Hazards: Challenges for Risk Assesment,
Mapping and Management, JCC, Jakarta, 25 Agustus 2006.
Tika, H. M. P. 2005. Metode Penelitian Geografi. Bumi Aksara
Widjanarto A. 2013. Sekilas Ina Geoportal, Pusat Pengelolaan dan
Penyebarluasan Informasi Geospasial. Seminar FKK, Bogor 24
September 2013.

173
AN ANALYSIS OF POTENTIAL
HAZARD AND RISK FOR
FLOOD AND LANDSLIDE
AREAS (CASE STUDY IN WEST
JAVA PROVINCE)

Waluyo Yogo Utomo1, Widiatmaka2,


Komarsa Gandasasmita2
Staff of Assisstant Deputy for Inland Water Ecosystem Degradation
1

Control, Deputy for Environmental Degradation Control and Climate


Change, Ministry of Environment, Indonesia
2
Department of Soil Science and Land Resources, Faculty of Agriculture,
Institute of Agriculture Bogor, Indonesia
E-mail: waluyoyogo_utomo@yahoo.com; waluyoyogo.utomo@gmail.com

ABSTRACT
West Java is one of the regim in the high potential occurrence of floods
and landslides. This is due to the characteristics of its topography, as well
as high population density which increase every year, causing pressure on
the ecosystem. The purpose of this study was to build methodology in
determining floods and landslides criteria, mapping of potential hazards and
the risk of flooding, and landslides. Models of potential hazard and risk of
flooding and landslides built through spatial analysis system with weighted
and scoring of the 7 parameters used landuse, rainfall, slope, elevation,
landform, soils and geology while the risk model to floods and landslides
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

used vulnerability parameters (consist of infrastructure, accessibility/road


and land use), and element of risk parameters (consist of population density,
emergency response and GDP). The results showed West Java has the high
potential flood-prone of 460.204 ha (12.5%) and very high at 507.274
ha (13.8%), with distribution locations in Bekasi, Cirebon, Indramayu,
Karawang, Majalengka, Subang, Bandung City, Banjar City, Bekasi City,
Bogor City, Cirebon City, and Depok City. As for the high potential of
landslide-prone of 141.855 ha (3.9%) and very high at 14.895 ha (0.4%),
with distribution locations in Bandung dan Garut. Based on the results of
field validation and recapitulation data of floods and landslides incidence
in the field from BNPB (20102012), showing the results map accuracy
of the analysis of hazard and risk potential of flooding and landslides are
quite high. The frequency of floods in the field occurs 88 times as much
as the moderate to very high class of flood hazard potential areas of with a
total of 115 times the incidence of flooding, or by 76.5% of the total flood.
While the frequency of landslides in the field occurs 86 times in the classes
as moderate to very high landslide hazard potential with a total of 113 times
the incidence of landslides, or 76.1% of the total landslide.
Keywords: Hazard, Risk, Floods, Landslides, Accuracy

1. INTRODUCTION
Trends disaster in Indonesia has increased from year to year.
Hydrometeorological disasters such as floods, droughts, landslides,
cyclones, and tidal waves are the dominant type of disaster in Indonesia.
Hydrometeorological disasters occurred on average almost 70% of total
disaster in Indonesia. Global climate change, land use change, and increasing
population magnify the threat of further risk reduction in Indonesia (BNPB,
2011). Flooding is the inundation in the event of a flat area around the
river as a result of the overflow of river water flow of the river can not be

176
An Analysis of Potential Hazard and Risk For Flood and Landslide Areas
(Case Study In West Java Province)

accommodated. Flooding is the interaction between man and nature aspects


arising from the process by which people try to use natural beneficial and
avoid adverse nature (Rasyid H, 2010). Landslides are a product of the
balance disorder that causes mass movement of soil and rock from a higher
to a lower place. The movement is due to the style factor lies in the areas of
uneven ground or called slope (Nicoll K, 2010).
Causes of landslides are naturally covers the earths surface morphology, land
use, lithology, structural of geology, rainfall, and earthquake. In addition to
natural factors, landslides also caused by human activity factors that affect
the landscape such as agricultural activities, the imposition of slope, slope
cutting, and mining (Mathew J. et al. 2007). West Java is one area that has a
high potential for the occurrence of landslides. This is in addition due to the
topography of the hilly and mountainous regions, as well as high population
density puts pressure on the ecosystem. Landslide prone areas of West Java
province including in Bandung, Cianjur, Bogor, Sukabumi, Majalengka,
Sumedang, Ciamis, Tasikmalaya, Kuningan, and Purwakarta. Judging from
the demographic aspect, the area is a densely populated area (Directorate of
Volcanology and Geological Hazard Mitigation, 2002).
One form of mitigation in order to deal with natural disasters and at the
same time to reduce its impact is the availability of an early warning system.
The absence of an early warning system that could save the people and the
environment and the lack of understanding of the environment they live in,
the cause of many fall victim to any of floods and landslides disaster (Gupta
AK. et al. 2010). Application of Remote Sensing and GIS technology can
help mitigate natural disasters by identifying the location and review of issues
related to the impact of floods and landslides. Mitigation measures to reduce
or minimize the impact of floods and landslides done by making a model
of GIS, by combining several variables to obtain the most vulnerable to the
hazard and risks of floods and landslides (Kabir A. et al. 2011).

177
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

The objectives of this research are (1) determine the criteria and parameters
forming floods and landslides, (2) determine hazard and risk potential areas
of floods and landslides in West Java Province.

2. DATA AND METHODS


2.1 Time and Research Site
The study was conducted from April 2011 to October 2012. Locations of
research lies in West Java Province, while the processing and analysis of data
is done in the Ministry of Environment, Jakarta as well as in the Spatial
Information Laboratory Section, Department of Soil Science and Land
Resources, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University.

2.2 Research Design


This study was designed to collect secondary data and primary data to answer
the question of how to determine the criteria and parameters forming floods
and landslides, as well as determine the potential areas of hazard and risk of
floods and landslides. The matrix design of the study are shown in Table 1,
while the flow chart stages of research are presented in Figure 1.

178
An Analysis of Potential Hazard and Risk For Flood and Landslide Areas
(Case Study In West Java Province)

2.3 Weighting and Scoring Method


In determining the weight and score of each parameter forming floods and
landslides, the Analytical Hierarchy Process-AHP method is used which
developed by Thomas L. Saaty, to organize information and expert opinion
(judgment) in selecting the most preferred alternative. In the AHP process
is done by making pairwise comparison matrices questionnaire of the
parameters and variables to be determined weights and scores (Marimin,
2010).

