Manivestasi Böwö
Manivestasi Böwö
Adat Istadat - Bw
dan Pohon Bw di Kepulauan Nias 1
R
upanya perlu suatu pernyataan terbuka perihal istilah Bw, karena pada
umumnya istilah Bw disamakan dengan uang atau mas kawin. Begitu pula
pada rapat LBN Kota Gunungsitoli pada bulan Maret 2017 yang saya hadiri.
1 Oleh: P. Johannes M. Hmmerle OFMCap. Penulis adalah pendiri Museum Pusaka Nias dan Yayasan
Pusaka Nias. Sekarang (2017) sebagai Ketua Yayasan Pusaka Nias, tinggal di Gunungsitoli. Artikel ini
ditulis dalam Oktaf Paskah 21 April 2017.
Bw dan Tla Geu Bw
2
Pohon raksasa Bw yang kokoh dan gagah di pulau Hibala, Kepulauan Batu. Foto: P.
Johannes M. Hmmerle, OFMCap., 1 Oktober 2006.
Pohon Bw yang berdiri kokoh dan gagah di pulau Hibala, Kepulauan Batu. Rupanya
karena kekokohan dan kegagahan performa pohon ini maka menjadi simbol adat istiadat di
pulau Nias. Foto: P. Johannes M. Hmmerle, OFMCap., 1 Oktober 2006.
Rupanya pohon itu dulu tersebar di seluruh Pulau Nias. Saya mendengar
bahwa masih ada satu pohon Bw dekat desa Hilizamurug. Mudah-
mudahan di wilayah-wilayah lain masih ditemukan jenis pohon itu. Tetapi di
Kecamatna Llwau rupanya hanya hidup namanya dalam ingatan dan dalam
nama dua desa: Desa Tuhow dan Desa Daodao Tuhow. Ceritanya begini.
Dulu terdapat disitu pohon-pohon Bw. Kayunya sangat keras, bermutu dan
berminyak. Karena jenis pohon itu raksasa, dan karena perkakas orang dulu
hanya kapak, maka orang memasang sejenis pagan sekeliling pohon itu,
supaya dalam ketinggian kurang lebih 3 m, dimana diameter batang pohon itu
tidak begitu besar lagi, lebih ringan dapat dipotong batangnya. Tunggul pohon
yang besar itu setinggi 3 m dibiarkan dan disebut Tuho w. Mereka tidak
mengatakan Tuho Bw atau Tuho Mbw, melainkan Tuho w. Kemudian
itu menjadi nama desa. Setelah lama tidak ada lagi pohon Bw, masyarakat
setempat masih mencari Tuho w itu, karena kayunya begitu bermutu
sehingga dipakai diantaranya untuk membuat tangkai rokok (pipa) untuk
tembakau, karena tidak gampang terbakar.
Manifestasi
Seharusnya kita menanam dan melestarikan beberapa pohon Bw di
Pulau Nias. Sebaiknya di setiap kecamatan berdiri satu bohon Bw. Kenapa?
Saya menyatakan disini, bahwa para leluhur kita kagum melihat performa
pohon Bw ini. Dan nama pohon ini mereka pilih sebagai nama desa dan
terutama sebagai istilah buat adat istiadat kita di pulau Nias. Para leluhur kita
memandang pohon ini sebagai lambang atau simbol bagi adat-istiadat.
Kebaikan adat dan filosofi adat tergambarkan dalam pertumbuhan pohon
Bw.
Perkembangan
Entah 10 keturunan yang lalu, uang belum dikenal di Nias. Padi belum
dikenali, karet juga belum ada. Hiasan emas hanya dimilikki oleh beberapa
bangsawan. Apa yang dimilikki masyarakat, ialah babi. Dan para narasumber
di Gomo menceritakan, suatu perkawinan sudah bisa jadi dengan satu ekor
babi saja, asal ada faomasi (kasih).
Di antara tahun 1903 dan 1908, sewaktu Controleur Schrder, yang diberi
gelar Silauma, bertugas di Nias, uang perak Belanda dimasukkan di pulau
Nias, uang perak yang disebut Rigi (25 gr), Fir (10 gr), Suku (5 gr), Tali (2,5 gr)
dan Hua Kete (1,25 gr). Kemudian lagi Bego, uang tembaga yang harganya
kecil.