Table 1. Research design matrix of hazard and risk potential for floods and
landslides analysis
Objective Types and Data Collection Data Analysis Output
Sources of Techniques Techniques
Data
Determining Landuse, - Study of - Analytical The criteria
the criteria Landform, Literature Hierarchy Process weights
and Elevation, - Questionnaire (AHP) and scores
parameters Slope, - Expert - Software Expert of each
forming Rainfall, Judgement Choice parameter
floods and Geology, - Descriptive forming
landslides Type of floods and
Soil landslides
Knowing Landuse, Extraction from Spatial Analysis Map of the
the potential Landform, satellite imagery, (Scoring and potentially
areas of Elevation, topographic Weighting) area of
hazard and Slope, maps, soil maps, hazard
risk for Rainfall, rainfall data, and risk
floods and Geology, geological and floods and
landslides Type of landsystems data landslides
Soil

179
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Figure 1. Flowchart stages of research

Respondents involved in the AHP process is a 6 (six) people, who represent


expertise in the areas of flooding and landslides, soil physical, geological,
land suitability, environmental mitigation, as well as modeling and
Geographic Information Systems (GIS). Data processing is carried out using
a questionnaire AHP software Expert Choice 2000. The weight indicates the
magnitude or degree of the value of each parameter indicated by the range
of scores 01, while the score indicates the value of each variable on each of

180
An Analysis of Potential Hazard and Risk For Flood and Landslide Areas
(Case Study In West Java Province)

the parameters indicated by the range of values 0100. AHP analysis result
for the weight of each parameter forming floods and landslides are shown in
Table 2, while the weight and score of each parameter and variable-forming
floods and landslides are shown in Appendix 1 and Appendix 2.

Table 2. The weight of each parameter forming floods and landslides


Weight
No. Parameters
Flood Landslide
1 Landform 0,277 0,167
2 Rainfall 0,108 0,067
3 Elevation 0,126 0,280
4 Geology 0,026 0,109
5 Soil 0,036 0,031
6 Slope 0,377 0,310
7 Landuse 0,049 0,038
Source: result of AHP analisis, 2013

2.4 Analysis of Floods and Landslides Hazard


Level
Value of floods and landslides hazard areas are determined from the total sum
of the multiplication of the weights and scores from 7 (seven) parameters
that influence flooding and landslides above. Determination of the hazard
level as much as done by dividing the values of the hazard level with the
same number of intervals class; class intervals determined by the equation
i = R / n; where i: width inteval, R: difference between the maximum and
minimum scores, n: number of vulnerability classes.

2.5 Analysis of Floods and Landslides Risk Level


Risk potential map of flooding and landslides derived from floods and
landslides hazard which then integrated (overlay) with the results of the
analysis of vulnerability. Analysis of the vulnerability it self is combine

181
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

between vulnerability parameters (consist of infrastructure, road/ accessibility


and landuse) and element of risk (consist of population density, emergency
response, and gross domestic product/GDP). Integration map results with
the criteria of vulnerability analysis resulted in a final value that has been
reclassified, based on the value of the matrix reclassification risk of flooding
and landslides.

3. RESULT
Biophysical Condition of West Java Province
Geographically located in the West Java province at 5o50-7o50 latitude and
104048 -108048 BT where north is bordered by Java Sea and Jakarta, east
to Central Java Province, south of the Indonesian Ocean, and west by the
province of Banten. Extensive land area is 3,680,951 hectares with a coastline
of 724.85 km. The population in 2011 are 46,497,175 million people,
spread over 26 regencies/cities, 625 districts and 5,899 Village. Based on
the Koppen classification system that bases the relationship between climate
and vegetation growth, West Java Province including Afa into climate types
(where: A is the tropical rainy climate with the coldest month temperature
>18C; f is always wet with rain every month >60 mm, and a is the average
temperature of the warmest month >22.2C).
Flat to gentle slope dominates the vast percentage of 24.3% in the form of
land with a flat slope (<2%), and 23.9% in the form of land with gentle
slopes (2-8%). Landform is dominated by Plains (30.4%), Hills (19.8%),
Mountains (19.4%) and Alluvial Plains (15.6%) of the total area of West
Java Province. Landuse in 2012 was dominated by vast paddy fields with
1,323,822 ha (35.7%), mixed garden covering 972,747 ha (26.2%),
settlement area of 453 044 ha (12.2%) and dryland agriculture area of 313
026 ha (8.4 %) of the total area of West Java Province.

182
An Analysis of Potential Hazard and Risk For Flood and Landslide Areas
(Case Study In West Java Province)

Flood and Landslide Hazard Potential Areas


Based on the analysis of the flood and landslide hazard potential maps, can
be seen that the West Java Province is dominated by the low flood-prone
potential at 37.8%; while the high and very high flood-prone potential areas
only 12.5% and 13.8%. Landslide hazard potential areas is dominated by
low landslide-prone class by 42.5% and 31.6% safe areas; whereas high and
very high landslide-prone potential areas only by 3.9% and 0.4% of the total
area of West Java province (Table 3).
Distribution of potential areas for occurrence of floods per distric/city with
a high and very high flood-prone classes are in Bekasi (25.8% and 57.2%),
Cirebon (38.8% and 36.6%), Indramayu (32.7% and 62.4%), Karawang
(12.4% and 67.8%), Majalengka (31.3% and 10.1%), Subang (22.8% and
31.6% ), Bandung City (58.3% and 0.0%), Banjar City (15.4% and 30.4%),
Bekasi City (57.4% and 22.8%), Bogor City (50.7 % and 16.9%), Cirebon
City (50.2% and 28.4%), and Depok City (56.5% and 19.0%). While the
potential distribution area of the landslide by distric/city with high and very
high landslide-prone classes are in Bandung District (21.8% and 2.7%)
and Garut (12.5% and 1.0%). Distribution of floods and landslides hazard
potential per distric/city, and map of floods and landslides hazard potential
areas shown in Figure 2 and Figure 3.

Flood and Landslide Risk Potential Areas


Based on the analysis of floods and landslides risk potential areas can be
seen that the West Java Province is dominated by low flood-risk potential
areas of 93.0% whereas moderate and high flood-risk potential areas only
by 5.2% and 1.8%. The risk potential of landslides in West Java Province is
dominated by the low landslide-risk areas of 98.2% whereas moderate and
high landslide-risk areas only 1.7% and 0.1% (Table 4).
Distribution of the area that has the potential for the occurrence of flood risk
by districts/ cities with high flood-risk class are in Bandung City (42.4%),

183
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Bekasi City (44.1%), Bogor City (24.4%), Cimahi City (19.2%), Cirebon
City (28.2%), and Depok City (24.9%). While the risk potential distribution
area of the landslide by district/city with high landslide-risk class, only in
Bandung Distric (0.2%) and Garut Distric (0.5%). Distribution of flood
and landslide risk potential areas by district/city, and map of floods and
landslides risk potential areas shown in Figure 4 and Figure 5.

Table 3. Range value and flood-prone and landslide-prone areas in West Java
Province
Flood-Prone Potential Landslide-Prone Potential
Prone
No. Areas Areas
Classes Range Value Range Value
Ha % Ha %
1 Safety Area 4,82 - 8,69 653.871 17,8 3,34 - 7,39 1.164.444 31,6
2 Low-Prone 8,69 - 12,56 1.393.211 37,8 7,39 - 11,44 1.564.541 42,5
Moderate-
12,56 - 16,43 11,44 - 15,49
3 Prone 666.389 18,1 795.215 21,6
4 High-Prone 16,43 - 20,30 460.204 12,5 15,49 - 19,54 141.855 3,9
Very High-
20,30 - 24,17 19,54 - 23,62
5 Prone 507.274 13,8 14.895 0,4
Total 3.680.951 100,0 3.680.951 100,0
Source : result of analysis, 2013

Figure 2. Graph of the distribution of potential flood and landslide prone


by district/city

184
An Analysis of Potential Hazard and Risk For Flood and Landslide Areas
(Case Study In West Java Province)

Figure 3. Map of flood and landslide hazard potential areas in West Java
Province

Table 4. Risk potential of flood and landslide areas in West Java Province
Landslide-Risk Potential
Flood-Risk Potential Areas
No. Risk Potential Areas
Ha % Ha %
1 Rendah 3.422.677 93,0 3.616.460 98,2
2 Sedang 190.671 5,2 61.836 1,7
3 Tinggi 67.603 1,8 2.655 0,1
Total 3.680.951 100,0 3.680.951 100,0
Source : Result of analysis, 2013

185
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Figure 4. Graph of the distribution of potential risk of flooding and landslides


per district/city

Figure 5. Map of flood and landslide risk potential areas in West Java
Province

Level of Accuracy Based on Field Validation


Based on the results of field validation and summary incidence data of floods
and landslides in the field from National Disaster Management Agency
(BNPB) on 20102012, shows the degree of accuracy of maps results and
an analysis of potential flood-prone and landslide-prone are quite high.

186
An Analysis of Potential Hazard and Risk For Flood and Landslide Areas
(Case Study In West Java Province)

The frequency of floods in the field occurs 88 times as much as the class of
potential flood-prone moderate to very high with a total of 115 times of flood
events, or by 76.5% of the total flood. While the frequency of landslides in
the field occurs as much as 86 times in a class of potential landslide prone
moderate to very high with a total of 113 times the occurrence of landslides,
or 76.1% of total landslides (Table 5 and Figure 6).

Table 5. The occurrence frequency of floods and landslides in the field


(existing)
Flood and Landslide occurrence frequency
Disaster Safety Low- Moderate- High- Very High- Total
Area Prone Prone Prone Prone
Flood 6 21 7 50 31 115
Landslide 4 23 8 51 27 113
Total 10 44 15 101 58 228
Source : Result of analysis, 2013

Figure 6. Graphs and percentage frequency of floods and landslides


occurrence in the field to map flood-prone and landslide potential
analysis results

187
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

4. CONCLUSIONS AND
RECOMMENDATIONS
Conclusions
The main parameters and weight values that contribute to flood-prone is
rainfall (0.324), slope (0.212), elevation (0,158), landform (0,146), geology
(0,056), land use (0.055), and the type of soil (0,049). While the main
parameters and the weights that contribute to landslide-prone is rainfall
(0.274), elevation (0,254), landform (0.135), land use (0,095), geology
(0,094), the type of soil (0.091), and slope (0.057 ).
West Java Province is dominated by the low potential flood-prone at 37.8%,
while the high and very high potential of flood-prone only 12.5% and
13.8% with a wide distribution area per district/city with high and very high
flood-prone class are in Bekasi (25.8% and 57.2%), Cirebon (38.8% and
36.6%), Indramayu (32.7% and 62.4%), Karawang (12.4% and 67.8%),
Majalengka (31.3% and 10.1%), Subang (22.8% and 31.6%), Bandung City
(58.3% and 0.0%), Banjar City (15.4% and 30.4%), Bekasi City (57.4%
and 22.8%), Bogor City (50.7% and 16.9%), Cirebon City (50.2% and
28.4%) and Depok City (56.5% and 19.0%). Landslide-prone potential is
dominated by low-prone class by 42.5% and 31.6% safety areas whereas the
high and very high landslide-prone potential only by 3.9% and 0.4% of the
total area of West Java Province with a wide distribution area per district/
city with high and very high landslide-prone classes are in Bandung District
(21.8% and 2.7%) and Garut District (12.5% and 1.0%).
Based on the results of field validation and summary incidence data of floods
and landslides in the field from National Disaster Management Agency
(BNPB) on 20102012, shows the degree of accuracy of maps results and
an analysis of potential flood-prone and landslide-prone are quite high,
amounting to 76.5% of total flood and 76.1% of the total landslide in West
Java Province.

188
An Analysis of Potential Hazard and Risk For Flood and Landslide Areas
(Case Study In West Java Province)

Recommendations
It is recommended in further studies, to be able to enter the parameters of
economic values in the stages of disaster vulnerability analysis environment
(floods and landslides), so it can be calculated how much potential losses.

REFERENCES
Acar, M. 2010. Determination of Strain Accumulation in Landslide Areas with
GPS Measurements. Scientific Research and Essays. 5(8):763768. 18
April 2010. ISSN 1992-2248 2010 Academic Journals. Http://www.
academicjournals.org/SRE
[BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). 2011. Indeks
Rawan Bencana Indonesia Tahun 2011. Jakarta
Directorate of Volcanology and Geological Hazard Mitigation. 2002. Brief
Examination Results Disasters Land Movement in West Java Province,
19852005. Directorate General of Geology and the Environment,
Directorate of Volcanology and Geological Hazard Mitigation.
Bandung
Gupta, AK. dan Nair, SS. 2010. Flood risk and context of land-uses: chennai
city case. Journal of Geography and Regional Planning 3(12): 365372.
December 2010. ISSN 2070-1845 2010 Academic Journals. Http://
www.academicjournals.org/JGRP
Kabir, A., Mahdavi, M., Bahremand, A. dan Noora, N. 2011. Application
of a geographical information system (GIS) based hydrological model
for flow prediction in Gorganrood river basin, Iran. African Journal of
Agricultural Research. 6(1): 3545. 4 Januari 2011. ISSN 1991-637X
2011 Academic Journals.Http://www.academicjournals.org/AJAR
Maantay, J. dan Maroko, A. 2009. Mapping urban risk: flood hazards, race
and environmental justice in New York. Elsevier. Applied Geography 29:
111124. http://www.elsevier.com/locate/apgeog