Seiring dengan masuknya uang di bumi pulau Nias, disana sini juga mulai
masuk kerakusan. Akibatnya arti dari kata Bw yang sesungguhnya berubah
menjadi uang [kefe].
Dulu ada juga nama orang, u.p. Fagmbw, dalam arti ikutsertakanlah
Bw. Apakah itu berarti: ikutsertakanlah uang? Atau: ikutsertakanlah adat
istiadat yang baik dan luhur? Dalam arti kedua, seorang yang bernama
Fagmbw dapat kita pandang sebagai orang yang o-bw. Dan kata ini
tidak berarti seorang yang berduit, melainkan seorang yang berbudi luhur,
murah hati dan suka memberi.
Tentang karet sering dikatakan: amohua kefe. Apakah benar juga, bahwa
bw kita di Nias amohua kefe?
2 Augustinus. Bekenntnisse. 1961 Frankfurt a.M. & Hamburg. Penerbit Fischer Bcherei KG. Hlm 43-44
Bab 7 Gottes Gesetz den Zeiten angepasst.
Bw dan Tla Geu Bw
7
Tali Kasih
Dalam buku nabi Yesaya kita membaca bahwa Tuhan Allah berkata:
"Dengan tali kasih Aku telah menarik dikau." Gambaran ini sangat tepat untuk
perkawinan di Nias. Pada saat perkawinan dua orang muda di Nias dimulai
dengan adanya satu tali kasih, yang mengikatkan mereka dengan kuat pada
pihak mertua. Bw Faomasi dilambangkan di Nias dalam pekerjaan
memintal atau mogazi afasi. Bewew afasi menjadi lambang untuk bw
faomasi. Afasi yang putih, bersih dan lunak dipintal menjadi satu benang yang
panjang, yang tidak putus, yang bersambung terus tanpa akhir (ombuyu,
nifatohu-tohu man, l aetu). Setiap waktu boleh disambung. Begitulah kasih
dari menantu terhadap mertuanya tak pernah putus dan berlangsung terus,
dapat dilanjutkan setiap waktu, dan sambungannya halus, tidak nampak.
Lagara
Lagara adalah nama tumbuhan jalar yang memanjat dan melilit pohon.
Batangnya agak keras. Lagara berlawanan dengan tali kasih. Leluhur Nias
mengatakan, bahwa adat istiadat kita atau Bw tidak seperti Lagara, yang
diartikan kasar dan keras, melainkan seperti Afasi. Lagara ditemukan dalam
hutan rimba, sejenis wewe, jika ujungnya dipotong dengan parang, maka tidak
dapat disambung lagi. Panjangnya sekian saja, selesai. Hubungan kasih antara
manusia cepat putus (aetu). Tidak ada kesinambungan.
Siraha Afasi
Karena tenunan kapas (bewew afasi) telah menjadi lambang untuk adat
perkawinan, maka niat yang baik untuk melangsungkan perkawinan penuh
rasa hormat dan kasih diperagakan dengan memakai Siraha Afasi. Calon suami
memasuki rumah mertuanya tidak seperti biasa melalui tangga rumah di
depan pintu, melainkan sebelumnya dia sudah menyediakan satu batang kayu
yang bercabang dari pohon kapas (afasi). Kayu yang bercabang itu disandarkan
pada tangga rumah, kemudian dengan menginjak cabang afasi itu dia
memasuki rumah mertuanya. Inilah pernyataan bahwa ia bersedia untuk
mengikuti dan menjalankan Bw yang dilambangkan dalam bewew afasi itu.
Labb ba Ziraha
Satu tanda lain lagi dilakukan untuk menguatkan niat hati itu. Sepotong
kayu afasi yang kecil dan bercabang dua diambil dan diikat pada patung Adu
Zatua sebagai pemberitahuan kepada para leluhur dan untuk memohon berkat
mereka. Satu ikatan yang kuat pula.
Warga di Pulau Hibala membuat perahu dari Pohon. Foto: P. Johannes M. Hmmerle, OFMCap., 1
Oktober 2006.
Salah satu perkakas untuk membuat perahu dari pohon di Kepulauan Batu