189
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Marimin. 2010. Technical Application of Decision Making in Chain


Management Stock. Bogor: IPB Press. June 2010.
Mathew, J., Jha, VK. dan Rawat, GS. 2007. Weights of evidence modelling
for landslide hazard zonation mapping in part of Bhagirathi Valley,
Uttarakhand. Research Articles. Current Science, 628. 92(5). March
2007
Nicoll, K. 2010. Geomorphic and hazard vulnerability assessment of recent
residential developments on landslide-prone terrain: the case of the
traverse mountains, Utah, USA. Journal of Geography and Regional
Planning. 3(6):126141. June 2010. ISSN 2070-1845 2010 Academic
Journals. Http://www.academicjournals.org/jgrp
Rasyid, H. 2010. Interpreting flood disasters and flod hazard perceptions
from newspaper discourse: tale of two floods in the red river valley,
manitoba, canada. Elsevier. Applied Geography 31: 3545. http://www.
elsevier.com/locate/apgeog
Solaimani, K. 2009. Flood Forecasting Based on Geographical Information
System (GIS). African Journal of Agricultural Research. 4(10): 950956.
October 2009. ISSN 1991-637X 2009 Academic Journals. Http://
www.academicjournals.org/AJAR

190
An Analysis of Potential Hazard and Risk For Flood and Landslide Areas
(Case Study In West Java Province)

Appendix 1. Results AHP weights and scores forming parameters flood

191
PENGGUNAAN UAV UNTUK
VALIDASI PETA RAWAN BANJIR
DI KABUPATEN KUDUS DAN
PATI

Jaka Suryanta
Badan Informasi Geospasial
Jl. Raya Jakarta Bogor Km 46 Cibinong
Telp: 87906041, fax: 87906041

ABSTRAK
Banjir terjadi karena hujan lebat, sebaran merata dan dalam durasi relatif lama
pada suatu wilayah cekungan atau dataran. Menurut tempat kejadiannya
banjir dikelompokkan menjadi empat jenis banjir yaitu banjir bandang,
banjir kota, banjir pesisir, dan banjir sungai. Wilayah ini dapat dipetakan
dengan bantuan citra satelit, foto udara, kemudian diintegrasikan dengan
data SRTM, landskap, ditambah historis kejadian banjir. Data historis
kejadian banjir sangat jarang didokumentasikan dalam bentuk poligon
atau suatu area yang menggambarkan sebaran genangan melainkan secara
umum berupa titik-titik yang pernah tergenang. Seberapa luas genangan
akan berubah tergantung pada besarnya intensitas dan lamanya hujan,
dengan demikian validasi sangat ideal dilakukan ketika terjadi banjir besar
yang akan menunjukkan batas-batas genangan. Penelitian ini bertujuan
melakukan validasi peta rawan banjir daerah Pati dan Kudus yang sudah
dipetakan tahun 2008, kemudian di lakukan validasi kembali saat terjadi
banjir bulan Februari tahun 2014. Peralatan yang digunakan adalah GPS
untuk melakukan pengamatan titik-titik batas tergenang dan pesawat UAV
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

untuk pengambilan foto udara pada wilayah tergenang. Dari foto UAV bisa
di tunjukkan batas genangan banjir, sawah, dan permukiman yang terendam
banjir. Berdasar pengamatan di lima stasiun hujan ditunjukkan bahwa
curah hujan tahun 2008 intensitasnya hampir sama dengan yang terjadi
pada tahun 2014 dengan pola sebaran banjir juga hampir sama. Setelah
dilakukan pengamatan di beberapa titik dengan GPS dan foto UAV, peta
masih menunjukkan ketelitian yang cukup baik.
Kata Kunci: Peta Rawan Banjir, Rawan Banjir, UAV

ABTRACT
Flooding occurs due to heavy rain, spread evenly and in a relatively long duration
at a basin or plateau. According to a flood of events are grouped into four types,
namely floods flash floods, flooding the city, coastal flooding, and river flooding.
These areas can be mapped with the help of satellite images, aerial photographs
and then integrated with SRTM data, landscape, plus historical flood events.
Historical data is very rare flood events documented in the form of a polygon or
an area that illustrates the distribution of inundation, but is generally in the form
of dots are never stagnant. How widespread inundation will change depending
on the magnitude of the intensity and duration of rainfall, so validation is ideal
to do when a big flood that would show the limits of inundation. This study
aimed to validate maps of flood-prone Pati and Kudus areas starch that has been
mapped in 2008, then in doing validation back during floods in February 2014.
The equipment used is the GPS to make observations points stagnant boundary
and UAV aircraft for aerial photography on stagnant region. From the photos
show the UAV can limit the floodwaters, fields and settlements are flooded. Based
on observations in five rainfall stations indicated that the rainfall intensity in
2008 is almost equal to what happened in 2014 with the distribution pattern of
flooding is also almost the same. After observation at some point with GPS and
photos UAV, the map still shows good accuracy.
Keywords: Flood Prone map, Prone to Flood, UAV

194
Penggunaan UAV Untuk Validasi Peta Rawan Banjir
di Kabupaten Kudus dan Pati

1. PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara tropis memiliki iklim kering dan basah. Pada
musim basah terutama saat intensitas hujan tinggi kejadian banjir banyak
terjadi di wilayah cekungan, dataran yang menyebabkan kerugian materi
bahkan kehilangan jiwa. Penggunan lahan wilayah ini umumnya sebagai
daerah urban yang padat permukiman dan banyak infrastruktur penting.
Peta rawan banjir memberikan informasi di mana wilayah rawan tinggi,
sedang, dan rendah. Dengan dasar peta ini dapat dilakukan mitigasi rawan
banjir dan lebih jauh untuk manajemen bencana alam agar risiko dan
dampak dapat diminimalisasi.
Analisis rawan banjir yang banyak dilakukan selama ini bersifat kuantitatif
atau hitungan hidrologis. Cara ini memerlukan tenaga dan waktu dalam
usahanya inventarisasi data hidrologi misalnya data debit time series cukup
panjang, data hujan, pengukuran penampang sungai, nilai kekasaran material
dasar, perhitungan luapan, dan penyajian peta rawan banjir. Data spasial lain
yang diperlukan yaitu peta topografi, peta lereng, jaringan drainase dan peta
tanah, serta peta administrasi. Metode ini biasa digunakan dalam merancang
bangunan air misalnya jembatan yang memerlukan perhitungan matematis
rumit terutama dalam mengonversi luapan ke dalam luas genangan dan
sering terkendala data yang tidak lengkap.
Badan Informasi Geospasial bekerja sama dengan Badan Meteorologi
Geofisika dan Kementrian Pekerjaan Umum menyusun metode yang
sederhana untuk melakukan pemetaan rawan banjir atau sebaran banjir.
Metode ini menggunakan indikator data dari peta geomorfologi, peta
penggunaan lahan, peta isohyets, dan histori kejadian banjir. Pada masing-
masing layer peta terdapat indikator yang diberikan skor, kemudian dari
keempat layer diinterseksikan hasil akir diklasifikasikan ke dalam tiga kelas
dari tinggi sampai kelas rendah. Pemetaan rawan banjir sudah dilakukan
dari tahun 2007 sampai 2013 pada 105 wilayah kabupaten/kota di
Indonesia dengan tiga sebaran kelas kerawanan banjir yaitu tinggi, sedang,
dan rendah.

195
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Peta yang sudah dibuat harus divalidasi atau direvisi kembali, karena dengan
berubahnya waktu akan terjadi perubahan kondisi lahan yang memengaruhi
sebaran genangannya. Peta rawan banjir di Pantura Jawa misalnya wilayah
Bekasi, Subang, Pati, Kudus, Jepara, Pekalongan telah dipetakan tahun
2008 sehingga peta ini perlu ditinjau kembali sebaran banjirnya. Gambar
berikut merupakan indeks wilayah yang sudah dipetakan dari tahun 2006
sampai 2013 untuk seluruh Indonesia. Ada beberapa cara untuk melakukan
validasi, diantaranya dengan GPS langsung pengukuran dilapangan saat
kejadian banjir, citra satelit, dan dengan foto udara. Masing-masing ada
kelebihan maupun kekurangan sehingga penggunaan alatnya menyesuaikan
kondisi lapangan dan tujuan yang akan diinginkan.

Gambar 1. Indek wilayah pemetaan rawan banjir tahun 2006 hingga 2013

196
Penggunaan UAV Untuk Validasi Peta Rawan Banjir
di Kabupaten Kudus dan Pati

Tujuan dan Sasaran


Maksud dari penelitian ini adalah melakukan uji validasi peta rawan banjir
dengan bantuan pesawat UAV disaat kejadian banjir pada sebagian wilayah
di Provinsi Jawa Tengah khususnya di Kabupaten Pati dan Kudus
Sasaran pengukuran :
Pemetaan sebaran genangan banjir dengan pengukuran posisi batas
batas koordinat GPS dilapangan.
Luasan objek penggunaan lahan yang terdampak banjir.
Pemotretan udara pada batas-batas tergenang dengan pesawat UAV dan
pengukuran beberapa titik ground kontrol (GCP).

1. Wilayah penelitian
Pemilihan wilayah menyesuaikan dimana kejadian berlangsung dalam
hal ini mengambil sampel Kabupaten Kudus dan Kabupaten Pati
yang terjadi banjir pada akhir bulan Januari 2014 hingga pertengahan
Februari belum sepenuhnya kering.

2. Peralatan dan data


Data dan peta sebaran banjir Kabupaten Kudus dan Kabupaten
Pati tahun 2008
GPS Astek, Leika untuk titik ground control point dan GPS
Garmin untuk navigasi
Pesawat UAV lengkap dengan Navigasinya, spesifikasi UAV
medium auto pilot, baling-baling, kamera small format.

197
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

3. Jadwal pelaksanaan
Survei validasi dilakukan selama lima hari termasuk pengukuran titik
koordinat GCP maupun pengambilan foto udara dengan pesawat
UAV saat terjadi banjir di Pati dan Kudus tanggal 3 Februari sampai 8
Februari 2014.

2. METODE PENELITIAN
Wilayah rawan banjir meliputi 4 daerah rawan diantaranya banjir longsor,
banjir sungai karena air meluap, banjir perkotaan karena drainase kurang
baik, dan banjir di pesisir yang sangat dipengaruhi pasang dan surut (Junun
S, 2013). Dari keempat jenis ini hanya banjir longsor yang cara pemetaannya
berbeda, sedangkan tiga lainnya hampir sama dan kejadiannya saling terkait
satu sama yang lainnya. Data yang diperlukan diantaranya data sistem lahan,
SRTM/DTM, peta topografi, peta liputan lahan, data hujan, dan histori
kejadian banjir. Dari hasil analisis yang sudah dilakukan diperoleh peta
rawan banjir atau potensi banjir di wilayah Kudus dan Pati. Selanjutnya
dilakukan validasi saat terjadi kejadian banjir dengan tahapan seperti diagram
alir sebagai berikut.

198
Penggunaan UAV Untuk Validasi Peta Rawan Banjir
di Kabupaten Kudus dan Pati

Peta Rawan Banjir

Perencanaan Penentuan Titik GCP Perencanaan


Jalur Terbang UAV Dan Sampel Tematik Rute Survey

Pemotretan Udara Survey GCP


Dengan UAV Dan Sampel Tematik

Mozaik Foto Udara

Koreksi Geometrik
Foto Udara

Validasi batas banjir

Analisis penyebab banjir

Penyusunan Laporan

Gambar 2. Diagram alir pemetaan rawan bencana banjir dan validasinya

Peta rawan banjir yang akan divalidasi adalah wilayah Pati dan Kudus dengan
dasarian hujan bulan Februari tahun 2008, sedangkan kejadian hujan deras
dan ekstrem terjadi pada akhir bulan Januari tahun 2014 dan menyebabkan
banjir tanggal 29 sampai pertengahan Februari 2014.

199
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Perencanaan jalur terbang UAV berdasarkan peta banjir dengan memilih


jalur terbang pada batas indikatif wilayah banjir. Titik acuan GCP biasanya
memilih pada perempatan jalan atau sudut jalan di mana akan mudah
dikenali pada foto udara. Penentuan tempat pendaratan dan mulai terbang
pesawat menyesuaikan kondisi di lapangan dengan mempertimbangkan
jarak pandang yang tidak terganggu, tidak terhalang bangunan atau jaringan
kabel listrik, dan tidak terhalang pohon, serta arah angin.
Pemotretan udara dilakukan pada saat ketinggian pesawat mencapai 300
m dengan rute sesuai yang sudah ditentukan yaitu titik-titik batas indikatif
banjir. Pesawat berjalan dengan kecepatan 12 sampai 15 m/detik rute
autopilot, kamera pengambilan gambar atomatis.
Mosaik foto udara merupakan gabungan foto-foto hasil ekposure dalam
jumlah ratusan foto yang digabung menjadi satu. Setelah tergabung kemudian
dilakukan koreksi geometri dengan mengacu pada titik-titik ground kontrol
hasil pengukuran dengan GPS di lapangan. Koreksi dilakukan secara
otomatis dengan bantuan software.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1. Sampling Area
Pemilihan sampling area mempertimbangkan titik yang mudah dikenali
dalam mengukur GCP dan merupakan area tidak terhalang pohon atau
bangunan yang memudahkan pesawat untuk naik dan mendarat, bisa
memilih jalan, lapangan, atau halaman. Area ini posisinya di sebelah timur
terminal Kabupaten Kudus yang merupakan jalan ring road selatan.
Gambar 3 berikut adalah contoh area of interest pada peta yang akan divalidasi
serta rencana rute penerbangan yang akan di lewati untuk pengambilan
gambar.

200
Penggunaan UAV Untuk Validasi Peta Rawan Banjir
di Kabupaten Kudus dan Pati

Gambar 3. Sampling area wilayah tergenang


Pada sampel area tersebut ditunjukkan
SAMPLINGmana wilayahTERGENANG
AREA WILAYAH tergenang (arsir kuning)
dan tidak tergenang (tidak berarsir) untuk mengetahui batas genangan banjir
yang akan divalidasi.

3.2. Jalur Terbang


Pada jalur ini diberikan nomor urut yang menjadi petunjuk arah terbang
sekaligus menjadi arah dalam pengambilan gambar. Jalur ini juga menjadi
kontrol yang terbaca pada monitor komputer apakah pesawat masih dalam
jalur atau keluar dari jalur.

201
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

rute jalur terbang


Gambar 4. Penentuan rute jalur terbang

Perencanaan jalur terbang UAV berdasarkan peta banjir dengan memilih


jalur terbang pada batas indikatif wilayah banjir. Sedangkan acuan titik
GCP biasanya memilih pada perempatan jalan atau sudut jalan dimana
akan mudah dikenali melalui foto udara. Penentuan tempat pendaratan
dan mulai terbang pesawat menyesuaikan kondisi di lapangan dengan
mempertimbangkan jarak pandang yang tidak terganggu, tidak terhalang
bangunan atau jaringan kabel listrik, dan tidak terhalang pohon, serta arah
angin yang tidak mudah berubah-ubah.
Pemotretan udara dilakukan pada saat ketinggian pesawat mencapai 300
m dengan rute sesuai yang sudah ditentukan yaitu titik-titik batas indikatif
banjir. Pesawat berjalan dengan kecepatan 12 sampai 15 km/detik rute
autopilot, kamera pengambilan gambar atomatis. Skala foto merupakan
panjang fokus kamera dibagi tinggi terbang (S = F/H) dalam hal ini skala
hasil pemotretan kurang lebih 1:3.000 namun karena foto digital bisa
di plot ke dalam peta dasar pada skala yang berbeda. Mosaik foto udara

202
Penggunaan UAV Untuk Validasi Peta Rawan Banjir
di Kabupaten Kudus dan Pati

merupakan gabungan foto-foto hasil ekposure dalam jumlah ratusan foto


yang digabung menjadi satu. Setelah tergabung kemudian dilakukan koreksi
geometri dengan mengacu pada titik-titik ground kontrol hasil pengukuran
dengan GPS di lapangan. Koreksi dilakukan secara otomatis dengan bantuan
software.

3.3. Foto dan Mozaik Foto


Hasil mosaik foto direktifikasi dengan bantuan data ground control point hasil
pengukuran di lapangan minimal tiga titik, semakin banyak titik kontrol
akan semakin akurat.

Gambar 5. Contoh hasil mosaik foto wilayah tergenang air

Foto saat kejadian banjir ini jaringan irigasi dan petak-petak sawah tidak
kelihatan karena penuh dengan genangan air, bisa dibandingkan pada citra
saat tidak terjadi banjir petak sawah kelihatan jelas dan saluran irigasi juga
terlihat sangat jelas. Jalan kecil juga banyak tertutup air, sedangkan jalan
utama karena tinggi tidak tergenang air.

203
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

3.4. Validasi Peta Rawan Banjir


Validasi peta rawan banjir dilakukan dengan beberapa titik GCP dan
beberapa titik GPS navigasi, pada Gambar 6 titik GCP disimbolkan bintang
merah dan GPS lingkaran hijau sedangkan genangan banjir berwarna biru
muda. Titik posko pengungsian di plot pada peta berbentuk segitiga biru.
Tabel 1 berikut merupakan data hasil pengukuran GCP, posisi posko dan
titik-titik batas banjir.

HASIL VALIDASI WILAYAH TERGENANG AIR PADA TGL 28


JANUARI5 FEBRUARI 2014

Gambar 6. Peta genangan banjir di Kabupaten Pati dan Kudus

Tabel 1. Koordinat GCP hasil pengukuran di lapangan


No Lokasi X Koordinat Y koordinat
1 Kudus 481486.0637 9243872.6325
2 Kudus 480898.6119 9243695.0039
3 Kudus 485524.5551 9244310.7657
4 Kudus 485440.5959 9243800.4824

204
Penggunaan UAV Untuk Validasi Peta Rawan Banjir
di Kabupaten Kudus dan Pati

Tabel 1. Koordinat GCP hasil pengukuran di lapangan (lanjutan)


No Lokasi X Koordinat Y koordinat
5 Kudus 485994.7477 9243912.5260
6 Pati 505940.3840 9251878.6009
7 Pati 505921.4641 9249712.0501
8 Pati 503924.3091 9249913.7325
9 Pati 504892.4775 9251010.7401
10 Pati 506880.0879 9250223.2017
Sumber : pengukuran di lapangan 2014

Gambar 7. Sampling area foto dengan UAV dan batas genangan

Dua wilayah sampel area hasil pemotretan dengan UAV digunakan untuk
memvalidasi batas genangan, yaitu di Desa Tanjunggemuk (sampel 1) dan
Desa Bancak (sampel 2). Gambar 7 foto sangat jelas bisa ditunjukkan bahwa
wilayah tersebut tergenang air, petak-petak sawah tidak kelihatan, saluran
irigasi penuh air, jalan-jalan kecil tidak kelihatan karena tergenang air, jalan
ring road tetap jelas karena tidak tergenang, batas wilayah tergenang dan
tidak tergenang secara visual bisa dibedakan. Gambar berikut (perbesaran
sampel 2) adalah perbandingan citra tidak ada banjir dan foto udara UAV
saat terjadi banjir.

205
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Gambar 8. Perbandingan antara citra tidak banjir dan foto UAV saat banjir

3.5. Banjir dan penyebabnya


Banjir di Kudus dan Pati selalu berulang setiap tahun pada musim hujan
dengan luasan tergenang yang selalu berbeda dengan pola sebaran yang
berbeda pula. Hal ini ditentukan oleh di mana daerah yang terjadi hujan
lebat dan seberapa luas cakupan serta intensitasnya. Data pada Table 3.5.
berikut merupakan curah hujan yang terjadi dari tanggal 1 Januari 2014
sampai 31 Januari 2014, terukur di 6 stasiun yang tersebar di Kudus dan
sekitarnya.
Dari tabel tersebut diketahui selama 31 hari terjadi hujan terus menerus dan
pada tangal 20 sampai 24 intensitasnya sangat lebat bahkan klimaks terjadi
pada tanggal 22 curah hujan sangat ekstrem mencapai diatas 300 mm/
hari tercatat di enam stasiun hujan. Gambar grafik berikut menunjukkan
fluktuasi curah hujan yang terjadi selama 31 hari.

206
Penggunaan UAV Untuk Validasi Peta Rawan Banjir
di Kabupaten Kudus dan Pati

Gambar 9. Fluktuasi hujan harian di 6 stasiun di Kabupaten Kudus dan Pati

Kejadian hujan ekstrem menyebabkan terjadinya longsor di Kecamatan


Gebog pada beberapa titik di hulu Gunung Muria. Luasan terdampak akibat
genangan banjir di Kabupaten Pati dan Kudus bulan Januari dan Februari
tahun 2014 dalam beberapa hari berakumulasi menjadi debit puncak banjir
di beberapa sungai diantaranya Sungai Tunggul, Gelis, Dawe, Piji, Logung,
Sani, Bapon yang semuanya akan bergabung pada Sungai Juana.

Tabel 2. Luasan terdampak akibat genangan banjir di Kabupaten Pati dan


Kudus
NO. PENUTUP LAHAN LUAS(M2) LUAS(HA) LUAS(KM2) Prosen
1 KUDUS 155,272,605.0 15,527.3 155.3 34.1
Air Danau / Situ 6,839.1 0.7 0.0
Air Tawar Sungai 664,224.6 66.4 0.7
Padang Rumput 3,088,692.4 308.9 3.1
Perkebunan / Kebun 3,570,940.4 357.1 3.6
Permukiman dan Tempat 3,234,464.6 2,323.4 23.2
Kegiatan
Sawah 118,893,754.0 11,889.4 118.9
Sawah non irigasi 5,006,925.6 500.7 5.0

207
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Tabel 2. Luasan terdampak akibat genangan banjir di Kabupaten Pati dan


Kudus (lanjutan)
NO. PENUTUP LAHAN LUAS(M2) LUAS(HA) LUAS(KM2) Prosen
Tegalan / Ladang 806,764.4 80.7 0.8
2 PATI 236,349,795.6 23,635.0 236.3 14.7
Air Empang 63,334,082.6 6,333.4 63.3
Air Penggaraman 7,972,880.6 797.3 8.0
Air Tawar Sungai 1,973,386.8 197.3 2.0
Padang Rumput 5,777,117.8 577.7 5.8
Pasir / Bukit Pasir Laut 15.3 0.0 0.0
Perkebunan / Kebun 378,405.1 37.8 0.4
Permukiman dan Tempat 18,670,173.7 1,867.0 18.7
Kegiatan
Sawah 127,232,833.6 12,723.3 127.2
Sawah non irigasi 7,369,969.2 737.0 7.4
Tegalan / Ladang 3,640,930.8 364.1 3.6

Genangan di sungai Juana yang meluap ke sawah, permukiman, jalan, dan


fasilitas yang lain ini dipetakan sebagai peta banjir seperti ditunjukkan pada
gambar citra satelit.
Luas terdampak banjir cukup besar dan menimbulkan kerugian materi yang
cukup banyak, baik materi tergenang langsung maupun kerugian ekonomi
tidak langsung akibat jalur jalan terputus. Wilayah tergenang di kabupaten
kudus kurang lebih 34,1% di dominasi daerah permukiman 2.323,4 ha,
sawah irigasi 11.889,4 ha dan non irigasi 500,7 ha, kebun 357 ha, dan
lading 80,7 ha. Permukiman di daerah ini secara umum mempunyai tingkat
kepadatan bangunan rendah sampai sedang yaitu antara 11 sampai 40 unit
bangunan tiap hektar. Jika diambil rata-rata 20 unit tiap hektar maka rumah
yang terkena dampak banjir mencapai 46.460 unit. Sedangkan kerugian
pertanian terjadi bila sawah sedang ditanami padi atau palawija, sayur, dan
lainnya. Menurut informasi penduduk pada umumnya sawah sering puso
karena penduduk cukup memahami bahwa pada bulan Januari sampai
Februari sering terjadi genangan banjir, untuk itu sawah belum ditanam
padi.

208
Penggunaan UAV Untuk Validasi Peta Rawan Banjir
di Kabupaten Kudus dan Pati

Wilayah tergenang di Kabupaten Pati kurang lebih 14,7% didominasi


daerah permukiman 1.867 ha, sawah irigasi 12.723,3 ha dan non irigasi
737.0 ha, kebun 37,8 ha, dan ladang 364,1ha, tambak/empang 6.333,4 ha.
Jika permukiman di daerah ini secara umum mempunyai tingkat kepadatan
bangunan sama dengan di Kudus maka rumah yang terendam mencapai
37.340 unit rumah.
Menurut pengamatan di lapangan saat banjir, kondisi lingkungan daerah
Pati dan Kudus secara umum jalan-jalan protokol banyak yang tergenang
karena drainase di sekitarnya tidak mencukupi atau banyak tersumbat.
Saluran irigasi meluap dimungkinkan sudah terjadi pendangkalan atau
memang meluap karena debit sangat tinggi. Anak sungai dan sungai utama
semuanya maluap sehingga menyebabkan beberapa tanggul jebol dan rusak
sehingga perlu di inventarisasi untuk diperbaiki.

3.6. Sistem DAS di Kudus dan Pati.


Pati dan Kudus merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai Lusi, Serang,
Wulan, dan Juana sehingga banjir yang terjadi ditentukan oleh sistem DAS
dan curah hujan di daerah DAS Seluna tersebut. Pada saat kejadian banjir
tanggal 27 Januari sampai 4 Februari 2014 di informasikan pengelola BBWS
bahwa Sungai Lusi dan Serang alirannya dalam kondisi normal sehingga
jelas bisa disimpulkan bahwa banjir besar berasal dari aliran sungai-sungai
yang berasal dari Gunung Muria dan utara Perbukitan Kendeng.
Adapun kondisi DAS adalah sebagai berikut, Hulu Sungai Serang di Gunung
Merbabu dengan catchment area 937 km2, panjang 128.7 km , hulu Sungai
Lusi di Pegunungan Kapur Utara mempunyai catchment area 2,057 km2
panjang sungai 82 km, kedua sungai ini bertemu di daerah Penawangan
(Purwodadi), diatur dalam dua pintu di bendung Wilalung, yaitu Sungai
Wulan dan Sungai Juana. Panjang Sungai Juana dari pintu Wilalung sampai
ke muara 62.50 km. Sungai Wulan dari pintu Wilalung sampai ke muara
mempunyai panjang 49.80 km

209
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

Kejadian banjir yang hampir sama terjadi pada tahun 2008, akibat dari
tanggal 13, 14, dan 15 Februari terjadi hujan dengan intensitas sangat lebat
sebesar 324 mm di R72 Sta. Kedung Gupit, 324 mm/ R72 Sta. Tanjungrejo
dan 377 mm/R72 Sta. Karang Gayam. Kejadian ini menyebabkan pola
genangan banjir yang hampir sama, namun luasannya lebih kecil dibanding
kejadian tahun 2014 seperti Gambar 10 berikut.

Gambar 10. Wilayah tergenang banjir tahun 2008 di sws Seluna (sumber
BBWS Jratun seluna)

Kejadian tahun 2014 lebih luas karena curah hujan lebih merata dengan
intensitas sangat lebat yaitu diatas 300 mm/hari dengan genangan yang
lebih lama, waktunya bisa mencapai 10 sampai 15 hari di bagian hilir Juana.
Menurut data pengamatan pasang surut di stasiun terdekat yaitu di Stasiun
Jepara saat terjadi banjir berbarengan dengan terjadinya pasang air laut naik
rata rata 1,5 m antara tanggal 27 Januari sampai 6 Februari ditunjukkan
pada Gambar 11 berikut.

210
Penggunaan UAV Untuk Validasi Peta Rawan Banjir
di Kabupaten Kudus dan Pati

Gambar 11. Grafik pasang surut di Stasiun Jepara bulan Januari dan Februari
tahun 2014 (Sumber: BIG)

Dari model lamanya tergenang bisa diperkirakan bahwa banjir di muara Kali
Juana sangat dipengaruhi pasang dan surut laut sehingga pengelolaan muara
sungai harus mempertimbangkan hal ini. Dengan kejadian banjir di Pati dan
Kudus ini semua tipe banjir telah terjadi, yaitu dari longsor karena banjir
bandang, banjir kota, banjir luapan sungai, dan banjir pesisir. Namun yang
saling terkait di daerah ini adalah banjir kota, luapan sungai, dan pesisir.

KESIMPULAN
1. Pesawat UAV medium bisa dimanfaatkan dalam menginventori wilayah
banjir maupun kondisi lingkungan suatu daerah pada skala 1:5000
sampai skala 1:2.000,
2. Foto udara hasil pemotretan bisa untuk memilah wilayah yang tergenang
dan tidak tergenang namun supaya tepat sasarannya harus direncanakan
dengan baik sebelum dilakukan penerbangan
3. Foto udara juga bisa untuk menginventarisasi adanya saluran irigasi yang
tertutup air penuh dan membedakan petakan sawah yang tergenang dan
tidak tergenang.
4. Dengan foto ini bisa diketahui dengan jelas jalan yang tergenang air
dan jalan yang tidak tergenang air.

211
Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
untuk Mitigasi Bencana Banjir

5. Banjir yang terjadi pada tahun 2014 memiliki pola yang hampir sama
dengan kejadian tahun 2008 sehingga ada kemungkinan berulang pada
masa yang akan datang.
6. Dapat diperkirakan penyebab banjir adalah sebagai berikut:
Curah hujan tinggi bahkan ekstrem yaitu diatas 300 mm/hari dan
merata
Kapasitas sungai dan saluran drainase terlampaui (diamati saat
orientasi di lapangan)
Perubahan penggunaan lahan tanpa diimbangi pengganti fungsi
resapan
Terjadi erosi dan sedimentasi yang menyebabkan pendangkalan
sungai secara cepat
Pemanfaatan bantaran sungai yg kurang sesuai peruntukan
Prasarana pengendali banjir yang belum dioptimalkan
Genganan banjir Sungai Juana dipengaruhi pasang surut laut,
sehingga penurunan genangan cukup lama terkait pasang laut
setinggi 1,5 m dari tanggal 28 Januari sampai tanggal 7 Februari
2014.

DAFTAR PUSTAKA
Suryanta, J. 2008. Pemetaan Multirawan Bencana Alam. Bakosurtanal,
Bogor, Indonesia.
Sartohadi, J. 2012. Pemetaan Wialayah Rawan Banjir Dengan Pendekatan
Bentang Lahan. UGM Yogjakarta.
Leopold, LB., Wolman, M.G. and Miller, J.P. 1964. Fluvial Processes in
Geomorphology. San Francisco, California: W.H. Freeman
Moore, O.K. and North, G.W. 1974. Flood inundation in the Southeastern
United States from aircraft and satellite imagery. Water Resources
Bulletin, 10, (5): 10821096.

212
Penggunaan UAV Untuk Validasi Peta Rawan Banjir
di Kabupaten Kudus dan Pati

Nurwadjedi. 2005. Penyusunan Basis data Geospasial Daerah Rawan Banjir:


Tinjauan dari aspek geomorfologis.
Pidwiny, M. 2006. The Drainage Basin Concept. Foundamental of Physical
Geography, 2nd Edition. Colombia: University of British
Ray K.Linsley, JR. 1996. Hydrolgy for Engginering.
Seminar sehari dalam rangka hari meteorologi Dunia ke-55 tahun 2005
Jakarta. Kerjasama WMO, BMG, dan ITB.
Spesifikasi pemetaan rawan banjir. 2012. Pusat Pemetaan Integrasi Tematik,
Badan Informasi Geospasial. Bogor, Indonesia.
Thornbury, W. D. 1969. Principles of Geomorphology. New York: John Wiley
& Sons, Inc.
Van Zuidam, R.A. and V. Z. Cancelado. 1979. Terrain analysis and
classification using aerial photographs: a geomorphological approach.
ITC textbook. International Institute for Aerial Surey and earth sciences.
Enschende, The Netherlands

213
LAMPIRAN : Foto Kejadian Banjir Tahun 2014

Gambar 1. Genangan yang terjadi di jalur utama pantai utara yang


mengakibatkan terhambatnya aliran barang dan jasa

Gambar 2. Genangan di Kecamatan Mejobo yang menggenangi areal

Gambar 3. Kondisi genangan di Kecamatan Undaan


Lampiran

Gambar 4. Batas banjir di Kecamatan Jekulo (kiri) kawasan yang masih


tergenang di Kecamatan Mejobo (kanan)

Gambar 5. Posko bencana utama di Kab. Kudus (kiri), salah satu tempat
posko bencana banjir di Kec. Mejobo

Gambar 6. Lokasi becana longsor di Desa Rahtawu, Kec. Gebog

216
Lampiran

Gambar 7. Lokasi bencana longsor di Desa Menawan, Kec. Gebog

Gambar 8. Pengukuran GCP di ring road Kudus

217
Lampiran

Gambar 9. Persiapan penerbangan UAV

218

Anda mungkin juga menyukai